penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah...
Post on 02-Mar-2019
236 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan
Pemanfaatan Tanah (P4T)
Agus Surono
UNIVERSITAS AL-AZHAR INDONESIAFAKULTAS HUKUM
2013
Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT)Agus Surono
PENGUASAAN, PEMILIKAN, PENGGUNAAN DAN PEMANFAATAN TANAH (P4T)Agus SuronoCet. 1 - Jakarta : Fakultas HukumUniversitas Al-Azhar Indonesia, 2013viii + 132 hlm. B5
ISBN 978-602-17732-6-0
Untuk yang tercintaOrang tuaku : Bapak Slamet Surani dan Ibu Nafiah
Istriku Sonyendah R.Anak-anakku : M. Rizqi Alfarizi R. dan M. Ridho Bayu Prakoso
KATA PENGANTAR
Maha besar Allah SWT atas segala rahmat dan ijinNya, sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan buku ini. Buku ini merupakan hasil penelitian dan kajian yang mendalam tentang Pola Pengelolaan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah Adat/Ulayat di beberapa daerah. Semoga lahirnya buku ini dapat menjadi salah satu bahan bacaan bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya Hukum Pertanahan/Agraria.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu dalam penyelesaian buku ini.
Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada Ayahanda H. Slamet Surani yang selalu memanjatkan doa buat penulis dalam shalatnya dan secara khusus kepada Almarhumah Hj. Nafiah yang dengan tulus dan ikhlas semasa hidupnya selalu memperjuangkan pendidikan buat putera-puterinya, dan tidak henti-hentinya memanjatkan doa, penulis menghaturkan sembah sujud dan terimakasih yang sedalam-dalamnya. Semoga Allah senantiasa meridloi apa yang yang sudah Bapak dan Ibu upayakan dan ihtiarkan.
Kepada Mertua yang sudah penulis anggap sebagai orang tua sendiri, H. Soemarsono (Almarhum) yang telah banyak mendorong dan berdoa semasa hidupnya, serta Ibu Hj. Sri Suparsih yang senantiasa memberikan doa kepada penulis dan keluarga, penulis hanya bisa mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya.
Akhirnya ucapan terima kasih atas pengertian, dukungan dan doa penulis sampaikan kepada Istri tercinta Sonyendah Retnaningsih, SH., MH., yang saat ini juga sedang menempuh pendidikan S3 di Fakultas
Hukum Universitas Padjadjaran, serta anak-anak tercinta M. Rizqi Alfarizi Ramadhan dan M. Ridho Bayu Prakoso, yang senantiasa memberi dorongan semangat dan mengerti atas kesibukan penulis dalam menjalani profesinya sebagai dosen dan praktisi hukum ini.
Harapan penulis semoga buku ini dapat memberikan manfaat bagi kepentingan pengembangan Ilmu Hukum secara umum maupun kepentingan pengembangan Ilmu Hukum Agraria di Indonesia khususnya.
Penulis menyadari, bahwa masih banyak kekurangan disana-sini serta masih jauh untuk kategori sempurna, mengingat segala keterbatasan pada kemampuan dan pengetahuan yang penulis miliki. Oleh karenanya, segala kritik dan saran yang positif senantiasa penulis harapkan.
Jakarta, April 2013
Agus Surono
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...................................................................... 1
B. Permasalahan ........................................................................ 6
C. Maksud dan Tujuan ............................................................. 7
D. Manfaat Penelitian ................................................................ 8
BAB 2 KERANGKA TEORITIK
A. Teori Negara Kesejahteraan ................................................ 10
B. Teori Keadilan ....................................................................... 14
C. Teori Hukum Pembangunan .............................................. 16
BAB 3 METODE PENELITIAN
A. Kerangka Pikir Kajian .......................................................... 23
B. Pendekatan Penelitian .......................................................... 24
C. Metode Pengumpulan Data ................................................ 25
D. Analisa Data .......................................................................... 42
BAB 4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ................................. 43
B. Hasil Analisis Berdasarkan Data Sekunder Diluar
Lokasi Studi ........................................................................... 86
BAB 5 HASIL OLAHAN DATA SEMENTARA YANG SUDAH SELESAI DIOLAH
A. Analisis Sementara di Lokasi Pontianak
BAB 6 PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................... 127
B. Saran ....................................................................................... 128
DAFTAR PUSTAKA
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 1
Bab Satu
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tanah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh Negara untuk digunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Lebih lanjut hak menguasai Negara dijabarkan dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 dan Undang-Undang lain seperti UU Nomor 11 Tahun 1967 dan UU Nomor 5 Tahun 1967, Hak menguasai Negara dijabarkan menjadi:
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa;
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Dari hak menguasai Negara inilah bersumber wewenang Negara untuk mengelola bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)2
rakyat. Namun kenyataannya pengelolaan tanah telah menimbulkan berbagai masalah. Tujuan “untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” masih jauh dari yang diharapkan. Kebijakan pembangunan yang menitikberatkan pertumbuhan ekonomi yang mengakibatkan ketimpangan pemilikan penguasaan tanah. Tanah dalam Republik ini sebagian besar dikuasai oleh pengusaha-pengusaha konglomerasi. Demikian juga telah terjadi secara besar-besaran peralihan fungsi tanah pertanian dan non pertanian.
Sejak adanya perubahan paradigma pemerintahan setelah era reformasi hingga sekarang pelaksanaan usaha untuk mewujudkan kemakmuran rakyat dapat dilakukan melalui berbagai program seperti usaha pemberdayaan usaha mikro, kecil dan menengah (UKMM), program revitalisasi pertanian maupun program pembaruan agraria nasional.
Masalah hak atas tanah ini sering kali dalam praktiknya menimbulkan berbagai persoalan, sehingga perlu dicari jalan keluar/solusi yang saling menguntungkan baik untuk kepentingan masyarakat maupun demi kepentingan Negara/umum.
Pelaksanaan pengelolaan dan pengembangan administrasi pertanahan di Indonesia sebagaimana diamanatkan UUD 1945 Pasal 33 (3) dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) sampai saat ini masih banyak mendapat sorotan dari masyarakat, bahkan ada pihak-pihak tertentu yang mempunyai keinginan untuk merevisi UUPA tersebut. Pada sisi lain banyak pula pihak menilai bahwa substansi yang termuat dalam UUPA sebenarnya masih sangat relevan dengan perkembangan jaman dewasa ini, karena mereka beranggapan bahwa berbagai permasalahan pertanahan yang muncul ke permukaan semata-mata berada pada tataran implementasinya. Namun demikian, harus diakui bahwa pelaksanaan UUPA selama ini belumlah optimal memberikan kemakmuran yang
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 3
sebesar-besarnya bagi masyarakat. Paling tidak terdapat tiga kondisi yang mencerminkan permasalahan utama pengelolaan bidang pertanahan.
Pertama, maraknya bermunculan kasus tentang konflik pertanahan. Sengketa/konflik pertanahanan ini dapat terjadi antara individu dengan individu, masyarakat dengan pihak swasta, swasta dengan swasta serta masyarakat dengan pemerintah. Termasuk juga di dalamnya sengketa terhadap tanah ulayat yang akan dimanfaatkan baik untuk kepentingan pertanian maupun untuk kepentingan perkebunan.
Kedua, masih terjadi ketimpangan struktur pemilikan dan penguasaan tanah. Ketimpangan struktur ini mencerminkan masih terdapat focus kepemilikan/penguasaan tanah hanya pada kelompok tertentu. Sehingga masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan manfaat atas tanah sebagai salah satu sumber kehidupan. Ketimpangan struktur kepemilikan dan penguasaan tanah ini juga terhadap keberadaan tanah ulayat, meskipun dalam berbagai peraturan perundang-undangan telah memberikan pengakuan terhadap hak atas tanah ulayat kepada masyarakat adat.
Ketiga, lemahnya jaminan kepastian hukum hak atas tanah, khususnya bagi masyarakat ekonomi lemah. Jaminanan kepastian hukum ini sangat diperlukan terutama bagi kalangan ekonomi lemah agar menghindari adanya kemungkinan peluang dilakukan penyerobotan oleh pihak lain yang lebih kuat secara ekonomi baik individu maupun swasta. Dalam rangka meningkatkan kepastian hukum maka sangat diperlukan kualitas pelayanan terutama dalam memberikan hak atas tanah. Perlunya jaminan kepastian hukum ini juga sangat penting, khususnya kepada tanah ulayat yang dapat dimanfaatkan oleh kepentingan masyarakat untuk meningkatkan taraf ekonominya.
Salah satu masalah yang terkait dengan masalah pertanahan adalah berkaitan dengan persoalan tanah adat/tanah ulayat. Masalah tanah
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)4
dan masyarakat mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Hubungan tersebut beraspek hukum perdata yang terbukti dengan adanya hak kepunyaan bersama atas tanah yang ada diwilayah hukumnya, sedangkan dalam aspek hukum public berupa kewenangan untuk mengelola, mengatur penguasaan, pemeliharaan, dan peruntukan penggunaan tanah. Hubungan yang meliputi kedua bidang hukum itu disebut Hak Ulayat.1
Perwujudan ke dalam hak ulayat itu adalah pemanfaatan tanah ditujukan kepada pemenuhan kebutuhan warga masyarakat, dengan memungkinkan bagi setiap warganya memakai bagian tanah bersama itu untuk digarap guna memenuhi keperluan hidup pribadi dan keluarganya. Pengakuan hak individu warga atas tanah yang demikian itu hanyalah berlaku selama tanah itu digarap, dan pelaksanaannya harus disesuaikan dengan hak bersama tadi. Apabila hak menggarap itu tidak dimanfaatkan setelah melewati batas waktu tertentu maka hak itu lenyap dan kembali ke tangan masyarakat.
Dalam perwujudan keluar hak ulayat itu, orang asing atau orang luar masyarakat tanah milik bersama tadi, kecuali seizin masyarakat atau persekutuan dan harus pula memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan. Misalnya memberikan kepada persekutuan barang sesuatu yang disebut pengisi adat, sedangkan dalam Penjelasan angka 3 UUPA istilah itu disebut dengan recognitie. Dengan izin itu orang asing atau orang luar tersebut dimungkinkan membuka tanah untuk perladangan atau perkebunan, tetapi harus ditanami dengan tanaman yang tidak berumur panjang. Karena pada prinsipnya orang asing atau orang luar persekutuan tidak dibenarkan ikut memiliki tanah didalam wilayah persekutuan tersebut.2
1 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia. Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, cet. Ketiga, (Jakarta: Djambatan, 1994), hlm. 162.
2 Menurut Ter Haar dalam bukunya “Beginselen en stelsel van het adatrecht” (dalam Soepomo, 1993:46) dikatakan bahwa di seluruh kepulauan Indonesia pada tingkatan rakyat jelata, terdapat pergaulan hidup di dalam golongan-golongan yang bertingkah laku sebagai kesatuan terhadap dunia luar, lahir dan batin. Golongan itu mempunyai tata susunan yang tetap dan kekal, dan orang-orang segolongan masing-masing
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 5
Keberadaan hukum adat mengenai tanah pada masa Pemerintahan Hindia Belanda, berdasarkan Agrarische Wet 1870-55, hanyalah diakui sebagai hak memakai tanah domein Negara (erfelijk individueel gebruikrecht = hak memakai individual yang turun temurun), dan disebut onvrij lands domein (=tanah Negara tidak bebas) dalam administrasi pertanahannya. Mengenai hak ulayat tidak diakui sebagai lembaga hukum, karena digolongkan vrij kinds domein (=tanah Negara bebas). Selain itu, dan sebagai akibat dari ketentuan Pasal 131 dan Pasal 163 IS maka pada masa ini pula berlaku dualisme hukum tanah, yaitu Hukum Tanah Barat yang tertulis dan diatur dalam Buku II BW dan Hukum Tanah Indonesia (Hukum Tanah Adat) yang umumnya tidak tertulis.
Setelah Indonesia merdeka, masalah pertanahan untuk pertama kalinya dicantumkan dalam Pasal 3 ayat (3) UUD 1945. Karena kondisi Negara kurang kondusif, 15 tahun kemudian baru selesai dibuat UUPA yang bertujuan untuk mengunifiukasi hukum tanah. Dalam konsideran dari UUPA tersebut disebutkan bahwa hukum atnah agrarian nasional dinyatakan berdasarkan atas hukum tanah adat, maksudnya adalah bahwa dalam pembentukan Hukum Tanah Nasional, hukum adat berfungsi sebagai sumber utama. Dalam penjelasan Pasal 2 (1) UUPA dikatakan bahwa hak bangsa itu adalah semacam hak ulayat yang diangkat pada tingkatan paling atas, yaitu pada tingkatan mengenai seluruh wilayah negara. Pada hak bangsa itulah bersumber hak penguasaan atas tanah primer maupun sekunder termasuk hak tanggungan. Tetapi dalam Pasal 3 UUPA hak ulayat itu masih tetap diakui sepanjang kenyataannya masih ada dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
Adanya ketimpangan pemilikan tanah, khususnya mengenai pemilikan dan pemanfaatan tanah adat maka diperlukan suatu program
mengalami kehidupan sewajarnya, hal menurut kodrat alam. Tidak ada satu orangpun dari mereka yang mempunyai pikiran akan kemungkinan pembubaran golongan itu. Golongan manusia tersebut mempunyai pula pengurus tersendiri dan mempunyai harta benda, milik keduniawian dan milik gaib. Golongan-golongan demikianlah yang bersifat persekutuan hidup.
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)6
kebijakan di bidang pertanahan yang lebih menjamin perlindungan masyarakat dan benar-benar mewujudkan harapan masyarakat.
Untuk menangani dan membenahi persoalan pertanahan yang berkaitan dengan tanah adat tersebut di atas tentu diperlukan pemikiran-pemikiran dari banyak pihak, baik bersifat akademisi maupun praktisi yang diharapkan nantinya dapat membantu pimpinan merumuskan kebijakan pertanahan dalam bentuk kegiatan beruapa penelitian mengenai pola P4T masyarakat hukum adat dengan sasasran utama bagaimana merumuskannya dalam wilayah masyarakat hukum adat/ulayat dapat member kontribusi maksimal bagi keinginan politik pemerintah yaitu “tanah untuk kesejahteraan rakyat.”
Melalui penilitian ini akan dapat menghasilkan sebuah rekomendasi yang nantinya akan dituangkan dalam bentuk kebijakan di bidang pertanahan khususnya mengenai pola P4T masyarakat hukum adat agar mampu memberikan kontribusi yang nyata untuk mensejahterakan masyarakat adat khususnya dan masyarakat pada umumnya terutama terhadap kesempatan mereka untuk memanfaatkan tanah secara optimal.
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan tersebut di atas harus mampu menjawab beberapa permasalahan yang dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Bagaimana pola P4T terhadap tanah adat/ulayat yang ada pada saat ini?
2. Bagaimanakah kontribusi P4T pada tanah adat/ulayat terhadap kesejahteraan masyarakat?
3. Bagaimanakah konsep pola P4T yang efektif dan ideal dalam rangka
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 7
mewujudkan kesejahteraan masyarakat?
4. Alternatif kebijakan apakah yang dapat dilakukan oleh Pemerintah terhadap pola P4T terhadap tanah adat/ulayat untuk mensejahterakan masyarakat?
C. Maksud dan Tujuan
Maksud penyelenggaraan kegiatan ini adalah untuk memperoleh masukan-masukan dalam pola P4T yang telah dilaksanakan di berbagai daerah yang dijadikan sebagai sampel penelitian guna menghasilkan rumusan kebijakan secara nasional berkaitan dengan pola P4T terhadap tanah adat/ulayat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Adapun yang menjadi tujuan kajian ini secara lebih khusus harus mampu menjawab beberapa permasalahan yang dikemukakan tersebut di atas yang meliputi:
1. Untuk mendapatkan informasi dan menganalisis tentang P4T terhadap tanah adat/ulayat yang ada saat ini.
2. Untuk mengkaji dan menganalisis tentang kontribusi P4T pada tanah adat/ulayat terhadap kesejahteraan masyarakat.
3. Untuk mengkaji dan menganalisis tentang pola P4T yang efektif dan ideal dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
4. Untuk mendapatkan informasi dan mengkaji tentang kemungkinan alternatif kebijakan yang dapat dilakukan oleh Pemerintah terhadap pola P4T terhadap tanah adat/ulayat untuk mensejahterakan masyarakat.
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)8
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membawa manfaat dan memberikan kontribusi pemikiran:
Pertama, penelitian ini diharapkan, dari sudut teori dapat memberikan sumbangan pemikiran dan upaya mengembangkan ilmu pengetahuan hukum khususnya yang berkaitan dengan pola penguasaan, penggunaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah adat/ulayat.
Kedua, dari sudut praktis, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai pedoman oleh instansi BPN khususnya dalam memberikan masukan terhadap kebijakan yang akan diambil oleh BPN dalam pola penguasaan, penggunaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah adat/ulayat.
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 9
Bab Dua
KERANGKA TEORITIK
Penelitian ini pada dasarnya adalah dalam rangka sebagai alternatif
kebijakan pemerintah dalam kaitannya dengan pola penguasaan,
penggunaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah adat/ulayat. Secara khusus
akan dicermati tentang pola penguasaan, penggunaan, pemilikan dan
pemanfaatan tanah adat/ulayat yang dapat diterapkan secara nasional di
beberapa daerah dengan disesuaikan dengan kondisi di daerah masing-
masing.
Upaya untuk melakukan penelitian “Penguasaan, Penggunaan,
Pemilikan Dan Pemanfaatan Tanah Adat/Ulayat” menggunakan beberapa
teori yang akan dipakai sebagai alat analisis penelitian. Beberapa teori
tersebut diantaranya teori Negara Kesejahteraan (welfare state), teori
Keadilan yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham dan John Rawls, teori
hukum pembangunan dari Mochtar Kusumaatmadja.
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)10
A. Teori Negara Kesejahteraan
Kerangka pemikiran dalam penelitian ini digunakan untuk dapat
menjawab 3 (tiga) identifikasi masalah yang telah ditetapkan. Pilihan
berfikir yuridis dari salah satu teori tentang tujuan negara adalah Negara
Kesejahteraan (Welfare State). Konsep negara hukum yang semula
merupakan liberal berubah ke negara hukum yang menyelenggarakan
kesejahteraan rakyat.1 Menurut konsep Negara Kesejahteraan, tujuan
negara adalah untuk kesejahteraan umum. Negara dipandang hanya
merupakan alat untuk mencapai tujuan bersama kemakmuran dan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat negara tersebut.2 Selain konsep
negara berdasar atas hukum (biasa disebut negara hukum), juga dikenal
konsep negara kesejahteraan (welfare state), yakni suatu konsep yang
menempatkan peran negara dalam setiap aspek kehidupan rakyatnya
demi terwujudnya kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat3. Sehubungan
dengan konsep negara kesejahteraan tersebut, maka negara yang
menganut konsep negara kesejahteraan dapat mengemban 4 (empat)
fungsi4 yaitu:
1. The State as provider (negara sebagai pelayan)
2. The State as regulator (negara sebagai pengatur)
3. The State as enterpreneur (negara sebagai wirausaha), and
4. The State as umpire (negara sebagai wasit).
1 Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2000, hlm. 133.2 CST Kansil dan Christine ST. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia (1), Rineka Cipta, Jakarta,
1997, hlm. 20.3 Mustamin Dg. Matutu, ”Selayang Pandang (tentang) Perkembangan Tipe-Tipe Negara Modem, ”Pidato
Lustrum ke IV Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Hasanuddin Ujung Pandang, 1972. hlm. 15.
4 W. Friedmann., The State and The Rule of Law In A Mixed Economy, London: Steven & Son, 1971, hlm. 5.
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 11
Merujuk pada fungsi negara yang menganut konsep negara
kesejahteraan sebagaimana telah dikemukakan di atas, menyebabkan
negara memegang peranan penting. Guna memenuhi fungsinya
sebagai pelayan dan sebagai regulator, maka negara terlibat dan diberi
kewenangan untuk membuat peraturan dalam pengelolaan sumberdaya
hutan yang memberikan perlindungan kepada masyarakat lokal,
sehingga terwujud kesejahteraan rakyat sebagaimana yang tercantum
dalam Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 33 ayat (3). Oleh sebab itu,peranan
pemerintah dalam mendorong masyarakat agar lebih berdaya dalam
ikut mengelola dan memanfaatkan tanah adat/ulayat menjadi suatu hal
yang sangat penting. Negara mempunyai peran penting dalam mengatur
penguasaan, penggunaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah adat/
ulayat dalam mewujudkan hak-hak masyarakat adat/lokal. Instrumen
penting yang dapat digunakan oleh negara dalam menyelenggarakan
fungsi reguleren termasuk dalam bidang agrarian khususnya terhadap
tanah adat/ulayat adalah undang-undang, dan ini merupakan aplikasi
dari asas legalitas dalam konsep negara berdasar atas hukum.
Teori Negara Kesejahteraan sangat mendukung suatu pola
penguasaan, penggunaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah adat/ulayat
dalam mewujudkan hak masyarakat lokal, sehingga akan mendukung
terwujudnya kesejahteraan umum dan kemakmuran bagi seluruh rakyat
Indonesia melalui sektor agrarian yang dapat dimanfaatkan untuk
bidang pertanian, perkebunan maupun bidang lainnya.
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)12
Konsep Negara Kesejahteraan dalam UUD 1945 pertama kali
diadop oleh Muhamad Hatta, 5 yang dapat dikemukakan berdasarkan
ketentuan Pasal 33 yang berbunyi:
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pasal ini diatur dalam
Undang-Undang.
Kebijakan pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia, termasuk
juga di dalamnya sumber daya agraria mengacu pada ideologi
penguasaan dan pemanfaatan sebagaimana tercermin dalam Pasal 33
ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi sebagai berikut:
5 Jimly Asshiddiqie, “Undang-Undang Dasar 1945: Konstitusi Negara Kesejahteraan dan Realitas Masa Depan”, Universitas Indonesia , Jakarta, 1998.
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 13
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyatnya”.
Berdasarkan ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa negara
menguasai kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, namun
penguasaan ini dibatasi yaitu harus dipergunakan untuk sebesarnya-
besarnya kemakmuran rakyat.6
Campur tangan Pemerintah tersebut di atas menunjukkan
bahwa Indonesia menganut konsep negara kesejahteraan (Welfare
State), sebagaimana dicetuskan oleh Beveridge.7 Selanjutnya, dalam
perkembangannya karena keterlibatan pemerintah dalam melaksanakan
fungsi-fungsinya dalam membuat regulasi dan mengawasi berbagai
aktivitas di masyarakat, timbul berbagai permasalahan yang terjadi
antara pemerintah dengan masyarakat di lapangan. Hal tersebut
digambarkan oleh Tocqueville seringkali menimbulkan konflik termasuk
juga di dalamnya konflik tenurial di suatu negara. Ia mengemukakan
bahwa: “Conflict, however bounded; controversy, however regulated-these are
features not incidental but essential to the operation of the political system”.8
Tujuan hukum dapat dikaji melalui tiga sudut pandang, masing-
masing:
Pertama, dari sudut pandang ilmu hukum positif normatif atau
yuridis dogmatik, dimana tujuan hukum dititikberatkan pada segi
6 Muchsan, Hukum Administrasi Negara dan Peradilan, Administrasi Negara di Indonesia, (Jakarta: Liberti, 2003), hlm.9.
7 Beveridge seorang anggota Parlemen Inggris dalam reportnya yang mengandung suatu program sosial, dengan perincian antara lain tentang meratakan pendapatan masyarakat, usulan kesejahteraan social, peluang kerja, pengawasan upah oleh Pemerintah dan usaha di bidang pendidikan. Muchtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, (Bandung: PT. Alumni, 2002), hlm.82.
8 Tocqueville’s seperti dikutip Gianfranco Poggi, The Development of the Modern State, (New York: Stanford University Press, 1978), hlm. 111.
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)14
kepastian hukumnya. Kedua, dari sudut pandang filsafat hukum,
dimana tujuan hukum dititikberatkan pada segi keadilan. Ketiga, dari
sudut pandang sosiologi hukum, tujuan hukum dititikberatkan pada
segi kemanfaatannya.9
B. Teori Keadilan
Disamping teori Negara Kesejahteraan, dipergunakan juga sebagai
pisau analisis adalah teori keadilan. Menurut ajaran utilitis dengan
tujuan kemanfaatannya, yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham.
Menurut pandangan ini, tujuan hukum semata-mata adalah memberikan
kemanfaatan atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi sebanyak-
banyaknya warga masyarakat. Penangannya didasarkan pada filsafah
sosial bahwa setiap warga masyarakat mencari kebahagiaan, dan hukum
merupakan salah satu alatnya. Doktrin utilitis ini mennjurkan ‘the
greathes happiness principle’ (prinsip kebahagiaan yang semaksimal
mungkin). Tegasnya, menurut teori ini masyarakat yang ideal adalah
masyarakat yang mencoba memperbesar kebahagiaan dan memperkecil
ketidakbahagiaan atau masyarakat yang mencoba memberi kebahagiaan
yang sebesar mungkin kepada rakyat pada umumnya dan agar
ketidakbahagiaan diusahakan sedikit mungkin dirasakan oleh rakyat
pada umumnya.10
9 AchmadAli,MenguakTabirHukum,SuatuKajianFilosofisdanSosiologis, (Jakarta:PT.GunungAgung,2000), hlm.72.
10 Ibid., hlm.77.
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 15
Selain pandangan teori keadilan sebagaimana yang dikemukakan oleh
Jeremy Bentham, dapat dikemukakan teori keadilan yang dikemukakan
oleh John Rawls. Menurut John Rawls, semua teori keadilan merupakan
teori tentang cara untuk menentukan kepentingan-kepentingan yang
berbeda dari semua warga masyarakat. Menurut konsep teori keadilan
utilitaris, cara yang adil mempersatukan kepentingan-kepentingan
manusia yang berbeda adalah dengan selalu mencoba memperbesar
kebahagiaan.
Menurut Rawls, bagaimanapun juga cara yang adil untuk
mempersatukan berbagai kepentingan yang berbeda adalah melalui
keseimbangan kepentingan-kepentingan tersebut tanpa memberikan
perhatian istimewa terhadap kepentingan itu sendiri. Teori ini sering
disebut ’justice as fairness ‘(keadilan sebagai kejujuran). Jadi yang
pokok adalah prinsip keadilan mana yang paling fair, itulah yang
harus dipedomani. Terdapat dua prinsip dasar keadilan. Prinsip yang
pertama, disebut kebebasan yang menyatakan bahwa setiap orang
berhak mempunyai kebebasan yang terbesar asal ia tidak menyakiti
orang lain. Tegasnya, menurut prinsip kebebasan ini, setiap orang harus
diberi kebebasan memilih menjadi pejabat kebebasan berbicara dan
berfikir kebebasan memiliki kekayaan, kebebasan dari penangkapan
tanpa alasan dan sebagainya.11
Prinsip keadilan yang kedua yang akan disetujui oleh semua orang
yang fair adalah bahwa ketidaksamaan sosial dan ekonomi harus
menolong seluruh masyarakat dan para pejabat tinggi harus terbuka
11 Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan Dasar-Dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial Dalam Negara, (yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 181 dan 203.
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)16
bagi semuanya. Tegasnya, ketidaksamaan sosial dan ekonomi dianggap
tidak adil kecuali jika ketidaksamaan ini menolong seluruh masyarakat.12
Teori keadilan ini sangat relevan untuk menjawab bagaimana
seharusnya kebijakan pola penguasaan, penggunaan, pemilikan dan
pemanfaatan tanah adat/ulayat dapat mewujudkan hak masyarakat
adat/lokal secara adil. Karena esensi hak masyarakat adat/lokal dalam
pemanfaatan sumber daya agrarian khususnya terhadap tanah adat/
ulayat adalah adanya perlakuan yang adil untuk memanfaatkan dan
mengelola tanah adat/ulayat secara arif bijaksana dan berkesinambungan
untuk kepentingan masyarakat banyak dan kepentingan generasi yang
akan datang.
C. Teori Hukum Pembangunan
Friedman mengemukakan bahwa suatu sistem hukum terdiri dari
tiga unsur13: “Hukum sebagai suatu sistem pada pokoknya mempunyai
3 (elemen), yaitu (a) struktur system hukum (structure of legal system)
yang terdiri dari lembaga pembuat undang-undang (legislative),
institusi pengadilan dengan strukturnya lembaga kejaksaan dan badan
kepolisian negara, yang berfungsi sebagai aparat penegak hukum; (b)
subtansi sistem hukum (substance of legal) yang berupa norma-norma
hukum, peraturan-peraturan hukum, termasuk pola-pola perilaku
masyarakat yang berada di balik sistem hukum; dan (c) budaya
hukum masyarakat (legal culture) seperti nilai-nilai, ide-ide, harapan-
12 Ibid. 13 Lawrence W Friedman, American Law, ( New York: W.W. Norton & Company, 1984), hlm. 7.
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 17
harapan dan kepercayaan-kepercayaan yang terwujud dalam perilaku
masyarakat dalam mempersepsikan hukum”.
Pendapat serupa juga dikemukakan dalam teori hukum
pembangunan dari Muchtar Kusumaatmadja. Berdasarkan kenyataan
kemasyarakatan dan situasi kultural di Indonesia serta kebutuhan
riil masyarakat Indonesia, Muchtar Kusumaatmadja merumuskan
landasan atau kerangka teoritis bagi pembangunan hukum nasional
dengan mengakomodasikan pandangan tentang hukum dari Eugen
Ehrlich dan teori hukum Roscou Pound, dan mengolahnya menjadi suatu
konsep hukum yang memandang hukum sebagai sarana pembaharuan,
disamping sarana untuk menjamin ketertiban dan kepastian hukum.14
Untuk memberikan landasan teoritis dalam memerankan hukum
sebagai sarana pembaharuan masyarakat serta membangun tatanan
hukum nasional yang akan mampu menjalankan peranan tersebut,
Muchtar Kusumaatmadja mengajukan konsepsi hukum yang tidak saja
merupakan keseluruhan azas-azas dan kaidah-kaidah yang mengatur
kehidupan manusia dalam masyarakat melainkan meliputi pula
lembaga-lembaga (institutions) dan proses-proses yang mewujudkan
berlakunya kaidah-kaidah itu dalam kenyataan.15
Dengan konsepsi hukum tersebut, tampak bahwa Muchtar
memandang tatanan hukum itu sebagai suatu sistem yang tersusun atas
3 (tiga) komponen (sub sistem) yaitu:16
14 Ibid, hlm. 7.15 Ibid.16 Ibid.
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)18
a. Azas-azas dan kaidah hukum;
b. Kelembagaan hukum;
c. Proses perwujudan hukum.
Menurut Muchtar Kusumaatmadja, hukum merupakan sarana
pembaharuan masyarakat didasarkan atas anggapan bahwa adanya
keteraturan atau ketertiban dalam usaha pembangunan atau
pembaharuan itu merupakan sesuatu yang diinginkan atau bahkan
dipandang (mutlak) perlu.17
Anggapan lain yang terkandung dalam konsepsi hukum sebagai
sarana pembangunan adalah bahwa hukum dalam arti kaidah atau
peraturan hukum memang bias berfungsi sebagai alat (pengatur) atau
sarana pembangunan dalam arti merupakan arah kegiatan rumusan
kearah yang dikehendaki oleh pembangunan atau pembaharuan.18
Kedua fungsi tersebut diharapkan dapat dilakukan oleh hukum
disamping fungsinya yang tradisional yakni untuk menjamin adanya
kepastian dan ketertiban.19
Perubahan maupun ketertiban atau keteraturan merupakan tujuan
kembar dari masyarakat yang sedang membangun, hukum menjadi suatu
alat (sarana) yang tidak dapat diabaikan dalam proses pembangunan.20
Peranan hukum dalam pembangunan dimaksudkan agar
pembangunan tersebut dapat dicapai sesuai dengan yang telah
17 Muchtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, (Bandung: PT. Alumni, 2002), hlm. 89.
18 Ibid.19 Ibid.20 Ibid, hlm. 89.
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 19
ditetapkan. Hal ini berarti bahwa diperlukan seperangkat produk hukum
baik berwujud perundang-undangan maupun keputusan badan-badan
peradilan yang mampu menunjang pembangunan.21
Dalam tataran pelaksanaan kebijakan pola penguasaan, penggunaan,
pemilikan dan pemanfaatan tanah adat/ulayat harus dapat dijabarkan
lebih detail dan lebih lanjut dalam berbagai peraturan perundang-
perundangan.
Dalam kaitannya dengan pengurusan sumber daya agrarian
khususnya yang berkaitan dengan tanah adat/ulayat perlu adanya
good lands governance.22 Adapun syarat good lands governance antara lain:
Pertama, adanya transparansi hukum, kebijakan dan pelaksanaan; Kedua,
tersedianya mekanisme yang “legitimate” dalam proses akuntabilitas
publik; Ketiga, adanya mekanisme perencanaan, pelaksanaan dan
monitoring serta evaluasi yang partisipatif; Keempat, adanya mekanisme
demokratis dalam memperkuat daerah; Kelima, memperbaiki birokrasi
pusat yang tidak efektif dan efisien untuk perbaikan kinerja melalui
pengembangan institusi yang mengarah kepada peningkatan pelayanan
publik.23 Beberapa prasyarat di atas sudah sejalan dengan subtansi
Undang-Undang No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara
yang Bersih dan Bebas dari KKN.24
21 Otje Salman dan Anthon F. Susanto, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, (Bandung: PT. Alumni, 2004), hlm. 65.
22 ElfianEfendi,JanganMenungguKapalPecah,(Jakarta:LembagaPenerbitFakultasEkonomiUniversitasIndonesia, 2001), hlm.61.
23 Ibid., hlm. 61. 24 Pasal 3 Undang-Undang No.28 Tahun 1999, menyebutkan bahwa ada tujuan asas umum penyelenggaraan
negara, yaitu: Kesatu, kepastian hukum, Kedua, asas tertib penyelenggara negara, Ketiga, asas kepentingan umum, Keempat, asas keterbukaan.
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)20
Pengelolaan tanah adat/ulayat adalah sistem pengelolaan tanah
adat/ulayat dalam rangka memberikan perlindungan sistem penyangga
kehidupan di kawasan tanah adat/ulayat yang dalam penelitian ini
digunakan khusus untuk lingkup penguasaan, penggunaan, pemilikan
dan pemanfaatan tanah adat/ulayat. Apabila pengelolan dan pemanfaatan
tanah adat/ulayat dapat menerapkan prinsip keadilan, maka akan dapat
meningkatkan perekonomian masyarakat. Artinya hak-hak masyarakat
adat/lokal dapat dipenuhi dengan sebaik-baiknya, sehingga cita-cita
konsep Negara kesejahteraan dapat terwujud. Sehingga diharapkan
penelitian ini dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap
Pemerintah khususnya institusi BPN Pusat dalam mengambil kebijakan
yang berkaitan dengan pola penguasaan, penggunaan, pemilikan
dan pemanfaatan tanah adat/ulayat dan bagaimana mewujudkan hak
masyarakat lokal, terutama perlindungan dalam bentuk perbaikan atas
pengaturan perundang-undangan pada masa yang akan datang.
Untuk menghindarkan perbedaan penafsiran terhadap istilah-istilah
yang dipergunakan dalam penulisan disertasi ini, berikut ini definisi
operasional dari istilah-istilah tersebut.
1. Masyarakat Adat adalah kesatuan manusia yang tertentu, mempunyai
penguasa-penguasa danmempunyai kekayaan, yang berwujud dan
tidak berwujud, dimana para anggota kesatuan itu masing-masing
mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar
menurut kodrat alam, dan tidak seorangpun di antara para anggota
mempunyai fikiran atau kecenderungan untuk membukakan ikatan
yang telah tumbuh itu, dalam arti melepaskannya untuk selama-
lamanya.25
25 Budi Riyanto, Bunga Rampai Hukum Kehutanan dan Sumber Daya Alam Menuju Smart Regulation, (Bogor: Lembaga Pengkajian Hukum Kehutanan dan Lingkungan, 2006), hlm.44.
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 21
2. Masyarakat Lokal adalah masyarakat yang tinggal disekitar kawasan hutan yang dalam hal ini tinggal disekitar kawasan Taman Nasional yang mempunyai ciri-ciri sosial, ekonomi, budaya yang berbeda dari pengertian masyarakat hukum adat. Masyarakat lokal yaitu sekelompok penduduk asli yang tidak terikat lagi pada masyarakat adat dan pendatang yang berasal dari daerah lain yang sudah tinggal di kawasan tersebut selama lebih dari 10 tahun atau lahir di tempat tersebut, mempunyai hak untuk memanfaatkan hutan yang berada disekitar masyarakat tersebut tinggal.26
3. Konflik adalah sebagai perwujudan cara pandang antara berbagai pihak terhadap obyek yang sama. Titik berat konflik dalam penelitian ini adalah konflik kehutanan yang telah muncul kearena publik yang antara lain disebabkan oleh perambahan hutan, pencurian kayu illegal, masalah batas wilayah pengelolaan kawasan hutan, masalah kerusakan hutan, serta adanya peralihan fungsi kawasan hutan.27
4. Pembagian Kewenangan adalah pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya menimbulkan hubungan administrasi dan kewilayahan antar susunan pemerintahan.28
5. Hak Masyarakat Lokal adalah merupakan hak penduduk yang tinggal di sekitar kawasan hutan untuk memanfaatkan sumber daya alam dalam bentuk hak untuk menggarap tanah, memanfaatkan air dan mengambil hasil hutan untuk keperluan rumah tangga.
6. Hak Ulayat adalah hak kepemilikan bersama/komunal dari masyarakat hukum adat yang dikelola dengan cara gotong royong dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan bersama dan para warga
26 Saafroedin Bahar, Inventarisasi Dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, (Jakarta: Komnas HAM, 2005), hlm.73.
27 Yuliana CahyaWulan, dkk,Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997-2006, (Bogor: CIFOR,2007), hlm.3.
28 Pasal 2 ayat (7) Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)22
masing-masing dan pemanfaatan tidak bertentang dengan undang-undang.29
7. Pengetahuan Tradisional adalah pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat lokal setempat dalam kaitannya dengan masalah konservasi sesuai pengethuan yang dimiliki secara turun temurun dalam mengelola sumber daya alam dengan senantiasa berpedoman pada kearifan tradisional/lokal.30
8. Zona Pemanfaatan Tradisonal adalah merupakan zona pemanfaatan kawasan hutan dengan memperhatikan kearifan lokal/tradisonal masyarakat sekitar kawasan hutan dalam kaitannya dengan pemanfaatan hutan dan masalah konservasi.31
9. Konservasi Tradisional adalah pengelolaan sumberdaya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya dengan memperhatikan nilai-nilai kearifan tradisonal masrakat sekitar kawasan hutan.32
10. Tanah Ulayat adalah tanah hak kemilikan bersama/komunal dari masyarakat hukum adat yang dikelola secara gotong royong dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan bersama dan para warga masing-masing dan pemanfaatan tidak bertentangan dengan undang-undang.33
11. Pemerintahan Desa terdiri atas kepala desa dan perangkat desa. Sedangkan perangkat desa terdiri dari sekretaris desa dan perangkat
desa lainnya.34
29 Pasal 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Undang-Undang Pokok Agraria. 30 Budi Riyanto, Op. Cit, hlm.45. 31 Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya. 32 Budi Riyanto, Op. Cit., hlm.47. 33 Ibid 34 Pasal 202 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 23
Bab Tiga
METODE PENELITIAN
A. Kerangka Pikir Kajian
Dalam bab ini akan dijelaskan pendekatan dan metodologi yang
akan dijalankan oleh Konsultan dalam menangani Pekerjaan Penelitian
Pola Penguasaan, Penggunaan, Pemilikan Dan Pemanfaatan Tanah
Adat/Ulayat, yang secara garis besar tahapan pekerjaan sesuai yang
tercantum dalam kerangka acuan kerja adalah tahap persiapan
perencanaan/ perancangan, penyusunan gambar pra rencana,
penyusunan pengembangan perencanaan, pembuatan perhitungan
biaya kerja, rancangan detail, persiapan pelelangan, pelelangan,
evaluasi dan negosiasi, pengawasan berkala, dan tentunya dalam setiap
langkah yang akan diambil tetap mengadakan asistensi/ diskusi dengan
Pengguna Jasa.
Dalam penelitian tentang Pola P4T terhadap Tanah Ulayat, pertama
kali dilakukan pendekatan dengan melakukan proses inventarisasi
berbagai kebijakan pemerintah di bidang pertanahan baik yang
terdapat dalam UU No.5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok Agraria
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)24
dan Ketentuan turunannya beserta UU lainnya yang terkait dengan
masalah tanah adat atau tanah ulayat, Peraturan Pemerintah Nomor 38
tahun 2007 tentang pembagian urusan pemerintahan. Untuk mencapai
tujuan pertama ini, dilakukan desk research dan evaluasi relevansi
dan tingkat kepentingan substansi pengaturan peraturan perundang-
undangan dan kebijakan yang berkaitan dengan pola penguasaan,
penggunaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah adat/ulayat pada
saat ini untuk antisipasi pada masa yang akan datang. Desk research
kemudian diintegrasikan dengan hasil observasi dan survei lapangan,
serta pencocokan data untuk dapat dievaluasi pelaksanaan Pola P4T
dalam pengambilan kebijakan di pemerintahan daerah. Mengingat
kebijakan yang berpengaruh terhadap pola penguasaan, penggunaan,
pemilikan dan pemanfaatan tanah adat/ulayat di pemerintahn daerah,
maka secara umum kebijakan yang dievaluasi dikelompokkan dalam
tiga kategori, yaitu : (1) Relevansi, (2) Signifikansi, dan (3) Daya guna.
B. Pendekatan Penelitian
Dalam melaksanakan “ Penelitian Pola Penguasaan, Penggunaan,
Pemilikan Dan Pemanfaatan Tanah Adat/Ulayat”, diperlukan pendekatan
yuridis empiris/yuridis sosiologis. Pendekatan yuridis dilakukan untuk
memahami pengaturan pola penguasaan, penggunaan, pemilikan dan
pemanfaatan tanah adat/ulayat dan juga untuk mengetahui sinkronisasi
dan kontradiksi terhadap aturan-aturan yang berkaitan dengan masalah
tanah adat/ulayat dalam kerangka hukum tanah nasional. Pendekatan
sosiologis digunakan untuk mengidentifikasi hukum yang nyata-
nyata berlaku (secara implicit berlaku) dalam masyarakat mengenai
hak penguasaan, penggunaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah
adat/ulayat. Penelitian ini juga didukung dengan pendekatan historis
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 25
(sejarah) untuk mengungkap dan menjelaskan lembaga hukum terutama
masyarakat adat yang terkait dengan masalah tanah adat/ulayat.1
Agar proses pelaksanaan penelitian dapat mencapai tujuan yang
akan dicapai maka diperlukan enam langkah proses berpikir sistemik.
Langkah-langkah proses ini merupakan panduan umum saja yang
meliputi:
1. Identifikasi kondisi yang ada;
2. Identifikasi kebutuhan dan kondisi yang diinginkan;
3. Identifikasi permasalahan;
4. Analisis;
5. Penyusunan alternatif usulan kebijakan;
6. Memperkirakan dampak implementasi kebijakan.
C. Metode Pengumpulan Data
1. Metodologi Pengumpulan Data Sekunder
Pengumpulan data sekunder dilakukan guna mengumpulkan
Literatur yang berkaitan dengan kebijakan, peraturan dan
perundangan terkait di bidang pola penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah adat/ulayat. Atau bisa juga
diperoleh berdasarkan hasil studi sebelumnya untuk mendapatkan
gambaran menyeluruh dari kondisi yang terkait dengan perumahan
dan permukiman, termasuk permasalahan, kebutuhan maupun
harapan yang diinginkan .
1 Jufrina Rizal, dalam Hermayulis, “Penerapan Hukum Pertanahan dan Pengaruhnya Terhadap Keberadaan Pada Sistem Kekerabatan Patrilinial di Sumatera Barat”, (Disertasi Doktor Universitas Indonesia, Jakarta, 1991), hlm. 58.
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)26
Pengumpulan data melalui data sekunder ini dikatagorikan sebagai penelitian sekunder, dimana penelitian sekunder merupakan pendekatan penelitian yang menggunakan data-data yang telah ada, selanjutnya dilakukan proses analisa dan interpretasi terhadap data-data tersebut sesuai dengan tujuan penelitian. Sebelum melaksanakan pengumpulan data sekunder tim studi harus benar-benar memahami sampai sejauh mana data-data sekunder ini dapat digunakan, untuk itu keuntungan dan kerugian penelitian sekunder berikut harus diketahui.
Metodologi umum dalam penelitian sekunder
a. Mencari dan mengumpulkan data.
b. Membuat agar unit pengukuran yang digunakan dapat dibandingkan (comparable).
c. Mengevaluasi data/ dokumen.
d. Menentukan kelengkapan data.
e. Melakukan analisa data.
Studi dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data yang tidak langsung ditujukan. kepada subjek penelitian. Dokumen yang diteliti dapat berupa berbagai macam, tidak hanya dokumen resmi. Dokumen dapat dibedakan menjadi dokumen primer, jika dokumen ini ditulis oleh orang yang langsung mengalami suatu peristiwa; dan dokumen sekunder, jika peristiwa dilaporkan kepada orang lain yang selanjutnya ditulis oleh orang ini. Dokumen dapat berupa buku harian, surat pribadi, laporan, notulen rapat, catatan kasus (case records) dalam pekerjaan sosial, dan dokumen lainnya. Akan tetapi, perlu diingat bahwa dokumen-dokumen ini ditulis tidak untuk tujuan penelitian sehingga penggunaannya memerlukan
kecermatan.
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 27
Kegiatan studi literatur mengacu sumber-sumber yang meliputi :
a. Inventarisasi landasan hukum, peraturan dan perundang¬-
undangan serta kebijakan dan strategi Penguasaan, Penggunaan,
Pemilikan Dan Pemanfaatan Tanah Adat/Ulayat;
b. Data terkait dengan kondisi/situasi dan permasalahan-
permasalahan yang terjadi di lapangan yang terkait dengan
Penguasaan, Penggunaan, Pemilikan Dan Pemanfaatan Tanah
Adat/Ulayat ;
c. Data mengenai kondisi yang ada terkait dengan tugas dan
tanggung jawab Pemerintah dan masyarakat dalam kegiatan
Pola Penguasaan, Penggunaan, Pemilikan Dan Pemanfaatan
Tanah Adat/Ulayat;
d. Kondisi yang terjadi di lapnagan tentang Pola P4T terhadap
Tanah Adat/Ulayat saat ini;
e. Data dan informasi mengenai aspek teknologis, administratif
pertanahan, sosiologis dan ekonomis, terkait dengan Pola
Penguasaan, Penggunaan, Pemilikan Dan Pemanfaatan Tanah
Adat/Ulayat yang dilaksanakan saat ini.
Hasil deskripsi ringkas dari studi data sekunder tersebut
selanjutnya diasistensikan untuk mendapat masukan dari pengguna
jasa guna penyempurnaan langkah kerja lebih lanjut. Setelah dibahas
dibuatlah superimpossed untuk masing-masing permasalahan yang
dihadapi guna dilakukan verifikasi lapangan dengan penelitian
primer (survai primer). Hasil dari penelitian sekunder yang masih
berupa data akan dituangkan dalam laporan antara.
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)28
2. Metodologi Pengumpulan Data Primer
Survey akan dilakukan guna pengumpulan data dikakukan
dengan cara wawancara ataupun kuesioner dengan nara sumber dari
masyarakat, instansi pemerintahan terkait dan juga dari kalangan
akademisi. Adapun kuesioner yang disebarkan untuk mendapatkan
data lapangan yang memadai menggunakan beberapa model yaitu
berupa pertanayaan yang akan dianalisis secara kualitatif dan
juga kuantitatif. Secara rinci kedua jenis kuesioner tersebut dapat
dikemukakan sebagai berikut:
a. Kuesioner Kajian Dengan Analisis Kuantitatif
Tabel. Matrik Pengumpulan Data
No Rumusan Masalah
Pengembangan Indikator Variabel Paremeter Ukur
1 Bagaimana karakteristik P4T tanah adat/ulayat dari aspek Penguasaan/pemilikan, penggunaan/pemanfaatan dan jenis hak atas tanah ?Delineasi Wilayahpenguasaanpengguanangeografis Administrasi)
A. Karakteristik P4T A-1. Penguasaan pemilikan ? Tanah adat/ulayat
Indidualisasi Tata cara perolehan hak dan kewajiban Subyek, Waktu, , sistem sewa, bagi hasil, garapan Peralihan/ Jual Beli, program pertanahan
Penuh/Utuh Tata cara perolehan hak dan kewajiban Subyek, Waktu, , sistem sewa, bagi hasil, garapan Peralihan/ Jual Beli, program pertanahan
Campuran Tata cara perolehan hak dan kewajiban Subyek, Waktu, , sistem sewa, bagi hasil, garapan Peralihan/ Jual Beli, program pertanahan
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 29
A-2 Penggunaan pemanfaatan ?
Individualisasi Mayoritas jenis penggunaan/pemanfaatan tanah (Permukiman, Sawah, Tanah kering, kebun, dsb)
Penuh/Utuh Mayoritas jenis penggunaan/pemanfaatan tanah (Permukiman, Sawah, Tanah kering, kebun, dsb),
Campuran Mayoritas jenis penggunaan/pemanfaatan tanah (Permukiman, Sawah, Tanah kering, kebun, dsb)
2 Kontribusi P4T masyarakat adat/ulayat thd kesejahteraan ?
Asset tanah Penguasaan Sistem sewa, bagi hasil, garapan, jual beli
Pemilikan Individu, Kolektif/Bersama, Campuran
Penggunaan Permukiman, sawah, tanah kering, kebun
Pemanfaatan Permukiman, sawah, tanah kering, kebun
Akses Sosekbud Jalan penghubung Kondisi jalan penghubung (jalan rusak, baik, dsb)
Pemasaran Pemasaran melalui koperasi, kelompok masyarakat, tengkulak, dsb.
Perbankan Terdapat bank yang menyalurkan kredit di pedesaan (BPR, BRI, dsb)
Produksi Produksi pemanfaatan tanah adat bagi masyarakat (padi, polowijo, karet, dsb)
Akses Kelembagaan
Organisasi usaha Organisasi usaha meliputi (Koperasi, UKM, dsb)
3 Rumusan pola P4T yang efektif dan ideal
Efektif Peraturan Peraturan yang ada telah dilaksanakan
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)30
Pelaksanaan Pelaksanaan peraturan sesuai dengan rumusan yang terdapat dalam ketentuan yang berlaku
Ideal Rumusan Rumusan memenuhi kaidah pembuatan peraturan yang baik
Perlindungan Melindungi kepentingan masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan
PETUNJUK PENGISIAN
Mohon Bapak/Ibu/Saudara untuk memberikan tanda silang (X)
pada kolom yang telah disediakan sesuai dengan pendapat atau
pilihan Bapak/Ibu/Sdr.
Keterangan Pilihan Jawaban
1 = STS (Sangat tidak Setuju) 3 = CS (Cukup
Setuju) 5 = SS (Sangat Setuju)
2 = TS (Tidak Setuju) 4 = S (Setuju)
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 31
PERNYATAAN MENGENAI FAKTOR FAKTOR YANG
MENENTUKAN PERCEPATAN PENDAFTARAN DAN
SERTIPIKASI TANAH PERTAMA KALI
No Item-Item Pernyataan Yang Mempercepat PILIHAN JAWABAN
A
Karakteristik P4T
STS TS CS S SSPenguasaan/pemilikan Tanah adat/ulayat (individu, utuh/kolektif, campuran).
1.
Pola penguasaan/pemilikan tanah adat/ulayat saat ini lebih mengaraah kepada individualisasi.
1 2 3 4 5
2.
Pola penguasaan/pemilikan tanah adat/ulayat saat ini lebih mengarah kepada kolektif/bersama secara utuh?
1 2 3 4 5
.3.
Pola penguasaan/pemilikan tanah adat/ulayat lebih mengarah kepada pola penguasaan yang bersifat campuran.
1 2 3 4 5
4.
Tata cara perolehan hak dan kewajiban Subyek penguasaan/pemil ikan yang bersifat individual dapat melalui sistem sewa, bagi hasil, garapan, Jual Beli, program pertanahan.
5.
Tata cara perolehan hak dan kewajiban Subyek penguasaan/pemil ikan yang bersifat utuh (kolektif/bersama) dapat melalui sistem sewa, bagi hasil, garapan, Jual Beli, program pertanahan.
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)32
6.
Tata cara perolehan hak dan kewajiban Subyek penguasaan/pemil ikan yang bersifat campuran dapat melalui sistem sewa, bagi hasil, garapan, Jual Beli, program pertanahan.
1 2 3 4 5
7.
Mayoritas jenis p e n g g u n a a n /pemanfaatan tanah yang bersifat individual untuk Permukiman, Sawah, Tanah kering, kebun, dsb.
8.
Mayoritas jenis p e n g g u n a a n /pemanfaatan tanah yang bersifat utuh/kolektif/bersama untuk Permukiman, Sawah, Tanah kering, kebun, dsb.
9.
Mayoritas jenis p e n g g u n a a n /pemanfaatan tanah yang bersifat campuran untuk Permukiman, Sawah, Tanah kering, kebun, dsb.
B.
Kontribusi P4T Masyarakat Adat/Ulayat Terhadap Kesejahteraan
STS TS CS S SSAset Tanah, Akses Sosekbud, Akases Kelembagaan terhadap kesejahteraan
5.
Kontribusi P4T terhadap kesejahteraan masyarakat ditentukan oleh Aset tanah yang dapat berupa sistem sewa, bagi hasil, garapan, jual beli.
1 2 3 4 5
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 33
6.
Kontribusi P4T terhadap k e s e j a h t a e r a a n masyarakat ditentukan oleh kepemilikan tanah adat/ulayat yang bersifat Individu, Kolektif/Bersama, Campuran.
1 2 3 4 5
7
P e n g g u n a a n /pemanfaatan tanah adat/ulayat terhadap k e s e j a h t e r a a n masyarakat dapat berupa Permukiman, sawah, tanah kering, kebun.
1 2 3 4 5
8.
Akses sosekbud terhadap kesejahteraan masyarakat ditentukan oleh faktor jalan penghubung, pemasaran, perbankan dan produksi.
1 2 3 4 5
9
Akses sosekbud terhadap kesejahteraan masyarakat juga ditentukan oleh faktor-faktor selain faktor jalan penghubung, pemasaran, perbankan dan produksi.
1 2 3 4 5
12
Akses kelembagaan terhadap kesejahteraan masyarakat dapat berupa koperasi, UKM dan organisasi usaha lainnya.
1 2 3 4 5
C.
RUMUSAN POLA P4T YANG EFEKTIF DAN IDEAL STS TS CS S SS
Efektif
1.Peraturan yang ada terkait dengan Pola P4T telah memadai dan telah dilaksanakan dengan baik
2.Pelaksanaan peraturan yang berkaitan dengan pola P4T tidak terjadi penyimpangan
1 2 3 4 5
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)34
3 1 2 3 4 5
STS TS CS S SSIdeal 1 2 3 4 5
1
Peraturan tentang Pola P4T memenuhi kaidah pembuatan peraturan perundang-undangan yang baik
2
Peraturan perundang-undangan tentang Pola P4T mampu memberikan perlindungan kepada masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya.
1 2 3 4 5
3 1 2 3 4 5
b. Kuesioner Dengan Metode Analisis Kualitatif
Format metode kuesioner dengan metode analisis kualitatif
dalam penelitian pola penguasaan, penggunaan, pemilikan dan
pemanfaatan tanah adat/ulayat, dapat diuraikan sesuai format
sebagai berikut:
DAFTAR PERTANYAAN
1. Identitas
a. Nama :
b. Jenis Kelamin :
c. Pekerjaan :
d. Umur :
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 35
e. Instansi :
f. Alamat :
2. Daftar Pertanyaan :
a. Apakah yang Bapak/Ibu/saudara ketahui tentang hak
atas tanah ulayat?
....................................................................................................
....................................................................................................
....................................................................................................
....................................................................................................
....................................................................................................
b. Permasalahan apa yang berkaitan dengan masalah hak
atas tanah ulayat yang sering kali terjadi? Apakah karena
pola penguasaan, penggunaan, pemilikan ataukah
pemanfaatan atas tanah ulayat?
....................................................................................................
....................................................................................................
....................................................................................................
....................................................................................................
....................................................................................................
c. Terhadap pilihan jawaban pada poin b yang dipilih
jelaskan alasan mengapa di Provinsi Bapak/Ibu/saudara
permasalahan tanah ulayat disebabkan oleh salah satu
faktor tersebut di atas?
....................................................................................................
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)36
....................................................................................................
....................................................................................................
....................................................................................................
....................................................................................................
d. Diantara keempat permasalahan yang sering muncul
mengenai tanah ulayat di daerah Bapak/Ibu/saudara.
Mana permasalahan yang sering kali terjadi, apakah
mengenai pola penguasaan, penggunaan, pemilikan
ataukah pemanfaatan atas tanah ulayat? Jawaban dapat
disusun berdasarkan skala yang sering muncul dengan
disertai apa penyebabnya?
....................................................................................................
....................................................................................................
....................................................................................................
....................................................................................................
....................................................................................................
e. Apakah masalah tanah ulayat di Provinsi/Kabupaten di
wilayah kerja Bapak/Ibu terkait dengan beberapa faktor
di bawah ini seperti: masalah ketimpangan yang meliputi
faktor:
a) Fisik (lereng, tanah, bahan tambang, hutan,
perkebunan)
b) Sosial (infrastruktur pendidikan, sanitasi, jalan,
listrik, akses ke pemerintahan)
c) Ekonomi (pemasaran, perbankan, sarana transportasi)
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 37
d) Faktor lainnya
.............................................................................................
.............................................................................................
.............................................................................................
.............................................................................................
.............................................................................................
f. Bagaimanakah interaksi antar wilayah yang
mempengaruhi masalah tanah ulayat di wilayah kerja
institusi Bapak/Ibu/saudara, apakah disebabkan oleh
beberapa faktor di bawah ini:
a) Masyarakat (profesi, pendidikan, kepadatan kep.
endudukan)
b) Komoditas (infrastruktur penyuluhan, inovasi
teknologi)
c) Ekologi (sumber air bersih, bencana alam, bahan
bakar)
d) Faktor-faktor lainnya
.............................................................................................
.............................................................................................
.............................................................................................
.............................................................................................
.............................................................................................
g. Apakah terdapat konflik/masalah tanah ulayat di wilayah
kerja Bapak/Ibu/saudara?
....................................................................................................
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)38
....................................................................................................
....................................................................................................
....................................................................................................
....................................................................................................
h. Apakah tanah ulayat yang menjadi faktor penyebab
konflik/aset yang dikuasai/dimiliki terkait dengan hal-
hal dibawah ini seperti:
a) Tanah (luas, lokasi, kesuburan, status dll)
b) Sosial-ekonomi (tenaga kerja,pendidikan, pekerjaan,
pendapatan dlll,)
c) Sosial Budaya (interaksi masyarakat, organisasi dll)
.............................................................................................
.............................................................................................
.............................................................................................
.............................................................................................
.............................................................................................
i. Apakah tanah ulayat yang dijadikan sebagai obyek
konflik merupakan tanah yang diperoleh/dimanfaatkan
untuk kepentingan di bawah ini atau lainnya :
a) Kepemerintahan
b) Aksesibilitas, jalan dsb
c) Sarana Pendidikan
d) Sarana Produksi, Inovasi Teknologi dan Pemasaran
e) Sarana Perbankan
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 39
f) Lainnya
.............................................................................................
.............................................................................................
.............................................................................................
.............................................................................................
.............................................................................................
j. Masalah/konflik tanah ulayat apakah yang sangat urgen
sekali untuk segera diselesaikan dan sebaliknya masalah/
konflik tanah apakah yang tidak terlalu penting untuk
segera diselesaikan?
....................................................................................................
....................................................................................................
....................................................................................................
....................................................................................................
....................................................................................................
k. Bagaimanakah cara masyarakat dalam menyelesaikan
konflik yang berkaitan dengan masalah tanah ulayat?
Apakah melalui cara musyawarah untuk mufakat,
mediasi ataukah melalui pengadilan?
....................................................................................................
....................................................................................................
....................................................................................................
....................................................................................................
....................................................................................................
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)40
l. Bagaimanakah peran tokoh masyarakat/adat dalam menyelesaikan konflik penguasaan, pengelolaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah ulayat yang terjadi di wilayah kerja institusi Bapak/Ibu?
....................................................................................................
....................................................................................................
....................................................................................................
....................................................................................................
....................................................................................................
m. Bagaimanakah peran Pemerintah Daerah di dalam menyelesaikan konflik penataan dan pemanfaatan tanah ulayat yang terjadi di wilayah kerja Bapak/Ibu?
....................................................................................................
....................................................................................................
....................................................................................................
....................................................................................................
....................................................................................................
n. Apakah terdapat Perda yang mengatur tentang tanah ulayat di Provinsi atau Kabupaten yang dijadikan landasan dalam pengelolaan, penguasaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah ulayat?
....................................................................................................
....................................................................................................
....................................................................................................
....................................................................................................
....................................................................................................
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 41
o. Bagaimanakah sebaiknya kebijakan yang seharusnya
diambil oleh Pemerintah baik pemerintah Pusat maupun
Pemerintah Daerah terhadap masalah yang berkaitan
dengan tanah ulayat?
....................................................................................................
....................................................................................................
....................................................................................................
....................................................................................................
....................................................................................................
3. Responden dan Nara Sumber
Responden yang akan diambil dalam survey adalah masyarakat,
instansi pemerintahan terkait dan stake holder terkait, dimana
sample akan diambil baik dari pusat maupun dari daerah yang telah
ditentukan. Dimana daerah yang akan diambil samplenya adalah :
• Provinsi Sumatera Barat;
• Provinsi sumatera Selatan;
• Provinsi Kalimantan Barat;
• Provinsi Bali;
• Provinsi Nusat tenggara Timur;
• Provinsi Papua.
Penentuan kota definitif akan didiskusikan lebih lanjut dengan
pengguna jasa, dimana usulan awal dari konsultan adalah
mengusulkan lokasi-lokasi.
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)42
D. Analisa Data
Analisis data sekunder dilakukan terhadap peraturan perundang-
undangan yang mempunyai korelasi dengan penguasaan, penggunaan,
pemilikan dan pemanfaatan tanah adat/ulayat. Dengan demikian
akan dapat diketahui sinkronisasi dan kontradiksi terhadap peraturan
yang terkait dengan tanah adat/ulayat dan bagaimana aplikasinya di
lapangan.
Sedangkan untuk data primer yang telah terkumpul melalui
observasi dan wawancara yang mendalam itu disaring terlebih dahulu,
baru kemudian dianalisis akan dianalisis dengan menggunakan untuk
mendiskripsikan terhadap masalah yang diteliti. Selanjutnya terhadap
data sekunder dan primer, juga dilakukan analisa data secara deskriptif
evaluatif dari studi kebijakan/peraturan dan hasil survey serta masukan
atau pendapat pakar instansi terkait dengan Pola Penguasaan,
Penggunaan, Pemilikan Dan Pemanfaatan Tanah Adat/Ulayat. Hasil
analisis data tersebut dibahas dengan bantuan teori-teori yang relevan
untuk mengantar pada kegiatan penyusunan model kebijakan yang
efektif.
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 43
Bab Empat
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Gambaran umum lokasi penelitian ini dengan mengacu kepada
ruang lingkup kegiatan penelitian ini yang dapat dibedakan kedalam
materi penelitian dan wilayah penelitian yang dijadikan sebagai sampel
terutama daerah-daerah yang masih aksis dalam kaitannya dengan
masalah tanah adat/ulayat.
1. Materi Kegiatan Penelitian
Materi kegiatan difokuskan pada eksplorasi mengenai
keberadaan pola P4T terhadap tanah adat/ulayat dan kontribusinya
terhadap kesejahteraan masyarakat, serta mengkaji bahan-bahan
untuk menyusun rumusan konsep pengembangan kebijakan pola
P4T yang lebih efektif dan ideal pada masa depan.
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)44
2. Wilayah Penelitian
Wilayah penelitian difokuskan di 6 (enam) daerah/provinsi
sebagai sampel yang mempunyai masyarakat hukum adat/ulayat
cukup kuat yang dipilih secara purposive random sampling, yaitu
Provinsi Sumatera Barat (Sumbar), Sumatera Selatan (Sumsel),
Kalimantan Barat (Kalbar), Bali, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan
Provinsi Papua.
1. Sumatera SelatanLambang “Bersatu Teguh”
Peta Lokasi Sumatera Selatan
KoordinatDasar hukumTanggal pentingIbu kota PalembangGubernur Alex NoerdinLuas 113.339 km²Penduduk 6.275.945KepadatanKabupaten 11Kota 4Kecamatan 147Kelurahan/Desa 2693Suku Melayu (31%), Jawa (27%),
Komering (6%), Banyuasin (3%), Sunda (2%)[1]
Agama Islam (96%), Kristen (1,7%), Buddha (1,8%), Lain-lain (0,5%)
Bahasa Bahasa IndonesiaZona waktu WIB
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 45
Sumatera Selatan adalah salah satu provinsi Indonesia
yang terletak di bagian selatan Pulau Sumatera. Provinsi ini
beribukota di Palembang. Secara geografis provinsi Sumatera
Selatan berbatasan dengan provinsi Jambi di utara, provinsi Kep.
Bangka-Belitung di timur, provinsi Lampung di selatan, dan
Provinsi Bengkulu di barat. Provinsi ini kaya akan sumber daya
alam, seperti minyak bumi, gas alam, dan batu bara. Selain itu ibu
kota provinsi Sumatera Selatan, Palembang, telah terkenal sejak
dahulu karena sempat menjadi ibu kota dari Kerajaan Sriwijaya.
Di samping itu, provinsi ini banyak memiliki tujuan wisata
yang menarik untuk dikunjungi seperti Sungai Musi, Jembatan
Ampera, Pulau Kemaro, Danau Ranau, Kota Pagaralam, dll.
Karena sejak dahulu telah menjadi pusat perdagangan, secara
tidak langsung ikut mempengaruhi kebudayaan masyarakatnya.
Makanan khas dari provinsi ini sangat beragam seperti pempek,
model, tekwan, pindang patin, pindang tulang, sambal jokjok,
berengkes, dan tempoyak.
a. Sejarah
Provinsi Sumatera Selatan sejak berabad yang lalu dikenal
juga dengan sebutan Bumi Sriwijaya; pada abad ke-7 hingga
abad ke-12 Masehi wilayah ini merupakan pusat kerajaan
Sriwijaya yang juga terkenal dengan kerajaan maritim terbesar
dan terkuat di Nusantara. Gaung dan pengaruhnya bahkan
sampai ke Madagaskar di Benua Afrika. Sejak abad ke-13
sampai abad ke-14, wilayah ini berada di bawah kekuasaan
Majapahit. Selanjutnya wilayah ini pernah menjadi daerah
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)46
tak bertuan dan bersarangnya bajak laut dari Mancanegara
terutama dari negeri China.
Pada awal abad ke-15 berdirilah Kesultanan Palembang
yang berkuasa sampai datangnya Kolonialisme Barat, lalu
disusul oleh Jepang. Ketika masih berjaya, kerajaan Sriwijaya
juga menjadikan Palembang sebagai Kota Kerajaan.
Menurut Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan pada
1926 menyebutkan, pemukiman yang bernama Sriwijaya itu
didirikan pada tanggal 17 Juni 683 Masehi. Tanggal tersebut
kemudian menjadi hari jadi Kota Palembang yang diperingati
setiap tahunnya.
b. Kabupaten dan KotaNo. Kabupaten/Kota Ibu kota1 Kabupaten Banyuasin Pangkalan Balai2 Kabupaten Empat Lawang Tebing Tinggi3 Kabupaten Lahat Lahat4 Kabupaten Muara Enim Muara Enim5 Kabupaten Musi Banyuasin Sekayu
6 Kabupaten Musi Rawas Muara Beliti Baru
7 Kabupaten Ogan Ilir Indralaya
8 Kabupaten Ogan Komering Ilir Kota Kayu Agung
9 Kabupaten Ogan Komering Ulu Baturaja10 Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan Muaradua11 Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur Martapura12 Kota Lubuklinggau -13 Kota Pagar Alam -14 Kota Palembang -15 Kota Prabumulih -
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 47
c. ProfilProvinsiSumateraSelatan
Sumatera Selatan terletak antar 1-4 derajat LS dan 102-
104 derajat BT. Wilayahnya berbatasan dengan Prop. Jambi
di sebelah utara, Prop. Lampung di sebelah Selatan, Prop.
Bangka Belitung di sebelah Timur dan Prop. Bengkulu di
sebelah Barat. Sumatera Selatan mempunyai luas wilayah
87.017 Km2( 8.701.742 Ha). terdiri dari 10 kabupaten
dan 4 Kota, dengan jumlah penduduk sebesar 6,6 juta
jiwa. Sebagian besar penduduk berprofesi sebagai petani
(perkebunan manupun tanaman bahan makanan).
Tabel
Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk Sumatera Selatan
No Kota/ Kabupaten Luas (ha) Penduduk1 Palembang 37.403 1.304.2112 Prabumulih 42.162 128.2073 Pagaralam 57.916 113.7524 Lubuklinggau 41.980 171.2355 Musi Banyuasin 1.447.700 455.7396 Banyuasin 1.214.274 712.8137 Ogan Komering Ilir
(OKI)
1.957.141 1.000.152
8 Ogan Ilir * *9 Ogan Komering Ulu
(OKU)
1.617.665 1.112.854
10 OKU Timur * *11 OKU Selatan * *12 Musi Rawas 1.213.457 465.68213 Muara Enim 88.794 621.87614 Lahat 663.250 541.895
Jumlah 8.701.742 6.628.416
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)48
Tingkat kesejahteraan penduduk yang tercermin melalui
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tercatat sebesar
66,00 atau berada pada rangking 16 dari seluruh Provinsi
di Indonesia. IPM tertinggi terdapat di Kota Palembang,
yaitu sebesar 71,20 dan terendah di Kabupaten Musi Rawas,
sebesar 62,00. Dari sisi ketenagakerjaan, sebagian besar
penduduk Sumsel (63,53 persen) bekerja di sektor pertanian,
terutama sub sektor tanaman bahan makanan dan sub sektor
perkebunan. Sementara itu, angka pengangguran berada
pada kisaran 9-10 persen.
2. Kalimantan Barat
Lambang“Akcaya”
(Bahasa Indonesia: “Tak Kunjung Binasa”)
Peta Lokasi Sumatera Selatan
KoordinatDasar hukumTanggal penting 1 Januari 1957 (hari jadi)Ibu kota PontianakGubernur Drs. Cornelis MHLuas 146.807 km²Penduduk 4.073.304 (sensus 2004)KepadatanKabupaten 10Kota 2Kecamatan 136
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 49
Kelurahan/Desa 1445Suku Dayak (35%) Sambas (12%), Tionghoa (9%),
Jawa (9%), Kendayan (8%), Melayu (8%)[1]
Agama Islam (57,6%), Katolik (24,1%), Protestan (10%), Buddha (6,4%), Hindu (0,2%), lain-lain (1,7%)
Bahasa Bahasa Indonesia, Bahasa Dayak, Bahasa melayu, Bahasa Tionghoa
Zona waktu WIB
Kalimantan Barat adalah sebuah provinsi di Indonesia yang
terletak di Pulau Kalimantan, dan beribukotakan Pontianak.
Secara geografis, Provinsi Kalimantan Barat terletak di antara
108º BT hingga 114º BT, dan antara 2º6’ LU hingga 3º5’ LS. Luas
wilayah Provinsi Kalimantan Barat adalah 146.807 km² (7,53%
luas Indonesia). Merupakan provinsi terluas keempat setelah
Papua, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah.
Daerah Kalimantan Barat termasuk salah satu daerah yang
dapat dijuluki propinsi “Seribu Sungai”. Julukan ini selaras
dengan kondisi geografis yang mempunyai ratusan sungai besar
dan kecil yang diantaranya dapat dan sering dilayari. Beberapa
sungai besar sampai saat ini masih merupakan urat nadi dan jalur
utama untuk angkutan daerah pedalaman, walaupun prasarana
jalan darat telah dapat menjangkau sebagian besar kecamatan.
Walaupun sebagian kecil wilayah Kalbar merupakan perairan
laut, akan tetapi Kalbar memiliki puluhan pulau besar dan kecil
(sebagian tidak berpenghuni) yang tersebar sepanjang Selat
Karimata dan Laut Natuna yang berbatasan dengan wilayah
Provinsi Riau. Jumlah penduduk di Provinsi Kalimantan Barat
menurut sensus tahun 2000 berjumlah 4.073.430 jiwa (1,85%
penduduk Indonesia).
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)50
a. Sejarah
Pada zaman pemerintahan Hindia Belanda berdasarkan
Keputusan Gubernur Jenderal yang dimuat dalam STB
1938 No. 352, antara lain mengatur dan menetapkan bahwa
ibukota wilayah administratif Gouvernement Borneo
berkedudukan di Banjarmasin dibagi atas 2 Residentir,
salah satu diantaranya adalah Residentie Westerafdeeling
Van Borneo dengan ibukota Pontianak yang dipimpin oleh
seorang Residen.
Pada tanggal 1 Januari 1957 Kalimantan Barat resmi
menjadi provinsi yang berdiri sendiri di Pulau Kalimantan,
berdasarkan Undang-undang Nomor 25 tahun 1956 tanggal
7 Desember 1956. Undang-undang tersebut juga menjadi
dasar pembentukan dua provinsi lainnya di pulau terbesar
di Nusantara itu. Kedua provinsi itu adalah Kalimantan
Selatan dan Kalimantan Timur.
b. Kondisi Alam
Iklim di kalimantan barat beriklim tropik basah, curah
hujan merata sepanjang tahun dengan puncak hujan terjadi
pada bulan Januari dan Oktober suhu udara rata-rata antara
26,0 s/d 27,0.kelembapan rata-tara antara 80% s/d 90%
c. Sosial Kemasyarakatan
Suku Bangsa
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 51
Daerah Kalimantan Barat dihuni oleh aneka ragam suku
bangsa. Suku bangsa mayoritasnya yaitu Dayak,Melayu
dan Tionghoa, yang jumlahnya melebihi 90% penduduk
Kalimantan Barat. Selain itu, terdapat juga suku-suku bangsa
lain, antara lain Bugis, Jawa, Madura, Minangkabau, Sunda,
Batak, dan lain-lain yang jumlahnya dibawah 10%.
• Suku Dayak : (1) Rumpun Iban, (2) Rumpun Darat, (3)
Rumpun Ot Danum, (4) Rumpun Punan, (5) Rumpun
Apo Kayan, terdiri atas :
1. Suku Iban
2. Suku Bidayuh
3. Suku Seberuang
4. Suku Mualang
5. Suku Kanayatn
6. Suku Mali
7. Suku Sekujam
8. Suku Sekubang
9. Suku Kantuk
10. Suku Ketungau
11. Suku Desa
12. Suku Hovongan
13. Suku Uheng Kereho
14. Suku Babak
15. Suku Badat
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)52
16. Suku Barai
17. Suku Bangau
18. Suku Bukat
19. Suku Galik
20. Suku Gun
21. Suku Jangkang
22. Suku Kalis
23. Suku Kayan
24. Suku Kayanan
25. Suku Kede
26. Suku Keramai
27. Suku Klemantan
28. Suku Pos
29. Suku Punti
30. Suku Randuk
31. Suku Ribun
32. Suku Cempedek
33. Suku Dalam
34. Suku Darok
35. Suku Kopak
36. Suku Koyon
37. Suku Lara
38. Suku Senunang
39. Suku Sisang
40. Suku Sintang
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 53
41. Suku Suhaid
42. Suku Sungkung
43. Suku Limbai
44. Suku Maloh
45. Suku Mayau
46. Suku Mentebak
47. Suku Menyangka
48. Suku Sanggau
49. Suku Sani
50. Suku Sekajang
51. Suku Selayang
52. Suku Selimpat
53. Suku Dusun
54. Suku Embaloh
55. Suku Empayuh
56. Suku Engkarong
57. Suku Ensanang
58. Suku Menyanya
59. Suku Merau
60. Suku Muara
61. Suku Muduh
62. Suku Muluk
63. Suku Ngabang
64. Suku Ngalampan
65. Suku Ngamukit
66. Suku Nganayat
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)54
67. Suku Panu
68. Suku Pengkedang
69. Suku Pompang
70. Suku Senangkan
71. Suku Suruh
72. Suku Tabuas
73. Suku Taman
74. Suku Tingui
• Melayu lokal/Senganan dan suku lainnya
1. Suku Melayu
2. Suku Sambas
3. Suku Banjar
4. Suku Pesaguan
5. Suku Bugis
6. Suku Jawa
7. Suku Madura
8. Suku Minang
9. Suku Batak
10. dan lain-lain
• Tionghoa
1. Hakka
2. Tiochiu
3. dan lain-lain
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 55
d. Bahasa
Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang secara umum
dipakai oleh masyarakat di Kalimantan Barat. Selain itu,
terdapat pula bahasa-bahasa daerah yang juga banyak
dipakai seperti Bahasa Melayu, beragam jenis Bahasa Dayak,
Menurut penelitian Institut Dayakologi terdapat 188 dialek
yang dituturkan oleh suku Dayak dan Bahasa Tionghoa
seperti Tiochiu dan Khek/Hakka. Bahasa Melayu di kalbar
terdiri atas beberapa jenis, antara lain Bahasa Melayu
Pontianak, Bahasa Melayu Sanggau dan Bahasa Melayu
Sambas. Bahasa Melayu Pontianak sendiri memiliki logat
yang hampir mirip dengan bahas Melayu Malaysia dan
Melayu Riau.
e. Agama
Mayoritas penduduk Kalimantan Barat memeluk agama
Islam (57,6%),Katolik (24,1%), Protestan (10%), Buddha
(6,4%), Hindu (0,2%), dan lain-lain (1,7%).
f. Pendidikan
Perguruan Tinggi/Universitas di Kalimantan Barat
1. Universitas Tanjungpura
2. Politeknik Negeri Pontianak
3. STAIN Pontianak
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)56
4. STMIK Pontianak
5. Politeknik Kesehatan
6. STKIP-PGRI Pontianak
7. Universitas Muhammadiyah
8. ASMI Pontianak
9. ABA Pontianak
10. Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Widya Dharma
11. Akademi Sekretari dan Manajemen Widya Dharma
12. Akademi Bahasa Asing Widya Dharma
13. Akademi Manajemen Informatika dan Komputer Widya
Dharma
14. Politeknik Tonggak Equator (POLTEQ)
15. STIE Pontianak
16. Universitas Pancabakti
17. STIH Singkawang
18. Universitas Kapuas, Sintang
19. Unit Program Belajar Jarak Jauh Universitas Terbuka
g. Pemerintahan
Ibu kota Kalimantan Barat adalah kota Pontianak
h. Kabupaten dan KotaNo. Kabupaten/Kota Ibu kota1 Kabupaten Bengkayang Bengkayang2 Kabupaten Kapuas Hulu Putussibau3 Kabupaten Kayong Utara Sukadana4 Kabupaten Ketapang Ketapang
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 57
5 Kabupaten Kubu Raya Sungai Raya6 Kabupaten Landak Ngabang7 Kabupaten Melawi Nanga Pinoh8 Kabupaten Pontianak Mempawah9 Kabupaten Sambas Sambas
10 Kabupaten Sanggau Batang Tarang11 Kabupaten Sekadau Sekadau12 Kabupaten Sintang Sintang13 Kota Pontianak -14 Kota Singkawang -
3. Nusa Tenggara Timur
Lambang Peta Lokasi Sumatera Selatan
KoordinatDasar hukum UU 64/1958Tanggal pentingIbu kota KupangGubernur Frans Lebu RayaLuas 48.718,10 km²Penduduk 4.230.028 (2007)Kepadatan 87Kabupaten 15Kota 1Kecamatan 186Kelurahan/Desa 2.650Suku Atoni atau Dawan (21%), Manggarai (15%),
Sumba (13%), Lamaholot (5%), Belu (6%), Rote (5%), Lio (4%)[1]
Agama Katolik (53,9%), Protestan (33,8%), Islam (8,8%), Lainnya (3,5%)
Bahasa Bahasa IndonesiaZona waktu WITALagu daerah Moree
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)58
Nusa Tenggara Timur adalah sebuah provinsi Indonesia yang terletak di tenggara Indonesia. Provinsi ini terdiri dari beberapa pulau, antara lain Flores, Sumba, Timor, Alor, Lembata, Rote, Sabu, Adonara, Solor, Komodo dan Palue. Ibu kotanya terletak di Kupang, Timor Barat. Provinsi ini terdiri dari kurang lebih 550 pulau; tiga pulau utama di NTT adalah Flores, Sumba, dan Timor Barat. Provinsi ini menempati bagian barat pulau Timor. Sementara bagian timur pulau tersebut adalah bekas provinsi Indonesia yang ke-27, yaitu Timor Timur, yang merdeka menjadi negara Timor Leste pada tahun 2002.
a. Arti lambang
Berbentuk perisai dengan sudut lima dengan maksud, selain melambangkan makna perlindungan rakyat juga melambangkan Pancasila. Dalam perisai terBerkas: bintang, komodo, padi dan kapas, tombak dan pohon Beringin. Bintang melambangkan keagungan Tuhan yang Maha Esa, komodo (buaya darat) satu-satunya reptil prasejarah yang hingga kini masih lestari. Binatang purba ini merupakan reptil raksasa yang oleh dunia dinyatakan dilindungi karena jenis hewan ini hanya terdapat di NTT, tepatnya di pulau komodo. Banyak wisatawan dari seluruh dunia datang ke pulau ini hanya untuk melihat komodo. Padi-kapas melambangkan kemakmuran. Tombak melambangkan keagungan dan kejayaan. Sedangkan pohon beringin melambangkan persatuan dan kesatuan yang tetap terpelihara. Hari terbentuknya provinsi NTT dilukiskan melalui jumlah padi (14) dan tahun 1958 tertera langsung pada sudut bawah
lambang.
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 59
b. Pemerintahan
Kabupaten dan KotaNo. Kabupaten/Kota Ibu kota1 Kabupaten Kupang Kupang2 Kabupaten Timor Tengah Selatan Soe3 Kabupaten Timor Tengah Utara Kefamenanu4 Kabupaten Belu Atambua5 Kabupaten Alor Kalabahi6 Kabupaten Flores Timur Larantuka7 Kabupaten Sikka Maumere8 Kabupaten Ende Ende9 Kabupaten Ngada Bajawa
10 Kabupaten Manggarai Ruteng11 Kabupaten Sumba Timur Waingapu12 Kabupaten Sumba Barat Waikabubak13 Kabupaten Lembata Lewoleba14 Kabupaten Rote Ndao Baa15 Kabupaten Manggarai Barat Labuan Bajo16 Kabupaten Nagekeo Mbay17 Kabupaten Sumba Tengah Waibakul18 Kabupaten Sumba Barat Daya Tambolaka19 Kabupaten Manggarai Timur Borong20 Kabupaten Sabu Raijua Seba21 Kota Kupang Kupang
PROFIL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)60
c. Letak dan Luas Wilayah
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) terletak di selatan
katulistiwa pada posisi 8” – 12” Lintang Selatan dan 118” –
125” Bujur Timur.
d. Batas-batas wilayah
• Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Flores
• Sebelah Selatan dengan Samudera Hindia
• Sebelah Timur dengan Negara Timor Leste
• Sebelah Barat dengan Provinsi Nusa Tenggara Barat.
NTT merupakan wilayah kepulauan yang
terdiri dari 566 pulau, 246 pulau diantaranya sudah
mempunyai nama dan sisanya sampai saat ini belum
mempunyai nama. Diantara 246 pulau yang sudah
bernama terdapat 4 pulau besar: Flores, Sumba, Timor
dan Alor (FLOBAMORA) dan pulau-pulau kecil antara
lain: Adonara, Babi, Lomblen, Pamana Besar, Panga
Batang, Parmahan, Rusah, Samhila, Solor (masuk
wilayah Kabupaten Flotim/ Lembata), Pulau Batang,
Kisu, Lapang, Pura, Rusa, Trweng (Kabupaten Alor),
Pulau Dana, Doo, Landu Manifon, Manuk, Pamana,
Raijna, Rote, Sarvu, Semau (Kabupaten Kupang/ Rote
Ndao), Pulau Loren, Komodo, Rinca, Sebabi Sebayur
Kecil, Sebayur Besar Serayu Besar (Wilayah Kabupaten
Manggarai), Pulau Untelue (Kabupaten Ngada), Pulau
Halura (Kabupaten Sumba Timur, dll. Dari seluruh
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 61
pulau yang ada, 46 pulau telah berpenghuni sedangkan
sisanya belum berpenghuni. Terdapat tiga pulau besar,
yaitu pulau Flores, Sumba dan Timor, selebihnya adalah
pulau-pulau kecil yang letaknya tersebar, komoditas
yang dimiliki sangat terbatas dan sangat dipengaruhi
oleh iklim. Luas wilayah daratan 47.349,9 km2 atau
2,49% luas Indonesia dan luas wilayah perairan ± 200.000
km2 diluar perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
(ZEEI).
Secara rinci luas wilayah menurut Kabupaten/ Kota
adalah sebagai berikut:
Hampir semua pulau di wilayah NTT terdiri dari
pegunungan dan perbukitan kapur. Dari sejumlah
gunung yang ada terdapat gunung berapi yang masih
aktif. Di pulau Flores, Sumba dan Timor terdapat
kawasan padang rumput (savana) dan stepa yang
luas. Pada beberapa kawasan padang rumput tersebut
dipotong oleh aliran sungai-sungai.
d. Jumlah Penduduk
Berikut ini adalah daftar jumlah penduduk yang ada pada
masing-masing kabupaten/ kota seluruh NTT berdasrkan
hasil registrasi penduduk tahun 1999 yaitu :
KABUPATEN/ KOTA Jumlah (orang)- Sumba Barat 399.580- Sumba Timur 203.525- Kupang 337.406- TTS 405.993
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)62
- TTU 197.174- Belu 352.136- Alor 170.965- Lembata 99.458- Flores Timur 218.257- Sikka 280.841- Ende 241.826- Ngada 245.169- Manggarai 487.192- Kota Kupang 258.104- Rote Ndao 104.899- Manggarai Barat 186.209
Nusa Tenggara Timur 4.188.774
KABUPATEN
e. Kondisi Iklim
Wilayah Nusa Tenggara Timur beriklim kering yang dipengaruhi oleh angin musim. Periode musim kemarau lebih panjang, yaitu 7 bulan (Mei sampai dengan Nopember) sedangkan musim hujan hanya 5 bulan (Desember sampai dengan April). Suhu udara rata-rata 27,6 C, suhu maksimum rata-rata 290 C, dan suhu minimum rata-rata 26,1 C.
f. Keadaan Tanah
Apabila dilihat dari topografinya, maka wilayah NTT dapat dibagi atas 5 bagian besar, yaitu :
• Agak berombak dengan kemiringan 3-16 %.
• Agak bergelombang dengan kemiringan 17-26 %.
• Bergelombang dengan kemiringan 27-50 %.
• Berbukuti-bukit bergunung dengan kemiringan lebih besar dari 50 %.
• Dataran banjir dengan kemiringan 0-30 %.
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 63
Keadaan topografi demikian mempunyai pengaruh
pula terhadap pola kehidupan penduduk, antara lain pola
pemukiman digunung-gunung, sehingga terdapat variasi
adat dan tipologi kehidupan yang sangat besar antara suatu
daerah dengan daerah lainnya.
4. Sumatera Barat
Lambang “Tuah Sakato”(Bahasa Minangkabau: Seia Sekata)
Peta Lokasi Sumatera Selatan
Koordinat 0°U-102° LS, 98°-102° BTDasar hukumTanggal pentingIbu kota PadangGubernur Gamawan Fauzi
Wakil: Marlis RahmanLuas 42.297,30 km²
Perairan 2,59%Penduduk 4.400.000 (2002)Kepadatan 104/km²Kabupaten 12Kota 7Kecamatan 147Kelurahan/Desa 877Suku Minangkabau (88%), Batak (4%), Jawa (4%),
Mentawai (1%)[1]
Agama Islam (98%), Kristen (1,6%), Hindu (0,0032%), Buddha (0,26%)
Bahasa Bahasa Minangkabau, Bahasa Melayu/ Bahasa Indonesia
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)64
Zona waktu WIBLagu daerah Ayam Den Lapeh, Kampuang Nan Jauah di
Mato, Kambanglah Bungo, Minangkabau, Bareh Solok, Tinggalah Kampuang.
Sumatera Barat adalah sebuah provinsi yang terletak di
pulau Sumatra, Indonesia. Provinsi ini adalah provinsi terluas
kesebelas di Indonesia.
a. Kondisi dan sumber daya alam
Geografi
Danau Maninjau, salah satu danau di Sumatera Barat
Sumatera Barat berada di bagian barat tengah pulau
Sumatera dengan luas 42.297,30 km². Provinsi ini memiliki
dataran rendah di pantai barat, serta dataran tinggi vulkanik
yang dibentuk Bukit Barisan yang membentang dari barat
laut ke tenggara. Kepulauan Mentawai yang terletak di
Samudera Hindia termasuk dalam provinsi ini. Garis pantai
Sumatera Barat seluruhnya bersentuhan dengan Samudera
Hindia sepanjang 375 km. Danau yang berada di Sumatera
Barat adalah Maninjau (99,5 km²), Singkarak (130,1 km²),
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 65
Diatas (31,5 km²), Dibawah (Dibaruh) (14,0 km²), Talang (5,0
km²).
Beberapa sungai besar di pulau Sumatera berhulu
di provinsi ini, yaitu Sungai Siak, Sungai Rokan, Sungai
Inderagiri (disebut sebagai Batang Kuantan di bagian
hulunya), Sungai Kampar dan Batang Hari. Semua sungai
ini bermuara di pantai timur Sumatera, di provinsi Riau dan
Jambi. Sungai-sungai yang bermuara di pantai barat pendek-
pendek. Beberapa di antaranya adalah Batang Anai, Batang
Arau, dan Batang Tarusan. Gunung-gunung di Sumatera
Barat adalah Marapi (2.891 m), Sago (2.271 m), Singgalang
(2.877 m), Tandikat (2.438 m), Talakmau (2.912 m), Talang
(2.572 m).
b. Keanekaragaman hayati
Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di
Indonesia yang kaya dengan sumber keanekaragaman
hayati. Sebagian besar wilayahnya masih merupakan hutan
alami dan dilindungi. Dalam hutan tropis di Sumatera Barat
dapat dijumpai berbagai spesies langka, misalnya: Rafflesia
arnoldii (bunga terbesar di dunia), Harimau Sumatra,
siamang, tapir, rusa, beruang, dan berbagai jenis burung dan
kupu-kupu.=poiu.
Terdapat dua Taman Nasional di provinsi ini: Taman
Nasional Siberut yang terdapat di Pulau Siberut (Kabupaten
Mentawai) dan Taman Nasional Kerinci Seblat. Taman
Nasional terakhir ini wilayahnya membentang di empat
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)66
provinsi: Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, dan Sumatra
Selatan. Selain kedua Taman Nasional tersebut masih ada
beberapa cagar alam lainnya, yaitu Cagar Alam Rimbo Panti,
Cagar Alam Lembah Anai, Cagar Alam Batang Palupuh,
Cagar Alam Lembah Harau, Taman Raya Bung Hatta, dan
Cagar Alam Beringin Sakti.
c. Sumber daya alam
Batubara, Batu besi, Batu galena, Timah hitam, Seng,
Manganase, Emas, Batu kapur (Semen), Kelapa sawit,
Perikanan, Kakao.
d. Suku bangsa
Mayoritas penduduk Sumatera Barat merupakan suku
Minangkabau. Di daerah Pasaman selain suku Minang
berdiam pula suku Batak Mandailing. Suku Mentawai
terdapat di Kepulauan Mentawai.
e. Bahasa
Bahasa yang digunakan dalam keseharian ialah bahasa
daerah yaitu Bahasa Minangkabau yang memiliki beberapa
dialek, seperti dialek Bukittinggi, dialek Pariaman, dialek
Pesisir Selatan dan dialek Payakumbuh. Di daerah Pasaman
yang berbatasan dengan Sumatera Utara, dituturkan juga
Bahasa Batak dialek Mandailing, yang biasanya digunakan
suku Batak Mandailing. Sementara itu di daerah Mentawai
yang berupa kepulauan dan terletak beberapa puluh
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 67
kilometer lepas pantai Sumatra Barat, bahasa yang digunakan
adalah Bahasa Mentawai.
f. Agama
Mayoritas penduduk Sumatra Barat beragama Islam.
Selain itu ada juga yang beragama Kristen di Kepulauan
Mentawai, serta Hindu dan Buddha yang pada umumnya
adalah para pendatang.
g. Pemerintahan
Daftar kabupaten dan kotaNo. Kabupaten/Kota Ibu kota1 Kabupaten Agam Lubuk Basung2 Kabupaten Dharmasraya Pulau Punjung
3 Kabupaten Kepulauan Mentawai Tuapejat
4 Kabupaten Lima Puluh Kota Sarilamak5 Kabupaten Padang Pariaman Parit Malintang6 Kabupaten Pasaman Lubuk Sikaping7 Kabupaten Pasaman Barat Simpang Empat8 Kabupaten Pesisir Selatan Painan9 Kabupaten Sijunjung Muaro Sijunjung
10 Kabupaten Solok Arosuka
11 Kabupaten Solok Selatan Padang Aro, Solok Selatan
12 Kabupaten Tanah Datar Batusangkar13 Kota Bukittinggi -14 Kota Padang -15 Kota Padangpanjang -16 Kota Pariaman -17 Kota Payakumbuh -18 Kota Sawahlunto -19 Kota Solok -
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)68
PROFIL PROVINSI SUMATERA BARAT
Provinsi Sumatera Barat secara geografis terletak antara 0,45 LU dan 3,30 LS serta antara 98,36 dan 101,53 BT. Daerah ini diapit oleh Samudera Indonesia serta empat provinsi lain, yaitu Sumatera Utara, Riau, Jambi dan Bengkulu. Provinsi Sumatera Barat terdiri dari 12 Kabupaten dan 7 kota dengan luas daratan sekitar 42.229,64 km2.
Jumlah penduduk Propinsi Sumatera Barat pada tahun 2004 sebanyak 4.528.242 jiwa. Berdasarkan data Kabupaten dan kota di Propinsi Sumatera Barat, jumlah penduduk terbanyak terdapat di kota Padang, yaitu 784.740 jiwa dan terendah di kota Padang Panjang, yaitu 44.699 jiwa.
Masyarakat Sumatera Barat sebagian besar terdiri dari suku Minangkabau dan penyandang budaya serta adat Minangkabau. Dalam bidang budaya, sinergi antara nilai-nilai adat dan agama, serta dengan nilai-nilai modern yang universal yang dilandasi oleh ilmu dan teknologi yang dikenal dengan ungkapan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Motto Sumatera Barat adalah “Tuah Sakato” yang berarti sepakat untuk melaksanakan hasil mufakat/musyawarah.
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 69
5. Provinsi Bali
Lambang “Bali Dwipa Jaya”(Bahasa Kawi: “Pulau Bali Jaya”)
Peta Lokasi
Koordinat {{{koordinat}}}Dasar hukum {{{dasar hukum}}}Tanggal penting 14 Agustus 1959 (hari jadi)Ibu kota Denpasar (dahulu Singaraja)Gubernur Komjen Pol (Purn) I Made Mangku Pastika (2008-
2013)Luas 5.561 km²Penduduk 4.500.000 (+/-)Kepadatan 800 /km²Kabupaten 8Kota 1Kecamatan {{{kecamatan}}}Kelurahan/Desa {{{kelurahan}}}Suku Bali (89%), Jawa (7%), Baliaga (1%), Madura (1%)[1]
Agama Hindu (92,3%), Islam (5,7%), Lainnya (2%)Bahasa Bahasa Bali, Bahasa Indonesia, Bahasa Jawa, Bahasa
Sasak, Bahasa Madura, dll.Zona waktu WITA
Bali adalah sebuah pulau di Indonesia, sekaligus menjadi salah satu
provinsi Indonesia. Bali terletak di antara Pulau Jawa dan Pulau Lombok.
Ibukota provinsinya ialah Denpasar, yang terletak di bagian selatan
pulau ini. Mayoritas penduduk Bali adalah pemeluk agama Hindu.
Di dunia, Bali terkenal sebagai tujuan pariwisata dengan keunikan
berbagai hasil seni-budayanya, khususnya bagi para wisatawan Jepang
dan Australia. Bali juga dikenal sebagai Pulau Dewata.
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)70
a. Geografi
Pulau Bali adalah bagian dari Kepulauan Sunda Kecil sepanjang
153 km dan selebar 112 km sekitar 3,2 km dari Pulau Jawa.
Secara astronomis, Bali terletak di 8°25′23″ Lintang Selatan dan
115°14′55″ Lintang Timur yang mebuatnya beriklim tropis seperti
bagian Indonesia yang lain. Gunung Agung adalah titik tertinggi
di Bali setinggi 3.148 m. Gunung berapi ini terakhir meletus pada
Maret 1963. Gunung Batur juga salah satu gunung yang ada di
Bali. Sekitar 30.000 tahun yang lalu, Gunung Batur meletus dan
menghasilkan bencana yang dahsyat di bumi. Berbeda dengan di
bagian utara, bagian selatan Bali adalah dataran rendah yang dialiri
sungai-sungai.
Berdasarkan relief dan topografi, di tengah-tengah Pulau Bali
terbentang pegunungan yang memanjang dari barat ke timur dan
diantara pegunungan tersebut terdapat gugusan gunung berapi yaitu
Gunung Batur dan Gunung Agung serta gunung yang tidak berapi
yaitu Gunung Merbuk, Gunung Patas, dan Gunung Seraya. Adanya
pegunungan tersebut menyebabkan Daerah Bali secara Geografis
terbagi menjadi 2 (dua) bagian yang tidak sama yaitu Bali Utara
dengan dataran rendah yang sempit dan kurang landai, dan Bali
Selatan dengan dataran rendah yang luas dan landai. Kemiringan
lahan Pulau Bali terdiri dari lahan datar (0-2%) seluas 122.652 ha,
lahan bergelombang (2-15%) seluas 118.339 ha, lahan curam (15-
40%) seluas 190.486 ha, dan lahan sangat curam (>40%) seluas
132.189 ha. Provinsi Bali memiliki 4 (empat) buah danau yang
berlokasi di daerah pegunungan yaitu : Danau Beratan, Buyan,
Tamblingan dan Danau Batur.
Ibu kota Bali adalah Denpasar. Tempat-tempat penting lainnya
adalah Ubud sebagai pusat seni terletak di Kabupaten Gianyar;
sedangkan Kuta, Sanur, Seminyak, Jimbaran dan Nusa Dua adalah
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 71
beberapa tempat yang menjadi tujuan pariwisata, baik wisata
pantai maupun tempat peristirahatan. Luas wilayah Provinsi Bali
adalah 5.636,66 km2 atau 0,29% luas wilayah Republik Indonesia.
Secara administratif Provinsi Bali terbagi atas 9 kabupaten/kota, 55
kecamatan dan 701 desa/kelurahan.
b. Sejarah
Sawah di sekitar puri Gunung Kawi, Tampaksiring, Bali.
Penghuni pertama pulau Bali diperkirakan datang pada
3000-2500 SM yang bermigrasi dari Asia. Peninggalan peralatan
batu dari masa tersebut ditemukan di desa Cekik yang terletak
di bagian barat pulau. Zaman prasejarah kemudian berakhir
dengan datangnya orang-orang Hindu dari India pada 100 SM.
Kebudayaan Bali kemudian mendapat pengaruh kuat kebudayaan
India, yang prosesnya semakin cepat setelah abad ke-1 Masehi.
Nama Balidwipa (pulau Bali) mulai ditemukan di berbagai
prasasti, diantaranya Prasasti Blanjong yang dikeluarkan oleh Sri
Kesari Warmadewa pada 913 M dan menyebutkan kata Walidwipa.
Diperkirakan sekitar masa inilah sistem irigasi subak untuk
penanaman padi mulai dikembangkan. Beberapa tradisi keagamaan
dan budaya juga mulai berkembang pada masa itu. Kerajaan
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)72
Majapahit (1293–1500 AD) yang beragama Hindu dan berpusat di
pulau Jawa, pernah mendirikan kerajaan bawahan di Bali sekitar
tahun 1343 M. Saat itu hampir seluruh nusantara beragama Hindu,
namun seiring datangnya Islam berdirilah kerajaan-kerajaan Islam
di nusantara yang antara lain menyebabkan keruntuhan Majapahit.
Banyak bangsawan, pendeta, artis, dan masyarakat Hindu lainnya
yang ketika itu menyingkir dari Pulau Jawa ke Bali.
Orang Eropa yang pertama kali menemukan Bali ialah
Cornelis de Houtman dari Belanda pada 1597, meskipun sebuah
kapal Portugis sebelumnya pernah terdampar dekat tanjung Bukit,
Jimbaran, pada 1585. Belanda lewat VOC pun mulai melaksanakan
penjajahannya di tanah Bali, akan tetapi terus mendapat perlawanan
sehingga sampai akhir kekuasaannya posisi mereka di Bali tidaklah
sekokoh posisi mereka di Jawa atau Maluku. Bermula dari wilayah
utara Bali, semenjak 1840-an kehadiran Belanda telah menjadi
permanen, yang awalnya dilakukan dengan mengadu-domba
berbagai penguasa Bali yang saling tidak mempercayai satu sama
lain. Belanda melakukan serangan besar lewat laut dan darat terhadap
daerah Sanur, dan disusul dengan daerah Denpasar. Pihak Bali yang
kalah dalam jumlah maupun persenjataan tidak ingin mengalami
malu karena menyerah, sehingga menyebabkan terjadinya perang
sampai mati atau puputan, yang melibatkan seluruh rakyat baik
pria maupun wanita termasuk rajanya. Diperkirakan sebanyak
4.000 orang tewas dalam peristiwa tersebut, meskipun Belanda
telah memerintahkan mereka untuk menyerah. Selanjutnya, para
gubernur Belanda yang memerintah hanya sedikit saja memberikan
pengaruhnya di pulau ini, sehingga pengendalian lokal terhadap
agama dan budaya umumnya tidak berubah.
Jepang menduduki Bali selama Perang Dunia II, dan saat itu
seorang perwira militer bernama I Gusti Ngurah Rai membentuk
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 73
pasukan Bali ‘pejuang kemerdekaan’. Menyusul menyerahnya
Jepang di Pasifik pada bulan Agustus 1945, Belanda segera
kembali ke Indonesia (termasuk Bali) untuk menegakkan kembali
pemerintahan kolonialnya layaknya keadaan sebelum perang.
Hal ini ditentang oleh pasukan perlawanan Bali yang saat itu
menggunakan senjata Jepang.
Pada 20 November 1940, pecahlah pertempuran Puputan
Margarana yang terjadi di desa Marga, Kabupaten Tabanan,
Bali tengah. Kolonel I Gusti Ngurah Rai, yang berusia 29 tahun,
memimpin tentaranya dari wilayah timur Bali untuk melakukan
serangan sampai mati pada pasukan Belanda yang bersenjata
lengkap. Seluruh anggota batalion Bali tersebut tewas semuanya,
dan menjadikannya sebagai perlawanan militer Bali yang terakhir.
Pada tahun 1946 Belanda menjadikan Bali sebagai salah satu
dari 13 wilayah bagian dari Negara Indonesia Timur yang baru
diproklamasikan, yaitu sebagai salah satu negara saingan bagi
Republik Indonesia yang diproklamasikan dan dikepalai oleh
Sukarno dan Hatta. Bali kemudian juga dimasukkan ke dalam
Republik Indonesia Serikat ketika Belanda mengakui kemerdekaan
Indonesia pada 29 Desember 1949. Tahun 1950, secara resmi Bali
meninggalkan perserikatannya dengan Belanda dan secara hukum
menjadi sebuah propinsi dari Republik Indonesia.
Letusan Gunung Agung yang terjadi di tahun 1963, sempat
mengguncangkan perekonomian rakyat dan menyebabkan banyak
penduduk Bali bertransmigrasi ke berbagai wilayah lain di
Indonesia. Tahun 1965, seiring dengan gagalnya kudeta oleh G30S
terhadap pemerintah nasional di Jakarta, di Bali dan banyak daerah
lainnya terjadilah penumpasan terhadap anggota dan simpatisan
Partai Komunis Indonesia. Di Bali, diperkirakan lebih dari 100.000
orang terbunuh atau hilang. Meskipun demikian, kejadian-kejadian
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)74
di masa awal Orde Baru tersebut sampai dengan saat ini belum
berhasil diungkapkan secara hukum.[2]
Serangan teroris telah terjadi pada 12 Oktober 2002, berupa
serangan Bom Bali 2002 di kawasan pariwisata Pantai Kuta,
menyebabkan sebanyak 202 orang tewas dan 209 orang lainnya
cedera. Serangan Bom Bali 2005 juga terjadi tiga tahun kemudian
di Kuta dan pantai Jimbaran. Kejadian-kejadian tersebut mendapat
liputan internasional yang luas karena sebagian besar korbannya
adalah wisatawan asing, dan menyebabkan industri pariwisata Bali
menghadapi tantangan berat beberapa tahun terakhir ini.
c. Demografi
Lahan sawah di Bali
Penduduk Bali kira-kira sejumlah 4 juta jiwa, dengan mayoritas
92,3% menganut agama Hindu. Agama lainnya adalah Islam,
Protestan, Katolik, dan Buddha. Selain dari sektor pariwisata,
penduduk Bali juga hidup dari pertanian dan perikanan. Sebagian
juga memilih menjadi seniman. Bahasa yang digunakan di Bali
adalah Bahasa Indonesia, Bali, dan Inggris khususnya bagi yang
bekerja di sektor pariwisata.
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 75
Bahasa Bali dan Bahasa Indonesia adalah bahasa yang paling
luas pemakaiannya di Bali, dan sebagaimana penduduk Indonesia
lainnya, sebagian besar masyarakat Bali adalah bilingual atau
bahkan trilingual. Meskipun terdapat beberapa dialek dalam bahasa
Bali, umumnya masyarakat Bali menggunakan sebentuk bahasa
Bali pergaulan sebagai pilihan dalam berkomunikasi. Secara tradisi, penggunaan berbagai dialek bahasa Bali ditentukan berdasarkan sistem catur warna dalam agama Hindu Dharma; meskipun pelaksanaan tradisi tersebut cenderung berkurang. Bahasa Inggris adalah bahasa ketiga (dan bahasa asing utama) bagi banyak masyarakat Bali, yang dipengaruhi oleh kebutuhan yang besar dari industri pariwisata. Para karyawan yang bekerja pada pusat-pusat informasi wisatawan di Bali, seringkali juga memahami beberapa bahasa asing dengan kompetensi yang cukup memadai.
d. Transportasi
Bali tidak memiliki jaringan rel kereta api namun jaringan jalan yang sangat baik tersedia khususnya ke daerah-daerah tujuan wisatawan. Sebagian besar penduduk memiliki kendaraan pribadi dan memilih menggunakannya karena moda transportasi umum tidak tersedia dengan baik, kecuali taksi. Jenis kendaraan umum di Bali antara lain:
• Dokar, kendaraan dengan menggunakan kuda sebagai penarik
• Ojek, taksi sepeda motor
• Bemo, melayani dalam dan antarkota
• Taksi
• Bus, melayani hubungan antarkota, pedesaan, dan antarprovinsi.
Bali terhubung dengan Pulau Jawa dengan layanan kapal feri yang menghubungkan Pelabuhan Gilimanuk dengan Pelabuhan
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)76
Ketapang di Kabupaten Banyuwangi, yang lama tempuhnya sekitar 30 hingga 45 menit. Penyeberangan ke Pulau Lombok melalui Pelabuhan Padang Bay menuju Pelabuhan Lembar, yang memakan waktu sekitar empat jam. Transportasi udara dilayani oleh Bandara Internasional Ngurah Rai, dengan destinasi ke sejumlah kota besar di Indonesia, Australia, Singapura, Malaysia, Thailand, serta Jepang. Landas pacu dan pesawat terbang yang datang dan pergi
bisa terlihat dengan jelas dari pantai.
e. Pemerintahan
Peta topografi Pulau Bali
Daftar kabupaten dan kota di BaliNo. Kabupaten/Kota Ibu kota1 Kabupaten Badung Badung2 Kabupaten Bangli Bangli3 Kabupaten Buleleng Singaraja4 Kabupaten Gianyar Gianyar5 Kabupaten Jembrana Negara6 Kabupaten Karangasem Karangasem7 Kabupaten Klungkung Klungkung8 Kabupaten Tabanan Tabanan9 Kota Denpasar -
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 77
6. Papua
Lambang Peta Lokasi
Peta Lokasi
KoordinatDasar hukumTanggal penting 1 Mei 1963 (direbut dari Belanda)Ibu kota JayapuraGubernur Barnabas SuebuLuas 309.934,4 km² (setelah pembentukan Papua
Barat)Penduduk 2,93 Juta (2002)Kepadatan 800/km²Kabupaten 27Kota 2Kecamatan 214Kelurahan/DesaSuku Papua (52%), Non Papua/Pendatang (48%)
(2002) • Papua: Suku Aitinyo, Suku Aefak, Suku
Asmat, Suku Agast, Suku Dani, Suku Ayamaru, Suku Mandacan, Suku Biak, Suku Serui
• Non-Papua/Pendatang: Suku Jawa, Suku Makassar, Suku Batak, Suku Manado
Agama Protestan (51,2%), Katolik (25,42%), Islam (23%), Budha (0,13%), Hindu (0,25%), lain-lain (1%)
Bahasa Bahasa Indonesia, dan 268 Bahasa DaerahZona waktu WIT
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)78
Papua adalah sebuah provinsi Indonesia yang terletak
di bagian tengah Pulau Papua atau bagian paling timur West
New Guinea (Irian Jaya). Belahan timurnya merupakan negara
Papua Nugini atau East New Guinea. Provinsi Papua dulu
mencakup seluruh wilayah Papua bagian barat, sehingga sering
disebut sebagai Papua Barat terutama oleh Organisasi Papua
Merdeka (OPM), para nasionalis yang ingin memisahkan diri
dari Indonesia dan membentuk negara sendiri. Pada masa
pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, wilayah ini dikenal
sebagai Nugini Belanda (Nederlands Nieuw-Guinea atau Dutch
New Guinea). Setelah berada di bawah penguasaan Indonesia,
wilayah ini dikenal sebagai Provinsi Irian Barat sejak tahun
1969 hingga 1973. Namanya kemudian diganti menjadi Irian
Jaya oleh Soeharto pada saat meresmikan tambang tembaga dan
emas Freeport, nama yang tetap digunakan secara resmi hingga
tahun 2002.
Nama provinsi ini diganti menjadi Papua sesuai UU No. 21
Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Pada tahun 2004,
disertai oleh berbagai protes, Papua dibagi menjadi dua provinsi
oleh pemerintah Indonesia; bagian timur tetap memakai nama
Papua sedangkan bagian baratnya menjadi Provinsi Irian Jaya
Barat (sekarang Papua Barat). Bagian timur inilah yang menjadi
wilayah Provinsi Papua pada saat ini. Kata Papua sendiri
berasal dari bahasa melayu yang berarti rambut keriting, sebuah
gambaran yang mengacu pada penampilan fisik suku-suku asli.
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 79
a. Pemerintahan
Kabupaten dan KotaNo. Kabupaten/Kota Ibu kota1 Kabupaten Asmat Agats2 Kabupaten Biak Numfor Biak3 Kabupaten Boven Digoel Tanah Merah4 Kabupaten Deiyai Tigi5 Kabupaten Dogiyai Kigamani6 Kabupaten Intan Jaya Sugapa7 Kabupaten Jayapura Sentani8 Kabupaten Jayawijaya Wamena9 Kabupaten Keerom Waris
10 Kabupaten Kepulauan Yapen Serui11 Kabupaten Lanny Jaya Tiom12 Kabupaten Mamberamo Raya Burmeso13 Kabupaten Mamberamo Tengah Kobakma14 Kabupaten Mappi Kepi15 Kabupaten Merauke Merauke16 Kabupaten Mimika Timika17 Kabupaten Nabire Nabire18 Kabupaten Nduga Kenyam19 Kabupaten Paniai Enarotali20 Kabupaten Pegunungan Bintang Oksibil21 Kabupaten Puncak Ilaga22 Kabupaten Puncak Jaya Kotamulia23 Kabupaten Sarmi Sarmi24 Kabupaten Supiori Sorendiweri25 Kabupaten Tolikara Karubaga26 Kabupaten Waropen Botawa27 Kabupaten Yahukimo Sumohai28 Kabupaten Yalimo Elelim29 Kota Jayapura -
UU RI Tahun 2008 Nomor 6 adalah dasar hukum pembentukan
Kabupaten Nduga di Provinsi Papua, saat ini tidak terdapat
jurisdiksi Kabupaten Nduga Tengah.[1]
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)80
b. GeografiLuas wilayah
Luas 420.540 km²Iklim
Curah hujan 1.800 – 3.000 mmSuhu udara 19-28°CKelembapan 80%
Batas WilayahUtara Samudera Pasifik
Selatan Samudera Indonesia, Australia
Barat Papua Barat, Kepulauan Maluku
Timur Papua Nugini
c. Kelompok suku asli di Papua
Peta menunjukkan kota-kota penting di Irjabar dan Papua
Kelompok suku asli di Papua terdiri dari 255 suku,
dengan bahasa yang masing-masing berbeda. Suku-suku
tersebut antara lain:
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 81
• Ansus
• Amungme
• Asmat
• Ayamaru, mendiami daerah Sorong
• Bauzi
• Biak
• Dani
• Empur, mendiami daerah Kebar dan Amberbaken
• Hatam, mendiami daerah Ransiki dan Oransbari
• Iha
• Kamoro
• Mee, mendiami daerah pegunungan Paniai
• Meyakh, mendiami Kota Manokwari
• Moskona, mendiami daerah Merdei
• Nafri
• Sentani, mendiami sekitar danau Sentani
• Souk, mendiami daerah Anggi dan Menyambouw
• Waropen
• Wamesa
• Muyu
• Tobati
• Enggros
• Korowai
• Fuyu
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)82
PROFIL PROVINSI PAPUA
Setelah penyerahan kekuasaan dari UNTEA (United
Nation Temporary Executive Authority) kepada Republik
Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963 dan sebagai hasil
pelaksanaan PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) yang
dilaksanakan dari bulan Juli sampai dengan Agustus 1969
maka Irian Barat ditetapkan sebagai bagian dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Selanjutnya berdasarkan
Undang-Undang No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan maka oleh Pemerintah Pusat, daerah Irian
Jaya disejajarkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia.
Pada tahun 1999 dikeluarkanlah UU No 45 tahun 1999
tentang Pembentukan Irian Jaya Barat dan Irian Jaya Tengah
yang kemudian menuai kontroversi karena dirasa tumpang
tindih dengan UU No 1 tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus. Menurut UU tersebut maka kedua propinsi baru
itu diresmikan pada tanggal 12 Oktober 1999. Namun
pembentukan propinsi baru tersebut tidak segera terealisir
dan tertunda.Pada tahun 2003 gaung pembentukan propinsi
tersebut mulai terdengar lagi. Dan setelah 3 tahun 3 bulan
dan 13 hari dikeluarkanlah Inpres No 1 tahun 2003, tepatnya
pada tanggal 6 Februari 2003, mengenai aktifnya kembali
Propinsi Irian Jaya Barat yang pemerintahannya dibantu
oleh Tim Fasilitasi Pemkab Manokwari dan Tim Asistensi
Pusat yang diketuai langsung oleh Mendagri. Pembentukan
propinsi baru tersebut menuai protes dari pihak eksekutif
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 83
dan legislatif Propinsi Papua yang ada sekarang. Sehingga di
masyarakat pun timbul kebingungan mengenai kesimpang
siuran pemerintahan tersebut. Pada tanggal 14 Juli 2003
pemerintahan di Propinsi Irian Jaya Barat resmi berjalan
dengan dibentuknya Muspida yang resmi berdasarkan
Keputusan Provinsi Irian Jaya Barat Nomor SK 821.12.02.
Selanjutnya perkembangan terakhir menunjukkan fakta
bahwa Propinsi Irian Jaya Barat semakin ditetapkan
eksistensinya dengan pelaksanaan pilkada Gubernur Irjabar,
dan terpilih sebagai Gubernur definitif yaitu Brigjen Mar
(Purn) Abraham Atururi dan sebagai Wakil Gubernur adalah
Rahimin Katjong.
Wilayah Kerja KBI Jayapura meliputi seluruh wilayah
Papua, yang terbagi atas 2 Provinsi dan 29 Kabupaten/Kota
yang masuk ke dalam 2 Provinsi tersebut. Kedua provinsi
tersebut adalah Provinsi Papua dengan ibu kota Jayapura
dan Provinsi Irian Jaya Barat dengan ibu kota Manokwari.
Wilayah Kerja KBI Jayapura, yaitu meliputi Papua dengan
luas wilayah sebesar 42,2juta Ha, dengan penduduk
berjumlah 2,469juta jiwa (BPS, 2003). Wilayah yang terbesar
adalah Kabupaten Merauke dengan luas 4,4juta Ha dan
yang terkecil adalah Kabupaten Supiori dengan luas 77ribu
Ha. Sementara wilayah yang memiliki jumlah penduduk
terbesar adalah wilayah Kota Jayapura yaitu sejumlah
185ribu jiwa, dan yang memiliki jumlah penduduk terkecil
adalah Kabupaten Supiori yaitu sebesar 12ribu jiwa.
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)84
Kabupaten/ Kota Jumlah Kecamatan Luas (Ha)
Jumlah Penduduk
(jiwa)Kabupaten
1. Merauke 10 4,397,931 171,2332. Jayawijaya 15 1,268,006 222,9763. Jayapura 11 1,530,923 105,9674. Paniai 11 1,421,481 100,7995. Puncak Jaya 6 1,085,205 89,6126. Nabire 10 1,631,200 143,8867. Fak-fak 9 900,975 56,9588. Mimika 12 2,003,983 122,5729. Sorong 12 1,623,533 70,08110. Manokwari 11 1,419,069 153,60211. Yapen Waropen 5 313,072 62,14912. Biak Numfor 12 236,044 106,10713. Boven Digoel 6 2,847,068 38,45214. Mappi 6 2,763,235 68,49615. Asmat 7 1,897,616 67,58616. Yahukimo 3 1,577,056 108,51217. Pegunungan Bintang 6 1,690,840 53,91518. Tolikara 4 881,634 53,11619. Sarmi 8 2,590,173 43,22020. Keerom 5 936,453 44,77421. Kaimana 7 1,904,070 31,77122. Sorong Selatan 10 1,326,543 52,29923. Raja Ampat 7 881,953 29,24824. Teluk Bintuni 8 1,866,344 38,39825. Teluk Wondama 7 531,405 29,31726. Waropen 3 2,462,832 23,27927. Supiori - 77,456 12,119
Kota71. Jayapura 4 94,000 185,10272. Sorong 4 38,000 184,239
Jumlah 219 42,198,100 2,469,785
d. Geografi
Papua merupakan wilayah paling Timur di Indonesia,
dengan Jayapura sebagai ibukotanya. Pada bagian utara
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 85
berbatasan dengan Samudera Pasifik, bagian selatan dengan
laut Arafura dan Samudera Indonesia dan pada bagian timur
berbatasan dengan negara Papua Nugini. Daerah-daerah di
wilayah Papua secara geografis berbeda satu dengan lainnya.
Pegunungan kapur yang tinggi berrelief curam, membentang
di sebagian besar wilayah Papua, dengan ketinggian
mencapai 3000 meter diatas permukaan laut. Deretan
pegunungan tersebut diapit oleh daerah aluvial landai,
yang terletak disisi utara (dataran Mamberamo), di bagian
selatan (kawasan Asmat) serta dataran rendah Inanwatan di
bagian barat. Sementara puncak tertinggi pegunungan yang
terdapat di Papua terletak di bagian timur, bernama Puncak
Jaya. Dengan ketinggian 4884 meter,Puncak Jaya (Cartenz
Pyramid) merupakan puncak tertinggi di Asia Tenggara,
didampingi oleh Puncak Trikora (4750 m), Mandala (4760 m)
dan Yamin (4595 m).
f. Iklim
Sebagai sebuah pulau besar dengan topografi berbukit-
bukit dan bergunung-gunung dan pengaruh letak geografis
dan anatomis, menyebabkan Papua memiliki iklim yang
bervariasi di tiap daerah meskipun secara umum beriklim
tropis. Sepanjang daerah pegunungan hujan turun hampir
sepanjang tahun dan di bagian belahan utara, musim
hujan pada umumnya lebih panjang daripada musim
kemarau. Sedangkan pada bagian tenggara musim kemarau
berlangsung lebih panjang.
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)86
B. Hasil Analisis Berdasarkan Data Sekunder Diluar Lokasi Studi
Hasil penelitian sementara ini belum berdasarkan analisis terhadap
kuesioner yang telah dibagikan baik yang dengan menggunakan metode
analisis kualitatif maupun yang dengan menggunakan metode analisis
kuantitatif. Oleh sebab itu dalam hasil penelitian sementara didasarkan
pada beberapa Peraturan Daerah yang mengatur tentang masyarakat
adat dan juga tanah ulayat. Analisis terhadap Perda ini secara lebih
lengkap akan dikemukakan pada laporan akhir penelitian ini.
Masyarakat Hukum adat yang tersebar di wilayah Indonesia
mencapai 20.000 kelompok. Dari jumlah tersebut, yang baru terdata
oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sebanyak 6300 kelompok di
wilayah Aceh, 700 kelompok di wilayah Sumatera dan 1000 kelompok
di wilayah Bali.1
Sebagai contoh, berikut ini dapat dikemukakan tiga Masyarakat
Hukum Adat yang telah disahkan dengan Peraturan Daerah (Perda)
atau Keputusan Bupati, yaitu Peraturan daerah (Perda) Kabupaten
Kampar Riau No. 12 tahun 1999 tentang Hak tanah layat, Peraturan
daerah (Perda) No. 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat
Masyarakat Baduy di Wilayah Banten, dan Keputusan Bupati Merangin
No. 287 Tahun 2003 tentang Pengukuhan Kawasan Bukit Tapanggang
sebagai Hutan Adat Masyarakat Hukum Adat Desa Guguk Kecamatan
Sungai Manau Kabupaten Merangin.2
1 S. James Anaya. Indigenous Peoples in International Law, (New York: Oxford University Press, 1994), hlm. 89. 2 HermanSlaats,ErmanRajagukguk,NurulIlmiyah,AkhmadSafik,MasalahTanahDiIndonesiaDariMasaKe
Masa, (Jakarta: Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007), hlm. 22.
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 87
1. Pengaturan Hak Masyarakat Adat Kampar
Perlindungan masyarakat adat di Kabupaten Kampar Riau
dapat dilihat dalam Ketentuan Umum, Pasal 1 g Peraturan Daerah
Kabupaten Kampar Riau No. 12 Tahun Tahun 1999 tentang Hak
Tanah Ulayat menyatakan, bahwa Masyarakat Adat adalah suatu
kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang memiliki harta ulayat
secara turun-temurun di daerah, berbentuk persukuan, nagari,
perbatinan, desa, kepenghuluan dan kampung. Selanjutnya Pasal
1 h menyatakan, bahwa Hak Tanah Ulayat merupakan salah satu
harta milik bersama suatu masyarakat adat, yang mencakup suatu
kesatuan wilayah berupa lahan pertanahan, tumbuhan yang hidup
secara liar dan binatang yang hidup liar diatasnya.
Sedangka Pasal 2 menyebutkan, bahwa:
1) Hak Tanah Ulayat dan Hak-Hak serupa dari masyarakat Hukum
Adat sepanjang hak serupa menurut kenyataannya masih ada,
harus sedemikian rupa menurut ketentuan Hukum Adat yang
berlaku di setiap tempat.
2) Fungsi Hak Tanah Ulayat adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan anggota persekutuan dan masyarakat yang
bersifat sosial dan ekonomis.
Selanjutnya Pasal menyatakan sesuai dengan maksu Pasal 2
Peraturan Daerah ini, dapat dilakukan sebagai berikut:
a. Agar Tanah Ulayat menjadi produktif dapat diberikan hak pola
kemitraan pada Pihak Ketiga
b. Untuk memenuhi maksud ayat (1) pasal ini dilakukan
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)88
musyawarah pemangku adat setempat dan anggota persekutuan
masyarakat adat sesuai dengan ketentuan Hukum Adat setempat.
c. Kesepakatan kedua belah pihak dibuat di hadapan Pejabat yang
berwenang untuk melakukan perjanjian-perjanjian sebagaimana
dimaksud pada point a di atas.
d. Perbuatan berupa mentelantarkan atau tidak memanfaatkan
Hak Tanah Ulayat berturut-turut selama 3 (tiga) tahun yang
dilakukan oleh pihak-pihak sebagaimana tercantum pada
pasal ini, dikenakan sanksi adat berdasarkan Hukum Adat
yang berlaku berupa pencabutan hak untuk penggunaan atau
pemanfaatan Hak Tanah Ulayat dan dapat diberikan sanksi
tambahan sesuai dengan Ketentuan Adat yang berlaku.
Selanjutnya Pasal 4 menyatakan bahwa Pemangku Adat
memegang atau menguasai Tanah Ulayat tidak dapat mengalihkan
atau melepaskan haknya kepada pihak lain kecuali telah ditentukan
bersama berdasarkan musyawarah persekutuan adat sesuai adat
istiadat setempat. Pasal 5 menjelaskan bahwa:
1) Kerapatan Adat merupakan satu-satunya lembaga
permusyawaratan tertinggi yang mengatur tentang penggunaan
dan atau pemanfaatan serta pemindahan kepemilikan Tanah
Ulayat.
2) Ketetapan Kerapatan Adat merupakan suatu hasil kesepakatan
musyawarah bersama seluruh anggota Kerapatan Adat.
3) Ketetapan Kerapatan adat sebagaimana tersebut pada ayat (2)
merupakan suatu ketentuan hukum yang mengikat bagi setiap
warga masyarakat adat.
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 89
Dalam Pasal 6 ayat (1) Peraturan daerah ini menyatakan Hak
Penguasaan Tanah Ulayat dibuat atas nam Gelar pemangku Adat
yang berhak untuk itu sesuai dengan ketentuan Hukum Adat
setempat. Ayat (2) menyebutkan sertifikasi Hak Kepemilikan Tanah
Ulayat diproses sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Selanjutnya ayat (1) menjelaskan tentang larangan untuk
memindahkan hak kepemilikan Tanah Ulayat kecuali untuk
kepentingan:
a. Pembangunan Daerah
b. Kehendak bersama seluruh warga masyarakat adat berdasarkan
ketentuan Hukum Adat yang berlaku.
Ayat (2) menyebutkan pengecualian sebagaimana tersebut pada
ayat (1), harus berdasarkan ketetapan Kerapatan Adat.
Pasal 10 menyebutkan fungsi Penghulu Suku adalah:
a. Membantu Pemerintah dalam bidang kemasyarakatan
b. Mengurus, mengatur urusan dalam Hukum Adat
c. Mengurus mengatur ketentuan dalam Hukum Adat, terhadap
hal-hal yang menyangkut tanah ulayat dalam persekutuan,
guna kepentingan keperdataan adat juga dalam hal adanya
persengketaan atau perkara adat.
d. Menjaga, memelihara dan memanfaatkan tanah ulayat untuk
kesejahteraan anggota persekutuan.
Selanjutnya Pasal 11 menyebutkan wewenang Penghulu Suku
adalah:
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)90
a. Mengatur dan menetapkan pembagian Tanah Ulayat untuk
anggota persekutuan melalui musyawarah
b. Memberikan rekomendasi tertulis dalam hal adanya pengalihan
atau pelepasan Hak Ulayat kepada pihak ketiga berupa Hak
Guna Usaha atau hak pakai sesuai ketentuan adat setempat.
Bagi pemegang Hak Guna Usaha atau Hak Pakai , jika sampai
jangka waktunya, maka hak tanah tersebut kembali kepada Hak
Tanah Ulayat dan penggunaan selanjutnya harus dilakukan
berdasarkan persetujuan baru dari masyarakat Hukum Adat
yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan di dalam Peraturan
Menteri Agraria/Kepala badan pertanahan Nasional Nomor 5
Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat
Masyarakat Hukum adat, Pasal 4 ayat (2). Pengalihan atau
Pelepasan Hak Tanah Ulayat kepada anggota persekutuan adat
tetap memberlakukan ketentuan Hukum adat setempat.
c. Memberikan sanksi secara adat berupa pencabutan hak
menggarap, bila ternyata tanah tersebut ditelantarkan berturut-
turut selama 3 (tiga) tahun oleh anggota persekutuan.
d. Mendaftarkan Tanah Ulayat yang masih ada di kantor Pertanahan
Kabupaten Kampar.
Selanjutnya Pasal 14 ayat (1) menyatakan, bahwa pada saat mulai
berlakunya Peraturan daerah ini, terhadap seluruh Tanah Ulayat
yang dalam proses pengalihan kepemilikannya, akan ditertibkan
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan Hukum adat
yang berlaku. Ayat (2) menjelaskan, bahwa penerbitan sebagaimana
tercantum pada ayat (1), akan diselesaikan paling lambat selama
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 91
3(tiga) tahun terhitung semenjak diberlakukannya Peraturan Daerah
ini, yang meliputi kegiatan-kegiatan:
a. Inventarisasi Tanah Ulayat masing-masing masyarakat adat di
daerah
b. Sertifikat dan atau pemutihan kepemilikan Tanah Ulayat
tersebut.
2. Pengaturan Masyarakat Adat Baduy
Perlindungan masyarakat lokal menurut Hukum Sdat Baduy
diwilayah Banten sudah diakui keberadaannya yang diatur dalam
Peraturan daerah (Perda) Kabupaten Lebak No. 32 Tahun 2001
tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy. Pasal
1 menyebutkan apa yang dimaksud Hak Ulayat, Tanah Ulayat,
Masyarakat Baduy, yaitu:
”Hak Ulayat adalah kewenangan yang menurut Hukum adat
dipunyai oleh Masyarakat Hukum Adat tertentu atas wilayah
tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk
mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam
wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang
timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun
dan tidak terputus antara masyarakat Hukum Adat tersebut dengan
wilayah yang bersangkutan.”
Tanah Ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak
ulayat dari suatu Masyarakat Hukum adat tertentu.
Masyarakat Baduy adalah masyarakat yang bertempat tinggal
di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Lebak yang mempunyai
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)92
ciri kebudayaan dan adat istiadat yang berbeda dengan masyarakat
umum.”
Pasal 2 menyebutkan Hak Ulayat Masyarakat Baduy dibatasi
terhadap tanah-tanah di wilayah Desa Kanekes Kecamatan
Leuwidamar Kabupate Lebak yang diukur sesuai dengan peta
rekonstruksi dan dituangkan dalam Beriota Acara sebagai landasan
penetapan keputusan Bupati. Selanjutnya Pasal 4 menjelaskan,
bahwa segala peruntukan lahan terhadap Hak Ulayat Masyarakat
Baduy diserahkan sepenuhnya kepada Masyarakat baduy.
Pasal 5 menyebutkan, bahwa Hak Ulayat Masyarakat Baduy
tidak meliputi bidang-bidang tanah yang:
a. sudah dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum dengan
sesuatu hak atas tanah menurut Undang_undang Pokok agraria;
b. Merupakan bidang-bidang tanah yang sudah diperoleh atau
dibebaskan oleh instansi Pemerintah, badan hukum atau
perseorangan sesuai dengan ketentuan dan tata cara yang
berlaku.
Selanjutnya Pasal 6 menyebutkan, bahwa Desa Kanekes sebagai
wilayah pemukiman masyarakat Baduy memiliki batas-batas Desa
sebagai berikut:
a. Utara:
1) Desa Bojongmenteng Kecamatan Leuwidamar.
2) Desa Cisimeut Kecamatan Leuwidamar.
3) Desa Nyagati Kecamatan Leuwidamar
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 93
b. Barat:
1) Desa Parakanbeusi Kecamatan Bojongmanik.
2) Desa Keboncau Kecamatan Bojongmanik.
3) Desa Karangnunggal Kecamatan Bojongmanik.
c. Selatan:
1) Desa Cikate Kecamatan Cikaju
d. Timur:
1) Desa Karangcombang Kecamatan Muncang
2) Desa Cilebang Kecamatan Muncang
Pasal 7 menyebutkan wilayah Masyarakat Baduy yang berlokasi
di Desa Kanekes memiliki batas-batas alam sebagai berikut:
a. Utara: Kali Ciujung
b. Selatan: Kali Cidikit
c. Barat: Kali Cibarani;
d. Timur: Kali Cisimeut.
Kemudian Pasal 9 mengatur tentang Ketentuan Pidana. Ayat
(1) menyatakan setiap Masyarakat Luar Baduy yang melakukan
kegiatan mengganggu, merusak dan menggunakan lahan hak ulayat
Masyarakat Baduy diancam dengan pidana kurungan paling lama 6
(enam) bulan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,- (lima juta
rupiah). Ayat (2) menyatakan, bahwa tindak pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.
Selanjutnya Pasal 11 menyatakan dalam rangka menghindari
perselisihan dan kesimpangsiuran hak ulayat Masyarakat baduy
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)94
dari kepentingan perorangan serta sebagai wujud pengakuan hak
Masyarakat Hukum Adat, maka upaya persertifikatan wilayah
Baduy tidak diperkenankan.
3. Pengaturan Masyarakat Adat Merangin
Perlindungan masyarakat lokal di Kabupaten Merangin tentang
Hutan Adat dan Masyarakat adat diatur dalam Keputusan Bupati
Merangin No. 287 Tahun 2003 tentang pengukuhan Kawasan Bukit
Tapanggang sebagai Hutan Adat Masyarakat Hukum adat Desa
Guguk Kecamatan Sungai Manau Kabupaten Merangin, yang antara
lain memutuskan:
”Kawasan Bukit Tapanggang sebagai Hutan Adat Desa Guguk
dengan luas 690 Ha yang terletak antara 120o 12’00’’ BT-120o03’45’’
BT dan 02o10’00’’ LS-02o 12’20’’ LS’ mulai dari Titik satu di Muara
Sungai Tai dengan titik koordinat (02o10’06’’S, 102o02’59’’ BT) ke
Titik Dua di Muara Sungai Nilo dengan titik koordinat (02o14’47’’
LS, 102o03’42’’ BT) terus menelusuri Sungai Nilo ke Titik Tiga Muara
Sungai Jambun Jalan Logging dengan titik koordinat (02o11’58’’ LS,
102o03’29’’ BT) terus mengikuti jalan ke Logging kearah Barat sampai
ke titik Empat di Kilometer 68 Jalan Logging dengan titik koordinat
(02o12’12” LS, 102o01’ 58” BT) terus ke Titik Lima di Telun Muara
Sungai Keleman dengan titik koordinat (02o11’37” LS, 102o02’19”
BT) terus ke Titik Enam di Sungai Tai bercabang dua titik koordinat
(02o10’39” LS, 102o02’24” BT) ditarik sejajar dengan Sungai Tai
bercabang dua berjarak + 200 meter dari pinggir Sungai Tai sampai
bertemu kembali ke Titik Satu dengan koordinat (02o10’06”LS,
102o06” LS, 102o02’59” BT).”
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 95
Hutan Adat Masyarakat Hukum Adat Desa Guguk sebagaimana
dimaksud dikelola oleh Masyarakat Adat Desa Guguk dengan
ketentuan Hukum Adat yang berlaku di Desa Guguk dan telah
dituangkan dalam Piagam Kesepakatan pemeliharaan dan
Pengelolaan Hutan Adat Desa Guguk Kecamatan sungai Manau
Kabupaten Merangin sebagaimana terlampir dalam keputusan ini
dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Dalam pengelolaan Hutan adat Desa Guguk sebagaimana
dimaksud di atas dilaksanakan oleh Kelompok Pengelola yang
ditetapkan dengan Keputusan Bersama Lembaga Adat Desa Guguk,
BPD dan Kepala Desa Guguk.
Pengelola wajib melaporkan pengelolaan Hutan Adat
sebagaimana dimaksud di atas kepada Bupati Merangin melalui
Camat Kecamatan Sungai Manau setiap tahunnya dengan tembusan
kepada Dinas Kehutanan dan pengembangan Sumberdaya
Hayati Kabupaten Merangin sebagai instansi yang melaksanakan
pengawasan terhadap pengelolaan Hutan Adat Desa Guguk.
Apabila Pengelolaan Hutan Adat Guguk menyimpang dari
aturan perundang-undangan yang berlaku ataupun bertentangan
dengan kepentingan nasional serta menyimpang dari Piagam
Kesekapatan sebagaimana dimaksud di atas maka keputusan ini
dapat dibatalkan.
Keberadaan masyarakat adat dalam Peraturan daerah (Perda)
menjadi sangat penting karena Pasal 203 ayat (3) dan Penjelasan Pasal
204 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah secara implisit menyebutkan, bahwa keberadaan Masyarakat
Hukum Adat diakui bila telah ditetapkan oleh Peraturan daerah.
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)96
Apabila tidak ditetapkan dengan Peraturan daerah, maka mereka
hanya berstatus sebagai masyarakat Hukum Adat secara sosial dan
tidak memiliki kedudukan secara hukum.3
Di Sumatera Barat (Indonesia Bagian Barat), Rancangan
Peraturan Daerah provinsi mengenai pemanfaatan tanah ulayat
memunculkan kekhawatiran masyarakat. Menurut Direktur
Lembaga Bantuan Hukum Sumatera Barat, Peraturan daerah itu
nanti akan menghilangkan tanah-tanah ulayat yang sekarang ini
dikuasai oleh masyarakat adat.
Menurut Pemerintah Daerah Sumatera Barat, banyak investor
ingin menanam modalnya dibidang perkebunan. Namun mereka
ragu-ragu karena ketidakpastian pengaturan tanah ulayat dan cara
mendapatkan tanah ulayat tersebut.4
Sampai saat ini semenjak di undangkannya Peraturan Menteri
graria tersebut, baru empat kabupaten yang telah mengeluarkan
produk hukum Perda tentang Hak Ulayat Empat kabupaten
dimaksud adalah Kabupaten Lebak (Banten) dengan Perda Nomor
32 tahun 2001 tentang Perlindungan Hak Ulayat Masyarakat Baduy,
Surat Keputusan Bupati Bungo (Jambi) Nomor 1249 tahun 2002
tentang Pengukuhan Hutan Adat Desa Batu Kerbau Kecamatan
Pelepat Kabupaten Bungo, Surat Keputusan Bupati Merangin
(Jambi) Nomor 287 tahun 2003 tentang Pengukuhan Kawasan Bukit
Tapanggang Sebagai Hutan Adat Masyarakat Hukum Adat Desa
Guguk Kecamatan Sungai Manau Kabupaten Merangin dan Perda
Kabupaten Kampar (Riau) Nomor 12 tahun 1999 tentang Hak Tanah
Ulayat. Sedangkan sejumlah daerah lain pernah merencanakan atau
3 Herman Slaats, dkk, Op Cit., hlm.29. 4 Raperda Tanah Ulayat Cemaskan Masyarakat asli”, Media Indonesia, 7 Februari 2003, dalam Herman Slaats,
dkk, Ibid., hlm. 29.
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 97
sedang melangsungkan inisiatif serupa, Propinsi Sumatera Barat
sempat menggodok Raperda tentang Pengaturan Pemanfaatan
Tanah Ulayat, Kabupaten Jayapura (Papua) pernah merancang
peraturan daerah tentang Perlindungan Terhadap Tanah-Tanah
Ulayat Masyarakat Kabupaten Jayapura. Kabupatan Pasir dan
Kapuas Hulu (Kalimantan Barat) masing-masing dalam proses
penyusunan raperda dan identifikasi hak ulayat. Seluruh perda
yang telah diundangkan dan sedang dalam pembahasan tersebut,
menempatkan Permenag/Kepala BPN No. 5/1999 sebagai dasar
hukum.
Pengorganisiran analisa ini tidak dibuat mengikuti kerangka
yang dimiliki oleh Raperda Hak Ulayat ini. Pembahasan akan
dilakukan dengan memilih sejumlah topik yang dianggap penting
berkenaan dengan substansi dan teknik perancangannya. Berikut
ulasan terhadap beberapa topik yang dianggap penting.
Sebagai contoh analisa adalah Raperda Kabupaten Pasir tentang
Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Pada bagian menimbang
huruf c dari raperda hak ulayat ini mengatur mengenai seluk beluk
hak ulayat defenisi, kriteria, cara mendapatkannya. Pengaturan
mengenai hal-hal itu kemudian difungsikan sebagai pedoman dalam
menyelesaikan masalah tanah ulayat. Namun, kesan seperti itu
langsung sirna ketika pasal 10 dan 11 raperda ini mengatakan bahwa
di wilayah pemerintahan Kabupayen Pasir tidak ada masyarakat
hukum adat dan hak ulayat. Bukankah Bagian Menimbang huruf c
raperda ini mengatakan bahwa pengaturan mengenai tanah ulayat
(salah satunya mengenai kriteria) hanyalah sebagai pedoman?
Seharusnya, kalau ia hanya berfungsi sebagai pedoman maka tidak
boleh sekaligus berfungsi sebagai peraturan yang menetapkan atau
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)98
imperatif. Andai raperda ini diposisikan sebagai pedoman, maka
urusan menetapkan dan membuat peraturan-peraturan imperatif
diserahkan pada pengaturan lebih lanjut dari raperda ini. Pengaturan
lebih lanjutnya bisa dilakukan oleh perda lain atau oleh Keputusan
Bupati.
Dengan memilih sifat yang demikian, sebenarnya raperda
ini sudah menyimpang dari Permenang/Kepala BPN No. 5/199.
Kenapa demikian? Karena dengan tegas Permenag ini mengatakan
bahwa pengaturan lebih lanjut mengenai penelitian dan penentuan
masih adanya hak ulayat serta pencatatan keberadaan tanah ulayat,
akan diatur lebih lanjut dalam peraturan daerah (pasal 6). Bila
menggunakan tafsir gramatikal maka sangat jelas bahwa Permenag
ini memandatkan kepada Pemda untuk membuat pengaturan
lebih lanjut mengenai dua hal di atas di dalam perda. Perda
tersebut akan menjadi landasan yuridis bagi kegiatan penelitian
dan penentuan hak ulayat. Mandat semacam itu memang masuk
akal karena Permenag ini tidak mengatur lebih rinci mengenai
penelitian dan penentuan (prosedur/mekanisme penelitian,
mekanisme penyampaian keberatan, dll). Fungsinya hanya sebagai
pedoman. Dengan menyebutkan kriteria hak ulayat dan batasan
pemberlakukannya maka pengaturan lebih lanjut yang dibutuhkan
adalah bagaimana caranya menentukan (prosedur/mekanisme):
apakah kelompok masyarakat tertentu memang memiliki atau tidak
memiliki hak ulayat karena memenuhi atau tidak memenuhi kriteria
tertentu. Sebagai pedoman, Permenag ini telah merumuskan hal-hal
yang subtantif dan untuk menjalankannya yang diperlukan adalah
peraturan pelaksana (perda) yang mengatur hal-hal prosedural.
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 99
Sementara itu, raperda hak ulayat secara sepihak telah
memutuskan bahwa di Kabupaten Pasir tidak satupun kelompok
masyarakat dan lembaga adat yang memenuhi kriteria masyarakat
hukum adat dan hak ulayat tanpa mengajukan argumen. Apa dasar
yang digunakan oleh raperda ini untuk sampai pada kesimpulan
semacam itu? Kuat dugaan bahwa yang dijadikan dasar adalah
penelitian yang dilakukan oleh Tim Universitas Hasanudin pada
tahun 2002. Tapi, bagaimana orang mengetahui hasil penelitian
tersebut bila ia tidak merupakan bagian yang integral dari raperda
ini. Bila penelitian tersebut menjadi dasar, bagaimana status
hukumnya? Apakah penelitian itu menjadi mengikat semua orang
yang ada di Kabupaten Pasir atau hanya salah satu rujukan?
Lagipula, mengapa penelitian itu dikatakan diselenggarakan oleh
Universitas Hasanudin? Bukankah menurut Permenag penelitian
dilakukan oleh pemerintah daerah bekerjasama dengan pihak lain,
bukan justru sebaliknya?
Tapi sulit juga untuk menyimpulkan bahwa keputusan untuk
mengatakan bahwa di Pasir tidak ada mayarakat hukum adat dan
hak ulayat didasarkan pada hasil penelitian tersebut. Kesimpulan
seperti itu didapat ketika raperda ini mengatakan bahwa di Pasir
tidak ada kelompok masyarakat dan lembaga adat karena tidak
memenuhi kriteria masyarakat hukum adat dan hak ulayat (pasal
10 dan pasal 11), bukan karena penelitian membuktikan demikian.
Jadi, bila dianalogkan dengan proses pemeriksaan sebuah perkara/
kasus di pengadilan maka raperda ini ‘mengadili’ bahwa di Pasir
dinyatakan tidak ada masyarakat hukum adat dan hak ulayat
tanpa proses/tahapan pembuktian. Dengan kata lain, Raperda ini
mendengar dirinya sendiri lalu membuat keputusan.
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)100
Memilih gaya yang demikian membuat raperda ini bisa
dikategorikan menyimpangi prinsip hak untuk mengidentifikasi
diri sendiri (right to self-identification), yang dikenal dalam hukum
internasional. Misalnya dalam Framework Convention on National
Minorities (pasal 3) dan Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik (pasal
27). Hak ini bisa bisa dimiliki oleh perorangan maupun kelompok.
Bagi perorangan, diberikan hak untuk menentukan apakah dirinya
bagian dari masyarakat adat atau tidak. Sedangkan untuk kelompok
diberi hak untuk memelihara identitasnya termasuk identitas
kebiasaan, tradisi, bahasa dan agama. Di dalam Kovenan Hak-
Hak Sipil dalam Politik ditekankan bahwa penentuan keberadaan
sebuah kelompok didasarkan atas kriteria obyektif dan hak untuk
mengidentifikasi diri sendiri, bukan diserahkan kepada negara. 5
Bila merujuk pada kerangka normatif semacam itu maka apa
yang dilakukan oleh pemda dan tim peneliti dari Universitas
Hasanudin adalah sebuah kekeliruan besar. Pertama, bukan mereka
yang seharusnya melakukan identifikasi melainkan masyarakat
adat, dengan menggunakan kriteria yang dirumuskan dalam
Permenag/Kepala BPN No. 5/1999. Kedua, siapa yang ditemui oleh
Tim Peneliti Unhas di lapangan? Apakah orang atau kelompok
yang tepat, ataukah justru orang atau kelompok yang keliru? Kalau
yang ditemui adalah orang dan kelompok yang tepat, mengapa tiga
organisasi yang relatif reprentatif mewakili masyarakat adat di Pasir
justru bereaksi dengan kehadiran raperda ini?
Tanggal 31 Juli 2000 Bupati Pasir mengesahkan Perda Kabupaten Pasir
Nomor 3 tahun 2000 tentang Pemberdayaan, Pelestarian, Perlindungan
5 Peter Baehr, dkk, Instrumen Internasional Pokok Hak-Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001), Pasal 3 dan 27.
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 101
dan Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat, yang kemudian
diundangkan pada tanggal 8 Agustus 2000.
Sebagai bagian dari 13 paket Perda mengenai Pemerintahan Desa6,
perda ini mengakui bahwa di Pasir ada lembaga adat, wilayah adat,
hukum adat dan adat istiadat. Dengan asumsi seperti itu, perda ini
kemudian mengatur bagaimana kedudukan dan fungsi lembaga adat, hak
dan kewajibannya, sumber kekayaannya dan bagaimana ia diberdayakan,
dilestarikan, dikembangkan, dilindungi dan dipelihara.
Kendati mengatur hal yang relevan dengan materi muatan raperda hak
ulayat, anehnya perda No. 3/2000 ini tidak dijadikan sebagai salah satu dasar
hukum oleh raperda tersebut. Mengapa demikian? Agak sukar menemukan
penjelasan logis dari tindakan ini. Apakah lembaga adat dan adat istiadat
sesuatu yang berbeda dan terpisah dengan masyarakat hukum adat dan
hak ulayat? Apa bedanya istilah ‘wilayah adat’ yang disebutkan dalam
Perda No. 3/2000 dengan istilah ‘wilayah’ yang disebutkan dalam Raperda
Hak Ulayat7? Bagaimana mungkin pengakuan keberadaan lembaga adat
dan adat istiadat bisa berbeda dan terpisah dengan pengakuan masyarakat
hukum adat dan hak ulayat? Bukankah lembaga adat justru menjadi salah
satu unsur pemenuh dari masyarakat hukum adat dan hak ulayat?
Penggunaan syarat kumulatif agaknya menjadi alat penjelas yang
bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Raperda ini dengan tegas
mengatakan bahwa pemenuhan unsur masyarakat hukum adat dan kriteria
hak ulayat harus secara kumulatif. Artinya, seluruh unsur dan kriteria
6 Akibat UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (pasal ..) dan Peraturan Pemerintah No. 76 tahun 2001 tentang Pedoman Pengaturan Mengenai Pemerintahan Desa, banyak sekali Kabupaten yang berbondong-bondong membuat paket perda mengenai pemerintahan desa, yang jumlahnya berkisar antara 10 sampai 13 buah. Redaksi perda-perda yang mengatur hal itu sangat mirip satu sama lain untuk setiap kabupaten. Rupanya inilah yang memicu gelombang baru penyeragaman pemerintahan lokal pasca UU No. 5/1979, sekalipun di beberapa tempat digunakan istilah yang berbeda.
7 Dalam Perda No. 3/2000 wilayah adat didefenisikan sebagai wilayah kesatuan budaya setempat adat istiadat itu tumbuh, hidup dan berkembang sehingga menjadi penyanggah adat istiadat yang bersangkutan. Sedangkan istilah ‘wilayah’ dalam raperda hak ulayat dipakai sebagai salah satu unsur masyarakat hukum adat (pasal 3 ayat 1d).
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)102
tersebut harus dipenuhi dengan sekaligus atau keseluruhan. Sekalipun
sebuah kelompok masyarakat memiliki lembaga adat atau wilayah adat,
namun tidak otomatis menjadi masyarakat hukum adat bila tidak memiliki
hukum adat dan kekayaan. Begitu juga sebaliknya, memiliki hukum adat
dan kekayaan belum bisa digolongkan sebagai masyarakat hukum adat bila
tidak memiliki lembaga adat dan wilayah adat.
Karena raperda ini tidak mengakui keberadaan masyarakat hukum adat
di Pasir, dengan sendirinya tidak ada hak ulayat di Pasir. Kenapa? Raperda
ini kelihatan cukup cerdik dalam soal ini. Dikatakan bahwa masyarakat
hukum adat adalah subyek hukum hak ulayat (pasal 6). Kalimat ini seolah-
olah mengatakan bahwa masyarakat hukum adat bukanlah satu-satunya
subyek hukum hak ulayat, tapi juga bisa kelompok masyarakat yang lain.
Benarkan demikian? Tafsir semacam itu bisa dianggap keliru dengan dua
alasan, yakni: Pertama, raperda ini dengan tegas mengatakan bahwa hak
ulayat hanya dimiliki oleh masyarakat hukum adat (pasal 1 angka 7).
Kedua, bila mengacu pada kriteria yang digunakan (pasal 7 ayat 1) maka
yang dimungkinkan memiliki hak ulayat hanyalah masyarakat hukum
adat karena persyaratan terikat oleh tatanan hukum adat (kriteria a dan
c). Kriteria semacam itu hanya bisa dipenuhi oleh masyarakat hukum adat.
Jadi, baik dilihat dari sisi defenisi dan kriteria, yang berhak menjadi subyek
hukum hak ulayat hanyalah masyarakat hukum adat. Jadi karena satu-
satunya subyek hukum hak ulayat adalah masyarakat adat dan di Pasir
tidak ada masyarakat hukum adat maka tidak ada hak ulayat di Pasir. Tidak
perlu susah-susah untuk memeriksa apakah masih ada hak ulayat di Pasir
yang memenuhi kriteria karena subyek hukumnya sendiri tidak ada. Cara
berfikir semacam ini bisa dilihat dengan telanjang dalam pasal 11 raperda
hak ulayat.
“Masyarakat hukum adat sebagai subyek hukum hak ulayat, dinyatakan
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 103
sudah tidak ada lagi sebagaimana dimaksud pada pasal 10 Peraturan
Daerah ini, maka hak ulayat atas tanah, hutan dan perairan sebagai obyek,
dinyatakan sudah tidak ada lagi”.
Dengan tidak mencantumkan Perda No. 3/2000 sebagai dasar hukum,
raperda hak ulayat seolah-olah punya anggapan tidak memiliki hubungan
dengannya. Namun hal itu bisa saja dilihat sebagai kekeliruan. Mengapa?
Pertama, sejumlah istilah digunakan baik oleh raperda hak ulayat dan Perda
No. 3/2000. Misalnya, istilah lembaga adat, masyarakat hukum adat dan
hukum adat. Kedua, dua-duanya memiliki cakupan atau obyek pengaturan
yang sama. Oleh sebab itu, raperda hak ulayat mutlak menjadikan perda No.
3/2000 sebagai dasar hukum. Dengan logika itulah bisa dikatakan bahwa
raperda hak ulayat memang bertentangan (kontradiktif) dengan perda No.
3/2000 seperti yang dinyatakan dalam Pernyataan Sikap Bersama tentang
Raperda Kabupaten Pasir Mengenai Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
Kenapa dikatakan bertentangan?
Pertama, pendefinisian istilah ‘lembaga adat’. Dalam Perda No. 3/2000
lembaga adat didefenisikan sebagai organisasi kemasyarakatan, baik yang
sengaja dibentuk maupun yang secara wajar telah tumbuh dan berkembang di
dalam sejarah masyarakat yang bersangkutan atau dalam suatu masyarakat
hukum adat tertentu dengan hukum dan hak atas harta kekayaan di dalam
wilayah hukum adat tersebut, serta berhak dan berwenang untuk mengatur,
mengurus dan menyelesaikan bebagai permasalahan kahidupan yang
berkaitan dengan dan mengacu pada adat istiadat dan hukum adat yang
berlaku. Sedangkan raperda hak ulayat mendefenisikannya sebagai lembaga
yang telah tumbuh dan berkembang dalam masyarakat untuk melakukan
kegiatan pelestarian adat istiadat, diakui dan dikukuhkan oleh Pemerintah
Kabupaten.
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)104
Definisi yang dirumuskan oleh raperda hak ulayat mengerdilkan
sosok lembaga adat. Pertama, mendefenisikannya sebatas lembaga, bukan
organisasi kemasyarakatan. Kedua, menyempitkan kewenangan lembaga
adat sebatas melakukan pelestarian adat istiadat. Dan ketiga, meletakan
posisi lembaga adat subordinat di hadapan pemerintah daerah karena
terlebih dahulu harus mendapatkan pengakuan. Sebenarnya, lembaga adat
menurut perda No. 3/2000 hampir serupa dengan masyarakat hukum adat
yang dibayangkan oleh raperda hak ulayat. Itu sebabnya, raperda hak ulayat
menggunakan kata kelompok masyarakat dan lembaga adat pada posisi
yang sejajar (pasal 10). Ukuran bahwa lembaga adat nyaris serupa dengan
masyarakat hukum adat didasari oleh alasan bahwa unsur-unsur lembaga
adat hampir mirip dengan unsur masyarakat hukum adat. Menurut perda
No. 3/2000 lembaga adat memiliki: (1) sumber kekayaan (pasal 14 ayat
1): (2) memiliki wilayah adat (pasal 1 angka 10); dan (3) memiliki tugas
dan kewenangan untuk mengatur, mengurus dan menyelesaikan berbagai
permasalahan kehidupan (pasal 1 angka 10, pasal 6 ayat 2a, pasal 7 ayat
1c). Sedangkan menurut raperda hak ulayat unsur masyarakat hukum adat
adalah: (1) adanya kelompok masyarakat yang memiliki integritas, teratur
dan bertindak sebagai kesatuan yang terikat dan tunduk pada tatanan
hukum adatnya; (2) adanya struktur pemerintahan sendiri yang memiliki
kewenangan untuk mengadakan aturan-aturan yang diakui dan diataati
oleh warganya; (3) adanya kekayaan yang terpisah dengan kekayaan
masing-masing warganya; dan (4) adanya wilayah.
Kedua, berbeda dengan raperda hak ulayat, perda No. 3/2000 justru
mengakui adanya masyarakat hukum adat. Pasal 13 ayat (1) perda No.
3/2000 berbunyi:
“Penetapan wilayah adat yang dikuasai oleh masyarakat adat secara
tumurun-temurun mempunyai batas-batas yang jelas dan pasti, diakui
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 105
oleh pemerintah dan dapat digunakan oleh masyarakat sesuai adat istiadat
dan kebiasaan yang berlaku.”
Maksud senada bisa didapatkan dalam pasal 1 angka 10 yang
mengatakan bahwa lembaga adat tumbuh dan berkembang di dalam
sejarah perkembangan masyarakat hukum adat tertentu. Dengan redaksi
semacam itu, karena perda No. 3/2000 mengakui lembaga adat, maka
dengan sendirinya Pemerintah Daerah dan DPRD Kabupaten Pasir telah
mengakui keberadaan masyarakat hukum adat lewat perda tersebut. Jadi
bisa disimpulkan bahwa dengan mengusulkan raperda hak ulayat artinya
pemda Pasir menganulir kebijakannya terdahulu yang mengakui adanya
masyarakat hukum adat di Pasir.
Barangkali, diantara sekian produk hukum daerah yang mencoba
melaksanakan lebih lanjut Permenag/Kepala BPN No. 5/1999, hanya
raperda hak ulayat yang difungsikan untuk mendeklarasikan
tiadanya masyarakat hukum adat dan hak ulayat. Berbeda dengan
raperda hak ulayat, inisiatif-inisiatif yang berlangsung di Kabupaten
Lebak, Kabupaten Bungo dan Kabupaten Merangin justru mengakui
masih adanya masyarakat hukum adat atau hak ulayat di daerah
masing-masing. Begitu juga dengan Kabupaten Kampar, kendati
mencoba mengendalikan hak tanah ulayat dan pemangku adat,
tapi tetap masih mengakui adanya tanah ulayat di Kabupaten
Kampar. Begitu juga dengan inisiatif di Propinsi Sumatera Barat dan
Kabupaten Jayapura, yang masih dalam status rancangan, sama-
sama mengakui kebaradaan masyarakat hukum adat dan tanah
ulayat.
Untuk memudahkan, perbedaan masing-masing Perda,
Keputusan Bupati dan rancangan Perda tersebut akan dperlihatkan
dalam bentuk tabel.
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)106
Tabel 1. Perbandingan Inisiatif Kebijakan Pengakuan Hak Ulayat Raperda Pasir1
Perda Lebak Perda Kampar SK Bupati Bungo dan Merangin
Raperda Sumatera Barat2
Raperda Jayapura
Rauang Lingkup Pengaturan
Masyarakat Hukum Adat dan Hak Ulayat
Hak Ulayat Hak tanah Ulayat
Hutan Adat Tanah Ulayat Tanah Ulayat, Tanah Adat
Materi Pokok yang Diatur
Kriteria masyarakat hukum adat, subyek hak ulayat, kriteria dan obyek hak ulayat, penentuan keberadaan masyarakat hukum adat dan hak ulayat
Penetapan wilayah hak ulayat, bidang-bidang tanah yang dikecualikan dari hak ulayat, batas-batas hak ulayat masyarakat Baduy, ketentuan pidana, ketentuan penyidikan, larangan pensertifikatan hak ulayat masyarakat Baduy
Hak Tanah Ulayat (fungsi, larangan dalam penggunaan), Tata cara pemilikan dan penggunaan tanah ulayat, kerapatan adat, pemilikan tanah ulayat, pengawasan, tugas , wewenang dan fungsi kepala penghulu, mandat pembentukan Badan Penyelesaian Permasalahan dan Pemutihan Tanah Ulayat Daerah
Pengakuan terhadap hutan adat, batas, batas hutan adat, penggunaan hukum adat untuk mengelola hutan adat, kewajiban untuk melaporkan
Klasifikasi dan Kewenangan Penguasaan Tanah Ulayat, Kedudukan dan Fungsi Tanah Ulayat, Pemanfaatan dan Penggunaan Tanah Ulayat, Pendaftaran Tanah Ulayat, Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat, Penguasaan Kembali oleh Negara terhadap Tanah yang telah Berakhir masa berlaku hak atas tanahnya
Pelepasan Tanah Ulayat, Pemanfaatan Tanah Ulayat untuk Kegiatan Usaha, Kewajiban Bagi Perusahaan untuk Memberikan Kompensasi, Ganti Rugia atas Tanam-Tanaman, Kewajiban Membayar Pajak, Kenetuan Peralihan
Mengakui Hak Ulayat/Tdk Mengakui Hak Ulayat
Tidak Mengakui adanya masyarakat hukum adat dan hak ulayat di Pasir
Mengakui keberadaan hak ulayat Masyarakat Baduy
Mengakui Adanya Tanah Hak Ulayat Kampar
Mengakui Hutan Adat dan Masyarakat Hukum Adat
Mengakui adanya Tanah Ulayat di Sumbar
Mengakui adanya Hak Ulayat di Kabupaten Jayapura
Sumber: Perpustakaan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara tahun 2006
Di Kabupaten Kapuas Hulu (Kalbar) sejak November 2003
sampai saat ini tengah dilakukan proses identifikasi terhadap
lima kampung8 yang berada di Kabupaten tersebut dalam rangka
pengakuan hak ulayat/hak-hak adat lainnya. Identifikasi dilakukan
oleh sejumlah LSM lokal yakni Lembaga Bela Banua Talino (LBBT),
Yayasan Sistem Hutan Kerakyatan (SHK) Kalbar dan PPSDAK. Tim
identifikasi hanya bertugas melengkapi dan mengklarifikasi data-
data mengenai lima kampung tersebut, yang sebelumnya sudah
dikumpulkan. Identifikasi dilakukan dengan metode menggelar
diskusi kampung dan wawancara. Seluruh biaya penyelenggaraan
8 Kelima kampung tersebut adalah Sei-Utik, Pulan, Ungak, Langan dan Sei-Tebelian.
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 107
identifikasi ditanggung oleh pemda Kapuas Hulu yang diambil
dari pos APBD. Menurut rencana, setelah identifikasi akan
dibentuk sebuah tim verifikasi yang bertugas memverifikasi data
yang didapatkan dari kegiatan identifikasi. Tim verfikasi akan
beranggotakan unsur akademisi, pemda dan LSM. Hasil tim verifikasi
akan dipergunakan sebagai dasar ntuk mengeluarkan pengakuan
terhadap lima kampung tersebut, lewat peraturan daerah.
Selain bermasalah dari segi proses, raperda hak ulayat juga
memiliki sejumlah catatan negatif dari sisi substansi. Materi raperda
ini menyalahi tuntutan yang dikehendaki oleh Permenag/Kepala BPN
No. 5/1999. Tanpa mengatur atau tanpa terlebih dahulu menerbitkan
ketentuan atau perda yang mengatur mengenai prosedur penelitian
dan penentuan hak ulayat, raperda ini langsung menyimpulkan
bahwa di Kabupaten Pasir tidak terdapat masyarakat hukum adat
dan hak ulayat, berdasarkan kriteria yang dibuatnya.
Raperda hak ulayat juga menabrak perda No. 3/2000 yang nyata-
nyata memiliki materi pengaturan yang relevan dengannya. Bukan
hanya menabrak, raperda hak ulayat justru menegasikan keberadaan
perda No. 3/2000 karena tidak mencantumkannya sebagai dasar
hukum. Selain melakukan penyempitan defenisi, raperda hak ulayat
juga bersebarangan dengan perda No. 3/2000 karena tidak mengakui
keberadaan masyarakat hukum adat dan hak ulayat, sementara
perda No. 3/2000 mengakuinya.
”Bila dibandingkan dengan inisiatif kebijakan di daerah lain,
raperda hak ulayat memilih jalan yang berbeda. Bila inisiatif
kebijakan lain mengenai hak ulayat dilandasi oleh semangat untuk
mengakui keberadaan hak ulayat, raperda hak ulayat memilih jalan
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)108
sebaliknya. Tidak salah rasanya bila Pernyataan Sikap Bersama
menganggap raperda ini melawan semangat yang dipunyai UUD
1945 hasil amandemen dan UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan
Daerah. Sekedar menggenapi, raperda ini juga melakukan hal serupa
terhadap Tap. MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan P
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 109
Bab Lima
HASIL OLAHAN DATA SEMENTARA YANG SUDAH
SELESAI DIOLAH
Berikut disampaikan contoh olahan data berdasarkan penelitian
lapangan yang sudah diselesaikan. Hasil ini masih belum final karena masih
terdapat beberapa data kuesioner yang diolah secara kuantitatif dan juga
data hasil wawancara yang diolah secara kualitatif. Namun demikian yang
disampaikan dalam draft laporan akhir ini masih merupakan salah satu
contoh hasil olahan sementara. Sedangkan olahan data secara keseluruhan
akan diselesaikan sebelum akan dilaksanakannya FGD untuk mendapatkan
masukan dalam rangka penyelesaian laporan akhir yang sudah final.
A. Analisis Sementara di Lokasi Pontianak
KARAKTERISTIK P4T
Pola Penguasaan Tanah
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)110
Berdasarkan hasil analisis [tabel frekuensi] terlihat bahwa lebih dari
50 responden setuju bahwa pola penguasaan tanah adat belakangan ini
lebih mengarah pada individualisasi. Sementara hanya 27% yang tidak
setuju dengan argumen sebaliknya.
Meskipun demikian lebih dari 60 persen responden kasus Pontianak
juga menyatakan bahwa pola penguasaan tanah adat saat ini masih
mengarah pada pola kolektif. Hanya 20% responden yang menyatakan
tidak setuju bila pola penguasaan tanah adat saat ini mengarah pada
pola kolektif.
Frequency Tablepenguasaan tanah individualisasi
Frequency Percent Valid PercentCumulative
PercentValid tidak setuju 4 26.7 26.7 26.7
cukup setuju 2 13.3 13.3 40.0setuju 8 53.3 53.3 93.3sangat setuju 1 6.7 6.7 100.0Total 15 100.0 100.0
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 111
penguasaan tanah secara utuh
Frequency Percent Valid PercentCumulative
PercentValid tidak setuju 3 20.0 20.0 20.0
cukup setuju 2 13.3 13.3 33.3setuju 9 60.0 60.0 93.3sangat setuju 1 6.7 6.7 100.0Total 15 100.0 100.0
penguasaan tanah campuran
Frequency Percent Valid PercentCumulative
PercentValid tidak setuju 1 6.7 6.7 6.7
cukup setuju 5 33.3 33.3 40.0setuju 8 53.3 53.3 93.3sangat setuju 1 6.7 6.7 100.0Total 15 100.0 100.0
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)112
Tatacara Perolehan Tanah
Mayoritas responden pada dasarnya setuju bahwa tata cara perolah
tanah baik itu yang bersifat individu, kolektif, maupun campuran dapat
dilakukan melalui sistem-sistem yang berlaku yaitu dengan sewa, bagi
hasil, jual beli, garapan maupun program pertanahan. Lebih dari 68%
responden setuju bahwa pola penguasaan tanah adat secara individu
dapat dilakukan dengan system transaksi tanah yang umum. Sedangkan
59% responden setuju untuk tanah yang dikuasai secara kolektif.
Sementara itu 100% responden juga setuju bahwa tata cara perolehan
tanah yang bersifat campuran dapat dilakukan dengan system sewa,
garapan, bagi hasil, jual beli, dan program pertanahan.
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 113
Frequency Tabletata cara penguasaan tanah individu dapat melalui sistem
Frequency Percent Valid PercentCumulative
PercentValid abstain 5 33.3 33.3 33.3
cukup setuju 6 40.0 40.0 73.3setuju 3 20.0 20.0 93.3sangat setuju 1 6.7 6.7 100.0Total 15 100.0 100.0
tata cara penguasaan tanah kolektif dapat melalui sistem
Frequency Percent Valid PercentCumulative
PercentValid abstain 5 33.3 33.3 33.3
tidak setuju 1 6.7 6.7 40.0cukup setuju 5 33.3 33.3 73.3setuju 2 13.3 13.3 86.7sangat setuju 2 13.3 13.3 100.0Total 15 100.0 100.0
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)114
tata cara penguasaan tanah campuran dapat melalui sistem
Frequency Percent Valid PercentCumulative
PercentValid cukup setuju 5 33.3 33.3 33.3
setuju 8 53.3 53.3 86.7sangat setuju 2 13.3 13.3 100.0Total 15 100.0 100.0
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 115
Mayoritas Penggunaan Tanah
Sebagian besar responden juga setuju bahwa mayoritas penggunaan
lahan baik itu yang bersifat individual, kolektif, maupun, campuran
banyak digunakan untuk pemukiman, sawah, tanah, tanah kering,
maupun kebun.
Frequency Table
mayoritas penggunaan tanah individu untuk pemukiman dll
Frequency Percent Valid PercentCumulative
PercentValid abstain 4 26.7 26.7 26.7
tidak setuju 1 6.7 6.7 33.3cukup setuju 2 13.3 13.3 46.7setuju 6 40.0 40.0 86.7sangat setuju 2 13.3 13.3 100.0Total 15 100.0 100.0
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)116
mayoritas penggunaan tanah kolektif untuk pemukiman dll
Frequency Percent Valid PercentCumulative
PercentValid abstain 4 26.7 26.7 26.7
cukup setuju 3 20.0 20.0 46.7setuju 6 40.0 40.0 86.7sangat setuju 2 13.3 13.3 100.0Total 15 100.0 100.0
mayoritas penggunaan tanah campuran untuk pemukiman dll
Frequency Percent Valid PercentCumulative
PercentValid abstain 4 26.7 26.7 26.7
cukup setuju 3 20.0 20.0 46.7setuju 6 40.0 40.0 86.7sangat setuju 2 13.3 13.3 100.0Total 15 100.0 100.0
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 117
KONTRIBUSI P4T
Jenis Aset dan Pola Pemilikan Tanah dan Kesejahteraan Masyarakat
Sebagian besar responden setuju bahwa jenis aset dan pola pemilikan
tanah juga akan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat. Lebih dari
86% responden studi kasus Pontianak menyatakan bahwa kesejahteraan
masyarakat dapat ditentukan oleh jenis aset tanah yang dimilikinya.
Frequency Table
Kontribusi P4T terhadap kesejahteraan masy ditentukan oleh jenis aset tanah
Frequency Percent Valid PercentCumulative
PercentValid cukup setuju 2 13.3 13.3 13.3
Setuju 9 60.0 60.0 73.3sangat setuju 4 26.7 26.7 100.0Total 15 100.0 100.0
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)118
kontribusi P4T terhadap kesejahteraan masy ditentukan jenis kepemilikan
Frequency Percent Valid PercentCumulative
PercentValid cukup setuju 2 13.3 13.3 13.3
Setuju 9 60.0 60.0 73.3sangat setuju 4 26.7 26.7 100.0Total 15 100.0 100.0
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 119
Faktor Jalan Penghubung, Produksi, Bank, dan Pemasaran, dan Faktor
Lain yang mempengaruhi Akses Sosekbud terhadap Kesejahteraan
Masyarakat
Hampir seluruh responden setuju bahwa berbagai faktor-faktor
seperti jalan penghubung, produksi, bank, dan pemasaran, maupun
berbagai faktor lan akan mempengaruhi akses sosial, ekonomi, budaya
terhadap kesejahteraan masyarakat.
Frequency Table
faktor prod, pasar, bank mempengaruhi akses sosbud terhadap kesejahteraan masy
Frequency Percent Valid PercentCumulative
PercentValid cukup setuju 3 20.0 20.0 20.0
setuju 8 53.3 53.3 73.3sangat setuju 4 26.7 26.7 100.0Total 15 100.0 100.0
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)120
faktor selain prod, pasar, bank mempengaruhi akses sosbud terhadap kesejahteraan masy
Frequency Percent Valid PercentCumulative
PercentValid cukup setuju 3 20.0 20.0 20.0
setuju 7 46.7 46.7 66.7sangat setuju 5 33.3 33.3 100.0Total 15 100.0 100.0
EFEKTIVITAS DAN IDEAL
Dapat terlihat pada tabel, bahwa mayoritas responden Pontianak
setuju bahwa peraturan yang ada saat ini telah cukup memadai dan
dilaksanakan dengan baik dan tanpa penyimpangan. Responden
juga setuju bila aturan-aturan P4T telah dianggap cukup memenuhi
kaidah peraturan perundang-undangan yang baik, sehingga dapat
memberikan perlindungan kepada masyarakat untuk meningkatkan
kesejahteraannya.
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 121
Frequency Table
aturan efektif
Frequency Percent Valid PercentCumulative
PercentValid tidak setuju 1 6.7 6.7 6.7
cukup setuju 4 26.7 26.7 33.3setuju 6 40.0 40.0 73.3sangat setuju 4 26.7 26.7 100.0Total 15 100.0 100.0
pelaksanaan efektif
Frequency Percent Valid PercentCumulative
PercentValid tidak setuju 1 6.7 6.7 6.7
cukup setuju 4 26.7 26.7 33.3setuju 6 40.0 40.0 73.3sangat setuju 4 26.7 26.7 100.0Total 15 100.0 100.0
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)122
ideal rumusan
Frequency Percent Valid PercentCumulative
PercentValid cukup setuju 4 26.7 26.7 26.7
setuju 7 46.7 46.7 73.3sangat setuju 4 26.7 26.7 100.0Total 15 100.0 100.0
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 123
ideal perlindungan
Frequency Percent Valid PercentCumulative
PercentValid cukup setuju 4 26.7 26.7 26.7
setuju 7 46.7 46.7 73.3sangat setuju 4 26.7 26.7 100.0Total 15 100.0 100.0
KORELASI
Korelasi Antara Peraturan P4T yang Telah Memadai dan Kemampuan
Memberikan Perlindungan Pada Masyarakat
Hasil Pertama.
Analisis tabulasi silang menunjukkan bahwa 40% dari responden
yang setuju bahwa peraturan P4T telah telah memadai juga setuju
bahwa peraturan pola P4T mampu memberikan perlindungan kepada
masyarakat. Prosentase ini jauh lebih besar daripada responden yang
memiliki persepsi lainnya.
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)124
Hasil Kedua.
Uji analisis namun demikian menunjukkan bahwa approx sig. 0,0
yang yang lebih kecil dari 0,05. Hal ini mencirikan bahwa variable
bebas memiliki kemungkinan korelasi. Dalam bahasa lain hasil ini
menunjukkan bahwa tanggapan responden terhadap efektivitas
peraturan dapat digunakan untuk menilai apakah aturan pola P4T telah
memberikan perlindungan pada masyarakat.
CrosstabsCase Processing Summary
CasesValid Missing Total
N Percent N Percent N Percentaturan efektif * ideal
perlindungan15 100.0% 0 .0% 15 100.0%
aturan efektif * ideal perlindungan Crosstabulationideal perlindungan
Totalcukup setuju setuju sangat setuju
aturan efektif
tidak setuju
Count 1 0 0 1% of Total 6.7% .0% .0% 6.7%
cukup setuju
Count 3 1 0 4% of Total 20.0% 6.7% .0% 26.7%
setuju Count 0 6 0 6% of Total .0% 40.0% .0% 40.0%
sangat setuju
Count 0 0 4 4% of Total .0% .0% 26.7% 26.7%
Total Count 4 7 4 15% of Total 26.7% 46.7% 26.7% 100.0%
Directional Measures
Value
Asymp. Std.
ErroraApprox.
TbApprox.
Sig.Ordinal by Ordinal
Somers’ d Symmetric .920 .055 10.355 .000aturan efektif Dependent
.958 .043 10.355 .000
ideal perlindungan Dependent
.885 .071 10.355 .000
a. Not assuming the null hypothesis.b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 125
Symmetric Measures
ValueAsymp.
Std. ErroraApprox.
TbApprox.
Sig.Ordinal by Ordinal Kendall’s tau-b .921 .055 10.355 .000
Kendall’s tau-c .920 .089 10.355 .000Gamma 1.000 .000 10.355 .000Spearman Correlation
.946 .048 10.481 .000c
Interval by Interval Pearson’s R .929 .034 9.047 .000c
N of Valid Cases 15a. Not assuming the null hypothesis.b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.c. Based on normal approximation.
Korelasi Antara Peraturan P4T yang Sesuai Dengan Kaidah Peraturan
Perundang-undangan yang Baik dan Penyimpangan Peraturan P4T
Yang Mungkin Terjadi
Hasil Pertama.
Seperti sebelumnya analisis tabulasi silang menunjukkan bahwa
40% dari responden yang setuju bahwa peraturan P4T telah telah
ideal memenuhi kaidah peraturan perundang-undangan juga setuju
bahwa peraturan pola P4T telah dilaksanakan dengan baik tanpan
penyimpangan. Prosentase ini jauh lebih besar daripada responden
yang memiliki persepsi lainnya.
Hasil Kedua.
Uji analisis namun demikian menunjukkan bahwa approx sig. 0,0 yang yang lebih kecil dari 0,05. Hal ini mencirikan bahwa variabel bebas memiliki kemungkinan korelasi. Dalam bahasa lain hasil ini menunjukkan bahwa tanggapan responden terhadap adanya penyimpangan pelaksanaan peraturan pola P4T dapat digunakan untuk menilai apakah aturan pola P4T telah memenuhi kaidah peraturan perundang-undangan yang baik.
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)126
CrosstabsCase Processing Summary
CasesValid Missing Total
N Percent N Percent N Percentpelaksanaan efektif * ideal rumusan
15 100.0% 0 .0% 15 100.0%
pelaksanaan efektif * ideal rumusan Crosstabulationideal rumusan
Totalcukup setuju setuju
sangat setuju
pelaksanaan efektif
tidak setuju Count 1 0 0 1% of Total
6.7% .0% .0% 6.7%
cukup setuju Count 3 1 0 4% of Total
20.0% 6.7% .0% 26.7%
setuju Count 0 6 0 6% of Total
.0% 40.0% .0% 40.0%
sangat setuju Count 0 0 4 4% of Total
.0% .0% 26.7% 26.7%
Total Count 4 7 4 15% of Total
26.7% 46.7% 26.7% 100.0%
Symmetric Measures
ValueAsymp.
Std. Errora Approx. TbApprox.
Sig.Ordinal by Ordinal Kendall’s tau-b .921 .055 10.355 .000
Kendall’s tau-c .920 .089 10.355 .000Gamma 1.000 .000 10.355 .000Spearman Correlation
.946 .048 10.481 .000c
Interval by Interval Pearson’s R .929 .034 9.047 .000c
N of Valid Cases 15a. Not assuming the null hypothesis.b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.c. Based on normal approximation.
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 127
Bab Enam
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada bab-bab
sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan sementara sebagai berikut:
Pertama, berkaitan dengan pola P4T terhadap tanah adat/ulayat yang
ada pada saat ini, maka dapat disimpulkan sementara bahwa bahwa pola
P4T yang ada saat ini masih menggunakan sistem konvensional. Artinya
bahwa pola penggunaan, pengelolaan dan pemanfaatan tanah adat/
ulayat masih belum mampu untuk meningkatkan ekonomi masyarakat
adat secara komunal. Yang terjadi bahkan di beberapa daerah masih
bersifat parsial, khusunya apabila dilihat dari subyek yang dapat
menggunakan, mengelola dan memanfaatkannya.
Kedua, berkaitan dengan kontribusi P4T pada tanah adat/
ulayat terhadap kesejahteraan masyarakat. Mengingat penggunaan,
pengelolaan, dan pemanfaatan tanah ulayat masih bersifat konvensional
dan juga masih bersifat parsial, maka kontribusi pola P4T belum dapat
secara maksimal dapat mensejahterakan masyarakat.
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)128
Ketiga, berkaitan dengan konsep pola P4T yang efektif dan ideal dalam
rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Mengenai kesimpulan
yang ketiga ini belum dapat disimpulkan secara komprehensif.
Namun demikian harapannya kedepan bahwa pola P4T tersebut harus
meninggalkan paradigm secara parsial dan konvensional, sehingga
lebih menyentuh hal mendasar yang sangat diperlukan oleh masyarakat
baik dilihat dari aspek akses dan akses terhadap tanah ulayat.
Keempat, berkaitan dengan alternatif kebijakan apakah yang
dapat dilakukan oleh Pemerintah terhadap pola P4T terhadap tanah
adat/ulayat untuk mensejahterakan masyarakat ini maka kebijakan
yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah bahwa P4T harus lebih
memperhatikan potensi masyarakat hukum adat yang tinggal di sekitar
kawasan tanah ulayat tersebut dalam berbagai perspektif seperti
ekonomi, social, budaya dan aspek lainnya. Kebijakan pemerintah ini
dapat dilakukan dengan lebih melibatkan masyarakat dan pemerintah
daerah untuk ikut terlibat dalam langkah yang nyata dalam penggunaan,
pengelolaan dan pemanfaatan terhadap tanah ulayat.
B. Saran
Adapun saran yang harus dilakukan dalam kaitannya dengan
kebijakan pola P4T dapat dikemukakan sebagai berikut:
Pertama, melakukan koordinasi secara nyata dengan pemerintah
daerah melalui beberapa paket program kegiatan yang terkait dengan
pola P4T.
Kedua, melibatkan masyarakat hukum adat secara nyata dalam
setiap program kebijakan yang diambil berkaitan dengan pola P4T.
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 129
DAFTAR PUSTAKA
Adalsteinsson, Ragna dan Pall Thorhallson, “Article 27”, in Gudmundur Alfredsson and Asbjorn Eide (eds.), The Universal Declaration of human Rights: A Common Standard of Achievement, 1999.
Alfredsson, Gudmundur, “Treaties with Indigeneous Populations”, in Encyclopedia of International Law, vol 2, 1995.
_______, “Group Rights, Prefential Treatment and The Rule Law, “ paper presented to the Law & Society Trust Consultation on Group & Minority Rights, 1995.
Aditjondro, George Junus. Pola-Pola Gerakan lingkungan: Refleksi Untuk Menyelematkan Lingkungan Dari Ekspansi Modal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
_______, Korban-Korban Pembangunan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.Ali Kodra, Hadi S. dan Syaukani. Bumi Makin Panas Banjir Makin Luas,
Yayasan Nuansa Cendekia, Bandung, 2004.Bahri, Saiful. “Tangkahan Inisiatif Lokal Untuk Merakyatkan Taman
Nasional Gunung Leuser, “Makalah disampaikan pada “Shearde Learning”, Kawasan Ekowisata Tangkahan, Taman Nasional Gunung Leuser, Langkat Sumatera Utara, 13-12 Februari 2006.
Cahyat, A. Masyarakat Mengawasi Pembangunan Daerah: Bagaimana Agar Dapat Efektif?. Bogor: CIFOR, 2005.
______, Perubahan Perundangan Desentralisasi. Bogor: CIFOR, 2005.Cahya Wulan, Yuliana, dkk. Analisa Konflik sector kehutanan di Indonesia
1997-2003. Bogor: Center for International Forestry Research, 2004.Depsos RI, Profil Keberhasilan Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil pada 12
Provinsi, Depsos RI, 2004.Depsos RI, Model pendekatan Sosial Budaya Dalam Penyiapan dan Pemantapan
Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil, Depsos RI, 2004.Fauzi, Noer dan I Nyoman Nurjaya, Sumber Daya Alam Untuk Rakyat:
Modul Lokakarya Penelitian Hukum Kritis-Partisipatif bagi Pendamping Hukum Rakyat, Jakarta: ELSAM, 2000.
Heroepoetri, Arimbi Julia Kalmirah dan Niken Sekar Palupi, Seri Konvensi Internasional Lingkungan: Konvensi Washington, Konvensi Keanekaragaman Hayati, Konvensi Perubahan Iklim, Jakarta: Wahana
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)130
Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) bekerjasama dengan FH UNIKA Atmajaya, 1999.
H. Fuad, Faisal. dan Siti Maskanah. Inovasi Penyelesaian Sengketa Pengelolaan Sumber Daya Hutan, Pustaka LATIN, 2000.
Harahap, Bazar dkk,. Tanah Ulayat Dalam Sistem Pertanahan Nasional. Jakarta: Yayasan Peduli Pengembangan Daerah, 2005.
Hilary N. “Weaver, Indigenous Identity: What Is It, and Who Really Has It?” American Indian Quarterly/Spring 2001/vol. 25, No 2:244.
Kleden, Emil. Otonomi Komunitas Masyarakat Adat. Jakarta: AMAN, 2000.Kasim, Ifdhal. dan Johanes da Masenus Arus. Hak Ekonomi, Sosial, Budaya,
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Jakarta, 2001.______, Instrumen Pokok Hak Asasi Manusia Internasional Bagi Aparatur Penegak
Hukum. Jakarta: Elsam, 2001.Kusuma, Hilman. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Bandung: CV. Mandar
Maju, 1992.Kusumaatmadja, Mochtar. Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan,
Bandung: PT. Alumni, 2002.Kleden, Emil, Sandra Moniaga, B. Steni. “ Sarasehan Tentang Taman
Nasional,” Diskusi dengan Tokoh Adat tentang Taman Nasional di Wisma Kenasih, Puncak Bogor, tanggal 31 Agustus 2005.
Kuncoro, Mudrajad. Otonomi Daerah dan Pembangunan Daerah: Reformasi, Perencanaan, Strategi, dan Peluang. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2004.
Malik, Ichsan. dkk. Menyeimbangkan Kekuatan: Pilihan Strategi Menyelesaikan konflik Atas Sumber Daya Alam, Jakarta: Yayasan Kemala, 2003.
Moelyono, Ilya. dkk, Memadukan Kepentingan Memenagkan Kehidupan, Bandung: Driya Media, 2003.
Mulyadi, Kartini dan Gunawan Widjaya, Hak-Hak Atas Tanah, Jakarta: Prenada Media, 2004.
Moh Askin. Penegakan Hukum Lingkungan dan Pembicaraan di DPR-RI. Jakarta: Yasrif Watampoene, 2003.
Moh. Koesnoe. Catatan-Catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini. Surabaya: Airlangga University Press, 1979.
Moniaga, Sandra. Hak Masyarakat Adat dan Masalah Serta Kelestarian Lingkungan Hidup di Indonesia. Jakarta: HUMA, 2003.
Marquardt, S., “International Law and Indigeneous peoples”, in International Journal on Group Rights 3, 1995.
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 131
Moniaga, Sandra,” Hak-hak Masyarakat Adat di Indonesia, Makalah Lokakarya Nasional IV HAM 1998 diselenggarakan oleh Komnas HAM, Departemen Luar Negeri dan The Australian Human Rights and Equal Opportunity Commission, Jakarta, 1 – 3 Desember 1998.
Moh. Yamin. Naskah Persiapan Undang-undang Dasar 1945. Jakarta: tanpa penerbit, 1959.
Parlindungan, A.P. Komentar Terhadap UUPA No.5 Tahun 1960. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,2000.
Riyatno, Budi. Selayang Pandang Pengelolaan Kawasan Hutan di Indonesia, Lembaga Pengkajian Hukum Kehutanan dan Lingkungan, Bogor, 2004.
______,. Pengaturan Hukum Adat di Indonesia, Lembaga Pengkajian Hukum Kehutanan dan Lingkungan, Bogor, 2004.
______,. Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, Sebuah Tinjauan Hukum Terhadap Debt for nature Swaps, Lembaga Pengkajian Kehutanan dan Lingkungan, Bogor, 2004.
Rahardo, Satjipto. Hukum Adat Dalam Negara Kesatuan Modern Republik Indonesia.
Rositah. Kemiskinan Masyarakat Sekitar Hutan dan Penanggulangannya. Bogor: CIFOR, 2005.
Rahardo, Satjipto.” Hukum Adat Dalam Negara Kesatuan Modern Republik Indonesia.”Makalah dalam Lokakarya Nasional Inventarisasi dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, KOMNASHAM, DEPDAGRI dan MAHKAMAH KONSTITUSI, Jakarta 14-15 Juni 2005.
Republik Indonesia, Undang-Undang UU No.23 Tahun 1997. Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,
Republik Indonesia. Undang-Undang UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Republik Indonesia, Undang-Undang No.32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Republik, Indonesia, Undang-Undang UU No.39 tahun 1999. tentang Hak Asasi Manusia.
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.Republik Indonesia, Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
Papua.Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah.Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1999 tentang
Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan Pada Hutan Produksi.
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)132
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
Sangaji, Arianto.“Membaca Ulang Gerakan Masyarakat Adat di Sulawesi Tengah”, Jurnal Hukum Adat, 1995.
Susanti, Ari dkk, Proceeding Lokakarya Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat, Yogyakarta: Lembaga ARUPA, 2000.
Suporahardjo. Strategi dan Praktek Kolaborasi: Sebuah Tinjauan. Bogor: Pustaka LATIN, 2005.
______,. Manajemen Kolaborasi: Memahami Plurasisme Membangun Konsensus. Bogor: Pustaka LATIN, 2005.
_______, dkk. Inovasi Penyelesaian Sengketa Pengelolaan Sumber Daya Hutan. Bogor: Pustaka LATIN, 2000.
Soekanto, Soerjono.Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 1983._______, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997.Sirait, Martua, Chip Fay, dan A. Kusworo.” Bagaimana Hak-hak Masyarakat
Hukum Adat Dalam Mengelola Sumber Daya Alam Diatur?.” Makalah Roundtable Discussion di Wisma PKBI, 20 Oktober 1999.
Tim Peneliti CIFOR, Analisa Konflik Kehutanan di Indonesia 1997-2003, CIFOR, 2004.
Tim Peneliti ARUPA. Proceeding Lokakarya Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat, Lembaga ARUPA, Yogyakarta, 2000.
Tim Fasilitator PILI dan CIFOR, “Prinsip Dalam Penyelesaian Konflik Dengan Mediasi,” makalah disampaikan pada acara Sheared Learning di Tangkahan, Taman Nasional gunung Leuser, 13-22 Februari, 2006.
Wignjosoebroto, Soetandyo. Hukum: Paradigma, Metode, dan Dinamika Masalahnya. Jakarta: ELSAM – HuMa, 2002.
______________.” Pembaharuan Hukum untuk Menggalang Kehidupan Masyarakat Indonesia Baru yang Berperikemanusiaan.” Makalah seminar Nasional “Menggalang Masyarakat Baru yang Berkemanusiaan”, diselenggarakan oleh Ikatan Sosiologi Indonesia, Bogor, 28 – 29 Agustus 2002.
Yulianti. Kopermas: Masyarakat Hukum Adat Sebagai Tameng Bagi Pihak Yang Berkepentingan. Bogor: CIFOR, 2005.
top related