askep hiperbilirubin klpk 5 zh
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu keadaan yang menyerupai penyakit hati yang terdapat pada bayi
baru lahir adalah terjadinya hiperbillirubinemia yang merupakan salah satu kegawatan
pada bayi baru lahir karena dapat menjadi penyebab gangguan tumbuh kembang bayi.
Kelainan ini tidak termasuk kelompok penyakit saluran pencernaan makanan, namun
karena kasusnya banyak dijumpai maka harus dikemukakan.
Kasus ikterus ditemukan pada ruang neonatus sekitar 60% bayi aterm dan pada
80 % bayi prematur selama minggu pertama kehidupan. Ikterus tersebut timbul akibat
penimbunan pigmen bilirubin tak terkonjugasi dalam kulit. Bilirubin tak terkonjugasi
tersebut bersifat neurotoksik bagi bayi pada tingkat tertentu dan pada berbagai keadaan.
Ikterus pada bayi baru lahir dapat merupakan suatu gejala fisiologis atau
patologis. Ikterus fisiologis terdapat pada 25-50% neonatus cukup bulan dan lebih tinggi
lagi pada neonatus kurang bulan sebesar 80%. Ikterus tersebut timbul pada hari kedua
atau ketiga, tidak punya dasar patologis, kadarnya tidak membahayakan, dan tidak
menyebabkan suatu morbiditas pada bayi. Ikterus patologis adalah ikterus yang punya
dasar patologis atau kadar bilirubinnya mencapai suatu nilai yang disebut
hiperbilirubinemia. Dasar patologis yang dimaksud yaitu jenis bilirubin, saat timbul dan
hilangnya ikterus, serta penyebabnya.
Neonatus yang mengalami ikterus dapat mengalami komplikasi akibat gejala sisa
yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangannya. Oleh sebab itu perlu
kiranya penanganan yang intensif untuk mencegah hal-hal yang berbahaya bagi
kehidupannya dikemudian hari. Perawat sebagai pemberi perawatan sekaligus pendidik
harus dapat memberikan pelayanan yang terbaik dengan berdasar pada ilmu pengetahuan
yang dimilikinya.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui serta memahami gambaran umum asuhan keperawatan pada anak dengan
hiperbilirubinemia
2. Tujuan Khusus
Setelah dilakukan presentasi diharapkan mahasiswa dapat:
a.) Mengetahui serta memahami definisi, klasifikasi dan etiologi
hiperbilirubinemia pada anak.
b.) Mengetahui patofisiologi, manifestasi klinik dan komplikasi penyakit
hiperbilirubinemia pada anak
c.) Mengetahui pemeriksaan diagnostik dan penatalaksanaan penyakit
hiperbilirubinemia pada anak
d.) Mengetahui konsep asuhan keperawatan pada anak dengan hiperbilirubinemia
C. Metode Penulisan
1. Studi pustaka. Penulis melakukan pengumpulan data berdasarkan referensi
kepustakaan.
2. Studi internet. Penulis dalam pengumpulan data juga menggunakan sumber dari
brosing internet.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Hiperbilirubin adalah keadaan icterus yang terjadi pada bayi baru lahir, yang
dimaksud dengan ikterus yang terjadi pada bayi baru lahir adalah meningginya kadar
bilirubin di dalam jaringan ekstravaskuler sehingga terjadi perubahaan warna
menjadi kuning pada kulit, konjungtiva, mukosa dan alat tubuh lainnya. (Ngastiyah,
2000) Nilai normal: bilirubin indirek 0,3 – 1,1 mg/dl, bilirubin direk 0,1 – 0,4 mg/dl.
Hiperbilirubin adalah peningkatan kadar bilirubin serum (hiperbilirubinemia)
yang disebabkan oleh kelainan bawaan, juga dapat menimbulkan ikterus. (Suzanne
C. Smeltzer, 2002)
Hiperbilirubin adalah meningkatnya kadar bilirubin dalam darah yang kadar
nilainya lebih dari normal (Suriadi, 2001).
Hiperbilirubin adalah suatu keadaan dimana konsentrasi bilirubin dalam
darah berlebihan sehingga menimbulkan joundice pada neonatus (Dorothy R.
Marlon, 1998).
Hiperbilirubin adalah kondisi dimana terjadi akumulasi bilirubin dalam darah
yang mencapai kadar tertentu dan dapat menimbulkan efek patologis pada neonatus
ditandai joudince pada sclera mata, kulit, membrane mukosa dan cairan tubuh (Adi
Smith, G, 1988).
B. Klasifikasi
a.) Ikterus prehepatik
Disebabkan oleh produksi bilirubin yang berlebihan akibat hemolisis sel darah
merah. Kemampuan hati untuk melaksanakan konjugasi terbatas terutama pada
disfungsi hati sehingga menyebabkan kenaikan bilirubin yang tidak terkonjugasi.
b.) Ikterus hepatic
Disebabkan karena adanya kerusakan sel parenkim hati. Akibat kerusakan hati
maka terjadi gangguan bilirubin tidak terkonjugasi masuk ke dalam hati serta
gangguan akibat konjugasi bilirubin yang tidak sempurna dikeluarkan ke dalam
doktus hepatikus karena terjadi retensi dan regurgitasi.
c.) Ikterus kolestatik
Disebabkan oleh bendungan dalam saluran empedu sehingga empedu dan
bilirubin terkonjugasi tidak dapat dialirkan ke dalam usus halus. Akibatnya
adalah peningkatan bilirubin terkonjugasi dalam serum dan bilirubin dalam urin,
tetapi tidak didaptkan urobilirubin dalam tinja dan urin.
d.) Ikterus neonatus fisiologi
Terjadi pada 2-4 hari setelah bayi baru lahir dan akan sembuh pada hari ke-7.
penyebabnya organ hati yang belum matang dalam memproses bilirubin.
e.) Ikterus neonatus patologis
Terjadi karena factor penyakit atau infeksi. Biasanya disertai suhu badan yang
tinggi dan berat badan tidak bertambah (Suzanne C. Smeltzer, 2002).
C. Etiologi
1) Pembentukan bilirubin yang berlebihan.
2) Gangguan pengambilan (uptake) dan transportasi bilirubin dalam hati.
3) Gangguan konjugasi bilirubin.
4) Penyakit Hemolitik, yaitu meningkatnya kecepatan pemecahan sel darah merah.
Disebut juga ikterus hemolitik. Hemolisis dapat pula timbul karena adanya
perdarahan tertutup.
5) Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan, misalnya
Hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obatan tertentu.
6) Gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau
toksin yang dapat langsung merusak sel hati dan sel darah merah seperti : infeksi
toxoplasma. Siphilis.
7) Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat
disebabkan oleh beberapa faktor:
8) Produksi yang berlebihan
Hal ini melebihi kemampuannya bayi untuk mengeluarkannya, misal pada
hemolisis yang meningkat pada inkompabilitas darah Rh, ABO, golongan darah
lain, defisiensi enzim G6PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
9) Gangguan proses “uptake” dan konjugasi hepar.
Gangguan ini dapat disebabkan oleh immturitas hepar, kurangnya substrat untuk
konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi
atau tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom Criggler-Najjar)
penyebab lain atau defisiensi protein Y dalam hepar yang berperan penting dalam
“uptake” bilirubin ke sel hepar.
10) Gangguan transportasi.
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat ke hepar. Ikatan
bilirubin dengan albumin dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, dan
sulfaforazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapat bilirubin
indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
11) Gangguan dalam ekskresi.
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar.
Kelainan di luar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi
dalam hepar biasanya akibat infeksi/kerusakan hepar oleh penyebab lain.
D. Patofisiologi
Untuk lebih memahami tentang patofisiologi ikterus maka terlebih dahulu akan
diuraikan tentang metabolisme bilirubin:
Segera setelah lahir bayi harus mengkonjugasi Bilirubin (merubah Bilirubin
yang larut dalam lemak menjadi Bilirubin yang mudah larut dalam air) di dalam hati.
Frekuensi dan jumlah konjugasi tergantung dari besarnya hemolisis dan kematangan
hati, serta jumlah tempat ikatan Albumin (Albumin binding site). Pada bayi yang
normal dan sehat serta cukup bulan, hatinya sudah matang dan menghasilkan Enzim
Glukoronil Transferase yang memadai sehingga serum Bilirubin tidak mencapai
tingkat patologis.
Patofisiologis hiperbilirubin terjadi peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat
terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila
terdapat beban bilirubin pada sel hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila
terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia.
Gangguan pemecahan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan
kadar bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein berkurang, atau
pada bayi hipoksia, asidosis. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar
bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi hepar atau neonatus yang
mengalami gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu.
Pada derajat tertentu bilirubin akan bersifat toksik dan merusak jaringan
tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang bersifat sukar larut
dalam air tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek
patologis pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak.
Kelainan yang terjadi di otak disebut kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa
kadar bilirubin indirek lebih dari 20mg/dl.
Mudah tidaknya kadar bilirubin melewati sawar darah otak ternyata tidak hanya
tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar
darah otak apabila bayi terdapat keadaan berat badan lahir rendah, hipoksia, dan
hipoglikemia.(Markum,1991)
E. WOC
F. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala yang jelas pada anak yang menderita hiperbilirubin adalah:
1. Tampak ikterus pada sklera, kuku atau kulit dan membran mukosa.
2. Jaundice yang tampak dalam 24 jam pertama disebabkan oleh penyakit hemolitik
pada bayi baru lahir, sepsis, atau ibu dengan diabetik atau infeksi.
3. Jaundice yang tampak pada hari ke dua atau hari ke tiga, dan mencapai puncak
pada hari ke tiga sampai hari ke empat dan menurun pada hari ke lima sampai
hari ke tujuh yang biasanya merupakan jaundice fisiologis.
4. Ikterus adalah akibat pengendapan bilirubin indirek pada kulit yang cenderung
tampak kuning terang atau orange, ikterus pada tipe obstruksi (bilirubin direk)
kulit tampak berwarna kuning kehijauan atau keruh. Perbedaan ini hanya dapat
dilihat pada ikterus yang berat.
5. Muntah, anoksia, fatigue, warna urin gelap dan warna tinja pucat, seperti dempul
6. Perut membuncit dan pembesaran pada hati
7. Pada permulaan tidak jelas, yang tampak mata berputar-putar
8. Letargik (lemas), kejang, tidak mau menghisap
9. Dapat tuli, gangguan bicara dan retardasi mental
10. Bila bayi hidup pada umur lebih lanjut dapat disertai spasme otot, epistotonus,
kejang, stenosis yang disertai ketegangan otot
Menurut Surasmi (2003) gejala hiperbilirubinemia dikelompokkan menjadi :
a.) Gejala akut : gejala yang dianggap sebagai fase pertama kernikterus pada
neonatus adalah letargi, tidak mau minum dan hipotoni.
b.) Gejala kronik : tangisan yang melengking (high pitch cry) meliputi hipertonus
dan opistonus (bayi yang selamat biasanya menderita gejala sisa berupa
paralysis serebral dengan atetosis, gengguan pendengaran, paralysis sebagian
otot mata dan displasia dentalis).
Sedangakan menurut Handoko (2003) gejalanya adalah warna kuning (ikterik) pada
kulit, membrane mukosa dan bagian putih (sclera) mata terlihat saat kadar bilirubin
darah mencapai sekitar 40 µmol/l.
G. Komplikasi
Keadaan bilirubin yang tidak teratasi akan menyebabkan memperburuk keadaan, dan menyebabkan komplikasi:1. Bilirubin enchepalopathy (komplikasi serius)2. Kernikterus; kerusakan neurologis, cerebral palsy, retardasi mental, hiperaktif, bicara lambat, tidak ada koordinasi otot dan tangisan yang melengking. (Suriadi, 2001).
H. Prognosis
Hiperbilirubin baru akan berpengaruh bentuk apabila bilirubin indirek telah
melalui sawar otak, penderita mungkin menderita kernikterus atau ensefalopati
biliaris, gejala ensefalopati pada neonatus mungkin sangat ringan dan hanya
memperlihatkan gangguan minum, letargi dan hipotonia. Selanjutnya bayi mungkin
kejang, spastik dan ditemukan opistotonis. Pada stadium mungkin didapatkan adanya
atitosis dan ditemukan opistotonis. Pada stadium mungkin didapatkan adanya atitosis
dan gangguan pendengaran atau retardasi mental di hari kemudian.
I. Pemeriksaan Diagnostik
1. Laboratorium (Pemeriksan Darah)
Pemeriksaan billirubin serum. Pada bayi prematur kadar billirubin lebih
dari 14 mg/dl dan bayi cukup bulan kadar billirubin 10 mg/dl merupakan
keadaan yang tidak fisiologis.
Hb, HCT, Hitung Darah Lengkap.
Protein serum total.
2. USG, untuk mengevaluasi anatomi cabang kantong empedu.
3. Radioisotop Scan, dapat digunakan untuk membantu membedakan hapatitis dan
atresia billiari.
J. Penatalaksanaan
1) Pengawasan antenatal dengan baik dan pemberian makanan sejak dini
(pemberian ASI).
2) Menghindari obat yang meningkatakan ikterus pada masa kelahiran, misalnya
sulfa furokolin.
3) Pencegahan dan pengobatan hipoksin pada neonatus dan janin.
4) Fenobarbital. Fenobarbital dapat mengeksresi billirubin dalam hati dan
memperbesar konjugasi. Meningkatkan sintesis hepatik glukoronil transferase
yang mana dapat meningkatkan billirubin konjugasi dan clereance hepatik
pigmen dalam empedu. Fenobarbital tidak begitu sering digunakan.
5) Antibiotik, bila terkait dengan infeksi.
6) Fototerapi. Fototerapi dilakukan apabila telah ditegakkan hiperbillirubin
patologis dan berfungsi untuk menurunkan billirubin dikulit melalui tinja dan
urine dengan oksidasi foto pada billirubin dari billiverdin.
7) Transfusi tukar. Transfusi tukar dilakukan bila sudah tidak dapat ditangani
dengan foto terapi.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN HIPERBILIRUBIN
A. PENGKAJIAN
1. Identitas (nama, umur, alamat, jenis kelamin, agama, status, tanggal masuk, tanggal
diagnosa).
2. Keadaan umum : lemah, TTV tidak stabil terutama suhu tubuh (hipertermi). Reflek
hisap pada bayi menurun, BB turun, pemeriksaan tonus otot (kejang/tremor). Hidrasi
bayi mengalami penurunan. Kulit tampak kuning dan mengelupas (skin resh), sclera
mata kuning (kadang-kadang terjadi kerusakan pada retina) perubahan warna urine dan
feses. Pemeriksaan fisiK.
3. Riwayat Kesehatan Sekarang
o Pemeriksaan bilirubin menunjukkan adanya peningkatan.
4. Riwayat Kesehatan Orang Tua
Terdapat gangguan hemolisis darah (ketidaksesuaian golongan Rh atau golongan
darah A,B,O). Infeksi, hematoma, gangguan metabolisme hepar obstruksi saluran
pencernaan, ibu menderita DM.
5. Riwayat psikososial
Dampak sakit anak pada hubungan dengan orang tua, apakah orang tua merasa
bersalah, perpisahan dengan anak.
6. Riwayat pengetahuan keluarga dan pasien : penyebab penyakit dan pengobatan,
perawatan lebih lanjut, apakah mengenal keluarga lain yang memiliki pengetahuan
yang sama meliputi ; tingkat pendidikan, kemampuan mempelajari hiperbilirubinemia
(Cindy Smith Greenberg. 1988).
7. Pemeriksaan fisik : pada pemeriksaan fisik didapatkan pemeriksaan derajat ikterus,
ikterus terlihat pada sclera, tanda-tanda penyakit hati kronis yaitu eritema palmaris,
jari tubuh (clubbing), ginekomastia (kuku putih) dan termasuk pemeriksaan organ hati
(tentang ukuran tepi dan permukaan), ditemukan adanya pembesaran limpa
(splenomegali), pelebaran kandung empedu dan masa abdominal, selaput lender, kulit
berwarna merah tua, kuning, pucat, urine pekat warna teh, pallor konvulsi, letargi,
tangisan dengan nada tinggi (melengking), iritabilitas, penurunan kekuatan otot
(hipotonia), penurunan refleks menghisap, gatal, tremor, dan convulsio (kejang perut).
8. Pemeriksaan penunjang
Laboratorium : pada bayi dengan hiperbilirubinemia pada pemeriksaan laboratorium
ditemukan adanya Rh darah ibu dan janin berlainan, kadar bilirubin bayi aterm lebih
dari 12,5 mg/dl, premature lebih dari 15 mg/dl, dan dilakukan tes comb.
Hasil Laboratorium :
- Kadar bilirubin 12mg/dl pada cukup bulan.
- Pada bayi premature, kadar bilirubin mencapai 15mg/dl.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a.) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan jaundice atau radiasi.
b.) Gangguan temperature tubuh (Hipertermia) berhubungan dengan terpapar
lingkungan panas.
c.) Resiko terjadi cidera berhubungan dengan fototerapi atau peningkatan kadar
bilirubin.
d.) Cemas berhubungan dengan perubahan status kesehatan.
e.) Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan paparan.
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
Dx I : Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan jaundice atau radiasi.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan
diharapkan integritas kulit kembali baik / normal.
NOC : Tissue Integrity : Skin and Mucous Membranes
Kriteria Hasil :
o Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan
o Tidak ada luka / lesi pada kulit
o Perfusi jaringan baik
o Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah terjadinya
cedera berulang
o Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit dan perawatan
alami
NIC : Pressure Management
Intervensi :
o Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar
o Hindari kerutan pada tempat tidur
o Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering
o Mobilisasi pasien setiap 2 jam sekali
o Monitor kulit akan adanya kemerahan.
o Oleskan lotion / minyak / baby oil pada daerah yang tertekan
o Mandikan pasien dengan sabun dan air hangat
DX II : Gangguan temperature tubuh (Hipertermia) berhubungan dengan terpapar
lingkungan panas.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawtan selama proses keperawatan
diharapkan suhu dalam rentang normal.
NOC : Termoregulation
Kriteria hasil :
o Suhu tubuh dalam rentang normal
o Nadi dan respirasi dalam batas normal
o Tidak ada perubahan warna kulit
o Pusing berkurang/hilang.
Indicator skala :
1. Selalu terjadi
2. Sering terjadi
3. Kadang terjadi
4. Jarang terjadi
5. Tidak pernah terjadi
NIC : Fever treatment
o Monitor suhu sesering mingkin
o Monitor warna dan suhu kulit
o Monitor tekanan darah, nadi, dan respirasi
o Monitor intake dan output
DX III : Resiko terjadi cidera berhubungan dengan fototerapi atau peningkatan kadar
bilirubin.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawtan selama proses keperawatan
diharapkan tidak ada resiko cidera.
NOC : risk control
Kriteria hasil :
o Klien terbebas dari cidera
o Klien mampu menjelaskan metode untuk mencegah injuri/ cidera
o Klien mampu memodifikasi gaya hidup untuk mencegah injuri.
Indicator Skala :
1. tidak pernah menujukan
2. jarang menunjukan
3. kadang menunjukan
4. sering menunjukan
5.selalu menunjukan
NIC : Pencegahan jatuh
o Kaji status neurologis
o Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang tujuan dari metode pengamanan
o Jaga keamanan lingkungan keamanan pasien
o Libatkan keluiarga untuk mencegah bahaya jatuh
o Observasi tingkat kesadaran dan TTV
o Dampingi pasien
Dx IV : Cemas berhubungan dengan perubahan dalam status kesehatan.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan kepeerawatan selama proses keperawatan diharapkan
keluarga dan pasien tidak cemas.
NOC I : Control Cemas
Kriteria Hasil :
o Monitor intensitas kecemasan.
o Menyingkirkan tanda kecemasan.
o Menggunakan teknik relaksasi untuk mengurangi kecemasan.
NOC II : Koping
Kriteria Hasil :
o Keluarga menunjukkan fleksibilitas peran para anggotanya.
o Nilai keluarga dalam mengatur masalah-masalah.
o Melibatkan anggota keluarga untuk membuat keputusan.
Indicator Skala :
1 : Tidak pernah dilakukan
2 : Jarang dilakukan
3 : Kadang dilakukan
4 : Sering dilakukan
5 : Selalu dilakukan
NIC : Penurunan Kecemasan
Intervensi :
o Tenangkan klien.
o Jelaskan seluruh prosedur pada klien/keluarga dan perasaan yang mungkin muncul pada
saat melakukan tindakan.
o Kaji tingkat kecemasan dan reaksi fisik pada tingkat kecemasan.
o Sediakan aktivitas untuk mengurangi kecemasan.
NIC II : Peningkatan Koping.
o Hargai pemahaman pasien tentang proses penyakit.
o Sediakan informasi actual tentang diagnosa, penanganan.
o Dukung keterlibatan keluarga dengan cara tepat.
Dx V : Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan paparan
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan
keluarga dapat mendapat pengetahuan mengenai penyakit yang diderita anaknya.
NOC : Knowledge : Disease Process
Kriteria Hasil :
o Pasien dan keluarga mengatakan pemahaman tentang penyakit, kondisi, prognosis dan
program pengobatan
o Pasien dan keluarga mampu melaksanakan prosedur yang dijelaskan secara benar
o Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan perawat / tim
kesehatan lainnya
Indicator Skala :
1 : Tidak pernah dilakukan
2 : Jarang dilakukan
3 : Kadang dilakukan
4 : Sering dilakukan
5 : Selalu dilakukan
NIC : Teaching : Disease Process
Intervensi :
o Jelaskan patofisiolagi dari penyakit
o Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit dengan cara yang benar
o Gambarkan proses penyakit dengan cara yang tepat
o Sediakan informasi pada pasien tentang kondisi dengan cara yang tepat
o Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin diperlukan untuk mencegah komplikasi
dimasa yang akan datang dan proses pengontrolan penyakit.
D. EVALUASI KEPERAWATAN
Dx I : Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan jaundice atau radiasi.
Kriteria Hasil :
o Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan (skala 5)
o Tidak ada luka / lesi pada kulit (skala 5)
o Perfusi jaringan baik (skala 5)
o Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah terjadinya cedera
berulang (skala 5)
o Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit dan perawatan alami
(skala 5)
Dx II : Gangguan temperature tubuh (Hipertermia) berhubungan dengan terpapar
lingkungan panas.
Kriteria Hasil :
o Suhu tubuh dalam rentang normal (skala 1)
o Nadi dan respirasi dalam batas normal (skala 1)
o Tidak ada perubahan warna kulit (skala 1)
o Pusing berkurang/hilang (skala 1)
Dx III : Resiko terjadi cidera berhubungan dengan fototerapi atau peningkatan kadar
bilirubin.
Kriteria Hasil :
o Klien terbebas dari cidera (skala 5)
o Klien mampu menjelaskan metode untuk mencegah injuri/ cidera (skala 5)
o Klien mampu memodifikasi gaya hidup untuk mencegah injuri. (skala 5)
Dx IV : Cemas berhubungan dengan perubahan dalam status kesehatan.
NOC I : Control Cemas
Kriteria Hasil :
o Monitor intensitas kecemasan. (skala 5)
o Menyingkirkan tanda kecemasan. (skala 5)
o Menggunakan teknik relaksasi untuk mengurangi kecemasan. (skala 5)
NOC II : Koping
Kriteria Hasil :
o Keluarga menunjukkan fleksibilitas peran para anggotanya. (skala 5)
o Nilai keluarga dalam mengatur masalah-masalah. (skala 5)
o Melibatkan anggota keluarga untuk membuat keputusan. (skala 5)
Dx V : Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan paparan
Kriteria Hasil :
o Pasien dan keluarga mengatakan pemahaman tentang penyakit, kondisi, prognosis dan
program pengobatan (skala 5)
o Pasien dan keluarga mampu melaksanakan prosedur yang dijelaskan secara benar (skala
5)
o Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan perawat / tim
kesehatan lainnya (skala 5)
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hiperbillirubin adalah suatu keadaan dimana kadar billirubin mencapai nilai yang
mempunyai potensi menimbulkan kernikterus, kalau tidak ditanggulangi dengan baik.
Hiperbillirubin terjadi disebabkan oleh peningkatan billirubin, gangguan fungsi hati
dan komplikasi pada asfiksia, hipoglikemia, hipotermia. Gejala yang menonjol pada
hiperbillirubin adalah ikterik.
Komplikasi yang terjadi pada hiperbillirubin adalah billirubin ensepalopati dan
kernikterus. Pemeriksaan diagnostik pada hiperbillirubin adalah laboratorium, USG, Radio
Isotop Scan, dan penatalaksanaannya adalah fototerapi, pemberian fenobarbital, antibiotik
dan transfusi tukar.
B. Saran
Agar dalam penyusunan makalah ini bisa memberikan manfaat yang besar
maka kami menyarankan:
Belajar dalam memahami secara teoritis dan praktek dalam memberikan
asuhan keperawatan pada pasien dengan tuberkulosis paru.
Bagi perawat hendaknya lebih memahami tentang tuberkulosi agar dapat
memberikan asuhan keperawatn yang profesional dan benar sehingga meningkatkan
kemungkinan kesembuha pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Suriadi, dan Rita Y. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak . Edisi I. Fajar Inter
Pratama. Jakarta.
Ngastiah. 1997. Perawatan Anak Sakit. EGC. Jakarta.
Suzanne C. Smeltzer, 2002
Syaifuddin, Bari Abdul. 2000. Buku Ajar Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal
Dan Neonatal. JNPKKR/POGI & Yayasan Bina Pustaka. Jakarta.
Jhonson,Marion,dkk. 1997. Iowa Outcomes Project Nursing Classification (NOC)
Edisi 2. St. Louis ,Missouri ; Mosby.
Markum, H. 1991. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : FKUI.
Mc Closkey, Joanner. 1996 . Iowa Intervention Project Nursing Intervention
Classification (NIC) Edisi 2. Westline Industrial Drive, St. Louis :Mosby.
Santosa,Budi . 2005 - 2006. Diagnosa Keperawatan NANDA . Jakarta : Prima
Medika.