Download - artikel pantang menyerah Menkes
1
Tulisan ibu Endang Rahayu Sedyaningsih untuk buku berjudul Secret of My Success: 50 Prominent Indonesian Share Their Lessons on Life and Remarkable Career yang akan diterbitkan oleh KBRI Washington DC (editor Dr. Dino Patti Djalal). Artikel ini kami post on line sebelum launching buku untuk mengenang dan menghormati Almarhumah Endang Rahayu. Artikel ini memuat pandangan Almarhumah mengenai resep sukses dan pengabdian beliau. PANTANG MENYERAH Endang Rahayu Sedyaningsih Menteri Kesehatan Kabinet Indonesia Bersatu II
Sebelum memulai, sebaiknya kita perjelas dulu satu hal : kisah‐kisah pribadi dalam buku ini sengaja diminta Editor untuk bergaya first person alias ber”saya.” Jadi, mohon dimaklumi dan mohon maaf kalau dari awal sampai akhir, ceritanya tentang saya, saya dan saya lagi. Awal Masa Bhakti
Saya …. (ehm….. dimulai nih..) lulusan FKUI tahun 1979. Segera setelah lulus, atas perintah almarhum ayahanda (yang takut putri sulungnya tidak segera menikah dan akibatnya tidak segera punya cucu), saya menikah dengan dr. MJN Reanny Mamahit, teman sekelas yang telah menjalin hubungan perpacaran dan pertunangan selama 4 tahun. Setelah menikah, kami berdua bekerja di RS Pertamina Jaya (saya di poliklinik dan Reanny off‐shore) selama setahun. Tujuannya adalah mengumpulkan uang untuk bekal menjalani Wajib Kerja Sarjana (WKS) sesuai amanah Undang‐Undang. Kami memilih Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai daerah masa bakti. Ketika itu NTT termasuk daerah terpencil, dan kami cukup bekerja 3 tahun untuk bisa melanjutkan spesialisasi. Kisah‐kisah kami di NTT sangat seru dan mengesankan, tetapi tentunya tidak untuk ditulis di sini. Mungkin nanti di Kumpulan Kisah Seru Mengabdi di Daerah Terpencil. Ada yang berminat kontribusi? Pengalaman di NTT mengarahkan minat saya ke Kesehatan Masyarakat dan minat Reanny pada pelayanan klinis. Singkat kata, tahun 1983 kami kembali ke Jakarta. Saya bekerja di Kanwil DKI Jakarta dan Reanny mengambil spesialisasi Kebidanan dan Kandungan di FKUI. Mengapa saya tidak melanjutkan sekolah? Karena mau punya anak dulu dan mengurus rumah‐tangga (…. ideal sekali ya?). Apa mau dikata, karena memang bukan orang rumahan, saya menjadi bosaaan…… sekali! Otak rasanya jadi tumpul. Jadi tahun 1987 dengan beasiswa saya mengikuti kursus tentang Nutrisi selama 6 bulan di Wageningen, Negeri Belanda. Putra saya sudah 2 ketika itu, 7 tahun dan 3 tahun, saya titipkan kepada suami dan ibunda tercinta. Pendidikan di AS
Tahun 1990 saya merasa gelisah lagi dan mulai “berburu” beasiswa, kali ini untuk mengambil Master of Public Health (MPH). Di Kementerian Kesehatan ternyata hanya ada beasiswa untuk orang‐orang yang bekerja di daerah sulit, dan karena status saya sudah pegawai di Jakarta, maka sudah tidak eligible lagi. Untung berjumpa teman yang memberikan informasi tentang program di BAPPENAS. Sayapun mendaftar dan mengikuti serial test yang diadakan oleh Overseas Training Office (OTO), BAPPENAS, mulai dari Test Potensial Akademik (TPA) sampai TOEFL. Semua dapat dilalui dengan baik, dan saya harus mengikuti kelas persiapan selama 1 bulan. Lamanya kelas persiapan ini tergantung berapa tinggi nilai TOEFL yang diperoleh, ada yang 1, 3, 6 bulan, sampai setahun. Selama kelas persiapan tersebut kami boleh mendaftar ke 4 perguruan tinggi yang diminati di luarnegeri.
Nah….. berhubung ayah saya Master dan Doktor lulusan Amerika Serikat, begitu juga adik, ipar, dan beberapa sepupu, maka otomatis perhatian sayapun tertuju hanya ke AS. Selagi bimbang memilih, seorang teman sekelas persiapan – seorang wanita muda dari Makassar – berkomentar : “Mbak ‘kan pintar….. pilih Harvard dong!” Memang di kelas persiapan angka‐angka saya cukup lumayan, tapi …… Harvard??? Wah, mungkin ketinggian buat saya….. Tapiii……. saya pikir‐pikir lagi, apa salahnya sih mencoba? Jadi, saya mendaftar ke Harvard School of Public Health (HSPH), John Hopkins University, East West Center Hawaii, dan Tulane University. Dan ternyata……. baik HSPH maupun JHU, keduanya menerima saya. Saya sudah tidak memonitor lagi hasil dari 2 universitas yang lain, karena sibuk meloncat‐loncat gembira, bisa diterima di 2 universitas top dunia!! Ini bahasa kiasan…… sejujurnya saya tidak bisa meloncat‐loncat lagi ketika itu, karena saya sedang HAMIL TUA! Yahh……. rupanya program KB kami sedikit meleset. Rayi, anak perempuan kami satu‐satunya, lahir 11 tahun setelah Ari (putra sulung) dan 7 tahun setelah Wandha (putra ke 2) lahir.
2
Ketika waktunya tiba untuk berangkat, Rayi berusia 8 bulan. Tentu saya ingin sekali membawanya serta. Tetapi peraturan tidak membolehkan. Maka berangkatlah saya sambil menangis tersedu‐sedu, meninggalkan bayi yang terpaksa disapih. Harvard menjadi tujuan saya. Selain namanya yang lebih ‘ngetop,’ juga kebetulan karena ketika itu ada sepupu saya (Handrito) yang sedang belajar di Harvard Kennedy School, membawa istri dan 2 anaknya. Saya pikir, lumayanlah, supaya tidak terlalu merasa kesepian di negeri orang. Jadi saya mendarat di Logan Airport, Boston, dan langsung naik taxi ke Peabody Terrace, Cambridge, mencari apartment keluarga Handrito. Hanya beberapa hari saya menumpang di sana, sudah mendapat tempat di apartment Shattuck, Boston, yang khusus untuk mahasiswa HSPH dan yang hanya berjarak 10 – 15 menit dari HSPH. Orang Indonesia cukup jarang yang mengambil MPH di HSPH, di program Doctor malah belum ada samasekali. Di tahun 1991 tersebut, kebetulan ada Dr. Bimo yang sedang menjadi Takemi fellow, untuk program postdoc selama setahun, setelah sebelumnya meraih gelar MPH di HSPH. Mas Bimo suami‐istri dengan 2 anak, juga tinggal di Shattuck House, sangat membantu saya untuk settle down.
Hari‐hari pertama dilalui dengan banyak kebingungan. Terlalu banyak hal yang harus dilakukan dan semuanya diumumkan melalui kertas‐kertas yang ditempel di sana‐sini. Saya otomatis mencari wajah‐wajah Asia yang lain, supaya bisa bingung bersama‐sama…… dan langsung berteman dekat dengan 4 orang dokter pria Asia, yang tadinya juga tidak saling mengenal satu sama lain. Ke 4 orang ini seterusnya menjadi sahabat karib yang hingga saat ini terus menjalin komunikasi. Begini urutan ‘persaudaraan’ kami berdasarkan umur: yang tertua dr. Hector Jalipa (berkebangsaan Filipina, tetapi membaktikan hampir seluruh hidupnya di Afrika), lalu saya, kemudian dr. Naomasa Hirota (orang Jepang, spesialis lambung‐usus), dr.
3
4
Somsit Chunharas (berkebangsaan Thailand), dan yang termuda dr. Ravindra Rannan‐Eliya (orang Srilanka, lulusan Inggris). Banyak hal kami lalui bersama, terutama di kelas‐kelas wajib, seperti Biostatistik dan Epidemiologi. Kami semua (kecuali Naomasa yang mengambil program Master of Occupational Health selama 2 tahun) mengikuti program MPH International Health selama setahun. Saya orang yang termasuk rajin. Jadi biasanya pekerjaan rumah ‐ pekerjaan rumah seperti membuat paper, menyelesaikan soal, dsb saya selesaikan awal; malah kadang‐kadang seminggu sebelum due date sudah selesai. Karena itu saya selalu diomeli sahabat‐sahabat saya; terjemahan bebasnya : “Jangan deket‐deket….. bikin stres aja loe……..!!” Ravi otomatis merupakan sahabat yang bahasa Inggrisnya paling “Inggris,” disusul Hector. Soal eksakta, Ravi juga paling pandai, disusul Naomasa dan saya. Soal olahraga, haha…… Naomasa, Somsit dan saya paling getol main tennis dan berenang. Perkara gadget, Somsit jagonya. Soal art and entertainment, Hector punya pengetahuan luas. Hector berhasil “meracuni” saya, sehingga saya tergila‐gila pada pertunjukan musik ala Broadway di New York (New York ketika itu 5 jam naik bis dari Boston). Show yang pertama saya tonton adalah Miss Saigon. Kemudian disusul dengan Les Miserables (ini yang menurut saya paling bagus, kalau belum nonton ……. nonton deh!), Phantom of the Opera, Blood Brothers, My Fair Lady, dll, dll, dll. Hobi nonton show ini saya teruskan sampai sekarang, kapanpun saya berkesempatan ke New York atau London. Show‐show terakhir yang saya tonton: Lion King, Mamma Mia, Wicked dan Spiderman. Mendatangkan Anak‐anak ke AS Sejak saya tiba di Boston, niat saya untuk mendatangkan anak‐anak ke AS sudah saya tanamkan. Peraturan OTO membolehkan kami membawa keluarga setelah 6 bulan, tetapi saya bertekad untuk mendatangkan mereka secepatnya. Jadi saya mulai mencari apartment yang memadai untuk keluarga, mencari sekolah, mencari persyaratan imunisasi, dsb. Cukup sulit, dan semua harus dikerjakan sendiri, di sela‐sela kuliah dan belajar. Akhirnya di bulan November 1991, saya pindah ke Peabody Terrace di Cambridge, ke apartment dengan 2 kamar. Beberapa orang Indonesia dari Harvard Law School, Harvard Education School dan Harvard Kennedy School (termasuk Handrito sepupu saya) tinggal di Peabody juga. Perjuangan dimulai dengan mengisi apartment, karena tidak furnished. Saya sangat dibantu oleh Handrito dan Agus Wirahadikusuma (ketika itu masih Kolonel, sekarang sudah almarhum), mengangkat‐angkat kasur, sofa dsb. Terimakasih banyak yaa….
Ari (10 tahun) dan Wandha (7 tahun) datang diantar ibu mertua (sekarang sudah almarhumah), yang belum pernah keluar negeri sebelumnya. Reanny, suami saya, melarang Rayi si bungsu untuk dibawa, khawatir mengganggu studi saya. Ari dan Wandha langsung masuk King School yang jaraknya sangat dekat dengan apartment kami, kelas 2 dan kelas 5. Mereka samasekali tidak bisa berbahasa Inggris, tetapi bisa cepat menyesuaikan. Mammi (ibu mertua), bersama beberapa ibu Indonesia lain, ikut kursus bahasa Inggris. Mammi jago masak, jadi banyak ibu‐ibu Indonesia yang belajar masak darinya. Sayang, saya menantunya, tidak ada waktu untuk belajar masak, di samping memang tidak suka masak. Dua bulan menjelang wisuda, mammi harus pulang ke Indonesia. Karena peraturan di Amerika melarang anak‐anak ditinggal di rumah sendiri, maka saya meminta adik perempuan saya (yang baru lulus sarjana dan masih menganggur) untuk datang menggantikan mammi. Adik saya sama nol nya dengan saya perkara masak, karena itu anak‐anak sempat protes, yang ditawarkan cuma: telur rebus, atau telur ceplok, atau telur dadar …….. Program Doctor of Public Health Almarhum ayahanda pernah berpesan agar sedapat mungkin anak‐anaknya meraih gelar doctor. Adik laki‐laki saya ketika itu sedang mengikuti program doctor di Cornell University. Maka di penghujung semester 1, saya mulai konsultasi dengan pembimbing saya untuk hal tersebut. Ternyata saya harus membuat proposal untuk dapat mendaftar dalam program Doctor of Public Health (DPH). Saya berminat mempelajari AIDS karena masalah tersebut relatif baru di Indonesia. Saya mendekati banyak professor yang potensial untuk menjadi pembimbing utama. Karena saya lebih menekankan pada aspek perilaku, maka akhirnya saya meminta Professor Kristian Heggenhougen (seorang ahli medikoantropologi berkebangsaan Norwegia) untuk menjadi pembimbing utama. Saya masih harus melalui wawancara oleh Ketua Program Studi yang ketika itu malah menganjurkan saya untuk belajar di Australia saja, karena lebih dekat. Saya menolak dan bersikeras. Tentu saja ini merupakan kerja ekstra, padahal banyak ujian yang masih harus saya tempuh untuk gelar MPH.
5
Karena itu Somsit berkomentar: “Endang…. are you crazy? Do you want to burn yourself?” Akhirnya mendekati wisuda, saya memperoleh kepastian bahwa diterima untuk program DPH. Sekarang saya bingung yang lain lagi. Siapa yang akan bayar? Saya berupaya menghubungi OTO BAPPENAS. Lalu, kira‐kira….. apakah Kementerian Kesehatan akan mengizinkan saya? Ketika itu aturannya harus mengabdi selama 2 tahun (2x masa studi) sebelum boleh belajar lagi. Karena urusan masih banyak, maka saya memohon kepada HSPH agar program DPH saya itu boleh ditunda sampai semester berikut. Rayi tidak mengenali ibunya Suami saya datang menghadiri wisuda saya. Rayi tentu saja dibawa. Ia sudah berumur 18 bulan. Di bandara kami bertemu lagi. Dalam gendongan ayahnya, ia memandangi saya. Tapi menolak untuk saya gendong. Bahkan memutarkan tubuhnya membelakangi saya. Aduh…….. tidak terkirakan rasa sedihnya……! Tiba‐tiba Ari dan Wandha menghambur ke depan, tertawa‐tawa di depan Rayi. Dan Rayipun langsung tertawa, menjulurkan badannya ke arah abang‐abangnya. Ia mengenali mereka!
Saya yakin Rayi pasti masih mengenali saya, hanya saja ia marah. Samasekali tidak mau berkomunikasi dengan saya. Berhari‐hari saya membawa Rayi bermain di tepi
6
7
sungai bersama Ari dan Wandha. Saya terus berupaya menggapai hatinya. Belum berhasil…… Sampai suatu sore, saya berdiri di depan cermin, mencoba sebuah T‐shirt pemberian seorang teman dari Afrika. Tulisannya Hakuna Matata. Ketika itu kata‐kata tersebut masih asing bagi saya (belum ada film Lion King). Jadi saya mengulang‐ulang kata‐kata tersebut di depan cermin, sambil berjoget gaya Afrika: “Haaakuna matataaa……… haaaakuna matataaaa…..!” Tiba‐tiba saya mendengar tawa geli Rayi. Rupanya ia sedang duduk dan mengawasi saya dari belakang. Lalu katanya: ”Lagi……. lagi……..!” Sayapun melonjak gembira, saya tertawa sambil menangis. Akhirnya…. Rayi mau berbicara dengan ibunya. Rayi saya gendong, dan kami berdua menari berputar‐putar: “Haaakunaa…..matataaa….. haakunaaa matataaa……!!” Perjuangan tak henti Setiba kami di Indonesia, sambil bekerja kembali di Kanwil DKI Jakarta sebagai staf biasa, saya mulai mengurus beasiswa dan izin berangkat ke AS lagi. Karena nilai TPA dan TOEFL masih berumur kurang dari 2 tahun, OTO tidak mengharuskan saya test lagi. Kebijakan mereka saat itu adalah mendorong sebanyak mungkin perempuan untuk meraih gelar doctor. Karena itu, dalam waktu beberapa bulan saya sudah memperoleh beasiswa untuk program doctor di HSPH. Namun kegembiraan tersebut tidak berarti, Kementerian Kesehatan berkeras saya harus menunggu 2 tahun lagi. Betapapun saya mengatakan bahwa bila menunggu 2 tahun lagi maka saya harus memulai semua test dari awal, dan harus melamar kembali ke HSPH. Saya berjanji tidak akan keluar dari Kementerian Kesehatan untuk membayar semua masa bakti saya. Tidak berhasil! Maka selama 8 bulan saya bolak‐balik ke Kemenkes, sebulan 2 kali. Kadang‐kadang pagi jam 7, kadang‐kadang sore sesudah jam kerja. Tujuan saya adalah memperoleh izin dari Kepala Biro Kepegawaian, yang sebetulnya kenal baik dengan keluarga saya. Setiap pulang, saya selalu meneteskan airmata, karena jawabannya TIDAK…TIDAK dan TIDAK..!
Banyak orang menganjurkan saya untuk berhenti berusaha, mereka lelah melihat upaya saya yang tidak kunjung berhasil. Untunglah suami saya terus mendorong saya. Ia mendampingi saya dalam menyelesaikan persoalan‐persoalan dan menghadapi semua tantangan. Kadang‐kadang, selagi menunggu kesempatan bertemu dengan Karo Kepegawaian atau pejabat Kemenkes lain, saya berjumpa dengan orang‐orang yang tidak saya kenal. Beberapa dari mereka menyemangati saya dan berkata: “Selamat berjuang ya dok…. Saya doakan agar menjadi Menteri…” Saya tidak mengerti apa yang mendorong mereka mengatakan hal tersebut. Umur saya masih 37 tahun, dan cita‐cita saya cuma mau meraih gelar doctor dari HSPH. Saya berupaya menemui Menteri Kesehatan. Saya menunggu di gedung DPR, karena kalau di kantor Kemenkes tidak akan mungkin boleh menemui beliau. Kebetulan ketika itu Menkes sering ke DPR karena sedang membahas RUU Kesehatan. Usai sidang saya mendekat. Menkes tercengang dan bertanya: “Apa anda wartawan?” Dalam waktu 3 menit saya berupaya menjelaskan persoalan yang saya hadapi. Beliau tercenung lalu mengatakan: “Saya tidak melihat mengapa anda tidak boleh melanjutkan studi. Silakan ke kantor saya.” Bukan main gembira hati saya. Saya mencoba menemui beliau di kantor. Ternyata sulit sekali. Sampai suatu saat, sekretaris pribadinya keluar ke ruang tamu. Ternyata ia teman sekelas di SMA. Tanpa basa‐basi dan protokoler, ia mengajak saya masuk
8
9
menemui Menkes. Menkes belum lupa. Ia menuliskan beberapa kalimat yang ditujukan ke Sekretaris Jenderal. Saya terseyum menyalami Menkes: “Bapak tidak akan menyesali keputusan ini, pak. Saya berjanji membaktikan seluruh hidup saya untuk kesehatan masyarakat Indonesia.” Sudahkah selesai perjuangan? Ternyata belum. Saya dipanggil Sekjen dan dimarahi. Dikatakan bertabiat jelek, sombong (karena lulusan Harvard), dsb. Begitu juga Karo Kepegawaian tidak senang. Proses surat‐menyurat dijalankan dengan sangat lambat. Sementara itu, tahun sudah bergulir ke 1993. Kuliah semester berikut sudah dimulai di HSPH, dan saya belum datang juga. Saya tidak berputus asa. Dari Jakarta saya memilih kuliah‐kuliah yang akan saya ambil. Saya berpesan kepada Naomasa yang masih di HSPH ketika itu, untuk menitipkan alat perekam di kuliah‐kuliah yang akan saya ambil. Akhirnya…… bulan Februari 1993 saya memperoleh izin dari Kemenkes. Pegawai‐pegawai Biro Kepegawaian ikut menyalami saya, sambil berkata: “Terus‐terang dok, belum pernah kami lihat orang yang segigih dokter. Bolak‐balik, bolak‐balik, pantang menyerah ya dok?” Saya tersenyum saja. Bagi saya tidak ada pilihan, selain satu hal: HARUS BERHASIL. Tahun 1997 saya menjadi Doctor of Public Health lulusan HSPH yang pertama dari Indonesia, dengan GPA 3,84. Bergaul di AS Bergaul di AS tidak selalu berarti bergaul dengan orang Amerika, karena begitu banyak orang dari mancanegara belajar di AS. Sedari muda saya dibiasakan bergaul dengan orang‐orang asing. Ayah saya seorang guru besar di IKIP Jakarta (menjadi Rektor periode 1980 ‐ 1984). Walaupun rumah kami kecil, beliau selalu bersedia menerima mahasiswa‐mahasiswa asing mondok di rumah secara bergiliran. Kami pernah ketempatan mahasiswa Jepang, Australia dan Amerika. Mahasiswa Amerika yang juga merupakan teman kuliah ayah di AS ini banyak mengajari saya tentang budaya di AS, selain mengajari saya bahasa Inggris – Amerika. Saya beruntung belajar di sekolah yang jarang orang Indonesianya. Dan memang saya bertekad untuk bergaul sebanyak mungkin dengan orang‐orang internasional, mumpung di luar negeri. Saya tidak mau seperti anekdot, di Amerika orang Batak jadi bisa bahasa Jawa, saking seringnya bergaul dengan mahasiswa‐mahasiswa Jawa. Tentu sekali‐sekali saya ikut kumpul‐kumpul dengan orang Indonesia. Seperti waktu Lebaran atau ketika kami mengadakan Malam Indonesia di Peabody Terrace. Saya menyumbangkan tari Jaipong, selain ikut dalam vocal group menyanyikan Euis dan Sepasang Mata Bola. Ngomong‐ngomong soal Jaipong, setiap tahun saya juga menari di malam internasional di HSPH.
Di awal studi, saya jarang mengacungkan jari minta bicara. Karena selalu terlambat. Saya masih memikirkan mau bicara apa, orang lain sudah acung jari. Padahal saya lihat orang tersebut juga belum siap bicara. Jadi dia berpikir sambil bicara. Wah…….. kalau begini caranya, saya tidak bakal punya kesempatan mengemukakan pendapat saya. Maka sayapun belajar berpikir sambil bicara. Yang penting acung jari dulu, supaya dapat kesempatan bicara….hehehe…!! Dalam bergaul tentu saya pernah mengalami hal‐hal yang tidak enak. Di awal studi, seorang mahasiswa Amerika yang bangga karena pernah bekerja beberapa bulan di India, mengomentari kontribusi saya dalam group. Katanya tulisan saya tidak mengandung cukup “meat and potatoes” atau “meat and carrots” ya? Saya lupa. Intinya, jeleklah pokoknya. Saya tersinggung berat. Tetapi saya sadar bahwa saya harus berusaha memperbaiki gaya tulisan. Yang biasa saya tulis hanya pokok‐pokok pikiran dan tidak dielaborasi. Di AS gaya begini akan tampak miskin ide, terutama di sekolah ilmu sosial macam HSPH. Jadi saya berupaya keras menuliskan ide‐ide pokok menjadi paragraf‐paragraf. Kekurangan lain mahasiswa Asia pada waktu itu adalah sering lupa menyebutkan sumber tulisannya. Seorang rekan Asia bahkan hampir dikeluarkan karena tuduhan plagiat. Padahal kami yakin dia tidak bermaksud begitu, hanya tidak biasa menuliskan sumber informasinya. Sebagai Peneliti
Bertahun‐tahun setelah saya meraih gelar doctor, kadang‐kadang masih timbul rasa tidak percaya, bagaimana saya sanggup melewati semua itu. Perpisahan dengan anak‐anak lagi, menyelesaikan begitu banyak pekerjaan rumah, melewati musim dingin yang berat, melakukan analisis data sendiri (di tahun terakhir sudah tidak ada kelas lagi, kerja individual saja), menulis disertasi yang tebalnya seperti bantal, dsb, dsb. Rasa syukur ke hadirat Allah selalu terucap di saat‐saat mengenang
10
11
perjuangan yang lalu. Akibatnya, sebenarnya saya sudah merasa “selesai” ketika saya sudah berhasil mendapatkan gelar Doctor of Public Health. Saya tidak punya ambisi yang lain lagi. Namun nasib berkata lain. Saya tentu memenuhi janji saya untuk kembali mengabdi sebagai PNS di Kementerian Kesehatan. Karena sudah S3, maka saya dipindahkan ke Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes). Tadinya saya berniat konsentrasi di Infeksi Menular Seksual, HIV dan AIDS. Tetapi kemudian saya diberi tugas sebagai peneliti Emerging Infectious Diseases, dengan lingkup yang lebih luas. Semua tugas tidak ada yang saya tolak. Semua saya upayakan selesai dengan sebaik‐baiknya. Karena kemampuan bahasa Inggris, maka saya juga mendapat tugas sebagai fund getter bagi rekan‐rekan saya sesama peneliti. Saya melakukan lobi, menulis proposal dan menjadi perantara untuk banyak penelitian kerjasama internasional. Saya juga berupaya agar junior‐junior bisa terus melanjutkan studi. Walaupun tanpa ambisi, karena semua tugas selesai dengan baik, maka saya kembali masuk “jalur cepat.” Saya dipilih menjadi wakil ketua Komisi Ilmiah Balitbangkes, yang sebagian besar adalah peneliti‐peneliti senior. Tak lama kemudian saya menjadi ketuanya. Belum lagi jabatan‐jabatan fungsional lain. Tahun 2007 saya diangkat menjadi Kepala Puslitbang Biomedis dan Farmasi, namun dikembalikan menjadi peneliti lagi tahun 2008. Menjadi Menteri Kesehatan RI
Saya kembali menjalani hari‐hari mengasyikkan sebagai peneliti. Sampai suatu hari di mana saya memperoleh tilpon yang mengejutkan. Dari pak Sudi Silalahi, yang meminta saya datang waktu itu juga ke Cikeas. Cerita tentang ini sudah banyak dimuat, termasuk di buku Selendang Panjang bu Menkes, karangan Isye Soentoro, seorang wartawati sahabat saya. Ternyata Allah mengabulkan perkataan/doa/harapan orang‐orang yang berjumpa dengan saya ketika saya berjuang memperoleh izin studi S3, yang bahkan sudah saya lupakan siapa‐siapa mereka itu. Allah juga memberi kesempatan saya memenuhi janji saya di hadapan Menkes ketika itu. Setelah melalui berbagai test, saya diangkat menjadi Menteri Kesehatan Kabinet Indonesia Bersatu II. Sebagai Menkes tentu tantangan yang saya hadapi jauh, jauh, lebih besar. Jumlah penduduk Indonesia yang sangat banyak, jumlah penduduk miskin masih di atas 10%, situasi geografis Indonesia yang tidak mudah, kondisi tanah air yang rawan bencana, sumber daya manusia kesehatan yang masih kurang (kuantitas, kualitas, dan distribusi), perilaku hidup yang belum sehat, anggaran yang belum memadai, serta beban penyakit menular dan tidak menular yang cukup tinggi. Tetapi sikap mental saya dalam menghadapi tantangan tersebut masih tetap sama. Selesaikan satu‐persatu, selalu optimis, pantang menyerah, dan menggandeng semua pihak untuk bekerja bersama mencapai tujuan yang dicita‐citakan. Tidak ada dendam, tidak ada sakit hati, karena tujuan yang lebih mulia ada di depan. Banyak wartawan asing menanyakan, apakah saya optimis Masyarakat Sehat yang Mandiri dan Berkeadilan bisa tercapai? Saya jawab, HARUS OPTIMIS! Karena saya selalu percaya kata‐kata bijak: selangkah maju berarti selangkah lebih dekat ke tujuan.
12
Tahun ini menginjak tahun ke 3 saya menjadi Menteri Kesehatan. Perjalanan masih panjang. Apapun bisa terjadi antara sekarang dan tahun 2014. Kementerian Kesehatan mempunyai tugas berat untuk mewujudkan universal coverage untuk jaminan kesehatan di tahun 2014. Kalau Negara lain mampu mewujudkan, maka Indonesia juga HARUS BISA!! Sekali lagi, kita tidak punya pilihan lain selain: BERHASIL!! Penutup Terimakasih sudah membaca kisah singkat saya. Mudah‐mudahan bisa diambil manfaatnya. Pamit.