artikel.docx
DESCRIPTION
berisi tentang artikelTRANSCRIPT
KEPEMIMPINAN, MANAGEMEN & PROSES BERUBAH
KEPEMIMPINAN :
Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang untuk memberikan pengaruh kepada
perubahan perilaku orang lain secara langsung maupun tidak. Gaya kepemimpinan yang
dilakukan seorang pemimpin biasanya mencerminkan diri dan karakter dari seorang pemimpin
itu sendiri. Kepala ruangan berperan sebagai pemimpin untuk mengatur dan memimpin perawat
dalam memberikan asuhan keperawatan. Yang paling sering berkomunikasi dan berinteraksi
dengan tenaga kesehatan lain, pasien dan keluarga pasien adalah seorang perawat sehingga
berpotensi menimbulkan konflik. Konflik adalah suatu kondisi yang ditimbulkan karena adanya
perbedaan pendapat atau perbedaan cara pandang antara individu yang berinteraksi. Kepala
ruangan harus mampu mengambil keputusan untuk memfasilitasi penyelesaian konflik. Rumah
sakit merupakan suatu organisasi yang memberikan pelayanan kesehatan dengan melibatkan
berbagai kelompok profesi dari berbagai latar belakang pendidikan (Soeroso, 2003). Tim
keperawatan merupakan salah satu komponen profesi yang dianggap sebagai kunci dari
keberhasilan pemberian pelayanan di rumah sakit (Sumijatun, 2009). Hubungan kerja diantara
perawat dengan tenaga kesehatan lain, pegawai lain, pasien dan keluarga berpotensi
menimbulkan konflik (Swanburg, 2000). Konflik yang berkelanjutan dapat merusak kesatuan
unit kerja dan seringkali menimbulkan situasi yang tidak menyenangkan (Suyanto, 2009),
sehingga mengganggu hubungan kerja dan menurunkan produktivitas (Marquis & Huston,
2010). Kepala ruangan berperan sebagai seorang manajer sekaligus sebagai seorang pemimpin
(Suyanto, 2009). Kepala ruangan harus mampu mengambil inisiatif untuk memfasilitasi
penyelesaian konflik karena konflik yang terjadi dapat mempengaruhi pemberian asuhan
keperawatan kepada klien (Arwani & Supriyanto, 2006). Perselisihan dan konflik dalam
hubungan kerja harus segera diselesaikan dan memerlukan tindakan yang tepat dalam
memecahkan konflik yang ada agar tidak menimbulkan ketidaknyamanan dalam bekerja. Ada
beberapa strategi yang digunakan dalam penyelesaian konflik yaitu kompromi atau negosiasi,
kompetisi, akomodasi, smoothing, menghindar, dan kolaborasi (Nursalam, 2009). Sinaga (2010)
menyatakan bahwa manajemen konflik kolaborasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kinerja karyawan, sedangkan manajemen konflik kompetisi, menghindar dan akomodasi tidak
berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan. Sikap seorang pemimpin sangat
mempengaruhi penyelesaian suatu konflik dimana seorang pemimpin mempunyai tanggung
jawab dalam menyelesaikan masalah yang ada. Aktivitas kepemimpinan akan menunjukkan gaya
kepemimpinan dengan polanya masing–masing (Nawawi & Hadari, 2004). Gillies (1994)
mengatakan gaya kepemimpinan berdasarkan wewenang dan kekuasaan dibedakan menjadi
empat yaitu: otoriter, demokratis, partisipatif dan bebas tindak (Laissez–Faire). gaya
kepemimpinan demokratis dan gaya kepemimpinan tersebut sangat berpengaruh pada semangat
kerja perawat pelaksana. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Setiawan (2008) menyatakan
bahwa gaya kepemimpinan demokratis memiliki pengaruh positif terhadap penyelesaian konflik
individu, konflik antarindividu dan konflik interorganisasi. Gaya kepemimpinan adalah
sekumpulan pola perilaku yang dimiliki oleh seorang pemimpin dalam mempengaruhi perilaku
orang lain. Gaya kepemimpinan otoriter adalah gaya seorang pemimpin yang berorientasi pada
tugas, menggunakan jabatan kekuasaan posisi dan kekuasaan dalam memimpin,
mempertahankan tanggung jawab untuk semua perencanaan tujuan dan pembuatan keputusan
serta memotivasi anggota dengan menggunakan penghargaan (reward) dan kesalahan
(punishment) (Gillies, 1994). Gaya kepemimpinan demokratis merupakan kepemimpinan yang
menghargai sifat dan kemampuan setiap anggotanya. Pembuatan rencana dan pengontrolan
dalam penerapannya diberikan informasi yang terbuka (Nursalam, 2009). Gaya kepemimpinan
ini menggunakan kekuatan pribadi dan kekuatan jabatan untuk menarik gagasan dari anggota dan
memotivasi anggota kelompok untuk menentukan tujuan sendiri, mengembangkan rencana dan
mengontrol praktek mereka sendiri (Gillies, 1994). Gaya kepemimpinan partisipatif merupakan
gabungan antara otoriter dan demokratis, yaitu pemimpin yang menyampaikan hasil analisis
masalah dan kemudian mengusulkan tindakan tersebut kepada anggotanya. Anggota diminta
saran dan kritiknya serta mempertimbangkan respon anggota terhadap usulannya, dan keputusan
akhir ada pada kelompok (Nursalam, 2009). Gaya kepemimpinan Laissez–Faire atau bebas
tindak merupakan pimpinan offisial dimana pemimpin melepaskan tanggung jawabnya, anggota
menentukan sendiri kegiatan tanpa pengarahan, supervisi dan koordinasi dan memaksa mereka
untuk merencanakan, melakukan, dan menilai pekerjaan mereka yang menurut mereka tepat
(Gillies, 1994). Berbagai jenis kepemimpinan tersebut memiliki kelebihan dan kelemahan.
Semua gaya kepemimpinan dapat dipilih untuk digunakan tergantung dari situasi dan kondisi
yang ada (Suyanto, 2009). Konflik adalah suatu kondisi yang ditimbulkan karena adanya
perbedaan pendapat atau perbedaan cara pandang antara individu yang saling berinteraksi.
Marquis & Huston (2010) mengatakan ada tiga kategori konflik yang utama : intrapersonal,
interpersonal, dan interkelompok. Beberapa alasan yang paling umun menyebabkan terjadinya
konflik di lingkungan kerja yaitu: kompetisi diantara kelompok, beban kerja yang meningkat,
peran ganda, ancaman identitas profesional dan lingkungan, ancaman keamanan dan
keselamatan, sumber daya yang kurang, budaya yang berbeda, dan kondisi ruangan. Strategi
dalam manajemen konflik yaitu kompromi atau negosiasi, kompetisi, akomodasi, menghindar
dan kolaborasi (Tappen, 2004). Nawawi & Hadari (2004) menyatakan gaya kepemimpinan
terwujud melalui interaksi antara pemimpin dengan orang-orang yang dipimpinnya yang terjadi
dalam berbagai kondisi yang mempengaruhinya. Cara bersikap dan bertindak seorang pemimpin
akan tampak dari cara memberi tugas, perintah, berkomunikasi, membuat keputusan,
memberikan bimbingan dan menegur kesalahan bawahan. Berdasarkan penelitian ini didapatkan
bahwa gaya kepemimpinan kepala ruangan yang dipersepsikan oleh perawat pelaksana adalah
gaya kepemimpinan partisipatif (70,8%). Gaya kepemimpinan partisipatif adalah gabungan
bersama antara gaya kepemimpian otoriter dengan gaya kepemimpinan demokratis (Gillies,
1994). Pada gaya kepemimpinan partisipatif, pengambilan keputusan diambil secara bersama,
ada diskusi bersama dalam pemecahan masalah, dan diterapkan pada anggota yang memiliki
kemampuan tetapi tidak memiliki kemauan, ketidakmauan lebih cenderung disebabkan karena
ketidakyakinan pada kemampuan diri anggota (Sumijatun, 2009). Ditemukan paling banyak
kepala ruangan yang menerapkan sikap partisipatif apabila perawat pelaksana yang ditegur oleh
profesi lain atas kesalahan yang dilakukan perawat pelaksana tersebut (47,2%). Kepala ruangan
akan berdiskusi dengan perawat pelaksana tersebut dan membantu perawat pelaksana untuk
mengambil keputusan yang tepat dan yang terbaik. Hasil penelitian Caroline (2007) didapatkan
bahwa gaya kepemimpinan partisipatif berhubungan positif dengan integritas kerja anggotanya.
Hal ini terjadi karena gaya kepemimpinan partisipatif dari pemimpin membuat anggota merasa
menjadi bagian dari organisasi sehingga akhirnya mendorong peningkatan integritas dalam diri
anggota. Gaya kepemimpinan partisipatif juga akan meningkatkan motivasi anggota dalam
menjalankan tugasnya (Ponto, 2011). Konflik dapat terjadi karena manusia memiliki sifat
dominasi, kepengaruhan, keteguhan hati dan kepatuhan (Bachtiar, 2004). Menurut Marquis &
Huston (2010) ada 3 kategori konflik yang utama yaitu intrapersonal, interpersonal dan
interkelompok. Gregorc (2009) mengatakan konflik yang sering terjadi di rumah sakit yaitu
konflik interpersonal antara perawat dan dokter, hal ini disebabkan karena beban kerja mereka
dan kepala ruangan memiliki pengetahuan kurang tentang manajemen konflik dan kurang
memahami peran dalam memecahkan masalah interpersonal. Penanganan konflik yang tidak
baik akan mempengaruhi asuhan keperawatan pada pasien karena semangat kerja dari perawat
akan menurun (Al-Hamdan et al., 2011). Sumijatun (2009) mengatakan bahwa perempuan
dalam manajemen konflik yang digunakan adalah kompromi, hal ini disebabkan karena sifat
intuitifnya. Hal ini didukung kembali oleh Hendel, Fish dan Galon (2005) yang mendapatkan
bahwa manajemen konflik yang paling umum digunakan oleh manajer keperawatan di rumah
sakit umum Israel adalah kompromi. Pada saat terjadi konflik, perawat pelaksana
mempersepsikan stategi yang dilakukan oleh kepala ruangan berupa kompromi dimana
pemecahan konflik ini bersifat sementara, hal ini dilakukan karena pada pemecahan masalah
dengan kolaborasi tidak terpecahkan dan dalam hal ini tidak ada pihak yang merasa dirugikan
(Marquis & Huston, 2010). Hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian Sportsman dan
Hamilton (2007) yang mengatakan bahwa manajemen konflik pada profesi perawat pada
umumnya adalah kompromi. Perbedaan usia antara kepala ruangan dengan perawat pelaksana
berpengaruh signifikan terhadap manajemen konflik. Berdasarkan penelitian ini ditemukan
bahwa manajemen konflik yang paling sedikit dipersepsikan oleh perawat pelaksana adalah
kompetisi (9,7%). Hal ini karena jumlah responden laki-laki dalam penelitian hanya 4,2%, laki-
laki pada umumnya memanajemen konflik lebih ke kompetisi (Sumijatun, 2009). Hasil
penelitian ini didukung oleh hasil penelitian Kunavikitkul (1994) yang mendapatkan bahwa
manajemen konflik yang dipersepsikan perawat paling sedikit adalah kompetisi. Hal ini
berhubungan dengan usia, pendidikan, daerah klinis tempat bekerja, posisi, dan pengalaman
kerja.
MANAGEMEN :
Fungsi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengawasan dan pengendalian dalam
manajemen keperawatan sangat menentukan pelayanan keperawatan di ruang rawat inap oleh
perawat pelaksana dalam melaksanakan manajemen asuhan keperawatan kepada klien. Rumah
Sakit merupakan salah satu tatanan pemberi jasa pelayanan kesehatan harus mampu
menyediakan berbagai jenis pelayanan kesehatan yang bermutu dan juga merupakan institusi
pelayanan kesehatan yang kompleks, padat karya, padat pakar dan padat modal. Perawat sebagai
sumber daya manusia di rumah sakit selama 24 jam selalu berinteraksi dengan pasiennya,
memiliki waktu kontak serta jumlah yang paling banyak dibanding dengan tenaga kesehatan
lainnya sehingga memiliki kontribusi yang besar dalam upaya meningkatkan kualitas dan
kuantitas pelayanan yang diberikan dibanding dengan tenaga kesehatan yang lain. Salah satu
upaya yang sangat penting dalam meningkatkan mutu pelayanan keperawatan adalah
meningkatkan sumber daya manusia dan manajemen keperawatan. Manajemen keperawatan
merupakan koordinasi dan integrasi dari sumbersumber keperawatan dengan menerapkan proses
manajemen untuk mencapai tujuan, obyektifitas asuhan keperawatan dan pelayanan
keperawatan. Proses manajemen dibagi lima fase yaitu : planning, organizing, staffing, directing,
controling yang merupakan satu siklus yang saling berkaitan satu sama lain. Dalam pelaksanaan
manajemen keperawatan didukung kemampuan dan ketrampilan kepemimpinan dalam pelayanan
keperawatan yang efektif dan efisien oleh setiap perawat apakah sebagai staf, ketua tim, kepala
ruang, pengawas atau kepala bidang. Manajemen asuhan keperawatan merupakan suatu proses
keperawatan yang menggunakan konsep-konsep manajemen seperti ; perencanaan,
pengorganisasiann, pengarahan, pengendalian dan evaluasi. Manajemen asuhan keperawatan
dilaksanakan melalui pendekatan dengan metode proses keperawatan sebagai metode pemecahan
masalah yang menekankan pada pengambilan keputusan tentang keterlibatan perawat dalam
memenuhi kebutuhan pasien/klien sesuai dengan kode etik dan standar praktek keperawatan.
Dalam melaksanakan manajemen keperawatan di ruang rawat inap dipimpin oleh kepala ruang.
Pendidikan kepala ruang seharusnya minimal S1 Keperawatan (ditambah pendidikan profesi
Ners). Karena seorang kepala ruang sebagai pimpinan keperawatan harus memiliki ketrampilan
dalam komunikasi, kemampuan member motivasi kepada staf, ketrampilan kepemimpinan,
ketrampilan mengatur waktu serta mampu memecahkan masalah dan mengambil keputusan.
Dalam pelaksanaan manajemen keperawatan yang bermutu dibutuhkan seorang manajer
keperawatan yang bertanggung jawab dan mampu melaksanakan manajemen keperawatan
sehingga dapat menghasilkan pelayanan keperawatan yang berkualitas. Untuk dapat menerapkan
manajemen keperawatan di ruang rawat inap diperlukan seorang kepala ruang yang memenuhi
standar sebagai manajerial. Menurut Hubber (2000) seorang manajer diharapkan mampu
mengelola pelayanan keperawatan di ruang rawat inap dengan menggunakan pendekatan
manajemen keperawatan yaitu melalui fungsi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan,
pengawasan dan pengendalian. Menurut Tim Departemen Kesehatan RI (2001) penilaian
pelaksanaan manajemen asuhan keperawatan dengan metode proses keperawatan di rumah sakit
dapat diukur dengan instrumen evaluasi penerapan standar asuhan keperawatan. Manajemen
keperawatan merupakan koordinasi dan integrasi sumber-sumber keperawatan dengan
menerapkan proses manajemen untuk mencapai tujuan dan obyektifitas asuhan keperawatan dan
pelayanan keperawatan. Keberhasilan pelayanan keperawatan sangat dipengaruhi oleh
bagaimana manajer keperawatan melaksanakan peran dan fungsinya. Menurut Gillies (1994)
proses manajemen adalah merupakan rangkaian kegiatan input, proses, dan output. Marquis &
Huston (2000) menyatakan proses manajemen dibagi lima tahap yaitu planning, organizing,
staffing, directing, controling yang merupakan satu siklus yang saling berkaitan satu sama lain.
Manajemen keperawatan adalah keyakinan yang dimiliki oleh tim keperawatan yang bertujuan
untuk memberikan asuhan keperawatan berkualitas melalui pembagian kerja, koordinasi dan
evaluasi. Manajemen keperawatan terdiri dari manajemen operasional dan manajemen asuhan
keperawatan. Manajemen operasional adalah pelayanan keperawatan di rumah sakit yang
dikelola oleh departemen atau bidang perawatan melalui tiga tingkatan manajerial yaitu
manajemen puncak, manajemen menengah, dan manajemen bawah. Menurut Swansburg &
Swansburg (1999) manajer keperawatan tersebut harus memiliki beberapa faktor agar
penatalaksanaannya berhasil yaitu : (1) Kemampuan menerapkan pengetahuan, (2) Ketrampilan
kepemimpinan, (3) Kemampuan menjalankan peran sebagai pemimpin, dan (4) Kemampuan
melaksanakan fungsi manajemen. Di setiap ruang rawat inap akan dipimpin oleh seorang
manajer yaitu kepala ruang yang mampu melaksanakan pengelolaan pelayanan keperawatan.
Pengelolaan pelayanan keperawatan menggunakan pendekatan manajemen keperawatan yaitu
melalui fungsi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengawasan dan pengendalian.
Manajemen asuhan keperawatan merupakan pengaturan sumber daya dalam menjalankan
kegiatan keperawatan dengan menggunakan metode proses keperawatan untuk memenuhi
kebutuhan klien atau menyelesaikan masalah klien. Dalam manajemen asuhan keperawatan ada
tiga komponen penting yaitu manajemen sumber daya manusia dengan menggunakan sistem
pengorganisasian pekerjaan perawat, sistem klasifikasi kebutuhan klien dan metode proses
keperawatan. Manajemen asuhan keperawatan menggunakan metoda proses keperawatan yang
didasari konsep-konsep manajemen didalamnya, seperti perencanaan, pengorganisasian,
pengarahan dan pengendalian serta evaluasi. Proses keperawatan merupakan proses pemecahan
masalah yang menekankan pada pengambilan keputusan tentang keterlibatan perawat yang
dibutuhkan oleh pasien. Menurut Keliat (2000) manajemen asuhan keperawatan merupakan
pengaturan sumber daya dalam menjalankan kegiatan keperawatan dengan metoda proses
keperawatan untuk memenuhi kebutuhan klien atau menyelesaikan masalah klien. Menurut
Craven & Hirnle (2000) Proses keperawatan meliputi enam fase yaitu pengkajian keperawatan,
diagnosa keperawatan, tujuan keperawatan, perencanaan tindakan keperawatan, implementasi
tindakan keperawatan, dan evaluasi. Sehingga proses keperawatan merupakan suatu pendekatan
penyelesaian masalah yang sistematis dalam pemberian asuhan keperawatan. Proses keperawatan
merupakan suatu panduan untuk praktek keperawatan profesional. Kemampuan manajerial
dalam fungsi pengorganisasian diharapkan dapat membantu perawat pelaksana untuk
melaksanakan manajemen asuhan keperawatan kepada klien dengan benar dan baik. Adapun
pengorganisasian adalah keseluruhan pengelompokan orang-orang, alat-alat, tugas-tugas,
kewenangan dan tanggung jawab sehingga tercipta suatu organisasi yang dapat digerakkan
sebagai suatu kesatuan dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Prinsip-prinsip
pengorganisasian adalah pembagian kerja, kesatauan komando, rentang kendali, pendelegasian,
koordinasi.
PROSES PERUBAHAN :
Perubahan organisasi merupakan tindakan beralihnya suatu organisasi dari kodisi saat ini
menuju kondisi masa yang akan datang yang diinginkan guna meningkatkan efektivitas dan
efisiensi organisasi, suatu organisasi perlu melakukan perubahan dalam melakukan kegiatannya,
karena lingkungan organisasi secara terus-menerus mengalami perubahan, sehingga organisasi
perlu melakukan perubahan jika ingin tetap eksis dan sukses dimasa mendatang. Perusahaan atau
organisasi tidak akan berubah dan tidak akan berjalan kearah yang dicita-citakan, apabila para
pemimpinnya sendiri, di bagian apapun, tidak berubah dan tidak tumbuh. Sebuah organisasi
tidak bisa tumbuh di luar sampai para pemimpinnya sendiri tumbuh di dalam. Jika seluruh unit
kepemimpinan berubah secara positif, maka pertumbuhan organisasi atau perusahaan akan
terjadi secara otomatis. Pemimpin yang lemah sama dengan organisasi yang lemah. Pemimpin
yang kuat sama dengan organisasi yang kuat. Segala-galanya akan naik atau turun, sesuai dengan
kekuatan kepemimpinan. Berdasarkan karakteristik setiap individu yang berbeda-beda dan cara
pandang terhadap perubahan yang tidak sama pula, maka akan menimbulkan sikap perilaku yang
tidak sama pula terhadap perubahan, padahal setiap perubahan menuntut untuk penyesuaian diri,
sedangkan umumnya para karyawan lebih menyenangi cara kerja yang selama ini telah mereka
lakukan, sehingga ketika pimpinan melaksanakan perubahan harus dapat memahami seberapa
jauh kesiapankaryawan, mengetahui sumber-sumber yang dapat mempengaruhi penolakan
perubahan, sehingga dapat mengatasinya agar perubahan dapat mencapai tujuan organisasi
secara optimal. Perubahan lingkungan (environmental change) akan mengakibatkan tekanan
pada organisasi untuk melakukan perubahan organisasional (organizational change). Di tengah
kuatnya arus perubahan lingkungan, tanpa perubahan diri secara tepat dan signifikan organisasi
tersebut tidak akan bertahan lama. Sejumlah faktor lingkungan eksternal yang mendorong
perubahan, yaitu kekuatan kompetisi, kekuatan ekonomi, kekuatan politik, kekuatan globalisasi,
kekuatan sosial-demografik, dan kekuatan etika. pada lingkungan internal organisasi, perubahan-
perubahan yang terjadi pada nilai-nilai, etos kerja, kompetensi maupun aspirasi karyawan juga
mengharuskan respons organisasional yang tepat. Makin tingginya tingkat pendidikan rata-rata
karyawan, misalnya, akan menyebabkan meningkatnya aspirasi dan tuntutan mereka dalam
bekerja. Mereka pada umumnya mengharapkan perlakuan kerja yang lebih manusiawi, peluang
aktualisasi diri yang lebih besar, suasana kerja yang lebih menyenangkan, cara kerja yang lebih
fleksibel, pemberian reward yang lebih adil dan lebih motivatif, kesempatan karir yang lebih
terbuka, dan sebagainya. Dalam suatu perubahan pasti ada hambatan-hambatan yaitu : Perubahan
organisasi bukanlah hal yang mudah dilakukan. Ada banyak kendala yang bisa menghadang
program-program perubahan. Sejumlah kendala tersebut antara lain adalah: (1) kendala-kendala
sistem keorganisasian dan kekuasaan, (2) perbedaan-perbedaan dalam orientasi fungsional dan
struktur organisasi yang mekanistik, (3) kultur organisasi, (4) norma kelompok, (5) pemikiran
kelompok (group think) dan kendala-kendala individual, seperti ketidaksiapan yang
mengakibatkan rasa ketidakpastian, kekhawatiran, dan ketidakamanan. Organisasi yang memiliki
budaya yang kuat, yakni yang ditandai dengan dipegang dan dianutnya nilai-nilai inti organisasi
secara intensif dan secara luas oleh anggota organisasi tersebut akan menyulitkan suatu
perubahan organisasional yang menuntut berubahnya nilai-nilai inti tersebut. Kebiasaan berpikir
para pimpinan dan segenap karyawan dalam menganalisis situasi dan merespons masalah dapat
merangkap mereka dalam polapola pikir konvensional-organisasional (group think). Hal itu akan
cenderung menghalangi munculnya pemikiran segar yang diperlukan untuk perubahan.
Akhirnya, hambatan perubahan juga sering muncul dari keengganan individual yang berasal dari
faktor kebiasaan, ketidaksiapan, terusiknya rasa aman, kekhawatiran akan berkurangnya
penghasilan dan bertambahnya kerepotan, ketakutan terhadap hal-hal yang belum dikenali, dan
persepsi negatif yang berasal dari informasi mengenai kegagalan-kegagalan upaya perubahan.
Bidang Sasaran Perubahan Pada dasarnya ada empat bidang organisasional yang bisa menjadi
sasaran perubahan, yaitu struktur organisasi, teknologi, setting fisik, dan sumberdaya manusia
(SDM). bidang sasaran perubahan adalah sumberdaya manusia, baik secara individual, kelompok
maupun keseluruhan anggota organisasi. Sebagai asset terpenting dan faktor kunci keberhasilan
suatu organisasi, sumberdaya manusia perlu mendapat perhatian dan pengelolaan lebih khusus.
Perubahan sumberdaya manusia bisa terjadi meliputi penggantian orang (turnover), mutasi,
promosi, demosi, perubahan sikap, motivasi, dan perilaku kerja; peningkatan pengetahuan dan
keterampilan kerja; dan perubahan nilai-nilai budaya organisasional yang menjadi dasar acuan
perilaku segenap anggota organisasi. Adapun kepemimpinan yang diperlukan untuk perubahan
yaitu Perubahan memerlukan kepemimpinan yang kuat dari segi otoritas yang dimiliki maupun
dari segi kepribadian dan komitmen karena memimpin perubahan dengan segala kompleksitas
permasalahan dan hambatannya memerlukan power, keyakinan, kepercayaan diri, dan
keterlibatan diri yang ekstra. Seorang pemimpin tidak boleh bersikap pasif terhadap tujuan-
tujuan organisasi, melainkan harus mengambil sikap aktif. Dengan begitu ia tidak akan mudah
patah oleh hambatan dan perlawanan. Ia justru akan bergairah menghadapi tantangan perubahan
yang dipandangnya sebagai batu ujian kepemimpinannya. Pemimpin perubahan juga harus
visioner karena ia harus sanggup melihat cukup jauh ke depan ke arah mana organisasi harus
bergerak. Kotter (1990) menyebutkan bahwa memimpin perubahan harus dimulai dengan
menetapkan arah setelah mengembangkan suatu visi tentang masa depan, dan kemudian
menyatukan langkah orang-orang dengan mengomunikasikan penglihatannya dan mengilhami
mereka untuk mengatasi rintangan-rintangan. Semua itu dilakukan tanpa harus bersikap otoriter.
Namun, meskipun ia mengundang partisipasi pemikiran dari anggota, tongkat kepemimpinan
tetaplah berada di tangannya. Kecerdasan juga sangat diperlukan untuk kepemimpinan
perubahan. Tanpa kecerdasan yang baik, ia akan mudah terombang-ambing dalam kebingungan.
Kecerdasan sangat diperlukan karena pemimpin harus pandai memilih strategi dan menetapkan
program-program perubahan dan mengilhami teknik-teknik mengatasi masalah yang sesuai
dengan situasi dan kondisi organisasional yang ada berserta dinamikanya. Kecerdasan yang
diperlukan dalam hal ini adalah kecerdasan yang multi-dimensional, yang pada intinya meliputi
kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual. Dengan kecerdasan
intelektual berarti ia memiliki pengetahuan, wawasan, dan kreativitas berpikir yang diperlukan.
Dengan kecerdasan emosional berarti ia pandai mengelola emosi diri maupun emosi orang lain,
sehingga proses perubahan dapat berjalan efektif . Dengan kecerdasan spiritual berarti ia
memiliki kesadaran etis yang tinggi sehingga tujuan perubahan tidak semata demi peningkatan
efektivitas organisasi namun juga demi terlaksananya tanggung jawab moral dan etik (moral &
ethical responsibility) kepada semua stakeholders. Perubahan merupakan proses yang terjadi
secara terus-menerus dalam pertumbuhan suatu organisasi. Disatu sisi faktor eksternal yang
mendorong terjadinya perubahan dan disisi yang lain perubahan dirasakan sebagai suatu
kebutuhan internal.Perubahan organisasi bukanlah hal yang mudah dilakukan. Ada banyak
kendala yang bisa menghadang program-program perubahan,antara lain adalah: kendala-kendala
sistem keorganisasian dan kekuasaan, perbedaanperbedaan dalam orientasi fungsional dan
struktur organisasi yang mekanistik, kultur organisasi, norma kelompok, pemikiran kelompok
(group think) dan kendala-kendala individual, seperti ketidaksiapan yang mengakibatkan rasa
ketidakpastian, kekhawatiran dan ketidakamanan.
KESIMPULAN :
Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang untuk memberikan pengaruh kepada
perubahan perilaku orang lain secara langsung maupun tidak. Gaya kepemimpinan yang
dilakukan seorang pemimpin biasanya mencerminkan diri dan karakter dari seorang pemimpin
itu sendiri. Sikap seorang pemimpin sangat mempengaruhi penyelesaian suatu konflik dimana
seorang pemimpin mempunyai tanggung jawab dalam menyelesaikan masalah yang ada. Gaya
kepemimpinan adalah sekumpulan pola perilaku yang dimiliki oleh seorang pemimpin dalam
mempengaruhi perilaku orang lain. gaya kepemimpinan berdasarkan wewenang dan kekuasaan
dibedakan menjadi empat yaitu: otoriter, demokratis, partisipatif dan bebas tindak (Laissez–
Faire). Berbagai jenis kepemimpinan tersebut memiliki kelebihan dan kelemahan. Semua gaya
kepemimpinan dapat dipilih untuk digunakan tergantung dari situasi dan kondisi yang ada.
Fungsi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengawasan dan pengendalian dalam
manajemen keperawatan sangat menentukan pelayanan keperawatan di ruang rawat inap oleh
perawat pelaksana dalam melaksanakan manajemen asuhan keperawatan kepada klien.
Manajemen keperawatan merupakan koordinasi dan integrasi dari sumbersumber keperawatan
dengan menerapkan proses manajemen untuk mencapai tujuan, obyektifitas asuhan keperawatan
dan pelayanan keperawatan. Proses manajemen dibagi lima fase yaitu : planning, organizing,
staffing, directing, controling yang merupakan satu siklus yang saling berkaitan satu sama lain.
Dalam pelaksanaan manajemen keperawatan yang bermutu dibutuhkan seorang manajer
keperawatan yang bertanggung jawab dan mampu melaksanakan manajemen keperawatan
sehingga dapat menghasilkan pelayanan keperawatan yang berkualitas. Manajemen keperawatan
merupakan koordinasi dan integrasi sumber-sumber keperawatan dengan menerapkan proses
manajemen untuk mencapai tujuan dan obyektifitas asuhan keperawatan dan pelayanan
keperawatan. Keberhasilan pelayanan keperawatan sangat dipengaruhi oleh bagaimana manajer
keperawatan melaksanakan peran dan fungsinya. Manajemen keperawatan adalah keyakinan
yang dimiliki oleh tim keperawatan yang bertujuan untuk memberikan asuhan keperawatan
berkualitas melalui pembagian kerja, koordinasi dan evaluasi. Manajemen keperawatan terdiri
dari manajemen operasional dan manajemen asuhan keperawatan. Manajemen operasional
adalah pelayanan keperawatan di rumah sakit yang dikelola oleh departemen atau bidang
perawatan melalui tiga tingkatan manajerial yaitu manajemen puncak, manajemen menengah,
dan manajemen bawah. Manajer keperawatan tersebut harus memiliki beberapa faktor agar
penatalaksanaannya berhasil yaitu : (1) Kemampuan menerapkan pengetahuan, (2) Ketrampilan
kepemimpinan, (3) Kemampuan menjalankan peran sebagai pemimpin, dan (4) Kemampuan
melaksanakan fungsi manajemen. Kemampuan manajerial dalam fungsi pengorganisasian
diharapkan dapat membantu perawat pelaksana untuk melaksanakan manajemen asuhan
keperawatan kepada klien dengan benar dan baik.
Perubahan organisasi merupakan tindakan beralihnya suatu organisasi dari kodisi saat ini
menuju kondisi masa yang akan datang yang diinginkan guna meningkatkan efektivitas dan
efisiensi organisasi, suatu organisasi perlu melakukan perubahan dalam melakukan kegiatannya,
karena lingkungan organisasi secara terus-menerus mengalami perubahan, sehingga organisasi
perlu melakukan perubahan jika ingin tetap eksis dan sukses dimasa mendatang. Di tengah
kuatnya arus perubahan lingkungan, tanpa perubahan diri secara tepat dan signifikan organisasi
tersebut tidak akan bertahan lama. Sejumlah faktor lingkungan eksternal yang mendorong
perubahan, yaitu kekuatan kompetisi, kekuatan ekonomi, kekuatan politik, kekuatan globalisasi,
kekuatan sosial-demografik, dan kekuatan etika. pada lingkungan internal organisasi, perubahan-
perubahan yang terjadi pada nilai-nilai, etos kerja, kompetensi maupun aspirasi karyawan juga
mengharuskan respons organisasional yang tepat. Dalam suatu perubahan pasti ada hambatan-
hambatan yaitu : Perubahan organisasi bukanlah hal yang mudah dilakukan. Ada banyak kendala
yang bisa menghadang program-program perubahan. Sejumlah kendala tersebut antara lain
adalah: (1) kendala-kendala sistem keorganisasian dan kekuasaan, (2) perbedaan-perbedaan
dalam orientasi fungsional dan struktur organisasi yang mekanistik, (3) kultur organisasi, (4)
norma kelompok, (5) pemikiran kelompok (group think) dan kendala-kendala individual, seperti
ketidaksiapan yang mengakibatkan rasa ketidakpastian, kekhawatiran, dan ketidakamanan.
Kecerdasan juga sangat diperlukan untuk kepemimpinan perubahan. Tanpa kecerdasan yang
baik, ia akan mudah terombang-ambing dalam kebingungan. Kecerdasan sangat diperlukan
karena pemimpin harus pandai memilih strategi dan menetapkan program-program perubahan
dan mengilhami teknik-teknik mengatasi masalah yang sesuai dengan situasi dan kondisi
organisasional yang ada berserta dinamikanya. Kecerdasan yang diperlukan dalam hal ini adalah
kecerdasan yang multi-dimensional, yang pada intinya meliputi kecerdasan intelektual,
kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual. Perubahan merupakan proses yang terjadi secara
terus-menerus dalam pertumbuhan suatu organisasi. Disatu sisi faktor eksternal yang mendorong
terjadinya perubahan dan disisi yang lain perubahan dirasakan sebagai suatu kebutuhan
internal.Perubahan organisasi bukanlah hal yang mudah dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Purba, Rostandi Juli. Gaya dan Managemen Konflik Kepala Ruangan Di Instalasi Rindu
A RSUP H. Adam Malik Medan.
Utami, Sri Setyaningsih. 2007. Pengaruh Kepemimpinan Dalam Perubahan Organisasi.
Warsito, Edi Bambang. 2006. Pengaruh Persepsi Perawat Pelaksana Tentang Fungsi
Manajerial Kepala Ruang Terhadap Pelaksanaan Manajemen Asuhan Keperawatan Di Ruang
Rawat Inap RSJD Dr. AMINO GONDOHUTOMO SEMARANG. Semarang