perbedaan individu
Post on 04-Aug-2015
392 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap individu adalah unik. Artinya setiap individu memiliki
perbedaan antara yang satu dengan yang lain. Perbedaan tersebut
bermacam-macam, mulai dari perbedaan fisik, pola berpikir dan cara-
cara merespon atau mempelajari hal-hal baru. Dalam hal belajar,
masing-masing individu memiliki kelebihan dan kekurangan dalam
menyerap pelajaran yang diberikan. Oleh karena itu dalam dunia
pendidikan dikenal berbagai metode untuk dapat memenuhi tuntutan
perbedaan individu tersebut. Di negara-negara maju sistem pendidikan
bahkan dibuat sedemikian rupa sehingga individu dapat dengan bebas
memilih pola pendidikan yang sesuai dengan karakteristik dirinya.
Pada dasarnya tiap individu merupakan satu kesatuan, yang
berbeda antara satu dengan yang lainnya. Perbedaan itu dapat dilihat
dari dua segi, yakni horizontal dan vertical. Perbedaan segi horizontal
adalah perbedaan individu dalam aspek mental, seperti tingkat
kesadaran, bakat, minat, ingatan, emosi, dan sebagainya. Perbedaan
vertikal adalah perbedaan individu dalam aspek jasmaniah, seperti:
bentuk, tinggi dan besarnya badan, tenaga, dan sebagainya. Masing-
masing aspek individu tersebut besar pengaruhnya terhadap kegiatan
dan keberhasilan belajar.
Perbedaan individual disebabkan oleh dua faktor, ialah faktor
keturunan atau bawaan kelahiran, dan faktor pengaruh lingkungan. 1
Kedua faktor ini memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan dan
perkembangan siswa/peserta didik. Mungkin salah satu factor ada
yang lebih dominan, namun tetap kedua faktor tersebut masing-
masing berpengaruh, dan pada gilirannya ternyata tidak ada dua
individu yang sama.
Sifat individual adalah sifat yang berkaitan dengan orang
perseorangan, berkaitan dengan perbedaan individual perseorangan.
Ciri dan sifat orang yang satu berbeda dengan yang lain. Perbedaan ini
disebut perbedaan individu atau perbedaan individual. Maka
“perbedaan” dalam “perbedaan individual” menurut Landgren (1980)
menyangkut variasi yang terjadi, baik variasi pada aspek fisik maupun
psikologis. Upaya pertama yang dilakukan untuk mengetahui
perbedaan individu, sebelum dilakukan pengukuran kapasitas mental
yang mempengaruhi penilaian sekolah, adalah menghitung umur
kronologi. Seorang anak memasuki sekolah dasar pada umur 6 tahun
dan ia diperkirakan dapat mengalami kemajuan secara teratur dalam
tugas-tugas sekolahnya dilihat dalam kaitannya dengan faktor umur.
Selanjutnya ada anggapan bahwa semua anak diharapkan mampu
menangkap/mengerti bahan-bahan pelajaran yang mempunyai
kesamaan materi dan penyajiannya bagi semua siswa pada kelas yang
sama. Ketidakmampuan yang jelas tampak pada siswa untuk
menguasai bahan pelajaran umumnya dijelaskan dengan pengertian
faktor-faktor seperti kemalasan atau sikap keras kepala. Penjelasan itu
tidak berdasarkan pada kenyataan bahwa para siswa memang
berbeda dalam hal kemampuan mereka untuk menguasai satu atau 2
lebih bahan pelajaran dan mungkin berada dalam satu tingkat
perkembangan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perbedaan individu dalam aspek intelegensi, gaya
belajar, dan kepribadian?
2. Bagaimana implikasi dari perbedaan individu dalam pembelajaran?
3
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam aspek perkembangan individu, dikenal ada dua fakta yang
menonjol, yaitu:
1. semua diri manusia mempunyai unsur-unsur kesamaan didalam pola
perkembangannya,
2. di dalam pola yang bersifat umum dari apa yang membentuk warisan
manusia secara biologis dan sosial, tiap-tiap individu mempunyai
kecenderungan berbeda.
Perbedaan-perbedaan tersebut secara keseluruhan lebih banyak bersifat
kuantitatif dan bukan kualitatif.
Murid pada tingkat yang sama memiliki ketertarikan yang berbeda-
beda. Mereka sama pada banyak hal, tetapi bahkan ada juga yang sangat
berbeda. Salah satu keberanian utama seorang guru adalah menghadapi
tugas besar dalam melayani perbedaan diantara siswa di dalam kelas.
Perbedaan-perbedaan tersebut dalam hal intelegensi, gaya belajar, dan
kepribadian.
A. Perbedaan Individu dari Aspek Intelegensi
Menurut para ilmuwan, dewasa ini manusia menggunakan 10
persen dari kemampuan otaknya. Dari 10 persen itu sebagian besar hanya
mengoptimalkan belahan otak kiri (Stanford Research Institute). Pada
dasarnya setiap orang dapat menjadi jenius. Idealnya memang harus
dipersiapkan sejak kecil dengan mengaktifkan fungsi otak untuk
mengembangkan kecerdasan-kecerdasan yang menunjang proses 4
pembelajaran. Usia remaja juga dapat memberdayakan otak secara
optimal, untuk itu kita harus mengetahui terlebih dahulu cara kerja otak
tersebut (Sidiarto L. 2008).
Salah satu bentuk nyata untuk melihat perbedaan anak adalah
dengan memeriksa hasil pencapaian dalam tes standar. Tingkat
pencapaian anak merupakan suatu fungsi yang menunjukkan nilai belajar
anak. Murid dalam posisi puncak di suatu kelompok biasanya mampu
belajar dengan cepat, sementara murid dengan posisi rendah di dalam
kelas biasanya merupakan pebelajar yang lambat. Pada posisi tengah-
tengah, sekitar 50 persen diantaranya memiliki kemampuan yang merata
dalam pencapaian.
Inteligensi mempengaruhi penyesuaian diri seseorang terhadap
lingkungannya, orang lain dan dirinya sendiri. Semakin tinggi taraf
intreligensinya semakain baik penyesuaian dirinya dan lebih mampu
bereaksi terhadap rangsangan lingkungan atau orang lain dengan cara
yang dapat diterima. Hal ini jelas akan meningkatkan konsep dirinya,
demikian pula sebaliknya .Seseorang yang mempunyai tingkat pendidikan
yang tinggi akan meningkatkan prestisenya. Jika prestisenya meningkat
maka konsep dirinya akan berubah (Syaiful, 2008).
Garrett (1946) dalam Dalyono. 2007, mengemukakan “Intelegence
includes at least the abilities demanded in the solution of problems which
requer the comprehension and use of symbols”. (Intelegensi itu setidak-
tidaknya mencakup kemampuan kemampuan yang diperlukan untuk
pemecahan masalah-masalah yang memerlukan pengertian serta
mengunakan simbol-simbol. Karena manusia hidup senantiasa 5
menghadapi permasalahan, setiap permasalahan harus dipecahkan agar
manusia manusia memperoleh keseimbangan (homeostasis) dalam hidup.
Menurut Jean Piaget dalam Suryabrata, 2010, “intelligence atau
inteligensi diartikan sama dengan kecerdasan, yaitu seluruh kemampuan
berpikir dan bertindak secara adaptif, termasuk kemampuan mental yang
kompleks seperti berpikir, mempertimbangkan, menganalisis, mensintesis,
mengevaluasi dan menyelesaikan persoalan-persoalan”. Pendapat ini
mempertegas bahwa inteligensi adalah seluruh kemungkinan koordinasi
yang memberi struktur kepada tingkah laku suatu organisme sebagai
adaptasi mental terhadap situasi baru. Dalam arti sempit inteligensi sering
kali diartikan sebagai inteligensi operasional, termasuk pula di dalamnya
tahapan-tahapan yang sejak dari periode sensorimotoris sampai dengan
operasional formal.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi inteligensi sehingga
mengakibatkan adanya perbedaan inteligensi seseorang dengan yang
lainnya yaitu :
1. Pembawaan : pembawaan ditentukan oleh sifat dan ciri-ciri yang
dibawa sejak lahir. Batas kesanggupan kita yakni dapat dan tidaknya
memecahkan suatu soal atau masalah, pertama-tama ditentukan oleh
pembawaan kita. Orang itu ada yang pintar dan ada pula yang bodoh,
meskipun sama-sama menerima latihan dan pelajaran yang sama,
tetapi perbedaan-perbedaan itu masih tetap ada.
2. Kematangan : Setiap organ di dalam tubuh manusia mengalami
pertumbuhan dan perkembangan, setiap organ ( fisik maupun psikis )
6
dapat dikatakan telah matang jika ia telah mencapai kesanggupan
untuk menjalankan fungsinya masing-masing.
3. Pembentukan : yaitu segala keadaan di luar diri seseorang yang
mempengaruhi perkembangan inteligensi.
4. Minat dan pembawaan yang khas, minat mengarahkan perbuatan
kepada suatu tujuan dan merupakan dorongan bagi perbuatan itu.
Anak-anak berbeda dalam tingkat kecerdasannya. Kapasitas
intelektual anak secara tradisional diukur dengan menggunakan tes IQ.
Namun, validitas tes IQ merupakan subjek yang masih diperdebatkan
secara terus-menerus, dan beberapa kritik serta klaim bahwa tes IQ
merupakan diskriminasi dan berlawanan bagi anak dengan latar belakang
sosial ekonomi rendah. Perbedaan kecerdasan dapat dilihat dari
perbedaan skor IQ.
Tingkatan intelegensi (IQ) anak menurut Lewis Terman, antara lain:
Intelegensi (IQ) Klasifikasi
Over 140 Genius
120 – 139 Very superior
110 – 119 Superior
90 – 109 Average
80 – 89 Dull normal
70 – 79 Bordederline deficiency
50 – 69 Maron
20 – 49 Imbecile
Below 20 Idiot
Tingkatan intelegensi (IQ) anak menurut Wechsler, antara lain:
Intelegensi (IQ) Klasifikasi
130 and Over Very superior
7
120 – 129 Superior
110 – 119 High average
90 – 109 Average
80 – 89 Low average
70 – 79 Bordederline
60 and under Extremely low
Siswa yang kurang cerdas menunjukkan ciri-ciri belajar lebih
lamban, memerlukan banyak latihan, membutuhkan waktu yang lebih
lama untuk maju, tidak mampu melakukan abstraksi. Siswa yang memiliki
tingkat kecerdasan yang tinggi pada umumnya memilki perhatian yang
lebih baik, belajar lebih cepat, kurang memerlukan latihan, mampu
menyelesaikan pekerjaannya dalam waktu yang singkat, mampu menarik
kesimpulan dan melakukan abstraksi.
Intelegensi Majemuk menurut Gardner
Howard Gardner (1999) menyatakan bahwa orang memiliki
kemampuan yang berbeda-beda, atau disebut juga intelegensi majemuk
(multiple intelligence) yang relative independen satu sama lain. Gardner
berpendapat bahwa berbagai intelegensi memiliki manifestasi yang
berbeda-beda dalam budaya-budaya yang berbeda. Gadner menyajikan
bukti untuk mendukung adanya intelegensi majemuk. Sebagai contoh, ia
mendeskripsikan orang yang sangat terampil dalam suatu bidang,
misalnya dalam membuat komposisi music, namun ahaknya memiliki
kemampuan rata-rata dalam bidang-bidang lainnya.
Tabel intelegensi majemuk menurut Gardner
Jenis intelegensi Contoh perilaku yang relevan
Intelegensi bahasa: Berargumentasi secara persuasive
8
Kemampuan berbahasa secara efektif Menulis puisi Memperhatikan nuansa-nuansa halus
dalam makna kataIntelegensi spasial:
Kemampuan memperhatikan detail-detail pada hal-hal yang dilihat, membayangkan, dan memanipulasi objek-objek visual dalam benak seseorang
Menggabungkan bayangan2 mental Menggambar sebuah objek secara
mirip Membuat perbedaan yang halus
diantara objek-objek secara visual mirip
Intelegensi logika-matematika:
Kemampuan bernalar secara logis, khususnya dalam bidang matematika dan sains
Memecahkan soal-soal matematika secara cepat
Menghasilkan pembuktian matematis Merumuskan dan menguji hipotesis
mengenai gejala yang diobservasiIntelegensi music:
Kemampuan menciptakan, memahami, dan menghargai musik
Memainkan instrument music Membuat komposisi karya music Memiliki kesadaran yang tajam
mengenai struktur yang melandasi musik
Intelegensi ragawi:
Kemampuan menggunakan tubuh secara terampil
Berdansa Bermain bola basket Bermain pantomim
Intelegensi interpersonal:
Kemampuan memperhatikan aspek-aspek yang halus dan tidak kentara (subtle) dari perilaku orang lain
Membaca suasana hati orang lain Mendeteksi maksud dan hasrat orang
lain Menggunakan pengetahuan
mengenai orang lain untuk mempengaruhi pikiran dan perilakunya
Intelegensi intrapersonal:
Kesadaran terhadap perasaan, motif, dan hasrat sendiri
Membedakan emosi-emosi yang mirip seperti sedih dan menyesal
Mengidentifikasi motif-motif yang menggambarkan perilakunya sendiri
Menggunakan pengetahuan mengenai diri sendiri agar dapat berelasi secara lebih efektif dengan orang lain
Intelegensi naturalis:
Kemampuan mengenali pola-pola di alam dan perbedaan-perbedaan diantara berbagai bentuk kehidupan dan objek-objek alami
Mengidentifikasi anggota-anggota dari spesies tumbuhan atau hewan tertentu
Mengklasifikasikan bentuk-bentuk alam (seperti batu, jenis-jenis gunung)
Menerapkan kemampuan yang dimiliki mengenai alam dalam
9
aktivitas-aktivitas seperti bertani, semi bertanam, dan melatih hewan
B. Perbedaan Individu dari Aspek Gaya Belajar
Belajar merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi dan
berperan penting dalam pembentukan pribadi dan perilaku individu.
Sebagian besar perkembangan individu berlangsung melalui kegiatan
belajar. Ausubel membedakan belajar menjadi dua, yakni belajar
menerima dan belajar menemukan. Pada belajar menerima, bentuk akhir
dari sesuatu yang diajarkan itu diberikan, sedangkan belajar menemukan
bentuk akhir itu harus dicari sendiri oleh siswa.
Selain itu, Ausubel (dalam Dahar, 1989) juga membedakan antara
belajar bermakna dan belajar menghafal. Belajar bermakna adalah suatu
proses dimana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian
yang sudah dimiliki siswa yang sedang belajar. Sedangkan belajar
menghafal diperlukan untuk memperoleh informasi baru, seperti definisi,
teorema, posutulat, dan dalil. Menurut teori belajar bermakna, belajar
menerima dan belajar menemukan keduanya dapat menjadi belajar
bermakna apabila konsep baru atau informasi baru dikaitkan dengan
konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitif siswa. Dalam
penelitian ini, teori belajar David Ausubel berhubungan erat ketika
menyusun hasil temuan atau hasil diskusi kelompok, mereka selalu
mengaitkan dengan pengertian-pengertian yang telah mereka miliki
sebelumnya.
10
Pada prinsipnya, tidak ada dua individu yang memiliki kecerdasan
sama. Suatu individu mengaku belajar lebih baik dengan satu cara
tertentu, sebagian yang lain mengaku bisa belajar dengan cara yang lain
pula. Setiap orang memiliki gaya belajar yang unik. Tidak ada suatu gaya
belajar yang lebih baik atau lebih buruk daripada gaya belajar yang lain.
Tidak ada individu yang berbakat atau tidak berbakat. Setiap individu
secara potensial pasti berbakat, tetapi ia mewujud dengan cara yang
berbeda-beda. Tidak ada individu yang pintar, individu yang bodoh. Ada
individu yang cerdas secara logika-matematika, namun ada juga individu
yang cerdas di bidang kesenian. Pandangan-pandangan baru yang
bertolak dari teori Howard Gardner mengenai inteligensi ini telah
membangkitkan gerakan baru pembelajaran, antara lain dalam hal
melayani keberbedaan gaya belajar pebelajar. Suatu cara pandang baru
inilah yang mengakui keunikan setiap individu manusia.
Secara umum, gaya belajar dapat dikelompokkan berdasarkan
kemudahan dalam menyerap informasi (perceptual modality), cara
memproses informasi (information processing), dan karakteristik dasar
kepribadian (personality pattern). Pengelompokan berdasarkan perceptual
modality didasarkan pada reaksi individu terhadap lingkungan fisik dan
cara individu menyerap data secara lebih efisien. Pengelompokan
berdasarkan information processing didasarkan pada cara individu
merasa, memikirkan, memecahkan masalah, dan mengingat informasi.
Sedangkan pengelompokan berdasarkan personality pattern didasarkan
pada perhatian, emosi, dan nilai-nilai yang dimiliki oleh individu.
11
Berdasarkan kemampuan yang dimiliki otak dalam menyerap,
mengelola dan menyampaikan informasi, maka cara belajar individu dapat
dibagi dalam 3 (tiga) kategori. Ketiga kategori tersebut adalah cara belajar
visual, auditorial dan kinestetik yang ditandai dengan ciri-ciri perilaku
tertentu. Pengkategorian ini tidak berarti bahwa individu hanya yang
memiliki salah satu karakteristik cara belajar tertentu sehingga tidak
memiliki karakteristik cara belajar yang lain. Pengkategorian ini hanya
merupakan pedoman bahwa individu memiliki salah satu karakteristik
yang paling menonjol sehingga jika ia mendapatkan rangsangan yang
sesuai dalam belajar maka akan memudahkannya untuk menyerap
pelajaran. Dengan kata lain jika sang individu menemukan metode belajar
yang sesuai dengan karakteristik cara belajar dirinya maka akan cepat ia
menjadi "pintar" sehingga kursus-kursus atau pun les private secara
intensif mungkin tidak diperlukan lagi.
Menurut DePorter dan Hernacki (2002), gaya belajar adalah
kombinasi dari menyerap, mengatur, dan mengolah informasi. Terdapat
tiga jenis gaya belajar berdasarkan modalitas yang digunakan individu
dalam memproses informasi (perceptual modality), yaitu:
1. Gaya Belajar Visual (Visual Learners)
Seorang individu yang biasa berbicara cepat dan melirik keatas
bila berbicara, biasanya memiliki gaya belajar visual. Oleh karena
mata/penglihatan yang memegang peranan penting bagi individu yang
dominan di visual, maka ia akan lebih cepat menyerap suatu informasi
melalui tampilan-tampilan visual seperti media gambar, video,
diagram, penggunaan alat peraga, dan warna. Individu ini harus 12
melihat bahasa tubuh dan ekspresi muka orang yang memberikan
informasi (bisa guru atau orangtua) untuk dapat mengerti informasi
yang disampaikan oleh lawan bicaranya.
Gaya belajar visual menitikberatkan pada ketajaman
penglihatan. Artinya, bukti-bukti konkret harus diperlihatkan terlebih
dahulu agar mereka paham. Gaya belajar seperti ini mengandalkan
penglihatan atau melihat dulu buktinya untuk kemudian bisa
mempercayainya. Ada beberapa karakteristik yang khas bagi orang-
orang yang menyukai gaya belajar visual ini, yaitu: (1) kebutuhan
melihat sesuatu (informasi/pelajaran) secara visual untuk
mengetahuinya atau memahaminya, (2) memiliki kepekaan yang kuat
terhadap warna, (3) memiliki pemahaman yang cukup terhadap
masalah artistik, (4) memiliki kesulitan dalam berdialog secara
langsung, (5) terlalu reaktif terhadap suara, (6) sulit mengikuti anjuran
secara lisan, (7) seringkali salah menginterpretasikan kata atau
ucapan.
Sedangkan karakteristik perilaku individu dengan gaya belajar
visual, antara lain:
1. rapi dan teratur (mementingkan penampilan)
2. berbicara dengan cepat
3. mampu membuat rencana jangka pendek dengan baik
4. teliti dan rinci
5. lebih mudah mengingat apa yang dilihat daripada apa yang
didengar
6. mengingat sesuatu berdasarkan asosiasi visual13
7. memiliki kemampuan mengeja huruf dengan sangat baik
8. biasanya tidak mudah terganggu oleh keributan atau suara berisik
ketika sedang belajar
9. sulit menerima instruksi verbal (oleh karena itu seringkali ia minta
instruksi secara tertulis)
10. merupakan pembaca yang cepat dan tekun
11. lebih suka membaca daripada dibacakan
12. dalam memberikan respon terhadap segala sesuatu, ia selalu
bersikap waspada, membutuhkan penjelasan menyeluruh tentang
tujuan dan berbagai hal lain yang berkaitan.
13. jika sedang berbicara di telpon ia suka membuat coretan-coretan
tanpa arti selama berbicara
14. lupa menyampaikan pesan verbal kepada orang lain
15. sering menjawab pertanyaan dengan jawaban singkat "ya" atau
"tidak’
16. lebih suka mendemonstrasikan sesuatu daripada
berpidato/berceramah
17. lebih tertarik pada bidang seni (lukis, pahat, gambar) daripada
musik
18. seringkali tahu apa yang harus dikatakan, tetapi tidak pandai
menuliskan dalam kata-kata
Ciri-ciri gaya belajar visual ini yaitu :
1. Cenderung melihat sikap, gerakan, dan bibir guru yang sedang
mengajar
2. Bukan pendengar yang baik saat berkomunikasi14
3. Saat mendapat petunjuk untuk melakukan sesuatu, biasanya akan
melihat teman-teman lainnya baru kemudian dia sendiri yang
bertindak
4. Tak suka bicara didepan kelompok dan tak suka pula mendengarkan
orang lain. Terlihat pasif dalam kegiatan diskusi.
5. Kurang mampu mengingat informasi yang diberikan secara lisan
6. Lebih suka peragaan daripada penjelasan lisan
7. Dapat duduk tenang ditengah situasi yang ribut dan ramai tanpa
terganggu.
Strategi untuk mempermudah proses belajar anak visual:
1. Gunakan materi visual seperti, gambar-gambar, diagram dan peta.
2. Gunakan warna untuk menandai bagian-bagian atau hal-hal
penting.
3. Ajak anak untuk membaca buku-buku berilustrasi.
4. Gunakan multi-media (contohnya: komputer dan video).
5. Ajak anak untuk mencoba mengilustrasikan ide-idenya ke dalam
gambar atau menggunakan metode mind-mapping.
2. Gaya Belajar Auditori (Auditory Learners)
Seorang individu yang bicaranya sedang-sedang saja
(tidakterlalu cepat dan tidak terlalu lambat) dan melirik ke kiri/ke
kanan ketika berbicara, biasanya memiliki gaya belajar auditori.
Telinga adalah organ tubuh yang paling penting dalam penyerapan
dan pemprosesan informasi bagi individu dengan gaya belajar auditori.
Oleh karena itu, individu ini akan lebih mudah dan cepat menyerap
15
suatu informasi melalui kegiatan diskusi atau mendengarkan orang
lain (guru atau orangtua) berbicara. Individu ini peka dengan nada
suara, tinggi rendahnya suara, dan kecepatan bicara. Sedangkan,
informasi tertulis akan memberikan makna yang sangat terbatas bagi
individu dengan gaya belajar ini.
Gaya belajar ini mengandalkan pada pendengaran untuk bisa
memahami dan mengingatnya. Karakteristik model belajar seperti ini
benar-benar menempatkan pendengaran sebagai alat utama
menyerap informasi atau pengetahuan. Artinya, anak harus
mendengar, baru kemudian dia bisa mengingat dan memahami
informasi itu.
Karakteristik yang khas bagi orang-orang yang menyukai gaya
belajar auditori ini, yaitu: (1) orang yang memiliki gaya belajar ini
adalah semua informasi hanya bisa diserap melalui pendengaran, (2)
memiliki kesulitan untuk menyerap informasi dalam bentuk tulisan
secara langsung, (3) memiliki kesulitan menulis ataupun membaca.
Sedangkan karakteristik perilaku individu dengan gaya belajar
auditori, antara lain:
1. sering berbicara sendiri ketika sedang bekerja
2. mudah terganggu oleh keributan atau suara berisik
3. lebih senang mendengarkan (dibacakan) daripada membaca
4. jika membaca maka lebih senang membaca dengan suara keras
5. dapat mengulangi atau menirukan nada, irama dan warna suara
6. mengalami kesulitan untuk menuliskan sesuatu, tetapi sangat
pandai dalam bercerita16
7. berbicara dalam irama yang terpola dengan baik
8. berbicara dengan sangat fasih
9. lebih menyukai seni musik dibandingkan seni yang lainnya
10. belajar dengan mendengarkan dan mengingat apa yang
didiskusikan daripada apa yang dilihat
11. senang berbicara, berdiskusi dan menjelaskan sesuatu secara
panjang lebar
12. mengalami kesulitan jika harus dihadapkan pada tugas-tugas yang
berhubungan dengan visualisasi
13. lebih pandai mengeja atau mengucapkan kata-kata dengan keras
daripada menuliskannya
14. lebih suka humor atau gurauan lisan daripada membaca buku
humor/komik.
Gaya belajar auditori memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Mampu mengingat dengan baik penjelasan guru di depan kelas,
atau materi yang didiskusikan dalam kelompok/ kelas
2. Pendengar ulung: anak mudah menguasai materi iklan/lagu di
televisi/radio
3. Cenderung banyak bicara
4. Tak suka membaca dan umumnya memang bukan pembaca yang
baik karena kurang dapat mengingat dengan baik apa yang baru
saja dibacanya
5. Kurang cakap dalam mengerjakan tugas mengarang/menulis
6. Senang berdiskusi dan berkomunikasi dengan orang lain
17
7. Kurang tertarik memperhatikan hal-hal baru di lingkungan
sekitarnya, seperti hadirnya anak baru, adanya papan
pengumuman di pojok kelas.
Strategi untuk mempermudah proses belajar anak auditori:
1. Menghafal akan lebih cepat dengan cara membaca materi dengan
diucapkan keras-keras (sehingga terdengar kembali oleh
telinganya).
2. Ajak anak untuk ikut berpartisipasi dalam diskusi baik di dalam
kelas maupun di dalam keluarga.
3. Gunakan musik untuk mengajarkan anak.
4. Diskusikan ide dengan anak secara verbal.
5. Biarkan anak merekam materi pelajarannya kedalam kaset dan
dorong dia untuk mendengarkannya sebelum tidur.
3. Gaya Belajar Kinestetik
Individu yang berbicara lambat dan saat berbicara lebih sering
melirik ke bawah, biasanya mempunyai gaya belajar kinestetik.
Individu ini menyerap informasi melalui menyentuh, bergerak, dan
melakukan sesuatu. Oleh karena itu, individu yang gaya belajar
kinestetik ini sulit untuk diam berjam-jam (misalnya duduk diam di
dalam kelas berjam-jam).
Gaya belajar kinestetik mengharuskan individu yang
bersangkutan, menyentuh sesuatu yang memberikan informasi
tertentu agar ia bisa mengingatnya. Karakteristik yang khas bagi
orang-orang yang menyukai gaya belajar kinestetik ini adalah 18
menempatkan tangan sebagai alat penerima informasi utama agar
bisa terus mengingatnya. Hanya dengan memegangnya saja,
seseorang yang memiliki gaya ini bisa menyerap informasi tanpa harus
membaca penjelasannya.
Sedangkan karakteristik perilaku individu dengan gaya belajar
kinestetik, antara lain:
1. berbicara dengan perlahan
2. menanggapi perhatian fisik
3. menyentuh orang lain untuk mendapatkan perhatian mereka
4. berdiri dekat ketika sedang berbicara dengan orang lain
5. banyak gerak fisik
6. memiliki perkembangan otot yang baik
7. belajar melalui praktek langsung atau manipulasi
8. menghafalkan sesuatu dengan cara berjalan atau melihat langsung
9. menggunakan jari untuk menunjuk kata yang dibaca ketika sedang
membaca
10. banyak menggunakan bahasa tubuh (non verbal)
11. tidak dapat duduk diam di suatu tempat untuk waktu yang lama
12. sulit membaca peta kecuali ia memang pernah ke tempat tersebut
13. menggunakan kata-kata yang mengandung aksi
14. pada umumnya tulisannya jelek
15. menyukai kegiatan atau permainan yang menyibukkan (secara
fisik)
16. ingin melakukan segala sesuatu.
Ciri-ciri gaya belajar kinestetik ini antara lain:19
1. Menyentuh segala sesuatu yang dijumpainya, termasuk saat belajar
2. Sulit berdiam diri atau duduk manis, selalu ingin bergerak
3. Mengerjakan segala sesuatu yang memungkinkan tangannya aktif.
Contoh: saat guru menerangkan pelajaran, dia mendengarkan
sambil tangannya asyik menggambar
4. Suka menggunakan objek nyata sebagai alat bantu belajar
5. Sulit menguasai hal-hal abstrak seperti peta, symbol dan lambing
6. Menyukai praktek/percobaan
7. Menyukai permainan dan aktivitas fisik
Strategi untuk mempermudah proses belajar anak kinestetik:
1. Jangan paksakan anak untuk belajar sampai berjam-jam.
2. Ajak anak untuk belajar sambil mengeksplorasi lingkungannya
(contohnya: ajak dia baca sambil bersepeda, gunakan obyek
sesungguhnya untuk belajar konsep baru).
3. Izinkan anak untuk mengunyah permen karet atau sediakan
camilan pada saat belajar.
4. Gunakan warna terang untuk menandai bagian-bagian atau hal-hal
penting dalam bacaan.
5. Izinkan anak untuk belajar sambil mendengarkan musik.
Setiap individu menggunakan semua indera dalam menyerap
informasi. Tetapi, secara umum, individu mempunyai kecenderungan lebih
kuat pada salah satu gaya belajar. Sebagian individu mudah menangkap
informasi dalam bentuk visual, sebagian yang lain menyukai informasi
20
bentuk verbal dan sebagian yang lain lebih nyaman dengan cara aktif dan
interaktif.
Dengan mengetahui gaya belajar yang dimiliki anak, maka guru
maupun orangtua dapat menentukan cara-cara atau strategi
pembelajaran yang sesuai. Guru dapat memberikan materi-materi
pelajaran dengan metode yang bervariasi disesuaikan dengan gaya
belajar tiap-tiap anak di kelasnya. Sedangkan orangtua dapat
mendampingi anak belajar dengan metode-metode yang juga disesuaikan
dengan gaya belajar anak, sehingga penyerapan materi dan proses belajar
anak pun menjadi optimal serta efektif.
Temuan Riset Gaya Belajar
Beberapa penelitian yang mengungkapkan tentang gaya belajar
seorang pebelajar dalam proses pembelajaran, telah dilakukan para ahli.
Uraian mengenai temuan riset para ahli adalah sebagai berikut:
a. Penelitian di Amerika Serikat yang dilakukan oleh Profesor Ken dan
Rita Dunn dari Universitas St. John, di Jamaica, New York, dan para
pakar Pemrograman Neuro-Linguistik seperti, Richard Bandler, John
Grinder, dan Michael Grinder, telah mengidentifikasi tiga gaya belajar
dan komunikasi yang berbeda:
Visual. Belajar melalui melihat sesuatu. Kita suka melihat gambar
atau diagram. Kita suka pertunjukan, peragaan atau menyaksikan
video;
Auditori. Belajar melalui mendengar sesuatu. Kita suka
mendengarkan kaset audio, ceramah-kuliah, diskusi, debat dan
instruksi (perintah) verbal; dan 21
Kinestetik. Belajar melalui aktivitas fisik dan keterlibatan
langsung. Kita suka “menangani”, bergerak, menyentuh dan
merasakan/mengalami sendiri. (Rose & Nicholl, 2002).
b. Grinder dalam penelitiannya menyatakan bahwa dari setiap 30 siswa,
22 di antaranya rata-rata dapat belajar secara efektif selama gurunya
menghadirkan kegiatan belajar yang mengkombinasikan antara
visual, auditorial, dan kinestetik. Namun 8 siswa sisanya sedemikian
menyukai salah satu bentuk pengajaran dibanding dua lainnya
sehingga mereka mesti berupaya keras untuk memahami pelajaran
bila tidak ada kecermatan dalam menyajikan pelajaran sesuai dengan
cara yang mereka sukai. Untuk memenuhi kebutuhan ini, pengajaran
harus bersifat multisensori dan penuh dengan variasi (Silberman,
2006).
c. Lynn O’Brien, Direktur Studi Diagnostik Spesifik Rickville, Maryland,
melakukan studi yang dilakukan lebih dari 5.000 siswa di Amerika
Serikat, Hongkong, dan Jepang, kelas 5 hingga 12. Hasil studi yang
diperoleh menunjukkan kecenderungan belajar berikut: Visual
sebanyak 29%, Auditori sebanyak 34%, dan Kinestetik sebanyak 37%.
Namun, pada saat mereka mencapai usia dewasa, kelebihsukaan
pada gaya belajar visual ternyata lebih mendominasi, menurut
tersebut (Rose & Nicholl, 2002).
d. Hudson melakukan penelitian gaya kognitif kepada para pebelajar di
London yang menemukan bahwa 30% subjek penelitian memiliki
gaya konvergen, 30% memiliki gaya divergen, dan 40% memiliki gaya
campuran divergen-konvergen. Hudson juga menemukan bahwa para 22
pebelajar dari domain seni, termasuk desain, cenderung bergaya
divergen, sementara itu para pebelajar dari domain sains cenderung
bergaya konvergen. Ia menunjukkan bahwa para pebelajar dari
domain seni cenderung lebih bebas menggunakan imajinasi mereka
mengenai kegunaan-kegunaan berbeda dari suatu objek tertentu
karena mereka merasa tidak terikat untuk bersikap praktis.
Sebaliknya, para pebelajar domain sains lebih cenderung memikirkan
kegunaan yang benar dari suatu objek serta terhambat untuk
melakukan saran yang tidak praktis.
C. Perbedaan Individu dari Aspek Kepribadian
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kepribadian adalah sifat
hakiki yang tercermin pada sikap seseorang atau suatu bangsa yang
membedakan dari orang/bangsa lain. Dengan demikian kepribadian
merupakan suatu ciri-ciri individu/kelompok yang tampak dapat dilihat
berdasarkan sikap atau perilaku seseorang/suatu bangsa.
Menurut Santrock (2008), kepribadian merujuk pada pemikiran,
emosi, dan perilaku tersendiri yang menggambarkan cara individu
beradaptasi dengan dunia. Konsep interaksi individu-situasi menyatakan
bahwa cara terbaik untuk menggambarkan kepribadian individu bukanlah
dari sifat-sifatnya saja, tetapi juga dari sifat dan situasi yang terlibat.
Dalam psikologi kontemporer, Model Big Five oleh Lewis Goldberg
atau biasa disebut “Lima Besar” faktor (atau Lima Faktor Model, FFM)
kepribadian adalah lima domain yang luas atau dimensi kepribadian yang
digunakan untuk menggambarkan kepribadian manusia. Model Lima
23
Faktor adalah model kepribadian deskriptif, psikolog telah
mengembangkan sejumlah teori untuk menjelaskan Big Five. ”Lima besar”
faktor memberi para guru sebuah kerangka kerja untuk memikirkan
karakteristik kepribadian seorang siswa. Model Big Five oleh Lewis
Goldberg terbagi menjadi:
1. Extraversion, Senantiasa ingin bergerak dan mengikuti stimulus yang
diterima sementara ada pula yang bersikap pasif dan menjauhi apapun
stimulus dalam dirinya.
Extraversion Introversion• Menikmati keberadaan bersama
org lain
•Antusias
•Suka bicara dalam kelompok
•Penuh energi
•Menarik diri dari dunia sosial
•Kurang gembira
•Aktifitas rendah
•Cenderung tenang
•Kurang energi
2. Agreeableness, Senantiasa senang berkawan, menghormati
pandangan orang lain dan senantiasa ingin menjalin hubungan yang
baik dengan semua orang, sementara ada pula yang terlalu agresif,
egois atau hanya tahu dirinya saja yang betul dan tidak mau
mengalah.
Agreeable Disagreeable•Penuh perhatian
•Bersahabat
•Dermawan
•Suka menolong
•Mau menyesuaikan keinginannya
dengan orang lain
•Kurang perhatian pada orang
lain
•Mudah curiga
•Kurang bersahabat
•Kurang kooperatif
•Menempatkan keinginannya di
atas orang lain
24
3. Conscientiousness, Senantiasa bertanggungjawab, selalu merancang
dan merencanakan dengan baik, sebaliknya ada pula yang bersikap
acuh tak acuh dalam semua masalah, menyerahkan segalanya tanpa
mencoba untuk merancang apa-apa dan sentiasa tidak relevan dalam
tindakan yang diambil.
Conscientious Unconscientious•Perencanaan yang penuh tujuan
•Orang yang cerdas
•Dapat dipercaya
•Perfeksionis
•Pekerja keras yang kompulsif
•Sulit dipercaya
•Kurang ambisi
•Cepat menyerah
•Mengalami kesenangan
jangka pendek
•Tidak kaku
4. Neoroticism, Senantiasa beremosi, menghadapi masalah dengan
emosi yang agak keterlaluan sementara dalam masa yang sama ada
pula yang senantiasa tenang dan optimis dalam segala tindakannya.
Neoroticism tinggi Neoroticism rendah
• Mudah mengalami beberapa
emosi negatif
•Reaktif secara emosional
•Mudah frustrasi
•Bad mood
•Tidak mudah terganggu
•Cenderung tenang
•Emosi stabil
•Bebas dari emosi negatif yang
menetap
5. Opennes to experience, Senantiasa bersikap terbuka, menerima
segala idea baru yang baik untuk dicoba sedang ada yang agak kaku
dalam bertidak, tidak mau menerima pembaharuan.
25
Opennes to experience tinggiOpennes to experience
rendah•Selalu ingin tahu
•Memiliki apresiasi terhadap seni
•Tidak konvensional
•Minat sempit
•Sederhana
•Membingungkan
•konvensional
Jung seorang ahli penyakit jiwa dari Swiss, membuat pembagian
tipe-tipe manusia menjadi dua tipe. Yang menjadi dasar tipologi Jung ialah
arah perhatian manusia. Ia mengatakan bahwa perhatian manusia tertuju
kepada dua arah, yakni keluar dirinya disebut extrovert dank ke dalam
dirinya disebut introvert.
1. Tipe extrovert; orang yang perhatiannya lebih diarahkan keluar
dirinya, kepada oang lain, kepada masyarakat.
2. Tipe introvert; orang yang perhatiannya lebih mengarah kepada
dirinya, kepada ‘aku’nya.
Extrovert Introvert lancar, lincah dalam bicara
bebas dari
kekhawatiran/kecemasan
tidak cepat malu dan tidak
canggung
umumnya bersifat konservatif
mempunyai minat pada atletik
dipengaruhi oleh data objektif
ramah dan suka berteman
suka bekerja sama dengan orang
lain
kurang mempedulikan
Lebih lancar menulis dari pada
berbicara
Cenderung diliputi
kekhawatiran/kecemasan
cepat malu dan canggung
cenderung bersifat radikal
suka membaca buku2 dan majalah
lebih dipengaruhi oleh perasaan
subjektif
agak tertutup jiwanya
suka bekerja sendiri
sangat menjaga/berhati-hati
26
penderitaan dan milik sendiri
mudah menyesuaikan diri dan
luwes (fleksibel)
terhadap penderitaan dan miliknya
sukar menyesuaikan diri dan kaku
dalam pergaulan
Perbedaan pokok dari kedua tipe itu kadang-kadang kelihatan
nyata, kadang-kadang tidak. Disamping orang yang benar-benar terlihat
sifat-sifat yang menunjukkan tipe extrovert atau introvert, ada pula orang-
orang yang menunjukkan adanya sifat campuran/gabungan dari kedua
tipe tersebut. Bahkan mungkin dikatakan bahwa kebanyakan orang
termasuk ke dalam tipe campuran. Oleh karena itu, di samping adanya
dua tipe tersebut maka ditambahkan lagi dengan tipe ambivert yang
berarti tipe campuran antara extrovert dan introvert.
D. Implikasi perbedaan Individu dalam Pembelajaran
Program percepatan (acceleration), yaitu pemberian
pelayanan pendidikan sesuai dengan potensi kecerdasan dan bakat
istimewa yang dimiliki oleh siswa, dengan memberikan
kesempatan kepada mereka untuk dapat menyelesaikan program
reguler dalam angka waktu yang lebih singkat dibandingkan
teman-temannya.
Remedial, yaitu pemberian layanan pendidikan kepada siswa yang
mengalami kesulitan/hambatan dengan memberikan pelajaran dan
atau tugas tambahan sehingga mereka dapat menyelesaikan
program sesuai dengan waktu yang ditentukan.
Program Pengayaan (enrichment), yaitu pemberian layanan
pendidikan sesuai dengan potensi kecerdasan yang dimiliki siswa,
dengan penyediaan kesempatan dan fasilitas belajar tambahan
27
yang bersifat perluasan/ pendalaman, setelah ybs menyelesaikan
tugas-tugas yag diprogramkan untuk siswa lainnya.
Implikasi perbedaan individu dalam pembelajaran dapat dijabarkan
sebagai berikut:
1. Menggunakan pendekatan pembelajaran ekletik dan fleksibel; disertai
penggunaan multimedia dan multimetode
2. Memahami pilihan gaya belajar siswa kemudian menyediakan
lingkungan belajar yang mendukung gaya belajar mereka.
3. Memberikan pengalaman-pengalaman belajar yang menggabungkan
pilihan cara belajar siswa, menggunakan metode mangajar, insentif,
alat, dan situasi yang direncanakan sesuai dengan pilihan siswa.
4. Gunakan kombinasi cooperative learning, pembelajaran individual, dan
pembelajaran kelompok, atau antara aktifitas-aktifitas belajar yang
berpusat pada guru dengan pembelajaran yang berpusat pada siswa.
5. Berikan waktu yang cukup untuk memproses dan memahami
informasi.
6. Gunakan alat-alat multi sensory untuk memproses, mempraktekkan
dan memperoleh informasi.
28
BAB III
PENUTUP
1. Perbedaan Induvidu dalam Intelegensi
Anak-anak berbeda dalam tingkat kecerdasannya. Howard Gardner
(1999) menyatakan bahwa orang memiliki kemampuan yang berbeda-
beda, atau disebut juga intelegensi majemuk (multiple intelligence)
yang relative independen satu sama lain. Gardner membagi
intelegensi menjadi 8 bagian yaitu Intelegensi bahasa, Intelegensi
spasial, Intelegensi logika-matematika, Intelegensi music, Intelegensi
ragawi, Intelegensi interpersonal, Intelegensi intrapersonal, Intelegensi
naturalis.
2. Perbedaan Individu dalam Gaya Belajar
Menurut DePorter dan Hernacki (2002), gaya belajar adalah
kombinasi dari menyerap, mengatur, dan mengolah informasi.
Terdapat tiga jenis gaya belajar berdasarkan modalitas yang
digunakan individu dalam memproses informasi (perceptual modality),
yaitu: visual, auditori, dan kinestetik.
3. Perbedaan Individu dalam Kepribadian
Menurut Santrock (2008), kepribadian merujuk pada pemikiran,
emosi, dan perilaku tersendiri yang menggambarkan cara individu
beradaptasi dengan dunia. Lewis Goldberg mengembangkan Model Big
29
Five untuk membagi jenis kepribadian anak, yaitu extraversion,
agreeableness, conscientiousness, neuroticism, openness to
expeience.
4. Implikasi Perbedaan Individu dalam Pembelajaran
Adanya perbedaan individu dari berbagai aspek telah memberikan
pengaruh bagi pendidikan di Indonesia. Adanya pengaruh tersebut
maka dikembangkan program-program pembelajaran untuk
memberikan layanan pembelajaran bagi anak-anak yang memiliki
perbedaan, diantaranya program percepatan (acceleration), program
remedial, dan program pengayaan (enrichment).
30
DAFTAR PUSTAKA
http://belajarpsikologi.com/macam-macam-gaya-belajar.html. Diakses pada tanggal 28 September 2012.
https://prayudi.wordpress.com/2007/11/27/gaya-belajar-individu.html. Diakses pada tanggal 28 September 2012.
http://masthoni.wordpress.com/2009/08/25/mengenali-keunikan-gaya-belajar-individu.html. Diakses pada tanggal 28 September 2012.
Dahar, Ratna Willis. 1988. Teori-teori Belajar. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: Jakarta.
Dalyono. M. 2007. Psikologi Pendidikan. Rineka Cipta: Jakarta.
DePorter, Bobbi & Hernacki, Mike. 2007. Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan. Terjemahan Alwiyah Abdurrahman. 2007. Kaifa: Bandung.
Ormorod, E Jeanne. 2008. Psikologi Pendidikan – Membantu Siswa tumbuh dan Berkembang. Jilid 1. Erlangga: Jakarta.
Purwanto, Ngalim. 2007. Psikologi Pendidikan. Remaja Rosdakarya: Bandung.
Rose, Colin & Nicholl, Malcolm J. 1997. Accelerated Learning for the 21st Century, Cara Belajar Cepat Abad XXI. Terjemahan oleh Dedy Ahimsa. 2002. Nuansa: Bandung.
Silberman, Melvin L. 1996. Active Learning: 101 Cara Belajar Siswa Aktif. Terjemahan oleh Raisul Muttaqien. 2006. Nusamedia: Bandung.
Santrock, Jhon W. 2008. Psikologi Pendidikan. Erlangga: Jakarta.
31
Suryabrata, S. 2010.Psikologi Pendidikan. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
32
top related