analisis dampak risiko kredit bermasalah terhadap … · widya cipta,vol vii, no. 1 maret 2015 8...

12
Widya Cipta,Vol VII, No. 1 Maret 2015 ANALISIS DAMPAK RISIKO KREDIT BERMASALAH TERHADAP RETURN ON ASSET PADA BANK PERKREDITAN RAKYAT Wangsit Supeno Program Studi Komputerisasi Akuntansi AMIK BSI Jakarta [email protected] ABSTRACT Credit risk is the largest productive assets in the balance sheet amount Rural Bank. Under the Indonesian Banking Statistics in 2011 through 2014, showed, Ratio of Non-Performing Loans by the National Rural Bank has passed Average standard healthy conditions of 5%. These conditions can have a negative impact on the ability of Rural Banks in obtaining profit reflected Return on Assets ratio. The purpose of this study was to determine the performance of Lending in the National Rural Bank with non performing loans ratio indicator, and the impact of risk on the performance of non performing loans with indicators Earnings Ratio Return on Assets. In this study, using the library, and trend analysis of the financial performance data in the National Rural Bank, sourced from Indonesian Banking Statistics published by Bank Indonesia and Otoritas Jasa Keuangan. Based on the trend analysis of the average ratio of non performing loans since 2011 through 2014, has exceeded the healthy standard of 5%, which means that the performance of lending by the National Rural Bank is still quite unwell. Disbursement in the last two years has decreased. This is because the level of market competition is so tight with similar financial institutions, so that the credit market niche Rural Bank shrinking. The ratio of non-performing loans on the basis of the National Rural Bank which on average is still above 5%, and this provides less impact on the growth of acquisition Return on Assets over the past four years. Keywords : Non Performing Loans (NPL), Return On Assets (ROA) I. PENDAHULUAN Bank Perkreditan Rakyat sebagai lembaga keuangan yang memiliki fungsi intermediasi dengan aktivitas menghimpun dana dari masyarakat, berupa Tabungan dan Deposito Berjangka, dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit. Aktivitas ini sesuai dengan Undang- Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam struktur Neraca Bank Perkreditan Rakyat, Kredit merupakan aktiva yang terbesar jumlahnya dan tergolong dalam kelompok aktiva produktif yang berisiko. Setiap saat debitur bisa saja melakukan tindakan tercela (moral hazard) dan menimbulkan kredit bermasalah, sehingga Bank Perkreditan Rakyat harus memiliki kebijakan kredit, sesuai dengan peraturan regulator dan internal manajemen dengan pelaksanaan yang konsisten. Pelaksanaan secara efektif dari setiap kebijakan pemberian kredit memiliki tujuan agar kredit yang diberikan sesuai dengan prinsip kehati-hatian sehingga memberikan dampak positif terhadap kualitas kredit. Risiko kredit bermasalah dapat ditekan sehingga Kualitas Kredit Bank Perkreditan Rakyat selalu dalam kondisi sehat. Jika risiko kredit bermasalah dapat ditekan salah satunya akan memberikan dampak positif terhadap kemampuan Bank Perkreditan Rakyat dalam memperoleh profit dengan indikator Return On Assets (ROA) yang terus mengalami pertumbuhan positif dari tahun ke tahun. Berdasarkan fakta di lapangan, operasional Bank Perkreditan Rakyat dalam menyalurkan Kredit kepada masyarakat, memiliki kendala yang berakibat risiko terjadinya kredit bermasalah tidak dapat terhindari, sehingga risiko tersebut membebani biaya operasional bank karena ada kewajiban menyediakan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif yang harus dibentuk sesuai regulasi yang berlaku. Kondisi ini tentunya menimbulkan masalah bagi pertumbuhan profitabilitas dengan indikator Return on Assets (ROA) jika jumlah kredit bermasalah (Non Performing) yang tergolong Diragukan dan Macet jumlahnya besar, sebab prosentasi penyisihan yang wajib dibentuk oleh bank juga besar. Perkembangan tingkat kualitas kredit bermasalah yang di dalamnya meliputi kredit dengan kolektibilitas Kurang Lancar, 8

Upload: others

Post on 04-Jan-2020

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Widya Cipta,Vol VII, No. 1 Maret 2015

8

ANALISIS DAMPAK RISIKO KREDIT BERMASALAH TERHADAP

RETURN ON ASSET PADA BANK PERKREDITAN RAKYAT

Wangsit Supeno Program Studi Komputerisasi Akuntansi

AMIK BSI Jakarta

[email protected]

ABSTRACT

Credit risk is the largest productive assets in the balance sheet amount Rural Bank. Under the

Indonesian Banking Statistics in 2011 through 2014, showed, Ratio of Non-Performing Loans by

the National Rural Bank has passed Average standard healthy conditions of 5%. These conditions

can have a negative impact on the ability of Rural Banks in obtaining profit reflected Return on

Assets ratio. The purpose of this study was to determine the performance of Lending in the

National Rural Bank with non performing loans ratio indicator, and the impact of risk on the

performance of non performing loans with indicators Earnings Ratio Return on Assets. In this

study, using the library, and trend analysis of the financial performance data in the National Rural

Bank, sourced from Indonesian Banking Statistics published by Bank Indonesia and Otoritas Jasa

Keuangan. Based on the trend analysis of the average ratio of non performing loans since 2011

through 2014, has exceeded the healthy standard of 5%, which means that the performance of

lending by the National Rural Bank is still quite unwell. Disbursement in the last two years has

decreased. This is because the level of market competition is so tight with similar financial

institutions, so that the credit market niche Rural Bank shrinking. The ratio of non-performing

loans on the basis of the National Rural Bank which on average is still above 5%, and this

provides less impact on the growth of acquisition Return on Assets over the past four years.

Keywords : Non Performing Loans (NPL), Return On Assets (ROA)

I. PENDAHULUAN Bank Perkreditan Rakyat sebagai

lembaga keuangan yang memiliki fungsi

intermediasi dengan aktivitas menghimpun

dana dari masyarakat, berupa Tabungan dan

Deposito Berjangka, dan menyalurkannya

kembali kepada masyarakat dalam bentuk

kredit. Aktivitas ini sesuai dengan Undang-

Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998

tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor

7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Dalam struktur Neraca Bank

Perkreditan Rakyat, Kredit merupakan aktiva

yang terbesar jumlahnya dan tergolong dalam

kelompok aktiva produktif yang berisiko.

Setiap saat debitur bisa saja melakukan

tindakan tercela (moral hazard) dan

menimbulkan kredit bermasalah, sehingga

Bank Perkreditan Rakyat harus memiliki

kebijakan kredit, sesuai dengan peraturan

regulator dan internal manajemen dengan

pelaksanaan yang konsisten. Pelaksanaan

secara efektif dari setiap kebijakan pemberian

kredit memiliki tujuan agar kredit yang

diberikan sesuai dengan prinsip kehati-hatian

sehingga memberikan dampak positif terhadap

kualitas kredit. Risiko kredit bermasalah dapat

ditekan sehingga Kualitas Kredit Bank

Perkreditan Rakyat selalu dalam kondisi sehat.

Jika risiko kredit bermasalah dapat ditekan

salah satunya akan memberikan dampak positif

terhadap kemampuan Bank Perkreditan Rakyat

dalam memperoleh profit dengan indikator

Return On Assets (ROA) yang terus mengalami

pertumbuhan positif dari tahun ke tahun.

Berdasarkan fakta di lapangan,

operasional Bank Perkreditan Rakyat dalam

menyalurkan Kredit kepada masyarakat,

memiliki kendala yang berakibat risiko

terjadinya kredit bermasalah tidak dapat

terhindari, sehingga risiko tersebut membebani

biaya operasional bank karena ada kewajiban

menyediakan Penyisihan Penghapusan Aktiva

Produktif yang harus dibentuk sesuai regulasi

yang berlaku. Kondisi ini tentunya

menimbulkan masalah bagi pertumbuhan

profitabilitas dengan indikator Return on Assets

(ROA) jika jumlah kredit bermasalah (Non

Performing) yang tergolong Diragukan dan

Macet jumlahnya besar, sebab prosentasi

penyisihan yang wajib dibentuk oleh bank juga

besar. Perkembangan tingkat kualitas kredit

bermasalah yang di dalamnya meliputi kredit

dengan kolektibilitas Kurang Lancar,

8

Widya Cipta,Vol VII, No. 1 Maret 2015

9

Diragukan, dan Macet, diukur dengan

menggunakan indikator Rasio Non Performing

Loans (NPL), dengan batasan toleransi sehat

sebesar 5%.

Berdasarkan Statistik Perbankan

Indonesia yang disajikan oleh Bank Indonesia

dan Otoritas Jasa Keuangan pada tahun 2014,

menunjukkan bahwa posisi Rasio Non

Performing Loans (NPL) Bank Perkreditan

Rakyat secara Nasional selama empat tahun

terakhir Rata-Rata telah melewati ambang

toleransi sehat 5%. Kondisi ini ternyata

memiliki dampak terhadap kemampuan Bank

Perkreditan Rakyat dalam memperoleh profit

yang tercermin dari Rasio Return On Assets

(ROA) pada periode yang sama tetapi

pertumbuhannya kurang menggembirakan.

Tujuan penelitian sesuai perumusan

masalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui Kinerja Pemberian

Kredit Bank Perkreditan Rakyat secara

Nasional dengan indikator Rasio Non

Performing Loans (NPL), dan melakukan

evaluasi terhadap permasalahan yang terkait

dengan rasio tersebut.

2. Untuk mengetahui dampak risiko Non

Performing Loans (NPL) terhadap kinerja

Laba dengan indikator Rasio Return On

Assets (ROA) Bank Perkreditan Rakyat

secara Nasional.

Sedangkan permasalahan yang dapat

diangkat dalam penelitian ini dapat dirumuskan

sebagai berikut :

1. Bagaimana kinerja pemberian kredit dengan

indikator Rasio Non Performing Loans

(NPL) pada Bank Perkreditan Rakyat

secara Nasional sejak tahun 2011 sampai

dengan tahun 2014 ?

2. Bagaimana risiko Non Performing Loans

(NPL) berdampak pada pertumbuhan

kinerja Laba dengan indikator Rasio Return

On Assets (ROA) pada Bank Perkreditan

Rakyat secara Nasional sejak tahun 2011

sampai dengan tahun 2014 ?

Hal inilah yang kemudian menjadi dasar

pembahasan penelitian, dalam rangka untuk

menemukan pembahasan dalam kinerja

pemberian kredit selama empat tahun terakhir,

sehingga berdampak pada kemampuan

memperoleh profit Bank Perkreditan Rakyat

secara Nasional yang pertumbuhannya dinilai

bisa lebih dioptimalkan lagi jika dilakukan

perbaikan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Risiko Kredit

Menurut Undang-Undang Perbankan

Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang

Perbankan, “Bank Perkreditan Rakyat adalah

bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara

konvensional dan atau berdasarkan prinsip

syariah yang dalam kegiatannya tidak

memberikan jasa dalam lalulintas

pembayaran”. Kegiatan utama Bank

Perkreditan Rakyat adalah menghimpun dana

dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa

deposito berjangka dan tabungan, dan atau

bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu,

kemudian menyalurkannya dalam bentuk

pemberian kredit. (Triandaru, 2006 : 86).

Menurut Undang-undang Nomor 10

Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-

undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang

Perbankan, “Kredit adalah penyediaan uang

atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan

itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan

pinjam meminjam antara bank dengan pihak

lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk

melunasi utangnya setelah jangka waktu

tertentu dengan pemberian bunga” (Triandaru,

2006 : 114) .

Pengertian Risiko kredit adalah risiko

yang terjadi akibat dari gagalnya penerima

kredit (debitur) dalam memenuhi perjanjian

kredit untuk melunasi pembayaran angsuran

pokok dan pembayaran bunga kredit pada bank

(Ali, 2004:70).

Setiap kegiatan penempatan dana yang

dilakukan bank, maka di dalamnya melekat

risiko yang arus ditanggung. Pengertian Risiko

Kredit adalah risiko yang timbul apabila

peminjam tidak dapat mengembalikan dana

yang dipinjam dan bunga yang harus

dibayarnya”. (Riyadi, 2006:52). Cara

mengatasinya, unsur risiko di masukkan ke

dalam harga, penetapan limit kredit dan

menjaga kesehatan kredit dengan pendekatan

CAMEL (Capital, Kualitas Aktiva Produktif,

Manajemen, Earning dan Liquidity).

2.2. Penilaian Kinerja Pemberian Kredit Dalam Surat Edaran Bank Indonesia

Nomor 8/30/DPBR tertanggal 12 Desember

2006 yang telah dirubah dengan Surat Edaran

Bank Indonesia Nomor 15/29/DKBU

tertanggal 31 Juli 2013 tentang Laporan

Keuangan Tahunan dan Laporan Publikasi

Bank Perkreditan Rakyat, disebutkan bahwa

Bank Perkreditan Rakyat dalam menyampaikan

Laporan Keuangan Tahunan dan Laporan

Publikasi diwajibkan menyajikan informasi

rasio keuangan paling kurang di antaranya

mencakup kinerja kredit bermasalah atau Non

Performing Loans (NPL) dan Return On Assets

(ROA).

Menurut Surat Edaran Bank Indonesia

No.14/26/DKBU Tanggal 19 September 2012

Widya Cipta, Vol. VII, No. 1 Maret 2015

Widya Cipta,Vol VII, No. 1 Maret 2015

10

Perihal Pedoman Kebijakan dan Prosedur

Perkreditan Bagi Bank Perkreditan Rakyat

menyatakan bahwa Kredit merupakan sumber

pendapatan utama bagi Bank Perkreditan

Rakyat guna kesinambungan usahanya,

sehingga Bank Perkreditan Rakyat harus

senantiasa menjaga kualitas kreditnya. Untuk

itu, dalam pemberian kredit, Bank Perkreditan

Rakyat harus menerapkan prinsip kehati-hatian

dan asas-asas perkreditan yang sehat agar

kualitas kredit yang diberikan senantiasa

lancar. Apabila Bank Perkreditan Rakyat tidak

mampu menjaga kualitas kreditnya dengan baik

maka hal tersebut akan mempengaruhi kinerja

Bank Perkreditan Rakyat khususnya kinerja

keuangan yang dapat mengakibatkan

kemampuan Bank Perkreditan Rakyat untuk

memenuhi kewajibannya kepada nasabah

penyimpan menjadi terganggu. Oleh karena itu

agar penerapan prinsip kehati-hatian dan asas-

asas perkreditan yang sehat tersebut

dilaksanakan secara konsisten maka BPR harus

memiliki Pedoman Kebijakan Perkreditan

Bank Perkreditan Rakyat (PKPB).

Dalam melaksanakan kegiatan pemberian

kredit, Bank Perkreditan Rakyat dihadapkan

pada risiko kredit yang bermasalah (Non

Performing Loans). Munculnya kredit

bermasalah disebabkan oleh kesalahan bank

dan atau nasabah, lebih disebabkan karena

faktor-faktor internal bank yang meliputi

kelemahan manajemen, sumber daya manusia

dan bank terlalu berani memberikan kredit

pada sektor yang berisiko.

Menyadari pentingnya kesehatan suatu

Bank Perkreditan Rakyat bagi pembentukan

kepercayaan dalam dunia perbankan serta

untuk melaksanakan prinsip kehati-hatian

(prudential banking principle), maka Bank

Indonesia merasa perlu untuk menerapkan

aturan tentang kesehatan bank. Ketentuan

kesehatan untuk Bank Perkreditan Rakyat

diatur berdasarkan Surat Edaran Bank

Indonesia Nomor 30/12/KEP/DIR tertanggal

30 April 1997 tentang Tatacara Penilaian

Tingkat Kesehatan Bank Perkreditan Rakyat. Ketentuan ini berlaku dalam hal menilai

kesehatan dalam pengelolaan kredit Bank

Perkreditan Rakyat, atau yang disebut dengan

faktor Kualitas Aktiva Produktif (KAP).

Menurut Peraturan Bank Indonesia

Nomor 13/26/PBI/2011 tentang Perubahan atas

Peraturan Bank Indonesia Nomor

8/19/PBI/2006 tentang Kualitas Aktiva

Produktif dan Pembentukan Penyisihan

Penghapusan Aktiva Produktif Bank

Perkreditan Rakyat, Aktiva Produktif

adalah penyediaan dana BPR dalam Rupiah

untuk memperoleh penghasilan, dalam bentuk

Kredit, Sertifikat Bank Indonesia dan

Penempatan Dana Antar Bank. Kualitas Aktiva

Produktif dalam bentuk Kredit ditetapkan

dalam empat golongan, yaitu Lancar, Kurang

Lancar, Diragukan dan Macet. Penilaian

terhadap Aktiva Produktif tersebut dilakukan

berdasarkan ketepatan membayar dan/atau

kemampuan membayar kewajiban oleh

Debitur.

Bank Perkreditan Rakyat sebagan besar

menerapkan sistem pembayaran angsuran

kredit secara bulanan. Sesuai Peraturan Bank

Indonesia Nomor 13/26/PBI/2011, kualitas

kredit dapat digolongkan dalam kualitas

Lancar, jika kredit memenuhi ketentuan yaitu

tidak memiliki tunggakan angsuran baik pokok

dan atau bunga. Kredit digolongkan sebagai

kredit bermasalah (Non Performing) menurut

peraturan tersebut, jika sudah masuk

kriterianya dalam kualitas Kurang Lancar,

Diragukan dan Macet. Kredit digolongkan

sebagai kualitas Kurang Lancar jika terdapat

tunggakan pokok dan atau bunga kredit lebih

dari tiga bulan sampai maksimal enam bulan.

Jika kredit terdapat tunggakan pokok dan atau

bunga lebih dari enam bulan sampai dengan

dua belas bulan dan kredit belum jatuh tempo,

kredit digolongkan dalam kualitas Diragukan.

Selanjutnya jika kredit menunggak lebih dari

dua belas bulan, maka kredit dapat digolongkan

sebagai kualitas Macet. Terhadap kredit yang

telah jatuh tempo, maka perpindahan kualitas

kredit terjadi dengan menyesuaikan tanggal

jatuh temponya. Kredit yang telah jatuh tempo

dengan tunggakan pokok dan bunga berapapun,

pada bulan pertama berpindah ke kualitas

kurang lancar, jika sudah dua bulan jatuh

tempo berpindah ke kualitas kurang lancar dan

memasuki jatuh tempo tiga bulan pindah ke

kualitas diragukan, selanjutnya pada bulan ke

empat pindah ke kualitas macet.Mengacu pada

Surat Edaran Bank Indonesia Nomor

6/23/DPNP 31 Mei 2004 perihal Sistem

Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum,

yang juga digunakan oleh Bank Perkreditan

Rakyat, Penilaian kesehatan faktor Kualitas

Aktiva Produktif Bermasalah menggunakan

indikator Rasio Non Performing Loans (NPL),

(Triandanu, 2006:58).

Indikator Rasio Non Performing Loans

(NPL) yang digunakan dalam mengukur

kinerja pemberian kredit bank, memiliki

formula sebagai berikut :

10

Widya Cipta,Vol VII, No. 1 Maret 2015

11

Menurut Peraturan Bank Indonesia

Nomor 13/26/PBI/2011, Bank Perkreditan

Rakyat wajib membentuk Penyisihan

Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) berupa

PPAP umum dan PPAP khusus. PPAP umum

ditetapkan paling kurang sebesar 0,5% (lima

permil) dari Aktiva Produktif yang memiliki

kualitas Lancar. PPAP khusus sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling

kurang sebesar:

1. 10% (sepuluh perseratus) dari Aktiva

Produktif dengan kualitas Kurang Lancar

setelah dikurangi dengan nilai agunan;

2. 50% (lima puluh perseratus) dari Aktiva

Produktif dengan kualitas Diragukan

setelah dikurangi dengan nilai agunan; dan

3. 100% (seratus perseratus) dari Aktiva

Produktif dengan kualitas Macet setelah

dikurangi dengan nilai agunan.

2.3. Rasio Rentabilitas Return On Asset

(ROA)

Rentabilitas atau profitability adalah

menunjukkan kemampuan suatu perusahaan

untuk menghasilkan laba selama periode

tertentu. Rentabilitas suatu perusahaan diukur

dengan kesuksesan perusahaan dan

kemampuan menggunakan aktivanya secara

produktif, dengan demikian rentabilitas suatu

perusahaan dapat diketahui dengan

memperbandingkan antara laba yang diperoleh

dalam suatu periode dengan jumlah aktiva atau

jumlah modal perusahaan tersebut (Munawir,

2012:33).

Rasio profitabilitas adalah perbandingan

Laba (setelah pajak) dengan Modal Inti atau

Laba (sebelum pajak) dengan total Asset yang

dimiliki bank pada periode tertentu. Agar hasil

perhitungan rasio mendekati pada kondisi yang

sebenarnya (real), maka posisi modal atau

assets dihitung secara rata-rata selama periode

tersebut.(Riyadi, 2006:155).

Laba bank yang besar akan menjamin

adanya sumber modal yang stabil dan dengan

demikian akan memudahkan di dalam menarik

sumber dana dari luar. Menurut surat Edaran

Bank Indonesia Nomor 30/12/KEP/DIR

tertanggal 30 April 1997 tentang Tatacara

Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Perkreditan

Rakyat, penilaian terhadap faktor Rentabilitas

dikaitkan dengan pengelolaan aktiva

menggunakan rasio Return On Assets (ROA).

Formula yang digunakan dalam perhitungan

Return On Assets (ROA) sebagai berikut :

Dengan mengetahui cara perhitungan

dengan menggunakan rumus-rumus untuk

menghitung rasio keuangan bank, maka dapat

melakukan penilaian terhadap kinerja bank,

apakah telah bekerja secara efisien dan

bagaimana tingkat kesehatan bank yang

bersangkutan, serta upaya-upaya apa yang

harus dilakukan agar bank tersebut dapat

bekerja lebih efisien dan lebih baik lagi.

Memaksimumkan laba menunjukkan

bahwa manajer bank harus menanamkan

dananya di dalam aktiva yang menghasilkan

pendapatan kotor yang tertinggi dan menjaga

agar biaya bank menurun. Untuk memperoleh

pendapatan yang lebih tinggi, sebuah bank

harus mengambil risiko tinggi atau

menurunkan biaya operasi, (Soedarto,

2007:117).

III. Metodelogi Penelitian

Dalam menyusun penelitian ini, penulis

menggunakan metode pustaka, dan pengkajian

data keuangan sekunder dengan menggunakan

analisa trend terhadap kinerja keuangan Bank

Perkreditan Rakyat secara Nasional sesuai

permasalahan yang bersumber dari Data

Statistik Perbankan Indonesia yang

dipublikasikan Bank Indonesia dan Otoritas

Jasa Keuangan pada tahun 2011, 2012, 2013,

2014 dan berdasarkan pada peraturan-peraturan

Bank Indonesia yang terkait dengan kebijakan

operasional Bank Perkreditan Rakyat.

IV. Hasil dan Pembahasan

4.1. Analisis Kinerja Pemberian Kredit Berdasarkan penelitian, Bank

Perkreditan Rakyat dalam melakukan penilaian

terhadap kinerja pemberian kredit,

menggunakan Indikator Rasio Non Performing

Loans (NPL), dengan standar sehat maksimal

5%. Indikator kinerja kredit ini harus

dipublikasikan dan disajikan dalam laporan

keuangan tahunan Bank Perkreditan Rakyat.

Hal ini sesuai dengan ketentuan Bank

Rasio Non Performing Loan = Aktiva Produktif Bermasalah x 100%

Aktiva Produktif

Rasio Return On Assets = Laba Sebelum Pajak x 100%

Rata-rata Volume Usaha

Widya Cipta, Vol. VII, No. 1 Maret 2015

Widya Cipta,Vol VII, No. 1 Maret 2015

12

Indonesia Nomor 15/29/DKBU tahun 2013

perihal Laporan Keuangan Tahunan dan

Laporan Publikasi Bank Perkreditan Rakyat,

disebutkan bahwa dalam rangka menciptakan

transparansi atas laporan keuangan dan kinerja

Bank Perkreditan Rakyat, maka Bank

Perkreditan Rakyat wajib menyajikan

informasi kinerja kuangan yang di antaranya

adalah Rasio Keuangan Non Performing Loans

dan Return On Assets (ROA).

Dalam rangka penerapan prinsip kehati-

hatian (prudential banking principle), Bank

Perkreditan Rakyat dalam melaksanakan

aktivitas pemberian kredit wajib mengacu pada

Peraturan Bank Indonesia Nomor

13/26/PBI/2011 tentang Perubahan atas

Peraturan Bank Indonesia Nomor

8/19/PBI/2006 tentang Kualitas Aktiva

Produktif dan Pembentukan Penyisihan

Penghapusan Aktiva Produktif Bank

Perkreditan Rakyat. Peraturan tersebut

mewajibkan manajemen Bank Perkreditan

Rakyat menyusun Kebijakan Kredit dan

Standar Operasional Prosedur yang berisi

seluruh proses pemberian kredit mulai dari

Permohonan Kredit, Proses Kredit,

Pengawasan Kredit sampai dengan

Penyelesaian Kredit Bermasalah.

Indikator Rasio Non Performing Loans

(NPL) merupakan rasio yang membandingkan

antara jumlah kredit bermasalah yang memiliki

kualitas Kurang Lancar, Diragukan dan Macet

dengan Jumlah Kredit yang Diberikan. Kualitas

aktiva produktif dalam bentuk pemberian kredit

dibagi dalam empat golongan kualitas yaitu

Lancar, Kurang Lancar, Diragukan dan Macet.

Dalam prakteknya Bank Perkreditan

Rakyat menerapkan ketentuan pembayaran

kembali atas kredit yang diberikan dengan

sistem angsuran bulanan. Suku bunga kredit

dihitung secara secara flate (pro rata) atau ada

juga secara efektif (harian). Kualitas kredit

setiap debitur bisa berubah-ubah setiap bulan

tergantung kepada kepatuhan debitur dalam

menyelesaikan kewajibannya. Kredit masih

digolongkan sebagai kredit Lancar, jika

tunggakan pokok dan atau bunga maksimum

selama tiga bula. Atas tunggakan bunga dapar

diakui sebagai pendapatan bunga secara

accrual sekalipun belum dibayar. Kredit

digolongkan sebagai kredit bermasalah (Non

Peforming) pada saat tunggakan pokok dan

atau bunga telah melampaui tiga bulan, dan

tunggakan bunga yang telah diakui sebagai

pendapatan selama tiga bulan dikoreksi dengan

cara mendebet pendapatan bunga tersebut dan

mengkredit bunga yang akan diterima. Jika

tunggakan pokok dan atau bunga di atas tiga

bulan sampai dengan enam bulan, kualitas

kredit digolongkan sebagai Kurang Lancar.

Berikutnya, Kredit digolongkan dalam kualitas

Diragukan, jika tunggakan pokok dan atau

bunga lebih dari enam bulan sampai dengan

dua belas bulan dan kredit belum jatuh tempo.

Jika kredit menunggak sudah lebih dari dua

belas bulan, maka kredit digolongkan sebagai

kredit dengan kualitas Macet. Terhadap kredit

yang telah jatuh tempo, maka perpindahan

kualitas kredit terjadi dengan menyesuaikan

tanggal jatuh temponya. Kredit yang telah jatuh

tempo dengan tunggakan pokok dan bunga

berapapun, pada bulan pertama berpindah ke

kualitas kurang lancar, jika sudah dua bulan

jatuh tempo berpindah ke kualitas kurang

lancar dan memasuki jatuh tempo tiga bulan

pindah ke kualitas diragukan, selanjutnya pada

bulan ke empat pindah ke kualitas macet.

Peraturan Bank Indonesia tersebut,

merupakan sebuah upaya yang dilakukan pihak

regulator dan otoritas pengawas operasional

Bank Perkreditan Rakyat yang saat ini

dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK),

dalam rangka menciptakan sistem pemberian

kredit yang terkelola dengan sehat sehingga

kredit bisa memberikan dampak positif baik

kepada nasabah maupun kepada pertumbuhan

industri Bank Perkreditan Rakyat. Selain itu,

mengingat kredit merupakan aktiva produktif

terbesar yang memiliki risiko dapat

menimbulkan kerugian, maka regulasi yang

ditetapkan oleh Bank Indonesia dan

manajemen Bank Perkreditan Rakyat,

diharapkan dapat mencegah terjadinya kredit

macet sehingga pertumbuhan laba Bank

Perkreditan Rakyat terus mengalami

peningkatan. Untuk mengetahui perkembangan

aktivitas pemberian kredit Bank Perkreditan

Rakyat secara Nasional, dan dampaknya

terhadap kemampuan memperoleh laba, maka

peneliti melakukan analisis trend terhadap data

sekunder terkait penelitian dengan bersumber

dari Data Statistik Perbankan Indonesia selam

tahun 2011, 2012, 2013 dan 2014, yang

diterbitkan oleh Bank Indonesia.

Berdasarkan Data Statistik Perbankan

Indonesia yang diterbitkan oleh Bank

Indonesia, rata-rata pertumbuhan Rasio Non

Performing Loans (NPL) Bank Perkreditan

Rakyat secara Nasional selama tahun 2011,

2012, 2013 dan 2014 dapat disajikan sebagai

berikut :

12

Widya Cipta,Vol VII, No. 1 Maret 2015

13

Tabel 1. Rasio Non Performing Loans (NPL) Bank Perkreditan Rakyat

(tahun 2011-2014)

Sumber : Statistik Perbankan Indonesia, Bank Indonesia dan OJK (2014)

Berdasarkan pada Tabel 1 di atas, dapat

dilakukan analisa terhadap data pertumbuhan

rasio Non Performing Loans (NPL) Bank

Perkreditan Rakyat secara Nasional selama

empat tahun. Jika melihat pada posisi setiap

akhir bulan Desember atau saat tutup buku

akhir tahun, posisinya mencerminkan kondisi

yang tergolong sehat, kecuali pada tahun 2011

menembus angka 5,22%. Kemudian pada tahun

2012 mengalami penurunan menjadi 4,75% ,

tahun 2013 turun kembali menjadi 4,41% dan

pada tahun 2014 kembali naik sama seperti

tahun 2012 sebesar 4,75%, kondisinya masih

tergolong sehat. Akan tetapi jika analisa Rasio

Non Performing Loans (NPL) ini dilakukan

dengan mendasarkan pada pertumbuhan setiap

bulannya pada setiap tahun, maka ditemukan

rata-rata rasio Non Performing Loans (NPL)

pada tahun 2011 sebesar 6,15%, kemudian

menurun pada tahun 2012 sebesar 5,38%, pada

tahun 2013 kembali turun menjadi 5,05%,

tetapi pada tahun 2014 kembali mengalami

kenaikan menjadi sebesar 5,13%. Berdasarkan

rata-rata Rasio Non Performing Loans (NPL)

sejak tahun 2011 sampai dengan 2014, maka

rasio tersebut sudah menembus batas standar

sehat yaitu 5%. Artinya kondisi Rasio Non

Performing Loans (NPL) Bank Perkreditan

Rakyat secara Nasional tergolong kurang sehat.

Untuk mengetahui lebih jauh sumber

penyebab kondisi Rata-Rata Rasio Non

Performing Loans (NPL) Bank Perkreditan

Rakyat selama empat tahun dalam kondisi

kurang sehat, maka diperlukan data pendukung

analisa seperti pada tabel 2.

Berdasarkan penelitian pada Tabel 2,

dapat dilakukan analisa trend terhadap data

pertumbuhan total kredit Bank Perkreditan

Rakyat secara Nasional. Posisi Kredit pada

akhir Desember 2012 yang jika dibandingkan

dengan posisi tahun sebelumnya mengalami

pertumbuhan sekitar 21,21 %, kemudian pada

akhir Desember 2013 tumbuh sekitar 18,78%,

dan pada akhir Desember 2014 tumbuh hanya

sekitar 15,57% di bandingkan dengan posisi

akhir Desember 2013. Artinya, setiap tahun

Kredit Bank Perkreditan Rakyat mengalami

pertumbuhan, akan tetapi kecenderungan

pertumbuhannya semakin menurun. Pada posisi

Desember 2014 pertumbuhannya terhitung

yang paling rendah dibandingkan dengan tahun

2012 dan 2013. Kondisi ini menggambarkan

bahwa Bank Perkreditan Rakyat selama dua

tahun terakhir mengalami hambatan dalam

penyaluran kredit, sehingga walaupun dari sisi

baki nampak meningkat tetapi secara

pertumbuhan kecenderungan mengalami

penurunan dari tahun ke tahun.

Hal ini bisa saja terjadi karena tingkat

persaingan pasar yang begitu ketat dengan

lembaga keuangan sejenis, sehingga ceruk

pasar kredit kian menyempit, meskipun Bank

Perkreditan Rakyat juga telah berupaya

memudahkan distribusi pelayanannya dengan

membuka Kantor Kas dan Kantor Cabang. Hal

ini bisa diketahui dari Data Statistik Perbankan

Indonesia pada Desember 2014 jumlah Bank

Perkreditan Rakyat sebanyak 1.643, dengan

jumlah Kantor Cabang dan Kantor Kas

sebanyak 4.895, atau meningkat sekitar 48,29%

dibandingkan dengan posisi Desember 2011

sebanyak 2.531. Sementara untuk jumlah

kantor pusat Bank Perkreditan Rakyat

mengalami pengurangan, di mana pada akhir

Desember 2011 terdapat 1.663, sedangan pada

akhir Desember 2014 mengalami penurunan

sebanyak 20 Bank, menjadi 1.643 Kantor

Pusat. Pengurangan jumlah Bank Perkreditan

Bulan 2011 2012 2013 2014

% % % %

Januari 6,45% 5,56% 5,13% 4,94%

Februari 6,52% 5,57% 5,17% 4,99%

Maret 6,41% 5,58% 5,25% 4,96%

April 6,44% 5,59% 5,21% 5,06%

Mei 6,29% 5,43% 5,09% 5,17%

Juni 6,21% 5,27% 4,98% 5,08%

Juli 6,17% 5,28% 4,97% 5,24%

Agustus 6,09% 5,44% 5,22% 5,37%

September 6,09% 5,35% 5,12% 5,28%

Oktober 5,99% 5,39% 5,13% 5,40%

November 5,91% 5,33% 4,91% 5,36%

Desember 5,22% 4,75% 4,41% 4,75%

RATA-RATA NPL 6,15% 5,38% 5,05% 5,13%

Widya Cipta, Vol. VII, No. 1 Maret 2015

Widya Cipta,Vol VII, No. 1 Maret 2015

14

Rakyat tersebut terjadi karena pihak pengawas

baik Bank Indonesia dan Otoritas Jasa

Keuangan saat ini, melakukan likuidasi

terhadap Bank Perkeditan Rakyat yang

tergolong bermasalah dan sulit untuk

diselamatkan.

Tabel 2. Kualitas Kredit Bank Perkreditan Rakyat Secara Nasional

(tahun 2011-2014)

Kualitas Kredit

Desember

2011 2012 2013 2014

(Milyar

Rp.)

(Milyar

Rp.)

(Milyar

Rp.)

(Milyar

Rp.)

Kualitas Lancar 38.953 47.450 56.566 65.139

Pertumbuhan Kualitas Lancar 21,81% 19,21% 15,15%

Non Performing Loan :

Kualitas Kurang Lancar 495 576 640 772

Kualitas Diragukan 420 453 537 713

Kualitas Macet 1.231 1.339 1.433 1.766

Total Non Performing Loans 2.146 2.368 2.610 3.251

Pertumbuhan Non Perfoming Loans 10,34% 10,22% 24,56%

Total Kredit 41.099 49.818 59.176 68.390

Pertumbuhan Kredit 21,21% 18,78% 15,57%

Rasio Non Performing Loans 5,22% 4,75% 4,41% 4,75%

Sumber : Statistik Perbankan Indonesia, Bank Indonesia dan OJK (2014)

Berdasarkan pada Tabel 2, trend

pertumbuhan kredit yang terus menurun

memberikan dampak pada pertumbuhan yang

tidak stabil terhadap kondisi Rasio Non

Performing Loans (NPL). Kondisi ini dapat

terlihat pada Tabel 1 di atas terlihat rata-rata

Rasio Non Performing Loans (NPL) Bank

Perkreditan Rakyat secara Nasional berada di

kisaran angka di atas 5% dan di bawah 6%.

Sekalipun dalam laporan keuangan yang

dipublikasikan, nampak posisi Rasio Non

Performing Loans (NPL) pada setiap akhir

Desember masih berada dikisaran angka di atas

4,5% dan di bawah 5%, tetapi jika tidak

diperhatikan secara serius maka di tahun 2015

di posisi Desember bisa terancam menembus

angka 5%, terlebih jika manajemen Bank

Perkreditan Rakyat tidak mampu meningkatkan

pertumbuhan pemberian kredit di atas 15,57%.

Dalam analisa terhadap trend rata-rata

Rasio Non Performing Loans (NPL) seperti

disajikan pada Tabel 1, nampak sekali terlihat

bahwa setiap memasuki bulan Januari sampai

menjelang akhir tahun terjadi gejolak terhadap

Rasio Non Performing Loans (NPL) dan

cenderung meningkat di banding posisi bulan

Desember, bahkan sampai menembus angka

tertinggi 5,40% di bulan Oktober 2014, dan

terus menurun di bawah 5%, yaitu 4,75% pada

akhir Desember 2014. Kondisi ini

mencerminkan bahwa, manajemen Bank

Perkreditan Rakyat menghadapi masalah dalam

menjaga stabilitas kualitas kredit di awal dan

pertengahan tahun dan mulai mengalami

perbaikan menjelang akhir tahun. Kondisi ini

cenderung berulang di tahun berikutnya.

Permasalahan tidak stabilnya kualitas

kredit di Bank Perkreditan Rakyat secara

Nasional, dapat dijelaskan dengan melakukan

Analisa trend terhadap kualitas kredit

bermasalah (Non Performing Loans) yang

bersumber pada Tabel 2. Hasil Analisa trend

menjelaskan bahwa pada akhir Desember 2014,

prosentase kualitas kredit bermasalah

mengalami peningkatan tertinggi dibandingkan

dengan tahun 2013, dan 2012. Pada tahun

2012 dibandingkan dengan tahun 2011 jumlah

kredit bermasalah trend-nya mengalami

peningkatan sebesar 10,34%, kemudian pada

tahun 2013 dibandingkan dengan tahun 2012

menurun sedikit sebesar 10,22%, tetapi pada

tahun 2014 terjadi sebuah peningkatan yang

signifikan dibandingkan tahun 2013, yaitu

sebesar 24,56%. Kondisi kualitas kredit

bermasalah pada tahun 2014 ini

menggambarkan bahwa, Bank Perkreditan

Rakyat secara Nasional mengalami

permasalahan dalam pengelolaan kredit yang

serius, di mana kondisi ini bisa disebabkan

karena kontribusi penyaluran kredit yang

kenaikannya lebih rendah dari tahun 2013,

seperti yang ditunjukkan dari posisi baki kredit

yang menurun pertumbuhannya pada tahun

2014, begitu juga untuk kredit dengan kualitas

lancar yang juga mengalami penurunan di

banding tahun 2013, ditambah lagi dengan

penanganan kredit kualitas kurang lancar dan

diragukan yang belum optimal.

14

Widya Cipta,Vol VII, No. 1 Maret 2015

15

Berdasarkan Tabel 2, komposisi terbesar

jumlah kredit bermasalah pada akhir

Desember 2014 adalah kredit dengan kualitas

macet yaitu sebesar 54,32%, kemudian kredit

kualitas diragukan sebesar 21,93% dan kredit

kualitas kurang lancar sebesar 23,75%.

Berdasarkan komposisi tersebut, Bank

Perkreditan Rakyat secara Nasional memiliki

masalah yang serius terhadap kondisi kredit

macet yang jumlahnya cukup besar.

Manajemen Bank Perkreditan Rakyat harus

memiliki strategi khusus dan ekstra kerja keras

untuk segera menurunkan jumlah kredit

macetnya, dengan melakukan upaya

penyelesaian yang terkelola baik sesuai dengan

kebijakan yang ditetapkan intern manajemen

dan regulasi Otoritas Jasa Keuangan. Di sisi

lain, manajemen Bank Perkreditan Rakyat juga

harus selalu menerapkan prinsip kehati-hatian

dalam proses pemberian kredit dan melakukan

monitoring secara ketat terhadap kredit yang

kualitasnya lancar, agar kualitasnya tidak turun

menjadi kurang lancar yang pada akhir

Desember 2014 komposisinya mencapai

23,75%. Selanjutnya, terhadap kredit kualitas

diragukan manajemen Bank Perkreditan

Rakyat harus melakukan upaya penyelesaian

kredit bermasalah dengan melakukan tindakan

penagihan secara berkelanjutan dan

penyelamatan terhadap kredit yang masih bisa

dilakukan penyelamatan.

Kondisi Trend kredit bermasalah khususnya

kredit kualitas macet yang nampak terus

meningkat dari tahun ke tahun, menandakan

bahwa kredit macet masih menjadi kendala

utama yang belum terselesaikan dan risikonya

berpotensi menghambat operasional Bank

Perkreditan Rakyat secara Nasional. Kualitas

kredit yang buruk jika tidak segera

diselesaikan, maka bisa berdampak

dilikuidasinya Bank Perkreditan Rakyat,

mengingat struktur pendanaan Bank

Perkreditan Rakyat bersumber dari Dana

Masyarakat baik berupa Tabungan dan

Deposito Berjangka, di tambah sumber dana

lainnya seperti dari linkage program atau

pembiayaan modal kerja dari bank umum

Untuk mengetahui lebih jauh lagi

permasalahan kinerja rasio Non Performing

Loans (NPL) Bank Perkreditan Rakyat secara

Nasional yang dinilai belum optimal, maka

diperlukan penelitian terhadap lokasi

operasional Bank Perkreditan Rakyat di setiap

provinsi. Diharapkan dari penelitian tersebut

dapat diketahui, Bank Perkreditan Rakyat di

provinsi mana saja yang memberikan

kontribusi terbesar terhadap terjadinya

peningkatan rasio Non Performing Loans

(NPL) secara Nasional, sehingga dapat

dilakukan monitoring yang lebih ketat oleh

pihak otoritas pengawasan, dalam hal ini

Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Tentu saja dari

monitoring tersebut ada tindak lanjut dari

manajemen Bank Perkreditan Rakyat di

provinsi yang rawan kredit bermasalah untuk

mengambil tindakan pembenahan segera,

sehingga pada akhir tahun 2015 kinerja

pemberian kredit semakin baik, dan rasio Non

Performing Loans (NPL) Bank Perkreditan

Rakyat secara Nasional rata-rata bisa berada di

bawah 5%.

Data Peringkat Provinsi di mana Bank

Perkreditan Rakyat beroperasi yang memiliki

tingkat kualitas kredit Non Performing Loans

(NPL) cukup signifikan, bersumber dari Data

Statistik Perbankan Indonesia dapat disajikan

pada tabel 3.

Berdasarkan penelitian pada Tabel 3

tersebut di atas, Bank Perkreditan Rakyat pada

delapan provinsi tersebut di atas, memiliki

kontribusi terbesar dalam menciptakan rasio

Non Performing Loans (NPL) yang tinggi

secara Nasional. Kontribusi Non Performing

Loans (NPL) pada delapan provinsi tersebut

sejak tahun 2012 secara keseluruhan terus

mengalami penurunan dari 80,52% pada tahun

2011 menjadi 76,78% pada tahun 2013, akan

tetapi kembali meningkat menjadi 77,11% pada

tahun 2014. Artinya, kunci permasalahan tidak

stabilnya rasio Non Performing Loans (NPL)

Bank Perkreditan Rakyat secara Nasional

selama empat tahun terakhir ini berada di area

delapan provinsi di atas. Adanya penurunan

kredit Non Performing Loans (NPL) tersebut

dinilai masih belum signifikan sebab faktanya

Bank Perkreditan Rakyat di provinsi Jawa

Barat dan Jawa Tengah kondisi jumlah Non

Performing Loans (NPL) terus mengalami

peningkatan yang cukup signifikan. Bank

Perkreditan Rakyat di provinsi Jawa Barat,

pada tahun 2011 kredit Non Performing Loans

(NPL) sebesar Rp. 455 Milyar, dan dalam

waktu dua tahun pada akhir tahun 2014

meningkat sekitar 53,85% menjadi sebesar Rp.

700 Milyar. Selanjutnya, Bank Perkreditan di

provinsi Jawa Tengah dengan jumlah Non

Performing Loans (NPL) pada tahun 2011

sebesar Rp. 675 Milyar, dalam dua tahun

mengalami peningkatan sekitar 18,18%

menjadi sebesar Rp. 825 Milyar. Berikutnya,

Bank Perkreditan Rakyat di Jawa Timur, pada

tahun 2011 jumlah Non Perfoming Loan (NPL)

sebesar Rp. 194 Milyar, dua tahun kemudian

pada tahun 2014 mengalami peningkatan

sekitar 92,78% menjadi sebesar Rp. 374

Milyar. Berikutnya, Bank Perkreditan Rakyat

di provinsi Bali pada tahun 2011, jumlah kredit

Non Performing Loans (NPL) sebesar Rp. 95

Widya Cipta, Vol. VII, No. 1 Maret 2015

Widya Cipta,Vol VII, No. 1 Maret 2015

16

Milyar, terus mengalami peningkatan dan pada

tahun 2014 mencapai jumlah sebesar Rp. 168

Milyar atau meningkat sekitar 76,84%. Bank

Perkreditan Rakyat di Sumatera Barat, setelah

tiga tahun kredit Non Performing Loans (NPL)

berada antara sebesar Rp. 66 Milyar sampai

dengan sebesar Rp. 68 Milyar, pada tahun 2014

terjadi peningkatan sekitar 27,27% menjadi

sebesar Rp. 84 Milyar. Hal serupa dialami

kepada Bank Perkreditan Rakyat di provinsi

Riau, pada tahun 2011 jumlahnya masih di

bawah Rp. 50 Milyar, tetapi pada akhir tahun

2014 meningkat sekitar 128,57% dengan

jumlah mencapai Rp. 144 Milyar. Provinsi ke

delapan adalah Bank Perkreditan Rakyat di

provinsi Banten yang pada tahun 2011

memiliki kredit Non Performing Loans (NPL)

sebesar Rp. 85 Milyar, dan dua tahun kemudian

pada akhir tahun 2014 mengalami peningkatan

sekitar 18,82% menjadi sebesar Rp. 101

Milyar.

Tabel 3. Peringkat Kualitas NPL Bank Perkreditan Rakyat Terbesar Delapan Provinsi

(tahun 2011-2014)

Provinsi

Desember

2011 2012 2013 2014

(Milyar Rp.) (Milyar Rp.) (Milyar Rp.) (Milyar Rp.)

Jawa Barat 455 501 529 700

Jawa Tengah 675 687 697 825

Jawa Timur 194 204 247 374

Bali 95 103 138 168

Sumatera Barat 66 68 68 83

Riau 49 89 103 112

DI Yogyakarta 109 115 123 144

Banten 85 89 99 101

Total NPL 8 Provinsi 1,728 1,856 2,004 2,507

Total NPL Nasional 2,146 2,368 2,610 3,251

Kontribusi NPL

8 Provinsi 80.52% 78.38% 76.78% 77.11%

Sumber : Statistik Perbankan Indonesia, Bank Indonesia dan OJK (2014)

Berdasarkan analisa data pada Tabel 3 di

atas, dapat disimpulkan bahwa ada empat

Provinsi di mana Bank Perkreditan Rakyat

beroperasi yang mengalami trend peningkatan

Non Performing Loans (NPL) yang cukup

signifikan selama dua tahun terakhir, yaitu di

provinsi Riau mencapai 128,57%, di provinsi

Jawa Timur mencapai 92,78%, di provinsi Bali

mencapai 76,84%, kemudian di provinsi Jawa

Barat mencapai 53,85%. Dengan terdeteksinya

empat provinsi yang paling banyak

memberikan kontribusi terhadap kenaikan rasio

Non Performing Loans (NPL) secara Nasional,

maka pihak manajemen Bank Perkreditan

Rakyat di provinsi tersebut harus lebih

berupaya keras untuk menyelesaikan kredit

bermasalah yang terdapat di bank masing-

masing, sehingga diharapkan terjadi penurunan

yang signifikan di pertengahan sampai dengan

akhir tahun 2015 nanti, dan tentunya akan

memberikan kontribusi positif terhadap kinerja

perkreditan Bank Perkreditan Rakyat secara

Nasional.

4.2. Dampak Risiko Non Performing Loans

(NPL) Terhadap Pertumbuhan Kinerja

Return On Assets (ROA)

Risiko dalam pemberian kredit terjadi jika

kredit Bank Perkreditan Rakyat kualitasnya

sudah bermasalah, yaitu tergolong kurang

lancar, diragukan dan macet, sebab angsuran

pokok dan bunga yang seharusnya diterima

sesuai jadwal jadi tertunda bahkan bisa dalam

waktu yang sangat lama dan tidak ada

kepastian. Dampak dari terjadinya wanprestasi

oleh pihak debitur yang kreditnya bermasalah

akan menghambat cash in flow atau arus kas

masuk bank.

Jika kondisi terhambatnya arus kas masuk

dari penerimaan pokok dan bunga ini terus

terjadi, dan jika manajemen tidak cepat

mencarikan solusi penyelesaiannya, maka bank

tersebut akan mengalami kesulitan likuiditas

untuk memenuhi kebutuhan operasional sehari-

hari, termasuk untuk memenuhi kewajiban

kepada nasabah dan penyaluran kredit baru.

Manajemen harus mencari sumber dana baru

yang tidak tertutup kemungkinan berbiaya

mahal, sehingga ada risiko bunga di mana

16

Widya Cipta,Vol VII, No. 1 Maret 2015

17

biaya dana yang baru bertambah jumlahnya

dan akan mengurangi laba.

Terhambatnya arus kas masuk akibat

kredit bermasalah juga berdampak pada

berkurangnya penerimaan pendapatan bank,

berupa pendapatan bunga setiap bulan.

Termasuk dalam hal ini, koreksi pendapatan

bunga yang dicatat secara accrual selama tiga

bulan wajib dikoreksi jika kredit berpindah dari

kualitas lancar menjadi kurang lancar. Kondisi

ini jelas mengurangi jumlah pendapatan bank,

dan pastinya akan mempengaruhi kemampuan

bank dalam memperoleh laba,

Tidak hanya itu, karena adanya risiko

kesulitan likuiditas, maka Bank Perkreditan

Rakyat juga tidak bisa melakukan ekspansi

kredit baru yang potensial, sehingga peluang

penerimaan pendapatan bank jadi hilang atau

berkurang.

Risiko lainnya yang mengakibatkan

berkurangnya laba bank adalah jika bank

mengalami risiko hukum. Dalam pemberian

kredit bisa terjadi ketika debitur wanprestasi

dan bank tidak dapat melakukan tindakan

hukum, karena analisa dan pengikatan kredit

yang lemah. Apabila faktor hukum tidak

diperhatikan dengan baik, dan ketika terjadi

kredit masuk kualitas macet, maka Bank

Perkreditan Rakyat bisa berada dalam posisi

yang lemah sehingga risiko bisa menimbulkan

kerugian yang membebani bank. Biaya yang

dikeluarkan bank akibat penyelesaian kredit

dengan menempuh jalur hukum, jumlahnya

besar dan dapat menimbulkan beban yang

dapat mengurangi kemampuan bank dalam

memperoleh laba atau Return On Assets (ROA)

yang optimal.

Dampak Risiko kredit bermasalah

terhadap kemampuan memperoleh laba juga

diakibatkan dari penerapan ketentuan Peraturan

Bank Indonesia Nomor 13/26/PBI/2011

tentang Kualitas Aktiva Produktif dan

Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva

Produktif Bank Perkreditan Rakyat. Dalam

peraturan tersebut setiap Bank Perkreditan

Rakyat diwajibkan untuk membentuk

Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif

(PPAP) umum dan khusus. PPAP umum

ditetapkan 0,5% dikalikan dengan baki debit

dari jumlah kredit yang diberikan bank.

Sedangkan PPAP khusus ditetapkan, 10%

(sepuluh perseratus) dari Aktiva Produktif

dengan kualitas Kurang Lancar setelah

dikurangi dengan nilai agunan, 50% (lima

puluh perseratus) dari Aktiva Produktif dengan

kualitas Diragukan setelah dikurangi dengan

nilai agunan, dan 100% (seratus perseratus)

dari Aktiva Produktif dengan kualitas Macet

setelah dikurangi dengan nilai agunan.

Tabel 4. Data Pertumbuhan Rasio Return On Assets (ROA)

(tahun 2011-2014)

Bulan

Desember

2011

Desember

2012

Desember

2013

Desember

2014

% % % %

Januari 4.03% 3.53% 3.75% 3.31%

Februari 3.77% 3.54% 3.74% 3.20%

Maret 3.92% 3.71% 3.77% 3.42%

April 3.95% 3.68% 3.81% 3.32%

Mei 3.92% 3.87% 3.87% 3.37%

Juni 3.83% 3.89% 3.80% 3.37%

Juli 3.77% 3.88% 3.70% 3.18%

Agustus 3.63% 3.74% 3.57% 3.16%

September 3.57% 3.71% 3.62% 3.19%

Oktober 3.59% 3.73% 3.64% 3.16%

November 3.53% 3.68% 3.56% 3.10%

Desember 3.32% 3.46% 3.44% 2.98%

Rata-Rata ROA 3.74% 3.70% 3.69% 3.23%

Sumber : Statistik Perbankan Indonesia, Bank Indonesia dan OJK (2014)

Jadi dengan semakin besarnya jumlah

kredit bermasalah dengan kualitas diragukan

dan macet, maka semakin besar jumlah

penyisihan penghapusan aktiva produktif

(PPAP) yang wajib dibentuk oleh Bank

Perkreditan Rakyat. Pembentukkan PPAP ini

memiliki dampak langsung terhadap

kemampuan Bank Perkreditan Rakyat dalam

memperoleh laba setiap bulannya dan

terakumulasi biayanya dalam satu tahun

dengan jumlah yang cukup besar. Tujuan

pembentukkan PPAP adalah untuk antisipasi

Widya Cipta, Vol. VII, No. 1 Maret 2015

Widya Cipta,Vol VII, No. 1 Maret 2015

18

jika kredit macet tidak memungkinkan bisa

ditagih lagi, maka bank dapat melakukan

penghapus bukuan karena sudah memiliki

cadangan penghapusan yang mencukupi,

sehingga diharapkan rasio Non Performing

Loans (NPL) Bank Perkreditan rakyat bisa

kembali sehat.

Untuk menganalisis dampak kredit

bermasalah (Non Performing Loans) terhadap

pertumbuhan Return On Assets (ROA) Bank

Perkreditan Rakyat secara Nasional, maka

dapat dijelaskan pada tabel 4.

Pada tabel 4 tersebut di atas, dapat

dianalisis terhadap trend pertumbuhan Bank

Perkreditan Rakyat dalam memperoleh laba

dengan indikator Return On Assets (ROA)

selama empat tahun. Data tersebut

menunjukkan bahwa pada tahun 2011 rata-rata

Return On Assets (ROA) yang dapat diraih oleh

Bank Perkreditan Rakyat secara Nasional

sebesar 3,74%. Sedangkan pada tahun 2012

sampai dengan 2014 terus mengalami

penurunan, yaitu 3,70% pada tahun 2012,

3,69% pada tahun 2013 dan 3,23% pada tahun

2014. Jika didasarkan pada laporan publikasi

per Desember, kondisi rasionya lebih rendah

dari posisi Return On Assets (ROA) Rata-rata,

yaitu pada tahun 2011 sebesar 3,32%, tahun

2012 sebesar 3,46 %, tahun 2013 sebesar

3,44% dan tahun 2014 sebesar 2,98%.

Berdasarkan pertumbuhan Return On

Assets (ROA) yang cenderung tidak ada

kenaikan yang signifikan, penulis meneliti

bahwa pada dasarnya kondisi tersebut memiliki

keterkaitan dengan kondisi rasio Non

Performing Loans (NPL) selama empat tahun

terakhir, di mana rata-rata menembus angka

5% dan dalam kondisi kurang sehat. Hal ini

tentunya menjadi kunci masalah yang harus

ditangani manajemen Bank Perkreditan Rakyat

jika ingin rasio Return On Assets (ROA) pada

tahun 2015 mengalami pertumbuhan di atas

4%.

V. PENUTUP Berdasarkan analisis data dan pembahasan

yang telah diuraikan, msks dapat diambil

kesimpulan sebagai berikut :

1. Bank Perkreditan Rakyat dalam melakukan

penilaian terhadap kinerja pemberian kredit,

menggunakan Indikator Rasio Non

Performing Loans (NPL), dengan standar

sehat maksimal 5%. Berdasarkan analisis

trend rata-rata Rasio Non Performing Loans

(NPL) Bank Perkreditan Rakyat secara

Nasional sejak tahun 2011 sampai dengan

2014, kondisi kredit bermasalah (Non

Performing) sudah melampaui standar sehat

yaitu 5%, yang artinya kinerja pemberian

kredit Bank Perkreditan Rakyat secara

Nasional masih tergolong kurang sehat.

2. Pertumbuhan kredit Bank Perkreditan

Rakyat secara Nasional kecenderungannya

mengalami penurunan. Pada posisi

Desember 2014 pertumbuhannya paling

rendah dibandingkan dengan tahun 2012

dan 2013. Kondisi ini menggambarkan

bahwa selama dua tahun terakhir ini, Bank

Perkreditan Rakyat mengalami penurunan

dalam penyaluran kredit. Hal ini disebabkan

karena tingkat persaingan pasar yang begitu

ketat dengan lembaga keuangan sejenis,

sehingga ceruk pasar kredit kian

menyempit.

3. Rasio Non Performing Loans (NPL) Bank

Perkreditan secara Nasional yang rata-rata

masih di atas 5%, memberikan dampak

terhadap kurang bertumbuhnya perolehan

Return On Asset (ROA) selama empat

tahun terakhir ini. Hal ini dibuktikan

dengan data laporan publikasi per

Desember, posisi Return On Assets (ROA)

pada tahun 2011 sebesar 3,32%, tahun 2012

sebesar 3,46 %, tahun 2013 turun sebesar

3,44% dan tahun 2014 turun kembali

menjadi sebesar 2,98%.

Saran yang dapat diberikan adalah

hendaknya Manajemen Bank Perkreditan

Rakyat lebih meningkatkan ekspansi kredit

dengan proses yang tetap berpedoman pada

prinsip kehati-hatian, kemudian dilakukan

monitoring yang ketat. Hal ini dimaksudkan

agar kredit tetap lancar dan jika terjadi masalah

dapat dideteksi dan dicari solusinya sejak awal,

sehingga risiko kerugian dalam bentuk

penambahan beban penyisihan penghapusan

aktiva produktif dapat ditekan, sebab akan

mengurangi kemampuan bank dalam

memperoleh laba. Manajemen Bank

Perkreditan Rakyat hendaknya juga

memperhatikan kompetensi Sumber Daya

Manusia yang terlibat dalam aktivitas kredit

sehari-hari, sehingga memahami proses

pemberian kredit yang benar dan akurat.

Terhadap kredit yang tergolong kualitas macet,

hendaknya manajemen terus mengupayakan

mengeksekusi agunan, dan sebaiknya terhadap

kredit yang sudah sulit ditagih segera dilakukan

penghapus bukuan (write off), sehingga Rasio

Non Performing Loan (NPL) selalu berada di

bawah 5%. Selain itu hendaknya Otoritas Jasa

Keuangan lebih memperketat lagi pengawasan

dan pembinaan kepada Bank Perkreditan

Rakyat di provinsi yang memiliki tingkat Non

Performing Loan (NPL) tinggi.

18

Widya Cipta,Vol VII, No. 1 Maret 2015

19

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Masyhud. 2004. Asset Liability

Management. Jakarta : Elex Media

Komputindo.

Bank Indonesia, 2011a. Peraturan Bank

Indonesia Nomor 13/26/PBI/2011

tentang Perubahan atas Peraturan Bank

Indonesia Nomor 8/19/PBI/2006 tentang

Kualitas Aktiva Produktif dan

Pembentukan Penyisihan Penghapusan

Aktiva Produktif Bank Perkreditan

Rakyat. Jakarta : Bank Indonesia.

Bank Indonesia, 2011b. Data Statistik

Perbankan Indonesia. Volume 10 No. 1.

Desember 2011. Jakarta : Departemen

Perizinan dan Informasi Perbankan.

Bank Indonesia, 2012c. Data Statistik

Perbankan Indonesia. Volume 11 No. 1.

Desember 2012. Jakarta : Departemen

Perizinan dan Informasi Perbankan.

Bank Indonesia, 2013d. Surat Edaran Bank

Indonesia Nomor 8/30/DPBR tertanggal

12 Desember 2006 yang telah dirubah

dengan Surat Edaran Bank Indonesia

Nomor 15/29/DKBU tertanggal 31 Juli

2013 tentang Laporan Keuangan

Tahunan dan Laporan Publikasi Bank

Perkreditan Rakyat. Jakarta : Bank

Indonesia.

Bank Indonesia, 2013e. Surat Edaran Bank

Indonesia Nomor 8/30/DPBR tertanggal

12 Desember 2006 yang telah dirubah

dengan Surat Edaran Bank Indonesia

Nomor 15/29/DKBU tertanggal 31 Juli

2013 tentang Laporan Keuangan

Tahunan dan Laporan Publikasi Bank

Perkreditan Rakyat. Jakarta : Bank

Indonesia.

Munawir, S. 2012. Analisa Laporan

Keuangan, Edisi ke Dua Belas.

Yogyakarta : Liberty.

Otoritas Jasa Keuangan, 2013a. Data Statistik

Perbankan Indonesia. Volume 12 No. 1.

Desember 2013. Jakarta : Deputi

Direktur Publikasi dan Administrasi.

Otoritas Jasa Keuangan, 2014b. Data Statistik

Perbankan Indonesia. Volume 13 No. 1.

Desember 2013. Jakarta : Deputi

Direktur Publikasi dan Administrasi.

Riyadi, Selamet. 2006. Banking Assets and

Liability Management. Jakarta :

Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi

Universitas Indonesia.

Soedarto. 2007. Manajemen Risiko Untuk

Bank Perkreditan Rakyat. Jakarta :

Palem Jaya.

Triandanu, Sigit. 2006. Bank dan Lembaga

Keuangan Lain. Jakarta : Salemba

Empat.

Widya Cipta, Vol. VII, No. 1 Maret 2015