artikel sara sorraya ermuna

11
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan ITB Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V4N2 | 373 Analisis Kinerja Jaringan Jalan dan Emisi Gas Buang Kendaraan Sebagai Dampak dari Rencana Pengembangan Monorel di Kota Bandung Sara Sorayya Ermuna (1) , Iwan Pratoyo Kusumantoro (2) (1) Program Studi Magister Perencanaan Wilayah dan Kota, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK), ITB. (2) Kelompok Keahlian Sistem Infrastruktur Wilayah dan Kota, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK), ITB. Abstrak Penggunaan kendaraan pribadi di Kota Bandung rata-rata meningkat sebesar 8,34% selama kurun waktu tahun 2008-2010 serta peningkatan jumlah penduduk rata-rata sebesar 1,36% sejak tahun 2002-2013. Hal tersebut dapat menyebabkan adanya peningkatan kendaraan pribadi. Selain itu, untuk mewujudkan konsep sistem transportasi yang berkelanjutan, maka sebaiknya diarahkan untuk penggunaan kendaraan umum. Salah satu moda transportasi umum yang akan dikembangkan di Kota Bandung adalah monorel dengan menetapkan beberapa ruas jalan yang akan dijadikan rute monorel. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian yang secara teknis dapat menggambarkan kondisi ruas jalan saat sebelum dan setelah terdapat rencana pengembangan monorel. Fokus penelitian ini adalah pada analisa kinerja jaringan jalan wilayah studi dan pengukuran emisi gas buang kendaraan, yang akan dibandingkan pada saat kondisi eksisting dan kondisi mendatang saat monorel telah diterapkan. Tujuan lainnya dari penelitian ini adalah melakukan komparasi terhadap perhitungan hasil emisi gas buang kendaraan dari hasil uji primer maupun hasil perhitungan menggunakan model Zhongan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada kondisi eksisting dari 11 ruas jalan yang termasuk wilayah studi, terdapat 8 ruas jalan yang memiliki kelas kinerja jalan di bawah B. Sementara itu, setelah dilakukan penerapan skenario, maka hanya terdapat 5 ruas jalan yang memiliki kelas kinerja jaringan jalan di bawah B. Sementara itu, hasil pengukuran pada kondisi eksisting menunjukkan bahwa pada dasarnya tingkat emisi gas buang untuk unsur CO, NO2, dan SO2 di wilayah studi tidak melebihi standar baku mutu yang berlaku. Kata-kunci: kinerja jaringan jalan, emisi gas buang kendaraan, monorel, kota Bandung Pengantar Kota Bandung sebagai Ibukota Propinsi Jawa Barat, memiliki peningkatan jumlah penduduk rata-rata 1,36% dari tahun 2002-2013 yang diyakini dapat mempengaruhi tingkat kepadatan lalu lintas. Hal tersebut didukung pula dengan adanya peningkatan jumlah kendaraan pribadi (sepeda motor, mobil penumpang dan barang, jeep dan sejenisnya, bus besar-kecil non umum) sejak tahun 2008-2010 yang mencapai 8,34% sehingga diyakini dapat mempengaruhi kondisi lalu lintas. Terdapat rencana pengembangan monorel sebagai salah satu moda transportasi di Kota Bandung yang bermaksud untuk menghubungkan setiap lokasi-lokasi kegiatan, sehingga memerlukan studi terkait tingkat permintaan maupun dampak yang akan ditimbulkan dari rencana pengembangan monorel tersebut. Transportasi Kota Bandung sudah mengalami perubahan yang sangat signifikan dibandingkan dengan 5-10 tahun yang lalu. Besarnya jumlah pembangunan infrastruktur jalan mengubah pola pergerakan di dalam Kota Bandung. Sebagai contoh adalah jembatan Pasupati yang berkontribusi terhadap perubahan pola perjalanan di kawasan Bandung Utara, dimana pergerakan barat-timur di daerah

Upload: sara-sorayya

Post on 13-Jul-2016

226 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

artikel

TRANSCRIPT

Page 1: Artikel Sara Sorraya Ermuna

Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan ITB

Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V4N2 | 373

Analisis Kinerja Jaringan Jalan dan Emisi Gas Buang Kendaraan Sebagai Dampak dari Rencana Pengembangan Monorel di Kota Bandung

Sara Sorayya Ermuna(1), Iwan Pratoyo Kusumantoro (2)

(1) Program Studi Magister Perencanaan Wilayah dan Kota, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK), ITB.

(2) Kelompok Keahlian Sistem Infrastruktur Wilayah dan Kota, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK), ITB.

Abstrak Penggunaan kendaraan pribadi di Kota Bandung rata-rata meningkat sebesar 8,34% selama kurun waktu tahun 2008-2010 serta peningkatan jumlah penduduk rata-rata sebesar 1,36% sejak tahun 2002-2013. Hal tersebut dapat menyebabkan adanya peningkatan kendaraan pribadi. Selain itu, untuk mewujudkan konsep sistem transportasi yang berkelanjutan, maka sebaiknya diarahkan untuk penggunaan kendaraan umum. Salah satu moda transportasi umum yang akan dikembangkan di Kota Bandung adalah monorel dengan menetapkan beberapa ruas jalan yang akan dijadikan rute monorel. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian yang secara teknis dapat menggambarkan kondisi ruas jalan saat sebelum dan setelah terdapat rencana pengembangan monorel. Fokus penelitian ini adalah pada analisa kinerja jaringan jalan wilayah studi dan pengukuran emisi gas buang kendaraan, yang akan dibandingkan pada saat kondisi eksisting dan kondisi mendatang saat monorel telah diterapkan. Tujuan lainnya dari penelitian ini adalah melakukan komparasi terhadap perhitungan hasil emisi gas buang kendaraan dari hasil uji primer maupun hasil perhitungan menggunakan model Zhongan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada kondisi eksisting dari 11 ruas jalan yang termasuk wilayah studi, terdapat 8 ruas jalan yang memiliki kelas kinerja jalan di bawah B. Sementara itu, setelah dilakukan penerapan skenario, maka hanya terdapat 5 ruas jalan yang memiliki kelas kinerja jaringan jalan di bawah B. Sementara itu, hasil pengukuran pada kondisi eksisting menunjukkan bahwa pada dasarnya tingkat emisi gas buang untuk unsur CO, NO2, dan SO2 di wilayah studi tidak melebihi standar baku mutu yang berlaku. Kata-kunci: kinerja jaringan jalan, emisi gas buang kendaraan, monorel, kota Bandung

Pengantar

Kota Bandung sebagai Ibukota Propinsi Jawa Barat, memiliki peningkatan jumlah penduduk rata-rata 1,36% dari tahun 2002-2013 yang diyakini dapat mempengaruhi tingkat kepadatan lalu lintas. Hal tersebut didukung pula dengan adanya peningkatan jumlah kendaraan pribadi (sepeda motor, mobil penumpang dan barang, jeep dan sejenisnya, bus besar-kecil non umum) sejak tahun 2008-2010 yang mencapai 8,34% sehingga diyakini dapat mempengaruhi kondisi lalu lintas. Terdapat rencana pengembangan monorel sebagai salah satu moda transportasi di

Kota Bandung yang bermaksud untuk menghubungkan setiap lokasi-lokasi kegiatan, sehingga memerlukan studi terkait tingkat permintaan maupun dampak yang akan ditimbulkan dari rencana pengembangan monorel tersebut. Transportasi Kota Bandung sudah mengalami perubahan yang sangat signifikan dibandingkan dengan 5-10 tahun yang lalu. Besarnya jumlah pembangunan infrastruktur jalan mengubah pola pergerakan di dalam Kota Bandung. Sebagai contoh adalah jembatan Pasupati yang berkontribusi terhadap perubahan pola perjalanan di kawasan Bandung Utara, dimana pergerakan barat-timur di daerah

Page 2: Artikel Sara Sorraya Ermuna

Analisis Kinerja Jaringan Jalan dan Emisi Gas Buang Kendaraan

374 | Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V4N2

itu menjadi relatif lebih lancar (Masterplan Transportasi Kota Bandung, 2009). Jalan tol Purbaleunyi yang memberi akses kemudahan perjalanan Bandung-Jakarta (Jabodetabek secara lebih luas) telah merubah wajah transportasi Kota Bandung menjadi lebih semrawut, khususnya saat libur panjang. Kemudahan transportasi darat menuju ke Bandung membuat banyak orang luar kota datang untuk menikmati berbagai bentuk wisata kuliner dan belanja di dalam kota. Peningkatan jumlah wisata ini telah meningkatkan roda perekonomian masyarakat kota dan meningkatan kesejahteraan banyak orang. Akan tetapi, jaringan jalan yang ada ternyata belum mampu untuk mendukung perkembangan yang sangat pesat ini. Sesuai dengan Masterplan Transportasi Kota Bandung tahun 2009, angkutan umum di Kota Bandung masih mengandalkan jenis angkutan umum paratransit yang didukung dengan angkutan umum informal lainnya seperti taksi, ojek dan becak khusus untuk kawasan lingkungan. Bus kota yang dijalankan oleh Damri sampai saat ini memiliki proporsi yang sangat kecil dalam pelayanan angkutan umum di dalam kota. Dalam banyak literatur tentang perkembangan kota dan transportasi (urban transportation); mengandalkan jaringan angkutan umum pada jenis angkutan umum paratransit untuk kota sepadat Kota Bandung ini adalah hal yang tidak efisien. Kebijakan pengembangan sistem angkutan umum masal (SAUM) Kota Bandung, dengan diujicobakan Jalur Trans Metro Bandung (TMB), diharapkan mampu memperbaiki transportasi angkutan umum dalam Kota Bandung tetapi strategi pengembangan SAUM yang terintegrasi dengan moda lainnya perlu menjadi prioritas pengembangan di masa yang akan datang.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji dampak rencana pengembangan monorel terhadap kinerja jaringan jalan dan emisi gas buang kendaraan. Oleh karena itu, sasaran dalam penelitian ini antara lain: 1. Karakteristik geometrik jalan dan volume

lalu lintas di ruas jalan wilayah studi, 2. Identifikasi kinerja jaringan jalan di wilayah

studi pada kondisi eksisting dan setelah diterapkan skenario monorel kota bandung,

3. Identifikasi perhitungan emisi gas buang kendaraan pada wilayah studi setelah diterapkan skenario monorel Kota Bandung dengan menggunakan model zhongan dan faktor emisi yang berlaku di indonesia.

Berdasarkan sasaran tersebut, maka dapat diketahui dampak yang akan dihasilkan dari adanya penerapan scenario monorel di Kota Bandung terhadap kinerja jaringan jalan dan emisi gas buang kendaraan.

Metode

Penelitian mengenai Dampak Rencana Pengembangan Monorel di Kota Bandung Terhadap Kinerja Jaringan Jalan dan Emisi Gas Buang Kendaraan ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif diwujudkan dengan perhitungan kinerja jaringan jalan didasarkan pada ruas jalan yang direncanakan sebagai rute monorel. Sementara itu, untuk permodelan emisi gas buang kendaraan didasarkan pada perhitungan dengan menggunakan metode Zhongan yang kemudian didukung dengan hasil uji primer. Selanjutnya akan dilakukan peramalan ketika monorel telah diterapkan berdasarkan probabilitas pengguna moda yang mungkin berpindah dengan melihat dampak dari perubahan kinerja jaringan jalan dan emisi gas buang kendaraan.

Lokasi penelitian berada pada Kota Bandung, yang terfokus pada ruas jalan yang diidentifikasikan sebagai rencana pembangunan monorel di Kota Bandung, dengan ruas jalan sebagai berikut.

Tabel 1. Ruas Jalan yang Digunakan Sebagai Wilayah Studi Penelitian

Ruas Jalan Panjang (km) Jalan Ir. H. Juanda 4,16 Jalan Dipatiukur 1,75 Jalan Merdeka 0,44 Jalan Braga 0,25 Jalan Lembong 0,45 Jalan Veteran 0,8 Jalan Sunda 0,2 Jalan Gatot Subroto 1,12 Jalan Pelajar Pejuang 1,29 Jalan Buah Batu 3,31 Jalan Terusan Buah Batu 1,51

Sumber: Survei Primer dan Data Jaringan Jalan Kota Bandung

Page 3: Artikel Sara Sorraya Ermuna

Sara Sorayya Ermuna

Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V4N2 | 375

1. Pengukuran Kinerja Jaringan Jalan Kapasitas jalan C=C_o xFC_w xFC_SP xFC_SF xFC_CS Dimana: C : Kapasitas Aktual (smp/jam) Co : Kapasitas Dasar (smp/jam) FCw : Faktor penyesuaian lebar jalur lalu

lintas FCSP : Faktor penyesuaian median atau

pemisah arah FCSF : Faktor penyesuaian hambatan

samping FCCS : Faktor penyesuaian hambatan

samping

2. Derajat Kejenuhan

Derajat kejenuhan (DS) didefinisikan sebagai rasio arus terhadap kapasitas, digunakan sebagai faktor utama dalam penentuan tingkat kinerja simpang dan segmen jalan. Nilai DS menunjukkan apakah segmen jalan tersebut mempunyai masalah kapasitas atau tidak.

DS = Qsmp/C dimana: Qsmp = Arus total (smp/jam) Qsmp = Qkend × Fsmp Fsmp = Faktor smp = (LV% + HV% ×

empHV + MC% × empMC)/100 C = Kapasitas Derajat kejenuhan dihitung dengan menggunakan arus dan kapasitas dinyatakan dalam smp/jam.

3. Kinerja jaringan jalan atau tingkat pelayanan jalan

Kinerja jaringan jalan atau Level of Services (LOS) adalah suatu ukuran yang digunakan untuk mengetahui kualitas suatu ruas jalan tertentu dalam melayani arus lalu lintas yang melewatinya. Tingkat pelayanan (VCR) dilakukan dengan persamaan sebagai berikut:

VCR=V/C Dimana: VCR : Volume kapasitas rasio (nilai tingkat

pelayanan)

V : Volume lalu lintas (smp/jam) C : Kapasitas ruas jalan (smp/jam) Analisa Kinerja Jaringan Jalan Kondisi Eksisting dan Sesudah Diterapkan Skenario Monorel

4. Pengukuran Emisi Gas Buang

a. Model Zhongan

Metode perhitungan polusi udara ini berdasarkan nilai polutan yang menurut teori dari Zhongan yang membedakan nilai polutan berdasarkan jenis kendaraan. Berikut merupakan persamaan yang digunakan dalam perhitungan polusi udara:

Dimana: L : Panjang jalan yang diteliti Ni : Jumlah kendaraan bermotor tipe i

yang melintas ruas jalan (kendaraan/jam)

Fpi : Faktor emisi kendaraan bermotor tipe i (g/Km)

Ep : Intensitas emisi dari suatu ruas (g/jam/km)

Penggunaan model zhongan ini didasarkan pada teori yang dikemukakan bahwa semakin tinggi VCR di suatu ruas jalan pada waktu tertentu, maka akan meningkatkan hasil emisi gas buang dari sektor transportasi.

b. Faktor Emisi yang Digunakan

Faktor emisi yang digunakan adalah faktor emisi yang berlaku di Indonesia dan dipublikasikan oleh institusi di Indonesia. Hal tersebut dimaksudkan agar perhitungan emisi gas buang yang dilakukan akan lebih sesuai dengan hasil uji primer yang akan dilakukan sebagai bahan perbandingan. Terdapat 2 sumber faktor emisi yang digunakan, yakni dari LAPI ITB dan Kementerian Lingkungan Hidup dimana penggunaaannya akan disesuaikan untuk masing-masing unsur.

Page 4: Artikel Sara Sorraya Ermuna

Analisis Kinerja Jaringan Jalan dan Emisi Gas Buang Kendaraan

376 | Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V4N2

Tabel 2 Faktor Emisi Polutan LAPI ITB Tipe

Kendaraan Jumlah Emisi Gas Buang CO NOx SO2

Kendaraan pribadi

195,05 57,02 0

Kendaraan pribadi

53,05 10,46 4,9

Angkutan Kota

389,16 85,92 0

Bus 10,28 41,6 3,44 Truk 14,81 65,13 5,02 Sepeda Motor 19,2 0,13 0,017 Taksi 195,05 57,02 0

Sumber: LAPI ITB, 1996

Tabel 3 Data Faktor Emisi Indonesia Kementerian Lingkungan Hidup

CO Nox SO2

Sepeda Motor 14 0.29 0.008

Mobil Penumpang 32.4 2.3 0.11

Angkutan Kota 43.1 2.1 0.029

Bis 11 11.9 0.93

Truk 8.4 17.7 0.82 Sumber: Suhadi, 2008 5. Penggunaan Asumsi dalam Penelitian

a. Pengambilan data volume lalu lintas dilakukan pada jam-jam puncak baik pada weekday maupun weekend seperti yang tertera pada sub pembahasan waktu pengambilan sampel. Acuan untuk menentukan jam sibuk tersebut didasarkan dari studi terdahulu berupa penelitian maupun kajian yang dilakukan oleh Dinas Perhubungan Kota Bandung.

b. Estimasi volume lalu lintas kendaraan dan emisi gas buang untuk skenario penerapan monorel didasrkan pada data peluang berpindahnya penduduk pengguna kendaraan pribadi menggunakan monorel. Data ini didapatkan dari Kajian Pra Studi Kelayakan Monorel Kota Bandung. Berikut merupakan tabel prosentase peluang berpindahnya moda transportasi pribadi ke monorel.

Tabel 4 Prosentase Peluang Berpindahnya Moda Transportasi Pribadi ke Monorel di Kota Bandung

Pasti Mungkin Rata-rata

Sepeda Motor 17.625 18.75 18.1875

Mobil 16.25 18.25 17.25 Angkutan Umum 14.625 21.125 17.875

Sumber: Kajian Pra Studi Kelayakan Monorel Kota Bandung c. Uji primer emisi gas buang kendaraan

didasarkan pada PPRI No.41 Th.1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara dan SNI 19-7119.2 -2005 pada 11 ruas jalan wilayah studi.

d. Perhitungan emisi gas buang didasarkan pada model perhitungan yang dijabarkan oleh Zhongan (2005) dengan penggunaan faktor emisi yang diterapkan di Indonesia, yang berasal dari LAPI ITB dan Kementerian Lingkungan Hidup (Suhadi, 1998) yang selanjutnya dibandingkan dengan hasil uji primer.

Hasil dan Pembahasan Kinerja Jaringan Jalan

Analisa tingkat pelayanan jalan merupakan analisa yang menekankan pada sistem jaringan dan pergerakan sebagai bagian bagian dari faktor yang menentukan jaringan jalan. Berdasarkan teori yang dikemukanan oleh Morlok, Black, Salter terdapat beberapa aspek yang dapat mempengaruhi kinerja jaringan jalan yang biasa disebut tingkat pelayanan. Aspek penting dalam tingkat pelayanan jalan antara lain adalah waktu perjalanan (atau kecepatan), keterandalan, kenyamanan, keamanan. Beberapa aspek tentunya akan sangat bergantung terhadap persepsi dari pengguna jalan, yakni kenyamanan. Oleh sebab itu, dalam analisa tingkat pelayanan jalan ini akan terfokus pada pembahasan rasio antara volume lalu lintas terhadap kapasitas jalan. Perhitungan kapasitas jalan pada studi ini disesuaikan dengan ruas-ruas jalan yang dikaji sebagai berikut.

Page 5: Artikel Sara Sorraya Ermuna

Sara Sorayya Ermuna

Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V4N2 | 377

Tabel 5 Analisa Kinerja Jaringan Jalan Berdasarkan Kondisi Eksisting

Ruas Jalan Kelas Kinerja Jaringan Jalan

Pada Kondisi Eksisting A B C D E F

Jalan Ir. H. Juanda

√ √ √ √

Jalan Dipatiukur

Jalan Merdeka √ √ √ Jalan Braga √ √ Jalan Lembong

√ √ √

Jalan Veteran √ √ Jalan Sunda √ √ √ √ √ Jalan Gatot Subroto

√ √ √ √

Jalan Pelajar Pejuang

√ √ √ √ √ √

Jalan Buah Batu

√ √

Jalan Terusan Buah Batu

√ √ √ √ √

Sumber: Hasil Analisa 2015

Tabel 6 Analisa Kinerja Jaringan Jalan Berdasarkan Hasil Estimasi Penerapan Skenario Monorel

Ruas Jalan Kelas Kinerja Jaringan Jalan

Pada Kondisi Eksisting A B C D E F

Jalan Ir. H. Juanda

√ √ √ √

Jalan Dipatiukur

Jalan Merdeka √ √ √ Jalan Braga √ √ Jalan Lembong √ √ √ Jalan Veteran √ √ Jalan Sunda √ √ √ √ Jalan Gatot Subroto

√ √ √

Jalan Pelajar Pejuang

√ √ √ √ √

Jalan Buah Batu

Jalan Terusan Buah Batu

√ √ √ √ √

Sumber: Hasil Analisa 2015

Jalan Ir. H. Juanda

Kinerja jaringan jalan yang paling rendah untuk ruas Jalan Ir. H. Juanda ialah pada kelas E saat hari kerja (weekday: 07.00-08.00. Selain itu, kinerja jaringan jalan dengan nilai C juga terdapat di ruas Jalan Ir. H. Juanda, baik pada hari weekend (09.00-10.00) maupun weekday (07.00-08.00, 12.00-13.00, 16.00-17.00).

Sementara itu, ketika telah dilakukan penerapan skenario monorel di Kota Bandung, maka kinerja jaringan jalan semakin meningkat, yakni menjadi nilai D pada weekday (Pukul: 07.00-08.00) baik arah Dago Atas (Lembang) ke Dago Bawah, maupun Dago Bawah (BIP) ke Dago Atas. Nilai kinerja jaringan jalan C terjadi pada pengamatan pukul 12.00-13.00 dan 16.00-17.00. Sementara itu, nilai kinerja jaringan jalan A yang pada awalnya terdiri dari 1 kali pengamatan meningkat menjadi 6 kali pengamatan ketika telah dilakukan penerapan skenario monorel Kota Bandung, baik pada weekend dan weekday untuk arah Dago Atas ke Dago Bawah (BIP).

Pada arah Dago Bawah menuju Dago Atas, diketahui nilai kinerja jaringan jalan A sebelum dilakukan penerapan skenario monorel terdapat pada 5 pengamatan dan setelah diterapkan terdapat 6 kali pengamatan. Pengamatan untuk nilai kinerja jaringan jalan B di arah Dago Atas ke Dago Bawah pada awalnya terdapat pada 6 kali pengamatan dan setelah dilakukan penerapan monorel, maka nilai kinerja jaringan jalan hanya terdapat pada 4 kali pengamatan di saat weekday pada pukul (12.00-13.00, 16.00-17.00, 18.0019.00) dan weekend pada pukul 15.00-16.00, sedangkan pada arah Dago Bawah (BIP) ke Dago Atas, nilai kinerja jaringan jalan B terdapat pada 6 kali pengamatan yang berubah menjadi 4 kali pengamatan.

Jalan Dipati Ukur

Kinerja jaringan jalan yang paling rendah untuk ruas Jalan Dipati Ukur ialah pada kelas A, baik saat hari kerja (weekday) dan akhir pekan (weekend). Kinerja jaringan jalan dengan nilai A. Pada dasarnya, hambatan samping di Jalan Dipati Ukur cukup besar, yakni berupa parkir on-street dan pedagang kaki lima.

Hal ini disebabkan oleh guna lahan di sepanjang Jalan Dipati Ukur merupakan guna lahan perdagangan dan jasa serta sarana pendidikan skala nasional. Sementara itu, kinerja jaringan Jalan Dipati Ukur setelah skenario pengembangan monorel diterapkan semakin menunjukkan peningkatan dengan nilai kinerja jaringan jalan A.

Page 6: Artikel Sara Sorraya Ermuna

Analisis Kinerja Jaringan Jalan dan Emisi Gas Buang Kendaraan

378 | Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V4N2

Jalan Merdeka

Jalan Merdeka merupakan ruas jalan dengan 4 lajur 1 jalur/arah (4/1) dimana guna lahan di sekitarnya berupa guna lahan perdagangan dan jasa, pendidikan dasar skala kota hingga nasional. Berdasarkan perhitungan kinerja jaringan jalan di ruas Jalan Merdeka, diketahui nilai kinerja jaringan jalan yang paling rendah adalah C, baik pada weekday (16.00-17.00, 17.00-18.00) maupun weekend (18.00-19.00, 19.00-20.00).

Selain guna lahan di Ruas Jalan Merdeka yang memang didominasi oleh guna lahan perdagangan dan jasa (pusat perbelanjaan Bandung Indah Plaza) dan pendidikan, yang menjadi salah satu faktor penarik untuk ruas jalan ini, penyebab lainnya adalah karena ruas Jalan Merdeka merupakan ruas jalan yang cukup besar dilalui oleh pekerja yang berlokasi di kawasan Dago serta merupakan ruas jalan yang dilalui bis Damri yang berangkat dari Jalan Dipati Ukur menuju Terminal Leuwi Panjang.

Setelah dilakukan skenario penerapan monorel, maka kinerja jaringan Jalan Merdeka meningkat dengan nilai yang paling rendah adalah B. Hal ini membuktikan bahwa dari hasil estimasi terhadap dampak kinerja jaringan jalan membuktikan bahwa skenario pengadaan monorel di Kota Bandung dapat menurunkan volume lalu lintas.

Jalan Braga

Jalan Braga merupakan ruas jalan dengan 4 lajur 1 jalur/arah (4/1) dimana guna lahan di sekitarnya berupa guna lahan perdagangan dan jasa, pendidikan dasar skala kota hingga nasional. Berdasarkan perhitungan kinerja jaringan jalan di ruas Jalan Braga, diketahui nilai kinerja jaringan jalan yang paling rendah adalah C, baik pada pagi dan sore hari pada hari kerja (weekday).

Besarnya volume lalu lintas ini disebabkan oleh penggunaan lahan ruas Jalan Braga yang termasuk wilayah penelitian didominasi oleh kegiatan perdagangan serta jasa perbankan yang merupakan kantor. Oleh karena itu, jam

sibuk pada pagi dan sore hari merupakan waktu untuk berangkat menuju lokasi bekerja maupun pulang dari lokasi bekerja terutama bagi lokasi bekerja di Jalan Braga. Selain itu, Jalan Braga juga merupakan ruas jalan yang dilalui oleh damri yang menghubungkan Dago hingga Terminal Leuwi Panjang.

Setelah dilakukan penerapan skenario monorel Kota Bandung, maka diketahui bahwa kinerja jaringan Jalan Braga berkisar pada nilai A dan B karena adanya penurunan volume lalu lintas.

Jalan Lembong

Kinerja jaringan Jalan Lembong pada kondisi eksisiting, baik pada hari kerja (weekday) dan akhir pekan (weekend) cukup beragam, dimana kelas kinerja jaringan jalan berkisar A hingga C. Jalan Lembong merupakan jalan 1 arah dengan 3 lajur yang memiliki guna lahan perdagangan, jasa, serta instansi.

Kondisi eksisting Jalan Lembong menunjukkan bahwa kelas jaringan jalan dengan nilai terendah adalah C pada hari kerja (weekday) pukul 07.00-08.00, 16.00-17.00, dan 17.00-18.00. Sementara itu, kelas kinerja jaringan jalan pada kelas B sebanyak 8 kali waktu pengamatan, baik pada weekday (07.00-08.00, 08.00-09.00 (pada 2 titik pengamatan), 12.00-13.00 (pada 2 titik pengamatan), dan 16.00-17.00) maupun akhir pekan (09.00-10.00, 10.00-11.00, 15.00-16.00, 18.00-19.00).

Setelah dilakukan estimasi jika skenario monorel Kota Bandung diterapkan, maka diketahui bahwa kelas kinerja Jalan Lembong setelah diterapkan skenario monorel Kota Bandung, yakni berkisar antara A hingga C.

Jalan Veteran

Analisa kinerja jaringan Jalan Veteran pada kondisi eksisiting, baik pada hari kerja (weekday) dan akhir pekan (weekend) dinilai cukup baik, dimana nilai kinerja jaringan jalan A dan B. Jalan Veteran merupakan jalan 1 arah/ jalur dengan 3 lajur serta hambatan samping adalah parkir on street dengan guna lahan perdagangan dan jasa. Guna lahan di sepanjang

Page 7: Artikel Sara Sorraya Ermuna

Sara Sorayya Ermuna

Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V4N2 | 379

Jalan Veteran merupakan perdagangan, jasa, dan kesehatan (berupa rumah sakit).

Sementara itu, ilustrasi kinerja jaringan jalan setelah diterapkan skenario monorel pada Ruas Jalan Veteran, menunjukkan bahwa kinerja jaringan jalan menjadi bernilai A. Oleh karena itu, diyakini bahwa baik sebelum maupun setelah diterapkan rencana monorel Kota Bandung, ruas Jalan Veteran yang pada awalnya memiliki kinerja jaringan jalan baik akan menjadi semakin baik.

Setelah dilakukan penerapan skenario monorel, diketahui bahwa Jalan Veteran memiliki kinerja jaringan jalan yang tetap seperti pada kondisi eksisting, yakni dengan kelas A dan B.

Jalan Sunda

Kinerja jaringan Jalan Sunda pada kondisi eksisiting, baik pada hari kerja (weekday) dan akhir pekan (weekend) cukup beragam, dimana nilai kinerja jaringan jalan A, B, C, E, F. Jalan Sunda merupakan jalan 1 arah/ jalur dengan 3 lajur yang memiliki hambatan samping adalah parkir on street dengan guna lahan perdagangan dan jasa.

Kondisi eksisting menunjukkan bahwa kinerja jaringan Jalan Sunda menunjukkan bahwa kelas kinerja jaringan jalan yang paling rendah adalah F pada hari weekday pukul 12.00-13.00. Selain itu, terdapat kelas kinerja jaringan jalan E (weekday: 07.00-08.00 dan 17.00-18.00), kelas C pada 5 kali pengamatan (07.0008.00, 08.00-09.00, 12.00-13.00, 16.00-17.00, 17.00-18.00), kelas B pada 4 kali pengamatan (08.00-09.00, 09.00-10.00, 10.00-11.00, 15.00-16.00), kelas kinerja jaringan jalan A pada 4 kali pengamatan (09.00-10.00, 10.00-11.00, 15.00-16.00, 18.00-19.00).

Setelah diterapkan skenario monorel di Jalan Sunda, maka kelas kinerja jaringan jalan terendah adalah F. Sementara itu, kelas kinerja jaringan jalan E meningkat menjadi kelas jalan C sehingga terdapat 4 kali pengamatan (Weekday: 07.00-08.00, 08.00-09.00, 16.00-17.00, 17.00-18.00) untuk kinerja jaringan jalan C. Kelas kinerja jalan B mendominasi setelah dilakukan

skenario penerapan monorel menjadi 7 (weekday: 08.0009.00, 12.00-13.00, 16.00-17.00, 17.00-18.00, weekend: 09.00-10.00, 10.00-11.00, 15.00-16.00) pengamatan yang awalnya hanya 4 pengamatan. Sementara itu, nilai kinerja jaringan jalan A tetap terdapat 4 kali pengamatan, baik sebelum maupun sesudah diterapkannya skenario.

Jalan Gatot Subroto

Kinerja jaringan Jalan Gatot Subroto pada kondisi eksisiting, baik pada hari kerja (weekday) dan akhir pekan (weekend) dinilai sangat beragam, dimana nilai kinerja jaringan jalan berkisar pada B, C, D, E. Jalan Gatot Subroto yang menjadi wilayah studi merupakan jaringan jalan yang memiliki 2 jalur/ arah dengan 4 lajur. Pengggunaan lahan di sepanjang Jalan Gatot Subroto merupakan penggunaan lahan perdagangan dan jasa.

Kondisi pada kondisi eksisting menunjukkan bahwa kelas kinerja jaringan jalan yang paling rendah adalah kelas E sebanyak 3 kali pengamatan pukul 07.00-08.00 (weekday), 09.00-10.00 (weekend), dan 18.00-19.00 (weekend). Sementara itu, kelas kinerja jaringan jalan B dan D masing-masing terdapat pada 1 kali pengamatan secara berturut-turut, yakni 15.00-16.00 dan 07.00-08.00. Kelas kinerja jaringan jalan yang mendominasi adalah kelas C dengan 7 kali pengamatan, baik saat hari kerja (12.00-13.00 dan 16.00-17.00) maupun akhir pekan (09.00-10.00,15.00-16.00, 18.00-19.00).

Setelah dilakukan estimasi terhadap penerapan monorel, maka terjadi peningkatan kinerja jaringan jalan menjadi kelas B, C, dan D dengan nilai kinerja jaringan jalan terendah adalah D. Sementara itu, nilai kinerja jaringan jalan yang mendominasi adalah B sebanyak 6 kali pengamatan yang pada kondisi eksisting hanya pada 1 kali pengamatan. Hal tersebut menunjukkan bahwa estimasi terhadap penerapan monorel memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap peningkatan kinerja jaringan Jalan Gatot Subroto. Sementara itu, kelas kinerja jaringan jalan D terjadi pada akhir pekan pukul 09.00-10.00.

Page 8: Artikel Sara Sorraya Ermuna

Analisis Kinerja Jaringan Jalan dan Emisi Gas Buang Kendaraan

380 | Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V4N2

Hal tersebut menunjukkan bahwa volume lalu lintas pada akhir pekan di Jalan Gatot Subroto cukup tinggi karena merupakan salah satu jalan yang menghubungkan dengan pusat Kota Bandung.

Jalan Pelajar Pejuang 45

Kinerja jaringan Jalan Pelajar Pejuang 45 pada kondisi eksisiting dari Jalan Gatot Subroto/ Laswi menuju Jalan Pelajar Pejuang dan Buah Batu, baik pada hari kerja (weekday) dan akhir pekan (weekend) sangat beragam dari kelas A hingga F. Kelas kinerja jaringan jalan D, E, dan F terjadi masing-masing 1 kali pengamatan pada pukul 16.00-17.00 (weekday), 09.00-10.00 (weekend), 15.00-16.00 (weekend). Sementara itu, kelas kinerja jaringan jalan A dan B masing-masing terjadi dalam 4 (weekday: 07.0008.00, weekend: 09.00-10.00, 15.00-16.00, dan 18.00-19.00) dan 3 kali pengamatan (weekday: 07.00-08.00, 12.00-13.00, 16.00-17.00), sedangkan, kelas kinerja jaringan jalan C terjadi pada 2 kali pengamatan, yakni pada pukul 12.00-13.00 (weekday) dan 18.00-19.00 (weekend).

Setelah dilakukan penerapan skenario monorel untuk arah Jalan Gatot Subroto/ Laswi menuju Jalan Pelajar Pejuang dan Buah Batu maka kelas kinerja jaringan Jalan Pelajar Pejuang 45 adalah A, B, C, F. Perubahan yang terjadi adalah pada kelas kinerja jaringan jalan A dan C. Kelas kinerja jaringan jalan A yang pada awalnya terdapat 4 kali pengamatan menjadi 5 kali pengamatan, yakni pada pukul 07.00-08.00, 09.00-10.00, 12.00-13.00, 15.00-16.00, dan 18.00-19.00. Sementara itu, kelas kinerja jalan C yang pada awalnya 2 pengamatan menjadi 4 pengamatan, yakni pada pukul 09.00-10.00 (weekend), 12.00-13.00 (weekday), 16.00-17.00 (weekday), 18.0019.00 (weekend).

Arah Jalan Pelajar Pejuang menuju Jalan Gatot Subroto/ Laswi dari Jalan Pelajar Pejuang sebelum diterapkan skenario monorel pada Ruas Jalan Pelajar Pejuang 45, menunjukkan bahwa kinerja jaringan jalan A, B, D, E, F dengan kelas kinerja jaringan jalan terendah adalah F. Kelas kinerja jaringan jalan A merupakan kelas yang mendominasi jumlah pengamatan sebanyak 5 pengamatan baik saat hari kerja (weekday)

(07.00-08.00 dan 16.00-17.00) maupun akhir pekan (weekend) (09.00-10.00, 15.00-16.00, dan 18.00-19.00). Sementara itu, kelas kinerja jaringan jalan D, E, dan F masing-masing 1 pengamatan dan secara berturut-turut terjadi pada akhir pekan pukul 18.00-19.00, 15.00-16.00, 09.00-10.00. Rendahnya kinerja jaringan Jalan Pelajar Pejuang 45 untuk arah ini pada saat akhir pekan menunjukkan bahwa Jalan Pelajar Pejuang 45 dilalui oleh pengguna jalan untuk menuju pusat kota dan kegiatan di Kota Bandung.

Setelah dilakukan estimasi penerapan skenario monorel di Kota Bandung, maka diketahui bahwa kelas kinerja jaringan jalan menjadi A, B, C, dan D. Kelas kinerja jaringan jalan A mendominasi hasil estimasi dengan 7 pengamatan, baik saat weekday (07.00-08.00, 12.00-13.00, 16.00-17.00) maupun weekend (09.00-10.00, 15.00-16.00, dan 18.00-19.00). Sementara itu, kelas kinerja jaringan jalan C dan D merupakan hasil pengamatan pada saat akhir pekan, sehingga menunjukkan bahwa pada akhir pekan, volume lalu lintas kendaraan di Jalan Pelajar Pejuang 45 sangat padat dan menimbulkan kemacetan.

Jalan Buah Batu

Analisa kinerja jaringan Jalan Buah batu pada kondisi eksisiting, baik pada hari kerja (weekday) dan akhir pekan (weekend) dinilai cukup baik, dimana nilai kinerja jaringan jalan A dan B. Sementara itu, ilustrasi kinerja jaringan jalan setelah diterapkan skenario monorel pada Ruas Jalan Buah Batu, menunjukkan bahwa kinerja jaringan jalan menjadi bernilai A. Oleh karena itu, diyakini bahwa baik sebelum maupun setelah diterapkan rencana monorel Kota Bandung, ruas Jalan Buah Batu yang pada awalnya memiliki kinerja jaringan jalan baik akan menjadi semakin baik.

Jalan Terusan Buah Batu

Analisa kinerja jaringan Jalan terusan Buah batu pada kondisi eksisiting untuk arah Soekarno Hatta dan Buah batu menuju Terusan Buah Batu dan Tol Purbaleunyi, baik pada hari kerja (weekday) dan akhir pekan (weekend) cukup

Page 9: Artikel Sara Sorraya Ermuna

Sara Sorayya Ermuna

Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V4N2 | 381

bervariasi. Namun, nilai kinerja jalan yang paling rendah pada arah ini adalah pada tingkat E. Nilai kinerja jalan pada tingjat E terjadi pada hari kerja (weekday) di jam 07.00-08.00 dan 16.00-17.00 serta pada akhir pekan (weekend) di jam 15.00-16.00.

Sementara itu, pada arah Terusan Buah Batu menuju Jalan Soekarno Hatta dan Buah Batu (menuju pusat kota Bandung), nilai tingkat kinerja jaringan jalan yang paling rendah adalah F.

Lebih lanjut, ilustrasi kinerja jaringan jalan setelah diterapkan skenario monorel pada Ruas Jalan Terusan Buah Batu, menunjukkan bahwa pada arah Kota Bandung – Tol Purbaeunyi (Soekarno Hatta dan Buah Batu menuju Jalan Terusan Buah Batu) kinerja jalan terbesar ialah A dengan 5 kali pengamatan dan B dengan 4 kali pengamatan. Sementara itu, nilai kinerja jaringan jalan adalah C (2 kali pengamatan pada weekday: 16.00-17.00, weekend: 15.00-16.00) dan D merupakan kinerja jaringan jalan yang paling rendah pada weekend (07.00-08.00).

Hal ini menunjukkan bahwa setelah dilakukan penerapan skenario monorel Kota Bandung, maka nilai kinerja jaringan jalan semakin baik. Nilai kinerja jaringan jalan Terusan Buah Batu tidak lagi E dan meningkat menjadi D pada hari kerja (weekday: 07.00-08.00). Nilai kinerja jaringan jalan C terdiri dari 2 pengamatan yakni pada weekday pukul 16.00-17.00 dan weekend pukul 15.00-16.00. Pada arah Terusan Buah Batu menuju Kota Bandung, kinerja jaringan jalan yang terbesar adalah pada kelas A dan B. Pada kelas A terdapat 5 kali pengamatan (weekday: 12.0013.00, 16.00-17.00 dan weekend: 09.00-10.00, 15.00-16.00, 18.00-19.00) yang sebelumnya hanya terdapat pada 3 pengamatan dan kelas B terdapat 3 kali pengamatan (weekday: 07.00-08.00 dan 12.00-13.00, weekend: 09.00-10.00) yang sebelumnya 4 kali pengamatan. Nilai terendah terdapat pada kelas C (weekday: 07.00-08.00) dan kelas E (weekday: 16.00 – 17.00).

Model Perhitungan Polusi Udara

Model perhitungan polusi udara yang dihasilkan dari kendaraan bermotor dilakukan berdasarkan beberapa model yang telah berkembang. Selanjutnya akan dibandingkan dengan hasil uji udara roadside pada ruas jalan ini. Adapun ruas jalan yang menjadi focus utama dalam pembahasan ini adalah ruas jalan yang setelah dilakukan estimasi pengembangan monorel masih memiliki kelas kinerja jaringan jalan dibawah kelas B, yakni kelas C-F.

Model yang akan digunakan dalam analisa perhitungan polusi udara ini menggunakan model Zongan (2005) dengan faktor emisi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan LAPI ITB. Kedua model ini membutuhkan standar faktor emisi sesuai dengan unsur-unsur yang dinilai, yakni CO, NO, dan SO2. Lebih kanjut, maka hasil perhitungan berdasarkan akan disesuaikan dengan hasil uji primer dan standar sesuai dengan baku mutu lingkungan yang berlaku, yakni Peraturan Pemerintah No.41 Th.1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara.

Unsur Karbon Monoksida

Perbandingan hasil uji model menggunakan kombinasi Model Zhongan dan Kementerian Lingkungan Hidup dengan hasil uji primer, maka terdapat selisih hingga mencapai rata-rata -94,2% - -98,6%. Lebih lanjut, jika dilakukan perbandingan hasil uji model menggunakan kombinasi Model Zhongan dan LAPI ITB dengan hasil uji primer, maka terdapat selisih hingga mencapai -64,2% - -91%.

Hal tersebut menunjukkan bahwa penurunan tingkat emisi yang terjadi dari hasil perhitungan model akan sangat dipengaruhi oleh volume lalu lintas setelah dilakukan penerapan skenario monorel. Sementara itu, jika dibandingkan hasil perhitungan model dengan hasil uji primer, maka penggunaan model Zhongan dan LAPI ITB akan lebih sesuai digunakan karena tingkat selisih dengan hasil uji primer lebih rendah sehingga lebih mendekati hasil uji primer.

Page 10: Artikel Sara Sorraya Ermuna

Analisis Kinerja Jaringan Jalan dan Emisi Gas Buang Kendaraan

382 | Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V4N2

Unsur Nitrogen Oksida

Perbandingan hasil uji model menggunakan kombinasi Model Zhongan dan Kementerian Lingkungan Hidup dengan hasil uji primer, maka penurunan terjadi hingga mencapai -6,3% - -63,9%. Lebih lanjut, jika dilakukan perbandingan hasil uji model menggunakan kombinasi Model Zhongan dan LAPI ITB dengan hasil uji primer, maka terjadi peningkatan mencapai 717,4% - 2549,9%.

Hal tersebut menunjukkan bahwa penurunan tingkat emisi yang terjadi dari hasil perhitungan model akan sangat dipengaruhi oleh volume lalu lintas setelah dilakukan penerapan skenario monorel. Sementara itu, jika dibandingkan hasil perhitungan model dengan hasil uji primer, maka penggunaan model Zhongan dan Kementerian Lingkungan Hidup akan lebih sesuai digunakan karena tingkat selisih dengan hasil uji primer lebih rendah sehingga lebih mendekati hasil uji primer.

Unsur Sulfur Dioksida

Perbandingan hasil uji model menggunakan kombinasi Model Zhongan dan Kementerian Lingkungan Hidup dengan hasil uji primer, maka terdapat selisih hingga mencapai rata-rata -95,3% - -99,3%. Lebih lanjut, jika dilakukan perbandingan hasil uji model menggunakan kombinasi Model Zhongan dan LAPI ITB dengan hasil uji primer, maka terdapat selisih hingga mencapai -73% - -99,5%.

Hal tersebut menunjukkan bahwa penurunan tingkat emisi yang terjadi dari hasil perhitungan model akan sangat dipengaruhi oleh volume lalu lintas setelah dilakukan penerapan skenario monorel. Sementara itu, jika dibandingkan hasil perhitungan model dengan hasil uji primer, maka penggunaan model Zhongan dan LAPI ITB akan lebih sesuai digunakan karena tingkat selisih dengan hasil uji primer lebih rendah sehingga lebih mendekati hasil uji primer. Namun, untuk unsur SO2 ini selisih faktor emisi baik LAPI maupun Kementerian Lingkungan Hidup tidak sebesar unsur CO maupun NOx.

Kesimpulan

Hasil temuan studi dari penelitian ini berkaitan langsung dengan rumusan masalah yang diangkat, sebagai berikut.

a. Terdapat 11 ruas jalan di Kota Bandung yang dijadikan sebagai wilayah penelitian sesuai dengan rencana jalur monorel di Kota Bandung. Sebelas ruas jalan tersebut memiliki geometrik jalan yang berbeda dimana 3 ruas jalan memiliki lajur dan jalur 4/2 D (Jalan Ir. H. Juanda, Jalan Pelajar Pejuang 45, Jalan Terusan Buah Batu), 3 ruas jalan (Jalan Dipati Ukur, Jalan Gatot Subroto, Jalan Buah Batu) memiliki lajur dan jalur 4/2 UD, 4 ruas jalan memiliki lajur dan jalur 3/1, 1 ruas jalan (Jalan Merdeka) memiliki lajur dan jalur 4/1.

b. Hasil perhitungan kinerja jaringan jalan pada kondisi eksisting menunjukkan bahwa 8 dari 11 ruas jalan (Kecuali ruas Jalan Dipati Ukur, Jalan Veteran, dan Jalan Buah Batu) memiliki kelas kinerja jaringan jalan di bawah B, sehingga memiliki potensi untuk terjadinya tundaan hingga kemacetan di masa mendatang.

c. Hasil perhitungan kinerja jaringan jalan setelah dilakukan penerapan skenario monorel Kota Bandung, maka terjadi perbaikan kelas kinerja jaringan jalan, dimana hanya 5 ruas jalan yang memiliki kelas kinerja jaringan jalan di bawah kelas B. Hal tersebut menunjukkan bahwa skenario monorel dapat memperbaiki kelas kinerja jalan di Kota Bandung.

d. Hasil uji primer untuk unsur CO, NO2, dan SO2 pada kondisi eksisting menunjukkan bahwa seluruh ruas jalan yang direncanakan sebagai monorel tidak melebihi baku mutu yang berlaku di Indonesia. Namun, untuk faktor kebisingan seluruh ruas jalan melebihi dari standar baku mutu yang ditetapkan. Pengambilan data uji primer ini dilakukan selama 1 jam untuk masing-masing ruas jalan pada jam puncak.

e. Hasil perhitungan model emisi gas buang kendaraan untuk unsur CO, NO2, dan SO2 dengan menggunakan data volume lalu lintas dan faktor emisi yang berlaku di Indonesia (LAPI ITB dan Kementerian Lingkungan Hidup) menunjukkan hasil yang lebih rendah

Page 11: Artikel Sara Sorraya Ermuna

Sara Sorayya Ermuna

Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V4N2 | 383

atau sama dengan hasil uji primer yang telah dilakukan, terutama untuk unsur CO dan SO2 yang dirasakan lebih sesuai jika menggunakan faktor emisi yang dikeluarkan oleh LAPI ITB sedangkan pencemar NO2 lebih sesuai untuk menggunakan faktor emisi dari Kementerian Lingkungan Hidup. Pernyataan mengenai penggunaan faktor emisi NO2 dari Kementerian Lingkungan Hidup ini juga diperkuat dari penelitian Srikandi Novianti (2009).

f. Secara keseluruhan, adanya skenario monorel di Kota Bandung dapat meningkatkan kelas kinerja jaringan jalan dan menurunkan emisi gas pencemar dari sector transportasi.

Ucapan Terima Kasih

Ucapan terima kasih peneliti berikan dengan setulus-tulusnya kepada Dr. Iwan Pratoyo Kusumantoro selaku dosen pembimbing yang telah memberikan masukan, dukungan serta kritikan yang membangun dalam penelitian ini.

Daftar Pustaka

Anonim. Studi Pra Kelayakan Monorel Kota Bandung. Kota Bandung.

Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah. (2010). RTRW Kota Bandung 2010-2030. Bandung: Bappeda.

Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah. (2010). Masterplan Transportasi Kota Bandung. Bandung: Bappeda.

Bina Marga. (1997). Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997. Jakarta: Ditjen Bina Marja Jalan Kota

Novianti, Srikandi dan Driejana. (2009). Pengaruh Karakteristik Faktor Emisi terhadap Estimasi Oksida Nitrogen dari Sektor Transportasi (Studi Kasus: Wilayah Karees, Bandung). Penelitian FTSL ITB

Pemerintah Kota Bandung. (2009). Masterplan Transportasi Kota Bandung. Bandung

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara

Suhadi, Dollaris R. (2008). Penyusunan Petunjuk Teknis Perkiraan Beban Pencemaran Udara dari Kendaraan Bermotor di Indonesia. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup.

Zhongan, Mao, Sjaak Slanina, Gert Spaargaren,

and Zhang Yuanhang. (2005). Traffic and urban air pollution, the case of Xi’an city, P.R.China. (Online, http://cleanairasia.org/portal/system/files/articles-37335_tp_15C_maozhongan.pdf)