artikel pantang menyerah menkes

12
1 Tulisan ibu Endang Rahayu Sedyaningsih untuk buku berjudul Secret of My Success: 50 Prominent Indonesian Share Their Lessons on Life and Remarkable Career yang akan diterbitkan oleh KBRI Washington DC (editor Dr. Dino Patti Djalal). Artikel ini kami post on line sebelum launching buku untuk mengenang dan menghormati Almarhumah Endang Rahayu. Artikel ini memuat pandangan Almarhumah mengenai resep sukses dan pengabdian beliau. PANTANG MENYERAH Endang Rahayu Sedyaningsih Menteri Kesehatan Kabinet Indonesia Bersatu II Sebelum memulai, sebaiknya kita perjelas dulu satu hal : kisahkisah pribadi dalam buku ini sengaja diminta Editor untuk bergaya first person alias ber”saya.” Jadi, mohon dimaklumi dan mohon maaf kalau dari awal sampai akhir, ceritanya tentang saya, saya dan saya lagi. Awal Masa Bhakti Saya …. (ehm….. dimulai nih..) lulusan FKUI tahun 1979. Segera setelah lulus, atas perintah almarhum ayahanda (yang takut putri sulungnya tidak segera menikah dan akibatnya tidak segera punya cucu), saya menikah dengan dr. MJN Reanny Mamahit, teman sekelas yang telah menjalin hubungan perpacaran dan pertunangan selama 4 tahun. Setelah menikah, kami berdua bekerja di RS Pertamina Jaya (saya di poliklinik dan Reanny offshore) selama setahun. Tujuannya adalah mengumpulkan uang untuk bekal menjalani Wajib Kerja Sarjana (WKS) sesuai amanah UndangUndang. Kami memilih Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai daerah masa bakti. Ketika itu NTT termasuk daerah terpencil, dan kami cukup bekerja 3 tahun untuk bisa melanjutkan spesialisasi. Kisahkisah kami di NTT sangat seru dan mengesankan, tetapi tentunya tidak untuk ditulis di sini. Mungkin nanti di Kumpulan Kisah Seru Mengabdi di Daerah Terpencil. Ada yang berminat kontribusi? Pengalaman di NTT mengarahkan minat saya ke Kesehatan Masyarakat dan minat Reanny pada pelayanan klinis. Singkat kata, tahun 1983 kami kembali ke Jakarta. Saya bekerja di Kanwil DKI Jakarta dan Reanny mengambil spesialisasi Kebidanan dan Kandungan di FKUI. Mengapa saya tidak melanjutkan sekolah? Karena mau punya anak dulu dan mengurus rumahtangga (…. ideal sekali ya?). Apa mau dikata, karena memang bukan orang rumahan, saya menjadi bosaaan…… sekali! Otak rasanya jadi tumpul. Jadi tahun 1987 dengan beasiswa saya mengikuti kursus tentang Nutrisi selama 6 bulan di Wageningen, Negeri Belanda. Putra saya sudah 2 ketika itu, 7 tahun dan 3 tahun, saya titipkan kepada suami dan ibunda tercinta. Pendidikan di AS

Upload: masyrifah-jazm

Post on 05-Dec-2014

769 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

shared by futuremenkes. semoga bremanfaat :)

TRANSCRIPT

Page 1: artikel pantang menyerah Menkes

  1

Tulisan ibu Endang Rahayu Sedyaningsih untuk buku berjudul Secret of My Success: 50 Prominent Indonesian Share Their Lessons on Life and Remarkable  Career  yang  akan  diterbitkan  oleh  KBRI Washington  DC (editor Dr. Dino Patti Djalal). Artikel ini kami post on line sebelum launching buku untuk mengenang dan menghormati  Almarhumah  Endang  Rahayu.  Artikel  ini memuat pandangan  Almarhumah  mengenai  resep  sukses  dan  pengabdian beliau.   PANTANG MENYERAH  Endang Rahayu Sedyaningsih Menteri Kesehatan Kabinet Indonesia Bersatu II  

Sebelum memulai, sebaiknya kita perjelas dulu satu hal  : kisah‐kisah pribadi dalam  buku  ini  sengaja  diminta  Editor  untuk  bergaya  first  person  alias  ber”saya.” Jadi, mohon  dimaklumi  dan mohon maaf  kalau  dari  awal  sampai  akhir,  ceritanya tentang saya, saya dan saya lagi.  Awal Masa Bhakti 

Saya …. (ehm….. dimulai nih..) lulusan FKUI tahun 1979. Segera setelah lulus, atas perintah almarhum ayahanda (yang takut putri sulungnya tidak segera menikah dan  akibatnya  tidak  segera  punya  cucu),  saya  menikah  dengan  dr. MJN  Reanny Mamahit, teman sekelas yang telah menjalin hubungan perpacaran dan pertunangan selama 4 tahun. Setelah menikah, kami berdua bekerja di RS Pertamina Jaya (saya di poliklinik dan Reanny off‐shore) selama setahun. Tujuannya adalah mengumpulkan uang  untuk  bekal  menjalani  Wajib  Kerja  Sarjana  (WKS)  sesuai  amanah  Undang‐Undang.  Kami memilih Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai daerah masa bakti. Ketika itu NTT termasuk daerah terpencil, dan kami cukup bekerja 3 tahun untuk bisa melanjutkan spesialisasi. Kisah‐kisah kami di NTT sangat seru dan mengesankan, tetapi tentunya tidak untuk ditulis di sini. Mungkin nanti di Kumpulan Kisah Seru Mengabdi di Daerah Terpencil. Ada  yang  berminat  kontribusi?  Pengalaman  di NTT mengarahkan minat saya ke Kesehatan Masyarakat dan minat Reanny pada pelayanan klinis.  Singkat kata, tahun 1983 kami kembali ke Jakarta. Saya bekerja di Kanwil DKI Jakarta dan  Reanny mengambil  spesialisasi  Kebidanan  dan  Kandungan  di  FKUI. Mengapa saya tidak melanjutkan sekolah? Karena mau punya anak dulu dan mengurus rumah‐tangga (…. ideal sekali ya?). Apa mau dikata, karena memang bukan orang rumahan, saya menjadi bosaaan…… sekali! Otak rasanya  jadi tumpul. Jadi tahun 1987 dengan beasiswa  saya  mengikuti  kursus  tentang  Nutrisi  selama  6  bulan  di Wageningen, Negeri Belanda. Putra  saya  sudah 2  ketika  itu, 7  tahun dan 3  tahun,  saya  titipkan kepada suami dan ibunda tercinta.  Pendidikan di AS 

Page 2: artikel pantang menyerah Menkes

Tahun 1990 saya merasa gelisah  lagi dan mulai “berburu” beasiswa, kali  ini untuk  mengambil  Master  of  Public  Health  (MPH).  Di  Kementerian  Kesehatan ternyata hanya  ada beasiswa untuk orang‐orang  yang bekerja di daerah  sulit, dan karena status saya sudah pegawai di Jakarta, maka sudah tidak eligible  lagi. Untung berjumpa  teman  yang  memberikan  informasi  tentang  program  di  BAPPENAS. Sayapun mendaftar dan mengikuti serial test yang diadakan oleh Overseas Training Office  (OTO), BAPPENAS, mulai dari  Test Potensial Akademik  (TPA)  sampai  TOEFL. Semua dapat dilalui dengan baik, dan saya harus mengikuti kelas persiapan selama 1 bulan.  Lamanya  kelas  persiapan  ini  tergantung  berapa  tinggi  nilai  TOEFL  yang diperoleh, ada yang 1, 3, 6 bulan, sampai setahun. Selama kelas persiapan tersebut kami boleh mendaftar ke 4 perguruan tinggi yang diminati di luarnegeri.   

  Nah….. berhubung ayah saya Master dan Doktor lulusan Amerika Serikat, begitu juga adik, ipar, dan beberapa sepupu, maka otomatis perhatian sayapun tertuju hanya ke AS.  Selagi  bimbang memilih,  seorang  teman  sekelas  persiapan  –  seorang  wanita muda  dari Makassar  –  berkomentar  :  “Mbak  ‘kan  pintar…..  pilih  Harvard  dong!” Memang di kelas persiapan angka‐angka  saya cukup  lumayan,  tapi …… Harvard??? Wah, mungkin ketinggian buat saya….. Tapiii……. saya pikir‐pikir lagi, apa salahnya sih mencoba?  Jadi,  saya mendaftar  ke  Harvard  School  of  Public  Health  (HSPH),  John Hopkins  University,  East  West  Center  Hawaii,  dan  Tulane  University.  Dan ternyata…….  baik HSPH maupun  JHU,  keduanya menerima  saya.  Saya  sudah  tidak memonitor  lagi  hasil  dari  2  universitas  yang  lain,  karena  sibuk  meloncat‐loncat gembira, bisa diterima di 2 universitas  top dunia!!  Ini bahasa kiasan……  sejujurnya saya  tidak  bisa meloncat‐loncat  lagi  ketika  itu,  karena  saya  sedang  HAMIL  TUA! Yahh…….  rupanya  program  KB  kami  sedikit meleset.  Rayi,  anak  perempuan  kami satu‐satunya,  lahir 11 tahun setelah Ari (putra sulung) dan 7 tahun setelah Wandha (putra ke 2) lahir. 

  2

Page 3: artikel pantang menyerah Menkes

 Ketika waktunya tiba untuk berangkat, Rayi berusia 8 bulan. Tentu saya  ingin sekali membawanya serta. Tetapi peraturan tidak membolehkan. Maka berangkatlah saya sambil menangis tersedu‐sedu, meninggalkan bayi yang terpaksa disapih.  Harvard menjadi  tujuan  saya.  Selain  namanya  yang  lebih  ‘ngetop,’  juga  kebetulan karena  ketika  itu  ada  sepupu  saya  (Handrito)  yang  sedang  belajar  di  Harvard Kennedy School, membawa istri dan 2 anaknya. Saya pikir, lumayanlah, supaya tidak terlalu  merasa  kesepian  di  negeri  orang.  Jadi  saya  mendarat  di  Logan  Airport, Boston, dan  langsung naik taxi ke Peabody Terrace, Cambridge, mencari apartment keluarga Handrito. Hanya beberapa hari saya menumpang di sana, sudah mendapat tempat  di  apartment  Shattuck,  Boston,  yang  khusus  untuk mahasiswa  HSPH  dan yang hanya berjarak 10 – 15 menit dari HSPH.   Orang  Indonesia  cukup  jarang  yang mengambil MPH  di HSPH,  di  program Doctor malah belum ada samasekali. Di tahun 1991 tersebut, kebetulan ada Dr. Bimo yang sedang  menjadi  Takemi  fellow,  untuk  program  postdoc  selama  setahun,  setelah sebelumnya meraih gelar MPH di HSPH. Mas Bimo suami‐istri dengan 2 anak,  juga tinggal di Shattuck House, sangat membantu saya untuk settle down.  

  Hari‐hari pertama dilalui dengan banyak kebingungan. Terlalu banyak hal yang harus dilakukan dan  semuanya diumumkan melalui  kertas‐kertas  yang ditempel di  sana‐sini.  Saya  otomatis  mencari  wajah‐wajah  Asia  yang  lain,  supaya  bisa  bingung bersama‐sama…… dan  langsung berteman dekat dengan 4 orang dokter pria Asia, yang  tadinya  juga  tidak  saling mengenal  satu  sama  lain. Ke 4 orang  ini  seterusnya menjadi sahabat karib yang hingga saat ini terus menjalin komunikasi. Begini urutan ‘persaudaraan’  kami  berdasarkan  umur:  yang  tertua  dr.  Hector  Jalipa (berkebangsaan Filipina, tetapi membaktikan hampir seluruh hidupnya di Afrika), lalu saya,  kemudian  dr.  Naomasa  Hirota  (orang  Jepang,  spesialis  lambung‐usus),  dr. 

  3

Page 4: artikel pantang menyerah Menkes

  4

Somsit  Chunharas  (berkebangsaan  Thailand),  dan  yang  termuda  dr.  Ravindra Rannan‐Eliya (orang Srilanka, lulusan Inggris).  Banyak hal kami lalui bersama, terutama di kelas‐kelas wajib, seperti Biostatistik dan Epidemiologi.  Kami  semua  (kecuali Naomasa  yang mengambil  program Master  of Occupational Health selama 2 tahun) mengikuti program MPH  International Health selama  setahun.  Saya orang  yang  termasuk  rajin.  Jadi biasanya pekerjaan  rumah  ‐ pekerjaan  rumah  seperti membuat paper, menyelesaikan  soal, dsb  saya  selesaikan awal; malah kadang‐kadang seminggu sebelum due date sudah selesai.   Karena  itu saya  selalu  diomeli  sahabat‐sahabat  saya;  terjemahan  bebasnya  :  “Jangan  deket‐deket….. bikin stres aja loe……..!!”   Ravi otomatis merupakan  sahabat  yang bahasa  Inggrisnya paling  “Inggris,” disusul Hector.  Soal  eksakta,  Ravi  juga  paling  pandai,  disusul  Naomasa  dan  saya.  Soal olahraga, haha…… Naomasa, Somsit dan saya paling getol main tennis dan berenang. Perkara  gadget,  Somsit  jagonya.  Soal  art  and  entertainment,  Hector  punya pengetahuan  luas. Hector berhasil “meracuni” saya, sehingga saya tergila‐gila pada pertunjukan musik ala Broadway di New York (New York ketika itu 5 jam naik bis dari Boston).  Show  yang  pertama  saya  tonton  adalah Miss  Saigon.  Kemudian  disusul dengan Les Miserables (ini yang menurut saya paling bagus, kalau belum nonton ……. nonton deh!), Phantom of the Opera, Blood Brothers, My Fair Lady, dll, dll, dll. Hobi nonton show  ini saya teruskan sampai sekarang, kapanpun saya berkesempatan ke New York atau  London.  Show‐show  terakhir yang  saya  tonton:  Lion King, Mamma Mia, Wicked dan Spiderman.    Mendatangkan Anak‐anak ke AS   Sejak  saya  tiba  di Boston,  niat  saya  untuk mendatangkan  anak‐anak  ke AS sudah  saya  tanamkan.  Peraturan  OTO  membolehkan  kami  membawa  keluarga setelah 6 bulan, tetapi saya bertekad untuk mendatangkan mereka secepatnya. Jadi saya  mulai  mencari  apartment  yang  memadai  untuk  keluarga,  mencari  sekolah, mencari persyaratan imunisasi, dsb. Cukup sulit, dan semua harus dikerjakan sendiri, di  sela‐sela  kuliah dan belajar. Akhirnya di bulan November  1991,  saya pindah  ke Peabody  Terrace  di  Cambridge,  ke  apartment  dengan  2  kamar.  Beberapa  orang Indonesia dari Harvard Law School, Harvard Education School dan Harvard Kennedy School (termasuk Handrito sepupu saya) tinggal di Peabody juga. Perjuangan dimulai dengan  mengisi  apartment,  karena  tidak  furnished.  Saya  sangat  dibantu  oleh Handrito  dan  Agus  Wirahadikusuma  (ketika  itu  masih  Kolonel,  sekarang  sudah almarhum), mengangkat‐angkat kasur, sofa dsb. Terimakasih banyak yaa….  

Page 5: artikel pantang menyerah Menkes

  Ari  (10  tahun) dan Wandha  (7  tahun) datang diantar  ibu mertua  (sekarang  sudah almarhumah),  yang belum pernah  keluar negeri  sebelumnya. Reanny,  suami  saya, melarang  Rayi  si  bungsu  untuk  dibawa,  khawatir mengganggu  studi  saya.  Ari  dan Wandha langsung masuk King School yang jaraknya sangat dekat dengan apartment kami, kelas 2 dan kelas 5. Mereka samasekali tidak bisa berbahasa Inggris, tetapi bisa cepat menyesuaikan. Mammi  (ibu mertua),  bersama  beberapa  ibu  Indonesia  lain, ikut kursus bahasa  Inggris. Mammi  jago masak,  jadi banyak  ibu‐ibu  Indonesia yang belajar masak  darinya.  Sayang,  saya menantunya,  tidak  ada  waktu  untuk  belajar masak, di samping memang tidak suka masak.  Dua bulan menjelang wisuda, mammi harus  pulang  ke  Indonesia.  Karena  peraturan  di  Amerika  melarang  anak‐anak ditinggal di rumah sendiri, maka saya meminta adik perempuan saya (yang baru lulus sarjana  dan  masih  menganggur)  untuk  datang  menggantikan  mammi.  Adik  saya sama nol nya dengan saya perkara masak, karena itu anak‐anak sempat protes, yang ditawarkan cuma: telur rebus, atau telur ceplok, atau telur dadar ……..  Program Doctor of Public Health   Almarhum ayahanda pernah berpesan agar  sedapat mungkin anak‐anaknya meraih gelar doctor. Adik  laki‐laki saya ketika  itu sedang mengikuti program doctor di Cornell University. Maka di penghujung semester 1, saya mulai konsultasi dengan pembimbing saya untuk hal tersebut.  Ternyata saya harus membuat proposal untuk dapat  mendaftar  dalam  program  Doctor  of  Public  Health  (DPH).  Saya  berminat mempelajari AIDS karena masalah tersebut relatif baru di Indonesia. Saya mendekati banyak  professor  yang  potensial  untuk menjadi  pembimbing  utama.  Karena  saya lebih  menekankan  pada  aspek  perilaku,  maka  akhirnya  saya  meminta  Professor Kristian Heggenhougen  (seorang ahli medikoantropologi berkebangsaan Norwegia) untuk menjadi pembimbing utama. Saya masih harus melalui wawancara oleh Ketua Program Studi yang ketika  itu malah menganjurkan  saya untuk belajar di Australia saja,  karena  lebih  dekat.  Saya menolak  dan  bersikeras.  Tentu  saja  ini merupakan kerja ekstra, padahal banyak ujian yang masih harus saya tempuh untuk gelar MPH. 

  5

Page 6: artikel pantang menyerah Menkes

Karena  itu  Somsit  berkomentar:  “Endang….  are  you  crazy?  Do  you want  to  burn yourself?”   Akhirnya  mendekati  wisuda,  saya  memperoleh  kepastian  bahwa  diterima  untuk program DPH.  Sekarang  saya  bingung  yang  lain  lagi.  Siapa  yang  akan  bayar?  Saya berupaya  menghubungi  OTO  BAPPENAS.  Lalu,  kira‐kira…..  apakah  Kementerian Kesehatan akan mengizinkan  saya? Ketika  itu aturannya harus mengabdi  selama 2 tahun (2x masa studi) sebelum boleh belajar lagi. Karena urusan masih banyak, maka saya  memohon  kepada  HSPH  agar  program  DPH  saya  itu  boleh  ditunda  sampai semester berikut.  Rayi tidak mengenali ibunya   Suami saya datang menghadiri wisuda saya. Rayi tentu saja dibawa. Ia sudah berumur  18  bulan.  Di  bandara  kami  bertemu  lagi.  Dalam  gendongan  ayahnya,  ia memandangi  saya.  Tapi  menolak  untuk  saya  gendong.  Bahkan  memutarkan tubuhnya membelakangi saya. Aduh…….. tidak terkirakan rasa sedihnya……! Tiba‐tiba Ari dan Wandha menghambur ke depan, tertawa‐tawa di depan Rayi. Dan Rayipun langsung  tertawa, menjulurkan  badannya  ke  arah  abang‐abangnya.  Ia mengenali mereka!   

  Saya yakin Rayi pasti masih mengenali saya, hanya saja  ia marah. Samasekali  tidak mau berkomunikasi dengan saya. Berhari‐hari saya membawa Rayi bermain di  tepi 

  6

Page 7: artikel pantang menyerah Menkes

  7

sungai  bersama Ari  dan Wandha.  Saya  terus  berupaya menggapai  hatinya.  Belum berhasil…… Sampai suatu sore, saya berdiri di depan cermin, mencoba sebuah T‐shirt pemberian  seorang  teman dari Afrika.  Tulisannya Hakuna Matata. Ketika  itu  kata‐kata tersebut masih asing bagi saya (belum ada film Lion King). Jadi saya mengulang‐ulang  kata‐kata  tersebut di depan  cermin,  sambil berjoget gaya Afrika:  “Haaakuna matataaa……… haaaakuna matataaaa…..!” Tiba‐tiba saya mendengar tawa geli Rayi. Rupanya ia sedang duduk dan mengawasi saya dari belakang. Lalu katanya: ”Lagi……. lagi……..!”  Sayapun melonjak  gembira,  saya  tertawa  sambil menangis.  Akhirnya…. Rayi mau  berbicara  dengan  ibunya.  Rayi  saya  gendong,  dan  kami  berdua menari berputar‐putar: “Haaakunaa…..matataaa….. haakunaaa matataaa……!!”  Perjuangan tak henti   Setiba  kami  di  Indonesia,  sambil  bekerja  kembali  di  Kanwil  DKI  Jakarta sebagai  staf  biasa,  saya mulai mengurus  beasiswa  dan  izin  berangkat  ke  AS  lagi. Karena  nilai  TPA  dan  TOEFL  masih  berumur  kurang  dari  2  tahun,  OTO  tidak mengharuskan saya test lagi. Kebijakan mereka saat itu adalah mendorong sebanyak mungkin perempuan untuk meraih gelar doctor. Karena  itu, dalam waktu beberapa bulan saya sudah memperoleh beasiswa untuk program doctor di HSPH.   Namun  kegembiraan  tersebut  tidak berarti, Kementerian Kesehatan berkeras  saya harus menunggu 2 tahun lagi. Betapapun saya mengatakan bahwa bila menunggu 2 tahun  lagi maka  saya  harus memulai  semua  test  dari  awal,  dan  harus melamar kembali ke HSPH. Saya berjanji tidak akan keluar dari Kementerian Kesehatan untuk membayar semua masa bakti saya. Tidak berhasil! Maka selama 8 bulan saya bolak‐balik ke Kemenkes,  sebulan 2 kali. Kadang‐kadang pagi  jam 7, kadang‐kadang  sore sesudah  jam  kerja.  Tujuan  saya  adalah  memperoleh  izin  dari  Kepala  Biro Kepegawaian, yang sebetulnya kenal baik dengan keluarga saya. Setiap pulang, saya selalu meneteskan airmata, karena jawabannya TIDAK…TIDAK dan TIDAK..!  

Page 8: artikel pantang menyerah Menkes

  Banyak  orang menganjurkan  saya  untuk  berhenti  berusaha, mereka  lelah melihat upaya  saya  yang  tidak  kunjung  berhasil.  Untunglah  suami  saya  terus mendorong saya.  Ia  mendampingi  saya  dalam  menyelesaikan  persoalan‐persoalan  dan menghadapi  semua  tantangan.  Kadang‐kadang,  selagi  menunggu  kesempatan bertemu  dengan  Karo  Kepegawaian  atau  pejabat  Kemenkes  lain,  saya  berjumpa dengan  orang‐orang  yang  tidak  saya  kenal.  Beberapa  dari mereka menyemangati saya dan berkata: “Selamat berjuang ya dok…. Saya doakan agar menjadi Menteri…” Saya  tidak mengerti apa yang mendorong mereka mengatakan hal  tersebut. Umur saya masih 37 tahun, dan cita‐cita saya cuma mau meraih gelar doctor dari HSPH.  Saya berupaya menemui Menteri Kesehatan. Saya menunggu di gedung DPR, karena kalau  di  kantor  Kemenkes  tidak  akan mungkin  boleh menemui  beliau.  Kebetulan ketika  itu Menkes  sering  ke DPR  karena  sedang membahas  RUU  Kesehatan. Usai sidang  saya mendekat. Menkes  tercengang  dan  bertanya:  “Apa  anda wartawan?” Dalam waktu 3 menit saya berupaya menjelaskan persoalan yang saya hadapi. Beliau tercenung  lalu  mengatakan:  “Saya  tidak  melihat  mengapa  anda  tidak  boleh melanjutkan studi. Silakan ke kantor saya.”   Bukan main gembira hati  saya. Saya mencoba menemui beliau di kantor. Ternyata sulit sekali. Sampai suatu saat, sekretaris pribadinya keluar ke ruang tamu. Ternyata ia teman sekelas di SMA. Tanpa basa‐basi dan protokoler,  ia mengajak saya masuk 

  8

Page 9: artikel pantang menyerah Menkes

  9

menemui  Menkes.  Menkes  belum  lupa.  Ia  menuliskan  beberapa  kalimat  yang ditujukan  ke  Sekretaris  Jenderal.  Saya  terseyum menyalami Menkes:  “Bapak  tidak akan menyesali  keputusan  ini, pak.  Saya berjanji membaktikan  seluruh hidup  saya untuk kesehatan masyarakat Indonesia.”  Sudahkah selesai perjuangan? Ternyata belum. Saya dipanggil Sekjen dan dimarahi. Dikatakan bertabiat  jelek, sombong  (karena  lulusan Harvard), dsb. Begitu  juga Karo Kepegawaian tidak senang. Proses surat‐menyurat dijalankan dengan sangat lambat. Sementara itu, tahun sudah bergulir ke 1993. Kuliah semester berikut sudah dimulai di HSPH,  dan  saya  belum  datang  juga.  Saya  tidak  berputus  asa. Dari  Jakarta  saya memilih kuliah‐kuliah yang akan  saya ambil. Saya berpesan kepada Naomasa yang masih di HSPH ketika  itu, untuk menitipkan alat perekam di kuliah‐kuliah yang akan saya ambil. Akhirnya…… bulan Februari 1993 saya memperoleh  izin dari Kemenkes. Pegawai‐pegawai  Biro  Kepegawaian  ikut menyalami  saya,  sambil  berkata:  “Terus‐terang dok, belum pernah kami  lihat orang yang segigih dokter. Bolak‐balik, bolak‐balik, pantang menyerah ya dok?” Saya tersenyum saja. Bagi saya tidak ada pilihan, selain satu hal: HARUS BERHASIL.   Tahun 1997  saya menjadi Doctor of Public Health  lulusan HSPH yang pertama dari Indonesia, dengan GPA 3,84.  Bergaul di AS   Bergaul  di  AS  tidak  selalu  berarti  bergaul  dengan  orang  Amerika,  karena begitu banyak orang dari mancanegara belajar di AS. Sedari muda  saya dibiasakan bergaul  dengan  orang‐orang  asing.  Ayah  saya  seorang  guru  besar  di  IKIP  Jakarta (menjadi Rektor periode 1980    ‐ 1984). Walaupun  rumah  kami  kecil, beliau  selalu bersedia menerima mahasiswa‐mahasiswa asing mondok di rumah secara bergiliran. Kami  pernah  ketempatan  mahasiswa  Jepang,  Australia  dan  Amerika.  Mahasiswa Amerika  yang  juga merupakan  teman  kuliah ayah di AS  ini banyak mengajari  saya tentang budaya di AS, selain mengajari saya bahasa Inggris – Amerika.   Saya  beruntung  belajar  di  sekolah  yang  jarang  orang  Indonesianya.  Dan memang saya bertekad untuk bergaul  sebanyak mungkin dengan orang‐orang  internasional, mumpung di  luar negeri.  Saya  tidak mau  seperti anekdot, di Amerika orang Batak jadi bisa bahasa Jawa, saking seringnya bergaul dengan mahasiswa‐mahasiswa Jawa. Tentu sekali‐sekali saya ikut kumpul‐kumpul dengan orang Indonesia. Seperti waktu Lebaran atau ketika kami mengadakan Malam  Indonesia di Peabody Terrace. Saya menyumbangkan  tari  Jaipong, selain  ikut dalam vocal group menyanyikan Euis dan Sepasang Mata Bola. Ngomong‐ngomong soal Jaipong, setiap tahun saya juga menari di malam internasional di HSPH.  

Page 10: artikel pantang menyerah Menkes

  Di awal studi, saya jarang mengacungkan jari minta bicara. Karena selalu terlambat. Saya masih memikirkan mau bicara apa, orang  lain  sudah acung  jari. Padahal  saya lihat orang tersebut juga belum siap bicara. Jadi dia berpikir sambil bicara. Wah…….. kalau begini caranya, saya tidak bakal punya kesempatan mengemukakan pendapat saya. Maka  sayapun  belajar  berpikir  sambil  bicara.  Yang  penting  acung  jari  dulu, supaya dapat kesempatan bicara….hehehe…!!  Dalam bergaul tentu saya pernah mengalami hal‐hal yang tidak enak. Di awal studi, seorang mahasiswa Amerika yang bangga karena pernah bekerja beberapa bulan di India,  mengomentari  kontribusi  saya  dalam  group.  Katanya  tulisan  saya  tidak mengandung  cukup  “meat  and  potatoes”  atau  “meat  and  carrots”  ya?  Saya  lupa. Intinya,  jeleklah  pokoknya.  Saya  tersinggung  berat.  Tetapi  saya  sadar  bahwa  saya harus berusaha memperbaiki gaya tulisan. Yang biasa saya tulis hanya pokok‐pokok pikiran dan tidak dielaborasi. Di AS gaya begini akan tampak miskin ide, terutama di sekolah ilmu sosial macam HSPH. Jadi saya berupaya keras menuliskan ide‐ide pokok menjadi paragraf‐paragraf.  Kekurangan  lain mahasiswa  Asia  pada waktu  itu  adalah  sering  lupa menyebutkan sumber tulisannya. Seorang rekan Asia bahkan hampir dikeluarkan karena tuduhan plagiat.  Padahal  kami  yakin  dia  tidak  bermaksud  begitu,  hanya  tidak  biasa menuliskan sumber informasinya.   Sebagai Peneliti   

Bertahun‐tahun  setelah  saya  meraih  gelar  doctor,  kadang‐kadang  masih timbul rasa tidak percaya, bagaimana saya sanggup melewati semua itu. Perpisahan dengan  anak‐anak  lagi, menyelesaikan  begitu  banyak  pekerjaan  rumah, melewati musim dingin yang berat, melakukan analisis data  sendiri  (di  tahun  terakhir  sudah tidak  ada  kelas  lagi,  kerja  individual  saja), menulis  disertasi  yang  tebalnya  seperti bantal, dsb, dsb. Rasa syukur ke hadirat Allah selalu terucap di saat‐saat mengenang 

  10

Page 11: artikel pantang menyerah Menkes

  11

perjuangan yang lalu. Akibatnya, sebenarnya saya sudah merasa “selesai” ketika saya sudah berhasil mendapatkan gelar Doctor of Public Health. Saya tidak punya ambisi yang lain lagi.  Namun nasib berkata lain. Saya tentu memenuhi janji saya untuk kembali mengabdi sebagai PNS di Kementerian Kesehatan. Karena sudah S3, maka saya dipindahkan ke Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes). Tadinya saya berniat konsentrasi di  Infeksi Menular Seksual, HIV dan AIDS. Tetapi kemudian  saya diberi tugas sebagai peneliti Emerging Infectious Diseases, dengan lingkup yang lebih luas. Semua tugas tidak ada yang saya tolak. Semua saya upayakan selesai dengan sebaik‐baiknya. Karena kemampuan bahasa Inggris, maka saya juga mendapat tugas sebagai fund  getter  bagi  rekan‐rekan  saya  sesama  peneliti.  Saya melakukan  lobi, menulis proposal  dan menjadi  perantara  untuk  banyak  penelitian  kerjasama  internasional. Saya juga berupaya agar junior‐junior bisa terus melanjutkan studi. Walaupun tanpa ambisi,  karena  semua  tugas  selesai  dengan  baik, maka  saya  kembali masuk  “jalur cepat.” Saya dipilih menjadi wakil ketua Komisi  Ilmiah Balitbangkes, yang  sebagian besar  adalah  peneliti‐peneliti  senior.  Tak  lama  kemudian  saya menjadi  ketuanya. Belum lagi jabatan‐jabatan fungsional lain. Tahun 2007 saya diangkat menjadi Kepala Puslitbang Biomedis dan Farmasi, namun dikembalikan menjadi peneliti  lagi  tahun 2008.  Menjadi Menteri Kesehatan RI 

Saya  kembali  menjalani  hari‐hari  mengasyikkan  sebagai  peneliti.  Sampai suatu hari di mana saya memperoleh tilpon yang mengejutkan. Dari pak Sudi Silalahi, yang meminta saya datang waktu itu juga ke Cikeas.  Cerita tentang ini sudah banyak dimuat,  termasuk di buku Selendang Panjang bu Menkes, karangan  Isye Soentoro, seorang  wartawati  sahabat  saya.  Ternyata  Allah  mengabulkan perkataan/doa/harapan  orang‐orang  yang  berjumpa  dengan  saya  ketika  saya berjuang memperoleh  izin  studi  S3,  yang  bahkan  sudah  saya  lupakan  siapa‐siapa mereka  itu. Allah  juga memberi kesempatan saya memenuhi  janji saya di hadapan Menkes  ketika  itu.  Setelah melalui  berbagai  test,  saya  diangkat menjadi Menteri Kesehatan Kabinet Indonesia Bersatu II.   Sebagai Menkes  tentu  tantangan yang  saya hadapi  jauh,  jauh,  lebih besar.  Jumlah penduduk  Indonesia  yang  sangat  banyak,  jumlah  penduduk miskin masih  di  atas 10%,  situasi  geografis  Indonesia  yang  tidak mudah,  kondisi  tanah  air  yang  rawan bencana,  sumber daya manusia  kesehatan  yang masih  kurang  (kuantitas,  kualitas, dan  distribusi),  perilaku  hidup  yang  belum  sehat,  anggaran  yang  belum memadai, serta  beban  penyakit menular  dan  tidak menular  yang  cukup  tinggi.  Tetapi  sikap mental  saya  dalam menghadapi  tantangan  tersebut masih  tetap  sama.  Selesaikan satu‐persatu,  selalu  optimis,  pantang menyerah,  dan menggandeng  semua  pihak untuk  bekerja  bersama mencapai  tujuan  yang  dicita‐citakan.  Tidak  ada  dendam, tidak ada sakit hati, karena tujuan yang lebih mulia ada di depan. Banyak wartawan asing  menanyakan,  apakah  saya  optimis  Masyarakat  Sehat  yang  Mandiri  dan Berkeadilan bisa tercapai? Saya jawab, HARUS OPTIMIS! Karena saya selalu percaya kata‐kata bijak: selangkah maju berarti selangkah lebih dekat ke tujuan.   

Page 12: artikel pantang menyerah Menkes

  12

Tahun  ini menginjak tahun ke 3 saya menjadi Menteri Kesehatan. Perjalanan masih panjang.  Apapun  bisa  terjadi  antara  sekarang  dan  tahun  2014.  Kementerian Kesehatan mempunyai  tugas  berat  untuk  mewujudkan  universal  coverage  untuk jaminan  kesehatan  di  tahun  2014.  Kalau  Negara  lain mampu mewujudkan, maka Indonesia juga HARUS BISA!!   Sekali lagi, kita tidak punya pilihan lain selain: BERHASIL!!  Penutup   Terimakasih  sudah  membaca  kisah  singkat  saya.  Mudah‐mudahan  bisa diambil manfaatnya.  Pamit.