s an ks i d a n pe ng huku m a n dari te la ah psiko logi · 2018. 11. 10. · teori pembelajaran...
Post on 19-Dec-2020
0 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Sanksi dan Penghukuman dari Telaah Psikologi
Oleh: Ester Lianawati 1
Budaya kita (Indonesia) adalah budaya yang menghukum. Tidak banyak orang tua
yang memuji saat anak melakukan tindakan positif sehingga tidak sejak dini
manusia mengenal prinsip penguatan positif (positive reinforcement). Lain
halnya dengan hukuman (punishment). Kebanyakan orang terpancing untuk
menghukum bila anak melakukan kesalahan. Akibatnya sedari kecil manusia
telah belajar bahwa perbuatan buruk akan mendatangkan sanksi dan
penghukuman. Padahal hukuman dan penguatan, keduanya sama-sama
bagian dari upaya modifikasi perilaku agar seseorang berperilaku sesuai yang
diharapkan. Sayangnya, dalam hal memodifikasi perbuatan buruk, manusia
lebih terfokus pada hukuman. Tetapi efektivitas hukuman itu sendiri diragukan
bila melihat kriminalitas terus meningkat, dengan sebagian besar pelakunya
adalah mantan narapidana. Apakah hukuman tidak efektif dan malah
berdampak negatif? Atau ada kondisi-kondisi tertentu yang harus diperhatikan
untuk menjamin efektivitasnya? Prinsip-prinsip psikologi apa yang sebenarnya
mendasari sanksi dan penghukuman? Tulisan ini akan mencoba untuk
menelaah hukuman dan penguatan dari perspektif psikologi. Restorative justice
akan dipaparkan sedikit pada akhir tulisan, yang mungkin dapat menjadi
bahan pemikiran bersama mengenai bentuk keadilan yang tidak menghukum.
Kata kunci: Hukuman, Penguatan positif, Penguatan negatif, Pemenjaraan, Restorative
justice
Beberapa waktu lalu, saya melihat foto seorang guru yang pernah mengajar saya di
jejaring pertemanan facebook. Seketika saya gelisah, ada rasa takut yang tiba-tiba
menyergap. Ingatan saya kembali pada belasan tahun silam dalam suasana kelas yang
mencekam tiap kali tiba waktunya beliau mengajar saya dan teman-teman. Sorot
matanya yang tajam seolah siap menerkam. Tidak ada senyum dari awal sampai akhir
1 Ester Lianawati adalah pengajar di Fakultas Psikologi UKRIDA dan alumnus Program Studi Kajian Wanita UI. 1
kelas, kecuali senyum menyindir atau mengejek ketika kami tidak mampu menjawab.
Kelas diisi dengan bentakan, pukulan, dan tendangan. Saya tidak pernah lupa bagaimana
ia menendang tulang kering kaki seorang teman sampai mengeluarkan darah. Ia tidak
meminta maaf, dengan angkuh ia memerintahkan teman saya duduk kembali sambil
makiannya mengiringi langkah terseok teman kami. Saya juga masih dapat mengingat
dengan jelas sindiran tajamnya kepada teman kami, cucu seorang pendeta,” Kamu lupa
berdoa hari ini sampai tidak dapat menjawab pertanyaan saya?
Rasanya ia merusak keceriaan kami, anak-anak belia yang beranjak remaja. Tiap
kali langkah kakinya mendekat, kami diam. Tiap hari kami berdoa agar ia tidak memarahi
kami. Hampir setiap kali waktunya tiba ia masuk ke kelas, kami berharap ia tidak dapat
mengajar. Bahkan kadang kami tidak ingin pergi ke sekolah agar tidak perlu bertemu
dengannya. Ia selalu mengatakan bahwa apa yang ia lakukan akan berguna bagi kami.
“Saya cuma ingin kalian pintar, “demikian ucapannya menggelegar sehabis menjatuhkan
hukuman. Sebuah keinginan mulia. Sayang ia tidak paham bahwa cara yang ia lakukan
tidak dapat membuat kami memenuhi keinginannya.
Hukuman dan Penguatan
Konsep mengenai hukuman tidak hanya menjadi materi utama bagi
mahasiswa-mahasiswi yang menempuh pendidikan hukum. Hukuman juga merupakan
konsep dasar yang wajib dipahami mahasiswa-mahasiswi psikologi, bahkan mulai dari
semester pertama. Istilah hukuman merupakan bagian dari teori pembelajaran (learning
theory) yang memang merupakan salah satu teori penting dalam psikologi. Konsep
hukuman mendapatkan perhatian dalam psikologi setelah B.F. Skinner mengemukakan
teori pembelajaran instrumental (instrumental conditioning) pada tahun 1938. 2
Dalam teorinya, Skinner (dalam Hall & Lindzey, 1985) mengungkapkan bahwa
perilaku manusia dibentuk oleh rangkaian penguatan (reinforcement) dan hukuman
(punishment) yang diterimanya dari lingkungan. Jika ia mendapatkan penguatan untuk
suatu perilaku, maka perilaku itu cenderung akan ditampilkannya kembali. Sebaliknya jika
ia mendapatkan hukuman, maka tindakannya itu tidak akan ditampilkan kembali. Dengan
2 Skinner sendiri pertama kali menyebutnya sebagai operant conditioning 2
perkataan lain, penguatan bertujuan meningkatkan perilaku, sedangkan hukuman
bertujuan untuk mengurangi kemungkinan ditampilkannya kembali suatu perilaku.
Skinner sendiri mendefinisikan penguatan sebagai apapun yang dapat
meningkatkan suatu perilaku untuk terjadi lagi. Penguatan dapat dilakukan dengan dua
cara. Pertama adalah dengan memberikan sesuatu yang positif, atau disebut pula dengan
penguatan positif (positive reinforcement). Tersenyum, memuji, dan memberikan hadiah,
merupakan beberapa contoh tindakan memberikan sesuatu yang positif. Kedua, adalah
dengan mengambil sesuatu yang negatif. Cara ini disebut juga dengan penguatan negatif
(negative reinforcement). Cara ini dapat dilakukan dengan membebaskan anak dari suatu
tugas atau membebaskannya dari suatu hukuman.
Sementara itu hukuman didefinisikan sebagai apapun yang dapat menurunkan
kemungkinan suatu perilaku ditampilkan kembali. Hukuman juga dapat dilakukan dengan
dua cara. Cara pertama adalah memberikan sesuatu yang negatif, atau disebut dengan
hukuman positif (positive punishment). Contohnya adalah dengan memarahi atau
memukul. Cara kedua adalah dengan mengambil sesuatu yang positif. Cara ini disebut
pula dengan hukuman negatif (negative punishment). Mengambil mainan anak dan
memutuskan jaringan telepon merupakan tindakan yang termasuk dalam hukuman
negatif.
Dengan penjelasan Skinner di atas dapat disimpulkan bahwa penguatan
merupakan respons seseorang terhadap sikap atau tindakan orang lain yang dipandang
baik sedangkan hukuman merupakan respons seseorang terhadap sikap atau perbuatan
orang lain yang dianggap buruk, setidaknya dari kaca mata orang yang menghukum.
Budaya Menghukum
Dalam pandangan Skinner, untuk membentuk perilaku seseorang, memberikan
penguatan jauh lebih baik dibandingkan hukuman. Skinner bahkan tidak menganjurkan
hukuman (dalam Horne, 2009). Sayangnya, yang terjadi sebaliknya, manusia cenderung
menghukum ketimbang memberikan penguatan. Kita cepat melihat yang buruk dari
seseorang dan memberinya hukuman. Namun kita gagap untuk memuji ketika seseorang
menampilkan yang baik. Kita bahkan gagap menerima pujian. Kata-kata “Ah masa sih”
3
lebih sering terlontar ketika seseorang memuji kita, dibandingkan mengucap terima kasih
atas pujiannya. Kita tidak terbiasa mendapatkan penguatan karena budaya kita adalah
budaya yang menghukum.
Hukuman telah menjadi bagian keseharian manusia, dalam keluarga tempat anak
pertama kali belajar mengenai nilai-nilai, dan juga sekolah yang menyandang predikat
sebagai institusi pendidikan. Nilai-nilai kita dibentuk berdasarkan maskulinitas. Hukum
ayah memegang peran utama, dan bukan hukum ibu (bahkan seolah asing di telinga kita
bila memasangkan kata hukum dan ibu). Budaya maskulinitas tidak menekankan harmoni.
Tidak perlu senyum dan pujian, karena maskulinitas tidak mementingkan nilai-nilai suatu
hubungan. Pencapaian dan kompetisi adalah yang utama. Sulit bagi laki-laki untuk
memuji, terutama terhadap sesama laki-laki, karena dalam pencapaian pribadi juga
bermakna kompetisi dengan orang lain. Dirinya yang penting, bukan orang lain, apalagi
hubungan dengan orang lain. Pencapaian adalah yang harus mereka lakukan.
Oleh sebab itu, pencapaian merupakan hal yang biasa; pencapaian adalah sesuatu
yang normal. Melakukan sesuatu yang normal tidaklah perlu dipuji, karena tidak ada yang
menonjol dengan melakukan hal yang dianggap sudah seharusnya dilakukan. Dengan
perkataan lain, melakukan sesuatu yang baik, yang sesuai dengan aturan atau norma, tidak
membutuhkan penguatan apapun karena dianggap sudah seharusnya demikian.
Sementara ketika melakukan sesuatu yang buruk, jelas ini menonjol, bertolak belakang
dari yang seharusnya. Secara neuropsikologis, otak manusia memang berespons lebih
cepat terhadap sesuatu yang berbeda, sesuatu yang lain dari yang lain, sesuatu yang
menonjol. Akibatnya sejak manusia memahami apa yang baik dan buruk, sejak itu pula ia
mengenal yang namanya hukuman.
Hidup dalam masyarakat yang melestarikan budaya menghukum, kita dapat
dengan mudah menemukan hukuman ini dalam berbagai konteks ketika perilaku yang
ditampilkan seseorang dinilai berdasarkan standar normatif oleh pihak yang berkuasa
(Walgrave, 2002). Seorang anak dihukum oleh orangtuanya, siswa dihukum gurunya, atau
pekerja dikenai hukuman oleh atasannya. Dalam konteks yang lebih luas, hukuman
diberikan oleh hakim kepada warga negara yang melanggar aturan yang telah ditetapkan
negara. Karena terkait dengan struktur kekuasaan yang lebih tinggi dan mengatur
kehidupan masyarakat dalam sebuah negara, maka penghukuman oleh negara menjadi
4
begitu menonjol. Sedemikian pentingnya sehingga perlu mendapat perhatian dan
dijadikan sebagai bidang kajian tersendiri.
Dalam kesempatan ini akan dibahas mengenai hukuman dalam konteks negara
sambil sesekali membandingkannya dengan lingkup konteks mikro seperti rumah dan
sekolah. Meski Walgrave (2002) melihat konteks yang berbeda dapat memengaruhi
dampak hukuman, namun hukuman dalam konteks apapun memiliki esensi yang sama.
Memang dinamikanya sedikit berbeda, namun konsep dasarnya mengacu kepada hal
yang sama. Selain itu, kita akan melihat bagaimana hukuman yang diterima seseorang
dalam konteks mikro (rumah, sekolah) dapat meningkatkan kecenderungan seseorang
untuk mengalami hukuman dalam konteks yang lebih luas, sekaligus memengaruhi
pemaknaannya dalam menerima hukuman tersebut.
Hukuman dalam Retributive Justice
Dalam negara yang menerapkan prinsip retributive justice, upaya-upaya penegakan
hukum dengan menjatuhkan hukuman terhadap orang-orang yang melakukan tindakan
kriminal merupakan keharusan. Yang bersalah harus mendapatkan hukuman.
Sebagaimana kata retributive itu sendiri bermakna ganti rugi, prinsip ini menekankan
pembayaran atas pelanggaran yang telah dilakukan. Dalam prinsip ini, hukuman adalah
bentuk ganti rugi itu sendiri, dan keadilan adalah sebuah praktik ganti rugi. Sebagaimana
yang dikatakan Immanuel Kant, “Tanpa hukuman terhadap orang yang bersalah, keadilan
tidak dapat ditegakkan.”
Dalam prinsip retributive justice, pemenjaraan boleh jadi merupakan bentuk yang
paling nyata dari hukuman, meskipun denda dan hukuman percobaan juga seringkali
diterapkan. Sebagai hukuman, pemenjaraan memiliki tujuan untuk menurunkan
kemungkinan seseorang melakukan kembali perilaku buruknya yang melanggar aturan
hukum. Selain itu, dibandingkan denda dan hukuman percobaan, pemenjaraan
memenuhi dua bentuk hukuman menurut Skinner. Pemenjaraan mengambil kebebasan
seseorang (hukuman negatif) sekaligus menempatkannya dalam situasi yang tidak
menyenangkan (hukuman positif). Di sinilah fungsi retribusi dari penjara, yakni penjara
5
dapat membuat pelaku membayar pelanggarannya dengan menempatkan mereka dalam
lingkungan penjara yang tidak menyenangkan.
Bahkan bagi kelompok consequentialist (instrumentalist) yang tidak menyetujui ide
pembalasan dari prinsip retributive justice, pemenjaraan tetap menjadi solusi atau bentuk
hukuman yang dianggap efektif (Bilz & Darley, 2004). Menurut kelompok ini,
pemenjaraan memiliki fungsi inkapasitasi, penjeraan (deterrence), dan reformasi, yang
ketiganya memiliki tujuan positif (hukuman sebagai alat/instrumen) dan diharapkan dapat
membawa dampak/konsekuensi positif. Bilz dan Darley menjelaskan fungsi inkapasitasi
adalah berada dalam penjara dengan sendirinya menahan atau menghindarkan pelaku
dari kemungkinan melakukan kejahatannya kembali. Efek jera maksudnya membuat
‘calon’ pelaku berpikir dua kali jika hendak melakukan pelanggaran. Sedangkan dengan
fungsi reformasi, pemenjaraan diharapkan dapat mengubah pelaku menjadi lebih baik
sehingga ketika mereka keluar dari penjara mereka tidak akan melakukan pelanggaran.
Namun demikian, ide ini dikritik oleh kelompok retributive sebagai upaya kelompok
consequentialist untuk menjustifikasi ‘penderitaan’ yang harus dialami narapidana dan
menutupinya dengan alasan etis dan moral.
Efektivitas Hukuman: Sebuah Korelasi Ilusional
Meski mendasarkan pada ide yang berbeda dan saling mengkritik satu sama lain,
baik kelompok retributive maupun consequentialist sama-sama meyakini bahwa hukuman
bertujuan untuk mengubah seseorang menjadi lebih baik dalam arti tidak lagi melakukan
tindak kejahatan. Hukuman itu sendiri menurut Dorpat (2007) memang didasarkan pada
asumsi bahwa tiap orang, baik kanak-kanak maupun dewasa, dapat menyadari bahwa
mereka telah melakukan pelanggaran, dan kemudian menyatakan penyesalannya dengan
menjalani hukuman. Lebih lanjut Dorpat menyatakan bahwa hukuman ini dibuat agar
dengan “penderitaan” yang mereka alami, mereka dapat memahami kesalahannya, untuk
kemudian dapat bertobat dan menjadi lebih baik.
Namun demikian, hukuman sepertinya tidak mampu mencapai tujuannya, untuk
menjadikan seseorang lebih baik, melakukan apa yang sesuai dengan keinginan si
6
penghukumnya, untuk tidak lagi melakukan apa yang tidak dapat diharapkan. Teman yang
yang saya ceritakan di atas sangat sering dimarahi guru kami di kelas. Ia sering kali tidak
dapat menjawab dengan benar. Jika diperhatikan, anak yang dianggap “nakal” adalah anak
yang sama. Saya sering menyaksikan siswa yang melakukan tawuran adalah siswa yang
sama. Beberapa kali saya melihat polisi yang memukulinya bertanya kepadanya mengapa
ia tidak juga jera. Dengan hukuman fisik yang diberikan, polisi berharap siswa tersebut
berubah. Namun hukuman itu terbukti tidak efektif dengan diulanginya kembali kesalahan
yang kurang lebih sama oleh orang yang sama. Atau bahkan mereka menjadi lebih buruk
dari ketika mereka belum pernah menerima hukuman tersebut.
Demikian pula dengan pemenjaraan, sejumlah bukti menunjukkan bentuk
hukuman ini tidak dapat membuat seseorang menjadi lebih baik. Pemenjaraan tidak
berhasil menjalankan fungsinya sebagai hukuman yang dapat memberi efek jera baik bagi
orang lain maupun bagi pelaku sendiri. Tidak sedikit pelaku kriminalitas yang kembali
melakukan kejahatan yang sama dalam waktu tidak lama setelah ia keluar dari penjara.
McRandle (2009) melaporkan dua pertiga dari mantan napi di New Jersey kembali
melakukan pelanggaran dalam dua tahun (McRandle, 2009). Bahkan pemerintah
Skotlandia dalam surat kabar Herald Scotland pada 2 Juli 2010 lalu menyatakan bahwa
hampir 75% mantan napi kembali melakukan kejahatan dalam waktu dua tahun setelah
keluar dari penjara. Pernyataan ini didasarkan pada data statistik yang dilakukan pada
tahun 2005-2007.
Jumlah narapidana yang bunuh diri di penjara juga mencapai angka yang
memprihatinkan. Dorpat (2007) menemukan tingkat bunuh diri di rutan sedikitnya
mencapai 5 kali lebih tinggi, dan tingkat bunuh diri di penjara mencapai 2 kali lebih tinggi
dibandingkan populasi pada umumnya (Dorpat, 2007). Dooley (dalam Putwain &
Sammons, 2004) mendapati hal serupa pada narapidana di Inggris. Penjara di Perancis
bahkan sedang diselidiki sistem penanganannya karena banyaknya narapidana yang
bunuh diri. Di salah satu penjaranya saja, yaitu La Sante, lebih dari seratus narapidana
bunuh diri setiap tahunnya. Di Indonesia meskipun tidak ada data pasti mengenai
narapidana atau tahanan yang bunuh diri, melalui penelusuran surat kabar saya
menemukan setiap bulannya selalu ada berita mengenai narapidana yang bunuh diri.
7
Bunuh diri biasanya terkait erat dengan gangguan depresi yang dialami para
tahanan atau narapidana. Sejumlah penelitian (Castellano, 1997; Dorpat, 2007),
menunjukkan gangguan ini memang banyak dialami para tahanan dan narapidana. Bunuh
sendiri banyak terjadi pada hari-hari pertama mereka di penjara. Bila mereka berhasil
melewati hari-hari pertama ini tanpa bunuh diri, bukan berarti mereka terlepas dari
depresi, kecemasan, dan kondisi mental yang negatif lainnya. Dalam bukunya, Crimes of
Punishment, Dorpat (2007) menegaskan bahwa sebagian besar narapidana dirusak oleh
pengalaman mereka di penjara dan menjadi lebih buruk secara psikologis ketika mereka
keluar dari penjara dibandingkan ketika pertama kali mereka masuk.
Mengapa demikian? Apakah benar yang dikatakan Skinner bahwa hukuman
memang tidak efektif, termasuk pemenjaraan? Tetapi mengapa masih banyak orang yang
percaya akan efektivitas hukuman? Sering kali guru atau orang tua meyakini bahwa
hukumannya efektif ketika anak-anak yang sering mereka hukum ini kelak berprestasi.
Masyarakat juga semakin meyakini bahwa penjara membuka jalan pertobatan bagi para
kriminal ketika mereka melihat sejumlah orang yang sadar, tidak lagi melakukan tindak
kriminal, dan bahkan menjadi pemuka agama. Keyakinan ini semakin diperkuat ketika
tidak hanya satu orang yang meyakininya, dan kelompok orang yang percaya akan hal ini
berbincang satu sama lain untuk saling meneguhkan kepercayaannya. Dengan kata lain,
orang-orang yang senang menghukum ini mendapatkan penguatan (reinforcement) akan
keyakinan mereka terhadap efektivitas hukuman.
Belum lama ini seorang guru yang senang menghukum muridnya secara verbal
menceritakan bahwa ia bertemu dengan murid-muridnya terdahulu yang membenarkan
tindakannya yang gemar memaki dan menghina murid. Mereka bahkan mengatakan
bahwa makian sang guru ternyata berguna untuk menguatkan mental mereka ketika
bertemu dengan guru-guru lain yang jauh lebih senang menghukum di kelas-kelas
selanjutnya. Sungguh sebuah kesimpulan yang mengenaskan. Mengenaskan karena sang
guru bangga telah mendapat pujian untuk hukuman yang ia lakukan, dan sang murid
berterima kasih untuk hukuman yang tidak seharusnya mereka terima hanya karena
mereka kembali mendapatkan hukuman yang lebih berat. Mengenaskan karena dunia
pendidikan kita penuh hukuman dan kekerasan.
8
Jika kita memberi hukuman dan menyimpulkan hal yang sama untuk beberapa hal
di atas, kita telah mengalami confirmatory bias dan illusionary correlation. Confirmatory bias
dapat diartikan sebagai kecenderungan seseorang untuk menyukai informasi yang
mendukung keyakinan mereka (Myers, 2008). Hal ini biasanya terjadi karena kita senang
mendengar apa yang ingin kita dengar. Jika kita senang menghukum, maka yang ingin kita
dengar adalah bahwa hukuman kita efektif. Ketika hal itulah yang kita dengar, kita akan
semakin meyakini apa yang kita yakini. Mekanisme otak manusia akan lebih cepat
menangkap hal-hal yang mendukung keyakinannya. Sementara otak harus berproses
keras untuk memahami hal yang tidak sesuai dengan apa yang diyakini. Hal ini pula yang
menurut Myers telah mendorong manusia melakukan illusionary correlation, yaitu melihat
adanya hubungan antara dua hal padahal yang terjadi tidaklah demikian. Kita melihat
bahwa hukuman akan membawa keberhasilan atau perbaikan karena ada yang menjadi
lebih baik setelah mendapat hukuman. Kita menyimpulkan bahwa hukuman berkorelasi
dengan perubahan positif, padahal tidak demikian. Korelasi yang ada hanyalah ilusi yang
dipengaruhi pula oleh confirmatory bias.
Dopart (2007) menegaskan bahwa kesimpulan-kesimpulan tersebut sama sekali
tidak benar. Orang-orang ini berhasil bukan karena mendapat hukuman, melainkan
mereka berhasil meskipun mereka mendapat hukuman. Saya setuju dengan pandangan
Dopart. Hukuman tidak dapat menghindarkan seorang murid dari kewajibannya untuk
lulus atau naik kelas. Oleh sebab itu, meski malu, takut, dan tertekan, sebagian murid
sadar bahwa mereka harus berjuang untuk kelulusan mereka. Saya kira orang tua atau
guru yang senang menghukum harus memahami hal ini. Jika tidak, mereka hanya
menambah beban anak-anak yang berusaha dengan gigih untuk mencapai prestasi dalam
situasi yang sedemikian menekan. Lebih buruk lagi, kadang orang-orang yang
menghukum berdalih bahwa mereka sedang menguji mental orang yang mereka hukum.
Pertanyaannya adalah apakah benar mereka menguji mental, dan bukan
menghancurkan? Dalam uraian di bawah ini, kita akan melihat bagaimana hukuman
hanya akan membawa keburukan.
Masalah Hukuman (The Problem of Punishment)
9
Sebelum membahas lebih jauh faktor-faktor yang berkontribusi terhadap
ketidakefektifan hukuman, menarik untuk melihat pandangan de Keijser (dalam Walgrave,
2002) dan David Boonin (2008) mengenai hukuman. Dalam pandangan de Keijser,
hukuman tidak etis dan bahkan merusak. Hukuman melibatkan tindakan-tindakan yang
secara umum dianggap salah atau jahat jika tidak dijustifikasi atau dibungkus dengan label
hukuman. Hal senada dikemukakan Boonin dalam bukunya yang berjudul Problem of
Punishment (2008). Menurutnya ada masalah dengan hukuman itu sendiri. Ia
mempertanyakan bagaimana pelanggaran hukum yang dilakukan seseorang memberikan
hak kepada negara untuk memperlakukannya dalam cara-cara yang sebenarnya juga
melanggar hukum? Sama seperti de Keijser, yang dimaksudkan Boonin adalah hukuman
itu sendiri tampil dalam wujud tindakan yang buruk, yang jika dilakukan bukan sebagai
respons terhadap suatu perbuatan negatif, maka sebenarnya perbuatan yang berlabelkan
‘hukuman’ itu juga negatif. Contohnya seorang guru yang memukul muridnya karena telah
memukul temannya. Tindakan memukul yang dilakukan guru tentu tidak ada bedanya
dengan tindakan si murid yang dihukum.
Demikian pula dengan hukuman penjara terhadap pelaku kejahatan. Bukankah
dengan mengurung si pelaku, memutuskan hubungannya dengan keluarga, dan bahkan
mungkin memukulinya juga merupakan suatu kejahatan? Perbedaannya hanya terletak
pada label hukuman itu sendiri yang seolah membenarkan tindakan “pembalasan”
tersebut. Namun de Keijser dengan tegas mengatakan bahwa tidak ada argumen atau
kondisi pengecualian untuk membuat tindakan yang menimbulkan luka-luka fisik, mental,
dan sosial ini untuk dapat diterima secara moral.
Persoalan mengenai hukuman tidak hanya berhenti sampai di sana. Berikut ini
adalah berbagai persoalan hukuman yang mungkin dapat menyadarkan kita untuk
kembali memikirkan mengenai efektivitas hukuman.
Hukuman dan Rasa Takut
Takut boleh jadi merupakan perasaan yang seketika muncul ketika seseorang
menerima hukuman, setidaknya saat menerima hukuman untuk pertama kalinya.
10
Perasaan inilah yang disalahartikan oleh pemberi hukuman. Mereka mengira rasa takut
pada orang yang mereka hukum akan membuat hukuman mereka menjadi efektif.
Padahal yang terjadi tidaklah demikian. Dorpat meyakini bahwa bukan rasa takut terhadap
hukuman yang dapat mencegah seseorang melakukan kejahatan, melainkan hati
nuraninya (2007). Meskipun tentu masalah kriminalitas bukan hanya mengenai hati
nurani seperti yang akan diuraikan pada bagian berikutnya dalam tulisan ini. Rasa takut
terhadap hukuman itu sendiri dalam pandangan Dorpat hanya membawa keburukan.
Pada jangka pendek, atau dalam waktu sementara pada saat hukuman terjadi, rasa
takut dapat mengacaukan performa seseorang. Ketika anak dihukum karena tidak mampu
menjawab, ia tidak serta merta menjadi mampu menjawab. Bahkan semakin besar rasa
takutnya, semakin ia tidak mampu menjawab pada saat ia sedang dihukum. Selain itu,
rasa takut terhadap hukuman memang belum tentu membuat seseorang tidak melakukan
lagi kesalahan yang sama, tetapi dapat dipastikan akan memungkinkan seseorang mencari
jalan untuk menghindari hukuman. Tidak sedikit anak yang mengalami phobia sekolah
karena gurunya senang menghukum. Berbagai alasan diciptakannya untuk tidak pergi ke
sekolah. Hal yang sama juga dilakukan pencuri yang karena takut tertangkap, tidak
membuatnya berhenti mencuri, melainkan semakin kreatif menemukan cara agar ia tidak
tertangkap bila mencuri.
Tidak lagi melakukan tindakan yang dihukum merupakan salah satu cara untuk
menghindari hukuman. Sayangnya, meskipun mungkin seorang anak melakukan apa yang
dikehendaki si pemberi hukuman, jikalau tujuannya adalah menghindari hukuman maka
apa yang ia peroleh tersebut bukanlah hasil pembelajaran. Dorpat (2007) yakin apa yang
diperoleh anak itu setelah hukuman berakhir tidak akan berlangsung lama. Ketika
seseorang melakukan sesuatu hanya untuk menghindari hukuman, perhatiannya
berpindah dari nilai-nilai positif yang terkandung dalam apa yang mereka lakukan kepada
konsekuensi menyakitkan yang akan terjadi jika ia gagal melakukannya. Ia melihat dirinya
hanya sekedar takut terhadap hukuman, tetapi tidak menginternalisasi apa yang ia
lakukan. Kegembiraan atau makna lainnya dari aktivitas yang dilakukan terhapus karena
rasa takut terhadap hukuman. Belajar menjadi tidak menyenangkan lagi, melainkan hanya
untuk menghindari hukuman. Masih menurut Dorpat, performa seseorang mungkin
11
meningkat karena rasa takut, tetapi karena rasa takut itu pula moralnya menderita. Cepat
atau lambat, Dorpat yakin bahwa produktivitasnya akan menurun.
Crittenden (dalam Walgrave, 2002) mengemukakan dampak negatif lebih lanjut
dari rasa takut terhadap hukuman. Menurutnya, seseorang yang sangat takut terhadap
hukuman mungkin memang tidak lagi melakukan perilaku yang dihukum, tetapi mereka
akan mengalami compulsive compliance. Dampak ini muncul bila rasa takut sangat
mendominasi yang disebabkan frekuensi hukuman yang terlalu sering untuk hampir
setiap perilaku yang ia lakukan, atau hukuman yang diberikan sangat berat. Dampak ini
tampil dalam bentuk learned helplessness, yakni perasaan tidak berdaya karena apa yang
dilakukan selalu salah. Selain itu, orang yang mengalami compulsive compliance juga dapat
menjadi sangat pendiam, tidak berani menjawab pertanyaan, dan tidak berani untuk
menampilkan perilaku apapun. Ia tampil sebagai pribadi yang pencemas, penuh
kewaspadaan, menjadi sangat patuh, dan tidak mandiri. Pada anak-anak, hal ini
ditunjukkan pula dengan kurangnya perilaku eksploratif yang lebih lanjut dapat
menghambat perkembangan intelektualnya. Anak hanya memfokuskan atensinya untuk
mengantisipasi datangnya hukuman.
Desensitisasi dan Efek Jera
Jika hukuman berat diberikan secara terus menerus dapat menimbulkan
compulsive compliance, maka hukuman yang tidak konsisten akan menurunkan dan
bahkan menghilangkan rasa takut itu sendiri. Dalam teori belajar klasik (classical
conditioning) dikenal istilah desensitisasi yang menjelaskan turunnya kepekaan seseorang
terhadap suatu stimulus akibat sering terpapar pada stimulus tersebut (Wittig, 1980).
Dalam kaitannya dengan hukuman, semakin sering seseorang terpapar pada hukuman,
maka hukuman tersebut menjadi sesuatu yang biasa bagi mereka. Akhirnya yang tersisa
hanyalah pemaknaan bahwa kekerasan wajar untuk dilakukan. Penelitian yang dilakukan
Walgrave (2002) menunjukkan bahwa dibandingkan non kriminal, maka pelaku tindak
kriminal ditemukan kurang responsif terhadap hal-hal yang menurut orang lain
menyakitkan atau tidak menyenangkan. Hal ini disebabkan mereka telah terbiasa,
mengembangkan toleransi, dan mengalami desensitisasi terhadap rasa sakit
12
dibandingkan non kriminal. Oleh sebab itu bagi mereka yang telah terbiasa melakukan
tindak kejahatan, maka penjara atau hukuman apapun tidak lagi dirasakan sebagai
hukuman.
Rasa Malu, Tertekan, Bunuh Diri, dan Agresivitas
Selain rasa takut, hukuman menimbulkan rasa malu. Semakin bertambah usia
seseorang, semakin besar rasa malu yang mungkin timbul bila ia mendapatkan hukuman,
apalagi jika hukuman diberikan di depan orang lain. Banyak orang salah mengira rasa malu
dapat mencegah seseorang untuk kembali melakukan kesalahan atau kejahatan. Faktanya
adalah rasa malu karena mendapat hukuman dapat menimbulkan kebencian dan amarah
terhadap si pemberi hukuman. Kebencian dan amarah ini dapat ditampilkan dalam
bentuk menyerang langsung pihak yang bersangkutan atau melakukan displacement
dengan melampiaskannya kepada orang lain yang biasanya lebih rendah statusnya
dibandingkan dirinya. Tidak heran jika seorang anak yang sering dimarahi guru akan
semakin sering melanggar aturan dan bahkan berani menantang guru.
Rasa benci dan marah yang berkembang dari rasa malu juga dapat diarahkan
kepada diri sendiri. Bunuh diri adalah tindakan yang didasarkan pada rasa marah terhadap
diri sendiri yang sering dilakukan oleh para tahanan atau napi. Dorpat (2007) menemukan
50 persen kasus bunuh diri di penjara terjadi pada hari-hari pertama, dan 25 persen
bahkan terjadi dalam 3 jam pertama. Menurut Dorpat, rasa malu karena masuk penjara
adalah salah satu faktor yang mendorongnya.
Di samping rasa malu, hukuman juga dapat menimbulkan rasa tertekan. Dimarahi
terus menerus seolah semua yang dilakukan salah, bercampur rasa takut dan malu, semua
ini berpotensi menekan seseorang. Sulit untuk menampilkan performa yang baik dalam
kondisi tertekan yang bercampur rasa takut, malu, dan marah. Dalam kehidupan penjara,
tekanannya tampil dalam berbagai bentuk selain dimarahi atau dikenai hukuman fisik.
Terutama pada hari-hari pertama, para tahanan atau narapidana akan dikejutkan dengan
kondisi penjara yang penuh sesak, sanitasi yang buruk, dan penuh dengan kekerasan
bahkan termasuk di dalamnya kekerasan seksual sesama jenis (Dorpat, 2007).
13
Lebih lanjut Dorpat (2007) mengemukakan kondisi penjara yang penuh sesak
merupakan sumber stres utama bagi para narapidana dan tahanan. Dorpat
menyimpulkan hal ini berdasarkan pengamatannya pada beberapa lapas (lembaga
pemasyarakatan) di Amerika Serikat yang menempatkan dua napi dalam satu sel yang
sebenarnya diperuntukkan hanya untuk satu orang. Jika demikian halnya, tentu dapat
dibayangkan apa yang akan disimpulkan Dorpat bila mengetahui perbandingan jumlah
napi dan daya tampung lapas di Indonesia. Berdasarkan data terbaru (2010), jumlah
penghuni lapas di Indonesia mencapai 132.372 orang padahal kapasitas idealnya hanya
untuk 90.853 orang. Berarti lapas di Indonesia kelebihan beban 41.789 dari kapasitas
idealnya. Tidak heran jika sejumlah lapas sangat sesak. Di LP Kerobokan (Bali), misalnya, 3
sebagian narapidana tidur dengan posisi duduk berdiri karena jumlah napi dan tahanan
dua kali lipat lebih banyak dibanding daya tampung lapas. Lapas Lubukpakam di 4
Deliserdang bahkan lebih sesak lagi, dengan 951 napi dengan daya tampung sebenarnya
adalah 350 napi itu. Setiap sel yang umumnya berukuran 4 x 5 meter itu dihuni sekira 40
hingga 50 napi. Karena kepadatan itu, para napi tidur berjejal-jejalan dengan posisi susun
gembung, dan sebagian napi bahkan tidur di bak mandi. 5
Sejumlah penelitian menunjukkan kepadatan berlebihan (overcrowding)
berhubungan dengan meningkatnya kekerasan, gangguan psikiatris, dan bunuh diri. Hal ini
dapat dimaklumi karena semakin penuh sebuah lapas maka akan semakin panas udara,
semakin hilangnya privasi, dan kebisingan meningkat. Belum lagi ditambah dengan
sanitasi yang buruk. Selain itu, penjara dengan sendirinya mengambil hak-hak napi dan
tahanan. Jika di luar tahanan, mereka bebas melakukan yang mereka inginkan, maka tidak
demikian ketika mereka menempati sel penjara. Hubungan dengan keluarga dan
teman-teman otomatis juga terputus. Pada narapidana perempuan yang menjalani peran
sebagai ibu, menurut Dopart (2007) tekanan yang mereka rasakan lebih besar karena
harus berpisah dengan anak-anak. Dari pengalaman pendampingan Dopart dengan para
narapidana perempuan, mereka yang sebagian besar adalah seorang ibu, mengalami
3 http://ekonomi.kompasiana.com/group/bisnis/2010/06/30/membuat-uang-di-kejaksaan-tampa-sex/ 4 (http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailberita&kid=10&id=24653. 5 http://hariansib.com/?p=109752
14
keberpisahan yang sangat menyakitkan dengan anak-anaknya yang merupakan
perpaduan dari rasa bersalah yang sangat kuat, depresi, rasa malu, dan rendah diri.
Semua tekanan yang dialami para tahanan dan narapidana berpotensi
menimbulkan rasa frustrasi. Leonard Berkowitz (dalam Myers, 2008) menyatakan bahwa
frustrasi dapat membangkitkan rasa marah. Ia meyakini rasa marah ini sebagai kesiapan
emosional untuk seseorang melakukan tindakan agresif. Agresivitas yang dimaksud dapat
dalam bentuk melakukan tindak kekerasan terhadap orang lain, atau agresif terhadap diri
sendiri seperti melukai diri atau bahkan melakukan tindak bunuh diri. Kecenderungan
agresif dalam penjara dapat bertambah besar karena adanya petunjuk agresi (aggression
cues) seperti senjata para sipir atau bahkan senjata yang disembunyikan sesama
narapidana. Bukan tidak mungkin petunjuk agresi ini hanya hasil persepsi mereka sendiri.
Contohnya besi atau patahan kayu yang mereka temukan dalam lingkungan penjara
dapat dipersepsikan sebagai petunjuk agresi. Menurut Berkowitz, aggression cues dapat
mengarahkan kesiapan emosional menjadi ledakan kekerasan. Ditambah lagi provokasi
sesama narapidana yang sangat mungkin terjadi akan menambah kemungkinan kesiapan
emosional ini menghasilkan agresivitas. Provokasi ini dapat menimbulkan penularan sosial
(social contagion), maksudnya memicu narapidana lain untuk melakukan tindakan agresif.
Kekerasan yang terjadi dalam penjara, baik yang dilakukan sipir terhadap
narapidana atau sesama tahanan/narapidana itu sendiri dapat menjadi sumber stres
tersendiri. Ditambah lagi kekerasan ini juga melibatkan kekerasan antara seksual. Dopart
(2007) mencatat dari 700 narapidana laki-laki di Amerika Serikat melakukan hubungan
seksual dengan sesama laki-laki, hanya sekitar 6 orang yang tidak mengalaminya.
Penelitian di penjara California mencatat dari 200 sampel narapidana, 65% terlibat
dalam aktivitas seksual sejenis, padahal 78% dari narapidana mengidentifikasikan dirinya
sebagai heteroseksual, dan hanya 10.5% yang mengidentifikasikan diri sebagai
homoseksual (Castle, Hensley & Tewksbury, 2002). Untuk di Indonesia sendiri, meski
saya tidak menemukan data pasti, namun masalah ini juga banyak terjadi. Kasus terakhir 6
yang ditemukan adalah di Lapas Sukamelang, Subang. 7
6 http://www.zonaberita.com/surabaya-raya/kebutuhan-seks-napi-bakal-dipenuhi.html/ 7 http://bataviase.co.id/node/315670
15
Menurut Dopart (2007), rasa malu yang dirasakan narapidana tidak hanya karena
mendapat label narapidana. Pemerkosaan homoseksual ini juga dapat menimbulkan rasa
malu terutama bagi mereka yang mengidentifikasikan dirinya sebagai heteroseksual.
Dalam pandangan Dorpat, rasa malu ini terutama juga karena kondisi ruangan penjara
memungkinkan adanya observation gallery yakni aktivitas seksual itu dapat diamati
langsung oleh sesama narapidana maupun sipir penjara. Rasa malu ini semakin kuat ketika
mereka akhirnya mereka menjalani hubungan seksual sesama jenis sebagai sebuah
kebiasaan untuk memenuhi hasrat seksual mereka sementara mereka tetap
mengidentifikasikan diri sebagai heteroseksual.
Hukuman: Belajar Perilaku Positif atau Negatif?
Saya sependapat dengan problem hukuman yang dikemukakan Boonin (2008).
Hukuman yang digunakan untuk menghukum suatu perbuatan yang dianggap buruk
adalah juga tindakan yang tidak kalah buruknya dengan perbuatan yang dihukum itu
sendiri. Ketika seseorang mencaci maki, menghina, memukul, dsb, apakah dengan
sendirinya ia terlihat lebih baik atau lebih benar dibandingkan orang yang melakukan
kesalahan di matanya? Saya kira kita tidak akan melihatnya demikian. Ditambah lagi,
hukuman yang diberikan tidak akan efektif, malah membawa dampak negatif baik pada
orang yang dihukum maupun masyarakat secara keseluruhan.
Kekerasan akan melahirkan kekerasan. Frase ini tentu tidak asing bagi kita.
Mekanismenya sederhana, mengikuti prinsip belajar sosial yang dikemukakan psikolog
terkenal dari Kanada, Albert Bandura. Manusia memiliki kapasitas untuk mengamati suatu
perilaku dan menirunya bila mereka melihat tindakan itu efektif atau memunculkan
respons yang diharapkan. Hal ini dimungkinkan dengan vicarious reinforcement, yakni
suatu penguatan yang dirasakan seseorang tanpa perlu mengalami langsung, melainkan
hanya dengan mengamati dan mempersepsikan bahwa orang tersebut merasakan
konsekuensi-konsekuensi positif (yang ia harapkan) dari suatu tindakan. Contohnya
seorang anak melihat temannya menangis ketakutan dibentak gurunya. Ia melihat
bagaimana gurunya tampak puas dengan akibat dari tindakannya tersebut. Suatu ketika
jika ia ingin membuat seseorang takut, ia tahu bahwa yang perlu ia lakukan hanyalah
16
membentaknya. Lebih lanjut, ketika ia mendapatkan penguatan positif secara langsung
terhadap perilakunya tersebut, ia dengan senang hati akan kembali melakukannya.
Anak-anak ini berpotensi menjadi pribadi yang kasar dan melanggar aturan. Penelitian
psikologis menunjukkan sebagian besar pelaku kriminalitas menerima hukuman yang
sarat dengan unsur kekerasan pada masa kanak-kanak (Dopart, 2007).
Selain mekanisme yang dikemukakan Bandura, Dorpat (2007) menambahkan
bahwa seseorang yang terpapar pada hukuman meski hanya dengan menyaksikannya
tanpa mengalami langsung dapat mengalami emotional numbness. Maksudnya lama
kelamaan ia kehilangan empati dan tidak tergerak hatinya melihat penderitaan orang lain
yang dihukum. Ia akan dengan mudah melakukan kekerasan terhadap orang lain tanpa
merasa bersalah. Oleh sebab itu, belajar dari hukuman yang mungkin pernah diterimanya,
atau dari hukuman yang diamatinya, manusia akan belajar untuk menjadi pribadi
penghukum dan melakukan kekerasan yang sama.
Para tahanan dan narapidana akan kembali belajar kekerasan dari lingkungan
penjara yang keras. Mereka akan memaknai bahwa untuk dapat bertahan, mereka harus
dapat menunjukkan bahwa mereka berkuasa atau setidaknya dapat melawan jika ada
yang melakukan kekerasan terhadap mereka. Bahkan hal ini dipelajari pula oleh mereka
yang belum pernah melakukan tindak kejahatan/kekerasan sebelumnya. Ketika memang
akhirnya mereka ditakuti atau setidaknya tidak ada yang berani mengganggu mereka,
keyakinan mereka bahwa kekerasan membuahkan hasil yang mereka harapkan akan
semakin kuat. Akibatnya dalam penjara, kekerasan seolah menjadi bagian dari keseharian
tahanan/narapidana. Oleh sebab itu, fungsi inkapasitasi dari pemenjaraan patut
dipertanyakan. Sekalipun pemenjaraan jelas mencegah pelaku kembali melakukan
kejahatannya di luar penjara karena ia memang berada dalam penjara, namun
pemenjaraan tidak dapat mencegahnya untuk melakukan kejahatan yang sama ataupun
kejahatan lainnya di dalam penjara (Dorpat, 2007).
Dalam penjara, narapidana tidak hanya belajar kekerasan namun juga belajar
perbuatan buruk lainnya. Memasukkan pemakai narkoba ke dalam penjara tentu tidak
menghilangkan adiksi mereka. Mereka membutuhkan penanganan medis dan psikologis.
Ketika yang mereka dapatkan adalah pemenjaraan, maka yang mereka lakukan hanyalah
berusaha memenuhi kebutuhannya tersebut. Akibatnya yang terjadi adalah transaksi
17
narkoba marak ditemukan dalam penjara. Bagaimana mungkin melakukannya dalam
penjara yang notabene tidak memungkinkan interaksi dengan dunia luar? Jawabannya
sederhana, pada dasarnya manusia tidak hanya memiliki kemampuan untuk bertahan
dalam situasi tidak menyenangkan. Lebih dari itu, dalam kondisi terdesak manusia akan
memikirkan berbagai cara. Akhirnya yang kita dapati adalah penjara marak dengan
transaksi narkoba. Bahkan tidak hanya memasukkan narkoba, banyak narapidana juga
memasukkan perempuan yang dilacurkan dengan bantuan petugas. Mucikari dan bandar
narkoba sulit dilepaskan dari kehidupan penjara. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa
penjara adalah kampus kriminalitas atau pabrik kejahatan (Putwain & Sammons, 2004).
Pada akhirnya, hukuman pemenjaraan tidak mengajarkan hal positif.
Hukuman atau Penguatan?
Persoalan hukuman menjadi kompleks ketika konsep hukuman dan penguatan itu
sendiri ternyata tidak berlaku umum seperti yang diperkirakan. Apa yang menjadi
hukuman bagi seseorang ternyata tidak dipersepsikan demikian oleh orang lain.
Contohnya saja hukuman denda. Bagi mereka yang memiliki uang dan mampu
membayar denda maka denda bukanlah sebuah hukuman. Selain itu, stimulus yang kita
kira dapat menghukum kadang malah dipersepsikan sebagai sebuah penguatan positif.
Contohnya, seorang anak yang dipukul gurunya tiap kali berbuat salah, ternyata ia
memaknainya secara positif karena selama ini ia kurang mendapatkan perhatian. Pukulan
sekalipun mungkin menyakitinya secara fisik tidak dianggapnya sebagai sebuah hukuman
karena dengan hukuman itu setidaknya ia diperhatikan guru dan teman-temannya.
Akibatnya ia akan kembali melakukan kesalahan dengan harapan mendapatkan perhatian
yang ia inginkan selama ini. Hal yang kurang lebih sama pada mereka yang mengalami
ketergantungan narkoba atau melakukan tindak kriminalitas. Ketika mereka masuk
penjara, barulah keluarga prihatin dan memusatkan perhatian pada anggota keluarga yang
mendapat hukuman ini.
Selain pemaknaan pribadi dari orang yang menerima hukuman itu sendiri,
pemenjaraan menjadi alternatif yang lebih baik bagi mereka yang tidak memiliki
18
pekerjaan. Setidaknya mereka mendapatkan makanan dan tempat tinggal dalam penjara.
Dalam hal ini penjara menjadi penguatan bagi mereka. Selain itu, kejahatan itu sendiri juga
dapat mendatangkan penguatan positif bagi pelaku. Wood (dikutip oleh Flora, 2004)
menyebutkan tiga jenis rewards yang dapat menjadi penguatan ketika seseorang
melakukan tindak kejahatan. Pertama adalah exogenous rewards yang mencakup uang,
status sosial, dan imbalan yang bersifat instrumental lainnya. Kedua adalah psychological
rewards. Dengan melakukan tindak kriminalitas, seseorang merasa memiliki kemampuan,
merasa diri berguna, dan akhirnya menumbuhkan rasa percaya dirinya. Hal ini terutama
dialami oleh mereka yang sering mengalami kegagalan dan mendapatkan penghinaan.
Biasanya exogenous dan psychological rewards saling berinteraksi. Contohnya pada
orang yang rendah tingkat pendidikannya, tidak memiliki keterampilan khusus, dan sudah
merasa putus asa mencari pekerjaan, maka mencuri adalah pekerjaan yang akan memberi
penguatan kepada mereka. Tindakan ini dapat menghasilkan sejumlah uang yang dapat
memenuhi kebutuhannya. Ia dapat membeli barang, kendaraan, dsb, yang sekaligus
membuatnya merasa berhasil dan merasa berharga. Semua rewards ini akan lebih
menguatkan mereka dibandingkan membayangkan hukuman yang akan mereka terima.
Apalagi bila mereka berhasil melakukannya. Sesekali tertangkap tidak akan membuat
mereka jera selama kondisi mereka tidak berubah. Karena masih ada kemungkinan
mereka berhasil dalam pencurian selanjutnya. Dalam prinsip pembelajaran instrumental
menurut Skinner (dalam Wittig, 1980), keberhasilan yang kadang kala diperoleh, dan
hukuman yang tidak konsisten (karena tidak selalu tertangkap), merupakan kondisi yang
paling efektif untuk meningkatkan kemungkinan dilakukannya kembali perbuatan yang
sama. Tidak heran jika mereka kembali melakukan perbuatan yang sama di kemudian hari.
Selain itu, ada faktor hukuman-hukuman yang tidak terlihat (invisible punishments)
yang akan membuat dua jenis rewards ini menjadi lebih berharga bagi mereka. Seseorang
tidak hanya menjadi narapidana saat berada dalam penjara. Menjadi narapidana adalah
hukuman seumur hidup yang dialami seseorang begitu ia pernah masuk penjara. Hal ini
disebabkan label mantan narapidana akan melekat selamanya dan memengaruhi
kehidupan seseorang setelah ia keluar dari penjara. Sulit bagi masyarakat menerima
kembali kehadiran mantan narapidana. Mereka umumnya juga sulit mendapatkan
pekerjaan. Jika berurusan dengan hal-hal yang melibatkan masalah administratif seperti
19
urusan bank, mereka juga menemui hambatan. Mereka yang bercerai dengan
pasangannya juga akan kehilangan hak asuh anak dan bukan tidak mungkin tidak akan
pernah diizinkan kembali untuk menemui anak-anaknya. Keluarga pun belum tentu
menerima mereka kembali jika memang dianggap telah mencemarkan nama baik
keluarga. Inilah yang disebut dengan hukuman-hukuman yang tidak terlihat, hutang yang
harus dibayarkan sepanjang hidupnya oleh seseorang yang pernah menyandang status
narapidana. Dalam kondisi seperti ini, tidak mengherankan banyak narapidana yang
kembali melakukan tindak kriminal. Kejahatan menjadi satu-satunya tindakan yang
mendatangkan rewards bagi mereka.
Ketiga adalah physiological rewards, berupa sensasi menyenangkan yang dirasakan
karena adanya rangsangan pada sistem neurofisiologis ketika mereka melakukan tindak
kejahatan. Biasanya jenis rewards terakhir ini ditemukan pada individu dengan gangguan
kepribadian antisosial yang melakukan perbuatan melanggar hukum sekedar mencari
sensasi atau tantangan baru. Individu ini juga sudah kehilangan rasa bersalah dan empati.
Perlu diingat bahwa kepribadian semacam ini tidak lahir dari sananya, melainkan karena
terlalu sering menerima hukuman sebelumnya saat masa kanak-kanak dan remaja. Pada
individu ini, hukuman apapun sudah tidak akan berfungsi sebagai hukuman lagi, yang ada
malah semakin memberi mereka penguatan.
Di samping itu, penjara juga sama sekali tidak memberikan hukuman bagi mereka
yang memiliki uang. Petugas penjara tidak hanya dapat dibayar untuk memasukkan
perempuan yang dilacurkan dan menyediakan narkoba seperti yang disebutkan di atas.
Mungkin masih segar dalam ingatan kita, para koruptor yang mendapatkan kamar
istimewa yang dilengkapi air conditioner, fasilitas home theater dan peralatan fitness.
Dukungan yang mereka dapatkan dari sistem hukum yang seperti ini dengan sendirinya
tidak akan menurunkan kejahatan mereka atau para koruptor lainnnya. Mereka justru
mendapatkan penguatan positif untuk tetap melakukan hal yang sama. Hukuman pun
tidak akan berfungsi, dan hukuman tidak dapat dikatakan sebagai hukuman bila memang
tidak berfungsi menurunkan frekuensi dari perilaku yang dikenai hukuman.
Hal yang kurang lebih sama juga dapat terjadi pada proses hukum itu sendiri.
Proses hukum tidak bicara mengenai kebenaran, melainkan apa yang dapat dibuktikan.
Pembuktian tidak hanya bergantung kepada apa yang ditunjukkan oleh bukti-bukti yang
20
ada tetapi juga bagaimana caranya agar pembuktian dapat terlaksana. Tidak sedikit orang
bersalah lepas dari hukuman dan menertawakan kegagalan sistem hukum dalam
mengungkap kebenaran. Sebaliknya tidak sedikit pula mereka yang tidak bersalah
terpaksa mengakui perbuatan yang sesungguhnya tidak pernah mereka lakukan. Seorang
korban tidak pernah mengikuti proses hukum dengan posisi sebagai korban. Ketika suatu
masalah sudah dibawa dalam proses hukum pidana maka yang menempati posisi korban
adalah negara. Korban yang sesungguhnya akan “diadili” sama seperti pelaku. Oleh sebab
itu tidak tertutup kemungkinan korban kembali dikorbankan dalam proses hukum. Pelaku
dibebaskan dari tuduhan, sementara korban harus mendekam di penjara. Dalam kondisi
seperti ini bagaimana hukum memberikan efek jera ? Yang terjadi adalah banyak orang
kehilangan kepercayaan terhadap sistem hukum.
Proses Hukum dan Prinsip Kesegeraan (Immediacy) Hukuman
Meski banyak pakar yang menentang hukuman, masih ada yang berpendapat
bahwa hukuman dapat efektif asalkan memperhatikan beberapa kondisi (Henry, 2003).
Pertama, hukuman tidak mengandung unsur kekerasan. Kedua, hukuman harus dipadukan
dengan penguatan positif terhadap perilaku positif dari orang yang dikenai hukuman.
Ketiga, hukuman harus segera diberikan begitu seseorang melakukan kesalahan. Semakin
tertunda, hukuman akan semakin kurang efektif. Bahkan untuk menjamin efektivitasnya,
hukuman tersebut harus benar-benar diberikan pada saat seseorang tertangkap basah
sedang melakukan perbuatan yang melanggar aturan. Jika pelanggarannya baru diketahui
kemudian hari, hukuman akan berkurang efektivitasnya.
Mengenai syarat ketiga ini, tampaknya panjangnya proses hukum yang harus
dilalui seseorang yang berurusan dengan hukum, dengan sendirinya semakin mengurangi
poin efektivitas hukuman. Bahkan sekalipun si pelaku tertangkap saat sedang melakukan
tindak kriminal, namun hukumannya tetap tertunda. Pertama-tama, ia harus dibawa ke
kantor polisi dan mungkin saja akan dilepaskan sampai kasus mereka disidangkan. Bahkan
seperti yang tadi dijelaskan di atas, bukan tidak mungkin mereka memang tidak akan
pernah menerima hukuman. Selain itu, proses penyidikan sampai persidangan juga akan
berlangsung lama, setidaknya butuh waktu berbulan-bulan. Tidak sedikit pelaku yang
21
dilepaskan begitu persidangan selesai, karena masa tahanannya telah melampaui masa
hukuman.
Prinsip ini dengan sendirinya juga menjawab efektivitas hukuman percobaan.
Dalam hukuman percobaan seolah hukuman itu ditunda, menunggu jikalau orang yang
dikenai hukuman percobaan ini melakukan tindakan melanggar hukum kembali dalam
jangka waktu yang ditetapkan hakim. Jika ia ternyata melakukan pelanggaran kembali,
hukuman akan dijatuhkan namun prinsip kesegeraan jelas sudah tidak terpenuhi. Apalagi
untuk menjatuhkan hukuman ini perlu proses hukum kembali. Jika ia tidak melakukan
pelanggaran dalam rentang waktu tersebut, walhasil ia terbebas dari hukuman penjara.
Namun demikian, adakah hal positif yang dapat ia pelajari? Ia hanya akan belajar bahwa
perbuatan buruknya tidak mendatangkan hukuman atau bahwa ia dapat mengendalikan
diri tidak melakukan kembali tindak kriminalitas dalam kurun waktu tertentu. Namun ia
tidak belajar apa yang harus ia perbaiki. Setelah masa hukuman percobaan selesai, bukan
tidak mungkin ia kembali melakukan tindak kejahatan namun kali ini lebih disertai
kehati-hatian agar tidak tertangkap.
Di samping itu, hukuman percobaan bagi seseorang yang sebenarnya tidak
melakukan tindak kriminal malah akan membahayakan orang tersebut. Sebut saja
seorang korban KDRT yang dijatuhi hukuman percobaan setelah suaminya yang
merupakan pelaku sebenarnya berhasil memutarbalikkan fakta. Dalam rentang waktu
yang diberikan hakim, bukankah akan sangat mungkin pelaku kembali mengancam atau
bahkan melakukan tindak kekerasan serta kembali memutarbalikkan fakta? Tampaknya
kita memang perlu sungguh-sungguh memikirkan cara efektif untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan hukuman ini.
Lantas Apa yang Harus Dilakukan?
Tulisan ini berjudul sanksi dan penghukuman. Bicara mengenai sanksi, kita
biasanya hanya membicarakan tentang hukuman. Padahal sebenarnya tidak demikian.
Jika berbicara mengenai sanksi, yang terbersit di benak hampir sebagian besar orang
adalah hukuman. Tampaknya kita telanjur mengidentikkan sanksi dengan hukuman.
Padahal sanksi tidak hanya melulu tentang hukuman. Sanksi memang dapat berarti
22
hukuman, tetapi dapat pula berarti tindakan mendukung secara resmi, atau kebijakan
untuk menjamin kepatuhan seseorang dalam masyarakat agar konformitas tetap terjaga.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), salah satu penjelasan mengenai sanksi
adalah imbalan negatif, berupa pembebanan atau penderitaan dan imbalan positif yang
berupa hadiah atau anugerah, yang keduanya ditentukan dalam hukum. Sayangnya
imbalan positif ini jarang diberikan dan bahkan hampir terabaikan. Lantas apa yang harus
kita lakukan sekarang?
Ada baiknya kita menyimak pandangan Skinner sebagai penggagas teori yang
terkait erat dengan masalah hukuman dan penguatan. Berikan penguatan positif untuk
perilaku positif, jangan menghukum bila seseorang melakukan tindakan negatif, dan anak
dengan sendirinya akan belajar untuk terus menampilkan perilaku positif dan
menghentikan perbuatan buruknya. Sedangkan mengenai penguatan negatif, meskipun
fungsinya meningkatkan perilaku yang positif, namun penguatan negatif menggunakan
stimulus tidak menyenangkan, sama seperti hukuman. Menurut Flora (2004), dengan
penguatan negatif, seseorang akan merasa terkontrol dan kehilangan otonomi. Selain itu,
karena dalam penguatan negatif, seseorang harus berperilaku positif untuk menghindari
stimulus tidak menyenangkan, lambat laun ia akan mengasosiasikan stimulus tersebut
sebagai sebuah hukuman. Dengan demikian, ia akan berusaha menampilkan satu perilaku
positif hanya untuk menghindari hukuman. Oleh sebab itu, Flora tidak menganjurkan
penggunaan penguatan negatif.
Dalam konteks pendidikan dan sekolah sepertinya tidak sulit menerapkan
penguatan positif dan menghindari hukuman ataupun penguatan negatif. Namun
bagaimana menerapkannya bila sudah memasuki wilayah hukum? Apakah bisa secara
ekstrim kita menghapuskan pemenjaraan? Saya tidak ingin gegabah memutuskan bahwa
pemenjaraan harus ditiadakan. Namun saya kira pemenjaraan hendaknya dijadikan
alternatif terakhir, ditambah catatan mengenai hal-hal yang harus diperbaiki, yang
mungkin memang membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk melakukannya.
Selanjutnya yang perlu dipikirkan bukanlah hukuman apa yang harus diberikan tetapi apa
yang harus dilakukan untuk memperbaiki kehidupan para pelaku kriminalitas? Bagaimana
mereka tidak kembali melakukan tindak kriminal jika tidak punya sumber daya untuk
23
bertahan hidup? Jika mereka melakukan kekerasan, apa yang harus dilakukan agar mereka
tidak lagi melakukannya?
Dapat saja pertanyaan-pertanyaan tersebut dibantah bahwa sejauh ini sudah
dilakukan pembinaan terhadap para narapidana. Namun demikian, kita harus jujur bahwa
pembinaan ini terbukti belum efektif. Dengan demikian, hendaknya ditelusuri lebih lanjut
penyebab ketidakefektifan pembinaan ini. Apakah minat dan kelebihan yang mereka
miliki untuk dapat dikembangkan lebih lanjut, yang tentunya juga memang memiliki daya
jual? Apakah pembinaan yang diberikan sudah sesuai dengan kebutuhan? Selain itu, saya
kira pendapat Kepala Lapas Pakjo Palembang, Ilham Djaya, juga perlu diperhatikan. 8
Menurutnya, lapas membutuhkan tenaga yang kompeten di bidangnya untuk
memberikan pembinaan. Sejauh ini pembinaan diberikan oleh petugas lapas padahal
mereka tidak menekuni bidang binaan tersebut. Selain itu, jumlah mereka yang sangat
sedikit tidak sebanding dengan jumlah narapidana yang sangat banyak. Ditambah lagi
mereka masih memiliki tugas lain seperti menjaga keamanan lapas.
Restorative Justice: Sebuah Usulan
Jika pemenjaraan menjadi alternatif terakhir, denda tidak berfungsi sebagai
hukuman, hukuman percobaan juga tidak memenuhi prinsip kesegeraan, dan hukuman itu
sendiri memang tidak efektif, lantas apa yang harus dilakukan? Belakangan ini para praktisi
hukum mencoba menawarkan bentuk keadilan lain yang dikenal dengan sebutan
restorative justice. Inilah bentuk keadilan yang tidak menghukum untuk menggantikan
keadilan berdasarkan hukuman. Pendekatan yang sebenarnya sudah tidak baru lagi ini
karena sudah mulai dijalankan di New Zealand sejak tahun 1980-an menawarkan janji dan
harapan baik untuk korban maupun pelaku. Pendekatan ini membuat seseorang
bertanggung jawab atas tindakannya sementara pada saat yang bersamaan juga
membantu pelaku untuk mengembalikan kontrol diri mereka dan memperbaiki hubungan
mereka dengan komunitas.
8 http://www.sripoku.com/view/47110/pembinaan_lapas_butuh_partisipasi_unsur_kompeten
24
Restorative justice berakar pada tradisi spiritual dari peradaban Arab, Buddha,
Konfusius, Yunani, Romawi, dan Taoisme, yang meyakini adanya potensi manusia untuk
sembuh (Dopart, 2007). Pendekatan ini memandang kejahatan sebagai pelanggaran
fundamental terhadap hubungan interpersonal maupun hubungan antar orang
banyak/masyarakat yang lebih luas. Ketika sebuah pelanggaran terjadi, baik korban
maupun komunitas telah terluka dan oleh karenanya membutuhkan restorasi dan
penyembuhan. Bentuk keadilan ini berfokus kepada luka-luka atau dampak yang timbul
dari sebuah kesalahan, dan bukan mengenai aturan apa yang telah dilanggar.
Istilah restorative itu sendiri mengacu kepada upaya mengembalikan kondisi
hubungan korban dan pelaku seperti sebelum peristiwa kekerasan terjadi (Busch, 2002).
Restorative justice didasarkan pada pandangan bahwa kejahatan yang dilakukan tidak
hanya berdampak negatif pada korban tetapi juga pada pelaku dan pihak lain yang
terlibat. Dalam restorative justice semua pihak yang terlibat (korban, pelaku, dan
komunitas) akan dikumpulkan untuk bersama-sama menemukan keadilan yang
menyembuhkan luka-luka, kemarahan, dan rasa sakit hati akibat kekerasan yang terjadi.
Dengan demikian, apa yang menjadi simbol perbaikan (reparasi) dapat berbeda pada
masing-masing kasus (Busch, 2002).
Dalam proses ini, semua pihak dapat mengungkapkan apa yang mereka rasakan.
Dengan demikian masing-masing pihak dapat melihat peristiwa dari sudut pandang pihak
lain. Pelaku dapat memahami bagaimana perbuatannya telah menimbulkan dampak
sedemikian negatif terhadap korban sekaligus ia belajar mengenali diri dan masa lalunya
serta mengambil tanggung jawab atas perbuatannya. Sebaliknya, korban juga dapat
memahami dinamika penyebab pelaku melakukan kekerasan. Diharapkan dalam proses
ini, rasa marah dan rasa takut korban terhadap pelaku akan berkurang dan memaafkan
pun akan muncul sebagai virtue (Luna, dalam Poerwandari & Lianawati, 2010).
Permintaan maaf dari pelaku dan kesediaan korban untuk memaafkan memang
merupakan aspek mendasar dalam restorative justice. Banyak yang menganggap proses ini
membebani korban karena sebagai pihak yang telah menderita kini masih harus
memaafkan (Stubbs, dalam Poerwandari & Lianawati, 2010). Dalam kasus kekerasan
berbasis gender, restorative justice juga dianggap dapat membahayakan korban karena
kecenderungan pelaku menyangkal perbuatannya atau balik menyalahkan korban.
25
Korban bukan tidak mungkin mengambil alih tanggung jawab atas perbuatan pelaku
terhadap dirinya. Selain itu, menyatakan permintaan maaf sering bukan hal yang sulit
untuk dilakukan pelaku. Tidak jarang meminta maaf menjadi cara bagi pelaku agar proses
segera selesai, tanpa ia sungguh-sungguh menyesali dan berniat mengubah perilaku.
Sementara itu korban, khususnya perempuan dan anak yang berada dalam posisi tawar
lebih lemah, memang cenderung mudah memaafkan (Poerwandari & Lianawati).
Memaafkan, di satu sisi merupakan dasar dan kekuatan dari restorative justice,
namun di sisi lain juga menjadi persoalan utama. Daly dan Curtis-Fawley (2005)
mencoba menengahi bahwa memaafkan hendaknya tidak dipersoalkan dan tidak
ditekankan dalam restorative justice. Memaafkan mungkin merupakan sebuah kondisi ideal
bila tujuan restorative justice adalah restorasi korban, pelaku, dan komunitas. Namun
restorasi total semacam ini sering kali hanya menjadi sebuah omong kosong karena
dalam realita sangat sulit untuk mencapainya. Lebih lanjut Daly dan Curtis-Fawley
berpendapat sebaiknya restorative justice dilihat sebagai konsep yang berisikan
serangkaian aktivitas: (a) Pelaku mengakui pelanggaran atau tindak kejahatan yang ia
lakukan; (b) Pelaku dan kelompoknya bertemu muka dengan korban (atau perwakilannya)
dan kelompoknya. Polisi atau pengacara korban juga dapat hadir dalam pertemuan ini; (c)
Proses bersifat informal, namun ada ketua yang memimpin pertemuan, termasuk
membentuk aturan-aturan dasar yang harus disepakati oleh tiap partisipan seperti
mendengarkan satu sama lain; (d) Diskusi dan pengambilan keputusan didasarkan pada
hasil pembicaraan dari kelompok korban dan pelaku, bukan oleh petugas polisi,
pengacara, atau pihak lain yang berperan di bidang hukum; dan (e) Aktivitas ini bertujuan
adalah menurunkan rasa takut dan kemarahan korban pelaku terhadap korban (perhatikan
bahwa hal ini tidak berarti korban harus memaafkan dan melakukan rekonsiliasi dengan
pelaku), menyadarkan pelaku atas dampak negatif perbuatannya terhadap korban untuk
kemudian meminta maaf kepada korban, dan pelaku melakukan sesuatu untuk
memperbaiki dampak negatif yang telah ia timbulkan.
Meskipun belum ada kesepakatan mengenai cara terbaik dalam melakukan
restorative justice, namun demikian tidak ada salahnya bila kita mencoba menerapkannya.
Pendekatan ini terbukti efektif di beberapa negara seperti New Zealand, Kanada, dan
India. Selain itu, saya kira pendekatan ini sangat tepat diterapkan di Indonesia.
26
Pendekatan ini diambil dari tradisi suku Maori di New Zealand yang menekankan
keharmonisan. Bukankah keharmonisan juga pernah menjadi bagian dari budaya kita, jika
tidak dapat dikatakan masih ? Lagipula meminjam istilah yang dikemukakan almarhum
Satjipto Rahardjo, salah seorang maestro hukum yang pernah kita miliki, saya kira sudah
saatnya kita mulai memikirkan bersama-sama bagaimana caranya berhukum dengan hati
nurani. Restorative justice, dalam pandangan saya, dapat menjadi salah satu cara itu.
Daftar Pustaka
Boonin, David. (2008). The problem of punishment. Cambridge, UK: Cambridge University
Press.
Castle, Tammy, Hensley, Christopher, & Tewksbury, Richard. (2002). Argot roles and
prison sexual hierarchy. In Christopher Hensley (Ed.), Prison sex: Practice and policy
(pp.13-22). Boulder, CO: Lynne Rienner Publisher, Inc.
Curtis-Fawley, Sarah & Daly, Kathleen. (2005). Gendered violence and restorative Justice:
The views of victim advocates. Violence Against Women 11, 603-638. Doi:
10.1177/1077801205274488 Dorpat, Theodore L. (2007). Crimes of punishment: America’s culture of violence. New York:
Algora Publishing.
Flora, Stephen Ray. (2004). The power of reinforcement. New York: State University of
New York Press.
Horne, Christine. (2009). The rewards of punishment: A relational theory of norm
enforcement. Stanford, CA: Stanford University Press.
Myers, David G. Social psychology. (2008). New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.
Poerwandari, Kristi., & Lianawati, Ester. (2010). Buku saku untuk penegak hukum: Petunjuk
penjabaran kekerasan psikis untuk menindaklanjuti laporan kasus KDRT. Jakarta,
Indonesia: Program Studi Kajian Wanita Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
Putwain, David, & Aidan Sammons. (2002). Psychology and crime. New York: Routledge,
Taylor and Francis Group.
27
Stuart, Henry. (2003). On the effectiveness of prison as punishment. Paper presented at the
Conference Incarceration nation: The Warehousing of America’s Poor, Ivy Tech State
College, South Bend, Indiana.
Walgrave, Lode. (2002). Not punishing children, but committing them to restore. In
Antony Duff & Ido Weijers (Eds.), Punishing juveniles: Principle and critique. Portland,
OR: Hart Publishing c/o International Specialized Book Services.
Wittig, Arno F. (1980). Psychology of learning. New York: Mc-Graw Hill.
28
top related