aplikasi teori politik islam perspektif kaidah-kaidah …

13
APLIKASI TEORI POLITIK ISLAM PERSPEKTIF KAIDAH-KAIDAH FIKIH Mustofa Hasan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung Jl. Raya Cipadung No. 105 Ujung Berung Bandung 40614 Email: [email protected] Abstract: Application of Islamic Political Theory in the Perspective of Islamic Legal Norm. In Islamic politics (fiqh al-siyâsah), one of the material studies is a power. In brief, the Islamic politics includes constitutional law, administrative law, international law, and economic law. In view of the relation, on the other hand, it discusses on the relationship of people and the leader as a concrete ruler in a country, inter-nation, or in their national and international economic policy. In Islamic politics, there are many theories formulated by some moslem scholars that become guide in a practice. Besides, this Islamic jurisprudence theory, as its real advantage, will gather the problems that have same reason. This theory also will make easy to social life in political activities. This article is aimed at describing 12 Islamic legal norms which relevantly should be applied now and in the future. Keywords:, Islamic politics, Islamic legal norm, interest, mafsadat Abstrak: Aplikasi Teori Politik Islam Perspektif Kaidah-kaiadah Fikih. Dalam fikih siyasah, di antara objek bahasan utamanya tentang kekuasaan. Jika disederhanakan, fikih siyasah meliputi hukum tata negara, administrasi negara, hukum internasional, dan hukum ekonomi. Dan jika dilihat dari sisi hubungan, fikih siyasah berbicara tentang hubungan antara rakyat dan pemimpinnya sebagai penguasa yang konkrit di dalam suatu negara atau antar negara atau dalam kebijakan-kebijakan ekonominya baik berskala nasional maupun internasional. Dalam politik Islam, terdapat beberapa teori yang telah dirumuskan oleh para ulama fikih terdahulu untuk dijadikan panduan dalam tataran praktisnya. Selain itu, sesuai dengan kegunaan kaidah-kaidah fikih yang di antaranya dapat mengelompokkan masalah-masalah yang sejenis dan memiliki kesamaan illat/motif, maka tentu dengan adanya kaidah-kaidah fikih bidang siyasah akan memudahkan umat yang hidup di belakang hari dalam melakukan aktifitas politiknya Dalam tulisan ini, diuraikan dua belas kaidah-kaidah fikih yang penting dan relevan untuk diaplikasikan pada masa kini dan mendatang. Kata kunci: politik Islam, kaidah-kaidah fikih, maslahat, mafsadat Pendahuluan Siyasah dalam peradaban kaum muslim mengatur berbagai bentuk tentang tata cara memimpin, dan membangun pemerintahan. Peradaban Islam tidak akan dapat tegak sempurna tanpa adanya negara yang cocok baginya, yaitu negara khilafah Islamiyah. Sistem politik Islam yang disebut dengan siyasah dipandang sebagai sebuah proses yang tidak pernah selesai. Ia senantiasa terlibat dalam pergulatan sosial dan budaya. Fakta tersebut berlangsung selama perjalanan sejarah umat Islam. Meskipun demikian, nilai siyasah tidak serta merta menjadi relatif karena ia hikmah. 1 Siyasah secara garis besarnya terbagi menjadi dua yaitu siyasah wadh`iyyah ialah siyasah yang dikenal berdasarkan kepada pengalaman sejarah dan adat masyarakat dalam mengatur hidup manusia bermasyarakat dalam negara. Yang kedua, siyasah syar`iyyah yaitu siyasah yang berdasarkan syara` yang mengikut etika agama, moral dan memperhatikan prinsip-prinsip umum syariat dalam mengatur manusia hidup bermasyarakat dan bernegara dalam Islam. 2 Akan tetapi dalam hal ini, Islam lebih mengacu pada siyasah syar`iyyah dari pada siyasah wadh`iyyah, karena dianggap bertentangan dengan ajaran memiliki kemutlakan yang terkait keharusan untuk 1 A. Djazuli, Fiqh Siyasah, (Jakarta: Prenada Media. 2003), h. 1. mewujudkan keadilan, rahmat, kemaslahatan dan 2 A. Djazuli, Fiqh Siyasah, h. 44. 97 |

Upload: others

Post on 06-Oct-2021

24 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: APLIKASI TEORI POLITIK ISLAM PERSPEKTIF KAIDAH-KAIDAH …

APLIKASI TEORI POLITIK ISLAMPERSPEKTIF KAIDAH-KAIDAH FIKIH

Mustofa HasanFakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Jl. Raya Cipadung No. 105 Ujung Berung Bandung 40614Email: [email protected]

Abstract: Application of Islamic Political Theory in the Perspective of Islamic Legal Norm. In Islamic politics(fiqh al-siyâsah), one of the material studies is a power. In brief, the Islamic politics includes constitutional law,administrative law, international law, and economic law. In view of the relation, on the other hand, it discusseson the relationship of people and the leader as a concrete ruler in a country, inter-nation, or in their national andinternational economic policy. In Islamic politics, there are many theories formulated by some moslem scholarsthat become guide in a practice. Besides, this Islamic jurisprudence theory, as its real advantage, will gather theproblems that have same reason. This theory also will make easy to social life in political activities. This article isaimed at describing 12 Islamic legal norms which relevantly should be applied now and in the future.

Keywords:, Islamic politics, Islamic legal norm, interest, mafsadat

Abstrak: Aplikasi Teori Politik Islam Perspektif Kaidah-kaiadah Fikih. Dalam fikih siyasah, di antara objek bahasanutamanya tentang kekuasaan. Jika disederhanakan, fikih siyasah meliputi hukum tata negara, administrasinegara, hukum internasional, dan hukum ekonomi. Dan jika dilihat dari sisi hubungan, fikih siyasah berbicaratentang hubungan antara rakyat dan pemimpinnya sebagai penguasa yang konkrit di dalam suatu negara atauantar negara atau dalam kebijakan-kebijakan ekonominya baik berskala nasional maupun internasional. Dalampolitik Islam, terdapat beberapa teori yang telah dirumuskan oleh para ulama fikih terdahulu untuk dijadikanpanduan dalam tataran praktisnya. Selain itu, sesuai dengan kegunaan kaidah-kaidah fikih yang di antaranyadapat mengelompokkan masalah-masalah yang sejenis dan memiliki kesamaan illat/motif, maka tentu denganadanya kaidah-kaidah fikih bidang siyasah akan memudahkan umat yang hidup di belakang hari dalam melakukanaktifitas politiknya Dalam tulisan ini, diuraikan dua belas kaidah-kaidah fikih yang penting dan relevan untukdiaplikasikan pada masa kini dan mendatang.

Kata kunci: politik Islam, kaidah-kaidah fikih, maslahat, mafsadat

Pendahuluan

Siyasah dalam peradaban kaum muslimmengatur berbagai bentuk tentang tata caramemimpin, dan membangun pemerintahan.Peradaban Islam tidak akan dapat tegak sempurnatanpa adanya negara yang cocok baginya, yaitunegara khilafah Islamiyah. Sistem politik Islam yangdisebut dengan siyasah dipandang sebagai sebuahproses yang tidak pernah selesai. Ia senantiasaterlibat dalam pergulatan sosial dan budaya.Fakta tersebut berlangsung selama perjalanansejarah umat Islam. Meskipun demikian, nilaisiyasah tidak serta merta menjadi relatif karena ia

hikmah.1 Siyasah secara garis besarnya terbagimenjadi dua yaitu siyasah wadh`iyyah ialah siyasahyang dikenal berdasarkan kepada pengalamansejarah dan adat masyarakat dalam mengaturhidup manusia bermasyarakat dalam negara.Yang kedua, siyasah syar`iyyah yaitu siyasahyang berdasarkan syara` yang mengikut etikaagama, moral dan memperhatikan prinsip-prinsipumum syariat dalam mengatur manusia hidupbermasyarakat dan bernegara dalam Islam.2 Akantetapi dalam hal ini, Islam lebih mengacu padasiyasah syar`iyyah dari pada siyasah wadh`iyyah,karena dianggap bertentangan dengan ajaran

memiliki kemutlakan yang terkait keharusan untuk1 A. Djazuli, Fiqh Siyasah, (Jakarta: Prenada Media. 2003), h. 1.mewujudkan keadilan, rahmat, kemaslahatan dan2 A. Djazuli, Fiqh Siyasah, h. 44.

97 |

Page 2: APLIKASI TEORI POLITIK ISLAM PERSPEKTIF KAIDAH-KAIDAH …

MADANIA Vol. XVIII, No. 1, Juni 2014

Islam sehingga kurang diterima keberadaanyaoleh kaum muslimin.

Siyasah di dalamnya juga mengatur hubunganantara manusia dengan manusia, manusia denganlembaga, lembaga dengan lembaga, maupunnegara dengan negara dengan ketentuan syariatIslam. Mayoritas ulama sepakat mengenai ke-harusan menyelenggarakan siyasah berdasarkansyara`. Siyasah atau pemerintahan sudah adapada masa kepemimpinan Rasulullah saw. Siyasahsyar`iyyah dalam Islam yang berkenaan denganpola hubungan antar manusia yang menuntutterbagi menjadi tiga, yaitu siyasah dusturiyah,dauliyah, dan maliyah.3

Siyasah dalam Perspektif SejarahSejarah awal berdirinya suatu negara Islam

adalah pada masa kepemimpinan Nabi Muhammadsaw. Dalam kepemimpinan Rasulullah, siyasahsyar`iyyah telah dilaksanakan untuk mengaturdan mengarahkan umatnya menuju tatanan sosialbudaya yang diridhai Allah Swt. Pemerintahan NabiMuhammad di Madinah merupakan suatu negarayang memenuhi persyaratan-persyaratan negaradalam sistem pemerintahan dan ketatanegaraan dizaman modern yang memiliki wilayah kekuasaan,penduduk, pemerintahan, rakyat, dan konstitusi.4

Fakta sejarah yang tidak dapat diingkarioleh siapa pun adalah setelah timbulnya dakwahIslam, kemudian terbentuk bangunan masyarakatbaru yang mempunyai identitas independen yangmembedakannya dari masyarakat lain. Mengakuisatu undang-undang, menjalankan kehidupannyasesuai dengan sistem yang satu, menuju kepadatujuan-tujuan yang sama, dan di antara individu-individu masyarakat yang baru itu terdapat ikatanras, bahasa, dan agama yang kuat, serta adanyaperasaan solidaritas secara umum. Bangunanmasyarakat yang memiliki semua unsur-unsurtadi itulah yang dinamakan sebagai bangunanmasyarakat ‘politik’. Atau yang dinamakan sebagai‘negara’.

Peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadisetelah Rasulullah menetap di Madinah me-

3 A. Djazuli, Fiqh Siyasah, h. 48.4 Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: Lathifah

Press, 2009), h. 84.

rupakan nilai dasar fikih siyasah syar`iyyah. Dalamkedudukanya sebagai kepala negara, kebijakanRasulullah saw. merupakan pelaksanaan fikihsiyasah syar`iyyah. Salah satu contohnya adalahkebijakan yang dibuat Rasululllah saw. berkenaandengan persaudaraan intern kaum muslimin antarakelompok Muhajirin dengan kelompok Anshar.Kemudian perjanjian ekstern antara komunitasmuslim dengan komunitas non muslim.

Persoalan siyasah yang pertama dihadapikaum muslimin setelah Rasulullah wafat adalahsuksesi politik. Pada masa Khulafaur rasyidindikenal berbagai mekanisme penetapan kepalanegara yang dikenal dengan sebutan khalifahdan dengan berbagai kriteria yang sesuaidengan sosio historis yang ada. Sebab sebelumRasulullah wafat, beliau belum menentukan siapayang akan menggantikannya. Setelah Rasulullahwafat, pengendalian dan pengarahan kaummuslimin dipegang oleh sahabat Abu Bakar.5

Sejarah menunjukkan bahwa khalifah berfungsisebagai pemimpin agama dan negara. Pada masakepemimpinan khalifah empat pertama, sejarahmencatat bahwa fungsi khalifah hanya sebagaipemimpin negara, terutama setelah munculnyakonsep sultan dan syaikh.6

Pengertian Siyasah dan MacamnyaSiyasah berasal dari kata

(mengatur, mengendalikan, mengurus, ataumembuat keputusan), atau (mengaturkaum, memerintah dan memimpinnya). Karenaitu, berdasarkan pengertian bahasa, siyasahberarti pemerintahan, pengambilan keputusan,pengurusan, pengawasan. Pengertian siyasah diatas secara tersirat berarti:

“Memimpin sesuatu dengan cara yang membawakemashlahatan”

Sedangkan pengertian siyasah secara istilahmenurut Ibn `Aqil sebagaimana dikutip Ibn al-Qayyim mendefinisikan:

5 A. Djazuli, Fiqh Siyasah, h. 27.6 Juhaya S, Praja, Filsafat Hukum Islam, h. 84

| 98

MADANIA Vol. XVIII, No. 1, Juni 2014

Islam sehingga kurang diterima keberadaanyaoleh kaum muslimin.

Siyasah di dalamnya juga mengatur hubunganantara manusia dengan manusia, manusia denganlembaga, lembaga dengan lembaga, maupunnegara dengan negara dengan ketentuan syariatIslam. Mayoritas ulama sepakat mengenai ke-harusan menyelenggarakan siyasah berdasarkansyara`. Siyasah atau pemerintahan sudah adapada masa kepemimpinan Rasulullah saw. Siyasahsyar`iyyah dalam Islam yang berkenaan denganpola hubungan antar manusia yang menuntutterbagi menjadi tiga, yaitu siyasah dusturiyah,dauliyah, dan maliyah.3

Siyasah dalam Perspektif SejarahSejarah awal berdirinya suatu negara Islam

adalah pada masa kepemimpinan Nabi Muhammadsaw. Dalam kepemimpinan Rasulullah, siyasahsyar`iyyah telah dilaksanakan untuk mengaturdan mengarahkan umatnya menuju tatanan sosialbudaya yang diridhai Allah Swt. Pemerintahan NabiMuhammad di Madinah merupakan suatu negarayang memenuhi persyaratan-persyaratan negaradalam sistem pemerintahan dan ketatanegaraan dizaman modern yang memiliki wilayah kekuasaan,penduduk, pemerintahan, rakyat, dan konstitusi.4

Fakta sejarah yang tidak dapat diingkarioleh siapa pun adalah setelah timbulnya dakwahIslam, kemudian terbentuk bangunan masyarakatbaru yang mempunyai identitas independen yangmembedakannya dari masyarakat lain. Mengakuisatu undang-undang, menjalankan kehidupannyasesuai dengan sistem yang satu, menuju kepadatujuan-tujuan yang sama, dan di antara individu-individu masyarakat yang baru itu terdapat ikatanras, bahasa, dan agama yang kuat, serta adanyaperasaan solidaritas secara umum. Bangunanmasyarakat yang memiliki semua unsur-unsurtadi itulah yang dinamakan sebagai bangunanmasyarakat ‘politik’. Atau yang dinamakan sebagai‘negara’.

Peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadisetelah Rasulullah menetap di Madinah me-

3 A. Djazuli, Fiqh Siyasah, h. 48.4 Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: Lathifah

Press, 2009), h. 84.

rupakan nilai dasar fikih siyasah syar`iyyah. Dalamkedudukanya sebagai kepala negara, kebijakanRasulullah saw. merupakan pelaksanaan fikihsiyasah syar`iyyah. Salah satu contohnya adalahkebijakan yang dibuat Rasululllah saw. berkenaandengan persaudaraan intern kaum muslimin antarakelompok Muhajirin dengan kelompok Anshar.Kemudian perjanjian ekstern antara komunitasmuslim dengan komunitas non muslim.

Persoalan siyasah yang pertama dihadapikaum muslimin setelah Rasulullah wafat adalahsuksesi politik. Pada masa Khulafaur rasyidindikenal berbagai mekanisme penetapan kepalanegara yang dikenal dengan sebutan khalifahdan dengan berbagai kriteria yang sesuaidengan sosio historis yang ada. Sebab sebelumRasulullah wafat, beliau belum menentukan siapayang akan menggantikannya. Setelah Rasulullahwafat, pengendalian dan pengarahan kaummuslimin dipegang oleh sahabat Abu Bakar.5

Sejarah menunjukkan bahwa khalifah berfungsisebagai pemimpin agama dan negara. Pada masakepemimpinan khalifah empat pertama, sejarahmencatat bahwa fungsi khalifah hanya sebagaipemimpin negara, terutama setelah munculnyakonsep sultan dan syaikh.6

Pengertian Siyasah dan MacamnyaSiyasah berasal dari kata

(mengatur, mengendalikan, mengurus, ataumembuat keputusan), atau (mengaturkaum, memerintah dan memimpinnya). Karenaitu, berdasarkan pengertian bahasa, siyasahberarti pemerintahan, pengambilan keputusan,pengurusan, pengawasan. Pengertian siyasah diatas secara tersirat berarti:

“Memimpin sesuatu dengan cara yang membawakemashlahatan”

Sedangkan pengertian siyasah secara istilahmenurut Ibn `Aqil sebagaimana dikutip Ibn al-Qayyim mendefinisikan:

5 A. Djazuli, Fiqh Siyasah, h. 27.6 Juhaya S, Praja, Filsafat Hukum Islam, h. 84

| 98

MADANIA Vol. XVIII, No. 1, Juni 2014

Islam sehingga kurang diterima keberadaanyaoleh kaum muslimin.

Siyasah di dalamnya juga mengatur hubunganantara manusia dengan manusia, manusia denganlembaga, lembaga dengan lembaga, maupunnegara dengan negara dengan ketentuan syariatIslam. Mayoritas ulama sepakat mengenai ke-harusan menyelenggarakan siyasah berdasarkansyara`. Siyasah atau pemerintahan sudah adapada masa kepemimpinan Rasulullah saw. Siyasahsyar`iyyah dalam Islam yang berkenaan denganpola hubungan antar manusia yang menuntutterbagi menjadi tiga, yaitu siyasah dusturiyah,dauliyah, dan maliyah.3

Siyasah dalam Perspektif SejarahSejarah awal berdirinya suatu negara Islam

adalah pada masa kepemimpinan Nabi Muhammadsaw. Dalam kepemimpinan Rasulullah, siyasahsyar`iyyah telah dilaksanakan untuk mengaturdan mengarahkan umatnya menuju tatanan sosialbudaya yang diridhai Allah Swt. Pemerintahan NabiMuhammad di Madinah merupakan suatu negarayang memenuhi persyaratan-persyaratan negaradalam sistem pemerintahan dan ketatanegaraan dizaman modern yang memiliki wilayah kekuasaan,penduduk, pemerintahan, rakyat, dan konstitusi.4

Fakta sejarah yang tidak dapat diingkarioleh siapa pun adalah setelah timbulnya dakwahIslam, kemudian terbentuk bangunan masyarakatbaru yang mempunyai identitas independen yangmembedakannya dari masyarakat lain. Mengakuisatu undang-undang, menjalankan kehidupannyasesuai dengan sistem yang satu, menuju kepadatujuan-tujuan yang sama, dan di antara individu-individu masyarakat yang baru itu terdapat ikatanras, bahasa, dan agama yang kuat, serta adanyaperasaan solidaritas secara umum. Bangunanmasyarakat yang memiliki semua unsur-unsurtadi itulah yang dinamakan sebagai bangunanmasyarakat ‘politik’. Atau yang dinamakan sebagai‘negara’.

Peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadisetelah Rasulullah menetap di Madinah me-

3 A. Djazuli, Fiqh Siyasah, h. 48.4 Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: Lathifah

Press, 2009), h. 84.

rupakan nilai dasar fikih siyasah syar`iyyah. Dalamkedudukanya sebagai kepala negara, kebijakanRasulullah saw. merupakan pelaksanaan fikihsiyasah syar`iyyah. Salah satu contohnya adalahkebijakan yang dibuat Rasululllah saw. berkenaandengan persaudaraan intern kaum muslimin antarakelompok Muhajirin dengan kelompok Anshar.Kemudian perjanjian ekstern antara komunitasmuslim dengan komunitas non muslim.

Persoalan siyasah yang pertama dihadapikaum muslimin setelah Rasulullah wafat adalahsuksesi politik. Pada masa Khulafaur rasyidindikenal berbagai mekanisme penetapan kepalanegara yang dikenal dengan sebutan khalifahdan dengan berbagai kriteria yang sesuaidengan sosio historis yang ada. Sebab sebelumRasulullah wafat, beliau belum menentukan siapayang akan menggantikannya. Setelah Rasulullahwafat, pengendalian dan pengarahan kaummuslimin dipegang oleh sahabat Abu Bakar.5

Sejarah menunjukkan bahwa khalifah berfungsisebagai pemimpin agama dan negara. Pada masakepemimpinan khalifah empat pertama, sejarahmencatat bahwa fungsi khalifah hanya sebagaipemimpin negara, terutama setelah munculnyakonsep sultan dan syaikh.6

Pengertian Siyasah dan MacamnyaSiyasah berasal dari kata

(mengatur, mengendalikan, mengurus, ataumembuat keputusan), atau (mengaturkaum, memerintah dan memimpinnya). Karenaitu, berdasarkan pengertian bahasa, siyasahberarti pemerintahan, pengambilan keputusan,pengurusan, pengawasan. Pengertian siyasah diatas secara tersirat berarti:

“Memimpin sesuatu dengan cara yang membawakemashlahatan”

Sedangkan pengertian siyasah secara istilahmenurut Ibn `Aqil sebagaimana dikutip Ibn al-Qayyim mendefinisikan:

5 A. Djazuli, Fiqh Siyasah, h. 27.6 Juhaya S, Praja, Filsafat Hukum Islam, h. 84

| 98

Page 3: APLIKASI TEORI POLITIK ISLAM PERSPEKTIF KAIDAH-KAIDAH …

Mustofa Hasan: Aplikasi Teori Politik Islam Perspektif Kaidah-Kaidah Fikih

“Siyasah adalah segala perbuatan yang membawamanusia lebih dekat kepada kemaslahatan danlebih jauh dari kemafsadatan, sekalipun Rasulullahtidak menetapkannya dan Allah Swt. tidak me-nentukannya .7

Dari pengertian siyasah di atas, baik secarabahasa maupun istilah, maka dapat diketahuibahwa objek kajian siyasah meliputi aspekpengaturan hubungan antara warga negaradengan warga negara, warga negara denganlembaga negara, lembaga negara dengan lembaganegara, baik yang bersifat intern suatu negaraatau yang bersifat ekstern suatu negara dalamberbagai bidang. Sedangkan menurut AbdulWahab Khallâf:8

Yang termasuk objek pembahasan siyasahadalah pengaturan dan perundang-undanganyang dituntut oleh hal ihwal kenegaraan darisegi persesuaiannya dengan pokok-pokok agama,dan merupakan realisasi kemaslahatan manusiaserta memenuhi kebutuhanya.

Berkenaan dengan luasnya objek kajian fikihhsiyasah, maka dalam tahap perkembangannya,dikenal beberapa pembidangan fikih siyasah yangberkenaan dengan pola hubungan antar manusiayang menuntut pengaturan siyasah, dalam hal inisiyasah dibedakan menjadi tiga yaitu:

1. Siyasah Dusturiyyah adalah siyasah yangmengatur hubungan warga negara denganlembaga negara yang satu dengan warganegara dan lembaga negara yang lain dalambatas-batas administrasi suatu negara.

2. Siyasah Dauliyyah ialah siyasah yang mengaturantara warga negara dengan lembaga negaradari negara yang satu dengan warga negaradan lembaga negara dari negara lain.

3. Siyasah Maliyyah ialah siyasah yang mengaturtentang pemasukan, pengelolaan, danpengeluaran uang milik negara.9

Sedangkan pembidangan yang diajukanoleh Hasbi Ash Shiddieqy10 membaginya menjadidelapan bidang, yaitu Siyasah Dusturiyyah, SiyasahTasyri`iyyah, Siyasah Qadha’iyyah, Siyasah Maliyah,Siyasah Idariyyah, Siyasah Kharijiyyah atau SiyasahDawliyyah, Siyasah Tanfiziyyah, Siyasah Harbiyyah.

Siyasah DusturiyahPermasalahan di dalam siyasah dusturiyah

adalah hubungan antara pemimpin di satu pihakdan rakyatnya di pihak lain serta kelembagaandalam masyarakatnya. Ruang lingkup pembahasansiyasah dusturiyah itu sendiri dibatasi hanya dalampembahasan tentang pengaturan dan perundang-undangan yang dituntut oleh hal ihwal kenegaraandari segi persesuaian dengan prinsip-prinsipagama dan merupakan realisasi kemaslahatanmanusia serta memenuhi kebutuhanya.11 Kata“dusturi” berasal dari bahasa Persia. Semulaartinya adalah seorang yang memiliki otoritas,baik dalam bidang politik maupun agama.

Adapun sumber-sumber siyasah dusturiyahdi antaranya ialah Alquran yaitu ayat-ayat yangberhubungan dengan prinsip-prinsip kehidupanmasyarakat; Hadis, terutama yang berhubungandengan imamah dan kebijaksanaan Rasulullahdalam menerapkan hukum negara; Kebijakan-kebijakan khulafaur rasyidin dalam mengendalikanpemerintahan; Ijtihad para ulama; adat kebiasaansuatu bangsa yang tidak bertentangan denganprinsip-prinsip Alquran dan hadis.

Kepemimpinan dalam SiyasahPada masterpiece-nya yang bertitel al-Ahkâm

al-Sulthâniyyah, al-Mawardi menyatakan bahwakepemimpinan (imâmah) dibentuk untuk tujuanmenjaga agama dan mengatur persoalan dunia.Karena itulah, bagi al-Mawardi membentuksebuah pemerintahan merupakan sesuatu yangfardhu kifâyah secara syara` dan tidak hanyasecara rasional.12

Kepemimpinan dalam negara menurut para

7 Ibnu Qayyim al-Jauziyah, I`lâm al-Muwaqqi`în `an Rabb al-`Âlamîn (Beirut: Dâr al-Jayl. t.th), h. 16.

8 Abdul Wahab Khallâf, al-Siyâsah wa al-Syarî`ah, (Kairo:Dâr Anshar, 1977), h. 5.

9 A. Djazuli, Fiqh Siyasah, h. 48.

10 Hasbi Ash Shiddieqy, Asas-Asas Hukum Tata NegaraMenurut Syari’at Islam, (Jakarta: Matahari Masa, 1976), h. 8.

11 A. Djazuli, Fiqh Siyasah, h. 4712 Abu al-Hasan Ali ibn Muhammad ibn Muhammad

ibn Habîb al-Bashri al-Baghdadi (al-Mawardi), al-Ahkâm al-Sulthâniyah, (Mesir: Musthafâ al-Babiy al-Halabiy. t.th) h. 3.

99 |

Mustofa Hasan: Aplikasi Teori Politik Islam Perspektif Kaidah-Kaidah Fikih

“Siyasah adalah segala perbuatan yang membawamanusia lebih dekat kepada kemaslahatan danlebih jauh dari kemafsadatan, sekalipun Rasulullahtidak menetapkannya dan Allah Swt. tidak me-nentukannya .7

Dari pengertian siyasah di atas, baik secarabahasa maupun istilah, maka dapat diketahuibahwa objek kajian siyasah meliputi aspekpengaturan hubungan antara warga negaradengan warga negara, warga negara denganlembaga negara, lembaga negara dengan lembaganegara, baik yang bersifat intern suatu negaraatau yang bersifat ekstern suatu negara dalamberbagai bidang. Sedangkan menurut AbdulWahab Khallâf:8

Yang termasuk objek pembahasan siyasahadalah pengaturan dan perundang-undanganyang dituntut oleh hal ihwal kenegaraan darisegi persesuaiannya dengan pokok-pokok agama,dan merupakan realisasi kemaslahatan manusiaserta memenuhi kebutuhanya.

Berkenaan dengan luasnya objek kajian fikihhsiyasah, maka dalam tahap perkembangannya,dikenal beberapa pembidangan fikih siyasah yangberkenaan dengan pola hubungan antar manusiayang menuntut pengaturan siyasah, dalam hal inisiyasah dibedakan menjadi tiga yaitu:

1. Siyasah Dusturiyyah adalah siyasah yangmengatur hubungan warga negara denganlembaga negara yang satu dengan warganegara dan lembaga negara yang lain dalambatas-batas administrasi suatu negara.

2. Siyasah Dauliyyah ialah siyasah yang mengaturantara warga negara dengan lembaga negaradari negara yang satu dengan warga negaradan lembaga negara dari negara lain.

3. Siyasah Maliyyah ialah siyasah yang mengaturtentang pemasukan, pengelolaan, danpengeluaran uang milik negara.9

Sedangkan pembidangan yang diajukanoleh Hasbi Ash Shiddieqy10 membaginya menjadidelapan bidang, yaitu Siyasah Dusturiyyah, SiyasahTasyri`iyyah, Siyasah Qadha’iyyah, Siyasah Maliyah,Siyasah Idariyyah, Siyasah Kharijiyyah atau SiyasahDawliyyah, Siyasah Tanfiziyyah, Siyasah Harbiyyah.

Siyasah DusturiyahPermasalahan di dalam siyasah dusturiyah

adalah hubungan antara pemimpin di satu pihakdan rakyatnya di pihak lain serta kelembagaandalam masyarakatnya. Ruang lingkup pembahasansiyasah dusturiyah itu sendiri dibatasi hanya dalampembahasan tentang pengaturan dan perundang-undangan yang dituntut oleh hal ihwal kenegaraandari segi persesuaian dengan prinsip-prinsipagama dan merupakan realisasi kemaslahatanmanusia serta memenuhi kebutuhanya.11 Kata“dusturi” berasal dari bahasa Persia. Semulaartinya adalah seorang yang memiliki otoritas,baik dalam bidang politik maupun agama.

Adapun sumber-sumber siyasah dusturiyahdi antaranya ialah Alquran yaitu ayat-ayat yangberhubungan dengan prinsip-prinsip kehidupanmasyarakat; Hadis, terutama yang berhubungandengan imamah dan kebijaksanaan Rasulullahdalam menerapkan hukum negara; Kebijakan-kebijakan khulafaur rasyidin dalam mengendalikanpemerintahan; Ijtihad para ulama; adat kebiasaansuatu bangsa yang tidak bertentangan denganprinsip-prinsip Alquran dan hadis.

Kepemimpinan dalam SiyasahPada masterpiece-nya yang bertitel al-Ahkâm

al-Sulthâniyyah, al-Mawardi menyatakan bahwakepemimpinan (imâmah) dibentuk untuk tujuanmenjaga agama dan mengatur persoalan dunia.Karena itulah, bagi al-Mawardi membentuksebuah pemerintahan merupakan sesuatu yangfardhu kifâyah secara syara` dan tidak hanyasecara rasional.12

Kepemimpinan dalam negara menurut para

7 Ibnu Qayyim al-Jauziyah, I`lâm al-Muwaqqi`în `an Rabb al-`Âlamîn (Beirut: Dâr al-Jayl. t.th), h. 16.

8 Abdul Wahab Khallâf, al-Siyâsah wa al-Syarî`ah, (Kairo:Dâr Anshar, 1977), h. 5.

9 A. Djazuli, Fiqh Siyasah, h. 48.

10 Hasbi Ash Shiddieqy, Asas-Asas Hukum Tata NegaraMenurut Syari’at Islam, (Jakarta: Matahari Masa, 1976), h. 8.

11 A. Djazuli, Fiqh Siyasah, h. 4712 Abu al-Hasan Ali ibn Muhammad ibn Muhammad

ibn Habîb al-Bashri al-Baghdadi (al-Mawardi), al-Ahkâm al-Sulthâniyah, (Mesir: Musthafâ al-Babiy al-Halabiy. t.th) h. 3.

99 |

Mustofa Hasan: Aplikasi Teori Politik Islam Perspektif Kaidah-Kaidah Fikih

“Siyasah adalah segala perbuatan yang membawamanusia lebih dekat kepada kemaslahatan danlebih jauh dari kemafsadatan, sekalipun Rasulullahtidak menetapkannya dan Allah Swt. tidak me-nentukannya .7

Dari pengertian siyasah di atas, baik secarabahasa maupun istilah, maka dapat diketahuibahwa objek kajian siyasah meliputi aspekpengaturan hubungan antara warga negaradengan warga negara, warga negara denganlembaga negara, lembaga negara dengan lembaganegara, baik yang bersifat intern suatu negaraatau yang bersifat ekstern suatu negara dalamberbagai bidang. Sedangkan menurut AbdulWahab Khallâf:8

Yang termasuk objek pembahasan siyasahadalah pengaturan dan perundang-undanganyang dituntut oleh hal ihwal kenegaraan darisegi persesuaiannya dengan pokok-pokok agama,dan merupakan realisasi kemaslahatan manusiaserta memenuhi kebutuhanya.

Berkenaan dengan luasnya objek kajian fikihhsiyasah, maka dalam tahap perkembangannya,dikenal beberapa pembidangan fikih siyasah yangberkenaan dengan pola hubungan antar manusiayang menuntut pengaturan siyasah, dalam hal inisiyasah dibedakan menjadi tiga yaitu:

1. Siyasah Dusturiyyah adalah siyasah yangmengatur hubungan warga negara denganlembaga negara yang satu dengan warganegara dan lembaga negara yang lain dalambatas-batas administrasi suatu negara.

2. Siyasah Dauliyyah ialah siyasah yang mengaturantara warga negara dengan lembaga negaradari negara yang satu dengan warga negaradan lembaga negara dari negara lain.

3. Siyasah Maliyyah ialah siyasah yang mengaturtentang pemasukan, pengelolaan, danpengeluaran uang milik negara.9

Sedangkan pembidangan yang diajukanoleh Hasbi Ash Shiddieqy10 membaginya menjadidelapan bidang, yaitu Siyasah Dusturiyyah, SiyasahTasyri`iyyah, Siyasah Qadha’iyyah, Siyasah Maliyah,Siyasah Idariyyah, Siyasah Kharijiyyah atau SiyasahDawliyyah, Siyasah Tanfiziyyah, Siyasah Harbiyyah.

Siyasah DusturiyahPermasalahan di dalam siyasah dusturiyah

adalah hubungan antara pemimpin di satu pihakdan rakyatnya di pihak lain serta kelembagaandalam masyarakatnya. Ruang lingkup pembahasansiyasah dusturiyah itu sendiri dibatasi hanya dalampembahasan tentang pengaturan dan perundang-undangan yang dituntut oleh hal ihwal kenegaraandari segi persesuaian dengan prinsip-prinsipagama dan merupakan realisasi kemaslahatanmanusia serta memenuhi kebutuhanya.11 Kata“dusturi” berasal dari bahasa Persia. Semulaartinya adalah seorang yang memiliki otoritas,baik dalam bidang politik maupun agama.

Adapun sumber-sumber siyasah dusturiyahdi antaranya ialah Alquran yaitu ayat-ayat yangberhubungan dengan prinsip-prinsip kehidupanmasyarakat; Hadis, terutama yang berhubungandengan imamah dan kebijaksanaan Rasulullahdalam menerapkan hukum negara; Kebijakan-kebijakan khulafaur rasyidin dalam mengendalikanpemerintahan; Ijtihad para ulama; adat kebiasaansuatu bangsa yang tidak bertentangan denganprinsip-prinsip Alquran dan hadis.

Kepemimpinan dalam SiyasahPada masterpiece-nya yang bertitel al-Ahkâm

al-Sulthâniyyah, al-Mawardi menyatakan bahwakepemimpinan (imâmah) dibentuk untuk tujuanmenjaga agama dan mengatur persoalan dunia.Karena itulah, bagi al-Mawardi membentuksebuah pemerintahan merupakan sesuatu yangfardhu kifâyah secara syara` dan tidak hanyasecara rasional.12

Kepemimpinan dalam negara menurut para

7 Ibnu Qayyim al-Jauziyah, I`lâm al-Muwaqqi`în `an Rabb al-`Âlamîn (Beirut: Dâr al-Jayl. t.th), h. 16.

8 Abdul Wahab Khallâf, al-Siyâsah wa al-Syarî`ah, (Kairo:Dâr Anshar, 1977), h. 5.

9 A. Djazuli, Fiqh Siyasah, h. 48.

10 Hasbi Ash Shiddieqy, Asas-Asas Hukum Tata NegaraMenurut Syari’at Islam, (Jakarta: Matahari Masa, 1976), h. 8.

11 A. Djazuli, Fiqh Siyasah, h. 4712 Abu al-Hasan Ali ibn Muhammad ibn Muhammad

ibn Habîb al-Bashri al-Baghdadi (al-Mawardi), al-Ahkâm al-Sulthâniyah, (Mesir: Musthafâ al-Babiy al-Halabiy. t.th) h. 3.

99 |

Page 4: APLIKASI TEORI POLITIK ISLAM PERSPEKTIF KAIDAH-KAIDAH …

MADANIA Vol. XVIII, No. 1, Juni 2014

ulama bahwa khalifah atau kepala negara haruslahdari suku Quraisy. Selama berabad-abad sukuQuraisy adalah suku terpilih di antara bangsaArab dan non Arab. Hadis yang menyatakan hakkepemimpinan suku Quraisy itu adalah sebagaiberikut:

“Pemerintahan itu masih harus dipegang oleh orangQuraisy walaupun hanya tinggal dua orang”. (H.R.Bukhari)

Dalam sejarah penguasa yang menyebutdirinya sebagai khalifah dan ia bukan dari sukuQuraisy tidak pernah diakui keberadaannya.Khalifah seperti itu menurut para ulama bukanlahkhalifah dalam arti kepala negara yang disebutal-Imâmah.13 Kata-kata khalifah dalam Alquranlebih menunjukkan kepada fungsi manusia secarakeseluruhan dari pada seorang kepala negara.Kata khalifah sebagai kepala negara adalah kepalanegara pengganti Nabi di dalam memeliharaagama dan mengatur dunia. Dia adalah manusiabiasa yang dipercaya umat karena baik dalammenjalankan agamanya, bersifat adil seperti yangtampak pada pribadi Abu Bakar dan khalifahsetelahnya.14

Para ulama Ahlussunnah menyamakan pe-ngertian imamah dan khlilafah. Karena keduanyalebih mendahulukan masalah-masalah agama danmemelihara agama dari pada duniawi. Sedangkandi kalangan Syi`ah, imam ialah shâhib al-haq al-syar`i yang di dalam undang-undang moderndikatakan de jure baik yang langsung memerintahataupun tidak. Adapun lafadz khalifah, mula-mulamenunjukkan kepada yang mempunyai kekuasaandalam kenyataan, walaupun tidak berhak, yangpada masa sekarang disebut de facto.15

harus memenuhi tujuh syarat yaitu:17

1. Adil yang meliputi segala aspeknya.

2. Berilmu pengetahuan sehingga mampumembuat keputusan yang tepat (berijtihad)terhadap berbagai peristiwa dan hukum yangtimbul.

3. Sehat inderanya, seperti penglihatan, pen-dengaran, dan lisannya agar ia mampu me-ngetahui langsung persoalan yang dihadapi.

4. Anggota tubuhnya normal dan tidak cacat.Karena jika cacat, hal itu akan meng-halanginya untuk bergerak dan bertindakdengan cepat.

5. Memiliki kecerdasan yang membuatnyamampu mengatur rakyat dan mengelolakepentingan publik (al-mashlahah).

6. Keberanian dan ketegasan sehingga mampumelindungi pihak yang lemah dan menghadapimusuh.

7. Keturunan dari suku Quraisy, berdasarkanhadis “Para pemimpin berasal dari Quraisy”.18

Ibnu Khaldun juga menguraikan syarat-syarat kepemimpinan (imamah) dalam kitabMuqaddimah-nya. Syarat-syarat itu adalah: 19

a. Pengetahuan tentang hukum-hukum Tuhandan dapat menerapkan dan menguasai hukumtersebut b. Keadilan c. Kesanggupan (capability)d. Sehat jasmani dan rohani e. KeturunanQuraisy.

Al-Mawardi menjelaskan bahwa imamahmerupakan hal yang wajib dalam umat Islamberdasarkan ijmâ`. Sedangkan alasan yangmenjadikan wajibnya imamah tersebut, menurutal-Mawardi terdapat dua pendapat di kalanganumat Islam, yakni sebagian mengemukakan

Al-Mawardi menyebutkan dua hak bagiimamah, yaitu hak untuk ditaati dan hak untukdibantu.16 Adapun ketentuan bagi seseoranguntuk menjadi pemimpin, menurut al-Mawardi

13 Juhaya S, Praja, Filsafat Hukum Islam, h. 89.14 Moh. Yusuf Musa, Nizhâm al-Hukmi fi al-Islâm (Kairo: Dâr

al-Kitab al-`Araby, 1963), h.13315 Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu Kenegaraan dalam Fiqh Islam,

(Jakarta: Bulan Bintang, 1971), h. 37.16 Al-Mawardi, al-Ahkâm al-Sulthâniyah, (Mesir: Musthafâ

al-Babiy al-Halabiy. t.th), h.17.

17 Al-Mawardi, al-Ahkâm al-Sulthâniyah, h. 5.18 H.R. Nasa’i, Ahmad, Hakim, Baihaqi, Thabrani, dan

Abu Ya`la. Lihat misalnya, hadis riwayat Nasâ’i no. 5942 padaAhmad ibn Syu’aib Abu Abdurrahman al-Nasa’i, Musnad al-Nasâ’î al-Kubrâ, (Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1991), juz III,h. 467. Redaksi hadisnya sebagai berikut:

19 Ibnu Khaldun, Muqaddimah, h. 98-100. Program kitabdigital al-Maktabah al-Syâmilah, versi 2.09.

| 100

MADANIA Vol. XVIII, No. 1, Juni 2014

ulama bahwa khalifah atau kepala negara haruslahdari suku Quraisy. Selama berabad-abad sukuQuraisy adalah suku terpilih di antara bangsaArab dan non Arab. Hadis yang menyatakan hakkepemimpinan suku Quraisy itu adalah sebagaiberikut:

“Pemerintahan itu masih harus dipegang oleh orangQuraisy walaupun hanya tinggal dua orang”. (H.R.Bukhari)

Dalam sejarah penguasa yang menyebutdirinya sebagai khalifah dan ia bukan dari sukuQuraisy tidak pernah diakui keberadaannya.Khalifah seperti itu menurut para ulama bukanlahkhalifah dalam arti kepala negara yang disebutal-Imâmah.13 Kata-kata khalifah dalam Alquranlebih menunjukkan kepada fungsi manusia secarakeseluruhan dari pada seorang kepala negara.Kata khalifah sebagai kepala negara adalah kepalanegara pengganti Nabi di dalam memeliharaagama dan mengatur dunia. Dia adalah manusiabiasa yang dipercaya umat karena baik dalammenjalankan agamanya, bersifat adil seperti yangtampak pada pribadi Abu Bakar dan khalifahsetelahnya.14

Para ulama Ahlussunnah menyamakan pe-ngertian imamah dan khlilafah. Karena keduanyalebih mendahulukan masalah-masalah agama danmemelihara agama dari pada duniawi. Sedangkandi kalangan Syi`ah, imam ialah shâhib al-haq al-syar`i yang di dalam undang-undang moderndikatakan de jure baik yang langsung memerintahataupun tidak. Adapun lafadz khalifah, mula-mulamenunjukkan kepada yang mempunyai kekuasaandalam kenyataan, walaupun tidak berhak, yangpada masa sekarang disebut de facto.15

harus memenuhi tujuh syarat yaitu:17

1. Adil yang meliputi segala aspeknya.

2. Berilmu pengetahuan sehingga mampumembuat keputusan yang tepat (berijtihad)terhadap berbagai peristiwa dan hukum yangtimbul.

3. Sehat inderanya, seperti penglihatan, pen-dengaran, dan lisannya agar ia mampu me-ngetahui langsung persoalan yang dihadapi.

4. Anggota tubuhnya normal dan tidak cacat.Karena jika cacat, hal itu akan meng-halanginya untuk bergerak dan bertindakdengan cepat.

5. Memiliki kecerdasan yang membuatnyamampu mengatur rakyat dan mengelolakepentingan publik (al-mashlahah).

6. Keberanian dan ketegasan sehingga mampumelindungi pihak yang lemah dan menghadapimusuh.

7. Keturunan dari suku Quraisy, berdasarkanhadis “Para pemimpin berasal dari Quraisy”.18

Ibnu Khaldun juga menguraikan syarat-syarat kepemimpinan (imamah) dalam kitabMuqaddimah-nya. Syarat-syarat itu adalah: 19

a. Pengetahuan tentang hukum-hukum Tuhandan dapat menerapkan dan menguasai hukumtersebut b. Keadilan c. Kesanggupan (capability)d. Sehat jasmani dan rohani e. KeturunanQuraisy.

Al-Mawardi menjelaskan bahwa imamahmerupakan hal yang wajib dalam umat Islamberdasarkan ijmâ`. Sedangkan alasan yangmenjadikan wajibnya imamah tersebut, menurutal-Mawardi terdapat dua pendapat di kalanganumat Islam, yakni sebagian mengemukakan

Al-Mawardi menyebutkan dua hak bagiimamah, yaitu hak untuk ditaati dan hak untukdibantu.16 Adapun ketentuan bagi seseoranguntuk menjadi pemimpin, menurut al-Mawardi

13 Juhaya S, Praja, Filsafat Hukum Islam, h. 89.14 Moh. Yusuf Musa, Nizhâm al-Hukmi fi al-Islâm (Kairo: Dâr

al-Kitab al-`Araby, 1963), h.13315 Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu Kenegaraan dalam Fiqh Islam,

(Jakarta: Bulan Bintang, 1971), h. 37.16 Al-Mawardi, al-Ahkâm al-Sulthâniyah, (Mesir: Musthafâ

al-Babiy al-Halabiy. t.th), h.17.

17 Al-Mawardi, al-Ahkâm al-Sulthâniyah, h. 5.18 H.R. Nasa’i, Ahmad, Hakim, Baihaqi, Thabrani, dan

Abu Ya`la. Lihat misalnya, hadis riwayat Nasâ’i no. 5942 padaAhmad ibn Syu’aib Abu Abdurrahman al-Nasa’i, Musnad al-Nasâ’î al-Kubrâ, (Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1991), juz III,h. 467. Redaksi hadisnya sebagai berikut:

19 Ibnu Khaldun, Muqaddimah, h. 98-100. Program kitabdigital al-Maktabah al-Syâmilah, versi 2.09.

| 100

MADANIA Vol. XVIII, No. 1, Juni 2014

ulama bahwa khalifah atau kepala negara haruslahdari suku Quraisy. Selama berabad-abad sukuQuraisy adalah suku terpilih di antara bangsaArab dan non Arab. Hadis yang menyatakan hakkepemimpinan suku Quraisy itu adalah sebagaiberikut:

“Pemerintahan itu masih harus dipegang oleh orangQuraisy walaupun hanya tinggal dua orang”. (H.R.Bukhari)

Dalam sejarah penguasa yang menyebutdirinya sebagai khalifah dan ia bukan dari sukuQuraisy tidak pernah diakui keberadaannya.Khalifah seperti itu menurut para ulama bukanlahkhalifah dalam arti kepala negara yang disebutal-Imâmah.13 Kata-kata khalifah dalam Alquranlebih menunjukkan kepada fungsi manusia secarakeseluruhan dari pada seorang kepala negara.Kata khalifah sebagai kepala negara adalah kepalanegara pengganti Nabi di dalam memeliharaagama dan mengatur dunia. Dia adalah manusiabiasa yang dipercaya umat karena baik dalammenjalankan agamanya, bersifat adil seperti yangtampak pada pribadi Abu Bakar dan khalifahsetelahnya.14

Para ulama Ahlussunnah menyamakan pe-ngertian imamah dan khlilafah. Karena keduanyalebih mendahulukan masalah-masalah agama danmemelihara agama dari pada duniawi. Sedangkandi kalangan Syi`ah, imam ialah shâhib al-haq al-syar`i yang di dalam undang-undang moderndikatakan de jure baik yang langsung memerintahataupun tidak. Adapun lafadz khalifah, mula-mulamenunjukkan kepada yang mempunyai kekuasaandalam kenyataan, walaupun tidak berhak, yangpada masa sekarang disebut de facto.15

harus memenuhi tujuh syarat yaitu:17

1. Adil yang meliputi segala aspeknya.

2. Berilmu pengetahuan sehingga mampumembuat keputusan yang tepat (berijtihad)terhadap berbagai peristiwa dan hukum yangtimbul.

3. Sehat inderanya, seperti penglihatan, pen-dengaran, dan lisannya agar ia mampu me-ngetahui langsung persoalan yang dihadapi.

4. Anggota tubuhnya normal dan tidak cacat.Karena jika cacat, hal itu akan meng-halanginya untuk bergerak dan bertindakdengan cepat.

5. Memiliki kecerdasan yang membuatnyamampu mengatur rakyat dan mengelolakepentingan publik (al-mashlahah).

6. Keberanian dan ketegasan sehingga mampumelindungi pihak yang lemah dan menghadapimusuh.

7. Keturunan dari suku Quraisy, berdasarkanhadis “Para pemimpin berasal dari Quraisy”.18

Ibnu Khaldun juga menguraikan syarat-syarat kepemimpinan (imamah) dalam kitabMuqaddimah-nya. Syarat-syarat itu adalah: 19

a. Pengetahuan tentang hukum-hukum Tuhandan dapat menerapkan dan menguasai hukumtersebut b. Keadilan c. Kesanggupan (capability)d. Sehat jasmani dan rohani e. KeturunanQuraisy.

Al-Mawardi menjelaskan bahwa imamahmerupakan hal yang wajib dalam umat Islamberdasarkan ijmâ`. Sedangkan alasan yangmenjadikan wajibnya imamah tersebut, menurutal-Mawardi terdapat dua pendapat di kalanganumat Islam, yakni sebagian mengemukakan

Al-Mawardi menyebutkan dua hak bagiimamah, yaitu hak untuk ditaati dan hak untukdibantu.16 Adapun ketentuan bagi seseoranguntuk menjadi pemimpin, menurut al-Mawardi

13 Juhaya S, Praja, Filsafat Hukum Islam, h. 89.14 Moh. Yusuf Musa, Nizhâm al-Hukmi fi al-Islâm (Kairo: Dâr

al-Kitab al-`Araby, 1963), h.13315 Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu Kenegaraan dalam Fiqh Islam,

(Jakarta: Bulan Bintang, 1971), h. 37.16 Al-Mawardi, al-Ahkâm al-Sulthâniyah, (Mesir: Musthafâ

al-Babiy al-Halabiy. t.th), h.17.

17 Al-Mawardi, al-Ahkâm al-Sulthâniyah, h. 5.18 H.R. Nasa’i, Ahmad, Hakim, Baihaqi, Thabrani, dan

Abu Ya`la. Lihat misalnya, hadis riwayat Nasâ’i no. 5942 padaAhmad ibn Syu’aib Abu Abdurrahman al-Nasa’i, Musnad al-Nasâ’î al-Kubrâ, (Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1991), juz III,h. 467. Redaksi hadisnya sebagai berikut:

19 Ibnu Khaldun, Muqaddimah, h. 98-100. Program kitabdigital al-Maktabah al-Syâmilah, versi 2.09.

| 100

Page 5: APLIKASI TEORI POLITIK ISLAM PERSPEKTIF KAIDAH-KAIDAH …

Mustofa Hasan: Aplikasi Teori Politik Islam Perspektif Kaidah-Kaidah Fikih

wajib dengan akal (rasio). Akal memandangkewajiban imamah ini untuk keselamatan manusiadari tindakan zalim pertikaian (tanâzu`) danpermusuhan (takhâsum). Segolongan yang lainberpendapat bahwa kewajiban imamah denganalasan syar`i karena seorang imam bertugas untukmenegakkan urusan-urusan syari`ah (umûr al-syarî`ah).20

Kedudukan, Hak-hak dan Kewajiban Rakyat

Dalam hal ini, rakyat dalam suatu negaraterdiri dari muslim dan non muslim, yang nonmuslim ada yang disebut dzimmi dan musta`în.Kafir dzimmi adalah warga non muslim yangmenetap selamanya, serta dihormati tidak bolehdiganggu jiwanya, kehormatannya dan hartanya.Sedang musta`in adalah orang asing yang menetapsementara dan juga harus dihormati jiwanya,kehormatannya dan hartanya.

Kafir dzimmi memiliki hak-hak kemanusiaan,hak-hak sipil, dan hak-hak politik. Sedangkanmusta`in tidak memiliki hak-hak politik. Mengenaihak-hak rakyat, menurut Abu al-A`la al-Maududimeliputi perlindungan terhadap hidupnya,hartanya dan kehormatannya, perlindunganterhadap kebebasan pribadi, kebebasan me-nyatakan pendapat dan berkeyakinan, danterjamin kebutuhan pokok hidupnya, dengantidak membedakan kelas dan kepercayaan.

Akibat hak-hak yang diterima oleh rakyat,maka warga mempunyai tugas tertentu atas hak-hak negara. Tugas warga negara yang harus danwajib ditunaikan menurut Abu al-A`la al-Maududiadalah patuh dan taat kepada pemerintah dalambatas yang tidak bertentangan dengan agama,setia kepada negara, rela berkorban untukmembela negara dari bermacam ancaman, danbersedia memenuhi kewajiban materiil yangdibebankan padanya oleh negara.

Demikian kewajiban rakyat dan menyerahkanpelaksanaannya pada negara untuk menjaminkeseimbangan antara dua pihak, yakni rakyat dannegara agar masing-masing hak tidak terlanggaratau mendominasi pihak lainnya.

20 Al-Mawardi, al-Ahkâm al-Sulthâniyah, h. 5.

Wilayah Negara

Wilayah negara ini meliputi bumi, udara,lautan. Dalam hal ini, para fukaha membagidunia menjadi dua bagian yaitu Darul Islam danDarul Harbi. Adanya pembedaan Darul Islamdan Darul Harbi ini, menurut Wahbah al-Zuhailiadalah disebabkan oleh peperangan yang terjadiantara umat Islam dengan non muslim. Karenabanyaknya di antara Darul Islam dan Darul Harbiyang muncul melalui peperangan. Meskipundemikian, pendapat Zuhaili ini tidak sepenuhnyabenar. Ada di antara negara yang lahir secaraalami dan damai. Oleh sebab itu, perlu diamatipandangan ulama lain dalam hal ini. Mayoritas ahlifikih memandang pembagian negara atau wilayahkepada Darul Islam dan Darul Harbi didorongoleh beberapa faktor berikut:

1. Untuk menata dan mengatur kepentinganmuslim secara umum sebagai pemimpindan yang dipimpin di suatu wilayah dalamhubungannya dengan non muslim yangberada di wilayah atau negara yang sama;dan dengan negara atau wilayah yangberdampingan dengannya;

2. Sebagai upaya untuk menerapkan hukumIslam, baik bagi umat Islam sendiri maupunnon-muslim yang berada di wilayah yangberdampingan dengannya;

3. Sebagai usaha ahli fikih untuk merespons danmenata hukum Islam, terutama dalam bidangmuamalat dan munakahat, serta menetapkanhukum hubungan antara negara Islam dengannegara non-Islam dalam berbagai lapangankehidupan.21

Perbedaan antara Darul Islam dan DarulHarbi bukan hanya terletak pada sisi hukumyang berlaku di masing-masing negara tersebut,melainkan juga karena perbedaan penguasaan/pemimpin negara tersebut. Oleh sebab itu,dalam Darul Islam dan Darul Harbi juga terdapatperbedaan kategori. Berdasarkan prinsip-prinsipini, maka suatu Darul Harbi dapat dibagi ke dalamtiga kategori:22

21 Abdul Aziz Dalan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta:Ikhtiar van Hoeve, 1995), Jilid. 1, h. 255.

22 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah; Kontekstualisasi Doktrin

101 |

Page 6: APLIKASI TEORI POLITIK ISLAM PERSPEKTIF KAIDAH-KAIDAH …

MADANIA Vol. XVIII, No. 1, Juni 2014

Pertama, wilayah atau negara yang didalamnya tidak terpenuhi unsur pokok sebagaiDarul Islam, yaitu pemberlakuan hukum Islamdan kekuasaan politik yang berada di tangannon-muslim.

Kedua, wilayah atau negara yang hanyamemenuhi salah satu unsur pokok untuk disebutsebagai Darul Islam, meskipun tidak utuh.Wilayahnya dikuasai oleh non-muslim dan hukumyang berlaku pun bukan hukum Islam. Namun,umat Islam yang menetap di negara tersebutdiberi kelonggaran untuk melaksanakan sebagianhukum Islam, sehingga dapat disebut Darul Islam(menurut Abu Hanifah). Negara dalam bentukini dapat berupa:

a. Darul Harbi yang dipimpin dan dikuasai nonmuslim, namun umat Islam di negara inidiizinkan melaksanakan kewajiban agamanyadan sebagian syiar Islam, seperti salat, zakat,haji, pernikahan dan kewarisan. Kondisi inilahyang dijadikan alasan oleh al-Mawardi (w.450 H) untuk mengelompokkannya ke dalamDarul Islam.23 Muhammad Rasyid Ridhamemperkuat pendapat ini. Berdasarkanpengamatannya terhadap negara-negaraEropa dan Amerika, ia melihat umat Islam diwilayah ini dapat dengan aman menjalankankewajiban agamanya.

b. Wilayah atau negara yang pada mulanyadikuasai umat Islam, tetapi kemudiandiambil alih oleh orang-orang non muslim(kafir), sehingga umat Islam setempatterpaksa tunduk pada mereka, tetapi sesuaidengan kemampuan dan kondisi yangmereka hadapi. Mereka tetap berjuanguntuk memperoleh hak-hak mereka dariorang-orang kafir tersebut. Termasuk dalamkategori ini adalah negara-negara di AsiaTengah yang pernah dicaplok oleh UniSoviet. Setelah negara Beruang Merah inibubar pada akhir 1980-an, negara-negaramuslim tersebut, seperti Uzbekistan,Turkmenistan, Kazakhstan, Tajikistan dan

Azerbaijan bangkit kembali menunjukkanidentitas keislamannya.

c. Wilayah atau negara yang dipimpin olehorang-orang ahli bidah yang menyatakansecara langsung dan tidak langsung keluardari barisan umat Islam yang berpegangkepada Alquran dan Sunah. Dalam bentuklain, wilayah ini dipimpin oleh orang-orangfasik. Mereka masih mengaku sebagai muslim,tetapi tidak menjadikan hukum Islam dalampemerintahannya. Mereka menempatkanhukum ciptaan manusia sebagai aturan yangberlaku. Pemerintahan Darul Harbi ketiga inimembiarkan orang-orang Islam menjalankanhukum Islam yang berhubungan denganmasalah ahwâl al-syakhshiyah (pernikahan,perceraian, dan kewarisan). Ibn Taimiyah (w.729 H) mengidentikkan negara ini dengandâr al-fasiq, karena dipimpin dan didiami olehorang-orang fasik.24

Ketiga, wilayah atau negara yang dikategori-kan sebagai Darul Harbi. Wilayah ini dikuasaioleh pemerintahan yang non muslim dan tidakmemberlakukan hukum Islam. Penduduk muslimyang menetap di sini tidak mendapat kesempatanuntuk menjalankan ajaran agamanya. Darul Harbidalam bentuk ini terbagi dua:

a. Darul Harbi yang menjadi tempat harbiyûndan tidak terikat perjanjian atau hubungandiplomatik dengan negara Islam.

b. Dâr al-Muwada`ah atau Dâr al-Muhadarah, yaitunegara yang dikuasai oleh non muslim danmempunyai ikatan kerja sama atau hubungandiplomatik dengan negara Islam. Merekatidak tunduk ke dalam kekuasaan Islamdan berdaulat penuh terhadap negaranya,namun telah mengadakan perjanjian damai.Perjanjian ini bisa saja terjadi sejak semula,atau sebagai alternatif bagi mereka untukmenghindarkan terjadinya peperangan antaramereka dengan umat Islam. Kategori negaraini disebut juga dengan dâr al-shulh atau dâral-aman.

Politik Islam, (Jakarta: Grafindo Media Persada, 2001), h. 225.23 Ahmad ibn Hajr al-Asqalâni, Fath al-Bârî, (Riyad:

Muhammmad ibn Su`ud al-Islâmiyah, t.th.), Jilid VII, h. 229.

24 Ibn Taimiyah, Al-Fatâwâ al-Kubrâ, (Kairo: Dâr al-Ma`rifah,t.th), Jilid XVIII, h. 382.

| 102

Page 7: APLIKASI TEORI POLITIK ISLAM PERSPEKTIF KAIDAH-KAIDAH …

Mustofa Hasan: Aplikasi Teori Politik Islam Perspektif Kaidah-Kaidah Fikih

Siyasah Dauliyah

Siyasah dauliyah mengatur hubungan antarawarga negara dengan lembaga negara dari negarayang satu dengan warga negara dan lembaganegara dari negara lain.25 Dalam hubunganinternasional, asas damai merupakan asashubungan internasional, alasanya adalah perangitu diperkenankan karena ada sebabnya, yaitumenolak kezaliman, menghilangkan fitnah, dalamrangka mempertahankan diri. Konsekuensi dariasas damai sebagai hukum asal dalam hubunganinternasional adalah perdamaian saling membantudalam kebaikan. Oleh sebab itu, perang tidakdilakukan kecuali dalam keadaan darurat, orangyang tidak ikut berperang tidak boleh diperlakukansebagai musuh, segera menghentikan perangapabila salah satu pihak cenderung kepada damai,memperlakukan tawanan perang dengan caramanusiawi.

Subjek hukum dalam siyasah dauliyah adalahnegara, setiap negara mempunyai kewajiban.Kewajiban terpenting adalah menghormati hak-hak negara lain dan melaksanakan perjanjian yangtelah dibuat. Semua negara yang ada di dunia iniadalah bertetangga, karena itu dalam hubunganantar negara diterapkan kewajiban menghormatinegara sebagai tetangga negara. Landasan darikewajiban tersebut adalah:

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mem-persekutukan-Nya dengan sesuatu pun, danberbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak,karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orangmiskin, tetangga yang dekat dan tetanggayang jauh dan teman sejawat, ibnu sabil danhamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidakmenyukai orang-orang yang sombong danmembangga-banggakan diri.

Sedangkan mengenai perjanjian antar negarayang diistilahkan dengan al-ittifaq (kesepakatan)terdapat syarat-syarat tertentu yang mengikatsuatu perjanjian seperti yang mengadakanperjanjian memiliki kewenangan, kerelaan darikedua belah pihak, isi perjanjian dan objeknyatidak dilarang oleh syariat Islam, penulisanperjanjian, menaati perjanjian.26

25 A. Djazuli, Fiqh Siyasah, h. 31.26 A. Djazuli, Fiqh Siyasah, h. 137-139.

Hubungan internasional dalam peperanganjuga diatur dalam siyasah dauliyah ini. Dalamkondisi perang, keadaan darurat itu sangat nyatapilihannya hanya dua membunuh dan dibunuh.Itulah hukum perang yang nyata, hanya sajakaum muslimin yang berjihad fisabilillah tahupersis sesuai dengan pandangan hidupnya, untukagama dia berperang, dan apa makna syahid dimedan perang, karena itu sangat penting untukdiketahui kenapa perang harus terjadi, apakahperang dalam Islam untuk mempertahankan diri,perang dalam rangka dakwah atau perang untukmelindungi hak negara yang sah yang dilanggaroleh suatu negara lainnya tanpa sebab yang dapatditerima.

Perang yang tidak sah menurut Ali Manshûradalah suatu peperangan yang bermaksud untukmemperluas wilayah, perluasan pengaruh, dankeinginan untuk menduduki dan menguasainegara lain.27 Peperangan dalam siyasah dauliyahdisertai dengan aturan aturan yang dibenarkandalam Islam, di antaranya yaitu:

a. Adanya pengumuman perang yang me-mungkinkan sampainya berita itu kepadamusuh.

b. Adanya etika dan aturan dalam peperanganseperti dilarang membunuh anak-anak,dilarang membunuh wanita-wanita yang tidakikut berperang, dilarang juga memperkosa.

c. Dilarang membunuh orang yang sudahtua apabila orang-orang tua itu tidak ikutberperang.

d. Tidak merusak pohon, sawah, dan ladang.

e. Tidak merusak binatang ternak.

f. Tidak menghancurkan rumah-rumah per-ibadatan.

g. Dilarang mencincang mayat musuh.

h. Dilarang membunuh pemuka agama.

i. Tidak melampaui batas.28

Peperangan bisa dihentikan dengan upaya-upaya untuk segera menghentikan peperangan.

27 Ali Manshûr, al-Syarî`ah al-Islâmiyah wa al-Qânûn al-Duwali al-`âm, (al-Qâhirah: Majlis al-A`la li al-Syu’ûn al-Islâmiyah,1971), h. 371.

28 A. Djazuli, Fiqh Siyasah, h. 149-150.

103 |

Page 8: APLIKASI TEORI POLITIK ISLAM PERSPEKTIF KAIDAH-KAIDAH …

MADANIA Vol. XVIII, No. 1, Juni 2014

Penghentian peperangna bisa terjadi denganberbagai kemungkinan, antara lain peperanganbisa dihentikan karena tercapainya tujuan perang,atau peperangan dihentikan dengan adanyaperjanjian damai. Sedangkan perjanjian dapatdibatalkan apabila musuh mengkhianati janji yangtelah dibuat dan disetujui.

Siyasah Maliyah

Pengaturan dalam siyasah maliyah diorientasi-kan untuk mengatur kemaslahatan masyarakat.Di dalam siyasah maliyah di antaranya mengaturhubungan dengan masyarakat yang menyangkutharta. Konsep tentang sumber-sumber pemasukandan kaidah-kaidah dalam pembelanjaan keuangannegara ini merupakan salah satu butir pemikiranfukaha yang cukup penting.

Dalam buku al-Siyâsah, Ibnu Taimiyah banyakmenyoroti tentang perekonomian negara yangsecara gamblang membahas tentang sumberpemasukan dan pendistribusian keuangan negara.Menurutnya, sumber keuangan negara terdiridari zakat, ghanimah, dan fai’. Sumber-sumberlainnya yang tidak termasuk kategori zakatdan ghanimah, dimasukkan dalam istilah fai’.Sedangkan prinsip dalam pembelanjaan keuangannegara berpijak pada skala prioritas menuruttingkat kemaslahatan yang paling tinggi bagirakyat, yang alokasinya diberikan dalam bentukgaji, subsidi, pembangunan, dan lain-lain.29

Berbeda dengan pandangan Ibnu Taimiyahdi atas, pandangan al-Mawardi relatif lebih detildan operasional. Bagi al-Mawardi, sumber-sumberpemasukan keuangan negara sangat beragam,baik yang bersifat normatif seperti zakat,ghanimah, dan fai’, maupun yang ijtihadi, sepertijizyah, kharaj, `usyr dan lain-lain.30 Pemaparanyang operasional terlihat dalam penjelasan al-Mawardi bahwa seluruh kegiatan pemasukandan pembelanjaan keuangan negara dilakukandengan sistem pengadministrasian (diwan) yangketat dalam hubungannya dengan kedudukan

dari empat bagian, yaitu bagian yang mengurusidata diri tentara dan besaran gajinya, bagianpencatatan wilayah-wilayah yang berada dalamkekuasaan negara Islam, bagian pencatatanpegawai negara dan bagian pencatatan baitulmal.31

Pengaturan harta dalam siyasah maliyahmengacu pada prinsip-prinsip yang digali dariAlquran dan hadis. Prinsip-prinsip tersebutadalah:

a. Prinsip tauhid dan isti`mâr, yaitu pandanganbahwa hanya Allah yang menciptakan alamsemesta dan disediakan untuk manusia.

b. Prinsip distribusi rizki, yaitu pandangan bahwaharta kekayaan adalah rizki dari Allah.

c. Prinsip mendahulukan kemaslahatan umum,yaitu pandangan bahwa harta kekayaan ituhakikatnya milik Allah.32

Kaidah-kaidah Fikih dalam al-Nazhariyahal-Siyâsiyah

Seperti diketahui bahwa fikih siyasah adalahhukum Islam yang objek bahasannya tentangkekuasaan. Apabila disederhanakan, fikih siyasahmeliputi hukum tata negara, administrasi negara,hukum internasional, dan hukum ekonomi. Apabiladilihat dari sisi hubungan, fikih siyasah berbicaratentang hubungan antara rakyat dan pemimpin-pemimpinnya sebagai penguasa yang konkrit didalam ruang lingkup satu negara atau antarnegaraatau dalam kebijakan-kebijakan ekonominyabaik nasional maupun internasional. Di antarabeberapa kaidah fikih di bidang fikih siyasah yangdianggap penting untuk diketahui:

1.

“Kebijakan seorang pemimpin terhadaprakyatnya bergantung kepada kemaslahatan”33

Memperkuat kaidah ini, apa yang dikatakanoleh Umar bin Khattab yang diriwayatkan olehSa`id bin Manshûr:

baitul mal. Menurutnya, adminitrasi negara terdiri31 Abu Hasan al-Mawardi, al-Ahkâm al-Sulthâniyah, h. 389.

29 Ibnu Taimiyah, Al-Siyâsah al-Syar`iyyah fi Ishlâh al-Râ`i waal-Ra`iyyah, (Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1988), h. 256.

30 Abu Hasan al-Mawardi, al-Ahkâm al-Sulthâniyah, h.248-300.

32 A. Djazuli, Lembaga-lembaga Perekonomian, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 287-288.

33 Imam Tajjuddin Abd al Wahab al-Subki, al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir, (Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyah, 1991), h. 137.

| 104

MADANIA Vol. XVIII, No. 1, Juni 2014

Penghentian peperangna bisa terjadi denganberbagai kemungkinan, antara lain peperanganbisa dihentikan karena tercapainya tujuan perang,atau peperangan dihentikan dengan adanyaperjanjian damai. Sedangkan perjanjian dapatdibatalkan apabila musuh mengkhianati janji yangtelah dibuat dan disetujui.

Siyasah Maliyah

Pengaturan dalam siyasah maliyah diorientasi-kan untuk mengatur kemaslahatan masyarakat.Di dalam siyasah maliyah di antaranya mengaturhubungan dengan masyarakat yang menyangkutharta. Konsep tentang sumber-sumber pemasukandan kaidah-kaidah dalam pembelanjaan keuangannegara ini merupakan salah satu butir pemikiranfukaha yang cukup penting.

Dalam buku al-Siyâsah, Ibnu Taimiyah banyakmenyoroti tentang perekonomian negara yangsecara gamblang membahas tentang sumberpemasukan dan pendistribusian keuangan negara.Menurutnya, sumber keuangan negara terdiridari zakat, ghanimah, dan fai’. Sumber-sumberlainnya yang tidak termasuk kategori zakatdan ghanimah, dimasukkan dalam istilah fai’.Sedangkan prinsip dalam pembelanjaan keuangannegara berpijak pada skala prioritas menuruttingkat kemaslahatan yang paling tinggi bagirakyat, yang alokasinya diberikan dalam bentukgaji, subsidi, pembangunan, dan lain-lain.29

Berbeda dengan pandangan Ibnu Taimiyahdi atas, pandangan al-Mawardi relatif lebih detildan operasional. Bagi al-Mawardi, sumber-sumberpemasukan keuangan negara sangat beragam,baik yang bersifat normatif seperti zakat,ghanimah, dan fai’, maupun yang ijtihadi, sepertijizyah, kharaj, `usyr dan lain-lain.30 Pemaparanyang operasional terlihat dalam penjelasan al-Mawardi bahwa seluruh kegiatan pemasukandan pembelanjaan keuangan negara dilakukandengan sistem pengadministrasian (diwan) yangketat dalam hubungannya dengan kedudukan

dari empat bagian, yaitu bagian yang mengurusidata diri tentara dan besaran gajinya, bagianpencatatan wilayah-wilayah yang berada dalamkekuasaan negara Islam, bagian pencatatanpegawai negara dan bagian pencatatan baitulmal.31

Pengaturan harta dalam siyasah maliyahmengacu pada prinsip-prinsip yang digali dariAlquran dan hadis. Prinsip-prinsip tersebutadalah:

a. Prinsip tauhid dan isti`mâr, yaitu pandanganbahwa hanya Allah yang menciptakan alamsemesta dan disediakan untuk manusia.

b. Prinsip distribusi rizki, yaitu pandangan bahwaharta kekayaan adalah rizki dari Allah.

c. Prinsip mendahulukan kemaslahatan umum,yaitu pandangan bahwa harta kekayaan ituhakikatnya milik Allah.32

Kaidah-kaidah Fikih dalam al-Nazhariyahal-Siyâsiyah

Seperti diketahui bahwa fikih siyasah adalahhukum Islam yang objek bahasannya tentangkekuasaan. Apabila disederhanakan, fikih siyasahmeliputi hukum tata negara, administrasi negara,hukum internasional, dan hukum ekonomi. Apabiladilihat dari sisi hubungan, fikih siyasah berbicaratentang hubungan antara rakyat dan pemimpin-pemimpinnya sebagai penguasa yang konkrit didalam ruang lingkup satu negara atau antarnegaraatau dalam kebijakan-kebijakan ekonominyabaik nasional maupun internasional. Di antarabeberapa kaidah fikih di bidang fikih siyasah yangdianggap penting untuk diketahui:

1.

“Kebijakan seorang pemimpin terhadaprakyatnya bergantung kepada kemaslahatan”33

Memperkuat kaidah ini, apa yang dikatakanoleh Umar bin Khattab yang diriwayatkan olehSa`id bin Manshûr:

baitul mal. Menurutnya, adminitrasi negara terdiri31 Abu Hasan al-Mawardi, al-Ahkâm al-Sulthâniyah, h. 389.

29 Ibnu Taimiyah, Al-Siyâsah al-Syar`iyyah fi Ishlâh al-Râ`i waal-Ra`iyyah, (Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1988), h. 256.

30 Abu Hasan al-Mawardi, al-Ahkâm al-Sulthâniyah, h.248-300.

32 A. Djazuli, Lembaga-lembaga Perekonomian, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 287-288.

33 Imam Tajjuddin Abd al Wahab al-Subki, al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir, (Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyah, 1991), h. 137.

| 104

MADANIA Vol. XVIII, No. 1, Juni 2014

Penghentian peperangna bisa terjadi denganberbagai kemungkinan, antara lain peperanganbisa dihentikan karena tercapainya tujuan perang,atau peperangan dihentikan dengan adanyaperjanjian damai. Sedangkan perjanjian dapatdibatalkan apabila musuh mengkhianati janji yangtelah dibuat dan disetujui.

Siyasah Maliyah

Pengaturan dalam siyasah maliyah diorientasi-kan untuk mengatur kemaslahatan masyarakat.Di dalam siyasah maliyah di antaranya mengaturhubungan dengan masyarakat yang menyangkutharta. Konsep tentang sumber-sumber pemasukandan kaidah-kaidah dalam pembelanjaan keuangannegara ini merupakan salah satu butir pemikiranfukaha yang cukup penting.

Dalam buku al-Siyâsah, Ibnu Taimiyah banyakmenyoroti tentang perekonomian negara yangsecara gamblang membahas tentang sumberpemasukan dan pendistribusian keuangan negara.Menurutnya, sumber keuangan negara terdiridari zakat, ghanimah, dan fai’. Sumber-sumberlainnya yang tidak termasuk kategori zakatdan ghanimah, dimasukkan dalam istilah fai’.Sedangkan prinsip dalam pembelanjaan keuangannegara berpijak pada skala prioritas menuruttingkat kemaslahatan yang paling tinggi bagirakyat, yang alokasinya diberikan dalam bentukgaji, subsidi, pembangunan, dan lain-lain.29

Berbeda dengan pandangan Ibnu Taimiyahdi atas, pandangan al-Mawardi relatif lebih detildan operasional. Bagi al-Mawardi, sumber-sumberpemasukan keuangan negara sangat beragam,baik yang bersifat normatif seperti zakat,ghanimah, dan fai’, maupun yang ijtihadi, sepertijizyah, kharaj, `usyr dan lain-lain.30 Pemaparanyang operasional terlihat dalam penjelasan al-Mawardi bahwa seluruh kegiatan pemasukandan pembelanjaan keuangan negara dilakukandengan sistem pengadministrasian (diwan) yangketat dalam hubungannya dengan kedudukan

dari empat bagian, yaitu bagian yang mengurusidata diri tentara dan besaran gajinya, bagianpencatatan wilayah-wilayah yang berada dalamkekuasaan negara Islam, bagian pencatatanpegawai negara dan bagian pencatatan baitulmal.31

Pengaturan harta dalam siyasah maliyahmengacu pada prinsip-prinsip yang digali dariAlquran dan hadis. Prinsip-prinsip tersebutadalah:

a. Prinsip tauhid dan isti`mâr, yaitu pandanganbahwa hanya Allah yang menciptakan alamsemesta dan disediakan untuk manusia.

b. Prinsip distribusi rizki, yaitu pandangan bahwaharta kekayaan adalah rizki dari Allah.

c. Prinsip mendahulukan kemaslahatan umum,yaitu pandangan bahwa harta kekayaan ituhakikatnya milik Allah.32

Kaidah-kaidah Fikih dalam al-Nazhariyahal-Siyâsiyah

Seperti diketahui bahwa fikih siyasah adalahhukum Islam yang objek bahasannya tentangkekuasaan. Apabila disederhanakan, fikih siyasahmeliputi hukum tata negara, administrasi negara,hukum internasional, dan hukum ekonomi. Apabiladilihat dari sisi hubungan, fikih siyasah berbicaratentang hubungan antara rakyat dan pemimpin-pemimpinnya sebagai penguasa yang konkrit didalam ruang lingkup satu negara atau antarnegaraatau dalam kebijakan-kebijakan ekonominyabaik nasional maupun internasional. Di antarabeberapa kaidah fikih di bidang fikih siyasah yangdianggap penting untuk diketahui:

1.

“Kebijakan seorang pemimpin terhadaprakyatnya bergantung kepada kemaslahatan”33

Memperkuat kaidah ini, apa yang dikatakanoleh Umar bin Khattab yang diriwayatkan olehSa`id bin Manshûr:

baitul mal. Menurutnya, adminitrasi negara terdiri31 Abu Hasan al-Mawardi, al-Ahkâm al-Sulthâniyah, h. 389.

29 Ibnu Taimiyah, Al-Siyâsah al-Syar`iyyah fi Ishlâh al-Râ`i waal-Ra`iyyah, (Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1988), h. 256.

30 Abu Hasan al-Mawardi, al-Ahkâm al-Sulthâniyah, h.248-300.

32 A. Djazuli, Lembaga-lembaga Perekonomian, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 287-288.

33 Imam Tajjuddin Abd al Wahab al-Subki, al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir, (Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyah, 1991), h. 137.

| 104

Page 9: APLIKASI TEORI POLITIK ISLAM PERSPEKTIF KAIDAH-KAIDAH …

Mustofa Hasan: Aplikasi Teori Politik Islam Perspektif Kaidah-Kaidah Fikih

“Sungguh aku menempatkan diri dalam mengurusharta Allah seperti kedudukan seorang wali anakyatim, jika aku membutuhkan, aku mengambildaripadanya, jika aku dalam kemudahan, akumengembalikannya, dan jika aku berkecukupan,aku menjauhinya”.

Kaidah ini menegaskan bahwa seorangpemimpin harus berorientasi kepada kemaslahat-an rakyat, bukan mengikuti keinginan hawanafsunya dan keinginan keluarga atau kelompok-nya. Kaidah ini juga dikuatkan oleh surat al-Nisâ’ ayat 58. Banyak contoh yang berhubungandengan kaidah tersebut yaitu setiap kebijakanyang maslahat dan manfaat bagi rakyat, makaitulah yang harus direncanakan, dilaksanakan,diorganisasikan, dan dinilai atau dievaluasikemajuan nya. Sebalikn ya, kebijakan yangmendatangkan mafsadah dan memudaratkanrakyat, itulah yang harus disingkirkan dan dijauhi.Dalam upaya-upaya pembangunan misalnya,membuat irigasi kepada para petani, membukalapangan kerja yang padat karya, melindungihutan lindung, menjaga lingkungan, mengangkatpegawai-pegawai yang amanah dan professional,dan lain sebagainya.

Sebab melanggar salah satunya berarti melanggarkeseluruhannya.

3.

“Seorang pemimpin itu salah dalam memberimaaf lebih baik daripada salah dalam meng-hukum”.

Kaidah ini sama dengan ungkapan hadis yangdiriwayatkan oleh al-Tirmidzi. Maksud kaidahtersebut di atas menegaskan bahwa kehati-hatiandalam mengambil keputusan sangatlah penting.Jangan sampai akibat dari keputusan pemimpinmengakibatkan kemunduran kepada rakyat danbawahannya. Apabila seorang pemimpin masihragu karena belum ada bukti yang meyakinkanantara memberi maaf atau menjatuhkan hukuman,maka yang terbaik adalah memberi maaf. Tetapiapabila sudah jelas dan meyakinkan bukti-buktinya,maka seorang pemimpin harus berani dan tegasmengambil keputusan sesuai dengan kaidah:

“Didahulukan dalam setiap kekuasaan, orang yangberani menegakkan hak atau kebenaran ataukemaslahatan”.

Ibnu Taimiyah menyimpulkan dengan:

2.

“Perbuatan khianat itu tidak terbagi-bagi”34

Apabila seseorang tidak melaksanakan ataukhianat terhadap salah satu amanah yang di-bebankan kepadanya, maka ia harus dipecat darikeseluruhan amanah yang dibebankan kepadanya.Contohnya, seorang kepala daerah memilikibanyak amanah yang dibebankan kepadanya,baik tentang keuangan, kepegawaian, maupuntentang kebijakan yang arif dan bijaksana. Apabilaia menyalahgunakan wewenangnya, misalnyadibidang keuangan dengan melakukan korupsi,maka ia harus di hukum dan dipecat. Artinyaseluruh amanah lain yang dibebankan kepadanya,karena jabatannya itu menjadi lepas semuanya.

“Memilih yang representatif atau yang lebihrepresentatif lagi”. 35

4.

“Kekuasaan yang khusus lebih kuat (kedudukan-nya) dari pada kekuasaan yang umum”.36

Dalam fikih siyasah ada pembagian kekuasaansejak zaman kekhalifahan. Pembagian kekuasaanitu terus berkembang, maka muncul berbagailembaga kekuasaan dalam suatu negara. Adakhalifah sebagai lembaga kekuasaan eksekutif,ada lembaga legislatif dan lembaga yudikatif.Bahkan ada lembaga pengawasan.Maksud kaidahtersebut tersebut di atas bahwa lembaga-lembaga

34 Asymuni A Rahman, Qaidah-qaidah Fiqh, (Jakarta: BulanBintang, 1976), h. 75

35 Ibnu Taimiyah, al-Siyâsah al-Syar`iyah…, h. 14.36 Asymuni A. Rahman, Qaidah-qaidah Fiqh, h. 132.

105 |

Mustofa Hasan: Aplikasi Teori Politik Islam Perspektif Kaidah-Kaidah Fikih

“Sungguh aku menempatkan diri dalam mengurusharta Allah seperti kedudukan seorang wali anakyatim, jika aku membutuhkan, aku mengambildaripadanya, jika aku dalam kemudahan, akumengembalikannya, dan jika aku berkecukupan,aku menjauhinya”.

Kaidah ini menegaskan bahwa seorangpemimpin harus berorientasi kepada kemaslahat-an rakyat, bukan mengikuti keinginan hawanafsunya dan keinginan keluarga atau kelompok-nya. Kaidah ini juga dikuatkan oleh surat al-Nisâ’ ayat 58. Banyak contoh yang berhubungandengan kaidah tersebut yaitu setiap kebijakanyang maslahat dan manfaat bagi rakyat, makaitulah yang harus direncanakan, dilaksanakan,diorganisasikan, dan dinilai atau dievaluasikemajuan nya. Sebalikn ya, kebijakan yangmendatangkan mafsadah dan memudaratkanrakyat, itulah yang harus disingkirkan dan dijauhi.Dalam upaya-upaya pembangunan misalnya,membuat irigasi kepada para petani, membukalapangan kerja yang padat karya, melindungihutan lindung, menjaga lingkungan, mengangkatpegawai-pegawai yang amanah dan professional,dan lain sebagainya.

Sebab melanggar salah satunya berarti melanggarkeseluruhannya.

3.

“Seorang pemimpin itu salah dalam memberimaaf lebih baik daripada salah dalam meng-hukum”.

Kaidah ini sama dengan ungkapan hadis yangdiriwayatkan oleh al-Tirmidzi. Maksud kaidahtersebut di atas menegaskan bahwa kehati-hatiandalam mengambil keputusan sangatlah penting.Jangan sampai akibat dari keputusan pemimpinmengakibatkan kemunduran kepada rakyat danbawahannya. Apabila seorang pemimpin masihragu karena belum ada bukti yang meyakinkanantara memberi maaf atau menjatuhkan hukuman,maka yang terbaik adalah memberi maaf. Tetapiapabila sudah jelas dan meyakinkan bukti-buktinya,maka seorang pemimpin harus berani dan tegasmengambil keputusan sesuai dengan kaidah:

“Didahulukan dalam setiap kekuasaan, orang yangberani menegakkan hak atau kebenaran ataukemaslahatan”.

Ibnu Taimiyah menyimpulkan dengan:

2.

“Perbuatan khianat itu tidak terbagi-bagi”34

Apabila seseorang tidak melaksanakan ataukhianat terhadap salah satu amanah yang di-bebankan kepadanya, maka ia harus dipecat darikeseluruhan amanah yang dibebankan kepadanya.Contohnya, seorang kepala daerah memilikibanyak amanah yang dibebankan kepadanya,baik tentang keuangan, kepegawaian, maupuntentang kebijakan yang arif dan bijaksana. Apabilaia menyalahgunakan wewenangnya, misalnyadibidang keuangan dengan melakukan korupsi,maka ia harus di hukum dan dipecat. Artinyaseluruh amanah lain yang dibebankan kepadanya,karena jabatannya itu menjadi lepas semuanya.

“Memilih yang representatif atau yang lebihrepresentatif lagi”. 35

4.

“Kekuasaan yang khusus lebih kuat (kedudukan-nya) dari pada kekuasaan yang umum”.36

Dalam fikih siyasah ada pembagian kekuasaansejak zaman kekhalifahan. Pembagian kekuasaanitu terus berkembang, maka muncul berbagailembaga kekuasaan dalam suatu negara. Adakhalifah sebagai lembaga kekuasaan eksekutif,ada lembaga legislatif dan lembaga yudikatif.Bahkan ada lembaga pengawasan.Maksud kaidahtersebut tersebut di atas bahwa lembaga-lembaga

34 Asymuni A Rahman, Qaidah-qaidah Fiqh, (Jakarta: BulanBintang, 1976), h. 75

35 Ibnu Taimiyah, al-Siyâsah al-Syar`iyah…, h. 14.36 Asymuni A. Rahman, Qaidah-qaidah Fiqh, h. 132.

105 |

Mustofa Hasan: Aplikasi Teori Politik Islam Perspektif Kaidah-Kaidah Fikih

“Sungguh aku menempatkan diri dalam mengurusharta Allah seperti kedudukan seorang wali anakyatim, jika aku membutuhkan, aku mengambildaripadanya, jika aku dalam kemudahan, akumengembalikannya, dan jika aku berkecukupan,aku menjauhinya”.

Kaidah ini menegaskan bahwa seorangpemimpin harus berorientasi kepada kemaslahat-an rakyat, bukan mengikuti keinginan hawanafsunya dan keinginan keluarga atau kelompok-nya. Kaidah ini juga dikuatkan oleh surat al-Nisâ’ ayat 58. Banyak contoh yang berhubungandengan kaidah tersebut yaitu setiap kebijakanyang maslahat dan manfaat bagi rakyat, makaitulah yang harus direncanakan, dilaksanakan,diorganisasikan, dan dinilai atau dievaluasikemajuan nya. Sebalikn ya, kebijakan yangmendatangkan mafsadah dan memudaratkanrakyat, itulah yang harus disingkirkan dan dijauhi.Dalam upaya-upaya pembangunan misalnya,membuat irigasi kepada para petani, membukalapangan kerja yang padat karya, melindungihutan lindung, menjaga lingkungan, mengangkatpegawai-pegawai yang amanah dan professional,dan lain sebagainya.

Sebab melanggar salah satunya berarti melanggarkeseluruhannya.

3.

“Seorang pemimpin itu salah dalam memberimaaf lebih baik daripada salah dalam meng-hukum”.

Kaidah ini sama dengan ungkapan hadis yangdiriwayatkan oleh al-Tirmidzi. Maksud kaidahtersebut di atas menegaskan bahwa kehati-hatiandalam mengambil keputusan sangatlah penting.Jangan sampai akibat dari keputusan pemimpinmengakibatkan kemunduran kepada rakyat danbawahannya. Apabila seorang pemimpin masihragu karena belum ada bukti yang meyakinkanantara memberi maaf atau menjatuhkan hukuman,maka yang terbaik adalah memberi maaf. Tetapiapabila sudah jelas dan meyakinkan bukti-buktinya,maka seorang pemimpin harus berani dan tegasmengambil keputusan sesuai dengan kaidah:

“Didahulukan dalam setiap kekuasaan, orang yangberani menegakkan hak atau kebenaran ataukemaslahatan”.

Ibnu Taimiyah menyimpulkan dengan:

2.

“Perbuatan khianat itu tidak terbagi-bagi”34

Apabila seseorang tidak melaksanakan ataukhianat terhadap salah satu amanah yang di-bebankan kepadanya, maka ia harus dipecat darikeseluruhan amanah yang dibebankan kepadanya.Contohnya, seorang kepala daerah memilikibanyak amanah yang dibebankan kepadanya,baik tentang keuangan, kepegawaian, maupuntentang kebijakan yang arif dan bijaksana. Apabilaia menyalahgunakan wewenangnya, misalnyadibidang keuangan dengan melakukan korupsi,maka ia harus di hukum dan dipecat. Artinyaseluruh amanah lain yang dibebankan kepadanya,karena jabatannya itu menjadi lepas semuanya.

“Memilih yang representatif atau yang lebihrepresentatif lagi”. 35

4.

“Kekuasaan yang khusus lebih kuat (kedudukan-nya) dari pada kekuasaan yang umum”.36

Dalam fikih siyasah ada pembagian kekuasaansejak zaman kekhalifahan. Pembagian kekuasaanitu terus berkembang, maka muncul berbagailembaga kekuasaan dalam suatu negara. Adakhalifah sebagai lembaga kekuasaan eksekutif,ada lembaga legislatif dan lembaga yudikatif.Bahkan ada lembaga pengawasan.Maksud kaidahtersebut tersebut di atas bahwa lembaga-lembaga

34 Asymuni A Rahman, Qaidah-qaidah Fiqh, (Jakarta: BulanBintang, 1976), h. 75

35 Ibnu Taimiyah, al-Siyâsah al-Syar`iyah…, h. 14.36 Asymuni A. Rahman, Qaidah-qaidah Fiqh, h. 132.

105 |

Page 10: APLIKASI TEORI POLITIK ISLAM PERSPEKTIF KAIDAH-KAIDAH …

MADANIA Vol. XVIII, No. 1, Juni 2014

yang khusus lebih kuat kekuasaannya dari padalembaga yang umum. Contohnya Camat lebihkuat kekuasaannya dalam wilayahnya daripadakepala desa; wali nasab lebih kuat kekuasaannyaterhadap anaknya dari pada lembaga peradilanagama, dan seterusnya.

5.

“Tidak dterima di negeri muslim pernyataantidak tahu hukum”.37

Sudah tentu yang dimaksud tidak tahuhukum di sini adalah hukum yang bersifat umumkarena mesyarakat mestinya mengetahui, sepertihukum mentaati ulil amri adalah wajib, zakat ituwajib, dan lain sebagainya.

6.

“Hukum asal dalam hubungan antar negaraadalah perdamaian”.38

Ajaran Islam baik dalam hubungan antaramanusia maupun antara negara adalah perdamaian.Perang hanya dilakukan untuk melakukanpertahanan diri. Perang bersifat temporer dandilakukan ketika satu-satunya penyelesaianadalah perang. Perang itu karena darurat. Olehsebab itu, harus memenuhi persyaratan darurat.Apabila terpaksa terjadi perang, harus diupayakankembali kepada perdamaian, baik dengan carapenghentian sementara, perjanjian, dan denganmelalui lembaga arbitrase.

7.

melakukan riba dan sebagainya. Selain itu, diaharus tetap salat, puasa, memegang amanah,dan lain sebagainya.

8.

“Setiap perjanjian dengan orang non muslimharus dihormati seperti dihormatinya perjanjiansemua muslim”.40

Kaidah ini berlaku dalam akad, perjanjian,atau transaksi antara individu muslim dan nonmuslim dan antara negeri muslim dan non muslimsecara bilateral atau unilateral.

9.

“Pungutan harus disertai dengan perlindungan”.

Kaidah ini menegaskan bahwa setiap pungut-an berupa harta dari rakyat, baik berupa zakat,rikaz, ma`dun, kharaj, wajib disertai denganperlindungan dari pemerintah kepada wargayang sudah mengeluarkannya. Pemerintah tidakpunya hak untuk memungut tanpa melindungirakyatnya. Apabila tidak ada perlindungandari pemerintah terhadap rakyatnya, makapemerintah tidak berhak memungut apa pun darirakyatnya. Yang dimaksud dengan perlindunganini adalah rakyat harus dilindungi hartanya,darahnya dan kehormatannya. Termasuk didalamnya menciptakan kondisi keamanan yangmenyeluruh agar bisa berusaha, bekerja dalamlapangan kerja yang halal, serta membangunsarana dan prasarana untuk kesejahteraanrakyatnya.

“Setiap barang yang tidak sah dijual belikandi negeri Islam, maka tidak sah pula dilakukandi negeri harbi”.39

Negara harbi adalah negara yang sedangberperang dengan negara Islam. Kaidah ini

10.

“Keluar dari perbedaan pendapat adalahdisenangi”41.

Dalam kehidupan bersama sering terjadidipakai oleh mazhab Maliki dan Syafi`i. Kaidahini berkaitan dengan nasionalitas. Artinya, dimanapun berada, barang-barang yang haram tetapharam hukumnya. Jadi seorang muslim yangpergi ke luar negeri, tetap haram baginya makandaging babi, minum minuman yang memabukkan,

perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat inipenting dalam memberi alternatif pemecahanmasalah. Tetapi, kembali kepada kesepakatanitu disenangi, setelah terjadi terjadi perbedaanpendapat tadi, ini agar kehidupan masyarakatmenjadi tenang kembali.

37 Abd. al-Qadîr Audah, al-Islâm wa Awdhâ’unâ al-Siyâsah,(Kairo: Dâr al-Kutub al-`Arabi, 1957), h. 431.

38 Ali Manshûr, al-Syari’ah al-Islamiyah…, h. 137-13839 Abdul Wahab Khallâf, al-Siyâsah al-Syar`iyah, (Kairo: Dâr

al-Anshâr, 1977), h. 264.

40 Ali Ahmad al-Nadwi, al-Qawâ`id al-Fiqhiyah, (Beirut: Dâral-Qalam, 1998), h. 113.

41 Al-Suyûthî, Al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir fi Qawâ`id wa Furu`Fiqh al-Syâfi`î, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Islâmiyah, 1979), h. 151.

| 106

MADANIA Vol. XVIII, No. 1, Juni 2014

yang khusus lebih kuat kekuasaannya dari padalembaga yang umum. Contohnya Camat lebihkuat kekuasaannya dalam wilayahnya daripadakepala desa; wali nasab lebih kuat kekuasaannyaterhadap anaknya dari pada lembaga peradilanagama, dan seterusnya.

5.

“Tidak dterima di negeri muslim pernyataantidak tahu hukum”.37

Sudah tentu yang dimaksud tidak tahuhukum di sini adalah hukum yang bersifat umumkarena mesyarakat mestinya mengetahui, sepertihukum mentaati ulil amri adalah wajib, zakat ituwajib, dan lain sebagainya.

6.

“Hukum asal dalam hubungan antar negaraadalah perdamaian”.38

Ajaran Islam baik dalam hubungan antaramanusia maupun antara negara adalah perdamaian.Perang hanya dilakukan untuk melakukanpertahanan diri. Perang bersifat temporer dandilakukan ketika satu-satunya penyelesaianadalah perang. Perang itu karena darurat. Olehsebab itu, harus memenuhi persyaratan darurat.Apabila terpaksa terjadi perang, harus diupayakankembali kepada perdamaian, baik dengan carapenghentian sementara, perjanjian, dan denganmelalui lembaga arbitrase.

7.

melakukan riba dan sebagainya. Selain itu, diaharus tetap salat, puasa, memegang amanah,dan lain sebagainya.

8.

“Setiap perjanjian dengan orang non muslimharus dihormati seperti dihormatinya perjanjiansemua muslim”.40

Kaidah ini berlaku dalam akad, perjanjian,atau transaksi antara individu muslim dan nonmuslim dan antara negeri muslim dan non muslimsecara bilateral atau unilateral.

9.

“Pungutan harus disertai dengan perlindungan”.

Kaidah ini menegaskan bahwa setiap pungut-an berupa harta dari rakyat, baik berupa zakat,rikaz, ma`dun, kharaj, wajib disertai denganperlindungan dari pemerintah kepada wargayang sudah mengeluarkannya. Pemerintah tidakpunya hak untuk memungut tanpa melindungirakyatnya. Apabila tidak ada perlindungandari pemerintah terhadap rakyatnya, makapemerintah tidak berhak memungut apa pun darirakyatnya. Yang dimaksud dengan perlindunganini adalah rakyat harus dilindungi hartanya,darahnya dan kehormatannya. Termasuk didalamnya menciptakan kondisi keamanan yangmenyeluruh agar bisa berusaha, bekerja dalamlapangan kerja yang halal, serta membangunsarana dan prasarana untuk kesejahteraanrakyatnya.

“Setiap barang yang tidak sah dijual belikandi negeri Islam, maka tidak sah pula dilakukandi negeri harbi”.39

Negara harbi adalah negara yang sedangberperang dengan negara Islam. Kaidah ini

10.

“Keluar dari perbedaan pendapat adalahdisenangi”41.

Dalam kehidupan bersama sering terjadidipakai oleh mazhab Maliki dan Syafi`i. Kaidahini berkaitan dengan nasionalitas. Artinya, dimanapun berada, barang-barang yang haram tetapharam hukumnya. Jadi seorang muslim yangpergi ke luar negeri, tetap haram baginya makandaging babi, minum minuman yang memabukkan,

perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat inipenting dalam memberi alternatif pemecahanmasalah. Tetapi, kembali kepada kesepakatanitu disenangi, setelah terjadi terjadi perbedaanpendapat tadi, ini agar kehidupan masyarakatmenjadi tenang kembali.

37 Abd. al-Qadîr Audah, al-Islâm wa Awdhâ’unâ al-Siyâsah,(Kairo: Dâr al-Kutub al-`Arabi, 1957), h. 431.

38 Ali Manshûr, al-Syari’ah al-Islamiyah…, h. 137-13839 Abdul Wahab Khallâf, al-Siyâsah al-Syar`iyah, (Kairo: Dâr

al-Anshâr, 1977), h. 264.

40 Ali Ahmad al-Nadwi, al-Qawâ`id al-Fiqhiyah, (Beirut: Dâral-Qalam, 1998), h. 113.

41 Al-Suyûthî, Al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir fi Qawâ`id wa Furu`Fiqh al-Syâfi`î, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Islâmiyah, 1979), h. 151.

| 106

MADANIA Vol. XVIII, No. 1, Juni 2014

yang khusus lebih kuat kekuasaannya dari padalembaga yang umum. Contohnya Camat lebihkuat kekuasaannya dalam wilayahnya daripadakepala desa; wali nasab lebih kuat kekuasaannyaterhadap anaknya dari pada lembaga peradilanagama, dan seterusnya.

5.

“Tidak dterima di negeri muslim pernyataantidak tahu hukum”.37

Sudah tentu yang dimaksud tidak tahuhukum di sini adalah hukum yang bersifat umumkarena mesyarakat mestinya mengetahui, sepertihukum mentaati ulil amri adalah wajib, zakat ituwajib, dan lain sebagainya.

6.

“Hukum asal dalam hubungan antar negaraadalah perdamaian”.38

Ajaran Islam baik dalam hubungan antaramanusia maupun antara negara adalah perdamaian.Perang hanya dilakukan untuk melakukanpertahanan diri. Perang bersifat temporer dandilakukan ketika satu-satunya penyelesaianadalah perang. Perang itu karena darurat. Olehsebab itu, harus memenuhi persyaratan darurat.Apabila terpaksa terjadi perang, harus diupayakankembali kepada perdamaian, baik dengan carapenghentian sementara, perjanjian, dan denganmelalui lembaga arbitrase.

7.

melakukan riba dan sebagainya. Selain itu, diaharus tetap salat, puasa, memegang amanah,dan lain sebagainya.

8.

“Setiap perjanjian dengan orang non muslimharus dihormati seperti dihormatinya perjanjiansemua muslim”.40

Kaidah ini berlaku dalam akad, perjanjian,atau transaksi antara individu muslim dan nonmuslim dan antara negeri muslim dan non muslimsecara bilateral atau unilateral.

9.

“Pungutan harus disertai dengan perlindungan”.

Kaidah ini menegaskan bahwa setiap pungut-an berupa harta dari rakyat, baik berupa zakat,rikaz, ma`dun, kharaj, wajib disertai denganperlindungan dari pemerintah kepada wargayang sudah mengeluarkannya. Pemerintah tidakpunya hak untuk memungut tanpa melindungirakyatnya. Apabila tidak ada perlindungandari pemerintah terhadap rakyatnya, makapemerintah tidak berhak memungut apa pun darirakyatnya. Yang dimaksud dengan perlindunganini adalah rakyat harus dilindungi hartanya,darahnya dan kehormatannya. Termasuk didalamnya menciptakan kondisi keamanan yangmenyeluruh agar bisa berusaha, bekerja dalamlapangan kerja yang halal, serta membangunsarana dan prasarana untuk kesejahteraanrakyatnya.

“Setiap barang yang tidak sah dijual belikandi negeri Islam, maka tidak sah pula dilakukandi negeri harbi”.39

Negara harbi adalah negara yang sedangberperang dengan negara Islam. Kaidah ini

10.

“Keluar dari perbedaan pendapat adalahdisenangi”41.

Dalam kehidupan bersama sering terjadidipakai oleh mazhab Maliki dan Syafi`i. Kaidahini berkaitan dengan nasionalitas. Artinya, dimanapun berada, barang-barang yang haram tetapharam hukumnya. Jadi seorang muslim yangpergi ke luar negeri, tetap haram baginya makandaging babi, minum minuman yang memabukkan,

perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat inipenting dalam memberi alternatif pemecahanmasalah. Tetapi, kembali kepada kesepakatanitu disenangi, setelah terjadi terjadi perbedaanpendapat tadi, ini agar kehidupan masyarakatmenjadi tenang kembali.

37 Abd. al-Qadîr Audah, al-Islâm wa Awdhâ’unâ al-Siyâsah,(Kairo: Dâr al-Kutub al-`Arabi, 1957), h. 431.

38 Ali Manshûr, al-Syari’ah al-Islamiyah…, h. 137-13839 Abdul Wahab Khallâf, al-Siyâsah al-Syar`iyah, (Kairo: Dâr

al-Anshâr, 1977), h. 264.

40 Ali Ahmad al-Nadwi, al-Qawâ`id al-Fiqhiyah, (Beirut: Dâral-Qalam, 1998), h. 113.

41 Al-Suyûthî, Al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir fi Qawâ`id wa Furu`Fiqh al-Syâfi`î, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Islâmiyah, 1979), h. 151.

| 106

Page 11: APLIKASI TEORI POLITIK ISLAM PERSPEKTIF KAIDAH-KAIDAH …

Mustofa Hasan: Aplikasi Teori Politik Islam Perspektif Kaidah-Kaidah Fikih

11.

“Apa yang tidak bisa dilaksanakan seluruhnya,jangan ditinggalkan seluruhnya”.

Kaidah ini menyatakan bahwa apabila suatu

kriteria yang sesuai dengan sosio historis yangada.

Melihat kebijakan dan kebijaksanaan rasulullahsaw dan sahabat tersebut, fikih siyasah menjadidisiplin ilmu yang sangat penting dalam rangka

keputusan yang baik sudah diambil tetapi dalampelaksanaannya banyak hambatan, maka tidakberarti harus ditinggalkan seluruhnya. Akantetapi, apa yang dapat dilaksanakan itulahyang dikerjakan sesuai dengan kesempatan dankemampuan yang ada.

12.

“Bagi mereka ada hak seperti hak-hak yangada pada kita dan terhadap mereka dibebanikewajiban seperti beban kewajiban terhadapkita”42

Kaidah di atas tersebut menegaskan adanyapersamaan hak dan kewajiban di antara sesamawarga negara yang dilandasi oleh moral ukhuwahwathaniyah, meskipun mereka berbeda warnakulit, bahasa, dan budaya, serta kekayaannya.Ulama menggunakan kaidah di atas dalam kontekshubungan antar negara muslim dan dzimmi.Mereka berkedudukan sama di depan penguasadan hukum.

Penutup

Sejarah telah membuktikan bahwa perilakuNabi Muhammad saw merupakan hukum Islamyang berjalan. Peristiwa-peristiwa sejarah yangterjadi setelah Rasulullah menetap di Madinahmerupakan nilai dasar fikih siyasah. Dalamkedudukanya sebagai kepala negara, kebijakanRasulullah saw. merupakan pelaksanaan siyâsahsyar`iyyah. Salah satu contohnya adalah kebijakanyang dibuat rasululllah saw. berkenaan denganpersaudaraan intern kaum muslimin antarakelompok Muhajirin dengan kelompok Anshar.Kemudian perjanjian ekstern antara komunitasmuslim dengan komunitas non muslim. Persoalansiyasah yang pertama dihadapi kaum musliminsetelah rasulullah wafat adalah suksesi politik.Pada masa Khulafaur rasyidin dikenal berbagaimekanisme penetapan kepala negara yang dikenaldengan sebutan khalifah dan dengan berbagai

42 Abd. al-Qadîr Audah, al-Islâm wa Awdhâ’unâ…, h. 196.

mengelola kehidupan berbangsa dan bernegarayang adil dan sejahtera. Dari sini lah kemudianpara ulama fikih memformulasikan kaidah-kaidah fikih yang berhubungan dengan siyasahini; kaidah-kaidah siyasah yang mementingkankemaslahatan umum yang berhubungan denganhukum tata negara, administrasi negara, hukuminternasional, dan hukum ekonomi.

Pustaka Acuan

Asqalâni, Ahmad ibn Hajr al-, Fath al-Bârî, Riyad:Muhammmad ibn Su`ud al-Islâmiyah, t.th.,Jilid VII.

Audah, Abd. al-Qadîr, al-Islâm wa Awdhâ’unâ al-Siyâsah, Kairo: Dâr al-Kutub al-`Arabi, 1957.

Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedia Hukum Islam,Jakarta: Ikhtiar van Hoeve, 1995, Jilid I.

Djazuli, A., Fiqh Siyasah, Jakarta: Prenada Media,2003.

Djazuli, A., Lembaga-lembaga Perekonomian,Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.

Iqbal, Muhammad, Fiqh Siyasah; KontekstualisasiDoktrin Politik Islam, Jakarta: Grafindo MediaPersada, 2001.

Jauziyah, Ibnu Qayyim al-, I`lâm al-Muwaqqi`în`an Rabb al-`Âlamîn, Beirut: Dâr al-Jayl. t.th.

Khallâf, Abdul Wahab, al-Siyâsah al-Syar`iyah,Kairo: Dâr al-Anshâr, 1977, h. 264.

Khallâf, Abdul Wahab, al-Siyâsah wa al-Syarî`ah,Kairo: Dâr al-Anshâr, 1977.

Manshûr, Ali, Al-Syarî`ah al-Islâmiyah wa al-Qânûnal-Duwali al-`âm (al-Qâhirah: Majlis al-A`la lial-Syu’ûn al-Islâmiyah, 1971.

Mawardi, Abu al-Hasan Ali ibn Muhammad ibnMuhammad ibn Habîb al-Bashri al-Baghdadial-, al-Ahkâm al-Sulthâniyah, Mesir: Musthafâal-Babiy al-Halabiy. t.th.

Musa, Moh. Yusuf, Nizhâm al-Hukmi fi al-Islâm,Kairo: Dâr al-Kitâb al-`Araby, 1963.

Nadwi, Ali Ahmad al-, al-Qawâ`id al-Fiqhiyah,

107 |

Mustofa Hasan: Aplikasi Teori Politik Islam Perspektif Kaidah-Kaidah Fikih

11.

“Apa yang tidak bisa dilaksanakan seluruhnya,jangan ditinggalkan seluruhnya”.

Kaidah ini menyatakan bahwa apabila suatu

kriteria yang sesuai dengan sosio historis yangada.

Melihat kebijakan dan kebijaksanaan rasulullahsaw dan sahabat tersebut, fikih siyasah menjadidisiplin ilmu yang sangat penting dalam rangka

keputusan yang baik sudah diambil tetapi dalampelaksanaannya banyak hambatan, maka tidakberarti harus ditinggalkan seluruhnya. Akantetapi, apa yang dapat dilaksanakan itulahyang dikerjakan sesuai dengan kesempatan dankemampuan yang ada.

12.

“Bagi mereka ada hak seperti hak-hak yangada pada kita dan terhadap mereka dibebanikewajiban seperti beban kewajiban terhadapkita”42

Kaidah di atas tersebut menegaskan adanyapersamaan hak dan kewajiban di antara sesamawarga negara yang dilandasi oleh moral ukhuwahwathaniyah, meskipun mereka berbeda warnakulit, bahasa, dan budaya, serta kekayaannya.Ulama menggunakan kaidah di atas dalam kontekshubungan antar negara muslim dan dzimmi.Mereka berkedudukan sama di depan penguasadan hukum.

Penutup

Sejarah telah membuktikan bahwa perilakuNabi Muhammad saw merupakan hukum Islamyang berjalan. Peristiwa-peristiwa sejarah yangterjadi setelah Rasulullah menetap di Madinahmerupakan nilai dasar fikih siyasah. Dalamkedudukanya sebagai kepala negara, kebijakanRasulullah saw. merupakan pelaksanaan siyâsahsyar`iyyah. Salah satu contohnya adalah kebijakanyang dibuat rasululllah saw. berkenaan denganpersaudaraan intern kaum muslimin antarakelompok Muhajirin dengan kelompok Anshar.Kemudian perjanjian ekstern antara komunitasmuslim dengan komunitas non muslim. Persoalansiyasah yang pertama dihadapi kaum musliminsetelah rasulullah wafat adalah suksesi politik.Pada masa Khulafaur rasyidin dikenal berbagaimekanisme penetapan kepala negara yang dikenaldengan sebutan khalifah dan dengan berbagai

42 Abd. al-Qadîr Audah, al-Islâm wa Awdhâ’unâ…, h. 196.

mengelola kehidupan berbangsa dan bernegarayang adil dan sejahtera. Dari sini lah kemudianpara ulama fikih memformulasikan kaidah-kaidah fikih yang berhubungan dengan siyasahini; kaidah-kaidah siyasah yang mementingkankemaslahatan umum yang berhubungan denganhukum tata negara, administrasi negara, hukuminternasional, dan hukum ekonomi.

Pustaka Acuan

Asqalâni, Ahmad ibn Hajr al-, Fath al-Bârî, Riyad:Muhammmad ibn Su`ud al-Islâmiyah, t.th.,Jilid VII.

Audah, Abd. al-Qadîr, al-Islâm wa Awdhâ’unâ al-Siyâsah, Kairo: Dâr al-Kutub al-`Arabi, 1957.

Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedia Hukum Islam,Jakarta: Ikhtiar van Hoeve, 1995, Jilid I.

Djazuli, A., Fiqh Siyasah, Jakarta: Prenada Media,2003.

Djazuli, A., Lembaga-lembaga Perekonomian,Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.

Iqbal, Muhammad, Fiqh Siyasah; KontekstualisasiDoktrin Politik Islam, Jakarta: Grafindo MediaPersada, 2001.

Jauziyah, Ibnu Qayyim al-, I`lâm al-Muwaqqi`în`an Rabb al-`Âlamîn, Beirut: Dâr al-Jayl. t.th.

Khallâf, Abdul Wahab, al-Siyâsah al-Syar`iyah,Kairo: Dâr al-Anshâr, 1977, h. 264.

Khallâf, Abdul Wahab, al-Siyâsah wa al-Syarî`ah,Kairo: Dâr al-Anshâr, 1977.

Manshûr, Ali, Al-Syarî`ah al-Islâmiyah wa al-Qânûnal-Duwali al-`âm (al-Qâhirah: Majlis al-A`la lial-Syu’ûn al-Islâmiyah, 1971.

Mawardi, Abu al-Hasan Ali ibn Muhammad ibnMuhammad ibn Habîb al-Bashri al-Baghdadial-, al-Ahkâm al-Sulthâniyah, Mesir: Musthafâal-Babiy al-Halabiy. t.th.

Musa, Moh. Yusuf, Nizhâm al-Hukmi fi al-Islâm,Kairo: Dâr al-Kitâb al-`Araby, 1963.

Nadwi, Ali Ahmad al-, al-Qawâ`id al-Fiqhiyah,

107 |

Mustofa Hasan: Aplikasi Teori Politik Islam Perspektif Kaidah-Kaidah Fikih

11.

“Apa yang tidak bisa dilaksanakan seluruhnya,jangan ditinggalkan seluruhnya”.

Kaidah ini menyatakan bahwa apabila suatu

kriteria yang sesuai dengan sosio historis yangada.

Melihat kebijakan dan kebijaksanaan rasulullahsaw dan sahabat tersebut, fikih siyasah menjadidisiplin ilmu yang sangat penting dalam rangka

keputusan yang baik sudah diambil tetapi dalampelaksanaannya banyak hambatan, maka tidakberarti harus ditinggalkan seluruhnya. Akantetapi, apa yang dapat dilaksanakan itulahyang dikerjakan sesuai dengan kesempatan dankemampuan yang ada.

12.

“Bagi mereka ada hak seperti hak-hak yangada pada kita dan terhadap mereka dibebanikewajiban seperti beban kewajiban terhadapkita”42

Kaidah di atas tersebut menegaskan adanyapersamaan hak dan kewajiban di antara sesamawarga negara yang dilandasi oleh moral ukhuwahwathaniyah, meskipun mereka berbeda warnakulit, bahasa, dan budaya, serta kekayaannya.Ulama menggunakan kaidah di atas dalam kontekshubungan antar negara muslim dan dzimmi.Mereka berkedudukan sama di depan penguasadan hukum.

Penutup

Sejarah telah membuktikan bahwa perilakuNabi Muhammad saw merupakan hukum Islamyang berjalan. Peristiwa-peristiwa sejarah yangterjadi setelah Rasulullah menetap di Madinahmerupakan nilai dasar fikih siyasah. Dalamkedudukanya sebagai kepala negara, kebijakanRasulullah saw. merupakan pelaksanaan siyâsahsyar`iyyah. Salah satu contohnya adalah kebijakanyang dibuat rasululllah saw. berkenaan denganpersaudaraan intern kaum muslimin antarakelompok Muhajirin dengan kelompok Anshar.Kemudian perjanjian ekstern antara komunitasmuslim dengan komunitas non muslim. Persoalansiyasah yang pertama dihadapi kaum musliminsetelah rasulullah wafat adalah suksesi politik.Pada masa Khulafaur rasyidin dikenal berbagaimekanisme penetapan kepala negara yang dikenaldengan sebutan khalifah dan dengan berbagai

42 Abd. al-Qadîr Audah, al-Islâm wa Awdhâ’unâ…, h. 196.

mengelola kehidupan berbangsa dan bernegarayang adil dan sejahtera. Dari sini lah kemudianpara ulama fikih memformulasikan kaidah-kaidah fikih yang berhubungan dengan siyasahini; kaidah-kaidah siyasah yang mementingkankemaslahatan umum yang berhubungan denganhukum tata negara, administrasi negara, hukuminternasional, dan hukum ekonomi.

Pustaka Acuan

Asqalâni, Ahmad ibn Hajr al-, Fath al-Bârî, Riyad:Muhammmad ibn Su`ud al-Islâmiyah, t.th.,Jilid VII.

Audah, Abd. al-Qadîr, al-Islâm wa Awdhâ’unâ al-Siyâsah, Kairo: Dâr al-Kutub al-`Arabi, 1957.

Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedia Hukum Islam,Jakarta: Ikhtiar van Hoeve, 1995, Jilid I.

Djazuli, A., Fiqh Siyasah, Jakarta: Prenada Media,2003.

Djazuli, A., Lembaga-lembaga Perekonomian,Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.

Iqbal, Muhammad, Fiqh Siyasah; KontekstualisasiDoktrin Politik Islam, Jakarta: Grafindo MediaPersada, 2001.

Jauziyah, Ibnu Qayyim al-, I`lâm al-Muwaqqi`în`an Rabb al-`Âlamîn, Beirut: Dâr al-Jayl. t.th.

Khallâf, Abdul Wahab, al-Siyâsah al-Syar`iyah,Kairo: Dâr al-Anshâr, 1977, h. 264.

Khallâf, Abdul Wahab, al-Siyâsah wa al-Syarî`ah,Kairo: Dâr al-Anshâr, 1977.

Manshûr, Ali, Al-Syarî`ah al-Islâmiyah wa al-Qânûnal-Duwali al-`âm (al-Qâhirah: Majlis al-A`la lial-Syu’ûn al-Islâmiyah, 1971.

Mawardi, Abu al-Hasan Ali ibn Muhammad ibnMuhammad ibn Habîb al-Bashri al-Baghdadial-, al-Ahkâm al-Sulthâniyah, Mesir: Musthafâal-Babiy al-Halabiy. t.th.

Musa, Moh. Yusuf, Nizhâm al-Hukmi fi al-Islâm,Kairo: Dâr al-Kitâb al-`Araby, 1963.

Nadwi, Ali Ahmad al-, al-Qawâ`id al-Fiqhiyah,

107 |

Page 12: APLIKASI TEORI POLITIK ISLAM PERSPEKTIF KAIDAH-KAIDAH …

MADANIA Vol. XVIII, No. 1, Juni 2014

Beirut: Dâr al-Qalam, 1998, h. 113.

Nasâ’î, Ahmad ibn Syu’aib Abu Abdurrahman al-,Musnad al-Nasâ’î al-Kubrâ, Beirut: Dâr al-Kutubal-`Ilmiyyah, 1991, juz III.

Praja, Juhaya S., Filsafat Hukum Islam, Bandung:Lathifah Press, 2009.

Rahman, Asymuni A., Qaidah-qaidah Fiqh, (Jakarta:Bulan Bintang, 1976.

Shiddieqy Hasbi Ash-, Asas-Asas Hukum TataNegara Menurut Syari’at Islam, Jakarta:Matahari Masa, 1976.

Shiddieqy, Hasbi Ash-, Ilmu Kenegaraan dalam

Fiqh Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1971.

Subki, Imam Tâjjuddîn Abd al-Wahâb al-, al-Asybâhwa al-Nazhâ’ir, Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyah,1991.

Suyûthî, Al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir fi Qawâ`id waFuru` Fiqh al-Syâfi`î, Beirut: Dâr al-Kutub al-Islâmiyah, 1979.

Taimiyah, Ibnu, Al-Fatâwâ al-Kubrâ, Kairo: Dâral-Ma`rifah, t.th., Jilid XVIII.

Taimiyah, Ibnu, Al-Siyâsah al-Syar`iyyah fi Ishlâhal-Râ`i wa al-Ra`iyyah, Beirut: Dâr al-Kutubal-`Ilmiyyah, 1988.

Page 13: APLIKASI TEORI POLITIK ISLAM PERSPEKTIF KAIDAH-KAIDAH …