makalah & askep hiperbilirubin

28
MAKALAH KEPERAWATAN ANAK HIPERBILIRUBIN Dosen Pengampu: Welas Haryati Spd , S Kp , MMR KELOMPOK 2 Anggota: 1. Kiki Arifah (P17420213014) 2. Lili Indriyani (P17420213015) 3. Mochamad Arif DS (P17420213016) 4. Moh.Galih W. (P17420213017) 5. Murni Rahayu S. (P17420213018) 6. Muslikhah Dewi P. (P17420213019) 7. Mutia Dewi R. (P17420213020) 8. Patricia Candra D. (P17420213021) 9. Putri Arisetia N. (P17420213022) 10. Rahmania Ananda (P17420213023)

Upload: retno-purwati

Post on 31-Jan-2016

1.344 views

Category:

Documents


195 download

DESCRIPTION

kep. anak

TRANSCRIPT

MAKALAH KEPERAWATAN ANAK

HIPERBILIRUBIN

Dosen Pengampu: Welas Haryati Spd , S Kp , MMR

KELOMPOK 2

Anggota:

1. Kiki Arifah (P17420213014)

2. Lili Indriyani (P17420213015)

3. Mochamad Arif DS (P17420213016)

4. Moh.Galih W. (P17420213017)

5. Murni Rahayu S. (P17420213018)

6. Muslikhah Dewi P. (P17420213019)

7. Mutia Dewi R. (P17420213020)

8. Patricia Candra D. (P17420213021)

9. Putri Arisetia N. (P17420213022)

10. Rahmania Ananda (P17420213023)

11. Ranitasari (P17420213024)

12. Rendi Saifinuha H. (P17420213025)

13. Retno Purwati (P17420213026)

Kelas 2A / Semester 4

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLTEKKES KEMENKES SEMARANG

PRODI D III KEPERAWATAN PURWOKERTO

2015

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Setiap ibu yang telah melahirkan menginginkan anaknya lahir dalam keadaan sehat

dan tidak ada kelainan – kelainan pada bayi tersebut. Tetapi keinginan tersebut tidak akan

diperoleh oleh setiap ibu. Karena sebagian kecil ada yang lahir dalam keadaan abnormal.

Misalnya anak lahir dengan BBLR, ikterus, hidrosefalus, dan kelainan – kelainan lainnya.

Hal ini di sebabkan oleh banyak factor pencetusnya. Seperti kurang teraturnya antenatal care

ibu saat hamil, asupan gizi yang kurang baik pada ibu maupun pada janin yang di kandung,

atau penyakit yang diturunkan oleh ibu sendiri.

Kurangnya pengetahuan ibu untuk mengenali tanda – tanda kelainan yang mungkin

timbul pada bayi baru lahir,seperti bayi dengan hiperbilirubin, dimana kebanyakan ibu

membawa bayinya ke Rumah Sakit dalam derajat yang tinggi. Sebagaimana kita ketahui

bahwa ikterik itu terjadinya dimulai dari wajah. Di sini jelas bahwa kurangnya pengetahuan

ibu atau orang tua tentang hiperbilirubin tersebut, dan kurangnya memperoleh pelayanan

kesehatan dari tenaga kesehatan. Untuk itulah penulis mengangkat makalah ini dengan judul

Hiperbilirubin pada Bayi.

1.2  Rumusan Masalah

1. Apakah yang dimaksud dengan hiperbilirubin ?

2. Apakah yang menjadi penyebab terjadinya hiperbilirubin ?

3. Apa saja klasifikasi penyakit hiperbilirubin ?

4. Bagaimana manifestasi klinis penyakit hiperbilirubin?

5. Bagaimana patofisiologi terjadinya penyakit hiperbilirubin, ?

6. Bagaimana komplikasi yang terjadi pada penyakit hiperbilirubin?

7. Apa saja pemeriksaan penunjang pada penyakit hiperbilirubin?

8. Apa saja penatalaksanaan penyakit hiperbilirubin ?

9. Apa saja pencegahan penyakit hiperbilirubin ?

10. Bagaimana proses asuhan keperawatan pada penyakit hiperbilirubin?

1.3  Tujuan

1. Untuk mengetahui deskripsi tentang definisi hiperbilirubin.

2. Untuk mengetahui deskripsi tentang penyebab terjadinya hiperbilirubin.

3. Untuk mengetahui klasifikasi dari penyakit hiperbilirubin.

4. Untuk mengetahui gambaran tentang manifestasi klinis penyakit hiperbilirubin.

5. Untuk mengetahui gambaran tentang patofisiologi terjadinya penyakit

hiperbilirubin.

6. Untuk mengetahui gambaran tentang komplikasi yang terjadi pada penyakit 

hiperbilirubin.

7. Untuk mengetahui deskripsi tentang pemeriksaan penunjang pada penyakit

hiperbilirubin.

8. Untuk mengetahui gambaran tentang penatalaksanaan penyakit hiperbilirubin.

9. Untuk mengetahui gambaran tentang pencegahan penyakit hiperbilirubin.

10. Untuk mengetahui gambaran tentang proses asuhan keperawatan pada bayi dengan 

penyakit  hiperbilirubin.

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1     Pengertian

Hiperbilirubin adalah meningkatnya kadar bilirubin dalam darah yang kadar nilainya

lebih dari normal, Biasanya terjadi pada bayi baru lahir. (Suriadi, 2001).

Hiperbilirubin adalah peningkatan kadar bilirubin serum (hiperbilirubinemia) yang

disebabkan oleh kelainan bawaan, juga dapat menimbulkan ikterus. (Suzanne C. Smeltzer,

2002).

Hiperbilirubin adalah keadaan icterus yang terjadi pada bayi baru lahir, yang

dimaksud dengan ikterus yang terjadi pada bayi baru lahir adalah meningginya kadar

bilirubin di dalam jaringan ekstravaskuler sehingga terjadi perubahaan warna menjadi kuning

pada kulit, konjungtiva, mukosa dan alat tubuh lainnya. (Ngastiyah, 2000).

Nilai normal : bilirubin indirek 0,3 – 1,1 mg/dl, bilirubin direk 0,1 – 0,4 mg/dl.

Sesungguhnya hiperbilirubinemia merupakan keadaan normal pada bayi baru lahir selama

minggu pertama, karena belum sempurnanya metabolisme bilirubin bayi. Ditemukan sekitar

25-50% bayi normal dengan kedaan hiperbilirubinemia. Kuning/jaundice pada bayi baru lahir

atau disebut dengan ikterus neonatorum merupakan warna kuning pada kulit dan bagian putih

dari mata (sklera) pada beberapa hari setelah lahir yang disebabkan oleh penumpukan

bilirubin. Gejala ini dapat terjadi antara 25%-50% pada seluruh bayi cukup bulan dan lebih

tinggi lagi pada bayi prematur. Walaupun kuning pada bayi baru lahir merupakan keadaan

yang relatif tidak berbahaya, tetapi pada usia inilah kadar bilirubin yang tinggi dapat menjadi

toksik dan berbahaya terhadap sistim saraf pusat bayi.

2.2     Faktor Penyebab Hiperbilirubin

Hiperbilirubin pada bayi baru lahir paling sering timbul karena fungsi hati masih

belum sempurna untuk membuang bilirubin dari aliran darah.

Hiperbilirubin juga bisa terjadi karena beberapa kondisi klinis, di antaranya adalah:

a) Ikterus fisiologis

Merupakan bentuk yang paling sering terjadi pada bayi baru lahir. Jenis bilirubin yang

menyebabkan pewarnaan kuning pada ikterus disebut bilirubin tidak terkonjugasi,

merupakan jenis yang tidak mudah dibuang dari tubuh bayi. Hati bayi akan mengubah

bilirubin ini menjadi bilirubin terkonjugasi yang lebih mudah dibuang oleh tubuh.

Hati bayi baru lahir masih belum matang sehingga masih belum mampu untuk

melakukan pengubahan ini dengan baik sehingga akan terjadi peningkatan kadar

bilirubin dalam darah yang ditandai sebagai pewarnaan kuning pada kulit bayi. Bila

kuning tersebut murni disebabkan oleh faktor ini maka disebut sebagai ikterus

fisiologis

b)   Breastfeeding jaundice, dapat terjadi pada bayi yang mendapat air susu ibu (ASI)

eksklusif. Terjadi akibat kekurangan ASI yang biasanya timbul pada hari kedua atau

ketiga pada waktu ASI belum banyak dan biasanya tidak memerlukan pengobatan.

c)    Ikterus ASI (breastmilk jaundice), berhubungan dengan pemberian ASI dari seorang ibu

tertentu dan biasanya akan timbul pada setiap bayi yang disusukannya bergantung pada

kemampuan bayi tersebut mengubah bilirubin indirek. Jarang mengancam jiwa dan

timbul setelah 4-7 hari pertama dan berlangsung lebih lama dari ikterus fisiologis yaitu 3-

12 minggu.

d)     Lebam pada kulit kepala bayi yang disebut dengan sefalhematom dapat timbul dalam

proses persalinan. Lebam terjadi karena penumpukan darah beku di bawah kulit kepala.

Secara alamiah tubuh akan menghancurkan bekuan ini sehingga bilirubin juga akan

keluar yang mungkin saja terlalu banyak untuk dapat ditangani oleh hati sehingga timbul

kuning

e)       Ibu yang menderita diabetes dapat mengakibatkan bayi menjadi Kuning.

2.3 KLASIFIKASI

a.       Derajat I : Daerah kepala dan leher, perkiraan kadar bilirubin 5,0 mg%.

b.      Derajat II : Sampai badan atas, perkiraan kadar bilirubin 9,0 mg%.

c.       Derajat III : Sampai badan bawah hingga tungkai, bilirubin 11,4 mg%.

d.      Derajat IV : Sampai daerah lengan, kaki bawah lutut, 12,4 mg%.

e.       Derajat V : Sampai daerah telapak tangan dan kaki, 16,0 mg%.

Bilirubin Ensefalopati Dan kernikterus

Istilah bilirubin ensefalopati lebih menunjukkan kepada manifestasi klinis yang

mungkin timbul akibat efek toksis bilirubin pada system syaraf pusat yaitu basal ganglia

dan pada berbagai nuclei batang otak. Sedangkan istilah kern ikterus adalah perubahan

neuropatologi yang ditandai oleh deposisi pigmen bilirubin pada beberapa daerah di otak

terutama di ganglia basalis, pons, dan serebelum.

2.4 MANIFESTASI KLINIS

Bayi baru lahir (neonatus) tampak kuning apabila kadar bilirubin serumnya kira-kira

6mg/dl (Mansjoer at al, 2007). Ikterus sebagai akibat penimbunan bilirubin indirek pada kulit

mempunyai kecenderungan menimbulkan warna kuning muda atau jingga. Sedangkan ikterus

obstruksi(bilirubin direk) memperlihatkan warna kuning-kehijauan atau kuning kotor.

Perbedaan ini hanya dapat ditemukan pada ikterus yang berat(Nelson, 2007).

Gambaran klinis ikterus fisiologis:

a) Tampak pada hari 3,4

b) Bayi tampak sehat(normal)

c) Kadar bilirubin total <12mg%

d) Menghilang paling lambat 10-14 hari

e) Tak ada faktor resiko

f) Sebab: proses fisiologis(berlangsung dalam kondisi fisiologis) (Sarwono et al, 1994)

Gambaran klinik ikterus patologis:

a) Timbul pada umur <36 jam

b) Cepat berkembang

c) Bisa disertai anemia

d) Menghilang lebih dari 2 minggu

e) Ada faktor resiko

f) Dasar: proses patologis (Sarwono et al, 1994)

2.5 PATOFISIOLOGI

1. Pigmen kuning ditemukan dalam empedu yang terbentuk dari pemecahan hemoglobin

oleh kerja heme oksidase, biliverdin reduktase dan agen pereduksi nonenzimatik

dalam sistem retikuloendotelial.

2. Setelah pemecahan hemoglobin, bilirubin tak terkonjugasi diambil oleh protein

intraseluler “Y protein” dalam hati. Pengambilan tergantung pada alairan darahhepatik

dan adanya ikatan protein.

3.Bilirubin yang tidak terkonjugasi dalam hati dirubah (terkonjugasi) oleh enzimasam

uridin disfosfoglukuronat (UDPGA :Uridin Diphospgoglucuronic Acid )

Glukuronil transferase menjadi bilirubin mono dan diglukuronida yang polar larut dalam

air (bereaksi direk)

4. Bilirubin yang terkonjugasi yang larut dalam air dapat dieliminasi melalui ginjal.

Dengan konjugasi, bilirubin masuk dalam empedu melalui membran kanalikular.

5. Akhirnya dapat masuk ke sistem gastrointestinal dengan diaktifkan oleh bakteri

menjadi urobilinogen dalam tinja dan urine. Beberapa bilirubin diabsorbsi kembali

menjadi sirkulasi enteroheptik

6. Warna kuning dalam kulit akibat dari akumulasi pigmen bilirubin yang larut lemak, tak

terkonjugasi, non-polar (bereaksi indirek).

7. Pada bayi hiperbilirubinemia kemungkinan merupakan hasil dari defisiensi atau tidak

aktifnya glukuronil transferase. Rendahnya pengambilan dalam hepatik kemungkinan

karena penurunan protein hepatik sejalan dengan penurunan aliran darah hepatik

8. Jaundice yang terkait dengan pemberian ASI merupakan hasil dari hambatan kerja

glukoronil transferase oleh pregnanediol atau asam lemak bebas yang terdapat dalam

ASI. Terjadi 4 sampai 7 hari setelah lahir. Dimana terdapat

kenaikan bilirubin tak terkonjugasi dengan kadar 25 sampai 30 mg/dl selama minggu

ke-2 sampai minggu ke-3. Biasanya dapat mencapai usia 4 minggu dan menurun 10

minggu.

9. Jika pemberian ASI dilanjutkan, hiperbilirubinemia akan menurun berangsur-angsur

dan dapat menetap selama 3 sampai 10 minggu pada kadar yang lebih rendah.

10. Jika pemberian ASI dihentikan, kadar bilirubin serum akan turun dengan

cepat., biasanya mencapai normal dalam beberapa hari.

11. Penghentian ASI selama 1 sampai 2 hari dan penggantian ASI dengan formula

mengakibatkan penurunan bilirubin serum dengan cepat, sesudahnya pemberianASI

dapat dimulai lagi dan hiperbilirubin tidak kembali ke kadar yang tinggi seperti

sebelumnya.

12. Bilirubin yang patologis tampak ada kenaikan bilirubin dalan 24

jam pertamakelahiran. Sedangkan untuk bayi dengan ikterus fisiologis, muncul antara 3

sampai5 hari sesudah lahir.

2.6 Komplikasi

a. Sebagian besar kasus hiperbilirubinemia tidak berbahaya, tetapi kadang kadar

bilirubin yang sangat tinggi bisa menyebabkan kerusakan otak (keadaannya

disebut kern ikterus).Kern ikterus adalah suatu keadaan dimana terjadi

penimbunan bilirubin di dalam otak, sehingga terjadi kerusakan otak.

b. Efek jangka panjang dari kern ikterus adalah keterbelakangan mental, kelumpuhan

serebral (pengontrolan otot yang abnormal, cerebral palsy), tuli dan mata tidak

dapat digerakkan ke atas.

2.7 Pemeriksaan laboratorium

1. Pemeriksaan bilirubin serum

a. Pada bayi cukup bulan, bilirubin mencapai kurang lebih 6mg/dl antara 2-4 hari

setelah lahir. Apabila nilainya lebih dari 10mg/dl tidak fisiologis.

b. Pada bayi premature, kadar bilirubin mencapai puncak 10-12 mg/dl antara 5-7

hari setelah lahir. Kadar bilirubin yang lebih dari 14mg/dl tidak fisiologis.

2. Pemeriksaan radiology

Diperlukan untuk melihat adanya metastasis di paru atau peningkatan diafragma

kanan pada pembesaran hati, seperti abses hati atau hepatoma

3. Ultrasonografi

Digunakan untuk membedakan antara kolestatis intra hepatic dengan ekstra

hepatic.

4. Biopsy hati

Digunakan untuk memastikan diagnosa terutama pada kasus yang sukar seperti

untuk membedakan obstruksi ekstra hepatic dengan intra hepatic selain itu juga

untuk memastikan keadaan seperti hepatitis, serosis hati, hepatoma.

5. Peritoneoskopi

Dilakukan untuk memastikan diagnosis dan dapat dibuat foto dokumentasi untuk

perbandingan pada pemeriksaan ulangan pada penderita penyakit ini.

6. Laparatomi

Dilakukan untuk memastikan diagnosis dan dapat dibuat foto dokumentasi untuk

perbandingan pada pemeriksaan ulangan pada penderita penyakit ini.

2.8 Penanganan Hiperbilirubin pada bayi baru lahir

1. Penanganan sendiri di rumah

a) Berikan ASI yang cukup (8-12 kali sehari)

b) Sinar matahari dapat membantu memecah bilirubin sehingga lebih mudah

diproses oleh hati. Tempatkan bayi dekat dengan jendela terbuka untuk

mendapat matahari pagi antara jam 7-8 pagi agar bayi tidak kepanasan, atur

posisi kepala agar wajah tidak menghadap matahari langsung. Lakukan

penyinaran selama 30 menit, 15 menit terlentang dan 15 menit tengkurap.

Usahakan kontak sinar dengan kulit seluas mungkin, oleh karena itu bayi tidak

memakai pakaian (telanjang) tetapi hati-hati jangan sampai kedinginan

2. Terapi medis

a) Dokter akan memutuskan untuk melakukan terapi sinar (phototherapy) sesuai

dengan peningkatan kadar bilirubin pada nilai tertentu berdasarkan usia bayi

dan apakah bayi lahir cukup bulan atau prematur. Bayi akan ditempatkan di

bawah sinar khusus. Sinar ini akan mampu untuk menembus kulit bayi dan

akan mengubah bilirubin menjadi lumirubin yang lebih mudah diubah oleh

tubuh bayi. Selama terapi sinar penutup khusus akan dibuat untuk melindungi

mata

b) Jika terapi sinar yang standar tidak menolong untuk menurunkan kadar

bilirubin, maka bayi akan ditempatkan pada selimut fiber optic atau terapi

sinar ganda/triple akan dilakukan (double/triple light therapy)

c) Jika gagal dengan terapi sinar maka dilakukan transfuse tukar yaitu

penggantian darah bayi dengan darah donor. Ini adalah prosedur yang sangat

khusus dan dilakukan pada fasilitas yang mendukung untuk merawat bayi

dengan sakit kritis, namun secara keseluruhan, hanya sedikit bayi yang akan

membutuhkan transfusi tukar

2.9 Pencegahan

Pada kebanyakan kasus, kuning pada bayi tidak bisa dicegah. Cara terbaik

untuk menghindari kuning yang fisiologis adalah dengan memberi bayi cukup minum,

lebih baik lagi jika diberi ASI.

1. Pencegahan Primer

a) Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8 – 12 kali/ hari

untuk beberapa hari pertama.

b) Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air pada bayi

yang mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi.

2. Pencegahan Sekunder

a) Semua wanita hamil harus diperiksa golongan darah ABO dan rhesus serta

penyaringan serum untuk antibody isoimun yang tidak biasa.

b) Harus memastikan bahwa semua bayi secara rutin di monitor terhadap

timbulnya ikterus dan menetapkan protocol terhadap penilaian ikterus yang

harus dinilai saat memeriksa tanda – tanda vital bayi, tetapi tidak kurang dari

setiap 8 – 12 jam.

2.10 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Penyakit Hiperbilirubin

1. Pengkajian

1. Identitas

Berisi biodata bayi dan ibu, diantaranya nama, usia, jenis kelamin, pekerjaan,

alamat.

2. Riwayat Kesehatan

a. Riwayat Kesehatan Sekarang

Bayi dengan kesadaran apatis, daya isap lemah atau bayi tak mau minum,

hipotonia letargi, tangis yang melengking, dan mungkin terjadi kelumpuhan

otot ekstravaskular.

b. Riwayat kesehatan dahulu

Ibu dengan diabetes melitus, mengkonsumsi obat-obatan tertentu, misalnya

salisilat, sulfonamidoral, pada rubella, sitomegalovirus pada proses persalinan

dengan ekstraksi vakum, induksi, oksitoksin, dan perlambatan pengikatan tali

pusat atau trauma kelahiran yang lain

c. Riwayat kesehatan keluarga

Penyakit ini terjadi bisa dengan ibu dengan riwayat hiperbilirubinemia pada

kehamilan atau sibling sebelumnya, penyakit hepar, fibrosiskistik, kesalahan

metabolisme saat lahir (galaktosemia), diskrasiasi darah atau sfeosititas, dan

definisi glukosa-6 fosfat dehidrogenase (G-6P).

3. Pemeriksaan Fisik

a. Kesadaran : apatis sampai koma

b. Keadaan umum : lesu, letargi, koma

c. Tanda – tanda vital :

Pernapasan : 40 kali per menit.

Nadi : 120-140 kali per menit.

Suhu : 36,5-37 oC.

d. Pemeriksaan Head to Toe

1. Daerah kepala dan leher

Kulit kepala ada atau tidak terdapat bekas tindakan persalinan seperti :

vakum atau terdapat kaput, sklera ikterik, muka kuning, leher kaku.

2. Pernapasan

Riwayat asfiksia, mukus, bercak merah (edema pleural, hemoragi

pulmonal).

3. Abdomen

Pada saat palpasi menunjukkan pembesaran limpa dan hepar, turgor buruk,

bising usus hipoaktif.

4. Genitalia

Tidak terdapat kelainan.

5. Eliminasi

Buang air besar (BAB): proses eliminasi mungkin lambat, feses lunak

cokelat atau kehijauan, selama pengeluaran bilirubin.

Buang air kecil (BAK): urin berwarna gelap pekat, hitam kecokelatan

(sindrom bayi Gronze).

6. Ekstremitas

Tonus otot meningkat, dapat terjadi spasme otot dan epistotonus.

7. Sistem integumen

Terlihat joundice di seluruh permukaan kulit.

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul :

1. Risiko/ defisit volume cairan berhubungan dengan tidak adekuatnya intake

cairan, serta peningkatan Insensible Water Loss (IWL) dan defikasi sekunder

fototherapi.

2. Risiko /gangguan integritas kulit berhubungan dengan ekskresi bilirubin, efek

fototerapi.

3. Risiko hipertermi berhubungan dengan efek fototerapi.

4. Gangguan parenting ( perubahan peran orang tua ) berhubungan dengan

perpisahan dan penghalangan untuk gabung.

5. Kecemasan meningkat berhubungan dengan therapi yang diberikan pada bayi.

6. Risiko tinggi injury berhubungan dengan efek fototherapi

7. Risiko tinggi komplikasi (trombosis, aritmia, gangguan elektrolit, infeksi)

berhubungan dengan tranfusi tukar.

3. Intervensi Keperawatan

1. Risiko /defisit volume cairan b/d tidak adekuatnya intake cairan serta peningkatan

IWL dan defikasi sekunder fototherapi

Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan

tidak terjadi deficit volume cairan dengan kriteria :

-     Jumlah intake dan output seimbang

-     Turgor kulit baik, tanda vital dalam batas normal

-     Penurunan BB tidak lebih dari 10 % BBL

Intervensi & Rasional :

a. Kaji reflek hisap bayi

( Rasional/R : mengetahui kemampuan hisap bayi )

b. Beri minum per oral/menyusui bila reflek hisap adekuat

(R: menjamin keadekuatan intake )

c. Catat jumlah intake dan output , frekuensi dan konsistensi faeces

( R : mengetahui kecukupan intake )

d. Pantau turgor kulit, tanda- tanda vital ( suhu, HR ) setiap 4 jam

(R : turgor menurun, suhu meningkat HR meningkat adalah tanda-

tandadehidrasi )

e. Timbang BB setiap hari

(R : mengetahui kecukupan cairan dan nutrisi).

2. Risiko/hipertermi berhubungan dengan efek fototerapi

Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak

terjadi hipertermi dengan kriteria suhu aksilla stabil antara 36,5-37 0 C.

Intervensi dan rasionalisasi :

a. Observasi suhu tubuh ( aksilla ) setiap 4 - 6 jam

(R : suhu terpantau secara rutin )

b. Matikan lampu sementara bila terjadi kenaikan suhu, dan berikan kompres

dingin serta ekstra minum

( R : mengurangi pajanan sinar sementara )

c. Kolaborasi dengan dokter bila suhu tetap tinggi

( R : Memberi terapi lebih dini atau mencari penyebab lain dari

hipertermi ).

3. Risiko /Gangguan integritas kulit berhubungan dengan ekskresi bilirubin, efek

fototerapi

Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan

tidak terjadi gangguan integritas kulit dengan kriteria :

·     tidak terjadi decubitus

·      Kulit bersih dan lembab

Intervensi :

a. Kaji warna kulit tiap 8 jam

(R : mengetahui adanya perubahan warna kulit )

b. Ubah posisi setiap 2 jam

(R : mencegah penekanan kulit pada daerah tertentu dalam waktu

lama ).

c. Masase daerah yang menonjol

(R : melancarkan peredaran darah sehingga mencegah luka tekan di

daerah tersebut ).

d. Jaga kebersihan kulit bayi dan berikan baby oil atau lotion pelembab

( R : mencegah lecet )

e. Kolaborasi untuk pemeriksaan kadar bilirubin, bila kadar bilirubin turun

menjadi 7,5 mg% fototerafi dihentikan

(R: untuk mencegah pemajanan sinar yang terlalu lama )

4. Gangguan parenting ( perubahan peran orangtua) berhubungan dengan perpisahan

dan penghalangan untuk gabung.

Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan orang

tua dan bayi menunjukan tingkah laku “Attachment” , orang tua dapat

mengekspresikan ketidak mengertian proses Bounding.

Intervensi :

a. Bawa bayi ke ibu untuk disusui

( R : mempererat kontak sosial ibu dan bayi )

b. Buka tutup mata saat disusui

(R: untuk stimulasi sosial dengan ibu )

c. Anjurkan orangtua untuk mengajak bicara anaknya

(R: mempererat kontak dan stimulasi sosial ).

d. Libatkan orang tua dalam perawatan bila memungkinkan

( R: meningkatkan peran orangtua untuk merawat bayi ).

e. Dorong orang tua mengekspresikan perasaannya

(R: mengurangi beban psikis orangtua)

5. Kecemasan meningkat berhubungan dengan therapi yang diberikan pada bayi.

Tujuan : Setelah diberikan penjelasan selama 2x15 menit diharapkan orang tua

menyatakan mengerti tentang perawatan bayi hiperbilirubin dan kooperatif dalam

perawatan. 

Intervensi :

a. Kaji pengetahuan keluarga tentang penyakit pasien

( R : mengetahui tingkat pemahaman keluarga tentang penyakit )

b. Beri pendidikan kesehatan penyebab dari kuning, proses terapi dan

perawatannya

( R: Meningkatkan pemahaman tentang keadaan penyakit )

c. Beri pendidikan kesehatan mengenai cara perawatan bayi dirumah

(R : meningkatkan tanggung jawab dan peran orang tua dalam erawat

bayi)

6. Risiko tinggi injury berhubungan dengan efek fototherapi

Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkantidak

terjadi injury akibat fototerapi ( misal ; konjungtivitis, kerusakan jaringan

kornea )

Intervensi :

a. Tempatkan neonatus pada jarak 40-45 cm dari sumber cahaya

( R : mencegah iritasi yang berlebihan).

b. Biarkan neonatus dalam keadaan telanjang, kecuali pada mata dan

daerah genetal serta bokong ditutup dengan kain yang dapat

memantulkan cahaya usahakan agar penutup mata tidak menutupi

hidung dan bibir

(R : mencegah paparan sinar pada daerah yang sensitif )

c. Matikan lampu, buka penutup mata untuk mengkaji adanya

konjungtivitis tiap 8 jam

(R: pemantauan dini terhadap kerusakan daerah mata )

d. Buka penutup mata setiap akan disusukan.

( R : memberi kesempatan pada bayi untuk kontak mata dengan ibu ).

e. Ajak bicara dan beri sentuhan setiap memberikan perawatan

( R : memberi rasa aman pada bayi ).

7. Risiko tinggi terhadap komplikasi berhubungan dengan tranfusi tukar

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan perawatan selama 1x24 jam diharapkan

tranfusi tukar dapat dilakukan tanpa komplikasi

Intervensi :

a. Catat kondisi umbilikal jika vena umbilikal yang digunakan

(R : menjamin keadekuatan akses vaskuler )

b. Basahi umbilikal dengan NaCl selama 30 menit sebelum melakukan

Tindakan

( R : mencegah trauma pada vena umbilical ).

c. Puasakan neonatus 4 jam sebelum tindakan

(R: mencegah aspirasi )

d. Pertahankan suhu tubuh sebelum, selama dan setelah prosedur

( R : mencegah hipotermi

e. Catat jenis darah ibu dan Rhesus memastikan darah yang akan

ditranfusikan adalah darah segar

( R : mencegah tertukarnya darah dan reaksi tranfusi yang berlebihan 0

f. Pantau tanda-tanda vital, adanya perdarahan, gangguan cairan dan

elektrolit, Kejang selama dan sesudah tranfusi

(R : Meningkatkan kewaspadaan terhadap komplikasi dan dapat

melakukan tindakan lebih dini )

g. Jamin ketersediaan alat-alat resusitatif

(R : dapat melakukan tindakan segera bila terjadi kegawatan )

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hiperbillirubin adalah suatu keadaan dimana kadar billirubin mencapai

nilaiyang mempunyai potensi menimbulkan kernikterus, kalau tidak

ditanggulangidengan baik.Hiperbillirubin terjadi disebabkan oleh peningkatan

billirubin, gangguanfungsi hati dan komplikasi pada asfiksia, hipoglikemia,

hipotermia. Gejala yang menonjol pada hiperbillirubin adalah ikterik.

Komplikasi yang terjadi pada hiperbillirubin adalah billirubin ensepalopatidan

kernikterus. Pemeriksaan diagnostik pada hiperbillirubin adalah laboratorium,USG,

Radio Isotop Scan, dan penatalaksanaannya adalah fototerapi, pemberian fenobarbital,

antibiotik dan transfusi tukar.

B. Saran

Berdasarkan simpulan di atas, maka disarankan;

1) Mengetahui karakteristik anak merupakan langkah yang efektif dalam rangkamem

berikan asuhan keperawatan pada anak, yaitu;

a. Proses fisiologis 

b. Daya pikir yang berbeda

c. Struktur fisik yang berbeda dengan orang dewasa

2) Kerjasama dengan orang yang terdekat pada anak (keluarga) juga akan membantu

dalam kelangsungan proses pemberian asuhan keperawatan.

3)  Bahaya hiperbilirubin adalah kern ikterus, yang dapat mengganggu pertumbuhan

dan perkembangan bayi.  Oleh karena itu pada bayi yang menderita

hiperbilirubin perlu dilakukan tindak lanjut sebagai berikut :

1. Penilaian berkala pertumbuhan dan perkembangan.

2. Penilaian berkala pendengaran.

3. Fisioterapi dan rehabilitasi bila terdapat gejala sisa.

DAFTAR PUSTAKA

Sukadi, Abdurrachman, dkk. 2000. “ Perinatologi “ .Bandung : FKUP/ RSHS

McCormick, Melisa. 2003. “ Manajemen Masalah Bayi Baru Lahir untuk Dokter, Perawat,

Bidan Di Rumah Sakit Rujukan Dasar “. Indonesia : MNH – JHPIEGO

Khosim, M. Sholeh, dkk. 2008. “ Buku Ajar Neonatologi Edisi I “. Jakarta : Perpustakaan

Nasional

Hasan, Rusepno. 1997. “Ilmu Kesehatan Anak 2 “. Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak

Fakultas Kedokteran UI.

Sudoyo,Aru.W, dkk, eds., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Dep. Ilmu Penyakit Dalam :

Jakarta, 2006, vol. I, hlm. 422-425