paper kel. 6
Post on 02-Jan-2016
67 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Deskripsi dan Distribusi Masalah Gizi Kekurangan Energi Protein (KEP)
pada Balita
A. Deskripsi
1. Pemeriksaan Antropometri
- Menggunakan indeks BB/U karena merupakan indeks pemeriksaan
antropometri yang sensitif untuk mengukur KEP pada balita.
- BB/U juga spesifik karena hanya menggambarkan kondisi KEP
pada balita.
- Berat badan merupakan salah satu ukuran yang memberikan
gambaran massa jaringan, termasuk cairan tubuh. Berat badan
sangat peka terhadap perubahan yang mendadak baik karena
penyakit infeksi maupun konsumsi makanan yang menurun.
- Klasifikasi tingat keparahan KEP:
KEP ringan: BB/U 70% - 80% WHO-NCHS
KEP sedang: BB/U 60% - 70% WHO-NCHS
KEP berat: BB/U < 60% WHO-NCHS
2. Pemeriksaan Dietetik
KEP pada balita dapat dideteksi dengan menggunakan survei
dietetik untuk konsumsi energi dan protein. Survei dietetik merupakan
deteksi dini KEP bahkan dapat digunakan sebagai pencegahan
terjadinya KEP karena masih belum menunjukkan perubahan pada
tubuh balita bila dilakukan pemeriksaan antropometri.
Terjadinya KEP pada balita akan mempengaruhi
pertumbuhannya. Maka, bila jumlah energi dalam makanan sehari-
hari kurang, masukan protein akan digunakan sebagai energi sehingga
mengurangi bagian yang diperlukan untuk pertumbuhan.
Berikut ini adalah Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2004 bagi
orang Indonesia khususnya untuk konsumsi energi dan protein pada
balita yang dirumuskan oleh Departemen Kesehatan RI:
Tabel 1. Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2004 bagi Orang
Indonesia (Depkes RI, 2004)
Dari AKG untuk balita tersebut, didapatkan kategori untuk
kecukupan protein sebagai berikut:
1. Normal 70-90%
2. Kurang Protein Ringan < 70%
3. Kurang Protein Sedang < 60%
4. Kurang Protein Berat < 50%
Bila kecukupan protein balita berada pada kategori 2-4, maka
sudah dapat dikatakan bahwa balita mengalami KEP.
Menurut Kapita Selekta Kedokteran (2000), kebutuhan energi
sehari pada tahun pertama anak 100-200 kkal/kgBB. Untuk tiap 3
tahun pertambahan umur, kebutuhan energi turun 10 kkal/kgBB.
Kebutuhan protein sehari pada tahun pertama adalah 2,5-3 g/kgBB
dan untuk tahun berikutnya hingga usia 5 tahun, kebutuhan proteinnya
adalah 1,5-2 g/kgBB.
Jenis survei dietetik yang dapat dilakukan adalah survei
dietetik pada level keluarga dan individu. Responden untuk survei
dietetik KEP pada balita adalah orang tua terutama ibu balita bila
balita tersebut diasuh oleh ibunya sendiri atau dapat juga dilakukan
pada pengasuh balita yang lain. Metode yang dapat digunakan untuk
pemeriksaan dietetik antara lain food record (estimated or weighed),
24 hour recall, Food Frequency Questionnaire (FFQ), dan Diet
History (DH).
3. Pemeriksaan Laboratorium
Albumin digunakan dalam mendeskripsikan kondisi KEP pada
balita meskipun tidak spesifik dan tidak sensitif karena belum
ditemukan cara lain. Kadar albumin baru terdeteksi menurun setelah
kekurangan protein selama 14-20 hari sehingga kurang sensitif untuk
mendeteksi KEP. Rendahnya kadar albumin juga tidak spesifik
menggambarkan KEP karena rendahnya kadar albumin dapat pula
menggambarkan berbagai kondisi, seperti anemia, KVA, dan
sebagainya.
4. Pemeriksaan Klinis
Gejala klinis KEP berat atau gizi buruk secara garis besar dapat
dibedakan menjadi marasmus, kwashiorkor atau marasmic-
kwashiorkor.
a. Kwashiorkor
- Edema, umumnya seluruh tubuh, terutama pada punggung kaki
(dorsum pedis)
- Wajah membulat dan sembab
- Pandangan mata sayu
- Rambut tipis, kemerahan seperti warna rambut jagung, mudah
dicabut tanpa rasa sakit, rontok
- Perubahan status mental, apatis, dan rewel
- Pembesaran hati (hepatomegali)
- Otot mengecil (hipotrofi), lebih nyata bila diperiksa pada posisi
berdiri atau duduk
- Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan
berubah warna menjadi coklat kehitaman dan terkelupas (crazy
pavement dermatosis)
- Sering disertai : penyakit infeksi, anemia, diare.
a. Marasmus:
- Tampak sangat kurus, tinggal tulang terbungkus kulit
- Wajah seperti orang tua
- Cengeng, rewel
- Perut cekung
- Iga gambang
- Kulit keriput, jaringan lemak subkutis dangan sedikit sampai
tidak ada (baggy pants)
- Sering disertai: penyakit infeksi kronis dan diare kronik atau
konstipasi atau susah buang air.
b. Marasmik-Kwashiorkor:
- Gambaran klinik merupakan campuran dari beberapa gejala
klinik Kwashiorkor dan Marasmus.
B. Distribusi
1. Lokasi
Distribusi KEP umumnya terjadi pada daerah pedesaan. Daerah
yang dimana makanan pokok yang dikonsumsi tidak atau sedikit
mengandung bahan yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan
energi balita. Selain itu masyarakat di daerah pedesaan umumnya
kurang mengkonsumsi protein, hanya karbohidrat dan sayur saja. Pada
daerah pedesaan yang terpencil pendapatan masyarakat yaitu
menengah ke bawah sehingga ketersediaan pangan yang bergizi
rendah.
Distribusi penyakit KEP pada masa kini tidak hanya pada
daerah pedesaan yang umumnya masyarakatnya menengah ke bawah,
namun sudah menjangkau masyarakat perkotaan. Balita yang terkena
penyakit KEP di daerah perkotaan adalah balita yang pola asuhnya
dibebankan pada pengasuh. Pengasuh yang kurang pengetahuan akan
kebutuhan enrgi yang dibutuhkan balita dapat menyebabkan balita
menjadi KEP. Selain pola asuh, ibu balita yang sibuk karena menjadi
wanita karier di perkotaan umumnya tidak memberikan ASI eksklusif
pada bayinya sehingga balita mudah terkena KEP.
2. Kelompok Umur (Balita)
Distribusi umur penyakit KEP umumnya terdapat pada balita di
bawah umur 5 tahun. Pada KEP Marasmus penyakit sering terjadi
pada usia yang sangat muda yaitu saat bulan pertama bayi lahir.
Sedangkan pada KEP kwashiorkor penyakit sering terjadi pada usia 6
bulan sampai 4 tahun.
Penyakit ini sering terjadi pada balita karena balita belum bisa
memenuhi kebutuhan energinya sendiri. Balita sangat bergantung pada
ibu atau pengasuh untuk memenuhi kebutuhannya. Kurangnya
pengetahuan ibu atau pengasuh dalam memenuhi kebutuhan energi
balita menyebabkan balita menjadi kekurangan energi, yang kemudian
berakibat penyakit KEP.
Selain itu, masa balita merupakan masa dimana mudahnya
menderita sakit. Penyakit yang mengakibatkan infeksi pada balita
dapat menyebabkan rusaknya fungsi organ sehingga makanan tidak
dapat diserap dengan baik. Balita yang mudah sakit juga menjadi susah
makan sehingga lebih mudah terkena KEP
3. Gender
Jenis kelamin merupakan salah satu faktor internal yang
menentukan kebutuhan gizi sehingga jenis kelamin berkaitan erat
dengan status gizi balita. Laki-laki lebih banyak membutuhkan energy
dan protein dari pada perempuan, karena laki-laki diciptakan untuk
tampil lebih aktif dan lebih kuat dari pada perempuan. Hasil penelitian
Lismartina (2001) menunjukkan bahwa kejadian KEP lebih besar pada
anak laki-laki (25,9%) dibandingkan anak perempuan. Sedangkan
menurut hasil Susenas menunjukkan presentasi balita perempuan yang
berstatus gizi baik lebih besar (68,28%) dibandingkan balita laki-laki
(BPS, 1998)
4. Faktor Sosial Ekonomi
a. Sosial Ekonomi Rendah
Kondisi status sosial ekonomi dapat dipakai sebagai alat ukur
untuk menilai tingkat pemenuhan kebutuhan dasar (Widodo,
1990). Status sosial ekonomi keluarga dapat dilihat dari
pendapatan dan pengeluaran keluarga. Keadaan status ekonomi
yang rendah mempengaruhi pola keluarga, baik untuk konsumsi
makanan maupun bukan makanan. Status sosial ekonomi keluarga
akan mempengaruhi kualitas konsumsi makanan, karena hal ini
berkaitan dengan daya beli keluarga. Keluarga dengan status
sosial ekonomi rendah kemampuan untuk memenuhi kebutuhan
pangan terbatas, sehingga akan mempengaruhi konsumsi
makanan.
Asupan nutrisi yang rendah dan terdapatnya penyakit infeksi
pada anak balita dalam penelitian ini paling dominan disebabkan
oleh rendahnya kemampuan keluarga untuk membeli bahan
makanan yang memenuhi standar gizi dan untuk pemenuhan
kebutuhan yang berkaitan dengan kesehatan. Status ekonomi
rendah juga erat kaitannya dengan kemampuan orang untuk
memenuhi kebutuhan gizi, perumahan yang sehat, pakaian dan
kebutuhan lain yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan.
b. Sosial Ekonimi Tinggi
Pada kelompok sosial ekonomi tinggi ternyata dapat terjadi
kondisi anak dengan Kekurangan Energi Protein. Menurut hal ini
terjadi karena beberapa faktor, yakni orang tua yang berumur lebih
muda, besar/jumlah anggota keluarga ≤ 4 orang, pendidikan orang
tua yang lebih rendah dan pada ibu yang tidak bekerja. Keadaan ini
disebabkan karena orang tua muda relative lebih sulit
menyesuaikan diri dengan perannya sebagai orang tua. Bagi ibu
muda pengetahuan dan pengalaman dalam mengasuh dan merawat
anak sangat terbatas. Walaupun ibu tidak bekerja, tetapi karena
pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya sangat terbatas
menyebabkan mereka kurang memperdulikan kebutuhan makanan
dan kesehatan anak. Oleh karena itu, keterlibatan dan peranan
orang tua mereka dalam memberi nasihat dan membagi
pengalaman dalam merawat anak sangatlah penting dan bermanfaat
terhadap pertumbuhan anak (Hurriah, 2002).
5. Faktor Budaya
Kekurangan energi protein pada anak balita amat dipengaruhi
oleh tingkat pendidikan yang rendah, kurangnya pengetahuan tentang
sumber bahan makanan, perilaku ibu dalam bertindak atas perubahan
fisik dan kesehatan anak. Disamping itu, cara mengolah makanan dan
pengetahuan tentang penyakit infeksi dan tindakan yang harus
dilakukan, menjadi penyebab kekurangan energi protein pada anak
balita (Yusnandar, 2006).
Budaya masyarakat untuk melakukan pemberian makanan
tambahan yang terlalu dini dapat menjadi penyebab KEP. Hal ini
terjadi karena pemberian makanan ini ternyata dapat menyebabkan
gangguan pencernaan (diare) yang merupakan penyebab utama
tingginya angka KEP dan angka kematian di Indonesia. Selain itu anak
akan selalu merasa kenyang sehingga kurag mantap memberi
rangsangan isapan terhadap payudara, sehingga produksi ASI sedikit
dan akhirnya terjadi penyapihan dini (Hurriah, 2002)
Umur penyapihan juga dapat menjadi faktor kejadian KEP.
Semakin meningkat umur penyapihan maka semakin ringan KEP.
Pengaturan jadwal makan juga cenderung menentukan status KEP,
yakni anak yang menderita KEP umumnya makan tanpa adanya jadwal
yang jelas. Sikap ibu juga penting diperhatikan. Semakin banyak
interaksi saat memberi makan, semisal bercanda dan bercerita, maka
makanan yang disajikan akan lebih mudah habis. (Hurriah, 2002).
Adanya masalah makan dan berpantang terhadap masakan seperti
telur, ikan, udang, memnyebabkan contoh lebih banyak menderita
KEP tingkat sedang dan berat. Kebudayaan yang biasa disebut food
taboo ini sangat sering dijumpai di berbagai daerah di Indonesia.
6. Faktor Musim
Meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi akibat
peningkatan jumlah emisi “Gas Rumah Kaca” di atmosfer. Pemanasan
ini akan diikuti dengan Perubahan Iklim, seperti meningkatnya curah
hujan di beberapa belahan dunia yang menyebabkan menimbulnya
banjir dan erosi. Perubahan iklim berdampak pada penataan ruang
sistem pertanian terutama pada sistem irigasi. Kenaikan temperatur
rata-rata sejak 1850-1899 hingga 2001- 2005 adalah 0.760C dan muka
air laut global telah meningkat dengan laju rata-rata 1.8 mm/tahun
dalam rentang waktu 40 tahun terakhir.
Musim kemarau yang berkepanjangan dan musim penghujan
yang tidak menentu akibat perubahan iklim dan pemanasan global
berdampak besar terhadap hasil pertanian. Terutama pada musim
kemarau seperti saat ini mempengaruhi produktivitas jenis padi yang
ditanam. Jenis padi lokal membutuhkan waktu untuk dipanen
setidaknya enam bulan sekali, sehingga membutuhkan waktu yang
cukup lama dan membutuhkan air yang banyak dalam proses bercocok
tanam. Perubahan musim yang tidak menentu mengakibatkan pola
tanam mengalami pergeseran, sehingga petani akan kesulitan
menentukan awal masa tanam.
Dengan demikian, pergeseran musim yang mempengaruhi hasil
pertanian akan mempengaruhi pasokan dan distribusi kebutuhan
bahan makanan terutama bahan makanan sumber protein yang
dibutuhkan. Hal ini khususnya terjadi di daerah terpencil dengan akses
pusat perdagangan yang terbatas.
7. Faktor Pertanian
Keterbatasan pasokan air akibat adanya musim kemarau yang
berkepanjangan terjadi beberapa tahun terakhir ini di sejumlah daerah
di Indonesia. Padahal kebutuhan terhadap pasokan air digunakan
bukan saja untuk domestik dan irigasi pertanian, tetapi juga untuk
keperluan non pertanian seperti industri pariwisata yang banyak
membutuhkan air bersih. Akibatnya pasokan air untuk lahan pertanian
menjadi berkurang. Tentunya hal ini akan berdampak pada kuantitas
panen bahan makanan pokok.
Tidak hanya padi, hasil pertanian sumber protein seperti
kedelai juga akan menurun. Hal ini sudah terbukti dengan ketidak
mampuan pasar dalam negeri untuk memasok kebutuhan dalam negeri.
Ditambah lagi pengembagan pertanian berbasis IPTEK dinegara kita
masih jauh tertinggal dibanding negara lainnya. Itulah yang menjadi
salah satu penyebab KEP terjadi bahkan bila mungkin terjadi dalam
satu keluarga dalam taraf ekonomi kurang terdapat sumber makanan
berprotein sekalipun, kemungkinan besar akan diprioritaskan untuk
anggota keluarga dewasa yang bekerja. Sedangkan balita dalam
keluarga tersebut sangat memerlukan zat tersebut untuk
pertumbuhannya.
8. Faktor Internal
Perubahan iklim terhadap pertanian di Indonesia telah dirasakan
30 tahun terakhir, dan berdampak pada ketersediaan bahan makanan
dalam negeri. Sehingga pemerintah seringkali harus melakukan impor
bahan makanan.
Agar dampak perubahan iklim terhadap tanaman tidak semakin
parah. Maka diperlukan solusi untuk mengatasi masalah-masalah yang
timbul akibat perubahan iklim terhadap pertanian, solusi tersebut
antara lain adalah diadakannya studi tentang perubahan iklim,
peningkatan sarana irigasi, menciptakan bibit-bibit unggul, dan
penggunaan pupuk dan pestisida organic (ridhaazza,2013)
DAFTAR PUSTAKA
Adriani, Merryana. 2012. Masalah Gizi Buruk Kurang Energi Protein. Bahan
Ajar Mata Kuliah Pengantar Gizi Masyarakat, Program Studi Ilmu
Kesehatan Masyarakat, Surabaya: Universitas Airlangga.
Arif Mansjoer, et al. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Cetakan 1. Jakarta:
Media Aesculapius
Almatsier, Sunita.2011. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama
Depkes RI. 2004. Tabel Angka Kecukupan Gizi 2004 bagi Orang Indonesia .
Didapat dari: http://gizi.depkes.go.id/download/AKG2004.pdf Diakses
tanggal: (disitasi 19 September 2013)
BPS.1998. Survei Sosial Ekonomi Nasional. Jakarta
Hurriah, Mistahul. 2002. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kurang Energi
Protein (KEP) Anak Umur 6-18 Bulan pad Keluarga Tidak Miskin di
Kabupaten Lima Puluh Kota, Propinsi Sumatera utara.
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/19140/A02mhu.pdf?
sequence=2 (disitasi tanggal 20 September 2013)
Lismartina dalam Suryadi. 2001. Kejadian KEP. 2009. Jakarta: Universitas
Indonesia
Yusnandar. 2006. Aplikasi Analisis Khi Kuadrat (X2) Terhadap Kekurangan
Energi Protein Pada Anak Dibawah Lima Tahun (Balita) dan Faktor-Faktor
yang Berhubungan.
http://www.litbang.deptan.go.id/warta-ip/pdf-file/5.yusipvol-15.pdf (disitasi
tanggal 20 September 2013)
Widodo, S.T. 1990. Indikator Ekonomi Dasar Perhitungan Perekonomian di
Indonesia. Yogyakarta: Kanisius
Gema, Adenz. 2013. Tugas MK Pemecahan Masalah Bidang Pertanian-Pengaruh
Perubahan Iklim Terhadap Sistem Irigasi/Pengairan Pertanian Tradisional
Ataupun Modern “DAS Bengawan Solo dan Irigasi Subak. Diambil di
<http://mistergemma.blogspot.com/2013/01/tugas-mk-pemecahan-
masalah-bidang_7.html> (disitasi 20 September 2013 pukul 18.03 WIB)
Ridhaazza. 2013. dampak perubahan iklim terhadap pertanian. Diakses di
<http://ridhaazza.blogspot.com/2013/01/dampak-perubahan-iklim-
terhadap.html> (disitasi 20 September 2013 pukul 18.15 WIB)
top related