antropologi

Upload: pids12

Post on 11-Oct-2015

31 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Sosial-Budaya

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang MasalahMasyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan sub-sub suku bangsa yang hidup dan tinggal di daerah-daerah tertentu di Indonesia. Masing-masing suku bangsa memiliki adat istiadat, bahasa, agama dan sebagainya yang berbeda satu sama lain. Masing-masing suku bangsa dan sub-subsuku bangsa ini memiliki kekhasan yang merupakan kenyataan yang unik, yang menggambarkan kekayaan budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Kalimantan Tengah merupakan bagian dari wilayah Indonesia yang dihuni oleh suku Dayak. Secara geografis dan domisili penduduk suku Dayak umumnya tinggal di sepanjang sungai Kahayan dan sungai Kapuas. Keberadaan suku bangsa Dayak terbagi dalam 405 subsuku, yang masing-masing subsuku bangsa ini mempunyai bahasa dan adat-istiadat sendiri-sendiri. Dari 405 subsuku tersebut, ada yang membaginya ke dalam tujuh kelompok suku Dayak yakni, Dayak Ngaju, Dayak Apu Kayan, Dayak Iban atau Dayak Laut, Dayak Kalimantan atau Dayak Darat, Dayak Murut, Dayak Punan dan Dayak Ot Danum.[footnoteRef:2] Masing-masing suku Dayak tersebut memiliki pula kekhasan adat istiadat dan bahasa yang berbeda. [2: Tjilik Riwut, Kalimantan Membangun; Alam dan Kebudayaan, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya,1993), 234-235.]

Sebelum datangnya agama-agama besar dan resmi yang diakui oleh pemerintah Indonesia, masyarakat Dayak telah memiliki kepercayaan sendiri, yang disebut Kaharingan atau disebut juga Agama Helo (Agama dulu).[footnoteRef:3]Syarif Ibrahim Alqadrie mengungkapkan: ada semacam persepsi umum berkaitan dengan sistem kepercayaan nenek moyang masyarakat Dayak bahwa, ada unsur hubungantimbal balik antara kepercayaan dengan nilai budaya yang dianut oleh masyarakat setempat, yang mempengaruhi dan mewarnai sistem kehidupan mereka.[footnoteRef:4] [3: ibid., 317.] [4: Syarif Ibrahim Alqadrie, Kebudayaan Dayak; Aktualisasi dan Transformasi, Mesianisme dalamMasyarakat Dayak di Kalimantan Barat (Keterkaitan antara Unsur Budaya Khususnya Kepercayaan Nenek Moyang dan Realitas Kehidupan Sosial Ekonomi). (Jakarta: LP3S-Insitute of Dayakology Research and Development dan PT Grasindo, 1994), 19-20.]

Secara implisit bahwa, kepercayaan Kaharingan memuat aturan-aturan kehidupan yang nilai-nilai dan isinya bukan hanya sekedar adat-istiadat, tetapi juga ajaran untuk berperilaku. Ajaran-ajaran ini diajarkan secara lisan oleh orang tua kepada anak-anaknya secara turun-temurun. Ajaran dan kebiasaan yang dilakukan secara turun-temurun ini dikenal dengan istilah hadat (adat).Pengertian hadat (adat) dalam masyarakat Dayak Ngaju adalah: bentuk-bentuk keluhuran yang bersumber pada kekuatan Raying Hatalla Langit (Sang Pencipta).[footnoteRef:5] Hadat ini mencakup tentang tata cara kehidupan dan kerja sehari-hari,etika pergaulan sosial, aspek perkawinan, aspek hukum, aspek ritual keagamaan, serta hal-hal yang menyangkut segala sesuatu yang berhubungan dengan keykinandan kepercayaan, atau agama suku tersebut. Karena itu, hadat yang telah dilakukansecara turun temurun ini merupakan ukuran dan penilaian atas suatu perbuatan dalam kehidupan suku Dayak Ngaju. Bagi masyarakat Dayak, pelanggaran terhadap hadat dapat mengakibatkan ketidakseimbangan alam yang dapat merugikan kehidupan manusia. Sebab itu, bila ada pelanggaran terhadap adat biasanya keadaan itu dipulihkan melalui upacara-upacara keagamaan. Implementasi dari hadat ini masih dilakukan sampai sekarang dalam kehidupan sosial budaya suku Dayak. [5: Hermogenes Ugang, Menelusuri Jalur-jalur Keluhuran. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983), 48-49.]

Suku Dayak Ngaju memiliki filosofi hidup Belom Bahadat artinya hidup beradat. Filosofi ini melandasi seluruh aspek kehidupan orang Dayak Ngaju. Pengaruh dan peranan adat dalam masyarakat Dayak Ngaju sangat kuat. Salah satu tatanan kehidupan yang masih dipertahankan dan tetap dilestarikan adalah penyelenggaraan perkawinan.Dalam masyarakat Dayak Ngaju, perkawinan merupakan sesuatu yang luhur dan suci. Menurut kepercayaan Kaharingan, Asal mula adat kawin dalam masyarakat Dayak Ngaju sebagai berikut: Sejak nenek moyang yang pertama, bernama Manyimei Tunggul Garing Janjahunan Laut (lelaki) dan Putir Putak Bulau Janjulen Karangan (perempuan). Mereka melangsungkan perkawinan secara tidak resmi, tanpa ditahbiskan oleh Raying Hatalla. Akibatnya, kehamilan Putir berkali-kali mengalami keguguran (mangelus). Kehamilan pertama, terjadi kegururan darah yang dibuang ke laut menjelma menjadi moyang roh gaib hantu laut, moyang sakit penyakit (peres-sampar) dan moyang roh-roh gaib pengganggu di kawasan laut. Kehamilan kedua, darahnya terbuang ke sungai menjelma menjadi roh gaib unsur pengganggu di air, moyang ikan tabu tertentu, moyang lintah-jelau. Kehamilan ketiga, darahnya terbuang ke laut, disambar petir dan kilat, menjelma menjadi moyang banteng, kerbau dan sapi. Kehamilan keempat, darahnya terbuang ke hutan, menjelma menjadi moyang tandang haramaung (harimau), moyang bahutai bungai, moyang roh-roh jahat di hutan. Kehamilan kelima, darahnya ditutup dengan perisai dan tombak disambar petir dan kilat halilintar, menjelma menjadi oknum penjaga bulan yang disebut Talawang Batulang Bunu. Kehamian keenam, darahnya terbuang ke hutan rimba, menjelma menjadi berbagai jenis akar, kayu dan moyang dari berbagai jenis ular. Kehamilan ketujuh, darahnya terbuang ke bawah rumah, menjelma menjadi Raja Tingkaung Langit moyang segala jenis anjing. Kehamilan kedelapan, darahnya terbuang ke dapur, disambar petir, menjelma menjadi Putir Balambang Kawu moyang jenis kucing. Kehamilan kesembilan, darahnya terbuang ke halaman rumah, disambar petir dan kilat menjelma menjadi moyang segala jenis ayam kampung. Kehamilan kesepuluh, darahnya terbuang ke belakang rumah, menjelma menjadi moyang berbagai jenis babi hutan dan babi kampung. Kehamilan kesebelas, darahnya terbuang ke belakang kampung menjelma menjadi berbagai jenis kayu, rumput tertentu sebagai bahan obat yang berguna bagi manusia. Dan kehamilan kedua belas, ke rumpun sawang menjelma menjadi moyang 14 macam unsur patahu, roh gaib penjaga pemukiman manusia. Melihat hal itu, Raying Hatalla Langit kemudian mengirim Raja Uju Hakanduang untuk meresmikan perkawinan mereka serta menyampaikan pesan, nasehat dan petunjuk yang disebut kawin suntu. Setelah perkawinan itu mendapat restu dari Raying Hatalla langit dan diresmikan menurut adat, barulah mereka mendapatkan anak yang sempurna seperti: Maharaja Sangiang, Maharaja Sangen dan Maharaja Bunu. Sejak itu, cara-cara atau adat suatu perkawinan diatur. Hal ini pulalah yang menjadi dasar pokok serta acuan perkawinan orang Dayak.[footnoteRef:6] [6: Y. Nathan Ilon, Ilustrasi dan Perwujudan Lambang Batang Garing dan Dandang Tingang: Sebuah Konsepsi Memanusiakan Mnausia dalam Filsafat Suku Dayak Ngaju Kalimantan Tengah,(Palangka Raya: PBP DATI I Kalimantan Tengah, 1991), 17-19; Hermogenes Ugang, Menelusuri... 71-72; Majelis Besar Alim Ulama Kaharingan Indonesia (MBAUKI), Panaturan Tamparan Taluh Handiai-Awal Segala Kejadian, (Palangka Raya: CV. Litho Multi Warna, 1996).]

Perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan adat yang berlaku, bertujuan untuk mengatur hubungan antara pria dan wanita agar memiliki perilaku yang baik dan tidak tercela (belom bahadat); menata kehidupan rumah tangga yang baik sejak dini, santun, beradab dan bermartabat; menetapkan status sosial dalam masyarakat, sehingga ketertiban masyarakat tetap terpelihara.[footnoteRef:7] Masyarakat Dayak Ngaju sangat menghindari bentuk perkawinan yang tidak lazim karena hal itu akan sangat memalukan, tidak hanya bagi calon kedua mempelai tetapi juga bagi seluruh keluarga dan juga keturunan mereka kelak. [7: Tim Khusus Dewan Adat Dayak Provinsi Kalimantan Tengah, Perkawinan Menurut Adat Dayak Kalimantan Tengah dalam rapat Penyusunan Draft Kawin Adat tanggal 27 Mei 2009 Pukul 16.00Wib. (Dokumen Pribadi tidak diterbitkan), ]

Orang Dayak yang telah menyatu dengan tatanan hidup yang telah diwariskan oleh nenek moyang di masa lalu, sangat menjunjung tinggi nilai luhur budaya itu. Sebab itu, sebelum acara pelaksanaan perkawinan dan resepsi (pesta kawin) dilaksanakan, biasanya terlebih dahulu dilaksanakan acara adat, yaitu penyerahan/pemenuhan hukum adat, yang disebut manyarah jalan hadat (penyerahan barang-barang adat perkawinan). Di kalangan suku Dayak Maanyan, Kalimantan Tengah, upacara perkawinan disertai dengan pembayaran harga pengantin, yang terdiri dari uang, beberapa buah gong, dan barang-barang pusaka lainnya.[footnoteRef:8] Tetapi dalam masyarakat Dayak Ngaju, pemberian barang-barang hadat bukanlah untuk membayar harga pengantin, tetapi merupakan penghargaan yang diberikan oleh pihak pengantin laki-laki terhadap pengantin perempuan. Pada mulanya, persyaratan barang-barang adat perkawinan yang harus dipenuhi oleh pihak laki-laki tidaklah mudah. Sebagai contoh perkawinan dalam mitologi suku Dayak Ngaju, Perkawinan Raja Garing Hatungku ketika mengambil Nyai Endas Lisan Tingang (turunan Raja Bunu) sebagai istrinya. Calon istrinya mengajukan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi, ia mengalami pergumulan batin yang cukup berat karena persyaratan yang diajukan sangat sulit dipenuhi. Tetapi Ranying Hatalla tidak membiarkan Garing Hatungku menderita terlalu lama, sehingga ia menganugerahkan segala sesuatu yang diminta oleh Nyai Endas. [8: Lihat Lebar, 1972:189, sebagaimana ditulis oleh Yekti Maunati dalam Identitas Dayak; Komodifikasi dan Politik Kebudayaan, 78-79.]

Perjanjian perkawinan menurut adat Dayak Ngaju adalah sebuah perjanjian tertulis yang isinya telah disepakati bersama dan ditandatangani oleh kedua mempelai, orang tua atau wali kedua mempelai, saksi-saksi dari kedua belah pihak, Damang atau mantir adat. Secara garis besar, Surat perjanjian perkawinan tersebut terdiri dari tiga bagian, yaitu:1. Pernyataan dari kedua calon mempelai;2. Pemenuhan ketentuan hukum adat Dayak Ngaju mengenai jalan hadat yang harus dipenuhi oleh pihak mempelai laki-laki dan diberikan kepada pihak mempelai perempuan; 3. Perjanjian kawin antara kedua belah pihak, mengenai hak dan kewajiban masing-masing, sanksi hukum bagi yang yang melakukan kesalahan, pengaturan pembagian harta rupa tangan, termasuk pembagian hak anak dan hak ahli waris jika perkawinan itu tidak mendapat anak. Sebagian besar suku Dayak Ngaju sekarang masih melaksanakan ketentuan-ketentuan adat seperti yang berlaku dalam surat perjanjian perkawinan tersebut, baik yang beragama Kaharingan, Kristen, Katolik maupun Islam, sekalipun masing-masing agama itu juga telah memiliki perjanjian kawin secara agamawi. Ada juga masyarakat Dayak Ngaju yang beragama Muslim, yang tidak melaksanakan jalan hadat kawin ini karena pengaruh budaya Banjar, biasanya hanya membayar sejumlah uang yang telah disepakati kedua belah pihak, yang disebut Jujuran.Perlu diakui bahwa tidak semua masyarakat Dayak Ngaju di Palangka Raya memahami sepenuhnya mengenai makna perjanjian perkawinan itu. Terkadang hanya tua-tua adat dan para orang tua yang telah berpengalaman saja yang memahami makna Perjanjian Perkawinan, sedangkan pasangan muda umumnya kurang mengetahui akan hal itu. Dan, berdasarkan pengakuan dari beberapa orang yang peneliti temui, kebanyakan dari mereka bukan hanya tidak memahami makna perjanjian kawin saja, tetapi mereka juga tidak memahami makna yang tersirat pada barang-barang hadat dalam perkawinan. Hal ini dapat dimengerti karena bahasa/istilah barang-barang hadat yang digunakan dalam Surat Perjanjian Kawin tersebut menggunakan bahasa Dayak asli, yang sudah jarang digunakan sehari-hari. Lagipula, arti maupun makna dari barang-barang adat tersebut tidak dicantumkan secara tertulis dalam surat perjanjian kawin. Sehingga pemahaman mengenai jalan hadat hanya sebatas upacara saja. Selain itu, para orang tua pada masa sekarang kurang memberikan pemahaman tentang hal itu kepada generasi muda. Mungkin karena tidak punya waktu atau terlalu sibuk, atau mungkin juga menganggap bahwa hal itu tidak terlalu penting, sehingga ajaran tradisional yang diajarkan dari mulut ke mulut (oral tradisional) sebagaimana yang telah diajarkan oleh nenek moyang mulai berkurang. Namun, tidak dipungkiri bahwa ada juga pasangan yang memahami tentang arti dan makna dari perjanjian kawin yang mereka laksanakan. Hal itu mungkin terjadi karena orang tua mereka telah mewariskan pengetahuan itu sebelum mereka melangsungkan perkawinan. Pengetahuan tentang Perjanjian perkawinan akan dipaparkan dalam pandangan suku Dayak Ngaju di Palangka Raya. Untuk mengetahui tentang perjanjian, dibutuhkan kerangka konseptual mengenai perjanjian maupun perkawinan, hukum adat dan hal-hal yang berkaitan dengan hal tersebut. Konsep perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan Republik Indonesia No. 1 Tahun1974 digunakan sebagai perbandingan untuk tujuan analisa dalam keberadaannya yang berdampingan dengan adat perkawinan suku Dayak Ngaju Kalimantan Tengah. Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah digambarkan di atas, maka peneliti akan memfokuskan penelitian pada perjanjian perkawinan masyarakat Dayak Ngaju. Makalah ini berjudul: MAKNA PERJANJIAN PERKAWINAN MENURUT ADAT DAYAK NGAJU, KALIMANTAN TENGAH.

1.2 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan paparan di atas, maka rumusan masalah dalam Makalah ini adalah: Bagaimana Aspek Religi Dalam Upacara Perkawinan Masyarakat Etnik Dayak Ngaju?

1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk memenuhi tugas antropologi hukum

1.4 Manfaat Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian di atas, tulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan praktis bagi masyarakat Dayak Ngaju selaku pelaku budaya. Hal ini penting karena dalam Surat Perjanjian Kawin terdapat makna dan nilai-nilai tertentu khususnya dalam barang-barang hadat yang dapat diselaraskan dengan nilai-nilai budaya yang dianut masyarakat pada masa kini. Bagi pasangan yang akan dan telah menikah, kiranya tulisan ini memberi pemahaman tentang pentingnya makna perjanjian kawin sehingga masyarakat Dayak Ngaju dapat menghargai dan menghayati Perjanjian Kawin itu dalam kehidupan pernikahan mereka. Dan bagi masyarakat luas, kiranya tulisan ini semakin menambah wawasan pengetahuan tentang kekhasan dan kekayaan budaya yang dimiliki oleh masyarakat Dayak Ngaju.

1.5 Metodologi Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, merupakan metode yang melibatkan pendekatan interpretatif dan wajar terhadap setiap pokok permasalahan yang dikaji, yang bekerja dalam setting alamiah, dan berupaya memahami dan memberi tafsiran pada fenomena yangdilihat dari makna yang diberikan orang-orang kepada fenomena tersebut.[footnoteRef:9] Sedangkan untuk menyajikan gambaran yang lebih tajam dan mendalam, jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif yang tujuannya adalah menjelaskan secara sistimatis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta atau fenomena tertentu.[footnoteRef:10] [9: Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial: Buku Sumber untuk PenelitianKualitatif, Edisi Kedua, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), ] [10: Suprayogo, et al., Metode Penelitian Sosial-Agama, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003),136.]

BAB IIISI

2.1 Aspek Religi Dalam Upacara Perkawinan Masyarakat Etnik Dayak NgajuDalam Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 mendefenisikan bahwa : Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang maha Esa. Pernikahan disini dipahami sebagai persekutuan seluruh hidup, maka suami istri mempunyai tanggung jawab untuk membina dan mengembangkan hidup bersama. Upacara perkawinan merupakan salah satu bentuk upacara daur hidup dan akan tetap ada pada setiap masyarakat, apalagi sebuah perkawinan bertujuan untuk membina keluarga yang bahagia lahir batin.Ritus perkawinan suku Dayak Ngaju bermula dari tradisi lisan yang berakar dari religi Kaharingan yang awalnya disebut dengan agama Helu. Dalam ajaran agama Hindu Kaharingan (Religi asli masyarakat Etnik Dayak Ngaju) ritual perkawinan mempunyai nilai religius yang berkaitan dengan memperoleh keturunan dan merupakan suatu peningkatan nilai bardasarkan hukum agama yang sakral. Menurut konsep Panaturan bahwa perkawinan diharapkan dapat melahirkan keturunan/anak yang dapat menyelamatkan orang tua dan leluhur. Seorang anak jugalah yang nantinya akan melaksanakan upacara Tiwah bagi orang tuanya. Selain itu perkawinan menurut Hindu Kaharingan berlangsung seumur hidup (Nyamah Hentang Tulang Ije Sandung Mentang) dan tidak seorang pun yang boleh memutuskan tali perkawinan itu kecuali kematian. Hal ini seperti yang dicontohkan pada perkawinan Nyai Endas Bulau Lisan Tingang dengan Raja Garing Hatungtu, dimana untuk mas kawinnya Nyai Endas Bulan Lisan Tingang tidak meminta harta benda melainkan Banama Bulau Pahalendang Tanjung Ajung Rabia Pahalingei Lunuk, yang tidak lain adalah berupa sebuah peti mati yang merupakan simbol kesetiaan sehidup semati. Sehingga jika istri yang terlebih dahulu meninggal, maka pada saat upacara Tiwah sang suami lah yang akan menggendong tulang istriya atau sebaliknya. Demikian juga halnya seperti yang dinyatakan dalam Kitab Atharvaveda X. 85. 36 tentang kesetiaan yang harus dimiliki oleh sepasang suami istri yaitu Grbhnami te saubhagatvayaHastam, maya patya jaradastir yathasah yang artinya Wahai mempelai wanita, kami genggam tanganmu bagi kemakmuran (kesuburan). Semoga engkau hidup bersama kami sampai akhir kehidupan (akhir hayat). (Veda Sabda Suci, 1996:396).Secara dasariah ritual perkawinan masyarakat Dayak Ngaju terbentuk dari beberapa bagian yang sudah terpola dalam satu kesatuan secara keseluruhan yang terdiri dari Hakumbang Auh (peminangan), Hisek (penentuan tanggal pelaksanaan perkawinan beserta persyaratan/Jalan Hadat (jujuran) dan perjanjian perkawinan) dan Pelaksanaan Hasaki Hapalas (Pengukuhan/Pemberkatan Perkawinan menurut tata cara yang sudah diwariskan oleh leluhur suku Dayak Ngaju). Unsur religi utama yang terkandung dalam ritual perkawinan masyarakat Dayak Ngaju khususnya bagi yang beragama Hindu Kaharingan terdiri dari tiga bagian yaitu : Pelek Sinde Uju, Pelek Handue Uju dan Pelek Hantelu Uju. Dimana Pelek Sinde Uju bermakna bahwa perkawinan dilaksanakan dengan dilandasi keyakinan terhadap Ranying Hatalla/Tuhan yang Maha Esa yang merapakan awal segalanya. Dimana perkawinan akan sah apabila dilaksanakan sesuai dengan Pelek Indu Sangumang dan Bapa Sangumang. Pada Pelek Sinde Uju inilah kedua mempelai mengucapkan Lima Sarahan (Pengakuan iman umat Hindu kaharingan) serta sumpah janji dihadapan Ranying Hatalla untuk sehidup semati, selalu bersama dalam suka dan duka Adapun Pelek Handue Uju yaitu bahwa perkawinan dilaksanakan dengan melalui beberapa syarat yang lazim dikenal dengan Jalan Hadat. Dimana Jalan Hadat perkawinan atau yang lazimnya dikenal oleh masyarakat umum sebagai jujuran adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi pada upacara perkawinan yang berdasarkan ketentuan hukum adat yang berlaku. Pembayaran jujuran dilakukan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Pelek Hantelu Uju bahwa perkawinan dilaksanakan dengan tujuan yakni terbentuknya suatu keluarga yang bahagia dan sejahtera serta harmonis yang dilandasi sradha dan bhakti kepada Ranying Hatalla/Hyang Widhi Wasa. Sehingga proses perkawinan masyarakat Hindu Kaharingan etnik Dayak Ngaju yang menjadi landasan pelaksanaannya adalah agama atau kepercayaan. Seperti yang terdapat dalam Kitab Panaturan pasal 30 yaitu tentang perkawinan Kameluh Endas Bulau Lisan Tingang Matuh kabaluma Belum, pada ayat 26 sebagai berikut :RANYING HATALLA, hemben te mameteh; lalus awi ketun gawi akan Raja Garing Hatungtu, hete ketun mamelek Sinde Uju tuntang AKU kereh atun hadurut manalih gawin te, awi ie hajanji taharep AKUArtinya :Pada saat itu RANYING HATALLA berfirman : Laksanakan oleh kalian upacara itu (ritual perkawinan) untuk Raja Garing Hatungku, disana kalian Mamelek Sinde Uju dan nanti AKU akan datang pada upacara itu, karena mereka berdua berjanji dihadapanKu. (Panaturan, 2005 : 109)Dengan memahami apa yang dijelaskan pada Panaturan pasal 30 ayat 26 di atas, kita dapat mengetahui bahwa dasar pelaksanaan ritual perkawinan masyarakat Hindu Kaharingan suku Dayak Ngaju adalah ajaran suci Ranying Hatalla yang termuat dalam Kitab Panaturan. Di Panaturan dijelaskan bahwa pada intinya sumpah janji yang diucapkan oleh kedua mempelai pada ritual perkawinan itu diiringi atau diberkati langsung oleh Ranying Hatalla/Hyang Widhi WasaDalam setiap ritual yang dilakukan oleh umat Hindu Kaharingan suku Dayak Ngaju tidak terlepas dari sarana upakara, termasuk juga pada ritual perkawinannya. Sarana upakara ini sarat dengan simbol-simbol yang mempunyai makna bagi yang melaksanakannya. Karena simbol-simbol tersebut dipergunakan agar orang dapat memahami makna dibalik upacara itu. Simbol-simbol tersebut mempunyai nilai religi/sakral yang suci.Ditinjau dari pelaksanaannya, ritus perkawinan dikalangan masyarakat etnik Dayak Ngaju dapat dibagi menjadi empat tahap yaitu :1. Hakumbang AuhHakumbang Auh adalah cara awal dari ritus perkawinan dengan maksud penyampaian niat seorang pria kepada seorang gadis yang diinginkan menjadi isterinya. Dalam kebiasaan masyarakat Hindu Kaharingan suku Dayak Ngaju, jika seorang pemuda berkehendak mengambil seorang gadis untuk dijadikan sebagai isterinya maka dia akan menyampaikan maksudnya terlebih dahulu kepada orang tuanya. Apabila disetujui maka selanjutnya orang tuanya akan memilih seseorang sebagai perantara yang bertugas menghubungi keluarga si gadis. Perantara ini disebut Uluh Helat atau biasa juga disebut Saruhan atau juga dapat disebut Tatean Tupai. Maksud hati dan keinginannya disampaikan kepada keluarga si gadis melalui perantara tersebut.Sebagai bukti kesungguhan hati dan niat baiknya, maka pihak pria melalui Uluh Helat menyampaikan mangkok berisi beras dan telor ayam yang dibungkus dengan kain kuning atau sejumlah uang sebagai Duit Pangumbang. Diterima atau tidaknya keinginan tersebut tidaklah diberitahukan oleh orang tua si gadis pada saat itu juga. Jadi pihak pemuda harus menunggu beberapa waktu dan kabar dari pihak si gadis akan disampaikan melalui perantara tadi setelah pihak keluarga si gadis berunding. Maksud pemuda tersebut akan dibicarakan dalam rapat keluarga dan sebagai buktinya diperlihatkan mangkok atau Duit Pangumbang yang mereka terima dari keluarga si pemuda. Dalam rapat keluarga ini ayah dan ibu si gadis meminta pendapat keluarga (paman, bibi, kakek, nenek dan saudara). Dalam rapat inilah dibicarakan hal-hal penting mengenai :1. Setuju atau tidak pihak keluarga si gadis apabila si gadis kawin dengan si pemuda tersebut. Untuk menentukan diterima atau tidaknya maksud si pemuda maka pihak keluarga si gadis akan membahas mengenai : bagaimana bibit, bebet, bobot si pemuda dan bagimana silsilah keturunan si pemuda, apakah ada keterikatan dengan keluarga si gadis.2. Waktu pertemuan antara keluarga si gadis dengan pihak pemuda apabila pihak keluarga si gadis menerima maksud baik pihak keluarga si pemuda.Apabila maksud baik dari pihak keluarga si pemuda ditolak, perantara akan dipanggil untuk memberitahukan mengenai keputusan mereka dan alasan penolakan tersebut. Keputusan tersebut tentunya disampaikan secara bijaksana agar tidak menyinggung perasaan pihak keluarga si pemuda. Barang yang sudah diterima sebagai bukti Hakumbang Auh berupa mangkok berisi beras dan telor ayam ataupun berupa uang akan dikembalikan kepada pihak keluarga si pemuda melalui perantaranya. Apabila maksud baik si pemuda diterima, maka perantaranya diberitahu bahwa pihak keluarga si gadis akan menerima dengan senang hati kedatangan pihak keluarga si pemuda untuk Mamanggul. Mengenai kapan pihak keluarga si pemuda akan datang Mamanggul akan disampaikan oleh pihak keluarga si pemuda melalui perantaranya pula.2. MamanggulTahap ini merupakan kelanjutan dari Hakumbang Auh yaitu cara meminta si gadis secara resmi setelah pihak keluarga si pria mengetahui bahwa keinginan hati mereka diterima oleh pihak si gadis. Pada acara ini pihak pria akan menyerahkan beberapa barang sebagai bukti kesungguhan hati dan keseriusan mereka. Antara lain berupa sebuah Balanga (guci asli cina) atau sebuah gong. Pada acara ini kedua pihak membicarakan waktu pelaksanaan peminangan, yaitu Maja Misek. Dalam perkembangannya yang berlaku sekarang, bukti Mamanggul tidak lagi berupa gong melainkan berupa Duit Panggul. Pada kesempatan ini dibuat sebuah kesepakatan. Kesepakatan ini dapat berupa lisan maupun tertulis yang dibuat dalam bentuk sebuah surat perjanjian yang disebut surat Panggul. Jika pihak keluarga si gadis kemudian menolak maka barang bukti mamanggul tidak dikembalikan kepada pihak si pemuda.Dalam perkembangannya, tahapan Hakumbang Auh dianggap sama dengan Mamanggul. Karena itu rangkaian tata cara perkawinan yang lazim sekarang ini cenderung mulai dari Hakumbang Auh lalu Maja Misek dan seterusnya. Istilah Hakumbang Auh lebih sering digunakan, sedangkan istilah Mamanggul mulai menghilang.3. Maja MisekMaja berarti bertamu atau bertandang. Misek berarti bertanya, istilah Maja Misek disini maksudnya adalah acara pertemuan antara keluarga si pemuda dengan keluarga si gadis. Dalam pertemuan itu mereka mengambil kesepakatan bersama tentang :1. Waktu atau jadwal pelaksanaan pesta perkawinan2. Syarat-syarat perkawinan yang disebut Jalan Hadat, yaitu apa saja yang harus dipenuhi oleh pihak laki-laki sesuai dengan ketentuan yang berlaku baik menurut Panaturan, hukum adat serta tradisi yang berlaku dalam keluarga si gadis.3. Besarnya Palaku yaitu mas kawin yang harus diserahkan4. Biaya pesta perkawinan dan bagaimana pembagiannya, apakah ditanggung seluruhnya oleh pihak laki-laki ataupun ditanggung bersama.5. Sanksi atau denda yang dikenakan jika terjadi pembatalan atau penundaan oleh salah satu pihak.Kesepakatan mereka merupakan perjanjian yang kemudian dituangkan dalam surat perjanjian Pisek. Selain membicarakan hal tersebut, pada kesempatan Maja Misek ini juga dibicarakan mengenai syarat-syarat menurut adat untuk kasus :1. Jika calon mempelai perempuan masih mempunyai kakak perempuan yang belum menikah, maka ia harus membayar Palangkah atau Panangkalau kepada kakaknya karena ia mendahului kakaknya.2. Jika si gadis masih mempunyai hubungan keluarga yang disebut Jereh dalam garis kekeluargaan yang sudah jauh, misalnya masih terkena keponakan dari si pemuda maka mereka harus membayar denda dan melaksanakan upacara Tambalik Jela sebelum upacara perkawinan dilaksanakan.Setelah tercapai kata sepakat, pihak laki-laki menyerahkan Paramun Pisek (persayatan adat dalam melamar), yaitu benda-benda yang harus diberikan kepada pihak perempuan berdasarkan ketentuan hukum adat. Persyaratan adat ini biasanya berupa perlengkapan pakaian perempuan, alat-alat kosmetik, sepatu, sendal, dan lainnya.4. Mananggar Janji atau Mukut Rapin TuakMananggar Janji berarti memastikan janji, yaitu kedua belah pihak bertemu lagi secara khusus untuk memastikan kapan waktu pelaksanaan perkawinan. Jika pada saat Maja Misek telah ditentukan perkiraan bulannya saja, maka pada saat mananggar janji ini dibicarakan tanggal perkawinannya. Pada kesempatan ini pihak calon pengantin pria menyerahkan biaya perkawinan, antara lain :a. Biaya membuat minuman tuak (Rapin Tuak)b.Biaya pesta yang disebut Bulau Ngandung atau Panginan Jandauc. Jangkut Amak atau perlengkapan tidur dan isi kamar tidur.Dalam menetukan hari atau tanggal perkawinan, ada beberapa hal yang harus diperhitungkan dengan cermat agar mendapat hari dan bulan yang baik dan sedapat mungkin menghindari adalah keadaan bulan seperti :1. Bulan Lembut. Lembut artinya keluar atau timbul. Bulan lembut berarti pada saat permulaan bulan terbit atau bulan baru muncul.2. Bulan Tapas, yaitu bulan menjelang purnama penuh3. Bulan Mahutus, yaitu saat-saat pergantian bulan4. Bulan Kakah, yaitu seminggu setelah purnama (Tim Penyusun. 1998)Setelah diserahkannya biaya perkawinan, maka pihak calon mempelai wanita dapat melakukan persiapan perkawinan, demikian juga halnya dengan pihak mempelai pria.5. Pelaksanaan PerkawinanPelaksanaan perkawinan yang dimaksud disini adalah upacara-upacara yang dilaksanakan sejak dari rumah penganten pria sampai dengan peresmian perkawinan mereka di rumah penganten wanita. Pada tahap pelaksanaan perkawinan ini upacara yang dilaksanakan adalah :a. Panganten HaguetPanganten Haguet adalah acara penganten pria saat berangkat menuju rumah penganten wanita sesuai dengan kesepakatan mengenai pelaksanaan perkawinan maka pada hari yang telah ditetapkan, biasanya tiga hari setelah upacara Manyaki Rambat, ataupun juga pelaksanaan upacara Manyaki Rambat ini bisa juga dilaksanakan sebelum keberangkatan penganten laki-laki ke tempat penganten perempuan. Pada saat sebelum keberangkatan para kerabat berkumpul di rumah penganten pria. Tujuannya untuk bersama-sama mengantarkan penganten pria ke rumah penganten wanita. Sebelum berangkat terlebih dahulu diadakan acara syukuran. Waktu keberangkatan yang paling baik menurut keyakinan masyarakat Hindu Kaharingan suku Dayak Ngaju adalah pagi hari atau sebelum jam dua belas siang.b. Penganten Mandai Istilah Mandai sama dengan Manyakei yang artinya naik. Arti penganten Mandai atau penganten Manyakei disini adalah kedatangan penganten pria di rumah penganten wanita. Ketika penganten pria dan rombongannya tiba, beberapa kegiatan yang dilakukan adalah :1). Mambuka Lawang SakepengLawang Sakepeng adalah semacam pintu gerbang atau gapura dari pelepah daun kelapa yang diberi rintangan benang. Pada rintangan benang penghalang dipasang bunga warna warni agar indah dan nampak semarak. Penganten pria dan rombongannya tidak boleh masuk ke halaman rumah sebelum membuka Lawang Sakepeng tersebut. Caranya adalah dengan memutuskan benang-benang perintang oleh pesilat-pesilat yang dipilih mewakili masing-masing pihak dengan diiringi tabuhan gendang dan gong. Ditampilkannya pesilat dari keduabelah pihak mengandung makna bahwa dalam kehidupan rumah tangganya, kedua mempelai akan bersama-sama mengatasi persoalan yang datang sehingga dapat hidup rukun, saling membantu dan bekerjasama. Adapun makna dari upacara mambuka Lawang Sakepeng ini adalah untuk menjauhkan semua rintangan dan malapetaka yang dapat menimpa kedua mempelai dalam membina rumah tangga.2) MamapasMamapas adalah upacara pembersihan secara simbolis bermakna agar penganten, rumah dan lingkungan tempat dilaksanakannya upacara perkawinan dapat bersih dari segala yang tidak baik dan terhindar dari hal-hal yang buruk yang ditimbulkan oleh roh-roh jahat yang disebut Pali Endus Dahiang Baya. Bersamaan dengan upacara Mamapas ini, setelah tali perintang Lawang Sakepeng putus maka penganten pria dan rombongannya dipersilahkan memasuki halaman. Di depan pintu rumah mempelai pria akan diupacarai lagi dengan taburan beras dan bunga rampai serta prosesi penginjakan telor ayam. Selanjutnya mempelai laki-laki dan rombongan dipersilahkan masuk rumah. Bagi mereka disediakan tempat khusus untuk beristirahat sambil menunggu acara selanjutnya.c. Haluang HapelekUpacara Haluang Hapelek adalah semacam diaolog antara para wakil dari pihak penganten pria dan wanita. Tujuan utama dari acara ini adalah menagih Jalan Hadat, yaitu syarat-syarat dalam rangka perkawinan yang harus diserahkan oleh pihak penganten pria kepada penganten wanita. Masing-masing pihak membentuk kelompok tersendiri, sebagai utusan yang bertindak sebagai Luang. Masing-masing pihak dapat menunjuk 5 (lima) atau 7 (tujuh) orang wakil sebagai utusan. Luang atau utusan dari pihak penganten pria disebut dengan Tukang Sambut, yaitu pihak yang menjawab sanggup tidaknya memenuhi tuntutan pihak penganten wanita. Adapun luang dari pihak wanita disebut Tukang Pelek, yaitu pihak yang mengajukan tuntutan. Luang adalah orang yang pekerjaannya mondar-mandir menghubungi dua pihak untuk mencari kesesuaian pendapat.d. Manyaki Panganten (Panganten Hasaki atau Panganten Hatatai)Inti upacara ini adalah upacara pengukuhan perkawinan bagi masyarakat Hindu Kaharingan etnik Dayak Ngaju. Pada bagian inilah yang biasa tidak dilaksanakan oleh masyarakat Dayak etnik Dayak Ngaju yang non Hindu Kaharingan, namun masih melangsungan tata cara perkawinan sesuai tradisi leluhurnya. Upacara ini dipimpin oleh seorang Basir. Manyaki berarti mengoleskan darah hewan korban ke beberapa bagian tubuh kedua mempelai oleh Basir. Adapun istilah Penganten Hasaki berarti kedua mempelai dipoles dengan darah. Pada acara ini kedua mempelai duduk di atas sebuah gong sambil memegang sebatang pohon sawang (Ponjon Andong) yang diikat bersamaan dengan Dereh Uwei (sepotong rotan) dan Rabayang (tombak bersayap/sejenis tri sula). Jari telunjuk mereka menunjuk ke atas sebagai tanda bahwa mereka berdua bersaksi kepada Ranying Hatalla Langit/Tuhan Yang Maha Esa. Kaki mereka menginjak jala dan batu asah sebagai tanda bahwa mereka berdua juga bersaksi kepada penguasa alam bawah. Basir melakukan upacara manyaki mamalas (mengoleskan darah hewan korban, minyak kelapa, tanah, air dan beras serta tampung tawar. Beras Hambaruan diletakkan di atas ubun-ubun kedua mempelai. Upacara itu bermakna bahwa kedua mempelai disucikan, sehingga dalam menjalani kehidupan berumahtangga mereka senantiasa sehat, selamat dan memperoleh rejeki.Setelah menjalani upacara Hasaki, kedua mempelai makan makanan yang disebut Panginan Putir Santang, yaitu tujuh gumpal nasi sebagai simbol penyatuan mereka bahwa mereka sejak hari itu resmi sebagai suami isteri. Setelah selesai acara makan secara simbolis, kedua mempelai lalu berjalan menuju ambang pintu rumah untuk melakukan Manukie (pekikan) sebanyak tujuh kali di ambang pintu. Maksud pekikan itu adalah untuk membuka pintu langit dan mereka berdua berikrar dihadapan Tuhan bahwa mereka akan memelihara perkawinan itu untuk selama-lamanya sampai akhir hayat.Usai acara kedua ini kedua mempelai bersama-sama membacakan surat perjanjian kawin yang isinya memuat syarat-syarat adat yang diserahkan yakni Jalan Hadat, sangsi-sangsi dan janji kedua mempelai dalam memelihara perkawinan dan memuat pula peneguhan para saksi dan ahli waris. Surat itu kemudian ditandatangani oleh kedua mempelai, saksi, ahli waris dan disaksikan oleh hadirin.Dengan selesainya penandatanganan surat perjanjian kawin maka selesai pulalah rangkaian acara Manyaki Panganten. Kemudian dilanjutkan dengan acara penanaman pohon Sawang. Acara selanjutnya adalah jamuan makan bagi para hadirin. Selain itu kedua mempelai (biasa diberi ruang khusus) diberikan nasehat oleh para orang tua termasuk para Luang, yang mana acara ini disebut dengan upacara Maningak Panganten.Setelah prosesi acara perkawinan tersebut selesai masih ada beberapa prosesi pasca perkawinan yang harus dilalui oleh kedua mempelai , yaitu :1. Maruah PaliMaruah artinya menghapus atau mengakhiri. Pali berarti tabu atau pantangan. Jadi yang dimaksud dengan acara Maruah Pali adalah acara yang dilaksanakan sebagai tanda berakhirnya masa berpantangan bagi kedua mempelai. Karena setelah acara perkawinan, kedua mempelai harus menjalani masa Pali yaitu masa berpantangan selama tiga hari atau paling lama tujuh hari sejak hari perkawinan mereka. Pantangan yang tidak boleh mereka lakukan selama menjalani masa Pali adalah :a. Melakukan hubungan suami istrib. Mengadakan perjalanan jauhSetelah masa Pali habis, diadakan upacara Maruah Pali bagi kedua penganten yaitu ditandai dengan pemotongan satu ekor ayam kemudian kedua mempelai ditampungtawari oleh kedua orang tua. Selanjutnya keduanya diajak berkunjung ke keluarga wanita.2. Pakaja Manantu (Penerimaan Menantu)Upacara ini merupakan upacara menerima menantu oleh kedua orang tua suaminya. Upacara ini dilakukan di rumah orang tua laki-laki. Upacara ini merupakan sebagai ungkapan rasa syukur dan bahagia bahwa anak mereka sudah memiliki pasangan hidup.Pada upacara inilah orang tua suaminya menyerahkan Batu Kaja yang merupakan bagian dari Jalan Hadat, sebab pada saat Haluang Hapelek, Batu Kaja ini hanya disebutkan tetapi tidak diserahkan. Dengan selesainya upacara Pakaja Manantu, maka selesailah rangkaian upacara yang terkait dengan perkawinan.Urutan tata cara perkawinan yang lengkap seperti di atas adalah tata cara perkawinan yang ideal yang semestinya dilaksanakan oleh umat Hindu Kaharingan karena sudah merupakan ajaran suci Ranying Hatalla yang terdapat dalam kitab suci Panaturan.2.1.1 Upacara Perkawinan Masyarakat Etnik Dayak Ngaju Dalam Kajian AdatRitual perkawinan masyarakat Dayak tidak hanya mengandung nilai-nilai religi tetapi juga mengandung aspek budaya karena kedua hal itu saling keterkaitan erat dan hampir tidak dapat kita bedakan dikarenakan kultur masyarakat Dayak yang unik. Aspek budaya dalam ritual perkawinan ini dapat kita lihat dari beberapa tahapan yang terdapat dalam prosesi perkawinan masyarakat Dayak Ngaju seperti adanya proses Hakumbang Auh dan Maja Misek (memupuh), dimana pada tahapan ini budaya musyawarah untuk mufakat sangat kental terlihat selain itu menjadikan ikatan kekeluargaan semakin erat. Kemudian pada saat hari perkawinan, sebelum mempelai laki-laki memasuki rumah pihak perempuan adanya acara penyambutan berupa berbalas pantun, tari-tarian serta pencak silat daerah Kalimantan Tengah untuk memutus halangan yang berupa Pantan atau yang lazim dikenal oleh masyarakat Dayak dengan nama Lawang Sakepeng Dalam tradisi masyarakat Dayak Ngaju pelaksanaan upacara perkawinan tidak mudah dan tidak bisa secepatnya untuk mengambil suatu keputusan, tetapi harus dimusyawarahakan oleh keluarga besar, karena keluarga juga merupakan penentu dalam pengambilan keputusan. Semua yang menyangkut tahapan dan persyaratan perkawinan akan disesuaikan dengan aturan adat agar semua proses pelaksanaan berjalan sesuai dengan rencana keluarga. Perkawinan yang ideal bagi masyarakat Dayak Ngaju, adalah perkawinan dengan sistem meminang karena mempunyai rangkaian yang sangat panjang. Dalam tata cara perkawinan masyarakat Dayak ini terdapat sedikit pertentangan pendapat tentang apakah tata cara itu adat atau agama, namun jika kita kembali ke sejarah awal masyarakat Dayak yang awalnya adalah penganut agama Helu atau Kaharingan sudah barang tentu tata cara perkawinan yang ada merupakan tradisi religi asli Kaharingan bukan sekedar adat atau kebiasaan. Selain itu jika kita melihat pemahaman masa lalu masyarakat Dayak sebelum masuknya agama-agama ke tanah Dayak, maka kata adat dipahami sebagai sebuah tradisi leluhurnya sebagai adat yang adi luhung sebagai penjaga keharmonisan hidup yang harus dilaksanakan atau sebagai sebuah keyakinan. Sehingga sampai sekarang dalam praktek kehidupannya masyarakat Dayak yang sudah menganut agama-agama baru tetap menjalankan tradisi leluhurnya karena mereka menganggap itu adalah warisan leluhur yang harus dilestarikan atau dengan bahasa sederhana yaitu adat. Hal ini dapat kita lihat dalam tata cara upacara perkawinan masyarakat Dayak yang telah beralih keyakinan ke agama Kristen, kecuali yang menganut agama Islam, masih melaksanakan sesuai tradisi leluhur walaupun dengan menghilangkan beberapa bagian menyesuaikan dengan agama yang mereka anut. Dari kenyataan di lapangan kita bisa melihat batasan mana pelaksanaan yang keterkaitan dengan ritus perkawinan suku Dayak Ngaju yang bermula dari tradisi religi Kaharingan yang awalnya disebut dengan agama Helu dengan yang dianggap adat. Dalam tata cara perkawinan yang dianggap sebagai adat yaitu tahapan Hakumbang Auh,mamanggul atau Maja Misek ,pelaksanaan upcara Perkawinan seperti : Panganten Haguet, Panganten Lumpat atau Mandai, Mambuka Lawang Sakepeng, Mamapas serta Haluang Hapelek, yang merupakan acara menagih Jalan Hadat, yaitu syarat-syarat dalam rangka perkawinan yang harus diserahkan oleh pihak penganten pria kepada penganten wanita juga dilaksanakan yang kemudian dilanjutkan dengan kedua mempelai bersama-sama membacakan surat perjanjian kawin yang isinya memuat syarat-syarat adat yang diserahkan yakni Jalan Hadat, sangsi-sangsi dan janji kedua mempelai dalam memelihara perkawinan dan memuat pula peneguhan para saksi dan ahli waris. Surat itu kemudian ditandatangani oleh kedua mempelai, saksi, ahli waris dan disaksikan oleh hadirin yang dilanjutkan dengan upacara Tampung Tawar (Pemercikan air/tirta). Sedangkan untuk upacara Manyaki Panganten (Panganten Hasaki atau Panganten Hatatai), yang merupakan inti upacara perkawinan sebagai upacara pengukuhan perkawinan bagi masyarakat Hindu Kaharingan etnik Dayak Ngaju tidak dilaksanakan oleh masyarakat Dayak etnik Dayak Ngaju yang non Hindu Kaharingan, namun pemberkatan atau pengukuhannya dilaksanakan menurut tata cara agama yang dianutnya.Prosesi makan makanan yang disebut Panginan Putir Santang, yaitu tujuh gumpal nasi sebagai simbol penyatuan mereka bahwa mereka sejak hari itu resmi sebagai suami isteri. Yang dilanjutkan dengan kedua mempelai berjalan menuju ambang pintu rumah untuk melakukan Manukie (pekikan) sebanyak tujuh kali di ambang pintu. Maksud pekikan itu adalah untuk membuka pintu langit dan mereka berdua berikrar dihadapan Tuhan bahwa mereka akan memelihara perkawinan itu untuk selama-lamanya sampai akhir hayat. Yang dilanjutkan dengan prosesi penanaman pohon Sawang (Ponjon Andong). Beberapa urutan acara tersebut tidak dilakukan oleh yang masyarakat Dayak non Hindu Kaharingan karena tentunya akan bertentangan dengan agama yang dianutnya.Selain itu prosesi pasca perkawinan yang harus dilalui oleh kedua mempelai , seperti Maruah Pali juga tidak dilaksanakan. Maruah artinya menghapus atau mengakhiri. Pali berarti tabu atau pantangan. Jadi yang dimaksud dengan acara Maruah Pali adalah acara yang dilaksanakan sebagai tanda berakhirnya masa berpantangan bagi kedua mempelai. Karena setelah acara perkawinan, kedua mempelai harus menjalani masa Pali yaitu masa berpantangan selama tiga hari atau paling lama tujuh hari sejak hari perkawinan mereka. Pantangan yang tidak boleh mereka lakukan selama menjalani masa Pali adalah :1. Melakukan hubungan suami istri2. Mengadakan perjalanan jauhYang dilaksanaan hanya pada prosesi upacara Pakaja Manantu. Upacara ini merupakan upacara menerima menantu oleh kedua orang tua suaminya. Upacara ini dilakukan di rumah orang tua laki-laki. Upacara ini merupakan sebagai ungkapan rasa syukur dan bahagia bahwa anak mereka sudah memiliki pasangan hidup.Beberapa bagian yang dihilangkan tersebutlah yang membedakan antara tata cara perkawinan masyarakat Dayak Ngaju yang berasal dari tradisi asli agama Helu atau Kaharingan yang dilaksanakan oleh umat Hindu kaharingan dengan tata cara perkawinan yang dianggap adat yang dilaksanakan oleh masyarakat Dayak yang sudah tidak menganut agama Hindu Kaharingan lagi.

BAB IIIKESIMPULAN

3.1 KesimpulanDalam tata cara perkawinan masyarakat Dayak ini terdapat sedikit pertentangan pendapat tentang apakah tata cara itu adat atau agama, namun jika kita kembali ke sejarah awal masyarakat Dayak yang awalnya adalah penganut agama Helu atau Kaharingan sudah barang tentu tata cara perkawinan yang ada merupakan tradisi religi asli Kaharingan bukan sekedar adat atau kebiasaan. Namun sampai sekarang dalam praktek kehidupannya masyarakat Dayak yang sudah menganut agama-agama baru tetap menjalankan tradisi leluhurnya karena mereka menganggap itu adalah warisan leluhur masyarakat Dayak yang merupakan milik seluruh warga Dayak yang harus dilestarikan atau dengan bahasa sederhana yaitu adat. Hal ini berlaku dalam tata cara upacara perkawinan masyarakat Dayak yang beralih keyainan ke agama Kristen, kecuali yang menganut agama Islam, mereka masih melaksanakan sesuai tradisi leluhur walaupun dengan menghilangkan beberapa bagian menyesuaikan dengan agama yang mereka anut. Namun dari tata cara upacara perkawinan yang berlangsung tersebut kita masih bisa melihat batasan mana pelaksanaan yang merupakan unsur religi yang keterkaitan agama Hindu Kaharingan dan dengan yang dianggap adat. Dalam tata cara perkawinan yang dianggap sebagai adat yaitu tahapan Hakumbang Auh, Mamanggul atau Maja Misek , Pelaksanaan upcara Perkawinan seperti : Panganten Haguet, Panganten Lumpat atau Mandai, Mambuka Lawang Sakepeng, Mamapas serta Haluang Hapelek tetap dilaksanakan yang kemudian dilanjutkan dengan kedua mempelai bersama-sama membacakan surat perjanjian, sedangkan untuk upacara Manyaki Panganten (Pengesahan perkawinan dalam Hindu Kaharingan ) sampai penanaman pohon Sawang janji tidak dilakukan oleh yang non Hindu Kaharingan karena tentunya akan bertentangan dengan agama yang dianutnya.

Daftar Pustaka

Tjilik Riwut, Kalimantan Membangun; Alam dan Kebudayaan, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya,1993), 234-235.

2 ibid., 317.

3 Syarif Ibrahim Alqadrie, Kebudayaan Dayak; Aktualisasi dan Transformasi, Mesianisme dalamMasyarakat Dayak di Kalimantan Barat (Keterkaitan antara Unsur Budaya Khususnya Kepercayaan Nenek Moyang dan Realitas Kehidupan Sosial Ekonomi). (Jakarta: LP3S-Insitute of Dayakology Research and Development dan PT Grasindo, 1994), 19-20.

4 Hermogenes Ugang, Menelusuri Jalur-jalur Keluhuran. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983), 48-49.

5 Y. Nathan Ilon, Ilustrasi dan Perwujudan Lambang Batang Garing dan Dandang Tingang: Sebuah Konsepsi Memanusiakan Mnausia dalam Filsafat Suku Dayak Ngaju Kalimantan Tengah,(Palangka Raya: PBP DATI I Kalimantan Tengah, 1991), 17-19; Hermogenes Ugang, Menelusuri... 71-72; Majelis Besar Alim Ulama Kaharingan Indonesia (MBAUKI), Panaturan Tamparan Taluh Handiai-Awal Segala Kejadian, (Palangka Raya: CV. Litho Multi Warna, 1996).

6 Tim Khusus Dewan Adat Dayak Provinsi Kalimantan Tengah, Perkawinan Menurut Adat Dayak Kalimantan Tengah dalam rapat Penyusunan Draft Kawin Adat tanggal 27 Mei 2009 Pukul 16.00Wib. (Dokumen Pribadi tidak diterbitkan)

7 Lihat Lebar, 1972:189, sebagaimana ditulis oleh Yekti Maunati dalam Identitas Dayak; Komodifikasi dan Politik Kebudayaan, 78-79.

8 Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial: Buku Sumber untuk PenelitianKualitatif, Edisi Kedua, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006)

9 Suprayogo, et al., Metode Penelitian Sosial-Agama, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003),136.

Agan, Thian, 1998, Buku Upacara Perkawinan Umat Hindu Kaharingan. Palangka Raya. Majelis Besar Agama Hindu kaharingan Pusat Palangka Raya.Ilon, Y. Nathan. 1990. Ilustrasi dan Perwujudan Lambang Batang Garing dan Dandang Tingang Sebuah Konsepsi Memanusiakan Manusia Dalam Filsafat Suku Dayak Ngaju Kalimantan Tengah. Badan Kearsipan Daerah Kalimantan Tengah.Riwut, Tjilik .2003, Maneser Panatau Tatu Hiang (Menyelami Kekayaan Leluhur). Disunting oleh Nila Riwut. Yogyakarta, Pusakalima.Tim penyusun, 2003, Panaturan, Palangka Raya, Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan Pusat Palangka RayaTim penyusun, 1974, Undang-Udang Perkawinan No. II Tahun 1974.Titib, I Made. 1996. Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan. Paramita. SurabayaTim Penyusun. 1998. Ritus dan Peralatan Perkawinan Pada Suku Dayak Ngaju Kalimanatan Tengah. Depdikbud Kanwil Bagian Proyek Permuseuman Prop. Kalteng. Palangka Raya.

34