asi pros atas aturan no 7 ta gunaka ila sert i kotamdigilib.uin-suka.ac.id/15884/1/bab i, v, daftar...
TRANSCRIPT
PENGIM
L
PERB
GATURANMPLEMENLARANGAPERBUATBUATAN A
DIAJUNIVERS
UNT
U
N LOKALISNTASI PERAN MENGTAN ASUSASUSILA D
JUKAN KESITAS ISLATUK MEM
GE
ZIND
1. U2. M
FAKUNIVERSIT
SASI PROSRATURAN
GGUNAKASILA SERTDI KOTAM
EPADA FAAM NEGE
MENUHI SYELAR SAR
DALAM
DI SETIYANI
P
UDIYO BASM. MISBAH
ILKULTAS STAS ISLAM
YO
STITUSI DN DAERAH
AN BANGUTA PEMIKMADYA D
SKRIPSI
AKULTAS ERI SUNANYARAT-SYRJANA STM ILMU H
OLEH:
A AFANDIIM.113400
PEMBIMBI
SUKI, S.H.HUL MUJI
MU HUKUYARI’AH M NEGER
OGYAKAR2015
DI KOTA SH NO 7 TA
UNAN ATAKATAN UNDAERAH T
SYARI’AHN KALIJAYARAT MRATA SAT
HUKUM
IA MAHAS027
ING:
., M.Hum.IB, S.Ag., M
UM DAN HUK
RI SUNAN RTA
SURABAYAHUN 1999AU TEMPANTUK MELTINGKAT
H DAN HUAGA YOGYMEMPEROL
TU
SARI
M.Hum.
KUM KALIJAG
YA (STUDI 9 TENTANAT UNTUKLAKUKANII SURABA
UKUM YAKARTALEH
GA
ATAS NG K N AYA)
A
i
ABSTRAK
Perkembangan jumlah Pekerja Seks Komersial yang tinggi dengan penurunan yang sedikit namun stabil sampai pada tahun 2013 merupakan hal yang wajar, karena sebagian besar masyarakat menganggap bahwasannya lokalisasi prostitusi di Kota Surabaya adalah legal sebab tidak banyak orang yang mengetahui adanya Perda No 7 Tahun 1999 tentang Larangan Menggunakan Bangunan atau Tempat untuk Perbuatan Asusila serta Pemikatan untuk Melakukan Perbuatan Asusila di Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya. Selain itu sampai pada tahun tersebut Perda ini juga masih belum dijalankan secara maksimal. Berangkat dari latar belakang tersebut, penyusun mempertanyakan bagaimanakan sebenarnya pengaturan lokalisasi prostitusi dalam Perda No 7 Tahun 1999, dan bagaimana efektivitasnya.
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis sosiologis, dan teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah kualitatif dengan menjadikan hasil wawancara Setda Bagian Hukum Pemerintah Kota Surabaya serta Dinas Sosial Kota Surabaya sebagai data primer, kemudian data tersebut dianalisa secara deskriptif berdasarkan teori-teori yang telah diuraikan sebelumnya pada kerangka teoritik. Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan yang telah dilakukan, diperoleh data-data bahwa tidak ada satupun aturan di Kota Surabaya yang melegalkan adanya lokalisasi prostitusi dan memang terhitung sejak tahun 1999 sampai pada tahun 2013 Perda No 7 Tahun 1999 belum dijalankan secara maksimal.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa pengaturan lokalisasi prostitusi dalam Perda No 7 Tahun 1999 pada hakikatnya memang berupa larangan, dan larangan tersebut bukan hanya untuk melakukan perbuatan asusila di tempat umum tetapi juga di semua tempat maupun di setiap bangunan di Kota Surabaya dan tidak berjalannya Perda secara maksimal sampai pada tahun 2013 merupakan salah satu strategi yang dilakukan pemerintah untuk mempersiapkan secara matang akan dampak yang terjadi pasca penutupan lokalisasi serta memikirkan solusi untuk mengatasi hal tersebut. Benar-benar diimplementasikannya perda ini pada tahun 2014 secara maksimal menandakan bahwasannya perda ini masih efektif dalam mengurangi bahkan menghapus prostitusi di Kota Surabaya. Pada dasarnya prostitusi adalah suatu penyakit yang tidak bisa serta merta hilang dari tatanan hidup masyarakat meskipun telah dilakukan banyak tindakan untuk menghapuskan hal tersebut jadi untuk ke depannya memang sangat diperlakukan kontrol lebih dari pemerintah untuk tetap melakukan razia-razia guna mencegah munculnya lokalisasi baru.
vi
MOTTO
Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan
(QS. Al Insyirah 6)
Percayalah kamu akan merasakan sakitnya terjatuh di saat kamu
ingin menuai keberhasilanmu, dan di saat itu yakinlah bahwa kamu
mampu untuk bangkit dan memperjuangkan keberhasilan itu, meski
harus bersusah payah.
Syukuri dan nikmati setiap kegagalanmu sebagai langkah awal
menuju titik yang paling tinggi yaitu sukses.
vii
HALAMAN PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan kepada:
1. Ayahku Sutiyo dan Ibundaku Cici Ratna Sari yang telah merawat dan
membimbing penyusun menjadi manusia yang lebih baik selama ini.
2. Adikku Fendi Setiya Rahmat Bahtiar dan keponakanku Luky Hamidah
Rahayu serta seluruh keluargaku yang menambah arti dalam hidupku
serta memotivasi untuk menyelesaikan penelitian ini.
3. Bapak Udiyo Basuki, S.H., M.Hum. selaku Pembimbing I, yang selalu
memberi arahan dalam penyusunan Skripsi.
4. Bapak M.Misbahul Mujib, S.Ag., M.Hum. selaku Pembimbing II, yang
selalu memberi arahan dalam penyusunan Skripsi.
5. Bapak/Ibu dosen dan karyawan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
6. Keluarga besar Tri Rahayu, Bapak Poniman dan simbok ngatiyem yang
telah memberikan arti keluarga ke dua di Yogyakarta
7. Teman-teman Ilmu Hukum angkatan 2011 yang tidak bisa disebut
namanya satu persatu.
8. Yang selalu menemani perjuangan saya, Mugi Hartana
9. Sahabat-sahabat terbaikku selama menjalani masa kuliah di Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Tri Rahayu dan Anggita Rahma
Dewanti tanpa kalian mungkin Yogyakarta menjadi tanpa makna
10. Sahabat-sahabatku yang selalu mendukung dan menemaniku di kos
tercinta Umatul Khoiroh, Dwi Setya, Siska, Ana dan Sri Hidayati.
11. Sahabat sejatiku, Rini Riskya, Muthoharo, Arifatul Khodiqoh, dan Cuznul
khoiriyah.
12. Penasehat sekaligus teman terbaikku, Muhammad Haidar Ali, Muhammad
Zakaria dan Royhatun Toyyibah.
viii
13. Teman-teman KKN Novita Abidatussyarifah, Hanifa Beni Pinesti,
Chiliatussafitri, Ariefta Hudi Fahmi, Setyo Prabowo, dan Walia Rahman.
14. Semua orang yang telah melimpahkan kasih sayangnya untukku serta
mewarnai hari-hariku dengan kebahagiaan.
xi
DAFTAR ISI
ABSTRAK........................................................................................................ i
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI .......................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN ......................................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... v
MOTTO ............................................................................................................ vi
HALAMAN PERSEMBAHAN ....................................................................... vii
KATA PENGANTAR ...................................................................................... ix
DAFTAR ISI .................................................................................................... xi
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................... 7
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ........................................................ 8
D. Telaah Pustaka .................................................................................... 9
E. Kerangka Teoretik .............................................................................. 12
F. Metode Penelitian ............................................................................... 24
G. Sistematika Pembahasan ..................................................................... 28
BAB II. TINJAUAN PEMERINTAH DAERAH PERSPEKTIF GOOD
GOVERNANCE
A. Tinjauan tentang Pemerintah Daerah .................................................. 29
B. Asas Penyelenggaraan Pemerintahan yang Baik (Good Governance)
1. Tinjauan tentang Kebijakan Publik ............................................... 46
xii
2. Keterbukaan Sistem Informasi Publik ........................................... 50
BAB III. TINJAUAN TENTANG PENGATURAN LOKALISASI PROSTITUSI DI
KOTA SURABAYA
A. Gambaran Umum Kota Surabaya .......................................................... 51
1. Sejarah Kota Surabaya ..................................................................... 51
2. Letak Geografis ............................................................................... 52
3. Demografi ........................................................................................ 54
4. Visi Dan Misi ................................................................................... 55
B. Gambaran Umum Lokalisasi Prostitusi di Kota Surabaya ................... 66
1. Sejarah Berdirinya Lokalisasi .......................................................... 69
2. Letak dan Kondisi Geografis ........................................................... 72
3. Batas Wilayah Kelurahan ................................................................ 72
C. Pengertian Teoritik Pekerja Seks Komersial ........................................ 73
D. Tinjauan Perda No 7 Tahun 1999 ......................................................... 84
BAB IV. PEMBAHASAN DAN ANALISIS
A. Analisis Pengaturan Lokalisasi Prostitusi di Kota Surabaya ................ 87
1. Respon Masyarakat dengan Diimplementasikannya Perda ............. 92
2. Dampak dan Hasil dari Diimplementasikannya Perda .................... 95
3. Upaya Pemerintah Kota Surabaya dalam Mengatasi Permasalahan
yang Muncul Pasca Penutupan Lokalisasi ....................................... 98
4. Perkembangan Pekerja Seks Komersial serta Mucikari di Lokalisasi
Prostitusi .......................................................................................... 108
B. Analisis Efektivitas Peraturan Daerah No 7 Tahun 1999 ..................... 109
xiii
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................................... 119
B. Saran ..................................................................................................... 120
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 122
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada dasarnya kebebasan hubungan antara laki-laki dan
perempuan sudah ada sejak dahulu, bahkan tidak ada aturan yang melarang
siapapun untuk berhubungan dengan pasangan yang diinginkan. Beberapa
waktu kemudian barulah muncul konsep keluarga, yang antara lain berfungsi
untuk mengatur pemenuhan kebutuhan biologis. Berkaitan dengan
pemenuhan kebutuhan biologis tersebut manusia mempunyai dasar untuk
serakah, begitu pula halnya berkaitan dengan pemuasan kebutuhan
biologisnya.1
Dari latar belakang keserakahan tersebut kemudian muncul
praktik prostitusi. Prostitusi berasal dari kata “Prostituere”(bahasa latin)
yang berarti menonjolkan diri dalam hal-hal yang buruk atau tercela atau
menyerahkan diri secara terang-terangan kepada umum. Di Indonesia istilah
ini dikenal dengan “pelacuran”, yang pada umumnya dapat diartikan sebagai
1Mudjijono, Sarkem, Reproduksi Sosial Pelacuran, Cet.ke-1 (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2005), hlm.1.
2
penyerahan badan perempuan dengan pembayaran, kepada laki-laki guna
pemenuhan kebutuhan biologis orang tersebut.2
Iwan Bloch memberi batasan pelacuran sebagai suatu bentuk
tertentu dari perhubungan kelamin di luar perkawinan dengan pola tertentu,
yakni kepada siapapun secara terbuka dan hampir selalu dengan pembayaran,
baik untuk berhubungan badan maupun kegiatan seks lainnya yang
diinginkan oleh yang bersangkutan. Selanjutnya juga dikemukakan pendapat
Commenge, prostitusi adalah suatu perbuatan dimana seorang wanita
memperdagangkan atau menjual tubuhnya, yang dilakukan untuk
memperoleh pembayaran dari laki-laki yang datang membayarnya dan wanita
tersebut tidak ada mata pencaharian nafkah lain dalam hidupnya kecuali
dengan melakukan hubungan sebentar-sebentar dengan banyak orang.3
Selalu ada tempat-tempat yang menyediakan kegiatan prostitusi di
berbagai daerah baik secara resmi maupun sembunyi-sembunyi sehingga
pemerintah perlu menekan penyebarannya dengan berbagai macam peraturan
atau kebijakan berkaitan dengan hal tersebut, salah satunya yaitu dengan
dibuatnya Peraturan Daerah.
Hal ini berhubungan dengan Negara Republik Indonesia sebagai
Negara Kesatuan yang menganut asas desentralisasi dalam
2Soedjono, Pathologi, Sosia, Gelandangan, Penyalahgunaan, Narkotika,
Alkoholisme, Prostitusi atau Pelacuran, Penyakit jiwa, Kejahatan dll, Cet.ke-2 (Bandung: Alumni, 1974), hlm.115.
3Mudjijono, Sarkem Reproduksi … hlm. 19.
3
menyelenggarakan pemerintahan dengan memberikan kesempatan dan
keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah.4
Agenda Otonomi Daerah sudah merupakan agenda nasional yang
sangat penting dan telah menjadi wacana publik saat kondisi bangsa ini
demikian kompleks permasalahannya dan belum jelas arahnya. Dengan
adanya Otonomi Daerah diharapkan dapat menjadi pilihan nasional yang
dapat mencegah kemungkinan terjadinya disintegrasi, bahkan dengan adanya
Otonomi Daerah diharapkan sebagai solusi untuk meningkatkan integrasi
sosial. Selain itu, Otonomi Daerah dianggap sebagai opsi untuk
meningkatkan derajat keadilan sosial serta distribusi kewenangan secara
proporsional antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah
Daerah dalam hal penentuan kebijakan publik, penguasaan aset dan politik
serta sumber daya lokal.
Dalam rangka pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia,
disebutkan dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 antara lain Negara
Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah propinsi dan daerah
propinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai Pemerintah Daerah, yang diatur
dengan Undang-Undang.5 Bahwasannya dalam penjelasan tersebut, Negara
4HAW.Widjaja, Otonomi Desa Merupakan Otonomi yang Asli, Bulat dan utuh,
cet.ke-6 (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 1.
5Lihat Pasal 18 Undang-undang Dasar 1945.
4
Indonesia itu suatu eenheid staat, maka Indonesia tidak akan mempunyai
daerah-daerah dalam lingkungannya yang bersifat staat.6
Ditetapkan juga dalam Undang-Undang Otonomi Daerah yaitu
Undang-Undang nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Pelaksanaan Otonomi Daerah menurut Undang-Undang tersebut adalah hak,
wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat sesuai peraturan
perundang-undangan.
Sebagai daerah otonom, pemerintah daerah propinsi, kabupaten
dan kota berwenang untuk membuat Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala
Daerah, guna menyelenggarakan urusan Otonomi Daerah dan tugas
pembantuan. Peraturan Daerah ditetapkan oleh kepala daerah, setelah
mendapat persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Substansi
atau muatan materi Perda adalah penjabaran dari peraturan perundang-
undangan yang tingkatannya lebih tinggi, dengan memperhatikan ciri khas
masing-masing daerah, dan substansi materi tidak boleh bertentangan dengan
kepentingan umum dan atau peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi.
6Sudarsono, Kamus hukum, Cet.ke-6 (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hlm.109,
454.“Eenheid staat” adalah negara kesatuan, maksudnya daerah bukanlah merupakan negara bagian, akan tetapi merupakan propinsi. ”Staat”adalah negara, maksudnya negara bagian.
5
Peraturan Daerah memiliki hak yurisdiksi setelah diundangkan
dalam lembaran daerah, dan pembentukan Peraturan Daerah berdasarkan asas
pembentukan peraturan perundangan, yang secara garis besar mengatur
tentang:
1. kejelasan tujuan;
2. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
3. kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
4. dapat dilaksanakan;
5. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
6. kejelasan rumusan;
7. keterbukaan.
Adapun materi muatan Peraturan Daerah mengandung asas:
1. Pengayoman;
2. kemanusiaan;
3. kebangsaan;
4. kekeluargaan;
5. kenusantaraan;
6. bhineka tunggal ika;
7. keadilan;
8. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
9. ketertiban dan kepastian hukum;
10. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan;
6
11. asas-asas lain sesuai substansi Perda yang bersangkutan.7
Kewenangan daerah untuk mengatur dan membuat Peraturan
Daerah termasuk di dalamnya kewenangan untuk mengatur lokalisasi
prostitusi dalam suatu Peraturan Daerah seperti halnya yang dimiliki oleh
Kota Surabaya yakni, Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 1999 tentang
Larangan Menggunakan Bangunan atau Tempat untuk Melakukan Perbuatan
Asusila serta Pemikatan untuk Melakukan Perbuatan Asusila yang dibuat
oleh Kotamadya Daerah tingkat II Surabaya. Peraturan Daerah ini sangat
dibutuhkan bagi kota Surabaya dalam rangka penertiban kota, karena seperti
yang telah dijelaskan di atas, selalu ada tempat-tempat yang menyediakan
kegiatan prostitusi di berbagai daerah baik secara resmi maupun sembunyi-
sembunyi, kota Surabaya pun tidak lepas dari permasalahan yang sama.
Selain sebagai salah satu kota besar di Indonesia yang terkenal
dengan sebutan kota pahlawan, kota Surabaya juga dikenal dengan kota yang
menyediakan lokalisasi prostitusi. Hal itu sangat bertentangan dengan
Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 1999 yang dibuat oleh Pemerintah Kota
Surabaya guna mencegah semakin bertambahnya Pekerja Seks Komersial di
kota Surabaya, seperti disebutkan dalam Pasal 2 Peraturan Daerah Nomor 7
Tahun 1999 tersebut yang menyatakan bahwa “di Kotamadya Daerah Tingkat
II Surabaya setiap orang dilarang menggunakan bangunan atau tempat untuk
7Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, cet.ke-1
(Makassar: Sinar Grafika, 2005), hlm. 37.
7
melakukan perbuatan asusila melakukan perbuatan pemikatan untuk
melakukan perbuatan asusila.
Berangkat dari permasalahan tersebut, maka penyusun
mempertanyakan bagaimana sebenarnya pengaturan lokalisasi prostitusi di
kota Surabaya dalam Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 1999 yang sudah
diberlakukan sejak tahun 1999 namun sampai tahun 2013 masih terdapat
lokalisasi prostitusi di kota Surabaya, serta bagaimana efektifitas dari
Peraturan Daerah tersebut. Oleh karenanya penyusun mengambil judul
“Pengaturan Lokalisasi Prostitusi Perspektif Peraturan Daerah Nomor 7
Tahun 1999 tentang Larangan Menggunakan Bangunan atau Tempat untuk
Melakukan Perbuatan Asusila serta Pemikatan untuk Melakukan Perbuatan
Asusila di Kotamadya Tingkat II Surabaya”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penyusun
merumuskan pokok masalah dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimana Pengaturan Lokalisasi Prostitusi dalam Peraturan Daerah
Nomor 7 Tahun 1999 tentang Larangan Menggunakan Bangunan atau
Tempat untuk Melakukan Perbuatan Asusila serta Pemikatan untuk
Melakukan Perbuatan Asusila di Kotamadya Tingkat II Surabaya ?
2. Bagaimana efektifitas dari Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 1999
tersebut ?
8
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk menjelaskan bagaimana pengaturan lokalisasi prostitusi
di kota Surabaya dalam Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun
1999 tentang Larangan Menggunakan Bangunan atau Tempat
untuk Melakukan Perbuatan Asusila serta Pemikatan untuk
Melakukan Perbuatan Asusila di Kotamadya Tingkat II
Surabaya.
b. Untuk mengetahui bagaimana efektifitas Peraturan Daerah
Nomor 7 Tahun 1999 tentang Larangan Menggunakan
Bangunan atau Tempat untuk Melakukan Perbuatan Asusila
serta Pemikatan untuk Melakukan Perbuatan Asusila di
Kotamadya Tingkat II Surabaya.
2. Kegunaan Penelitian
Dengan penelitian ini target yang diharapkan adalah
memberikan kegunaan baik secara teoritis maupun secara praktis,
antara lain:
a. Secara teoritis: diharapkan hasil penelitian ini kelak dapat
untuk menyumbangkan pemikiran dalam ilmu hukum
khususnya bidang hukum tata negara terutama yang berkaitan
dengan Pemerintah Daerah dan efektifitas produk hukumnya.
9
b. Secara praktis: diharapkan penelitian ini dapat memberikan
kejelasan dari pengaturan lokalisasi prostitusi di kota Surabaya
dalam Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 1999.
D. Telaah Pustaka
Sejauh pengamatan dan pengetahuan penyusun, sudah banyak
ditemukan penelitian dan tulisan (skripsi) yang membahas tentang prostitusi.
Namun, belum banyak yang membahas mengenai pengaturan yang mengatur
tentang lokalisasi tersebut. Untuk mengetahui posisi penyusun dalam
melakukan penelitian ini, maka dilakukan review terhadap beberapa
penelitian terdahulu yang ada kaitannya atau ada relevansinya terhadap
masalah pada tulisan yang akan menjadi objek penelitian.
Penelitian-penelitian yang dimaksud misalnya skripsi Mashuri
dengan judul “Kajian Yuridis Sosiologis Implementasi Perda nomor 7 Tahun
1999 Terhadap Pekerja Seks Komersial (PSK)”. Dalam skripsi ini
dipertanyakan tentang bagaimanakah sebenarnya fenomena PSK di Kota
Surabaya sehingga dijuluki kota prostitusi, dan bagaimanakah upaya
implementasi Perda No. 7 Tahun 1999 terhadap Pekerja Seks Komersial yang
diterapkan Satpol PP dan Dinas Sosial kota Surabaya.8
8 Mashuri, “Kajian Yuridis Sosiologis Implementasi Perda nomor 7 Tahun 1999
Terhadap Pekerja Seks Komersial (PSK) Studi pada Satpol PP dan Dinas Sosial Kota Surabaya”, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang, Malang, 2008.
10
Perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian Mashuri adalah
penelitian Mashuri lebih mengarah pada implementasi Peraturan Daerah No.
7 Tahun 1999 yang diterapkan oleh satpol PP dan Dinas Sosial kota Surabaya
terhadap pekerja seks komersial, dimana dalam penelitian tersebut penyusun
membatasi ruang lingkup kajian pada upaya penerapan Peraturan Daerah
terhadap Pekerja Seks Komersial yang dilakukan oleh satpol PP dan Dinas
Sosial sedangkan dalam penelitian ini penyusun mengkaji bagaimana
efektifitas dari Peraturan Daerah No. 7 Tahun 1999 tersebut, serta bagaimana
bentuk pengaturan lokalisasi prostitusi di Kota Surabaya dalam Peraturan
Daerah No. 7 Tahun 1999.
Selanjutnya skripsi karya M.Sofyan Hadi, dalam penelitiannya
yang berjudul “Penegakan Peraturan Daerah DKI No 8 Tahun 2007 tentang
Prostitusi di Mangga Besar Jakarta Barat (Analisis hukum Islam)”. Dalam
skripsi ini dipertanyakan praktek penegakan hukum Peraturan Daerah DKI
No 8 Tahun 2007 serta bagaimana moralitas dari penegak hukum dalam
menangani prostitusi di Mangga Besar.9 Perbedaan antara penelitian karya M.
Sofyan Hadi dan penelitian ini jelas berbeda jika ditinjau dari segi lokasi dan
Peraturan Daerah yang menjadi objek penelitian, M. Sofyan menjadikan DKI
Jakarta sebagai lokasi yang menjadi objek penelitiannya sedangkan dalam
penelitian ini yang dijadikan sebagai lokasi untuk penelitian adalah Kota
Surabaya, kemudian jika ditinjau dari segi permasalahan M. Sofyan lebih
9M.Sofyan Hadi, “Penegakan Perda DKI No 8 Tahun 2007 tentang Prostitusi di
Mangga Besar Jakarta Barat (Analisis Hukum Islam)”, Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.
11
menekankan pada bagaimana praktek penegakan hukum Perda DKI serta
moralitas penegak hukumnya dalam menangani prostitusi sedangkan dalam
penelitian ini penyusun lebih menekankan kajian pada efektifitas Perda yang
mengatur tentang prostitusi serta bagaimana pengaturan lokalisasinya dalam
Perda tersebut.
Skripsi karya Rossy Novita Khatulistiwa, dalam penelitiannya
yang berjudul “Efektifitas Penerapan Peraturan Daerah Kota Malang Nomor
8 Tahun 2005 tentang Larangan Tempat Pelacuran dan Perbuatan Cabul di
Kota Malang sebagai Upaya Penanggulangan Pelacuran Jalanan”. Dalam
penelitiannya dipertanyakan bagaimana penerapan Peraturan Daerah kota
Malang tersebut dan bagaimana tingkat keberhasilannya (efektifitasnya).
Persamaan antara penelitian Rossy dan penelitian ini yaitu sama-sama
menguji efektivitas suatu Perda tentang prostitusi serta bagaimana Perda
tersebut diterapkan, Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Rossy yaitu
dalam penelitian ini penyusun juga mengkaji bentuk pengaturan lokalisasi
prostitusi.10
Skripsi karya Fisqiyatur Rohmah yang berjudul “Politik Peka
Perempuan (Kajian Terhadap Peraturan Daerah No.5 Tahun 2007 tentang
Larangan Pelacuran di Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta)”,
10Rossy Novita Khatulistiwa, “Efektivitas Penerapan Peraturan Daerah Kota
Malang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Larangan Tempat Pelacuran dan Perbuatan Cabul di Kota Malang Sebagai Upaya Penanggulangan Pelacuran Jalanan”, skripsi, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, 2011.
12
perbedaan antara skripsi karya Fisqiyatur dan penelitian ini adalah dalam
penelitian ini dipertanyakan terkait konstruksi sosial masyarakat Bantul
terhadap prostitusi, serta konstruksi politik peka perempuan dibalik Perda
larangan pelacuran di Kabupaten Bantul, persamaan dengan penelitian ini
yaitu dalam karya Fisqiyatur juga mengkaji terkait implikasi pemberlakuan
Perda pelacuran pada masyarakat di Kabupaten Bantul, nantinya penyusun
juga akan mengkaji bagaimana sebenarnya implikasi pemberlakuan Perda
prostitusi di Kota Surabaya terhadap masyarakatnya untuk mengukur
efektivitas Perda Kota Surabaya.11
E. Kerangka Teoretik
1. Teori Negara Hukum
Konsep Negara hukum tidak asing lagi dalam ilmu
pengetahuan ketatanegaraan sejak zaman purba hingga sekarang ini.
Hanya dalam praktek ketatanegaraan orang masih pesimis, apakah
negara hukum tersebut sudah diterapkan sepenuhnya atau belum. Hal
ini dapat dipahami karena praktek, pengertian menurut teori, masih
perlu diperhitungkan dengan faktor-faktor yang nyata dan hidup
dalam masyarakat menurut waktu dan tempat, karena itu tidak
mengherankan, sebab cita-cita universal mengenai Negara Hukum
yang diletakkan dalam konstitusi sering dilanggar dalam praktiknya.
Jika keadaan semacam ini harus terus menerus terjadi, maka negara
11Fisqiyatur Rohmah, “Politik Peka Perempuan (Kajian terhadap Peraturan
Daerah No.5 Tahun 2007 tentang Larangan Pelacuran di Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta)”, skripsi ,Fakultas Ushuludin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008.
13
hukum bersifat formal, sedang dalam kenyataannya jauh menyimpang
dari apa yang tercantum dalam konstitusi, dan seolah-olah negara
hukum itu hanyalah suatu mitos saja yang belum pernah terbukti
dalam sejarah ketatanegaraan. Dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 hasil
amandemen disebutkan, “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.
Adanya pengakuan Negara Hukum secara intrinsik melekat pada
Pancasila dan bersumber pada Pancasila. Tujuan ide negara hukum ini
dilahirkan adalah untuk membendung adanya kesewenang-wenangan
dari kekuasaan yang mempraktekkan sistem yang absolut dan
mengabaikan hak-hak dari rakyat itu sendiri.
Negara Hukum adalah negara yang berlandaskan atas
hukum dan keadilan bagi warganya. Maksudnya adalah segala
kewenangan dan tindakan alat-alat perlengkapan negara semata-mata
berdasarkan hukum atau dengan kata lain diatur oleh hukum, hal
demikian akan mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup
warganya.12
2. Teori Demokrasi
Negara Hukum harus ditopang dengan sistem Demokrasi
karena terdapat korelasi yang jelas antara Negara Hukum yang
bertumpu pada konstitusi, dengan kedaulatan rakyat yang dijalankan
melalui sistem demokrasi. Dalam sistem demokrasi tanpa pengaturan,
12Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara, cet.ke-6 (Jakarta: Rajawali Pers, 2012),
hlm. 88.
14
hukum akan kehilangan bentuk dan arah, sementara hukum tanpa
demokrasi akan kehilangan makna. Menurut Magnis Suseno
sebagaimana dikutip oleh Ni’matul Huda dalam bukunya, demokrasi
yang bukan Negara Hukum bukan demokrasi dalam arti yang
sesungguhnya. Demokrasi merupakan cara yang paling aman untuk
mempertahankan kontrol atas Negara Hukum.13
3. Teori Hak Asasi Manusia
Menurut Jerome J. Shestack, istilah Hak Asasi Manusia
tidak ditemukan dalam agama tradisional. Namun demikian, ilmu
tentang ketuhanan (theology) menghadirkan landasan bagi suatu teori
HAM yang berasal dari hukum yang lebih tinggi dari pada negara dan
yang sumbernya adalah Tuhan (Supreme Being). Tentunya, teori ini
mengandaikan adanya penerimaan dari doktrin yang dilahirkan
sebagai sumber dari HAM.14
Ada beberapa teori yang penting dan relevan dengan
persoalan HAM, antara lain, yaitu: teori hak-hak kodrati (natural
rights theory), teori positivisme (positivist theory) dan teori
relativisme budaya (cultural relativist theory). Menurut teori hak-hak
kodrati, HAM adalah hak-hak yang dimiliki oleh semua orang setiap
saat dan di semua tempat oleh karena manusia dilahirkan sebagai
manusia. Hak-hak tersebut termasuk hak untuk hidup, kebebasan dan
harta kekayaan seperti yang diajukan oleh John Locke. Pengakuan
tidak diperlukan bagi HAM, baik dari pemerintah atau dari suatu
13Munthoha, Negara Hukum Indonesia, Pasca Perubahan Undang-Undang
Dasar 1945, cet.ke-1 (Yogyakarta: Kaukaba, 2013), hlm. 3.
14Jerome J. Shestack, Jurisprudence of Human Rights, dalam Theodor Meron, edit, Human Rights in International Law Legal and Policy Issues, (New York: Oxford University Press, 1992), hlm. 76.
15
sistem hukum, karena HAM bersifat universal. Berdasarkan alasan
ini, sumber HAM sesungguhnya semata-mata berasal dari manusia.15
4. Teori Tindakan Pemerintah
Menurut Van Vollenhoven yang dimaksudkan dengan
tindakan pemerintah (Bestuurhandeling) adalah pemeliharaan
kepentingan negara dan rakyat secara spontan dan tersendiri oleh
penguasa tinggi dan rendah. Sedangan menurut komisi poelje dalam
laporannya tahun 1972 yang dimaksudkan dengan tindakan
pemerintah dalam hukum publik adalah tindakan-tindakan hukum
yang dilakukan oleh penguasa dalam menjalankan fungsi
pemerintahan. Romeijn mengemukakan bahwa tindak pemerintahan
adalah tiap-tiap tindakan atau perbuatan dari salah satu administrasi
negara yang mencakup juga perbuatan atau hal-hal yang berada diluar
lapangan hukum tata pemerintahan seperti keamanan, peradilan dan
lain-lain dengan maksud menimbulkan akibat hukum dalam bidang
hukum administrasi.16
Tindakan pemerintah menurut Juniarso Ridwan dan
Achmad Sodik dalam bukunya mengatakan bahwa tindakan
pemerintah adalah tidakan yang dilakukan oleh organ pemerintah atau
administrasi negara yang memiliki tujuan untuk menimbulkan akibat
15Todung Mulya Lubis, In search of Human Rights Legal-Political Dilemmas of
Indonesia’s New Order, 1966-1990, (Jakarta: Gramedia, 1993), hlm. 15.
16S.F Marbun dan Moh.Mahfud MD, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, cet.ke-4, (Yogyakarta: Liberty, 2006), hlm. 70.
16
hukum dibidang pemerintahan atau administrasi negara. Berdasarkan
pengertian itu, tampak beberapa unsur-unsur dari tindakan hukum
pemerintahan:
1. perbuatan itu dilakukan oleh aparat pemerintah dalam
kedudukannya sebagai alat kelengkapan pemerintahan dengan
prakasra dan tanggung jawab sendiri.
2. perbuatan tersebut dilaksanakan dalam rangka menjalankan
fungsi pemerintahan
3. perbuatan tersebut dapat menimbulkan akibat hukum dibidang
administrasi
4. perbuatan tersebut bersangkutan dengan kepentingan negara
dan masyarakat
5. perbuatan tersebut harus berdasarka ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku
6. perbuatan tersebut berorientasi pada tujuan tertetu berdasarkan
hukum
Telah jelas bahwa pemerintah atau administrasi negara
adalah subyek hukum yang mewakili dua institusi yaitu jabatan,
pemerintahan dan badan hukum, karena mewakili dua institusi dikenal
ada dua tindakan hukum yaitu tindakan hukum publik dan tindakan
hukum privat.
17
Secara teoritis cara untuk menentukan apakah tindakan
pemeritahan itu diatur oleh hukum privat atau hukum publik adalah
dengan melihat kedudukan pemerintah dalam menjalankan tindakan
tersebut. Jika pemerintah bertindak dalam kedudukannya seperti
pemerintah, hanya hukum publik lah yag berlaku. Jika pemeritah
bertindak dalam kapasitas tidak sebagai pemerintah, hukum privatlah
yang berlaku. Dengan kata lain ketika pemeritah terlibat dalam
pergaulan keperdataan dan bukan dalam kedudukannya sebagai pihak
yang memelihara kepentingan umum, ia tidak berbeda dengan pihak
swasta yang tunduk pada hukum privat.17
5. Teori Norma Hukum
Bila pemerintah yang sah mengeluarkan suatu peraturan
menurut perundang-undangan yang berlaku, peraturan tersebut
ditanggapi sebagai norma yang berlaku secara yuridis, yakni peraturan
itu terasa sebagai mewajibkan, sedemikian rupa sehingga seorang
yang tidak menurut peraturan itu dapat dikritik kelakuannya, bahkan
dapat dituntut hukuman terhadapnya melalui pengadilan. Hal ini yang
dimaksud bahwa hukum bersifat normatif.
Hukum bersifat normatif, tampak dalam perumusan
kaidah-kaidah hukum. Kaidah-kaidah itu dirumuskan sebagai
penggabungan antara dua kenyataan tertentu menurut prinsip
tanggungan yakni, bila hal ini terjadi, seharusnya hal itu terjadi pula.
17Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik, cet.ke-3, (Bandung: Nuansa, 2012), hlm. 141.
18
Dikatakan “harus atau seharusnya” dalam arti tanggungan, sebab
“harus” suatu situasi yuridis berbeda dengan “harus” dalam suatu
situasi alamiah. Dalam suatu situasi alamiah dua kenyataan selalu
tergabung satu sama lain, karenannya suatu keharusan alamiah selalu
efektif. Lain halnya yuridis yang tidak selalu efektif, sebab suatu
peraturan dapat ditaati, dapat tidak.
Bila hukum diakui sebagai normatif, diakui bahwa hukum
itu mewajibkan, bahwa hukum harus ditaati. Ketaatan itu tidak dapat
disamakan dengan ketaatan akan suatu perintah. Hukum ditaati, bukan
karena terdapat suatu kekuasaan dibelakangnya, melainkan karena
mewajibkan itu termasuk hakikat hukum sendiri. Pada hakikatnya
hukum adalah norma yang mewajibkan. Hal ini jelas, sebab bila suatu
pemerintah tidak berhasil mengefektifkan suatu peraturan, sehingga
peraturan itu kurang ditaati, kekuatan peraturan tersebut sebagai
norma hilang.18
6. Teori Pemerintah Daerah
a. Otonomi Daerah
Otonomi Daerah dapat diartikan sebagai hak wewenang
dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Secara prinsipil terdapat dua hal yang tercakup dalam
18Theo Huijbers, Filsafat Hukum, cet.ke-3 (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm.
45.
19
otonomi, yaitu hak wewenang untuk memanajemeni daerah, dan
tanggung jawab terhadap kegagalan dalam memanajemeni daerahnya
tersebut.
b. Desentralisasi
Desentralisasi adalah istilah yang luas dan selalu
menyangkut persoalan kekuatan (power), yang biasanya dihubungkan
dengan pendelegasian atau penyerahan wewenang dari pemerintah
pusat kepada pejabatnya di daerah atau kepada lembaga-lembaga
pemerintah di daerah untuk menjalankan urusan-urusan pemerintah di
daerah.
Menurut Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang No. 32 Tahun
2004, Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah oleh
pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Dengan demikian, wewenang pemerintah tersebut adalah
wewenang yang diserahkan oleh pemerintah pusat saja, sedangkan
Pemerintah Daerah hanya melaksanakan wewenang yang diberi oleh
pemerintah pusat sesuai dengan aspirasi masyarakat daerahnya,
walaupun sebenarnya daerah diberikan kewenangan untuk mengatur
dan mengurus rumah tangganya secara luas, nyata, dan bertanggung
jawab.
Kewenangan daerah ini mencakup kewenangan dalam
seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan yang dikecualikan
20
dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 ini, sebagaimana diatur
dalam Pasal 10 ayat (3), yaitu kewenangan dalam bidang politik luar
negeri, pertahanan dan keamanan, yustisi, moneter, dan fiskal
nasional, dan agama. Tujuan utama desentralisasi adalah:
1) Tujuan politik, yang ditujukan untuk menyalurkan
partisipasi politik di tingkat daerah untuk terwujudnya
stabilitas politik nasional;
2) Tujuan ekonomis, yang dimaksudkan untuk menjamin
bahwa pembangunan akan dilaksanakan secara efektif dan
efisien di daerah-daerah dalam rangka kesejahteraan
sosial.
c. Dekosentrasi
Pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah mempunyai
hubungan yang sangat erat. Dalam hubungannya dengan tugas
pemerintahan, pemerintah pusat dapat menyerahkan urusan-urusan
pemerintahannya kepada daerah secara dekonsentrasi, yaitu urusan-
urusan pemerintah yang diserahkannya ini tetap menjadi tanggung
jawab pemerintah pusat. Dekonsentrasi merupakan tanggung jawab
pemerintah pusat, sedangkan daerah, dalam hal ini propinsi, hanya
diberi wewenang karena kedudukannya sebagai wakil pemerintah
pusat di daerah. Oleh karena itu, Gubernur selain pelaksana
desentralisasi, juga melaksanakan asas dekonsentrasi. Besaran dan isi
dekonsentrasi harus dekat dengan kepentingan masyarakat dan
21
bermakna sebagai upaya mempertahankan dan memperkuat persatuan
dan kesatuan serta keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan meningkatkan pemberdayaan, menumbuhkan prakarsa,
dan kreatifitas masyarakat serta kesadaran nasional.19
d. Tugas Pembantuan (Medebewind)
Tugas pembantuan adalah tugas-tugas untuk turut serta
dalam melaksanakan urusan pemerintah yang ditugaskan kepada
Pemerintah Daerah oleh pemerintah atau Pemerintah Daerah tingkat
atasnya, dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang
menugaskan. Urusan yang ditugaskan itu sepenuhnya masih menjadi
wewenang pemerintah atau propinsi yang menugaskan ini menyusun
rencana kegiatan, atau kebijaksanaan dan menyediakan anggarannya,
sedangkan daerah yang ditugasi sekedar melaksanakannya, tetapi
wajib untuk mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas itu.20
7. Teori Efektifitas Hukum
Ketika kita ingin mengetahui sejauh mana efektivitas dari
hukum, maka kita pertama-tama harus dapat mengukur sejauh mana
aturan hukum itu ditaati atau tidak ditaati. Jika suatu aturan hukum
ditaati oleh sebagian besar target yang menjadi sasaran ketaatannya,
kita akan mengatakan bahwa aturan hukum yang bersangkutan adalah
19Utang Rosidin, Otonomi Daerah dan Desentralisasi, cet. ke-1 (Bandung:
Pustaka Setia, 2010).
20Ibid. hlm. 89.
22
efektif. Namun demikian, sekalipun aturan yang ditaati itu efektif
tetapi kita masih tetap bisa mempertanyakan derajat efektifitasnya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi ketaatan terhadap
hukum secara umum, menurut Achmad Ali antara lain:
a. Relevansi aturan hukum secara umum, dengan kebutuhan hukum
dari orang-orang yang menjadi target aturan hukum secara umum
itu. Oleh karena itu, jika aturan hukum yang dimaksud berbentuk
Undang-Undang, maka pembuat Undang-Undang dituntut untuk
mampu memahami kebutuhan hukum dari target pemberlakuan
Undang-Undang tersebut.
b. Kejelasan rumusan dari substansi aturan hukum, sehingga mudah
dipahami oleh target diberlakukannya aturan hukum. Jadi,
perumusan substansi aturan hukum itu, harus ditulis dengan jelas
dan mampu dipahami secara pasti. Meskipun nantinya tetap
membutuhkan interpretasi dari penegak hukum yang akan
menerapkannya.
c. Sosialisasi yang optimal kepada seluruh target aturan hukum itu.
Kita tidak boleh meyakini fiksi hukum yang menentukan bahwa
semua penduduk yang ada dalam wilayah suatu negara, dianggap
mengetahui seluruh aturan hukum yang berlaku dinegaranya.
Tidak mungkin penduduk atau warga masyarakat secara umum,
mampu mengetahui keberadaan suatu aturan hukum dan
23
substansinya, jika aturan hukum tersebut tidak disosialisasikan
secara optimal.
d. Jika hukum yang dimaksud adalah perundang-undangan, maka
seyogyanya aturannya bersifat melarang, dan jangan bersifat
mengharuskan, sebab hukum yang bersifat melarang lebih mudah
dilaksanakan ketimbang hukum yang bersifat mengharuskan.
e. Sanksi yang diancam oleh aturan hukum itu, harus dipadankan
dengan aturan hukum yang dilanggar tersebut. Suatu sanksi yang
dapat kita katakan tepat untuk suatu tujuan tertentu, belum tentu
tepat untuk untuk tujuan lain.
f. Berat ringannya sanksi yang diancamkan dalam aturan hukum,
harus proporsional dan memungkinkan untuk dilaksanakan. Tidak
boleh terlalu berat dan tidak boleh terlalu ringan.
g. Kemungkinan bagi penegak hukum untuk memproses jika terjadi
pelanggaran terhadap aturan hukum tersebut, adalah memang
memungkinkan, karena tindakan yang diatur dan diancamkan
sanksi, memang tindakan yang konkret, dapat dilihat, diamati,
oleh karenanya memungkinkan untuk diproses dalam setiap
tahapan.
h. Aturan hukum yang mengandung norma moral berwujud
larangan, relatif akan jauh lebih efektif ketimbang aturan hukum
yang bertentangan dengan nilai moral yang dianut oleh orang-
orang yang menjadi target diberlakukannya aturan tersebut.
24
Aturan hukum yang sangat efektif, adalah aturan hukum yang
melarang dan mengancamkan sanksi bagi tindakan yang juga
dilarang dan diancamkan sanksi oleh norma lain, seperti norma
moral, norma agama, norma adat istiadat atau kebiasaan, dan
lainnya. Aturan hukum yang tidak diatur dan dilarang oleh norma
lain, akan lebih tidak efektif.
i. Efektif atau tidak efektifnya suatu aturan hukum secara umum,
juga tergantung pada optimal dan professional tidaknya aparat
penegak hukum untuk menegakkan berlakunya aturan hukum
tersebut, mulai dari tahap pembuatannya, sosialisasinya, proses
penegakkan hukumnya dan penerapannya terhadap suatu kasus
yang konkret.
Efektif atau tidaknya suatu aturan hukum secara umum, juga
mensyaratkan adanya pada standart hidup sosio-ekonomi yang minimal
dalam masyarakat, dan sebelumnya ketertiban umum sedikit atau banyak,
harus telah terjaga, karena tidak mungkin efektifitas hukum akan terwujud
jika masyarakat dalam keadaan kaos.21
F. Metode Penelitian
Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini dapat
penyusun uraikan sebagai berikut:
21Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, cet.ke-4 ( Jakarta:
Kencana, 2012), hlm. 375.
25
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan Masalah
Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini
adalah deskriptif, yaitu jenis penelitian yang sifatnya mendeskripsikan
atau menjelaskan Peraturan-Peraturan yang ada dan saat ini berlaku
sebagai hukum positif. Sedangkan pendekatan masalah yang
dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis
sosiologis, yaitu pendekatan terhadap hukum sebagai suatu norma
atau kaidah, dan pendekatan terhadap masyarakat dalam arti melihat
realita yang ada di masyarakat.
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di Kota Surabaya,
Propinsi Jawa Timur. Alasan dipilihnya wilayah tersebut sebagai
objek penelitian dengan pertimbangan sebagai berikut:
a. Analisa terhadap efektifitas Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun
1999 tentang Larangan Menggunakan Bangunan atau Tempat
untuk Melakukan Perbuatan Asusila serta Pemikatan untuk
Berbuat Asusila di Kotamadya Daerah tingkat II Surabaya
b. Serta analisa pengaturan lokalisasi prostitusi di Kota Surabaya
dalam Perda tersebut.
3. Jenis Data
Guna mendapatkan data dalam penelitian, penyusun
menggunakan dua jenis data, yaitu:
a. Data Primer
26
Data primer yaitu, suatu data yang di dapatkan dari
hasil penelitian lapangan yang diperoleh langsung dari responden atau
narasumber (field research), yakni berupa:
1) Kondisi Kota Surabaya yang menyangkut letak geografi,
sejarah kota dan lain sebagainya.
2) Sejarah munculnya lokalisasi prostitusi di Kota Surabaya
3) Dampak positif serta negatif sebelum dan setelah
diberlakukannya Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 1999
4) Respon masyarakat dengan diberlakukannya Peraturan Daerah
Nomor 7 Tahun 1999
b. Data Sekunder
Data sekunder, yaitu suatu data yang di dapatkan dari
hasil penelitian pustaka (library research). Data sekunder yang
berupa perundang-undangan, yang memiliki otoritas tertinggi
adalah Undang-Undang Dasar 1945, kemudian data sekunder yang
digunakan dalam penelitian ini selain Undang-Undang adalah
peraturan yang otoritasnya di bawah Undang-Undang yakni,
Peraturan Daerah Kabupaten atau Kota.
Peraturan Daerah Kabupaten atau Kota yang dimaksud
adalah Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Larangan
Menggunakan Bangunan atau Tempat untuk Perbuatan Asusila
serta Pemikatan untuk Melakukan Perbutan Asusila di Kota
Madya Daerah tingkat II Surabaya.
27
4. Teknik Pengumpulan Data
Adapun cara untuk mengumpulkan data, penyusun lakukan
dengan teknik sebagai berikut:
a. Untuk mengumpulkan data primer (field research), penyusun
melakukannya dengan cara wawancara yaitu melakukan tanya
jawab secara langsung dengan responden atau narasumber dan
dengan cara menyebar kuesioner yaitu rangkaian pertanyaan yang
disusun untuk menjaring data mengenai suatu hal yang diperlukan
dalam penelitian.
b. Untuk pengumpulan data sekunder (library research), penyusun
melakukannya dengan mempelajari peraturan perundang-
undangan, yakni, hasil-hasil penelitian, hasil karya ilmiah para
sarjana, kamus-kamus, dan seterusnya, yang ada kaitannya
dengan materi yang dikaji.22
5. Analisis Data
Dalam menganalisis data tersebut, penyusun
mempergunakan analisis deskriptif kualitatif, yakni suatu analisis
yang sifatnya menjelaskan atau menggambarkan mengenai peraturan-
peraturan yang berlaku, kemudian dikaitkan dengan kenyataan yang
terjadi di masyarakat, dan akhirnya diambil kesimpulan.23
22Suratman dan Phillips Dillah, Metode Penelitian Hukum, cet ke-1 (Malang:
Alfabeta, 2012), hlm. 228.
23Ibid, hlm. 229.
28
G. Sistematika Pembahasan
Dalam penulisan skripsi ini penyusun membagi bahasan dalam
lima bab, yakni sebagai berikut:
Diawali dengan bab pertama, berisi pendahuluan, yang terdiri
dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan
penelitian, telaah pustaka, kerangka teoritik, metode penelitian dan
sistematika pembahasan.
Bab kedua, berisi tinjauan tentang Pemerintah Daerah dalam
perspektif Good Governance, bab ini menguraikan tentang Asas-asas
Penyelenggaraan Pemerintahan yang Baik, Kebijakan Publik dan Sistem
Keterbukaan Informasi Publik
Bab ketiga, berisi tinjauan tentang pengaturan lokalisasi prostitusi
di Kota Surabaya, bab ini menjelaskan tentang bagaimana sebenarnya
lokalisasi prostitusi di Kota Surabaya jika dilihat dari perspektif Perda No 7
Tahun 1999
Bab keempat, berisi pembahasan tentang bagaimana pengaturan
lokalisasi prostitusi di Kota Surabaya dan bagaimana efektifitas dari
Peraturan Daerah No 7 Tahun 1999
Bab kelima, yakni penutup, merupakan sesi terakhir yang memuat
kesimpulan dan merupakan jawaban dari pokok permasalahan yang diangkat
dalam penelitian ini, dan ditutup dengan saran-saran.
118
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melalui pembahasan panjang pada 4 bab sebelumnya,
pada bab ini akan memberikan kesimpulan dari analisis yang telah
dilakukan. Benang merah yang dapat ditarik dari uraian pembahasan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Perda No 7 Tahun 1999 mengatur lokalisasi prostitusi di Kota
Surabaya dengan ketentuan aturan berupa larangan yang
tercantum dalam konsideran huruf c yang berbunyi Pemerintah
dipandang perlu mengatur ketentuan berupa larangan
menggunakan bangunan atau tempat untuk berbuat asusila serta
pemikatan untuk berbuat asusila. Dimana dalam Perda tersebut
dinyatakan bahwa tidak ada satupun aturan yang menyatakan
lokalisasi prostitusi di Kota Surabaya adalah legal atau diizinkan.
Pengaturan berupa larangan ini dipertegas dalam Pasal 2 huruf a
yang menyatakan bahwa di Kotamadya Daerah Tingkat II
Surabaya setiap orang dilarang menggunakan bangunan atau
tempat untuk melakukan perbuatan asusila, serta Pasal 2 huruf b
yang juga menyatakan bahwa setiap orang di Kotamadya Daerah
Tingkat II Surabaya dilarang melakukan perbuatan pemikatan
untuk berbuat asusila. Dengan demikian asumsi yang beredar dan
119
berkembang di kalangan masyarakat terkait pelegalan lokalisasi
prostitusi atau menganggap bahwa prostitusi di Kota Surabaya
dilokalisasi dewasa ini telah terpatahkan, karena Pemerintah Kota
Surabaya sudah mencover serangkaian hal yang berkaitan dengan
lokalisasi prostitusi di Kota Surabaya dalam Perda yang berisikan
larangan terhadap segala macam bentuk maupun kegiatan
prostitusi di Kota Surabaya.
2. Perda No 7 Tahun 1999 masih efektif diberlakukan di Kota
Surabaya serta mampu mengurangi masalah prostitusi yang terjadi
di kota tersebut, tidak diberlakukannya Perda tersebut terhitung
sejak tahun 1999 sampai pada tahun 2013 merupakan salah satu
strategi pemerintah, karena dalam mengimplementasikan Perda
tersebut pemerintah memang memerlukan proses yang panjang
dimana selain mengimplementasikan Perda tersebut pemerintah
juga memikirkan solusi untuk menyelesaikan permasalahan yang
muncul akibat diimplementasikannya Perda tersebut. Efektifnya
Perda tersebut dapat diukur dengan terpenuhinya beberapa faktor
yang mempengaruhi efektifitas produk hukum itu sendiri yaitu,
aturan hukum yang dijalankan masih relevan untuk mengurangi
jumlah Pekerja Seks Komersial di Kota Surabaya, perumusan
substansi aturan dalam Perda No 7 Tahun 1999 cukup jelas dan
mampu dipahami masyarakat secara pasti, Pemerintah Kota
Surabaya telah melakukan sosialisasi seperti sebagaimana
120
mestinya kepada target pemberlakuan Perda yakni Pekerja Seks
Komersial dan Mucikari serta seluruh warga masyarakat yang
terlibat dalam lokalisasi, aturan yang terdapat di dalam Perda No 7
Tahun 1999 merupakan aturan yang sifatnya melarang bukan
mengharuskan, jadi mudah untuk diterapkan berlakunya, memuat
sanksi administratif sehingga sanksi yang diancamkan sepadan
dengan aturan hukum yang dilanggar dan bisa langsung
diterapkan, pemberian sanksi berupa denda yang diancam dalam
Perda ini ringan sehingga tidak bertentangan dengan Undang-
Undang dan faktor terakhir yaitu aturannya yang bersifat larangan
sehingga dengan mudah penegak hukum dapat langsung
mengimplementasikan Perda tersebut jika terjadi pelanggaran.
B. Saran
Dengan diberlakukannya Perda No 7 Tahun 1999 larangan
menggunakan bangunan atau tempat untuk melakukan perbuatan asusila serta
pemikatan untuk melakukan perbuatan asusila di Kotamadya Daerah Tingkat
II Surabaya adalah untuk mengurangi atau bahkan menghapus prostitusi dari
Kota Surabaya
1. Penegak hukum perlu melakukan operasi secara terprogram pasca
penutupan supaya tidak lagi muncul lokalisasi-lokalisasi baru di
Kota Surabaya
2. Seharusnya pengawasan terhadap kegiatan prostitusi tidak hanya
dipantau melalui dunia nyata saja oleh Pemerintah Kota Surabaya
121
tetapi perlu juga mengawasinya melalui operasi dunia maya
misalnya melalui media sosial atau lain sebagainnya mengingat
seiring berkembanganya waktu, tehnologi semakin canggih
sehingga memberikan banyak kemudahan bagi penggunannya
untuk menjalin komunikasi satu sama lain
3. Seharusnya harus lebih teliti lagi dalam menegakkan Perda No 7
Tahun 1999, Perlu kiranya dilakukan razia bukan hanya pada area
seputar lokalisasi tetapi juga area lain yang memungkinkan
dijadikan sebagai tempat untuk melakukan perbuatan asusila serta
pemikatan untuk melakukan perbuatan asusila
4. Aparat penegak hukum juga perlu mempelajari lebih dalam
transaksi-transaksi jual beli yang dilakukan oleh Pekerja Seks
Komersial dengan pelanggannya.
5. Pemerintah harus lebih giat lagi dalam melakukan sosialisasi
Perda, baik terhadap warga terdampak maupun tidak terdampak
6. Dukungan dari berbagai pihak (Pemerintah, aparat penegak
hukum serta masyarakat) sangat berarti demi terwujudnya Kota
Surabaya yang aman dan terhindar dari kegiatan prostitusi
122
DAFTAR PUSTAKA
A. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Peraturan Daerah Daerah No 7 Tahun 1999 tentang Larangan Menggunakan Bangunan Atau Tempat untuk Perbuatan Asusila Serta Pemikatan untuk Melakukan Perbuatan Asusila di Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya B. Buku-buku
Ali, Achmad, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, Jakarta: Kencana, 2012.
Fatimah, Siti dan Nurainun Mangunsong, Panduan Praktikum Legal
Drafting, Yogyakarta: Suka Press, 2012. Hadi, M. Sofyan, “Penegakan Perda DKI No 8 Tahun 2007 tentang Prostitusi
di Mangga Besar Jakarta Barat (Analisis Hukum Islam)”, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.
Huda, Ni’matul , Hukum Tata Negara. Jakarta: Rajawali Pers, 2012. ----------,Pengawasan Pusat terhadap Daerah, dalam Penyelenggaraan
Pemerintah Daerah, Yogyakarta: UII Press, 2007. Huijbers, Theo, Filsafat Hukum.Yogyakarta: Kanisius, 1995. Jajuli, “Motivasi dan dampak psikologis Pekerja Seks Komersial”, skripsi,
Fakultas Dakwah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Yogyakarta, 2010.
Lubis, Todung Mulya, In search of Human Rights Legal-Political Dilemmas
of Indonesia’s New Order, 1966-1990, Jakarta: Gramedia, 1993.
Marbun, S.F dan Moh.Mahfud MD, Pokok-pokok Hukum Administrasi
Negara, Yogyakarta: Liberty, 2006.
Mashuri, “Kajian Yuridis Sosiologis Implementasi PERDA Nomor 7 Tahun 1999 Terhadap Pekerja Seks Komersial (PSK) Studi pada Satpol PP
123
dan Dinas Sosial kota Surabaya”, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang, 2008.
Mudjijono, Sarkem, Reproduksi Sosial Pelacuran. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2005.
Munthoha, Negara Hukum Indonesia, Pasca Perubahan Undang-undang 1945. Yogyakarta: Kaukaba, 2013.
Novita, Rossy Khatulistiwa, “Efektivitas Penerapan Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Larangan Tempat Pelacuran dan Perbuatan Cabul di Kota Malang Sebagai Upaya Penanggulangan Pelacuran Jalanan”, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, 2011.
Rohmah, Fisqiyatur “Politik Peka Perempuan (Kajian terhadap Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2007 tentang Larangan Pelacuran di Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta)”, Fakultas Ushuludin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008.
Rosidin, Utang, Otonomi Daerah dan Desentralisasi. Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Reza Muhammad, Lukman Hakim, “Implementasi Perda Nomor 13 Tahun 2007 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kantor Pelayanan Terpadu Kebupaten Klaten”, skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogayakarta, Yogyakarta, 2013.
Shestack, Jerome J , Jurisprudence of Human Rights, dalam Theodor Meron,
edit, Human Rights in International Law Legal and Policy Issues,
New York: Oxford University Press, 1992.
Sudarsono, Kamus Hukum. Jakarta: Rineka Cipta, 2009.
Sunggono, Bambang, Hukum dan Kebijaksanaan Publik, Jakarta: Sinar Grafika, 1994.
Soedjono, Pathologisosial, Gelandangan, Penyalahgunaan Narkotika, Alkoholisme, Prostitusi atau Pelacuran, Penyakit Jiwa, Kejahatan dll. Bandung: Alumni, 1974.
Sunarno, Siswanto , Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia. Makassar: Sinar Grafika, 2005.
Suratman, Philips Dillah, Metodologi Penelitian Hukum, Bandung: Alfabeta, 2012.
124
Widjaja, HAW, Otonomi Desa Merupakan Otonomi yang Asli, Bulat dan Utuh. Jakarta: Rajawali Pers, 2012.
Winarno, Budi, Kebijakan Publik, Teori dan Proses, Yogyakarta: MedPress, 2007.
C. Internet
http://www.surabaya.go.id/ver5/, akses 2 mei 2014. http://www.merdeka.com/peristiwa/sejarah-gang-dolly-sampai-terbesar-di-
asia-tenggara.html, akses 2 mei 2014.
Wisma WTS Wisma WTS Wisma WTS Wisma WTS Wisma WTS Wisma WTS Wisma WTS
1 2001 0 6788
2 2002 0 7124
3 2003 0 7442
4 2004 0 7814
5 2005 0 8009
6 2006 0 6788
7 2007 300 388 435 1270 218 767 0 3378
8 2008 115 300 352 388 44 435 301 1270 27 218 76 767 915 3378
9 2009 85 274 186 550 54 876 331 1019 30 249 85 257 771 3225
10 2010 86 274 134 509 50 497 270 648 24 212 21 91 585 2231
11 2011 66 215 118 360 50 497 286 635 29 176 63 144 612 2027
12 2012 61 213 144 368 52 594 260 486 32 222 76 234 625 2117
JUMLAH 413 1576 934 2563 250 3334 1448 5328 142 1295 321 2260 3508 60321
Catatan
Intervensi yang telah dilakukan pemerintah kota surabaya :
1. Bimbingan dan Pelatihan
2. Pengajian setiap bulan di setiap Lokalisasi
3. Pemeriksaan kesehatan setiap bulan di Lokalisasi
4. Percepatan Alih Profesi
5. Pemulangan ke daerah asal
Dolly Jarak Sememi Klakah Rejo
DATA WISMA DAN WTS DI 6 LOKALISASI
NO TAHUN
LOKALISASIJUMLAH TOTAL
Dupak Bangunsari Tambak Asri
DATA BANTUAN STIMULAN PASCA PENUTUPAN LOKALISASI :
Dupak Bangunsari :
WTS : 135 Orang @ Rp 3,000,000,00
Mucikari : 30 Orang @ Rp 10,000,000,00
Tambak Asri :
WTS : 345 Orang @ Rp 4,450,000,00
Mucikari : 96 Orang @ 5,000,000,00
Klakahrejo
WTS : 191 Orang @ Rp 5,050,000,00
Mucikari : 69 Orang @ 5,000,000,00
Sememi
WTS : 95 Orang @ Rp 5,050,000,00
Mucikari
Dolly & Jarak
WTS : 630 Orang @ Rp 5,050,000,00
Mucikari : 66 Orang @ 5,000,000,00
Gambar. Deklarasi penutupan Lokalisasi Prostitusi
Gambar. Pemberian Dana stimulan untuk
PSK dan Mucikari
Gambar. Pemulangan PSK Ke kampung
halaman masing-masing
Sumber: Dinas sosial Kota Surabaya
CURRICULUM VITAE
Nama : Zindi Setiya Afandia Mahasari
TTL : Blitar, 07 Oktober 1993
Alamat : Perum. Podo Asih, Kecamatan Beji Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur
Telp./Hp : 085604536129
Alamat Jogja : Jl.Ambar kusumo No.305, Catur Tunggal –Depok, Sleman, Yogyakarta
Ayah : Sutiyo
Pekerjaan : TNI-AL
Ibu : Cici Ratna Sari
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Riwayat Pendidikan
1. SDN Dupak V Surabaya, Jawa Timur (2000-2003)
2. SDN Kejapanan III Kab.Pasuruan, Jawa Timur (2003)
3. SDN Kedung Pandan II Kab.Sidoarjo, Jawa Timur (2003-2005)
4. SMPN 1 Jabon Kab.Sidoarjo, Jawa Timur (2006-2008)
5. SMAN 1 Bangil Kab.Pasuruan, Jawa Timur (2008-2011)
Pengalaman Organisasi
1. Anggota LPM Arena
2. Anggota LPM Advokasia
3. PMII