anak penurut yang tidak menurut

5
Anak Penurut yang Tidak Menurut 14 November 2013 21:09 Beberapa hari lalu, rekan sejawat saya Ibu Ratih Mestikawati CCH., mengunjungi AWG Institute. Beliau tinggal di Malang, kebetulan ada acara di Surabaya dan menyempatkan diri bertemu saya untuk mendiskusikan beberapa hal. Salah satu topik yang disampaikan pada saya adalah mengenai pengalaman Beliau menangani beberapa kasus klien anak. Saya menyimak dengan penuh antusias penjelasan Ibu Ratih karena memang sangat menarik. Atas ijin Beliau saya meringkas diskusi kami dan menuliskannya menjadi artikel ini agar dapat menjadi pembelajaran bersama, khususnya para orangtua. Kasus pertama adalah anak laki usia 4 tahun, sebut saja sebagai Didik, yang kalau makan sukanya mengemut makanan. Didik makannya lama sekali karena makanan tidak dikunyah tapi disimpan di dalam mulut untuk waktu yang lama. Bila ini berlangsung terus menerus pasti akan memengaruhi kesehatan giginya. Semula kedua orangtua Didik ingin terapis langsung menerapi si anak. Permintaan ini tidak dikabulkan karena dari pengalaman selama ini masalah anak selalu bersumber pada orangtua atau pengasuh utama. Kedua orangtua diminta hadir jumpa terapis untuk sesi wawancara dan konseling. Dalam sesi ini terapis menggali informasi mengenai pola asuh di rumah, siapa pengasuh utama si anak, interaksi anak dan orangtua, serta komunikasi. Dari sini akhirnya diketahui penyebab Didik suka mengemut makanan. Si ayah kerja di luar kota dan sering menelpon ke rumah. Setiap kali menelpon ke rumah selalu mengajak bicara si anak. Ayah selalu berpesan kepada Didik, “Mas… kalau makan jangan diemut ya.” Pesan ini yang selalu disampaikan ayah kepada Didik. Selain ayah, ibu setiap kali menyuap Didik selalu didahului dengan pesan, “Mas… kalau makan jangan diemut.” Ini juga terjadi berkali- kali.

Upload: esti

Post on 16-Dec-2015

221 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Cara memahami bagaimana ttg Anak Penurut Yang Tidak Menurut

TRANSCRIPT

Anak Penurut yang Tidak Menurut14 November 2013 21:09Beberapa hari lalu, rekan sejawat saya Ibu Ratih Mestikawati CCH., mengunjungi AWG Institute. Beliau tinggal di Malang, kebetulan ada acara di Surabaya dan menyempatkan diri bertemu saya untuk mendiskusikan beberapa hal.Salah satu topik yang disampaikan pada saya adalah mengenai pengalaman Beliau menangani beberapa kasus klien anak. Saya menyimak dengan penuh antusias penjelasan Ibu Ratih karena memang sangat menarik. Atas ijin Beliau saya meringkas diskusi kami dan menuliskannya menjadi artikel ini agar dapat menjadi pembelajaran bersama, khususnya para orangtua. Kasus pertama adalah anak laki usia 4 tahun, sebut saja sebagai Didik, yang kalau makan sukanya mengemut makanan. Didik makannya lama sekali karena makanan tidak dikunyah tapi disimpan di dalam mulut untuk waktu yang lama. Bila ini berlangsung terus menerus pasti akan memengaruhi kesehatan giginya. Semula kedua orangtua Didik ingin terapis langsung menerapi si anak. Permintaan ini tidak dikabulkan karena dari pengalaman selama ini masalah anak selalu bersumber pada orangtua atau pengasuh utama. Kedua orangtua diminta hadir jumpa terapis untuk sesi wawancara dan konseling. Dalam sesi ini terapis menggali informasi mengenai pola asuh di rumah, siapa pengasuh utama si anak, interaksi anak dan orangtua, serta komunikasi. Dari sini akhirnya diketahui penyebab Didik suka mengemut makanan. Si ayah kerja di luar kota dan sering menelpon ke rumah. Setiap kali menelpon ke rumah selalu mengajak bicara si anak. Ayah selalu berpesan kepada Didik, Mas kalau makan jangan diemut ya. Pesan ini yang selalu disampaikan ayah kepada Didik. Selain ayah, ibu setiap kali menyuap Didik selalu didahului dengan pesan, Mas kalau makan jangan diemut. Ini juga terjadi berkali-kali. Yang terjadi adalah Didik kalau makan sukanya diemut, lama sekali. Mengetahui hal ini terapis meminta kedua orangtua Didik mengubah semantik yang digunakan saat berkomunikasi dengan anaknya. Kebiasaan mengemut makanan yang Didik lakukan terjadi karena dua hal. Pertama, kedua orangtuanya, sadar atau tidak, telah memberi sugesti kepada Didik untuk mengemut makanan. Lha, kok bisa?Anak usia 4 tahun dominan beroperasi di level pikiran bawah sadar. Dalam dunia hipnoterapi dikenal istilah pharsing yaitu kecenderungan pikiran bawah sadar untuk menolak kata yang bersifat negasi seperti tidak atau jangan. Jadi, saat Didik mendengar kata jangan diemut maka pikiran bawah sadarnya menegasi kata jangan sehingga yang diterima dan dijalankan hanyalah diemut. Dan memang inilah yang terjadi. Kedua, Didik sama sekali tidak punya data bahwa kalau makan perlu dikunyah lalu ditelan. Terapis menyarankan ibu Didik mensugestikan, Mas kalau makan setelah makanan masuk ke dalam mulut, makanannya dikunyah. Kalau sudah halus.. makanannya ditelan masuk ke dalam perut.Selang beberapa hari kemudian ibu Didik menghubungi terapis dan mengatakan bahwa Didik sudah berubah, kalau makan tidak ladi diemut, makanan langsung dikunyah dan ditelan seperti yang diinginkan orangtua. Kasus kedua mengenai anak laki usia 3 tahun, Aan, yang pipis sembarangan. Saat ingin pipis, Aan langsung saja melakukannya tanpa peduli tempat. Aan bisa pipis di teras, di tembok, di tengah ruangan, atau di mana saja. Terapis bertanya pada ayah Aan, Pak, kalau Aan kencing sembarangan, apa yang bapak katakan padanya?Jangan pipis di situ, jawab si ayah.Apakah Aan nurut sama perintah bapak? kejar terapis. Ya, Aan nurut, jawab si ayah lagi.Lain kali, kalau Aan pipis sembarangan lagi, apa yang bapak katakan? tanya terapis.Jangan pipis di situ, jawab si ayah. Di sini tampak bahwa si ayah hanya bisa melarang tapi tidak pernah mengajari anaknya secara benar. Saat dijelaskan mengenai hal ini, si ayah berkata, Lha, masa begini saja tidak tahu. Kalau pipis ya ke kamar kecil.Lho, ini anak kecil 3 tahun tentu tidak punya pengetahuan bahwa pipis tidak boleh sembarangan. Terapis menjelaskan mengenai pentingnya orangtua tidak hanya melarang tapi juga memberi solusi. Bila anak selalu dilarang pipis di teras maka ia akan pindah ke tempat lain, misalnya kamar. Kalau dilarang pipis di kamar, anak pindah ke pagar. Kalau dilarang pipis di pagar maka anak akan pindah ke tembok. Yang benar adalah orangtua memberi arahan dan bimbingan, Nak, jangan pipis sembarangan. Kalau pipis harus di dalam kamar kecil. Sini papa antar ya.Kasus ketiga mengenai seorang ibu yang mengeluh ketiga anaknya, SD kelas 6,4, dan 3, yang sering terlambat bangun (bangun siang), kamar berantakan tidak pernah dirapikan, buku sekolah sering ketinggalan, tidak belajar dan PR sering tidak dikerjakan. Seperti biasa, untuk kasus anak, orangtua diminta datang jumpa terapis. Dari sesi wawancara diketahui bahwa di rumah tidak ada pembantu dan si ibu adalah pengasuh utama ketiga anaknya.

Kali ini terapis meminta si ibu pulang dan melakukan satu tugas khusus. Apa itu? Si ibu harus mencatat apa saja yang ia katakan pada anak-anaknya mulai pagi hari sampai malam saat menjelang tidur. Beberapa hari kemudian si ibu datang lagi menghadap terapis dan menyerahkan tugasnya. Saat membaca apa yang ia tulis, terapis tersenyum lebar. Apa pasal?Ternyata si ibu menulis Kalian ini memang suka telatan, Bangun jangan siang-siang, Kamar kok selalu berantakan, Buku mesti ketinggalan, Mesti sukanya nonton tv, Tidak pernah belajar, PR tidak dibuat.Terapis mengajari si ibu untuk mengubah kata-kata yang digunakan dalam komunikasi dengan anak. Si ibu diminta mengubah semua kalimat negatif ini menjadi kalimat positif. Katakan apa yang Anda inginkan terjadi, bukan yang tidak anda inginkan. Misalnya Bangun jangan siang-siang diganti dengan Bangun pagi jam 06.00. Kalimat Kamar kok selalu berantakan diganti menjadi Rapikan kamar kalian. Buku mesti ketinggalan menjadi Ingat bawa buku. Tidak pernah belajar diganti menjadi Suka belajar, PR tidak dibuat menjadi Suka buat PR.Hanya dalam waktu empat hari si ibu menghubungi terapis dan mengabarkan bahwa anak-anaknya berubah total. Namun ia mengeluh bahwa sulit untuk bisa terus menggunakan kalimat positif. Ia ingin kembali ke kebiasaan lamanya. Terapis mengatakan bahwa ini adalah pilihannya. Kalau kembali menggunakan kalimat negatif maka anak-anaknya akan kembali seperti dulu. Kasus keempat mengenai seorang ibu yang mengeluh anaknya, Budi, tidak berani masuk sendiri ke dalam kelas. Anak ibu ini baru masuk TK. Setiap hari Budi minta diantar ibunya. Saat sudah di depan kelas Budi menarik-narik baju ibunya dan minta ditemani. Terapis bertanya, Kalau Budi menarik baju ibu dan minta ditemani di dalam kelas, apa yang ibu katakan?Saya bilang, Aduh Bud kamu kok penakut sih. Nempel terus sama mama kayak perangko.Sama seperti kasus anak pipis sembarangan di atas. Orangtua seringkali berpikir anak harusnya mengerti kalau masuk kelas ya masuk sendiri, tidak perlu ditemani. Hanya dalam waktu tiga hari masalah Budi dengan mudah diselesaikan. Terapis meminta si ibu berhenti berkata Aduh Bud kamu kok penakut sih. Nempel terus sama mama kayak perangko dan menggantikannya dengan Budi anak pintar dan berani. Sana masuk ke dalam kelas sendirian dan duduk seperti teman-teman lainnya ya.

Pembaca, contoh kasus di atas menunjukkan betapa pentingnya semantik yang digunakan orangtua dalam berkomunikasi dengan anak. Semantik yang kita gunakan berlaku sebagai sugesti bagi anak. Saat masih kecil faktor kritis pikiran sadar masih sangat lemah atau baru terbentuk. Dengan demikian, apapun yang kita katakan pada anak, tidak dapat disaring, dan pasti langsung masuk ke pikiran bawah sadarnya, serta dilaksanakan dengan patuh. Jadi, cerdas dan bijaklah dalam memilih kata agar anak menuruti apa yang kita ingin ia turuti, bukan apa yang kita tidak ingin ia turuti.