wound healing baru
Post on 04-Dec-2015
51 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Luka adalah rusaknya kesatuan atau komponen jaringan. Efek dari
timbulnya luka antara lain hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ,
respon stress simpatis, perdarahan dan pembekuan darah, kontaminasi bakteri,
hingga kematian sel. Tubuh yang sehat mempunyai kemampuan alami untuk
melindungi dan memulihkan dirinya. Peningkatan aliran darah ke daerah yang
rusak,pembersihan sel dan benda asing, serta perkembangan awal seluler,
merupakan bagian dari proses penyembuhan. Proses penyembuhan terjadi
secara normal tanpa bantuan, walaupun beberapa bahan perawatan dapat
membantu untuk mendukung proses penyembuhan. Akan tetapi,
penyembuhan luka juga dapat terhambat akibat banyak faktor, baik yang
bersifat lokal maupun sistemik(MonacoandLawrence, 2003).
Penyembuhan luka yang normal memerlukan suatu rangkaian peristiwa
yang kompleks yang terjadi secara simultan pada jaringan epidermis, dermis
dan subkutis, itu suatu yang mudah membedakan penyembuhan pada
epidermis dengan penyembuhan pada dermis dan perlu diingat bahwa
peristiwa itu terjadi pada saat yang bersamaan. Proses yang kemudian terjadi
pada jaringan yang rusak ini ialah penyembuhan luka yang dibagi dalam tiga
fase yaitu fase inflamasi, fase proliferasi dan fase remodelling jaringan yang
bertujuan untuk menggabungkan bagian luka dan mengembalikan fungsinya.
B. Tujuan
Tujuan penulisan laporan ini adalah selain memenuhi tugas refreshing
kelompok kepaniteraan klinik, juga untuk menambah wawasan penulis dan
pembaca mengenai penyembuhan luka.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Penyembuhan luka adalah suatu proses perbaikan atau pemulihan suatu
jaringan yang rusak dan biasanya terjadi pada kulit. Dan dilihat dari
perspektif ini penyembuhan luka juga adalah bagian dari suatu proses
fisiologis.
B. Jenis luka
Luka dapat diklasifikasi berdasarkan kategori tertentu :
1. Berdasarkan waktu penyembuhan luka
a. Luka akut, yaitu luka dengan masa penyembuhan sesuai denganproses
penyembuhan.
b. Luka kronis, yaitu luka yang mengalami kegagalan dalam proses
penyembuhan.
2. Berdasarkan Derajat Kontaminasi
a. Luka bersih(Clean Wounds), yaitu luka takterinfeksi, dimana tidak
terjadi proses peradangan (inflamasi) dan infeksi, dan kulit disekitar
luka tampak bersih. Luka bersih biasanya menghasilkan luka yang
tertutup. Kemungkinan terjadinya infeksi luka sekitar 1% – 5%.
b. Luka bersih terkontaminasi (Clean-contamined Wounds), merupakan
luka dalam kondisi terkontrol, tidak ada material kontamin dalam
luka.Kemungkinan timbulnya infeksi luka adalah 3% – 11%.
c. Luka terkontaminasi(Contamined Wounds), yaitu luka terbuka kurang
dari empat jam, dengan tanda inflamasi non-purulen. Kemungkinan
infeksi luka 10% – 17%.
d. Luka kotor atau infeksi(Dirty or Infected Wounds), yaitu luka terbuka
lebih dari empat jam dengan tanda infeksi di kulit sekitar luka, terlihat
pus dan jaringan nekrotik. Kemungkinan infeksi luka 40%.
2
C. Klasifikasi Penyembuhan Luka
Tujuan utama dari penutupan luka yaitu untuk mengembalikan integritas
kulit sehingga mengurangi resiko terjadinya infeksi, scar dan penurunan
fungsi. Proses penutupan pada luka terbagi menjadi 3 kategori, tergantung
pada tipe jaringan yang terlibat dan keadaan serta perlakuan pada luka.
1. Penutupan luka primer (Intensi Primer)
Penyembuhan primer atau sanatio per primam intentionem terjadi bila
luka segera diusahakan bertaut, biasanya dengan bantuan jahitan. Luka
dibuat secara aseptik dengan kerusakan jaringan minimum, dan dilakukan
penutupan dengan baik seperti dengan penjahitan. Ketika luka sembuh
melalui instensi pertama, jaringan granulasi tidak tampak dan
pembentukan jaringan parut minimal. Parutan yang terjadi biasanya lebih
halus dan kecil.
2. Penutupan luka sekunder (Intensi Sekunder)
Penyembuhan luka kulit tanpa pertolongan dari luar akan berjalan
secara alami. Luka akan terisi jaringan granulasi dan kemudian ditutup
jaringan epitel. Penyembuhan ini disebut penyembuhan sekunder atau
sanatio per secundam intentionem. Cara ini biasanya memakan waktu
cukup lama dan meninggalkan parut yang kurang baik, terutama jika
lukanya terbuka lebar.
3. Penutupan luka primer tertunda (Intensi Tersier)
Penjahitan luka tidak dapat langsung dilakukan pada luka yang
terkontaminasi berat atau tidak berbatas tegas. Luka yang tidak berbatas
tegas sering meninggalkan jaringan yang tidak dapat hidup yang pada
pemeriksaan pertama sukar dikenal. Keadaan ini diperkirakan akan
menyebabkan infeksi bila luka langsung dijahit. Luka yang demikian akan
dibersihkan dan dieksisi (debridement) dahulu, selanjutnya baru dijahit
dan dibiarkan sembuh secara primer. Cara ini disebut penyembuhan
primer tertunda.
3
Selain itu, jika luka baik yang belum dijahit, atau jahitan terlepas dan
kemudian dijahit kembali, dua permukaan granulasi yang berlawanan akan
tersambungkan. Hal ini mengakibatkan jaringan parut yang lebih dalam
dan luas dibandingkan dengan penyembuhan primer.
Gambar 1. Macam-macam proses penutupan luka
4
D. Fase penyembuhan luka
Penyembuhan secara normal umumnya memiliki waktu dan proses yang
jelas, proses tersebut dibagi menjadi beberapa fase yaitu fase hemostasis
dan inflamasi, proliferasi dan epitelialisasi, serta fase maturasi dan
remodeling, dimana jangka waktunya dapat dilihat pada gambar di bawah
ini.
1. Hemostasis dan Inflamasi
Fase ini dimulai dari proses hemostasis yang kemudiaan menginisiasi
inflamasi, melepaskan factor kimiawi ke daerah luka.
Pada fase ini terjadi agregasi trombosit, degranulasi trombosit dan aktivasi
faKtor koagulasi. Disini trombosit yang saling melekat melepaskan
subtasnsi luka aktif seperti platelet-derived growth factor (PDGF),
transforming growth factor (TGG), platelet-activating factor, fibronecting,
dan serotonin. Trombosit yang bergranulasi tadi melepaskan kemoaktratan
yang kuat untuk menarik sel inflamasi seperti leukosit polymorphonuclear
(PMNs, neutroplhils), dan sel monosit.
PMNs yang pertama masuk ke luka, puncaknya 1-2 hari setalah terjadinya
luka. Akibat keluarnya PMNs maka permeabilitas vascular meningkat,
terjadi pelepasan prostaglandin, dan timbul substansi kemotaktik, seperti
5
komplemen, interleukin-1 (IL-1), tumor necrosis factor alpha (TNF-α),
TGF, platelet factor 4 atau bacterial products, dan semua yang
menstimulasi migrasi neutrophil. Fungsi utama dari neutrophil yaitu
fagositosis bakteri dan debris jaringan. PMNs juga menjadi sumber utama
dari pelepasan sitokin selama inflamasi, terutama TNF-α, yang
mempengaruhi proses angiogenesis dan sintesis kolagen. PMNs juga
melepaskan protease seperti koleganase, yang terdapat dalam matrix dan
degradasi subtansi dasar pada fase awal penyembuhan luka.
Setelah neutrophil, sel inflamasi yang masuk ke lokasi luka adalah
makrofag, yang berasal dari monosit. Jumlahnya meningkat tinggi di
lokasi luka pada 48 – 96 jam setelah luka dan tetap ada hingga
penyembuhan luka selesai. Makrofag tidak hanya melanjutkan fagositosis
debris jaringan dan bakteri, tetapi juga mensekresi mediator seperti sitokin
dan Growth Factors (GF). Pelepasan mediator TGF, VEGF, insulin-like
growth factor, epithelial growth factor dan laktat, macrophages regulate
cell proliferation, matrix synthesis, dan angiogenesis.
Setelah makrofag, limfosit masuk, puncaknya 1 minggu setelah luka dan
menghubungkan fase inflamasi ke fase proliferasi.
6
Gambar 2. Fase Hemostasis dan Inflamasi (Mallefet and Dweck, 2008)
2. Proliferasi
Fase ploriferasi merupakan fase kedua dari penyembuhan luka, fase ini
berlangsung dari hari ke 4 hingga hari ke 12. Pada fase ini jaringan secara
kontinu kembali terbentuk. PDGFs adalah faktor kemotaktik kuat terhadap
fibroblast, di sini fibroblas dan sel endotel merupakan sel terakhir yang
muncul ke tempat luka. Fibroblas berprolifersi dan menjadi aktif untuk
mengembalikan fungsi dari remodeling sintesis matrix. Aktifasi fibroblast
dimediasi oleh sitokin dan pelepasan growth factor dari makrofag. Pada
saat luka, fibroblast mensintesis kolagen lebih banyak dibandingkan pada
kondisi tidak luka.
Di fase ini sel endotel juga berproliferasi. Sel ini ikut berperan terhadap
proses angiogenesis. Sel endotel bermigrasi dari venula yang dekat
dengan luka. Sel endotel bermigrasi, dan bereplikasi dan membentuk
pembuluh darah baru, semua ini depengaruhi oleh sitokin, dan growth
factor.
7
Gambar 3. Fase Proliferasi
3. Fase Remodelling
Fase ini dimulai pada minggu ke-3 setelah perlukaan dan berakhir sampai
kurang lebih 12 bulan. Tujuan dari fase remodelling adalah
menyempurnakan terbentuknya jaringan baru menjadi jaringan
penyembuhan yang kuat dan berkualitas. Fibroblast sudah mulai
meninggalkan jaringan granulasi, warna kemerahan dari jaringan mulai
berkurang karena pembuluh mulai regresi, dan serat fibrin dari kolagen
bertambah banyak untuk memperkuat jaringan parut. Kekuatan dari
jaringan parut akan mencapai puncaknya pada minggu ke-10 setelah
perlukaan. Sintesa kolagen yang telah dimulai sejak fase proliferasi akan
dilanjutkan pada fase remodelling. Selain pembentukan kolagen, juga akan
terjadi pemecahan kolagen oleh enzim kolagenase. Kolagen muda
(gelatinous collagen) yang terbentuk pada fase proliferasi akan berubah
menjadi kolagen yang lebih matang, yaitu lebih kuat, dengan struktur yang
lebih baik (proses re-modelling).
Untuk mencapai penyembuhan yang optimal diperlukan keseimbangan
antara kolagen yang diproduksi dengan yang dipecahkan. Kolagen yang
8
berlebihan akan terjadi penebalan jaringan parut atau hypertrophic scar,
sebaliknya produksi yang berkurang akan menurunkan kekuatan jaringan
parut dan luka akan selalu terbuka. Luka dikatakan sembuh jika terjadi
kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan jaringan kulit mampu atau tidak
mengganggu untuk melakukan aktivitas yang normal. Meskipun proses
penyembuhan luka sama bagi setiap penderita, namun outcome atau hasil
yang dicapai sangat tergantung dari kondisi biologik masing-masing
individu, lokasi, serta luasnya luka. (Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar
TR, Dunn DL, Hunter JG, Matthews JB, Pollock RE: Schwartz’s
Principles of Surgery, 9th Edition)
Gambar 4. Fase Remodelling
E. Penyembuhan Luka di Jaringan Tertentu
a. Kulit
Fase penyembuhan luka dapat diibagi 3 tahap yang saling terkait
dan overlap: inflamasi, formasi jaringan baru dan remodelling. Hal
pertama yang terjadi setelah cedera pada jaringan adalah inflamasi melalui
peran sel-sel inflamasi. Sel inflamasi pertama yang direkrut adalah
neutrofil. Sel-sel inflamasi akan secara masiv menginfiltrasi luka pada 24
jam pertama setelah cedera. Neutrofil akan memasuki tahap apoptosis
9
segera setelah menginfiltrasi luka dan kemudian mengeluarkan sitokin
selama proses apoptosis itu, dimana sitokin-sitokin tersebut berperan
dalam rekruitmen sel makrofag. Makrofag akan menuju jaringan luka 2
hari setelah cedera dan melakukan aktifitas fagositosis.
Proses selanjutnya adalah pembentukan formasi jaringan baru.
Proses reepitelisasi ini dimulai beberapa jam setelah formasi luka
terbentuk. Keratinosit dari tepi luka akan bermigrasi melintasi wound bed
pada permukaan antara dermis luka dan bekuan fibrin. Migrasi ini
difasilitasi oleh produksi protease spesifik seperti kolagenase dari sel
epidermal untuk mendegradasi matrix ekstraseluler. Angiogenesis masiv
akan terjadi seiring kebutuhan akan suplai oksigen dan nutrien jaringan
untuk penyembuhan luka. Kemudian beberapa dari fibroblast akan
berdiferensiasi menjadi miofibroblas. Sel kontraktile ini akan membantu
menyambung jarak antar tepi luka. Disaat bersamaan growth factors yang
diproduksi jaringan granulasi akan memudahkan proliferasi dan
diferensiasi sel epitelial memperbaiki integritas barier epitel.
Fase terakhir adalah remodeling yang terdiri atas apoptosis
miofibroblas, sel endotelial dan makrofag. Pada fase ini akan terjadi
involusi bertahap dari jaringan granulasi dan terjadi regenerasi kulit.
b. Fase Penyembuhan Pada Tulang
Penyembuhan fraktur pada tulang adalah sebuah mekanisme yang
komplek dan proses regenerasi unik dalam mengembalikan fungsi dan
bentuk tulang.
Proses penyembuhan tulang didahului oleh proses inflamasi dan
didominasi oleh fase pembentukan formasi tulang. Selama fase
penyembuhan, kalus eksternal terbatas pada kapsula fibrosa yang tersusun
oleh jaringan granulasi yang tidak beraturan. Fase inflamasi lebih lanjut
ditandai invasi invasi sel mesenkimal yang berdiferensiasi menjadi
kondrosit untuk pembentukan tulang rawan dan osteoblast untuk
pembentukan tulang. Sel-sel debris inisial dan hematoma selanjutnya akan
10
digantikan oleh jaringan fibrosa. Jumlah kolagen tipe I akan meningkat
sampai 5 hari setelah fraktur, tetapi kolagen tipe III adalah yang dominan
dalam menyusun jaringan.
Fase reparasi tulang dikaitkan dengan pertumbuhan formasi tulang
intramembran dari regio periosteal. Fase ini ditandai dengan invasi
pembuluh darah dan pertumbuhan kalus, dimana puncak pertumbuhannya
biasa ditemukan hari 14 setelah fraktur.
Fase remodelling ditandai terbentuknya formasi endochondral
trabekular yang dihubungkan dengan osteoblast dan TRAP-positive
settlement pada rongga sumsum tulang, penyatuan fragmen dan regenerasi
celah sumsum tulang. Hal ini sesuai dengan data percobaan dari model
percobaan fraktur pada kelinci yang menunjukkan peningkatan jumlah
tulang trabekular dengan penyusun dominannya kolagen tipe I, sedang
kolagen tipe III dan tipe V tetap ditemukan didaerah puasat dari trabekula.
Selanjutnya tulang menyembuh tanpa adanya scar.
F. Gangguan Penyembuhan Luka
Penyembuhan luka dapat terganggu oleh penyebab dari tubuh
sendiri(endogen) dan oleh penyebab dari luar tubuh (eksogen). Penyebab
endogen terpenting adalah gangguan koagulasi yang disebut koagulopati, dan
gangguan sistem imun. Semua gangguan pembekuan darah akan menghambat
penyembuhan luka, sebab homeostatis merupakan titik tolak dan dasar fase
inflamasi. Gangguan sistem imun akan menghambat dan mengubahreaksi
tubuh terhadap luka, kematian jaringan dan kontaminasi.
Penyebab eksogen meliputi penyinaran sinar ionisasi yang akan
mengganggu mitosis dan merusak sel dengan akibat dini maupun
lanjut.Pemberian sitostatik, obat penekan imun misalnya setelah transplantasi
organ,dan kortikosteroid juga akan mempengaruhi penyembuhan luka.
Pengaruhsetempat seperti infeksi, hematom, benda asing, serta jaringan mati
sepertisekuester dan nekrosis sangat menghambat penyembuhan luka.
11
G. Perawatan Luka
Pertama dilakukan pemeriksaan secara teliti untuk memastikan apakah
ada perdarahan yang harus dihentikan. Kemudian tentukan jenis trauma,
tajam atau tumpul, luasnya kematian jaringan, banyaknya kontaminasi dan
berat ringannya luka.
Pertama dilakukan anastesi setempat atau umum tergantung berat
letak luka serta keadaan penderita. Luka dan sekitarnya dibersihkan dengan
antiseptic, kalau perlu di cuci dengan air sebelumnya. Bahan yang dapat
dipakai ialah larutan yodium povidon 1% dan alrutan klorheksidin ½ %.
Larutan yodium 3% atau alcohol 70% hanya digunakan untuk membersihkan
kulit di sekitar luka. Kemudian luka disekitar kerja di tutup dengan kain steril
dan secara steril dilakukan kembali pembersihan luka dari kontaminan secara
mekanis, misalnya pembuangan jaringan mati dengan gunting atau pisau dan
dibersihkan dengan bilasan, guyuran atau semprotan cairan NaCl. Setelah itu
luka di jahit dan di balut dengan kassa.
1. Luka sengatan Listrik
a. Arus Listrik
Arus listrik menimbulkan kelainan terhadap saraf dan otot dimana kan
menimbulkan luka bakar. Arus bolak-balik menimbulkan rangsangan otot
yang hebat berupa kejang-kejang. Bila arus tersebut melewati jantung dengan
kekuatan sebesar 60 miliamper maka akan menimbulkan fibrilasi ventrikel.
Kejang tetanik yang kuat akan menyebakan fraktur kompresi vertebra.
Bila kawat berarus listrik terpegang tangan, pegangan akan sulit dilepaskan
akibat kontraksi otot fleksor jari lebih kuat daripada otot dada. Keadaan ini
menyebabkan gerakan napas terhenti sehingga penderita dapat mengalami
asfiksia. Pada tegangan rendah, arus searah tidak berbahaya dibanding arus
bolak-balik dengan ampere yang sama. Sebaliknya pada tegangan tinggi arus
searah lebih berbahaya. Panas timbul karena tahanan yang dijumpai waktu
arus mengalir. Urutan tahanan jaringan dimulai dari yang paling rendah
12
adalah saraf, pembuluh darah, otot, kulit, tendo dan tulang. Jaringan yang
tahanannya tinggi akan lebih banyak dialiri arus dan panas yang timbul lebih
tinggi. Telapak kaki dan tangan mempunyai tahanan listrik lebih tinggi
sehingga luka bakar yang terjadi akibat arus listrik di daerah ini juga lebih
berat.
Bila arus mengenai pembuluh darah, maka akan merusak intima
sehingga terjadi thrombosis yang timbul pelan-pelan. Hal ini menerangkan
mengapa kematian jaringan pada luka bakar listrik seakan-akan progresif dan
banyak kerusakan jaringan baru yang muncul kemudian. Bila arus mengenai
di daerah kepala, maka penderita akan pingsan lama dan mengalami henti
napas.
b. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan awal yaitu memutuskan arus listrik, kemudian dilakukan
resusitasi jantung dan pernapasan buatan. Cairan parenteral harus diberikan.
Pemberian cairan lebih banyak dari yang diperkirakankarena sering
kerusakan jauh lebih luas daripada yang di sangka. Kalau banyak terjadi
kerusakan otot, urin akan berwarna gelap oleh myoglobin. Penderita
diberikan manitol 25 gram, disusul dosis rumatan 12,5 gram/jam. Kalau
perlu, manitol diberikan samapai 6 kali, untuk memperbaiki filtrasi ginjal dan
mencegah gagal ginjal. Bila ada otak, dapat diberikan diuretic dan
kortikosteroid.
Pada luka bakar yang dalam dan berat, perlu pembersihan jaringan mati
secara bertahap karena tidak semua jaringan mati jelas tampak pada hari
pertama. Bila luka pada ekstremitas mungkin perlu fasiatomi pada hari
pertama untuk mencegah sindrom kompartemen. Selanjutnya, dilakukan
cangkok kulit atau rekontruksi.
2. Tersambar Petir
a. Patogenesis:
13
Petir bevoltase 20-100 juta volt dan arus dapat mencapai 20.000
amper dengan suhu inti samapai 30.000 kelvin, yaitu jauh lebih tinggi dari
pada permukaan matahari. Kecelakaan tersambar petir terjadi dalam 4 cara.
Cara pertama tersambar petir langsung, cara kedua tersambar samping yaitu
petir mengenai pohon dan terjadi loncatan arus listrik berjarak 2 meter dari
pohon. Cara ketiga terjadi bila korban bersandar di pohon atau tersambar
kontak. Yang keempat terjadi dekat tanah yang tersambar petir atau
tersambar langkah.
Pada kejadian pertama dan kedua arus listrik masuk dari kepala melalui
lubang kepala, mata, hidung, telinga atau mulut dan mencapai bumi melalui
leher, tubuh dan kaki. Dan pada jalan arus listrik yang mencapai otak, pusat
pernapasan, dan jantung dapat terjadi pingsan, henti napas, maupun henti
jantung.
Pada kejadian ketiga, aliran listrik masuk ke tubuh pada tempat kontak. Pada
kejadian terakhir yaitu tersambar langkah, arus listrik masuk melalui kaki
yang paling dekat tempat petir di tanah dan keluar tubuh lagi melalui kaki
sebelahnya. Hal itu dapat terjadi bila jarak antara korban dan letak tegangan
tinggi di tanah tidak melebihi 30 meter. Pada keadaan ini tidak terjadi
pingsan, henti napas dan henti jantung.
b. Resusitasi
Biasanya orang akan sadar kembali dalam waktu tertentu, sedangkan
kelumpuhan pusat napas juga akan berlalu setelah 5 -10 menit. Biasanya
asistolik juga akan pulih bila napas buatan dilakukan secara memadai. Oleh
karena itu, korban akan selamat bila diberikan resusitasi berupa napas buatan
segera setelah kecelakaan. Hal ini dapat menyelamatkan sampai 70% korban.
Defibrilasi jantung tidak perlu karena henti jantung pada korban ini
merupakan asistol tanpa fibrilasi.
3. Luka Akibat Zat Kimia
a. definisi
14
Luka ini merupakan luka bakar. Kerusakan yang terjadi sebanding dengan
kadar dan jumlah bahan yang mengenai tubuh, cara dan lamanya kontak,
serta sifat dan cara kerja zat kimia tersebut. Zat kimia akan tetap merusak
jaringan sampai bahan tersebut habis bereaksi dengan jaringan tubuh
Zat kimia seperti kaporit, PK dan asam kromat dapat bersifat oksidator.
Bahan korosif, seperti fenol danfosfor putih, serta larutan basa seperti Kalium
hidroksida dan natrium hidroksida menyebabkan denaturasi protein.
Denaturasi akibat penggaraman dapat disebabkan oleh asam vormiat, asetat,
tanat, fluorat, dan klorida. Asam sulfat merusak sel karena bersifat cepat
menarik air. Beberapa zat yang dapat menyebakan keracunan sistemik, asam
fluoride, dan oksalat dapat menyebabkan hipokalsemia. Asam tanat, kromat,
formiat, pikrat dan fosfor dapatmerusak hati dan ginjal bila di absorbs. Lisos
menyebabkan metheglobinuria.
b. Pengobatan
Baju yang terkena zat kimia harus segera di lepas. Sikap yang
menyebabkan keadaan lebih buruk adalah menganggap ringan luka, karena
dari luar tampak sebagai kerusakan kulit yang hanya kecoklatan, padahal
daya rusak masih terus menembus kulit , kadang samapai 72 jam.
Penangan dilakukan dengan mengencerkan zat kimia secara massif,
dengan mengguyur penderita dengan air mengalir sambil diusakan
membersihkan pelan-pelan. Netralisasi dengan zat kimia lain merugikan
karena buang waktu untuk mencarinya dan panas yang timbul dari reaksi
kimia dapat menambah kerusakan jaringan. Sebagai tindak lanjut, kalau perlu
dilakukan resusitasi, perbaikan keadaan umum, serta pemberian cairan dan
elektrolit.
Pada kecelakaan akibat asam fluoride pemberian kalsium glukonat 10% di
bawah jaringan yang terkena bermanfaat mencegah ion fluor menembus
jaringan dan emnyebabkan dekalsifikasi tulang. Pajanan zat kimia pada mata
perlu tindakan darurat segera berupa irigasi dengan air atau sebaiknya larutan
15
garam 0,9% secara terus menerus sampai penderita di rawat di Rumah Sakit.
Penyiraman sering sukar dilakukan karena biasanya timbul blefarospasme.
4. Cedera suhu Dingin
Pada waktu suhu jaringan turun, akan terjadi vasokontriksi arteriol
sehingga sel mengalami hipoksia. Akibat anoksia, permeabilitas dinding
pembukuh darah meninggi sehingga timbul edema. Arus darah melambat
sehingga terjadi stasis kapiler,aglutinasi trombosit, thrombosis, dan nekrosis
jaringan. Akibat dari suhu dingin, cairan sel mengkristal, sel saraf, pembuluh
darah, otot lurik sangat peka terhadap suhu rendah. Sedangkan kulit, fasia,
dan ajringan ikat lebih tahan. Kadang kulit tampak sehat namun otot
dibawahnya mati. Bagian tubuh yang sering terkena yaitu bagian ujung yaitu
jari kaki dan tangan, telinga dan hidung.
Semua pakaian di longgarkan. Bagian yang sakit di hangatkan kembali
dengan merendam menggunakan air, suam- suam kuku (30 ⁰C). selanjutnya
diberikan perawatan seperti pada luka bakar biasa. Fisioterapi sangat
penting.
3. Luka Gigitan
Luka gigit dapat disebabkan oleh hewan liar, hewan peliharaan atau
manusia. Luka gigitan dapat hanya berupa luka tusuk kecil atau luka
compang camping luas yang berat. Persoalan yang ditimbulkan oleh luka
gigitan atau sengatan serangga adalah lukanya sendiri, kontaminasi bakteri
atau virus dan reaksi alergi. Dalam penanggulangannya, perlu diidentifikasi
hewan yang menggigit atau menyengat utuk perencanaan langkah
pertolongan.
Tindakan terhadap luka adalah pembersihan luka, disusul dengan menjahit
rapat atau membuat jahitan situasi, yaitu jahitan untuk sementara sesuai
keadaan dengan maksud mencegah luka terbuka terlalu lebar. Cara menjahit
bergantung pada kemungkinan adanya infeksi. Umumnya dianggap lebih
16
aman kalu sementara hanya dibuat jahitan situasi. Setelah diamati beberapa
hari dan luka tampak tenang baru di jahit rapat.
Tindakan terhadap kuman atau allergen yang masuk terdiri atas mencuci dan
eksisi luas luka. Diusahakan untuk menghalangi dan mengurangi penyebaran
dengan memasang turniket, istirahat total dan mendinginkan daerah yang
bersangkutan. Untuk menawarkan racun, diberikan serum antiracun dan jika
diduga terjadi kontaminasi kuman penyakit diberikan vaksin.
H. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka
1. Infeksi luka
Kontaminasi bakteri mempengaruhi penyembuhan luka, antibiotik
profilaksis adalah cara yang efektif dalam pencegahan infeksi.
2. Nutrisi
Secara umum malnutrisi berhubungan dengan penyakit kronik, kanker,
atau defisiensi spesifik karbohidrat, protein, dan mineral-mineral yang
mempengaruhi penyembuhan luka. Nutrisi yang adekuat akan mendukung
aktivitas seluler dan sintesis kolagen pada penyembuhan luka.
3. Suplai Oksigen
Oksigen penting dalam proses penyembuhan luka. Tempat paling cepat
pada kulit dalam proses penyembuhan luka adalah wajah dan leher, karena
mendapatkan suplai oksigen paling banyak.
4. Penyakit Kronik
Pasien dengan penyakit kronik terutama gangguan endokrin, diabetes,
keganasan. Kondisi-kondisi ini penting menjadi perhatian ahli bedah
harus mempertimbangkan efek mereka pada jaringan-jaringan di lokasi
luka, serta sebagai dampak potensial mereka pada pemulihan secara
keseluruhan pasien.
17
I. Komplikasi Penyembuhan Luka
1. Penyulit Dini
Hematom harus dicegah dengan mengerjakan hemostasis secara teliti.
Hematom yang mengganggu atau terlalu besar sebaiknya dibuka dan
dikeluarkan. Seroma adalah penumpukan cairan luka di lapangan bedah. Jika
seroma mengganggu dan terlalu besar, dapat dilakukan pungsi. Jika seroma
kambuh, sebaiknya dibuka dan dipasang panyalir. Infeksi luka yang terjadi
jika luka tidak dibersikan.
2. Penyulit Lanjut
Keloid dan jaringan parut hipertrofik timbul karena reaksi serat kolagen yang
berlebihan dalam proses penyembuhan luka. Serat kolagen disini teranyam
teratur. Keloid yang tumbuh berlebihan melampaui batas luka, sebelumnya
menimbulkan gatal dan cenderung kambuh bila dilakukan intervensi bedah.
Parut hipertrofik hanya berupa parut luka yang menonjol, nodular, dan
kemerahan, yang menimbulkan rasa gatal dan kadang – kadang nyeri. Parut
hipertrofik akan menyusut pada fase akhir penyembuhan luka setelah sekitar
satu tahun, sedangkan keloid tidak.
Keloid dapat ditemukan di seluruh permukaan tubuh. Tempat predileksi
merupakan kulit, toraks terutama di muka sternum, pinggang, daerah rahang
bawah, leher, wajah, telinga, dan dahi. Keloid agak jarang dilihat di bagian
sentral wajah pada mata, cuping hidung, atau mulut.
Pengobatan keloid pada umumnya tidak memuaskan. Biasanya dilakukan
penyuntikan kortikosteroid intrakeloid, bebat tekan, radiasi ringan dan salep
madekasol (2 kali sehari selama 3-6 bulan). Untuk mencegah terjadinya
keloid, sebaiknya pembedahan dilakukan secara halus, diberikan bebat tekan
dan dihindari kemungkinan timbulnya komplikasi pada proses penyembuhan
luka.
18
DAFTAR PUSTAKA
Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Matthews JB, Pollock RE: Schwartz’s Principles of Surgery, 9th Edition)
David LD. 2004. Ethicon: Wound Closure Manual. Minnesota: Ethicon inc. pp: 6-8.
Diegelmann RF and Evans MC. 2004. Wound healing : an overview of acute, fibrotic and delayed healing. Front in Biosci. 9:283-9.
Grabb and Smith. Plastic Surgery. Wolters and Kluwer. Philadhelpia.Mallefet P and Dweck A.C. 2008. Mechanisms involved in wound healing.
Biomed Scient. 609-15.
19
top related