strategi koping dan faktor-faktor yang mempengaruhi ... · sosial bagi suami dan istri, ayah, dan...
Post on 06-Mar-2019
252 Views
Preview:
TRANSCRIPT
7
TINJAUAN PUSTAKA
Konsep dan Pendekatan Teori Keluarga
Pengertian Keluarga
Pengertian keluarga menurut UU Nomor 10 Tahun 1992 adalah unit
terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami, istri atau suami istri dan
anaknya atau ayah dan anaknya atau ibu dan anaknya. Keluarga adalah suatu
kelompok dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan, darah dan
adopsi dan berkomunikasi satu sama lain yang menimbulkan peranan-peranan
sosial bagi suami dan istri, ayah, dan ibu, anak laki-laki dan perempuan, saudara
laki-laki dan perempuan serta merupakan pemeliharaan kebudayaan bersama
(Puspitawati 2009).
Tujuan dan Fungsi Keluarga
Tujuan dari terbentuknya keluarga adalah untuk mewujudkan suatu
struktur atau hierarkis yang dapat memenuhi kebutuhan fisik dan psikologis para
anggotanya dan untuk memelihara kebiasaan atau budaya masyarakat yang lebih
luas (Puspitawati 2009). Dalam mencapai tujuan keluarga, Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 21 Tahun 1994 (BKKBN 1996) menyebutkan adanya delapan fungsi
yang harus dijalankan oleh keluarga meliputi:
1. Fungsi keagamaan yaitu keluarga perlu memberikan dorongan kepada seluruh
anggotanya agar kehidupan keluarga sebagai wahana persemaian nilai-nilai
agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa dan untuk menjadi insane-insan
agamais yang penuh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Fungsi sosial budaya yaitu memberikan kepada keluarga dan seluruh
anggotanya untuk mengembangkan kekayaan budaya bangsa yang beraneka
ragam dalam satu kesatuan.
3. Fungsi cinta kasih yaitu keluarga memberikan landasan yang kokoh terhadap
hubungan anak dengan anak, suami dengan istri, orangtua dengan anaknya,
serta hubungan kekerabatan antar generasi sehingga keluarga menjadi wadah
utama bersemainya kehidupan yang penuh cinta kasih lahir dan batin.
4. Fungsi melindungi yaitu untuk menumbuhkan rasa aman dan kehangatan..
8
5. Fungsi reproduksi merupakan mekanisme untuk melanjutkan keturunan yang
direncanakan dapat menunjang terciptanya kesejahteraan manusia di dunia
yang penuh iman dan takwa.
6. Fungsi sosialisasi dan pendidikan yaitu dengan memberi peran kepada keluarga
untuk mendidik keturunan agar bisa melakukan penyesuaian dengan alam
kehidupan di masa depan.
7. Fungsi ekonomi, menjadi unsur pendukung kemandirian dan ketahanan
keluarga.
8. Fungsi pembinaan lingkungan yaitu memberikan kepada setiap keluarga
kemampuan menempatkan diri secara serasi, selaras, dan seimbang sesuai daya
dukung alam dan lingkungan yang berubah.
Menurut Guhardja et al. (1989), keluarga bertanggung jawab dalam
menjaga anggotanya serta menumbuhkan dan mengembangkan kepribadian
anggota keluarganya. Kelanjutan dari suatu masyarakat dimungkinkan adanya
orangtua dan anak. Oleh sebab itu, tujuan kebanyakan rumahtangga dan keluarga
adalah reproduksi, adopsi dan sosialisasi. Fungsi keluarga dapat diuraikan sebagai
berikut:
1. Fungsi pemeliharaan dan dukungan terhadap anggota keluarga. Pangan,
pakaian dan tempat tinggal adalah kebutuhan dasar dari setiap individu yang
harus dipenuhi keluarga. Rumah dan sandang memberikan perlindungan dan
merupakan sumber ekspresi bagi kebutuhan gizi, sehingga mampu
melaksanakan segala aktivitasnya. Memelihara kesehatan adalah juga tanggung
jawab keluarga.
2. Fungsi perkembangan anggota keluarga. Dengan memperhatikan kebutuhan
dasar dari anggota keluarga, maka kesempatan berkembang yang lebih luas
dapat dibangun. Melalui kesempatan yang lebih banyak, individu dan keluarga
akan mendapatkan ekspresi yang lebih banyak dalam aspek budaya, intelektual
dan aspek sosial.
Pendekatan Teori Struktural Fungsional
Teori struktural fungsional mengasumsikan bahwa masyarakat merupakan
sebuah sistem yang terdiri dari berbagai bagian atau subsistem yang saling
berhubungan. Bagian-bagian tersebut berfungsi dalam segala kegiatan yang dapat
9
meningkatkan kelangsungan hidup dari sistem. Fokus utama dari berbagai pemikir
teori fungsionalisme adalah untuk mendefinisikan kegiatan yang dibutuhkan
untuk menjaga kelangsungan hidup sosial. Terdapat beberapa bagian dalam dari
sistem sosial yang perlu dijadikan fokus perhatian, antara lain: faktor individu,
proses sosialisasi, sistem ekonomi, pembagian kerja dan nilai atau norma yang
berlaku. Adapun persyaratan struktural yang harus dipenuhi agar struktur keluarga
menurut Levy (Megawangi 1999) sebagai sistem dapat berfungsi adalah:
1. Diferensiasi peran: Serangkaian tugas dan aktivitas yang harus dilakukan
dalam keluarga. maka harus ada alokasi peran untuk setiap aktor dalam
keluarga. Terminologi diferensiasi peran bisa mengacu pada umur, gender,
generasi, juga posisi status ekonomi dan politik dari masing-masing aktor.
2. Alokasi solidaritas: Distribusi relasi antar anggota keluarga menurut cinta,
kekuatan, dan intensitas hubungan. Cinta atau kepuasan menggambarkan
hubungan antar anggota. Sedangkan intensitas adalah kedalaman relasi antar
anggota menurut kadar cinta, kepedulian, ataupun ketakutan.
3. Alokasi ekonomi: Distribusi barang-barang dan jasa untuk mendapatkan hasil
yang diinginkan. Direfensiasi tugas juga ada dalam hal ini terutama dalam hal
produksi, distribusi, dan konsumsi dari barang dan jasa dalam keluarga.
4. Alokasi politik: Distribusi kekuasaan dalam keluarga dan siapa yang
bertanggung jawab atas setiap tindakan anggota keluarga. Agar keluarga dapat
berfungsi maka distribusi kekuasaan pada tingkat tertentu diperlukan.
5. Alokasi integrasi dan ekspresi: Distribusi teknik atau cara untuk sosialisasi,
internalisasi, dan pelestarian nilai-nilai dan perilaku yang memenuhi tuntunan
norma yang berlaku untuk setiap anggota keluarga.
Pendekatan teori struktural fungsional dalam konteks keluarga terlihat dari
struktur dan aturan yang ditetapkan. Dinyatakan oleh Chapman (2000) diacu
dalam Puspitawati (2006) bahwa keluarga adalah unit universal yang memiliki
peraturan, seperti peraturan untuk anak-anak agar dapat belajar untuk mandiri.
Tanpa aturan atau fungsi yang dijalankan oleh unit keluarga, maka unit keluarga
tersebut tidak memiliki arti yang dapat menghasilkan suatu kebahagiaan. Bahkan
dengan tidak adanya peraturan maka akan tumbuh atau terbentuk suatu generasi
10
penerus yang tidak mempunyai kreasi yang lebih baik dan akan mempunyai
masalah emosional serta hidup tanpa arah (Puspitawati 2009).
Kemiskinan
Kemiskinan adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup
memelihara dirinya sendiri dengan taraf kehidupan yang dimiliki dan juga tidak
mampu memanfaatkan tenaga. mental maupun fisiknya untuk memenuhi
kebutuhannya (BKKBN 1996). Biro Pusat Statistik (BPS) menyebutkan
kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang hanya dapat memenuhi kebutuhan
makannya kurang dari 2.100 kalori per kapita/hr. Selain itu, Bank Dunia
mendefinisikan kemiskinan adalah suatu kondisi tidak tercapainya kehidupan
yang layak dengan penghasilan US $ 1 per hari (Saefuddin et al. 2003).
BPS (2008) menyebutkan secara absolut penduduk miskin di Indonesia
terkonsentrasi di Pulau Jawa. Pada tahun 2007 jumlah penduduk miskin di Jawa
sebesar 12,04 juta jiwa dan pada tahun 2008 sebesar 11,42 juta jiwa. Angka ini
merupakan angka paling besar jika dibandingkan dengan lima pulau lainnya.
Jumlah penduduk miskin di Kawasan Barat Indonesia (KBI) pada tahun 2007 dan
2008 berturut-turut tercatat 17,24 juta jiwa dan 16,24 juta jiwa. Sementara di
Kawasan Timur Indonesia (KTI) berturut-turut tercatat 6,37 juta jiwa dan 5,95
juta jiwa. Meskipun demikian persentase penduduk miskin di KTI lebih besar
dibandingkan dengan di KBI.
Tabel 1 Jumlah dan persentase penduduk miskin di daerah pedesaan menurut pulau, 2007 dan 2008
Pulau Jumlah Penduduk Miskin (juta) Persentase Penduduk Miskin
2007 2008 2007 2008 Sumatera 5,10 4,73 17,52 16,02 Jawa 12,04 11,42 21,31 10,05 Bali+Nusa Tenggara 1,70 1,60 22,51 20,98 Kalimantan 0,94 0,85 12,02 10,69 Sulawesi 2,37 2,22 20,88 19,30 Maluku+Papua 1,46 1,38 40,41 37,35 Kawasan Barat Indonesia 17,24 16,24 19,81 18,47 Kawasan Timur Indonesia 6,37 5,95 22,05 20,31 Indonesia 23,61 22,19 20,39 18,93 Sumber: BPS 2008
Garis kemiskinan (GK) terdiri dari dua komponen, yaitu Garis Kemiskinan
Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Nonmakanan (GKNM). Penghitungan
11
Garis Kemiskinan dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan
perdesaan. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata
pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan (BPS 2008). Dari
tahun 1996 sampai dengan tahun 2008 garis kemiskinan penduduk Indonesia
menunjukkan peningkatan yang terus-menerus sehingga hal ini berdampak pada
jumlah peduduk miskin yang semakin meningkat pula dari tahun 1996 hingga
tahun 2008. Pada tahun 1996-1998 terjadi peningkatan garis kemiskinan yang
sangat tajam yaitu dari Rp.42.032,- sampai Rp.96.959,- (kota) dan Rp.31.466,-
sampai Rp.72.780,- (desa). Hal ini terkait dengan adanya krisis ekonomi yang
mengakibatkan harga kebutuhan pokok meningkat.
Tabel 2 Garis kemiskinan, jumlah, dan persentase penduduk miskin 1996-2008 Tahun Garis Kemiskinan Jumlah Penduduk Miskin Persentase Penduduk Miskin
Kota Desa Kota Desa Kota dan Desa
Kota Desa Kota dan Desa
1996 42.032 31.466 9,42 24,59 34,01 13,39 19,78 17,47 1998 96.959 72.780 17,60 31,90 49,50 21,92 25,72 24,23 1999 92.409 74.272 15,64 32,33 47,97 19,41 26,03 23,43 2000 91.632 73.648 12,30 26,40 38,70 14,60 22,38 19,14 2001 100.011 80.382 8,60 29,30 37,90 9,76 24,84 18,41 2002 130.499 96.512 13,30 25,10 38,40 14,46 21,10 18,20 2003 138.803 105.888 12,20 25,10 37,30 13,57 20,23 17,42 2004 143.455 108.725 11,40 24,80 36,10 12,13 20,11 16,66 2005 150.799 117.259 12,40 22,70 35,10 11,68 19,98 15,97 2006 174.290 130.584 14,49 24,81 39,30 13,47 21,81 17,75 2007 187.942 146.837 13,56 23,61 37,17 12,52 20,37 16,58 2008 204.896 161.831 12,77 22,19 34,96 11,65 18,93 15,42 Sumber: BPS 2008 Catatan: 1. Referensi waktu untuk seluruh data adalah Februari, kecuali data tahun 1998
(Desember) dan tahun 2006-2008 (Maret) 2. Data mulai tahun 1999 tanpa timor-timur.
Kemiskinan sering diukur berdasarkan indikator-indikator yang melekat
pada seorang individu atau sebuah rumahtangga. Menurut Pakpahan et al. (1995),
kemiskinan sering digambarkan oleh satu atau kombinasi dari tingkat pendapatan
yang rendah, tingkat kematian balita yang tinggi, tingkat nutrisi rendah, kualitas
perumahan yang buruk, dan lain-lain. Pengkategorian kemiskinan menurut
indikator-indikator tersebut adalah upaya pengkategorian berdasarkan akibat
(consequences atau output).
Indikator kemiskinan yang digunakan dalam data BKKBN ada lima, yaitu:
(1) tidak dapat beribadah secara rutin; (2) tidak dapat makan minimal dua kali
12
sehari; (3) tidak memiliki pakaian berbeda untuk setiap kegiatan; (4) jika salah
satu anggota keluarga sakit tidak dapat memberikan pengobatan modern dan (5)
bagian terluas dari lantai rumah bukan dari tanah. Adapun BPS menetapkan 14
kriteria keluarga miskin, seperti yang disosialisasikan oleh Djalil (2005),
rumahtangga yang memiliki ciri rumahtangga miskin, yaitu:
1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang.
2. Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan.
3. Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas
rendah atau tembok tanpa diplester.
4. Tidak punya fasilitas buang air besar atau bersama-sama dengan rumahtangga
lain.
5. Sumber penerangan rumahtangga tidak menggunakan listrik.
6. Sumber air minum berasal dari sumur atau mata air tidak
terlindung/sungai/air hujan.
7. Bahan bakar memasak sehari-hari adalah kayu bakar/minyak tanah/arang.
8. Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu.
9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun.
10. Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari.
11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik.
12. Sumber penghasilan kepala rumahtangga adalah: petani dengan luas lahan 0,5
ha, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan atau pekerjaan
lainnya dengan pendapatan di bawah Rp.600.000,- per bulan.
13. Pendidikan tertinggi kepala rumahtangga: tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya
SD.
14. Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai
Rp.500.000,- seperti: sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal
motor. atau barang modal lainnya.
Ada satu kriteria tambahan lagi, tidak hanya terdapat dalam leaflet bahan
sosialisasi Departemen Komunikasi dan Informatika tentang kriteria rumahtangga
miskin, yaitu rumahtangga yang tidak pernah menerima kredit usaha
UKM/KUKM setahun lalu.
13
Keadaan keluarga yang serba kekurangan terjadi bukan karena kehendak
keluarga yang bersangkutan, tetapi karena keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki
oleh keluarga telah membuat mereka menjadi Keluarga Pra Sejahtera dan
Keluarga Sejahtera I. BKKBN (1996) menyebutkan faktor-faktor yang
menyebabkan keluarga masuk dalam kategori Keluarga Pra Sejahtera dan
Keluarga Sejahtera I yaitu:
1. Faktor internal
a. Kesakitan
b. Kebodohan
c. Ketidaktahuan
d. Ketidakterampilan
e. Ketertinggalan teknologi
f. Ketidakpunyaan modal
2. Faktor eksternal
a. Struktur sosial ekonomi yang menghambat peluang untuk berusaha dan
meningkatkan pendapatan.
b. Nilai-nilai dan unsur-unsur budaya yang kurang dukung upaya
peningkatan kualitas keluarga.
c. Kurangnya akses untuk dapat memanfaatkan fasilitas pembangunan yang
menyalahgunakan keluarga atau diri mereka sendiri.
3. Keluarga yang gagal adalah keluarga yang gagal kehilangan hampir semua
energi karena permasalahan yang terjadi.
4. Keluarga penekan adalah keluarga yang tidak membebaskan para anggotanya
untuk mengungkapkan perasaan secara spontan.
5. Keluarga yang berantakan adalah keluarga yang sibuk dengan aktivitas sehari-
hari sehingga tidak ada waktu yang digunakan untuk bersama-sama dengan
anggota keluarga yang lain.
6. Keluarga yang “mandeg” adalah keluarga yang tidak sanggup dan khawatir
untuk tumbuh sehingga tidak punya arah.
7. Keluarga yang dibuat-buat adalah keluarga yang terjadi karena menetapkan
keputusan secara kolektif dan aktif untuk menghindari keputusan membentuk
kaluarga baru lagi.
14
8. Keluarga yang terganggu adalah keluarga yang mengalami masa kritis.
9. Keluarga yang terobsesi adalah keluarga yang memiliki komponen keluarga
“mandeg” dan terganggu, sehingga tipe keluarga ini tidak berkembang.
10. Keluarga yang tumbuh adalah keluarga yang dapat bangkit kembali dan
mampu menghadapi masalah baik dalam mengatasi krisis dan konflik yang
ada.
Pemberdayaan Sosial
Kemiskinan merupakan masalah multidimensi yang penanganannya
membutuhkan keterkaitan berbagai pihak. Kemiskinan di Indonesia diiringi oleh
masalah kesenjangan baik antargolongan penduduk maupun pembangunan
antarwilayah, yang diantaranya ditunjukkan oleh buruknya kondisi pendidikan
dan kesehatan serta rendahnya tingkat pendapatan dan daya beli, sebagaimana
tercermin dari rendahnya angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Pemerintah sejak tahun 1960-an telah melaksanakan program
penanggulangan kemiskinan melalui strategi pemenuhan kebutuhan pokok rakyat.
Sajak tahun 1970-an pemerintah menggulirkan kembali program penanggulangan
kemiskinan yang ditempuh secara reguler melalui program sektoral dan regional.
Pada akhir tahun 1980-an, pemerintah melaksanakan program penanggulangan
kemiskinan dengan strategi khusus menuntaskan masalah kesenjangan sosial-
ekonomi. Pada tahun 1997, pemerintah mengeluarkan program Jaring Pengaman
Sosial (JPS) yang dikoordinasikan melalui Keppres Nomor 190 Tahun 1998
(Sumodiningrat 2009).
Program penanggulangan kemiskinan yang pernah dilaksanakan antara
lain P4K (Proyek Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil), KUBE
(Kelompok Usaha Bersama), TPSP-KUD (Tempat Pelayanan Simpan Pinjam-
Koperasi Unit Desa), UEDSP (Usaha ekonomi Desa Simpan Pinjam), PKT
(Pengembangan Kawasan Terpadu), IDT (Inpres Desa Tertinggal), PPK (Program
Pengembangan Kecamatan), P3DT (Pembangunan Prasarana Pendukung Desa
Tertinggal), P2KP (Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan), PDMDKE
(Pemberdayaan Daerah Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi), P2MPD (Proyek
Pembangunan Masyarakat dan Pemerintah Daerah), dan program pembangunan
15
sektoral telah berhasil memperkecil dampak krisis ekonomi dan mengurangi
kemiskinan (Sumodiningrat 2009).
Upaya penanggulangan kemiskinan bertujuan untuk membebaskan dan
melindungi masyarakat dari kemiskinan beserta segala penyebabnya. Upaya yang
dimaksud tidak saja diarahkan untuk mengatasi ketidakmampuan memenuhi
kebutuhan dasar, tetapi juga dalam rangka membangun semangat dan kemandirian
masyarakat miskin untuk berpartisipasi sepenuhnya sebagai pelaku dalam
berbagai tahap pembangunan. Dalam konteks inilah, pendekatan pemberdayaan
terhadap masyarakat miskin menjadi sangat penting dan strategis. Menurut
Sumodiningrat (2009) pemberdayaan masyarakat adalah suatu proses untuk
meningkatkan kemampuan masyarakat untuk memanfaatkan sumber daya yang
dimiliki dan yang tersedia di lingkungan sekitarnya untuk meningkatkan
kesejahteraan. Sedangkan menurut Nasdian (2003) pemberdayaan merupakan
suatu upaya menumbuhkan peran serta dan kemandirian sehingga masyarakat baik
di tingkat individu, kelompok, kelembagaan, maupun komunitas memiliki tingkat
kesejahteraan yang jauh lebih baik dari sebelumnya, memiliki akses pada
sumberdaya, memiliki kesadaran kritis, mampu melakukan pengorganisasian dan
kontrol sosial dari segala aktivitas pembangunan yang dilakukan di
lingkungannya. Berbeda dengan Suharto (2005) yang mengartikan pemberdayaan
sebagai serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan
kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu-individu yang mengalami
masalah kemiskinan dengan tujuan adanya perubahan sosial yang mencakup
masyarakat yang berdaya, memiliki kekuasaan dan mampu dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya.
Menurut Sumodiningrat (2009) upaya penanggulangan kemiskinan dan
pemberdayaan masyarakat dapat ditempuh melalui strategi yang terdiri atas lima
komponen, yaitu:
(1) Modal usaha, yaitu memberdayakan ekonomi masyarakat pedesaan. Caranya
dengan mengembangkan mekanisme penyaluran dana bantuan dan kredit
lunak langsung kepada masyarakat untuk mengembangkan kegiatan sosial
ekonomi produktif unggulan sehingga dapat menjamin surplus untuk
tabungan dan akumulasi modal masyarakat.
16
(2) Sumber daya manusia, yaitu memperkuat kapasitas sumber daya manusia di
pedesaan. Caranya dengan meningkatkan kemampuan manajemen dan
organisasi pendamping dan kelompok masyarakat miskin guna meningkatkan
produktivitas dan daya saing di tingkat desa melalui pelatihan, penyuluhan,
dan pendampingan.
(3) Prasarana dan sarana, yaitu mengembangkan prasarana dan sarana pedesaan
serta jaringan pemasaran, sehingga masyarakat pedesaan dengan mudah
mendapatkan input produksi dan menjual produk ke pasar local, regional,
nasional, bahkan internasional melalui kemitraan dengan dunia usaha dan
penyedia jasa pendukung lainnya.
(4) Penguatan kelembagaan dan pengembangan teknologi, yaitu upaya
meningkatkan kemampuan kelembagaan masyarakat agar proses alih
informasi dan teknologi; penyaluran dana dan investasi; proses produksi,
distribusi, dan pemasaran; serta administrasi pembangunan terlembaga
dengan baik sesuai kondisi lokal.
(5) Sistem informasi, yaitu meningkatkan kemampuan pemantauan,
pengendalian, dan pelaporan berbasis sistem informasi manajemen dan sistem
informasi geografis.
Program-program penanggulangan kemiskinan yang bertumpu pada
pendekatan pemberdayaan masyarakat justru memberikan hasil yang lebih efektif
dan tingkat keberlanjutannya jauh lebih baik. Mengingat ada bermacam-macam
tingkat sosial ekonomi masyarakat maka setiap tingkatan kemiskinan tersebut
harus ditangani dengan solusi yang tepat. Berikut ini grand strategy
pemberdayaan penduduk miskin melalui konsep tiga klaster (Sumodiningrat
2009).
(1) Klaster 1, memberdayakan masyarakat miskin. Pada klaster 1 ini
diperuntukkan bagi mereka yang termasuk dalam kelas the poorest of the
poor. Kelompok ini harus diberikan bantuan langsung karena memang
mereka sangat miskin sehingga perlu mendapat perlindungan dan bantuan
sosial. Filosofinya, kelompok masyarakat seperti ini diberi “ikan” agar bisa
memenuhi kebutuhan hidupnya. Beberapa program pada klaster ini antara
17
lain: PKH, Raskin, BOS, Jamkesmas, bantuan sosial untuk pengungsi korban
bencana, bantuan untuk kelompok lansia, BLT.
(2) Klaster 2, menuju kemandirian. Filosofi program klaster 2 ini diibaratkan
sebagai kail. Dengan demikian, penerima program ini adalah mereka yang
sudah dapat diajari bagaimana mencari ikan atau mengail. Pada program ini
masyarakat tidak diberi ikan melainkan pancing, dengan harapan mereka bisa
mencari ikan sendiri. Contoh program dalam klaster ini adalah PNPM
mandiri.
(3) Klaster 3, menciptakan usaha mikro, kecil, dan menengah. Klaster ini
menampung kelompok-kelompok masyarakat yang telah diberdayakan dan
ditingkatkan kemandiriannya. Filosofinya, kelompok masyarakat ini sudah
diberi kail, jala, dan perahu. Pada klaster 3 ini, skema pendanaan
menggunakan kredit dengan bunga pasar. Program yang termasuk dalam
klaster ini adalah KUR mikro dan UMKM.
PKH (Program Keluarga Harapan)
Pada tahun 2007, pemerintah melaksanakan PKH dalam rangka upaya
penanggulangan kemiskinan. Program ini pada prinsipnya memberikan bantuan
tunai kepada rumahtangga sangat miskin melalui persyaratan menyekolahkan
anaknya untuk menuntaskan wajib belajar sembilan tahun dan memeriksakan
kesehatan serta pemberian makanan bergizi kepada anak-anak usia balita dan ibu
hamil atau menyusui. Untuk jangka pendek, bantuan ini diharapkan dapat
mengurangi beban pengeluaran masyarakat miskin. Sedangkan untuk jangka
waktu yang lebih panjang, melalui peningkatan pendidikan serta perbaikan
kondisi kesehatan dan gizi, dapat memutus rantai kemiskinan.
Pemilihan Penerima Bantuan dan Syarat Program
Penerima bantuan PKH adalah rumahtangga sangat miskin (RTSM) yang
memiliki anggota keluarga yang terdiri dari anak usia 0-15 tahun (atau usia 15-18
tahun namun belum menyelesaikan pendidikan dasar) dan atau ibu hamil/nifas.
PKH memberikan bantuan tunai kepada RTSM dengan mewajibkan RTSM
tersebut mengikuti persyaratan yang ditetapkan program, yaitu: (i)
menyekolahkan anaknya di satuan pendidikan dan menghadiri kelas minimal 85
18
persen hari sekolah atau tatap muka dalam sebulan selama tahun ajaran
berlangsung, dan (ii) melakukan kunjungan rutin ke fasilitas kesehatan bagi anak
usia 0-6 tahun, ibu hamil dan ibu nifas. Bantuan tunai hanya akan diberikan
kepada RTSM yang telah terpilih sebagai peserta PKH dan mengikuti ketentuan
yang diatur dalam program. Agar pemenuhan syarat ini efektif, maka bantuan
harus diterima oleh ibu atau wanita dewasa yang mengurus anak pada
rumahtangga yang bersangkutan (dapat nenek, tante/bibi, atau kakak perempuan).
Hal ini karena umumnya ibu bertanggung jawab atas kesehatan, nutrisi, dan
pendidikan anak-anaknya.
Kewajiban Peserta PKH Kesehatan
Kewajiban peserta PKH Kesehatan adalah mengunjungi fasilitas kesehatan
(seperti; Puskesmas, Pustu, Polindes, Posyandu, Bidan desa), dengan persyaratan
waktu kunjungan sesuai Tabel 3:
Tabel 3 Kewajiban peserta PKH dalam mengunjungi fasilitas kesehatan
Sasaran Peserta Kewajiban Ibu hamil Sekurangnya 3 bulan sekali Ibu melahirkan Harus ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih Ibu nifas Sekurangnya setiap 1 bulan setelah lahir selama
dua bulan Bayi usia 0-11 Sekurangnya setiap 1 bulan sekali Bayi usia 1-6 tahun Sekurangnya setiap 3 bulan sekali
Ketika mengunjungi fasilitas kesehatan tersebut, setiap peserta PKH
berhak mendapatkan seluruh pelayanan kesehatan sesuai dengan standar
pelayanan yang telah ditetapkan Departemen Kesehatan.
Kewajiban Peserta PKH Pendidikan
Peserta PKH yang memiliki anak usia sekolah (6-15 tahun) namun belum
terdaftar di sekolah wajib mendaftarkan anak tersebut ke sekolah SD/MI atau
SMP/MTs atau satuan pendidikan setara SD atau SMP. Setelah terdaftar di satuan
pendidikan. anak tesebut harus hadir sekurang-kurangnya 85 persen hari sekolah
atau tatap muka dalam sebulan selama tahun ajaran berlangsung. Untuk
memudahkan, jika peserta PKH yang memiliki anak usia sekolah (6-15 tahun),
anak-anak tersebut harus mendaftar di sekolah dan harus hadir sekurang-
19
kurangnya 85 persen setiap saat. Jika memiliki anak usia 15-18 tahun namun
belum menyelesaikan pendidikan dasar dan atau buta aksara, maka harus
mendaftarkan anak tersebut ke sekolah terdekat atau satuan pendidikan non
formal (seperti misalnya, keaksaraan fungsional, Paket A setara SD atau Paket B
setara SMP atau pesantren setara SD/SMP). Jika telah terdaftar, anak tersebut
harus hadir sekurang-kurangnya 85 persen hari sekolah atau tatap muka dalam
sebulan selama tahun ajaran berlangsung. Untuk anak yang belum menyelesaikan
pendidikan dasar dandiketahui bahwa mereka tidak bisa mengikuti program
sekolah/satuan pendidikan biasa (misalnya anak yang sudah lama diluar sistem
sekolah, anak buta huruf, anak dengan kebutuhan khusus dan lain-lain), maka Ibu
dari RTSM peserta PKH harus mengikutkan anak tersebut kedalam program
persiapan pendidikan (seperti: rumah singgah, rumah perlindungan sosial anak
(RPSA), panti sosial asuhan anak, dll) dan selanjutnya mendaftarkan anak tersebut
ke satuan pendidikan formal atau non formal–Pendidikan Luar Sekolah
(Pendidikan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), sanggar kegiatan
belajar (SKB), dsb). Ketika melakukan pendaftaran anak ke satuan pendidikan
tersebut. Ibu RTSM akan didampingi oleh pendamping PKH dari kantor UPPKH
Kecamatan. Informasi nama sekolah dan atau nama penyelenggara pendidikan
non formal selanjutnya harus dilaporkan ke pendamping PKH untuk keperluan
pelaksanaan program lebih lanjut.
Besaran Bantuan
Dalam program PKH, besaran bantuan dipengaruhi oleh komposisi
keluarga maupun tingkat pendidikan anak, selanjutnya diterapkan batas
maksimum dan minimum penerimaan dengan pertimbangan-pertimbangan
sebagai berikut: Jika pembayaran terlalu tinggi, maka orang akan tergantung pada
program ini. Jika pembayaran diberi dalam jumlah yang sama ke semua keluarga,
menjadi tidak adil bagi kelurga yang memiliki anak banyak atau anak bersekolah
ditingkat yang lebih tinggi mengingat pengeluaran pun relatif lebih besar dari
keluarga kecil tidak terbebani biaya sekolah. Jika bantuan berdasar jumlah anak
tanpa batasan, maka dikhawatirkan akan menghambat program BKKBN, selain
itu membuka kesempatan kepada para penipu untuk mengakui anak orang lain
20
sebagai anaknya untuk memperoleh pembayaran. Secara garis besar skenario
bantuan yang diberikan adalah sebagai berikut:
Tabel 4 Besar bantuan penerima PKH
Skenario Bantuan Bantuan/RTSM/tahun Bantuan tetap 200.000 Bantuan bagi RTSM yang memiliki: a. Anak usia di bawah 6 tahun dan/atau Ibu hamil b. Anak usia SD/MI c. Anak usia SMP/MTs
800.000
400.000 800.000
Rata-rata bantuan per RTSM 1.390.000 Bantuan minimum per RTSM 600.000 Bantuan maksimum per RTSM 2.200.000 Catatan: Besar bantuan adalah 16% rata-rata pendapatan RTSM per tahun. Batas minimum & maksimum adalah antara 15-25% pendapatan rata-rata RTSM/ tahun.
Sanksi terhadap Pelanggaran Komitmen
Setiap bantuan yang diterima oleh peserta PKH memiliki konsekuensi
sesuai komitmen yang ditandatangani Ibu penerima pada saat pertemuan awal.
Apabila peserta tidak memenuhi komitmennya dalam satu triwulan, maka besaran
bantuan yang diterima akan berkurang dengan rincian sebagai berikut:
a. Apabila peserta PKH tidak memenuhi komitmen dalam satu bulan, maka
bantuan akan berkurang sebesar Rp.50.000,-
b. Apabila peserta PKH tidak memenuhi komitmen dalam dua bulan, maka
bantuan akan berkurang sebesar Rp.100.000,-
c. Apabila peserta PKH tidak memenuhi komitmen dalam 3 bulan berturut-turut,
maka tidak akan menerima bantuan dalam satu periode pembayaran.
Ketentuan di atas berlaku secara tanggung renteng untuk seluruh anggota
keluarga penerima bantuan PKH, artinya jika salah satu anggota keluarga
melanggar komitmen yang telah ditetapkan, maka seluruh anggota dalam keluarga
yang menerima bantuan tersebut akan menanggung akibat dari pelanggaran ini.
Peserta dapat menggunakan bantuan PKH untuk keperluan apa saja asal mereka
memenuhi syarat pendidikan dan kesehatan. Penggunaan uang bantuan tidak akan
dimonitor oleh program (UPPKH Pusat 2007 dan Pusdiklat Kesos 2007).
21
Kesejahteraan Keluarga
Kesejahteraan menurut Sawidak (1985) merupakan sejumlah kepuasan
yang diperoleh seseorang dari mengonsumsi pendapatan yang diterima, namun
tingkatan dari kesejahteraan itu sendiri merupakan sesuatu yang bersifat relatif
karena tergantung dari besarnya kepuasan yang diperoleh dari hasil mengonsumsi
pendapatan tersebut.
Lee dan Hanna (1990) diacu dalam Iskandar (2007) mendefinisikan
kesejahteraan sebagai total dari net worth (manfaat yang benar-benar diperoleh)
dan human capital wealth (kesejahteraan sumberdaya manusia). Manfaat yang
diperoleh merupakan nilai atas aset yang dimiliki dikurangi pengeluaran
(liabilitas). Sedangkan kesejahteraan SDM dapat diduga melalui pendapatan yang
dihasilkan oleh SDM (human capital income) yang ada saat ini, atau dihitung dari
nilai pendapatan non aset. Kemudian disebutkan pula bahwa kesejahteraan
keluarga dipengaruhi oleh usia, pendidikan, status perkawinan, pekerjaan, tempat
tinggal, ukuran rumahtangga, dan siklus hidup.
Menurut World Health Organization (WHO) diacu dalam Suandi (2007),
terdapat enam kategori kesejahteraan (quality of life or individu well being), yaitu
fisik, psikologis, tingkat kemandirian, hubungan sosial, lingkungan, dan spiritual.
Secara nasional terdapat dua versi pengukuran kesejahteraan keluarga, yaitu
pengukuran kesejahteraan yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
Perumusan konsep kesejahteraan dilakukan oleh BPS dan BKKBN. Hasil
rumusan BPS mengemukakan bahwa sebuah keluarga dapat dikatakan sejahtera
apabila:
• Seluruh kebutuhan jasmani dan rohani dari keluarga tersebut dapat
dipenuhi sesuai dengan tingkat hidup masing-masing keluarga itu sendiri.
• Mampu menyediakan sarana untuk mengembangkan hidup sejahtera
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Sedangkan rumusan yang dikemukakan oleh BKKBN tentang
kesejahteraan keluarga adalah:
• Keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan anggotanya baik kebutuhan
sandang, pangan, perumahan, sosial, dan agama.
22
• Keluarga yang mempunyai keseimbangan antara penghasilan keluarga
dengan jumlah anggota keluarga.
• Keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan kesehatan anggota keluarga,
kehidupan bersama dengan masyarakat sekitar, beribadah khusuk di
samping terpenuhi kebutuhan pokoknya.
Pendekatan Kesejahteraan Keluarga
Pendekatan yang digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan
keluarga, yaitu berdasarkan pendekatan obyektif dan subjektif. Pendekatan
obyektif diturunkan dari data kuantitatif diperoleh dari angka-angka yang
langsung dihitung dari aspek yang telah ditelaah. Pendekatan subjektif diperoleh
dari persepsi masyarakat tentang aspek kesejahteraan sehingga hasilnya
merupakan perkembangan dari aspek kesejahteraan. Persepsi masyarakat, dapat
dipahami sebagai suatu deskripsi interpretatif yang sifatnya sangat subjektif.
Interpretasi subjektif tersebut bukan sesuatu yang dibuat-buat, tetapi atas kondisi
yang memang mereka rasakan, dan berbeda dengan penafsiran secara kelompok
maupun institusi (Iskandar 2007). Konsep subjektif dapat memberikan pengertian
yang mendalam tentang masalah kesejahteraan yang dihadapi rumahtangga.
Model ini dianggap lebih sensitif untuk mengukur kesejahteraan rumahtangga
(Raharto dan Romdiati 2000).
Pendekatan dengan indikator subjektif secara filosofi berhubungan erat
dengan psikologi sosial masyarakat. Masyarakat mungkin mempunyai pandangan
sendiri tentang apa arti kesejahteraan yang mungkin bisa berbeda dengan
pandangan obyektif. Menurut Diener (2002) kesejahteraan subjektif didefinisikan
sebagai evaluasi seseorang terhadap kehidupannya. Evaluasi dapat berupa
pendapat kognitif, seperti kepuasan hidup dan respon emosi terhadap suatu
peristiwa. seperti perasaan emosi yang positif.
“Quality of Life” adalah salah satu pendekatan untuk mengukur kepuasan
atau kesenangan seseorang secara subjektif. Menurut Handoko (2000), yang
dimaksud dengan tingkat kepuasan adalah suatu keadaan emosional yang
menyenangkan atau tidak menyenangkan yang dirasakan seseorang atau
sekelompok orang terhadap sesuatu yang diperolehnya atau dengan kata lain
tingkat kepuasan merupakan gambaran perasaan yang diperoleh dari suatu
23
tindakan yang telah diperbuat. Menurut Guhardja et al. (1992), puas atau tidaknya
seseorang dapat dihubungkan dengan nilai yang dianut oleh orang tersebut dan
tujuan yang diinginkan. Apabila tujuan yang dicapai sesuai dengan nilai yang
dianut maka diharapkan kepuasan akan terpenuhi. Unsur waktu juga ikut
mempengaruhi rasa puas dan tidak puas. Pendekatan subjektif mendefinisikan
kesejahteraan berdasarkan pemahaman masyarakat mengenai standar hidup
mereka dan bagaimana mereka mengartikannya (Santamarina et al. 2002 diacu
dalam Suandi 2007).
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga
Besar Keluarga
Besar keluarga ditentukan oleh banyaknya jumlah anggota keluarga.
Berdasarkan jumlah atau besar keluarga, keluarga dibagi menjadi tiga kelompok,
yaitu: keluarga kecil (kurang dari sama dengan 4 org), keluarga sedang (5 – 7 org)
dan keluarga besar (lebih dari sama dengan 8 org) (BKKBN 2005).
Menurut Arianti (2002) besar keluarga ditentukan oleh jumlah anggota
keluarga. biasanya jumlah anak. Jumlah anggota keluarga yang terlalu besar
seringkali menimbulkan masalah dalam pemenuhan kebutuhan pokok.
Sumarwan (2003) menyatakan bahwa pendapatan per kapita dan belanja
pangan keluarga akan menurun sejalan dengan meningkatnya jumlah keluarga.
Jumlah dan pola konsumsi suatu barang atau jasa ditentukan oleh jumlah anggota
keluarga atau rumahtangga. Keluarga yang memiliki jumlah anggota keluarga
yang lebih besar akan mengkonsumsi pangan dengan jumlah jauh lebih banyak
dibandingkan dengan keluarga yang jumlah anggota keluarganya lebih sedikit.
Tipe Keluarga
Berdasarkan tipenya, keluarga dapat dikelompokkan menjadi dua jenis
yakni: (1) keluarga inti atau keluarga batih (nuclear family) adalah keluarga yang
terdiri dari seorang suami, seorang isteri dan anak-anak yang belum kawin, atau
anak yang secara resmi dianggap anak kandung. (2) keluarga luas yaitu keluarga
yang terdiri dari lebih dari satu keluarga inti dan merupakan satu kesatuan sosial,
serta tempat tinggal dalam satu rumah.
24
Lama dan Tingkat Pendidikan
Keterlibatan seseorang dalam proses pendidikan atau tingkat pendidikan
yang dicapainya akan mempengaruhi dan membentuk cara, pola, dan kerangka
berpikir, persepsi, pemahaman, dan kepribadiannya (Gunarsa dan Gunarsa 2000).
Hasil penelitian Megawangi et al. (1994) membuktikan bahwa tingkat
pendapatan dan pendidikan suami berhubungan nyata dan positif terhadap
kebiasaan merencanakan anggaran biaya. Dengan demikian, kemampuan melihat
kedepan dengan mengadakan perencanaan biaya dipengaruhi oleh tingkat sosial
ekonomi penduduk, dan semakin banyak anggota rumahtangga cenderung tidak
dapat merencanakan biaya.
Mangkuprawira (2002) dalam hasil penelitiannya membuktikan bahwa
pengeluaran rumahtangga untuk investasi pendidikan dipengaruhi secara positif
oleh faktor pendidikan suami dan pengeluaran total rumahtangga secara negatif
dipengaruhi oleh jumlah anggota keluarga. Semakin tinggi tingkat pendidikan
suami dan total pengeluaran rumahtangga, maka semakin besar pula pengeluaran
nominal rumahtangga untuk pendidikan.
Orang yang berpendidikan tinggi biasa diidentikkan dengan orang yang
memiliki mutu sumberdaya manusia yang tinggi. Pada umumnya mereka juga
mendapat upah dan gaji yang relatif tinggi pula dibandingkan dengan orang yang
bermutu pendidikan rendah (Guhardja et al. 1992). Pendidikan dan kesejahteraan
adalah dua aspek yang saling mempengaruhi. Tingkat pendidikan akan
menentukan kemampuan sebuah keluarga untuk mengakses kebutuhan hidupnya.
Semakin tinggi tingkat pendidikan kepala keluarga akan memudahkan keluarga
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Syarief 1998 diacu dalam Nuryani 2007).
Lama pendidikan diukur berdasarkan program wajib belajar sembilan
tahun. Berdasarkan UU No 2/1989 (pasal 3 jo. Pasal 13) dan PP No 28/1990
(pasal 1 jo. Pasal 3), esensi dan ciri-ciri pendidikan dasar yaitu:
1. Pendidikan dasar merupakan pendidikan umum, artinya merupakan
pendidikan minimum yang berlaku untuk semua negara.
2. Pendidikan dasar berlangsung sembilan tahun.
3. Pendidikan dasar tidak bersifat uniform.
25
4. Pendidikan dasar diselenggarakan di jalur sekolah pada berbagai jenis dan
satuan pendidikan.
5. Lulusan pendidikan dasar adalah setara.
6. Tujuan pendidikan dasar adalah menyiapkan peserta untuk melanjutkan ke
jenjang menengah dan membekali peserta didik dengan pengetahuan dan
keterampilan dasar yang berguna di masyarakat.
Pendapatan
Pendapatan keluarga adalah seluruh penerimaan yang diterima oleh
seluruh anggota keluarga. Besarnya pendapatan yang diterima rumahtangga dapat
menggambarkan tingkat kesejahteraan suatu masyarakat (BPS 2005). Suhardjo
(1989) mengemukakan bahwa pendapatan sangat berpengaruh terhadap alokasi
pengeluaran keluarga. Selain itu, Roedjito (1986) diacu dalam Rambe (2004)
menyatakan bahwa keluarga yang berpenghasilan rendah akan menggunakan
sebagian besar pendapatannya untuk pangan sebagai kebutuhan pokok.
Pendapatan keluarga mempunyai pengaruh paling besar terhadap analisis
kategori pengeluaran. Sumber penghasilan rumahtangga berupa pendapatan yang
digunakan untuk membeli dan memproduksi barang dan jasa yang dapat
meningkatkan kepuasan dan kesejahteraan anggota rumahtangga. Pada kondisi
pendapatan terbatas, rumahtangga akan mendahulukan pemenuhan kebutuhan
makanan, sehingga pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah akan
terlihat bahwa sebagian besar pendapatannya akan digunakan untuk mengonsumsi
makanan. Seiring dengan peningkatan pendapatan. maka lambat laun akan terjadi
pergeseran, yaitu penurunan porsi pendapatan yang dibelanjakan untuk makanan
menuju peningkatan porsi pendapatan yang dibelanjakan untuk barang bukan
makanan (BPS 2003).
Pendapatan per kapita adalah pendapatan total yang diperoleh keluarga
dibagi jumlah anggota keluarga. Pendapatan merupakan indikator yang baik
bukan saja pada tingkat kesejahteraan jasmaniah yang dapat dicapai seseorang.
melainkan terhadap kedudukan sosial seseorang dalam masyarakat. Semakin
tinggi pendapatan seseorang. maka orang tersebut semakin bebas memilih dan
bergerak. Oleh karena itu, pendapatan merupakan ukuran yang baik terhadap
26
kekuatan dan kedudukan seseorang dalam masyarakat (Ginting dan Penny 1984
diacu dalam Nuryani 2007).
Alokasi Pengeluaran
Pola pengeluaran keluarga merupakan salah satu cara untuk dapat
mengetahui tingkat kehidupan masyarakat. Berbagai karakteristik pribadi dan
situasi yang menyertainya akan mempengaruhi bagaimana seseorang
membelanjakan uangnya. Karakteristik tersebut diantaranya adalah ambisi,
keahlian, kesejahteraan hidup, standar hidup, usia anggota keluarga, jenis kelamin
dari masing-masing anggota keluarga, kesukaan dan ketidaksukaan serta
kemampuan besar kecilnya pengeluaran yang dilakukan oleh individu atau
keluarga (Raines 1964).
Anggaran terbesar dari rumahtangga adalah untuk makanan, proporsi
pengeluaran total untuk makanan menurun dengan peningkatan pendapatan,
proporsi pengeluaran total untuk pakaian dan perumahan diperkirakan konstan,
sementara proporsi pengeluaran untuk barang-barang mewah bertambah dengan
ketika pendapatan meningkat. Bagian dari pendapatan rumahtangga yang
diperoleh dialokasikan untuk pemenuhan kebutuhan rumahtangga. Pengeluaran
rumahtangga petani menurut Hukum Engel menyatakan bahwa semakin rendah
penghasilan seseorang semakin besar biaya yang dikeluarkan untuk makanan.
Pola pengeluaran rumahtangga dapat mencerminkan tingkat kehidupan
suatu masyarakat. Mangkuprawira (1985) membagi jenis pengeluaran
rumahtangga menjadi dua kelompok besar, yaitu pengeluaran pangan dan non
pangan. Secara naluriah setiap individu keluarga lebih dahulu memanfaatkan
setiap pengeluarannya untuk pangan kemudian untuk non pangan. Namun
demikian, perilaku ini tidak lepas dari pendapatan, besar anggota keluarga,
pendidikan, lokasi tempat tinggal dan musim. Menurut Myers (1991), pengeluaran
rumahtangga meliputi pengeluaran untuk pangan, perumahan, transportasi,
pendidikan, alat-alat rumahtangga, asuransi, pemeliharaan kesehatan, dan dana
pensiun. non makanan yang dimaksud adalah pengeluaran rumahtangga/anggota
rumahtangga saja.
27
Dukungan Sosial
Manusia sebagai individu dalam kehidupannya dihadapkan dengan
berbagai hal yang menyangkut kepentingan, terutama dalam pemenuhan
kebutuhan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap orang memerlukan bantuan
atau pertolongan dari orang lain atau sumber-sumber dukungan sosial. Dukungan
sosial tidak selamanya tersedia pada diri sendiri melainkan harus diperoleh dari
orang lain yakni keluarga (suami atau isteri), saudara atau masyarakat (tetangga)
dimana orang itu berbeda. Dukungan sosial sangat dibutuhkan oleh setiap orang
dalam menjalani kehidupannya, juga bagi keluarga dalam menjalani kehidupan
perkawinannya dan bagi pelaksanaan pengasuhan anak. Gottlieb (1985)
mengatakan bahwa dukungan sosial merupakan tindakan alamiah sebagai
sumberdaya lingkungan yang secara erat berkaitan dengan interaksi sosial.
Kendig (1986) mendefinisikan dukungan sosial sebagai “kesenangan,
bantuan atau keterangan yang diterima seseorang melalui hubungan formal dan
informal dengan yang lain atau kelompok”. Djarkasih (1987) mengartikan
dukungan sosial adalah: “sejumlah orang dengan siapa ia berinteraksi, frekuensi
hubungan dengan orang lain atau persepsi individu tentang kecukupan hubungan
pribadi, pertukaran informal atau material, tersedianya suatu kepercayaan dan
kepuasan kebutuhan dasar”. Di dalam ensiklopedi sosiologi dukungan sosial
diartikan adalah “pemberian dukungan emosional dan informasi atau dukungan
materi oleh orang lain atau lingkungan sosial keadaan seseorang individu yang
mengalami beberapa kesulitan atau masalah”. Sarafino (1996) mengartikan
dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian, penghargaan atau bantuan yang
diterima individu dari orang lain, baik sebagai individu perorangan atau
kelompok. Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial
keluarga mencakup adanya interaksi diantara anggota dan saling membantu.
sehingga tetap terjalin hubungan dan menghasilkan kepuasan batin seseorang.
Bentuk dukungan sosial yang dibutuhkan, terdiri dari:
1. Dukungan Emosi (Emotional Support)
Turner (1983) mengemukakan bahwa dukungan emosi ini sangat penting
dan dibutuhkan setiap individu dalam setiap periode kehidupan, curahan perhatian
28
yang mendalam membuat individu dapat mencurahkan perasaannya, hal ini sangat
membantu kesehatan mental dan kesejahteraan individu.
2. Dukungan Instrumen (Instrumental Support)
Bentuk dukungan instrumen melibatkan bantuan langsung, misalnya
berupa bantuan finansial atau bantuan dalam mengerjakan tugas-tugas tertentu
(Sarafino 1996). Dukungan berupa materi atau jasa yang diberikan oleh orang lain
kepada individu sebagai penerima dukungan dapat berbentuk uang, barang
kebutuhan sehari-hari atau bantuan praktis, seperti memberikan fasilitas
transportasi, memberi pinjaman uang atau barang rumahtangga lainnya,
menyediakan waktu dan tenaga untuk mengasuh anak (Borgatta 1992).
Sumber-Sumber Dukungan Sosial
Sumber dukungan sosial adalah segala sesuatu yang berjalan secara
keberlanjutan dan dimulai dari unit keluarga, kemudian bergerak secara progresif
dari individu-individu anggota keluarga, dimana mereka merupakan anggota
kelompok yang dianggap penting dalam memberikan dukungan sosial. Sesuai
dengan pendapat Collins et al. (1993) diacu dalam Tati (2004) membagi
dukungan sosial dalam tiga elemen yang saling berhubungan, yaitu:
a. The significant other help the individual mobilize his psychological
resources and master his emotional burdens.
b. They share his tasks; and
c. They provide him with extra supplies of money, materials, tools, skills and
cognitive guidance to improve the handling of his sitiation.
Berdasarkan tiga elemen di atas, dapat diartikan bahwa dukungan sosial
lainnya yang signifikan membantu individu memobilisasi sumber-sumber
psikologisnya dan penguasaan tekanan emosionalnya; mereka membagi tugas-
tugasnya; dan selanjutnya mereka memberikan uang tambahan, material,
peralatan, keterampilan-keterampilan dan petunjuk yang bersifat kognitif untuk
mengembangkan pengendalian situasinya. Secara operasional sumber-sumber
dukungan sosial dibagi kedalam dua golongan, yaitu:
a. Sumber dukungan informal, antara lain:
29
1. Sumber dukungan individu seperti suami/isteri, tetangga, saudara, teman.
Dukungan yang dapat diperoleh antara lain berupa dukungan emosional,
kasih sayang, nasehat, material dan informasi.
2. Sumber dukungan kelompok yaitu dari kelompok-kelompok sosial seperti
kelompok PKK, BKB, Karang taruna.
b. Sumber dukungan formal, dapat diperoleh dari bidang:
1. Profesional seperti psikiatri, psikolog, pekerja sosial atau spesialis lainnya.
2. Pusat-pusat pelayanan antara lain: rumah sakit, BP4, panti sosial, atau
lembaga-lembaga pelayanan lainnya.
Sumber utama dukungan sosial yang potensial terdapat dalam keluarga,
sebab dalam keluarga mempunyai fungsi-fungsi dukungan tertentu yang tidak
dapat berubah, seperti dukungan suami terhadap isteri untuk melaksanakan
perannya sebagai isteri atau terhadap isteri dalam memerankan seorang ibu untuk
melaksanakan pengasuhan anak, dengan cara suami memberi simpati, perhatian,
dan kepercayaan yang dilandasi kasih saying, akan memberi kekuatan yang besar
pengaruhnya terhadap isteri dalam melaksanakan tugas dan peranannya.
Sebagaimana dikatakan Purnomosari (2004) bahwa dukungan sosial yang positif
akan membuat ibu dapat melaksanakan tugas dan peranannya dengan perasaan
aman dan nyaman dalam mengelola rumahtangga dan melaksanakan pengasuhan
anak.
Strategi Koping Keluarga
Definisi dan Pengertian
Pearlin & Schooler (1978;1982) diacu dalam Puspitawati (1992)
mendefinisikan koping sebagai tingkah laku yang melindungi seseorang dari
pengalamannya akibat dari psikologis yang merugikan. Sedangkan menurut Mc
Cubbin et al. (1980) dalam Puspitawati (1992), koping merupakan manajemen
dari dimensi-dimensi kehidupan keluarga termasuk memelihara organisasi
keluarga (secara internal), mempertahankan keutuhan keluarga peningkatan
kebebasan dan penghargaan pada diri kita sendiri, mempertahankan hubungan
dengan masyarakat dan mengontrol pengaruh kuat dari sumber stres yang menjadi
suatu proses pencapaian keseimbangan dalam sistem keluarga. Selain itu, menurut
Folkman & Lazarus (1984) strategi koping merupakan suatu perubahan dari suatu
30
kondisi ke lainnya sebagai cara untuk menghadapi situasi tak terduga, yang mana
secara empirical disebut sebagai sebuah proses dan Friedman (1998)
mendefinisikan koping keluarga sebagai respon perilaku positif yang digunakan
keluarga dan sistemnya untuk memecahkan masalah atau mengurangi stres yang
diakibatkan oleh peristiwa tertentu.
Mekanisme koping merupakan suatu perubahan konstan dari usaha
kognitif dan tingkah laku untuk menata tuntutan eksternal dan internal yang
nilainya sebagai hal yang membebani atau melebihi sumber daya individu
(Lazarus dan Folkman 1984). Strategi koping dalam pemenuhan kebutuhan hidup
termasuk dalam “koping” dimana merupakan upaya-upaya keluarga dalam
memenuhi kebutuhan hidup termasuk kebutuhan pangan, sandang, dan papan baik
dengan berhemat atau mengganti bahan pangan tertentu. Berhemat adalah sebuah
strategi keluarga untuk mengurangi pengeluaran yang tidak penting seperti
rencana rekreasi, yang bertujuan dalam menanggulangi pada saat susah
(Puspitawati 1998). Perilaku koping menurut Lazarus (1976) diacu dalam Lukman
(2002) sebagai: (1) perilaku tindakan yang langsung melawan ancaman atau lari
dari ancaman (melawan atau lari) dan di desain untuk mengubah hubungan stress
dengan lingkungan fisik atau sosial, (2) bentuk intrapsychic koping merupakan
mekanisme pertahanan (misalnya penolakan) yang lebih didesain untuk
mengurangi munculnya emosi dibandingkan untuk mengubah situasi. Tindakan
dan pikiran dapat membuat seseorang lebih baik jika mereka tidak dapat
mengubah sumber stres.
Jenis Mekanisme Strategi Keluarga
Puspitawati (1998) menyebutkan dua macam strategi koping keluarga
yakni: (1) Strategi penghematan (Cutting-Back Expenses) dan (2) Strategi
peningkatan pendapatan (Income Generating Strategy). Disebutkan pula bahwa
strategi peningkatan pendapatan adalah strategi yang lebih sulit dilakukan
dibandingkan dengan strategi penghematan pengeluaran dan tidak berpengaruh
banyak pada konflik keluarga. Hasil penelitian Puspitawati (1998) menunjukkan
bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi strategi keluarga dalam menghadapi
konflik alokasi keuangan, adalah:
1. Tingkat kemiskinan keluarga (Proverty Level)
31
2. Strategi Penghematan Pengeluaran (Cutting-Back)
Menurut Friedman (1998), terdapat dua tipe strategi koping keluarga, yaitu
internal atau intrafamilial dan eksternal atau ekstrafamilial. Ada tujuh strategi
koping internal, yaitu:
(1) Mengandalkan kemampuan sendiri dari keluarga. Untuk mengatasi berbagai
masalah yang dihadapinya, keluarga seringkali melakukan upaya untuk
menggali dan mengandalkan sumberdaya yang dimiliki. Keluarga melakukan
strategi ini dengan membuat struktur dan organisasi dalam keluarga, yakni
dengan membuat jadwal dan tugas rutinitas yang dipikul oleh setiap anggota
keluarga yang lebih ketat. Hal ini diharapkan setiap anggota keluarga dapat
lebih disiplin dan patuh, mereka harus memelihara ketenangan dan dapat
memecahkan masalah, karena mereka yang bertanggung jawab terhadap diri
mereka sendiri.
(2) Penggunaan humor. Menurut Hott diacu dalam Friedman (1998), perasaan
humor merupakan aset yang penting dalam keluarga karena dapat
memberikan perubahan sikap keluarga terhadap masalah yang dihadapi.
Humor juga diakui sebagai suatu cara bagi seseorang untuk menghilangkan
rasa cemas dan stres.
(3) Musyawarah bersama (memelihara ikatan keluarga). Cara untuk mengatasi
masalah dalam keluarga adalah: adanya waktu untuk bersama-sama dalam
keluarga, saling mengenal, membahas masalah bersama, makan malam
bersama, adanya kegiatan bersama keluarga, beribadah bersama, bermain
bersama, bercerita pada anak sebelum tidur, menceritakan pengalaman
pekerjaan maupun sekolah, tidak ada jarak diantara anggota keluarga. Cara
seperti ini dapat membawa keluarga lebih dekat satu sama lain dan
memelihara serta dapat mengatasi tingkat stress, ikut serta dengan aktivitas
setiap anggota keluarga merupakan cara untuk menghasilkan suatu ikatan
yang kuat dalam sebuah keluarga.
(4) Memahami suatu masalah. Salah satu cara untuk menemukan koping yang
efektif adalah menggunakan mekanisme mental dengan memahami masalah
yang dapat mengurangi atau menetralisir secara kognitif terhadap bahaya
yang dialami. Menambah pengetahuan keluarga merupakan cara yang paling
32
efektif untuk mengatasi stressor yaitu dengan keyakinan yang optimis dan
penilaian yang positif. Menurut Folkman et al. diacu dalam Friedman (1998),
keluarga yang menggunakan strategi ini cenderung melihat segi positif dari
suatu kejadian yang penyebab stres.
(5) Pemecahan masalah bersama. Pemecahan masalah bersama dapat
digambarkan sebagai situasi dimana setiap anggota keluarga dapat
mendiskusikan masalah yang dihadapi secara bersama-sama dengan
mengupayakan solusi atas dasar logika, petunjuk, persepsi dan usulan dari
anggota keluarga yang berbeda untuk mencapai suatu kesepakatan.
(6) Fleksibilitas peran. Fleksibilitas peran merupakan suatu strategi koping yang
kokoh untuk mengatasi suatu masalah dalam keluarga. Pada keluarga yang
berduka, fleksibilitas peran adalah sebuah strategi koping fungsional yang
penting untuk membedakan tingkat berfungsinya sebuah keluarga.
(7) Normalisasi. Salah satu strategi koping keluarga yang biasa dilakukan untuk
menormalkan keadaan sehingga keluarga dapat melakukan koping terhadap
sebuah stressor jangka panjang yang dapat merusak kehidupan dan kegiatan
keluarga. Knafl dan Deatrick diacu dalam Friedman (1998), mengatakan
bahwa normalisasi merupakan cara untuk mengkonseptualisasikan bagaimana
keluarga mengelola ketidakmampuan seorang anggota keluarga, sehingga
dapat menggambarkan respons keluarga terhadap stres.
Strategi koping eksternal ada empat yaitu:
(1) Mencari informasi. Keluarga yang mengalami masalah memberikan respons
secara kognitif dengan mencari pengetahuan dan informasi yang berhubungan
dengan stressor. Hal ini berfungsi untuk mengontrol situasi dan mengurangi
perasaan takut terhadap orang yang tidak dikenai dan membantu keluarga
menilai stressor secara lebih akurat.
(2) Memelihara hubungan aktif dengan komunitas. Koping berbeda dengan
koping yang menggunakan sistem dukungan sosial. Koping ini merupakan
suatu koping keluarga yang berkesinambungan, jangka panjang dan bersifat
umum, bukan sebuah koping yang dapat meningkatkan stressor spesifik
tertentu. Dalam hal ini anggota keluarga adalah pemimpin keluarga dalam
suatu kelompok, organisasi, dan kelompok komunitas.
33
(3) Mencari pendukung sosial. Mencari pendukung sosial dalam jaringan kerja
sosial keluarga merupakan strategi koping keluarga eksternal yang utama.
Pendukung sosial ini dapat diperoleh dari sistem kekerabatan keluarga
kelompok professional, para tokoh masyarakat dan lain-lain yang didasarkan
pada kepentingan bersama. Menurut Caplan diacu dalam Friedman (1998),
terdapat tiga sumber umum dukungan sosial yaitu penggunaan jaringan
dukungan sosial informal, penggunaan sistem sosial formal, dan penggunaan
kelompok-kelompok mandiri. Penggunaan jaringan sistem dukungan sosial
informal yang biasanya diberikan oleh kerabat dekat dan tokoh masyarakat.
Penggunaan sistem sosial formal dilakukan oleh keluarga ketika keluarga
gagal untuk menangani masalahnya sendiri, maka keluarga harus
dipersiapkan untuk beralih kepada profesional bayaran untuk memecahkan
masalah. Penggunaan kelompok mandiri sebagai bentuk dukungan sosial
dilakukan melalui organisasi.
(4) Mencari dukungan spiritual. Beberapa studi mengatakan keluarga berusaha
mencari dukungan spiritual anggota keluarga untuk mengatasi masalah.
Kepercayaan kepada Tuhan dan berdoa merupakan cara paling penting bagi
keluarga dalam mengatasi stres.
Menurut Deacon dan Firebaugh (1981), keluarga memiliki strategi koping
apabila terjadi perubahan pendapatan sehingga akan mempengaruhi alokasi
pengeluaran keluarga. Terjadinya perubahan pendapatan akan mempengaruhi nilai
dan tujuan yang akan dicapai oleh sebuah keluarga. Perubahan pendapatan akan
mengubah selera dan kebutuhan juga upaya keluarga untuk dapat mewujudkan
secara kualitatif tujuan yang akan dicapai.
top related