referat endometriosis intan permata sari 20100310161
Post on 11-Jan-2016
57 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
1
REFERAT
Diet and endometriosis risk: A literature review
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di
Bagian Obstetri dan Ginekologi Rumah Sakit Umum Daerah Panembahan Senopati
Bantul
Diajukan Kepada :
dr. I Nyoman Tritia Widiantara, Sp.OG
Disusun oleh :
Intan Permata Sari
20100310161
SMF OBSTETRI GINEKOLOGI
RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2015
2
HALAMAN PENGESAHAN
REFERAT
Diet and endometriosis risk: A literature review
Disusun oleh:
Intan Permata Sari
20100310161
Telah dipresentasikan pada:
29 Juni 2015
Bantul, 29 Juni 2015
Menyetujui dan mengesahkan,
Pembimbing
dr. I Nyoman Tritia Widiantara, Sp.OG
3
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN ..........................................................................................................4
A. LATAR BELAKANG .........................................................................................4
B. TUJUAN .............................................................................................................6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................................7
A. ENDOMETRIOSIS .............................................................................................7
1. Definisi ............................................................................................................7
2. Patofisiologi ....................................................................................................7
3. Gejala Klinis .................................................................................................. 10
4. Pembagian derajat dan lokasi lesi endometriosis............................................. 11
5. Penegakan Diagnosis ..................................................................................... 12
6. Tatalaksana Nyeri Endometriosis ................................................................... 16
B. DIET ................................................................................................................. 19
1. Energi................................................................................................................ 19
2. Protein ........................................................................................................... 20
3. Cairan ............................................................................................................ 21
4. Mikronutrien .................................................................................................. 21
BAB III
PEMBAHASAN ........................................................................................................... 23
BAB IV KESIMPULAN ............................................................................................... 29
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 30
4
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Endometriosis adalah kelainan ginekologi yang ditandai dengan adanya
stroma dan kelenjar mirip endometrium pada jaringan diluar rongga uterus,
endometriosis banyak diderita oleh perempuan pada usia reproduksi, yang terkait
dengan keluhan infertilitas dan atau nyeri pelvik yang berat dapat saja tampil
dengan stadium klinik endometriosis derajat ringan atau dapat pula tampil
sebaliknya. Gejala nyeri pada endometriosis dapat pula berkaitan dengan penyakit
lain seperti sindrom iritasi usus, sistisis, fibromyalgia, da migrain. Derajat
keparahan nyeri haid yang dialami oleh penderita endometriosis ini berkorelasi
negatif dengan kualitas hidup mereka.
Insiden endometriosis sulit untuk diukur, sebagian besar wanita dengan
penyakit ini sering tidak bergejala, dan modalitas pencitraan memiliki kepekaan
rendah untuk diagnosis. Wanita dnegan endometriosis mungkin asimtomatik,
subfertile, atau menderita berbagai tingkat nyeri panggul. Metode utama diagnosis
adalah laparoskopi, dengan atau tanpa biopsi untuk diagnosis histologis.
Endometriosis secara signifikan memberikan pengaruh terhadap
kehidupan wanita, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam produktivitas
kerja. Selain mempengaruhi kesehatan fisik maupaun mental, endometriosis juga
dapat mengurangi produktifitas kerja seorang wanita. Dari penelitian didapatkan
bahwa wanita dengan endometriosis lebih banyak absen saat bekerja
5
dibandingkan dengan wanita yang meiliki gejala namun tanpa endometriosis.
Pasiem endometriosis dapat kehilangan produktivitas kerja sekitar 10,8 per
minggu, dan angkata ini setara dengan US $ 4 di Negeria.
Gizi selain diperlukan pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental
serta kesehatan, gizi diperlukn juga kesehatan untuk fertilitas. Kekurangan nutrisi
pada seseorang akan berdampak penurunan fungsi reproduksi. Apabila seseorang
mengalami anoreksia nervosa maka akan terjadi perubahan hormonal yang
ditandai dengan penuruanan gonadotropin menurun, serta penurunan pola
sekresinya. Pada wanita anoreksia kadar hormon steroid mengalami perbuahan
yaitu meningkatnya testoteron serum dan penurunan ekskresi 17-keto-seteroid
dalam urine, diantaranya androsteron dan epiandrosteron, dampaknya terjadi
perubahan siklus ovulasi.
Dalam beberapa penelitian menyebutkan bahwa diet vegetarian
mempengaruhi siklus menstruasi. Pengaruh diet vegetarian terhadapa hormon
seks telah diteliti, 9 orang vegetarian diberi diet yang mengandung daging
ternyata fase folikulernya memanjang, rata-rata 4,2 hari dan FSH juga meningkat.
Pada wanita yang mengonsumsi diet vegetarian terjadi peningkatam frekuensi
gangguan siklus mentrasi. Sedangkan diet rendah lemak akan menyebabkan 3
efek utama yaitu panjang siklus menstruasi meningkat rata-rata 1,3 hari lamanya
waktu menstruasi meningkat rata-rata 0,5 hari dan fase folikuler meningkat 0,9
hari. Gizi seimbang sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan gizi perhari
dengan asupan zat-zat gizi makanan yang mengandung karbohidrat, protein,
lemak, vitamin, mineral, dan air. Kebutuhan gizi orang dewasa dengan berat
normal adalah sekitar 2000-2200 Kkal perhari.
6
Peranan gizi yang ikut andil dalam proses fisiologi dan patologis yang
berhubungan dengan penyakit seperti peradangan, aktivitas esterogen, siklus
menstruasi, beban organoklorin dan metabolisme dalam prostagladin dapat
dipengaruhi oleh diet (Missmer dkk, 2010). Keterkaitan diet dengan angka
terjadinya endometriosis akan dilakukan dalam penelitian ini. Beberapa penelitian
menunjukan adanya ikatan yang kuat terhadap kelebihan lemak dan angka
terjadinya endometrisos. Zat-zat insektisida yang menempel pada buah-buahan
dan sayur-sayuran telah dihipotesiskan sejak tahun 1990 sebagai salah satu faktor
resiko ternjadinya endometriosis. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan
ngeluasan secara sistematis, untuk menilai faktor nutrisi dan faktor makanan
dalam keterkaitannya meningkatkan resiko angka terjadinya endometriosis.
B. TUJUAN
Mengetahui hubungan diet sebagai faktor resiko terjadinya endometriosis.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ENDOMETRIOSIS
1. Definisi
Endometrisis adalah gangguan ginekologi jinak umum yang
didefiniskan sebagai adanya jaringan kelenjar endometrium dan stroma di
luar lokasi normal. Endometriosis paling sering ditemukan ada
periotoneum panggul, tetapi dapat juga ditemukan di ovarium, septum
rektovaginal, ureter, namun jarang ditemukan di vesika urinaria,
perikardium, dan pleura (HIFERI, 2013).
2. Patofisiologi
Ada berbagai teori yang mendasarai terjadinya endometriosis ,
seperti teori retrograde dimana diperkirakan terjadinya aliran darah
menstrual ketuba falopii yang akan membawa jaringan endometrium
sehingga dapat menyebabkan penempelan jaringan itu ditempat
menempelnya jaringan endometrium. Namun ada teori terbaru yang
diperkirakan mendasari patogenesis endometrosis, yaitu angiogenesis yang
berlebihan pada endometrium. Terdapat dua permasalahan utama pada
penderita endometriosis yaitu nyeri dan infertilitas. Rasa nyeri dapat
berupa dismenorea, dispareunia, nyeri pelvik di luar hadi, nyeri saat
ovulasi, dikezia dan disuria. Timbulnya nyeri dan infertilitas pada
penderita endometriosis melibatkan tiga mekanisme penting yaitu
8
peningkatan aktivitas aromatase pada biosintesis estrogen, peningkatan
cyclooxygenase-2 (COX-2) pada jalur prostagladin dan resistensi reseptor
progesteron. Oleh karena itu terapi yang dapat bekerja pada tiga jalur
tersebut sangat menjanjikan dalam pengobatan nir invasif endometriosis di
masa depan (Tjancandrawinata, 2013).
a. Aromatase, cyclooxygenase-2 dan 17 β hydroxysteroid dehydrogenase
2
Terdapat peningkatan ekspresi kadar prostaglandin, estradiol dan
progesteron pada lesi endometriosis endometrium perempuan normal
dibandingkan endometrium perempuan dengan endometriosis. Aktivitas
enzim COX-2, aromatase dan produksi prostaglandin E2 (PGE2) lebih
rendah pada endometrium normal dibandingakan endometrium penderita
endometriosis. Pada fase sekresi, progesterone akan berperan sebagai anti
estrogen dengan memicu enzim 17 β hydroxysteroid dehydrogenase 2
(HSD17β2) yang mengkonversi estradiol menjadi estron
(Tjancandrawinata, 2013).
Pada endometrium penderita endometriosis, terdapat peningkatan
aktivitas COX-2 dan aromatase. Sehingga menghambat teraktifasinya
enzim HSD17β2. Kondisi ini menyebabkan kadar estradiol lokal semakin
meningkat. Peningkatan kadar estrogen menyebabkan lesi endometriosis
dapat terus tumbuh dan berkembang sedangkan pengeluaran prostaglandin
dan sitokin merangsang inflamasi, aktivasi serta invasi serat saraf di
sekitar lesi. Akibatnya, timbul rasa nyeri yang hebat pada saat haid
maupun nyeri pelviks yang bersifat kronis. Endometriosis juga
9
menyebabkan infertilitas karena menurunkan kualitas oosit dan
menghambat fertilisasi dan implantasi embrio (Tjancandrawinata, 2013).
Gambar 1. Cyclooxygenase-2 (COX-2), prostaglandin E2 (PGE2), 17 β
hydroxysteroid dehydrogenase 2 (HSD17β2) (Tjancandrawinata, 2013).
b. Epigenetik reseptor estrogen dan pertumbuhan endometriosis
Estradiol merupakan hormon yang berperan penting pada
pertumbuhan dan keberadaan lesi endometriosis serta reaksi inflamasi dan
nyeri. Estradiol mencapai lesi melalui sirkulasi maupun secara lokal untuk
kemudian berfungsi dalam pertumbuhan lesi setelah berikatan dengan
reseptor estrogen (Tjancandrawinata, 2013).
Pada lesi endometriosis dan endometrium penderita endometriosis
terdapat peningkatan 149 kali lebih banyak reseptor estogen (RE)-β
10
sedangkan RE-α hanya meningkat 9 kali. Hal ini disebabkan oleh proses
metilasi promotor RE-β, yakni pada daerah cytosinphosphate-guanine
(CpG). Reseptor estrogen β yang berlebih ini menduduki promotor RE-α
dan menurunkan aktivitasnya. Defisiensi RE-α pada endometriosis
bertanggung jawab terhadap kegagalan estradiol untuk mengekspresikan
reseptor progesteron (PR) sehingga menyebabkan defisiensi PR atau
kondisi yang dikenal sebagai resistensi progeseteron (Tjancandrawinata,
2013).
Kondisi ini menyebabkan lesi endometriosis kemudian gagal
berespon terhadap progesteron sehingga asam retinoat yang berperan
dalam aktivasi HSD17β2 tidak diproduksi. Tingginya reseptor estrogen β
menyebabkan peningkatan aktivasi COX-2 untuk menghasilkan pros-
taglandin E2. Prostaglandin E2 ini memicu ekspresi dari gen faktor steroid
untuk mengaktifkan aromatase yang berfungsi dalam mengubah
androstenedione dari kolesterol menjadi estradiol (Tjancandrawinata,
2013).
3. Gejala Klinis
Gejala klasik dari endometriosis meliputi dysmenorea,
dyspareunia, dyschezia dan atau infertilitas. Menurut penelitian kasus
control di Amerika Serikat, gejala seperti nyeri abdomen, dysmenorrhea,
menorrhagia, dan dyspareunia mempunyai hubungan dengan
endometriosis. Sebanyak 83% wanita dengan endometriosis mengeluhkan
salah satu atau lebih gejala tersebut, sedangkan hanya 29% wanita tanpa
endometriosis yang mengeluhkan gejala tersebut (HIFERI, 2013).
11
Tabel 1. Gejala klinik pasien endometriosis
Gejala endometriosis eksternal :
Kejadian katamenial adalah kejadian yang biasanya terjadi pada
wanita dengan endometriosis. Meskipun kejadian ini jarang terjadi, namun
juga sering menimbulkan permasalahan lainnya. Beberapa katamenial
yang dapat terjadi pada kelainan endometriosis yaitu penumothoraks,
hemoptysis, dan endometriosis pada organ peritoneum lainnya. Kasus
yang telah dilaporkan, terdapat endometriosis pada rektal yang
menyebabkan obstruksi, endometriosis pada kolon sigmoid yang
menyebabkan gejala hampi sama dengan kanker kolon (HIFERI, 2013).
Pada endometriosis yang menyerang organ usus, gejala yang
biasanya timbul meliputi perdarahan, obstruksi usus, namun jarang dengan
perforasi maupun mengarah kepada keganasan. Gejala dapat timbul pada
40% pasien, dan rasa nyeri bervariasi tergantung pada tempat terjadinya
endometriosis. Gejala yang disampaikan oleh pasien seperti nyeri perut,
distensi, diare, konstipasi, dan tenesmus (HIFERI, 2013).
4. Pembagian derajat dan lokasi lesi endometriosis.
Pemabagian derajat keparahan berdasarkan American Society for
Reproductive Medicine (ASRM) pada tahun 1996.
12
5. Penegakan Diagnosis
Penegakan diagnosis pada endometriosis mulai dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Kalsifikasi berdasarkan
sistem skoring revised-AFS (r-AFS). Empat derajat keparahan, yakni :
Stadium I (minimal) : 1-5
Stadium II (ringan) : 6-15
Stadium III (sedang) : 16-40
Stadium IV (berat) : >40
Tabel 2. Klasifikasi Endometriosis menurut ASRM, revisi 1996.
13
Klasifikasi Enzian score dapat juga digunakan sebagai instrumen
untuk mengklasifikasikan endometriosis dengan infiltrasi dalam, terutama
difokuskan pada endometriosis bagian retroperitoneal yang berat. Pada
penelitian ini, didapatkan 58 pasien yang menurut Enzian Score
diklasifikasikan sebagai endometriosis dengan infiltrasi dalam, namun
pada AFS revisi tidak didiagnosis demikian.
14
Gambar 2. Klasifikasi Endometriosis Enzian Score (Fertil-Steril 2011).
15
a. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada endometriosis dimulai dengan melakukan
inspeksi pada vagina menggunakan spekulum, yang dilanjutkan dengan
pemeriksaan bimanual dan palpasi rektovagina. Pemeriksaan bimanual dapat
menilai ukuran, posisi dan mobilitas dari uterus. Pemeriksaan rektovagina
diperlukan untuk mempalpasi ligamentum sakrouterina dan septum
rektovagina untuk mencari ada atau tidaknya nodul endometriosis.
Pemeriksaan saat haid dapat meningkatkan peluang mendeteksi nodul
endometriosis dan juga menilai nyeri (HIFERI, 2013).
b. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan
endometriosis adalah ultrasonogradi transvaginal dan MRI (Magnetic
Resonance Imaging) dan pemeriksaan marka biokimia. Pemeriksaan USG
vaginal merupakan pemeriksaan penunjang lini pertama yang mempunyai
akurasi cukup baik terutama dalam mendeteksi kista endometriosis. USG tidak
memberikan hasil yang baik untuk pemeriksaan endometriosis periotneal.
MRI dapat dipertimbangkan untuk mendiagnosis endometriosis peritoneum.
MRI tidak berguna untuk mendiagnosis atau mengeksklusi endometriosis
peritoneum. Kelainan yang disebabkan inflamasi pada endometrisos dapat
menjadi marka biokimia. Sitokin, interleukin, dan TNF-α mempunyai peran
dalam pathogenesis endometriosis. Pemeriksaan IL-6 telah digunakan untuk
membedakan wanita dengan atau tanpa endometriosis, dan untuk
mengidentifikasi derajat dari endometriosis (HIFERI, 2013).
16
6. Tatalaksana Nyeri Endometriosis
a. Tatalaksana Konservatif Nyeri Endometriosis
Endometriosis dianggap sebagai penyakit yang bergantung pada
esterogen, sehingga salah satu pilihan pengobatan adalah dengn menekan
hormon menggunakan obat-obatan untuk mengobatinya. Saat ini pil
kontrasepsi, progestin, GnRH agonis dan aromatase inhibitor adalah jenis
obat-obatan yang sering dipakai dalam tatalaksana medikamentosa
endometriosis.
1) Pil Kontrasepsi Kombinasi (PKK)
Bekerja pada kelainan endometriosis dengan cara menekan LH dan
FSH serta mencegah ovulasi dengan cara menginduksi munculnya
keadaan pseudo-pregnancy. Selain itu penggunaan PKK juga akan
mengurangi aliran menstruasi, desidualisasi implant endometriosis,
dan meningkatkan apoptosis pada endometrium eutopik pada
wanita dengan endometriosis (HIFERI, 2013)
2) Progestin
Progesteron memiliki efek antomitotik terhadap sel endometrium,
sehingga memiliki potensi dalam pengobatan endometriosis.
Progestin turunan 19-nortestoteron seperti dienogest memiliki
kemampuan untuk menghambat enzim aromatase dan ekspresi
COX-2 dan produksi PGE2 pada kultur sel endometriosis
(HIFERI, 2013).
3) Agonis GnRH
17
Pajanan GnRH yang terus menerus ke hipofisis akan
mengakibatkan down-regulation reseptor GnRH yang akan
mengakibatkan berkurangnya sensitifitas kelenjar hipofisis.
Kondisi ini akan mengakibatkan keadaan hipogonadotropin
hipogonadisme yang akan mempengaruhi lesi endometriosis yang
sudah ada. Amenore yang timbul akibat kondisi tersebut akan
mencegah pembentukan lesi baru. GnRH juga akan meningkatkan
apoptosis susukan endometriosis. Selain itu GnRH bekerja
langsung pada jaringan endometriosis. Hal ini dibuktikan dengan
adanya reseptor GnRH pada endometrium ektopik. Kadar mRNA
reseptor esterogen (ER α) menurun pada endometriosis setelah
terapi jangka panjang. GnRH juga menurunkan VEGF yang
merupakan faktor angogenik yang berperan untuk
mempertahankan pertumbuhan endometriosis. Interleukin 1A (IL-
1A) merupakan faktor imunologi yang berperan melindungi sel
dari apoptosis (HIFERI, 2013).
4) Danazol
Merupakan androgen sintetik dan derivate 17 α-ethynyl
testoterone. Danazol mempunyai beberpa mekanisme kerja
diantaranya menginduksi amenorea melalui supresi terhadap aksis
hipotalamus-Pituitaru-Ovarium (HPO), inhibisi steriodogenesis
ovarium dan mencegah proliferasi endometrium dan implan
endometriosis. Cara kerja lainnya termasuk menurunkan produksi
High Density Lipoprotein (HDL), penurunan produksi Steroid
18
Hormone Binding Globulin (SHBG) di hati, dan menggeser posisi
testoteron dari SHBG menyebabkan peningkatan konsentrasi
testoteron bebas. Atrofi dari endometrium dan implan
endometriosis terjadi sebagai konsekuensi dari kadar esterogen
yang rendah dan androgen yang tinggi (HIFERI, 2013).
5) Aromatase Inhibitor
Mitogenik estradiol yang berpotensi mendorong pertumbuhan dan
proses inflamasi di lesi endometriosis. Esterogen lokal dari lesi
endometriosis berikatan erat dengan ekspresi enzim aromatase
sitokrom P450. Kadar mRNA aromatase yang meningkat
ditemukan pada lesi endometriosis dan endomterioma ovarium.
Karena peranan penting enzim aromatase dan esterogen lokal pada
endometriosis, maka aromatase inhibitor dipikirkan menjadi
pilihan terapi yang potensial pada pasien dengan endometriosis
(HIFERI, 2013).
6) Anti Prostagladin
Kadar prostgladin di cairan peritoneum dan lesi endometriosis pada
wanita dengan endometriosis. Sehingga di obat anti inflamasi non
steroid banyak digunakan dalam penatalaksanaan nyeri terkait
endometriosis (HIFERI, 2013).
b. Tatalaksana Bedah Nyeri Endometriosis
1) Prosedur LUNA pada laparoskopi
2) Laparoskopi pre-sacral neurctomy pada nyeri karena
endometriosis.
19
3) Laparoskopi eksisi lesi endometriosis susukan dalam
B. DIET
Diet berasal dari bahasa Yunani, yaitu diaita yang berarti cara hidup.
Definisi diet menurut tim kedokteran EGC 1994 (dalam Hartantri, 1998) adalah
kebiasaan yang diperbolehkan dalam hal makanan dan minuman yang dimakan
oleh seseorang dari hari ke hari. Aktivitas fisik (olahraga) dan diet yang sehat,
yaitu diet yang menyeimbangkan antara kebutuhan hidrat arang, protein, vitamin,
air dan mineral.
Nutrisi dapat didefinisikan sebagai jumlah keseluruhan proses yang
terlibat dengan asupan dan penggunaan bahan-bahan makanan.nutrisi yang cukup
dibutuhkan untuk pertumbuhan, perbaikan dan perawatan aktivitas-aktivitas
dalam tubuh. Kebutuhan nutrien bervariasi menurut usia seseorang, jenis kelamin,
ukuran, keadaan penyakit, kondisi klinis, status nutrisional, dan tingkat aktivitas
fisik, tetapi terlepas dari variasi individu, semua orang memiliki kebutuhan
nutrisional untuk energi, protein, cairan, dan mikronutrien.
1. Energi
Kebutuhan energi (atau kalori) dapat dipenuhi melalui asupan
karbohidrat, lemak, dan atau protein dalam makanan. Asupan kalori atau
energi yang melebihi energi yang digunakan disimpan dalam cadangan tubuh.
Karbohidrat utamanya disimpan sebagai glikogen hati dan otot. Lemak, yang
disimpan sebagai trigliserida dalam jaringan adiposa, meliputi cadangan
tenaga tubuh terbesar.
20
2. Protein
Kebutuhan protein pada orang dewasa bervariasi berdasarkan pada
status nutrisi, keadaan penyakit, dan kondisi klinis. Kebutuhan protein
diekspresikan sebagai gram per kilogram berat badan. Metabolisme protein
tergantung pada fungsi ginjal dan hati; sehingga kebutuhan akan berubah
selama kondisi penyakit yang mempengaruhi kedua sistem organ ini (lihat
Tabel 6-1). Setelah dimetabolisme, protein diekskresikan sebagai senyawa-
senyawa mengandung nitrogen termasuk urea. Mengukur jumlah nitrogen
yang diekskresikan dalam urin selama 24 jam merupakan metode alternatif
untuk menentukan kecukupan dukungan nutrisi khusus.
Tabel 3. Kebutuhan Mikronutrein untuk orang dewasa.
21
3. Cairan
Kebutuhan cairan harian orang dewasa dapat ditentukan berdasarkan
berat badan atau pada kebutuhan energi. Meningkatnya kebutuhan cairan
terjadi dengan meningkatnya kehilangan yang tidak disadari melalui kulit atau
metabolisme (seperti muntah atau diare). Kebutuhan cairan menurun pada
pasien dengan gagal ginjal, volume ekstraseluler yang meningkat, atau
hipoproteinemia. Ketika memperkirakan kebutuhan cairan, farmasis harus
mempertimbangkan semua rute asupan atau hilangnya cairan. Sebagai contoh,
sumbersumber nonnutrisional dari asupan cairan (misalnya: jumlah volume
dalam pengobatan intravena) harus dipertimbangkan.
4. Mikronutrien
Mikronutrien dibutuhkan untuk penggunaan makronutrien secara tepat
dan terlibat dalam fungsi-fungsi fisiologis yang bervariasi luas. Keberagaman
dalam absorpsi berbagai nutrien bertanggung-jawab terhadap perbedaan antara
kebutuhan enteral (yaitu: oral atau rute lain ke dalam traktus gastrointestinal
(GI) termasuk pemberian makanan melalui selang) dan parenteral (yaitu
intravena). Mikronutrien yang sulit diserap akan membutuhkan dosis yang
besar ketika ditelan melalui traktus gastrointestinal. Mikronutrien yang larut
dalam air diberikan dalam dosis yang lebih besar secara parenteral oleh karena
ekskresi ginjal yang lebih cepat ketika diadministrasikan melalui rute ini.
Faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi kebutuhan mikronutrien meliputi
kehilangan melalui gastrointestinal (misalnya: diare, muntah, keluaran fistula
yang tinggi, hipermetabolisme), fungsi ginjal (terutama natrium, kalium,
magnesium, dan fosfor), dan sindrom refeeding (elektrolit).
22
23
BAB III
PEMBAHASAN
Endometriosis merupakan peradangan kronik yang ditandai dengan
adanya jaringan menyerupai endomterium di luar kavum uteri. Insidensi
endometriosis sulit untuk diukur, sebagian besar wanita dengan penyakit ini
sering tidak bergejala, dan modalitas pencitraan memiliki kepekaan rendah umtuk
diagnosis. Wanita dengan endometriosis mungkin asimtomatik. Subfertile, atau
menderita berbagai tingkat nyeri panggul. Metode utama diagnosis adalah
laparoskopi, dengan atau tanpa biopsi untuk diagnosis histologis. Endometriosis
secara signifikan memberikan pengaruh terhadap kehidupan wanita, baik dalam
kehidupan sehari-hari maupun dalam produktivitas kerja. Dalam artikel ilmiah ini
membahas tentang peranan diet sebagai faktor resiko terjadinya endometriosis.
Penelitian ini mengumpulkan database yang terkumpul melalui MEDLINE (1966-
2011), EMBASE (1985-2011) dan Science Citation Index Expanded (1945-2011).
Diet yang dikaitkan sebagai faktor resiko endometriosis diantaranya gizi, vitamin,
lemak, vegetarian, kofein, daging, ikan, susu, dan juga buah.
Penelitian ini mengumpulkan dari beberapa studi. Dari 256 abstrak, 17
diantaranya dilaporkan memiliki kerterkaitan dengan diet dan faktor resiko terjadi
endometriosis. Dari 11 studi yang diidentifikasi, memiliki karakter metodologis
yang berbeda-beda. Namun kebanyakan dari penelitian tersebut menggunakan
metodologi studi case-control dan kohort (Grodstein dkk, 1993; berube dkk,
1998; brtitton dkk, 2000; Parazzini dkk, 2004; Heiller dkk, 2007; Tsuchiya dkk,
2007; Metalliotakis dkk, 2008; Miercabrera dkk, 2009; Missmer dkk, 2010;
24
Trabertet dkk, 2011; Savaris dkk, 2011). Informasi tentang asupan diet pada
pasien diperoleh melalui kuesioner “ya” dan “tidak” yang diberikan pada pasien.
Desain yang digunakan pada penelitian ini adalah studi case-control prospektif.
Pada literatur review ini menemukan bahwa sayuran hijau dan buah-
buahan telah dikaitkan pada banyak penelitian memiliki hubungan terbalik dengan
faktor resiko terjadinya endometriosis. Sayuran hijau dan buah-bauahan
mengandung asam folat, methionine, dan vitamin B6 yang memiliki peranan kuat
dalam “nutrional genomics”. Pada tubuh manusia akan berperan sebagai genom
untuk mengubah ekspresi gen atau produk gen dan berperan dalam methalasi
DNA. „Lipogenic methyl-deficient diets‟ atau defisiensi kolin, metionin kolin, dan
asama folat diduga memegang erat dalam provokasi metabolisme lemak, stress
oksidatif, dan sejumlah kenaian epigenetik laininya yang memapu membuat
kerusakan jaringan secara progresif yang akan berkembang sebagai tumor. Selain
itu, beberapa penelitian menemukan bahwa kelainan epigenetik dan kerusakan
pola metilasi DNA berperan dalam endomteriosis (Guo, 2009).
Disisi lain, penggunaan pestisida berbahan organoklorin pada buah-buahan
dan sayuran memacu terjadinya endometriosis. Dari 10 studi berfokus pada
organoklorin dan faktor resiko terjadi endometriosis menemukan bahwa paparan
organoklorin memberikan efek pleiotropic melalui reseptor esterogen dan
androgen. Namun peneltian terkait organoklorin dan endometriosis masih dalam
tahap penelitian (Craig dkk, 2011).
Peran mikroprotein seperti v itamin dan asam yang banyak terdapat dalam
buah dan sayur ditemukan tidak memiliki pengaruh lurus terhadap terjadinya
endometriosis. Beberapa penelitian justru menemukan bahwa vitamin menjadi
25
salah satu terapi untuk mencegah terjadinya endometriosis. Pemberian diet
vitamin A, C, dan E selama 4 bulan mampu meningkatkan enzim antioksidan dan
konsentrasi vitamin didalam pembuluh darah perifer. Vitamin ini juga
menurunkan angka stress oksidatif (Mier dkk, 2005). Penelitian yang dilakuakn
pada 44 wanita dengan endomteriosis, diberikan vitamin C dan E (343mg/hari dan
84mg/hari) memiliki tingkat kehamilan 19% dibandingkan mereka mereka yang
tidak mengkonsumsi vitamin. Pada mereka tidak mengkonsumsi vitamin tingkat
kehamilan hanya mencapai 12% (Mier, 2008).
Resiko endometriosis meningkat pada mereka yang sering kali
mengkonsumsi daging merah seperti HAM (Tribert, 2011). Penelitian
menemukan bahwa tidak ada hubungan antra asupan minyak zaitun dan lemak
tidak jenuh terhadapa ternjadinya endometriosis (Paparazzini dkk, 2004). Namun
untuk lemak jenuh, keterkaitannya terhadap terjadinya endometriosis masih dalam
tahap penelitian.
Lemak tak jenuh ganda (Polyunsatured fat) yang banyak terdapat pada
kacang-kacangan, biji-bijian, dan ikan tidak memiliki hubungan signifikan
sebagai faktor resiko terjadinya endometriosis. Pada penelitian paparazzini justru
menemukan bahwan konsumsi ikan dapat menurunkan resiko endometriosis.
Disisi lain, omge-3 PUFA yang sering kali ditemukan oada salmon maupun tuna,
memiliki faktor resiko untuk terjadinya kista endometriosis (Trabert dkk, 2011).
Namun menariknya pada penelitian sebelumnya menemukan bahwa omeg-3
PUFA memiliki efek penting terdapat sitesis dan aktivitas sitokin sepertin
interleukin (IL) 1, 2, dan 6 serta Tumor Necrosis Factor (TNF). Penelitian pada
kelinci menemukan bahawa omega-3 PUFA) mampu menurunkan diameter impan
26
endometrium dan mengurangi peritoneal prostagladin fluida konsentrasi E2 dan
F2a (Covens dkk, 1998; Calder, 2003).
Lemak trans yang mengandung asam linoleat yang kerap kali dijumpai
pada makanan seperti donat, biskuit, cokelat, margarin, kentang goreng dalam
sebuah studi temukan bahwa perempuan yang meiliki asupan lemak trans yang
berlebihan miliki resiko endometrisis mencapai 48%. Hal ini diduga meka trans
memiliki hubungan dengan marker pada peradangan sistemik. Aspuan yang besar
dikaitkan dengan peningkatan angkat TNF, aktivitas sitokin, dan konsentrasi IL-6
dan C-Reaktive protein dalam darah (Capoibianco, 2011).
Berbeda dengan lemak trans, defiensi pada vitamin D justru ditemukan
faktor resiko terjadi endometriosis. Vitamin D memiliki peranan dalam
menstimulasi T regulatory dan IL-10 yang mana akan membuat penurunan sitokin
IL-17 dan TNF. (Corella, 2009).
Penelitian juga dilakukan pada sereal. Sereal terbukti tidak memiliki
hubungan lansung sebagai faktore resiko terjadinya endometriosis. Sereal lebih
berpengaruh terhadap indeks glikemik dan beban glikemik. Dalam hal ini, insulin
terbukti dapat mesntrimulasi proliferasi sel stroma endometrium dengan mengikat
endometrium. Hiperinsulimenia dapat meningkatkan konsentrasi esterogen
melalui semkain berkurangnya konsentrasi hormon seksualn pengikat globulin
dan meningkatkan hormon growth factor. Keduanya, baik esterogen maupun
insulin merupakan hormon yang dapat menstimulasi proliferasi sek endometrium
(Friberg, 2011). Melalui penelitian Friberg ini, ditemukan adanya hubungan antra
konsumsi sereal dengan faktor resiko terjadinya endometriosis. Namun angka
27
konsumi serealnya untuk memicu terjadinya endometriosis masih dalam
penelitian.
Coffein telah dikaitkan terhadap endometrisis selama bertahun-tahun.
ditemukannya konstrasi awal esterogen fase folikuler dan konsentrasi estron lebih
tinggi pada wanita dengan asupan kofein tinggi (Ferrini, 1996; Lucero dkk, 2001).
Perubahan hormonal pada beberapa penyakit yang tekait dengan konsumsi kopi
dapat mempengaruhi angka terjadinya endometriosis.
Kedelai kayak phyto-estrogenik memiliki efek esterogenik yang lemah dan
anti-esterogenik yang telah diasosiakan dengan resiko penyakit yang dikaitkan
dengan esterogen. Percobaan pada model binatang, ditemukan bahwa
pengonsumsian kedelai mampu menghambat aromatase dan reseptor esterogen
serta mengurnagi konsentrasi esterogen (Tavuz, 2007; Chen dkk 2011).
28
Tabel 3. Efek makanan dalam proses patologi endometriosis.
Dari penelitian ini menemukan bahwa endometrisos merupakan sebuah
fenomena tahapan dimana fase pembentukan penyakit mulai dari proliferasi,
vaskularisasi dan invasi perioteal dari lesi endometriosis hingga akhirnya
bermanifestasi pada peradangan. Nutrisi yang berbeda memiliki efek yang
berbeda pula pada perkembangan penyakit. Masih dibutuhkan penelitian lebih
dalam lagi untuk menganalisa hubungan diet sebagai faktor terjadinya
endometriosis.
29
BAB IV
KESIMPULAN
Endometriosis adalah satu dari penyakit peradangan pada wanita yang
sering kali dikaitkan pada infertilitas. Penelitian antara diet dan faktor resiko
terjadinya endomteriosis banyak didapatkan pada wanita menengah keatas. Hal ini
dapat terjadi karena dua alasan. Pertama kesadaran akan kesehatan yang tinggi
pada wanita menengah keatas, sehingga mereka rutin memeriksakan seputar
kesehatan kewanitaannya. Kedua, gaya hidup yang semakin jauh dari kata natural
membuat wanita menengah keatas memiliki resiko tinggi terhadap angka
terjadinya endometriosis.
Dari jurnal yang diteliti oleh universitas Vita-Salute, Italy menemukan
bahwa mengonsumsi sayuran hijau, buah-buahan, kedelai, serta makanan yang
kayak akan vitamin dapat menurunkan resiko terjadinya endometriosis. Namun,
mengonsumsi daging merah, kopi, seral, serta makanan yang mengandung banyak
trans-fat, dapat meningkatkan resiko terjadinya endometriosis.
30
DAFTAR PUSTAKA
Calder, P.C., 2003. N-3 polyunsaturated fatty acids and inflammation: from
molecular biology to the clinic. Lipids 38, 43–352.
Capobianco, A., Monno, A., Cottone, L., Venneri, M.A., Biziato, D., Di Puppo,
F., Ferrari, S., De Palma, M., Manfredi, A.A., Rovere-Querini, P., 2011.
Proangiogenic Tie2(+) macrophages infiltrate human and murine
endometriotic lesions and dictate their growth in a mouse model of the
disease. Am. J. Pathol. 179, 2651–2659.
Chambers, E.S., Hawrylowicz, C.M., 2011. The impact of vitamin D on
regulatory T cells. Curr. Allergy Asthma Rep. 11, 29–36.
Chen, Y., Chen, C., Shi, S., Han, J., Wang, J., Hu, J., Liu, Y., Cai, Z., Yu, C.,
2011. Endometriotic implants regress in rat models treated with puerarin by
decreasing estradiol level. Reprod. Sci. 18, 886–891.
Colditz, G.A., 1998. Relationship between estrogen level use of hormone
replacement therapy and breast cancer. J. Natl. Cancer Ins. 90, 814–823.
Correale, J., Ysrraelit, M.C., Gaita´n, M.I., 2009. Immunomodulatory effects of
Vitamin D in multiple sclerosis. Brain 1, 1146–1160.
Guo, S.W., 2009. Epigenetics of endometriosis. Mol. Hum. Reprod. 15, 587–607.
Himpunan Endokrinologi-Reproduksi dan Fertilisasi (HIFERI) Indonesia. 2013.
Konsesnsus Tata Laksana Nyeri Haid pda Endometriosis. Indoneisa.
Friberg, E., Wallin, A., Wolk, A., 2011. Sucrose, high-sugar foods, and risk of
endometrial cancer – a population-based cohort study. Cancer Epidemiol.
Biomarkers Prev. 20, 1831–1837.
Parazzini, F., Chiaffarino, F., Surace, M., Chatenoud, L., Cipriani, S., Chiantera,
V., Benzi, G., Fedele, L., 2004. Selected food intake and risk of
endometriosis. Hum. Reprod. 19, 1755–1759.
Matalliotakis, I.M., Cakmak, H., Fragouli, Y.G., Goumenou, A.G., Mahutte, N.G.,
Arici, A., 2008. Epidemiological characteristics in women with and without
endometriosis in the Yale series. Arch. Gynecol. Obstet. 277, 389–393.
Mier-Cabrera, J., Genera-Garcı´a, M., De la Jara-Dı´az, J., Perichart- Perera, O.,
Vadillo-Ortega, F., Herna´ndez-Guerrero, C., 2008. Effect of vitamins C
and E supplementation on peripheral oxidative stress markers and
pregnancy rate in women with endometriosis. Int. J. Gynaecol. Obstet. 100,
252–256.
Mier-Cabrera, J., Aburto-Soto, T., Burrola-Me´ndez, S., Jime´-nez-Zamudio, L.,
Tolentino, M.C., Casanueva, E., Herna´ndez-Guerrero, C., 2009. Women
with endometriosis improved their peripheral antioxidant markers after the
application of a high antioxidant diet. Reprod. Biol. Endocrinol. 7, 54–64.
Mier-Cabrera, J., Jime´nez-Zamudio, L., Garcı´a-Latorre, E., Cruz-Orozco, O.,
Herna´ndez-Guerrero, C., 2011. Quantitative and qualitative peritoneal
immune profiles, T-cell apoptosis and oxidative stress-associated
characteristics in women with minimal and mild endometriosis. BJOG 118,
6–16.
Tjandrawinata, Raymond., Kumalasari, Ratna., dkk. 2013. Dymenorrhea dan
Endometriosis. Mediscus: Scientific Journal of Pharmaceutical
Development and Medical Application: Indonesia.
31
Traber, M.G., Stevens, J.F., 2011. Vitamins C and E: beneficial effects from a
mechanistic perspective. Free Radic. Biol. Med. 51, 1000–1013.
Trabert, B., De Roos, A.J., Schwartz, S.M., Peters, U., Scholes, D., Barr, D.B.,
Holt, V.L., 2010. Non-dioxin-like polychlorinated biphenyls and risk of
endometriosis. Environ. Health Perspect. 118, 1280–1285.
Trabert, B., Peters, U., De Roos, A.J., Scholes, D., Holt, V.L., 2011. Diet and risk
of endometriosis in a population-based case–control study. Br. J. Nutr. 105,
459–467.
top related