analisis beberapa tipe penggunaan lahan yanuar

48
IV. ANALISIS BEBERAPA TIPE PENGGUNAAN LAHAN UNTUK PRODUKSI PERTANIAN A. Pendahuluan 1. Latar Belakang Agroekosistem merupakan ekosistem pertanian yang menjadi bagian dari agroekologi yaitu ilmu yang membahas atau mendiskusikan hubungan timbal balik antara lingkungan dengan upaya peningkatan produksi tanaman melalui proses biologi. Sebagai suatu sistem tentu melibatkan beberapa komponen atau subsistem, terdapat berbagai subsistem yang merupakan bagian dari agroekosistem. Setiap subsistem memiliki tanaman tertentu yang mendominasi. Agroekosistem secara teoritis telah dipahami, namun perlu pemahaman lebih dalam bagaimana hubungan antara subsistem dengan agroekosistem. Jarang sekali ditemukan kehidupan yang secara individu terisolasi di alam, biasanya suatu kehidupan lebih suka mengelompok atau membentuk koloni. Percampuran jenis-jenis di dalam komunitas tidak demikian saja terjadi, melainkan setiap spesies menempati ruang tertentu sebagai kelompok yang saling mengatur di antara mereka. Ada beberapa tipe agroekosistem yang dipelajari seperti : subsistem persawahan, subsistem tegal/talun, subsistem pekarangan, dan sub sistem

Upload: yanuar-mahir-hermawan

Post on 24-Nov-2015

123 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

to youuu

TRANSCRIPT

IV. ANALISIS BEBERAPA TIPE PENGGUNAAN LAHAN

UNTUK PRODUKSI PERTANIANA. Pendahuluan1. Latar BelakangAgroekosistem merupakan ekosistem pertanian yang menjadi bagian dari agroekologi yaitu ilmu yang membahas atau mendiskusikan hubungan timbal balik antara lingkungan dengan upaya peningkatan produksi tanaman melalui proses biologi. Sebagai suatu sistem tentu melibatkan beberapa komponen atau subsistem, terdapat berbagai subsistem yang merupakan bagian dari agroekosistem. Setiap subsistem memiliki tanaman tertentu yang mendominasi. Agroekosistem secara teoritis telah dipahami, namun perlu pemahaman lebih dalam bagaimana hubungan antara subsistem dengan agroekosistem. Jarang sekali ditemukan kehidupan yang secara individu terisolasi di alam, biasanya suatu kehidupan lebih suka mengelompok atau membentuk koloni. Percampuran jenis-jenis di dalam komunitas tidak demikian saja terjadi, melainkan setiap spesies menempati ruang tertentu sebagai kelompok yang saling mengatur di antara mereka. Ada beberapa tipe agroekosistem yang dipelajari seperti : subsistem persawahan, subsistem tegal/talun, subsistem pekarangan, dan sub sistem perkebunan. Tiap-tiap subsistem membutuhkan kajian yang berbeda untuk mengetahui diversitas yang ada di dalamnya dan bagaimana stabilitas setiap subsistem tersebut. Tiap-tiap subsistem pun memiliki siklus energi yang berbeda. Ada aliran energi satu arah dari sinar matahari di dalam ekosistem, ada input bahan atau material dan hara atau nutrisi lain, energi keluar sistem berupa panas dan juga bahan yang di keluarkan di dalam sistem ada kontrol umpan balik atau feedback energi, sehingga dalam aliran energi tersebut akan membentuk sutu siklus yang berkelanjutan, setiap siklus akan berjalan dan membentuk suatu kesimbangan. Karena itu, pengamatan akan pengolahan subsistem diperlukan untuk mengetahui bagaimana perkembangan subsistem selanjutnya. Kebanyakan pertanian yang kita miliki sekarang ini merupakan pertanian dengan sistem terbuka artinya memebutuhkan input dari luar untuk menunjang keeksisannya yang biasanya inputnya bahan kimia, jadi dapat disimpulkan bahwa pertanian kita selama ini tidak sehat dan tidak ramah lingkungan yang dapat berdampak pada konsumen dan lingkungan dari tumbuhan tersebut. Jadi dari pengetahuan yang didapat dari praktikum ini kesadaran akan pentingnya pertanian yang berwawasan lingkungan akan semakin tinggi. Selain itu kita kebanyakan hanya mengetahui bentuk jadi dari pertanian, belum mengerti tentang bagaimana proses menjadi hasil dari pertanian missal suplai apa saja yang diberikan agar tanaman dapat tumbuh subur. Praktikum kali ini akan memperlihatkan beberapa ekosisitem pertanian dan dapat diperiksa keadaan masing-masing agar dapat mengetahui suplai apa saja yang cocok untuk tanaman tersebut.2. TujuanPraktikum agroekologi Acara Analisis Beberapa Tipe Penggunaan Lahan untuk Produksi Pertanian ini bertujuan sebagai berikut:a. Memperkenalkan mahasiswa semester II dengan berbagai tipe penggunaan lahan untuk kepentingan produksi pertanianb. Meningkatkan pemahaman mahasiswa tentang perlunya pengelolaan setiap subsistem dengan memperhitungkan kaidah-kaidah lingkunganc. Meningkatkan kecerdasan mahasiswa dengan kesadaran dan pikiran logis dari apa yang mereka lihat di lapangan dengan teori dan kajian yang selama ini diperoleh di kelas saat tatap mukaB. Tinjauan Pustaka1. Subsistem PersawahanLapangan produksi ada bermacam macam antara lain adalah lahan terbuka yang terdiri dari beberapa sub rgani anatara lain sawah, tegalan, kebun buah, kebun sayur. Sawah sendiri terdiri dari beberapa macam, antara lain adalah sawah berpengairan teknis, setengah teknis dan tadah hujan. Perbedaan antara sawah dan tegalan adalah; di lokasi sawah, terdapat pematang namun pada tegalan tidak ditemukan pematang (Supriyono 2002).Sawah adalah pertanian yang dilaksanakan di tanah yang basah atau dengan pengairan. Bersawah merupakan cara bertani yang lebih baik daripada cara yang lain, bahkan merupakan cara yang sempurna karena tanah dipersiapkan lebih dahulu, yaitu dengan dibajak, diairi secara teratur, dan dipupuk. Ada beberapa jenis sawah, yaitu sawah irigasi, sawah tadah hujan, sawah pasang surut, dan sawah lebak (Rustiadi 2007). Air sebagai sumber pengairan diberikan dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan evapotranspirasi, perkolasi, dan kehilangan pada saluran. Apabila lahan pertanian berada dalam kondisi yang cukup air, maka efisiensi penggunaan air akan meningkat sehingga dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. Namun apabila efisiensi air buruk, maka pertumbuhan tanaman terhambat sehingga menurunkan pendapatan dan kesejahteraan petani (Kurnia 2004).Usahatani padi di lahan sawah pasang surut memerlukan teknik budi daya tersendiri, karena keadaan tanah dan lingkungannya tidak serupa dengan lahan sawah irigasi. Kesalahan budi daya dapat menyebabkan gagalnya panen dan dapat pula merusak tanah dan lingkungan.Berdasarkan tipe luapan air, padi sawah dapat dibudidayakan pada lahan bertipe luapan air A, B, atau C yang telah menjadi sawah tadah hujan. Lahan yang bertipe luapan air A adalah lahan yang selalu terluapi air, baik pada saat pasang besar maupun kecil. Tipe B hanya terluapi air pada saat pasang besar saja. Sedangkan lahan tipe C lahan tidak terluapi air pasang, namun air tanahnya dangkal. Lahan pasang surut juga dapat ditanami padi gogo, tetapi teknik budi dayanya berbeda dengan padi sawah (Mamud 2009).Bertanam padi sawah tanpa olah tanah (TOT) merupakan alternatif teknologi baru. Sistem ini dapat menghemat air lebih dari 30%, tenaga kerja, dan biaya pengolahan tanah. Produksinya tidak berbeda dengan sistem penanaman biasa. Namun sistem ini masih banyak diragukan petani, karena pada dasarnya menanam padi membutuhkan sistem olah tanah maksimum (Muhajir 2008).Padi sawah tidak hanya memberikan respon yang lebih baik pada kondisi aerob dibandingkan dengan anaerob, namun sekaligus pada kondisi aerob dapat meningkatkan produktivitasnya. Pemberian bahan organik, khususnya dari kotoran sapi ke lahan sawah sebaiknya pada kondisi aerob (tidak tergenang). Teknik budidaya padi sawah secara aerobik di samping meningkatkan produktivitasnya, sekaligus meningkatkan efisiensi penggunaan air dan produktivitas air (Sumardi 2007).2. Subsistem Tegal/TalunTalun (tegal pekarangan) adalah salah satu sistem agroforestry yang khas, ditanami dengan campuran tanaman tahunan/kayu (perennial) dan tanaman musiman (annual), dimana strukturnya menyerupai hutan, secara umum ditemui di luar pemukiman dan hanya sedikit yang berada di dalam pemukiman. Fungsi talun dapat dibedakan menjadi 4 bagian, yaitu produksi subsistem, produksi komersil, sumber daya nutfah dan konservasi tanah, dan fungsi social. Sebagai salah satu komponenagroekosistem, komposisi dan struktur talun serta fungsi tumbuhan yang ditemukan di dalamnya dipengaruhi oleh berbagai faktor biofisik, sosial ekonomi, dan budaya masyarakat setempat. Adanya berbagai faktor tersebut dan intensitas pengelolaan lahan oleh pemiliknya memungkinkan struktur vegetasi talun berbeda-beda pada setiap daerah. Struktur multi strata dan bermacam-macamnya komposisi spesies pada talun sangat penting bagi berbagai organisme dalam menggunakan talun tersebut sebagai habitatnya, terutama pada suatu daerah yang cukup jauh dari hutan (Yanto 2008).Tegal adalah suatu lahan yang kering (dry farming) tanpa adanya pengairan. Pertanian tegalan adalah cara bertani yang secara tetap tanpa pengairan. Pertanian tegalan dikerjakan secara tetap dan intensif dengan bermacam-macam tanaman secara bergantian (crop rotation) antara palawija (seperti jagung, kacang tanah, ketela pohon) dan padi gogorancah (Pratiwi 2004).Secara garis besar, talun dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu talun permanen dan talun tidak permanen (talun-kebun). Talun permanen, tidak ditemukan adanya pergiliran tanaman dan pohon-pohonnya rapat dengan kanopi menutupi area, sehingga cahaya yang tembus sedikit dan hanya sedikit tanaman toleran yang ditanam. Pada talun yang pohonnya jarang, cahaya bisa banyak tembus, sehingga tanaman musiman tumbuh dan dapat ditemukan ditemuakan, talun seperti itu disebut juga Kebun Campuran. Talun tidak permanen, ditemukan adanya pergiliran tanaman, biasanya terdiri dari tiga fase, yaitu kebun, kebun campuran, dan talun. Mendefinisikan talun sebagai sistem tradisional yang mempunyai aneka fungsi selain fungsi produksi, dimana dalam sistem ini terdapat kombinasi tanaman pertanian semusim dengan pepohonan. Talun umumnya mempunyai batas-batas kepemilikan yang jelas dan ditemukan di sekitar daerah pemukiman (Widagda 2000).Macam-macam subsistem agroekosistem yaitu sawah, tegal, perkebunan dan talun. Sawah, tegal dan perkebunan merupakan subsistem dengan dominasi tanaman tertentu. Kebun dapat sengaja ditanam, tumbuh sendiri, atau tumbuh dari bekas pemangkasan. Talun merupakan subsistem dengan deversitas tinggi. Talun adalah suatu tata guna lahan, dimana vegetasi yang menutupinya didominasi oleh berbagai jenis tumbuhan/tanaman berumur panjang (perennial) dimana strukturnya menyerupai hutan, secara umum ditemui di luar pemukiman dan hanya sedikit yang berada di dalam pemukiman (Soemarwoto 2000).Lahan pertanian tegal dan talun berkembang di lahan-lahan kering, yang jauh dari sumber-sumber air yang cukup. Sistem ini diusahakan orang setelah mereka menetap lama di wilayah itu, walupun demikian tingkatan pengusahaannya rendah. Pengelolaan tegal pada umumnya jarang menggunakan tenaga yang intensif, jarang ada yang menggunakan tenaga hewan. Tanaman-tanaman yang diusahakan terutama tanaman tanaman yang tahan kekeringan dan pohon-pohonan.Pertanian tegal adalah cara bertani yang secara tetap tanpa pengairan. Pertanian tegalan dikerjakan secara tetap dan intensif dengan bermacam-macam tanaman secara bergantian (crop rotation) antara palawija (seperti jagung, kacang tanah, ketela pohon) dan padi gogorancah. Untuk menyuburkannya, biasanya tanah ditanami orok-orok (Crotalaria striata) sebagai pupuk hijau. Selain untuk tanaman pangan, di sekitar terdapat bermacam-macam pohon besar seperti pohon mahoni, pohon akasia, pohon johar, pohon sengon, pohon mangga, pohon petai, petai cina, jambu air, dll) sehingga subsistem tegalan dan talun memiliki diversitas/keanekaragaman tinggi (Soejani 2005).3. Subsistem PekaranganPekarangan adalah sebidang tanah yang terletak di sekitar rumah dan umumnya berpagar keliling. Di atas lahan pekarangan tumbuh berbagai ragam tanaman. Bentuk dan pola tanaman pekarangan tidak dapat disamakan, bergantung pada luas tanah, tinggi tempat, iklim, jarak dari kota, jenis tanaman. Lahan pekarangan tersebut biasanya digunakan untuk memelihara ikan dalam kolam, dan hewan piaraaan seperti ayam, itik, kambing, domba, kelinci, sapi dan kerbau. Keragaman tumbuhan dan bintang piaraan inilah yang menciptakan pelestarian lingkungan hidup pada pekarangan (Lunda 2008).Secara umum pekarangan diurus oleh perempuan sehingga pekarangan mudah didapat di daerah yang memiliki pola kekerabatan matriarkal di Jawa, Sumatera Barat, dan Aceh. Pekarangan sulit didapat di daerah dengan kekerabatan patriarkal seperti di Sumatera Utara, khususnya masyarakat Batak. Komoditas pekarangan juga menjadi sarana sosialisasi dengan tetangga. Hasil dari pekarangan tidak sedikit dibagikan kepada tetangga sekitar. Meski demikian, pembagian ini ada juga yang mengandung unsur mistis terkait dengan menghilangkan bahaya atau mengobati penyakit (Media Tani 2008).Lahan pekarangan beserta isinya merupakan satu kesatuan kehidupan yang saling menguntungkan. Sebagian dari tanaman dimanfaatkan untuk pakan ternak, dan sebagian lagi untuk manusia, sedangkan kotoran ternak digunakan sebagai pupuk kandang untuk menyuburkan tanah pekarangan. Sehingga, hubungan antara tanah, tanaman, hewan piaraan, ikan dan manusia sebagai unit-unit di pekaranagn merupakan satu kesatuan terpadu (Pratiwi 2004).Kecenderungan kembali ke alam telah melanda dunia. Hampir semua orang mengalami kejenuhan mengonsumsi pestisida kimiawi yang ternyata memang bisa menimbulkan aneka penyakit. Karenanya, kini mulai marak dilakukan penanaman sayuran secara organik. Sehingga diperlukan tata cara menanam, merawat, dan memanen sayuran organik di pekarangan rumah dengan cara yang benar (Endro 2009).Sekarang kita sulit untuk mendapatkan pekarangan di rumah-rumah di Pulau Jawa. Sampai tahun 1980-an para guru masih mengajarkan bercocok tanam di pekarangan kepada murid-muridnya. Sekarang mungkin hal itu masih diajarkan, tetapi tidak mudah diterapkan. Depan rumah bukan lagi lahan pekarangan, tetapi sudah menjadi jalan raya. Belakang rumah lahan makin sedikit dan cenderung berimpitan dengan rumah tetangga. Meski demikian, jejak pekarangan masih ada. Pekarangan dengan berbagai aneka tanaman dan juga hewan piaraan masih ditemukan di keluarga-keluarga yang umumnya anak-anaknya bekerja di luar kota dan tidak menggantungkan pada lahan milik orangtuanya sehingga lahan itu masih terjaga (Orchard 2009).Saat ini sudah sangat jarang rumah yang memiliki pekarangan yang luas. Namun, hal itu tidak berarti tidak bisa memanfaatkan pekarangan rumah kita yang sempit. Karena itu, diperlukan cara memilih tanaman yang bermafaat untuk mengisi pekarangan, baik lahannya luas atau sempit. Adanya tanaman pekarangan yang dipilih akan membuat halaman rumah menjadi lebih sejuk dan menyenangkan untuk dipandang mata (Eman 2009).4. Subsistem PerkebunanPerkebunan merupakan usaha penanaman tumbuhan secara teratur sesuai dengan ilmu pertanian dan mengutamakan tanaman perdagangan. Perkebunan penting bagi bahan ekspor dan bahan industri. Jenis-jenis tanaman perkebunan khususnya di Indonesia antara lain karet, kelapa sawit, kopi, teh, tembakau, tebu, kelapa, cokelat, kina, kapas, cengkih. Perkebunan merupakan sektor pertanian yang unggul di negara Indonesia (Soerjani 2007). Sebagian besar perkebunan berada di daerah pegunungan dengan ketinggian antara 500m-3000m di atas permukaan laut, curah hujan tinggi dan merata sepanjang tahun minimum 1.500 mm, dan di daerah tropis yang suhu rata-rata bulanan 24oC-30oC dan suhu rata-rata tahunan 26oC, sedangkan suhu terdingin 20oC. Tanah yang dijadikan tanah perkebunan biasanya adalah tanah subur (vulkanis muda). Tetapi saat ini, banyak perkebunan yang dibuka di lahan yang kurang sesuai seperti hutan bertanah gambut (areal N-1) dan dengan cara pembakaran seperti di Kalimantan dan Sumatera. Hal itu dikarenakan kurangnya lahan yang sesuai dan berakibat kabut asap semakin menebal hingga ke luar Indonesia. Perkebunan pada umumnya menggunakan sistem monokultur. Secara ekologis, akan merubah ekosistem dan hilangnya keanekaragaman hayati serta diversitas. Selain itu, lapisan tanah atas (top soil) semakin tandus dan tererosi (Rusna 2009).Subsistem perkebunan berupa lahan luas yang hanya terdapat satu komoditas pertanian yang diusahakan dan permanen. System perkebunan perlu diutamakan tata rumah tangga yang sedikit atau sama sekali tertutup dimana di dalamnya terdapat suatu satuan unit tanah yang luas. Tanaman yang diusahakan biasanya kelapa sawit, karet, teh, kopi,dll (Barchia 2007). Perkebunan memang lebih banyak melindungi tanah, air, dan sejumlah kecil flora dan fauna yang ada di dalamnya daripada sawah, tetapi perkebunan tidak dapat mencapai efesiensi perlindungan lahan seperti hutan alam yang dewasa. Tanaman teh terutama tumbuh di daerah tropis diantara garis balik Cancer dan Capricorn, memerlukan curah hujan hingga 1000-1250 mm per tahun, dengan temperatur ideal antara 10 hingga 30 C. Tanaman teh tumbuh pada permukaan laut hingga 2400 meter. Tanaman teh ditumbuhkan secara berbaris dengan jarak satu meter. Pohon teh harus dipangkas setiap empat atau lima tahun dengan tujuan untuk memudakan kembali dan memelihara supaya mempunyai tinggi yang tetap untuk memudahkan para pemetik teh, memetik teh. Hal ini dikenal dengan istilah Tabel Pemetikan (Manuwoto 2009). C. Metodologi Praktikum1. Waktu dan Tempat PraktikumPraktikum agroekologi Acara Analisis Beberapa Tipe Penggunaan Lahan untuk Produksi Pertanian ini dilaksanakan pada hari Minggu, 30 April 2014 bertempat:a. Subsistem perswahan di Desa Suruhkalang, Kecamatan Jaten, Kabupaten Karanganyar.b. Subsistem tegal/talun di Desa Ngasinan, Kecamatan Tugu, Kabupaten Karanganyar. c. Subsistem pekarangan di Desa Ngasinan, Kecamatan Tugu, Kabupaten Karanganyar.d. Subsistem perkebunan karet di Desa Mojogedang, Kecamatan Karangpandan, perkebunan teh di Kemuning, Kabupaten Karanganyar. 2. Alat dan Bahan Praktikuma. Alat 1) Boardlist2) Alat tulis3) Global Positioning System4) Altimeter5) Klinometer6) Luxmeter7) Moisture tester8) Termohigrografb. BahanSubsistem yang diamati

3. Cara Kerjaa. Mengukur letak astronomis, ketinggian tempat, kemiringan lereng, intensitas cahaya, kelembaban tanah, kelembaban udara, suhu udara, dan pH, serta menggambar denah pola tanamb. Mengamati jenis tanaman yang dibudidayakan, jarak tanam, pengelolaan tanah, input, output, dan siklus hara pada subsistem tersebut.c. Mengamati permasalahan dan solusi atas masalah yang ditemukand. Mencatat hasilnya pada boardlistD. Hasil Pengamatan dan Pembahasan1. Subsistem Persawahana. Hasil PengamatanTabel 4.1 Tabel Profil Tempat Subsistem PersawahanNo.Profil TempatKeterangan

1AlamatSuruhkalang, Jaten, Karanganyar

2Letak Astronomis7 36 21,0 LS110 55 06,1 BT

3Slope0 % (tergolong datar)

4Tinggi Tempat144 mdpl

5VegetasiPadi, pisang, rumput

6pH6,0

7Batas-BatasUtara : sawahTimur : sawahSelatan: jalanBarat : rumah

8Kelembaban Tanah55,6%

9Kelembaban Udara67%

10Suhu Udara27 C

11Intensitas CahayaTidak ternaungi: 42200 luxTernaungi : 6500 lux

12Pengelolaan Lahana. Pola tanamb. Jarak tanamMonokultur22 x 22 cm

13Input Benih, pupuk urea 50 kg, pupuk ZA 50 kg

14Output1,5 ton padi

15Siklus HaraTerbuka

16Luas Lahan3200 m2

Sumber: Boardlist

U

Sawah

Sawah

SawahRumahSawah

Jalan RayaSungai

SawahVvvvvvvvvvvv SAWAH v vvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvv

Sawah

Gambar 4.1 Denah Pola Tanam Subsistem Persawahanb. PembahasanLokasi yang diamati pada subsistem ini berada di Desa Suruhkalang, Jaten, Karanganyar dengan letak astronomis 7 36 21,0 LS dan 110 55 06,1 BT. Lahan di daerah ini berada pada kemiringan 0% atau tergolong datar. Karena topografinya termasuk datar maka tidak perlu adanya sengkedan. Lahan ini berada pada ketinggian 147 mdpl dengan pH 6,0 atau tergolong lahan netral. Subsistem persawahan ini memiliki kelembaban, baik kelembaban tanah maupun udara yang relatif tinggi yaitu 55,6% pada tanah dan 67% pada udara dengan suhu sedang sebesar 27oC. Setelah dilakukan pengukuran intensitas cahaya dengan luxmeter di daerah tidak ternaungi diperoleh hasil pengukuran intensitas cahaya sebesar 42200 lux, sedangkan pada daerah yang ternaungi sebesar 6500 lux. Menurut Rustiadi (2007) pengelolaan lahan subsistem persawahan harus maksimal karena persawahan memerlukan pembajakan tanah, pengairan, dan pemupukan. Menurut Kurnia (2004) efisiensi air pada subsistem persawahan harus maksimal, karena sawah merupakan lahan basah. Pengelolalan tanah pada lahan ini sudah tergolong maksimum, karena sudah menggunakan mesin traktor sehingga pengelolalaan tanah berlangsung lebih cepat dan efektif. Pada subsistem persawahan ini, tanaman yang dibudidayakan adalah padi dengan jarak tanam 22 x 22 cm. Saat pengamatan, tanaman padi sedang pada fase pengisian biji (gabah masih berwarna hijau). Tanaman yang rusak memiliki daun yang awalnya hijau menjadi kuning karena terkena hama belalang. Hama lainnya antara lain tikus dan burung. Untuk pengairan sudah menggunakan metode pengairan teknis yang artinya ada pengaturan keluar masuk air (satu saluran), namun tidak ada pengukuran debit air dan bangunan untuk pengairan. Sawah ini termasuk sawah pengairan ketaon karena mendapat pengairan semi secara teratur seminggu sekali, tetapi areal sawah ini masih menggunakan sistem tadah hujan. Padi yang ditanam pada subsistem persawahan ini berasal dari benih unggul varietas IR-64. Untuk lahan seluas 3200 m2 diperlukan benih sebanyak 12 kg dengan pupuk urea dan ZA pada awal penanaman dengan jumlah masing-masing pupuk 50 kg. Dari perpaduan benih, pupuk, dan pengelolaan yang dilakukan dapat diperoleh output atau hasil produk sebanyak 1,5 Ton. Masalah utama pada subsistem ini adalah hama, berupa hama tikus, burung, dan belalang. Subsistem sawah ini hanya memiliki satu jenis tanaman sehingga diversitasnya tergolong rendah. Karena diversitas yang rendah tersebut, resiliensi atau ketahanan terhadap hamanya juga rendah. Namun penanganannya masih tergolong rendah karena petani hanya membiarkan saja hama-hama tersebut dan tergantng ada predator atau musuh alami hama tersebut. Untuk siklus hara, subsistem persawahan ini memiliki siklus hara terbuka karena menggunakan pupuk kimia yang dalam siklus hara berdasarkan rantai makanan ada output yang tidak kembali sebagai input. Siklus hara seperti ini dapat merusak subsistem karena tidak menggunakan prinsip pertanian organik yang berkelanjutan.Selain itu, pada subsistem ini dapat dilihat adanya pemukiman dipinggir atau bahkan di tengah sawah yang merupakan bangunan yang tergolong baru. Pemukiman-pemukiman tersebut mengurangi lahan pertanian dan dikhawatirkan mengakibatkan diversifikasi lahan besar-besaran. Maka dari itu, perlu diadakannya kebijakan yang mengatasi pembangunan pemukiman di area persawahan tersebut agar subsistem ini tidak menyempit dan lama-kelamaan hilang.2. Subsistem Tegal/Taluna. Subsistem Tegal1) Hasil PengamatanTabel 4.2 Tabel Profil Tempat Subsistem TegalNo.Profil TempatKeterangan

1AlamatNgasinan, Tugu, Karanganyar

2Letak Astronomis7 39 28,5 LS110 58 1,6 BT

3Slope8 % (tergolong datar)

4Tinggi Tempat247 mdpl

5Vegetasi Singkong, padi, rumput, pohon jati

6pH5,4

7Batas-BatasUtara : sungaiTimur : kampong dawetanSelatan : SungaiBarat : sawah

8Kelembaban Tanah64%

9Kelembaban Udara55%

10Suhu Udara30 C

11Intensitas CahayaTidak ternaungi: 25700 luxTernaungi : 1620 lux

12Pengelolaan Lahana. Pola tanamb. Jarak tanamMonokultur Tidak teratur

13Input Kcl, ZA, TSP

14OutputBeras, gabah kering, singkong

15Siklus HaraTerbuka

16Luas Lahan5000 m2

Sumber: Boardlist

UJALAN

RAYA

Rumah

---------------------------Singkong-----------------------------oooooooooooooooo Padi ooooooooooooooooooovvvvvvvvvvvvvvvvvvTebu vvvvvvvvvvvvvvvvvv

Lapangan

Sawah

Gambar 4.2 Denah Pola Tanam Subsistem Tegal2) PembahasanArea tegal berada di ngasinan, Tugu, Karanganyar dengan 7 39 28,5 LS dan 110 58 1,6 BT. Lokasi ini berada pada ketinggian 250 mdpl dengan kemiringan lereng sebesar 8% atau tergolong datar. Tanah pada subsistem ini diduga merupakan tanah netral karena pH tanah menunjukkan angka 5,4. Dari pengukuran dengan luxmeter diperoleh ukuran intensitas cahaya di daerah yang tidak ternaungi sebesar 25700 sedangkan pada daerah yang ternaungi sebesar 1620.Menurut Pratiwi (2004), tegal adalah suatu lahan yang kering (dry farming) yang pengairannya tidak teratur dan terkadang mengandalkan air hujan sehingga tingkat kelembabannya rendah. Pada subsistem yang diamati ini, lahan yang ditanami singkong dibuat bedengan untuk menjaga efisiensi air karena singkong tidak memerlukan banyak air, namun jika membutuhkan air akar tetap dapat mendapat pasokan air yang berasal dari bedengan tersebut. Namun, ada kalanya tanah dibajak dan dicangkul, yaitu saat tanah digunakan untuk menanam padi yang merupakan tanaman yang membutuhkan olah tanah maksimum.Menurut Yanto (2008), tanaman yang dibudidayakan di tegal adalah tanaman tahunan. Pada subsistem ini, tanaman yang sering dibudidayakan adalah padi dengan varietas IR-64 atau varietas Ciherong, singkong, dan tebu. Tanaman utamanya adalah singkong dengan jarak tanam yg tidak teratur. Untuk lahan seluas 5000 m2 ini, input yang diberikan pada lahan dan tanaman yaitu berupa benih, pupuk Kcl, ZA, TSP. Dari kombinasi benih, pupuk di awal, pupuk di akhir, serta pengelolaan tanah dan tanaman diperoleh output atau hasil produk berupa beras, gabah kerig, singkong. Pada subsistem ini, diversitasnya tinggi sehingga resiliensinya juga tingi. Tanaman tidak mudah terserang hama karena adanya beberapa jenis tanaman sehingga menjadikan tempat tersebut tidak disukai hama. Masalah utama yang sedang dihadapi adalah masalah pengairan. Sumur yang biasa digunakan sebagai sumber air sedang mengalami kerusakan, sehingga petani sekitar harus mengambil air dari tempat yang lebih jauh. Namun sumur tersebut saat ini sudah dalam roses renovasi sehingga masalah air ini sebentar lagi terpecahkan. Selain masalah sumur yang rusak, hama juga dikhawatirkan dapat mengurangi produksi. Hama yang mengganggu di subsistem ini, yaitu hama tikus dan wereng. Untuk mengurangi efek kerusakan akibat hama, petani melakukan pengendalian terhadap hama tikus tersebut dengan melakukan gropyokan atau bekerja sama menangkap tikus kemudian membunuh dengan cara membakarnya agar tidak kembali ke area tanam.

b. Subsistem Talun1) Hasil PengamatanTabel 4.3 Tabel Profil Tempat Subsistem TalunNo.Profil TempatKeterangan

1AlamatNgasinan, Tugu, Karanganyar

2Letak Astronomis7 39 34,6 LS110 58 14,5 BT

3Slope4 % (tergolong datar)

4Tinggi Tempat257 mdpl

5Vegetasi Mahoni, jati, tales, jambu, bambu, mangga, rumput

6Ph6,8

7Batas-BatasUtara : sungaiTimur : kampung duwetanSelatan : sungaiBarat : sawah

8Kelembaban Tanah66%

9Kelembaban Udara100%

10Suhu Udara31 C

11Intensitas CahayaTidak ternaungi : 81900 luxTernaungi : 1900 lux

12Pengelolaan Lahana. Pola tanamb. Jarak tanamMultikulturJarak tanam tidak beraturan

13Input -

14OutputKayu

15Siklus HaraTertutup

16Luas Lahan70-50 m2

Sumber: Boardlistsungai

USAWAH

-------------------------- ^ x -- o x -- v b -- I I -- x o -- x --------------------------

Ket. = jatix = mahonio = bambu v = pepayaI = singkong^ = tales b = jambu

Kampung duwetan

sungai

Gambar 4.3 Denah Pola Tanam Subsistem Talun2) PembahasanSubsistem talun yang diamati untuk praktikum ini berlokasi di Ngasinan, Tugu, Jumantono pada 7 39 34,6 LS dan 110 58 14,5 BT dengan kemiringan 8% yang tergolong lereng datar. Ketinggian lokasi ini berada pada 257 mdpl dengan tanah netral berpH 6,8. Kelembaban di lokasi ini termasuk sedang, dengan kelembaban udara sebesar 66% dan kelembaban tanah 100%. Untuk intensitas cahaya, pada lokasi ini untuk tidak ternaungi 81900 lux. Semua tempat ternaungi dengan intensitas cahaya sebesar 1900 lux. Menurut Widagda (2000), tanaman yang biasa dibudidayakan merupakan gabungan tanaman semusim dengan tanaman tahunan. Namun pada subsistem talun ini tidak ada tanaman semusim. Tanaman yang dibudidayakan adalah tanaman yang cocok pada lahan kering, seperti pohon jati, mahoni, singkong, bambu, pepaya, jambu, dan tales. Lahan yang digunakan untuk menanam tanaman tersebut diolah dengan olah tanam minimum, yaitu pada awal sebelum penanaman tanah dicangkul dan digemburkan pada daerah yang akan ditanami saja setelah itu tidak diolah lagi. Tanaman-tanaman tersebut ditanam dengan jarak tanam yang tidak beraturan, dengan lahan dikelilingi jati di pinggir kemudian di bagian tengah ditanam tanaman lain secara tidak beraturan. Karena subsistem ini memiliki banyak jenis tanaman atau diversitasnya tinggi, maka stabilitas dan resiliensinya tinggi. Resiliensi yang tingggi maksudnya tidak mudah terserang penyakit atau hama. Hal ini sesuai dengan pernyataan Soerjani (2005).Pada lahan subsistem talun ini, tidak memerlukan masukan selain bibit. Dan menghasilkan output atau hasil produk berupa kayu yang biasanya dijual atau digunakan sebagai bahan bakar, buah dari jambu dan pepaya, sedangkan pada tanaman singkong outputnya berasal dari umbi yang kemudian dijual atau dikonsumsi sendiri. Siklus hara pada subsistem ini adalah siklus hara tertutup, karena tidak menggunakan pupuk sehingga termasuk pertanian organik yang berkelanjutan.Masalah yang sedang dihadapi subsistem talun ini berupa ketidaksuburan lahan. Hal ini disebabkan kurangnya kesadaran pemilik untuk merawat dan menyuburkan tanah dengan pemupukan. Padahal dengan membersihkan lahan dapat menjadikan talun tersebut enak dilihat, sedangkan dengan melakukan pemupukan dapat menyuburkan tanah sehingga tanaman memberi hasil keluaran atau output yang tinggi daripada sebelumnya.3. Subsistem Pekarangana. Hasil PengamatanTabel 4.4 Tabel Profil Tempat Subsistem PekaranganNo.Profil TempatKeterangan

1AlamatNgasinan, Tugu, Karanganyar

2Letak Astronomis7 39 32,5 LS110 58 11 BT

3Slope1,5 % (tergolong datar)

4Tinggi Tempat254 mdpl

5VegetasiKacang tanah

6pH5,6

7Batas-BatasUtara : SungaiTimur : kampong duwetanSelatan : SungaiBarat : Sawah

8Kelembaban Tanah64%

9Kelembaban Udara50%

10Suhu Udara34,5 C

11Intensitas CahayaTidak ternaungi: 90600 luxTernaungi : 2700 lux

12Pengelolaan Lahana. Pola tanamb. Jarak tanamMultikultur10-15 cm

13Input Bibit, pupuk kandang

14OutputKacang tanah

15Siklus HaraTertutup

16Luas Lahan600 m2

Sumber: Boardlist

U--- ^ o x - v -- o x - - v b I I - x o x ^ o

Rumah

Kolam IkanKolam Ikan

Gambar 4.4 Denah Pola Tanam Subsistem Pekaranganb. PembahasanLokasi subsistem pekarangan adalah di Ngasianan, Tugu, Karanganyar dengan 7 39 32,5 LS dan 110 58 11,1 BT pada ketinggian 254 mdpl dan kemiringan 1,5% atau tergolong datar. Kelembaban yang dihasilkan dari pengukuran pada kelembaban tanah sebesar 50% sedangkan kelembaban udara sebesar 64% dan pada intensitas cahaya yang diukur dengan luxmeter diperoleh hasil pengukuran pada daerah yang tidak ternaungi sebesar 90600 lux sedangkan pada daerah yang ternaungi yaitu sebesar 2700 lux. Menurut Lunda (2008) cara bertani pada subsistem ini adalah dengan memanfaatkan kebun atau pekarangan yang ada di sekeliling rumah. Tanah ini diolah minimum dengan pengcangkulan. Penerapan pola tanam adalah campuran dengan macam vegetasinya adalah tanaman ace/rambutan, singkong, durian, mangga, jati, mahoni, dan cabe.Jarak tanam tidak beraturan (rapat) dengan tanaman utama mangga dan ace. Input pada areal pekarangan adalah bibit dan pupuk kandang. Otputnya banyak macam dan manfaatnya seperti buah, sayur, sumber karbohidrat, atau bumbu masak. Lubuk hidup yang setiap saat dapat dipanen. Output yang dihasilkan dari lahan tersebut dikonsumsi sendiri, diurusi setelah selesai mengurusi sawah atau tegal. Menurut Eman (2008) pembuatan subsistem pekarangan ini adalah untuk menyejukkan keadaan rumah.Meskipun pengolahan tanahnya minimum dan pemeliharaan serta pengairan hanya bergantung pada hujan, tetapi karena siklus hara terbuka dan diversitas tinggi sehingga stabilitas dan resiliensi tinggi. Siklus hara dikatakan terbuka karena tidak menggunakan pupuk kimia dan seresah daun maupun ranting tumbuhan jatuh dan terakumulasi kemudian terdekomposisi menjadi bahan organik yang diserap tanaman untuk keberlangsungan hidup dan pertumbuhan tanaman tersebut.

4. Subsistem Perkebunana. Perkebunan Karet1) Hasil PengamatanTabel 4.5 Tabel Profil Tempat Subsistem Perkebunan KaretNo.Profil TempatKeterangan

1AlamatMojogedang, Karangpandan, Karanganyar

2Letak Astronomis7 35 57,4 LS111 02 27,7 BT

3Slope8 % (tergolong miring)

4Tinggi Tempat461 mdpl

5Vegetasi Karet, gulma berdaun lebar, rumput

6pH6,3

7Batas-BatasUtara : karetTimur : jalanSelatan : karetBarat : kebun karet

8Kelembaban Tanah25%

9Kelembaban Udara60%

10Suhu Udara30,5 C

11Intensitas CahayaTidak ternaungi: 8100 luxTernaungi : 4500 lux

12Pengelolaan Lahana.Pola tanamb.Jarak tanamMonokultur3 x 6 m

13Input Bibit, pupuk organik (urea, KCl, SP 36) 2x setahun di awal penanaman, hormon untuk meningkatkan produksi karet

14OutputLateks

15Siklus HaraTerbuka

16Luas Lahan3989 ha

Sumber: Boardlist

Ukaret

jalanl

PERKEBUNAN

oooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooo

Kebun karet

karet

Gambar 4.5 Denah Pola Tanam Subsistem Perkebunan Karet

b. PembahasanAreal perkebunan yang terletak di kebun karet Batu Jamus, Mojogedang, Karangpandan, Karanganyar berada pada posisi 70 35 57,4 LS dan 1110 02 27,7 BT. Ketinggian tempatnya 461 mdpl dengan kemiringan 8% atau tergolong miring. Tanah tergolong masam denga pH tanah 6,3. Pada pengukuran kelembaban, kelembaban udara sebesar 60% sedangkan kelembaban tanah 25%. Suhu saat dilakukan praktikum adalah 26o namun saat itu sedang gerimis. Semua tempat di daerah ini ternaungi dengan intensitas cahaya sebesar 8250 lux.Menurut Soerjani (2007), perkebunan adalah sektor pertanian terbesar di Indonesia. Salah satunya adalah perkebunan karet. Kebun karet Batu Jamus tersebut membudidayakan tanaman karet dengan jarak tanam yang teratur dan renggang yaitu 3 x 6 m. Pengolahan tanah dilakukan sebelum penanaman bibit baru atau dapat digolongkan tanah olah minimum. Menurut Barchia (2007) perkebunan memiliki tingkat diversitas yang rendah. Pola tanamnya monokultur itulah yang menyebabkan diversitasnya rendah sehingga mengakibatkan stabilitas juga rendah. Karena rentan terhadap gangguan hama dan penyakit maka perlu tambahan input berupa pestisida. Tetapi pada perkebunan karet ini tidak menggunakan pestisida untuk menanggulanginya, melainkan dengan herbisida. Perbanyakan budidaya karet dengan generatif. Input di lahan perkebunan ini adalah pemupukan yang dilakukan 2 kali setahun pada awal dan hormon pada akhir musim hujan dengan dosis menurut balai penelitian. Outputnya adalah getah karet (lateks). Lateks yang dihasilkan dijual mentah atau setengah jadi. Tanaman yang berumur lebih dari 5 tahun sudah bisa diambil lateksnya. Berdasarkan rantai makanan (siklus hara) subsistem perkebunan tergolong siklus asiklik atau terbuka. Dalam mengambil lateks atau getah karet, perlu pengelupasan jaringan korteks pada batang. Untuk pengupasan ini diusahakan hati-hati, dengan ketebalan 1,5-2 mm saja. Karena jika pengelupasan terlalu dalam, akan melukai korteks dan luka tersebut tidak bisa sembuh.Permasalahan selain gulma yaitu tercampurnya lateks dengan air ketika terjadi hujan. Hal ini dapat menurunkan mutu dan nilai jual lateks tersebut. Untuk mengatasi masalah ini, dilakukan pemasangan payung di atas botol penampung lateks agar air hujan tidak masuk ke penampung. Setelah itu disuntikkan hormon yang dapat meningkatkan produksi karet.

b. Perkebunan Teh1) Hasil PengamatanTabel 4.6 Tabel Profil Tempat Subsistem Perkebunan TehNo.Profil TempatKeterangan

1AlamatNgargoyoso, Karanganyar

2Letak Astronomis7 36 06,6 LS111 7 28,7 BT

3Slope5 % (tergolong miring)

4Tinggi Tempat917 mdpl

5Vegetasi Teh

6pH5,3

7Batas-BatasUtara : pegununganTimur : kebunSelatan : kebunBarat : kebun teh

8Kelembaban Tanah55%

9Kelembaban Udara60%

10Suhu Udara29 C

11Intensitas CahayaTidak ternaungi: 16200 luxTernaungi : 12200 lux

12Pengelolaan Lahana.Pola tanamb.Jarak tanamMonokultur1 x 1 cm

13Input Bibit teh, pupuk organik (urea, KCl, SP 36) 2x setahun pergantian musim

14OutputDauh teh kering dan basah

15Siklus HaraTerbuka

16Luas Lahan5 ha

Sumber: Boardlist

pegunungan

Vvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvv TEH vvvvvvvvv vvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvv

kebunkebun

kebun

Gambar 4.6 Denah Pola Tanam Subsistem Perkebunan Tehb. PembahasanSubsistem perkebunan teh Kemuning ini berlokasi di Ngargoyoso, Karanganyar dengan letask astronomis 7 36 06,6 LS dan 111 7 28,7 BT pada ketinggian 917 mdpl dan kemiringan 5% dengan kategori lahan miring. Tanah pada lokasi ini tergolong tanah netral dengan pH 5,3. Kelembaban tanahnya tergolong tinggi, yaitu 55% untuk kelembaban tanah dan 60% untuk kelembaban udara. Untuk pengukuran intensitas cahaya, diperoleh untuk daerah yang tidak ternaungi sebesar 16200 lux dan ternaungi sebesar 12200 lux.Manuwoto (2009) tanaman teh yang dibudidayakan pada subsistem ini ditanam dengan jarak 1 x 1 m. Jarak tanamnya dibuat lebar karena tanaman teh akan membentuk percabangan simpodial, yaitu percabangan yang dimulai dari atas permukaan tanah, sehingga tanaman akan tumbuh menyamping dan dibutuhkanlah jarak tanam yang lebar. Karena perkebunan ini memiliki lahan yang sangat luas, maka pengolahan tanahnya dilakukan menggunakan traktor sehingga lebih efisien dan cepat. Menurut Barchia (2007) pada subsistem ini, tingkat diversitasnya rendah karena hanya memiliki pola tanam monokultur sehingga resiliensinya juga rendah.Input yang diberikan pada lahan adalah bibit teh dan pupuk. Pada awal penanaman, pupuk yang digunakan adalah pupuk organik, setelah agak membesar pemberian pupuk dilakukan dua kali setahun tiap pergantian musim menggunakan pupuk urea, SP 36, dan pupuk KCl. Dengan perpaduan benuh, pupuk, dan pengelolaan tanaman subsistem ini dapat menghasilkan output atau hasil produk berupa daun teh. Daun teh terbagi menjadi tiga ukuran, yaitu pucuk halus, pucuk medium, dan pucuk kasar. Daun teh yang dipetik untuk dikonsumsi bisanya adalah daun teh pucuk halus atau pucuk medium. Siklus hara pada subsistem ini adalah siklus hara terbuka.Pada subsistem ini, masalah utama yang sedang dihadapi adalah hama dan penyakit. Hama yang biasa menyerang tanaman teh ini adalah hama ulat, sedangkan penyakitnya yaitu embun tepung. Hama dan penyakit tersebut diatasi dengan menggunakan pestisida. Hal ini bukan merupakan solusi terbaik, karena penggunaan pestisida dapat membahayakan kesehatan. Selain itu juga merusak agroekosistem.E. KomprehensifLahan pertanian terbagi menjadi beberapa tipe, yang dipelajari pada praktikum ini yaitu tipe subsistem persawahan, talun/tegal, pekarangan, dan perkebunan. Setiap subsistem tersebut memiliki karakteristik yang berbeda-beda baik dari segi tanaman yang dibudidayakan, cara pengolahan lahan, siklus hara, maupun kebutuhan airnya. Kondisi di setiap subsistem tersebut menentukan kestabilan ekosistem yang tergambar dari perwujudan siklus hara terbuka atau tertutup.Untuk tanaman yang dibudayakan, sawah dan perkebunan menggunakan pola tanam monokultur atau satu jenis tanaman di tiap lahan. Sedangkan pada tegal/talun dan pekarangan menggunakan pola tanam multikultur atau lebih dari satu jenis tanaman tiap lahannya. Untuk subsistem yang menggunakan pola tanam monokultur, diversitas dan resiliensinya rendah. Artinya karena hanya ada satu jenis tanaman, maka keberagamannya rendah. Dengan keberagaman yang rendah tersebut, kemampuan tanaman untuk menghindari hama penyakit juga rendah. Hama akan tumbuh dengan subur di daerah yang jarak tanamnya sempit dan memiliki diversitas yang rendah. Pada pola tanam monokultur, keberadaan hama dapat dikurangi dengan memperlebar jarak tanam dan rotasi tanaman. Namun, dengan sistem multikultur pada pekarangan dan tegal/talun diversitasnya tinggi, sehingga resiliensinya juga tinggi.Pengolahan tanah adalah suatu upaya untuk meningkatkan keseburan tanah, membalik tanah, serta mencampur unsur-unsur hara sehingga keberadaan haranya merata. Usaha pengolahan lahan dibagi menjadi tiga, yaitu notillage (tanpa olah tanah), minimum tillage (olah tanah minimum), dan maximum tillage (olah tanah maksimum). Tanpa olah tanah artinya tanah tidak diolah sama sekali, langsung ditanami begitu saja. Tanah olah minimum artinya tanah diolah sebelum penanaman. Dapat diolah secara minimum karena kebutuhan airnya tidak begitu banyak seperti pada tanaman yang ditanam di sawah. Pada subsistem tegal/talun, pekarangan, dan perkebunan olah tanahnya minimum. Subsistem perkebunan melakukan olah tanah modern dengan menggunakan traktor. Hal ini karena subsistem tersebut luas, sehingga penggunaan traktor tersebut dapat mempermudah dan mempercepat kegiatan olah tanah. Tanah olah maksimum atau intensif artinya tanah diolah sebelum, ketika, dan setelah penanaman. Subsistem sawah menggunakan teknik olah tanah ini karena tanaman di sawah membutuhkan air yang cukup.Pemberian input atau masukan ke lahan memengaruhi siklus hara. Dengan pemberian input berupa pupuk kimia, maka siklus haranya akan terbuka. Artinya, subsistem tersebut tidak mandiri dalam menyediakan hara secara terus menerus. Sedangkan pada subsistem yang tidak diberi input berupa pupuk kimia dapat dengan mandiri menyediakan unsur hara yang diperlukan tanaman walaupun sedikit demi sedikit. Siklus hara yang tertutup adalah siklus hara yang baik, karena sesuai dengan prinsip pertanian organik yang berkelanjutan.Masalah utama hampir di semua subsisten adalah hama. Keberadaan hama dapat mengurangi produktivitas tanaman baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Subsistem sawah, talun dan tegal menggunaan teknik pengendalian mekanis, yaitu dengan mendatangkan predato,, dengan cara gropyokan. atau dibiarkan saja. Cara-cara ini kurang efektif apalagi jika jumlah hamanya banyak dan lahannya luas. Pada subsistem pekarangan dan perkebunan teh pengendalian hama dilakukan dengan pestisida dan disemprot. Cara ini lebih efektif daripada cara sebelumnya, mengingat lahannya yang luas. Namun, cara ini bukanlah cara yang terbaik, karena penggunaan pestisida dalam jangka waktu yang lama tidak baik bagi kesehatan manusia sebagai konsumen dan tidak baik pula bagi lingkungan. Hama yang terus disemprot dengan pestisida akan lama-kelamaan akan kebal, selain itu tanaman tersebut merusak kesehatan manusia. Cara terbaik adalah dengan herbisida yang sudah diterapkan di subsistem perkebunan karet. Memang penggunaan herbisida tidak berdampak secepat pestisida, namun setidaknya herbisida lebih ramah lingkungan dan sesuai dengan prinsip pertanian organik yang berkelanjutan.F. Kesimpulan dan Saran1. KesimpulanBerdasarkan praktikum dan pembahasan pada Acara Analisis Beberapa Tipe Penggunaan Lahan untuk Produksi Pertanian ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:a. Subsistem sawah menerapkan pola tanam monokultur sehingga diversitas dan resiliensinya rendah. Pengolahan lahan pada subsistem ini adalah olah tanah maksimum dengan menggunakan traktor. Karena menggunakan input berupa pupuk kimia, maka sikulus haranya terbuka. Masalah utama pada subsistem ini adalah hama tikus, belalang, dan burung.b. Subsistem tegal pola tanamnya multikultur sehingga diversitas dan resiliensinya tinggi. Pengolahan tanahnya minimum dengan membuat bedengan pada tanaman singkong. Siklus haranya terbuka, dengan masalah utama sumur yang sedang rusak.c. Subsistem talun menggunakan pola tanam multikultur, diversitas tinggi, resiliensi juga tinggi. Olah tanah minimum dengan siklus hara tertutup. Lahan ini kurang subur karena kurangnya kesadaran pemilik untuk menyuburkannya.d. Subsistem pekarangan merupakan subsistem pertanian yang berada di lingkungan rumah. Pola tanamnya multikultur. Output yang dihasilkan biasanya dijual dan kebanyakan dikonsumsi sendiri. Diversitas tinggi, resiliensi juga tinggi. Pengendalian hama sangat sederhana, yaitu dibiarkan saja menunggu predator yang menyerang hama tersebut.e. Subsistem perkebunan karet diversitasnya rendah karena menggunakan pola tanam monokultur, sehingga resiliensinya juga rendah. Jarak tanam sangat luas karena akar pohon karet sangat panjang, dan kebutuhan haranya besar. Pengelolaan lahan tergolong minimum. Pengupasan batang untuk mengambil getah karet hanya 1,5-2 mm saja. Karena jika terlalu dalam akan melukai jaringan korteks, sedangkan luka tersebut tidak bisa sembuh kembali. Hal ini bisa menyebabkan tanaman menjadi mati karena jaringan pengangkut dalam jaringan tersebut terpotong. Sehingga karet kekurangan hara.f. Subsistem perkebunan teh menggunakan pola tanam monokultur, sehingga diversitas dan resiliensinya rendah. Jarak tanam pada tanaman karet dibuat lebar karena tanaman karet memiliki tipe percabangan simpodial, yaitu percabangan sejak di atas permukaaan tanah. Bagian yang biasa dikonsumsi adalah bagian daun pucuk dengan ukuran halus atau medium. Subsistem ini masih mengendalikan hama dengan menggunakan pestisida.2. SaranSaran untuk praktikum acara Analisis Beberapa Tipe Penggunaan Lahan untuk produksi Pertanian ke depannya adalah sebagi berikut:a. Diharapkan pemberangkatan bisa tepat waktu sehingga praktikum selesai tidak terlalu sore.b. Diharapkan praktikan lebih memperhatikan penjelasan dan instruksi dari coass lapangan.c. Diharapkan praktikan lebih bisa memanajemen waktu karena subsistem yang diamati tidak hanya satu dua lokasi.d. DAFTAR PUSTAKABarchia Faris 2007. Subsistem dan Pengaruh. IKIP Semarang : Semarang PressEman 2009. Tanaman Pekarangan Pilihan. Bandung: Salamadani Pustaka SemestaEndro 2009. Bertanam Sayuran Organik di Pekarangan. Denpasar: Agromedia Pustaka.Kurnia Undang 2004. Prospek pengairan pertanian tanaman semusim lahan kering. Balai penelitian tanah: Jakarta.Lunda 2008. Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi Pemanfaatan Pekarangan Untuk Warung Hidup Di Desa Girigondo Kecamatan Pituruh Kabupaten Purworejo. Semarang: Universitas Diponegoro Mamud 2009. Budi Daya Padi Sawah di Lahan Pasang Surut. http://www.mamud.com/Docs/budi_daya_padi_sawah.pdf. Diakses tanggal 2 Mei 2014.Manuwoto 2009. Sistem Pertanian di Indonesia. www.makhey.com. Diakses pada tanggal 3 Mei 2014Mediatani 2008. Pekarangan Pertahanan yang Hilang. http://mediatani.com/2008/09/01/pekarangan-pertahanan-pangan-yang-hilang/ Diakses pada 3 Mei 2014Muhajir 2008. Bertanam Padi Sawah Tanpa Olah Tanah. Kanisius: Jakarta.Orchard PW and DC Goodwin 2009. Environmental Factors, Plant and Crop Growth. England: University of New England (AAUCS)Pratiwi DA 2004. Biologi SMA. Erlangga: Jakarta Soejani1 2005. Sumber Daya Lahan PertaniaC. Jurnal Agrosains 1(1) : 66-67 Soejani2 2007. Lingkungan Hidup. Jakarta: Universitas Indonesia PressSoemarwoto 2000. Ekosistem.www.fp.ugm.ac.id. Diakses 2 Mei 2014.Supriyono 2002. Pengantar Ilmu Pertanian. Surakarta: UNSSumardi 2007. Jurnal Respon Padi Sawah pada Teknik Budidaya Secara Aerobik dan Pemberian Bahan Organik. Bengkulu. 10(1): 66-93 Rusna, I Wayan 2009. Karakteristik Zona Agroekosistem dan Kesesuaian Lahan di Lereng. Universitas Indonesia : JakartaRustiadi 2007. Tanah Pekarangan. www. acehforum.ac.id. Diakses pada tanggal 2 Mei 2014 pukul 14.30 WIB.Widagda 2000 Aroekosistem. Surabaya: Jurnal PertanianYanto J 2008. Fungsi Talun. Surabaya : Merpati