analisis praktik iuu (illegal, unreported, and … · pendidikan, penelitian, penulisan karya...
TRANSCRIPT
ANALISIS PRAKTIK IUU (ILLEGAL, UNREPORTED, AND
UNREGULATED) FISHING DAN UPAYA PENANGANANNYA
MELALUI ADOPSI MEKANISME PORT STATE MEASURES
DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM
ZACHMAN JAKARTA
DESIMA RAMALIA
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP
DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Analisis Praktik Perikanan IUU
(Illegal, Unreported, and Unregulated) Fishing dan Upaya Penanganannya
melalui Adopsi Mekanisme Port State Measures di Pelabuhan Perikanan
Samudera Nizam Zachman Jakarta adalah karya saya sendiri dengan arahan dosen
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya ilmiah yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Maret 2012
Desima Ramalia
ABSTRAK
DESIMA RAMALIA, C44080042. Analisis Praktik IUU (Illegal, Unreported, and Unregulated) Fishing dan Upaya Penanganannya melalui Adopsi Mekanisme Port State Measures di Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman Jakarta. Dibimbing oleh DARMAWAN dan AKHMAD SOLIHIN.
Praktik perikanan yang diklasifikasikan sebagai kegiatan ilegal, tidak dilaporkan dan tidak diatur (illegal, unreported and unregulated fishing – IUU Fishing) terjadi di banyak wilayah perairan dunia dalam skala besar-besaran. Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencatat lebih dari 100 negara berperkara dengan masalah pencurian ikan. Praktik perikanan seperti ini mengakibatkan kerusakan habitat sumberdaya ikan akibat tindakan yang destruktif, terganggunya pengelolaan pemanfaatan perikanan yang berkelanjutan, dan menimbulkan kerugian ekonomi yang merugikan banyak negara berkembang sekitar 2 – 15 milyar dolar Amerika tiap tahunnya. Sesuai kategori PBB yang diacu pada dokumen International Plan of Action to Prevent, Deter and Eliminate IUU Fishing tahun 2001, suatu negara dapat dikategorikan sebagai Negara Bendera (negara yang memberikan perijinan penangkapan kepada suatu unit penangkapan ikan), Negara Pantai (negara yang memiliki pantai dan tempat terjadinya perkara IUU fishing), dan Negara Pelabuhan (negara tujuan pendaratan hasil tangkapan). Penelitian ini fokus pada peran Negara Pelabuhan dalam upaya menangani IUU Fishing sesuai dengan dokumen perjanjian yang dirancang oleh Food and Agriculture Organization mengenai Port State Measures (PSM) Agreement. Sebagai negara anggota FAO, Indonesia wajib menelaah kemungkinan melakukan adopsi terhadap dokumen tersebut. Oleh sebab itu penelitian ini menganalisis kesiapan Indonesia dalam menerapkan kebijakan pengaturan PSM untuk mencegah, menghalangi, dan memberantas praktik IUU fishing dengan menggunakan studi kasus di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Nizam Zachman Jakarta. Penelitian bersifat deskriptif dengan menggunakan metoda yuridis komparatif. Adapun penentuan sampel diakukan secara purposive. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hukum dan peraturan di Indonesia telah mengakomodasikan enam dari tujuh butir kewajiban negara pelabuhan sesuai dengan dokumen PSM dan telah diterapkan di PPS Nizam Zachman Jakarta. Namun demikian masih terdapat beberapa kekurangan di dalam pelaksanaanya yang meliputi pemahaman, sumberdaya manusia, kegiatan preventif, serta sarana dan prasarana penunjang.
Kata kunci: IUU fishing, port state measures, yuridis komparatif
ABSTRACT
DESIMA RAMALIA, C44080042. Analysis of IUU (Illegal, Unreported, and Unregulated) Fishing and the Eforts of Handling by Port State Measures Adoption Mecanism at Oceanic Fishing Port Nizam Zachman Jakarta. Guicancing by DARMAWAN and AKHMAD SOLIHIN.
Practice of IUU fishing is occurring in many fishing grounds around the world in vast scale. United Nations notes that there were more than a hundred countries have issues with these kinds of practices. IUU fishing damages fish habitats due to its destructive methods, disrupts sustainable fisheries management, and loss financial benefits for many developing coutries (aproxinately 2-15 billion dollars every year). Based on UN classification in International Plan of Action to Prevent, Deter and Eliminate IUU Fishing (2001), nations can be categorized into Flag State (issued fishing license), Coastal State (have coasts and fishing grounds) and Port State (owned ports to facilitate logistics and landings). This research focused on the role of Port State to cope with IUU Fishing in accord with FAO convention in the Port State Measures Agreement (PSM). As an FAO member, Indonesia has obligation to asses and evaluate possibility to adopt the Agreement. Therefore this reasearch analyzed the state of readiness of Indonesia to deter, prevent and eliminate IUU Fishing thorugh the implementation of Port State Measures (PSM). Fishing port Pelabuhan Perikanan Samudra (PPS) Nizam Zachman Jakarta was used as the case study. The research used decriptive analysis and employed juridis comparative method. Interview was conducted to several fishing key stakeholders selected by purposive sampling method. Result shows that Indonesia has accommodated six out of seven measure substances for Port State in accord with the Agreement. All of those measures have been implemented in the PPS Nizam Zachman with various conditions or shortages, especially in general understanding of the concept, human resources, preventif actions, tools and other supporting infrastructures. There are shortage to realize PSM in future include comprehension, resource of human, preventable action, tools, and infrastucture that be support.
Keywords: IUU fishing, port state measures, yuridis komparatif
© Hak Cipta IPB, Tahun 2012
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan tersebut hanya untuk kepentingan
pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan
kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.
ANALISIS PRAKTIK IUU (ILLEGAL, UNREPORTED, AND
UNREGULATED) FISHING DAN UPAYA PENANGANANNYA
MELALUI ADOPSI MEKANISME PORT STATE MEASURES
DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM
ZACHMAN JAKARTA
DESIMA RAMALIA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP
DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Judul Penelitian : Analisis Praktik Perikanan IUU (Illegal,
Unreported, and Unregulated) Fishing dan Upaya Penanganannya melalui Adopsi Mekanisme Port State Measures di Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman Jakarta
Nama Mahasiswa : Desima Ramalia
NRP : C44080042
Program Studi : Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Disetujui:
Komisi Pembimbing
Ketua, Anggota,
Dr. Ir. Darmawan, MAMA Akhmad Solihin, S.Pi, M.H NIP. 19630306 198903 1 007 NIP. 19790403 200701 1 001
Diketahui:
Ketua Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan,
Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc NIP. 19621223 198703 1 001
Tanggal lulus: 13 Maret 2012
PRAKATA
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, untuk dapat menyelesaikan laporan akhir
skripsi atas penelitian yang berjudul “Analisis Praktik IUU (Illegal, Unreported,
and Unregulated) Fishing dan Upaya Penanganannya melalui Adopsi Mekanisme
Port State Measures di Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman Jakarta”.
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Perikanan di Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini
dilaksanakan di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Nizam Zachman Jakarta
dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada bulan Juli 2011 hingga
Januari 2012. Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini.
Akhir kata, penulis berharap semoga Allah SWT berkenan membalas
segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini membawa
manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Bogor, Maret 2012
Desima Ramalia
UCAPAN TERIMA KASIH
Skripsi ini hadir atas anugerah Allah Yang Maha Kuasa, selain itu pula
banyak pihak yang membantu dalam penyusunan skripsi ini. Bantuan tersebut
sangat berharga untuk penulis sebagai penguat dan penyemangat untuk terus
berkarya. Adapun pihak-pihak tersebut adalah:
1. Segenap keluarga inti penulis yang tidak hentinya memberi segalanya untuk
penulis hingga meraih hasil ini;
2. Pembimbing skripsi yaitu Bapak Darmawan dan Bapak Akhmad Solihin yang
dengan ikhlas memotivasi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini;
3. Pembimbing akademik, Ibu Vita Rumanti yang terus memberikan perhatian
dan dukungan kepada penulis dari awal mengemban ilmu di PSP;
4. Komisi pendidikan PSP dan dosen penguji pada saat sidang, Bapak
Moh.Imron dan Bapak Thomas Nugroho yang memberikan koreksian dan
wawasan lebih luas kepada penulis;
5. Sahabat-sahabat kecilku (Seilen, Sri, Soraya, Ika, Tami, Nelly, Gita, Icha,
Dini, Sheilla, Elly, Tika, Nova, Arlan, Ridhu, Rio, Syafiq, Yoyo, Eja, Syarif)
yang telah mengisi lebih dari separuh kedewasaanku;
6. Tim PPS Nizam Zachman Jakarta (Pak Rouf, Pak Nimrot, Pak Akmala, kak
Joko, Kak Icha, Kak Daffa, Kak Jazuli, kak Gareng) dan Tim KKP (Pak Eko,
Pak Rusmana, Pak Pandapotan, Mba Yani) yang sangat membantu penelitian
di lapang;
7. Dua suadara baik hati (Anugrah Adityayuda dan Dendi Ahmad Patrayuda);
8. Mereka yang meluangkan waktu lebih untuk membantu penulis saat terjatuh
(Eka Septiana, Lina Yuni Kurnia, Aditya Setianingtyas, Ngesti Dyah);
9. Keluarga yang berjumlah 61 (PSP 45) yang mampu memberikan stimulus baik
positif dan negatif yang menjadikan penulis tetap survive, you’re never end;
10. Seluruh civitas PSP, dari Tata Usaha (Pak Gigih dan Mba Vina), senior dan
alumni, serta PSP 46 dan PSP 47, you’re stay in my memories; dan
11. Special thanks untuk mereka yang mampu berada di sampingku pada hari
penting itu (Cut, Lina, Ocil, Ana, Ina, Ani, Insun, Ema, Kusnadi, Tommy,
Okta).
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Palembang, Sumatera Selatan tanggal
10 Desember 1990 dari Bapak Firdaus dan Ibu Sunsilawati.
Penulis merupakan putri ketiga dari empat bersaudara.
Pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) diselesaikan
tahun 2008 di SMA Negeri 16 Palembang. Selanjutnya,
penulis melanjutkan di Institut Pertanian Bogor (IPB).
Penulis memilih Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (PSP),
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK), melalui jalur Undangan Seleksi
Masuk IPB (USMI). Selama di IPB, penulis mengikuti banyak kegiatan
organisasi dan meraih beberapa prestasi. Penulis pernah menjadi asisten mata
kuliah Eksplorasi Penangkapan Ikan tahun ajaran 2010/2011 dan mata kuliah
Manajemen Operasi Penangkapan Ikan tahun ajaran 2011/2012. Organisasi yang
pernah diikuti penulis yaitu Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FPIK IPB tahun
2009/2010 sebagai anggota Divisi Informasi dan Komunikasi, Himpunan
Mahasiswa Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (Himafarin) selama 2 tahun,
pada tahun 2009/2010 sebagai anggota Departemen Pengembangan Minat dan
Bakat serta tahun 2010/2011 sebagai anggota Departemen Penelitian,
Pengembangan, dan Keprofesian. Selain itu, penulis juga pernah menjadi Duta
Lingkungan Hidup FPIK IPB tahun 2010. Prestasi bidang olahraga yang pernah
diraihnya yaitu juara 1 Lomba Catur Pekan Olahraga dan Seni Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan (Porikan) tahun 2010 dan juara 3 Lomba Catur Olimpiade
Mahasiswa IPB tahun 2010. Beasiswa yang pernah diterima penulis saat
menempuh pendidikan di IPB yaitu Beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik
(PPA). Dalam rangka menyelesaikan tugas akhir di jenjang sarjana, penulis
melakukan penelitian dengan judul “Analisis Praktik IUU (Illegal, Unreported,
and Unregulated) Fishing dan Upaya Penanganannya melalui Adopsi Mekanisme
Port State Measures di Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman Jakarta”.
x
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ......................................................................................................... x
DAFTAR TABEL ............................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xiii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xiv
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1
1.2 Tujuan ...................................................................................................... 5 1.3 Manfaat .................................................................................................... 5
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penangkapan Ikan yang Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan Tidak Diatur ...... 8 2.2 Aturan Internasional ............................................................................... 11
2.2.1 IPOA-IUU fishing ..................................................................... 11
2.2.2 Port state measures ................................................................... 13 2.3 Hukum Indonesia .................................................................................. 19
2.3.1 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Jo. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan ...... 19
2.3.2 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.28/MEN/2009 tentang Sertifikat Hasil Tangkapan ........... 20
2.3.3 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan PER.12/MEN/2009 Jo. PER.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan ..................... 21
2.3.4 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.27/MEN/2009 tentang Pendaftaran dan Penandaan Kapal Perikanan ................................................................................... 22
2.3.5 Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.11/MEN/2004 tentang Pelabuhan Pangkalan Bagi Kapal Perikanan ................................................................................... 24
2.4 Negara Pelabuhan .................................................................................. 25
2.5 Teknik Pengambilan Sampel ................................................................. 38
III METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat ................................................................................. 31
3.2 Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data ......................................... 31
3.3 Metode Analisis Data ............................................................................. 33
3.3. Metode Pembahasan .............................................................................. 34
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Komparasi Port State Measures dengan Aturan Indonesia.................... 36
4.1.1 Kegiatan pengelolaan dan konservasi perikanan ....................... 52 4.1.2 Pemeriksaan oleh negara pelabuhan .......................................... 53 4.1.3 Pemeriksaan bagian kapal, alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan ..................................................... 60
xi
4.1.4 Kesesuaian pemeriksaan dengan keterangan dokumen dan hasil wawancara ........................................................................ 61 4.1.5 Pembuatan laporan hasil pemeriksaan ...................................... 62 4.1.6 Pelatihan untuk pengawas atau petugas pemeriksa ................... 62 4.1.7 Penggunaan sistem informasi kode internasional ..................... 63 4.2 Kesiapan Pelaksanaan Hukum dan Peraturan Perikanan di PPS Nizam Zachman Jakarta ........................................................................ 67
4.2.1 Kegiatan pengelolaan dan konservasi perikanan ...................... 80 4.2.2 Pemeriksaan oleh negara pelabuhan ......................................... 82 4.2.3 Pemeriksaan bagian kapal, alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan ..................................................... 88 4.2.4 Kesesuaian pemeriksaan dengan keterangan dokumen dan hasil wawancara ........................................................................ 89 4.2.5 Pembuatan laporan hasil pemeriksaan ...................................... 90 4.2.6 Pelatihan untuk pengawas atau petugas pemeriksa ................... 91 4.2.7 Penggunaan sistem informasi kode internasional ..................... 92
V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan ............................................................................................. 93
5.2 Saran .................................................................................................... 95
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 97
LAMPIRAN ....................................................................................................... 101
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Jumlah pelabuhan perikanan di Indonesia menurut kelas tahun 2010 .............. 7
2 Produksi perikanan tangkap dunia menurut negara asal tahun 2004-2008 ....... 7
3 Data primer penelitian .................................................................................... 31
4 Data sekunder penelitian ................................................................................ 32
5 Komparasi port state measures dengan aturan Indonesia. .............................. 37
6 Batas-batas area PPS Nizam Zachman Jakarta ............................................... 67
7 Rekapitulasi data kegiatan kapal di PPS Nizam Zachman Jakarta ................ 69
8 Pelaksanaan butir port state measures di PPS Nizam Zachman Jakarta ........ 77
9 IOTC IUU vessel list Maret 2011 ................................................................... 85
10 WCPFC IUU vessel list tahun 2011 ............................................................... 86
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Prosedur kapal keluar pelabuhan .................................................................... 72
2 Prosedur kapal Indonesia masuk Pelabuhan ................................................... 75
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Draft Naskah Terjemahan ............................................................................ 102
2 Annex A Port State Measures ....................................................................... 124
3 Annex B Port State Measures ....................................................................... 125
4 Annex C Port State Measures ...................................................................... 127
5 Annex D Port State Measures ...................................................................... 129
6 Annex E Port State Measures ........................................................................ 130
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dunia perikanan tangkap kini dihadang dengan isu praktik penangkapan
ikan yang ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur atau yang disebut IUU (Illegal,
Unreported, and Unregulated) fishing. Laporan OECD (Organization for
Economic Cooperation and Development) pada tahun 2006 menyatakan bahwa
menurut FAO (Food and Agriculture Organization) secara global diduga jumlah
ikan yang didaratkan melalui praktik IUU fishing kira-kira tiga kali jumlah ikan
yang didaratkan secara resmi (Nikijuluw, 2008). Laporan CCSBT (Commision for
the Conservation of Southern Bluefin Tuna) mengungkapkan bahwa tuna yang
didarakan di kawasan yang dikelolanya, sepertiga atau sekitar 4.000 ton ditangkap
secara ilegal. Sedangkan IOTC (Indian Ocean Tuna Commision) menjelaskan
pula bahwa 10% atau sekitar 14.000 ton tuna yang didaratkan pertahunnya diduga
berasal dari proses produksi yang ilegal.
Data dari PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) mencatat lebih dari 100
negara berperkara dengan pencurian ikan (Fauzi, 2005). Asumsi yang
disampaikan MRAG (Marine Resource Assessment Group) bahwa praktik IUU
fishing berlangsung marak dan signifikan di tiga kawasan utama yaitu sub-Sahara
Afrika, Amerika Tengah dan Amerika Selatan, serta Asia Tenggara. Isu IUU
fishing yang terjadi di Indonesia contohnya, yaitu di Laut Arafura. Studi IUU
fishing di daerah tersebut dilakukan oleh Pusat Riset Perikanan Tangkap
Departemen Kelautan dan Perikanan (PRPT DKP) bekerjasama dengan FAO pada
tahun 2007-2008. Hasilnya menunjukkan bahwa pada periode tahun 2001-2005,
penangkapan ikan secara ilegal adalah sekitar 1,258 juta ton setiap tahunnya.
Jumlah ini terdiri dari 239,7 ribu ton ikan yang dibuang (by-catch); 364,4 ton hasil
tangkapan yang tidak dilaporkan; dan 654,6 ribu ton ikan yang ditangkap secara
ilegal (Nikijuluw, 2008).
IUU fishing berdampak buruk dalam aspek ekonomi. Nikijuluw (2008)
menambahkan bahwa dalam laporan lembaga The Environment Justice
Foundation tahun 2005, mengemukakan biaya yang IUU fishing yang dibebankan
ke negara-negara berkembang sekitar $2 miliar hingga $15 miliar (setara Rp 20
2
triliun hingga Rp 150 triliun) per tahunnya. Paragraf pertama menjelaskan bahwa
menurut OECD, praktik IUU fishing mendaratkan ikan kira-kira tiga kali jumlah
ikan yang didaratkan secara resmi. Nilai total ikan hasil tangkapan dunia secara
resmi adalah $70 miliar per tahun, maka nilai praktik IUU fishing yaitu tiga
kalinya ($210 miliar per tahun).
Ancaman terhadap sumberdaya ikan dan terganggunya upaya pengelolaan
perikanan yang berkelanjutan juga merupakan dampak dari praktik IUU fishing.
Perikanan ilegal (illegal fishing) dengan menggunakan teknologi penangkapan
ikan yang maju dapat mengakibatkan terjadinya penangkapan ikan yang
berlebihan (overfishing) di kawasan tertentu. Adapun praktik penangkapan ilegal
dengan peralatan sederhana, umumnya mengakibatkan kerusakan lingkungan dan
bersifat destruktif seperti penggunaan bom, dinamit, racun, arus listrik, jaring
dengan ukuran mata jaring yang kecil, dan lain sebagainya. Hal inilah yang
menyebabkan tidak saja kondisi sumberdaya ikan semakin berkurang tetapi juga
disertai dengan rusaknya habitat sumberdaya ikan (Fauzi, 2005). Penangkapan
ikan yang tidak dilaporkan (unreported fishing) atau dilaporkan dengan nilai yang
tidak sesuai dengan kenyataan (umumnya lebih rendah) akan menyebabkan
masalah dalam pemantauan pemanfaatan sumberdaya ikan. Perkiraan
ketersediaan sumberdaya ikan akan salah dan mengganggu pengelolaan perikanan
yang berkelanjutan (Nikijuluw, 2008).
FAO (2001) menjelaskan bahwa IUU fishing telah merusak upaya konservasi
sumberdaya ikan dan manajemen stok ikan yang berkelanjutan. Ketika dunia
dihadapkan dengan IUU fishing, situasi ini diperparah dengan terganggunya
kehidupan secara sosial-ekonomi dan yang paling mengkhawatirkan adalah
mengganggu ketahanan pangan secara global. IUU fishing dapat merusak dunia
perikanan secara serius dan mengganggu rencana rebuild stocks terhadap
sumberdaya ikan yang kini telah terjadi penurunan.
Nikijuluw (2008) menjelaskan bahwa rencana aksi internasional
(Internasional Plan of Action, IPOA) dalam mengatasi IUU fishing dikembangkan
sebagai instrumen sukarela dalam rangka CCRF (Code of Conduct for
Responsible Fisheries) pada tahun 2000. Draft IPOA ini dibahas dalam forum
konsultasi ahli di Sydney, Australia pada bulan Oktober 2000, diikuti dengan
3
Forum Konsultasi Teknis pada Februari 2001. IPOA-IUU fishing diadopsi pada
sidang ke-24 Komite Perikanan FAO pada bulan Maret 2001 dan selanjutnya
diterima secara resmi pada sidang ke-120 FAO Council pada 23 Juni 2001.
FAO (2001) menjelaskan bahwa kegiatan CCRF secara keseluruhan
difokuskan untuk menjaga keberlanjutan perikanan, mengatasi isu IUU fishing
secara global yang amat serius dan mengalami peningkatan. Selain itu, kegiatan
CCRF juga difokuskan pada kesepakatan internasional dalam IPOA-IUU
(International Plan of Action to Illegal Unreported and Unregulated) Fishing
yang mengupayakan untuk dilakukannya pencegahan, penghalangan, dan
penghapusan IUU fishing. Dokumen IPOA-IUU fishing menerangkan adanya
peran negara pelabuhan (port state) sebagai kontrol yang sangat relevan untuk
konservasi dan pengelolaan ikan dengan menargetkan standar dari kapal
penangkap ikan, agar tetap menjadi armada penangkapan yang sesuai dengan
tindakan konservasi dan pengelolaan perikanan berkelanjutan.
FAO mengeluarkan suatu instrumen yang memposisikan negara pelabuhan
dalam pencegahan praktik IUU fishing yaitu melalui instrumen port state
measures (PSM). PSM dinilai sebagai suatu langkah yang efektif dalam
menghadapi praktik IUU fishing dan hemat dalam segi ekonominya. Nilai lebih
yang dapat dirasakan melalui PSM ini, yaitu dapat dilakukan pencegahan
masuknya hasil tangkapan dari IUU fishing ke dalam perdagangan internasional
dan pencegahan pelanggaran serius lainnya melalui pelabuhan dengan penargetan
standar kapal penangkap ikan agar sesuai dengan konservasi dan pengelolaan
perikanan yang berkelanjutan (FAO, 2008).
Secara geografis posisi Indonesia sangat strategis, yaitu terletak di antara dua
benua (Benua Asia dan Australia) dan dua samudera (Samudera Pasifik dan
Samudera Hindia). Kementerian Kelautan dan Perikanan (2011) menjelaskan
bahwa Indonesia memiliki luas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) sekitar
2.981.211 km2. Kementerian Kelautan dan Perikanan (2010) menjelaskan bahwa
jumlah Pelabuhan Perikanan (PP) dan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) di
Indonesia sampai tahun 2010 (Tabel 1) adalah 968 pelabuhan dengan tingkat
produksi perikanan tangkap terbesar ketiga di dunia pada tahun 2004 hingga tahun
2008 (Tabel 2). Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
4
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 menjabarkan
bahwa pelabuhan perikanan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan perairan
di sekitarnya sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis
perikanan yang dipergunakan untuk tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh
dan bongkar muat ikan yang di lengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran
dan kegiatan penunjang perikanan.
Dasar hukum yang berlaku di Indonesia dalam menaungi dunia perikanan
nasional yaitu antara lain Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan;
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.28/MEN/2009 tentang
Sertifikasi Hasil Tangkapan, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER.12/MEN/2009 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor PER.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap,
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.27/MEN/2009 tentang
Pendaftaran dan Penandaan Kapal Perikanan; Keputusan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor KEP.11/MEN/2004 tentang Pelabuhan Pangkalan bagi Kapal
Perikanan, dan beberapa aturan lainnya. Dari keseluruhan dasar hukum perikanan
tersebut, perlu pengkajian terkait apakah dasar hukum tersebut sudah cukup
mampu untuk memposisikan Indonesia sebagai negara pelabuhan dalam
penanggulangan praktik IUU fishing.
Selama ini Indonesia masih menggunakan dasar hukum yang disebutkan di
atas dan ditambah dengan dasar hukum Indonesia lainnya serta kesepakatan
kerjasama dengan organisasi pengelolaan perikanan regional. Kedua aturan
tersebut, baik internasional maupun nasional perlu dilihat kesesuaian dan korelasi
aturannya, untuk menegaskan peran negara pelabuhan (port state) terhadap
praktik IUU fishing. Perlu suatu penelitian yang menjawab apakah aturan
(regulasi) yang sudah ada di Indonesia telah cukup mengacu dengan instrumen
port state measures dan bagaimana pula persiapan Indonesia ke arah ratifikasi
serta adopsi terhadap instrumen tersebut. Komparasi dan aplikasi pelaksanaan
yang telah ada di Indonesia tersebut akan memperlihatkan gambaran kesiapan
Indonesia dalam menghadapi praktik IUU fishing. PPS Nizam Zachman Jakarta
5
merupakan salah satu dari lima pilot project pelabuhan perikanan untuk penerapan
PSM.
Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Nizam Zachman Jakarta merupakan
salah satu dari enam PPS yang ada di Indonesia. Menurut Undang-undang Nomor
31 Tahun 2004 tentang Perikanan, menjelaskan bahwa Pelabuhan Perikanan
Samudera (PPS) merupakan klasifikasi pelabuhan perikanan yang melayani kapal
perikanan yang melakukan kegiatan perikanan di laut teritorial, Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia (ZEEI), dan laut lepas. PPS Nizam Zachman Jakarta
memiliki letak yang strategis, yaitu berlokasi di wilayah ibukota Negara
Indonesia, di Muara Baru (Teluk Jakarta), Jakarta Utara. Lubis, dkk (2010)
menjelaskan bahwa berdasarkan kategorinya, kapal yang bongkar muat pada
pelabuhan perikanan kategori PPS adalah kapal ukuran besar yaitu sekurang-
kurangnya 60 GT (Gross Tonnage) dan mampu menampung sekurang-kurangnya
100 kapal atau jumlah keseluruhan sekurang-kurangnya 6000 GT kapal perikanan
sekaligus. Oleh karena itu, PPS Nizam Zachman Jakarta dapat dipilih sebagai
lokasi studi kasus untuk analisis kesiapan penerapan port state measures di
Indonesia dengan pertimbangan kapasitas pelayanan, posisi yang strategis, dan
merupakan salah satu pilot project pelabuhan perikanan untuk penerapan PSM.
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis kesiapan Indonesia
dalam menerapkan kebijakan pengaturan port state measures untuk mencegah,
menghalangi, dan memberantas praktik IUU fishing. Pendekatan yang dilakukan
adalah dengan melakukan studi kasus di Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam
Zachman Jakarta.
1.3 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dapat diambil dari penelitian ini yaitu :
1. Mengidentifikasi kesiapan Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Nizam
Zachman Jakarta dalam mengadopsi port state measures;
6
2. Menyampaikan rekomendasi strategi Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS)
Nizam Zachman Jakarta dalam mengadopsi dan melaksanakan port state
measures; dan
3. Menyampaikan hasil pembelajaran studi kasus di PPS Nizam Zachman sebagai
masukan dalam penyempurnaan persiapan adopsi port state measures di
Indonesia.
7
Tabel 1 Jumlah pelabuhan perikanan di Indonesia menurut kelas tahun 2010 No. Kelas –Class Jumlah-
Total
Jumlah-Total 968
1. Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) - Oceanic Fishing Port 6
2. Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) – Archipelagic Fsihing Port 13
3. Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) – Coastal Fishing Port 47
4. Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) – Fish Landing Place 900
5. Pelabuhan Perikanan Swasta 2
Satuan : unit Sumber : KKP 2010
Tabel 2 Produksi perikanan tangkap dunia menurut negara asal tahun 2004-2008 No. Negara-
Country Tahun-Year Kenaikan
Rata-rata (%) – Increasing Average (%)
2004 2005 2006 2007 2008 2004-2008
2007-2008
Jumlah – Total
92,369,917 92,056,682 89,712,133 89,898,882 89,740,919 -0,71 -0,81
1. China 14,464,803 14,588,940 14,631,018 14,659,036 14,791,163 0,56 0,90
2. Peru 9,604,527 9,388,488 7,017,491 7,210,544 7,362,907 -5,66 2,11
3. Indonesia 4,653,888 4,709,074 4,823,587 4,936,629 4,957,098 1,59 0,41
4. USA 4,959,826 4,892,967 4,852,283 4,767,596 4,349,853 -3,17 -8,7
5. Japan 4,315,734 4,389,206 4,344,513 4,211,201 4,248,697 -0,37 0,89
6. India 3,391,009 3,691,362 3,844,837 3,953,476 4,104,877 4,92 3,83
7. Chile 4,926,741 4,328,732 4,160,848 3,806,085 3,554,814 -7,79 -6,60
8. Russian Federation
2,941,551 3,197,564 3,284,285 3,454,214 3,383,724 3,64 -2,04
9. Philippines 2,211,245 2,269,668 2,318,981 2,499,634 2,561,192 3,77 2,46
10. Thailand 2,839,612 2,814,295 2,689,803 2,468,784 2,457,184 -3,50 0,47
11. Lainnya 38,060,999 37,786,386 37,735,487 37,931,683 37,969,410 -0,06 0,10
Satuan : ton Sumber : Yearbook, FAO November 2010 dalam KKP 2010
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penangkapan Ikan yang Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan Tidak Diatur
Praktik penangkapan ikan yang ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur
saat ini telah menjadi perhatian dunia. Beberapa terminologi yang digunakan
FAO (Food and Agriculture Organization) untuk praktik tersebut, yaitu perikanan
illegal (ilegal), unreported (tidak dilaporkan) dan unregulated (tidak diatur) yang
kemudian disebut IUU fishing. Definisi IUU fishing secara internasional, menurut
alenia 3.1, 3.2, dan 3.3 IPOA-IUU fishing dalam Darmawan (2006) dibedakan tiap
terminologi. Terminologi yang pertama yaitu illegal fishing atau penangkapan
ikan secara tidak sah, mengacu pada beberapa tindakan yaitu:
1. Tindakan penangkapan ikan yang dilakukan oleh kapal nasional atau kapal
asing di perairan yurisdiksi suatu negara tanpa ijin dari negara yang memiliki
yurisdiksi atau bertentangan dengan hukum dan peraturan negara tersebut;
2. Tindakan penangkapan ikan yang dilakukan oleh kapal perikanan berbendera
negara anggota organisasi pengelolaan perikanan regional, Regional Fisheries
Management Organization (RFMO) tetapi bertindak bertentangan dengan
ketentuan konservasi dan pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan oleh
RFMO tersebut ataupun bertentangan dengan ketentuan hukum internasional
yang berlaku lainnya yang relevan; atau
3. Tindakan penangkapan ikan yang bertentangan dengan perundang-undangan
suatu negara atau kewajiban internasional, termasuk yang diambil oleh negara-
negara yang menyatakan bekerjasama dengan organisasi pengelolaan
perikanan regional terkait atau RFMO.
Terminologi unreported fishing atau kegiatan penangkapan ikan yang
tidak dilaporkan, dapat didefinisikan sebagai berikut :
1. Tindakan penangkapan ikan yang tidak dilaporkan, atau melaporkan dengan
data yang salah pada institusi nasional relevan, yang bertentangan dengan
hukum dan perundang-undangan yang berlaku di negara tersebut; atau
2. Tindakan penangkapan ikan yang dilakukan dikawasan kewenangan RFMO
tertentu, yang tidak dilaporkan atau salah dalam melaporkan, sehingga
bertentangan dengan prosedur pelaporan RFMO tersebut.
9
Sedangkan terminologi unregulated fishing atau penangkapan ikan yang
tidak diatur, dapat didefinisikan sebagai berikut :
1. Tindakan penangkapan ikan di kawasan kewenangan RFMO yang dilakukan
oleh kapal tanpa identitas kebangsaan atau oleh kapal berbendera negara yang
bukan merupakan anggota RFMO tersebut atau oleh suatu entitas (negara yang
belum diakui Perhimpunan Bangsa Bangsa) perikanan, dengan cara yang tidak
sesuai atau bertentangan dengan tindakan konservasi dan pengelolaan yang
ditetapkan RFMO tersebut; atau
2. Tindakan penangkapan ikan di suatu area atau terhadap stok ikan yang tidak
diatur pengelolaan dan konservasinya, yang bertentangan dengan tanggung
jawab negara (bendera) terhadap ketentuan hukum internasioanl mengenai
konsevasi sumberdaya hayati laut.
Modus praktik IUU fishing yang umumnya terjadi di perairan Indonesia
(DKP, 2002 dalam Latar, 2004) antara lain dikategorikan dalam 4 (empat)
golongan, meliputi:
1. Kapal Ikan Asing (KIA), kapal murni berbendera asing melakukan kegiatan
penangkapan ikan di perairan Indonesia tanpa dilengkapi dokumen dan tidak
pernah mendarat di pelabuhan perikanan Indonesia;
2. Kapal ikan berbendera Indonesia eks kapal asing banyak memalsukan
dokumen;
3. Kapal Ikan Indonesia (KII) dengan dokumen palsu yang didapat dari pihak
yang tidak berwenang mengeluarkan ijin; atau
4. Kapal Ikan Indonesia (KII) tanpa dokumen sama sekali (tanpa ijin).
Aturan Indonesia yang menjadi regulasi perikanan adalah Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Undang-Undang Nomor 31 Tahun
2004 ini mengatur pokok-pokok pembangunan perikanan terkait penataan,
pengelolaan, pemanfaatan, pengawasan, pengolahan, dan pemasaran sumberdaya
perikanan. Pemberdayaan nelayan, perbuatan pidana dan sanksi atasnya,
tercantum pula di dalamnya. Namun masih terdapat aturan turunan lain yang
menunjang secara detil pola aturan yang berlaku. Nikijuluw (2008) menjelaskan
bahwa perbuatan pidana pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu kejahatan perikanan dan pelanggaran
10
perikanan. Pidana kejahatan serta hukuman dan dendanya tersebut, dapat terjadi
dikarenakan sebagai berikut :
1. Penggunaan metode dan teknologi produksi yang destruktif. Hukuman terlama
10 tahun dengan denda maksimal Rp 2 miliar;
2. Penggunaan teknologi produksi yang menyimpang dari ketentuan. Hukuman
terlama 5 tahun dengan denda maksimal Rp 2 miliar ;
3. Kejahatan dalam hal perijinan usaha dan ijin penangkapan ikan. Denda dan
hukumannya tergantung dari jenis perijinan yang dilanggar;
4. Kejahatan dalam hal pengangkutan ikan. Hukuman terlama 5 tahun dengan
denda maksimal Rp 1,5 miliar;
5. Perusakan lingkungan perikanan. Hukuman terlama 10 tahun dengan denda
maksimal Rp 2 miliar;
6. Kejahatan yang berkaitan dengan karantina ikan. Hukuman terlama 6 tahun
dengan denda maksimal Rp 1,5 miliar; dan
7. Kejahatan yang berkaitan dengan kegiatan pengolahan dan pemasaran ikan.
Hukuman terlama 6 tahun dengan denda maksimal Rp 1,5 miliar.
Nikijuluw (2008) juga menjelaskan mengenai aturan dalam Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 2004 untuk pidana pelanggaran dapat terjadi
disebabkan oleh:
1. Membangun, mengimpor, dan memodifikasi kapal perikanan tanpa persetujuan
menteri. Hukuman maksimalnya satu tahun dengan denda maksimal Rp 600
juta;
2. Pengoperasian kapal perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia
tanpa kapal tersebut didaftarkan sebagai kapal perikanan Indonesia. Hukuman
maksimalnya satu tahun dengan denda maksimal Rp 800 juta;
3. Mengoperasikan kapal penangkapan ikan berbendera asing yang tidak
memiliki ijin penangkapan ikan, tidak menyimpan alat penangkapan ikan di
dalam palka, atau menggunakan alat tangkap ikan yang tidak sesuai dengan
ijinnya. Hukuman pidana denda maksimal Rp 500 juta;
4. Melakukan penangkapan ikan tanpa ijin berlayar dari syahbandar;
5. Melakukan penelitian perikanan tanpa ijin pemerintah; dan/atau
11
6. Pelanggaran dalam hal jenis, jumlah, dan ukuran alat penangkapan ikan serta
alat bantu penangkapan ikan; daerah, jalur, dan musim penangkapan ikan;
ukuran berat minimum jenis ikan yang boleh ditangkap (total allowable catch);
serta sistem pemantauan kapal perikanan.
Tindakan pidana kejahatan dan pidana pelanggaran telah diatur denda dan
hukumannya secara variatif, tergantung dari jenis kejahatan dan pelanggarannya.
Ketentuan tersebut dituangkan dalam pasal-pasal Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2004, sehingga dalam pelaksanaannya dapat diklasifikasikan antara bentuk
kejahatan atau pelanggaran yang terjadi dan hukuman serta denda apa yang harus
dikenakan terhadap pelaku praktik kejahatan atau pelanggaran tersebut. Kapasitas
pengawasan dan penengakan aturan ini harus jelas dan tegas di lapangan.
Sinergitas para aparatur penegak hukum dan pihak terkait harus adil untuk
menegakkan aturan yang telah tercantum dalam undang-undang. Semua ini
diupayakan untuk menanggulangi dan mengurangi serta memberantas praktik
IUU fishing di Indonesia.
2.2 Aturan Internasional
2.2.1 IPOA-IUU fishing
Praktik IUU fishing yang kian marak diisukan, melatarbelakangi FAO
Committee on Fisheries (COFI) mengadopsi Internasional Plan of Action (IPOA)
to Prevent, Deter, and Eliminate IUU fishing pada tahun 2001. IPOA-IUU fishing
merupakan sebuah instrumen hukum internasional yang diharapkan menjadi
acuan negara-negara dalam memerangi IUU fishing. IPOA-IUU fishing
menjelaskan tanggung jawab dan tindakan yang harus diambil oleh Negara
Bendera, Negara Pantai, dan Negara Pelabuhan terkait dengan IUU fishing.
Nikijuluw (2008) menjelaskan bahwa IUU fishing mendapatkan perhatian
dalam World Summit tentang pembangunan berkelanjutan, di Johanesburg, Afrika
Selatan pada September 2002. Keputusannya bahwa IPOA-IUU fishing harus
dilaksanakan oleh negara-negara di dunia paling lama akhir tahun 2004. Peran
pemerintah dalam suatu negara sangat penting dan dijelaskan dalam IPOA-IUU
fishing yang dikeluarkan FAO. Upaya mencegah, menghalangi, dan memberantas
praktik IUU fishing, harus dilaksanakan pemerintah dengan tetap memperhatikan
12
norma dan kaidah hukum laut internasional khususnya yang termuat dalam
UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) 1982.
Tujuan IPOA-IUU fishing adalah untuk mencegah, menghalangi, dan
memberantas IUU fishing dengan menyediakan suatu alat atau langkah yang
komprehensif, transparan, dan efektif bagi semua negara dalam bertindak,
termasuk melalui pengelolaan perikanan yang tepat sesuai dengan hukum
internasional dan regional. FAO mengembangkan IPOA-IUU fishing melalui
upaya koordinasi dengan negara-negara dunia, FAO, RFMO dan lembaga-
lembaga internasional yang terkait seperti IMO (International Maritime
Organization). IPOA-IUU fishing diupayakan membahas semua dampak
ekonomi, sosial dan lingkungan. Akses pelabuhan bagi kapal asing di suatu
pelabuhan atau dermaga lepas pantai untuk tujuan, antara lain meliputi pengisian
bahan bakar, perbekalan, lintas pelayaran dan berlabuh, tanpa mengurangi
kedaulatan suatu negara pantai sesuai dengan hukum nasionalnya dan Konvensi
PBB tahun 1982 serta hukum internasional lainnya yang relevan (FAO, 2001).
IPOA-IUU fishing juga menjelaskan tindakan negara pelabuhan (port state
measures) dalam penanggulangan praktik IUU fishing dengan dasar pengaturan
terkait mekanismenya sebagai berikut1:
1. Pemberitahuan terlebih dahulu sebelum memasuki pelabuhan;
2. Penolakan untuk memasuki pelabuhan;
3. Mempublikasikan pelabuhan yang boleh dimasuki;
4. Pengumpulan data dan informasi;
5. Penyampaian pemberitahuan kepada negara bendera, negara pantai, dan
RFMO tentang kegiatan IUU fishing;
6. Prosedur dan strategi port state control;
7. Integrasi pengaturan mengenai port state control;
8. Tindakan terhadap praktik IUU fishing oleh negara bukan anggota RFMO; dan
9. Kerjasama antar negara dan antar RFMO.
1Diskusi Pembahasan Finalisasi Penyusunan Bahan Pengesahan PSM, Draft Naskah penjelasan Pengesahan Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter, and Eliminate Illegal,
Unreported, and Unregulated Fishing, Bogor, Biro Hukum dan Organisasi KKP, 6 Desember 2011, hlm 23.
13
FAO (2001) menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan aturan pemeriksaan,
negara pelabuhan harus memeriksa kelengkapan informasi kapal dan hasil
pemeriksaannya dikirimkan ke negara bendera dan, jika diperlukan termasuk
organisasi pengelolaan perikanan regional (RFMO). Hal-hal yang diperiksa yaitu
sebagai berikut:
1. Negara bendera dan rincian identifikasi kapal termasuk di dalamnya data
pemilik kapal dan nahkoda kapal;
2. Nama, kewarganegaraan, dan kualifikasi kapten dan ahli penangkapan;
3. Alat penangkapan ikan;
4. Jumlah hasil tangkapan di atas kapal, termasuk asal, jenis, dan kondisi serta
kuantitas;
5. Informasi lainnya yang diwajibkan oleh RFMO; dan
6. Total volume pendaratan hasil tangkapan dan transshipment.
Nikijuluw (2008) menjelaskan beberapa kewajiban pemerintah menurut
IPOA-IUU fishing adalah sebagai berikut:
1. Tidak mengijinkan kapal ikan negaranya menggunakan bendera negara asing
yang tidak melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab untuk memerangi
IUU fishing;
2. Menyikapi dan mengambil tindakan yang sesuai dengan hukum laut
internasional terhadap kapal ikan yang menangkap ikan secara IUU di laut
lepas;
3. Menghindari memberikan bantuan ekonomi dan subsidi kepada perusahaan
atau kapal yang terlibat IUU fishing, sesuai dengan hukum dan kebijakan
nasionalnya; dan
4. Menetapkan sanksi yang berat bagi kapal pelaku IUU fishing secara transparan
dan konsisiten.
2.2.2 Port state measures
FAO megadopsi skema model FAO Port State Measures untuk mencegah,
menghalangi, dan memberantas IUU fishing (FAO Model Scheme on Port State
Measures to Combat Illegal, Unreported and Unregulated Fishing) pada
pertemuan komite perikanan FAO (Committee on Fisheries, COFI FAO) ke-26
14
tahun 2005. FAO Model Scheme on Port State Measures to Combat IUU Fishing
memuat standar minimum aktivitas dan persyaratannya, seperti:
1. Informasi yang diperlukan saat memasuki pelabuhan;
2. Pedoman dan prosedur inspeksi atas kapal saat di pelabuhan;
3. Tindakan yang dapat diambil ketika pengawas menemukan bukti yang cukup
bahwa kapal perikanan asing telah melakukan atau membantu melakukan
praktik IUU fishing;
4. Program pelatihan untuk pengawas dari negara pelabuhan; dan
5. Sistem informasi mengenai pengawasan oleh negara pelabuhan.
Keberadaan IPOA-IUU fishing maupun Model Scheme on Port State
Measures to Combat IUU fishing dirasa masih belum cukup menjadi instrumen
hukum dalam menghadapi IUU fishing. Kondisi ini dikarenakan oleh sifat non-
binding dari IPOA-IUU fishing yang belum memiliki keseragaman standar dan
sistem hukum serta kurang melibatkan partisipasi aktif dari negara pelabuhan
dalam menghadapi IUU fishing. Selanjutnya, pada pertemuan pertemuan komite
perikanan FAO ke-27 Maret 2007, negara-negara anggota FAO telah berhasil
merumuskan Draft Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter and
Eliminate IUU Fishing. Draft Agreement on Port State Measures (kemudian
disebut PSM Agreement) tersebut, diharapkan menjadi suatu instrumen hukum
internasional yang mengikat. PSM Agreement ditujukan untuk meningkatkan
peran negara pelabuhan (port states) dalam mencegah, menghalangi, dan
memberantas IUU fishing. PSM Agreement mampu menciptakan sarana yang
kuat dan ekonomis untuk memerangi IUU fishing2.
Konferensi FAO ke-36 tanggal 22 November 2009, telah berhasil
mengadopsi dokumen PSM Agreement tersebut. Sebanyak 106 negara dari 118
negara yang hadir, mendukung penerimaan resolusi terkait perjanjian ini, dua
negara menolak dan 10 abstain. PSM Agreement telah ditandatangani sembilan
negara yaitu Indonesia, Angola, Brazil, Chile, Uni Eropa, Islandia Norwegia,
Samoa, Amerika Serikat, dan Uruguay. Pasal 26 PSM Ageement menjelaskan
bahwa persetujuan tersebut harus segera diratifikasi, diterima, atau disetujui oleh
pihak yang menandatangani perjanjian. PSM Ageement akan mulai berlaku 30
2Diskusi Pembahasan Finalisasi Penyusunan Bahan Pengesahan PSM, Ibid, hlm 3.
15
hari setelah tanggal depositori atas instrumen ratifikasi, penerimaan, persetujuan,
sesi oleh 25 negara. PSM Agreement terdiri atas 10 (sepuluh) Bagian dan 37
Pasal, yang memuat pengaturan mengenai penerapan ketentuan negara pelabuhan
untuk mencegah, menghalangi, dan memberantas IUU fishing. Selanjutnya PSM
Agreement juga memuat tentang hubungannya dengan instrumen internasional
lainnya; integrasi dan koordinasi pada tingkat nasional; kerja sama dan pertukaran
informasi dengan negara lain; prosedur pelaksanaan kegiatan pemeriksaan dan
penindaklanjutan terhadap kapal masuk ke pelabuhan; peran negara bendera;
persyaratan bagi negara berkembang; penyelesaian sengketa; keberlakukan
agreement bagi non-pihak; serta pemantauan, peninjauan ulang, dan penilaian
terhadap pelaksanaan kegiatan yang tertuang dalam PSM Agreement3.
PSM Ageement menjelaskan suatu alat yang efektif memposisikan negara
pelabuhan untuk melawan IUU fishing melalui posisinya sebagai tujuan dari kapal
asing untuk masuk ke pelabuhan contohnya seperti larangan masuk pelabuhan,
larangan pendaratan, larangan transshipment, dan penolakan jasa pelabuhan
lainnya untuk kapal yang melakukan praktik IUU fishing. Selain itu negara
pelabuhan dapat pula diposisikan sebagai pengawas langsung terhadap kapal dan
sebagai penyelenggara aturan (Fabra et al., 2011).
Lobach (2004) menjelaskan bahwa kontrol negara pelabuhan sangat
relevan untuk konservasi dan pengelolaan perikanan. Negara pelabuhan harus
menargetkan standar dari kapal yang dianggap mampu mendukung tindakan
konservasi dan pengelolaan perikanan. Kontrol negara pelabuhan pada sistem
regional wilayah membutuhkan suatu prosedur umum untuk pemeriksaan,
persyaratan kualifikasi bagi pemeriksa, dan konsekuensi yang disepakati untuk
kapal penangkap ikan yang ditemukan tidak patuh aturan. Setiap pihak yang
ingin mendapatkan akses pelabuhan harus meregistrasikan nelayan dan kapal
yang terlibat. Selanjutnya diharuskan pula memberikan informasi tujuan masuk
kapal, salinan otoritas hasil tangkapan, rincian perjalanan penangkapan, jumlah
serta jenis hasil tangkapan. Hal tersebut dilakukan guna mengetahui terlibat atau
tidaknya suatu kapal dalam praktik IUU fishing.
3Workshop Port State Measures Agreement: Strategi Implementasi dan Evaluasi Kesiapan Indonesia, Term of Reference, Surabaya, Biro Hukum dan Organisasi KKP, 2011, hlm 1.
16
Pengaturan dalam PSM Agreement akan diadopsi pada level regional dan
nasional. Pengadopsian di tingkat regional yaitu melalui Regional Plan of
Actionm (RPOA) to promote responsible fishing practices including combating
illegal, unreported and unregulated fishing, serta ketentuan yang dibuat oleh
Regional Fisheries Management Organizations (RFMOs). Beberapa RFMO yang
telah mengadopsi prinsip-prinsip PSM Agreement yaitu The South East Atlantic
Fisheries Organization (SEAFO), The Indian Ocean Tuna Commission (IOTC),
The Commission for the Conservation of Antartic Living Marine Resources
(CCAMLR), dan The International Commission for Conservation of Atlantic Tuna
(ICCAT). Implementasi PSM Ageement pada level nasional yaitu melalui
peraturan perundang-undangan nasional negara peserta. Beberapa negara
(meskipun belum menjadi pihak pada agreement tersebut) saat ini telah
menerapkan pengaturan mengenai PSM Ageement dalam peraturan perundang-
undangan nasionalnya, seperti Kanada, Amerika, Islandia, dan Afrika Utara4.
Indonesia saat ini telah menjadi anggota dari 2 (dua) RFMO, yaitu IOTC
(diratifikasi dengan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2007 tentang Pengesahan
Agreement for the Establishment of the Indian Ocean Tuna Commission) dan
CCSBT (diratifikasi dengan Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2007 tentang
Pengesahan Convention for the Conservation of Southern Bluefin Tuna)5.
FAO (2009) menjelaskan bahwa PSM Ageement diaplikasikan dengan
tidak mengurangi hak, yurisdiksi, dan tugas nasional suatu negara, sehingga
dalam pelaksanaannya akan diintegrasikan atau dikoordinasikan dengan sistem
yang lebih luas dari kontrol negara pelabuhan. Negara anggota nantinya akan
saling berkoordinasi dan bertukar informasi dengan FAO, organisasi internasional
lain dan RFMO. FAO ataupun RFMO akan memberikan daftar kapal yang terlibat
IUU fishing (IUU vessel list) untuk diantisipasi di negara pelabuhan.
FAO (2009) menjelaskan aturan yang diberlakukan untuk masuk ke
pelabuhan dicantumkan dalam tabel Annex A PSM Ageement (terlampir). Namun
4Workshop Port State Measures Agreement: Strategi Implementasi dan Evaluasi Kesiapan
Indonesia, Ibid, hlm 2. 5Pembahasan Pending Issues Draft Agreement Port State Measures to Prevent, Deter, Eliminate IUU Fishing, Bahan Diskusi Terbatas, Jakarta, Biro Hukum dan Organisasi KKP, 28 Juli 2009, hlm 1.
17
untuk pengecualian yaitu pada saat berbahaya, setiap kapal dapat diijinkan masuk
pelabuhan untuk mendapatkan pertolongan dan bantuan. Selain itu, akan
dilakukan pula pemeriksaan kapal sesuai dengan standar minimum ketentuan dan
prosedur yang diatur dalam Annex B PSM Ageement (terlampir). Pemeriksaan
dilakukan terhadap semua dokumen terkait, semua ruang di kapal, dan semua
peralatan di kapal. Pemeriksaan ini dilakukan dengan tetap menjamin bahwa
kapal tidak akan mendapatkan gangguan, ancaman politik, dan penundaan yang
akan berakibat pada penurunan mutu hasil tangkapan. Hasil pemeriksaan akan
didokumentasikan sebagai laporan dengan ketentuan yang terdapat dalam tabel
Annex C PSM Ageement (terlampir). Laporan ini akan dikirim kepada negara
terkait (negara pantai dan negara bendera), RFMO, dan FAO serta organisasi
internasional relevan lainnya dengan menggunakan sistem informasi sesuai aturan
dalam Annex D dalam dokumen PSM Ageement (terlampir). Pengawas akan
mendapatkan pelatihan dengan panduan yang terdapat dalam Annex E dalam
dokumen PSM Ageement (terlampir).
Selain itu, terdapat beberapa langkah yang harus dilakukan negara
pelabuhan jika mendapati kapal dengan praktik IUU fishing yaitu dilaporkan pada
negara bendera, negara pantai, RFMO, dan organisasi internasional lain atau
ditolak masuk pelabuhan. Penyelesaian terhadap permasalahan yang terjadi dapat
dilakukan dengan perundingan semua negara anggota; atau diajukan negoisasi,
penyelidikan, mediasi, perdamaian, arbitration, penyelesaian hukum, ganti rugi
(uang damai) dan cara damai lainnya; atau diserahkannya kepada pengadilan
internasional. Dokumen PSM Ageement menerangkan adanya perlakuan khusus
kepada negara berkembang yang merupakan negara anggota. Perlakuan tersebut
yaitu meliputi pemberian bantuan seperti bantuan peningkatan kualitas
sumberdaya manusia untuk peningkatan kesadaran dalam implementasi PSM
Ageement, bantuan fasilitas pendukung dan fasilitas teknik, serta bantuan finansial
terutama pada wilayah tertinggal dan pulau kecil. Dokumen PSM Ageement
diterbitkan dengan 6 (enam) bahasa sebagai naskah otentik yaitu dalam bahasa
Arab, Cina, Inggris, Perancis, Rusia, dan Spanyol (FAO, 2009).
FAO (2009) menerangkan butir-butir yang diwajibkan kepada negara
pelabuhan dalam dokumen PSM Ageement adalah sebagai berikut:
18
1. Memastikan kegiatan perikanan yang terjadi di pelabuhan adalah menjamin
perlindungan jangka panjang dan keberlangsungan pemanfaatan sumberdaya
ikan (kegiatan pengelolaan dan konservasi);
2. Melakukan pemeriksaan yaitu:
1) pemeriksaan dokumen perijinanan atau otoritas penangkapan;
2) pemeriksaan dokumen identitas kapal (negara bendera, jenis kapal dan
penanda kapal meliputi nama, nomor registrasi eksternal, nomor
identifikasi IMO);
3) pemeriksaan radio komunikasi penanda internasional, dan penanda
lainnya serta data VMS (Vessel Monitoring System) dari negara bendera
atau RFMO;
4) pemeriksaan logbook;
5) pemeriksaan hasil tangkapan, transshipment, perdagangan;
6) pemeriksaan daftar awak kapal;
3. Pemeriksaan seluruh bagian kapal (meliputi palkah, semua ruangan di atas
kapal, dan dimensi kapal) serta alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu
penangkapan ikan;
4. Memastikan bahwa hasil pemeriksaan fisik sesuai dengan keterangan yang
terdapat dalam dokumen dan hasil wawancara dengan kapten atau pihak
kapal;
5. Membuat laporan hasil pemeriksaan yang kemudian ditandatangani oleh
pengawas dan kapten kapal;
6. Melakukan pelatihan untuk pengawas atau pemeriksa; dan
7. Jika memungkinkan, menggunakan sistem informasi dengan kode
internasional (meliputi kode negara, kapal, alat tangkap, jenis hasil
tangkapan) seperti berikut.
countries/territories: ISO-3166 3-alphaCountry Code
species: FAO 3-alpha code
vessel types: FAO alpha code
gear types: FAO alpha code
devices/attachments: FAO 3-alpha code
ports: UN LO-code
19
2.3 Hukum Indonesia
2.3.1 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Jo. Undang-Undang Nomor
31 Tahun 2004 tentang Perikanan
Kementerian Kelautan dan Perikanan (2010) menjelaskan bahwa
Indonesia memiliki produksi perikanan tangkap 4.957.098 ton pada tahun 2008.
Nilai ini adalah bukti yang nyata bahwa Indonesia merupakan negara yang
memiliki potensi besar dalam perikanan tangkap. Hal ini tergambar bahwa
produksi perikanan tangkap tersebut merupakan terbesar ketiga di dunia (Tabel 2).
Namun, nilai tersebut menuntut suatu pemanfaatan sumberdaya perikanan yang
berkelanjutan, sehingga diharapkan dapat memberikan manfaat berkelanjutan.
Salah satunya dapat dilakukan dengan pengendalian usaha perikanan melalui
pengaturan pengelolaan perikanan.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan pada Pasal 5
ayat (2) menjelaskan bahwa penyelenggaraan pengelolaan perikanan di luar
wilayah perikanan Republik Indonesia, didasarkan pada peraturan perundang-
undangan, persyaratan, dan/standar internasional yang diterima secara umum. Hal
ini menerangkan bahwa Indonesia sangat mendukung suatu kegiatan perikanan
yang memperhatikan konservasi dan pengelolaannya. Sedangkan, pada Pasal 6
ayat (1) menjelaskan bahwa upaya pengelolaan perikanan tersebut dimaksudkan
untuk tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya
kelestarian sumberdaya ikan. Keikutsertaan pemerintah dalam keanggotaan
lembaga atau organisasi regional dan internasional dalam rangka kerjasama
pengelolaan perikanan regional dan internasional adalah langkah yang dijelaskan
pada Pasal 10.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 hadir sebagai antisipasi dan solusi
yang berkaitan dengan ketersediaan sumber daya ikan, kelestarian lingkungan
sumber daya ikan, maupun perkembangan metode pengelolaan perikanan yang
semakin efektif, efisien, dan modern. Namun kemudian undang-undang tersebut
dianggap perlu dilakukannya perubahan karena dirasa terdapat kekurangan
dengan berjalannya waktu, sehingga ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 45
Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
20
tentang Perikanan. Perubahan tersebut dilakukan untuk lebih meningkatkan
regulasi dan kinerja dalam pelaksanaan undang-undang tersebut.
Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, bahwa
pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982
yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985, memposisikan
Indonesia memiliki hak berdaulat (sovereign rights) untuk melakukan
pemanfaatan, konservasi, dan pengelolaan sumber daya ikan di Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia (ZEEI), dan laut lepas yang dalam pelaksanaannya didasarkan
pada persyaratan atau standar internasional yang berlaku, sehingga perlu dasar
hukum untuk pengelolaan sumberdaya ikan dan mengantisipasi perkembangan
kebutuhan hukum dan teknologi.
2.3.2 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER.28/MEN/2009 tentang Sertifikasi Hasil Tangkapan Indonesia sangat menentang dan berupaya untuk melawan praktik IUU
fishing. Hal ini tergambar dari aturan Indonesia yang mengarah ke regulasi yang
memperkecil kemungkinan terjadinya IUU fishing. Keputusan Menteri Kelautan
dan Perikanan Republik Indonesia Nomor PER.28/MEN/2009 tentang Sertifikasi
Hasil Tangkapan adalah salah satu aturan Indonesia yang berupaya melawan
praktik IUU fishing. Pasal 1 dalam keputusan menteri tersebut menjelaskan
bahwa Sertifikat Hasil Tangkapan (Catch Certificate) adalah surat keterangan
yang dikeluarkan oleh kepala pelabuhan perikanan yang ditunjuk oleh yang
menyatakan bahwa hasil tangkapan ikan bukan dari kegiatan IUU fishing.
Batasan pemberlakuan atau penggunaan Sertifikat Hasil Tangkapan tersebut
dijelaskan pada pasal 2 bahwa setiap produk perikanan laut yang merupakan hasil
tangkapan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia yang akan diekspor baik
langsung maupun tidak langsung ke Uni Eropa dilengkapi dengan Sertifikat Hasil
Tangkapan Ikan.
21
2.3.3 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER.12/MEN/2009 Jo. PER.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan
Tangkap
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor
PER.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap dalam Pasal 1 menjelaskan
pengertian beberapa surat ijin yaitu SIUP, SIPI, dan SIKPI. SIUP (Surat Ijin
Usaha Perikanan) adalah ijin tertulis yang harus dimiliki perusahaan perikanan
untuk melakukan usaha perikanan dengan menggunakan sarana produksi yang
tercantum dalam ijin tersebut. SIPI (Surat Ijin Penangkapan Ikan) adalah ijin
tertulis setiap kapal perikanan untuk melakukan penangkapan ikan. SIKPI (Surat
Ijin Kapal Pengangkut Ikan) adalah ijin tertulis setiap kapal perikanan untuk
melakukan pengumpulan dan pengangkutan ikan. Peraturan Menteri Kelautan
dan Perikanan Nomor PER.12/MEN/2009 tentang Perubahan Atas
PER.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap, yaitu Pasal 46
menjelaskan tentang pemeriksaan fisik kapal, alat penangkapan ikan, dan
dokumen kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan dalam mengurus
SIPI atau SIKPI. Penerbitan perizinan kapal sendiri telah diatur dalam Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2008 pada Bab VII tentang
kewenangan penerbitan perizinan yaitu SIUP, SIPI, dan/atau SIKPI. Menteri
dapat mendelegasikan penerbitan perizinan tersebut kepada Gubernur (untuk
kapal berukuran di atas 10 GT (Gross Tonnage) sampai dengan 30 GT) dan
Bupati atau Walikota (untuk kapal berukuran di atas 5 GT sampai dengan 10 GT)
dengan pertimbangan aturan tertentu seperti penggunaan tenaga kerja di kapal
baik asing atau kapal Indonesia, wilayah domisili, dan wilayah operasi
penangkapannya. Selain itu, untuk kapal yang berukuran diatas 30 GT sampai
dengan 60 GT diatur dalam Bab II Pasal 2 Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor PER.16/MEN/2010. Pemberian kewenangan penerbitan SIPI
dan SIKPI untuk kapal perikanan berukuran diatas 30 GT sampai dengan 60 GT
kepada Gubernur (yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Kepala Dinas
Kelautan dan Perikanan), namun didasarkan pada Surat Ijin Usaha Perikanan
(SIUP) yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Perikanan Tangkap. Tata cara
penerbitan perizinan usaha perikanan tangkap telah diatur pula pada Bab VIII
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2008.
22
Pengawasan dan pengendaliannya di lapang, diatur Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan
Tangkap dalam Pasal 78 yaitu melalui sistem pemantauan, pengendalian, dan
pemeriksaan lapangan terhadap operasional dan dokumen kapal perikanan, UPI
(Unit Penangkapan Ikan), dan ikan hasil tangkapan oleh pengawas perikanan. Hal
lainnya yang diwajibkan, seperti kewajiban kapal penangkap ikan dan/atau kapal
pengangkut ikan berbendera asing memasang dan mengaktifkan transmitter atau
sistem pemantauan kapal perikanan (vessel monitoring system atau VMS) serta
mengisi logbook perikanan yang kemudian diserahkan Direktur Jenderal melalui
kepala pelabuhan perikanan setempat atau pelabuhan pangkalan yang ditetapkan
dalam SIPI, diatur dalam pasal 88. Menteri Kelautan dan Perikanan
mengeluarkan Peraturan terbarunya pada juni tahun 2011 yaitu
PER.14/MEN/2011 tentang Usaha Perikanan Tangkap akan menggantikan
PER.12/MEN/2009 tentang Perubahan Atas PER.05/MEN/2008 tentang Usaha
Perikanan Tangkap. Namun dalam waktu penelitian ini PER.14/MEN/2011
masih belum diberlakukan secara efektif karena mulai berlakunya yaitu setelah 6
(enam) bulan sejak tanggal pengundangan (6 Juni 2011).
2.3.4 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER.27/MEN/2009 tentang Pendaftaran dan Penandaan Kapal
Perikanan
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.27/MEN/2009
tentang Pendaftaran dan Penandaan Kapal Perikanan menjelaskan bahwa setiap
kapal perikanan milik orang atau badan hukum Indonesia yang dioperasikan untuk
kegiatan usaha perikanan tangkap di wilayah pengelolaan perikanan negara
Republik Indonesia dan/atau laut lepas wajib didaftarkan sebagai kapal perikanan
Indonesia dengan persyaratan yang telah ditentukan. Pendaftaran kapal perikanan
adalah kegiatan pencatatan kapal perikanan yang dimuat dalam buku kapal
perikanan.
Buku kapal perikanan sekurang-kurangnya memuat informasi:
1) nama kapal;
2) nomor register;
3) tempat pembangunan kapal;
23
4) tipe kapal;
5) jenis alat tangkap;
6) tonnage;
7) panjang kapal;
8) lebar kapal;
9) kekuatan mesin;
10) foto kapal;
11) nama dan alamat pemilik;
12) nama pemilik sebelumnya; dan
13) perubahan-perubahan yang terjadi dalam buku kapal perikanan
Penandaan kapal perikanan adalah kegiatan untuk memberi tanda atau
notasi kapal perikanan. Kapal perikanan yang telah dilengkapi dengan buku kapal
perikanan dan SIPI atau SIKPI diberi tanda pengenal kapal perikanan. Tanda
pengenal kapal perikanan sebagaimana yang dimaksud meliputi:
1) tanda selar;
2) tanda daerah penangkapan ikan;
3) tanda jalur penangkapan ikan; dan/atau
4) tanda alat penangkapan ikan.
Spesifikasi tanda tersebut disesuaikan dengan kondisi kapal dan lain hal
sebagainya. Sedangkan untuk kapal yang beroperasi di wilayah organisasi
pengelolaan perikanan regional atau RFMO akan diberikan tanda khusus yang
diatur oleh organisasi pengelolaan perikanan regional atau RFMO tersebut. Hal
ini diharapkan mampu untuk memberikan perbedaan antara kapal yang memang
terdaftar secara legal di negara tertentu dengan kapal yang terindikasi melakukan
praktik IUU fishing. Selain keseluruhan aturan yang telah disebutkan diatas,
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2007 tentang
Penyelengaraan Sistem Pemantauan Kapal, juga merupakan aturan yang dapat
mengontrol kapal perikanan untuk tidak melakukan praktik IUU fishing.
24
2.3.5 Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
KEP.11/MEN/2004 tentang Pelabuhan Pangkalan Bagi Kapal
Perikanan
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.11/MEN/2004
tentang Pelabuhan Pangkalan Bagi Kapal Perikanan juga menjelaskan kewajiban
kapal perikanan untuk memberikan laporan pada pihak pelabuhan. Hal ini
tercantum dalam Bab V tentang pelaporan dalam Pasal 5. Adapun pada saat akan
dimulai maupun setelah selesai melakukan penangkapan dan/atau pengangkutan
ikan nahkoda atau pengurus kapal perikanan wajib melapor kedatangan dan/atau
keberangkatannya kepada kepala pelabuhan perikanan atau petugas yang ditunjuk
di pelabuhan pangkalan atau di pelabuhan muat atau singgah sebagaimana
tercantum dalam SIPI atau SIKPI dengan ketentuan sebagai berikut:
1) Dalam waktu sekurang-kurangnya 3 (tiga) jam sebelum meninggalkan
pelabuhan pangkalan untuk melakukan penangkapan dan/atau pengangkutan
ikan wajib memberitahukan keberangkatannya kepada Kepala Pelabuhan
Perikanan atau petugas yang ditunjuk, untuk:
1) pemeriksaan dokumen perijinan kapal perikanan;
2) pemeriksaan sarana penangkapan dan/atau pengangkutan ikan;
3) menerima formulir logbook Perikanan;
4) pemeriksaan lainnya yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan
di bidang perikanan.
2) Setelah selesai melakukan kegiatan penangkapan dan/atau pengangkutan ikan,
kapal perikanan wajib masuk ke pelabuhan pangkalan atau di pelabuhan muat
atau singgah dan segera melaporkan kedatangannya kepada Kepala Pelabuhan
Perikanan atau petugas yang ditunjuk, untuk:
1) pemeriksaan hasil tangkapan dan/atau ikan yang diangkut;
2) menyerahkan formulir log book Perikanan yang telah diisi.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
KEP.11/MEN/2004 tersebut, telah jelas hal-hal apa saja yang harus dilaporkan
oleh nahkoda atau pengurus kapal perikanan kepada pihak pelabuhan. Sanksi atas
pelanggaran kewajiban tersebut, tercantum pula pada Bab VI Sanksi, Pasal 6
dengan sanksi terberat yaitu pembekuan atau pencabutan SIPI (Surat Ijin
Penangkapan Ikan) atau SIKPI (Surat Ijin Kapal Pengankut Ikan). Surat ijin dan
25
regulasi pelaporan masuk dan keluarnya kapal dari atau ke pelabuhan ini,
merupakan langkah yang menjaga keberlanjutan perikanan dan melawan praktik
IUU fishing. Proses pelaporan masuk dan keluarnya kapal akan dilanjutkan
dengan pemeriksaan menyeluruh terkait ijin, kondisi, dan muatan kapal. Setiap
data hasil tangkapan dari kegiatan penangkapan yang diperlukan untuk
dipergunakan dalam pertimbangan keadaan potensi sumberdaya ikan ke
depannya. Keseluruhan aturan nasional yang disebutkan diatas tersebut
mengarahkan pada tindakan untuk mengatasi dan mengurangi praktik IUU
fishing. Proses perijinan, pengawasan, pelaporan, dan pemeriksaan kapal di
pelabuhan perikanan diharapakan dapat memperkecil kemungkinan akan
berlangsungnya IUU fishing.
2.4 Negara Pelabuhan
Pelabuhan perikanan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan perairan
di sekitarnya sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis
perikanan yang dipergunakan sebagai tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh
dan bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran
dan kegiatan penunjang perikanan (Pasal 1 Angka 23 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2004). Pasal 7 Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
KEP.10/MEN/2004 tentang Pelabuhan Perikanan, menjelaskan fungsi pelabuhan
perikanan yaitu salah satunya sebagai pelaksana pengawasan terhadap
penangkapan, penanganan, pengolahan, pemasaran, dan mutu hasil perikanan.
Negara pelabuhan adalah negara dalam kapasitasnya yang memiliki pelabuhan di
wilayah teritorinya, memiliki hak untuk memutuskan aturan yang diberlakukan
dalam pelabuhan tersebut.
Darmawan (2006) menjelasakan bahwa terdapat 6 (enam) program atau
kewajiban yang direkomendasikan oleh FAO kepada Indonesia dalam cakupan
sebagai negara pelabuhan dan 4 (empat) diantaranya dianalisis telah dijalankan di
Indonesia. Enam kewajiban tersebut adalah sebagai berikut (butir pertama sampai
butir keempat adalah yang telah dijalankan):
26
1. Mewajibkan kapal ikan asing untuk menyediakan minimal pemberitahuan awal
kedatangan ke pelabuhan yang cukup, salinan ijin penangkapan ikan, rincian
operasi penangkapan yang dilakukan dan jumlah hasil tangkapan di kapal;
2. Mewajibkan kapal jenis lain tetap terkait dengan usaha penangkapan untuk
menyediakan laporan yang sama;
3. Memberikan akses hanya pada pelabuhan yang memiliki kapabilitas untuk
melakukan inspeksi dan mengumpulkan data berikut yaitu :
1) identifikasi kapal dan asal negara,
2) nama, kebangsaan dan kualifikasi kapten dan ahli penangkapan ikan,
3) alat tangkap yang digunakan,
4) jumlah hasil tangkapan, asal, spesies dan bentuk produk,
5) total penangkapan dan yang telah dipindahkan ke kapal lain;
4. Melakukan penegakkan hukum terhadap pelanggaran yang dilakukan di
wilayah perairannya;
5. Bila terdapat kecurigaan terhadap kapal yang dimaksud, maka:
1) melarang kapal untuk merapat atau memindahkan hasil tangkapannya,
2) segera mengirim laporan pada negara asal kapal,
3) segera mengirim laporan pada negara dimana kapal tersebut melakukan
pelangaran;
6. Melakukan penegakkan hukum terhadap pelanggaran yang dilakukan di luar
yurisdiksi dengan persetujuan negara asal (pemberi bendera).
Nikijuluw (2008) menjelaskan bahwa pelaku praktik IUU fishing akan
mendaratkan hasil tangkapannya di suatu pelabuhan. Suatu negara pelabuhan
memiliki wewenang untuk memberikan ijin akses pelabuhan oleh suatu kapal di
wilayah yurisdiksinya. Suatu negara pelabuhan mampu membatasi dan mengatur
penggunaan pelabuhannya untuk mengatasi praktik IUU fishing. Setiap negara
memiliki otoritas penuh atas pelabuhannya. Pemerintah atau pihak negara
pelabuhan memiliki beberapa kewajiban dalam memanfaatkan pelabuhan
perikanannya, yaitu :
1. Mencegah masuknya kapal asing ke pelabuhan terkecuali dalam situasi yang
darurat;
27
2. Melarang kapal asing mendaratkan atau melakukan transshipment hasil
tangkapan di pelabuhannya;
3. Mewajibkan kapal yang ingin berlabuh untuk menyiapkan informasi tentang
identitas dan aktivitas penangkapan ikan yang dilakukan;
4. Melakukan inspeksi kapal di pelabuhan; dan
5. Mewajibkan kapal melengkapi salinan surat ijin penangkapan ikan, uraian rinci
tentang trip, dan volume ikan yang akan didaratkan.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dalam Pasal 41
menjelaskan bahwa pelabuhan perikanan merupakan tempat mendaratkan ikan
hasil tangkapan dari kapal penangkap ikan maupun kapal pengangkut ikan.
Indonesia dapat dikategorikan sebagai negara pelabuhan yang memiliki akses
pelabuhan perikanan. FAO (2001) menjelaskan, akses pelabuhan dapat diartikan
sebagai ijin masuknya kapal penangkap ikan asing kepelabuhan atau dermaga
lepas pantai untuk tujuan, antara lain pengisian bahan bakar, perbekalan, lintas
pelayaran dan berlabuh, tanpa mengurangi kedaulatan suatu negara pantai sesuai
dengan hukum nasionalnya dan Konvensi PBB tahun 1982 serta hukum
internasional lainnya yang relevan.
Analisis Darmawan dilakukan sebelum hadirnya dokumen PSM Ageement
(tahun 2009) yaitu pada tahun 2006. Draft Agreement on Port State Measures to
Prevent, Deter and Eliminate IUU Fishing hadir baru pada tahun 2007, sedangkan
PSM Ageement di adopsi pada tahun 2009 oleh FAO. Namun sebelumnya peran
negara pelabuhan dalam melawan IUU fishing telah dimuat dalam dokumen
IPOA-IUU fishing tahun 2000. Hal yang sama terkait peran negara pelabuhan
juga pernah dijelaskan oleh Nikijuluw pada tahun 2008. Kesemuaan penjabaran
tersebut, tidak begitu mengalami perbedaan yang nyata dalam kurun waktu
pembahasannya. Hanya saja terdapat pengembangan secara mendetail pada
beberapa poin pada peran negara pelabuhan dalam melawan IUU fishing tersebut.
Kehadiran PSM Ageement tentu sangat mendetail untuk setiap kewajiban negara
pelabuhan.
Pengesahan PSM Ageement merupakan upaya untuk melindungi kekayaan
laut dari penjarahan nelayan asing dan sekaligus melengkapi penguatan rezim
nasional (khususnya hukum laut dan perikanan). Setiap pihak atau negara
28
anggota nantinya wajib menunjuk dan mempublikasikan pelabuhan yang
memungkinkan masuknya kapal perikanan ke pelabuhan. Daftar pelabuhan yang
ditunjuk tersebut, diserahkan kepada FAO untuk dipublikasikan. Negara
pelabuhan adalah pelaku pemeriksaan terhadap kapal di pelabuhannya. Setelah
melakukan pemeriksaan, negara pelabuhan memiliki kuasa untuk menolak masuk
dan menolak penggunaan pelabuhan bagi kapal yang terlibat IUU fishing. Hal ini
harus diberitahukan kepada Negara Bendera (apabila perlu negara pantai, RFMO,
dan organisasi lainnya). Negara pelabuhan harus (jika memungkinkan)
membangun mekanisme komunikasi elektronik secara langsung dengan
mempertimbangkan persyaratan kerahasiaan6.
2.5 Teknik Pengambilan Sampel
Sampel adalah suatu contoh yang merupakan himpunan bagian dari
populasi. Suatu penelitian akan memiliki keterbatasan untuk dapat menampung
semua anggota populasi, sehingga diperlukan pengambilan sampel yang dapat
mewakili populasi tersebut. Gulo (2000) menjelaskan bahwa teknik pengambilan
sampel dibagi atas dua kelompok besar yaitu probability sampling dan
nonprobability sampling. Probability sampling (random sample) adalah
pengambilan sampel yang tidak didasarkan pada pertimbangan pribadi tetapi
tergantung kepada aplikasi kemungkinan. Derajat keterwakilannya dapat
diperhitungkan pada peluang tertentu. Sampel yang diperoleh dapat dipergunakan
untuk melakukan generalisasi terhadap populasi. Beberapa cara yang tergolong
dalam probability sampling yaitu simple random samplimg, stratified random
sampling, cluster random sampling, dan multistage random sampling. Random
sampling memberikan peluang yang sama besar terhadap setiap anggota populasi
untuk dapat diambil sebagai sampel.
Nonprobability sampling (non-random sample) adalah suatu teknik
pengambilan sampel yang dapat dilakukan apabila tidak dibutuhkan generalisasi
dan penelitian perlu dilakukan secara cepat (Abadi, 2006). Eriyanto (2007)
menambahkan bahwa nonprobability sampling cenderung menghasilkan
subjektivitas peneliti yang sesuai dengan subjektivitas peneliti. Pihak yang
6Diskusi Pembahasan Finalisasi Penyusunan Bahan Pengesahan PSM, Op Cit, hlm 8-10.
29
diwawancarai bukan sampel yang terpilih lewat prinsip hukum probabilitas,
melainkan karena alasan-alasan subjektivitas. Teknik nonprobability sampling
(non-random sample) dibagi ke dalam beberapa metode sebagai berikut:
1. Convenience
Convenience adalah teknik penarikan sampel yang dilakukan tanpa
mekanisme tertentu (sembarang). Penarikan sampel tidak membebani berapa dan
siapa sampelnya. Kelebihan teknik ini adalah dapat dilakukan dengan waktu yang
cepat dan biaya yang murah, namun kelemahannya yaitu di sisi metodologi yaitu
berkemungkinan terjadi penumpukan disuatu titik. Sampel yang ditemukan
sangat berkemungkinan untuk bias, karena ada kemungkinan peneliti
mendapatkan respon yang sangat tidak mencerminkan karakteristik populasi. Hal
ini terjadi karena teknik ini terlalu praktis dan tanpa prosedur. Sampel ini
sebaiknya digunakan dalam keadaan tertentu seperti:
1) keperluan penjajakan (penjaringan pendapat) yang hanya merupakan bahan
rancangan pembuatan kuisioner untuk studi lain;
2) keperluan deskripsi yang hanya untuk merumuskan pendapat masyarakat
untuk membuat suatu kesimpulan; dan
3) situasi yang tidak tersedia kerangka sampel yang memadai atau tidak ada
infomasi yang cukup mengenai populasi yang diteliti.
2. Quota (kuota)
Teknik quota adalah perbaikan dari teknik Convenience. Teknik kuota
memberikan batasan kriteria dan jumlah sampel yang akan diambil. Terdapat dua
langkah penarikan sampel kuota. Langkah pertama, membuat kategori dan
jumlah pihak yang akan menjadi sampel yang dituangkan ke dalam matriks. Hal
inilah yang menjadi dasar pemilihan responden. Sampel kuota mirip gabungan
antara sampel stratifikasi (Stratified sampling) dan sampel sembarangan
(Convenience sampling). Peneliti membuat pengelompokan agar sesuai dengan
stratifikasi dalam populasi, namun pemilihan sampe dapat dipilih siapapun asal
sesuai dengan karakteristik yang ditentukan. Proses penting dari sampel ini
adalah saat menentukan kategori dan jumlah orang dalam masing-masing
kategori. Penentuan kategori ini sebisa mungkin ditunjang dengan riset
kepustakaan agar kategori yang dibuat sesuai dengan kategori populasi.
30
3. Purposive
Sampel purposive dilakukan melalui pemilihan sampel dengan
pertimbangan tertentu dari peneliti yang secara sengaja namun dengan alasan
yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Populasi sampel dianggap
memiliki karakter yang homogen.
4. Snowball
Sampel snowball yaitu sesuai dengan definisi kata ‘snowball’ artinya
mengelinding dengan bulatan kecil dan terus-menerus hingga menjadi besar.
Dalam perkembangannya jumlah orang yag dijadikan sampel akan terus
berkembang sampai jumlah terpenuhi. Teknik sampel ini dipakai pada kondisi
survei yang sangat spesifik, tidak ada kerangka sampel, dan tidak ada informasi
yang digunakan untuk mendata populasi. Asumsinya bahwa anggota dari
populasi saling berhubungan dan berjaringan. Penentuan beberap sampel akan
secara langsung dapat menentukan sampel berikutnya.
31
3 METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat
Kegiatan penelitian dengan judul “Analisis Praktik IUU (Illegal,
Unreported, and Unregulated) Fishing dan Upaya Penanganannya melalui
Adopsi Mekanisme Port State Measures di Pelabuhan Perikanan Samudera
Nizam Zachman Jakarta” dilaksanakan pada bulan Juli 2011 sampai Januari 2012
di PPS Nizam Zachman Jakarta dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)
Republik Indonesia. Penelitian ini bersifat studi kasus dengan lokasi kasus di PPS
Nizam Zachman Jakarta. Penelitian diarahkan untuk melihat kesiapan PPS Nizam
Zachman Jakarta terhadap rencana Indonesia dalam meratifikasi dokumen port
state measure agreement. Kesiapan ini menitikberatkan pada teknis inspeksi yang
dilakukan oleh negara pelabuhan dalam mencegah, menghalangi, dan
memberantas praktik IUU fishing. Kesiapan ini dilihat melalui butir-butir yang
telah dirangkum dari dokumen port state measure agreement (kemudian disebut
PSM Agreement).
3.2 Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data
Data yang dibutuhkan dalam penelitian kali ini terdiri dari data primer dan
data sekunder. Berikut disajikan data primer dan data sekunder yang diperlukan
dalam penelitian ini.
Tabel 3 Data primer penelitian No. Data Sumber data Cara pengumpulan Cara pengolahan
1. Kesesuaian kewajiban negara pelabuhan mengacu dari dokumen port
state measure
agreement terhadap adopsi aturan nasional
Referensi pustaka internasional dan aturan hukum Indonesia
Referensi Dokumen Daftar periksa (check list) dan analisis deskriptif
Kepala pelabuhan, kepala syahbandar dan pengawas perikanan di PPS Nizam Zachman Jakarta, serta Kementerian Kelautan dan Perikanan
Wawancara
32
Tabel 3 Data primer penelitian (lanjutan) No. Data Sumber data Cara pengumpulan Cara pengolahan
2. Kesesuaian kewajiban negara pelabuhan mengacu dari dokumen port
state measure
agreement di PPS Nizam Zachman Jakarta
Kepala pelabuhan, kepala syahbandar dan pengawas perikanan di PPS Nizam Zachman Jakarta
Wawancara Daftar periksa (check list) dan analisis deskriptif
Tabel 4 Data sekunder penelitian No. Data Sumber data Cara pengumpulan Cara pengolahan
1. Data IUU Vessel list
Situs resmi RFMO terkait
Referensi dokumen Analisis deskriptif
Pengumpulan data pada penelitian ini yaitu dilakukan melalui studi
pustaka dan wawancara. Tujuan penelitian melalui studi pustaka atau
kepustakaan adalah untuk mengadakan identifikasi terhadap pengertian-
pengertian pokok dalam hukum seperti subjek hukum, objek hukum, peristiwa
hukum, hubungan hukum dan lain-lain (Amalia dan Putri, 2008). Studi
kepustakaan ini ditelusuri melalui sumber buku, artikel jurnal, hasil seminar atau
workshop, dan beberapa kajian pemerintah yang terkait dengan port state mesures
dan IUU fishing. Selain itu identifikasi tersebut juga dapat diperkuat melalui
pengamatan (observasi) dan wawancara (interview). Wawancara dilakukan pada
sampel yang telah ditentukan sebelumnya.
Penelitian ini menjelaskan suatu regulasi hukum internasional yang ada
pada dokumen port state measure agreement dalam mencegah, menghalangi, dan
memberantas IUU fishing. Penelitian ini juga menguraikan regulasi yang ada di
Indonesia sebagai suatu hubungan yang menggambarkan kesiapan Indonesia
dalam rencana ratifikasi dokumen tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini bersifat
eksploratif dan deskriptif. Absah (2007) menjelaskan bahwa penelitian
eksploratif adalah jenis penelitian yang berusaha mencari ide-ide atau hubungan-
hubungan yang baru, sedangkan penelitian deskriptif merupakan penelitian yang
bertujuan menguraikan sifat-sifat atau karakteristik dari suatu fenomena tertentu.
Abadi (2006) menjelaskan bahwa penelitian eksploratif dimaksudkan
untuk memberikan pemahaman dan penjelasan awal tentang suatu fenomena
33
secara kualitatif. Pemahaman dan penjelasan suatu fenomena secara kualitatif
tersebut, dapat didukung dengan teknik pengambilan sampel melalui non-random
sample. Non-random sample (nonprobability sampling) adalah suatu teknik
pengambilan sampel yang dapat dilakukan apabila tidak dibutuhkan generalisasi
dan penelitian perlu dilakukan secara cepat. Non-random sample memiliki unsur
populasi yang dipilih atas dasar ketersediannya atau karena menurut penilaian
peneliti sampel tersebut cukup mewakili populasi, sesuai tuntutan penelitiannya.
Penelitian ini memilih sampel yaitu pada instansi atau pihak tertentu yang
merupakan pelaku intinya. Pelaku inti ini mampu mewakili populasi dan sesuai
dengan tuntutan penelitian sebagai pelaku dunia perikanan. Pelaku tersebut antara
lain Kementerian Kelautan dan Perikanan yaitu Direkorat Jenderal Perikanan
Tangkap (Direktorat Pelabuhan Perikanan dan Direktorat Sumberdaya Ikan),
Direktorat Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan, serta Biro
Hukum dan Organisasi. Sedangkan pelaku inti di PPS Nizam Zachman Jakarta
yaitu Kepala PPS Nizam Zachman Jakarta, Kepala Syahbandar PPS Nizam
Zachman Jakarta, Pengawas Perikanan PPS Nizam Zachman Jakarta, dan
beberapa pihak lainnya. Pelaku inti tersebut mempunyai karakteristik kunci yang
memungkinkan untuk dikaji dan diambil berdasarkan pertimbangan yang bersifat
ilmiah.
Sampel acak (random sample) tidak diperlukan jika peneliti ingin
menjelaskan kondisi-kondisi yang khusus dengan pendekatan eksploratif (Losh
2000 dalam Abadi, 2006). Teknik non-random sample dalam penelitian ini
adalah purposive sampling. Purposive sampling akan memilih sampel
berdasarkan pada kondisi khusus yang dianggap mampu mengindikasikan
karakter populasi atau dengan kata lain populasi tersebut bersifat homogen
(sama). Kesamaan dalam penelitian ini diasumsikan bahwa pemahaman suatu
aturan atau regulasi hukum adalah sama dalam lingkup suatu instansi negara,
sehingga hanya cukup diwakili oleh beberapa pihak saja (pelaku inti). Data yang
diperoleh akan diolah melalui daftar periksa (check list) dan analisis deskriptif.
34
3.3 Metode Analisis Data
Penelitian “Analisis Praktik IUU (Illegal, Unreported, Unregulated)
Fishing dan Upaya Penanganannya melalui Adopsi Mekanisme Port State
Measures di Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman Jakarta”
menggunakan analisis deskriptif terhadap data yang diperoleh. Analisis deskriptif
dalam penelitian ini dilakukan dengan alat analisis yaitu yuridis komparatif.
Lambang (2009) menjelaskan bahwa yuridis komparatif adalah pendekatan
berdasarkan pertimbangan atau perbandingan hukum. Penggunaan pendekatan
yuridis komparatif erat kaitannya dari usaha pembaharuan hukum pidana di
Indonesia. Data berupa informasi hukum akan dianalisis dengan membandingkan
butir demi butir atau pasal demi pasal ketentuan yang terkait parameter dalam port
state measures dengan hukum Indonesia. Kemudian dilakukan pula analisis atas
perbandingan tersebut dengan pelaksanaannya di PPS Nizam Zachman Jakarta.
3.4 Metode Pembahasan
Data yang diperoleh dan telah dianalisis akan dibahas secara deskriptif.
Hal ini diharapkan dapat menjawab dari tujuan dilaksanakannnya penelitian ini,
yaitu menganalisis kesiapan hukum Indonesia dalam menerapkan kebijakan port
state measure agreement (PSM Agreement) untuk mencegah, menghalangi, dan
memberantas praktik IUU fishing. Selain itu, kesiapan PPS Nizam Zachman
Jakarta dapat ditentukan melalui analisis berbagai butir kewajiban negara
pelabuhan yang disyaratkan dalam suatu port state measure agreement pada
pelaksanaannya di lapang. Analisis ini akan memberikan penjelasan dan
mengoreksi pelaksanaan yang telah ada serta memberikan rekomendasi perbaikan
atau peningkatan kinerja ke arah yang lebih baik lagi.
Butir-butir yang diwajibkan, menurut FAO (2009) kepada negara
pelabuhan yaitu sebagai berikut:
1. Memastikan kegiatan perikanan yang terjadi di pelabuhan adalah menjamin
perlindungan jangka panjang dan keberlangsungan pemanfaatan sumberdaya
ikan (kegiatan pengelolaan dan konservasi);
2. Melakukan pemeriksaan yaitu:
1) pemeriksaan dokumen perijinanan atau otoritas penangkapan;
35
2) pemeriksaan dokumen identitas kapal (negara bendera, jenis kapal dan
penanda kapal meliputi nama, nomor registrasi eksternal, nomor
identifikasi IMO);
3) pemeriksaan radio komunikasi penanda internasional, dan penanda lainnya
serta data VMS (Vessel Monitoring System) dari negara bendera atau
RFMO;
4) pemeriksaan logbook;
5) pemeriksaan hasil tangkapan, transshipment, perdagangan; dan
6) pemeriksaan daftar awak kapal;
3. Pemeriksaan seluruh bagian kapal (meliputi palkah, semua ruangan di atas
kapal, dan dimensi kapal) serta alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu
penangkapan ikan;
4. Memastikan bahwa hasil pemeriksaan fisik sesuai dengan keterangan yang
terdapat dalam dokumen dan hasil wawancara dengan kapten atau pihak
kapal;
5. Membuat laporan hasil pemeriksaan yang kemudian ditandatangani oleh
pengawas dan kapten kapal;
6. Melakukan pelatihan untuk pengawas atau pemeriksa; dan
7. Jika memungkinkan, menggunakan sistem informasi dengan kode
internasional (meliputi kode negara, kapal, alat tangkap, jenis hasil
tangkapan), seperti berikut.
countries/territories: ISO-3166 3-alphaCountry Code
species: FAO 3-alpha code
vessel types: FAO alpha code
gear types: FAO alpha code
devices/attachments: FAO 3-alpha code
ports: UN LO-code
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Komparasi Port State Measures dengan Aturan Indonesia
Indonesia telah memiliki aturan hukum dalam mengatur kegiatan
perikanan, pelabuhan perikanan, dan hal lain terkait perikanan yaitu meliputi:
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan; Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor PER.05/MEN/2007 tentang Penyelenggaraan Sistem
Pemantauan Kapal Perikanan, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER.28/MEN/2009 tentang Sertifikasi Hasil Tangkapan, Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor PER.27/MEN/2009 tentang Pendaftaran dan
Penandaan Kapal Perikanan, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER.05/MEN/2008 tentang Unit Perikanan Tangkap dan perubahannya, Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.12/MEN/2009 tentang Perubahan
Atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2008
tentang Usaha Perikanan Tangkap; Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor KEP.10/MEN/2004 tentang Pelabuhan Perikanan dan Keputusan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.11/MEN/2004 tentang Pelabuhan Pangkalan
bagi Kapal Perikanan, dan lain sebagainya merupakan aturan yang dianut
Indonesia. Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh, sebenarnya butir-butir yang
terkandung di dalam aturan hukum Indonesia telah mengarah pada langkah
melawan dan mengantisipasi praktik IUU fishing. FAO telah berhasil
merumuskan Draft Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter and
Eliminate IUU Fishing. Draft Agreement on Port State Measures (kemudian
disebut PSM Agreement) diharapkan menjadi suatu instrumen hukum
internasional yang ditujukan untuk meningkatkan peran negara pelabuhan (port
states) dalam mencegah, menghalangi, dan memberantas IUU fishing. Butir-butir
yang ada dalam hukum Indonesia telah jelas mengarah ke aturan PSM Agreement
tanpa melalui suatu proses adopsi. Berikut tabel komparasi butir-butir dalam PSM
Agreement terhadap regulasi perikanan Indonesia dan penjabarannya atas akan
dijelaskan pada Sub-sub Bab selanjutnya (Sub-sub Bab 4.1.1 sampai Sub-sub Bab
4.1.6)
37
Tab
el 5
K
om
par
asi port state measure
den
gan
atu
ran I
ndones
ia
No.
Butir
dal
am Port State
Measure
A
tura
n I
ndones
ia
Per
atura
n p
erundan
g-
undan
gan
*)
Ket
eran
gan
*)
1.
Keg
iata
n
per
ikan
an
har
us
men
jam
in p
erli
ndungan
jan
gka
pan
jang
dan
keb
erla
ngsu
ngan
pem
anfa
atan
SD
I (k
egia
tan
pen
gel
ola
an d
an k
onse
rvas
i)
UU
No.3
1 T
ahun 2
004
Per
men
KP
No. PE
R.1
4/ M
EN
/2011
Pas
al 6
ayat
(1)
Pen
gel
ola
an
per
ikan
an
dal
am
wil
ayah
pen
gel
ola
an
per
ikan
an
Rep
ubli
k
Indones
ia
dil
akukan
untu
k
terc
apai
nya
man
faat
yan
g
optim
al
dan
ber
kel
anju
tan, se
rta ter
jam
in k
eles
tari
an sum
ber
daya ikan.
Pas
al 4
4
Dir
ektu
r Je
nder
al,
guber
nur,
bupat
i/w
alik
ota
dal
am m
ember
ikan
per
setu
juan
pen
gad
aan k
apal
wajib m
emper
tim
bangkan k
eter
sedia
an d
an k
eles
tari
an
sum
ber
daya ik
an dan lingkungannya,
sert
a kap
asit
as p
roduksi
UPI
bag
i usa
ha
per
ikan
an tan
gkap
ter
pad
u.
2.
Mel
akukan
pem
erik
saan
: a.
Pem
erik
saan
dokum
en
per
ijin
anan
at
au
oto
rita
s pen
angkap
an
UU
No.4
5 T
ahun 2
009
Pas
al 6
6C
“D
alam
mel
aksa
nak
an tugas
seb
agai
man
a dim
aksu
d d
alam
Pas
al 6
6, pen
gaw
as
per
ikan
an b
erw
enan
g:
a. m
emas
uki dan
mem
erik
sa tem
pat
keg
iata
n u
saha
per
ikan
an;
b.
mem
eri
ksa
kel
engkapan d
an k
eabsa
han d
okum
en u
saha p
erik
anan;
c. m
emer
iksa
keg
iata
n u
saha
per
ikan
an;
d.
mem
erik
sa s
aran
a dan
pra
sara
na
yan
g d
igunak
an u
ntu
k k
egia
tan p
erik
anan
; e. m
em
veri
fikasi k
elen
gkapan d
an k
eabsa
han S
IPI dan S
IKPI;
f. m
endokum
enta
sikan h
asi
l pem
erik
saan;
g.
men
gam
bil
conto
h i
kan
dan
/ata
u b
ahan
yan
g d
iper
lukan
untu
k k
eper
luan
pen
guji
an lab
ora
tori
um
;
h.
mem
eri
ksa
per
ala
tan
dan
kea
ktifa
n
sist
em
pem
anta
uan
kapal
per
ikanan;
i.
men
ghen
tikan
, m
emer
iksa
, m
embaw
a, m
enah
an,
dan
a m
enan
gkap
kap
al
dan
/ata
u o
rang y
ang d
iduga
atau
pat
ut did
uga
mel
akukan
tin
dak
pid
ana
38
Tab
el 5
Kom
par
asi port state measure
den
gan
atu
ran I
ndones
ia (
lanju
tan 1
)
No.
Butir
dal
am Port State
Measure
A
tura
n I
ndones
ia
Per
atura
n p
erundan
g-
undan
gan
*)
Ket
eran
gan
*)
Kep
men
K
P
No.K
EP.1
1/M
EN
/2004
per
ikan
an d
i w
ilay
ah p
engel
ola
an p
erik
anan
Neg
ara
Rep
ublik I
ndones
ia
j.
sam
pai
den
gan
dis
erah
kan
nya
kap
al d
an/a
tau o
rang t
erse
but
di
pel
abuhan
te
mpat
per
kar
a te
rseb
ut dip
rose
s le
bih
lan
jut ole
h p
enyid
ik;
k.
men
yam
pai
kan
rek
om
endas
i kep
ada
pem
ber
i iz
in u
ntu
k m
ember
ikan
san
ksi
se
suai
den
gan
ket
entu
an p
erat
ura
n p
erundan
g-u
ndan
gan
; l.
mel
akukan
ti
ndak
an
khusu
s te
rhad
ap
kap
al
per
ikan
an
yan
g
ber
usa
ha
mel
arik
an
dir
i dan
/ata
u
mel
awan
dan
/ata
u
mem
bah
ayak
an
kes
elam
atan
kap
al
pen
gaw
as
per
ikan
an
dan
/ata
u
awak
kap
al
per
ikan
an;
dan
/ata
u
men
gad
akan
tin
dak
an lai
n m
enuru
t hukum
yan
g b
erta
nggung jaw
ab.
Pas
al 5
Pad
a sa
at
akan
dim
ula
i m
aupun
sete
lah
sele
sai
mel
akukan
pen
angkap
an
dan
/ata
u p
engan
gkuta
n i
kan
, nah
koda
atau
pen
guru
s kap
al w
ajib
mel
apork
an
ked
atan
gan
dan
/ata
u k
eber
angkat
an k
epad
a K
epal
a P
elab
uhan
Per
ikan
an a
tau
pet
ugas
yan
g d
itunju
k d
i pel
abuhan
pan
gkal
an a
tau d
i pel
abuhan
muat
/sin
ggah
se
bag
aim
ana
terc
antu
m
dal
am
SPI
atau
SIK
PI
den
gan
ket
entu
an
sebag
ai
ber
ikut:
a.
Dal
am w
aktu
se
kura
ng-k
ura
ngnya
3 (t
iga)
ja
m se
bel
um
m
enin
ggal
kan
pel
abuhan
pan
gkal
an
untu
k
mel
akukan
pen
angkpaa
n
dan
/ata
u
pen
gan
gkuta
n
ikan
w
ajib
m
ember
itah
ukan
keb
eran
gkat
annya
kep
ada
Kep
ala
Pel
abuhan
Per
ikan
an a
tau p
etugas
yan
g d
itunju
k, untu
k:
1.
Pem
eri
ksa
an d
okum
en p
eri
zinan k
apal per
ikanan;
2.
Pem
erik
saan
sar
ana
pen
angkap
an d
an/a
tau p
engan
gkuta
n ikan
; 3.
Men
erim
a fo
rmulir
Log B
ook P
erik
anan
; 4.
Pem
erik
saan
lai
nnya
yan
g d
iwaj
ibkan
ole
h p
erat
ura
n p
erundan
g-
39
Tab
el 5
Kom
par
asi port state measure
den
gan
atu
ran I
ndones
ia (
lanju
tan 2
)
No.
Butir
dal
am Port State
Measure
A
tura
n I
ndones
ia
Per
atura
n p
erundan
g-
undan
gan
*)
Ket
eran
gan
*)
b.
Pem
erik
saan
dokum
en
iden
tita
s kap
al
(neg
ara
ben
der
a,
jenis
kap
al
dan
pen
anda
kap
al
mel
iputi
nam
a,
nom
or
regis
tras
i ek
ster
nal
, nom
or
iden
tifi
kas
i IMO
)
U
U N
o.4
5 T
ahun 2
009
-undan
gan
di bid
ang p
erik
anan
. b.
Set
elah
se
lesa
i m
elak
ukan
keg
iata
n pen
angkap
an dan
/ata
u pen
gan
kuta
n
ikan
, kap
la p
erik
anan
waj
ib m
asuk p
elab
uhan
pan
gkal
an a
tau d
i pel
abuhan
m
uat
/sin
ggah
dan
se
ger
a m
elap
ork
an
ked
atan
gan
nya
kep
ada
Kep
ala
Pel
abuhan
Per
ikan
an a
tau p
etugas
yan
g d
itunju
k, untu
k:
1.
Pem
erik
saan
has
il tan
gkap
an d
an/a
tau ikan
yan
g d
iangkut;
2.
Men
yer
ahkan
form
ulir
Log B
ook P
erik
anna
yan
g tel
ah d
iisi
. Pas
al 4
2 a
yat
(2)
(2)
Syah
ban
dar
di pel
abuhan
per
ikan
an m
empunyai
tugas
dan
wew
enan
g:
a. m
ener
bit
kan
Sura
t Per
setu
juan
Ber
layar
; b.
men
gat
ur
ked
atan
gan
dan
keb
eran
gkat
an k
apal
per
ikan
an;
c. m
em
eri
ksa
ula
ng k
elen
gkapan d
okum
en k
apal per
ikanan;
d.
mem
eri
ksa
te
knis
dan nautis
kapal
per
ikanan dan m
emer
iksa
ala
t
pen
angkapan ikan, dan a
lat bantu
pen
angkapan ikan
; e. m
emer
iksa
dan
men
ges
ahkan
per
janji
an k
erja
lau
t;
f. m
em
eri
ksa
log book p
enangkapan d
an p
engangkuta
n ikan
; g.
men
gat
ur
ola
h g
erak
dan
lal
uli
nta
s kap
al p
erik
anan
di pel
abuhan
per
ikan
an;
h.
men
gaw
asi pem
anduan
; i.
men
gaw
asi pen
gis
ian b
ahan
bak
ar;
j.
men
gaw
asi keg
iata
n p
emban
gunan
fas
ilit
as p
elab
uhan
per
ikan
an;
k.
mel
aksa
nak
an b
antu
an p
enca
rian
dan
pen
yel
amat
an;
mem
impin
pen
anggula
ngan
pen
cem
aran
dan
pem
adam
an
keb
akar
an
di
pel
abuhan
per
ikan
an;
40
Tab
el 5
K
om
par
asi port state measure
den
gan
atu
ran I
ndones
ia (
lanju
tan 3
)
No.
Butir
dal
am Port State
Measure
A
tura
n I
ndones
ia
Per
atura
n p
erundan
g-
undan
gan
*)
Ket
eran
gan
*)
c. Pem
erik
saan
ra
dio
kom
unik
asi pen
anda
Per
men
KP
No. P
ER
.05/M
EN
/2008
UU
No.4
5 T
ahun 2
009
Pas
al 7
8 a
yat
(1)
dan
(2)
(1)
Pen
gaw
asan
dan
pen
gen
dal
ian ter
had
ap k
egia
tan u
saha
per
ikan
an tan
gkap
dil
akukan
ter
had
ap d
ipen
uhin
ya
ket
entu
an p
erat
ura
n p
erundan
g-u
ndan
gan
di bid
ang p
enan
gkap
an ikan
, pen
gan
gkuta
n ikan
, dan
/ata
u p
engola
han
ikan
se
rta
ket
entu
an lai
nnya
yan
g b
erkai
tan d
engan
keg
iata
n u
saha
per
ikan
an
tangkap
. (2
) Pen
gaw
asan
dan
pen
gen
dal
ian
sebag
aim
ana
dim
aksu
d
pad
a ay
at
(1)
dil
akukan
den
gan
si
stem
pem
anta
uan
, pen
gen
dal
ian,
dan
pem
erik
saan
la
pan
gan
ter
had
ap o
per
asio
nal
dan
dokum
en k
apal per
ikanan, U
PI,
dan
ikan
has
il tan
gkap
an o
leh p
engaw
as p
erik
anan
. Pas
al 4
8 a
yat
(2)
(2)
Per
mohonan
pem
erik
saan
fis
ik k
apal
, al
at p
enan
gkap
an ikan
, dan
dokum
en
kap
al p
engan
gkut ik
an b
erben
der
a as
ing y
ang d
isew
a dia
jukan
kep
ada
Dir
ektu
r Je
nder
al d
engan
mel
ampir
kan
: a. fo
tokopi
SIU
P
atau
su
rat
izin
usa
ha
pel
ayar
an
angkuta
n
laut
yan
g
dik
eluar
kan
ole
h inst
ansi
yan
g b
erw
enan
g;
b.
foto
kopi per
janji
an s
ewa
kap
al d
engan
men
unju
kkan
asl
inya;
c. fo
tokopi su
rat ukur
inte
rnasi
onal den
gan m
enunju
kkan a
slin
ya;
d.
foto
kopi su
rat ta
nda k
ebangsa
an k
apal den
gan
men
unju
kkan
asl
inya;
dan
e. fo
tokopi ce
tak b
iru r
anca
ng b
angun k
apal
. Pas
al 6
6C
(sa
ma sep
ert
i se
bel
um
nya)
41
Tab
el 5
K
om
par
asi port state measure
den
gan
atu
ran I
ndones
ia (
lanju
tan 4
)
No.
Butir
dal
am Port State
Measure
A
tura
n I
ndones
ia
Per
atura
n p
erundan
g-
undan
gan
*)
Ket
eran
gan
*)
in
tern
asio
nal
, dan
pen
anda
lain
nya
sert
a dat
a VMS d
ari
neg
ara
ben
der
a at
au RFMO
d.
Pem
erik
saan
logbook
e.
Pem
erik
saan
has
il
tangkap
an, transshipment,
per
dag
angan
Per
men
KP
N
o.P
ER
.05/M
EN
/2008
UU
No.4
5 T
ahun 2
009
Per
men
KP
N
o.P
ER
.18/M
EN
/2010
UU
No.4
5 T
ahun 2
009
Per
men
KP
No. P
ER
.05/M
EN
/2008
Pas
al 8
8
(1)
Set
iap k
apal
pen
angkap
ikan
dan
/ata
u k
apal
pen
gan
gkut
ikan
ber
ben
der
a as
ing
waj
ib
mem
asan
g
dan
m
engak
tifk
an
transm
itte
r ata
u
sist
em
pem
anta
uan k
apal per
ikanan (V
MS).
(2)
Set
iap k
apal
pen
angkap
ikan
dan
/ata
u k
apal
pen
gan
gkut
ikan
ber
ben
der
a In
dones
ia b
erukura
n l
ebih
dar
i 30 (
tiga
pulu
h)
GT
waj
ib m
emas
ang d
an
men
gak
tifk
an tra
nsm
itte
r at
au s
iste
m p
eman
tauan
kap
al p
erik
anan
(V
MS).
Pas
al 4
2 a
yat
(2)
(sam
a sep
erti seb
elum
nya)
Pas
al 6
ayat
(1)
Kep
ala
Pel
abuhan
P
erik
anan
at
au
pej
abat
yan
g
ditunju
k
sebag
aim
ana
dim
aksu
d d
alam
Pas
al 5
mel
akukan
veri
fikasi d
an/a
tau p
engis
ian d
ata
(en
try
data
) log book p
enangkapan ikan y
ang d
iser
ahkan
ole
h N
akhoda.
Pas
al
42
ayat
(2
) (s
ama
seper
ti
sebel
um
nya)
, te
rkai
t den
gan
tu
gas
dan
w
ewen
ang sy
ahban
dar
per
ikan
nan
yai
tu sa
lah sa
tunya
mem
erik
sa se
rtif
ikat
ik
an h
asil tan
gkap
an.
Pas
al 1
8 a
yat
(1)
(1)
Set
iap k
apal
pen
angkap
ikan
dan
/ata
u k
apal
pen
gan
gkut ik
an h
arus
men
dar
atkan
ikan
has
il tan
gkap
an d
i pel
abuhan
pan
gkal
an y
ang te
rcan
tum
dal
am S
IPI
dan
/ata
u S
IKP
I.
(2)
Dik
ecual
ikan
dar
i ket
entu
an s
ebag
aim
ana
dim
aksu
d p
ada
ayat
(1),
bag
i kap
al p
enan
gkap
ikan
ber
ben
der
a In
dones
ia d
apat
mel
akukan
pen
itip
an
42
Tab
el 5
K
om
par
asi port state measure
den
gan
atu
ran I
ndones
ia (
lanju
tan 5
)
No.
Butir
dal
am Port State
Measure
A
tura
n I
ndones
ia
Per
atura
n p
erundan
g-
undan
gan
*)
Ket
eran
gan
*)
(3
) ik
an k
e kap
al p
enan
gkap
ik
an la
innya
dal
am sa
tu kes
atuan
m
anaj
emen
usa
ha
term
asuk y
ang d
ilak
ukan
mel
alui
ker
ja s
ama
usa
ha,
dan
did
arat
kan
di
pel
abuhan
pan
gkal
an y
ang t
erca
ntu
m d
alam
SIP
I kap
al p
enan
gkap
ikan
yan
g
men
erim
a pen
itip
an
ikan
, se
rta
waj
ib
dil
apork
an
kep
ada
kep
ala
pel
abuhan
pan
gkal
an d
an k
epad
a pen
gaw
as p
erik
anan
. (4
) K
eten
tuan
seb
agai
man
a dim
aksu
d p
ada
ayat
(2)
dap
at d
ilak
ukan
den
gan
sy
arat
: a. te
lah a
da
per
janji
an k
erja
sam
a usa
ha
yan
g d
iket
ahui at
au d
isah
kan
ole
h
kep
ala
pel
abuhan
per
ikan
an a
tau p
ejab
at y
ang d
iber
i kew
enan
gan
ole
h
Dir
ektu
r Je
nder
al;
b.
nak
hoda
kap
al
pen
angkap
ik
an
yan
g
men
erim
a pen
itip
an
ikan
se
bag
aim
ana
dim
aksu
d p
ada
ayat
(2)
waj
ib m
elap
ork
an n
ama
kap
al,
jum
lah, je
nis
, dan
asa
l ik
an h
asil
tan
gkap
an d
an/a
tau ikan
yan
g d
iangkut
kep
ada
kep
ala
pel
abuhan
pan
gkal
an tem
pat
ikan
di dar
atkan
; dan
c. daf
tar
nam
a kap
al
yan
g
dap
at
mel
akukan
pen
itip
an
dan
m
ener
ima
pen
itip
an ik
an has
il ta
ngkap
an se
bag
aim
ana
dim
aksu
d pad
a ay
at (2
) dic
antu
mkan
dal
am m
asin
g-m
asin
g S
IPI.
(4
) Pen
gec
ual
ian te
rhad
ap ket
entu
an se
bag
aim
ana
dim
aksu
d pad
a ay
at (1
) ber
laku j
uga
untu
k k
apal
pen
angkap
ikan
dan
/ata
u k
apal
pen
gan
gkut
ikan
ber
ben
der
a In
dones
ia y
ang b
eroper
asi
di
laut
lepas
, se
pan
jang m
emen
uhi
ket
entu
an p
erat
ura
n p
erundan
g-u
ndan
gan
nas
ional
dan
inte
rnas
ional
.
(5)
Nakhoda
kapal
pen
angkap
ikan
wajib
mel
apork
an
nam
a
kapal,
jum
lah,
jenis,
dan asa
l ik
an hasil
tangkapan dan/a
tau ik
an yang
dia
ngkut
sebagaim
ana d
imaksu
d p
ada a
yat
(1)
dan a
yat
(2)
kep
ada
kep
ala
pel
abuhan pangkala
n te
mpat
ikan did
ara
tkan dan kep
ada
pen
gaw
as per
ikanan.
43
Tab
el 5
K
om
par
asi port state measure
den
gan
atu
ran I
ndones
ia (
lanju
tan 6
)
No.
Butir
dal
am Port State
Measure
A
tura
n I
ndones
ia
Per
atura
n p
erundan
g-
undan
gan
*)
Ket
eran
gan
*)
3.
f.
Pem
erik
saan
daf
tar
awak
kap
al
Pem
erik
saan
se
luru
h
bag
ian
kap
al (
mel
iputi
pal
kah
, se
mua
ruan
gan
di
atas
kap
al,
dan
dim
ensi
kap
al)
sert
a al
at
pen
angkap
an
ikan
dan
/ata
u
alat
ban
tu p
enan
gkpan
ikan
Per
men
KP
No. P
ER
.12/M
EN
/2009
UU
No. 45 T
ahun 2
009
Per
men
KP
No. P
ER
.12/M
EN
/2009
(6)
Dir
ektu
r Je
nder
al m
ener
bit
kan
daf
tar
kap
al y
ang m
enja
di sa
tu k
esat
uan
(7
) m
anaj
emen
usa
ha
atas
das
ar r
ekom
endas
i kep
ala
pel
abuhan
per
ikan
an a
tau
pej
abat
yan
g dib
eri
kew
enan
gan
se
bag
aim
ana
dim
aksu
d pad
a ay
at (3
) huru
f a
dan
per
mohonan
yan
g b
ersa
ngkuta
n.
Pas
al 48
(1)
Per
mohonan
pem
erik
saan
fis
ik k
apal
pen
angkap
ikan
, al
at p
enan
gkap
an
ikan
dan
/ata
u k
apal
pen
gan
gkut
ikan
ber
ben
der
a In
dones
ia d
iaju
kan
kep
ada
Dir
ektu
r Je
nder
al d
engan
mem
uat
jen
is d
an u
kura
n a
lat pen
angkap
an ikan
yan
g
akan
dig
unak
an d
engan
mel
ampir
kan
: a. fo
tokopi SIU
P;
b.
foto
kopi gro
sse
akte
ata
u b
uku k
apal
per
ikan
an y
ang a
sli;
c. fo
tokopi su
rat kel
aikan
dan
pen
gaw
akan k
apal;
d.
foto
kopi gam
bar
ren
cana
um
um
kap
al d
an a
lat pen
angkap
an ikan
; dan
su
rat
per
nyat
aan
dar
i pem
ohon
yan
g
men
yat
akan
ber
tanggung
jaw
ab
atas
keb
enar
an d
ata
dan
info
rmas
i yan
g d
isam
pai
kan
. Pas
al 4
2 a
yat
(2)
(sam
a sep
erti seb
elum
nya)
Pas
al 4
6
(1)
Untu
k m
emper
ole
h S
IPI
bar
u d
an p
erpan
jangan
SIP
I ta
hun k
etig
a kap
al
pen
angkap
ikan
waj
ib ter
lebih
dah
ulu
dilakukan p
em
erik
saan fis
ik k
apal
pen
angkap ikan d
an a
lat pen
angkapan ikan.
(2)
Untu
k m
emper
ole
h S
IKP
I bar
u d
an p
erpan
jangan
SIK
PI
tahun k
etig
a kap
al
pen
gan
gkut ik
an w
ajib
ter
lebih
dah
ulu
dilak
ukan
pem
erik
saan fis
ik k
apal
pen
gangkut ik
an.
44
Tab
el 5
K
om
par
asi port state measure
den
gan
atu
ran I
ndones
ia (
lanju
tan 7
)
No.
Butir
dal
am Port State
Measure
A
tura
n I
ndones
ia
Per
atura
n p
erundan
g-
undan
gan
*)
Ket
eran
gan
*)
4.
Mem
astikan
bah
wa
has
il
pem
erik
saan
fi
sik
sesu
ai
den
gan
ket
eran
gan
yan
g
terd
apat
dal
am dokum
en
dan
has
il
waw
anca
ra
den
gan
kap
ten/ pih
ak k
apal
Per
men
KP N
om
or
PE
R.0
7/M
EN
/2010
(3)
Pem
erik
saan
fis
ik s
ebag
aim
ana
dim
aksu
d p
ada
ayat
(1)
mel
iputi d
imen
si
kap
al,
mer
ek d
an n
om
or
mes
in k
apal
, je
nis
dan
ukura
n a
lat
pen
angkap
an
ikan
. (4
) Pem
erik
saan
fis
ik s
ebag
aim
ana
dim
aksu
d p
ada
ayat
(2),
mel
iputi d
imen
si
kap
al, m
erek
dan
nom
or
mes
in k
apal
, ju
mla
h d
an v
olu
me
pal
kah
. (5
) D
imen
si k
apal
seb
agai
man
a dim
aksu
d p
ada
ayat
(3)
dan
ayat
(4)
mel
iputi
ukura
n p
anja
ng k
apal
dan
leb
ar k
apal
. (6
) Set
iap
per
ubah
an
spes
ifik
asi
teknis
kap
al
pen
angkap
ik
an,
alat
pen
angkap
an
ikan
, dan
/ata
u
kap
al
pen
gan
gkut
ikan
w
ajib
dil
akukan
pem
erik
saan
fis
ik k
apal
pen
angkap
ikan
, al
at p
enan
gkap
an i
kan
dan
/ata
u
kap
al p
engan
gkut ik
an.
(7)
Pem
erik
saan
fi
sik
sebag
aim
ana
dim
aksu
d
pad
a ay
at
(1)
dan
ay
at
(2)
dil
akukan
ole
h
tim
yan
g
dib
entu
k
dan
ditet
apkan
den
gan
K
eputu
san
Men
teri
.
(8)
Pet
unju
k t
eknis
pem
erik
saan
fis
ik k
apal
pen
angkap
ikan
, al
at p
enan
gkap
an
ikan
, dan
/ata
u k
apal
pen
gan
gkut
ikan
seb
agai
man
a dim
aksu
d p
ada
ayat
(1)
dan
ayat
(2)
dia
tur
ole
h D
irek
tur
Jender
al, yan
g p
elak
sanaa
nnya
dil
apork
an
seca
ra ter
tuli
s kep
ada
Men
teri
. Pas
al 6
ayat
(2)
(2)
Per
syar
atan
kel
ayak
an t
eknis
untu
k k
apal
per
ikan
an y
ang a
kan
mel
akukan
pen
angkap
an ikan
, m
elip
uti:
a.
kes
esuaia
n f
isik
kapal
per
ikan
an d
engan
yan
g t
erte
ra d
alam
SIP
I, t
erdir
i dar
i bah
an k
apal
, m
erek
dan
nom
or
mes
in u
tam
a, t
anda
sela
r, d
an n
ama
pan
ggil
an/call sign;
b.
kes
esuaia
n jen
is d
an u
kuran a
lat pen
angkapan ikan d
engan
yan
g
45
Tab
el 5
K
om
par
asi port state measure
den
gan
atu
ran I
ndones
ia (
lanju
tan 8
)
No.
Butir
dal
am Port State
Measure
A
tura
n I
ndones
ia
Per
atura
n p
erundan
g-
undan
gan
*)
Ket
eran
gan
*)
5. 6.
Mem
buat
la
pora
n
has
il
pem
erik
saan
yan
g
kem
udia
n
dit
andat
angan
i ole
h pen
gaw
as
dan
kap
ten k
apal
M
elak
ukan
pel
atih
an
untu
k
pen
gaw
as a
tau p
emer
iksa
UU
No.4
5 T
ahun 2
009
Per
men
K
P
Nom
or
PE
R.0
7/M
EN
/2010
Undan
g-U
ndan
g
Nom
or
31 T
ahun 2
004
c.
tert
era
pad
a SIP
I; d
an
d.
keb
era
daan dan kea
ktifa
n ala
t pem
anta
uan kapal
per
ikanan yan
g
dip
ersy
arat
kan
. Pas
al 6
6C
(sa
ma sep
ert
i se
bel
um
nya)
Pas
al 1
3
(1)
Pen
gaw
as Per
ikan
an ber
das
arkan
la
pora
n se
bag
aim
ana
dim
aksu
d dal
am
Pas
al 12 ay
at (1
) m
elak
ukan
pem
erik
saan
per
syar
atan
ad
min
istr
asi
dan
kel
ayak
an tek
nis
kap
al p
erik
anan
.
(2)
Hasil
pem
eri
ksa
an per
syara
tan adm
inis
trasi dan kel
ayakan te
knis
sebagaim
ana d
imaksu
d pada a
yat
(1)
dituangkan d
ala
m f
orm
HPK
(Hasil Pem
erik
saan K
apal)
.
(3)
Form
H
PK
se
bag
aim
ana
dim
aksu
d
pad
a ay
at
(2)
dit
andat
angan
i ole
h
Pen
gaw
as Per
ikan
an dan
N
akhoda,
pem
ilik
, oper
ator,
kap
al per
ikan
an
dan
/ata
u p
enan
ggung jaw
ab p
erusa
haa
n p
erik
anan
.
Ket
entu
an l
ebih
lan
jut
men
gen
ai f
orm
at d
an m
ekan
ism
e pen
gis
ian F
orm
HPK
dit
etap
kan
ole
h D
irek
tur
Jender
al.
Pas
al 5
7
(1)
Pem
erin
tah m
enyel
enggara
kan p
endid
ikan, pel
atihan,
dan
pen
yulu
han
per
ikan
an u
ntu
k m
enin
gkat
kan
pen
gem
ban
gan
su
mber
day
a m
anusi
a di
bid
ang p
erik
anan
. (2
) Pem
erin
tah
men
yel
enggar
akan
se
kura
ng-k
ura
ngnya
1
(sat
u)
satu
an
pen
did
ikan
dan
/ata
u
pel
atih
an
untu
k
dik
emban
gkan
m
enja
di
satu
an
pen
did
ikan d
an/a
tau p
elatihan y
ang b
erta
raf in
tern
asi
onal.
46
Tab
el 5
K
om
par
asi port state measure
den
gan
atu
ran I
ndones
ia (
lanju
tan 9
)
No.
Butir
dal
am Port State
Measure
A
tura
n I
ndones
ia
Per
atura
n p
erundan
g-
undan
gan
*)
Ket
eran
gan
*)
Per
men
KP
N
o.P
ER
.09/M
EN
/2008
Pas
al 1
ayat
(1)
Pen
did
ikan d
an P
elatihan, yang s
elanju
tnya d
iseb
ut
Dik
lat
adal
ah p
rose
s pen
yel
enggar
aan
bel
ajar
m
engaj
ar
atau
keg
iata
n
untu
k
men
ingkat
kan
kem
ampuan
, kea
hli
an d
an k
etra
mpil
an.
Pas
al 1
ayat
(7)
Pen
did
ikan
dan
Pel
atihan
Apara
tur,
yan
g
sela
nju
tnya
dis
ebut
Dik
lat
Apar
atur
adal
ah
pro
ses
pen
yel
enggar
aan
bel
ajar
m
engaj
ar
dal
am
rangka
men
ingkat
kan
kem
ampuan
C
alon
Peg
awai
N
eger
i Sip
il
(CPN
S),
Peg
awai
N
eger
i Sip
il (
PN
S)
Dep
arte
men
Kel
auta
n d
an P
erik
anan
, dan
inst
ansi
ter
kai
t.
Pas
al 1
ayat
(8)
Pel
atihan
Non-A
para
tur
adal
ah
pro
ses
pen
yel
enggar
aan
keg
iata
n
untu
k
men
ingkat
kan
se
rta
men
gem
ban
gkan
kom
pet
ensi
pro
fesi
, pro
dukti
vit
as,
dis
iplin,
sikap
dan
eto
s ker
ja p
ada
tingkat
ket
ram
pil
an d
an k
eahli
an d
i bid
ang
kel
auta
n d
an p
erik
anan
.
7.
Jika
mem
ungkin
kan
, m
enggunak
an s
iste
m info
rmas
i den
gan
kode
inte
rnas
ional
(m
elip
uti kode
neg
ara,
kap
al,
alat
ta
ngkap
, je
nis
has
il
tangkap
an)
- -
*)
tidak
men
utu
p k
emungkin
an ter
dap
at d
alam
atu
ran I
ndones
ia lai
nnya
47
Tabel diatas telah cukup menjelaskan bagaimana butir atau parameter
dalam PSM Agreement sebenarnya telah sesuai dengan aturan yang berlaku di
dunia perikanan Indonesia. Namun, untuk spesifikasi dan detail aturan memang
masih ada yang belum sesuai secara keseluruhan. Contohnya, Indonesia belum
mengizinkan adanya kegiatan penangkapan ikan oleh kapal asing, selain di
wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) (setelah memperoleh
perizinan) seperti yang disebutkan dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2004 yang berbunyi:
1) Usaha perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia hanya
boleh oleh warga negara Republik Indonesia atau badan hukum Indonesia.
2) Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan kepada orang atau badan hukum asing yang melakukan usaha
penangkapan ikan di ZEEI, sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban
Negara Republik Indonesia berdasarkan persetujuan internasional atau
ketentuan hukum internasional yang berlaku.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.03/MEN/2009
tentang Penangkapan Ikan dan/atau Pengangkutan Ikan di Laut Lepas Pasal 5 ayat
(2) pada butir I menjelaskan secara lugas bahwa Indonesia menentang praktik
IUU fishing. Hal ini diterangkan dalam bunyinya bahwa setiap orang atau badan
hukum Indonesia yang belum memiliki Surat Ijin Usaha Perikanan (SIUP) dan
akan melakukan penangkapan ikan dan/atau pengangkutan ikan di laut wajib
terlebih dahulu mengajukan permohonan Surat Ijin Usaha Perikanan (SIUP)
kepada Direktur Jenderal Perikanan Tangkap dengan melampirkan (salah satunya)
yaitu surat pernyataan bahwa kapal yang dipergunakan tidak tercantum dalam
daftar kapal yang melakukan penangkapan ikan secara tidak sah, tidak tercatat,
dan tidak diatur (IUU fishing) pada organisasi pengelolaan perikanan regional.
Surat pernyataan bebas dari IUU fishing tersebut merupakan tindakan kerjasama
antar negara yang tergabung dalam suatu organisasi pengelolaam perikanan
regional atau RFMO dalam melawan kemungkinan praktik IUU fishing.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.03/MEN/2009
tentang Penangkapan Ikan dan/atau Pengangkutan Ikan di Laut Lepas dalam Pasal
17 juga menjelaskan bahwa setiap kapal penangkap dan kapal pengangkut ikan di
48
laut lepas akan dikenakan tindakan kepelabuhanan (port state measures) di
pelabuhan Indonesia berdasarkan persyaratan dan/atau standar internasional yang
berlaku secara umum dan untuk kapal berbendera asing yang perizinannya
dikeluarkan bukan oleh pemerintah Republik Indonesia, maka sebelum memasuki
atau singgah di pelabuhan Indonesia, wajib terlebih dahulu memperoleh izin dari
kepala pelabuhan setempat.
Indonesia telah berperan aktif dalam pembahasan Draft PSM Agreement di
FAO. Indonesia menjadi salah satu dari 9 (sembilan) negara penandatangan Draft
PSM Agreement pada tanggal 22 November 2009. Indonesia sedang
mempersiapkan langkah-langkah untuk meratifikasi PSM Agreement. Adapun
dasar-dasar Indonesia untuk melakukan ratifikasi PSM Agreement adalah sebagai
berikut7:
1. Indonesia telah meratifikasi UNCLOS (United Nation Convention the Law of
the Seas) 1982, dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang
Pengesahan UNCLOS 1982. Hal ini merupakan payung hukum yang wajib
diimplementasikan ke dalam peraturan hukum nasional;
2. Ketentuan dalam PSM Agreement sangat relevan dengan ketentuan dalam
UNCLOS 1982, seperti dalam Pasal 62 tentang Pemanfaatan Sumber
Kekayaan Hayati di ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) dan Bagian 2 tentang
Konservasi dan Pengelolaan Sumber Kekayaan Hayati di Laut Lepas;
3. Pasal 26 PSM Agreement bahwa perjanjian harus diratifikasi, diterima, atau
disetujui oleh pihak yang telah menandatangani perjanjian;
4. Pasal 29 PSM Agreement bahwa perjanjian berlaku 30 hari setelah tanggal
penyimpanan di depositori atas instrumen ratifikasi, penerimaan, persetujuan
atau aksesi yang ke-25;
5. Bagi setiap penandatangan yang meratifikasi, menerima, atau menyetujui
perjanjian ini setelah perjanjian ini berlaku, perjanjian akan berlaku 30 hari
setelah tanggal penyimpanan instrumen ratifikasi, penerimaan, persetujuan;
7Workshop Port State Measures Agreement: Strategi Implementasi dan Evaluasi Kesiapan Indonesia, Pointer, Surabaya, Biro Hukum dan Organisasi KKP, 2011, hlm 5-6.
49
6. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional bahwa pengesahan perjanjian internasional dapat dilakukan
dengan undang-undang atau keputusan presiden;
7. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 menyatakan bahwa
pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila
berkenaan dengan:
1) masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;
2) perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik
Indonesia;
3) kedaulatan atau hak berdaulat negara;
4) hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
5) pembentukan kaidah hukum baru; dan/atau
6) pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
Apabila materinya tidak termasuk materi sebagaimana dimaksud Pasal 10,
dilakukan dengan Keputusan Presiden atau Peraturan Presiden.
8. Langkah persiapan ratifikasi:
1) persiapan mekanisme ratifikasi PSM Agreement;
2) pesiapan konsep awal dokumen pendukung pelaksanaan proses ratifikasi
PSM Agreement melalui Peraturan Presiden; dan
3) kesepakatan bahwa ratifikasi akan dilaksanakan melalui Peraturan
Presiden, dengan pertimbangan bahwa PSM Agreement merupakan
implementasi dari UNCLOS dan UNIA (Universal Negro Improvement
Association) dan mekanisme tersebut sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
9. Naskah yang telah disiapkan:
1) naskah asli Bahasa Inggris;
2) naskah terjemahan Bahasa Indonesia;
3) naskah rancangan Peraturan Presiden; dan
4) naskah rancangan penjelasan.
10. Tindak lanjut
1) pembentukan panitia antar departemen untuk menentukan penetapan
mekanisme ratifikasi PSM Agreement;
50
2) penyempurnaan naskah rancangan Peraturan Presiden;
3) penyempurnaan naskah rancangan penjelasan; dan
4) penyempurnaan naskah terjemahan PSM Agreement.
Seluruh naskah yang diperlukan diatas sudah dipersiapkan pemerintah.
Namun untuk naskah terjemahan Bahasa Indonesia masih dalam perundingan
mendalam terkait definisi kata yang harus disesuaikan. Naskah Rancangan
Peraturan Presiden sudah dipersiapkan dan dibahas melalui pertemuan kordinasi
dengan beberapa pihak. Naskah rancangan penjelasan telah dipersiapkan dan
masih dalam perundingan untuk dibahas lebih mendalam. Pembahasan rencana
ratifikasi PSM Agreement sudah dikordinasikan dengan pihak terkait seperti
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap; Direktorat Jenderal Pengawasan
Sumberdaya Kelautan dan Perikanan; Bagian Perundang-undangan Lintas Sektor
dan Pengembangan Hukum Laut, Biro Hukum dan Organisasi; Badan
Pengembangan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan; Badan Penelitian
dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan; Pusat Analisis Kerja Sama
Internasional dan Antar lembaga; pihak akademisi; Kementerian Hukum dan
HAM (Hak Asasi Manusia); Sekretriat Kabinet; Kepala Pelabuhan terkait; dan
lain-lainnya8.
Pengesahan PSM Agreement akan memberikan keuntungan bagi Indonesia,
khususnya dalam hal sebagai berikut9:
1. mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya hayati di laut lepas sehingga dapat
membantu pemerintah untuk mensejahterakan warga negaranya;
2. ikut serta dalam pencegahan praktik IUU fishing;
3. meningkatkan efektifitas penanganan IUU fishing khususnya di bidang
pengawasan;
4. mengefektifkan penanganan terhadap masalah transhipment hasil tangkapan
IUU fishing di laut lepas;
5. memperoleh bantuan teknis, pelatihan dan kerja sama ilmiah, transfer
teknologi dalam rangka penerapan Perjanjian ini; dan
8Disampaikan dalam Diskusi Pembahsan Finalisasi Penyusunan Pengesahan PSM yang diselenggarakan oleh Biro Hukum dan Organisasi KKP, Bogor, 6 Desember 2011. 9Diskusi Pembahasan Finalisasi Penyusunan Bahan Pengesahan PSM, Op Cit, hlm 14.
51
6. meningkatkan program pencitraan diri sebagai negara yang bertanggung
jawab dalam mewujudkan perikanan internasional yang berkelanjutan.
Ratifikasi PSM Agreement diharapakan dapat menekan pencurian di
wilayah perairan Indonesia oleh pihak asing (khususnya terhadap sumberdaya
ikan tuna); pertukaran data dan informasi perikanan secara murah, akurat, tepat
waktu melalui kerja sama dengan internasional; penetapan kuota internasional
setiap jenis ikan bermigrasi terbatas dan bermigrasi jauh untuk distribusi
tangkapan; Pengembangan armada perikanan Indonesia yang akan beroperasi di
ZEE dan Laut Lepas yang tetap harus tunduk pada ketentuan internasional; dan
memberikan hak dan kesempatan untuk turut memanfaatkan potensi perikanan
Laut Lepas10
.
Pengesahan PSM Agreement akan menimbulkan konsekuensi yang harus
diterima Indonesia, yaitu11:
1. menyiapkan perangkat hukum yang selaras dengan perjanjian ini yang
mempunyai sanksi yang tegas dalam rangka memberantas praktik IUU
fishing;
2. menerapkan secara adil, transparan dan non-diskriminatif perjanjian ini
kepada kapal Indonesia dan asing;
3. menjaga kerahasiaan informasi yang diberikan kapal-kapal asing;
4. menunjuk dan mempublikasikan pelabuhan-pelabuhan yang ditujukan untuk
pelaksanaan perjanjian ini;
5. mengidentifikasi kapal perikanan Indonesia yang masuk ke negara lain;
6. menyampaikan informasi terkait dengan kegiatan sebagaimana dimaksud
perjanjian ini kepada FAO;
7. berpartisipasi aktif dalam kerja sama dalam penegakan hukum baik regional
maupun internasional;
8. menyiapkan dan meningkatkan sarana dan prasarana serta kemampuan sumber
daya manusia yang terkait dengan persetujuan ini.
10Workshop Port State Measures Agreement: Strategi Implementasi dan Evaluasi Kesiapan Indonesia, Op Cit, hlm 3. 11Diskusi Pembahasan Finalisasi Penyusunan Bahan Pengesahan PSM, Op Cit, hlm 14-15.
52
4.1.1 Kegiatan pengelolaan dan konservasi perikanan
Butir pertama yang dikomparasikan dari PSM Agreement yaitu bahwa
kegiatan perikanan harus menjamin perlindungan jangka panjang dan
keberlangsungan pemanfaatan sumberdaya ikan (kegiatan pengelolaan dan
konservasi). Indonesia mengupayakan untuk tercapainya pengelolaan perikanan
yang optimal dan berkelanjutan dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik
Indonesia (WPP RI), serta harus dapat menjamin kelestraian sumberdaya ikan.
Hal ini sebagaimana yang dituangkan pada Pasal 6 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2004. Pengelolaan perikanan tersebut juga harus memperhatikan hukum
adat dan/atau kearifan lokal serta memperhatikan peran masyarakat. Semua ini
untuk memberikan perlindungan jangka panjang dan untuk menjaga
keberlangsungan pemanfaatan sumberdaya ikan. Beberapa ketentuan yang yang
mendukung pengelolaan perikanan ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-Undang
Nomor 45 Tahun 2009. Ketentuan tersebut diantaranya, penetapan jumlah
tangkapan yang dibolehkan; penetapan jenis, jumlah, dan ukuran alat
penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan ikan; penetapan rencana
pengelolaan perikanan; penetapan potensi dan alokasi sumberdaya ikan; dan lain
sebagainya. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 menerangkan
bahwa untuk kepentingan kerjasama internasional, pemerintah menjalin kerjasama
dengan negara tetangga atau negara lain dalam rangka konservasi dan pengelolaan
sumberdaya ikan di laut lepas. Hal lain yang dilakukan adalah saling
menginformasikan jika mendapati suatu tindakan yang mencurigakan dan dapat
menimbulkan hambatan dalam konservasi dan pengelolaan sumberdaya ikan.
Selain itu, aturan lain mengenai harus adanya kegiatan konservasi dan
pengelolaan yaitu dalam Pasal 44 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor PER.14/MEN/2011 tentang Usaha Perikanan Tangkap. Hal tersebut
berbunyi bahwa Direktur Jenderal, gubernur, bupati/walikota dalam memberikan
persetujuan pengadaan kapal wajib mempertimbangkan ketersediaan dan
kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungannya, serta kapasitas produksi UPI
(Unit Pengolahan Ikan) bagi usaha perikanan tangkap terpadu.
Artinya bahwa, Indonesia telah menyiapkan regulasi hukum untuk
menjamin perlindungan jangka panjang dan keberlangsungan pemanfaatan
53
sumberdaya ikan (kegiatan pengelolaan dan konservasi perikanan) dalam
memberikan persetujuan kegiatan perikanan. Pengelolaan perikanan ini dilakukan
secara optimal dan berkelanjutan dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik
Indonesia (WPP RI) dengan memperhatikan hukum adat dan/atau kearifan lokal
serta peran masyarakat dan juga melalui kerjasama dengan negara lain atau
internasional untuk konservasinya.
4.1.2 Pemeriksaan oleh negara pelabuhan
Pemeriksaan yang dilakukan oleh negara pelabuhan (dalam hal ini Negara
Indonesia) yaitu sebagai berikut:
1. Pemeriksaan dokumen perijinanan atau otoritas penangkapan
Butir kedua yang dikomparasikan dari PSM Agreement yaitu dilakukan
pemeriksaan. Salah satunya yaitu pemeriksaan dokumen perijinan atau otoritas
penangkapan. Kedatangan dan keberangkatan kapal perikanan wajib dilaporkan
kepada Kepala Pelabuhan Perikanan atau petugas yang ditunjuk untuk dilakukan
beberapa pemeriksaan, salah satunya adalah pemeriksaan dokumen perizinan
kapal perikanan. Pasal 42 sampai Pasal 45 Undang-Undang Nomor 45 Tahun
2009, menjelaskan adanya kewajiban kapal perikanan untuk memiliki beberapa
surat perizinan. Pasal 42 dalam undang-undang tersebut menjelaskan bahwa
syahbandar perikanan memiliki tugas dan wewenang mengeluarkan Surat
Persetujuan Berlayar (SPB). Surat Persetujuan Berlayar yang dimaksud adalah
yang sebelumnya disebut sebagai Surat Izin Berlayar (SIB). Namun, SPB
tersebut hanya dapat dikeluarkan jika kapal perikanan telah mendapatkan Surat
Laik Operasi (SLO) yang diterbitkan pengawasan perikanan pelabuhan setempat
(tanpa dikenakan biaya). Selain itu, dalam Pasal 66 C dijelaskan bahwa pengawas
perikanan juga memiliki wewenang yang salah satunya memeriksa kelengkapan
dan keabsahan dokumen usaha perikanan serta memverifikasi kelengkapan dan
keabsahan SIPI dan SIKPI.
Selain itu, diatur pula dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor KEP.11/MEN/2004 tentang Pelabuhan Pangkalan Bagi Kapal Perikanan
pada Pasal 5 bahwa kapal perikanan wajib memberikan laporan pada pihak
pelabuhan. Adapun pada saat akan dimulai maupun setelah selesai melakukan
54
penangkapan dan/atau pengangkutan ikan nahkoda atau pengurus kapal perikanan
wajib melapor kedatangan dan/atau keberangkatannya kepada kepala pelabuhan
perikanan atau petugas yang ditunjuk di pelabuhan pangkalan atau di pelabuhan
muat atau singgah sebagaimana tercantum dalam SIPI atau SIKPI dengan
ketentuan sebagai berikut:
1) Dalam waktu sekurang-kurangnya 3 (tiga) jam sebelum meninggalkan
pelabuhan pangkalan untuk melakukan penangkapan dan/atau
pengangkutan ikan wajib memberitahukan keberangkatannya kepada
Kepala Pelabuhan Perikanan atau petugas yang ditunjuk, untuk:
(1) pemeriksaan dokumen perijinan kapal perikanan;
(2) pemeriksaan sarana penangkapan dan/atau pengangkutan ikan;
(3) menerima formulir logbook Perikanan;
(4) pemeriksaan lainnya yang diwajibkan oleh peraturan perundang-
undangan di bidang perikanan.
2) Setelah selesai melakukan kegiatan penangkapan dan/atau pengangkutan
ikan, kapal perikanan wajib masuk ke pelabuhan pangkalan atau di
pelabuhan muat atau singgah dan segera melaporkan kedatangannya
kepada Kepala Pelabuhan Perikanan atau petugas yang ditunjuk, untuk:
(1) pemeriksaan hasil tangkapan dan/atau ikan yang diangkut;
(2) menyerahkan formulir log book Perikanan yang telah diisi.
Kesimpulannya bahwa hukum Indonesia telah mengatur kewajiban kapal
perikanan untuk memiliki beberapa surat atau dokumen perizinan terkait kegiatan
penangkapan dan penangkutan ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik
Indonesia (WPP RI). Dokumen ini akan diperiksa oleh Kepala Pelabuhan atau
petugas yang ditunjuk (seperti pihak syahbandar dan pengawas perikanan) untuk
setiap kali kedatangan dan keberangkatan dari dan ke pelabuhan perikanan dengan
sebelumnya dilakukan pelaporan kepada Kepala Pelabuhan Perikanan atau
petugas yang ditunjuk.
2. Pemeriksaan dokumen identitas kapal
PSM Agreement menerangkan perlunya pemeriksaan terkait identitas
kapal (negara bendera, jenis kapal dan penanda kapal meliputi nama, nomor
registrasi eksternal, dan nomor identifikasi International Maritime Organization).
55
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 pada Pasal 42 ayat (2) menjelaskan
bahwa dalam syahbandar perikanan memiliki tugas dan wewenang salah satunya
yaitu memeriksa ulang kelengkapan dan dokumen kapal perikanan.
Pasal 78 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER.05/MEN/2008 menerangkan dilakukannya pengawasan dan pengendalian
kegiatan usaha perikanan tangkap yaitu terhadap operasional dan dokumen kapal
perikanan, Unit Penangkapan Ikan (UPI), dan ikan hasil tangkapan oleh pengawas
perikanan. Pasal 48 menambahkan bahwa dalam pemeriksaan fisik kapal, alat
penangkapan ikan, dan dokumen kapal pengangkut ikan berbendera asing salah
satunya diharuskan melampirkan fotokopi surat tanda kebangsaan kapal dengan
menunjukkan aslinya dan fotokopi surat ukur internasional dengan menunjukkan
aslinya. Pasal 6 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER.28/MEN/2009 menjelaskan bahwa pada lembar awal sertifikat hasil
tangkapan ikan dan lembar turunan sertifikat hasil tangkapan ikan memuat
beberapa informasi kapal. Informasi tersebut diantaranya seperti nama kapal,
bendera pelabuhan asal dan nomor registrasi, kode panggil, nomor International
Maritime Organization (IMO) (jika ada), nomor izin penangkapan dan masa
berlaku, nomor immarsat, nomor faksimile, nomor telepon, dan alamat surat
elektronik (e-mail) jika ada.
Hal ini memperlihatkan bahwa Indonesia telah mengatur adanya
pemeriksaan dokumen kapal yang kemudian terlampir pula fotokopi surat tanda
kebangsaan kapal dan fotokopi surat ukur internasional (pada pemeriksaan fisik
kapal) aslinya. Selain itu, informasi lainnya (nama kapal, bendera pelabuhan asal
dan nomor registrasi, kode panggil, nomor IMO, nomor izin penangkapan dan
masa berlaku, nomor immarsat, nomor faksimile, nomor telepon, dan alamat surat
elektronik atau e-mail) dimuat dalam lembar awal dan lembar turunan sertifikat
hasil tangkapan ikan.
56
3. Pemeriksaan radio komunikasi dan VMS (Vessel Monitoring System)
PSM Agreement menerangkan perlunya negara pelabuhan untuk
melakukan pemeriksaan keberadaan radio komunikasi penanda internasional, dan
pengendalian serta data VMS (Vessel Monitoring System) dari negara bendera atau
RFMO (Regional Fisheries Management Organization). Undang-Undang Nomor
45 tahun 2009, yang merupakan perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun
2004, pada Pasal 66 C menjelaskan bahwa pengawas perikanan memiliki
beberapa kewenangan yaitu salah satunya memeriksa peralatan dan keaktifan
sistem pemantauan kapal perikanan.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2008
Pasal 88 mewajibkan setiap kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan
berbendera asing memasang dan mengaktifkan transmitter atau sistem
pemantauan kapal perikanan VMS (Vessel Monitoring System), namun untuk
kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan berbendera Indonesia
hanya diwajibkan untuk kapal yang berukuran lebih dari 30 GT. Hal ini
dikarenakan untuk nelayan Indonesia yang beroperasi dengan kapal yang
berukuran kurang dari 30 GT adalah nelayan kecil yang terbatas dalam teknologi
dan jangkauan perlayaran/penangkapan. Selain itu, Pasal 26 Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2008 menjelaskan bahwa Direktur
Jenderal akan menerbitkan SIPI dengan salah satu syaratnya yaitu telah
terpenuhinya ketentuan pemasangan transmitter atau sistem pemantauan kapal
perikanan VMS (Vessel Monitoring System) untuk kapal penangkap ikan
berbendera Indonesia berukuran 100 GT ke atas. Sedangkan untuk penerbitan
SIKPI salah satu syaratnya jika telah dipenuhi ketentuan pemasangan transmitter
atau sistem pemantauan kapal perikanan VMS (Vessel Monitoring System) untuk
semua kapal pengangkut ikan berbendera asing dan kapal pengangkut ikan
berbendera Indonesia berukuran 100 GT ke atas.
Hukum Indonesia telah mengatur pelaksanaan pemeriksaan transmitter
atau sistem pemantauan kapal perikanan VMS (Vessel Monitoring System) hanya
untuk kapal penangkap ikan Indonesia dan kapal pengangkut ikan Indonesia serta
kapal pengangkut asing. Jika nantinya proses ratifikasi PSM Agreement telah
dilaksanakan, maka perlu penambahan aturan untuk kapal penangkap ikan asing
57
dalam hal pemeriksaan transmitter atau sistem pemantauan kapal perikanan VMS
(Vessel Monitoring System).
4. Pemeriksaan Logbook
Pemeriksaan logbook perikanan diterangkan dalam dokumen PSM
Agreement untuk dilakukan oleh negara pelabuhan. Undang-Undang Nomor 45
Tahun 2009, dalam Pasal 42 menjelaskan bahwa syahbandar perikanan memiliki
tugas dan wewenang yang salah satunya yaitu memeriksa logbook penangkapan
dan pengangkutan ikan.
Pasal 5 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER.18/MEN/2010 menambahkan bahwa logbook penangkapan ikan adalah
laporan harian tertulis nakhoda mengenai kegiatan penangkapan ikan yang
berisikan informasi data kapal perikanan, data alat penangkapan ikan, data operasi
penangkapan ikan, dan data ikan hasil tangkapan. Sedangkan masih dalam
Peraturan Menteri yang sama namun pada Pasal 6 ayat (1), dijelaskan bahwa
Kepala Pelabuhan Perikanan atau pejabat yang ditunjuk akan melakukan
verifikasi dan/atau pengisian data (entry data) log book penangkapan ikan yang
diserahkan oleh Nakhoda. Pengisiannya dilakukan sesuai data yang sebenarnya
dan tepat waktu. Logbook ini wajib diserahkan oleh nahkoda kepada Direktur
Jendral Perikanan Tangkap melalui Kepala Pelabuhan Perikanan sebagaimana
tercantum dalam Surat Ijin Penangkapan Ikan (SIPI) sebelum dilakukannya
pendaratan ikan hasil tangkapan. Selain itu dijelaskan pula dalam Pasal 5
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.11/MEN/2004 bahwa
setelah kapal perikanan selesai melakukan kegiatan penangkapan dan/atau
pengangkutan ikan, maka diwajibkan masuk ke pangkalan atau pelabuhan dengan
melaporkan kedatangannya kepada Kepala Pelabuhan Perikanan atau petugas
yang ditunjuk untuk dilakukan pemeriksaan hasil tangkapan dan formulir logbook
perikanan yang telah diisi oleh nahkoda atau pihak kapal.
Aturan Indonesia yang berlaku untuk mengatur pemeriksaan logbook telah
sangat jelas menerangkan bahwa logbook tersebut diserahkan ke nahkoda atau
pihak kapal saat keberangkatan dari pelabuhan perikanan dan diserahkan kembali
serta diperiksa saat kedatangan ke pelabuhan.
58
5. Pemeriksaan hasil tangkapan, transshipment, dan perdagangannya
Pemeriksaan hasil tangkapan, transshipment, dan perdagangannya perlu
dilakukan oleh negara pelabuhan. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 pada
Pasal 42 ayat (2) menerangkan bahwa syahbandar perikanan memiliki tugas dan
wewenang, salah satunya yaitu melakukan pemeriksaa terhadap sertifikat ikan
hasil tangkapan. Pemeriksaan ini akan mengacu pada pemeriksaan kondisi fisik
dari hasil tangkapan tersebut yang kemudian dijelaskan dalam Peraturan Menteri.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.12/MEN/2009 tentang
Perubahan Atas PER.05/MEN/2008 Pasal 16 menjabarkan bahwa nakhoda kapal
pengangkut ikan yang menerima penitipan (kapal pengangkut ikan berbendera
Indonesia dalam satu kesatuan manajemen usaha termasuk yang dilakukan
melalui kerja sama usaha) wajib melaporkan nama kapal, jumlah, jenis, dan asal
ikan hasil tangkapan dan/atau ikan yang diangkut kepada kepala pelabuhan
pangkalan yang tercantum dalam Surat Ijin Penangkapan Ikan (SIPI) dan/atau
Surat Ijin Kapal Pengakut Ikan (SIKPI).
Pengawas perikanan memiliki wewenang melakukan pemeriksaan fisik
terhadap ikan hidup, tuna untuk sashimi, dan/atau ikan lainnya yang menurut
sifatnya tidak memerlukan pengolahan yang dijelaskan dalam Pasal 18. Hasil
pemeriksaan tersebut akan mennetukan dikeluarkannya surat persetujuan tidak
didaratkan atau dapat dipindahkannya ikan jenis tertentu ke kapal lain atau pula
surat perintah didaratkannya seluruh ikan hasil tangkapan. Keputusan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.11/MEN/2004 Pasal 5, juga menjelaskan
adanya pemeriksaan hasil tangkapan dan/atau ikan yang diangkut setelah kapal
melakukan kegiatan penangkapan dan/atau pengangkutan ikan dan masuk ke
pelabuhan pangkalan. Sedangkan pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor PER.28/MEN/2009 Pasal 1, menjelaskan bahwa Sertifikat Hasil
Tangkapan (Catch Certificate) adalah surat keterangan yang dikeluarkan oleh
Kepala Pelabuhan Perikanan yang ditunjuk oleh otoritas Kompeten yang
menyatakan bahwa hasil tangkapan ikan bukan dari kegiatan IUU (Illegal,
Unreported and Unregulated) Fishing. Hal ini diharuskan untuk hasil tangkapan
kapal penangkap ikan berbendera Indonesia yang akan diekspor baik langsung
maupun tidak langsung ke Uni Eropa. Sertifikasi hasil tangkapan tersebut akan
59
menjamin diterimanya hasil tangkapan tersebut dalam suatu target pasar tertentu.
Sertifikat Hasil Tangkapan tersebut diperiksa oleh syahbandar perikanan yang
dijelaskan sebagai tugas dan wewenangnya dalam Pasal 42 Undang-Undang
Nomor 45 Tahun 2009.
Pengaturan tentang transshipment dijelaskan dalam Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor.PER/14/MEN/2011 tentang Usaha Perikanan
Tangkap. Penjelasan yaitu, dalam Peraturan Menteri ini yang dikategorikan
pemindahan dan/atau penerimaan ikan hasil tangkapan di daerah penangkapan
(transhipment) yang dilarang, meliputi:
a) pemindahan ikan hasil tangkapan dari daerah penangkapan untuk dibawa
langsung ke luar negeri atau ke pelabuhan perikanan di dalam negeri yang
bukan merupakan pelabuhan pangkalan sebagaimana tercantum dalam SIPI
dan/atau SIKPI; dan
b) pemindahan dan/atau penerimaan ikan hasil tangkapan di daerah penangkapan
dari kapal penangkap ikan ke kapal penangkap ikan lainnya atau ke kapal
pengangkut ikan yang bukan dalam satu kesatuan manajemen usaha, kerja
sama usaha, satuan armada, dan kemitraan.
Hukum Indonesia telah mengatur pemeriksaan hasil tangkapan dan hasil
angkutan (transshipment) pada satu kesatuan usaha perikanan tangkap, serta
mengatur Sertifikat Hasil Tangkapan yang diperlukan untuk perdagangan hasil
tangkapan ke Uni Eropa.
6. Pemeriksaan daftar awak kapal
Negara pelabuhan, dijelaskan dalam dokumen PSM Agreement harus
melakukan pemeriksaan daftar awak kapal yang terlibat dalam kegiatan
penengkapan atau pengangkutan ikan. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor PER.12/MEN/2009 Pasal 75 menjelaskan bahwa jika dalam usaha
perikanan akan mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (TKA) di atas kapal
penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan, wajib terlebih dahulu
mendapatkan surat rekomendasi penggunaan TKA dari Direktur Jenderal
Perikanan Tangkap dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan yang
beberapa diantaranya yaitu harus melampirkan Rencana Penggunaan Tenaga
60
Kerja Asing (RPTKA), sertifikat kompetensi Anak Buah Kapal (ABK) yang telah
disahkan oleh Direktur Jenderal Perikanan Tangkap, dan fotokopi paspor dan/atau
buku saku pelaut (seaman book) TKA yang akan dipekerjakan. Proporsi
penggunaan TKA telah diatur komposisinya dalam Pasal 75A Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor PER.12/MEN/2009 dengan ketentuan berikut:
1) Tahun pertama maksimal 50% dari jumlah keseluruhan awak kapal;
2) Tahun kedua maksimal 30% dari jumlah keseluruhan awak kapal; dan
3) Tahun ketiga dan seterusnya maksimal 10% dari jumlah keseluruhan awak
kapal.
Selain itu, pada Pasal 48 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor PER.12/MEN/2009 menjelaskan bahwa dalam permohonan pemeriksaan
fisik kapal diharuskan untuk melampirkan fotokopi surat kelaikan dan
pengawakan kapal.
Hukum Indonesia belum secara lugas menerangkan adanya pemeriksaan
khusus daftar awak kapal, waktu pelaksanaan pemeriksaan, dan pihak pelaksana
pemeriksaan melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan. Namun secara
umum daftar awak kapal terlampirkan ketika nahkoda atau pihak kapal
mengajukan permohonan pemeriksaan fisik.
4.1.3 Pemeriksaan bagian kapal, alat penangkapan ikan dan/atau alat
bantu penangkapan ikan
Butir selanjutnya yang diwajibkan PSM Agreement kepada negara
pelabuhan yaitu dilakukan pemeriksaan seluruh bagian kapal (meliputi palkah,
semua ruang di atas kapal, dan dimensi kapal), alat penangkapan ikan dan/atau
alat bantu penangkapan ikan. Pemeriksaan alat penangkapan ikan dan/atau alat
bantu penangkapan ikan dilakukan oleh pihak syahbandar perikanan sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 pada Pasal 42 ayat (2). Pasal 42
tersebut menjelaskan bahwa pihak syahbandar perikanan memiliki tugas dan
wewenang memeriksa teknis dan nautis kapal perikanan; memeriksa alat
penangkapan ikan; dan alat bantu penangkapan ikan. Surat Ijin Penangkapan Ikan
(SIPI) dan Surat Ijin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI) dapat diperoleh atau
diperpanjang setelah dilakukannya pemeriksaan fisik kapal. Pemeriksaan tersebut
meliputi pemeriksaan dimensi kapal (ukuran panjang dan lebar kapal), merek dan
61
nomor mesin kapal, jumlah dan volume palkah. Hal ini dijelaskan dalam
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.12/MEN/2009 Pasal 46.
Hukum Indonesia telah mengatur regulasi pemeriksaan fisik kapal,
dimensi kapal (ukuran panjang dan lebar kapal), merek dan nomor mesin kapal,
jumlah dan volume palkah serta alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu
penangkapan ikan. Namun pelaksanaan pemeriksaan fisik kapal tersebut
umumnya hanya dilakukan saat mengurus penerbitan dan perpanjangan SIPI dan
SIKPI saja.
4.1.4 Kesesuaian pemeriksaan dengan keterangan dokumen dan hasil
wawancara
Setiap hasil pemeriksaan fisik harus disesuaikan dengan keterangan yang
terdapat dalam dokumen dan hasil wawancara dengan kapten atau pihak kapal.
Hal inilah yang diwajibkan PSM Agreement kepada negara pelabuhan. Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.12/MEN/2009 Pasal 80 menjelaskan
bahwa jika penyampaian data dalam Surat Ijin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Ijin
Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI), dan/atau Surat Ijin Penangkapan Ikan (SIPI)
berbeda dengan fakta yang ada di lapangan maka SIUP, SIKPI, dan SIPI akan
dicabut. Hal ini diupayakan untuk kesesuaian hasil pemeriksaan fisik dengan data
dalam dokumen perizinan. Selain itu pada Pasal 6 Ayat (2) Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor PER.07/MEN/2010 menjelaskan bahwa
persyaratan kelayakan teknis untuk kapal perikanan yang akan melakukan
penangkapan ikan, meliputi:
1) kesesuaian fisik kapal perikanan dengan yang tertera dalam SIPI, terdiri dari
bahan kapal, merek dan nomor mesin utama, tanda selar, dan nama panggilan
atau call sign;
2) kesesuaian jenis dan ukuran alat penangkapan ikan dengan yang tertera pada
SIPI; dan
3) keberadaan dan keaktifan alat pemantauan kapal perikanan yang
dipersyaratkan.
Hal tersebut menunjukkan bahwa hukum Indonesia telah mengatur adanya
kesesuaian hasil pemeriksaan fisik dengan data dalam dokumen perizinan.
62
Namun kesesuaian terhadap hasil wawancara dengan kapten atau pihak kapal
belum diatur dalam hukum Indonesia.
4.1.5 Pembuatan laporan hasil pemeriksaan
PSM Agreement mengatur adanya pembutan laporan hasil atas
pemeriksaan yang kemudian diketahui atau ditandatangani oleh pihak yang
melakukan pemeriksaan dan kapten kapal atau pihak kapal. Undang-Undang
Nomor 45 Tahun 2009 Pasal 66C menjabarkan salah satu wewenang pengawas
perikanan setelah melakukan pemeriksaan yaitu mendokumentasikan hasil
pemeriksaan yang telah dilakukan. Selain itu pada Peraturan Menteri Kelautan
dan Perikanan Nomor PER.07/MEN/2010 Pasal 12 menjelaskan bahwa nahkoda,
pemilik, operator kapal atau penanggung jawab perusahaan perikanan wajib
melaporkan rencana keberangkatan kepada Pengawas perikanan paling lambat 1
(satu) hari sebelum keberangkatan. Selanjutnya pada Pasal 13, akan dilakukan
pemeriksaan administrasi dan teknis yang hasilnya dituangkan dalam form Hasil
Pemeriksaan Kapal (HPK) yang ditandatangani oleh pengawas perikanan dan
nahkoda, pemilik, operator kapal atau penanggung jawab perusahaan perikanan.
Hal ini dilakukan untuk penerbitan Surat Laik Operasi (SLO).
Hukum Indonesia telah mengatur bahwa setelah dilakukan pemeriksaan
administrasi dan teknis, hasilnya akan dituangkan dalam form HPK yang
ditandatangani oleh pengawas perikanan dan nahkoda, pemilik, operator kapal
atau penanggung jawab perusahaan perikanan.
4.1.6 Pelatihan untuk pengawas atau petugas pemeriksa
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Pasal 57 sampai Pasal 59
menerangkan bahwa pemerintah akan menyelenggarakan pendidikan, pelatihan,
dan penyuluhan perikanan untuk meningkatkan pengembangan sumberdaya
manusia di bidang perikanan. Hal ini dapat bekerjasama dengan lembaga terkait
di tingkat nasional maupun internasional yang diatur oleh peraturan pemerintah.
Selain itu dalam Pasal 68 juga menjelaskan bahwa pemerintah akan mengadakan
sarana dan prasarana pengawasan perikanan, sehingga dapat disimpulkan bahwa
adanya suatu pelatihan untuk pengawas perikanan dalam peningkatan kinerja.
63
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.09/MEN/2008
pada pasal 1 ayat (1) menjelaskan bahwa Pendidikan dan Pelatihan, yang
selanjutnya disebut Diklat adalah proses penyelenggaraan belajar mengajar atau
kegiatan untuk meningkatkan kemampuan, keahlian dan ketrampilan. Pelatihan
dan pendidikan tersebut diselenggarakan dalam beberapa bentuk, beberapa
diantaranya dijelaskna pada Pasal 1 ayat (7) dan ayat (8). Pasal 1 ayat (7)
menambahkan bahwa Pendidikan dan Pelatihan Aparatur, yang selanjutnya
disebut Diklat Aparatur adalah proses penyelenggaraan belajar mengajar dalam
rangka meningkatkan kemampuan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), Pegawai
Negeri Sipil (PNS) Departemen Kelautan dan Perikanan, dan instansi terkait.
Sedangkan Pasal 1 ayat (8) menerangkan Pelatihan Non-Aparatur adalah proses
penyelenggaraan kegiatan untuk meningkatkan serta mengembangkan kompetensi
profesi, produktivitas, disiplin, sikap dan etos kerja pada tingkat ketrampilan dan keahlian
di bidang kelautan dan perikanan.
Hukum Indonesia belum jelas menerangkan adanya pelatihan khusus
untuk petugas pengawasan dan pemeriksa khususnya kedatangan kapal. Hukum
yang ada hanya menyampaikan secara umum bahwa akan diselenggarakan
pelatihan, pendidikan atau pengembangan sumberdaya manusia di bidang
perikanan.
4.1.7 Pengunaan sistem informasi kode internasional
Belum adanya regulasi hukum Indonesia yang mengatur penggunaan
sistem informasi dengan kode internasional (meliputi kode negara, kapal, alat
tangkap, dan jenis hasil tangkapan) di pelabuhan perikanan. Oleh karena itu,
perlu pengadaan regulasi menyangkut hal tersebut, untuk nantinya dalam
penerapan PSM (Port State Measures) Agreement di Indonesia.
64
Prosedur kedatangan kapal perikanan yang berlaku di pelabuhan perikanan
Indonesia adalah12:
1) Setiap kapal perikanan yang akan memasuki pelabuhan perikanan wajib
terlebih dahulu memberitahukan kedatangan kapal kepada Syahbandar di
Pelabuhan Perikanan;
2) Pemberitahuan sekurang-kurangnya 2 (dua) jam sebelum kapal memasuki
pelabuhan perikanan;
3) Pihak pelabuhan (dalam hal ini syahbandar di pelabuhan perikanan) akan
mengatur tempat tambat atau labuh kapal perikanan;
4) Nakhoda atau pengurus kapal wajib menyerahkan dokumen kapal perikanan
kepada syahbandar di pelabuhan perikanan selambat-lambatnya 2 jam setelah
masuk pelabuhan. Hal ini dilakukan untuk kemudian diperiksa dan disimpan
selama kapal berada di pelabuhan perikanan (baik tambat maupun labuh);
5) Pihak pelabuhan (dalam hal ini syahbandar di pelabuhan perikanan) akan
memberikan Surat Tanda Bukti Lapor Kedatangan Kapal (STBLKK);
6) Pemberitahuan kedatangan kapal di pelabuhan perikanan untuk kapal lebih
dari 30 GT, pada umumnya dilakukan oleh nakhoda kapal perikanan melalui
agen perusahaan untuk selanjutnya agen atau pengurus kapal menyampaikan
rencana kedatangan kapalnya kepada syahbandar di pelabuhan perikanan;
7) Pemberitahuan dimaksud mencakup:
(1) identitas kapal (meliputi nama kapal, jenis kapal, pemilik kapal, ukuran
kapal);
(2) tujuan pendaratan atau masuk pelabuhan;
(3) asal kapal/kebangsaan kapal;
(4) jumlah awak kapal;
(5) call sign kapal;
(6) jenis ikan yang akan didaratkan;
(7) alat penangkap ikan; dan
(8) wilayah penangkapan.
12Powerpoint Presentation Sekretaris Direktorat Jenderal PSDKP, Penerapan Port State Measures
di Pelabuhan Perikanan, Surabaya, Direktorat Jenderal PSDKP, 2011, slide 11.
65
Prosedur keberangkatan kapal yang berlaku di pelabuhan perikanan
Indonesia sebagai berikut13:
1) Setiap kapal perikanan yang akan berangkat dari pelabuhan perikanan wajib
terlebih dahulu memberitahukan rencana keberangkatannya kepada
syahbandar di pelabuhan perikanan paling lambat 1 x 24 jam sebelum kapal
perikanan berangkat dari pelabuhan perikanan;
2) Syahbandar di pelabuhan perikanan segera memeriksa dokumen kapal
perikanan dan memeriksa kelengkapan di atas kapal, setelah menerima
pemberitahuan;
3) Pemeriksaan ulang alat penangkap ikan dan pemeriksaan teknis dan nautis
kapal perikanan serta persyaratan ABK;
4) Hasil pemeriksaan merupakan dasar pertimbangan untuk menerbitkan Surat
Ijin Berlayar (SIB) atau Surat Persetujuan Berlayar (SPB); dan
5) Setiap kapal perikanan yang telah menerima Surat Ijin Berlayar (SIB) dalam
waktu 2 x 24 jam wajib segera berangkat atau meninggalkan pelabuhan
perikanan, jika dalam waktu tersebut tidak juga berangkat maka Surat Ijin
Berlayar (SIB) tidak berlaku lagi.
Penerapan ketentuan port state measures (PSM) hanya diberlakukan bagi
kapal perikanan asing dan kapal kontainer asing yang mengangkut ikan. Hal
terkait yang harus disiapkan kepala pelabuhan perikanan dalam penerapan port
state measures (PSM) yaitu petugas yang dilatih untuk melaksanakan penerapan
PSM di pelabuhan masing-masing dan ketersediaan jaringan (networking) untuk
penerapan Monitoring Control System (MCS) termasuk hardware dan software.
Hal-hal yang harus dipersiapkan dalam penerapan port state measures di
pelabuhan perikanan adalah14:
1) Pengembangan fasilitas dan sarana di 5 (lima) Pelabuhan Perikanan;
Adapun kelima pelabuhan perikanan tersebut adalah Pelabuhan Perikanan
Samudera (PPS) Nizam Zachman, Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS)
Bungus, Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bitung, Pelabuhan Perikanan
13Powerpoint Presentation Sekretaris Direktorat Jenderal PSDKP, Ibid, slide 13.
14Powerpoint Presentation Sekretaris Direktorat Jenderal PSDKP, Ibid, slide 8.
66
Nusantara (PPN) Ambon, dan Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN)
Palabuhanratu.
2) Sosialisasi port state measures, termasuk kepada pemilik kapal berbendera
Indonesia (karena sudah ada yang ditengarai melakukan IUU fishing dan
mendaratkan hasil tangkapan di luar Indonesia);
3) Pelatihan sumberdaya manusia di pelabuhan perikanan;
4) Peningkatan sistem informasi di pelabuhan perikanan; dan
5) Penyusunan standar operasional dan prosedur port state measures.
Kegiatan yang telah dilakukan pasca penandatanganan port state measures
yaitu15:
1) Melakukan sosialisasi port state measures kepada pihak terkait;
2) Studi banding kepala pelabuhan calon lokasi penerapan port state measures ke
Pelabuhan di Amerika Serikat; dan
3) Melakukan kerjasama dengan NOAA (National Oceanic and Atmospheric
Administration) untuk mempersiapkan penerapan port state measures di
Indonesia (Amerika Serikat termasuk 16 negara yang telah menandatangani
port state measures agreement).
Kegiatan yang akan dilakukan pasca penandatanganan port state measures
yaitu16:
1) Persiapan dan proses ratifikasi perjanjian port state measures;
2) Seminar nasional lintas instansi terkait (bekerjasama dengan NOAA);
3) Pelaksanaan TOT (Training of Trainer) untuk petugas port state measures di
lapangan (bekerjasama dengan NOAA);
4) Sosialisasi port state measures kepada para pihak terkait;
5) Penyusunan SOP (Standar Operasioanal Prosedur) penerapan port state
measures;
6) Penguatan kerjasama dengan negara-negara yang telah meratifikasi port state
measures agreement;
7) Pengembangan sistem informasi antar pelabuhan perikanan (PIPP); dan
8) Peningkatan sarana dan prasarana pendukung.
15Powerpoint Presentation Sekretaris Direktorat Jenderal PSDKP, Ibid, slide 17.
16Powerpoint Presentation Sekretaris Direktorat Jenderal PSDKP, Ibid, slide 18.
67
Permasalahan dalam penerapan port state measures di pelabuhan
perikanan antara lain sebagai berikut17:
1) Terbatasnya kolam dan dermaga untuk kapal asing di pelabuhan perikanan;
2) Terbatasnya kapasitas untuk kebutuhan logistik;
3) Belum meratanya pemahaman aparat atau masyarakat termasuk pelaku usaha
(stakeholder) tentang port state measures;
4) Terbatasnya jumlah dan kemampuan port state measures, serta terbatasnya
fasilitas dan jaringan kerja terkait dengan port state measures;
5) Belum memadainya ketentuan dan peraturan, termasuk prosedur standar
dalam pelaksanaan port state measures; dan
6) Masih kurangnya sistem informasi (nasional, regional, dan internasional).
4.2 Kesiapan Pelaksanaan Hukum dan Peraturan Perikanan di PPS Nizam
Zachman Jakarta
Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Nizam Zachman Jakarta terletak di
Jalan Muara Baru Ujung, Penjaringan, Jakarta Utara. Letak geografis PPS Nizam
Zachman Jakarta yaitu 106°48'11"BT dan 06°05'40"LS. Secara geografis PPS
Nizam Zachman Jakarta berbatasan sebagai berikut. Adapun batas-batas area PPS
Nizam Zachman Jakarta.
Tabel 6 Batas-batas area PPS Nizam Zachman Jakarta Batas area Wilayah perbatasan Posisi koordinat
Utara Teluk Jakarta di Laut Jawa 106˚48’15’’BT dan 6˚6’18’’LS
Selatan Jalan Muara Baru 106˚47’54’’BT dan 6˚6’20’’LS
Timur Pelabuhan Sunda Kelapa 106˚48’14’’BT dan 6˚5’32’’LS
Barat Waduk Pluit/ Pantai Mutiara 106˚47’44’’BT dan 6˚5’34’’LS
(Sumber: PPS Nizam Zachman, 2011)
PPS Nizam Zachman Jakarta (2011) menjelaskan bahwa terdapat beberapa
fungsi yang dijalankan oleh pelabuhan yaitu:
1) Perencanaan, pembangunan, pengembangan, pemeliharaan, pengawasan, dan
pengendalian serta pendayagunaan sarana dan pasarana pelabuhan perikanan;
2) Pelayanan teknis kapal perikanan dan kesyahbandaran di pelabuhan
perikanan;
17 Powerpoint Presentation Sekretaris Direktorat Jenderal PSDKP, Ibid, slide 15.
68
3) Pelayanan jasa dan fasilitasi usaha perikanan;
4) Pengembangan dan fasilitasi penyuluhan serta pemberdayaan masyarakat
perikanan;
5) Pelaksanaan fasilitas dan koordinasi di wilayahnya untuk peningkatan
produksi, distribusi, dan pemasaran hasil perikanan;
6) Pelaksanaan fasilitas publikasi hasil riset, produksi, dan pemasaran hasil
perikanan di wilayahnya;
7) Pelaksanaan fasilitas pemantauan wilayah pesisir dan wisata bahari;
8) Pelaksanaan pengawasan penangkapan sumberdaya ikan, penanganan,
pengolahan, pemasaran, serta pengendalian mutu hasil perikanan;
9) Pelaksanaan pengumpulan, pengolahan, dan penyajian data perikanan, serta
pengelolaan sistem informasi; dan
10) Pelaksanaan urusan keamanan, ketertiban, dan pelaksanaan kebersihan
kawasan pelabuhan serta pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga.
Menurut PPS Nizam Zachman Jakarta (2011), terdapat 7 (Tujuh) fasilitas
pokok, 17 fasilitas fungsional, dan 18 fasilitas penunjang di pelabuhan. PPS
Nizam Zachman Jakarta memiliki luas dermaga 2224 m dengan kolam dan alur
pelayaran seluas 40 Ha. PPS Nizam Zachman Jakarta memiliki beberapa fasilitas
yang membantu pengawasan perikanan yaitu seperti menara pengawasan seluas
1.096 m2, 2 unit rambu navigasi, kantor pelayanan terpadu seluas 690 m
2, pos
Keamanan Laut (yang dikelola TNI-AL) seluas 69,5 m2, dan 3 sudut CCTV
(Closed Circiut Televison) serta speaker di dermaga timur. Kolam pelabuhan
yang dimiliki PPS Nizam Zachman Jakarta adalah 3 m sampai 4 m. Hal ini sudah
cukup menunjang akses masuknya kapal asing nanti yang umumnya memiliki
draft 3 m sampai 4 m. Syahbandar PPS Nizam Zachman Jakarta memiliki 1 (satu)
unit kapal patroli untuk mengawasi Wilayah Kerja Operasional Pelabuhan
Perikanan (WKOPP). Hal lain terkait fasilitas yang telah dimiliki, dianggap
masih perlu adanya peningkatan kapasitas dan pengadaan fasilitas yang belum
dimiliki lainnya. Berikut beberapa yang dianggap perlu ditingkatkan dan
diadakan di PPS Nizam Zachman Jakarta18:
1) Sarana komunikasi radio;
18Hasil wawancara dengan Kepala Syahbandar PPS Nizam Zachman Jakarta, 5 Januari 2012.
69
2) Pengadaan faksimile untuk komunikasi dari kapal ke syahbandar perikanan;
3) Perlengkapan petugas pemeriksa seperti jaket hangat, senter, masker, helm,
kacamata, mantel hujan, boot, dan lain sebagainya;
4) Radio komunikasi HT (Handy Talky);
5) Peningkatan jumlah CCTV (Closed Circiut Televison) ke 10 sudut lainnya;
6) Speaker di seluruh wilayah pelabuhan;
7) Kendaraan penunjang roda empat; dan
8) Kapal tug boat atau fire boat yang membantu jika terjadi kebakaran.
Lubis, dkk (2010) menerangkan kategori Pelabuhan Perikanan Samudera
merupakan pelabuhan yang dapat diakses kapal perikanan yang melakukan
bongkar muat yaitu sekurang-kurangnya 60 GT (Gross Tonnage) dan mampu
menampung sekurang-kurangnya 100 kapal atau jumlah keseluruhan sekurang-
kurangnya 6000 GT kapal perikanan sekaligus. Terjadi fluktuasi jumlah kegiatan
kapal dari tahun 2006 2010 di PPS Nizam Zachman Jakarta. Berikut rekapitulasi
jumlah aktivitas kapal tersebut.
Tabel 7 Rekapitulasi data kegiatan kapal di PPS Nizam Zachman Jakarta Jenis kapal Tahun Rerata
2006 2007 2008 2009 2010
Masuk 3793 3528 3272 3400 3478 3494
Tambat 3787 3528 2383 3318 3478 3299
Labuh 5 - - - - -
Dock 172 327 231 122 381 247
Floating repair 127 58 36 86 159 93
Bongkar ikan 2029 1644 1493 2704 2983 2171
Isi perbekalan 2581 2706 2200 2112 314 1983
Keluar 3046 2916 3239 3370 3383 3191
(Sumber: PPS Nizam Zachman, 2011)
PPS Nizam Zachman Jakarta merupakan salah satu pelabuhan perikanan
yang ditunjuk sebagai pilot project penerapan PSM Agreement. Hal ini
disampaikan pada tanggal 11 Agustus 2009 oleh Direktorat Jenderal Perikanan
Tangkap yang menerbitkan keputusannya No. 18/DJ-PT/2009 tentang Penetapan
Pelabuhan Perikanan sebagai pilot project penerapan PSM Agreement. Adapun 4
(empat) pelabuhan perikanan lainnya yaitu Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS)
70
Bungus, Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bitung, Pelabuhan Perikanan
Nusantara (PPN) Ambon, dan Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN)
Palabuhanratu19.
Aturan Indonesia secara langsung diberlakukan di PPS Nizam Zachman
Jakarta untuk mengatur kegiatan perikanan yang ada. PPS Nizam Zachman
Jakarta juga berupaya melawan praktik IUU fishing. Namun aturan yang berlaku
hingga saat ini (belum diratifikasinya PSM Agreement) hanya sebatas pengaturan
keluar dan masuknya kapal Indonesia atau kapal lokal. Aturan keluar dan
masuknya kapal Indonesia atau kapal lokal tersebut menjadi acuan untuk
penerapan PSM Agreement. Karena dari aturan tersebut dapat dilihat sebatas apa
pelaksanaan yang telah ada di PPS Nizam Zachman, untuk kemudian dilakukan
pengoreksian dan rekomendasi penerapan aturan jika nantinya telah diratifikasi
PSM Agreement. Adapun untuk setiap keberangkatan kapal dan kedatangan kapal
Indoensia telah diatur prosedurnya disesuaikan dengan aturan perikanan
Indonesia. Prosedur kapal keluar pelabuhan di PPS Nizam Zachman ditunjukkan
dalam Gambar 4. Pihak kapak (nahkoda, pemilik, agen kapal) yang akan keluar
dari PPS Nizam Zachman Jakarta harus menyampaikan rencana kapal keluar
kepada Kepala Pelabuhan dengan tembusan kepada Syahbandar PPS Nizam
Zachman. Kemudian Kepala Pelabuhan akan mengeluarkan persetujuan atau
tidaknya pada lembar rekomendasi. Jika permohonan rencana tersebut disetujui,
maka prosedur lanjutan yang harus dilakukan yaitu:
1) Menyelesaikan urusan tambat atau labuh, kegiatan dock, dan perbekalan di
Perum PPS Nizam Zachman Jakarta;
2) Menjalani pemeriksaan kesehatan ABK (Anak Buah Kapal) dan pemeriksaan
kesehatan kapal oleh pihak karantina atau pos kesehatan;
3) Menjalani pemeriksaan imigrasi yaitu tehadap dokumen ABK kapal (jika
terdapat orang asing); dan
4) Menyelesaikan urusan retribusi pelelangan dan pembinaan mutu kepada dinas
perikanan.
19Workshop Port State Measures Agreement: Strategi Implementasi dan Evaluasi Kesiapan Indonesia, Op Cit, hlm 1.
71
Setelah prosedur lanjutan tersebut dilakukan, maka kapal yang akan keluar
akan berurusan terlebih dahulu dengan pengawas perikanan dan syahbandar
perikanan. Pengawas perikanan akan melakukan pemeriksaan perijinan kapal,
alat penangkapan, jumlah hasil tangkapan dan jenis hasil tangkapan. Setelah
semua selesai maka akan dikeluarkan SLO (Surat Layak Operasi) oleh pengawas
perikanan. Syahbandar perikanan akan menindaklanjuti isi rekomendasi yang
dikeluarkan Kepala PPS Nizam Zachman (dengan tembusan kepada Syahbandar
PPS Nizam Zachman). Setelah itu, pihak Syahbandar pelabuhan akan melakukan
pemeriksaan antara lain yaitu:
1) pemeriksaan dokumen perijinan;
2) pemeriksaan daftar ABK;
3) pemeriksaan nautis, teknis, dan admin;
4) pemeriksaan alat penangkap ikan bagi kapal penangkap ikan;
5) pemeriksaan kelengkapan standar kapal pengangkut ikan; dan
6) pemeriksaan pelunasan retribusi kapal.
Setelah semua pemeriksaan selesai, maka kesyahbandaran pelabuhan akan
menerbitkan surat ijin berlayar (SIB) untuk kapal yang akan keluar. Berikut
gambaran prosedur kapal keluar pelabuhan di PPS Nizam Zachman.
72
Gambar 1 Prosedur kapal keluar pelabuhan.
PROSEDUR KAPAL KELUAR PELABUHAN
Kesyahbandaran pelabuhan
• Memeriksa dokumen perijinan
• Memeriksa daftar ABK
• Memeriksa nautis, teknis, dan admin
• Memeriksa alat penangkap ikan bagi kapal
penangkap ikan
• Memeriksa kelengkapan standar kapal pengangkut
ikan
• Memeriksa pelunasan retribusi kapal
• Menerbitkan Surat Ijin Berlayar (SIB)
Kapal keluar
Nahkoda/pemilik/
pengurus/agen
kapal
• Lapor status kapal
yang akan keluar
ke instansi terkait
• Menyelesaikan
seluurh kewajiban
retribusi
Perum PPS
• Retribusi tambat labuh
Imigrasi
• Pemeriksaan
dokumen ABK
Pos kesehatan
pelabuhan
• Pemeriksaan
kesehatan ABK
• Pemeriksaan
kesehatan di kapal
Dinas perikanan
• Retribusi
Pengawas perikanan
• Memeriksa
perijinan perikanan
• Memeriksa alat
penangkapan,
jumlah dan jenis
hasil tangkapan
• Menerbitkan Surat
Layak Operasi
(SLO)
73
Kedatangan kapal Indonesia untuk masuk ke PPS Nizam Zachman Jakarta
diatur dengan prosedur yang hampir sama dengan prosedur kapal keluar, yaitu
melalui pemeriksaan beberapa pihak. Namun perbedaannya terdapat pada runtun
alur pemeriksaannya. Awal kedatangan kapal Indonesia akan dilakukan
pemeriksaan oleh syahbandar perikanan dan pengawas pelabuhan. Prosedur
masuknya kapal Indonesia ke PPS Nizam Zachman diterangkan dalam Gambar 5.
Syahbandaran perikanan akan memeriksa beberapa hal antara lain:
1) memeriksa dokumen dan daftar ABK;
2) memeriksa nautis, teknis, dan admin kapal;
3) memeriksa Surat Ijin Berlayar (SIB) atau Surat Persetujuan Berlayar (SPB)
terakhir;
4) memeriksa Sertifikat Hasil Tangkapan Ikan (SHTI);
5) memeriksa logbook;
6) penempatan sandar, labuh, tambat kapal;
7) mengisi form memorandum kedatangan;
8) menyimpan dokumen kapal; dan
9) penerbitan Surat Tanda Bukti Lapor Kedatangan Kapal (STBLKK).
Sedangkan pengawas perikanan akan melakukan beberapa pemeriksaan
lainnya yaitu:
1) memeriksa SLO (Surat Layak Operasi) dan LBP (Logbook Perikanan);
2) memeriksa perijinan perikanan;
3) memeriksa alat tangkap, hasil tangkap, jumlah hasil tangkap, dan jenis hasil
tangkap; dan
4) memeriksa bila terdapat penyimpangan/pelanggaran dan membuat laporan
kejadian sampai proses penyidikan.
Jika terdapat penyimpangan atau pelanggaran perikanan dalam
pemeriksaan yang dilakukan oleh syahbandar perikanan dan pengawas pelabuhan,
maka akan dibuat laporan kejadian dan dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan
lanjutan untuk mendukung pembuktian. Hal tersebut berpedoman dengan Surat
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.02/MEN/2002 tentang
Pedoman Pengawasan dan Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor KEP.03/MEN/2002 tentang LBP (Logbook Perikanan). Setelah itu
74
penyidikan atau pemberkasan menerbitkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan
(SPDP) untuk ditindaklanjuti oleh kepolisian, TNI-AL (Tentara Negara Indonesia
- Angkatan Laut), dan kejaksaan. Kemudian hal tersebut akan diproses oleh
penuntut umum dan pengadilan negeri.
Namun jika tidak terdapat permasalahan dalam pemeriksaan yang
dilakukan oleh syahbandar perikanan dan pengawas pelabuhan maka pihak kapal
akan melanjutkan beberapa pemeriksaan lainnya. Pemeriksaan tersebut antara
lain dilakukan oleh pihak bea cukai, pihak imigrasi, Dinas Perikanan, pihak
karantina kesehatan, dan pihak Perum PPS Nizam Zachman Jakarta. Pemeriksaan
yang dilakukan oleh pihak beacukai yaitu terkait muatan yang menyangkut
kepabeanan. Selanjutnya pihak imigrasi akan memeriksa kewarganegaraan orang
atau ABK (Anak Buah Kapal) yang ada di kapal. Sedangkan pihak Dinas
Perikanan akan melakukan pemeriksaan terhadap pelelangan dan pembinaan mutu
terhadap hasil tangkapan. Selain itu ada pula pemeriksaan yang dilakukan oleh
pos kesehatan pelabuhan yang memeriksa kesehatan ABK (Anak Buah Kapal)
dan kesehatan di kapal. Sedangkan Perum (Perusahaan umum) PPS akan
melakukan mengatur tamat labuh, perbekalan, docking. Berikut Gambar 5
diagram alir prosedur kapal Indonesia masuk pelabuhan.
75
G
ambar
5 Pro
sedur
kap
al I
ndones
ia m
asuk p
elab
uhan
.
PR
OSE
DU
R K
APA
L IN
DO
NE
SIA
MA
SU
K P
EL
AB
UH
AN
Kap
al m
asuk
Kes
yah
ban
dar
an p
elab
uhan
• M
emer
iksa
dokum
en d
an d
afta
r A
BK
• M
emer
iksa
nau
tis,
tek
nis
, dan
adm
in
• M
emer
iksa
SIB
ter
akhir
• Pen
empat
an s
andar
, la
buh, ta
mbat
• M
engis
i fo
rm m
emora
ndum
ked
atan
gan
• M
enyim
pan
dokum
en k
apal
• M
ener
bit
kan
Sura
t T
anda
Bukti
Lap
or
Ked
atan
gan
Kap
al (
ST
BL
KK
)
Pen
gaw
as p
erik
anan
• M
emer
iksa
SL
O d
an
LB
P
• M
emer
iksa
per
ijin
an p
erik
anan
• M
emer
iksa
ala
t ta
ngkap
, has
il tan
gkap
an,
jum
lah d
an jen
is h
asil
tan
gkap
an
• M
emer
iksa
jik
a ad
a
pen
yim
pan
gan
/pel
anggar
an m
embuat
lapora
n k
ejad
ian s
ampai
pro
ses
pen
yid
ikan
Bil
a ad
a pen
yim
pan
gan
/pel
anggar
an p
erik
anan
• M
embuat
lap
ora
n k
ejad
ian
• M
elak
ukan
pem
erik
saan
-pem
erik
saan
untu
k
men
dukung p
embukti
an.
Ped
om
an :
SK
.Men
teri
Kel
auta
n d
an P
erik
anan
No: 2/M
EN
/2002 ttg
ped
om
an p
engaw
asan
No: 3/M
EN
/2002 ttg
LL
O/L
BP
Pen
yid
ikan
/pem
ber
kas
an
Men
erbit
kan
Sura
t Per
inta
h D
imula
inya
Pen
yid
ikan
(SPD
P)
• K
epoli
sian
• K
ejak
saan
• T
NI
AL
• P
enuntu
t U
mum
• P
engad
ilan
Neg
eri
Jika
ber
mas
alah
Ji
ka
tidak
ber
mas
alah
Pem
erik
saan
di :
• Per
um
PPS
• P
os
kes
ehat
an
pel
abuhan
• Im
igra
si
• D
inas
per
ikan
an
• B
ea c
ukai
76
Jika dilihat dari diagram alir prosedur kapal masuk dan keluar PPS Nizam
Zachman Jakarta, aturan Indonesia masih belum sesuai dalam pelaksanaannya
dengan butir-butir dalam port state measures. Seperti halnya pemeriksaan
dokumen identitas kapal tidak secara mendetil dijelaskan berkemungkinan
dilakukan oleh syahbandar perikanan atau pengawas perikanan PPS Nizam
Zachman Jakarta. Sama halnya dengan pemeriksaan radio komunikasi, penanda
internasional atau vessel monitoring system. Pemeriksaan hasil tangkapan, alat
penangkapan telah dicantumkan walaupun belum mendetil. Alat bantu
penangkapan belum tertulis akan dilakukan pemeriksaannya. Kesesuaian antara
pemeriksaan dengan dokumen terlampir telah tertera dalam prosedur kapal masuk.
Namun belum dijelaskan adanya pembuatan hasil pemeriksaan yang
ditandatangani oleh pihak kapal dan pihak yang melakukan pemeriksaan, hanya
sebatas laporan pemeriksaan saja. Komparasi tiap butir yang diwajibkan kepada
negara pelabuhan dalam port state measures terhadap pelaksanaan yang ada di
PPS Nizam Zachman akan dimuat dalam Tabel 9 berikut. Penjabaran atas
komparasi tersebut akan dijelaskan pada Sub-sub Bab selanjutnya (Sub-subbab
4.2.1 sampai Sub-subbab 4.2.6)
77
Tab
el 8
Pel
aksa
naa
n b
utir port state measures
di PP
S N
izam
Zac
hm
an J
akar
ta
No.
Butir
dal
am Port State
Measure
Syah
ban
dar
per
ikan
an
Pen
gaw
as P
erik
anan
Lan
gkah
yan
g d
ilak
ukan
Sta
stus
keg
iata
n
Lan
gkah
yan
g d
ilak
ukan
Sta
stus
keg
iata
n
1.
Keg
iata
n p
erik
anan
har
us
men
jam
in p
erli
ndungan
ja
ngka
pan
jang d
an
keb
erla
ngsu
ngan
pem
anfa
atan
sum
ber
day
a ik
an (
keg
iata
n p
engel
ola
an
dan
konse
rvas
i)
1. Pen
gaw
asan
dan
kontr
ol
mel
alui pel
ayan
an u
mum
R
uti
n m
elal
ui
pel
ayan
an k
apal
mas
uk
dan
kap
al k
elur
pel
abuhan
Oper
asi L
aut dan
Pen
gaw
asan
Sum
ber
day
a K
elau
tan
Apab
ila
ada
lapora
n d
ari
mas
yar
akat
at
au
PO
KM
AS
WA
S
(Kel
om
pok
Mas
yar
akat
Pen
gaw
as)
Pat
roli lau
t gab
ungan
(Syah
ban
dar
per
ikan
an,
pen
gaw
as p
erik
anan
, dan
poli
si a
ir)
Ter
jadw
al (
tela
h lam
a ti
dak
dil
akukan
)
2.
Mel
akukan
pem
erik
saan
: a.
Dokum
en p
erij
inan
an/
oto
rita
s pen
angkap
an
b.
Dokum
en iden
tita
s kap
al (
neg
ara
ben
der
a,
jenis
kap
al d
an
pen
anda
kap
al m
elip
uti
nam
a, n
om
or
regis
tras
i ek
ster
nal
, nom
or
iden
tifi
kas
i IMO
)
c.
Rad
io k
om
unik
asi
pen
anda
inte
rnas
ional
, dan
pen
anda
lain
ser
ta
dat
a VMS d
ari neg
ara
ben
der
a at
au RFMO
d.
Dokum
en logbook
per
ikan
an
1.
Pem
erik
saan
SIU
P,
SIP
I at
au S
IKP
I
2.
Pem
erik
saan
dokum
en
kap
al
3. P
emer
iksa
an VMS k
apal
dan
rad
io k
om
unik
asi
pen
anda
4. P
emer
iksa
an logbook
per
ikan
an
Ruti
n s
aat m
asuk d
an
kel
uar
kap
al
Ruti
n s
aat m
asuk d
an
kel
uar
kap
al
Ruti
n s
aat m
asuk d
an
kel
uar
kap
al
Ruti
n s
aat m
asuk d
an
kel
uar
kap
al
Dil
akukan
saa
t pen
gis
ian
form
Has
il P
emer
iksa
an
Kap
al (
HPK
) kap
al a
kan
ber
angkat
mel
aut dan
yan
g
akan
bongkar
has
il tan
gkap
an
Ruti
n d
ilak
ukan
set
iap
kap
al p
erik
anan
akan
ber
angkat
ke
laut dan
yan
g a
kan
bongkar
has
il
tangkap
an
78
Tab
el 8
Pel
aksa
naa
n b
utir port state measures
di PP
S N
izam
Zac
hm
an J
akar
ta (
lanju
tan 1
) N
o.
Butir
dal
am Port State
Measure
Syah
ban
dar
per
ikan
an
Pen
gaw
as P
erik
anan
Lan
gkah
yan
g d
ilak
ukan
Sta
stus
keg
iata
n
Lan
gkah
yan
g d
ilak
ukan
Sta
stus
keg
iata
n
e.
Dokum
en h
asil
ta
ngkap
an,
transshipment,
per
dag
angan
f.
Dokum
en d
afta
r aw
ak
kap
al
5.
Mem
erik
sa h
asil
ta
ngkap
an, ju
mla
h,
jenis
, se
rtif
ikat
has
il
tangkap
an, su
rat
ket
eran
gan
sat
u b
adan
usa
ha
(untu
k
transshipment ).
6.
Mem
erik
sa d
afta
r A
nak
B
uah
Kap
al (
AB
K)
Ruti
n s
aat m
asuk d
an
kel
uar
kap
al
Ruti
n s
aat m
asuk d
an
kel
uar
kap
al
Dil
akukan
saa
t pen
gis
ian
form
Has
il P
emer
iksa
an
Kap
al (
HPK
) kap
al a
kan
ber
angkat
mel
aut dan
yan
g
akan
bongkar
has
il tan
gkap
an
Ruti
n d
ilak
ukan
set
iap
kap
al p
erik
anan
akan
ber
angkat
ke
laut dan
yan
g a
kan
bongkar
has
il
tangkap
an.
3.
Pem
erik
saan
sel
uru
h
bag
ian k
apal
(m
elip
uti
pal
kah
, se
mua
ruan
gan
di
atas
kap
al, dan
dim
ensi
kap
al)
sert
a al
at
pen
angkap
an ikan
dan
/ata
u a
lat ban
tu
pen
angkap
an ikan
Pem
erik
saan
saa
t ked
atan
gan
kap
al d
an
keb
eran
gkat
an k
apal
Tid
ak r
utin d
ilak
ukan
kar
ena
men
gac
u p
ada
ruju
kan
SL
O (
Sura
t L
aik O
per
asi)
yan
g
dik
eluar
kan
peg
awas
per
ikan
an
Dil
akukan
saa
t pen
gis
ian
form
Has
il P
emer
iksa
an
Kap
al (
HPK
) kap
al a
kan
ber
angkat
mel
aut
Ruti
n d
ilak
ukan
set
iap
kap
al p
erik
anan
akan
ber
angkat
ke
laut dan
yan
g a
kan
bongkar
has
il
tangkap
an
4.
Set
iap p
emer
iksa
an f
isik
ak
an d
ises
uai
kan
den
gan
ket
eran
gan
yan
g ter
dap
at
dal
am d
okum
en d
an h
asil
w
awan
cara
den
gan
kap
ten
atau
pih
ak k
apal
Pem
erik
saan
saa
t ked
atan
gan
kap
al d
an
keb
eran
gkat
an k
apal
Ruti
n s
aat m
asuk d
an
kel
uar
kap
al
Dil
akukan
saa
t pen
gis
ian
form
Has
il P
emer
iksa
an
Kap
al (
HPK
) kap
al a
kan
ber
angkat
mel
aut
Ruti
n d
ilak
ukan
set
iap
kap
al p
erik
anan
akan
ber
angkat
ke
laut dan
yan
g a
kan
bongkar
has
il
tangkap
an
79
Tab
el 8
Pel
aksa
naa
n b
utir port state measures
di PP
S N
izam
Zac
hm
an J
akar
ta (
lanju
tan 2
) N
o.
Butir
dal
am Port State
Measure
Syah
ban
dar
per
ikan
an
Pen
gaw
as P
erik
anan
Lan
gkah
yan
g d
ilak
ukan
Sta
stus
keg
iata
n
Lan
gkah
yan
g d
ilak
ukan
Sta
stus
keg
iata
n
5.
Mem
buat
lap
ora
n h
asil
pem
erik
saan
yan
g
kem
udia
n d
itan
dat
angan
i ole
h p
engaw
as d
an k
apte
n
kap
al
Ter
dap
at d
alam
form
H
PK
, daf
tar
pem
erik
saan
(check list
) dal
am r
angka
pen
erbit
an
SIB
kap
al p
erik
anan
, dan
daf
tar
Anak
Buah
K
apal
(A
BK
).
Ruti
n s
aat kap
al a
kan
kel
uar
dan
mas
uk
pel
abuhan
Dil
akukan
saa
t pen
gis
ian
form
Has
il P
emer
iksa
an
Kap
al (
HPK
) kap
al a
kan
ber
angkat
mel
aut dan
yan
g
akan
bongkar
has
il tan
gkap
an
Ruti
n d
ilak
ukan
set
iap
kap
al p
erik
anan
akan
ber
angkat
ke
laut dan
yan
g a
kan
bongkar
has
il
tangkap
an
6.
Mel
akukan
pel
atih
an
untu
k p
engaw
as a
tau
pet
ugas
insp
eksi
1.
Pel
atih
an k
e B
PPI
(Bal
ai B
esar
Pen
gem
ban
gan
Pen
angkap
an I
kan
) Sem
aran
g
2.
Kunju
ngan
(sk
ala
har
i)
dan
dik
lat (1
,5-2
bula
n)
ke
inst
ansi
per
ikan
an
Ter
jadw
al d
an tid
ak
men
entu
T
erja
dw
al d
an tid
ak m
enen
tu
Ruti
n d
an w
ajib
dil
akukan
set
iap tah
un
bag
i pen
gaw
as
per
ikan
an y
ang b
aru
7.
Jika
mem
ungkin
kan
, m
enggunak
an s
iste
m
info
rmas
i den
gan
kode
inte
rnas
ional
(m
elip
uti
kode
neg
ara,
kap
al, al
at
tangkap
, je
nis
has
il
tangkap
an)
- -
- -
80
4.2.1 Kegiatan pengelolaan dan konservasi perikanan
Kegiatan pengelolaan dan konservasi sumberdaya perikanan dilakukan
oleh syahbandar perikanan dan pengawas perikanan. Contoh nyatanya yaitu
diadakan kegiatan patroli laut gabungan antara syahbandar perikanan, pengawas
perikanan, dan polisi air. Namun sangat disayangkan bahwa kegitan ini pernah
dilakukan beberapa tahun lalu dan sekarang sudah tidak terlaksana lagi. Kegiatan
pengelolaan dan konservasi yang dilakukan oleh pengawas perikanan yaitu
melalui operasi laut dan pengawasan sumberdaya kelautan yang meliputi
pengawasan pencemaran, perusakan terumbu karang, dan pencurian pasir laut.
Namun hal yang disayangkan dari kegiatan ini yaitu terlaksana hanya ketika
adanya laporan dari masyarakat atau dari kelompok POKMASWAS (Kelompok
Masyarakat Pengawas).
Kegiatan pengelolaan dan konservasi juga dapat tercermin dari
pelaksanaan kontrol pengawasan yang dilakukan syahbandar perikanan melalui
pelayanan umum bagi kapal. Pelayanan ini dianggap mampu memantau kegiatan
kapal masuk dan keluar pelabuhan yang merupakan. Rekomendasi dari kepala
pelabuhan ataupun syahbandar perikanan sebagai tindak lanjut pengajuan rencana
kapal dari nahkoda atau pihak kapal merupakan suatu kotrol diperbolehkan atau
tidaknya kegiatan penangkapan di suatu perairan. Hal ini akan disetujui jika
diketahui bahwa sumberdaya ikan di perairan tersebut memang masih
berkemungkinan untuk dilakukannya penangkapan. Selain itu, melalui pelaporan
atau pemeriksaan logbook perikanan, akan diperoleh data jumlah hasil tangkapan.
Data tersebut akan diperhitungkan untuk menggambarkan potensi sumberdaya
ikan suatu perairan untuk kemudian akan menjadi pertimbangan rekomendasi
persetujuan rencana melaut. Ironisnya terkadang masih terdapat tindakan
unreported fishing, yaitu bahwa jumlah hasil tangkapan yang dilaporkan tidak
sesuai dengan jumlah hasil tangkapan nyatanya (palkah kapal atau pendaratan).
Pelaporan jumlah hasil tangkapan suatu armada ternyata memiliki pengaruh
terhadap besar kecilnya biaya PHP (Pungutan Hasil Perikanan) untuk pengurusan
SIPI (Surat Ijin Penangkapan Ikan). Semakin besar jumlah hasil tangkapan suatu
armada dalam satu tahunnya maka semakin besar pula nilai PHP yang harus
dibayar kepada pemerintah. Hal inilah yang secara tidak langsung
81
melatarbelakangi ketidaksesuaian atau diperkecilnya pelaporan jumlah hasil
tangkapan. Jika dilihat dari segi konservasi, hal ini dapat merusak
keberlangsungan atau kelestarian sumberdaya ikan. Tindakan unreported fishing
terjadi karena kurangnya kesadaran diri nelayan dan kurangnya tindakan tegas
dari inspector (pihak yang melakukan inspeksi atau pemeriksaan). Nelayan masih
belum sadar bahwa tindakan unreported fishing akan merugikan usaha
penangkapan mereka dikemudian hari. Perkiraan potensi sumberdaya ikan di
suatu perairan yang dikeluarkan oleh instansi perikanan akan salah, sehingga
nelayan pun akan memperoleh informasi yang salah untuk kegiatan
penangkapannya. Kegiatan penangkapan ke suatu perairan yang diperkirakan
masih potensial ternyata tidak sesuai dengan hasil tangkapan yang diperoleh
(semakin berkurang) nantinya.
Hal tersebut tidak akan terjadi seandainya data jumlah hasil tangkapan
dilaporkan sesuai dengan yang didaratkan. Pelaporan yang benar akan
memberikan perkiraan potensi perairan yang benar pula. Ketika suatu perairan
memang mengalami penurunan potensi, maka akan dilakukan penutupan area
penangkapan dan dilakukannya restocking perairan. Hal inilah yang diharapakan
mampu menjaga keberlanjutan sumberdaya ikan. Pihak yang melakukan
pemeriksaan-pun (inspector) harusnya mampu menindaktegas terjadinya
pelanggaran seperti unreported fishing. Itulah mengapa perlunya tindakan
pengelolaan dan konservasi yang didukung oleh semua pihak melalui kesadaran
diri, pengawas rutin, pemeriksaan, dan penindakan tegas suatu aturan.
Indonesia belum secara detail mengulas makna IUU fishing. Sehingga
masih sulitnya pihak-pihak yang bermain dalam dunia perikanan Indonesia ini
menyamakan pemahaman tersebut. Pengertian praktik IUU fishing hingga
sekarang masih mengadopsi dari definisi menurut FAO. Indonesia harusnya perlu
menyeimbangkan antara kultur masyarakat nelayan Indonesia, yang umumnya
kurang akan pendidikan namun harus dihadapkan dengan regulasi dan aturan
tertentu.
Butir pertama yang termasuk sebagai kewajiban negara pelabuhan yang
disebutkan dalam dokumen PSM Agreement, yaitu kegiatan perikanan harus
menjamin perlindungan jangka panjang dan keberlangsungan pemanfaatan
82
sumberdaya ikan (kegiatan pengelolaan dan konservasi). PPS Nizam Zachman
telah melakukan kewajiban tersebut dalam pemberian rekomendasi ijin
penangkapan atau penangkutan ikan dan dalam pelayanan umum terhadap
administrasi kapal serta melalui patroli gabungan. Namun hal yang perlu
diperbaiki adalah pemahaman dilarangnya praktik IUU fishing, pengawasan yang
lebih siaga dan rutin, ketegasan pihak pengawas atau pemeriksa, sinergisitas
pengelolaan perikanan dengan pihak terkait lainnya (seperti syahbandar
perikanan, pengawas perikanan, TNI-AL (Tentara Nasional Indonesia – Angkatan
Laut), polisi air dan lain-lainnya.
4.2.2 Pemeriksaan oleh negara pelabuhan
Pemeriksaan terkait dokumen perijinan atau otoritas penangkapan;
dokumen identitas kapal; radio komunikasi penanda internasional dan penanda
lain, serta data VMS (Vessel Monitoring System) dari negara bendera atau RFMO
(Regional Fisheries Management Organization); logbook perikanan; hasil
tangkapan, transshipment; dan perdagangan; dan pemeriksaan daftar awak kapal,
telah dijalankan di PPS Nizam Zachman Jakarta. Aliran pemeriksaan tersebut
tergambar dalam Gambar 4 dan Gambar 5. Kesemuaan pemeriksaan yang
direkomendasikan dalam PSM Agreement, secara umum sesuai dengan
pemeriksaan yang dilakukan pihak syahbandar perikanan dibantu oleh bagian data
dan informasi dari bidang tata operasional UPT (Unit Pelaksana Teknis) PPS
Nizam Zachman Jakarta terhadap kapal Indonesia yang masuk dan keluar
pelabuhan. Selain itu, pemeriksaan ini dilakukan pula oleh pengawas perikanan
pada pengisian form Hasil Pemeriksaan Kapal (HPK) saat keberangkatan melaut
dan bongkar hasil tangkapan.
Setiap unit kapal yang melapor telah dilengkapi dengan berbagai berkas
atau dokumen. Hasil yang diperoleh bahwa dokumen tersebut antara lain SIUP
(Surat Ijin Usaha Perikanan), SIKPI (Surat Ijin Kapal Pengangkut Ikan) atau SIPI
(Surat Ijin Penangkapan Ikan), SLO (Surat Laik Operasi), catch sertificate, SIB
(Surat Ijin Berlayar) atau SPB (Surat Persetujuan Berlayar), logbook perikanan
Indonesia (berbeda untuk tiap alat tangkap), surat pernyataan nahkoda tentang
pemberangkatan kapal perikanan, dafar periksa (check list) dalam rangka
83
penerbitan SIB kapal perikanan, daftar Anak Buah Kapal (ABK), STBLKK (Surat
Tanda Bukti Lapor Kapal Keluar), surat pernyataan nahkoda (untuk kapal
pengangkut ikan), dokumen hasil tangkapan untuk ekspor (seperti packing list,
surat pengesahan dokumen RFMO, dan pas tahunan kapal yang diterbiitkan oleh
Dinas Perhubungan).
Terkait dengan surat atau dokumen yang dikeluarkan tersebut, dilakukan
oleh beberapa pihak atau instansi perikanan. SIUP (Surat Ijin Usaha Perikanan),
SIKPI (Surat Ijin Kapal Pengangkut Ikan) atau SIPI (Surat Ijin Penangkapan Ikan)
dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (KKP
RI) melalui Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. SLO (Surat Laik Operasi)
dikeluarkan oleh pengawas perikanan di pelabuhan setempat setelah dilakukannya
pemeriksaan fisik kapal. Setelah SLO (Surat Laik Operasi) diperoleh nahkoda
atau pihak kapal mengajukan rencana berangkat yang dituangkan dalam surat
pernyataan nahkoda tentang pemberangkatan kapal perikanan ke kepala
pelabuhan dengan tembusan ke syahbandar perikanan. SIB (Surat Ijin Berlayar)
atau SPB (Surat Persetujuan Berlayar) dikeluarkan setelah diperiksanya
kepemilikan SLO (Surat Laik Operasi) dan memastikan kapal perikanan tersebut
layak tangkap dan layak simpan. SIB (Surat Ijin Berlayar) atau SPB (Surat
Persetujuan Berlayar) dikeluarkan setelah dilakukan pemeriksaan kapal yang
dituangkan kedalam daftar pemeriksaan (check list) dalam rangka penerbitan SIB
kapal perikanan yang ditandatangani oleh nahkoda atau pihak kapal dan pengawas
yang melakukan pemeriksaan. STBLKK (Surat Tanda Bukti Lapor Kapal Keluar)
dikeluarkan oleh Kepala Pelabuhan untuk menyetujui rencana pemberangkatan
tersebut. Kemudian dilakukan pemeriksaan ABK yang tercantum dalam daftar
ABK yang memuat jabatan, ijazah, dan keterangan kebangsaan. Daftar ABK
diketahui oleh pihak syahbandar perikanan, pihak kesehatan pelabuhan, dan
nahkoda atau pihak kapal. Dokumen hasil tangkapan untuk ekspor (seperti
packing list, surat pengesahan dokumen RFMO, dan pas tahunan kapal
(diterbiitkan oleh Dinas Perhubungan) terlampir sebagai dokumen yang telah
diurus sebelumnya. Logbook perikanan diberikan dalam keadaan belum diisi
(kosong) kepada kapal yang akan keluar. Logbook perikanan akan diperiksa ketika
kapal akan masuk ke pelabuhan.
84
PPS Nizam Zachman merupakan pelabuhan yang di dalamnya terdapat
armada yang melakukan ekspor hasil tangkapan ke luar negeri terutama Uni
Eropa. PPS Nizam Zachman berkoordinasi dengan beberapa Regional Fisheries
Management Organisation (RFMO) seperti Indian Ocean Tuna Commission
(IOTC) dan Western and Central Pasific Fisheries Commission (WCPFC),
International Commission for the Conservation Atlantic Tunas (ICCAT), dan Inter
American Tropical Tuna Commission (IATTC). RFMO terkait akan
mengeluarkan daftar kapal yang terlibat IUU fishing (IUU vessel list). Kapal yang
terdaftar dalam IUU vessel list akan ditolak masuk, mendaratkan, dan
memperdagangkan hasil tangkapannya ke pelabuhan negara anggota. Adapaun
IUU vessel list yang dikeluarkan oleh IOTC dan WCPFC tahun 2011 yaitu pada
Tabel 10 dan Tabel 11. Setiap RFMO tersebut memiliki kesepakatan yang harus
diberlakukan oleh setiap negara anggota. Pada umumnya setiap hasil tangkapan
wajib dilengkapi dengan Sertifikat Hasil Tangkapan (SHT) ataupun melalui
tagging (penandaan) tertentu. Hasil tangkapan yang tidak memenuhi hal tersebut
akan ditolak dalam perdagangan antar wilayah negara anggota.
85
Tab
el 9
IOTC IUU
vessel list M
aret
2011
Curr
ent nam
e of
ves
sel (p
revio
us
nam
es)
Curr
ent fl
ag
(pre
vio
us
flag
s)
Dat
e fi
rst
incl
uded
on
IOT
C I
UU
V
esse
l L
ists
Lio
yds/
IM
O
num
ber
Photo
C
all si
gn
(pre
vio
us
call
sig
ns)
Ow
ner
/ ben
efic
ial
ow
ner
s (p
revio
us
oper
ators
)
Oper
ator
(pre
vio
us
oper
ators
)
Sum
mar
y o
f IU
U
acti
vit
ies
Oce
an L
ion
Unknow
n
(Equat
ori
al
Guin
ea)
June
2005
7826233
Contr
aven
tion o
f IO
TC
Res
olu
tion
02/0
4, 02/0
5,
03/0
5
Yu M
aan W
on
Unknow
n
(Geo
rgia
) M
ay 2
007
Gunuar
Mel
yan
21
Unknow
n
June
2008
Hoom
Xia
ng
Unknow
n
(Mal
aysi
a)
Mar
ch 2
010
Y
es R
efer
to
Rep
ort
IO
TC
-S14-
CoC
13-a
dd[E
]
H
oom
Xia
ng
Indust
ries
Sdn. B
hd
C
ontr
aven
tion o
f IO
TC
Res
olu
tion
09/0
3
Sum
ber
: http://iotc.org/files/iuu/IOTC_iuu_list[E].pdf
86
Tab
el 1
0 WCPFC IUU
vessel list
tah
un 2
011
Curr
ent nam
e of
ves
sel (p
revio
us
nam
es)
Curr
ent
flag
(p
revio
us
flag
s
Dat
e fi
rst
incl
uded
on d
raft
W
CP
FC
IU
U
Ves
sel L
ist
Fla
g S
tate
R
egis
trat
ion
Num
ber
/ IM
O
Num
ber
Cal
l S
ign
(pre
vio
us
call s
igns)
Ow
ner
/ ben
efic
ial
ow
ner
s (p
revio
us
ow
ner
s)
Notify
ing C
CM
/ C
onta
ct D
etai
l A
lleg
ed I
UU
act
ivitie
s
Nep
tune
G
eorg
ia
2 J
uly
201
C-0
0545
4L
OG
Spac
e E
ner
gy
E
nte
rpri
ses
Co.L
td
Fra
nce
for
Fre
nch
P
oly
nes
ia
Fis
hin
g o
n the
hig
h s
eas
of
the
WC
PFC
C
onven
tion A
rea
wit
hout bei
ng o
n the
WC
PFC
Rec
ord
of
Fis
hin
g V
esse
ls
(CM
M 2
007-0
3-p
ara
3a)
Fu L
ien N
o 1
G
eorg
ia
2 J
uly
2010
IMO
No
7355662
4L
IN2
Fu L
ien F
isher
y
Co.G
eorg
ia
USA
Is
wit
hout nat
ional
ity a
nd h
arves
ted
spec
ies
cover
ed b
y the
WC
PFC
C
onven
tion A
rea
(cm
m 2
007 0
3, par
a 3h)
Jinn F
eng T
sair
N
o 1
C
hin
ese
Tai
pei
7 D
es 2
007
CT
4-2
444
BJ4
444
Hung C
hin
g C
hin
P
ingtu
ng, C
hin
ese
Tai
pei
Fed
erat
ed S
tate
s of
Mic
rones
ia E
mai
l:
norm
a@m
ail.fm
Fis
hin
g in the
Excl
usi
ve
Eco
nom
ic Z
one
of
the
Fed
erat
ed S
tate
s of
Mic
rones
ia
without per
mis
sion a
nd in c
ontr
aven
tion
of
Fed
erat
ed S
tate
s of
Mic
rones
ia’s
law
s an
d r
egula
tions
(CM
M 2
007-0
3, par
a 3b)
Sen
ta
Pan
ama
(Jap
an)
4 J
un 2
008
IMO
N
o.8
221947
HO
FG
C
hin
Fu F
isher
y,
Chin
ese
Tai
pei
(as
Sen
ta)
Fra
nce
(Fre
nc
Poly
nes
ia)
Em
ail
Tra
nsh
ippin
g o
n the
hig
h s
eas
of
the
WC
PFC
Conven
tioan
Are
a w
ithout
bei
ng o
n the
WC
PFC
Rec
ord
of
Fis
hin
g
Note
: n
ow
re
nam
ed S
un F
u
Fa
(Shin
Tak
ara
Mar
u)
Now
: S
hin
e Y
ear
Fis
her
y
(Nis
shin
Kis
en
Co.L
td, Ja
pan
)
affm
ar@
mai
l.pf
Ves
sels
(C
MM
2007-0
3-p
ara
3 a
)
Yu F
ong 1
68
Chin
ese
Tai
pei
1 J
ul 2009
B
J4786
Chan
g L
in P
ao-
Chun 1
61 S
anm
in
Rd., L
iouci
uo
Tow
nsh
ip,
Pin
gtu
ng C
ountr
y
929, C
hin
ese
Tai
pei
Mar
shal
l Is
lands
Em
ail:
m
imra
@nta
mar
.net
Fis
hin
g in E
xcl
usi
ve
Eco
nom
ic Z
one
of
the
Rep
ubli
c of
the
Mar
shal
l Is
lands
without per
mis
sion a
nd in c
ontr
aven
tion
of
Rep
ublic
of
the
Mar
shal
l Is
lands’
s la
ws
and r
egula
tions.
(C
MM
2007-0
3,
par
a 3b)
Sum
ber
: http://wcpfc.int/doc/wcpfc-iuu-vessel-list-2011
87
Kendala yang terjadi, bahwa pada semua prosedur ini masih kurangnya
sumberdaya manusia atau petugas pemeriksaan dalam bentuk kuantitas dan
kualitas. Sumberdaya manusia di syahbandar PPS Nizam Zachman yang ada
masih belum mencukupi pembagian waktu untuk pemeriksaan kapal masuk dan
keluar. Petugas yang ada diperkerjakan menjadi 3 (tiga) shift waktu. Setiap shift-
nya dilakukan oleh 3 (tiga) orang petugas. Satu dari tiga petugas tersebut adalah
bersifat tetap, yaitu Kepala Syahbandar PPS Nizam Zachman Jakarta. Hal inilah
yang dianggap kurang mendukung pelaksanaan tugas oleh pihak syahbandar
perikanan. Perlu peningkatan hingga 3 (tiga) kali lipat jumlah petugas dari jumlah
yang ada, dengan begitu pembagian waktu dianggap cukup memungkinkan.
Selain itu, masih kurangnya pemahaman tugas dan fungsi oleh petugas
pemeriksaan. Hal ini dikarenakan tidak semuanya petugas yang ada memiliki
basic perikanan. Perhatian untuk peningkatan kuantitas dan kuliatas sumberdaya
dari pelaku perikanan di pelabuhan khususnya petugas pemeriksa kapal perlu
ditopang. Kualifikasi untuk penerimaan petugas inspeksi untuk ke depannya,
ditekankan memiliki basic perikanan atau dapat pula diberikan pembekalan terkait
perikanan untuk menunjang pemahaman tugas dan fungsi kerja. Tiap tahap
prosedur pemeriksaan yang ada dalam aturan sebenarnya sudah sangat menunjang
puntuk melawan dan mengantisipasi praktik IUU fishing. Penerapan atas aturan
tersebutlah yang harus dipertegas.
Butir pemeriksaan yang harus dilakukan oleh negara pelabuhan menurut
PSM Agreement telah terealisasi dalam berkas yang dilaporkan setiap unit kapal
ketika kedatangan dan keberangkatannya. Dokumen tersebut antara lain SIUP
(Surat Ijin Usaha Perikanan), SIKPI (Surat Ijin Kapal Pengangkut Ikan) atau SIPI
(Surat Ijin Penangkapan Ikan), SLO (Surat Laik Operasi), catch sertificate, SIB
(Surat Ijin Berlayar) atau SPB (Surat Persetujuan Berlayar), logbook perikanan
Indonesia (berbeda untuk tiap alat tangkap), surat pernyataan nahkoda tentang
pemberangkatan kapal perikanan, dafar periksa (check list) dalam rangka
penerbitan SIB kapal perikanan, daftar Anak Buah Kapal (ABK), STBLKK (Surat
Tanda Bukti Lapor Kapal Keluar), surat pernyataan nahkoda (untuk kapal
pengangkut ikan), dokumen hasil tangkapan untuk ekspor (seperti packing list,
surat pengesahan dokumen RFMO, dan pas tahunan kapal yang diterbiitkan oleh
88
Dinas Perhubungan). Hal yang perlu diperhatikan yaitu kurangnya kuantitas dan
kualitas sumberdaya manusia yang bertugas dalam hal pemeriksaan atau inspeksi
ini.
4.2.3 Pemeriksaan bagian kapal, alat penangkapan ikan dan/atau alat
bantu penangkapan ikan
Pemeriksaan bagian kapal, alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu
penangkapan ikan memang telah sesuai dengan pelaksanaan di PPS Nizam
Zachman, namun belum dijalankan sepenuhnya. Pemeriksaan terhadap seluruh
bagian kapal (meliputi palkah, semua ruangan di atas kapal, dan dimensi kapal),
alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan dilakukan oleh
pengawas perikanan. Pemeriksaan tersebut dilakukan ketika pengisian form Hasil
Pemeriksaan Kapal (HPK) saat keberangkatan melaut dan bongkar hasil
tangkapan kapal. Sedangkan pihak syahbandar perikanan melakukan
pemeriksaan hanya pada alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan
ikan. Syahbandar perikanan PPS Nizam Zachman Jakarta melakukan
pemeriksaan tersebut jika kapal perikanan telah memiliki SLO (Surak Laik
Operasi) yang dikeluarkan pengawas perikanan. SLO tersebut dikeluarkan
pengawas perikanan setelah dilakukannya pemeriksaan kapal. Hal inilah yang
dianggap syahbandar perikanan, bahwa pemeriksaan bagian kapal tidak wajib
dilakukan.
Tidak menutup kemungkinan pula bahwa pemeriksaan seluruh bagian
kapal umumnya dilakukan hanya pada saat nahkoda atau pihak kapal mengurus
penerbitan atau perpanjangan SIPI atau SIKPI. Selain itu, untuk penentuan GT
(Gross Tonage) dan pengukuran dimensi kapal (untuk kapal baru, yang ingin
membuat dokumen kapal), masih dilakukan oleh Syahbandar Hubungan Laut
(dokumen tersebut disebut PAS tahunan) sebagai keterangan bahwa kapal tersebut
layak laut. Syahbandar perikanan PPS Nizam Zachman Jakarta masih belum
mampu menentuan GT kapal. Hal ini dikarenakan masih kurangnya sumberdaya
manusia yang ahli terutama dalam dalam melakukan pengukuran dimensi kapal.
Data pengukuran dimensi itulah yang nantinya digunakan dalam penentuan GT
kapal.
89
Pemeriksaan alat tangkap dan alat bantu penangkapan ikan meliputi
pemeriksaan jenis, dimensi, ukuran, spesifikasi (seperti mata jaring), dan
kesesuaian dengan daerah penangkapan. Pemeriksaan kapal dan bagiannya
meliputi nama kapal, nomor gross akte, berat kapal (berat bersih dan berat kotor),
kekuatan mesin, nomor seri mesin, dan bahan kapal. Hal tersebut kemudian
dimuat dalam Surat Ijin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Ijin Kapal
Pengangkut Ikan (SIKPI). Sedangkan hasil pemeriksaan tambahan seperti
tempertaur ruang penyimpan ikan ruang penyimpanan ikan (jumlah dan kapasitas)
akan dimuat dalam Surat Ijin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI).
Pemeriksaan yang dimaksudkan dalam dokumen PSM Agreement adalah
pemeriksaan seluruh bagian kapal (meliputi palkah, semua ruang di atas kapal,
dan dimensi kapal), alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan.
PPS Nizam Zachman Jakarta telah mengupayakan dilakukannya pemeriksaan ini.
Namun hal yang masih dianggap kurang dalam pelaksanaannya adalah ketegasan
petugas pengawas atau pemeriksa untuk bertanggung jawab menyeluruh atas
perihal yang ditugaskan. Kurangnya pemahaman tentang objek pemeriksaan
menghambat keefektifan inspeksi. Hal klasik lainnya yaitu kurangnya kualitas
dan kuantitas petugas inspeksi.
4.2.4 Kesesuaian pemeriksaan dengan keterangan dokumen dan hasil
wawancara
Pemeriksaan fisik yang dilakukan akan disesuaikan dengan keterangan
yang dimuat dalam dokumennya. Syahbandar perikanan dan pengawas perikanan
akan memperhatikan dengan seksama keseuaian pemeriksaan yang dilakukan
secara langsung dengan keterangan pada dokumen dan hasil wawancara yang
dilakukan pada nahkoda atau pihak kapal. Namun tidak menutup kemungkinan
tidak terjadinya koreksi kesesuaian yang mendetail, karena anggapan bahwa
pemeriksaan sebelumnya terhadap hal yang sama pernah dilakukan. Sama halnya
seperti pemeriksaan kapal dijelaskan pada subsub bab sebelumnya, bahwa SLO
(Surat Laik Operasi) dikeluarkan pengawas perikanan setelah dilakukannya
pemeriksaan kapal sehingga syahbandar perikanan hanya memeriksa keberadaan
SLO dan melanjutkan pemeriksaan lainnya. Hal tersebut dirasa masih kurang
efektif, dikarenakan tidak ter-monitor-nya kekurangan atau perubahan terkait
90
semua yang berhubungan dengan kegitan usaha penangkapan dan pengangkutan
ikan. Hal tersebut berkemungkinan kecil terjadi jika pemeriksaan dikoordinasikan
untuk tiap tahap dan tiap pihak yang seharusnya.
Setiap pemeriksaan harus disesuaikan dengan keterangan yang terdapat
dalam dokumen dan hasil wawancara dengan kapten atau pihak kapal. PPS
Nizam Zachman Jakarta telah mengatur hal tersebut. Namun hambatan yang
masih dirasakan yaitu keterbatasan pendidikan dan pengetahuan nahkoda dan
pemilik kapal serta pemahaman tugas dan wewenang petugas pemeriksa atau
pengawas.
4.2.5 Pembuatan laporan hasil pemeriksaan
Laporan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh pihak syahbandar
perikanan dimuat dalam dokumen daftar periksa (check list) dalam rangka
penerbitan SIB (Surat Ijin Berlayar) kapal perikanan. Dokumen tersebut
diabsahkan dengan tanda tangan dari nahkoda kapal dan petugas pemeriksa dari
syahbandar perikanan. Selain itu, pemeriksaan ABK (Anak Buah Kapal), yang
dimuat dalam dokumen daftar ABK juga ditandatangani oleh nahkoda kapal dan
syahbandar perikanan serta pihak dari kesehatan pelabuhan. Pengawas perikanan
juga mengeluarkan form Hasil Pemerikasaan Kapal (HPK) sebagai berita acara
pemeriksaan. Form HPK ditandatangani oleh pengawas perikanan yang
bersangkutan dan nahkoda, pemilik, operator kapal dan/atau penanggung jawab
perusahaan perikanan. Namun terkadang untuk pengurusan dokumen hasil
pemeriksaan dan dokumen lainnya, seringkali bukan nahkoda ataupun pemilik
kapal yang mengurus semua perijinan dokumen tersebut. Terdapat pihak yang
mengurusnya yaitu agen. Satu agen dapat mengurus dokumen dari puluhan
sampai ratusan kapal. Hal ini yang sebenarnya belum diatur oleh peraturan
perikanan Indonesia, apakah boleh diberikan kuasa pada pihak lain seperti ini.
Namun tidak pula terdapat aturan yang menyalahkannya. Kasus semacam itu
bukan hal yang tabu bagi pelaku perikanan di PPS Nizam Zachman Jakarta.
Hal tersebut pulalah yang kadang menjadi hambatan, ketika nahkoda atau
pemilik kapal tidak mampu memberikan kejelasan dokumen ataupun keterangan
spesifik kapal atau lain hal terkaitnya. Karena dalam pengurusan regulasinya,
91
nahkoda atau pemilik kapal terkadang tidak mengetahui apa-apa. Nahkoda hanya
diinstruksikan untuk wajib membawa satu map atau berkas yang berisikan
dokumen terkait kegiatan penangkapan dan/atau pengangkutan ikan.
Keterbatasan pendidikan dan pengetahuan nahkoda dan pemilik kapal terkadang
menjadi hambatan pelaksanaan aturan hukum Indonesia. Panjang dan sulitnya
birokrasi yang ada di Indonesia (khususnya perikanan) termaksud hal yang
dieluhkan oleh nelayan atau pemilik kapal.
Pembuatan laporan hasil atas pemeriksaan harus diketahui atau
ditandatangani oleh pihak yang melakukan pemeriksaan dan kapten kapal atau
pihak kapal. Contohnya melalui form HPK, daftar pemeriksaan (check list) dalam
rangka penerbitan SIB kapal perikanan, dan daftar ABK. Hal ini menjadi
kewajiban yang harus dijalankan negara pelabuhan. PPS Nizam Zachman Jakarta
telah mengatur hal tersebut, namun diharapkan hal ini dicantumkan secara jelas
dalam bagan alir prosedur pemeriksaan kedatangan dan keberangkatan kapal.
Hambatan pelaksanaan aturan ini yaitu ketegasan birokrasi hukum dan
keterbatasan pendidikan atau pengetahuan pihak kapal.
4.2.6 Pelatihan untuk pengawas atau petugas pemeriksa
Pelatihan terkait tugas pemeriksaan yang dilakukan oleh syahbandar
perikanan dilakukan secara terjadwal. Pelatihan ini umumnya dilakukan melalui
kunjungan (dalam kurun beberapa hari) dan diklat (dalam kurun waktu 1,5-2
bulan) yang menerangkan tugas syahbandar perikanan. Selain itu, diadakan pula
pelatihan di Balai Besar Pengembangan Penangkapan Ikan (BPPI) Semarang
terkait dengan pengenalan kapal dan operasionalnya. Namun pelatihan yang
diselenggarakan umunya hanya melibatkan syahbandar perikanan, tidak
melibatkan staff syahbandar perikanan untuk keahlian pemeriksaan kapal
perikanan. Pelatihan pengawas PSM Agreement pernah diadakan dalam rangka
kerjasama internasional di Malaysia. Pihak Syabandar PPS Nizam Zachman
Jakarta ikut berpartisipasi dalam pelatihan pengawas PSM Agreement yang
dilakukan di Malaysia pada awal tahun 2011. Pelatihan untuk pengawas
perikanan dilakukan rutin dan wajib setiap tahunnya bagi pengawas perikanan
yang baru. Pelatihan ini disebut sebagai pembekalan teknis pengawas perikanan.
92
Pelatihan untuk petugas inspeksi atau pemeriksa PPS Nizam Zachman
Jakarta perlu diberikan secara menyeluruh kepada petugas pelaksana inspeksi atau
pengawas. Hal ini harus lebih diperhatikan lagi mengingat persiapan aplikasi
PSM Agrrement yang bertaraf internasional. Hal yang perlu diperhatikan
(terutama setelah berpartisipasinya Indonesia dalam pelatihan pengawas PSM
Agreement di Malaysia) diperlukannya pemeriksaan dan pengawasan yang
bersifat lebih dinamis. Selain itu, perlunya kemampuan bahasa asing (minimal
Bahasa Inggris) dan pengetahuan dunia perikanan yang sesuai dengan
pemahaman internasional bagi seluruh pelaku perikanan di PPS Nizam Zachman
Jakarta (perlu sosialisasi menyeluruh).
4.2.7 Penggunaan sistem informasi kode internasional
Indonesia belum mengatur regulasi hukum untuk penggunaan sistem
informasi dengan kode internasional (meliputi kode negara, kapal, alat tangkap,
dan jenis hasil tangkapan). Oleh karena itu, PPS Nizam Zachman belum
melaksanakan sistem informasi kode internasional tersebut. Selain itu, PPS
Nizam Zachman Jakarta belum memiliki sumberdaya manusia yang kompeten
dan belum ditunjangnya sarana dan prasarana terkait sistem informasi kode
internasional tersebut.
5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari segi hukum dan peraturan yang ada, Indonesia telah memiliki tingkat
kesiapan yang tinggi untuk mengadopsi dokumen perjanjian Port State Measures
(PSM). Hal ini terbukti dengan adanya hukum dan peraturan yang mengatur 6
(enam) dari 7 (tujuh) butir kewajiban negara pelabuhan sebagaimana dituntut oleh
dokumen Port State Measures. Adapun ketujuh butir tersebut yaitu (enam butir
pertama adalah yang telah diatur di Indonesia),
1 Memastikan kegiatan perikanan yang terjadi di pelabuhan adalah menjamin
perlindungan jangka panjang dan keberlangsungan pemanfaatan sumberdaya
ikan (kegiatan pengelolaan dan konservasi);
2 Melakukan pemeriksaan yaitu:
1) pemeriksaan dokumen perijinanan atau otoritas penangkapan;
2) pemeriksaan dokumen identitas kapal (negara bendera, jenis kapal dan
penanda kapal meliputi nama, nomor registrasi eksternal, nomor
identifikasi IMO);
3) pemeriksaan radio komunikasi penanda internasional, dan penanda lainnya
serta data VMS (Vessel Monitoring System) dari negara bendera atau
RFMO;
4) pemeriksaan logbook;
5) pemeriksaan hasil tangkapan, transshipment, perdagangan;
6) pemeriksaan daftar awak kapal;
3 Pemeriksaan seluruh bagian kapal (meliputi palkah, semua ruangan di atas
kapal, dan dimensi kapal) serta alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu
penangkapan ikan;
4 Memastikan bahwa hasil pemeriksaan fisik sesuai dengan keterangan yang
terdapat dalam dokumen dan hasil wawancara dengan kapten atau pihak
kapal;
5 Membuat laporan hasil pemeriksaan yang kemudian ditandatangani oleh
pengawas dan kapten kapal;
6 Melakukan pelatihan untuk pengawas atau pemeriksa; dan
94
7 Jika memungkinkan, menggunakan sistem informasi dengan kode
internasional (meliputi kode negara, kapal, alat tangkap, jenis hasil
tangkapan).
Adapun butir kewajiban yang belum tersusun adalah penggunaan sistem informasi
kode internasional. Namun demikian terdapat secara umum hukum dan peraturan
yang ada masih memerlukan adanya rincian lebih mendalam dan perluasan
cakupan untuk dapat diterapkan pada kapal-kapal ikan asing.
Tingkat kesiapan PPS Nizam Zachman Jakarta untuk menerapkan port
state measures adalah sebagai berikut:
1. Secara tertulis, hukum Indonesia yang memuat 6 (enam) dari 7 (tujuh) butir
kewajiban negara pelabuhan menurut dokumen port state measures, telah
diterapkan di PPS Nizam Zachman Jakarta. Namun masih terdapat
kekurangan di beberapa aspek;
2. Hal yang masih dianggap kurang untuk pelaksanaan port state measures
nantinya di PPS Nizam Zachman Jakarta:
1) Sosialisasi pemahaman IUU fishing kepada seluruh pelaku perikanan di
PPS Nizam Zachman Jakarta;
2) Sumberdaya manusia di PPS Nizam Zachman Jakarta (terutama di
syahbandar perikanan) masih kurang dalam segi kuantitas dan kualitas.
Kuantitas yang ada belum mampu menunjang pembagian jam kerja dalam
pengawasan. Sedangkan kualitas yang ada masih kurang dalam aspek
pemahaman terhadap objek pemeriksaan, penindaktegasan penerapan
hukum, dan perbaikan sistem pembagian kerja pemeriksaan kapal serta
kemampuan berbahasa asing (minimal Bahasa Inggris).
3) Pengawasan dan pemeriksaan (inspeksi) yang masih kurang siaga 24 jam
dan dinamis (mobilisasi pengawasan);
4) Sarana dan prasarana yang belum mampu menunjang pelaksanaan tugas
inspeksi atau pemeriksaan seperti, sarana komunikasi radio, faksimile,
perlengkapan petugas pemeriksa (seperti jaket hangat, senter, masker,
helm, kacamata, mantel hujan, boot, dan lain sebagainya), radio
komunikasi HT (Handy Talky), CCTV (Closed Circiut Televison),
95
speaker, kendaraan penunjang roda empat, dan kapal tug boat atau fire
boat yang membantu jika terjadi kebakaran.
5) PPS Nizam Zachman belum menggunakan sistem informasi kode
internasional. Hal ini dikarenakan hukum Indonesia belum mengatur
penggunaan sistem informasi kode internasional di pelabuhan perikanan
Indonesia. Selain itu, Indonesia belum memiliki sarana dan prasarana,
serta sumberdaya manusia yang mampu menunjang penggunaan sistem
informasi kode internasional tersebut. Perlu jaringan (networking) untuk
penerapan Monitoring Control System (MCS) termasuk hardware dan
software untuk mendukung hal tersebut.
5.2 Saran
Sesuai dengan hasil penelitian ini, maka saran yang dihasilkan berupa
rekomendasi pelaksanaan beberapa aksi untuk memperkuat persiapan penerapan
port state measures di PPS Nizam Zachman Jakarta. Rekomendasi tersebut
adalah:
1. Peningkatan sosialisasi pemahaman IUU fishing kepada seluruh pelaku
perikanan di PPS Nizam Zachman Jakarta (terutama nelayan, syahbandar
perikanan, dan pengawas perikanan) yang disesuaikan dengan pemahaman
internasional;
2. Peningkatan kapasitas sumberdaya manusia dalam aspek pemahaman terhadap
objek pemeriksaan, penindaktegasan penerapan hukum, dan perbaikan sistem
pembagian kerja pemeriksaan kapal serta kemampuan berbahasa asing
(minimal Bahasa Inggris);
3. Harmonisasi pengelolaan perikanan dengan pihak terkait, seperti syahbandar
perikanan, pengawas perikanan, TNI-AL (Tentara Nasional Indonesia –
Angkatan Laut), polisi air, pihak imigrasi, UPT PPS Nizam Zachman Jakarta,
dan pihak terkait lainnya;
4. Pelatihan sumberdaya pengawasan dan pemeriksaan (inspeksi) agar lebih
siaga 24 jam, dinamis dan rutin; dan
5. Pengadaan atau penambahan sarana dan prasarana yang menunjang
pelaksanaan port state measures, yaitu:
96
1) Sarana komunikasi radio;
2) Faksimile untuk komunikasi dari kapal ke syahbandar perikanan;
3) Perlengkapan petugas pemeriksa seperti jaket hangat, senter, masker,
helm, kacamata, mantel hujan, boot, dan lain sebagainya;
4) Radio komunikasi HT (Handy Talky);
5) Peningkatan jumlah CCTV (Closed Circiut Televison) ke 10 sudut
dermaga;
6) Speaker di seluruh wilayah pelabuhan;
7) Kendaraan penunjang roda empat;
8) Kapal tug boat atau fire boat yang membantu jika terjadi kebakaran; serta
9) Jaringan (networking) untuk penerapan Monitoring Control System (MCS)
termasuk hardware dan software.
97
DAFTAR PUSTAKA
Abadi, AA. 2006. Problematika Penentuan Sampel dalam Penelitian Bidang Perumahan dan Permikuman. Bandung: Departemen Arsitektur. Institut Teknologi Bandung. http://puslit2.petra.ac.id/ejournal/index.php/ars/ article/download/16546/16538 [23 Agustus 2011].
Absah, Y. 2007. Pengaruh Kemampuan Pembelajaran Organisasi terhadap Kompetensi, Tingkat Diversifikasi, dan Kinerja Perguruan Tinggi Swasta di Sumatera Utara. [Disertasi]. Surabaya: Program Pascasarjana. Universitas Airlangga. http://www.damandiri.or.id/file/ yeniabsahunaircover.pdf [23 Desember 2011].
Amalia dan Putri. 2008. Urgensi Arbitrase dan Mediasi Sebagai Metode Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan dalam Sengketa Bidang Perbankan. Bandung: Fakultas Hukum. Universitas Pajadjaran. http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/11/urgensi_arbitrase _dan_mediasi.pdf [23 Agustus 2011].
Darmawan. 2006. Analisis Kebijakan Penanggulangan IUU-fishing dalam Pengelolaaan Perikanan Tangkap Indonesia. [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
[DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan. 2009. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.28/MEN/2009 tentang Sertifikasi Hasil Tangkapan. Jakarta: DKP.
[DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan. 2009. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.27/MEN/2009 tentang Pendaftaran dan Penandaan Kapal Perikanan. Jakarta: DKP.
[DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan. 2009. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.12/MEN/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kelautan dan PerikananNomor PER.05/MEN/2007tentang Penyelenggaraan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan. Jakarta: DKP.
[DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan. 2009. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.03/MEN/2009 tentang Penangkapan Ikan dan/atau Pengangkutan Ikan di Laut Lepas. Jakarta: DKP.
[DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan. 2008. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2008 tentang Unit Perikanan Tangkap. Jakarta: DKP.
98
[DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan. 2007. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.11/MEN/2004 tentang tentang Pelabuhan Pangkalan bagi Kapal Perikanan. Jakarta: DKP
[DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan. 2007. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2007 tentang Penyelenggaraan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan. Jakarta: DKP.
[DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan. 2004. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.10/MEN/2004 tentang Pelabuhan Perikanan. Jakarta: DKP
[DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan. 2002. Laporan Tahunan Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan. Hal 7-13.
Eriyanto. 2007. Teknik Sampling (Analisis Opini Publik). Jakarta: LKiS Yogyakarta.
Fabra, A., V. Gascon, M. Marrero, S. Lieberman, dan K. Sack. 2011. Closing the gap: Comparing tuna RFMO port state measure with the FAO Agreement
on Port State Measure. The PEW Environment Group. http://www.pewenvironment.org/uploadedFiles/PEG/Publications/ Report/Tuna_RFMO_Report_July2011.pdf [23 Agustus 2011].
Fauzi, A. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan Issue, Sintesis, dan Gagasan. Bogor: Gramedia Pustaka Utama.
[FAO] Food and Agriculture Organization. 2009. Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and
Unregulated Fishing. Rome: Food and Agriculture Organization.
[FAO] Food and Agriculture Organization. 2008. Draft Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and
Unregulated Fishing. Rome: Food and Agriculture Organization.
[FAO] Food and Agriculture Organization. 2001. International Plan of Action to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated
Fishing. Rome: Food and Agriculture Organization.
Gulo, W. 2000. Metodologi Penelitian. Jakarta: Grasindo.
99
[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2011. Data Indikator Kinerja Umum Kelautan dan Perikanan Tahun 2010. Jakarta: Pusat data statistik dan informasi. http://statistik.kkp.go.id/index.php/arsip/c/16/Data-Indikator-Kinerja-Umum-KKP-2010/?category_id=3 [16 September 2011].
[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2010. Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2010. Jakarta: Pusat data statistik dan informasi. http://statistik.kkp.go.id/index.php/arsip/c/18/Buku-Kelautan-dan-Perikanan-Dalam-Angka-2010/?category_id=3 [16 September 2011].
[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2010. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.18/MEN/2010 tentang Logbook Penangkapan Ikan. Jakarta: KKP.
[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2010. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.16/MEN/2010 tentang Pemberian Kewenangan Penerbitan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI) untuk Kapal Perikanan Berukuran di Atas 30 (Tiga Puluh) Gross Tonnage sampai dengan 60 (Enam Puluh) Gross Tonnage kepada Gubernur. Jakarta: KKP.
[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2010. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.07/MEN/2010 tentang Surat Laik Operasi Kapal Perikanan. Jakarta: KKP.
Lambang. 2009. Kebijakan Tindak Pidana Penghinaan terhadap Presiden. [Tesis]. Semarang: Program Magister Ilmu Hukum. Program Pascasarjana. Universitas Diponegoro. http://eprints.undip.ac.id/16144/1/Adhya_Satya_ Lambang_B.pdf [27Agustus 2011].
Latar. 2004. Strategi Kebijakan untuk Penanggulangan Kegiatan Illegal, Unreported, Unregulated (IUU) Fishing di Perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia Utara Papua. [Skripsi]. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Institut Pertanian Bogor.
Lobach, T. 2004. Port State Measure. Norway: Directorate for Food, Agriculture and Fisheries. Fisheries Committee.
Losh, SC. 2000. Types of Error and Basic Sampling Designs. Lecture Handout EDF 5481 Methods of Educational Research.
100
Lubis, E., I. Solihin, T. Nugroho, dan R. Muninggar. 2010. Diktat Pelabuhan Perikanan. Bogor: Bagian Kepelabuhan Perikanan dan Kebijakan Pengelolaan. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Institut Pertanian Bogor.
Nikijuluw, VPH. 2008. Dimensi Sosial Ekonomi Perikanan Ilegal Blue Water Crime. Jakarta: Pustaka Cidesindo.
[PPS] Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman Jakarta. 2011. Kementerian Kelautan dan Perikanan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Jakarta: PPS Nizam Zachman Jakarta.
Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan. Jakarta: Republik Indonesia.
Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan. Jakarta: Republik Indonesia.
101
LAMPIRAN
102
Lampiran 1 Draft Naskah Terjemahan
Pengesahan Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter, and Eliminate
Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing (Persetujuan tentang Negara
Pelabuhan untuk Mencegah, Menghalangi, dan Memberantas Penangkapan Ikan
yang Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan Tidak Diatur)
103
Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter, and Eliminate Illegal,
Unreported, Unregulated Fishing
Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter and
Eliminate
Illegal, Unreported and Unregulated Fishing
Persetujuan Tentang Ketentuan Negara Pelabuhan
untuk Mencegah, Menghalangi, dan Memberantas
Penangkapan Ikan yang Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan
Tidak Diatur
PREAMBLE PEMBUKAAN
The Parties to this Agreement,
Deeply concerned about the continuation of illegal,
unreported and unregulated fishing and its detrimental effect upon fish stocks, marine ecosystems and the livelihoods of legitimate fishers, and the increasing need for food security on a global basis,
Conscious of the role of the port State in the adoption of effective measures to promote the sustainable use and the
long-term conservation of living marine resources, Recognizing that measures to combat illegal, unreported and
unregulated fishing should build on the primary responsibility of flag States and use all available jurisdiction in accordance with international law, including port State measures, coastal State measures, market related measures and measures to
ensure that nationals do not support or engage in illegal, unreported and unregulated fishing,
Recognizing that port State measures provide a powerful and cost-effective means of preventing, deterring and eliminating illegal, unreported and unregulated fishing,
Aware of the need for increasing coordination at the regional and interregional levels to combat illegal, unreported and unregulated fishing through port State measures,
Acknowledging the rapidly developing communications technology, databases, networks and global records that support port State measures, Recognizing the need for assistance to developing countries to
adopt and implement port State measures, Taking note of the calls by the international community
through the United Nations System, including the United Nations General Assembly and the Committee on Fisheries of the Food and Agriculture Organization of the United Nations, hereinafter referred to as “FAO”, for a binding international
instrument on minimum standards for port State measures, based on the 2001 FAO International Plan of Action to
Pihak-pihak dalam Persetujuan ini, Menaruh perhatian yang mendalam terhadap berlanjutnya
penangkapan ikan yang ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUU Fishing) serta dampaknya yang merugikan terhadap persediaan ikan, ekosistem kelautan dan mata pencaharian para nelayan yang sah, dan meningkatnya
kebutuhan terhadap keamanan pangan di seluruh dunia, Menyadari peran Negara Pelabuhan dalam penerapan langkah yang efektif untuk memajukan pemanfaatan yang
berkelanjutan dan konservasi jangka panjang terhadap sumber daya kelautan hayati, Memahami bahwa langkah-langkah untuk memberantas
IUU Fishing sepatutnya berdasar pada tanggung jawab utama dari Negara Bendera dan sepatutnya menggunakan kewenangan yang ada merujuk kepada hukum internasional, termasuk ketentuan Negara Pelabuhan,
ketentuan Negara Pantai, ketentuan yang berkaitan dengan pasar dan ketentuan untuk memastikan bahwa warga negara tidak mendukung atau terlibat dalam IUU Fishing, Memahami bahwa ketentuan Negara Pelabuhan memberikan sarana yang memiliki kekwenangan besar dan berbiaya efektif untuk mencegah, menghalangi, dan memberantas IUU Fishing,
Menyadari perlunya peningkatan koordinasi di tingkat regional dan antarregional untuk melawan IUU Fishing melalui ketentuan Negara Pelabuhan,
Mengakui bahwa cepatnya teknologi komunikasi yang sedang berkembang, basis data, jaringan kerja, dan catatan-catatan global yang mendukung ketentuan Negara Pelabuhan, Mengenali kebutuhan akan bantuan bagi Negara-negara
yang sedang berkembang untuk mengadopsi dan menerapkan ketentuan Negara Pelabuhan, Memperhatikan seruan komunitas internasional melalui
PBB, termasuk Sidang Umum PBB dan Komite Perikanan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB, yang selanjutnya disebut “FAO”, sebagai dokumen internasional yang mengikat mengenai standar minimum ketentuan Negara
Pelabuhan, berdasarkan pada Rencana Aksi Internasional FAO tahun 2001 untuk Mencegah, Menghalangi, dan
104
Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing and the 2005 FAO Model Scheme on Port State Measures to Combat Illegal, Unreported and
Unregulated Fishing, Bearing in mind that, in the exercise of their sovereignty over ports located in their territory, States may adopt more
stringent measures, in accordance with international law, Recalling the relevant provisions of the United Nations
Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982, hereinafter referred to as “the Convention”, Recalling the Agreement for the Implementation of the Provisions of the United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks of 4 December 1995, the Agreement to Promote
Compliance with International Conservation and Management Measures by Fishing Vessels on the High Seas of 24 November 1993 and the 1995 FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries,
Recognizing the need to conclude an international agreement within the framework of FAO, under Article XIV of the FAO Constitution, Have agreed as follows:
Memberantas IUU Fishing dan FAO Model Scheme tentang Ketentuan Negara Pelabuhan untuk melawan IUU Fishing,
Mengingat bahwa, dalam praktik kedaulatan mereka terhadap pelabuhan–pelabuhan yang berada di wilayahnya,
Negara dapat menggunakan ketentuan yang lebih ketat, sesuai dengan hukum internasional. Mengingat ketetapan yang relevan dalam Konvensi PBB
tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982, yang selanjutnya disebut sebagai “Konvensi”, Mengingat Persetujuan untuk Pelaksanaan Ketetapan Konvensi PBB mengenai Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982 tentang Konservasi dan Pengelolaan Persediaan Ikan yang Beruaya Terbatas dan Persediaan Ikan yang Beruaya Jauh pada tanggal 4 Desember 1995,
Persetujuan untuk Meningkatkan Kepatuhan terhadap Ketentuan Pengelolaan dan Konservasi Internasional oleh Kapal Perikanan di Laut Lepas tanggal 4 November 1993 dan Kode Etik FAO tahun 1995 tentang Perikanan yang
Bertanggung Jawab, Memahami pentingnya memberikan consent terhadap Persetujuan internasional dalam kerangka kerja FAO, di bawah Pasal XIV Konstitusi FAO. Telah menyetujui hal-hal sebagai berikut:
PART 1
GENERAL PROVISIONS
Article 1
Use of terms
For the purposes of this Agreement:
(a) “conservation and management measures” means measures to conserve and manage living marine resources that are adopted and applied consistently with the relevant rules of international law including those
reflected in the Convention;
BAGIAN 1
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 Penggunaan Terminologi
Demi tujuan Persetujuan ini:
(a) “ketentuan konsevasi dan pengelolaan” yaitu langkah-langkah untuk melestarikan dan mengelola sumber daya kelautan hayati yang diambil dan diterapkan secara konsisten dengan peraturan dalam hukum
internasional yang relevan termasuk yang tercermin dalam Konvensi;
(b) “fish” means all species of living marine resources, whether processed or not;
(b) “ikan” yaitu seluruh spesies sumber daya kelautan hayati, baik diproses maupun tidak;
(c) “fishing” means searching for, attracting, locating, catching, taking or harvesting fish or any activity which
can reasonably be expected to result in the attracting, locating, catching, taking or harvesting of fish;
(c) “penangkapan ikan” yaitu mencari, menarik, menempatkan, menangkap, mengambil, atau memanen
ikan atau suatu aktivitas yang secara logika bertujuan untuk menarik, menempatkan, menangkap, mengambil, atau memanen ikan;
(d) “fishing related activities” means any operation in support of, or in preparation for, fishing, including the
landing, packaging, processing, transshipping or transporting of fish that have not been previously landed at a port, as well as the provisioning of personnel, fuel, gear and other supplies at sea;
(d) “kegiatan yang berkenaan dengan penangkapan ikan” yaitu suatu kegiatan yang mendukung atau dalam
persiapan untuk, menangkap ikan, termasuk pendaratan, pengepakan, pengolahan, pengalihangkutan atau pengangkutan ikan yang belum didaratkan di suatu pelabuhan, juga penyerahan ABK, bahan bakar, alat
tangkap, dan kebutuhan lain di laut;
(e) “illegal, unreported and unregulated fishing” refers to the activities set out in paragraph 3 of the 2001 FAO
(e) “IUU Fishing” mengacu kepada kegiatan-kegiatan yang tertera di paragraph 3 Rencana Aksi Internasional FAO
105
International Plan of Action to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing, hereinafter referred to as “IUU fishing”;
tahun 2001 untuk Mencegah, Menghalangi, dan Memberantas Penangkapan Ikan yang Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan Tidak Diatur yang selanjutnya disebut
sebagai “IUU Fishing”;
(f) “Party” means a State or regional economic integration organization that has consented to be bound by this Agreement and for which this Agreement is in force;
(f) “Pihak” yaitu Negara atau organisasi integrasi ekonomi regional yang telah setuju untuk tunduk di bawah Persetujuan ini dan dimana Persetujuan ini diberlakukan;
(g) “port” includes offshore terminals and other installations
for landing, transshipping, packaging, processing, refueling or resupplying;
(g) “pelabuhan” meliputi terminal-terminal lepas pantai
dan instalasi lain untuk pendaratan, pengalihangkutan, pengepakan, pengolahan, pengisian bahan bakar atau pengisian perbekalan;
(h) “regional economic integration organization” means a regional economic integration organization to which its
member States have transferred competence over matters covered by this Agreement, including the authority to make decisions binding on its member States in respect of those matters;
(i) “organisasi integrasi ekonomi regional” yaitu organisasi integrasi ekonomi regional yang Negara
anggotanya menyerahterimakan kompetensi terhadap hal-hal yang tersebut dalam Persetujuan ini, termasuk kekuasaan untuk mengambil keputusan yang mengikat Negara anggotanya mengenai hal-hal tersebut;
(j) “regional fisheries management organization” means an intergovernmental fisheries organization or arrangement, as appropriate, that has the competence to establish conservation and management measures; and
(k) “organisasi pengelola perikanan regional” yaitu organisasi atau lembaga perikanan antarnegara atau yang disamakan, yang memiliki kompetensi untuk menerapkan ketentuan konservasi dan pengelolaan; dan
(j) “vessel” means any vessel, ship of another type or boat used for, equipped to be used for, or intended to be used
for, fishing or fishing related activities.
(l) “kapal” yaitu kapal apapun, jenis kapal lain atau perahu yang digunakan untuk, yang dilengkapi untuk, atau
dimaksudkan untuk, menangkap ikan atau kegiatan-kegiatan lain yang berkaitan dengan penangkapan ikan.
Article 2
Objective
The objective of this Agreement is to prevent, deter and eliminate IUU fishing through the implementation of effective port State measures, and thereby to ensure the long-term conservation and sustainable use of living marine resources
and marine ecosystems.
Pasal 2 Tujuan
Tujuan Persetujuan ini adalah untuk mencegah, menghalangi, dan memberantas IUU Fishing melalui penerapan ketentuan Negara Pelabuhan yang efektif, dan dengan demikian untuk memastikan konservasi jangka
panjang dan pemanfaatan sumber daya kelautan hayati serta ekosistem kelautan yang berkelanjutan.
Article 3
Application
1. Each Party shall, in its capacity as a port State, apply this Agreement in respect of vessels not entitled to fly its flag that are seeking entry to its ports or are in one of its ports, except for:
(a) vessels of a neighbouring State that are engaged in artisanal fishing for subsistence, provided that the port
State and the flag State cooperate to ensure that such vessels do not engage in IUU fishing or fishing related activities in support of such fishing; and
(b) container vessels that are not carrying fish or, if carrying fish, only fish that have been previously
landed, provided that there are no clear grounds for suspecting that such vessels have engaged in fishing related activities in support of IUU fishing.
Pasal 3 Penerapan
1. Setiap Pihak wajib, dalam kapasitasnya sebagai Negara Pelabuhan, menerapkan Persetujuan ini bila ada kapal-kapal yang tidak berhak mengibarkan benderanya yang akan masuk ke pelabuhan-pelabuhannya atau berada
dalam salah satu pelabuhannya, kecuali untuk: (a) kapal-kapal dari negara sekitar yang melakukan
penangkapan ikan untuk mencari nafkah, apabila
Negara Pelabuhan dan Negara Bendera bekerja sama untuk memastikan bahwa kapal-kapal tersebut tidak terlibat dalam IUU Fishing atau kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan penangkapan ikan
yang mendukung penangkapan ikan dimaksud; dan
(b) kapal-kapal kontainer yang tidak sedang mengangkut ikan atau, jika mengangkut ikan, hanya
ikan yang sebelumnya telah didaratkan, dalam hal ini tidak terdapat dasar yang jelas untuk mencurigai bahwa kapal tersebut terlibat dalam kegiatan penangkapan ikan yang berhubungan dengan IUU
106
2. A Party may, in its capacity as a port State, decide not to
apply this Agreement to vessels chartered by its nationals exclusively for fishing in areas under its national jurisdiction and operating under its authority therein. Such vessels shall be subject to measures by the Party
which are as effective as measures applied in relation to vessels entitled to fly its flag.
3. This Agreement shall apply to fishing conducted in marine
areas that is illegal, unreported or unregulated, as defined in Article 1(e) of this Agreement, and to fishing related activities in support of such fishing.
4. This Agreement shall be applied in a fair, transparent and
non-discriminatory manner, consistent with international law.
5. As this Agreement is global in scope and applies to all
ports, the Parties shall encourage all other entities to apply measures consistent with its provisions. Those that may not otherwise become Parties to this Agreement may express their commitment to act consistently with its provisions.
Fishing.
2. Pihak dapat, dalam kapasitasnya sebagai Negara
Pelabuhan, memutuskan untuk tidak menerapkan Persetujuan ini kepada kapal-kapal yang disewa oleh warga negaranya secara khusus untuk menangkap ikan di wilayah kedaulatan negaranya dan beroperasi di
bawah kekuasaan wilayah tersebut. Kapal yang demikian wajib mempertimbangkan ketentuan dari Pihak sebagaimana halnya ketentuan tersebut diterapkan dalam kaitannya dengan kapal-kapal yang berhak untuk
mengibarkan benderanya.
3. Persetujuan ini wajib diterapkan untuk penangkapan ikan yang dilakukan di wilayah laut secara ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 (e) Persetujuan ini, dan berlaku untuk kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan penangkapan ikan yang mendukung cara penangkapan ikan tersebut.
4. Persetujuan ini wajib diterapkan secara adil, transparan,
dan nondiskriminatif, sesuai dengan hukum internasional.
5. Karena Persetujuan ini mencakup secara global dan
berlaku untuk semua pelabuhan, Pihak-Pihak wajib mendorong semua entitas yang lain untuk mengambil langkah-langkah yang konsisten dengan ketetapannya. Bagi yang tidak menjadi Pihak dalam Persetujuan ini dapat menunjukkan komitmen mereka untuk secara konsisten bertindak sesuai dengan ketetapan ini.
Article 4
Relationship with international law and other international
instruments
1. Nothing in this Agreement shall prejudice the rights,
jurisdiction and duties of Parties under international law. In particular, nothing in this Agreement shall be construed to affect:
(a) the sovereignty of Parties over their internal, archipelagic and territorial waters or their sovereign rights over their continental shelf and in their exclusive economic zones;
(b) the exercise by Parties of their sovereignty over ports
in their territory in accordance with international law, including their right to deny entry thereto as well as to
adopt more stringent port State measures than those provided for in this Agreement, including such measures adopted pursuant to a decision of a regional fisheries management organization.
2. In applying this Agreement, a Party does not thereby become bound by measures or decisions of, or recognize,
Pasal 4
Hubungan dengan Hukum Internasional dan Instrumen Internasional Lainnya
1. Tidak satu pun dalam Persetujuan ini yang bertentangan
dengan hak, yuridiksi dan kewajiban – kewajiban Pihak-Pihak dalam hukum internasional. Khususnya, tidak satu pun dalam Persetujuan ini diartikan untuk mempengaruhi:
(a) kedaulatan Pihak-Pihak atas perairan dalam, kepulauan, dan perairan territorialnya atau hak-hak yang berdaulat atas landas kontinen dan zona ekonomi eksklusifnya;
(b) pelaksanaan oleh Pihak-Pihak terhadap
kedaulatannya atas pelabuhan-pelabuhan dalam teritorinya sesuai dengan hukum internasional,
termasuk hak untuk menolak masuk kesana sebagaimana juga menerima ketentuan negara pelabuhan yang lebih ketat dibandingkan dengan yang ditetapkan dalam Persetujuan ini, termasuk
diterimanya beberapa ketentuan yang mengikuti keputusan dari organisasi pengelolaan perikanan regional.
2. Dalam penerapan Persetujuan ini, Pihak tidak kemudian
menjadi terikat oleh ketentuan – ketentuan atau
107
any regional fisheries management organization of which it is not a member.
3. In no case is a Party obliged under this Agreement to give
effect to measures or decisions of a regional fisheries management organization if those measures or decisions
have not been adopted in conformity with international law.
4. This Agreement shall be interpreted and applied in
conformity with international law taking into account applicable international rules and standards, including those established through the International Maritime Organization, as well as other international instruments.
5. Parties shall fulfil in good faith the obligations assumed
pursuant to this Agreement and shall exercise the rights recognized herein in a manner that would not constitute an
abuse of right.
keputusan – keputusan, atau mengakui organisasi pengelolaan perikanan regional mana pun yang tidak menjadi anggota di dalamnya.
3. Pihak dalam Persetujuan ini sama sekali tidak boleh
memberikan consent terhadap ketentuan atau keputusan suatu organisasi pengelolaan perikanan regional apabila
ketentuan atau keputusan tersebut tidak sesuai dengan hukum internasional.
4. Persetujuan ini wajib diartikan dan diterapkan sesuai
dengan hukum internasional dengan memperhatikan peraturan dan standar internasional yang berlaku, termasuk yang ditetapkan oleh Organisasi Maritim Internasional, dan instrumen internasional lainnya.
5. Pihak-Pihak wajib mematuhi kewajiban yang dipikul
sesuai dengan Persetujuan ini dengan itikad baik dan wajib menggunakan hak – hak yang ada dalam
Persetujuan ini dengan cara yang tidak akan menimbulkan penyalahgunaan hak.
Article 5
Integration and coordination at the national level
Each Party shall, to the greatest extent possible: (a) integrate or coordinate fisheries related port State
measures with the broader system of port State controls; (b) integrate port State measures with other measures to
prevent, deter and eliminate IUU fishing and fishing
related activities in support of such fishing, taking into account as appropriate the 2001 FAO International Plan of Action to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing; and
(c) take measures to exchange information among relevant national agencies and to coordinate the activities of such agencies in the implementation of this Agreement.
Pasal 5 Integrasi dan Koordinasi Pada Tingkat Nasional
Setiap Pihak wajib, dengan sebisa mungkin: (a) mengintegrasikan atau mengkoordinasikan ketentuan-
ketentuan Negara Pelabuhan yang berkaitan dengan perikanan dengan sistem kontrol Negara Pelabuhan yang lebih luas;
(b) mengintegrasikan ketentuan-ketentuan Negara Pelabuhan dengan ketentuan lain untuk mencegah,
menghalangi, dan memberantas IUU Fishing dan kegiatan yang berkaitan dengan penangkapan ikan yang mendukung penangkapan ikan yang demikian, dengan mempertimbangkan secara tepat Rencana Aksi
Internasional FAO tahun 2001 untuk Mencegah, Menghalangi, dan Memberantas Penangkapan Ikan yang Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan Tidak Diatur; dan
(c) Mengadakan tukar informasi di antara badan nasional yang terkait dan mengkoordinasikan kegiatan badan tersebut dalam pelaksanaan Persetujuan ini.
Article 6
Cooperation and exchange of information
1. In order to promote the effective implementation of this Agreement and with due regard to appropriate confidentiality requirements, Parties shall cooperate and
exchange information with relevant States, FAO, other international organizations and regional fisheries management organizations, including on the measures adopted by such regional fisheries management
organizations in relation to the objective of this Agreement.
2. Each Party shall, to the greatest extent possible, take
measures in support of conservation and management
Pasal 6 Kerja Sama dan Pertukaran Informasi
1. Untuk melaksanakan penerapan Persetujuan ini dengan
efektif dan atas pertimbangan persyaratan kerahasiaan, Pihak-Pihak wajib bekerja sama dan bertukar informasi
dengan Negara terkait, FAO, organisasi internasional lainnya, dan organisasi – organisasi pengelolaan perikanan regional, termasuk dalam ketentuan yang digunakan oleh organisasi pengelolaan perikanan
regional lain sehubungan dengan tujuan Persetujuan ini.
2. Setiap Pihak wajib, sebisa mungkin, mengambil
langkah-langkah dalam mendukung tindakan
108
measures adopted by other States and other relevant international organizations.
3. Parties shall cooperate, at the subregional, regional and global levels, in the effective implementation of this Agreement including, where appropriate, through FAO or regional fisheries management organizations and
arrangements.
pengelolaan dan konservasi yang digunakan oleh negara lain dan organisasi internasional yang terkait.
3. Pihak-pihak wajib bekerja sama, pada tingkat subregional, regional, dan global, dalam penerapan Persetujuan ini secara efektif termasuk, bila perlu, melalui FAO atau organisasi dan lembaga pengelolaan
perikanan regional.
PART 2
ENTRY INTO PORT
Article 7
Designation of ports
1. Each Party shall designate and publicize the ports to which vessels may request entry pursuant to this Agreement. Each Party shall provide a list of its designated ports to FAO, which shall give it due publicity.
2. Each Party shall, to the greatest extent possible, ensure
that every port designated and publicized in accordance with paragraph 1 of this Article has sufficient capacity to conduct inspections pursuant to this Agreement.
BAGIAN 2
MASUK KE PELABUHAN
Pasal 7 Penunjukkan Pelabuhan
1. Setiap Pihak wajib menunjuk dan mempublikasikan
pelabuhan-pelabuhan dimana kapal perikanan mungkin meminta izin untuk masuk sesuai dengan Persetujuan ini. Setiap Pihak wajib menyerahkan daftar pelabuhan
yang ditunjuk kepada FAO, yang akan mempublikasikannya.
2. Setiap Pihak wajib, sebisa mungkin, memastikan bahwa
setiap pelabuhan yang ditunjuk dan dipublikasikan sehubungan dengan Paragraf 1 dalam Pasal ini memiliki kapasitas yang cukup untuk melaksanakan pemeriksaan sesuai dengan Persetujuan ini.
Article 8
Advance request for port entry
1. Each Party shall require, as a minimum standard, the information requested in Annex A to be provided before
granting entry to a vessel to its port.
2. Each Party shall require the information referred to in
paragraph 1 of this Article to be provided sufficiently in advance to allow adequate time for the port State to examine such information.
Pasal 8 Permohonan Awal Untuk Masuk ke Pelabuhan
1. Setiap Pihak wajib meminta, sebagai standar minimum,
informasi yang diminta dalam Annex A untuk diberikan
sebelum memberi izin masuk kepada kapal ke Pelabuhan.
2. Setiap Pihak wajib meminta informasi yang tercantum
dalam Paragraf 1 dalam Pasal ini untuk diberikan seawal mungkin untuk memberi waktu yang cukup bagi Negara Pelabuhan untuk mempelajari informasi tersebut.
Article 9
Port entry, authorization or denial
1. After receiving the relevant information required pursuant to Article 8, as well as such other information as it may require to determine whether the vessel requesting entry
into its port has engaged in IUU fishing or fishing related activities in support of such fishing, each Party shall decide whether to authorize or deny the entry of the vessel into its port and shall communicate this decision to the
vessel or to its representative.
2. In the case of authorization of entry, the master of the vessel or the vessel’s representative shall be required to present the authorization for entry to the competent authorities of the Party upon the vessel’s arrival at port.
Pasal 9 Masuk Pelabuhan, Otorisasi, atau Penolakan
1. Setelah menerima informasi terkait yang diperlukan
sesuai dengan Pasal 8, juga informasi lain yang mungkin diperlukan untuk menentukan apakah kapal yang akan
masuk ke pelabuhan terlibat dalam IUU Fishing atau kegiatan yang terkait penangkapan ikan yang mendukung penangkapan ikan yang demikian, setiap Pihak wajib memutuskan apakah mengizinkan atau
menolak kapal tersebut untuk masuk ke pelabuhan dan wajib mengkomunikasikan keputusan ini ke kapal tersebut atau yang mewakilinya.
2. Dalam hal izin masuk, nakhoda kapal atau yang mewakilinya wajib menyerahkan izin masuk kepada pihak yang berwenang dari Pihak ketika tiba di Pelabuhan.
109
3. In the case of denial of entry, each Party shall
communicate its decision taken pursuant to paragraph 1 of this Article to the flag State of the vessel and, as appropriate and to the extent possible, relevant coastal States, regional fisheries management organizations and
other international organizations. 4. Without prejudice to paragraph 1 of this Article, when a
Party has sufficient proof that a vessel seeking entry into
its port has engaged in IUU fishing or fishing related activities in support of such fishing, in particular the inclusion of a vessel on a list of vessels having engaged in such fishing or fishing related activities adopted by a relevant regional fisheries management organization in accordance with the rules and procedures of such organization and in conformity with international law, the Party shall deny that vessel entry into its ports, taking into
due account paragraphs 2 and 3 of Article 4.
5. Notwithstanding paragraphs 3 and 4 of this Article, a Party
may allow entry into its ports of a vessel referred to in those paragraphs exclusively for the purpose of inspecting it and taking other appropriate actions in conformity with international law which are at least as effective as denial of port entry in preventing, deterring and eliminating IUU fishing and fishing related activities in support of such
fishing.
6. Where a vessel referred to in paragraph 4 or 5 of this Article is in port for any reason, a Party shall deny such vessel the use of its ports for landing, transshipping, packaging, and processing of fish and for other port
services including, inter alia, refueling and resupplying, maintenance and drydocking. Paragraphs 2 and 3 of Article 11 apply mutatis mutandis in such cases. Denial of such use of ports shall be in conformity with international
law.
3. Dalam hal penolakan masuk, setiap Pihak wajib
mengkomunikasikan keputusan yang diambil sesuai dengan Paragraf 1 Pasal ini kepada Negara Bendera kapal tersebut dan, bila perlu dan sebisa mungkin, Negara Pantai, organisasi pengelolaan perikanan
regional, dan organisasi internasional lainnya. 4. Tanpa mengurangi arti Paragraf 1 Pasal ini, ketika Pihak
memiliki bukti yang cukup bahwa suatu kapal yang akan
masuk ke Pelabuhan terlibat dalam IUU Fishing atau kegiatan yang berkaitan dengan penangkapan ikan yang mendukung penangkapan ikan dimaksud, khususnya kapal yang ada dalam daftar kapal yang pernah terlibat dalam penangkapan ikan yang demikian, atau kegiatan yang berkaitan dengan penangkapan ikan yang digunakan oleh organisasi pengelolaan perikanan regional yang terkait sesuai dengan peraturan dan
prosedur organisasi tersebut dan sesuai dengan hukum internasional, Pihak tersebut wajib menolak kapal tersebut untuk memasuki pelabuhan, dengan mempertimbangkan Paragraf 2 dan 3 dalam Pasal 4.
5. Meskipun Paragraf 3 dan 4 dalam Pasal ini berbunyi
demikian, Pihak dapat memberikan izin masuk kepada kapal yang dimaksud dalam Paragraf tersebut ke Pelabuhan khusus untuk tujuan memeriksa kapal tersebut dan mengambil tindakan yang perlu sesuai dengan hukum internasional yang setidaknya berupa penolakan masuk ke Pelabuhan dalam usaha mencegah,
menghalangi, dan memberantas IUU Fishing dan kegiatan yang terkait penangkapan ikan yang mendukung penangkapan ikan yang demikian.
6. Bila sebuah kapal yang dimaksud Paragraf 4 atau 5 dalam Pasal ini berada dalam pelabuhan untuk alasan tertentu, Pihak wajib menolak kapal tersebut untuk menggunakan pelabuhan tersebut untuk mendaratkan,
mengalih-angkutkan, mengemas, dan mengolah ikan dan untuk layanan pelabuhan lainnya termasuk, mengisi bahan bakar dan mengisi perbekalan, melakukan perawatan dan menggunakan galangan kapal. Paragraf 2
dan 3 Pasal 11 menerapkan mutatis mutandis (mengubah hal yang perlu diubah atau perubahan perlu yang telah dibuat) dalam hal tersebut. Penolakan penggunaan pelabuhan harus sesuai dengan hukum internasional.
Article 10
Force majeure or distress
Nothing in this Agreement affects the entry of vessels to port in accordance with international law for reasons of force
majeure or distress, or prevents a port State from permitting entry into port to a vessel exclusively for the purpose of rendering assistance to persons, ships or aircraft in danger or distress.
Pasal 10
Force majeure atau Keadaan Sulit Tidak ada dalam Persetujuan ini yang mempengaruhi masuknya kapal ke pelabuhan yang sesuai dengan hukum
internasional atas alasan Force majeure atau keadaan sulit, atau mencegah Negara Pelabuhan memberi izin masuk ke pelabuhan kepada kapal secara khusus untuk memberikan bantuan kepada perorangan, kapal atau pesawat udara dalam bahaya atau kesulitan.
110
PART 3
USE OF PORTS
Article 11
Use of ports
1. Where a vessel has entered one of its ports, a Party shall deny, pursuant to its laws and regulations and consistent
with international law, including this Agreement, that vessel the use of the port for landing, transshipping, packaging and processing of fish that have not been previously landed and for other port services, including,
inter alia, refueling and resupplying, maintenance and drydocking, if: (a) the Party finds that the vessel does not have a valid
and applicable authorization to engage in fishing or fishing related activities required by its flag State;
(b) the Party finds that the vessel does not have a valid and applicable authorization to engage in fishing or
fishing related activities required by a coastal State in respect of areas under the national jurisdiction of that State;
(c) the Party receives clear evidence that the fish on board was taken in contravention of applicable requirements of a coastal State in respect of areas under the national
jurisdiction of that State;
(d) the flag State does not confirm within a reasonable period of time, on the request of the port State, that
the fish on board was taken in accordance with applicable requirements of a relevant regional fisheries management organization taking into due account paragraphs 2 and 3 of Article 4; or
(e) the Party has reasonable grounds to believe that the
vessel was otherwise engaged in IUU fishing or fishing related activities in support of such fishing,
including in support of a vessel referred to in paragraph 4 of Article 9, unless the vessel can establish:
(i) that it was acting in a manner consistent with relevant conservation and management measures; or
(ii) in the case of provision of personnel, fuel, gear
and other supplies at sea, that the vessel that was provisioned was not, at the time of provisioning, a vessel referred to in paragraph 4 of Article 9.
2. Notwithstanding paragraph 1 of this Article, a Party shall not deny a vessel referred to in that paragraph the use of
BAGIAN 3
GUNA PELABUHAN
Pasal 11
Guna Pelabuhan 1. Ketika sebuah kapal telah masuk ke pelabuhan, Pihak
wajib menolak, sesuai dengan hukum dan peraturan dan
sesuai dengan hukum internasional, termasuk Persetujuan ini, kapal tersebut untuk menggunakan pelabuhan untuk mendaratkan, mengalihmuatkan, mengemas, dan mengolah ikan yang sebelumnya belum
didaratkan dan untuk menggunakan layanan pelabuhan lainnya, termasuk diantaranya, mengisi bahan bakar, dan mengisi perbekalan, melakukan perawatan dan menggunakan kapal, apabila: (a) Pihak mengetahui bahwa kapal tersebut tidak
memiliki izin yang resmi dan berlaku untuk menangkap ikan atau kegiatan yang berkaitan dengan penangkapan ikan sebagaimana diminta
oleh Negara Bendera;
(b) Pihak mengetahui bahwa kapal tersebut tidak memiliki izin yang resmi dan berlaku untuk
menangkap ikan atau kegiatan yang berkaitan dengan penangkapan ikan sebagaimana diminta oleh Negara Pantai sesuai dengan wilayah di bawah kedaulatan nasional Negara tersebut;
(c) Pihak menerima bukti yang jelas bahwa ikan yang diangkut melanggar hukum yang berlaku di Negara Pantai sesuai dengan wilayah kedaulatan nasional
Negara tersebut;
(d) Negara Bendera tidak memberikan konfirmasi dalam jangka waktu yang wajar, atas permintaan
Negara Pelabuhan, bahwa ikan yang diangkut sesuai dengan peraturan yang berlaku, organisasi pengelolaan perikanan regional terkait dengan mempertimbangkan Paragraf 2 dan 3 Pasal 4; atau
(e) Pihak memiliki alasan yang masuk akal untuk
meyakini bahwa kapal tersebut juga terlibat dalam IUU Fishing atau kegiatan yang berkaitan dengan
penangkapan ikan yang mendukung penangkapan ikan yang demikian, termasuk mendukung kapal sebagaimana dimaksud Paragraf 4 Pasal 9, kecuali jika kapal tersebut dapat menunjukkan:
(i) bahwa kapal tersebut bertindak sesuai dengan ketentuan pengelolaan dan konservasi yang terkait; atau
(ii) dalam hal penyediaan perlengkapan ABK, bahan
bakar, alat tangkap, dan persediaan lain di laut, bahwa kapal yang dibekali tersebut, pada saat melakukan kegiatan dimaksud, bukan kapal yang dimaksud Paragraf 4 Pasal 9.
2. Meskipun Paragraf 1 Pasal ini berbunyi demikian, Pihak
tidak boleh menolak kapal sebagaimana dimaksud dalam
111
port services: (a) essential to the safety or health of the crew or the
safety of the vessel, provided these needs are duly
proven, or (b) where appropriate, for the scrapping of the vessel.
3. Where a Party has denied the use of its port in accordance
with this Article, it shall promptly notify the flag State and, as appropriate, relevant coastal States, regional fisheries management organizations and other relevant international organizations of its decision.
4. A Party shall withdraw its denial of the use of its port
pursuant to paragraph 1 of this Article in respect of a vessel only if there is sufficient proof that the grounds on which use was denied were inadequate or erroneous or that such grounds no longer apply.
5. Where a Party has withdrawn its denial pursuant to paragraph 4 of this Article, it shall promptly notify those
to whom a notification was issued pursuant to paragraph 3 of this Article.
Paragraf tersebut untuk memperoleh layanan pelabuhan: (a) yang penting bagi keamanan atau kesehatan ABK
atau keamanan kapal, jika kebutuhan ini terbukti
dibutuhkan, atau (b) bila diperlukan, untuk perbaikan kapal tersebut.
3. Apabila Pihak telah menolak penggunaan pelabuhannya
sesuai dengan Pasal ini, Pihak wajib segera memberi tahu Negara Bendera dan, bila perlu, Negara Pantai terkait, organisasi pengelolaan perikanan regional dan organisasi internasional terkait atas keputusan itu.
4. Pihak wajib mencabut penolakannya atas penggunaan
pelabuhan sesuai dengan Paragraf 1 Pasal ini terhadap suatu kapal hanya jika terdapat bukti bahwa dasar yang digunakan untuk menolak tidak cukup atau keliru atau sudah tidak berlaku.
5. Jika Pihak telah mencabut penolakannya sesuai dengan Paragraf 4 Pasal ini, Pihak wajib segera memberi tahu
secepatnya kepada Pihak-Pihak dimana pemberitahuan tersebut diberikan sesuai dengan Paragraf 3 Pasal ini.
PART 4
INSPECTIONS AND FOLLOW-UP ACTIONS Article 12
Levels and priorities for inspection
1. Each Party shall inspect the number of vessels in its ports required to reach an annual level of inspections sufficient to achieve the objective of this Agreement.
2. Parties shall seek to agree on the minimum levels for
inspection of vessels through, as appropriate, regional fisheries management organizations, FAO or otherwise.
3. In determining which vessels to inspect, a Party shall give priority to: (a) vessels that have been denied entry or use of a port in
accordance with this Agreement;
(b) requests from other relevant Parties, States or regional fisheries management organizations that particular
vessels be inspected, particularly where such requests are supported by evidence of IUU fishing or fishing related activities in support of such fishing by the vessel in question; and
(c) other vessels for which there are clear grounds for
suspecting that they have engaged in IUU fishing or fishing related activities in support of such fishing.
BAGIAN 4
PEMERIKSAAN DAN PENINDAKLANJUTAN Pasal 12
Tingkat dan Prioritas Pemeriksaan 1. Setiap Pihak wajib memeriksa jumlah kapal di
pelabuhannya yang diperlukan untuk memperoleh tingkat pemeriksaan tahunan yang cukup untuk mencapai tujuan Persetujuan ini.
2. Pihak-pihak wajib berupaya untuk menyetujui pada
tingkat minimum pemeriksaan kapal melalui, bila perlu, organisasi pengelolaan perikanan regional, FAO atau yang lainnya.
3. Dalam menentukan kapal mana yang akan diperiksa, Pihak wajib memberikan prioritas kepada: (a) kapal-kapal yang telah ditolak masuk atau
menggunakan pelabuhan sesuai dengan Persetujuan
ini;
(b) permohonan-permohonan dari Pihak yang terkait, Negara atau organisasi pengelolaan perikanan
regional untuk memeriksa kapal tertentu, khususnya jika permohonan tersebut didukung oleh bukti IUU Fishing atau kegiatan yang berkaitan dengan penangkapan ikan yang mendukung penangkapan
ikan yang demikian oleh kapal yang sedang dipermasalahkan;
(c) kapal lain yang dengan dasar jelas dicurigai terlibat
IUU Fishing atau kegiatan yang berkaitan dengan penangkapan ikan yang mendukung penangkapan ikan yang demikian.
Article 13
Conduct of inspections
Pasal 13 Pelaksanaan Pemeriksaan
112
1. Each Party shall ensure that its inspectors carry out the functions set forth in Annex B as a minimum standard.
2. Each Party shall, in carrying out inspections in its ports:
(i) ensure that inspections are carried out by properly qualified inspectors authorized for that purpose, having regard in particular to Article 17;
(ii) ensure that, prior to an inspection, inspectors are required to present to the master of the vessel an appropriate document identifying the inspectors as such;
(iii) ensure that inspectors examine all relevant areas of the vessel, the fish on board, the nets and any
other gear, equipment, and any document or record on board that is relevant to verifying compliance with relevant conservation and management measures;
(iv) require the master of the vessel to give inspectors all necessary assistance and information, and to present relevant material and documents as may
be required, or certified copies thereof;
(v) in case of appropriate arrangements with the flag
State of the vessel, invite that State to participate in the inspection;
(vi) make all possible efforts to avoid unduly delaying the vessel to minimize interference and inconvenience, including any unnecessary presence of inspectors on board, and to avoid
action that would adversely affect the quality of the fish on board;
(vii) make all possible efforts to facilitate
communication with the master or senior crew members of the vessel, including where possible and where needed that the inspector is accompanied by an interpreter;
(viii) ensure that inspections are conducted in a fair, transparent and non-discriminatory manner and would not constitute harassment of any vessel;
and
(ix) not interfere with the master’s ability, in conformity with international law, to
communicate with the authorities of the flag State.
1. Setiap pihak wajib memastikan bahwa pemeriksa melaksanakan fungsi yang tertera dalam Annex B sebagai standar minimum.
2. Setiap Pihak wajib, dalam melaksanakan pemeriksaan di
pelabuhan: (i) memastikan pemeriksaan dilaksanakan oleh
pemeriksa yang berkualitas yang diberi wewenang untuk tugas tersebut, dengan memperhatikan secara khusus Pasal 17;
(ii) memastikan bahwa, sebelum memeriksa, pemeriksa menyerahkan dokumen yang menerangkan identitas pemeriksa kepada nakhoda kapal;
(iii) memastikan bahwa Pemeriksa memeriksa seluruh
bagian kapal, ikan yang diangkut, jaring dan alat tangkap lain, perlengkapan, dan dokumen atau
catatan lain di kapal yang relevan untuk menguji kepatuhan terhadap ketentuan pengelolaan dan konservasi yang terkait;
(iv) mewajibkan nakhoda kapal memberikan semua
bantuan dan informasi yang diperlukan kepada Pemeriksa, dan apabila diperlukan menyerahkan bahan dan dokumen yang terkait atau semua salinan dokumen yang sah dimaksud;
(v) dalam hal pengaturan tertentu dengan Negara
Bendera kapal tersebut, mengundang Negara itu untuk ikut serta dalam pemeriksaan;
(vi) mengusahakan semua kemungkinan untuk
menghindari penundaan yang berlebihan kapal tersebut untuk meminimalkan campur tangan dan ketidaknyamanan, termasuk kehadiran pemeriksa di atas kapal yang tidak perlu, dan untuk
menghindari tindakan yang secara kontradiktif akan mempengaruhi kualitas ikan di kapal;
(vii) mengusahakan segala kemungkinan untuk
memfasilitasi komunikasi dengan nakhoda atau ABK senior kapal tersebut, termasuk bila pemeriksa dikawal seorang penterjemah jika mungkin dan jika diperlukan;
(viii) memastikan bahwa pemeriksaan dilaksanakan
dengan cara yang adil, transparan, dan nondiskriminatif dan tidak akan menimbulkan
gangguan terhadap kapal mana pun; dan
(ix) tidak mencampuri kemampuan nakhoda kapal, sesuai dengan hukum internasional, untuk berkomunikasi dengan pihak berwenang Negara Bendera.
113
Article 14
Results of inspections
Each Party shall, as a minimum standard, include the information set out in Annex C in the written report of the results of each inspection.
Pasal 14 Hasil Pemeriksaan
Setiap Pihak wajib, sebagai standar minimum, memasukkan informasi yang tertera di Annex C dalam laporan tertulis hasil pemeriksaan.
Article 15
Transmittal of inspection results
Each Party shall transmit the results of each inspection to the flag State of the inspected vessel and, as appropriate, to:
(a) relevant Parties and States, including: (i) those States for which there is evidence through
inspection that the vessel has engaged in IUU fishing or fishing related activities in support of such fishing within waters under their national jurisdiction; and
(ii) the State of which the vessel’s master is a national.
(b) relevant regional fisheries management organizations;
and
(c) FAO and other relevant international organizations.
Pasal 15 Penyampaian Hasil Pemeriksaan
Setiap Pihak wajib menyampaikan hasil tiap pemeriksaan kepada Negara Bendera kapal yang diperiksa, dan bila perlu, kepada:
(a) Pihak dan Negara terkait, termasuk: (i) negara-negara dimana melalui pemeriksaan
terdapat bukti bahwa kapal tersebut terlibat IUU Fishing atau kegiatan yang berkaitan dengan dengan penangkapan ikan yang mendukung penangkapan ikan yang demikian dalam perairan di bawah kewenangan nasional mereka, dan
(ii) negara dimana nakhoda kapal menjadi
warganegara. (b) organisasi pengelolaan perikanan regional yang
terkait, dan
(c) FAO dan organisasi internasional yang terkait.
Article 16
Electronic exchange of information
1. To facilitate implementation of this Agreement, each Party shall, where possible, establish a communication mechanism that allows for direct electronic exchange of information, with due regard to appropriate confidentiality requirements.
2. To the extent possible and with due regard to appropriate confidentiality requirements, Parties should cooperate to
establish an information-sharing mechanism, preferably coordinated by FAO, in conjunction with other relevant multilateral and intergovernmental initiatives, and to facilitate the exchange of information with existing
databases relevant to this Agreement. 3. Each Party shall designate an authority that shall act as a
contact point for the exchange of information under this Agreement. Each Party shall notify the pertinent designation to FAO.
4. Each Party shall handle information to be transmitted through any mechanism established under paragraph 1 of this Article consistent with Annex D.
5. FAO shall request relevant regional fisheries management organizations to provide information concerning the measures or decisions they have adopted and implemented which relate to this Agreement for their integration, to the extent possible and taking due account of the appropriate
Pasal 16 Pertukaran Informasi Elektronik
1. Untuk memfasilitasi penerapan Persetujuan ini, setiap
Pihak wajib, jika memungkinkan, membangun mekanisme komunikasi yang memungkinkan pertukaran informasi elektronik secara langsung, dengan mempertimbangkan persyaratan kerahasiaan yang
relevan.
2. Sebisa mungkin dan dengan mempertimbangkan persyaratan kerahasiaan yang relevan, Pihak-pihak wajib
bekerja sama untuk membangun mekanisme berbagi informasi, lebih diutamakan dibawah koordinasi FAO, sehubungan dengan inisiatif multilateral dan antar-Negara yang terkait, dan untuk memfasilitasi pertukaran
informasi dengan basis data yang ada yang relevan dengan Persetujuan ini.
3. Setiap Pihak wajib menunjuk suatu otoritas yang akan
bertindak sebagai pusat kontak untuk pertukaran informasi di bawah Persetujuan ini. Setiap Pihak wajib memberi tahu penunjukkan tersebut kepada FAO.
4. Setiap Pihak wajib menangani informasi yang akan disampaikan melalui mekanisme tertentu yang dibuat di bawah paragraf 1 Pasal ini yang sesuai dengan Annex D.
5. FAO wajib meminta organisasi pengelolaan perikanan regional terkait untuk memberikan informasi tentang langkah atau keputusan yang telah mereka gunakan dan terapkan yang berhubungan dengan Persetujuan ini demi integrasi mereka, sebisa mungkin dan
114
confidentiality requirements, into the information-sharing mechanism referred to in paragraph 2 of this Article.
mempertimbangkan persyaratan kerahasiaan yang relevan, ke dalam mekanisme berbagi informasi sebagaimana tertuang dalam paragraf 2 Pasal ini.
Article 17
Training of inspectors
Each Party shall ensure that its inspectors are properly trained taking into account the guidelines for the training of
inspectors in Annex E. Parties shall seek to cooperate in this regard.
Pasal 17
Pelatihan Pemeriksa
Setiap Pihak wajib memastikan bahwa pemeriksanya dilatih sebagaimana mestinya dengan mempertimbangkan
pedoman pelatihan pemeriksa dalam Annex E. Pihak-Pihak wajib berusaha untuk bekerja sama dalam hal ini.
Article 18
Port State actions following inspection
1. Where, following an inspection, there are clear grounds for believing that a vessel has engaged IUU fishing or fishing related activities in support of such fishing, the inspecting Party shall:
(a) promptly notify the flag State and, as appropriate, relevant coastal States, regional fisheries management organizations and other international
organizations, and the State of which the vessel’s master is a national of its findings; and
(b) deny the vessel the use of its port for landing, transshipping, packaging and processing of fish that
have not been previously landed and for other port services, including, inter alia, refueling and resupplying, maintenance and drydocking, if these actions have not already been taken in respect of the
vessel, in a manner consistent with this Agreement, including Article 4.
2. Notwithstanding paragraph 1 of this Article, a Party shall
not deny a vessel referred to in that paragraph the use of port services essential for the safety or health of the crew
or the safety of the vessel.
3. Nothing in this Agreement prevents a Party from taking measures that are in conformity with international law in addition to those specified in paragraphs 1 and 2 of this Article, including such measures as the flag State of the
vessel has expressly requested or to which it has consented.
Pasal 18 Tindakan Negara Pelabuhan Setelah Pemeriksaan
1. Apabila, setelah pemeriksaan, terdapat dasar yang jelas untuk meyakini bahwa sebuah kapal telah terlibat IUU Fishing atau kegiatan yag berkaitan dengan penangkapan ikan yang mendukung penangkapan ikan yang demikian, Pihak yang memeriksa wajib: (a) segera memberitahu Negara Bendera dan, bila perlu,
Negara Pantai terkait, organisasi pengelolaan perikanan regional dan organisasi internasional
lainnya, dan Negara dimana nakhoda kapal tersebut menjadi warga Negara atas temuan tersebut; dan
(b) menolak kapal tersebut untuk menggunakan pelabuhannya untuk mendaratkan,
mengalihangkutkan, mengemas, dan mengolah ikan yang belum didaratkan sebelumnya dan layanan pelabuhan lainnya, termasuk antara lain, pengisian bahan bakar dan pengisian perbekalan, melakukan pemeliharaan dan menggunakan galangan kapal, jika tindakan ini belum dilakukan terhadap suatu kapal, dengan cara yang sesuai dengan Persetujuan ini, termasuk Pasal 4.
2. Meskipun paragraph 1 Pasal ini berbunyi demikian,
Pihak tidak boleh menolak kapal sebagaimana yang dimaksud dalam paragraf tersebut untuk menggunakan
layanan pelabuhan yang sangat penting bagi keselamatan atau kesehatan ABK atau keselamatan kapal.
3. Persetujuan ini tidak mencegah Pihak untuk mengambil langkah yang sesuai dengan hukum internasional disamping seperti yang dituangkan dalam paragraf 1 dan 2 dalam Pasal ini termasuk ketentuan – ketentuan
sebagaimana Negara bendera kapal tersebut telah meminta atau yang telah menyetujui.
Article 19
Information on recourse in the port State
1. A Party shall maintain the relevant information available to the public and provide such information, upon written request, to the owner, operator, master or representative of a vessel with regard to any recourse established in
accordance with its national laws and regulations concerning port State measures taken by that Party pursuant to Article 9, 11, 13 or 18, including information pertaining to the public services or judicial institutions
Pasal 19 Informasi Permintaan Bantuan di Negara Pelabuhan
1. Pihak wajib menjaga agar informasi yang relevan
tersedia bagi masyarakat dan memberikan informasi tersebut, atas permintaan tertulis, kepada pemilik kapal, operator, nakhoda atau perwakilan dari kapal dengan
mempertimbangkan permintaan bantuan yang dibuat sesuai dengan hukum dan peraturan nasional tentang ketentuan Negara Pelabuhan dari Pihak tersebut sesuai dengan Pasal 9, 11, 13 atau 18, termasuk informasi yang
115
available for this purpose, as well as information on whether there is any right to seek compensation in accordance with its national laws and regulations in the
event of any loss or damage suffered as a consequence of any alleged unlawful action by the Party.
2. The Party shall inform the flag State, the owner, operator, master or representative, as appropriate, of the outcome
of any such recourse. Where other Parties, States or international organizations have been informed of the prior decision pursuant to Article 9, 11, 13 or 18, the Party shall inform them of any change in its decision.
berkenaan dengan pelayanan umum atau lembaga hukum yang ada untuk tujuan ini, juga informasi mengenai ada tidaknya hak untuk mendapatkan
kompensasi sehubungan dengan hukum dan peraturan nasional ketika terjadi kehilangan atau kerusakan yang timbul sebagai akibat dari tindakan ilegal yang dituduhkan oleh pihak tersebut.
2. Pihak tersebut wajib memberi tahu Negara Bendera, pemilik, operator, nakhoda, atau perwakilan, bila perlu,
mengenai hasil permintaan bantuan. Ketika pihak, Negara atau organisasi interansional lain telah diberi tahu tentang keputusan awal sesuai dengan Pasal 9, 11, 13, atau 18, Pihak tersebut wajib menginformasikan perubahan apapun dalam keputusan itu kepada mereka.
PART 5
ROLE OF FLAG STATES
Article 20
Role of flag States
1. Each Party shall require the vessels entitled to fly its flag to cooperate with the port State in inspections carried out pursuant to this Agreement.
2. When a Party has clear grounds to believe that a vessel
entitled to fly its flag has engaged in IUU fishing or fishing related activities in support of such fishing and is seeking entry to or is in the port of another State, it shall, as appropriate, request that State to inspect the vessel or to take other measures consistent with this Agreement.
3. Each Party shall encourage vessels entitled to fly its flag to land, transship, package and process fish, and use other port services, in ports of States that are acting in accordance with, or in a manner consistent with this
Agreement. Parties are encouraged to develop, including through regional fisheries management organizations and FAO, fair, transparent and nondiscriminatory procedures for identifying any State that may not be acting in
accordance with, or in a manner consistent with, this Agreement.
4. Where, following port State inspection, a flag State Party
receives an inspection report indicating that there are clear grounds to believe that a vessel entitled to fly its flag has
engaged in IUU fishing or fishing related activities in support of such fishing, it shall immediately and fully investigate the matter and shall, upon sufficient evidence, take enforcement action without delay in accordance with its laws and regulations.
BAGIAN 5
PERAN NEGARA BENDERA
Pasal 20 Peran Negara Bendera
1. Setiap pihak wajib meminta kapal yang berhak
mengibarkan benderanya untuk bekerja sama dengan Negara Pelabuhan dalam pemeriksaan yang
dilaksanakan sesuai dengan Persetujuan ini. 2. Jika Pihak memiliki dasar yang jelas untuk meyakini
bahwa suatu kapal yang berhak mengibarkan benderanya terlibat dalam IUU Fishing atau kegiatan yang berkaitan dengan penangkapan ikan yang mendukung penangkapan ikan yang demikian dan hendak masuk ke atau berada di pelabuhan Negara lain, Pihak tersebut wajib, bila perlu, meminta Negara
tersebut untuk memeriksa kapal itu atau mengambil langkah-langkah lain yang sesuai dengan Persetujuan ini.
3. Setiap Pihak wajib mendorong kapal yang berhak mengibarkan benderanya untuk mendaratkan, mengalihangkutkan, mengemas, dan mengolah ikan, dan menggunakan layanan pelabuhan lainnnya di pelabuhan
Negara yang bertindak sesuai dengan, atau dengan cara yang konsisten dengan Perjajian ini. Pihak-Pihak didorong untuk mengembangkan, termasuk melalui organisasi pengolahan perikanan regional, dan FAO,
prosedur yang adil, transparan, dan nondiskriminatif, untuk mengidentifikasi Negara manapun yang tidak bertindak sesuai dengan, atau cara yang konsisten dengan Persetujuan ini.
4. Apabila setelah pemeriksaan Negara Pelabuhan, Pihak
Negara Bendera menerima laporan pemeriksaan yang menunjukkan adanya dasar yang jelas untuk meyakini
bahwa sebuah kapal yang berhak mengibarkan benderanya terlibat dalam IUU Fishing atau kegiatan yang berkaitan dengan penangkapan ikan yang mendukung penangkapan ikan yang demikian, Pihak Negara Bendera wajib segera melakukan investigasi secara menyeluruh masalah tersebut dan wajib, dan bila
116
5. Each Party shall, in its capacity as a flag State, report to other Parties, relevant port States and, as appropriate, other relevant States, regional fisheries management organizations and FAO on actions it has taken in respect of
vessels entitled to fly its flag that, as a result of port State measures taken pursuant to this Agreement, have been determined to have engaged in IUU fishing or fishing related activities in support of such fishing.
6. Each Party shall ensure that measures applied to vessels
entitled to fly its flag are at least as effective in preventing, deterring, and eliminating IUU fishing and fishing related activities in support of such fishing as measures applied to
vessels referred to in paragraph 1 of Article 3.
bukti cukup, mengambil tindakan penegakan tanpa menunda-nunda sesuai dengan hukum dan peraturan.
5. Setiap Pihak wajib dalam kapasitasnya sebagai Negara Bendera, melapor kepada Pihak lain, Negara Pelabuhan yang terkait dan, bila perlu, Negara lain yang relevan, organisasi pengelolaan perikanan regional dan FAO atas
tindakan yang telah dilakukan terhadap kapal yang berhak mengibarkan benderanya yang, sebagai hasil penerapan ketentuan Negara pelabuhan sesuai dengan Persetujuan ini, telah dinyatakan terlibat dalam IUU
Fishing atau kegiatan yang berkaitan dengan penangkapan ikan yang mendukung penangkapan ikan yang demikian.
6. Setiap Pihak wajib memastikan bahwa ketentuan yang
diterapkan kepada kapal yang berhak mengibarkan benderanya setidaknya sama efektifnya, dalam mencegah, menghalangi, dan memberantas IUU Fishing
atau kegiatan yang berkaitan dengan penangkapan ikan yang mendukung penangkapan ikan yang demikian, sebagaimana ketentuan yang diterapkan pada kapal yang tercantum pada paragraf 1 Pasal 3.
PART 6
REQUIREMENTS OF DEVELOPING STATES Article 21
Requirements of developing States
1. Parties shall give full recognition to the special requirements of developing States Parties in relation to the
implementation of port State measures consistent with this Agreement. To this end, Parties shall, either directly or through FAO, other specialized agencies of the United
Nations or other appropriate international organizations and bodies, including regional fisheries management organizations, provide assistance to developing States Parties in order to, inter alia: (a) enhance their ability, in particular the least-developed
among them and small island developing States, to develop a legal basis and capacity for the implementation of effective port State measures;
(b) facilitate their participation in any international
organizations that promote the effective development and implementation of port State measures; and
(c) facilitate technical assistance to strengthen the
development and implementation of port State measures by them, in coordination with relevant international mechanisms.
BAGIAN 6
PERSYARATAN BAGI NEGARA YANG SEDANG
BERKEMBANG
Pasal 21 Persyaratan bagi Negara yang Sedang Berkembang
1. Pihak-pihak wajib memberikan pengakuan penuh
terhadap persyaratan khusus bagi Pihak negara yang sedang berkembang dalam hubungannya dengan penerapan ketentuan Negara Pelabuhan yang konsisten
dengan Persetujuan ini. Dalam pada itu, negara – negara pihak wajib, baik secara langsung atau melalui FAO, badan khusus lain dari PBB atau organisasi internasional yang relevan dan lembaga, termasuk organisasi pengelolaan perikanan regional lain, memberikan bantuan kepada pengembangan Negara Pihak untuk, diantaranya: (a) meningkatkan kemampuan mereka, khususnya
negara miskin dan negara yang sedang berkembang dalam bentuk pulau kecil, untuk membangun basis hukum dan kapasitas demi penerapan ketentuan
Negara Pelabuhan yang efektif; (b) memfasilitasi partisipasi mereka dalam organisasi
internasional manapun yang mendorong pengembangan dan penerapan ketentuan Negara
Pelabuhan yang efektif; dan (c) memfasilitasi bantuan teknis untuk memperkuat
pengembangan dan penerapan ketentuan negara Pelabuhan oleh mereka, melalui koordinasi dengan mekanisme internasional yang relevan.
117
2. Parties shall give due regard to the special requirements of developing port States Parties, in particular the least-developed among them and small island developing States,
to ensure that a disproportionate burden resulting from the implementation of this Agreement is not transferred directly or indirectly to them. In cases where the transfer of a disproportionate burden has been demonstrated,
Parties shall cooperate to facilitate the implementation by the relevant developing States Parties of specific obligations under this Agreement.
3. Parties shall, either directly or through FAO, assess the
special requirements of developing States Parties concerning the implementation of this Agreement.
4. Parties shall cooperate to establish appropriate funding mechanisms to assist developing States in the implementation of this Agreement. These mechanisms shall, inter alia, be directed specifically towards:
(a) developing national and international port State
measures; (b) developing and enhancing capacity, including for
monitoring, control and surveillance and for training at the national and regional levels of port managers, inspectors, and enforcement and legal personnel;
(c) monitoring, control, surveillance and compliance
activities relevant to port State measures, including access to technology and equipment; and
(d) assisting developing States Parties with the costs
involved in any proceedings for the settlement of disputes that result from actions they have taken
pursuant to this Agreement.
5. Cooperation with and among developing States Parties for
the purposes set out in this Article may include the provision of technical and financial assistance through bilateral,multilateral and regional channels, including South-South cooperation.
6. Parties shall establish an ad hoc working group to
periodically report and make recommendations to the Parties on the establishment of funding mechanisms
including a scheme for contributions, identification and mobilisation of funds, the development of criteria and procedures to guide implementation, and progress in the implementation of the funding mechanisms. In addition to the considerations provided in this Article, the ad hoc working group shall take into account, inter alia:
2. Pihak-Pihak wajib memberikan pertimbangan terhadap persyaratan khusus bagi Pihak Negara Pelabuhan yang berklasifikasi sebagai negara yang sedang berkembang
khususnya negara miskin dan Negara yang sedang berkembang dalam bentuk pulau kecil, untuk memastikan bahwa beban yang tidak sebanding yang muncul dari pelaksanaan Persetujuan ini tidak
dilimpahkan secara langsung atau tidak langsung kepada mereka. Dalam hal telah terjadi pelimpahan atas beban yang tidak sebanding, Pihak-Pihak wajib bekerja sama untuk memfasilitasi pelaksanaan dari Pihak Negara yang
sedang berkembang terhadap kewajiban – kewajiban khusus di bawah Persetujuan ini.
3. Pihak-Pihak wajib, secara langsung atau melalui FAO,
menilai persyaratan khusus bagi Pihak Negara yang sedang berkembang sehubungan dengan pelaksanaan Persetujuan ini.
4. Pihak-Pihak wajib bekerja sama untuk membentuk mekanisme pendanaan yang memadai untuk membantu Negara yang sedang berkembang dalam penerapan Perjajian ini. Mekanisme ini wajib, diantaranya
ditujukan secara khusus untuk: (a) Mengembangkan ketentuan Negara Pelabuhan
Nasional dan Internasional; (b) Mengembangkan dan meningkatkan kapasitas,
termasuk untuk memantau, mengendalikan dan mengawasi serta untuk pelatihan bagi manajer pelabuhan, pemeriksa, serta aparat penegakan dan pegawai hukum di level nasional dan regional;
(c) Memantau, mengendalikan, kegiatan – kegiatan
kepatuah dan pengawasan yang relevan dengan ketentuan Negara Pelabuhan, termasuk akses untuk
teknologi dan perlengkapan; dan (d) Membantu Pihak Negara yang sedang berkembang
dalam hal biaya yang berasal dari sidang – sidang penyelesaian sengketa sebagai akibat dari tindakan
– tindakan yang telah mereka lakukan sebagaimana tertuang dalam Persetujuan ini.
5. Kerja sama dengan dan di antara Pihak Negara yang
sedang berkembang untuk tujuan yang tertera dalam Pasal ini dapat berupa ketentuan tentang bantuan teknis dan keuangan melalui jalur bilateral, multilateral, dan regional, termasuk kerja sama selatan-selatan.
6. Pihak-pihak wajib membentuk kelompok kerja ad hoc
untuk melaporkan secara berkala dan membuat rekomendasi kepada Pihak-Pihak dalam pembentukan
mekanisme pendanaan termasuk sebuah skema untuk kontribusi, identifikasi, dan mobilisasi dana, pengembangan kriteria dan prosedur untuk memandu pelaksanaan dan perkembangan penerapan mekanisme pendanaan. Di samping pertimbangan-pertimbangan yang tertera dalam pasal ini, kelompok kerja ad hoc wajib mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
118
(a) the assessment of the needs of developing States Parties, in particular the leastdeveloped among them and small island developing States;
(b) the availability and timely disbursement of funds;
(c) transparency of decision-making and management processes concerning fundraising and allocations; and
(d) accountability of the recipient developing States Parties in the agreed use of funds. Parties shall take into account the reports and any recommendations of the ad hoc working group and take appropriate action.
(a) penilaian akan kebutuhan pengembangan Pihak Negara yang sedang berkembang, khususnya negara miskin di antara mereka dan Negara yang sedang
berkembang dalam bentuk pulau kecil;
(b) ketersediaan dari pencairan dana yang tepat waktu;
(c) ketransparanan dalam pengambilan keputusan dan proses pengelolaan pengumpulan dan alokasi dana; dan
(d) akuntabilitas Pihak Negara yang sedang berkembang sebagai penerima dalam penggunaan dana yang disetujui. Pihak wajib mempertimbangkan laporan dan rekomendasi dari kelompok kerja ad hoc dan mengambil langkah – langkah yang diperlukan.
PART 7
DISPUTE SETTLEMENT Article 22
Peaceful settlement of disputes
1. Any Party may seek consultations with any other Party or Parties on any dispute with regard to the interpretation or
application of the provisions of this Agreement with a view to reaching a mutually satisfactory solution as soon as possible.
2. In the event that the dispute is not resolved through these
consultations within a reasonable period of time, the Parties in question shall consult among themselves as soon as possible with a view to having the dispute settled by
negotiation, inquiry, mediation, conciliation, arbitration, judicial settlement or other peaceful means of their own choice.
3. Any dispute of this character not so resolved shall, with
the consent of all Parties to the dispute, be referred for settlement to the International Court of Justice, to the
International Tribunal for the Law of the Sea or to arbitration. In the case of failure to reach agreement on referral to the International Court of Justice, to the International Tribunal for the Law of the Sea or to
arbitration, the Parties shall continue to consult and cooperate with a view to reaching settlement of the dispute in accordance with the rules of international law relating to the conservation of living marine resources.
BAGIAN 7
PENYELESAIAN SENGKETA Pasal 22
Penyelesaian Perselisihan secara Damai
1. Pihak-pihak boleh melakukan konsultasi dengan pihak lain atau Pihak-pihak lain mengenai interpretasi atau
aplikasi ketentuan – ketentuan Persetujuan ini dengan maksud untuk mencapai sebuah penyelesaian yang memuaskan kedua belah pihak sesegera mungkin.
2. Dalam hal perselisihan tersebut tidak dapat diselesaikan
melalui konsultasi ini dalam rentang waktu yang memadai, Pihak-pihak yang sedang bermasalah wajib berkonsultasi di antara mereka sendiri sesegera mungkin
dengan maksud untuk menyelesaikan perselisihan dengan negosiasi, penyelidikan, mediasi, konsiliasi, arbitrasi, penyelesaian hukum atau sarana damai lain sesuai pilihan mereka.
3. Perselisihan yang tidak terselesaikan wajib, atas
persetujuan seluruh pihak yang bersengketa, diajukan ke Mahkamah Internasional untuk diselesaikan, ke
Pengadilan Internasional untuk Hukum Laut atau Arbitrasi. Apabila tidak dapat diselesaikan di Mahkamah Internasional, Pengadilan Internasional untuk Hukum Laut atau Arbitrasi, Pihak-pihak tersebut wajib terus
berkonsultasi dan bekerjasama dengan maksud untuk menyelesaikan persengketaan merujuk kepada aturan Hukum Internasional yang berkenaan dengan konvensi sumber daya kelautan hayati.
PART 8
NON-PARTIES
Article 23
Non-Parties to this Agreement
1. Parties shall encourage non-Parties to this Agreement to become Parties thereto and/or to adopt laws and regulations and implement measures consistent with its provisions.
BAGIAN 8
NON-PIHAK
Pasal 23 Non-pihak Dalam Persetujuan Ini
1. Pihak-pihak wajib mendorong Non-Pihak dalam Persetujuan ini untuk menjadi Pihak dalam Persetujuan ini dan/atau untuk mengadopsi hukum dan peraturan serta menerapkan langkah – langkah yang konsisten dengan ketetapannya.
119
2. Parties shall take fair, non-discriminatory and transparent
measures consistent with this Agreement and other
applicable international law to deter the activities of non-Parties which undermine the effective implementation of this Agreement.
2. Pihak-pihak wajib mengambil langkah-langkah yang
adil, nondiskriminatif, dan transparan yang konsisten
dengan Persetujuan ini dan hukum internasional lain yang berlaku untuk menghalangi kegiatan Non-Pihak yang mengurangi keefektifan penerapan Persetujuan ini.
PART 9
MONITORING, REVIEW AND ASSESSMENT
Article 24
Monitoring, review and assessment
1. Parties shall, within the framework of FAO and its relevant bodies, ensure the regular and systematic monitoring and review of the implementation of this Agreement as well as the assessment of progress made towards achieving its objective.
2. Four years after the entry into force of this Agreement, FAO shall convene a meeting of the Parties to review and
assess the effectiveness of this Agreement in achieving its objective. The Parties shall decide on further such meetings as necessary.
BAGIAN 9
PEMANTAUAN, PENINJAUAN ULANG, DAN
PENILAIAN
Pasal 24 Pemantauan, Peninjauan Ulang, dan Penilaian
1. Pihak-Pihak wajib, dalam kerangka kerja FAO dan badan terkaitnya, memastikan pemantauan teratur dan sistematis dan peninjauan ulang terhadap penerapan Persetujuan ini serta penilaian perkembangan yang diperoleh dalam mencapai tujuan.
2. Empat tahun setelah pemberlakuan Persetujuan ini, FAO wajib mengadakan persidangan dari para Pihak untuk
meninjau ulang dan menilai keefektifan Persetujuan ini dalam mencapai tujuan. Pihak-pihak wajib menentukan sidang selanjutnya apabila diperlukan.
PART 10
FINAL PROVISIONS
Article 25
Signature
This Agreement shall be open for signature at ** from ** until **, by all States and regional economic integration organizations.
BAGIAN 10
KETETAPAN AKHIR Pasal 25
Penandatanganan
Persetujuan ini terbuka untuk ditandatangani pada. . . dari . . . sampai . . . oleh seluruh Pihak dan organisasi integrasi ekonomi regional.
Article 26
Ratification, acceptance or approval
1. This Agreement shall be subject to ratification, acceptance or approval by the signatories.
2. Instruments of ratification, acceptance or approval shall be deposited with the Depositary.
Pasal 26 Ratifikasi, Penerimaan, atau Persetujuan
1. Persetujuan ini wajib diratifikasi, diterima atau disetujui
oleh yang menandatangani Persetujuan ini.
2. Instrumen Ratifikasi, Penerimaan, atau Persetujuan wajib disimpan di Depositari.
Article 27
Accession
1. After the period in which this Agreement is open for signature, it shall be open for accession by any State or regional economic integration organization.
2. Instruments of accession shall be deposited with the
Depositary.
Pasal 27 Aksesi
1. Setelah periode di mana Persetujuan terbuka untuk ditandatangani, Persetujuan ini terbuka untuk aksesi oleh Negara atau organisasi integrasi ekonomi regional manapun.
2. Instrumen aksesi wajib disimpan di Depositari.
Article 28
Participation by Regional Economic Integration
Organizations
1. In cases where a regional economic integration organization that is an international organization referred to in Annex IX, Article 1, of the Convention does not have
competence over all the matters governed by this Agreement, Annex IX to the Convention shall apply
Pasal 28 Keikutsertaan Organisasi Integrasi Ekonomi Regional
1. Dalam hal dimana organisasi integrasi ekonomi regional
yang merupakan organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IX, Pasal 1 Konvensi ini
tidak memiliki kompetensi atas seluruh hal yang diatur dalam Persetujuan ini, Lampiran IX Konvensi ini
120
mutatis mutandis to participation by such regional economic integration organization in this Agreement, except that the following provisions of that Annex shall
not apply: (a) Article 2, first sentence; and (b) Article 3, paragraph 1.
2. In cases where a regional economic integration
organization that is an international organization referred to in Annex IX, Article 1, of the Convention has competence over all the matters governed by this Agreement, the following provisions shall apply to
participation by the regional economic integration organization in this Agreement: (a) at the time of signature or accession, such organization
shall make a declaration stating:
(i) that it has competence over all the matters governed by this Agreement;
(ii) that, for this reason, its member States shall not
become States Parties, except in respect of their territories for which the organization has no
responsibility; and (iii) that it accepts the rights and obligations of States
under this Agreement;
(b) participation of such an organization shall in no case confer any rights under this Agreement on member States of the organization;
(c) in the event of a conflict between the obligations of such organization under this Agreement and its obligations under the Agreement establishing the organization or any acts relating to it, the obligations
under this Agreement shall prevail.
berlaku mutatis mutandis terhadap keikutsertaan organisasi integrasi ekonomi regional tersebut dalam Persetujuan ini, kecuali ketetapan-ketetapan Lampiran
berikut ini: (a) Pasal 2, kalimat pertama; dan (b) Pasal 3, paragraph 1.
2. Dalam hal dimana organisasi kepaduan ekonomi
regional yang merupakan organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IX, Pasal 1 Konvensi ini memiliki kompetensi akan seluruh hal yang diatur dalam Persetujuan ini, ketetapan berikut
berlaku terhadap keikutsertaan organisasi integrasi ekonomi regional dalam Persetujuan ini: (a) pada saat penandatanganan atau aksesi, organisasi
tersebut wajib membuat pernyataan yang menyatakan:
(i) bahwa organisasi tersebut memliki kompetensi terhadap hal-hal yang diatur dalam Persetujuan
ini; (ii) bahwa, untuk alasan ini, Negara anggotanya
tidak wajib menjadi Negara Pihak, kecuali atas wilayah mereka dimana organisasi tidak
memiliki tanggung jawab; dan (iii) bahwa organisasi menerima hak dan kewajiban
Negara di bawah Persetujuan ini;
(b) keikutsertaan organisasi tersebut sama sekali tidak boleh memberikan hak apapun di bawah Persetujuan ini pada Negara anggota organisasi.
(c) apabila terjadi pertentangan antara kewajiban organisasi di bawah Persetujuan ini dan kewajiban di bawah Persetujuan yang membentuk organisasi tersebut atau undang – undang apa pun yang
berkenaan dengan itu, kewajiban organisasi di bawah Persetujuan ini berlaku.
Article 29
Entry into force
1. This Agreement shall enter into force thirty days after the date of deposit with the Depositary of the twenty-fifth instrument of ratification, acceptance, approval or accession in accordance with Article 26 or 27.
2. For each signatory which ratifies, accepts or approves this
Agreement after its entry into force, this Agreement shall enter into force thirty days after the date of the deposit of
its instrument of ratification, acceptance or approval. 3. For each State or regional economic integration
organization which accedes to this Agreement after its
entry into force, this Agreement shall enter into force thirty days after the date of the deposit of its instrument of accession.
4. For the purposes of this Article, any instrument deposited
by a regional economic integration organization shall not
Pasal 29 Pemberlakuan Persetujuan
1. Persetujuan ini mulai berlaku 30 hari setelah tanggal penyimpanan di Depositari atas instrumen ratifikasi, penerimaan, persetujuan atau aksesi ke dua puluh lima sesuai dengan Pasal 26 atau 27.
2. Bagi setiap penandatangan yang meratifikasi, menerima,
atau menyetujui Persetujuan ini setelah Persetujuan ini berlaku, Persetujuan ini akan berlaku 30 hari setelah
tanggal penyimpanan instrumen ratifikasi, penerimaan, atau persetujuan.
3. Bagi tiap Negara atau organisasi integrasi ekonomi regional yang melakukan aksesi Persetujuan ini setelah
Persetujuan ini berlaku, Persetujuan ini akan berlaku 30 hari setelah tanggal penyimpanan instrumen aksesi.
4. Demi tujuan Pasal ini, instrumen apa pun yang disimpan
oleh organisasi integrasi ekonomi regional tidak
121
be counted as additional to those deposited by its Member States.
dianggap sebagai tambahan kepada yang telah disimpan oleh Negara anggota.
Article 30
Reservations and exceptions
No reservations or exceptions may be made to this Agreement.
Pasal 30 Pensyaratan dan Pengecualian
Pensyaratan dan pengecualian tidak diboleh dilakukan terhadap Persetujuan ini.
Article 31
Declarations and statements
Article 30 does not preclude a State or regional economic integration organization, when signing, ratifying, accepting, approving or acceding to this Agreement, from making a
declaration or statement, however phrased or named, with a view to, inter alia, the harmonization of its laws and regulations with the provisions of this Agreement, provided that such declaration or statement does not purport to exclude or to modify the legal effect of the provisions of this Agreement in their application to that State or regional economic integration organization.
Pasal 31 Deklarasi dan Pernyataan
Pasal 30 tidak menghalangi suatu negara atau organisasi integrasi ekonomi regional, ketika menandatangani, meratifikasi, menerima, menyetujui, atau mengaksesi
Persetujuan ini, dengan melakukan deklarasi atau pernyataan, atau apapun namanya, dengan maksud untuk antara lain harmonisasi hukum dan peraturan dengan ketetapan-ketetapan dalam Persetujuan ini, apabila deklarasi atau pernyataan tersebut tidak bermaksud mengenyampingkan atau untuk mengubah pengaruh hukum ketetapan-ketetapan dalam Persetujuan ini dalam penerapannya kepada Negara atau organisasi integrasi
ekonomi regional.
Article 32
Provisional application
1. This Agreement shall be applied provisionally by States or
regional economic integration organizations which consent to its provisional application by so notifying the Depositary in writing. Such provisional application shall become effective from the date of receipt of the notification.
2. Provisional application by a State or regional economic integration organization shall terminate upon the entry into
force of this Agreement for that State or regional economic integration organization or upon notification by that State or regional economic integration organization to the Depositary in writing of its intention to terminate
provisional application.
Pasal 32 Pemberlakuan Sementara
1. Persetujuan ini berlaku untuk sementara waktu oleh
Negara atau organisasi integrasi ekonomi regional yang setuju terhadap pemberlakuan sementara dengan memberitahu Depositari secara tertulis. Pemberlakuan sementara tersebut menjadi efektif dari tanggal penerimaan pemberitahuan tersebut.
2. Pemberlakuan sementara oleh Negara atau organisasi integrasi ekonomi regional harus berakhir dengan
berlakunya Persetujuan ini bagi Negara itu atau organisai integrasi ekonomi regional atau atas pemberitahuan oleh Negara tersebut atau organisasi integrasi ekonomi regional kepada Depositari secara
tertulis dengan maksud mengakhiri pemberlakuan sementara.
Article 33
Amendments
1. Any Party may propose amendments to this Agreement after the expiry of a period of two years from the date of entry into force of this Agreement.
2. Any proposed amendment to this Agreement shall be transmitted by written communication to the Depositary along with a request for the convening of a meeting of the Parties to consider it. The Depositary shall circulate to all
Parties such communication as well as all replies to the request received from Parties. Unless within six months from the date of circulation of the communication one half of the Parties object to the request, the Depositary shall
convene a meeting of the Parties to consider the proposed amendment.
Pasal 33 Amandemen
1. Pihak manapun dapat mengajukan amandemen terhadap Persetujuan ini dua tahun setelah berlakunya Persetujuan ini.
2. Amandemen yang diajukan terhadap Persetujuan ini wajib disampaikan secara tertulis kepada Depositari bersama dengan permohonan untuk menyelenggarakan pertemuan para Pihak untuk mempertimbangkan
amandemen dimaksud. Depositori wajib mengkomunikasikan hal tersebut kepada seluruh Pihak dan menjawab permohonan yang disampaikan oleh Pihak-pihak. Kecuali kalau dalam waktu enam bulan
sejak tanggal pengkomunikasian tersebut, 1 ½ dari Pihak berkeberatan akan permohonan itu, Depositori wajib mengadakan pertemuan para Pihak untuk
122
3. Subject to Article 34, any amendment to this Agreement
shall only be adopted by consensus of the Parties present at the meeting at which it is proposed for adoption.
4. Subject to Article 34, any amendment adopted by the meeting of the Parties shall come into force among the Parties having ratified, accepted or approved it on the ninetieth day after the deposit of instruments of
ratification, acceptance or approval by two-thirds of the Parties to this Agreement based on the number of Parties on the date of adoption of the amendment. Thereafter the amendment shall enter into force for any other Party on the ninetieth day after that Party deposits its instrument of ratification, acceptance or approval of the amendment.
5. For the purposes of this Article, an instrument deposited
by a regional economic integration organization shall not be counted as additional to those deposited by its Member States.
mempertimbangkan amandemen yang diajukan.
3. Mengingat Pasal 34, amandemen terhadap Persetujuan
ini hanya akan diadopsi melalui kesepakatan Pihak-pihak yang hadir dalam sidang dimana amandemen tersebut diajukan untuk diadopsi.
4. Mengingat Pasal 34, amandemen yang diadopsi dalam pertemuan para Pihak akan berlaku setelah Pihak-pihak meratifikasi, menerima, atau menyetujuinya 90 hari setelah penyimpanan instrumen ratifikasi, penerimaan
atau persetujuan oleh 2/3 Pihak dihitung dari jumlah Pihak pada tanggal adopsi amandemnen tersebut. Kemudian, amandemen akan berlaku bagi Pihak yang lain 90 hari setelah Pihak tersebut menyimpan instrumen ratifikasi, penerimaan, atau persetujuan terhadap amandemen tersebut.
5. Demi tujuan Pasal ini, instrumen yang disimpan oleh
organisasi integrasi ekonomi regional tidak dihitung sebagai tambahan dari yang telah disimpan Negara anggota.
Article 34
Annexes
1. The Annexes form an integral part of this Agreement and a reference to this Agreement shall constitute a reference to the Annexes.
2. An amendment to an Annex to this Agreement may be
adopted by two-thirds of the Parties to this Agreement present at a meeting where the proposed amendment to the Annex is considered. Every effort shall however be made to reach agreement on any amendment to an Annex by
way of consensus. An amendment to an Annex shall be incorporated in this Agreement and enter into force for those Parties that have expressed their acceptance from the date on which the Depositary receives notification of
acceptance from one-third of the Parties to this Agreement, based on the number of Parties on the date of adoption of the amendment. The amendment shall thereafter enter into force for each remaining Party upon
receipt by the Depositary of its acceptance.
Pasal 34
Lampiran - lampiran
1. Lampiran - lampiran tersebut membentuk bagian yang tidak dapat dipisahkan dari Persetujuan ini dan pengacuan kepada Persetujuan ini merupakan pengacuan kepada lampiran – lampiran.
2. Sebuah amandemen terhadap lampiran perjanian ini
dapat dilaksanakan oleh 2/3 Pihak dalam Persetujuan ini yang hadir dalam pertemuan dimana amandemen yang diajukan terhadap lampiran dipertimbangkan. Setiap usaha wajib dimaksudkan untuk mencapai kesepakatan
terhadap amandemen kepada lampiran melalui cara mufakat. Amandemen terhadap sebuah lampiran wajib dibentuk dalam Persetujuan ini dan berlaku bagi Pihak-pihak yang telah meyatakan penerimaan mereka pada
tanggal Depositori menerima pemberitahuan penerimaan dari 1/3 Pihak dalam Persetujuan ini berdasarkan jumlah Pihak pada tangal pelaksanan amandemen. Amandemen akan berlaku bagi setiap pihak lainnya setelah Depositori
menerima pernyataan penerimaan.
Article 35
Withdrawal
Any Party may withdraw from this Agreement at any time
after the expiry of one year from the date upon which the Agreement entered into force with respect to that Party, by giving written notice of such withdrawal to the Depositary. Withdrawal shall become effective one year after receipt of
the notice of withdrawal by the Depositary.
Pasal 35 Penarikan Diri
Pihak mana pun dapat menarik diri dari Persetujuan ini
sewaktu-waktu satu tahun setelah tanggal berlakunya Persetujuan ini bagi Pihak-Pihak tersebut, dengan memberikan pemberitahuan penarikan diri secara tertulis kepada Depositori. Penarikan diri berlaku satu tahun setelah
Depositori menerima pernyataan penarikan diri.
Article 36
The Depositary
The Director-General of the FAO shall be the Depositary of
Pasal 36 Depositori
Direktur Jenderal FAO akan menjadi Depositori dari
123
this Agreement. The Depositary shall: a. transmit certified copies of this Agreement to each
signatory and Party; b. register this Agreement, upon its entry into force, with
the Secretariat of the United Nations in accordance with Article 102 of the Charter of the United Nations;
c. promptly inform each signatory and Party to this Agreement of all: (i) signatures and instruments of ratification,
acceptance, approval and accession deposited under
Articles 25, 26 and 27; (ii) the date of entry into force of this Agreement in
accordance with Article 29; (iii) proposals for amendment to this Agreement and their
adoption and entry into force in accordance with Article 33;
(iv) proposals for amendment to the Annexes and their adoption and entry into force in accordance with
Article 34; and (v) withdrawals from this Agreement in accordance with
Article 35.
Persetujuan ini. Depositori wajib: a. memberikan salinan resmi Persetujuan ini kepada setiap
penanda tangan dan Pihak: b. mendaftarkan Persetujuan ini, setelah Persetujuan ini
berlaku, kepada Sekretariat PBB sesuai dengan Pasal 102 Piagam PBB;
c. segera memberitahu setiap penanda tangan dan Pihak dalam Persetujuan ini mengenai: (i) tanda tangan dan instrumen ratifikasi, penerimaan,
persetujuan, dan aksesi di bawah Pasal 25, 26, dan
27; (ii) tanggal mulai berlakunya Persetujuan ini sesuai
dengan Pasal 29; (iii) pengajuan amandemen terhadap Persetujuan ini dan
pelaksanaanya serta mulai berlakunya sesuai dengan Pasal 33
(iv) pengajuan amandemen terhadap lampiran – lampiran dan pelaksanaannya serta mulai
berlakunya sesuai dengan Pasal 34; (v) Penarikan diri dari Persetujuan ini sesuai dengan
Pasal 35.
Article 37
Authentic texts
The Arabic, Chinese, English, French, Russian and Spanish texts of this Agreement are equally authentic. IN WITNESS WHEREOF, the undersigned Plenipotentiaries, being duly authorized, have signed this Agreement.
DONE at, on this day of, 2009
Pasal 37 Teks-Teks Otentik
Teks berbahasa Arab, Cina, Inggris, Perancis, Rusia, dan Spanyol dari Persetujuan ini memiliki keotentikan yang sama. Saksi Persetujuan, duta yang berkuasa penuh yang bertanda tangan di bawah ini, yang berwenang dengan semestinya telah menandatangani Persetujuan ini.
Ditandatangani di pada tanggal …. bulan… tahun 2009.
124
Lampiran 2 Annex A Port State Measures
Annex A
Information to be provided in advance by vessels requesting port entry
1. Intended port of call
2. Port state
3. Estimated date and time of arrival
4. Purpose(s)
5. Port and date of last port call
6. Name of vessel
7. Flage
8. Type of vessel
9. International radio call sign
10. Vessel contact information
11. Vessel owner(s)
12. Certificate of registry ID
13. IMO ship ID, if available
14. External ID, if available
15. RFMO ID, if available
16. VMS No Yes national Yes RFMO(s)
Type:
17. Vessel dimensions Length Beam Darft
18. Vessel master name and nationality
19. Relevant fishing authorization(s)
Identifier Issued by Validity Fishing
area
Species Gear
20. Relevant transshipment authorization(s)
Identifier Issued by Validity
Identifier Issued by Validity
21. Transshipment information concerning donor vessels
Date Location Name Flage
state
ID
number
Species Product
form
Catch
area
Quantity
22. Total catch on board 23. Catch to be offloaded
Species Product form Catch area Quantity Quantity
125
Lampiran 3 Annex B Port State Measures
Annex B
Port State inspection procedures
Inspectors shall:
a) verify, to the extent possible, that the vessel identification documentation onboard and information relating to the owner of the vessel is true, complete and correct, including through appropriate contacts with the flag State or international records of vessels if necessary;
b) verify that the vessel’s flag and markings (e.g. name, external registration number, International Maritime Organization (IMO) ship identification number, international radio call sign and other markings, main dimensions) are consistent with information contained in the documentation;
c) verify, to the extent possible, that the authorizations for fishing and fishing
related activities are true, complete, correct and consistent with the information provided in accordance with Annex A;
d) review all other relevant documentation and records held onboard,
including, to the extent possible, those in electronic format and vessel monitoring system (VMS) data from the flag State or relevant regional fisheries management organizations (RFMOs). Relevant documentation may include logbooks, catch, transshipment and trade documents, crew lists, stowage plans and drawings, descriptions of fish holds, and documents required pursuant to the Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora;
e) examine, to the extent possible, all relevant fishing gear onboard, including any gear stowed out of sight as well as related devices, and to the extent possible, verify that they are in conformity with the conditions of the authorizations. The fishing gear shall, to the extent possible, also be checked to ensure that features such as the mesh and twine size, devices and attachments, dimensions and configuration of nets, pots, dredges, hook sizes and numbers are in conformity with applicable regulations and that the markings correspond to those authorized for the vessel;
f) determine, to the extent possible, whether the fish on board was harvested in accordance with the applicable authorizations;
g) examine the fish, including by sampling, to determine its quantity and composition. In doing so, inspectors may open containers where the fish has been pre-packed and move the catch or containers to ascertain the integrity of fish holds. Such examination may include inspections of product type and determination of nominal weight;
126
h) evaluate whether there is clear evidence for believing that a vessel has
engaged in IUU fishing or fishing related activities in support of such fishing;
i) provide the master of the vessel with the report containing the result of the inspection, including possible measures that could be taken, to be signed by the inspector and the master. The master’s signature on the report shall serve only as acknowledgment of the receipt of a copy of the report. The master shall be given the opportunity to add any comments or objection to the report, and, as appropriate, to contact the relevant authorities of the flag State in particular where the master has serious difficulties in understanding the content of the report. A copy of the report shall be provided to the master; and
j) arrange, where necessary and possible, for translation of relevant documentation.
127
Lampiran 4 Annex C Port State Measures
Annex C
Report of the result of the inspection
1. Inspection report no 2. Port state
3. Inspecting authority
4. Name of principal inspection ID
5. Port inspection
6. Commencement of inspection YYYY MM DD HH
7. Completion of inspection YYYY MM DD HH
8. Advanced notification received Yes No
9. Purpose(s) LAN TRX PRO OTH (specify)
10. Port and state and date of last
port call
YYYY MM DD
11. Vessel name
12. Flag state
13. Type of vessel
14. International radio call sign
15. Certificate of registry ID
16. IMO ship ID, if available
17. External ID, if available
18. Port of registry
19. Vessel owner(s)
20. Vessel beneficial owner(s), if known
and different from vessel owner
21. Vessel operator(s), if different from
vessel owner
22. Vessel master name and nationality
23. Fishing master name and nationality
24. Vessel agent
25. VMS No Yes: National Yes: RFMOs Type:
26. Status in RFMO areas where fishing related activites have been
undertaken, including any IUU vessel listing
Vessel identifier RFMO Flag state
status
Vessel on
authorized live
Vessel on IUU
vessel list
27. Relevant fishing authorization(s)
Identifier Issued by Validity Fishing area(s) Species Gear
128
Lanjutan Annex C
28. Relevant transshipment authorization(s)
Identifier Issued by Validity
Identifier Issued by Validity
29. Transshipment information concerning donor vessels
Name Flage state ID na Species Product
form
Catch
areas(s)
Quantity
30. Evaluation of offloaded catch (quantity)
Species Product
form
Catch
area(s)
Quantity
declared
Quantity
offloaded
Different between quantity
declared and quantity
determined, if any
31. Catch retained onboard (quantity)
Species Product
form
Catch
area(s)
Quantity
declared
Quantity
offloaded
Different between quantity
declared and quantity
determined, if any
32. Examination of logbook(s) and other
documentation
Yes No Comments
33. Compliance with applicable catch
docementation scheme(s)
Yes No Comments
34. Compliance with applicable trade
information scheme(s)
Yes No Comments
35. Type of gear used
36. Gear examined in accordance
with paragraph e) of Annex B
Yes No Comments
37. Finding by inspector(s)
38. Apparent infringement(s) noted including reference to relevant ilegal
instrument(s)
39. Comments by the master
40. Action taken
41. Master’s signature
42. Inspector’s signature
129
Lampiran 5 Annex D Port State Measures
Annex D
Information systems on port State measures
In implementing this Agreement, each Party shall:
a) seek to establish computerized communication in accordance with Article 16;
b) establish, to the extent possible, websites to publicize the list of ports designated in accordance with Article 7 and the actions taken in accordance with the relevant provisions of this Agreement;
c) identify, to the greatest extent possible, each inspection report by a unique reference number starting with 3-alpha code of the port State and identification of the issuing agency;
d) utilize, to the extent possible, the international coding system below in Annexes A and C and translate any other coding system into the international system.
countries/territories: ISO-3166 3-alpha Country Code
species: ASFIS 3-alpha code (known as FAO 3-alpha code)
vessel types: ISSCFV code (known as FAO alpha code)
gear types: ISSCFG code (known as FAO alpha code)
130
Lampiran 6 Annex E Port State Measures
Annex E
Guidelines for the training of inspectors
Elements of a training programme for port State inspectors should include at least the following areas:
1. Ethics;
2. Health, safety and security issues;
3. Applicable national laws and regulations, areas of competence and conservation and management measures of relevant RFMOs, and applicable international law;
4. Collection, evaluation and preservation of evidence;
5. General inspection procedures such as report writing and interview techniques;
6. Analysis of information, such as logbooks, electronic documentation and vessel history (name, ownership and flag State), required for the validation of information given by the master of the vessel;
7. Vessel boarding and inspection, including hold inspections and calculation of vessel hold volumes;
8. Verification and validation of information related to landings, transshipments, processing and fish remaining onboard, including utilizing conversion factors for the various species and products;
9. Identification of fish species, and the measurement of length and other biological parameters;
10. Identification of vessels and gear, and techniques for the inspection and measurement of gear;
11. Equipment and operation of VMS and other electronic tracking systems; and
12. Actions to be taken following an inspection.