penyelesaian perkara wanprestasi dalam perjanjian …
Post on 16-Oct-2021
21 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PENYELESAIAN PERKARA WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN
UTANG-PIUTANG
(STUDI KASUS NO. 409/Pdt.G/2016/PN.MDN)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
OLEH :
FADILLA AULIA SYAFITRI
NIM : 160200452
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
i
KATA PENGANTAR
Pertama-tama penulis ingin mengucapkan puji dan syukur kepada Allah
S.W.T dan Salawat terhadap junjungan Nabi Muhammad S.A.W karena atas segala
karunia, rahmat, dan kasih sayang-Nya, yang telah memberi ilmu pengetahuan dan
kekuatan bagi lahir dan batin sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini pada
Departemen Hukum Keperdataan Program Kekhususan Hukum Perdata BW di
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Penulisan skripsi yang berjudul “Penyelesaian Perkara Wanprestasi Dalam
Perjanjian Utang-Piutang (Studi Kasus No.409/2016/PN.MDN)” yang disusun dan
diajukan kepada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi
tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum
Program Studi Strata Satu (S1). Judul skripsi ini ditulis guna membahas mengenai
penyelesaian perkara wanprestasi perjanjian utang-piutang di Pengadilan Negeri
Medan serta penyebab terjadinya wanprestasi dalam perjanjian utang-piutang. Di
dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari banyak kekurangan dan masih jauh
dari sempurna, untuk itu terbuka menerima kritik dan saran yang membangun dari
para pembaca untuk perbaikan di kemudian hari.
Mulai pengerjaan hingga penyelesaian pada penulisan skripsi ini, penulis
mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah memberi bantuan pada
penulis memberikan materi perkuliahan, hingga dukungan moril hingga dukungan
materil dan semangat penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Dalam kesempatan
ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besamya kepada :
1. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum, yang selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ii
2. Prof. Dr. H. OK. Saidin, S.H., M.Hum, selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
3. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum, selaku Wakil Dekan II Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara
4. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum, selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
5. Prof. Dr. Rosnidar Sembiring, S.H., M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum
Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
6. Bapak Syamsul Rizal, S.H., M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum
Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
7. Ibu Dr. Marianne Magda, S.H., M.Kn. yang selaku Dosen Penasihat Akademik
penulis yang telah memberikan nasihat dan arahan kepada penulis
8. Prof. Dr. Tan Kamello, SH., MS., yang selaku Dosen Pembimbing I yang telah
membimbing penulis dengan berupa masukan dan arahan yang baik di dalam
pengerjaan skripsi ini
9. Ibu Rabiatul Syahriah, SH., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah
membimbing penulis dan memberikan masukan serta arahan yang baik di dalam
pengerjaan skripsi ini
10. Seluruh Staf Dosen Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang
telah membagikan ilmu khususnya dalam bidang hukum
11. Seluruh Pegawai dan Staf yang telah membantu penulis dalam hal administrasi
di bagian pendidikan dari awal memasuki bangku perkuliahan sampai sekarang
12. Teristimewa orang tua dan keluarga penulis yang memberikan dukungan berupa
doa dan kasih sayang serta dukungan baik moril maupun materiil.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
iii
13. Terimakasih kepada teman-teman penulis yang telah membantu memberikan
saran-saran berguna dan dukungan kepada penulis selama pengerjaan skripsi.
Demikianlah dengan skripsi ini yang sangat jauh dari kata sempurna. Oleh
karenanya, penulis dengan kerendahan hati mengharapkan adanya kritik dan saran
yang membangun demi perbaikan menuju yang lebih baik dan bermanfaat bagi kita
semua, terutama para mahasiswa/i dan kalangan praktisi dibidang hukum.
Medan, Februari 2020
Fadilla Aulia Syafitri
160200452
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
iv
ABSTRAK
Tan Kamello*
Rabiatul Syahriah**
Fadilla Aulia Syafitri***
Hukum perdata merupakan salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan
kewajiban orang dan badan hukum sebagai subjek hukum. Dalam pemenuhan hak
dan kewajiban tersebut merupakan hukum perjanjian yang mana para subjek hukum
berusaha untuk memenuhi suatu prestasi yang telah diperjanjikan. Permasalahan
wanprestasi (ingkar janji) dalam suatu perjanjian utang-piutang merupakan suatu
permasalahan hukum yang umum terjadi dalam perkara wanprestasi. Sehingga
memunculkan suatu permasalahan hukum yang terkadang dalam penyelesaiannya
tidaklah mudah dan cepat serta berlarut-larut, yang menyebabkan pemasalahan
hukum tersebut akan dibawa ke pengadilan untuk diselesaikan melalui putusan para
majelis hakim. Adapun permasalahan sengketa wanprestasi yang akan dibahas di
dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimanakah pengaturan hukum perjanjian
utang-piutang di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) di
Indonesia, apakah yang menjadi faktor penyebab dari terjadinya suatu sengketa
wanprestasi di dalam perkara Nomor 409/Pdt.G/2016/PN.MDN, dan bagaimanakah
penyelesaian hukum terhadap suatu perbuatan wanprestasi utang-piutang terhadap
suatu putusan dengan Nomor 409/Pdt.G/2016/PN.MDN.
Metode penelitian yang dipergunakan di dalam penulisan skripsi ini adalah
metode normatif dengan pendekatan yuridis. Studi kasus yang akan dibahas di
dalam penelitian skripsi ini adalah Putusan Nomor 409/Pdt.G/2016/PN.MDN. Data
yang digunakan dalam penulisan ini adalah data sekunder yang mencakup tiga
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
Hasil penelitian ataupun kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa
perjanjian utang-piutang uang termasuk kedalam jenis suatu perjanjian pinjam-
meminjam yang ada diatur di dalam Pasal 1754 KUHPerdata. Dalam kasus Putusan
Nomor 409/Pdt.G/2016/PN.MDN perjanjian utang-piutang antara penggugat dan
tergugat terjadi karena asas kepercayaan dan iktikad baik (Pasal 1338 KUHPerdata)
dari penggugat untuk menolong tergugat yang membutuhkan modal untuk proyek
kerjanya. Faktor penyebab terjadinya wanprestasi sebagaimana diatur dalam Pasal
1238 KUHPerdata bahwa perkara ini disebabkan oleh kelalaian/kesengajaan pihak
tergugat yang secara sadar menghindari prestasi sebagaimana yang diperjanjikan
dengan pihak penggugat. Pihak penggugat telah memberikan surat teguran berupa
somasi kepada tergugat sebanyak 3 kali peringatan, namun tergugat mengabaikan
surat teguran tersebut yang mengakibatkan penyelesaian suatu perkara wanprestasi
perjanjian utang-piutang yang dilakukan oleh tergugat terhadap penggugat adalah
ditempuh melalui jalur pengadilan. Pihak tergugat tidak pernah menghadiri sidang
meskipun telah dipanggil secara sah dan patut oleh majelis hakim, sehingga hakim
memutuskan untuk menjatuhkan putusan versteek terhadap perkara ini.
Kata Kunci : Perjanjian Utang-Piutang, Wanprestasi
* Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ** Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Hukum Sumatera Utara *** Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
v
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................................... i
ABSTRAK ......................................................................................................... iv
DAFTAR ISI .......................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................... 8
C. Tujuan Penulisan ............................................................................ 8
D. Manfaat Penulisan .......................................................................... 9
E. Tinjauan Pustaka ........................................................................... 10
F. Metode Penelitian ......................................................................... 15
G. Keaslian Penulisan ........................................................................ 18
H. Sistematika Penelitian ................................................................... 18
BAB II PENGATURAN PERJANJIAN UTANG-PIUTANG MENURUT
KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA ..................... 20
A. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian Utang-Piutang .............. 20
B. Jenis-Jenis Utang-Piutang ............................................................. 32
C. Hak dan Kewajiban Para Pihak .................................................... 35
D. Akibat Hukum Perjanjian Utang-Piutang ..................................... 39
BAB III FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA WANPRESTASI DALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
vi
PERJANJIAN UTANG-PIUTANG ................................................ 52
A. Pengertian dan Dasar Hukum Wanprestasi. ................................. 52
B. Bentuk-Bentuk Wanprestasi. ........................................................ 58
C. Penyebab Terjadinya Wanprestasi Dalam Perjanjian Utang-Piutang
...................................................................................................... 60
D. Akibat Hukum Wanprestasi Dalam Perjanjian Utang-Piutang .... 68
BAB IV PENYELESAIAN PERKARA WANPRESTASI DALAM
PERJANJIAN UTANG-PIUTANG TERHADAP PUTUSAN
NO.409/Pdt.G/2016/PN.MDN .......................................................... 74
A. Sebab-Sebab Terjadinya Sengketa Wanprestasi Terhadap Perkara
No. 409/Pdt.G/2016/PN.Mdn. ...................................................... 74
B. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Memutuskan Perkara
Wanprestasi ................................................................................... 83
C. Analisis Hukum dari Putusan Majelis Hakim Terhadap Perkara
dengan No. 409/Pdt.G/2016/PN.Mdn. ......................................... 87
D. Ringkasan Putusan No. 409/Pdt.G/2016/PN.MDN ...................... 93
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................... 107
A. Kesimpulan ................................................................................. 107
B. Saran ........................................................................................... 108
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 110
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum pada dasarnya haruslah sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa yang
bersangkutan. Hukum merupakan suatu seperangkat peraturan yang tidak hanya
memandang hukum itu sebagai kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan
manusia dalam masyarakat, tapi harus pula mencakup lembaga dan proses yang
diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan.1
Hukum perdata merupakan salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan
kewajiban orang dan badan hukum sebagai subjek hukum. Hukum perdata dibagi
menjadi menjadi dua, yaitu hukum perdata materiil dan formil. Dalam hukum
perdata materiil merupakan hukum yang mengatur kepentingan-kepentingan
perdata subjek hukum. Sedangkan, hukum perdata formil merupakan hukum yang
mengatur bagaimanakah cara seseorang mempertahankan haknya apabila dilanggar
oleh orang lain. Hukum perdata formil mempertahankan hukum perdata materiil,
karena dalam hukum perdata formil memiliki fungsi untuk menerapkan hukum
perdata materiil apabila ada yang melanggarnya.2
Pemenuhan hak dan kewajiban terdapat aturan yang ada hidup dan
berkembang dalam masyarakat dan merupakan salah satu aturan yang paling sering
digunakan dalam masyarakat yaitu hukum perjanjian. Dalam tiap-tiap perjanjian
ada dua macam subjek, yaitu ke-1 (satu) seorang manusia atau suatu badan hukum
1 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat, dan Pembinaan Hukum
Nasional, Bandung: Binacipta, 1978, hlm. 15. 2https://www.kompasiana.com/aliffiandafa7250/5e8ebe19097f361bd7592a12/hu
kum-perdata-macam-jenis-dan-penjelasan-lengkap-dengan-referensi (diunduh pada
tanggal 23 Mei 2020 pukul 03:35)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2
yang mendapat beban kewajiban untuk sesuatu dan ke-2 (dua) seorang manusia atau
suatu badan hukum yang mendapat hak atas pelaksanaan kewajiban itu.3
Objek dari perjanjian adalah kebalikan dari subjek perjanjian. Objek dalam
perjanjian dapat diartikan sebagai hal yang diperlukan oleh subjek itu berupa suatu
hal yang penting dalam tujuan yang dimaksudkan dengan membentuk perjanjian 4
Marcus Tullius Cicero seorang filsuf, ahli hukum, dan ahli politik kelahiran
Roma yang mengatakan “Ubi societas ibi ius” atau yang diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia adalah “dimana ada masyarakat disitu ada hukum”, pepatah ini
mengungkapkan konsep filosofi Cicero yang menyatakan bahwa hukum tidak dapat
dipisahkan dari masyarakat. Kedamaian dan keadilan dari masyarakat hanya bisa
dicapai apabila tatanan hukum telah terbukti mendatangkan keadilan dan dapat
berfungsi dengan efektif.5
Terjalinnya kesepakatan antara para pihak sebagai anggota masyarakat
untuk melaksanakan suatu perjanjian menimbulkan hubungan hukum. Manusia
sebagai subjek hukum berinteraksi sehingga menimbulkan suatu ikatan diantara
mereka. Perikatan lahir karena suatu persetujuan atau karena adanya undang-
undang (Pasal 1233 KUHPerdata). Dalam suatu perikatan tersebut mengakibatkan
terbentuknya suatu kontrak atau perjanjian. Perjanjian sebagaimana diatur di dalam
buku ke III KUHPerdata Pasal 1313 yaitu: “Suatu persetujuan adalah suatu
perbuatan dimana adanya satu orang atau lebih yang mengikatkan diri terhadap
satu orang lain atau lebih”.
3 R. Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Bandung: Mandar Maju,
2011, hlm. 13. 4 Ibid, hlm. 19. 5 https://www.academia.edu/2479524/Ubi_Societas_Ibi_Ius. (diakses pada 5
Maret 2020, pukul 21:29)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3
Para pihak secara sadar dan sengaja mengkhendaki ada terjalinnya suatu
perikatan diantara mereka untuk memperoleh manfaat dan keuntungan yang sejak
awal telah dikhendaki dan diperhitungkan. Membuat suatu perjanjian diperlukan 4
(empat) syarat agar suatu perjanjian dapat dikatakan sah sebagaimana diatur dalam
Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu; dan
4. Suatu sebab yang halal.
Pemenuhan prestasi sering terjadi ingkar janji (wanprestasi) yang dilakukan
para pihak yang berkontrak. Wanprestasi diatur di dalam Pasal 1243 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), berbunyi: “Penggantian biaya, kerugian
dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur,
walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan tersebut,
atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan
atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan”.
Prestasi adalah suatu yang wajib harus dipenuhi oleh pihak debitur dalam
setiap perikatan. Prestasi merupakan isi dari pada perikatan.6 Sehingga apabila
pihak debitur gagal melaksanakan kewajibannya dalam pemenuhan suatu prestasi
maka ia dapat dikatakan telah melakukan ingkar janji.
Salah satu masalah yang sering terjadi di dalam suatu perbuatan wanprestasi
adalah permasalahan ingkar janji dalam perjanjian utang-piutang, yang bilamana
6 Riduan Syahrani, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Bandung: Alumni,
2010, hlm 218
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4
dilihat dalam KUHPerdata perjanjian utang-piutang termasuk ke dalam perjanjian
pinjam-meminjam.
Perjanjian pinjam-meminjam diatur dalam Pasal 1754 KUHPerdata adalah
“persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain
sesuatu jumlah tentang barang-barang atau uang yang menghabiskan karena
pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan
dengan jumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula”.
Perjanjian ini dapat terjadi sengketa apabila salah satu pihak (debitur) tidak
melaksanakan hak dan kewajiban yang telah disepakati diantara kedua belah pihak
yang mengakibatkan tidak terlaksanakannya dan tidak terpenuhinya prestasi pihak
lainnya (kreditur). Perjanjian utang-piutang, kreditur sebagai pihak yang aktif dan
debitur sebagai pihak yang pasif.
Debitur terdapat dua unsur yaitu schuld dan haftung. Schuld adalah utang
pihak debitur kepada pihak kreditur sedangkan haftung adalah harta kekayaan pihak
debitur yang dipertanggungjawabkan bagi pelunasan utang debitur tersebut.7
Pihak debitur yang berkewajiban untuk menyerahkan sesuatu barang akan
tetapi tidak memelihara barangnya dengan baik sebagaimana diisyaratkan oleh
undang-undang, bertanggung jawab atas berkurangnya nilai harga barang tersebut
karena kesalahannya.8 Kesalahan mempunyai dua pengertian, yaitu dalam arti luas
yang meliputi kesengajaan dan kelalaian dan dalam arti sempit yang mencakup
kelalaian saja.9 Oleh karena itu, akan muncul suatu permasalahan hukum yang
7 R.Setiawan, Pokok Pokok Hukum Perikatan, Bandung: Putra A Bardin, 2006,
hlm 7. 8 Ibid, hlm. 16. 9 Ibid, hlm. 17.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
5
terkadang di dalam penyelesaiannya tidaklah mudah dan cepat serta berlarut-larut,
yang pada akhirnya pemasalahan hukum tersebut haruslah dibawa ke jalur
pengadilan untuk diselesaikan melalui putusan hakim.
Permasalahan sengketa utang-piutang yang disebabkan debitur lalai dalam
memenuhi suatu prestasi yang telah diperjanjikan yaitu mengembalikan utang yang
merupakan tanggung-jawab pihak debitur merupakan masalah bagi pihak kreditur.
Pihak kreditur tidak mungkin mengambil barang-barang milik pihak debitur untuk
pelunasan utang pihak debitur, karena hal tersebut dapat mengakibatkan munculnya
perkara pidana yang dapat merugikan pihak kreditur.
Menurut Pasal 1238 KUHPerdata, seorang debitur dianggap lalai jika
“seorang debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis
itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan tersebut
mengakibatkan pihak debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang
ditentukan”.
Akibat dari kelalaian pihak debitur, pihak kreditur yang merasa pihaknya
dirugikan dapat mengajukan suatu tuntutan wanprestasi melalui Pengadilan Negeri.
Sebelum pihak kreditur mengajukan gugatan menurut Mariam Darus Badrulzaman,
pihak kreditur harus memberitahukan, menegur, memperingatkan pihak debitur
dalam bentuk somasi bahwa pihak debitur wajib untuk melaksanakan kewajibannya
sesuai dengan yang diperjanjikan sampai dengan batas waktu yang telah ditentukan.
Apabila waktu yang diperjanjikan telah terlampaui, maka pihak debitur dianggap
lalai.10 Sehingga akibat dari kelalaian debitur dapat ditempuh suatu upaya hukum.
10https://www.legalakses.com/kapan-para-pihak-dianggap-lalai-melaksanakan-
perjanjian/. (diakses pada 23 Januari 2020 pukul 11:19)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
6
Penyelesaian suatu sengketa di pengadilan dapat ditempuh apabila dalam
suatu perkara para pihak yang bersengketa tidak mampu menyelesaikan perkara
tersebut secara damai sehingga memerlukan bantuan dari hakim untuk memutuskan
penyelesaian terhadap perkara tersebut. Penyelesaian suatu sengeketa di pengadilan
termasuk dalam perkara perdata. Dikenal ada dua macam perkara perdata, yaitu
perkara gugatan dan perkara permohonan. Di dalam suatu sengketa perbuatan
wanprestasi terhadap perjanjian utang-piutang termasuk ke dalam perkara gugatan,
karena dalam perkara tersebut terdapat dua pihak bersengketa, yaitu pihak
penggugat (kreditur) melawan pihak tergugat (debitur). Dalam putusan hakim
terhadap suatu perkara gugatan ada tiga putusan yang dapat dihasilkan, yaitu
gugatan dikabulkan seluruhnya, gugatan dikabulkan sebagian, dan gugatan tidak
dikabulkan. Posita gugatan memberikan arah terhadap tuntutan gugatan. Mengenai
apa yang dikhendaki penggugat atas hal-hal yang dianggap penggugat telah
melanggar dan telah merugikan hak-haknya, dicantumkan dalam tuntutan tersebut.
Dalam petitum harus dirumuskan oleh penggugat dengan jelas dan tegas.11
Penggugat baru dapat mengajukan tuntutannya apabila di dalam perjanjian
utang-piutang tersebut merupakan suatu perjanjian yang sah, dan juga tuntutan
terhadap tergugat perihal wanpretasi yang telah dilakukan tergugat haruslah sudah
terbukti. Mengenai apa yang telah dituntukan oleh pihak penggugat dalam petitum
suatu gugatan harus disusun secara berurutan, tuntutan tersebut merupakan tuntutan
pokok. Selain itu, pihak penggugat dapat mengajukan tuntutan tambahan, yaitu:
pihak tergugat dihukum untuk membayar utang ditambah dengan bunganya, dan
11 Gatot Supramono, Perjanjian Utang-Piutang, Jakarta: Kencana, 2013, hlm. 152.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
7
juga tergugat dihukum untuk membayar biaya perkara di pengadilan.12 Suatu
perjanjian akan berjalan dengan baik dan lancar apabila para pihak yang mengikat
diri dalam suatu perjanjian melaksanakan perjanjian tersebut dengan iktikad baik,
maka masalah ingkar janji (wanprestasi) dapat terhindari.
Namun apabila salah satu pihak yang mengikat diri dalam perjanjian tidak
melaksanakan kewajiban sebagaimana yang telah diperjanjikan, maka akan timbul
suatu perbuatan wanprestasi sebagaimana yang terjadi di dalam perkara dengan
nomor 409/Pdt.G/2016/PN.Mdn yang merupakan perkara perbuatan wanprestasi
yang diajukan oleh Perthipal Singh diwakili oleh kuasa hukumnya, yang bertindak
sebagai pihak penggugat mengajukan gugatan terhadap Haryanto Silalahi sebagai
pihak tergugat.
Tindakan pihak tergugat yang dianggap sebagai wanprestasi oleh penggugat
karena dalam melaksanakan suatu penjanjian pinjam-meminjam berupa uang tunai,
tergugat tidak beriktikad baik dalam melaksanakan kewajibannya sebagai debitur
yang telah berjanji untuk mengembalikan uang milik kreditur dalam jangka waktu
6 bulan.
Namun setelah jatuh tempo, pihak tergugat sama sekali belum ada iktikad
membayarkan utangnya. Oleh karena tidak adanya iktikad baik dalam melunasi
utang, hal ini menjadi penyebab terjadi sebuah sengketa antara kedua belah pihak
yang hal ini kemudian berlanjut kesebuah peradilan negeri dengan nomor registrasi
perkara 409/Pdt.G/2016/PN.Mdn. Perkara tersebut merupakan upaya hukum yang
ditempuh penggugat untuk melawan pihak tergugat terhadap perkara wanprestasi
perjanjian utang-piutang sebesar Rp 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah).
12 Ibid.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
8
Analisis yuridis untuk mencari tahu sebab-akibat terhadap suatu perbuatan
wanprestasi utang-piutang pada perkara No. 409/Pdt.G/2016/PN.Mdn merupakan
suatu tinjauan hukum terhadap perkara yang diselesaikan melalui pengadilan dalam
bentuk pengajuan gugatan ke Pengadilan Negeri Medan, yang menggugat pihak
tergugat karena telah melakukan suatu perbuatan ingkar janji (wanprestasi) dengan
tidak memiliki iktikad yang baik dalam melunasi utang milikinya yang merupakan
kewajibannya sebagai pihak debitur sebagaimana yang telah diperjanjikan.
Berdasarkan latar belakang di atas, hal tersebut menarik untuk dilakukan
suatu penelitian mengenai wanprestasi utang-piutang tersebut dalam bentuk skripsi
yang berjudul “Penyelesaian Perkara Wanprestasi Dalam Perjanjian Utang-
Piutang (Studi Kasus No. 409/Pdt.G/2016/PN.Mdn)”
B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi permasalahan pada skripsi ini antara lain sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah pengaturan hukum perjanjian utang-piutang berdasarkan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)?
2. Apakah yang menjadi penyebab sengketa wanprestasi perjanjian utang-
piutang dalam perkara No. 409/Pdt.G/2016/PN.Mdn?
3. Bagaimanakah penyelesaian hukum terhadap perbuatan wanprestasi utang-
piutang dalam putusan No. 409/Pdt.G/2016/PN.Mdn?
C. Tujuan Penulisan
Tulisan ini dibuat sebagai tugas akhir guna untuk memperoleh gelar sarjana
hukum, dan merupakan sebuah karya ilmiah yang akan bermanfaat untuk berbagai
kalangan baik civitas akademika, pemerintah, dan masyarakat.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
9
Dengan keselarasan dan mengidentifikasi permasalahan yang telah disusun
di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan hukum terhadap perjanjian
utang-piutang berdasarkan KUHPerdata di Indonesia.
2. Untuk mengetahui apa saja hal yang dapat menjadi penyebab sengketa
perbuatan wanprestasi di dalam suatu perjanjian utang-piutang terhadap
suatu perkara No. 409/Pdt.G/2016/PN.Mdn.
3. Untuk mengetahui bagaimana suatu proses penyelesaian hukum yang
sah terhadap perbuatan wanprestasi utang-piutang dalam studi putusan
No. 409/Pdt.G/2016/PN.Mdn.
D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat penulisan skripsi ini adalah:
1. Manfaat teoretis
Hasil penelitian dari skripsi ini dapat memberikan manfaat dan sumbangan
pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan mengenai suatu perbuatan
wanprestasi di dalam perjanjian utang-piutang berdasarkan Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata di Indonesia melalui suatu analisis hukum terhadap
putusan perkara dengan No. 409/Pdt.G/2016/PN.Mdn serta kiranya dapat
memberikan manfaat guna menambah khasanah terhadap ilmu pengetahuan
khususnya ilmu hukum perikatan.
2. Manfaat praktis
Hasil penelitian skirpsi ini diharapkan dapat memberi informasi bagi para
pembaca sehingga menjadi suatu sumbangan pemikiran pembaca dan bahan
pertimbangan dalam membuat penyusunan perjanjian utang-piutang agar
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
10
dapat mengindari timbulnya permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan
perjanjian.
E. Tinjauan Pustaka
1. Pengertian perjanjian
Perjanjian berasal dari bahasa Belanda, yaitu overeenkomst dan verbintenis.
Perjanjian merupakan terjemahan dari toestemming yang dapat ditafsirkan sebagai
wilsovereensteming (persesuaian kehendak/kata sepakat). Pengertian perjanjian ini
mengandung unsur perbuatan, satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau
lebih dan mengikatkan dirinya.13
Menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian merupakan suatu persetujuan
dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan dirinya untuk melaksanakan
suatu hal dalam lapangan harta kekayaan para pihak.14 Menurut Lukman Santoso,
suatu perjanjian adalah suatu peristiwa ketika seseorang berjanji kepada orang lain
atau ketika orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.15
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis yang mengemukakan suatu
pendapat bahwasannya suatu perjanjian adalah suatu perbuatan kesepakatan antara
seseorang atau beberapa orang dengan seseorang atau beberapa orang lainnya untuk
melakukan suatu perbuatan tertentu. Dalam hukum, kalau perbuatan itu mempunyai
akibat hukum, maka perbuatan tersebut diistilahkan dengan perbuatan hukum.16
13 Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam,
Jakarta: Rineka Cipta, 2011, hlm. 26. 14 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992,
hlm. 78. 15 Lukman Santoso, Hukum Perjanjian Kontrak, Panduan Memahami Hukum
Perikatan & Penutupan Surat perjanjian Kontrak, Yogyakarta: Cakrawala, 2012, hlm.8. 16 Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K.Lubis, Op.Cit, Jakarta: Sinar Grafika,
1994, hlm. 1.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
11
Subekti memaparkan bahwa perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana
seseorang berjanji kepada seseorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji
melaksanakan suatu hal.17 Maka, dengan adanya suatu perjanjian timbul suatu
hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lainnya yang saling
berjanji, hubungan hukum mana yang timbul karena disatu pihak memiliki hak dan
kewajiban yang saling berhubungan. R.Setiawan merumuskan bahwa perjanjian
adalah suatu perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lainnya atau lebih secara lengkap, karena hanya dengan
menyebutkan adanya persetujuan secara sepihak saja dan juga sangat luas.18
Para sarjana menggunakan tujuan dari perjanjian antara pihak-pihak secara
berbeda-beda. Sehingga, untuk menyelaraskan tujuan dari perjanjian, penggunaan
istilah “melaksanakan prestasi”, karena prestasi perjanjian meliputi “menyerahkan
sesuatu”, “melakukan perkerjaan”, dan “tidak melakukan sesuatu perkerjaan”, yang
tentu saja semua itu berada dalam konsep dari lapangan harta kekayaan atau dapat
dinilai dengan uang.19 Pendapat yang senada juga diungkapkan oleh para sarjana
hukum perdata, pada umumnya menganggap definisi perjanjian menurut Pasal
1313 KUHPerdata itu tidak lengkap dan terlalu luas.
R. Wirjono Prodjodikoro mengartikan perjanjian sebagai suatu hubungan
hukum mengenai harta benda antara kedua belah pihak, dimana satu pihak berhak
untuk menuntut pelaksanaan janji itu.20 Menurut J. Satrio bahwa perjanjian dapat
17 R. Subekti., Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, 1992, hlm.1. 18 R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bandung, Bina Cipta, 1994, hal.
49. 19 Marilang, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Makassar:
Indonesia Prime, 2017, hlm. 143. 20 R. Wirjono Projodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, Bandung, Sumur, 1993,
hal. 9
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
12
dibagi atas dua bagian, yaitu: perjanjian dalam arti luas, berarti setiap perjanjian
yang dapat menimbulkan adanya akibat hukum sebagai yang hal yang dikehendaki
atau dianggap, dikehendaki oleh para pihak, termasuk di dalamnya perkawinan,
perjanjian kawin dan lain-lain. Perjanjian dalam arti sempit, berarti perjanjian yang
hanya dapat ditujukan kepada hubungan-hubungan hukum dalam lapangan hukum
kekayaan saja, seperti yang dimaksud oleh Buku III Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata.21 Jadi, hubungan hukum yang timbul antara para pihak di dalam perjanjian
adalah hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan. Artinya, hak dan
kewajiban yang mengikat para pihak dengan diadakannya perjanjian, tidak lain
adalah hak dan kewajiban dalam wujud benda, hak kebendaan atau segala hak dan
kewajiban yang dapat dinilai dengan uang.
2. Perjanjian utang-piutang
Utang-piutang merupakan suatu perjanjian antara pihak yang satu dengan
pihak lainnya, objek yang diperjanjikan pada umumnya adalah uang. Kedudukan
pihak yang satu sebagai pihak yang memberikan pinjaman (kreditur), sedangkan
pihak lainnya sebagai pihak yang menerima pinjaman berupa uang. Uang yang
dipinjam tersebut akan dikembalikan dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan
yang telah para pihak perjanjikan.22
Suatu perjanjian utang-piutang uang termasuk kedalam perjanjian pinjam-
meminjam. Hal ini diatur dalam Bab III Buku III KUHPerdata. Menurut Pasal 1754
KUHPerdata yang menyebutkan pinjam-meminjam adalah perjanjian dengan mana
pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-
21 J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir Dari Perjanjian, Bandung:
Citra Aditya Bakti, 1995, hlm. 28. 22 Gatot Supramono, Op.Cit, Jakarta: Kencana, 2013, hlm. 8.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
13
barang yang menghabis karena adanya pemakaian, dengan menggunakan syarat
bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan dengan sejumlah yang sama
dari macam dan keadaan yang sama pula. Perjanjian utang-piutang, yang menjadi
objek dari perjanjian ini adalah uang, karena merupakan barang yang habis karena
pemakaian.
3. Pengertian wanprestasi
Suatu perjanjian apabila salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya,
maka dapat dikatakan sebagai suatu perbuatan wanprestasi (ingkar-janji). Dengan
terjadinya perbuatan wanprestasi maka pihak yang dirugikan dapat meminta atau
menuntut ganti rugi dan juga dapat membatalkan perjanjian yang telah dibuat.
Wanprestasi merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap suatu perjanjian
utang-piutang yang bersumber dari terjadinya persengketaan antara pihak kreditur
dengan pihak debitur. Dimana kreditur sudah menagih utangnya, namun lain pihak
debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya lagi, maka ia harus bertanggung jawab
atas utangnya.
Perbuatan wanprestasi seorang debitur dapat berupa:
a. Debitur tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
b. Debitur melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidaklah sebagaimana
yang dijanjikannya (melaksanakan tetapi salah);
c. Debitur melakukan apa yang dijanjikannya, tetapi terlambat;
d. Debitur melakukan sesuatu yang dalam menurut perjanjian itu tidak boleh
dilakukannya.
Tuntutan yang dilakukan oleh pihak kreditur terhadap pihak debitur atas
dasar wanprestasi, yaitu:
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
14
1) Meminta pemenuhan prestasi saja dari debitur;
2) Menuntut suatu prestasi yang disertai ganti rugi kepada debitur (Pasal 1267
KUHPerdata);
3) Menuntut dan memintakan ganti rugi, hanya mungkin jika kerugian karena
keterlambatan;
4) Menuntut pembatalan perjanjian;
5) Menuntut pembatalan perjanjian disertai ganti rugi kepada debitur. Ganti
rugi harus berupa pembayaran denda.23
Berdasarkan sebagaimana yang tertera di dalam Pasal 1243 KUHPerdata, ganti
rugi perdata lebih menitikberatkan pada adannya ganti kerugian karena tidak
terpenuhinya suatu perikatan, yakni kewajiban debitur untuk mengganti kerugian
pihak kreditur akibat kelalaian pihak debitur yang melakukan wanprestasi. Seorang
debitur baru dapat dikatakan bahwasannya ia telah melakukan suatu perbuatan
wanprestasi apabila ia telah diberikan surat somasi oleh pihak kreditur. Surat
peringatan yang menyatakan pihak debitur telah melakukan suatu perbuatan
wanprestasi disebut dengan somasi. Somasi adalah pemberitahuan atau pernyataan
dari kreditur kepada debitur yang berisi ketentuan bahwa pihak kreditur
menghendaki pemenuhan suatu prestasi seketika atau dalam jangka waktu seperti
yang ditentukan dalam pemberitahuan itu. Somasi minimal telah dilakukan
sebanyaknya 3 (tiga) kali oleh kreditur. Apabila somasi diabaikan oleh pihak
debitur, maka kreditur berhak untuk membawa persoalan tersebut ke pengadilan
untuk mendapatkan putusan majelis hakim. Pengadilan yang akan memutuskan,
23 Firman Floranta Adornara, Aspek-Aspek Hukum Perikatan, Bandung: Mandar
Maju, 2014, hlm. 63.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
15
apakah pihak debitur telah melakukan wanprestasi atau tidak.24 Somasi tidak
diperlukan apabila tenggang waktu yang diberikan dalam perjanjian antara para-
pihak merupakan tenggang waktu yang mutlak. Somasi juga tidak diperlukan
apabila pihak yang mempunyai kewajiban menolak untuk mengadakan
pembayaran, atau dalam hal ia telah memenuhi kewajibannya, akan tetapi tidak
dilakukan secara sempurna. Juga pada perikatan untuk tidak berbuat sesuatu, dalam
hal mana pada umumnya, tidak diperlukan satu somasi, karena dengan
melaksanakan perbuatan yang bertentangan dengan apa yang tidak boleh diperbuat
saja, maka sudah mengakibatkan pihak itu lalai dalam memenuhi kewajibannya.
Persoalan perihal somasi ini diatur di dalam pasal 1243 dan pasal 1238
KUHPerdata.
F. Metode Penelitian
Adapun metode penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Penelitian yang digunakan di dalam penulisan skripsi ini merupakan metode
penelitian hukum yuridis-normatif serta studi analisis kasus. Penelitian normatif
adalah suatu penelitian hukum yang tidak menyentuh atau tidak memasuki wilayah
hukum empiris atau sosiologis untuk mengumpulkan data yang dibutuhkannya.
Menurut Soejono Soekanto, penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka atau data sekunder belaka dapat dinamakan sebagai suatu penelitian hukum
normatif atau penelitian hukum kepustakaan (library legal study).25 Dalam
penulisan skripsi ini menggunakan pendekatan yuridis-normatif, yaitu pendekatan
24 Salim H.S., Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta:
Sinar Grafika, 2003, hlm. 98-99. 25 Ibid, hlm. 49.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
16
yang menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai dasar dari pemecahan
permasalahan yang dikemukakan. Metode pengumpulan data pada skripsi ini
menggunakan metode analisis kasus merupakan metode penelitian dengan
memeriksa kasus dengan melakukan suatu pencarian, pengamatan, pengumpulan,
serta analisis data dan bahan data yang digunakan berupa peraturan-peraturan yang
berlaku pada saat ini yang berhubungan dengan judul penelitian dari berkas perkara
No. 409/Pdt.G/2016/PN.Mdn.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu penelitian yang memberikan gambaran
secara sistematis, faktual dan akurat mengenai sengketa perjanjian utang-piutang
yang berperkara hingga ke pengadilan negeri dengan gugatan didasarkan atas suatu
perbuatan wanprestasi dalam putusan No. 409/Pdt.G/2016/PN.Mdn.
3. Sumber Data
Penelitian ini mengutamakan penggunaan dari data sekunder sebagai sumber
kelengkapan data. Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari bahan-bahan
pustaka dan peraturan perundang-undangan. Data sekunder yang telah diperoleh
kemudian disusun secara sistematis dan dianalsis secara yuridis untuk memperoleh
gambaran tentang pokok permasalahan.
Data sekunder adalah data yang terdiri dari:
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer adalah bahan utama yang dijadikan bahasan di dalam
penelitian ini, yaitu berupa berkas putusan perkara perdata, peraturan perundang-
undangan dan yurisprudensi. Bahan hukum primer terdiri atas: Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata, Undang-
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
17
Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang kekuasaan Kehakiman, serta dari Putusan
Pengadilan Negeri Medan No. 409/Pdt.G/2016/PN.Mdn.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang dapat memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer, yang dapat berupa rancangan perundang-
undangan, literatur-literatur, buku-buku teks, serta jurnal ilmiah para ahli dalam
berbagai literatur yang berhubungan langsung dengan materi penelitian, seperti
buku- buku ilmiah yang meliputi: pokok-pokok hukum perdata, segi-segi hukum
perjanjian, azas-azas hukum perjanjian, hukum utang-piutang, kompilasi hukum
perikatan, penyelesaian sengketa di peradilan.
c. Bahan hukum Tersier
Bahan hukum tersier yaitu bahan informasi hukum yang dijadikan sebagai
penunjang dalam penelusuran bahan hukum sekunder seperti kamus hukum,
bibliografi, internet dan ensiklopedia.26
4. Analisis Data
Metode pengolahan dan analisis data pada penulisan skripsi ini dilakukan
dengan metode analisis kualitatif adalah suatu analisis dengan mengumpulkan data
yang berhubungan dengan pokok-pokok permasalahan, dikelompokkan dan dipilih,
kemudian dihubungkan dengan masalah yang akan diteliti berdasarkan kualitas
kebenarannya sehingga akan memperoleh suatu kesimpulan terhadap permasalahan
yang ada.
26 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu
Tinjauan Singkat, Jakarta: Raja Grafindo, 2003, hlm. 13.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
18
G. Keaslian Penulisan
Berdasarkan informasi dan penelusuran yang dilakukan, diketahui bahwa
skripsi dengan judul “Penyelesaian Perkara Wanprestasi Dalam Perjanjian Utang-
Piutang (Studi Kasus No. 409/Pdt.G/2016/PN.Mdn)” belumlah pernah ditulis dan
diteliti sebagai objek penulisan skripsi pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara.
Skripsi ini murni merupakan dari pemikiran, ide dan gagasan pribadi dengan
mengambil dari panduan yang berasal dari buku-buku, serta literatur-literatur dari
perpustakaan, dan media elektronik yang berkaitan dengan judul penulisan pada
skripsi ini. Serta melakukan analisis Putusan Nomor 409/Pdt.G/2016/PN.Mdn. dan
juga disertai dari bantuan dan bimbingan dari dosen pembimbing. Dengan demikian
keaslian penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
H. Sistematika Penelitian
Adapun sistematika penulisan tersebut secara keseluruhan dapat diuraikan,
yaitu:
BAB I: Pendahuluan.
Bab ini terdiri atas 8 (delapan) sub-sub bab, yaitu: Latar Belakang,
Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Tinjauan
Pustaka, Metode Penelitian, Keaslian Penulisan, serta Sistematika
Penelitian skripsi.
BAB II: Perjanjian Utang-Piutang Berdasarkan Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata.
Bab ini terdiri dari atas 4 (empat) sub-sub bab, yaitu: pengaturan
mengenai perjanjian utang-piutang, jenis-jenis dari utang-piutang,
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
19
hak dan kewajiban para pihak, dan akibat hukum dalam perjanjian
utang-piutang.
BAB III: Faktor Penyebab Terjadinya Wanprestasi Di Dalam Perjanjian
Utang-Piutang.
Bab ini terdiri atas 4 (empat) sub-sub bab, yang memuat: Pengertian
dan dasar hukum wanprestasi, bentuk-bentuk wanprestasi, penyebab
terjadinya wanprestasi dalam perjanjian utang-piutang, dan akibat
hukum wanprestasi dalam perjanjian utang-piutang.
BAB IV: Penyelesaian Perkara Wanprestasi Di Dalam Perjanjian Utang-
Piutang (Studi Kasus No. 409/Pdt.G/2016/PN.Mdn).
Bab ini terdiri atas 3 (tiga) sub-sub bab, yang memuat: sebab-sebab
terjadinya suatu sengketa wanprestasi, dasar pertimbangan hakim
dalam memutuskan suatu perkara gugatan wanprestasi, serta analisis
hukum putusan majelis hakim terhadap suatu perbuatan wanprestasi
pada perjanjian utang-piutang terhadap suatu perkara dengan Nomor
409/Pdt.G/2016/PN.Mdn.
BAB V : Kesimpulan Dan Saran.
Bab ini berisikan kesimpulan dan saran yang merupakan hasil dari
pembahasan yang telah dianlisis dan ditulis dalam bab-bab penulisan
pada skripsi ini.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
20
BAB II
PENGATURAN PERJANJIAN UTANG-PIUTANG MENURUT KITAB
UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA
A. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian Utang-Piutang
Suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada
seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu
hal. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan hukum antara dua orang tersebut
yang dinamakan perikatan. Dengan kata lain, perikatan adalah hubungan hukum
dalam lapangan hukum kekayaan yang menimbulkan adanya hak pada satu pihak
dan kewajiban di lain pihak.
Tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena adanya suatu perjanjian maupun
karena undang-undang (Pasal 1233 ayat (1) KUHPerdata). Jika dirumuskan secara
berlainan, maka dapat dikatakan bahwa perjanjian merupakan salah satu sumber
lahirnya perikatan, dengan membuat perjanjian maka salah satu atau lebih pihak
dalam suatu perjanjian tersebut mengikatkan dirinya untuk memenuhi kewajiban
sebagaimana yang dijanjikan.27
Utang secara etimologis memiliki arti yaitu uang yang dipinjam dari orang
lain; kewajiban membayar kembali apa yang sudah diterima.28 Sedangkan secara
istilah utang adalah tanggungan yang harus diadakan pelunasannya dalam suatu
waktu tertentu. Kewajiban dalam pelunasan utang timbul sebagai prestasi (imbalan)
yang telah diterima oleh si berutang.29
27 J.Satrio, Hukum Perikatan Tentang Hapusnya Perikatan, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1996, hlm.2. 28 Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990, Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), Pusat Pembinaan Pengembangan Bahasa : Balai Pustaka, hlm.896 29 Fachtur Rahman, Ilmu Waris, Bandung: Al-Ma’rif, 1981, hlm. 43.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
21
Defenisi utang tidak dijelaskan secara jelas dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya menyebutkan dua
istilah yang dipakai dalam perutangan, yaitu orang yang berutang dan orang yang
mengutangi.
Defenisi utang dapat dijumpai dalam UU No. 7 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Menurut Pasal 1 angka
6 UU No. 7 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang, Utang merupakan suatu kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan
dalam bentuk jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang
asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau
kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib
dipenuhi oleh pihak debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur
untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur.30
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, utang adalah uang yang dipinjam
dari orang lain; kewajiban membayar kembali apa yang sudah diterima. Pengertian
piutang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah sejumlah uang
yang dipinjamkan (yang dapat ditagih dari seseorang); utang piutang, uang yang
dipinjam dari orang lain dan yang dipinjamkan kepada orang lain. Menurut Al
Haryono Jusup, piutang adalah hak untuk menagih sejumlah uang oleh penjual
kepada pembeli yang timbul karena adanya suatu transaksi.31 Utang-piutang
merupakan perjanjian antara pihak yang lainnya dan objek yang diperjanjikan pada
30 UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang 31 Al Haryono Jusup. Dasar-Dasar Akuntansi, Edisi Keenam. Yogyakarta: STIE
YKPN, 2005, Hlm. 52
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
22
umumnya adalah berupa uang. Kedudukan pihak yang satu sebagai pihak yang
memberikan pinjaman, sedang pihak yang lain sebagai pihak penerima pinjaman
uang.
Uang yang telah dipinjam tersebut akan dikembalikan dalam jangka waktu
tertentu sesuai dengan yang diperjanjikannya.32 Subjek hukum dalam suatu
perjanjian utang-piutang adalah dengan adanya dua pihak yang mengikatkan diri
dengan melakukan perjanjian, yaitu salah satu pihak merupakan orang yang
memberi pinjaman uang, sedangkan pihak lain merupakan pihak yang menerima
pinjaman uang, istilah yang digunakan dalam perjanjian tersebut untuk pihak yang
memberikan pinjaman adalah pihak yang berpiutang atau kreditur, sedang pihak
yang menerima pinjaman disebut pihak yang berutang atau debitur.33 Perjanjian
utang-piutang uang merupakan bagian dalam jenis perjanjian pinjam-meminjam,
hal ini sebagaimana telah diatur dalam Bab XIII Buku III Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata.
Perjanjian pinjam-meminjam menurut pada Pasal 1754 KUHPerdata adalah
suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain
suatu jumlah tertentu barang-barang yang habis karena pemakaian, dengan syarat
bahwa pihak yang terakhir ini akan mengembalikan sejumlah uang, barang atau jasa
yang sama dengan jenis dan mutu yang sama pula.
Obyek dari suatu perjanjian adalah prestasi. Secara umum, prestasi sering
disebut sebagai imbalan. Prestasi adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak
debitur dalam setiap perikatan. Berdasarkan ketentuan yamg terdapat di dalam
32 Gatot Supramono, Op.Cit., hlm. 8. 33 Ibid, hlm. 10.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
23
Pasal 1234 KUHPerdata yang ada menyatakan bahwasannya: “Dalam tiap-tiap
perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk
tidak berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”. Pada prinsipnya objek
dalam perjanjian utang-piutang diatur dalam Pasal 1754 KUHPerdata adalah semua
barang-barang pada umumnya yang habis karena pemakaian. Dewasa ini, Uang
merupakan salah satu dari objek yang utama dalam suatu perjanjian utang-piutang,
karena termasuk barang yang habis karena pemakaian. Uang berfungsi sebagai alat
tukar, akan habis karena dipakai berbelanja.34
Peminjaman uang adalah suatu bagian yang termasuk di dalam persetujuan
peminjaman pada umumnya. Oleh karena itu, pada segala ketentuan yang berkaitan
dengan persetujuan pinjam-meminjam barang yang habis terpakai, berlaku juga
terhadap persetujuan peminjaman uang.
Kemudian dalam hal perjanjian utang-piutang itu, pihak yang meminjam
(debitur) akan mengembalikan barang yang dipinjam dalam jumlah yang sama dan
keadaan yang sama pula. Jika uang yang dipinjamkan, maka peminjam haruslah
mengembalikan uang dengan nilai yang sama dan uangnya dapat dibelanjakan.35
Sebagaimana yang tertuang di dalam Pasal 1320 KUHPerdata mengenai
empat unsur-unsur pokok yang harus ada agar suatu perbuatan hukum dapat disebut
dengan perjanjian (yang sah). Keempat unsur tersebut selanjutnya digolongkan ke
dalam dua unsur pokok yang menyangkut subjek (pihak) yang mengadakan
perjanjian (unsur subjektif), dan dua unsur pokok lainnya yang berhubungan
langsung dengan objek perjanjian (unsur objektif).
34 Ibid, hlm. 9. 35 Ibid, hlm. 10.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
24
Unsur subjektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para
pihak yang berjanji, dan kecakapan dari para pihak yang melaksanakan perjanjian.
Sedangkan unsur objektif meliputi keberadaan objek yang diperjanjikan, dan objek
tersebut haruslah sesuatu yang diperkenankan menurut hukum. Tidak terpenuhinya
salah satu unsur dari keempat unsur menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan
perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan
(jika terdapat pelanggaran terhadap unsur subjektif), maupun batal demi hukum
(dalam hak tidak terpenuhinya unsur objektif).
1. Asas kebebasan berkontrak (freedom of contract)
Yang dimaksud dengan suatu asas kebebasan berkontrak atau yang sering juga
disebut sebagai sistem terbuka. Asas ini merupakan asas yang berkenaan dengan isi
perjanjian. Asas kebebasan berkontrak yang dalam bahasa Belanda disebut sebagai
contractsvrijheid, contracteer vrijheid, atau partijautonomie.
Pada dasarnya: Orang bebas membuat atau tidak membuat suatu perjanjian,
bebas menentukan suatu isi, waktu berlakunya, dan syarat-syarat perjanjian dengan
bentuk tertentu atau tidak, dan serta bebas memilih undang-undang mana yang akan
dipergunakan dalam perjanjian.36 Namun kebebasan berkontrak tersebut tidaklah
bersifat mutlak, melainkan ada batas-batasnya (Pasal 1337 KUHPerdata), yaitu:
a. Tidak dilarang Undang-Undang;
b. Tidak bertentangan dengan kesusilaan; dan
c. Tidak bertentangan dengan ketertiban umum.37
36 A.Qirom Syamsudin Meliala, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta
Perkembangannya, Yogyakarta: Liberty, 2010 , hlm. 9-11. 37 Purwahid Patrik, Asas Itikad Baik dan Kepatutan Dalam Perjanjian, Semarang:
Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1986, hlm. 3.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
25
Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu asas yang sangat penting di
antara asas-asas lain yang terdapat di dalam asas-asas hukum perjanjian. Asas ini
merupakan tiang dari hukum keperdataan, khususnya dalam hukum perikatan Buku
II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
2. Asas konsensualisme (asas sepakat mengikat diri)
Asas konsensualisme ini disebutkan di dalam Pasal 1338 ayat (1) jo Pasal 1320
sub 1 KUHPerdata yang bahwasannya:“Semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”. Dari perkataan
perjanjian yang dibuat secara sah, hal ini menunjukan pada Pasal 1320 KUHPerdata
tentang syarat sahnya perjanjian, yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
Inilah yang merupakan dasar dari asas konsensualisme.
3. Kecakapan para pihak
Di sini orang yang cakap, yang dimaksudkan adalah mereka yang berumur 21
(dua puluh satu) tahun atau belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun tetapi telah
pernah kawin. Hal tersebut tidak termasuk kepada orang-orang sakit ingatan atau
bersifat pemboros yang oleh karenanya pengadilan memutus orang-orang tersebut
berada di bawah pengampuan dan seorang perempuan yang masih bersuami.
Mengenai seorang perempuan yang masih bersuami ini setelah dikeluarkannya
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963, maka sejak saat itu seorang
perempuan yang masih mempunyai suami telah dapat bertindak secara bebas dalam
melakukan suatu perbuatan hukum serta sudah diperbolehkan menghadap di muka
pengadilan tanpa seizin suami.
4. Suatu hal tertentu
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
26
Suatu hal tertentu maksudnya adalah sedikit-dikitnya macam atau jenis benda
dalam perjanjian itu sudah ditentukan. Menurut KUHPerdata hal tertentu adalah :
a. Suatu hal tertentu yang telah diperjanjikan di dalam perjanjian merupakan
suatu hal atau barang yang cukup jelas atau suatu hal tertentu yakni paling
sedikitnya telah ditentukan jenis diperjanjikan. (Pasal 1333 KUHPerdata);
b. Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi
pokok suatu perjanjian (Pasal 1332 KUHPerdata),
5. Suatu sebab yang halal.
Syarat ini dimaksudkan adalah tujuan dari perjanjian itu sendiri. Sebab yang
tidak halal adalah hal yang berlawanan dengan undang-undang, kesusilaan, dan
ketertiban umum. Kedua syarat yang pertama adalah dinamakan syarat subjektif
karena kedua syarat tersebut merupakan hal yang mengenai subjek perjanjian.
Sedangkan kedua syarat yang terakhir disebut syarat obyektif karena mengenai
obyek dari perjanjian.
Tiap-tiap perjanjian yang dibuat adalah sah apabila telah memenuhi syarat-
syarat ini. Apabila salah satu syarat atau lebih syarat itu tidak dipenuhi, maka
perjanjian tersebut tidaklah sah sehingga terhadap akibat-akibat hukumnya pun
sebagaimana dimaksudkan tidak dapat terjadi pula. Meskipun siapa saja dapat
membuat perjanjian terhadap hal mengenai apa saja, tetapi ada pengecualiannya
yaitu sebuah perjanjian itu tidaklah boleh bertentangan dengan undang-undang,
ketentuan umum, moral dan kesusilaan (Pasal 1337 KUHPerdata). Keempat
syarat tersebut bersifat kumulatif artinya harus dipenuhi semuanya baru dapat
dikatakan bahwa perjanjian tersebut sah.
6. Asas kepastian hukum (pacta sunt servanda)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
27
Asas ini disebut juga sebagai asas kekuatan mengikat dari suatu perjanjian
dan berhubungan dengan akibat perjanjian. Menurut asas ini bahwa pihak-pihak
harus memenuhi apa yang telah diperjanjikan. Sebagaimana telah disebutkan di
dalam Pasal 1338 KUHPerdata bahwa suatu perjanjian adalah berlaku sebagai
undang-undang bagi para pihak. Hal tersebut berarti bahwa perjanjian telah
dibuat secara sah mempunyai suatu kekuatan mengikat bagi para pihak sebagai
undang-undang.
7. Asas itikad baik
Asas ini berkenaan dengan pelaksanaan terhadap adanya suatu perjanjian
yang didasarkan pada Pasal 1338 ayat (3) dan Pasal 1339 KUHPerdata. Pasal
1338 ayat (3) KUHPerdata berbunyi : “Perjanjian tidak hanya mengikat untuk
hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala
sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan,
dan undang-undang.” Terdapat dua pengertian mengenai asas itikad baik, yaitu
: asas itikad baik dalam pengertian subyektif merupakan suatu sikap batin pada
seseorang pada di waktu dimulai terjadinya hubungan hukum yang berupa
perkiraan bahwa syarat-syarat yang diperlukan telah dipenuhi. Asas ini harus
ada pada waktu perjanjian dibuat sah merupakan asas itikad baik atas dasar
kejujuran yang diatur di dalam Pasal 1963, Pasal 1965, dan Pasal 1977
KUHPerdata. Asas itikad baik dalam pengertian obyektif adalah asas ini
terutama terletak pada pelaksanaan hak dan kewajiban di dalam suatu hubungan
hukum. Hal ini berlaku pada saat pelaksanan perjanjian.
Pada asas itikad baik di sini atas dasar kepatutan yang diatur di dalam Pasal
1338 ayat (3) KUHPPerdata jo Pasal 530 KUHPerdata. Setiap perjanjian yang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
28
telah disetujui dan disepakati antara para pihak yang terikat di dalam melakukan
suatu perjanjian utang-piutang wajiblah hal tersebut dituangkan di dalam bentuk
perjanjian utang-piutang. Perjanjian tersebut timbul suatu hubungan hukum
antara dua belah pihak pembuatnya yang dinamakan perikatan.
Hubungan hukum yaitu hubungan yang menimbulkan akibat hukum yang
dijamin oleh hukum atau undang-undang. Suatu perjanjian utang-piutang
terdapat unsur-unsur penting dalam kegiatan perutangan, yaitu:
a) Kepercayaan
Keyakinan dari pemberi kredit terhadap pihak debitur bahwa prestasi yang
diberikannya baik dalam bentuk uang, barang, atau jasa, akan benar-benar
diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu di masa yang akan datang.
b) tenggang waktu
Suatu masa waktu yang memisahkan antara pada pemberian prestasi dengan
kontra prestasi yang akan diterima pada masa mendatang. Dalam unsur ini,
terkandung pengertian nilai agio dari uang, yaitu uang ada sekarang lebih
tinggi nilainya dari uang yang akan diterima pada masa yang akan datang.
c) degree of risk
Tingkat risiko yang akan dihadapi di dalam suatu perjanjian utang-piutang
sebagai akibat penerapan jangka waktu yang memisahkan antara pemberian
prestasi dengan kontra prestasi yang akan diterima kemudian hari. Semakin
lama suatu utang diberikan pihak kreditur maka semakin tinggi pula tingkat
risikonya, karena sejauh-jauh kemampuan manusia untuk menerobos hari
depan, maka masih selalu terdapat suatu unsur ketidakpastian yang tidak
dapat diperhitungkan manusia. Hal Inilah yang menyebabkan timbul unsur
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
29
risiko. Dengan adanya unsur risiko inilah maka timbullah jaminan dalam
pemberian kredit.
d) Prestasi
Prestasi dalam perjanjian merupakan suatu pelaksanaan hal-hal yang tertulis
dalam suatu kontrak oleh para pihak yang telah mengikatkan diri untuk itu,
pelaksanaan yang mana dianggap sesuai dengan “term” dan “condition”
sebagaimana disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan. Objek kredit itu
tidak saja diberikan dalam bentuk uang, tapi juga dapat berbentuk barang
atau jasa. Namun karena kehidupan ekonomi modern dimasa ini didasarkan
pada uang, maka transaksi-transaksi pada utang-piutang yang menyangkut
uanglah yang sering dijumpai dalam praktek perutangan.38
Ch. Gatot Wardoyo telah merumuskan pentingnya fungsi perjanjian utang-
piutang dalam hal pemberian, pengelolaan dan pelaksanaan, sebagai berikut:
1) Perjanjian utang-piutang berfungsi sebagai perjanjian pokok, yang mana
artinya suatu perjanjian utang-piutang merupakan sesuatu hal yang akan
menentukan batal, atau tidak batalnya terhadap perjanjian lain yang akan
mengikutinya, misalnya perjanjian pengikatan pinjaman.
2) Suatu perjanjian utang-piutang berfungsi sebagai alat bukti mengenai
batasan-batasan hak dan kewajiban diantara kreditur dan debitur.
3) Suatu perjanjian utang-piutang berfungsi sebagai alat untuk melakukan
monitoring utang. 39
38 Thomas Suyanto et.al, Dasar-Dasar Perkreditan, Cetakan Ketiga, Jakarta:
Gramedia, 1990, hlm. 12-13. 39 Ch. Gatot Wardoyo, Sekitar Klausul-Klausul Perjanjian Kredit Bank, Bank dan
Manajemen, Edisi November-Desember 1992, hlm. 64-69.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
30
Jika dilihat dari bentuk perjanjiannya, suatu perjanjian utang-piutang antara
orang perseorangan pada umumnya dapat mempergunakan bentuk perjanjian baku
maupun non baku. Hal ini tergantung dari kesepakatan para pihak yang berkontrak.
Kelemahan dari suatu perjanjian utang-piutang antara orang perseorangan ini ialah
mengenai sifat, karena biasanya lebih ditentukan secara sepihak dan di dalamnya
ditentukan sejumlah klausul yang membebaskan pihak kreditur dari kewajibannya
atau yang bisa disebut sebagai klausula eksonerasi ini diartikan sebagai klausula
pengecualian kewajiban/tanggung jawab dalam perjanjian. Dalam keadaan tersebut
dapat menimbulkan terjadinya sebuah peluang penyalahgunaan keadaan (misbruik
van omstandigheden). Dengan menggunakan model perjanjian yang bersifat
sepihak seperti itu maka akan memberi suatu peluang bagi pihak kreditur dalam
menyalahgunakan keadaan. Seharusnya keseimbangan antara para pihak di dalam
perjanjian utang-piutang itu memberikan kewenangan dan kedudukan yang sama
di dalam hukum.
Pertemuan kehendak antara para pihak dapat terwujud dalam bentuk berupa
penawaran dan penerimaan, dua perbuatan tersebut memberikan konsekuensi sama
yang perlu mendapatkan perlindungan hukum jika pada salah satu diantara pihak
mengingkari kesepakatan itu. Semua perjanjian utang-piutang yang tertuju kepada
tercapainya suatu prestasi yang dapat dipaksakan melalui pengadilan merupakan
hal-hal diatur dalam Buku III KUHPerdata, selama tidak diatur secara khusus di
tempat lain. Yurispudensi dari Buku III KUHPerdata sangat luas.40 Perjanjian
utang-piutang diatur di dalam Buku III KUHPerdata Bab XIII Pasal 1754 sampai
40 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, , Hukum Perdata Hukum Perhutangan Bagian
A, Yogyakarta: Seksi Hukum Perdata FH UGM, 1980, hlm.3.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
31
dengan pada Pasal 1769 KUHPerdata. Dalam perjanjian utang-piutang, pihak
penerima pinjaman (debitur) menjadi pemilik mutlak dari uang yang dipinjamnya
dan apabila barang itu musnah bagaimanapun juga, maka hal itu merupakan
tanggungjawab debitur (Pasal 1755 KUHPerdata). Dalam perjanjian utang-piutang,
perutangan terjadi karena sejumlah uang yang disebutkan dalam perjanjian.
Jika sebelum pelunasan utang terjadi suatu kenaikan atau penurunan nilai
pada mata uang atau ada perubahan peredaran mata uang, maka pengembalian
jumlah yang dipinjam harus dilakukan dalam mata uang yang berlaku ada waktu
pelunasan, dihitung sesuai dengan nilai mata uang resmi yang berlaku pada saat itu
(Pasal 1756 KUHPerdata).
Dengan demikian maka untuk menetapkan jumlah dari uang yang terutang,
haruslah berdasarkan pada jumlah yang disebutkan dalam perjanjian, sedangkan
yang harus dikembalikan pihak peminjam ialah jumlah nominal dari pinjaman itu
(Pasal 1763 KUHPerdata).
Pemberi pinjaman (kreditur) tidaklah dapat meminta kembali barang yang
dipinjamkan sebelum lewat waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian (Pasal
1759 KUHPerdata).
Sebagaimana yang ada tertuang di dalam Pasal 1765 ayat (2) KUHPerdata
bahwasannya diperbolehkan memperjanjikan adanya bunga atas peminjaman uang
tersebut atau barang lain yang menghabis karena pemakaiannya. Bunga yang
diperjanjikan dalam persetujuaan itu boleh melampaui bunga menurut undang-
undang dalam segala hal yang tidak dilarang oleh undang-undang.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
32
Jika orang yang meminjamkan telah memperjanjikan bunga dengan tidak
menentukan berapa besarnya, maka si penerima pinjaman diwajibkan membayar
bunga menurut undang-undang (Pasal 1768 KUHPerdata).
Perjanjian utang-piutang seorang debitur dapat dituntut pergantian biaya,
kerugian dan bunga karena keterlambatan pelaksanaannya dengan tidak memenuhi
kewajiban dalam perjanjian, yang kemudian ia dinyatakan lalai, dan tetap lalai
untuk memnuhi hal yang diperjanjikan dalam waktu yang melampaui waktu yang
telah ditentukan (Pasal 1243 KUHPerdata).
Pergantian biaya, kerugian dan bunga baru wajib dibayar, tanpa perlu
dibuktikan adanya suatu kerugian oleh pihak kreditur. Pergantian biaya, kerugian
dan bunga baru wajib dibayarkan sejak diminta di muka pengadilan, kecuali bila
undang-undang menetapkan bahwa hal itu berlaku demi hukum.
B. Jenis-Jenis Utang-Piutang
Pelaksaan Perjanjian utang-piutang terdiri atas dua macam jenis, yaitu:
1. Karena murni perjanjian utang-piutang
Perjanjian utang-piutang yang tidak memiliki latar belakang persoalan lain,
dan perjanjian tersebut dibuat hanya karema semata-mata untuk melakukan
utang-piutang.
2. Karena dilatarbelakangi perjanjian lain
Perjanjian ini terjadi karena sebelumnya telah terjadi perjanjian lainnya.
Perjanjan sebelumnya dengan perjanjian berikutnya yaitu perjanjian utang-
piutang yang berdiri sendiri-sendiri. Perjanjian sebelumnya telah selesai
dilaksanakan. Pada perjanjian utang-piutang yang terjadi sesudah perjanjian
tersebut tidaklah bersifat accessoire atau keberadaannya bergantung dengan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
33
adanya perjanjian sebelumnya, karena kedua perjanjian tersebut sama-sama
perjanjian pokok.41
Menurut Muhammad Djumhana yang memaparkan bahwa pada mulanya
suatu utang dibuat berdasarkan dengan adanya suatu kepercayaan yang murni, yaitu
berbentuk utang perorangan karena kedua belah pihak telah saling mengenal satu
sama lain, dengan berkembangnya waktu maka akhirnya berkembang pula unsur-
unsur lain yang menjadi landasan dari suatu utang, sehingga hal itu menyebabkan
berkembang pula jenis utang yang dapat dibedakan menurut kriteria42, yaitu :
a. Dari segi kelembagaan:
1) Utang perbankan
Jenis utang yang diberikan kepada masyarakat untuk kegiatan usaha, dana
atau konsumsi.
Utang ini diberikan oleh bank pemerintah, atau bank swasta kepada dunia
usaha untuk membiayai kebutuhan permodalan, dan/atau utang dari bank
kepada individu untuk membiayai kebutuhan hidup masyarakat baik berupa
barang maupun jasa.
2) Utang likuiditas
Utang yang diberikan oleh Bank Sentral kepada bank-bank yang beroperasi
di Indonesia, yang selanjutnya akan digunakan sebagai dana untuk mebiayai
kegiatan perutangannya.
3) Utang langsung
41 Gatot Supramono, Op.Cit., hlm. 11. 42 Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan Di Indonesia, Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1996, hlm. 233
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
34
Utang yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada lembaga pemerintah atau
semi pemerintah. 43
b. Dari segi jangka waktu:
1) Utang jangka pendek (short term loan)
Utang yang berjangka waktu maksimum 1 tahun.
Bentuknya dapatlah berupa utang rekening koran, utang penjualan, utang
pembeli serta utang wesel. Utang jangka pendek adalah kewajiban yang
pelunasannya bersumber dari aktiva lancar atau dengan menimbulkan utang
jangka pendek yang baru.
2) Utang jangka menengah (medium term loan)
Pada umumnya, jenis dalam utang hanya mengenal 2 jenis utang yaitu utang
jangka pendek dan utang jangka panjang. Dikarenakan waktu pelunasannya,
maka dibuatlah utang jangka menengah.
Umumnya, utang jangka menegah menggunakan suku bunga mengambang
dengan mengacu pada suatu acuan suku bunga yang dikenal di dalam dunia
keuangan internasional.
Suku bunga pada utang jangka menengah dalam demonisasi rupiah biasa
menggunakan acuan suku bunga dari Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
Utang yang berjangka waktu antara 1 tahun sampai 3 tahun.
3) Utang jangka panjang
Utang yang berjangka waktu lebih dari 3 tahun.
Utang jenis ini pada umumnya merupakan utang investasi yang bertujuan
menambah modal suatu perusahaan dalam rangka melakukan rehabilitasi,
43 Ibid, hlm. 234
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
35
ekspansi dan pendirian proyek baru. Pembayaran atau pelunasan pada utang
jangka panjang dilakukan dengan menggunakan dana yang bersumber dari
aktiva tidak lancar. Oleh sebab itu, utang jangka panjang disebut juga
sebagai utang tidak lancar. Aktiva tidak lancar adalah seluruh aktiva atau
kekayaan dari perusahaan yang umumnya memiliki nilai waktu ekonomis
lama atau bersifat permanen sehingga dapat dimanfaatkan selama lebih dari
satu tahun. 44
c. Dari segi jaminannya:
1) Utang tanpa jaminan
Utang yang diberikan oleh kreditur secara sukarela tanpa perlu adanya suatu
jaminan milik debitur karena kreditur merasakan keyakinan, kepercayaan,
dan kesanggupan bahwa pihak debitur akan mengembalikan pinjamannya
sesuai dengan yang diperjanjikan.
2) Utang dengan jaminan
Utang yang diberikan pihak kreditur mendapatkan jaminan, bahwa debitur
dapat melunasi utangnya. Utang yang telah diberikan mengandung risiko,
sehingga untuk mengurangi risiko tersebut, maka diperlukan jaminan dalam
pemberian utang tersebut. Adapun bentuk jaminan dapat berupa jaminan
kebendaan maupun jaminan perorangan. 45
C. Hak dan Kewajiban Para Pihak
Perjanjian yang bertimbal balik seperti perjanjian utang-piutang ini, hak dan
kewajiban kreditur bertimbal balik dengan hak dan kewajiban debitur.Hak kreditur
44Ibid, hlm. 237 45 Ibid, hm. 237
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
36
di satu pihak, merupakan kewajiban debitur di lain pihak. Begitu pula sebaliknya,
kewajiban kreditur merupakan hak debitur. Uraian di bawah ini membahas tentang
kewajiban para pihak dalam melakukan perjanjian utang-piutang.46
Hak dan kewajiban para pihak dapat dipertahankan dihadapan pengadilan.47
1. Hak dan Kewajiban Debitur
a) Hak debitur
Debitur merupakan siapa saja yang menerima utang dari kreditur dan wajib
mengembalikan utang tersebut setelah jangka waktu tertentu sesuai dengan yang
diperjanjikan. Selain subjek, terdapat pula objek perjanjian utang-piutang. Dalam
Pasal 1234 KUHPerdata objek perikatan adalah suatu prestasi yang berupa:
1) Memberikan sesuatu;
2) Berbuat sesuatu atau melakukan sesuatu perbuatan;
3) Tidak berbuat sesuatu atau tidak melakukan suatu perbuatan.
Dalam hal melaksanakan kewajibannya oleh undang-undang, pihak debitur
diberikan hak-hak tertentu yang sifatnya memberikan perlindungan kepada pihak
penanggung. Hak-hak penanggung tersebut menurut ketentuan Undang-undang,
dapat berupa:
1.1.Hak untuk menuntut lebih dahulu (voorrecht van uitwinning).
Ketentuan menurut pada Pasal 1831 KUHPerdata merupakan ketentuan yang
menetapkan hak istimewa debitur.
Pasal 1831 KUHPerdata menyatakan bahwa:
46 Gatot Supramono, Op.Cit., hlm. 29. 47 Ridwan Khairandy, Hukum Kontrak di Indonesia dalam Perspektif
Perbandingan ( Bagian Pertama ), Yogyakarta: FHUII Press, 2013, hlm. 6
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
37
“Si penanggung tidaklah diwajibkan membayar kepada pihak berpiutang,
selain jika si berutang lalai, sedangkan benda-benda si berutang ini harus
lebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya.” ;
1.2.Hak pihak debitur dalam perjanjian utang-piutang itu adalah menerima
sejumlah uang yang dipinjamkan oleh kreditur kepada debitur;
1.3.Memakai dana sesuai dengan peruntukannya.
b) Kewajiban debitur
Kewajiban pihak debitur dalam perjanjian utang-piutang pada dasarnya tidak
banyak. Pokok kewajiban dari debitur adalah mengembalikan utang dalam jumlah
yang sama sesuai yang diberikan oleh pihak kreditur, disertai dengan pembayaran
sejumlah bunga yang sebagaimana telah diperjanjikan, dalam jangka waktu yang
telah diperjanjikan pula, hal tersebut sebagaimana telah ditentukan di dalam Pasal
1763 KUHPerdata.48 Bila tidak ditetapkan sesuatu waktu, maka menurut majelis
hakim yang berkuasa memberikan kelonggaran kepada pihak peminjam sesudah
mempertimbangkan keadaan (Pasal 1760).49
2. Hak dan Kewajiban Kreditur
a) Hak kreditur
Pihak kreditur merupakan pihak yang memberikan pinjaman kepada debitur,
sedangkan pihak debitur merupakan pihak yang meminjam dari kreditur. Kreditur
memiliki hak untuk dapat melakukan tindakan-tindakan tertentu kepada debitur
yang pasif yang tidak mau memenuhi kewajibannya. Pihak kreditur merupakan
pihak yang berhak menerima pembayaran atas barang atau jasa yang diberikannya
48 Gatot Supramono, Op.Cit., hlm. 31. 49 R.Subekti, Op.Cit., hlm. 128.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
38
kepada pihak debitur. Menurut Pasal 1385 KUHPerdata menyebutkan bahwa:
“Pembayaran harus dilakukan kepada pihak kreditur atau kepada orang yang
dikuasakan olehnya, atau juga kepada seseorang yang dikuasakan oleh hakim atau
oleh undang-undang untuk menerima suatu pembayaran-pembayaran bagi
kreditur. Pembayaran yang dilakukan kepada seseorang yang tidak mempunyai
kuasa menerima bagi kreditur, sah sejauh hal itu disetujui oleh kreditur atau nyata-
nyata bermanfaat baginya.”
b) Kewajiban kreditur
Perjanjian utang-piutang sebagaimana yang diatur di dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata kewajiban-kewajiban pihak kreditur tidak banyak diatur,
pada pokoknya pihak kreditur wajib menyerahkan uang yang dipinjamkan kepada
debitur setelah terjadinya perjanjian. Selanjutnya, pasal 1759 hingga pasal 1761
KUHPerdata, menentukan sebagai berikut:
1) Uang yang telah diserahkan kepada pihak debitur sebagai pinjaman. Sebelum
lewat waktu yang ditentukan dalam perjanjian tidak dapat diminta kembali
oleh kreditur (Pasal 1759).
2) Apabila dalam perjanjian utang piutang tidak ditentukan jangka waktu, dan
kreditur menuntut pengembalian utang, caranya dengan mengajukan gugatan
perdata ke pengadilan, dan berdasarkan pada Pasal 1760 KUHPerdata. Hakim
diberi kewenangan untuk menetapkan jangka waktu pada pengembalian utang
dengan mempertimbangkan keadaan pihak debitur serta memberi kelonggaran
kepadanya untuk membayar utang.
3) Jika dalam pelaksanaan perjanjian tersebut, ditentukan pihak debitur akan
mengembalikan utang setelah ia mampu membayarnya, pihak kreditur juga
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
39
harus menuntut pengembalian utang melalui jalur pengadilan, hakim setelah
mempertimbangkan keadaan debitur akan menentukan waktu pengembalian
(Pasal 1761 KUHPerdata). Kewajiban pihak kreditur dalam perjanjian kredit
adalah menyerahkan kredit atau uang kepada debitur.
4) Menyerahkan sejumlah dana yang dipinjam oleh debitur
5) Mengelola penguasaan hak kebendaan secara baik. 50
D. Akibat Hukum Perjanjian Utang-Piutang
Soeroso mendefinisikan akibat hukum sebagai akibat suatu tindakan yang
dilakukan untuk memperoleh suatu akibat yang dikehendaki oleh pelaku dan yang
diatur oleh hukum. Tindakan ini dinamakan tindakan hukum. Jadi dengan kata lain,
akibat hukum adalah akibat dari suatu tindakan hukum.51
Pelaksanaan perjanjian utang-piutang menimbulkan berbagai macam akibat
hukum, yaitu:
1. Bunga utang
Perjanjian utang piutang dikenal adanya bunga atas utang. Dalam perjanjian
utang-piutang tidak selalu diikuti dengan bunga, karena baik dalam pengaturan
KUHPerdata maupun undang-undang lainnya mengenai memperjanjikan bunga
bukanlah suatu kewajiban atau suatu keharusan. Sebagaimana pada asas kebebasan
berkontrak dan asas konsensualisme, mengenai keberadaan bunga dan besarnya
bunga diserahkan kepada para pihak yang mengadakan perjanjian, yaitu pihak
kreditur dan debitur.52
50 Gatot Supramono, Op.Cit., hlm. 30. 51 R. Soeroso. Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hlm. 295. 52 Gatot Supramono, Op.Cit., hlm. 25-29.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
40
Pada pokoknya dalam pengaturan mengenai bunga, terdapat dua macam bunga
yang ada diatur di dalam Pasal 1767 KUHPerdata, yaitu bunga menurut undang-
undang yang dikenal dengan bunga moratoir, dan bunga yang ditetapkan dalam
perjanjian (bunga konvensional).53 Bunga moratoir merupakan pembayaran
sejumlah uang penggantian biaya rugi dan bunga yang disebabkan oleh karena
terlambatnya pelaksanaan perikatan hanya terdiri atas bunga yang besarannya
ditetapkan dalam undang-undang dan menurut Lembaran Negara Tahun 1948
No.22 ditentukan besarnya suatu bunga tersebut 6% per-tahun.
Apabila dalam perjanjian utang piutang pihak kreditur memperjanjikan bunga
tetapi tidak ditentukan berapa besarnya, maka debitur diwajibkan oleh Pasal 1768
KUHPerdata untuk membayar bunga moratoir54. Cara perhitungan bunga moratoir
adalah dari surat gugat, dimasukkan dalam daftar perkara perdata di Panitera
Pengadilan Negeri. Jadi, tidak dihitung dari saat debitur melakukan wanprestasi.
Suatu bunga yang ditetapkan dalam perjanjian, diatur dalam Pasal 1767 ayat (2)
KUHPerdata menentukan, boleh melampaui bunga menurut undang-undang dalam
segala hal yang tidak dilarang oleh undang-undang. Pasal ini memberi kebebasan
kepada para pihak untuk menentukan berapa besarnya suatu bunga, meskipun
demikian bunga ditetapkan dalam suatu perjanjian perlu diperhatikan dengan
kemampuan debitur untuk membayar bunga maupun rasa keadilan.55
Pengadilan dapat menetapkan bunga atas suatu utang, jika ada perkara gugatan
yang diajukan yang dikenal sebagai bunga kompensatoir. Putusan pengadilan yang
menetapkan bunga, merupakan penerobosan terhadap bunga yang diperjanjikan,
53 Ibid. 54 Ibid. 55 Ibid.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
41
karena besar bunga dinilai tidak tepat. Pada penetapan besaran suatu bunga, suatu
pengadilan tidaklah dapat berbuat secara sewenang-wenang, karena terlebih dahulu
harus mempertimbangkan sejumlah hal, antara lain dari segi keadilan, kepantasan,
kemampuan seorang debitur, dan bunga yang berlaku di kalangan perbankan.56
2. Hapusnya perikatan
Sebagaimana yang ada diatur di dalam Pasal 1381 KUHPerdata yang mengatur
berbagai cara hapusnya perikatan-perikatan atas perjanjian dan perikatan yang lahir
karena undang-undang dan cara-cara yang ditunjukkan oleh pembentuk undang-
undang itu tidaklah bersifat membatasi para pihak untuk menciptakan cara yang
lain untuk mengahapuskan suatu perikatan57
Menurut Pasal 1381, perikatan-perikatan hapus:
a. Karena pembayaran
Hapusnya perikatan karena pembayaran ada diatur dalam Pasal 1382 sampai
dengan pada Pasal 1403 KUHPerdata. Yang dimaksud dengan pembayaran adalah
pelunasan atau pemenuhan prestasi dalam perjanjian.58 Pemenuhan prestasi dalam
perjanjian utang-piutang diatur dalam Pasal 1382 ayat (1) KUHPerdata, yang
menyatakan bahwasannya: “Tiap perikatan dapat dipenuhi oleh siapa pun pihak
yang berkepentingan, seperti orang yang turut berutang atau si penanggung utang.
Suatu perikatan bahkan dapat dipenuhi oleh pihak ketiga yang tidak
berkepentingan, asal pihak ketiga itu bertindak atas nama dan untuk melunasi
utang pihak debitur, atau asal ia tidak mengambil alih hak-hak kreditur sebagai
56 Ibid. 57 Mariam Darus Badrulzaman, dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2001, hlm. 115. 58 Ibid.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
42
pengganti jika ia bertindak atas namanya sendiri.” 59 Selanjutnya, Pasal 1383
KUHPerdata menyebutkan bahwa suatu perikatan dapat dipenuhi juga oleh pihak
ketiga, yang tidak mempunyai kepentingan, asal pihak ketiga bertindak atas nama
dan untuk melunasi utang pihak debitur, atau jika ia bertindak atas namanya sendiri,
asal ia tidak menggantikan hak-hak si kreditur. Dengan demikian, dalam hal
pembayaran, dapat terjadi karena bahwa pihak ketiga muncul untuk melakukan
pembayaran kepada kreditur. Perihal menggantikan hak-hak kreditur ini disebut
juga dengan subrogasi. Pasal 1400 KUHPerdata, subrogasi dapat terjadi karena
adanya suatu perjanjian (Pasal 1401 KUHPerdata) dan karena undang-undang
(Pasal 1402 KUHPerdata).60
Pembayaran sah apabila dilakukan oleh orang yang memiliki hak atau pemilik
barang dan berkuasa memindahkannya (Pasal 1384 KUHPerdata). Pembayaran
harus dilakukan kepada pihak kreditur atau terhadap orang yang dikuasakannya
atau kepada orang yang dikuasakan oleh majelis hakim atau oleh undang-undang
untuk menerima pembayaran bagi pihak kreditur. Pembayaran kepada orang yang
tidak berkuasa untuk menerima adalah sah apabila terdapat persetujuan dari
kreditur atau nyata-nyata telah memperoleh manfaat karenanya (Pasal 1385
KUHPerdata). Pembayaran yang dilakukan dengan iktikad baik kepada seseorang
yang memegang surat tanda penagihan adalah sah (Pasal 1386 KUHPerdata).
Menurut ketentuan yang ada di dalam Pasal 1385 KUHPerdata, pembayaran
harus dilakukan kepada:
1) Si berpiutang (kreditur);
59 P.N.H. Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta:
Djambatan, 2009, hlm.323-329. 60 Ibid.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
43
2) Orang yang dikuasakan oleh kreditur;
3) Orang yang dikuasakan oleh hakim atau undang-undang untuk menerima
pembayaran tersebut. 61
Selanjutnya menurut ketentuan yang ada di dalam Pasal 1393 KUHPerdata,
pembayaran harus dilakukan di:
a) Tempat yang ditetapkan dalam perjanjian;
b) Tempat dimana barang itu berada sewaktu perjanjiannya dibuat;
c) Tempat tinggal pihak kreditur, selama ia terus-menerus berdiam dalam
wilayah dimana ia bertempat tinggal sewaktu perjanjian dibuat, dan di
dalam hal-hal lainnya di tempat tinggal si debitur.
4) Karena penawaran pembayaran utang tunai, diikuti dengan penyimpanan atau
penitipan.
Hapusnya suatu perikatan karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan
penyimpanan atau penitipan diatur dalam Pasal 1404 sampai dengan Pasal 1412
KUHPerdata. Jika si berpiutang (kreditur) menolak pembayaran, maka pihak yang
berutang (debitur) dapat melakukan suatu penawaran mengenai pembayaran tunai
dengan perantaraan notaris ataupun juru sita mengenai apa yang diutangnya, dan
jika si pihak berpiutang menolaknya, si pihak berutang akan menitipkan uang atau
barangnya kepada Panitera Pengadilan Negeri (PN) untuk disimpan.62
Penawaran pembayaran secara tunai, diikuti dengan penyimpanan atau
penitipan, maka akan membebaskan si pihak berutang dan berlaku baginya sebagai
pembayaran, asal penawaran itu dilakukan dengan cara menurut undang-undang,
61 Ibid. 62 Ibid.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
44
sedangkan apa yang dititipkan itu tetap lah merupakan tanggungan dari si pihak
berpiutang (Pasal 1404 KUHPerdata).
Seluruh biaya yang akan dikeluarkan untuk menyelenggarakan penawaran
pembayaran secara tunai dan penyimpanan, harus dipikul si pihak yang berpiutang
(Pasal 1407 KUHPerdata).63
c. Karena pembaharuan utang (novasi).
Hapusnya suatu perikatan karena novasi diatur di dalam Pasal 1413-Pasal 1424
KUHPerdata. Subekti memaparkan bahwasannya suatu pembaruan utang (novasi)
merupakan pembuatan perjanjian baru dengan cara mengahapuskan suatu perikatan
lama, sambil meletakkan suatu perikatan yang baru.64 Sehingga dapat disimpulkan
bahwa pembaruan utang terjadi dengan jalan mengganti utang lama menjadi utang
baru.65
Menurut Pasal 1415 KUHPerdata, maka kehendak untuk mengadakan suatu
novasi haruslah tegas, yaitu dengan adanya sebuah akta. Ketentuan ini tidak bersifat
memaksa, oleh karenanya, untuk novasi subjektif yang pasif tidak diperlukan
bantuan dari pihak debitur, sehingga karena itu dapat disimpulkan bahwa adanya
suatu akta dalam hal itu tidaklah diperlukan (Pasal 1416 KUHPerdata).
Novasi menurut Pasal 1413 KUHPerdata terjadi dalam 3 bentuk, yaitu:
1) Debitur dan kreditur mengadakan perjanjian baru, dengan mana perjanjian
lama dihapuskan.
2) Apabila terjadi penggantian pihak debitur, dengan mana penggantian mana
debitur lama dibebaskan dari perikatannya.
63 Ibid. 64 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Inamasa, 1987, hlm. 156. 65 Ibid.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
45
3) Apabila terjadi pergantian kreditur dengan mana kreditur lama dibebaskan
dari perikatannya. 66
Pembaharuan utang hanya dapat terlaksana antara orang-orang yang cakap
untuk melaksanakan perikatan (Pasal 1414 KUHPerdata). Selanjutnya menurut
pada Pasal 1415 KUHPerdata, kehendak seorang untuk mengadakan novasi harus
dengan tegas ternyata dari perbuatannya, yaitu dengan sebuah akta.67
d. Karena perjumpaan utang (kompensasi).
Hapusnya perikatan karena kompensasi diatur dalam Pasal 1425 sampai
dengan Pasal 1435 KUHPerdata. Menurut Pasal 1425 KUHPerdata, jika dua orang
saling berutang satu pada yang lain, maka terjadilah antara mereka perjumpaan
utang, dengan mana utang-utang antara kedua orang tersebut dihapuskan. Undang-
undang mejelaskan bahwa kompensasi terjadi demi hukum akan tetapi apabila
dibaca dalam ketentuan-ketentuan pada Pasal 1430, Pasal 1432, serta Pasal 1435
KUHPerdata, maka kompensasi itu mengkhendaki adanya aktivitas dari para pihak
yang berkepentingan untuk mengemukakan utang masing-masing dan pelaksanaan
dari pehitungan atau kompensasinya.
Kompensasi yang terjadi demi hukum akan mengakibatkan terjadinya hal-
hal menegangkan antara para pihak yang berkepentingan. Selanjutnya, menurut
Pasal 1426 KUHPerdata, perjumpaan utang terjadi demi hukum, bahkan tanpa
sepengetahuan dari orang-orang yang berutang itu. Dengan demikian, perjumpaan
itu harus diajukan atau dimintakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan.68
66 Mariam Darus Badrulzaman, dkk, Op.cit., hlm. 133. 67 Ibid. 68 Ibid.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
46
Perjumpaan utang dapat terlaksana maka menurut Pasal 1427 KUHPerdata,
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1) Perjumpaan hanya dapat terjadi antara dua utang yang dua-duanya berpokok
sejumlah utang, atau sejumlah barang-barang yang dapat dihabiskan dan dari
jenis yang sama.
2) Utang dapat diperjumpakan dengan sejumlah uang yang telah ditetapkan
dan seketika dapat ditagih.
Setiap utang apapun sebabnya dapat diperjumpakan, kecuali dalam 3 hal
yang telah ditetapkan dalam Pasal 1429 KUHPerdata, yaitu:
a) Apabila dituntutnya pengembalian suatu barang yang secara berlawanan
dengan hukum dirampas dari pemiliknya.
b) Apabila dituntut adanya pengembalian barang sesuatu yang dititipkan atau
dipinjamkan.
c) Terhadap suatu utang yang bersumber pada tunjangan nafkah yang telah
dinyatakan tak dapat disita.
e. Karena pencampuran utang.
Hapusnya suatu perikatan karena pencampuran utang diatur dalam Pasal
1436 dan Pasal 1437 KUHPerdata. Menurut pada Pasal 1436 KUHPerdata pada
pencampuran suatu utang terjadi apabila kedudukan sebagai kreditur dan debitur
berkumpul pada satu orang. Pencampuran utang tersebut terjadi demi hukum.
Dalam pencampuran utang ini, utang-piutang dihapuskan.69 Menurut Pasal 1437
KUHPerdata, pencampuran utang yang terjadi pada pihak debitur utama berlaku
juga untuk keuntungan para penanggung utang. Sebaliknya, pencampuran utang
69 Ibid.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
47
yang apabila terjadi pada diri si penanggung utang, tidak sekali-kali mengakibatkan
hapusnya utang pokok.70
f. Karena pembebasan utang.
Hapusnya perikatan karena pembebasan utang diatur dalam Pasal 1438 sampai
dengan Pasal 1443 KUHPerdata. Pembebasan utang adalah suatu perbuatan hukum
dimana kreditur dengan sukarela membebaskan atau melepaskan haknya terhadap
pihak debitur di dalam pemenuhan kewajibannya. Dengan pembebasan itu, maka
suatu perikatan menjadi hapus.71 Sebagaimana di dalam Pasal 1439 KUHPerdata,
pembebasan utang itu tidak boleh dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan.
g. Karena musnahnya barang yang terutang.
Hapusnya perikatan karena musnahnya barang yang terutang diatur dalam
Pasal 1444 sampai dengan Pasal 1445 KUHPerdata. Jika barang tertentu yang
menjadi objek perjanjian itu musnah, tak lagi dapat diperdagangkan atau hilang atau
sama sekali tak diketahui keberadaan, apakah barang itu masih ada, diluar
kesalahan pada pihak debitur dan sebelumnya lalai menyerahkannya, maka
hapuslah perikatannya (Pasal 1444 KUHPerdata).72 Ketentuan ini adalah berpokok
pangkal di dalam Pasal 1237 KUHPerdata menyatakan bahwasannya dalam hal
adanya suatu perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu kebendaan itu
semenjak perikatan dilahirkan adalah atas tanggung jawab kreditur.
Kalau pihak kreditur lalai akan menyerahkannya maka semenjak kelalaian-
kebendaan adalah tanggungan debitur.
h. Karena pembatalan.
70 Ibid. 71 Ibid. 72 Ibid.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
48
Dalam hal hapusnya suatu perikatan karena adanya pembatalan berada dalam
pengaturan pada Pasal 1446 sampai dengan Pasal 1456 KUHPerdata.
Menurut KUHPerdata, suatu perikatan dapat batal apabila:
1) Perikatan itu dibuat oleh mereka yang tidak cakap hukum, seperti: belum
dewasa, ditaruh di bawah pengampunan dan wanita bersuami (Pasal 1446
KUHPerdata).
2) Suatu perikatan dibuat dengan paksaan, kekhilafan, atau penipuan (Pasal
1449 KUHPerdata).
3) Perjanjian bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan
kesusilaan (Pasal 1321 KUHPerdata). 73
Sebagaimana dalam Pasal 1266 KUHPerdata disimpulkan bahwa ada 3 hal
yang harus diperhatikan sebagai syarat pembatalan suatu perjanjian, yaitu:
a) Perjanjian harus bersifat timbal-balik;
b) Pembatalan harus dilakukan dimuka hakim;
c) Harus ada wanprestasi. 74
Subekti memaparkan bahwa dalam suatu perjanjian dapat dimintakan suatu
permbatalannya kepada hakim dengan 2 cara, yaitu:
1.1.Dengan cara aktif, yaitu menuntut pembatalan suatu perjanjian didepan
hakim.
1.2.Dengan cara melakukan pembelaan, yaitu dengan cara menunggu sampai
digugat didepan majelis hakim untuk memenuhi perjanjian tersebut, dan
baru mengajukan alasan mengenai kekurangan perjanjian itu. 75
73 Ibid. 74 P.N.H. Simanjuntak, Op.cit., hlm. 347-348. 75 Ibid.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
49
Oleh karenannya, yang membatalkan suatu perjanjian itu adalah melalui
putusan hakim. Pembatalan ini pada umumnya berakibat, bahwa keadaan antara
kedua pihak dikembalikan seperti pada waktu perikatan belum dibuat.
Pasal 1454 KUHPerdata, terhadap tuntutan pembatalan sehubungan dengan
hal-hal tersebut di atas, hanya dapat diajukan dalam tenggang waktu 5 tahun.76
Pasal 1341 KUHPerdata menyatakan bahwasannya: “Meskipun demikian,
bahwa tiap kreditur boleh mengajukan tidak berlakunya segala tindakan yang tidak
diwajibkan yang dilakukan oleh pihak debitur, dengan nama apa pun juga, yang
merugikan kreditur, asal dibuktikan, bahwa ketika tindakan tersebut dilakukan,
debitur dan orang yang dengannya atau untuknya pihak debitur itu bertindak,
mengetahui bahwa tindakan itu mengakibatkan kerugian bagi para pihak kreditur.
Hak-hak yang diperoleh pihak ketiga dengan itikad baik atas barang-barang yang
menjadi obyek dari suatu tindakan yang tidak sah, harus dihormati.
Untuk mengajukan batalnya tindakan tersebut yang dengan cuma-cuma telah
dilakukan pihak debitur, cukuplah kreditur yang menunjukkan bahwa pada waktu
melakukan tindakan tersebut pihak debitur telah mengetahui perihal itu, bahwa
dengan cara demikian dia merugikan para kreditur, tak peduli apakah orang yang
diuntungkan juga mengetahui hal itu atau tidak.”
Seorang kreditur diberikan hak untuk mengajukan suatu pembatalan terhadap
segala perbuatan pihak debitur yang merugikan kreditur. Hak ini disebut dengan
actio paulina. Untuk mengajukan pembayaran perbuatan debitur yang merugikan
baginya itu, maka pihak kreditur diwajibkan membuktikan bahwa dengan
perbuatan yang dilakukan pihak debitur atau orang dengan atau untuk siapa debitur
76 Ibid.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
50
itu berbuat, mengetahui bahwa perbuatan itu membawa akibat yang merugikan
kreditur.77
i. Karena berlaku suatu syarat batal, yang diatur dalam Bab I buku ini.
Suatu syarat batal dalam perjanjian adalah syarat yang apabila dipenuhi,
menghentikan suatu perikatan dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan
semula, seolah-olah tidak pernah ada suatu perikatan.Dengan demikian, syarat batal
ini mewajibkan pihak debitur mengembalikan apa yang telah diterimanya, apabila
peristiwa yang dimaksudkan itu terjadi (Pasal 1265 KUHPerdata).78 Syarat batal
biasanya selalu tercantum dalam pejanjian timbal-balik, manakala salah satu pihak
tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian, perjanjian tidak batal demi
hukum, tapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim.79
j. Karena lewat waktu, hal mana akan diatur dalam suatu bab tersendiri.
Lewat waktu atau daluwarsa merupakan alat guna memperoleh sesuatu atau
untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu/masa tertentu
dalam suatu perikatan dan atas syarat-syarat yang diatur oleh suatu perundangan.
(Pasal 1946 KUHPerdata).80
Lewat waktu dalam suatu perikatan dapat dibedakan menjadi 2 macam,
yaitu:
1) Lewat waktu untuk memperoleh hak milik.
Menurut pada Pasal 1963 KUHPerdata, bahwa terdapat unsur-unsur untuk
memperoleh hak milik, yaitu:
77 Ibid. 78 Ibid. 79 Ibid. 80 P.N.H. Simanjuntak, Op.cit., hlm.385-386.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
51
a) Iktikad baik;
b) Ada alas hak yang sah;
c) Menguasai atas barang tersebut terus-menerus selama 20 tahun atau 30
tahun tanpa ada yang menggugat.
Suatu iktikad baik selamanya haruslah dianggap ada, sedangkan siapa yang
menunjuk iktikad buruk, diwajibkan membuktikannya (Pasal 1965 KUHPerdata).
Adalah cukup, bahwa pada waktu benda atau piutang diperoleh, iktikad baik
itu ada (Pasal 1966 KUHPerdata).
2. Lewat waktu untuk dibebaskan dari suatu tuntutan.
Segala macam tuntutan, baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat
perorangan, akan hapus karena ada daluwarsa dengan lewatnya waktu 30 tahun,
sedangkan pihak yang menunjukkan adanya daluwarsa ini tidak usah menunjukkan
suatu alas hak, dan tidak dapat diajukan terhadapnya tangkisan yang berdasarkan
iktikad buruk (Pasal 1967 KUHPerdata). Ini berarti, bahwa apabila seseorang
digugat untuk membayar suatu utang yang sudah lebih dari 30 tahun lamanya, dapat
menolak gugatan itu dengan hanya menggunakan bahwa ia dalam masa 30 tahun
belum pernah menerima tuntutan atau gugatan atas utang tersebut. 81
81 Ibid.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
52
BAB III
FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA WANPRESTASI DALAM
PERJANJIAN UTANG-PIUTANG
A. Pengertian dan Dasar Hukum Wanprestasi.
Umumnya semua bentuk dari perjanjian diakhiri dengan pelaksanaan, dan
memang demikianlah hal itu yang seharusnya terjadi. Hal itu berarti bahwa para
pihak memenuhi kesepakatan itu untuk dilaksanakan berdasarkan pada persyaratan-
persyaratan yang tercantum dalam perjanjian. Pemenuhan perjanjian atau hal-hal
yang harus dilaksanakan disebut prestasi. Dengan terlaksanakannya suatu prestasi,
kewajiban-kewajiban para pihak berakhir. Sebaliknya, apabila serorang debitur
tidak melaksanakannya, ia disebut melakukan wanprestasi.82
Pemenuhan prestasi merupakan hakikat dari suatu perikatan. Kewajiban
memenuhi prestasi dari debitur selalu disertai dengan tanggung jawab (liability),
artinya debitur mempertaruhkan harta kekayaannya sebagai jaminan pemenuhan
utangnya kepada kreditur.
Menurut ketentuan dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPerdata, semua
harta kekayaan pihak debitur baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang
ada maupun yang akan ada menjadi jaminan pemenuhan utangnya terhadap
kreditur, jaminan semacam ini disebut jaminan umum.83 Prestasi merupakan sebuah
esensi daripada suatu perikatan. Apabila esensi ini tercapai dalam arti dipenuhi oleh
pihak debitur maka perikatan itu berakhir. Agar esensi itu dapat tercapai yang
82 I.G. Rai Widjaya, Merancang Suatu Kontrak (Contract Drafting), Jakarta:
Kesaint Blanc, 2008, hlm. 77. 83 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandung: Citra Aditya
Bakti,2000, hlm. 17.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
53
artinya kewajiban tersebut telah dipenuhi oleh debitur maka harus diketahui sifat-
sifat dari prestasi tersebut ,yaitu:
1. Harus sudah tertentu atau dapat ditentukan;
2. Harus mungkin;
3. Harus diperbolehkan (halal);
4. Harus ada manfaatnya bagi kreditur;
5. Bisa terdiri dari suatu perbuatan atau serentetan perbuatan. 84
Perikatan yang bersifat timbal-balik senantiasa menimbulkan hal berupa sisi
aktif serta sisi pasif dalam suatu perikatan. Sisi aktif menimbulkan hak bagi kreditur
untuk menuntut pemenuhan atas prestasi, sedangkan sisi pasif menimbulkan beban
berupa kewajiban bagi seorang debitur untuk melaksanakan prestasinya. Pada
situasi normal antara prestasi dan kontra prestasi akan saling bertukar, namun pada
kondisi tertentu pertukaran suatu prestasi tidak berjalan sebagaimana mestinya
sehingga muncul peristiwa yang disebut wanprestasi.85 Wanprestasi berasal dari
bahasa Belanda “wanprestatie” yang artinya tidak dipenuhinya prestasi atau
kewajiban yang telah ditetapkan terhadap pihak-pihak tertentu di dalam suatu
perikatan, baik perikatan yang dilahirkan dari suatu perjanjian ataupun perikatan
yang timbul karena undang-undang.86
Menurut Kamus Hukum, wanprestasi memili arti sebagai suatu tindakan
yang berupa kelalaian, kealpaan, cidera janji, tidak menepati kewajibannya dalam
perjanjian.87 Wanprestasi adalah suatu keadaan dimana seorang debitur tidak
84 Ibid, hlm. 20. 85 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proposionalitas Dalam Kontrak
Komersial, Jakarta: Kencana, 2010, hlm. 261. 86 Ibid. 87 Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 1996,
hlm. 110.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
54
memenuhi atau melaksanakan prestasi sebagaimana telah ditetapkan dalam suatu
perjanjian; atau melaksanakan prestasi tapi yang dilaksanakan tidak tepat waktu dan
tidak sesuai dengan yang seharusnya.
Jadi jika debitur telah melakukan wanprestasi karena ia tidak atau terlambat
melaksanakan prestasi dari waktu yang ditentukan, atau tidak sesuai dengan apa
yang semestinya, hal ini merupakan suatu bentuk pelanggaran hukum atau tindakan
melawan hukum terhadap hak seorang kreditur, yang lebih dikenal dengan istilah
onrechtmatigedaad.88
R. Subekti, mengemukakan bahwa “wanprestasi” itu adalah kelalaian atau
kealpaan yang dapat berupa 4 macam yaitu:
a. Tidak melakukan apa yang telah disanggupi akan dilakukannya.
b. Melaksanakan apa yang telah diperjanjikan dalam kontrak tersebut,
tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan.
c. Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat,
d. Melakukan suatu perbuatan yang menurut perjanjian itu tidak dapat
dilakukan.89
Pelanggaran hak-hak kontraktual tersebut menimbulkan kewajiban ganti
rugi berdasarkan suatu perbuatan wanprestasi, sebagaimana diatur di dalam Pasal
1236 KUHPerdata (untuk prestasi memberikan sesuatu) dan di dalam Pasal 1239
KUHPerdata (untuk prestasi berbuat sesuatu).
Syarat terjadinya wanprestasi adalah:
1) Syarat materiil
88 I.G. Rai Widjaya, Op.cit., hlm. 77 89 R.Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Pembimbing Masa,1970, hlm. 50.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
55
Adanya unsur kesalahan debitur (sengaja/lalai). Kesalahan dalam hal ini
pihak yang tidak melaksanakan prestasi tersebut tahu bahwa perbuatan
yang mengakibatkan tidak terlaksananya suatu prestasi itu merugikan
orang lain.
2) Syarat formil
Adanya peringatan/teguran terhadap pihak debitur. Pihak yang tidak
melaksanakan suatu prestasi tersebut diingatkan untuk melaksanakan
prestasinya. Tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan. 90
Debitur dinyatakan lalai apabila:
a. Tidak memenuhi prestasi;
b. Terlambat berprestasi; dan
c. Berprestasi tetapi tidak sebagaimana mestinya.
Namun demikian, umumnya perbuatan wanprestasi terjadi setelah adanya
pernyataan lalai dari pihak kreditur kepada pihak debitur. Pernyataan lalai ini pada
dasarnya adalah bertujuan untuk menetapkan adanya suatu tenggang waktu (yang
wajar) kepada debitur untuk memenuhi prestasinya dengan sanksi tanggung gugat
atas kerugian yang dialami kreditur.
Menurut undang-undang, suatu peringatan (somasi) kreditur mengenai
lalainya debitur harus dituangkan dalam bentuk tertulis, seperti surat perintah atau
dengan akta sejenis. Jadi, lembaga ‘pernyataan lalai’ merupakan suatu upaya
hukum untuk sampai pada fase dimana pihak debitur dinyatakan wanprestasi.91
Sebagaimana diatur di dalam Pasal 1238 yang KUHPerdata yang menyatakan
90 https://regulasikesehatan.wordpress.com/tag/wanprestasi/ (Diunduh pada
Tanggal 26 February 2020 Pukul 15:17 WIB) 91 Agus Yudha Hernoko, Op.cit., hlm. 261.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
56
bahwa: “Debitur adalah lalai apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah
akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri ialah jika ini
menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang
ditentukan.”
Somasi dilakukan sebanyak 3(tiga) kali panggilan, jika debitur tetap tidak
mengindahkannya, maka pihak kreditur berhak membawa persoalan tersebut ke
pengadilan.92 Wanprestasi dapat terjadi akibat dari kesengajaan debitur maupun
kelalaian debitur untuk melaksanakan prestasinya, hal ini ada diatur di dalam Pasal
1236 KUHPerdata yang ada menyatakan bahwasannya: “Pihak debitur adalah
berwajib untuk memberikan ganti biaya, rugi dan bunga kepada kreditur, apabila
ia telah membawa dirinya dalam keadaan tidak mampu untuk menyerahkan
kebendaannya atau telah tidak merawatnya sepatutnya guna menyelamatkannya.”
Pasal 1239 KUHPerdata yang menyatakan bahwasannya: “Tiap-tiap suatu
perikatan untuk berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu, apabila pihak debitur
tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajiban
memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga.” Pasal tersebut menjelaskan
dalam perjanjian untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu, si debitur juga
diwajibkan membayar ganti kerugian jika dia lalai untuk berbuat sesuatu
sebagaimana yang dijanjikan, atau sebaliknya jika dia berbuat sesuatu padahal hal
tersebut dilarang didalam perjanjian. Adakalanya di dalam suatu keadaan tertentu
untuk membuktikan bahwa telah adanya perbuatan wanprestasi pihak debitur tidak
diperlukan lagi pernyataan lalai, ialah:
92 Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta: Sinar Grafika,
2008, hlm 180.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
57
a) Untuk pemenuhan prestasi berlaku tenggang waktu yang fatal (fatale
termijn);
b) Debitur menolak pemenuhan;
c) Debitur mengakui kelalaiannya;
d) Pemenuhan prestasi tidak mungkin (diluar overmacht);
e) Pemenuhan tidak lagi berarti (zinloos);
f) Debitur melakukan prestasi tidak sebagaimana mestinya. 93
Wanprestasi membawa akibat yang merugikan bagi debitur, karena sejak
saat tersebut debitur berkewajiban mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat
dari pada ingkar janji tersebut.
Dalam hal debitur melakukan ingkar janji, kreditur dapat menuntut:
1.1.Pemenuhan perikatan (nakoming);
1.2.Pemenuhan perikatan dengan ganti rugi (nakoming en anevullend
vergoeding);
1.3.Ganti rugi (vervangende vergoeding; schadeloosstelling);
1.4.Pembatalan persetujuan timbal balik (ontbinding);
1.5.Pembatalan dengan ganti rugi (ontbinding en anvullend vergoeding). 94
Terjadinya wanprestasi, pihak kreditur yang telah dirugikan sebagai akibat
dari kegagalan pelaksanaan kontrak oleh pihak debitur mempunyai hak gugat dalam
upaya menegakkan hak-hak kontraktualnya. Pihak kreditur dapat melakukan
tuntutan dalam menghadapi debitur yang melakukan suatu perbuatan wanprestasi,
sebagaimana ada diatur di dalam Pasal 1267 KUHPerdata yang menyatakan:
93 Ibid, hlm. 262. 94 Ibid, hlm. 263.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
58
“Pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih apakah ia
akan menuntut pembatalan perjanjian, disertai penggantian biaya kerugian
dan bunga”.
Pasal ini ada memberikan pilihan kepada pihak lain untuk memilih dua
kemungkinan agar dia tidak dirugikan, yaitu menuntut agar perjanjian tersebut
dilaksanakan (agar suatu prestasi tersebut dipenuhi oleh para pihak) jika hal tersebut
masih memungkinkan atau menuntut terjadinya pembatalan perjanjian. Pilihan
tersebut dapat disertai ganti kerugian (biaya, rugi, dan bunga).
B. Bentuk-Bentuk Wanprestasi.
Menurut ketentuan di Pasal 1234 KUHPerdata, tiap-tiap perikatan adalah untuk
memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu. Maka
dari itu wujud prestasi itu berupa :
1. Memberikan sesuatu
Berdasarkan Pasal 1235 yang menyatakan bahwa :
“Dalam pada tiap-tiap perikatan untuk memberikan sesuatu adalah
termaktub kewajiban berutang untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan
dan untuk merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik, sampai pada saat
penyerahannya. Pada kewajiban yang terakhir ini adalah kurang atau lebih luas
terhadap perjanjian-perjanjian tertentu, yang akibat-akibat mengenai pada hal ini
ditunjuk dalam bab-bab yang bersangkutan.”
Pasal ini menerangkan tentang perjanjian yang bersifat konsensual (yang
lahir pada saat tercapainya kesepakatan) yang objeknya adalah barang, dimana
sejak saat tercapainya kesepakatan, orang yang seharusnya menyerahkan barang itu
harus tetap merawat dengan baik barang tersebut selayaknya memelihara barang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
59
kepunyaan sendiri sama halnya dengan merawat barang miliknya yang lain, yang
tidak akan diserahkan kepada orang lain.95 Kewajiban untuk merawat dengan baik
berlangsung sampai dengan barang tersebut diserahkan kepada orang yang harus
menerimanya. Penyerahan dalam pasal ini dapat berupa penyerahan nyata maupun
penyerahan yuridis.96
2. Berbuat sesuatu
Berbuat sesuatu dalam perikatan berarti melakukan perbuatan seperti yang
telah ditetapkan dalam suatu perikatan. Jadi wujud prestasi disini adalah melakukan
perbuatan tertentu. Pelaksanakan prestasi ini pihak debitur harus mematuhi apa
yang telah ditentukan dalam suatu perikatan.
Pihak Debitur bertanggung jawab atas perbuatannya yang tidak sesuai
dengan ketentuan yang diperjanjikan oleh para pihak. Namun bila mana ketentuan
tersebut tidaklah diperjanjikan, maka disini diberlakukan suatu ukuran kelayakan
atau kepatutan yang diakui dan berlaku dalam masyarakat. Artinya sepatutnya
berbuat sebagai seorang pekerja yang baik.97
3. Tidak berbuat sesuatu
Tidak berbuat sesuatu dalam perikatan yakni berarti tidak melakukan suatu
perbuatan seperti yang telah diperjanjikan.98 Jadi wujud prestasi di sini adalah tidak
melakukan suatu perbuatan. Di sini kewajiban prestasinya bukanlah sesuatu yang
bersifat aktif, tetapi justru sebaliknya yaitu dengan bersifat pasif yang dapat berupa
dengan tidak berbuat sesuatu atau membiarkan sesuatu berlangsung.99 Dalam hal
95 Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233
sampai 1456 BW, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2008, hlm. 5. 96 J. Satrio, Hukum Perikatan, Bandung: Alumni, 1999, hlm. 84. 97 Abdulkadir Muhammad, Op. cit, hal. 19. 98 Ibid, hlm. 19. 99 J.Satrio, Op. cit, hlm. 52.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
60
ini, bila ada salah satu pihak yang berbuat tidak sesuai dengan perikatan maka pihak
tersebut yang harus bertanggung jawab atas akibatnya.
4. Bentuk wanprestasi
Untuk menetapkan apakah seorang debitur telah melakukan wanprestasi dapat
diketahui melalui 3 keadaan sebagai berikut:
a. Debitur tidak memenuhi prestasinya sama sekali: Artinya debitur tidak
memenuhi kewajiban yang telah disanggupinya untuk dipenuhi dalam suatu
perjanjian atau tidak memenuhi suatu kewajiban yang ditetapkan undang-
undang dalam perikatan yang timbul karena undang-undang.
b. Debitur telah memenuhi prestasi, tetapi tidak sebagaimana mestinya atau
keliru: Artinya pihak debitur melaksanakan atau memenuhi apa yang
diperjanjikan atau apa yang ditentukan oleh undang-undang, tetapi tidak
dengan sebagaimana mestinya menurut kualitas yang ditentukan dalam
suatu perjanjian atau menurut kualitas yang ditetapkan oleh undang-undang.
c. Debitur memenuhi prestasinya, tetapi tidak tepat pada waktunya: Artinya
seorang debitur memenuhi suatu prestasi tetapi terlambat, waktu yang
ditetapkan dalam perjanjian tidak dipenuhi.100
Subekti menambah lagi keadaan di atas dengan “melakukan sesuatu yang
dalam perjanjian dilarang.”
C. Penyebab Terjadinya Wanprestasi Dalam Perjanjian Utang-Piutang
Pada umumnya, suatu wanprestasi baru terjadi jika debitur dinyatakan telah
lalai untuk memenuhi prestasinya, atau dengan kata lain, perbuatan wanprestasi ada
kalau debitur tidak dapat membuktikan bahwa ia telah melakukan wanprestasi itu
100 Abdulkadir Muhammad, Op. cit, hlm. 20.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
61
di luar kesalahannya atau karena keadaan memaksa (overmacht). Apabila dalam
suatu pelaksanaan pemenuhan prestasi itu tidak ditentukan tenggang waktu atau
masa waktunya, maka kreditur dipandang perlu untuk memperingatkan/menegur
debitur agar debitur memenuhi kewajibannya. Teguran ini disebut juga dengan
sommatie (somasi).101
Menurut J. Satrio, Somasi merupakan suatu peringatan atau teguran agar
debitur berprestasi pada suatu saat yang ditentukan dalam surat somasi.102 Surat
somasi biasanya dibuat 3 (tiga) kali dan setiap jeda waktunya adalah biasanya
minimal 7 hari. Masing-masing namanya surat somasi I, surat somasi II dan surat
somasi III. Apabila setelah surat somasi III namun pihak yang diperingatkan tidak
menggubris atau mengabaikan untuk melaksanakan kewajibannya maka kemudian
dilakukan penuntutan hukum baik secara perdata maupun pidana atau hukum
lainnya.
Somasi ada diatur dalam Pasal 1238 KUHPerdata yang menyatakan: “Pihak
berutang adalah lalai, apabila ia sebagai pihak berutang dengan surat perintah
atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya
sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa ia harus dianggap lalai dengan lewatnya
waktu yg ditentukan.”
Pasal 1243 KUHPerdata diatur bahwa tuntutan wanprestasi suatu perjanjian
hanya dapat dilakukan apabila si pihak yang berutang telah diberi suatu peringatan
bahwasannya ia telah melalaikan kewajibannya sebanyak-banyaknya 3 (tiga) kali
panggilan, namun ia tetap melalaikan peringatan tersebut. Peringatan itu dilakukan
101 P.N.H. Simanjuntak, Op.cit., hlm.340. 102 https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl3370/tentang-somasi/.
(diakses pada tanggal 15 Maret 2019 pada pukul 17:36)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
62
secara tertulis, yang kemudian dikenal sebagai somasi. Somasi memiliki beberapa
bentuk pernyataaan lalai yang sangat beragam, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Surat perintah, adalah exploit juru sita,
exploit adalah perintah lisan yang disampaikan juru sita kepada debitur.
Dengan kata lain exploit adalah salinan surat peringatan.
2. Akta sejenisnya (soortgelijke akte),
membaca kata-kata akta sejenis ini ialah akta otentik yang sejenis dengan
exploit juru sita.
3. Demi perikatan itu sendiri, perikatan mungkin terjadi apabila pihak-pihak
menentukan terlebih dahulu saat adanya kelalaian dari debitur di dalam
suatu perjanjian, misalnya pada perjanjian dengan ketentuan waktu, secara
4. teoretisnya, suatu perikatan lalai adalah tidak perlu, jadi dengan lampaunya
suatu waktu, keadaan lalai terjadi dengan sendirinya. 103
Akibat hukum bagi pihak debitur bila somasi diabaikan, menurut J. Satrio,
somasi yang tidak dipenuhi –tanpa alasan yang sah– membawa pihak debitur berada
dalam keadaan lalai, dan maka sejak itu semua akibat kelalaian (wanprestasi)
berlaku. Sedangkan akibat hukum bagi kreditur, wanprestasinya pihak debitur
menyebabkan pihak kreditur berhak untuk menuntut hal-hal berikut:
a. Pemenuhan perikatan;
b. Pemenuhan perikatan dan ganti rugi;
c. Ganti rugi;
d. Pembatalan persetujuan timbal balik;
103 Richard Eddy. Aspek Legal Properti - Teori, Contoh, dan Aplikasi. Jakarta:
Penerbit Andi. hlm. 113
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
63
e. Pembatalan perikatan dan ganti rugi. 104
Menurut J. Satrio yang memamaparkan bahwa pada saat ini doktrin maupun
yurisprudensi menganggap bahwa somasi itu haruslah berbentuk tertulis dan tidak
perlu dalam bentuk otentik. Teguran dengan surat biasa sudah cukup untuk diterima
sebagai somasi. Berdasarkan penjelasan tersebut, apabila pengacara A berkhendak
untuk memberikan somasi, ia cukup mengirimkan surat somasi tersebut ke tempat
si B (debitur) berdomisili, yaitu ke alamat rumahnya, karena tidak ada ketentuan
yang mengharuskan pemberi somasi untuk bertemu secara langsung dengan
penerima somasi ketika menyerahkan surat somasi.105 Perihal tenggang waktu
pelaksanaan pemenuhan prestasi ditentukan, maka menurut pada Pasal 1238
KUHPerdata pihak debitur dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.
Somasi harus diajukan secara tertulis yang menerangkan apa yang dituntut, atas
dasar apa, serta pada saat kapan diharapkan pemenuhan prestasi tersebut. Hal ini
berguna bagi pihak kreditur apabila ingin menuntut debitur di muka pengadilan.
Dalam gugatan inilah, somasi menjadi alat bukti bahwa debitur betul-betul telah
melakukan wanprestasi.106 Dalam hal faktor penyebab terjadinya suatu perbuatan
wanprestasi, sekiranya terdapat dua kemungkinan alasan tidak terpenuhinya suatu
prestasi yang mengakibatkan terjadinya wanprestasi, yaitu:
1) Akibat kelalaian/kesengajaan debitur dalam pemenuhan prestasi
Wanprestasi yang disebabkan karena kelalaian debitur berkaitan dengan
Pasal 6:58 NBW107, yang menyatakan bahwa: “Pihak debitur adalah lalai
104 Shanti Rachmadsyah, Ibid. 105 Ibid. 106 Ibid. 107 NBW ( Niuew Burgelijck Wetboek ) merupakan Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata negeri Belanda. NBW ini menggantikan BW lama Belanda, dan mulai
diberlakukan pada 1 Januari 1992.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
64
memenuhi perikatannya apabila tidak melakukan upaya seperlunya atau
terhalangnya suatu pemenuhan prestasi yang disebabkan olehnya, kecuali
terhalangnya pelaksanaan prestasi itu tidak dapat dibebankan kepada
dirinya.” Dikatakan adanya suatu kelalaian apabila timbulnya kerugian bagi
seseorang atau barang milik orang lain disebabkan karena hal kurang hati-
hatinya melakukan suatu perbuatan itu, atau mengurus sesuatu sebagaimana
dikehendaki oleh hukum.108
Kerugian itu dapat dipersalahkan terhadap pihak debitur jika adanya unsur
kesengajaan atau kelalaian dalam peristiwa yang merugikan itu pada diri
debitur sehingga dapat dipertanggungjawabkan kepadanya. Terkatakan
bahwa pihak debitur sengaja bahwa kerugian tersebut memang diniati dan
dikehendaki oleh pihak debitur, sedangkan kelalaian adalah peristiwa
dimana seorang debitur seharusnya tahu atau patut menduga, bahwa dengan
perbuatan atau sikap yang diambil olehnya akan timbul kerugian.109
Kreditur dapat menuntut suatu ganti rugi atas ongkos, rugi, dan bunga yang
dideritanya. Untuk adanya kewajiban ganti rugi pihak debitur maka undang-
undang menentukan bahwa pihak debitur harus terlebih dahulu dinyatakan
berada dalam keadaan lalai (ingebrekestelling).110 Lembaga pernyataan lalai
ini adalah merupakan upaya hukum untuk sampai kepada suatu fase, dimana
pihak debitur dinyatakan telah “ingkar janji” (wanprestasi). Hal ini dapat
terlihat dalam Pasal 1243 KUHPerdata yang menyatakan:111 “Penggantian
108 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni, 1996, hlm. 212. 109 J. Satrio, Hukum Perikatan, Bandung: Alumni, 1999, hlm. 91. 110 Mariam Darus Badrulzaman, Op.cit., hlm. 19-21. 111 Ibid.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
65
suatu biaya, atau kerugian dan juga bunga karena tak dipenuhinya suatu
perikatan mulai diwajibkan, bilamana debitur, walaupun telah dinyatakan
lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus
ia berikan atau dilakukannya hanya dapat ia berikan atau dilakukannya
dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan”Apabila pihak
debitur tidak memenuhi perikatannya (wanprestasi) ataupun pada perikatan-
perikatan dimana pernyataan lalai tidak disampaikan kepada debitur, tetapi
tidak diindahkannya, maka debitur dikatakan tidak memenuhi perikatan.112
2) Keadaan memaksa (overmacht)
Menurut Abdulkadir Muhammad, keadaan memaksa ialah keadaan tidak
dapat dipenuhinya suatu prestasi oleh debitur karena terjadi suatu peristiwa
bukan karena kesalahan debitur, peristiwa mana tidak dapat diketahui atau
tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan.113 Subekti,
mendefenisikan bahwa suatu keadaan yang memaksa adalah suatu alasan
dibebaskannya ia dari kewajiban membayar ganti rugi.114 Dalam hal ini,
keadaan memaksa (overmacht) mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a) Tidak dipenuhinya suatu prestasi, karena adanya suatu hal peristiwa
yang membinasakan atau memusnahkan benda yang menjadi objek
perikatan. Ini selalu bersifat tetap.
b) Tidak dapat dipenuhi suatu prestasi karena ada suatu peristiwa yang
menghalangi perbuatan debitur untuk berprestasi. Ini dapat bersifat
tetap atau sementara.
112 Ibid. 113 Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., hlm. 27. 114 Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 1994, hlm. 55.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
66
c) Peristiwa itu tidaklah dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada
waktu membuat perikatan, baik oleh debitur maupun oleh kreditur.
Jadi, bukan karena kesalahan pihak-pihak khususnya debitur. 115
Persoalaan overmacht ini dalam KUHPerdata diatur dalam Pasal 1244 dan
Pasal 1245 KUHPerdata. Tetapi dua pasal yang mengatur keadaan memaksa ini
hanya bersifat sebagai pembelaan debitur untuk dibebaskan dari pembayaran ganti
rugi jika debitur tidak memenuhi perjanjian karena adanya keadaan memaksa.
Ketentuan dua pasal tersebut adalah sebagai berikut:
1.1.Pasal 1244 KUHPerdata,
Jika ada alasan untuk itu, serorang debitur harus dihukum untuk mengganti
biaya, kerugian dan bunga. Bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak
dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu melaksanakan
suatu perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tidak dapat terduga,
yang tak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya. Walaupun tidak ada
itikad buruk kepadanya.
1.2.Pasal 1245 KUHPerdata,
Tidak adanya suatu ganti rugi yang harus dibayar, apabila karena keadaan
memaksa atau sesuatu kejadian yang tidak disengaja, debitur berhalangan
memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau karena hal-hal
yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang.116 Sehingga dapat
disimpulkan bahwasannya dalam keadaan memaksa ini, pihak debitur
tidaklah dapat dipersalahkan atas tidak dapat terlaksananya suatu perjanjian
115 Abdulkadir Muhammad, Op.cit., hlm. 27-28. 116 P.N.H. Simanjuntak, Op.cit., hlm.344-345.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
67
atau terlambatnya pelaksanaan suatu perjanjian. Sebab, keadaan ini timbul
di luar kemauan dan kemampuan atau dugaan dari pihak debitur, dan oleh
karenanya, maka debitur tidak dapat dihukum atau dijatuhi sanksi.117
Keadaan memaksa dapat digolongkan ke dalam dua bentuk, yaitu:
1. Bentuk yang umum, yaitu:
a. Keadaan iklim;
b. Kehilangan;
c. Pencurian.
2. Bentuk yang khusus, yaitu:
a. Undang-undang atau Peraturan Pemerintah, ada kalanya menimbulkan
keadaan memaksa. Dalam hal ini tidak berarti bahwa prestasi itu tidak
dapat dilakukan, tetapi prestasi tersebut tidak boleh dilakukan, akibat dari
adanya undang-undang atau peraturan pemerintah.
b. Sumpah, adanya sumpah terkadang dapat menimbulkan suatu keadaan
memaksa, yaitu apabila seseorang yang harus berprestasi itu dipaksa
untuk bersumpah untuk tidak melakukan prestasi.
c. Tingkah laku pihak ketiga.
d. Pemogokan. 118
Pihak debitur dapat membuktikan adanya suatu keadaan memaksa (force
majeur) dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1) Ia harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah;
2) Ia tidak dapat memenuhi kewajibannya secara lain;
117 Ibid. 118 Mariam Darus Badrulzaman, Op.cit., hlm. 28-29.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
68
3) Ia tidak akan menanggung risiko, baik itu menurut ketentuan undang-
undang maupun ketentuan suatu perjanjian atau karena ajaran iktikad
baik harus menanggung resiko. 119
D. Akibat Hukum Wanprestasi Dalam Perjanjian Utang-Piutang
Suatu perbuatan wanprestasi dapat membawa suatu konsekuensi terhadap
timbulnya hak-hak pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan
wanprestasi untuk memberikan ganti rugi, sehingga hukum diharapkan agar tidak
ada satu pihak pun yang dirugikan karena perbuatan wanprestasi tersebut.120 Sanksi
atau akibat-akibat hukum bagi pihak-pihak yang wanprestasi ada 4 macam, yaitu:
1. Pihak debitur haruslah membayar ganti rugi yang diderita pihak kreditur (Pasal
1243 KUHPerdata):
“Penggantian terhadap biaya, rugi, dan bunga karena tidak dipenuhinya
suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila pihak berutang, setelah
dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya atau pun jika
sesuatu yang haruslah diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan dan
dibuat ia dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya.”
Berdasarkan pada pasal ini, terdapat dua cara untuk menentukan titik awal
penghitungan ganti kerugian, yaitu sebagai berikut:
a) Jika dalam hal perjanjian itu tidak ditentukan jangka waktu, pembayaran
ganti kerugian mulai dihitung sejak pihak tersebut telah dinyatakan lalai,
tetapi tetap melalaikannya.
119 Ibid. 120 Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2007, hlm. 87-88.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
69
b) Jika dalam perjanjian tersebut telah ditentukan jangka waktu tertentu,
pembayaran ganti kerugian mulai dihitung sejak terlampauinya jangka
waktu yang telah ditentukan tersebut. 121
2) Pembatalan perjanjian disertai dengan pembayaran adanya ganti rugi (Pasal
1266-1267 KUHPerdata)
Pasal 1266 KUHPerdata menyatakan bahwa: “Syarat batal dianggap selalu
dicantumkan dalam persetujuan yang timbal balik, andaikata salah satu pihak tidak
memenuhi kewajibannya. Demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi
pembatalan harus dimintakan kepada pengadilan. Permintaan ini juga harus
dilakukan, meskipun suatu syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban
dinyatakan di dalam persetujuan. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam suatu
persetujuan, maka oleh majelis hakim dengan melihat keadaan, atas permintaan
tergugat, leluasa memberikan suatu jangka waktu untuk memenuhi kewajiban,
tetapi jangka waktu itu tidak boleh lebih dan satu bulan.” Dalam perjanjian timbal-
balik (bilateral), wanprestasi dari satu pihak memberikan hak kepada pihak lainnya
untuk membatalkan perjanjian. Dalam hal demikian, pembatalan harus dimintakan
kepada majelis hakim.
Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak
terpenuhinya kewajiban itu dinyatakan dalam perjanjian. Jika syarat itu tidak
dinyatakan dalam perjanjian, majelis hakim leluasa menurut keadaan atas
permintaan pihak tergugat, untuk memberikan suatu jangka waktu guna memenuhi
kewajibannya, jangka waktu mana tidak boleh lebih dari 1 bulan.122
121 Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Op.Cit., hlm. 8. 122 P.N.H. Simanjuntak, Op.cit., hlm.341-343.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
70
Pasal 1267 KUHPerdata menyebutkan bahwa: “Pihak yang terhadapnya
perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih; memaksa pihak yang lain untuk memenuhi
persetujuan, jika hal itu masih dapat untuk dilakukan, atau menuntut pembatalan
persetujuan, dengan penggantian biaya, kerugian dan bunga.”Sesuai ketentuan
pada Pasal 1267 KUHPerdata, dalam hal debitur melakukan wanprestasi, maka
kreditur dapat memilih tuntutan-tuntutan haknya berupa:
a. Pemenuhan perjanjian (nakoming); merupakan prestasi primer sebagaimana
yang diharapkan dan disepakati para pihak pada saat penutupan kontrak.
Gugatan terhadap pemenuhan suatu prestasi hanya dapat diajukan apabila
pemenuhan prestasi itu dimaksud telah tiba waktunya untuk dilaksanakan
(operisbaar-dapat ditagih).123
b. Pemenuhan perjanjian disertai dengan ganti rugi (nakoming en anvullend
vergoeding);
c. Ganti rugi (vervangende vergoeding; schadeloosstelling);
Ganti rugi merupakan suatu upaya hukum untuk memulihkan kerugian yang
prestasinya bersifat subsidair. Artinya, apabila pemenuhan prestasi itu tidak
lagi dimungkinkan atau sudah tidak bisa diharapkan lagi maka ganti rugi
merupakan suatu jalan alternatife yang dapat dipilih oleh pihak kreditur.
Sesuai dengan yang tertera di dalam Pasal 1243 KUHPerdata. 124
d. Pembatalan persetujuan timbal balik (ontbinding);
e. Suatu pembatalan berserta dengan ada ganti rugi (ontbinding en anvullend
vergoeding). 125
123 Agus Yudha Hernoko, Op.cit., hlm. 263. 124 Ibid, hlm. 341. 125 Ibid.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
71
3. Peralihan risiko kepada debitur sejak terjadinya wanprestasi (Pasal 1237 ayat 2
KUHPerdata):
“Dalam hal adanya suatu perikatan untuk memberikan suatu kebendaan
tertentu, kebendaan itu semenjak suatu perikatan itu dilahirkan, adalah atas
tanggungan si berpiutang”.
Ketentuan ini hanya berlaku bagi perikatan untuk memberikan sesuatu. Jika
pihak yang berutang lalai akan menyerahkannya, maka semenjak saat
kelalaiannya, kebendaan adalah atas tanggungannya. Berdasarkan pasal ini
dapat dilihat bahwa kelalaian pihak debitur dalam menyerahkan kebendaan
mengalihkan risiko menjadi atas tanggungannya.
4. Pembayaran biaya perkara apabila diperkarakan di muka hakim (Pasal 181 ayat
1 HIR126):
“Barang siapa, yang dikalahkan dengan keputusan akan dihukum membayar
biaya perkara. Akan tetapi semua atau sebagian biaya perkara itu dapat
diperhitungkan antara: laki isteri, keluarga sedarah dalam turunan yang lurus,
saudara laki-laki dan saudara perempuan atau keluarga semenda, lagi pula jika
dua belah pihak masing-masing dikalahkan dalam beberapa hal.” 127
Seorang debitur yang terbukti melakukan suatu perbuatan wanprestasi tentu
dikalahkan dalam perkara. Ketentuan ini berlaku untuk semua perikatan.
Kewajiban untuk membayar ganti-rugi bagi pihak debitur baru dapat,
dilaksanakan apabila pihak kreditur telah memenuhi empat syarat, yaitu:
126 HIR (Herzien Inlandsch Reglement) yang sering diterjemahkan menjadi
Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui, yaitu hukum acara dalam persidangan perkara
perdata maupun pidana yang berlaku di pulau Jawa dan Madura. 127 P.N.H. Simanjuntak, Op.cit., hlm.341.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
72
a. Debitur memang telah lalai melakukan wanprestasi;
b. Pihak debitur tidaklah berada dalam keadaan memaksa;
c. Tidak adanya tangkisan dari pihak debitur untuk melumpuhkan tuntutan
ganti rugi;
d. Kreditur telah melakukan somasi/peringatan. 128
Seorang debitur yang dituduh telah lalai dan dimintakan supaya kepadanya
diberikan hukuman atas kelalaiannya, ia dapat melakukan pembelaan atas dirinya
dengan mengajukan beberapa macam alasan-alasan untuk membebaskan dirinya
dari hukuman tersebut.
Pembelaan debitur yang wanprestasi ada 3 macam, yaitu:
1) Menyarakan adanya keadaan memaksa (overmacht);
2) Menyatakan bahwa kreditur telah lalai;
3) Menyatakan bahwa kreditur telah melepaskan haknya. 129
Ganti rugi dalam wanprestasi memiliki unsur-unsur yang diatur dalam
Pasal 1246 KUHPerdata, yaitu:
a) Biaya, yaitu segala pengeluaran atau ongkos-ongkos yang nyata-nyata
telah dikeluarkan.
b) Rugi, yaitu kerugian yang karena kerusakan barang-barang kepunyaan
kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian debitur.
c) Bunga,
yaitu keuntungan yang seharusnya dapat diperoleh atau diharapkan oleh
kreditur apabila debitur tidak lalai. 130
128 Ibid, hlm. 342. 129 Subekti, Hukum Perjanjian, Op.cit., hlm. 55. 130 Ibid, hlm. 342.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
73
Pada dasarnya, tidaklah semua kerugian itu dapat dimintakan penggantian.
Undang-undang menentukan adanya batasan-batasan mengenai perihal ganti rugi
yang harus dibayarkan oleh pihak debitur kepada pihak kreditur sebagai akibat dari
perbuatan wanprestasi adalah sebagai berikut:
1.1.Kerugian yang dapat diduga ketika perjanjian dibuat.
Menurut pada Pasal 1247 KUHPerdata, pihak debitur hanyalah diwajibkan
membayar ganti rugi yang nyata telah atau sedianya harus dapat diduganya
sewaktu perjanjian dibuat, kecuali jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu
disebabkan oleh tipu daya yang dilakukan olehnya.
1.2.Kerugian sebagai akibat langsung dari wanprestasi.
Menurut pada Pasal 1248 KUHPerdata, jika tidak dipenuhinya perjanjian
itu disebabkan oleh tipu daya pihak debitur, pembayaran ganti rugi sekedar
mengenai kerugian yang diderita oleh pihak kreditur dan keuntungan yang
hilang baginya, yang diderita oleh pihak kreditur dan keuntungan yang
hilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung
dari tidak dipenuhinya perjanjian. 131
131 Ibid, hlm. 343.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
74
BAB IV
PENYELESAIAN PERKARA WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN
UTANG-PIUTANG TERHADAP PUTUSAN NO.409/Pdt.G/2016/PN.MDN
A. Sebab-Sebab Terjadinya Sengketa Wanprestasi Terhadap Perkara No.
409/Pdt.G/2016/PN.Mdn.
1. Kasus Posisi
Para pihak dalam kasus Putusan No.409/Pdt.G/2016/PN.MDN ini adalah
sebagai berikut:
Penggugat:
PHERTIPAL SINGH, jenis kelamin laki-laki, tempat/tgl.lahir: Patumbak/ 6
Maret 1959, pekerjaan Wiraswasta, alamat Jl.Karya Jasa No.92 A, LK Xl,
Kelurahan Pangkalan Mansyur, Kec Medan Johor, Kota Medan, yang dalam
perkara ini diwakili oleh kuasanya Junirwan Kurnia, SH. dan Rahmat, SH.
advokat pada Law Office Kurniawan & Associates beralamat URo Building
Level V Suite 9 Jalan Imam Bonjol No.23 Medan , berdasarkan surat kuasa
Khusus tanggal 28 Juli 2016.
Tergugat:
HARYANTO SILALAHI, jenis kelamin laki-laki, tempat/tanggal lahir :
Berastagi/ 27 Februari 1958, pekerjaan Wiraswasta, beralamat di Jalan Luku
l Gg. Waris No.9, Kelurahan Kwala Bekala, Kecamatan Medan Johor, Kota
Medan.
Adapun duduk perkara dalam putusan ini adalah sebagai berikut:
Penggugat yang sejak pada tahun 90-an telah mengenal dan berteman baik
dengan pihak tergugat yang berprofesi sebagai pengusaha atau kontraktor yang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
75
mengerjakan proyek-proyek pemerintah provinsi Sumatera Utara. Dalam hubungan
persahabatan tersebut tergugat sesekali meminjam uang kepada penggugat dengan
alasan untuk modal kerja untuk proyek yang dikerjakan tergugat.
Kemudian pada tanggal 19 Agustus 2010 tergugat meminjam uang kepada
penggugat sebesar Rp 600.000.000.-(enam ratus juta rupiah) dengan alasan yang
sama yaitu untuk modal kerja proyek yang sedang dikerjakannya. Oleh karena rasa
percaya kepada pihak tergugat serta atas pertimbangan hubungan baik selama ini
penggugat menyerahkan uang sebesar Rp 600.000.000.-(enam ratus juta rupiah)
tersebut kepada pihak tergugat, sesuai dengan kwitansi penerimaan uang sebesar
Rp 600.000.000,- tertanggal 19 Agustus 2010 yang ditanda tangani tergugat. Bahwa
saat itu secara lisan tergugat berjanji bahwa selambat-lambatnya dalam tempo 6
(enam) bulan pihak tergugat telah membayar lunas atau mengembalikan uang milik
penggugat sebesar Rp 600.000.000,- tersebut secara sekaligus.
Namun nyatanya, pihak tergugat tidak beritikad baik, dengan tidak menepati
janjinya. Hal ini terbukti pihak tergugat tidak membayar utangnya kepada pengugat
walaupun pihak penggugat telah berkali-kali memperingati tergugat baik secara
lisan maupun melalui surat yang disampaikan melalui kuasa hukum penggugat.
Sehingga karena terus menerus didesak oleh pihak penggugat pada tanggal 2
Oktober 2015 pihak tergugat berjanji akan membayar utangnya kepada penggugat
selambat-lambatnya 6 bulan terhitung sejak tanggal 2 Oktober 2015 sampai tanggal
2 April 2016. Karena penggugat sudah kehilangan kepercayaan pada tergugat,
kepada itikad baik tergugat, maka penggugat meminta tergugat untuk menuangkan
janjinya tersebut dalam bentuk surat sebagai bukti janji pihak tergugat tersebut.
Selanjutnya dibuatlah surat pernyataan tertanggal 2 Oktober 2015 yang materi dan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
76
substansinya merupakan dari janji pihak tergugat untuk membayar utangnya kepada
penggugat yang selambat-lambatnya 6 bulan terhitung sejak pada tanggal 2 Oktober
2015, yaitu pada tanggal 2 April 2016. Demikian pula pihak tergugat dalam surat
pernyataan tersebut tergugat menyatakan yang pada intinya apabila pihak tergugat
lalai membayar lunas utangnya kepada pihak penggugat pada tanggal 2 April 2016,
maka tergugat bersedia untuk dituntut oleh pihak penggugat baik pidana maupun
perdata dan bersedia pula untuk membayar bunga sebesar 3% setiap bulannya.
Bahwa ternyata tergugat tidak memenuhi janjinya kepada pihak penggugat,
oleh karena sampai saat gugatan ini didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri
Medan. Pihak tergugat baru membayar utangnya kepada pihak penggugat sebesar
Rp.30.000.000.-, sedangkan sisanya adalah sebesar Rp.570.000.000.- yang sampai
saat itu belum dibayar oleh tergugat, walaupun pihak penggugat telah berkali-kali
memperingatkan (melakukan penagihan) baik secara lisan maupun melalui kuasa
hukum penggugat, sehingga penggugat tidak lagi percaya terhadap itikad baik pihak
tergugat untuk membayar lunas utangnya kepada pihak penggugat. Karena terbukti
pihak tergugat dengan sengaja tidak memenuhi janjinya kepada pihak penggugat
untuk melunasi utangnya sebesar Rp.600.000.000.- pada tanggal 2 April 2016,
maka sangat beralasan hukum untuk menyatakan perbuatan tergugat tersebut
sebagai perbuatan wanprestasi (ingkar janji).
Berdasarkan “surat pernyataan” yang tertanggal pada 2 Oktober 2015 yang
substansinya merupakan janji tergugat untuk membayar lunas utang kepada pihak
penggugat pada tanggal 2 April 2016 diterbitkan sesuai dengan ketentuan hukum
yang berlaku serta sesuai pula dengan keadaan/ fakta yang sebenarnya, maka demi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
77
hukum patut dan sangat beralasan untuk menyatakan sah dan berkekuatan hukum
“surat pernyataan” tertanggal pada 2 Oktober 2015 tersebut.
Pihak tergugat telah terbukti hanya membayar sebesar Rp.30.000.000,- dari
nilai utangnya yang sebesar Rp.600.000.000.-, maka demi hukum sangat beralasan
untuk menyatakan bahwasannya sisa utang pihak tergugat pada pihak penggugat
adalah sebesar Rp.570,000.000.-. Tergugat terbukti telah melakukan perbuatan
wanprestasi yang menyebabkan kerugian terhadap dari pihak penggugat, sehingga
sangat beralasan untuk menghukum tergugat untuk membayar sisa utangnya kepada
pihak penggugat sebesar Rp.570.000.000.- secara tunai dan sekaligus bunga sebesar
3% pada setiap bulannya sesuai janji pihak tergugat terhitung sejak pada tanggal 2
Oktober 2015 sampai tergugat membayar lunas utangnya kepada penggugat.
Penggugat meragukan itikad baik tergugat untuk memenuhi putusan dalam
perkara ini. Oleh karenanya agar gugatan penggugat dalam perkara ini nantinya
tidaklah bersifat sia-sia, pihak penggugat memohon agar Pengadilan Negeri Medan
berkenan untuk terlebih dahulu meletakkan sita jaminan (conservatoir beslaag)
terhadap harta-harta kekayaan tergugat baik yang bergerak maupun yang tidak
bergerak, khususnya : “1 (satu) unit rumah tinggal berikut tanah pertapakannya
yang terletak di Jalan Luku l Gang Waris No.9, Kelurahan Kwala Bekal, Kecamatan
Medan Johor, Kota Medan.”
Dikarenakan gugatan penggugat diajukan dengan landasan dalil-dalil yang
sempurna serta didukung pula oleh bukti-bukti yang bersifat autentik, maka sangat
beralasan bagi penggugat untuk memohon putusan serta merta dalam perkara ini.
Serta karena dalil-dalil gugatan penggugat dalam perkara ini dapat dikabulkan,
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
78
maka sangat beralasan untuk menghukum tergugat untuk membayar biaya-biaya
dalam perkara ini.
a. Gugatan penggugat
1) Mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya;
2) Menyatakan tergugat melakukan perbuatan wanprestasi;
3) Menyatakan sah dan berharga sita jaminan (conservatoir beslag) yang telah
diletakkan dalam perkara ini;
4) Menyatakan sah dan berkekuatan hukum “surat pernyataan” tertanggal 2
Oktober 2015;
5) Menyatakan pihak tergugat memiliki sisa utang kepada pihak penggugat
sebesar Rp.570.000.000.- (lima ratus tujuh puluh juta rupiah) ;
6) Menghukum pihak tergugat untuk membayar sisa utangnya kepada pihak
penggugat yaitu sebesar Rp. 570.000.000.- ditambah dengan bunga pada
setiap bulannya sebesar 3% yang terhitung sejak tanggal 2 Oktober 2015
sampai dengan tergugat membayar lunas utangnya kepada penggugat;
7) Menyatakan putusan dalam perkara ini dapat dijalankan dengan serta merta
(uitvoerbaar bij voorraad);
8) Menghukum tergugat untuk membayar biaya-biaya dalam perkara ini.
Atau
Seandainya Pengadilan Negeri Medan berpendapat lain mohon putusan
seadil-adilnya.
Menimbang bahwa tergugat walaupun telah dipanggil beberapa kali secara
sah dan patut tetapi tidak pernah hadir di persidangan, maka pemeriksaan
perkara dilanjutkan dengan tanpa dihairi tergugat;
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
79
Menimbang bahwa setelah surat gugatan dibacakan oleh pihak penggugat,
pihak penggugat menyatakan bahawa ia tetap pada gugatannya dan tidak
ada perubahan pada isi gugatannya.
b. Alat Bukti
1) Bukti surat
a) Foto copy sesuai aslinya surat pernyataan tertanggal pada 2 Oktober 2015
atas nama sdr. Haryanto Silalahi yang mana mengakui telah meminjam
uang sebesar Rp.600.000.000.- (enam ratus juta rupiah) kepada Phertipal
Singh, diberi tanda P-1;
b) Foto copy sesuai aslinya surat undangan/somasi tertanggal 28 September
2015 dari kuasa hukum sdr. Phertipal Singh yang ditujukan kepada sdr.
Heryanto Silalahi, diberi tanda P-2;
c) Foto copy sesuai aslinya surat somasi tertanggal 4 April 2016 dari kuasa
hukum Phertipal Singh yang ditujukan kepada Haryanto Silalahi, diberi
tanda P-3;
d) Foto copy sesuai aslinya surat somasi terakhir tertanggal pada 30 Juni
2016 dari kuasa hukum sdr. Phertipal Singh yang ditujukan kepada sdr.
Haryanto silalahi , diberi tanda P-4 ;
c. Putusan
1) Menyatakan tergugat telah dipanggil secara sah dan patut , tetapi tidak pernah
hadir dipersidangan;
2) Mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian dengan versteek;
3) Menyatakan tergugat melakukan perbuatan wanprestasi;
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
80
4) Menyatakan sah dan berkekuatan hukum surat pernyataan tertanggal 2
Oktober 2015;
5) Menyatakan pihak tergugat memiliki sisa utang kepada penggugat sebesar
Rp.570.000.000.- (lima ratus tujuh puluh juta rupiah);
6) Menghukum pihak tergugat untuk membayar sisa atas utangnya kepada pihak
penggugat sebesar Rp. 570.000.000.- ditambah dengan bunga setiap bulannya
sebesar 2% terhitung sejak pada tanggal 2 Oktober 2015 sampai dengan pihak
tergugat membayar lunas utangnya kepada pihak penggugat;
7) Menghukum pada pihak tergugat untuk membayarkan biaya perkara sebesar
Rp. 694.000,- (enam ratus sembilan puluh empat ribu rupiah);
8) Menolak gugatan penggugat selain dan selebihnya.
2. Sebab-Sebab Terjadinya Wanprestasi Perjanjian Utang-Piutang Dalam Perkara
No.409/Pdt.G/2016/PN.MDN
Seseorang yang mengadakan suatu perjanjian dengan pihak-pihak lain dengan
berani dan sadar mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian karena berdasarkan
rasa kepercayaan (vertrouwensbeginsel) antara satu sama lain, bahwa pihak yang
dipercayanya tersebut akan memenuhi prestasi tersebut sebagaimana yang telah ia
diperjanjikan. Dengan kepercayaan ini, kedua pihak mengikatkan dirinya dan untuk
keduanya perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.
Dalam perkara wanprestasi terhadap suatu perjanjian utang-piutang dengan No.
409/Pdt.G/2016/PN.MDN antara Phertipal Singh sebagai Penggugat dan Haryanto
Silalahi sebagai Tergugat memiliki 2 penyebab utama terjadinya wanprestasi utang-
piutang, yaitu :
a) Debitur tidak beriktikad baik
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
81
Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 1338 (3) KUHPerdata bahwa setiap
perikatan harus dilaksanakan berdasarkan suatu iktikad baik antar pihak. Artinya,
dalam melaksanakan suatu perbuatan ini kejujuran harus berjalan dalam hati serta
sanubari seorang manusia. Jadi selalu mengingat bahwa manusia sebagai anggota
masyarakat harus jauh dari sifat yang merugikan pihak lainnya. Kedua belah pihak
harus selalu mengingat bahwa ia tidak boleh memanfaatkan kebaikan manusia lain
untuk menguntungkan diri pribadi.
Haryanto Silalahi yang meminjam uang milik Phertipal Singh sebesar Rp
600.000.000,- dengan alasan uang tersebut akan ia pergunakan sebagai uang modal
proyek yang sedang dikerjakan pihak tergugat yang merupakan seorang kontraktor.
Phertipal Singh sebagai kreditur beriktikad baik untuk membantu Haryanto Silalahi
berdasarkan rasa kepercayaan dan hubungan baik penggugat terhadap tergugat
karena telah lama mengenal selama puluhan tahun maka penggugat menyerahkan
kwitansi penerimaan uang sebesar Rp 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah) pada
tanggal 19 Agustus 2010.
Bahwa ternyata pihak tergugat tidak beritikad baik karena ia tidak menepati
janjinya yang akan membayar utang dalam tempo waktu 6 bulan. Hal ini terbukti
bahwa pihak tergugat tidak membayar utangnya kepada pihak pengugat walaupun
pihak penggugat telah berkali-kali memperingatkan pihak tergugat baik secara lisan
maupun melalui surat yang disampaikan oleh kuasa hukum pihak penggugat.
Sehingga karena terus menerus didesak oleh pihak penggugat pada tanggal
2 Oktober 2015 pihak tergugat berjanji akan membayar utangnya kepada penggugat
selambat-lambatnya 6 bulan terhitung sejak tanggal 2 Oktober 2015 sampai pada
tanggal 2 April 2016. Bahwa ternyata tergugat tidak memenuhi janjinya kepada
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
82
pihak penggugat, oleh karena sampai saat gugatan ini didaftarkan di Kepaniteraan
Pengadilan Negeri Medan. Tergugat baru membayar utangnya kepada penggugat
sebesar Rp.30.000.000.-, sedangkan sisanya adalah sebesar Rp.570.000.000.- yang
sampai saat itu belum dibayar oleh tergugat , walaupun penggugat telah berkali-kali
melakukan suatu peringatan berupa melakukan penagihan baik secara lisan maupun
melalui kuasa hukum penggugat, sehingga pihak penggugat tidak lagi percaya
terhadap itikad baik pihak tergugat untuk membayar lunas utangnya kepada pihak
penggugat. Karena terbukti pihak tergugat dengan sengaja tidak memenuhi janjinya
kepada penggugat untuk melunasi utangnya sebesar Rp.600.000.000.- pada tanggal
2 April 2016, maka sangat beralasan hukum untuk menyatakan perbuatan tergugat
tersebut sebagai perbuatan wanprestasi (ingkar janji).
b) Lewat waktu (terme de droit)
Lewat waktu atau daluwarsa adalah suatu alat untuk memperoleh sesuatu
atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu
dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang (dalam Pasal 1946
KUHPerdata). Siapa yang beriktikad baik dan berdasarkan alas hak yang sah
memperoleh suatu benda tak bergerak, dapat memperoleh hak milik atas benda
tersebut dengan jalan daluwarsa. Pihak kreditur ataupun majelis hakim akan
memberikan ketetapan waktu kepada debitur untuk masih dapat memenuhi
perikatannya.
Jika melihat dalam hal perkara perbuatan wanprestasi perjanjian utang-
piutang No. 409/Pdt.G/2016/PN.MDN antara sdr. Phertipal Singh sebagai pihak
Penggugat dan sdr. Haryanto Silalahi sebagai pihak Tergugat bahwasannya pihak
tergugat sebagai debitur telah berjanji untuk membayarkan utangnya secara lunas
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
83
dalam tempo waktu 6 bulan terhitung sejak pada tanggal 19 Agustus 2010. Namun
hingga jatuh tempo, pihak tergugat tidak membayarkan juga utangnya sebagaimana
yang ia perjanjikan.
Sehingga karena terus menerus didesak oleh pihak penggugat pada tanggal
2 Oktober 2015 pihak tergugat berjanji akan membayar utangnya kepada penggugat
selambat-lambatnya 6 bulan terhitung sejak tanggal 2 Oktober 2015 sampai pada
tanggal 2 April 2016. Bahwa ternyata tergugat tidak memenuhi janjinya kepada
pihak penggugat, oleh karena sampai saat gugatan ini didaftarkan di Kepaniteraan
Pengadilan Negeri Medan. Pihak tergugat baru membayar utangnya kepada pihak
penggugat sebesar Rp 30.000.000.-, (tiga puluh juta rupiah) sedangkan sisanya
adalah sebesar Rp.570.000.000.- yang sampai saat itu belum dibayar oleh tergugat,
walaupun penggugat telah berkali-kali memperingatkan (melakukan penagihan)
baik secara lisan maupun melalui kuasa hukum penggugat, sehingga penggugat
tidak lagi percaya terhadap itikad baik tergugat untuk membayar lunas utangnya
kepada penggugat. Karena terbukti pihak tergugat dengan sengaja tidak memenuhi
janjinya kepada penggugat untuk melunasi utangnya sebesar Rp.600.000.000.-
sejak pada tanggal 2 April 2016, maka sangat beralasan hukum untuk menyatakan
perbuatan tergugat tersebut sebagai perbuatan wanprestasi (ingkar janji).
B. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Memutuskan Perkara Wanprestasi
Pertimbangan majelis hakim dalam kasus ini setelah meneliti secara seksama
dari pemeriksaan bukti surat yang telah dilampirkan oleh pihak penggugat berserta
kuasa hukumnya. Majelis hakim di Pengadilan Negeri Medan sudah membuat suatu
penerapan hukum dalam pertimbangannya yakni sebagai berikut:
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
84
1. Menimbang bahwa dari bukti P-1 berupa surat pernyataan tertanggal 2 Oktober
2015,penggugat dapat membuktikan bahwa sdr. Haryanto Silalahi (tergugat)
telah meminjam uang sebesar Rp.600.000.000.-(enam ratus juta rupiah) kepada
sdr. Phertipal Singh (penggugat);
2. Menimbang bahwa dari alat butki P-2, P-3 dan P-4, berupa somasi sebanyak 3
(tiga) kali dari kuasa hukum penggugat yang ditujukan kepada tergugat supaya
membayar utangnya sebesar Rp.600.000.000.- kepada penggugat, hal tersebut
dapat membuktikan bahwa pihak penggugat telah melakukan penagihan kepada
tergugat supaya membayar utangnya tersebut;
3. Menimbang bahwa dari alat bukti P-1 sampai P-4 tersebut, pihak penggugat
telah berhasil membuktikan dalil gugatannya tersebut;
4. Menimbang bahwa berdasarkan pengakuan pihak penggugat dalam gugatannya
bahwasannya pihak tergugat telah membayar utangnya kepada pihak penggugat
sebesar Rp.30.000.000.- (tiga puluh juta rupiah) sehingga sisa utang pihak
tergugat pada pihak penggugat adalah sebesar Rp.570.000.000.-(lima ratus
tujuh puluh juta rupiah)
5. Menimbang bahwa oleh karena pihak penggugat telah berhasil membuktikan
gugatannya, maka gugatan penggugat haruslah dikabulkan;
6. Menimbang bahwa apakah gugatan penggugat akan dikabulkan seluruhnya atau
tidak, akan dipertimbangkan tentang mengenai seluruh petitum (tuntutan) dari
gugatan penggugat tersebut, yaitu sebagai berikut:
a. Menimbang bahwa mengenai petitum ke-2 yaitu yang menyatakan pihak
tergugat telah melakukan perbuatan wanprestasi, oleh karenanya pihak
tergugat tidak membayar lunas utangnya sesuai dengan perjanjian antara
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
85
pihak penggugat dan pihak tergugat sesuai dengan pernyataan tergugat
(bukti P-1) yang akan dibayarkan tanggal 2 April 2016, dan oleh karena
pihak tergugat tidak menepati janjinya, maka petitum mengenai tergugat
wanprestasi dapat dikabulkan;
b. Menimbang bahwa mengenai petitum ke-3 supaya menyatakan sah dan
berharga diberlakukannya sita jaminan, oleh karena itu maka di dalam
perkara ini tidak ada penyitaan, maka petitum ke- 3 ini haruslah ditolak;
c. Menimbang bahwa mengenai petitum ke-4 supaya menyatakan sah dan
berkekuatan hukum terhadap “surat pernyataan” tertanggal 02 Oktober
2015, oleh karena surat pernyataan tersebut (bukti P-1) dibuat oleh pihak
tergugat sendiri dan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi dan pernyataan
tersebut dibuat di atas kertas bermeterai, maka petitum ke-4 ini dapat
dikabulkan;
d. Menimbang bahwa mengenai petitum ke-5 supaya menyatakan pihak
tergugat yang memiliki sisa utang kepada pihak penggugat sebesar
Rp.570.000.000.-, oleh karena terbukti bahwasannya pihak tergugat
mempunyai utang kepada pihak penggugat sebesar Rp.600.000.000.-
sesuai dengan bukti P-1, dan menurut pihak penggugat bahwasannya
pihak tergugat benar telah membayar utangnya kepada pihak penggugat
sebesar Rp.30.000.000.- (tiga puluh juta rupiah) maka sisa utang pihak
tergugat kepada pihak penggugat adalah sebesar Rp.570.000.000.- (lima
ratus tujuh puluh juta rupiah), maka karenanya petitum ke-5 tersebut
dapat lah dikabulkan;
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
86
e. Menimbang bahwa mengenai petitum ke-6 supaya menghukum pihak
tergugat untuk membayar sisa utangnya kepada penggugat yang sebesar
Rp.570.000.000.(lima ratus tujuh puluh juta rupiah) ditambah bunga
yang setiap bulannya sebesar 3% sejak tanggal 2 Oktober 2015 sampai
tergugat membayar lunas utangnya kepada penggugat, oleh karena telah
terbukti pihak tergugat mempunyai sisa utang kepada pihak penggugat
sebesar Rp.570.000.000.- (lima ratus tujuh puluh juta rupiah) maka
pada petitum ke-6 ini dapat dikabulkan tetapi mengenai perihal bunga
3% perbulan menurut majelis hakim terlalu besar, maka bunga tersebut
haruslah mendekati bunga Bank, dan menurut majelis hakim sudah adil
bila pihak tergugat dikenakan bunga sebesar 2% pada setiap bulannya
sampai tergugat melunasi utangnya kepada penggugat;
f. Menimbang bahwasannya mengenai petitum ke- 7 agar supaya putusan
dalam perkara ini dapat dijalankan dengan serta merta (uitvoerbaar bij
voorraad), oleh karenanya tidak terpenuhinya mengenai alasan-alasan
untuk menjatuhkan putusan serta merta, maka petitum ke-7 ini haruslah
ditolak;
g. Menimbang bahwa mengenai hal petitum ke-8, supaya pihak tergugat
membayar biaya dalam perkara ini, oleh karena tergugat adalah pihak
yang kalah, maka sudah seharusnya tergugat dihukum untuk membayar
biaya perkara, oleh karena itu petitum ke-8 ini haruslah dikabulkan;
h. Menimbang bahwa oleh karena ada sebagian hal dari petitum gugatan
pihak penggugat ada yang ditolak, maka gugatan dari pihak penggugat
haruslah dikabulkan untuk sebagian;
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
87
i. Menimbang segala sesuatu yang tersebut di atas;
j. Mengingat mengenai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
berhubungan dengan perkara ini.
C. Analisis Hukum dari Putusan Majelis Hakim Terhadap Perkara dengan
No. 409/Pdt.G/2016/PN.Mdn.
Suatu permasalahan hukum terhadap suatu putusan dengan nomor perkara
409/Pdt.G/2016/PN.Mdn mengenai suatu perbuatan wanprestasi perjanjian utang-
piutang antara Phertipal Singh sebagai Penggugat dan Haryanto Silalahi sebagai
Tergugat yang bermula dari Phertipal Singh yang meminjamkan uang sebesar Rp
600.000.000,- (enam ratus juta rupiah) kepada Haryanto Silalahi pada tanggal 19
Agustus 2010 dan Haryanto Silalahi berjanji akan mengembalikan lunas dalam
jangka waktu 6 bulan.
Namun hingga jatuh tempo, Haryanto tidak beriktikad baik dengan
menepati janjinya dengan membayarkan utangnya pada Phertipal. Hal ini terbukti
tergugat tidak membayar utangnya kepada pihak pengugat walaupun pihak
penggugat telah berkali-kali memperingati pihak tergugat baik secara lisan maupun
melalui surat yang disampaikan melalui kuasa hukum pihak penggugat.
Sehingga karena terus menerus didesak oleh penggugat pada tanggal 2
Oktober 2015 tergugat berjanji akan membayar utangnya kepada pihak penggugat
selambat-lambatnya 6 bulan terhitung sejak tanggal 2 Oktober 2015 sampai pada
tanggal 2 April 2016. Karena pihak penggugat sudah kehilangan kepercayaan pada
tergugat, kepada itikad baik tergugat, maka penggugat meminta tergugat untuk
menuangkan janjinya tersebut dalam bentuk surat sebagai bukti janji tergugat
tersebut .
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
88
Selanjutnya dibuatlah surat pernyataan tertanggal pada 2 Oktober 2015 yang
isi materi dan substansinya merupakan janji pihak tergugat untuk membayarkan
utangnya kepada penggugat selambat-lambatnya 6 bulan terhitung sejak tanggal 2
Oktober 2015, yaitu pada tanggal 2 April 2016. Demikian pula tergugat dalam surat
pernyataan tersebut tergugat menyatakan yang pada intinya apabila tergugat lalai
untuk membayar lunas utangnya kepada pihak penggugat yang pada tanggal 2 April
2016, maka tergugat bersedia untuk dituntut oleh penggugat baik pidana maupun
perdata dan tergugat bersedia pula untuk membayarkan bunga sebesar 3% setiap
bulannya sampai utang tersebut lunas.
Bahwa faktanya ternyata pihak tergugat tidak memenuhi janjinya kepada
pihak penggugat, oleh karena sampai saat gugatan tersebut didaftarkan di
Kepaniteraan Pengadilan Negeri Medan.
Pihak tergugat baru membayarkan utangnya kepada pihak penggugat adalah
sebesar Rp.30.000.000.-, sedangkan sisanya adalah sebesar Rp.570.000.000.- yang
sampai saat itu belum juga dibayar oleh tergugat, walaupun pihak penggugat telah
berkali-kali memperingatkan (melakukan penagihan) baik secara lisan maupun
melalui kuasa hukum penggugat, sehingga penggugat tidak lagi percaya terhadap
itikad baik pihak tergugat untuk membayar lunas utangnya kepada penggugat.
Karena terbukti pihak tergugat dengan sengaja tidak memenuhi
perjanjiannya kepada pihak penggugat untuk segera melunasi utangnya yang adalah
sebesar Rp.600.000.000.- pada tanggal 2 April 2016, maka sangat beralasan hukum
untuk menyatakan perbuatan tergugat tersebut sebagai perbuatan wanprestasi
(ingkar janji).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
89
Tergugat telah terbukti hanya membayar sebesar Rp.30.000.000,- dari nilai
utangnya yang sebesar Rp.600.000.000.-, maka demi hukum sangat beralasan untuk
menyatakan sisa utang pihak tergugat pada penggugat sebesar Rp.570,000.000.-.
Pihak tergugat terbukti telah melakukan suatu perbuatan wanprestasi yang
menyebabkan kerugian terhadap pihak penggugat, sehingga sangat beralasan untuk
menghukum pihak tergugat untuk membayar sisa utangnya kepada pihak penggugat
sebesar Rp.570.000.000.- secara tunai dan sekaligus berikut dengan bunga sebesar
3% setiap bulannya sesuai janji pihak tergugat yang terhitung sejak pada tanggal 2
Oktober 2015 sampai tergugat membayar lunas utangnya kepada penggugat.
Apabila pada suatu persidangan yang telah ditentukan jadwalnya, ternyata
pihak tergugat tidak hadir meskipun telah dipanggil secara patut namun tetap tidak
mengahadiri sidang yang telah ditetapkan, maka hakim haruslah mengambil sikap
yang mana menurut pada Pasal 126 HIR/Pasal 150 RBg132 (memerintahkan ke juru
sita untuk memanggil sekali lagi tergugat tersebut agar supaya hadir ke persidangan
berikutnya).
Jika pada kenyataannya ternyata setelah dipanggil untuk kedua kalinya tidak
hadir juga maka pada sidang berikutnya yang telah ditetapkan, majelis hakim akan
menjatuhkan putusan versteek atau putusan in absentia.133 Sebagaiamana yang pada
putusan hakim dalam memutus perkara No. 409/Pdt.G/2016/PN.MDN bahwa pihak
tergugat Haryanto Silalahi tidak pernah datang menghadiri sidang meskipun telah
dipanggil secara sah dan patut.
132 RBg (Rechtsreglement voor de Buitengewesten) merupakan Hukum Acara
Perdata bagi daerah-daerah luar pulau Jawa dan Madura. 133 Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, Bandung: 2009,
hlm. 65-68.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
90
Putusan versteek yang mengabulkan gugatan dari pihak penggugat, putusan
tersebut haruslah diberitahukan kepadanya pihak tergugat yang bersangkutan serta
diterangkan kepadanya, bahwa tergugat berhak mengajukan perlawanan (verzet)
terhadap putusan versteek kepada Pengadilan Negeri yang memeriksakan perkara
tersebut (Pasal 125 ayat (3), Pasal 129 HIR/ Pasal 149 ayat (3), dan Pasal 153 RBg).
Perlawanan terhadap putusan versteek dapat lah diajukan dalam tenggang
waktu 14 (empat belas) hari setelah pemberitahuan diterima pihak tergugat pribadi,
perlawanan tersebut masih dapat diajukan sampai hari ke-8 setelah teguran untuk
melaksanakan putusan versteek itu atau apabila pihak tergugat tetap tidak datang
menghadap setelah dipanggil dengan patut, perlawanan dapat diajukan sampai hari
ke-14 sesudah putusan versteek itu dijalankan (Pasal 129 ayat (2) HIR/Pasal 153
ayat (2) RBg).134 Majelis hakim di dalam putusannya yang menyatakan bahwa
tergugat telah melakukan perbuatan wanprestasi sesuai dengan ketentuan Pasal
1238 KUHPerdata yang menyatakan“Debitur adalah lalai apabila ia dengan surat
perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi
perikatan sendiri ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai
dengan lewatnya waktu yang ditentukan.” Akibat dari kelalaian tergugat dalam
pemenuhan prestasi sebagaimana yang diperjanjikan, majelis hakim menghukum
pihak tergugat untuk membayar sisa utangnya kepada penggugat sebesar Rp.
570.000.000.- (lima ratus tujuh puluh juta rupiah) ditambah bunga setiap bulannya
sebesar 2% terhitung sejak tanggal 2 Oktober 2015 sampai dengan pihak tergugat
membayar lunas utangnya kepada Penggugat.
134 Ibid, hlm. 68.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
91
Putusan majelis hakim untuk menghukum tergugat untuk membayar lunas
utangnya disertai dengan bunga sejalan dengan Pasal 1243 KUHPerdata yang
menyatakan: “Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya
suatu perikatan mulai diwajibkan, bila pihak debitur, walaupun telah dinyatakan
lalai, tetap saja lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus
ia berikan atau dilakukannya hanya dapat ia berikan atau dilakukannya dalam
waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan”
Pasal 1244 KUHPerdata “Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya,
kerugian dan bunga. bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya
perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan suatu perikatan itu
disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan
kepadanya. walaupun tidak ada itikad buruk kepadanya.”
Majelis hakim juga menghukum pihak tergugat untuk membayar biaya
perkara yaitu sebesar Rp. 694.000,- (enam ratus sembilan puluh empat ribu rupiah).
Pembayaran biaya perkara apabila diperkirakan di muka hakim diatur dalam Pasal
181 ayat (1) HIR “Barang siapa, yang dikalahkan dengan keputusan akan dihukum
membayar biaya perkara. Akan tetapi semua atau sebagian biaya perkara itu dapat
diperhitungkan antara: laki isteri, keluarga sedarah dalam turunan yang lurus,
saudara laki-laki dan saudara perempuan atau keluarga semenda, lagi pula jika
dua belah pihak masing-masing dikalahkan dalam beberapa hal.”
Kewajiban untuk membayar ganti-rugi bagi seorang debitur baru dapat,
dilaksanakan apabila kreditur telah memenuhi empat syarat, yaitu:
1. Debitur memang telah lalai melakukan wanprestasi;
2. Debitur tidak berada dalam keadaan memaksa;
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
92
3. Tidak adanya tangkisan dari debitur untuk melumpuhkan tuntutan
ganti rugi;
4. Kreditur telah melakukan somasi/peringatan. 135
Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwasannya pihak
tergugat yaitu Haryanto Silalahi benarlah telah melakukan perbuatan wanprestasi
karena melaksanakan perjanjian dengan lalai karena tidak beriktikad baik dan lalai
dalam pemenuhan prestasi yang ia perjanjikan yaitu jangka waktu untuk melunasi
utangnya. Bahkan setelah dilakukan peringatan berulang kali oleh penggugat dan
kuasa hukumnya pihak tergugat tetap tidak menunjukkan iktikad baiknya untuk
melunasi utangnya. Ketika perkara tersebut dibawa ke pengadilan tergugat juga
tidak beriktikad baik dengan tidak pernah datang mengahdiri persidangan meskipun
sudah secara sah dan patut dipanggil untuk menghadiri persidangan. Jadi, putusan
Pengadilan Negeri Medan terhadap perkara dengan No. 409/Pdt.G/2016/PN.Mdn
yang memutuskan untuk mengabulkan gugatan penggugat Phertipal Singh sudah
benar karena gugatan pihak penggugat telah dan dapat terbukti kebenarannya.
135 Ibid, hlm. 342.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
93
D. Ringkasan Putusan No. 409/Pdt.G/2016/PN.MDN
Kasus: Phertipal Singh v. Haryanto Silalahi, Putusan No.409/Pdt.G/2016
Pengadilan Negeri Medan, diputus tanggal 1 November 2016.
1. Peristiwa Konkrit
Perkara ini berawal dari Phertipal Singh (Penggugat) yang pada tanggal 19
Agustus 2010 meminjamkan sejumlah uang kepada Haryanto Silalahi (Tergugat)
sebesar Rp 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah), yang mana Haryanto Silalahi
meminjam uang tersebut dengan alasan uang tersebut akan ia gunakan untuk modal
kerja proyek milik Haryanto Silalahi yang berprofesi sebagai kontraktor. Pada saat
itu, secara lisan Haryanto Silalahi berjanji akan mengembalikan uang tersebut
selambat-lambatnya dalam tempo waktu 6(enam) bulan secara tunai sekaligus.
Bahwa faktanya setelah utang tersebut jatuh tempo, Haryanto Silalahi tetap
tidak beriktikad baik dengan tidak menepati apa yang ia perjanjikan. Meskipun
telah diperingatkan berkali-kali untuk membayar utangnya baik secara lisan
maupun surat yang disampaikan oleh kuasa hukum Phertipal Singh.
Oleh karena itu, pada tanggal 2 Oktober 2015 akibat terus didesak oleh
Phertipal Singh berserta dengan kuasa hukumnya, Haryanto Silalahi berjanji akan
membayarkan utangnya selambat-lambatnya 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal
2 Oktober 2015 sampai pada tanggal 2 April 2016 yang mana janji tersebut
dituangkan dalam suatu surat pernyataan yang materi dan substansinya merupakan
janji Haryanto Silalhi untuk membayar utangnya kepada Phertipal Singh selambat-
lambatnya 6(enam) bulan yang terhitung sejak tanggal perjanjian tersebut dibuat.
Serta dalam surat pernyataan tersebut, Haryanto Silalahi berjanji bila ia tetap lalai
dengan tidak membayarkan utangnya, maka ia bersedia untuk dituntut oleh
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
94
Phertipal Singh dan kuasa hukumnya baik secara pidana maupun perdata dan juga
bersedia untuk membayar bunga sebesar 3% setiap bulannya.
Bahwa faktanya Haryanto Silalahi tetap tidak memenuhi janjinya pada
Phertipal Singh bahkan sampai gugatan ini didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan
Negeri Medan, Haryanto Silalahi hanya membayarkan utangnya sebesar Rp
30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah), sedangkan sisa utangnya yang sebesar Rp
570.000.00,- (lima ratus tujuh puluh juta rupiah) belum juga dibayarkan Haryanto
Silalahi walaupun telah diberikan peringatan berkali-kali baik secara lisan maupun
melalui kuasa hukum Phertipal Singh.
Oleh karena itu, demi mengetahui kebenaran keterangan dari Phertipal
Singh dan kuasa hukumnya, maka hakim memastikan dengan memerikasa alat
bukti yang diajukan oleh Phertipal Singh selaku penggugat guna memperkuat dalil-
dalil gugatannya yaitu dengan alat bukti berupa surat, yaitu sebagai berikut:
fotocopy asli surat pernyataan tertanggal 2 Oktober 2015 atas nama Haryanto
Silalahi yang mengaku meminjam uang sebesar Rp 600.000.000,- kepada Phertipal
Singh; Fotocopy asli surat somasi tertanggal 28 September 2015, 4 April 2015 dan
30 Juni 2016 dari kuasa hukum Phertipal Singh yang ditujukan pada Haryanto
Silalahi.
Sehingga atas pemeriksaan alat bukti tersebut, maka majelis hakim
menemukan fakta bahwa keterangan dari Phertipal Singh adalah benar adanya
bahwa Haryanto Silalahi telah melakukan perbuatan wanprestasi dalam perjanjian
utang-piutang.
2. Peristiwa Hukum
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
95
Melihat pada perkara No. 409/Pdt.G/2016/PN.Mdn, hakim telah memiliki
keyakinan bahwasannya Haryanto Silalahi selaku pihak tergugat memang benar
faktanya telah melakukan perbuatan wanprestasi dan harus bertanggungjawab atas
perbuatan yang telah dilakukannya, sebagaimana yang telah dibuktikan oleh
Phertipal Singh dan kuasa hukumnya dan dipastikan kebenaraannya dengan
pemeriksaan alat bukti oleh majelis hakim.
Berdasarkan pada perkara No. 409/Pdt.G/2016/PN.Mdn, bahwa Haryanto
Silalahi selaku tergugat meskipun telah diperingatkan berkali-kali oleh Phertipal
Singh baik secara lisan maupun surat somasi yang dikirimkan oleh pihak kuasa
hukum Phertipal Singh, Haryanto Silalahi tetap tidak beriktikad baik untuk
membayar lunas utangnya sebagaimana yang ia perjanjikan dalam surat pernyataan.
Namun hingga perkara ini didaftarkan ke Kepaniteraan Pengadilan Negeri Medan,
Haryanto Silalahi hanya membayarkan utangnya sebesar Rp 30.000.000,- (tiga
puluh juta rupiah).
Sehingga berdasarkan fakta hukum tersebut, maka perkara ini masuk ke
dalam kualifikasi yaitu suatu perbuatan ingkar-janji (wanprestasi) yang legistimasi
hukumnya ada pada Pasal 1243 KUHPerdata yang berbunyi: “Pergantian biaya,
kerugiaan dan bunga karena tidak terpenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan,
bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan
itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang
melampaui waktu yang telah ditentutkan.”
3. Dasar Pertimbangan Hukum
Pertimbangan majelis hakim dalam kasus ini setelah meneliti secara seksama
dari pemeriksaan bukti surat yang telah dilampirkan oleh pihak penggugat berserta
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
96
kuasa hukumnya. Majelis hakim di Pengadilan Negeri Medan sudah membuat suatu
penerapan hukum dalam pertimbangannya yakni sebagai berikut:
7. Majelis hakim menimbang bahwa bukti berupa surat pernyataan tertanggal 2
Oktober 2015, bahwa Phertipal Singh dapat membuktikan bahwa Haryanto
Silalahi telah meminjam uang milkinya sebesar Rp 600.000.000.- (enam ratus
juta rupiah).
8. Majelis hakim menimbang bahwa dari alat bukti berupa surat somasi sebanyak
3 (tiga) kali dari kuasa hukum Phertipal Singh yang ditujukan kepada Haryanto
Silalahi supaya membayar utangnya yang adalah sebesar Rp.600.000.000.-, hal
tersebut dapat membuktikan bahwa pihak Phertipal Singh telah melakukan
penagihan kepada Haryanto Silalahi supaya membayar utangnya tersebut;
Alat-alat bukti yang sah menurut hukum acara perdata sebagaimana diatur
dalam Pasal 164 HIR/284 RBG, yaitu : surat-surat, saksi-saksi, pengakuan, sumpah,
persangkaan hakim. Pada prinsipnya dalam persidangan perkara perdata hakim
cukup membuktikan dengan preponderance of evidence (memutus berdasarkan
bukti yang cukup). Alat-alat bukti yang cukup tersebut tentunya memiliki beberapa
kualifikasi agar memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat. Alat
bukti yang disebut dalam Pasal 164 HIR dapat diklasifikasi menjadi dua: a) Alat
bukti langsung (direct evidence); b) Alat bukti tidak langsung (indirect evidence).
Alat bukti surat disebut dengan alat bukti langsung karena diajukan secara fisik oleh
pihak yang berkepentingan di depan persidangan. Alat buktinya diajukan dan
ditampilkan dalam proses pemeriksaan secara fisik. Alat bukti saksi juga tergolong
alat bukti langsung, sedangan alat bukti tidak langsung adalah alat bukti yang dalam
pembuktiannya tidak bersifat fisik, seperti: persangkaan, sumpah dan pengakuan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
97
Persoalan somasi diatur dalam Pasal 1243 dan Pasal 1238 KUHPerdata.
Dalam Pasal 1238, yang menyatakan bahwa “Si berutang adalah lalai, apabila ia
dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai,
atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus
dianggap lalai dengan lewatnya waktu yg ditentukan.” dan dalam Pasal 1243
KUHPerdata mengatur bahwa tuntutan atas wanprestasi suatu perjanjian hanya
dapat dilakukan apabila si berutang telah diberi peringatan bahwa ia melalaikan
kewajibannya, namun kemudian ia tetap melalaikannya. Peringatan ini dilakukan
secara tertulis, yang mana surat tersebut adalah somasi.
9. Majelis hakim menimbang bahwa berdasarkan pengakuan dari pihak Phertipal
Singh yang dalam gugatannya bahwasannya pihak tergugat telah membayar
utangnya kepada pihak penggugat sebesar Rp.30.000.000.- (tiga puluh juta
rupiah) sehingga sisa utang Haryanto Silalahi adalah sebesar Rp.570.000.000.-
(lima ratus tujuh puluh juta rupiah)
10. Sehingga, majelis hakim menimbang untuk harus mengabulkan gugatan oleh
karena pihak Phertipal Singh telah berhasil membuktikan gugatannya.
11. Pertimbangan majelis hakim mengenai gugatan pihak Phertipal Singh akan
dikabulkan seluruhnya atau tidak, akan dipertimbangkan tentang mengenai
seluruh petitum (tuntutan) dari gugatan tersebut, yaitu sebagai berikut:
a. Majelis hakim mengabulkan petitum Phertipal Singh mengenai
pernyataan wanprestasi yang dilakukan Haryanto Silalahi karena
tidak membayar lunas utangnya sesuai dengan perjanjiannya,
sesuai dengan pernyataan pihak Haryanto Silalahi yang akan
dibayarkan tanggal 2 April 2016;
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
98
b. Majelis hakim menolak untuk supaya menyatakan sah dan
berharga diberlakukannya sita jaminan, oleh karena itu maka di
dalam perkara ini tidak ada penyitaan;
Sita jaminan merupakan upaya hukum yang diajukan oleh pihak yang
berkepentingan untuk menjamin haknya dalam hal adanya kekhawatiran dari
pihak tergugat memindahtangankan, menjual dan merusak obyek sengketa
sehingga pada saat adanya putusan dapat direalisasikan. Kekhawatiran tersebut
merupakan suatu persangkaan beralasan sebagaimana yang terdapat dalam
ketentuan Pasal 227 ayat (1) HIR (RIB-S.1941 No. 44). Pada ayat (1) pasal 227
tersebut, dinyatakan bahwa: “Jika terdapat persangkaan yang beralasan,
bahwa seorang yang berhutang, selagi belum dijatuhkan keputusan atasnya,
atau selagi putusan yang mengalahkannya belum dapat dijalankan, mencari
akal akan menggelapkan atau membawa barangnya baik yang tidak tetap
maupun yang tetap dengan maksud akan menjauhkan barang barang itu dari
penagih hutang, maka atas surat permintaan orang yang berkepentingan ketua
pengadilan negeri dapat memberi perintah, supaya disita barang itu untuk
menjaga hak orang yang memasukkan permintaan itu, dan kepada peminta
harus diberitahukan akan menghadap persidangan pengadilan negeri yang
pertama sesudah itu untuk memajukan dan menguatkan gugatannya.”
Dalam perkara No. 409/Pdt.G/2016/PN.Mdn sita jaminan yang
dimohonkan oleh pihak Phertipal Singh adalah sita conservatoir (Conservatoir
Beslag) adalah sita yang diajukan oleh kreditur terhadap harta milik debitur
(tergugat) sebagai jaminan pelunasan utang.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
99
1) Sita terhadap barang bergerak milik debitur (Ps. 227 jo. 197 HIR jo. 208
Rbg)
2) Sita terhadap barang tetap/tidak bergerak milik debitur (Ps. 227, 197,198,
199 HIR 261, 208,214 Rbg)
3) Sita terhadap barang bergerak milik debitur yang dikuasai oleh pihak ketiga
(Ps. 728 Rv, 197 ayat 8 HIR, 211 Rbg)
Sita jaminan yang dimohonkan pengugat dalam perkara perdata ini ditolak
hakim, menurut pertimbangan majelis hakim, tindakan tersebut diambil guna
untuk menghindari hal-hal yang dirasa akan menimbulkan kerugian diantara
para pihak dikarenakan obyek sita yang diajukan agar diletakkan sita jaminan
bukanlah obyek sengketa. Dasar hakim dalam menolak sita jaminan tersebut
terletak pada kurangnya identitas obyek yang akan diletakkan sita jaminan oleh
penggugat baik dari segi letak, batas maupun besarnya nominal obyek sita
jaminan.
c. Majelis hakim mengabulkan bahwasannya “surat pernyataan”
tertanggal 02 Oktober 2015 adalah sah dan berkekuatan hukum
tetap karena surat tersebut dibuat sendiri oleh Haryanto Silalahi
dengan disaksikan oleh 2 orang saksi dan pernyataan tersebut
dibuat diatas kertas bermaterai; (Pasal 164 HIR/284 RBG, alat
bukti yaitu: surat-surat, saksi-saksi, pengakuan, sumpah,
persangkaan hakim)
d. Majelis hakim mengabulkan mengenai petitum Phertipal Singh
untuk menyatakan bahwa Haryanto Silalahi memiliki sisa utang
yaitu adalah sebesar Rp.570.000.000.-, oleh karena terbukti
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
100
bahwasannya pihak tergugat mempunyai utang kepada pihak
penggugat yaitu sebesar Rp.600.000.000.-, serta bukti bahwa
Haryanto Silalahi membayarkan sejumlah utangnya sebesar
Rp.30.000.000.- (tiga puluh juta rupiah) maka sisa utang
Haryanto Silalahi adalah sebesar Rp.570.000.000.- (lima ratus
tujuh puluh juta rupiah);
e. Majelis hakim mengabulkan mengenai petitum supaya
menghukum Haryanto Silalahi untuk membayar sisa utangnya
yang sebesar Rp.570.000.000.(lima ratus tujuh puluh juta
rupiah) ditambah bunga namun tidak mengabulkan seluruhnya
tuntutan Phertipal Singh mengenai besaran bunga yang harus
yang setiap bulannya oleh Haryanto Silalahi dalam hal ini
memutuskan bahwa besaran bunga yang harus dibayarkan
adalah 2%/bulan karena besaran bunga tersebut haruslah
mendekati bunga Bank, dan menurut majelis hakim sudah adil
bila Haryanto Silalahi dikenakan bunga sebesar 2% pada setiap
bulannya sampai utang tersebut telah lunas;
Perjanjian utang piutang dikenal adanya bunga atas utang. Dalam perjanjian
utang-piutang tidak selalu diikuti dengan bunga, karena baik dalam pengaturan
KUHPerdata maupun undang-undang lainnya mengenai memperjanjikan bunga
bukan suatu kewajiban atau keharusan. Sebagaimana pada asas kebebasan
berkontrak dan asas konsensualisme, mengenai keberadaan bunga dan besarnya
bunga diserahkan kepada para pihak yang mengadakan perjanjian, yaitu pihak
kreditur dan debitur.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
101
Pada pokoknya dalam pengaturan mengenai bunga, terdapat dua macam
bunga yang diatur di dalam Pasal 1767 KUHPerdata, yaitu bunga menurut undang-
undang yang dikenal dengan bunga moratoir, dan bunga yang ditetapkan dalam
perjanjian (bunga konvensional).
Bunga moratoir merupakan pembayaran sejumlah uang penggantian biaya
rugi dan bunga yang disebabkan oleh karena terlambatnya pelaksanaan perikatan
hanya terdiri atas bunga yang besarnya ditetapkan dalam undang-undang dan
menurut Lembaran Negara Tahun 1948 No.22 ditentukan besarnya suatu bunga
tersebut 6% per-tahun. Apabila dalam perjanjian utang piutang pihak kreditur
memperjanjikan bunga tetapi tidak ditentukan berapa besarnya, maka debitur
diwajibkan oleh Pasal 1768 KUHPerdata untuk membayar bunga moratoir.
Cara perhitungan bunga moratoir adalah dari surat gugat, dimasukkan
dalam daftar perkara perdata di Panitera Pengadilan Negeri. Jadi, tidak dihitung dari
saat debitur melakukan wanprestasi. Suatu bunga yang ditetapkan dalam perjanjian,
diatur dalam Pasal 1767 ayat (2) KUHPerdata menentukan, boleh melampaui bunga
menurut undang-undang dalam segala hal yang tidak dilarang oleh undang-undang.
Pasal ini memberi kebebasan kepada para pihak untuk menentukan besarnya suatu
bunga, meskipun demikian bunga ditetapkan dalam perjanjian perlu diperhatikan
dengan kemampuan debitur untuk membayar bunga maupun rasa keadilan.
Pengadilan dapat menetapkan bunga atas suatu utang, jika ada perkara gugatan
yang diajukan yang dikenal sebagai bunga kompensatoir. Putusan pengadilan yang
menetapkan bunga, merupakan penerobosan terhadap bunga yang diperjanjikan,
karena besar bunga dinilai tidak tepat.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
102
Penetapan besaran suatu bunga, suatu pengadilan tidak dapat berbuat
sewenang-wenang, karena terlebih dahulu mempertimbangkan sejumlah hal, antara
lain dari segi keadilan, kepantasan, kemampuan seorang debitur, dan bunga yang
berlaku di kalangan perbankan.
f. Majelis hakim menolak mengenai petitum Phertipal Singh agar
supaya putusan dalam perkara ini dapat dijalankan dengan serta
merta (uitvoerbaar bij voorraad), oleh karenanya tidak
terpenuhinya mengenai alasan-alasan untuk menjatuhkan
putusan serta merta;
Putusan serta merta, adalah merupakan suatu putusan pengadilan yang bisa
dijalankan terlebih dahulu, walaupun terhadap putusan tersebut dilakukan upaya
hukum Banding, Kasasi atau Perlawanan oleh pihak Tergugat atau oleh pihak
Ketiga yang dirugikan. Di dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.3 tahun
2000 Mahkamah Agung telah menetapkan tata cara, prosedur dan gugatan-gugatan
yang bisa diputus dengan putusan serta merta (uitvoerbaar bij voorraad), dan dalam
Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 4 tahun 2001 mahkamah Agung
kembali menetapkan agar dalam setiap pelaksanaan putusan serta merta disyaratkan
adanya jaminan yang nilainya sama dengan barang / benda objek eksekusi. Dari
sini jelas sekali bahwa Mahkamah Agung sebenarnya “tidak menyetujui” adanya
putusan serta merta di dalam setiap putusan pengadilan walaupun perkara tersebut
memenuhi ketentuan pasal 180 ayat (1) HIRdan pasal 191 ayat (1) Rbg serta pasal
332 Rv sebagai syarat wajib penjatuhan putusan serta merta.
Bahwa selain pelaksaan putusan serta merta tersebut ternyata di lapangan
menimbulkan banyak permasalahan apalagi dikemudian hari dalam upaya hukum
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
103
berikutnya, pihak yang tereksekusi ternyata diputus menang oleh Hakim. Oleh
karenanya Hakim/Ketua Pengadilan bersangkutan harus super hati-hati dalam
mengabulkan gugatan provisionil dan permintaan putusan serta-merta. Adapun
dapat dikabulkannya uitvoerbaar bij voorraad dan provisionil menurut Surat
Ederan Ketua Mahkamah Agung RI No. 3 Tahun 2000 adalah :
1) Gugatan didasarkan pada bukti surat autentik/tulis tangan yang tidak
dibantah kebenarannya oleh pihak lawan;
2) Gugatan hutang-piutang yang jumlahnya sudah pasti dan tidak dibantah;
3) Gugatan tentang sewa-menyewa tanah,rumah,gudang dll, dimana hubungan
sewa-menyewa telah habis atau Penyewa melalaikan kewajibannya sebagai
penyewa yang baik;
4) Pokok gugatan mengenai tuntutan harta gono-gini dan putusannya telah
inkracht van gewijsde;
5) Dikabulkannya gugatan provisionil dengan pertimbangan hukum yang tegas
dan jelas serta memenuhi pasal 332 Rv ; dan
6) Pokok sengketa mengenai bezitsrecht ;
Memang dari segi hukum belum ada yang melarang dijatuhkannya putusan
uitvoerbaar bij voorraad sepanjang hal itu memenuhi ketentuan pasal 180 ayat (1)
HIR dan pasal 191 ayat (1) Rbg serta pasal 332 Rv, sehingga sampai saat ini Hakim
masih sah-sah saja menjatuhkan putusan serta merta tersebut.
g. Majelis hakim mengabulkan bahwa biaya dalam perkara ini
ditanggung oleh Haryanto Silalahi sebagai pihak yang kalah;
Mengenai biaya perkara diatur dalam Pasal 183 HIR, yang
berbunyi:“Banyaknya biaya perkara, yang dijatuhkan pada salah satu pihak harus
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
104
disebutkan dalam keputusan. Aturan itu berlaku juga tentang jumlah biaya,
kerugian dan bunga uang, yang dijatuhkan pada satu pihak untuk dibayar kepada
pihak yang lain.” Pasal ini mengatur tentang penghukuman untuk membayar
ongkos perkara yang harus dibebankan pada pihak yang kalah. Pasal 182
menyebutkan perincian dari hal-hal yang boleh ditarik biaya. Jenis-jenis
pengeluaran di luar perincian itu tidak boleh dimasukkan dalam ongkos perkara.
Penentuan jumlahnya harus didasarkan atas tarip yang ada atau yang akan
ditetapkan oleh Departemen Kehakiman, atau kalau tidak ada, didasarkan atas
taksiran Ketua pengadilan.
Pada prinsipnya, Hakim membebankan biaya perkara kepada pihak yang
kalah. Kalau gugatan ditolak, berarti penggugat berada di pihak yang kalah, maka
sesuai dengan ketentuan Pasal 181 ayat (1) HIR, hakim harus membebankan biaya
perkara kepadanya. Berapa besaran biaya perkara yang dibebankan harus
dicantumkan dalam putusan. Akan tetapi prinsip ini baru bersifat imperatif, apabila
kekalahan itu bersifat mutlak. Misalnya gugatan ditolak seluruhnya. Atau gugatan
penggugat dikabulkan seluruhnya. Berarti secara mutlak, tergugat berada di pihak
yang kalah. Maka biaya perkara dipikul tergugat.
4. Membuat Putusan Hukum
Pada perkara ini, majelis hakim mengabulkan permohonan penggugat untuk
sebagian yang menyatakan bahwa pihak tergugat memang benar telah melakukan
suatu perbuatan wanprestasi dalam perjanjian utang-piutang yang adalah sebesar
Rp 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah).
Phertipal Singh dan kuasa hukumnya terhadap perkara ini menyatakan
bahwa wanprestasi perjanjian utang-piutang yang dilakukan oleh Haryanto Silalahi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
105
sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 1238, Pasal 1243, Pasal 1267 KUHPerdata,
yang mana dalam pasal-pasal tersebut mengatur bahwa debitur telah dinyatakan
lalai dengan surat perintah, yaitu bila perikatan tersebut mengakibatkan debitur
harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan. Pergantian biaya,
kerugian, dan bunga karena tidak terpenuhinya suatu perikatan diwajibkan pada
debitur karena walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memnuhi perikatan
itu. Sehingga wanprestasi pihak debitur, kreditur dapat memilih tuntutan haknya
yang mana dalam hal ini, Phertipal Singh dalam tuntutannya menuntut Haryanto
Silalahi untuk melakukan pemenuhan perjanjian tersebut disertai dengan ganti rugi
(nakoming en anvullend vergoeding).
Pengadilan Negeri menggunakan Pasal 1238, Pasal 1243 dan Pasal 1250
KUHPerdata, yang mengatur bahwa seseorang yang telah dinyatakan lalai hingga
membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang tersebut mengganti biaya
kerugian yang terjadi dan bahwa seseorang itu juga harus bertanggungjawab atas
kerugian yang disebabkan oleh kelalaiannya.
Perihal pelaksanaan peradilannya, diakibatkan oleh Haryanto Silalahi yang
merupakan pihak tergugat meskipun telah dipanggil secara sah dan patut untuk
datang menghadiri sidang, Haryanto Silalahi tidak pernah datang untuk menghadiri
persidangan, maka majelis hakim menjatuhkan putusan versteek atau putusan in
absentia terhadap perkara ini sebagaimana diatur dalam Pasal 125 HIR/Pasal 149
RBg yang menyebutkan bahwa jika tergugat meskipun telah dipanggil secara sah
dan patut tidak datang menghadiri sidang yang pada hari yang telah ditentukan dan
tidak pula menyuruh wakilnya untuk hadir maka hakim dapat menjatuhkan putusan
versteek.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
106
Pengadilan berpendapat bahwasannya Haryanto Silalahi adalah benar telah
melakukan suatu perbuatan wanprestasi hal ini dibuktikan dengan surat pernyataan
tertanggal 2 Oktober 2015, sehingga pengadilan memutuskan bahwa Haryanto
Silalahi untuk membayarkan sisa utangnya yaitu sebesar Rp 570.000.000,- (lima
ratus tujuh puluh juta rupiah) beserta dengan bunga 2% pada setiap bulannya
hingga utang tersebut lunas dan biaya perkara sebesar Rp 694.000,- (enam ratus
sembilan puluh empat ribu rupiah).
Perkara ini merupakan perkara yang menggunakan putusan condemnatoir,
yaitu putusan yang bersifat menghukum pihak yang kalah untuk memenuhi prestasi.
Di dalam putusan condemnatoir, hak perdata penggugat yang dituntutnya terhadap
tergugat, diakui kebenarannya oleh hakim. Dalam hal kasus ini putusan yang
dijatuhkan oleh majelis hakim sudah tepat dan adil dengan memutuskan bahwa
Haryanto Silalahi adalah pihak yang bersalah sehingga patut dikalahkan dalam
perkara ini, namun meskipun bersalah atas perbuatan wanprestasi yang dilakukan
Haryanto Silalahi, majelis hakim tetap adil dengan mengurangi besaran bunga yang
dituntukan kepadanya dari sebesar 3%/bulan, karena dianggap terlalu memberatkan
menjadi 2%/bulan mengikuti besaran bunga bank.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
107
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Pengaturan hukum mengenai perjanjian utang-piutang berobjek berupa uang
termasuk ke dalam jenis perjanjian pinjam-meminjam, hal ini sebagaimana
diatur di dalam Bab XIII Buku III KUHPerdata. Pinjam-meminjam menurut
Pasal 1754 KUHPerdata adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu
memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang
habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini akan
mengembalikan sejumlah uang yang sama dengan jenis dan mutu yang sama
pula seperti yang ia telah terima pada masa sebelumnya. Dalam kasus Putusan
No.409/Pdt.G/2016/PN.Mdn, perjanjian utang-piutang Phertipal Singh dan
Haryanto Silalahi terjalin karena adanya suatu asas kepercayaan dan iktikad
baik (Pasal 1338 KUHPerdata) dari pihak Phertipal Singh untuk menolong
Haryanto Silalahi yang membutuhkan modal untuk proyek kerjanya.
2. Penyebab dari terjadinya suatu sengketa wanprestasi perjanjian utang-piutang,
memiliki adanya dua kemungkinan alasan tidak terpenuhinya suatu prestasi
yang mengakibatkan terjadinya perbuatan wanprestasi dalam suatu perjanjian
utang-piutang, yaitu: pertama, akibat kelalaian/kesengajaan dari pihak debitur
dalam pemenuhan prestasi; kedua, keadaan memaksa (overmacht). Dalam hal
kasus perkara dalam Putusan No. 409/Pdt.G/2016/PN.MDN hal yang menjadi
faktor penyebab terjadinya wanprestasi perjanjian utang-piutang antara pihak
Phertipal Singh dan Haryanto Silalahi adalah kelalaian/kesengajaan pihak
Haryanto
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
108
Haryanto Silalahi yang dengan sengaja tidak memenuhi prestasi sebagaimana
yang diperjanjikan.
3. Penyelesaian hukum dalam perkara wanprestasi perjanjian utang-piutang yang
dilakukan oleh Haryanto Silalahi terhadap Phertipal Singh adalah ditempuh
melalui jalur pengadilan. Haryanto sebagai tergugat tidak pernah menghadiri
sidang meskipun ia telah dipanggil secara sah dan patut, sehingga hakim
memutuskan mejatuhkan putusan versteek terhadap perkara ini.
B. Saran
1. Dalam melakukan praktek perjanjian utang-piutang sebaiknya para pihak
untuk lebih memperhatikan pada ketentuan-ketentuan di dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia. Dalam hal melaksanakan perbuatan ini
kejujuran haruslah berjalan dalam hati serta sanubari seorang manusia. Jadi
selalu mengingat bahwa manusia sebagai anggota masyarakat harus jauh
dari sifat yang menyebabkan kerugian bagi pihak lain. Kedua belah pihak
haruslah selalu mengingat bahwa ia tidak boleh memanfaatkan kebaikan
manusia lain untuk menguntungkan diri pribadi.
2. Faktor penyebab wanprestasi dapat terhindarkan apabila kedua belah pihak
sadar akan kewajibannya masing-masing selama perjanjian itu berlangsung.
Dalam perjanjian utang-piutang akan lebih baik untuk pihak debitur sadar
akan kewajibannya sebagai orang yang berutang untuk membayar utangnya
tepat pada waktunya, karena jika debitur membayar utangnya sesuai dengan
jangka waktu yang ditetapkan tidak akan ada pihak yang dirugikan.
3. Dalam penyelesaian sengketa atas perbuatan wanprestasi Haryanto Silalahi,
ada baiknya permasalahan tersebut dapat diselesaikan melalui cara alternatif
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
109
penyelesaian sengketa, dikarenakan prosesnya lebih cepat, mudah dan tidak
banyak mengeluarkan biaya.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
111
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Adonara, Floranta, Firman, 2014, Aspek-Aspek Hukum Perikatan, Mandar Maju;
Bandung.
Badrulzaman, Mariam Darus, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya
Bakti; Bandung.
Djumhana, Muhammad, 1996, Hukum Perbankan Di Indonesia, Citra Aditya Bakti;
Bandung.
Eddy, Richard, 2010, Aspek Legal Properti - Teori, Contoh, dan Aplikasi, Penerbit
Andi; Jakarta.
Fuady, Munir, 2007, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra
Aditya Bakti; Bandung.
Hernoko, Yudha, Agus, 2010, Hukum Perjanjian: Asas Proposionalitas Di Kontrak
Komersial, Kencana; Jakarta.
HS, Salim, 2003, Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar
Grafika; Jakarta.
HS, Salim, 2008, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika; Jakarta.
Jusup, Al Haryono, 2005 Dasar-Dasar Akuntansi Edisi Keenam, STIE YKPN;
Yogyakarta.
Khairandy, Ridwan, 2013, Hukum Kontrak di Indonesia Perspektif Perbandingan
( Bagian Pertama ), FHUII Press; Yogyakarta.
Kusumaatmadja, Mochtar, 1978, Hukum, Masyarakat, dan Pembinaan Hukum
Nasional, Binacipta; Bandung.
Meliala, Syamsudin, A.Qirom, 2010, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta
Perkembangannya, Liberty; Yogyakarta.
Marilang, 2017, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Suatu Perjanjian,
Indonesia Prime; Makassar.
Muhammad, Abdulkadir, 1992, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti; Bandung.
Muhammad, Abdulkadir, 1996, Hukum Perjanjian, Alumni; Bandung.
Miru, Ahmadi dan Sakka Pati, 2008, Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal
1233 sampai 1456 BW, Rajagrafindo Persada; Jakarta.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
111
Prodjodikoro, Wirjono, 2011, Azas-Azas Pada Hukum Perjanjian, Mandar Maju;
Bandung.
Patrik, Purwahid, 1986, Asas Itikad Baik dan Kepatutan Dalam Perjanjian, Badan
Penerbit Universitas Diponegoro; Semarang.
Pasaribu, Chairuman dan Suhrawardi Lubis, 2011, Hukum Perjanjian Dalam Islam,
Rineka Cipta; Jakarta.
Rahman, Fachtur, 1981, Ilmu Waris, Al-Ma’rif; Bandung.
Suyanto, Thomas et.al, 1990, Dasar-Dasar Pada Perkreditan, Cetakan Ketiga,
Gramedia; Jakarta.
Sofyan, Masjchoen, Soedewi, 1980, Sri Hukum Perdata Hukum Perhutangan
Bagian A, Seksi Hukum Perdata FH UGM; Yogyajarta.
Subekti, R, 1995, Aneka Perjanjian, Cetakan Kesepuluh, Citra Aditya Bakti;
Bandung.
Subekti, R, 1987, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Inamasa; Jakarta.
Subekti, R, 1970, Hukum Perjanjian, Pembimbing Masa; Jakarta.
Subekti, R, 1992, Aneka Perjanjian, Alumni; Bandung.
Subekti, R,1994, Hukum Perjanjian, Intermasa; Jakarta.
Subekti dan Tjitrosoedibio, 1996, Kamus Hukum, Pradnya Paramita; Jakarta.
Soeroso. R, 2011, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika; Jakarta.
Simanjuntak, P.N.H, 2009, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Djambatan;
Jakarta.
Supramono, Gatot, 2013, Perjanjian Utang Piutang, Kencana Prenada Media
Group; Jakarta.
Syahrani, Riduan, 2010, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni;
Bandung.
Syahrani, Riduan, 2009, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, Citra Aditya
Bakti; Bandung.
Setiawan, R, 2006, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Putra A Bardin; Bandung.
Santoso, Lukman, 2012, Hukum Perjanjian Kontrak, Panduan Memahami Hukum
Perikatan & Penutupan Pada Surat Perjanjian Kontrak, Cakrawala;
Yogyakarta.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
112
Satrio, J, 1995, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir Dari Perjanjian, Citra
Aditya Bakti; Bandung.
Satrio, J, 1999, Hukum Perikatan, Alumni; Bandung.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif: Suatu
Tinjauan Singkat, Raja Grafindo; Jakarta.
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Pusat Pembinaan Pengembangan Bahasa; Balai Pustaka.
Wardoyo, Ch. Gatot, Sekitar Klausul-Klausul Perjanjian Kredit Bank, Bank dan
Manajemen, Edisi November-Desember 1992.
Widjaya, I.G. Rai, 2008, Merancang Suatu Kontrak (Contract Drafting), Kesaint
Blanc; Jakarta.
Perundang-Undangan:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang
NBW ( Niuew Burgelijck Wetboek )
HIR (Herzien Inlandsch Reglement)
RBg (Rechtsreglement voor de Buitengewesten)
Website:
“Kapan Para Pihak Dianggap Lalai Melaksakan Perjanjian?”. Legalakses.
https://www.legalakses.com/kapan-para-pihak-dianggap-lalai-melaksanakan-
perjanjian/. (diakses pada 23 Januari 2020 pukul 11:19)
https://regulasikesehatan.wordpress.com/tag/wanprestasi/ (Diunduh pada tanggal
26 Februari 2020 Pukul 15:17 WIB)
https://www.academia.edu/2479524/Ubi_Societas_Ibi_Ius. (diakses pada 5 Maret
2020, pukul 21:29)
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl3370/tentang-somasi/.
(diakses pada tanggal 15 Maret 2020 pada pukul 17:36)
https://www.kompasiana.com/aliffiandafa7250/5e8ebe19097f361bd7592a12/huku
m-perdata-macam-jenis-dan-penjelasan-lengkap-dengan-referensi (diunduh pada
tanggal 23 Mei 2020 pukul 03:35)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
99
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
top related