aspek sosial ekonomi · 2020. 5. 30. · aspek sosial ekonomi 201 desa pertumbuhan hijau...
TRANSCRIPT
-
Aspek Konsevasi dan Lingkungan
199
ASPEK SOSIAL EKONOMI
-
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian
200
-
Aspek Sosial Ekonomi
201
DESA PERTUMBUHAN HIJAU BERKEMAKMURAN: KRITIK IDEOLOGIS DAN ALTERNATIF
PEMBANGUNAN LOKAL
Lukas Rumboko Wibowo*, Ismatul Hakim, Yadi, Triyono Puspitojati,
Aneka Prawesti Suka, Dewi Ratna Kurniasari dan Fitri Nurfatriani
Pusat Litbang Sosial Ekonomi Kebijakan dan Perubahan Iklim
*E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Ideologisasi paradigma pembangunan dengan menempatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi telah
menjadi semacam keyakinan tunggal bagi banyak bangsa negara berkembang. Kegagalan ideologi
pembangunan ekonomi melalui pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam memproduksi keadilan dan
kesejahteraan dan keberlanjutan adalah pertanda bahwa ideologi ini telah usang dan harus menjadi
titik poin penting refleksi untuk mencari jalan alternatif ideologi pembangunan ekonomi yang lebih
bermartabat dan berkelanjutan. Desa pertumbuhan hijau berkemakmuran hadir tidak hanya sebagai
alternatif pembangunan lokal tetapi merupakan salah satu bentuk kritik ideologis pembangunan
krusial yang perlu dilembagakan di tingkat lokal. Desa Pertumbuhan Hijau Berkemakmuran adalah
konsep pembangunan desa yang sudah saatnya di introdusir dan dikembangkan oleh Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Secara esensial, desa pertumbuhan hijau berkemakmuran bukan
hanya sekedar konsep, ide atau gagasan tetapi sebuah wacana tandingan dan ideologi alternatif
pembangunan lokal yang lebih bermartabat dengan menempatkan warga desa dan pemerintahan
desa sebagai subyek pembangunan. Dan yang lebih penting lagi, desa pertumbuhan hijau juga harus
dimaknai sebagai gerakan sosial untuk menggerakan tindakan kolektif warga dalam mewujudkan
pembangunan desa yang mandiri, berkelanjutan dan berkesejahteraan. Selain menggerakan warga
juga meminta kelancaran birokrasi pemerintah pusat untuk mendukung dan melembagakan idiologi
pembangunan lokal tersebut.
Kata kunci: Pembangunan ekonomi, ideologi alternatif dan pembangunan lokal
I. LATAR BELAKANG
Kegagalan dan kejatuhan politik Orde Baru, sesungguhnya juga tidak bisa
dilepaskan oleh model dan pendekatan pembangunan yang dijalankan ketika itu.
Paradigma pembangunan ekonomi yang mengedepankan pada pertumbuhan ekonomi
yang tinggi dengan mengandalkan sektor ekstraktif dan industri padat modal sebagai
leading sectors serta mempercayakan sekelompok kecil pelaku ekonomi untuk menjadi
aktor utama pembangunan, telah membuat fundamental ekonomi kita rapuh. Kontrol
usaha bisnis dari kelompok kecil konglomerasi yang mengendalikan bisnis dari lembaga
keuangan negara yang lemah, telah memperburuk kondisi perekonomian ketika krisis
melanda sekitar tahun 1998, yang menjalar menjadi krisis politik. Ritzer dalam Baudrillard
(1998), menegaskan pertumbuhan tidak mampu membawa masyarakat lebih sejahtera,
tetapi justru mereproduksi kemiskinan struktural.
Belajar dari kasus pendekatan ekonomi pembangunan tersebut, yang justru hanya
melahirkan kesenjangan dan keruntuhan politik, komitmen politik kuat dari Presiden
Jokowi untuk melakukan dekonstruksi paradigma pembangunan ekonomi yang
menempatkan desa sebagai basis paling dasar dalam pembangunan sesuai dengan
Nawacita, perlu didukung dan terus dikembangkan. Tanpa ada dukungan dari berbagai
pihak, termasuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pembangunan
dari piミggiraミ haミya akaミ マeミjadi さマitos daミ retorika politikざ. PeマHaミguミaミ ekoミoマi yang selama ini bias urban, telah mereproduksi desa bukan sebagai pusat pertumbuhan
-
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian
202
ekonomi tetapi sebagai pusat pasar dari industri-industri yang ada di kota. Transformasi
masyarakat desa pun tidak terelakan lagi, dari masyarakat produsen menjadi consumer
society (Jean Baudillard 1998; Ulrich Beck 2006). Di sisi lain, paradigma pembangunan
desa sebagai pusat produksi komoditas pertanian untuk memenuhi kebutuhan orang kota
tetap terus dipertahankan, tanpa disertai dengan kebijakan insentif yang diperlukan bagi
pengembangan desa. Bahkan, pemerintah justru terus melakukan pengurangan insentif
bagi petani, sebagai dampak dari liberalisasi sektor pertanian, akibatnya banyak petani
yang meninggalkan pekerjaannya dan kehilangan lahan pertaniannya.
Koマitマeミ politik uミtuk マelakukaミ けげHijrahげげ politik peマHaミguミaミ pertaミiaミ dari industri yang berbasis di kota dengan menempatkan desa sebagai さcenter of growth and de┗elopマeミtげげ adalah laミgkah politik ekoミoマi yaミg tepat マeミgiミgat masyarakat kita lebih dari 60% menggantungkan hidupnya dari pertanian. Berbagai program
pembangunan yang berbasis desa, seperti ekowisata, atau program-program
pemberdayaan lainnya, adalah secara umum belum mampu mendorong pertumbuhan
desa dan memakmurkan warga desa secara signifikan, karena pendekatannya tidak
berbasis komunitas, masih parsial, tidak terintegrasi dengan program pembangunan desa
dan tidak terkoneksi dengan jaringan ekonomi eksternal, terutama bagi desa-desa di land
locked areas (Sachs, Mellinger, dan Gallup, 2001).
II. KRITIK IDEOLOGIS PEMBANGUNAN
Desa pertumbuhan hijau berkemakmuran hadir tidak hanya sebagai alternatif
pembangunan lokal, tetapi sebagai kritik ideologi pembangunan krusial, yang selama ini
dijalankan di banyak negara, terutama negara-negara yang sedang berkembang. Menurut
Morishima (2004) ideologi didefinisikan sebagai sistem keyakinan yang mengikat orang
bersama-sama ke pengelompokan sosial. Tidak juah berbeda, Sarbini (2005) menegaskan
bahwa ideologi adalah sebuah istilah yang lahir pada akhir abad ke-18 atau tahun 1796
yang dikemukakan oleh filsuf Perancis bernama Destutt de Tracy dan kemudian dipakai
Napoleon. Istilah itu berasal dari dua kata ideos yang berarti gagasan, dan logos yang
artinya ilmu. Ideologi ini tidak sekedar gagasan, melainkan gagasan yang diikuti dan
dianut sekelompok besar manusia atau bangsa, sehingga ideologi bersifat mengerakkan
manusia untuk merealisasikan gagasan tersebut.
Ideologisasi paradigma pembangunan dengan menempatkan pertumbuhan
ekonomi yang tinggi telah menjadi semacam keyakinan tunggal bagi banyak bangsa
negara berkembang. Beberapa tokoh penting proponen pertumbuhan ekonomi sebagai
satu-satunya jalan pembangunan ekonomi rasional bagi negara-negara berkembang
diantaranya Harrod-Domar, Nurkse, Kuznets, Prebisch, Rostow, Meir, Lewis, serta
Hirschman. Mereka umumnya telah mereduksi makna pembangunan ekonomi sebagai
identikal dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Meir (1984) misalnya, menyamakan
pembangunan dengan pertumbuhan riil pendapatan per kapita. Restiyanto, dan Yusroni
(2006) menyatakan bahwa kelemahan ideologi pertumbuhan ekonomi yang tinggi,
ternyata mengabaikan masalah distribusi pendapatan nasional, sehingga timbul masalah
kemiskinan, penganguran, kesenjangan pembagian pendapatan, urbanisasi, (Suradi,
2012) dan kerusakan lingkungan. Bahkan, ideologi pertumbuhan ekonomi justru telah
memunculkan konglomerasi yang terisolir relasinya dengan masyarakat miskin
(Firmansyah dan Gunawan 2007; Zaini 2010). Akibatnya, bagi Zaini (2010), kekayaan
sumberdaya alam (SDA) yang menjadi basis kegiatan ekonomi produksi tidak menjadikan
-
Aspek Sosial Ekonomi
203
masyarakat sejahtera tetapi sebaliknya membuat masyarakat semakin sengsara akibat
konflik dan permasalahan komplek lainnya. Pranadji (2005) mengingatkan bahwa
pertumbuhan ada batasnya (limit to growth) sehingga eksploitasi yang berlebihan dan tak
terkendali terhadap SDA akan berujung bencana (resource curse) bukan menjadi berkah.
III. ALTERNATIF PEMBANGUNAN LOKAL
Dalam kontek tersebut, maka sudah saatnya kita mereformulasi, merevitalisasi
dan me-rebranding desa kembali, sebab selama ini desa telah begitu besar berkontribusi
tidak saja terhadap pembangunan ekonomi, tetapi juga pembangunan demokrasi politik
melalui partisipasi warga dalam setiap Pemilihan Umum. Warga desalah yang selama ini
terus memberikan subsidi demokrasi. Mereka rela berbondong-bondong mendatangi
tempat pemungutan suara untuk memberikan suaranya sementara banyak kalangan
terdidik justru melakukan penggembosan politik melalui gerakan golongan putih.
Dalam suatu kesempatan Chalid Muhammad (2014) pada suatu seminar
menegaskan bahwa kalau kita mampu menjadikan desa sebagai penggerak pembangunan
ekonomi, maka pertumbuhan ekonomi tidak akan sulit dicapai. Data statistik
menunjukkan bahwa ada lebih dari 74,000 desa dan sekitar 30,000 desa yang terletak di
pinggiran dan di dalam kawasan hutan. Jumlah desa yang besar ini adalah potensi besar
untuk dikembangkan sebagai basis pertumbuhan ekonomi nasional dengan tanpa
mengabaikan keberlanjutan dan kelestarian lingkungan serta kesejahteraan masyarakat
desa.
Desa Pertumbuhan Hijau Berkemakmuran adalah konsep pembangunan desa yang
sudah saatnya diperkenalkan dan dikembangkan oleh Kementerian LHK. Secara esensial,
desa pertumbuhan hijau berkemakmuran bukan hanya sekedar konsep, ide atau gagasan
tetapi adalah sebuah wacana tandingan dan ideologi alternatif pembangunan lokal yang
lebih bermartabat dengan menempatkan warga desa dan pemerintahan desa sebagai
subyek pembangunan. Dan yang lebih penting lagi, desa pertumbuhan hijau juga harus
dimaknai sebagai gerakan sosial untuk menggerakan tindakan kolektif warga dalam
mewujudkan pembangunan desa yang mandiri, berkelanjutan dan berkesejahteraan.
Selain menggerakan warga juga menggerakan birokrasi suprastruktur untuk mendukung
dan melembagakan idiologisasi pembangunan lokal tersebut.
Konsep desa ini sesungguhnya sudah jelas yakni mecoba mendorong desa menjadi
penggerak utama pembangunan ekonomi dengan mengedepankan low-carbon emission
development, mendorong partisipasi kritis warga, meningkatkan produktivitas warga
melalui optimalisasi pengelolaan asset desa (bio-fisikal dan social capital), pengembangan
kapasitas warga dan mendorong tata kelola pemerintahan desa yang demokratis,
transparan, akuntabel dan responsif (good-village governance). Sedangkan out-putnya
adalah adanya model desa pertumbuhan berkemakmuran hijau. Sedangkan impaknya
jelas untuk mendorong tata kelola desa yang demokratis dan memberdayakan warga bagi
kemakmuran warga secara keseluruhan.
IV. PENDEKATAN DAN PELEMBAGAAN DESA PERTUMBUHAN
HIJAU BERKEMAKMURAN
Transplantasi ideologi alternatif pembangunan lokal melalui desa pertumbuhan
hijau berkemakmuran tentunya memerlukan pendekatan yang tidak konservatif melalui
proses birokratisasi yang bersifat top-down, tetapi melalui pendekatan yang lebih
-
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian
204
menekankan fleksibilitas dengan mengutamakan dialog partisipatif warga, lobby dan studi
banding untuk meyakinkan warga. Yang perlu diingat bahwa desa pertumbuhan hijau
berkemamuran adalah konsep ideologi dan resep yang kaku, tetapi walaupun demikian
resep ini harus dibangun bersama warga desa dan pemerintahan desa sehingga bisa
bersenyawa dengan tata nilai dan keyakinan warga sebagai gagasan dan cita-cita yang
perlu diwujudkan bersama. Terkait dengan lobby politik dengan para pejabat
pemerintahan provinsi, kabupaten dan desa adalah salah satu pendekatan penting untuk
mainstreaming di tingkat pemerintahan desa, kabupaten, dan provinsi. Setelah
melakukan proses dialog warga dan lobby politik, secara teknis, langkah-langkah
mewujudkan desa pertumbuhan hijau berkemakmuran secara khusus dapat dilakukan
melalui berbagai aktifitas, dalam kerangka untuk melihat dan menganalisis baseline data
atau status terkini dari kondisi sosial ekonomi dan biofisik desa. Rangkaian kegiatan
dalam tahapan ini meliputi antara lain melakukan pemetaan biofisik desa, asset desa dan
kapasitas desa serta social seperti kelembagaan desa, fragmentasi desa dan struktur
sosial dan relasi tatakuasa desa. Kegiatan tahapan ini dilakukan secara partisipatif.
Tahapan berikutnya merupakan tahapan transisional dimana memfasilitasi desa dan
warga untuk menciptakan atau membangun program bersama dengan tujuan untuk
penguatan partisipasi warga, demokrasi desa dan good village governance, serta
pengelolaan asset mereka serta penguatan kapasitas kelembagaan desa. Arah dari
kegiatan ini adalah bagaimana membangkitkan simpul-simpul potensi ekonomi desa
dengan basis pengelolaan sumber daya alam mereka secara lestari. Ruang lingkup
pembangkitan ekonomi ini meliputi tiga azas, yakni dalam kegiatan off farm seperti
pembuatan roti, penggilingan padi, on farm, seperti agroforestry dan non farm seperti
pengembangan jasa lingkungan dengan orientasi pada peningkatan nilai tambah.
Gambar 1. Konseptual model Desa Pertumbuhan Hijau Berkemakmuran
V. TANTANGAN DAN KRISIS PERDESAAN
Tantangan pelembagaan desa pertumbuhan hijau diantaranya adalah mengubah
cara pandang warga dan pemerintah desa. Birokrastisasi program pembangunan desa
yang selama ini dijalankan oleh suprastruktur yang tidak partisipatif dan berorientasi pada
-
Aspek Sosial Ekonomi
205
proyek telah menciptakan sesat pikir bagi sebagian warga bahwa semua pembagunan
desa bersifat elitis dan menguntungkan sebagian kecil elit desa. Terbatasnya kapital
secara tidak langsung membangun kultur pengelolaan asset SDA yang tidak produktif dan
desa tidak lagi menjadi sumber pangan dan usaha tani warganya yang diistilahkan oleh
Shohibuddin (2016) sebagai proses deagrarianisasi. Selain itu program pembangunan
desa selama ini tidak mampu memanfaatkan sumber daya alam dan manusia secara
optimal. Pembangunan desa selama ini hanya menciptakan aktor ekonomi yang terbatas.
Menurut Shohibuddin (2016) desa dan masyarakat desa tidak homogen melainkan telah
mengalami diferensiasi yang mendalam yang bisa menimbulkan problem soliditas dan
kolektifitas warga dalam membangun desa. Fragmentasi dan akuisisi lahan-lahan petani
kecil oleh para orang kaya lokal dan pemodal luar desa mengakibatkan proses yang
disebut depeasantisation. Di sisi lain desa menjadi representasi kepentingan elit dan luar
desa.
Tabel 1. Krisis Perdesaan
Krisis Agraria Krisis Ekologi
Hilangnya control desa atas sumberdaya
alam setempat
Eksploitasi SDA yang merusak
Pembatasan akses warga atas SDA Desa Ancaman produksi skala besar dan atau
monokultur
Ketimpangan akses warga atas SDA Desa Degradasi sistem hidrologi lokal
Ketimpangan relasi perburuhan Penurunan dan produksi lahan
Ketimpangan pola-pola kemitraan Ketergantungan input eksternal
Kerentanan sistem pangan lokal Perluasan lahan kritis
Ketiadaan akses warga terhadap SDA Desa Kerentanan akibat perubahan iklim
global
Lemahnya keamanan akses warga terhadap
SDA Desa
Pudarnya kelembagaan dan kearifan
lokal dalam pengelolaan SDA
Sumber: Shohibuddin 2015, 2016
Tabel 1, mengilustrasikan bagaimana beratnya tantangan pembangunan
pedesaan. Krisis pedesaan biasanya tidak tunggal tetapi merupakan kombinasi antara
krisis ekologis dan agrarian yang berdampak pada kehidupan warga. Pengembangan desa
pertumbuhan hijau berkemakmuran tentunya tidak lepas dari kondisi-kondisi empiris
tersebut.
VI. DESA MODEL MEKARJAYA
Salah satu Desa yang tengah dirancang untuk menjadi desa pilot atau model
pertumbuhan hijau berkemakmuran adalah Desa Mekarjaya. Kelompok Peneliti Politik
dan Hukum P3SEKPI telah menetapkan desa tersebut sebagai laboratorium sosial
transformasi masyarakat desa untuk 4 - 5 tahun ke depan. Tahap awal ini tim P3SEKPI
tengah melakukan pendekatan dan diharapkan tahun 2017 desa model mulai
dikembangkan melalui riset aksi.
Desa Mekarjaya, Kecamatan Ciemas, Kabupaten Sukabumi adalah suatu desa yang
berada di daerah relatif terpencil, sekitar 5 - 6 jam dari Bogor. Untuk mencapai desa
tersebut, harus melalui perjalanan yang cukup melelahkan. Desa Mekarjaya berada di
atas pegunungan dengan lanskap alam yang cukup indah. Pemilihan desa Mekarjaya
sebagai desa model pertumbuhan hijau berkemakmuran atas pertimbangan dimana desa
-
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian
206
tersebut masih termasuk tertinggal. Kedua, lokasi desa Mekarjaya juga berdekatan
dengan calon obyek wisata geopark dan air terjun (curug) yang sangat indah. Ketiga, desa
Mekarjaya memiliki basis sumber daya lahan yang belum banyak termanfaatkan secara
optimal.
Desa ini terbagi ke dalam enam wilayah dusun dengan 12 Rukun Warga dan 59
Rukun Tetangga. Desa Mekarjaya merupakan desa terluas di Kecamatan Ciemas dengan
luas 8.768 ha dengan ketinggian rata-rata 350 mdpl. Penggunaan lahan di Desa Mekarjaya
terdiri atas tanah sawah 420 ha, tanah kering 2.651 ha, bangunan/pekarangan 697 ha,
dan hutan negara 5.000 ha. Rata-rata kepemilikan lahan masyarakat Desa Mekarjaya
adalah 0,3 ha. Desa Mekarjaya terdapat 2.495 rumah tangga di mana tiap rumah tangga
memiliki anggota sekitar tiga sampai empat orang. Sumber penghasilan utama
masyarakat Desa Mekarjaya berasal dari pertanian dengan komoditas utama padi.
Persentase keluarga pertanian di desa ini mencapai 70%.
Setelah melalui lobby dan dialog dengan warga dan pemerintah desa, maka
pemerintah desa dan warga bersedia membukakan pintu sebagai desa pilot
pengembangan desa pertumbuhan hijau berkemamuran. Bahkan dalam suatu
kesempatan pertemuan dengan tim peneliti P3SEKPI pemerintah desa bersedia
mengalokasikan sebagian dana desa bagi pengembangan desa pertumbuhan hijau ini.
Apa yang telah dilakukan oleh tim peneliti P3SEKPI ini adalah baru langkah permulaan,
namun yang perlu mendapatkan catatan adalah pertama, pemerintah desa dan warga
desa paham akan makna desa pertumbuhan hijau berkemamuran tanpa harus
mendiskusikan kerumitan istilah low carbon emission development yang justru bisa
membuat sesat pikir masyarakat desa. Catatan kedua, pemerintah kabupaten, terutama
bupati memiliki pandangan yang sama dan berkomitmen untuk mendukung program
desa pertumbuhan hijau berkemakmuran. Catatan ketiga dengan adanya UU desa, secara
finansial desa semakin kaya, tetapi tidak secara otomatis membuat desa semakin kaya
akan gagasan inovatif. Dalam dunia yang terus berubah, kelangsungan dan keberlanjutan
ekonomi desa sangat ditentukan oleh gagasan-gagasan inovatif tersebut.
VII. PENUTUP
Keberhasilan dari desa pertumbuhan hijau berkemakmuran akan terletak pada
perubahan cara pandang desa dan warga desa tentang ideologi pembangunan, yang
meletakkan warga desa sebagai subyek pembangunan. Cara pandang tentang desa dari
para pengambil kebijakan harus berubah dengan melepaskan diri dari stereotype jargonik
desa sebagai penyandang berbagai ketertinggalan dan inferioritas.
Faktor penting lain yang menentukan keberhasilan desa pertumbuhan hijau
berkemakmuran adalah fasilitasi atau pendampingan yang bisa menciptakan fasilitator-
fasilitator organik yang kuat.
Basis pengembangan desa tetap perlu bertumpu pada sumber daya lokal dan
karakteristik masyarakat, termasuk budayanya dan pengembangan desa pertumbuhan
hijau berkemakmuran harus bersifat multi-disiplin dan lintas sektor dan kelembagaan
Keberhasilan pengembangan desa pertumbuhan hijau juga sangat ditentukan oleh
pendekatan deliberasi melalui dialog interaktif dengan komunitas-komunitas warga,
perangkat desa serta dukungan politik suprastruktur.
Selain hal tersebut di atas, kepemimpinan dan tata kelola pemerintahan desa yang
demokratis, partisipatif dan akuntabel dan politik penganggaran di tingkat desa melalui
-
Aspek Sosial Ekonomi
207
pro-poor dan pro-environmental budgeting adalah prasyarat krusial bagi keberhasilan
desa pertumbuhan hijau berkemakuran.
Desa pertumbuhan hijau akan berhasil bila ada perubahan desain pembangunan
desa dari upaya menciptakan masyarakat desa sebagai masyarakat konsumen menjadi
masyarakat produktif dan inovatif. Masyarakat desa tidak boleh lagi di desain hanya
menjadi sasaran tembak kepentingan dan produk-produk globalisasi modernitas tetapi
tantangannya adalah bagaimana membawa kepentingan lokal dalam era globalisasi.
Adanya UU Desa No. 6/2014 adalah peluang sekaligus tantangan bagi desa untuk
mewujudkan desa pertumbuhan hijau berkemakmuran melalui otoritas dan
kewenangannya yang semakin besar untuk mengelola sumberdayanya secara lebih
mandiri. Pemerintah Desa Mekarjaya yang bersedia mengalokasikan sebagian dana desa
bagi pengembangan desa pertumbuhan hijau adalah catatan awal penting yang harus
terus dirawat dengan proses yang transparan dan kerja yang terukur dengan dukungan
riset aksi yang lebih terencana.
DAFTAR PUSTAKA
Baudrillard, J. 1998. The consumer society: Myths and structures. Sage Publishing,
London, England.
Beck, U.2006.Risk society:towards a new modernity. Sage Publishing, London, England.
Firmansyah, M., dan Gunawan, D.S. 2007. Antara pembangunan ekonomi dan degradasi
lingkungan. Eko-Regional, Vol. 2, No. 2 September 2007.
Morishima, M. 1986. Ideology and economic activity. Discussion Paper No. JS/86/142.
London School of Economics and Political Science Houghton Street, London, WC2A
2AE, UK.
Pranadji, T. 2005. Keserakahan, kemiskinan dan kerusakan lingkungan: Pintu gerbang
pencermatan dan penguatan nilai-nilai budaya Indonesia pada Milenium ke-3.
Makalah disampaikan pada Seminar Nasional V Ikatan Sosiologi Indoesia (ISI)
bertema Indonesia yang bebas korupsi, rukun dan mandiri 20 September 2005.
Gedung Pertemuan BKKBN, Jakarta.
Restiyanto, D. T., dan Yusroni, N. 2006. Kegagalan pembangunan ekonomi Indonesia
akibat terperangkap kegagalan pendekatan teori ekonomi pembangunan. AKSES:
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Vol. 1 No. 2, Oktober 2006.
Sachs, J. D., Mellinger, A. D., and Gallup, J. L. 2001. The geography of poverty and wealth.
Scientific American, March 2001, pp.71 - 74.
Sarbini, 2005. Islam di tepian Revolusi: Ideologi, Pemikiran dan Gerakan. Yogyakarta: Pilar
Media, 2005.
Shohibbudin, M. 2016. Dinamika akses dan eksklusi. Makalah dipaparkan di diskusi
internal P3SEKP dengan Tema Pengkayaan Pengetahuan pada tanggal 17 Juni 2016
di P3SEKPI.
Suradi.2012. Pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial. Informasi, Vol. 17, No. 03
Tahun 2012.
Zaini, A. 2010. Kemiskinan di daerah kaya sumberdaya alam: Sebuah Paradoks
Pembangunan.
-
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian
208
-
Aspek Sosial Ekonomi
209
DAPATKAH PERTUMBUHAN EKONOMI HIJAU MENCAPAI
PEMBANGUNAN EKONOMI BERKELANJUTAN? PEMBELAJARAN DARI RIAU
UNTUK SUMATERA SELATAN
Mamat Rahmat Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Pertumbuhan hijau dimaksudkan sebagai tahapan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan.
Dalam menuju keberlanjutan, pertumbuhan ekonomi dihadapkan pada kendala keterbatasan sumber
daya alam. Kemampuan sumber daya alam dalam menyediakan bahan baku untuk menghasilkan
pertumbuhan ekonomi bersifat terbatas. Demikian pula, kapasitas lingkungan untuk menetralisir
limbah dari proses produksi dan konsumsi barang dan jasa juga bersifat terbatas. Paper ini
dimaksudkan untuk mendiskusikan kembali peran pertumbuhan ekonomi hijau dalam mencapai
pembangunan berkelanjutan. Diskusi tersebut didasarkan atas hasil kajian skala optimal sistem
ekonomi di Provinsi Riau yang telah mencapai kondisi optimal. Pembandingan kondisi ketergantungan
terhadap sumber daya alam dilakukan untuk menjustifikasi perlunya kajian skala optimal di Provinsi
Sumatera Selatan. Bila ditinjau dari pola ketergantungan terhadap sumber daya alam dalam
pembangunan ekonomi antara Riau dan Sumatera Selatan memperlihatkan kondisi yang mirip. Sektor
pertanian, kehutanan dan perikanan serta sektor pertambangan dan penggalian masih menjadi sektor
unggulan di kedua provinsi tersebut. Oleh karena itu, kajian skala optimal terhadap perekonomian
Sumatera Selatan perlu dilakukan sebelum menetapkan strategi-strategi kebijakan pembangunan
dalam mencapai pertumbuhan hijau.
Kata kunci: pembangunan berkelanjutan, pertumbuhan hijau, skala optimal
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ir. Alex Nurdin telah mendeklarasikan Provinsi Sumatera Selatan sebagai provinsi
terdepan dalam mengimplementasikan konsep pertumbuhan hijau. Untuk upaya
tersebut, pemerintah Provinsi Sumatera Selatan mendapat dukungan dari berbagai pihak
seperti Initiatief Duurzame Handel (IDH) the trade sustainable, Zoological Society of
London (ZSL), dan Pemerintah Norwegia (Asmani, 2016).
Pada tataran nasional, program pertumbuhan hijau juga telah dituangkan di dalam
dokumen Green Growth Program (Program Pertumbuhan Hijau) yang disusun oleh Global
Green Growth Institute (GGGI). Dokumen tersebut dimaksudkan untuk
mengarusutamakan pertumbuhan hijau dalam pembangunan nasional (GoI-GGGI, 2013).
Di dalam dokumen Green Growth Program disebutkan bahwa konsep
pertumbuhan hijau dimaksudkan sebagai tahapan untuk mencapai pembangunan yang
berkelanjutan (sustainable economic development). Adapun, pembangunan berkelanjutan
didefinisikan sebagai pembangunan sosial dan ekonomi yang mampu memenuhi
kebutuhan generasi saat ini dan generasi mendatang (WCED, 1987). Definisi tersebut
mengandung dua konsep yang menjadi acuan dalam mencapai pembangunan yang
berkelanjutan. Konsep yang pertama, yaitu pembangunan yang berkelanjutan adalah
pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan manusia (human needs) saat ini.
Konsep kedua, pembangunan yang berkelanjutan disyaratkan agar dapat memenuhi
kebutuhan antar generasi (WCED, 1987).
-
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian
210
Pemenuhan kebutuhan manusia dihadapkan pada realitas ketersediaan sumber
daya alami yang bersifat terbatas. Sebagaimana dikatakan Meadow et al., (2006), bahwa
planet bumi memiliki keterbatasan dalam menyediakan bahan baku dan keterbatasan
kapasitas penyerapan limbah. Oleh karena itu apabila kapasitasnya telah melampaui
kondisi optimal maka pertumbuhan tidak dapat dilanjutkan.
Sehingga yang menjadi pertanyaan, kapankah kondisi optimal tersebut dicapai.
Apabila kondisi optimal telah dicapai apakah pertumbuhan ekonomi hijau masih relevan
bila digunakan sebagai batu loncatan untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan?
B. Tujuan
Paper ini disajikan untuk mengkaji ulang penerapan konsep pertumbuhan hijau
dalam pembangunan ekonomi di Sumatera Selatan, menuju pembangunan ekonomi yang
berkelanjutan.
II. METODE PENELITIAN
A. Kerangka Pemikiran
Kajian pertumbuhan hijau di dalam paper ini dibatasi dalam kerangka analisa ilmu
ekologi ekonomi. Dalam pandangan ilmu ekologi ekonomi, terdapat dua sistem yang
saling terkait, yaitu sistem alami (lingkungan) dan sistem ekonomi (perekonomian).
Sistem lingkungan berperan sebagai pemasok sinar matahari, bahan bakar fosil, serta
material dan jasa-jasa lingkungan. Selain itu sistem lingkungan juga berperan sebagai
penampung limbah dari proses-proses yang terjadi di dalam sistem ekonomi, yang secara
umum digolongkan ke dalam proses produksi dan konsumsi barang dan jasa. Di samping
itu, proses produksi dan konsumsi juga mengakibatkan degradasi pada material dan jasa
lingkungan yang tersisa di sistem lingkungan. Untuk lebih jelasnya kerangka analisa
tersebut dapat diamati pada Gambar 1.
Proses produksi dan konsumsi yang terjadi pada sistem ekonomi mendorong
proses pertumbuhan, sehingga terjadi perubahan relatif sistem ekonomi terhadap sistem
lingkungan. Pertumbuhan yang terjadi pada sistem ekonomi dihadapkan pada kondisi
sistem lingkungan yang tidak bertumbuh. Jumlah material dan energi yang disediakan
oleh sistem lingkungan tidak bertambah. Oleh karena itu pada situasi tertentu akan
dicapai titik optimal pertumbuhan ekonomi. Jika titik optimal tersebut telah dicapai maka
nilai kerugian akibat limbah dan degradasi material dan jasa lingkungan akan lebih besar
dibandingkan manfaat yang diperoleh dari pertumbuhan ekonomi. Proses pertumbuhan
sistem ekonomi dalam sistem lingkungan ditampilkan secara grafis pada Gambar 2.
-
Aspek Sosial Ekonomi
211
Gambar 1. Gambaran hubungan sistem ekonomi sebagai sub sistem dengan sistem
lingkungan (Diadopsi dari Colby (1999))
Gambar 2. Proses Pertumbuhan Ekonomi dalam sistem lingkungan
B. Pengumpulan dan Analisa Data untuk Mendapatkan Angka Skala Optimal
Berdasarkan kerangka pemikiran di muka, untuk mendiagnosa kondisi skala
optimal dapat berpedoman pada Daly & Farley (2006), yang menyatakan bahwa skala
optimal sistem ekonomi dicapai pada saat penambahan nilai manfaat akibat kenaikan
satu unit output setara dengan penambahan biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi
satu unit output tersebut. Situasi tersebut dapat dituliskan sebagai MB=MC, atau manfaat
marjinal sama dengan biaya marjinal.
Untuk mendapatkan nilai MB dan MC pada studi di Provinsi Riau, Rahmat (2014)
menggunakan beberapa pendekatan (proxy). Nilai MB didekati dengan penambahan nilai
PDRB tahunan, sehingga simbolnya lebih tepat dituliskan sebagai MR. Selanjutnya, nilai
MC didekati dengan nilai biaya kesempatan yang hilang (opportunity cost) akibat kenaikan
jumlah PDRB, sehingga simbolnya dituliskan sebagai MOC. Oleh karena itu, maka situasi
optimal dicapai pada saat MR=MOC atau dapat dituliskan sebagai Apabila
disederhanakan menjadi k, maka kondisi optimal dapat dicapai pada saat k=1.
-
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian
212
C. Penarikan Kesimpulan
Simpulan dalam kajian ini ditarik berdasarkan hasil membandingkan antara kondisi
yang dicapai oleh sistem ekonomi Provinsi Riau dengan dengan kondisi yang terjadi dalam
perekonomian Provinsi Sumatera Selatan. Pembandingan dilakukan dalam hal
ketergantungannya terhadap sumber daya alam dan degradasi lingkungan yang terjadi di
wilayah Sumatera Selatan.
III. PERTUMBUHAN EKONOMI: ANTARA COKLAT DAN HIJAU
Secara sederhana, pertumbuhan ekonomi dapat diartikan sebagai proses kenaikan
output per kapita dalam jangka waktu tertentu (Boediono, 2005). Berdasarkan definisi
tersebut, terdapat dua pokok konsep yang menjadi penentu dalam pertumbuhan
ekonomi yaitu proses kenaikan output per kapita dan interval waktu pengukuran.
Nilai output yang dihasilkan oleh suatu sistem ekonomi pada tingkat regional
dikenal sebagai PDRB. Dalam sistem perekonomian konvensional, pertumbuhan ekonomi
merupakan indikator perekonomian yang paling utama. Pertumbuhan ekonomi
diperhitungkan berdasarkan kenaikan nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). PDRB
yang saat ini dikenal dengan istilah PDRB konvensional atau PDRB Coklat.
PDRB coklat dinilai belum menggambarkan situasi pembangunan ekonomi yang
berkelanjutan karena nilainya masih mengandung penyusutan nilai sumber daya alam
serta terindikasi mengandung nilai degradasi manfaat lingkungan. Situasi tersebut terjadi
karena nilai PDRB hanya ditaksir berdasarkan nilai pasar dari seluruh barang-barang dan
jasa-jasa akhir yang diproduksi dalam perekonomian pada periode waktu tertentu
(Mankiw, 2010).
Adapun, barang dan jasa-jasa yang belum atau tidak memiliki nilai pasar atau
belum dikomersialkan tidak dapat diperhitungkan dalam nilai PDRB. Walaupun pada
kenyataanya, sumber daya alam seperti hutan mampu menghasilkan manfaat barang dan
jasa komersil dan jasa-jasa lingkungan yang belum dikomersialkan.
Angka PDRB merupakan penjumlahan atau nilai agregat atas barang dan jasa yang
dihasilkan oleh beragam proses produksi. Bila disederhanakan, output yang berbentuk
barang dan jasa dihasilkan oleh dua elemen, yaitu perusahaan dan rumah tangga. Dalam
konteks produksi barang dan jasa, kedua elemen tersebut bertindak sesuai dengan tujuan
masing-masing, yakni perusahaan bertindak untuk memaksimumkan keuntungan (profit
maximization), sedangkan rumah tangga bertindak untuk memaksimumkan kepuasan
(utility maximization). Perbedaan tujuan tersebut merangsang terjadinya pertukaran
barang dan jasa yang dimiliki oleh masing-masing (Daly, 1981; Mankiw, 2010).
IV. HASIL KAJIAN SKALA OPTIMAL PROVINSI RIAU
Hasil pengujian skala optimal di Riau diperoleh nilai k rata-rata sebesar 31,975.
Nilai k rata-rata yang diperoleh dapat diartikan sebagai jumlah MR yang nilainya 31 kali
nilai MOC. Namun demikian, nilai tersebut adalah nilai rata-rata dan deviasinya sangat
lebar yaitu mencapai 82,74. Hasil pengujian statistik (uji t) terhadap nilai k tersebut yang
telah dilakukan mendapatkan kesimpulan bahwa nilai k yang diperoleh tersebut tidak
berbeda nyata dengan 1 (satu). Secara lengkap hasil uji tersebut mendapatkan nilai t
hitung = 1,059 dan nilai t tabel pada tingkat derajat bebas (df) 7 dan nilai probabilitas 5%
yaitu 1,895 (Rahmat, 2014). Secara grafis, kondisi optimal dapat diilustrasikan sebagai
titik perpotongan antara kurva MR dan MOC (lihat Gambar 3).
-
Aspek Sosial Ekonomi
213
Telah dibuktikan oleh Rahmat (2014) bahwa pencapaian nilai skala optimal
tersebut berkorelasi positif dengan kenaikan deplesi barang tambang dan sumber daya
hutan. Tahun 2004 adalah era permulaan eksploitasi batu bara di Riau dan konversi hutan
tertinggi selama periode 2000 – 2009. Jika kedua hukum tersebut diterapkan dalam situasi sistem ekonomi Provinsi Riau
yang sudah mencapai skala optimal maka dapat dijelaskan sebagai berikut. Penambahan
jumlah output perekonomian guna memacu pertumbuhan ekonomi yang dilakukan
dengan cara menambah jumlah ekstraksi barang tambang dan menambah luas konversi
hutan alam menjadi areal perkebunan maka dapat menghasilkan manfaat berupa
peningkatan nilai output dari sektor pertambangan dan sub sektor perkebunan. Namun,
nilai penambahan manfaat per satu unit tambahan output tersebut angkanya lebih kecil
dibandingkan dengan tambahan opportunity cost (nilai deplesi barang tambang dan
tegakan serta degradasi manfaat jasa lingkungan) yang ditimbulkan oleh penambahan
volume ekstraksi barang tambang dan konversi hutan alam tersebut. Situasinya berbeda
jika sistem ekonomi belum mencapai skala optimal. Dalam kondisi tersebut, tambahan
jumlah volume ekstraksi barang tambang dan jumlah konversi hutan alam dapat
memberikan manfaat marjinal yang lebih besar dibandingkan dengan marjinal
opportunity cost atau dapat dinyatakan sebagai MR>MOC.
Gambar 3. Penggambaran skala optimal sistem ekonomi terhadap sistem lingkungan
(Sumber: Rahmat (2014), diadopsi dari Lawn & Sanders (1999))
O Output Perekonomian
MR
MOC MR,
MOC
b)
a)
TR
TOC
Output Perekonomian
TR,
TOC
-
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian
214
V. REFLEKSI SKALA OPTIMAL RIAU UNTUK SUMATERA SELATAN
Sama halnya dengan perekonomian Provinsi Riau, Provinsi Sumatera Selatan pun
masih disokong oleh sektor berbasis sumber daya alam, yaitu Sektor Pertanian,
Kehutanan dan Perikanan serta Sektor Pertambangan dan Penggalian. Kedua sektor
tersebut selama periode tahun 2012 – 2014 memberikan kontribusi sekitar 40% terhadap PDRB Provinsi Sumatera Selatan (Tabel 1).
Kontribusi PDRB dari sektor pertambangan dan penggalian dapat dikatakan
sebagai nilai deplesi (penyusutan) modal alami, karena PDRB dari sektor ini dihitung
berdasarkan jumlah barang tambang yang berhasil diekstrak dari alam.
Tabel 1. Kontribusi sektoral terhadap PDRB Provinsi Riau dan Sumatera Selatan
No. Sektor Riau Sumatera Selatan
2012 2013 2014 2012 2013 2014
1. Pertanian, kehutanan dan
Perikanan 19,08 19,00 19,68 18,90 18,60 17,77
2. Pertambangan dan
Penggalian 42,16 42,21 39,57 25,72 24,98 23,87
3 Industri Pengolahan 20,60 20,56 20,88 16,55 17,15 17,36
4 Pengadaan Listrik dan Gas 0,03 0,03 0,03 0,07 0,07 0,07
5
Pengadaan Air,
Pengelolaan Sampah,
Limbah dan Daur Ulang
0,01 0,01 0,01 0,10 0,09 0,10
6 Konstruksi 6,24 6,30 6,69 12,30 12,68 13,41
7
Perdagangan Besar dan
Eceran; Reparasi Mobil dan
Sepeda Motor
6,69 6,63 7,77 9,14 8,99 9,08
8 Transportasi dan
Pergudangan 0,59 0,62 0,66 1,64 1,77 1,86
9 Penyediaan Akomodasi
dan Makan Minum 0,36 0,39 0,47 1,17 1,18 1,26
10 Informasi dan Komunikasi 0,54 0,52 0,52 2,51 2,39 2,42
11 Jasa Keuangan dan
Asuransi 0,76 0,81 0,80 2,48 2,59 2,57
12 Real Estate 0,66 0,67 0,69 2,43 2,41 2,60
13 Jasa Perusahaan 0,00 0,00 0,00 0,10 0,10 0,11
14
Administrasi
Pemerintahan, Pertahanan
dan Jaminan Sosial Wajib
1,48 1,44 1,36 3,26 3,23 3,55
15 Jasa Pendidikan 0,38 0,37 0,41 2,29 2,45 2,64
16 Jasa Kesehatan dan
Kegiatan Sosial 0,13 0,13 0,14 0,59 0,58 0,59
17 Jasa lainnya 0,30 0,31 0,34 0,75 0,74 0,74
Jumlah 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 Sumber: Diolah dari Sumatera Selatan dalam Angka 2016 (BPS Prov. Sumsel, 2016) dan Produk
Domestik Regional Bruto Provinsi Riau Menurut Lapangan Usaha 2011 – 2015 (BPS Prov. Riau, 2016).
-
Aspek Sosial Ekonomi
215
Adapun PDRB yang disumbangkan oleh sektor pertanian, kehutanan dan
perikanan, dapat berupa hasil ekstraksi sumber daya alam (seperti kayu dan ikan), namun
tidak serta merta digolongkan sebagai deplesi sumber daya alam. Kayu yang dihasilkan
dari pola pengelolaan hutan yang berkelanjutan, yaitu yang hanya memanen riap kayu
yang dihasilkan, maka tidak disebut sebagai deplesi. Deplesi dari hasil hutan kayu hanya
dikenakan pada kelebihan tebangan dari riap normalnya. Sama halnya dengan ekstraksi
ikan, apabila penangkapan ikan tidak melebihi riap pertumbuhan ikan maka tidak
tergolong sebagai deplesi.
Namun, ekstraksi sumber daya alam kerapkali menyebabkan kerusakan
lingkungan sekitarnya atau menyebabkan penurunan kualitas lingkungan. Hal ini yang
kemudian dinilai sebagai faktor pengurang terhadap pertumbuhan dan dikenal dengan
istilah degradasi lingkungan.
Ekstensifikasi lahan pertanian dan perkebunan juga kerap kali mengorbankan
hutan gambut sehingga berpotensi menyebabkan degradasi manfaat jasa lingkungan dari
hutan gambut. Kajian Rahmat (2013), menunjukkan kontribusi sektor pertanian terhadap
PDRB Provinsi Sumatera Selatan pada tahun 2000 – 2007 ternyata seiring dengan peningkatan luas areal perkebunan. Ekstensifikasi lahan perkebunan pada periode
tersebut telah merambah pada lahan gambut.
Konversi lahan gambut di Sumatera Selatan telah mengakibatkan degradasi
lingkungan manfaat jasa lingkungan hingga mencapai Rp. 55 trilyun per tahun (Rahmat,
2013). Jika diperhitungkan terhadap nilai pendapatan dari hasil mengkonversi lahan
gambut tersebut (nilai PDRB sektor pertanian) ternyata diperoleh nilai minus, sekitar Rp.
45 trilyun per tahun (Rahmat, 2013). Biaya yang dikorbankan dalam bentuk nilai
degradasi lingkungan ternyata empat kali lipat lebih besar dibandingkan dengan nilai
manfaat ekonomi yang diperoleh dalam bentuk PDRB.
Berdasarkan data yang dikemukakan oleh Rahmat (2013) tersebut, maka program
pertumbuhan hijau Sumatera Selatan seharusnya mampu menekan biaya lingkungan
tersebut yang nilai kerugiannya empat kali lipat dari dari PDRB sektor pertanian. Jika
program pertumbuhan hijau tidak mampu mereduksi nilai kerugian tersebut, maka
pembangunan berkelanjutan Provinsi Sumatera Selatan sulit tercapai.
Data yang ditampilkan Rahmat (2013) baru mengemukakan nilai degradasi akibat
konversi gambut, belum menghitung nilai degradasi lingkungan yang diakibatkan oleh
pertambangan serta, nilai deplesi barang tambang dan nilai deplesi sumber daya hutan.
Jika nilai-nilai tersebut dijumlahkan semuanya, maka nilai pengurang terhadap PDRB
Provinsi Sumatera Selatan berpotensi untuk bertambah. Oleh karena itu, penggunaan
indikator PDRB Hijau dapat diaplikasikan untuk memprediksi nilai pertumbuhan ekonomi
yang berkelajutan pada tingkat regional. Karena indikator tersebut telah menginkorporasi
nilai deplesi/apresiasi sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan.
VI. PENUTUP
Berkaca pada kondisi skala optimal yang dicapai oleh sistem perekonomian
Provinsi Riau, maka strategi pertumbuhan hijau Provinsi Sumatera Selatan laiknya diawali
dengan kajian skala optimal. Hal ini dipandang perlu mengingat ketercapaian kondisi skala
optimal akan menentukan efektif atau tidaknya program pertumbuhan hijau dalam
mencapai pembangunan berkelanjutan.
-
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian
216
Saat ini, sistem ekonomi Provinsi Riau telah mencapai posisi puncak (skala
optimal). Dalam situasi tersebut, jika akan diimplementasikan program pertumbuhan
hijau, maka akan mampu mempertahankan keberlanjutan pembangunan ekonomi.
Namun, berbeda kondisinya dengan Provinsi Sumatera Selatan yang belum diketahui
skala optimalnya. Untuk itu, tidak dapat diyakini bahwa program-program pertumbuhan
hijau Sumatera Selatan akan dapat mencapai keberlanjutan pembangunan. Mengingat
tingkat degradasi lingkungan yang terjadi akibat konversi gambut di Sumatera Selatan
juga cukup tinggi dan ketergantungan PDRB terhadap sumber daya alam juga masih
dominan.
Oleh karena itu, kajian skala optimal Provinsi Sumatera Selatan perlu dilakukan
terlebih dahulu sebagai langkah awal untuk mendiagnosa kondisi daya dukung sistem
lingkungan terhadap sistem ekonomi. Untuk mendukung kajian skala optimal diperlukan
kajian menyeluruh mengenai deplesi sumber daya alam dan degradasi lingkungan pada
lingkup regional Provinsi Sumatera Selatan.
DAFTAR PUSTAKA
Asamani, N. 2016. Sambutan pada acara kick off meeting penyusunan pertumbuhan
ekonomi hijaun Provinsi Sumatera Selatan. Di Hotel Arista Palembang, pada
tanggal 15 Agustus 2016.
Badan Pusat Statistik Provinsi Riau (BPS Prov. Riau). 2016. Produk domestik regional bruto
Provinsi Riau menurut lapangan usaha 2011 – 2015. Badan Pusat Statistik Provinsi Riau. Pekanbaru.
Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Selatan (BPS Prov. Sumsel). 2016. Provinsi
Sumatera Selatan dalam angka 2016. Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera
Selatan. Palembang.
Boediono. 2005. Pertumbuhan ekonomi. Cetakan ke-9. UGM Press. Yogyakarta.
Colby, M. C. 1991. Environmental management in development: The evolution of
paradigms. Ecological Economics, 3 (1991): 193 - 213.
Daly, H. E. 1981. Three visions of the economic process. Paper dipresentasikan pada
“eマiミar oミ さEミ┗iroミマeミtaly “ustaiミaHle “trategies for EIoミoマiI De┗elopマeミtざ, World Bank, Washington, DC, 4 Januari 1981.
Daly, H.E. dan J. Farley. 2011. Ecological economics: Principles and applications, Second
Edition. Island Press. Washington, Covelo, London.
Government of Indonesia & Global Green Growth Institute (GoI & GGGI). 2013.
Government of Indonesia-Global Green Growth Institute Green Growth Program -
Prioritizing Investments: Delivering Green Growth. Government of Indonesia-
Global Green Growth Institute. Jakarta
Lawn, P. A. and R. D. Sanders. 1999. Has Australia surpassed its optimal macroeconomic
sIale? fiミdiミg out ┘ith the aid of けHeミefitげ aミd けIostげ aIIouミts aミd a sustaiミaHle net benefit index. Ecological Economics, 28 (1999): 213 – 229.
Mankiw, N.G. 2010. Macroeconomics. Seventh Edition. Worth Pubishers. New York.
Meadows, D., J. Randers, & D. Meadows. 2006. Limits to growth: The 30-years updated.
earthscan. London, UK.
-
Aspek Sosial Ekonomi
217
Rahmat, M. 2013. Restorasi hutan rawa gambut untuk pembangunan ekonomi
berkelanjutan: sebuah tilikan di Sumatera Selatan. Dalam D. Purwito et al., (Eds.),
Prosiding Workshop ITTO Project RED-SPD 009/09 Rev.2 (F), Stakeholder
Consultation The Application of Method and Technologies to Enhance The
Restoration of PSF Ecosystem, hal: 161 – 173. Pusat Penelitian Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan.
Bogor.
Rahmat, M. 2014. Dampak perubahan sediaan sumber daya alam terhadap kinerja
kelestarian pembangunan ekonomi: Kasus Provinsi Riau. Disertasi Program Doktor,
Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Tidak dipublikasikan.
World Commission on Environment and Development (WCED). 1987. Report of the World
Commission on Environment and Development: Our common future. Website:
www.un-documents.net/our-common-future.pdf.
-
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian
218
-
Aspek Sosial Ekonomi
219
PENCEGAHAN KARHUTLA UNTUK MENDUKUNG PERTUMBUHAN HIJAU DI SUMATERA
SELATAN: STUDI KASUS DI DESA RIDING
Mamat Rahmat*, Bondan Winarno
*, Bastoni, Adi Kunarso
Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang
*E-mail: [email protected]; [email protected]
ABSTRAK
Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) berpotensi menjadi kendala dalam mencapai pertumbuhan
hijau di Provinsi Sumatera Selatan. Dalam pandangan ilmu ekonomi ekologi, karhutla merupakan
gejala merosotnya sistem lingkungan sebagai akibat ekstraksi sumber daya alam yang melampaui
kapasitasnya. Tulisan ini dimaksudkan untuk mendapatkan pengetahuan mengenai kondisi biofisik
lahan gambut yang kerapkali terbakar, dinamika pemanfaatan lahan gambut, dan kondisi sosial
ekonomi masyarakat yang tinggal di sekitar lahan gambut serta minat masyarakat pada pola budidaya
tanpa bakar. Kajian dilakukan di Desa Riding, Kecamatan Pangkalan Lampam, Kabupaten Ogan
Komering Ilir. Metode penelitian yang digunakan menggabungkan survey biofisik dan survey sosial
ekonomi. Survey biofisik meliputi kajian observasi kondisi vegetasi, kedalaman gambut dan kedalaman
muka air tanah. Adapun survey sosial ekonomi dilakukan melalui Focus Group Discussion (FGD) dan
wawancara mendalam kepada tokoh kunci. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi biofisik
gambut rawan terbakar di Desa Riding telah mengalami degradasi berupa penyusutan kedalaman
muka air tanah dan lapisan gambut sebagai akibat kerapnya peristiwa kebakaran. Seringnya lahan
gambut terbakar juga diindikasikan dari vegetasi penutupnya berupa belukar dan permudaan gelam.
Permasalahan lahan gambut di Desa Riding timbul sebagai akibat tingginya tekanan ekonomi pada
level rumah tangga petani maupun perusahaan dalam mengeksploitasi lahan gambut sebagai sumber
daya alam. Dalam menuju pembangunan yang berkelanjutan melalui tahap pertumbuhan hijau di
Sumatera Selatan, upaya pencegahan kebakaran merupakan salah satu langkah yang diperlukan.
Upaya tersebut dapat dilakukan melalui pengelolaan lahan gambut secara terpadu yang meliputi
berbagai aspek (sosial, ekonomi dan lingkungan).
Kata kunci: ekologi, ekonomi, kebakaran hutan, lahan gambut, pembangunan berkelanjutan
I. PENDAHULUN
A. Latar Belakang
Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) merupakan bencana yang muncul secara
periodik di Sumatera Selatan. Sejak dua puluh tahun yang lalu, tercatat telah terjadi
karhutla yang berdampak terhadap bencana kabut asap, yaitu pada tahun 1997/1998,
2006, 2013 (Gaveau et al., 2014) dan terakhir pada tahun 2015 (Koplitz et al., 2015).
Pada awalnya bencana karhutla kerapkali dikaitkan dengan kondisi kemarau
panjang yang terjadi pada masa el nino. Namun, belakangan, karhutla juga terjadi pada
tahun-tahun di luar el nino (Gaveau et al., 2014). Selain el nino, faktor yang seringkali
dikaitkan dengan kejadian kebakaran di Sumatera Selatan adalah budaya penggunaan api
dalam berbagai aktivitas mata pencaharian masyarakat, antara lain sonor (budidaya padi
pada lahan gambut), mencari ikan dan mencari kayu pada hutan dan lahan gambut
(Setijono, 2004; Chokkalingam et al., 2007). Selain itu, karhutla juga dipicu oleh
kelimpahan biomasa berupa gambut yang telah mengering terutama pada saat musim
kemarau. Pengeringan gambut tersebut disebabkan oleh karena terjadi penyusutan
permukaan air pada lahan gambut sebagai akibat pengaliran air melalui kanal-kanal
primer, sekunder dan tersier.
-
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian
220
Pengeringan lahan gambut di Sumatera Selatan pada dasarnya merupakan bagian
dari proses pembangunan ekonomi, khususnya melalui program transmigrasi,
pembangunan perkebunan dan proyek-proyek pertanian (Chokkalingam et al., 2007).
Dalam kaidah pembangunan ekonomi, pelaksanaan program dan proyek tersebut
dimaksudkan untuk meningkatkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), khususnya
pada sektor pertanian.
Di lain pihak, upaya peningkatan PDRB tersebut justru menimbulkan dampak
lingkungan yang tidak diperhitungkan dalam akuntansi PDRB. Dampak lingkungan yang
secara langsung terlihat pada lahan ekosistem gambut adalah meningkatnya tingkat
kerawanan kebakaran lahan sebagai akibat pengeringan lahan gambut. Kenaikan volume
gambut kering bukan satu-satunya faktor yang dapat memicu kebakaran, namun
pengeringan serta pembukaan hutan dan lahan gambut melalui kanalisasi juga turut
memberikan kemudahan akses bagi sebagian orang untuk memasuki kawasan hutan dan
lahan gambut yang semula tidak pernah terjangkau (Chokkalingam, et al., 2007).
Akibatnya, daerah-daerah tersebut menjadi semakin rawan terbakar.
Bertolak dari uraian tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa bencana
karhutla pada dasarnya berkaitan dengan dinamika yang terjadi pada dua sistem, yaitu
sistem ekonomi dan sistem lingkungan. Aktivitas masyarakat di lahan gambut merupakan
gambaran dinamika pada sistem ekonomi dalam skala rumah tangga, sedangkan ekspansi
perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut adalah indikator dinamika sistem ekonomi
yang terjadi pada level regional. Dinamika pada sistem lingkungan tampak pada
perubahan yang terjadi pada lahan gambut yang menyebabkan kenaikan bahan bakar
dalam bentuk gambut kering dan terjadinya penyusutan muka air tanah pada lahan-lahan
gambut.
Dalam pandangan ilmu ekonomi ekologi, kedua sistem di muka (sistem ekonomi
dan sistem lingkungan) berinteraksi sebagai sub sistem dan sistem utama. Ekonomi
merupakan sub sistem yang diayomi oleh sistem lingkungan, sehingga apabila
digambarkan, posisi sistem ekonomi berada di dalam lingkup sistem ligkungan (Daly,
2007). Oleh karena posisinya tersebut, sistem lingkungan berperan dalam menyediakan
berbagai material bahan baku yang dibutuhkan oleh sistem ekonomi, baik berupa barang
maupun jasa-jasa lingkungan. Di samping itu sistem lingkungan juga berperan sebagai
penampung sisa-sisa material yang tidak terpakai oleh sistem ekonomi serta sebagai
penetralisir polusi yang timbul akibat proses-proses yang terjadi di dalam sistem ekonomi.
Dalam kerangka ilmu ekonomi ekologi tersebut, bencana kabut asap yang
ditimbulkan oleh kebakaran hutan dan lahan dapat dipandang sebagai indikator bahwa
kemampuan sistem lingkungan dalam menetralisir asap telah melampaui kapasitasnya,
sebagai akibat kenaikan volume gambut yang terbakar dan meluasnya pembakaran pada
lahan gambut. Fenomena tersebut tidak timbul secara tiba-tiba, namun muncul karena
adanya interaksi pada berbagai faktor dalam sistem ekonomi yang secara langsung juga
berdampak terhadap sistem lingkungan. Interaksi dalam sistem ekonomi dapat dilihat
dalam bentuk pemanfaatan lahan gambut oleh masyarakat serta pola ekspansi areal
perusahaan perkebunan dan hutan tanaman pada lahan gambut.
B. Tujuan
Berlandaskan pada teori ekonomi ekologi tersebut, kajian ini dimaksudkan untuk
mendapatkan pengetahuan mengenai kondisi biofisik lahan gambut yang hingga saat ini
masih kerapkali terbakar, dinamika pemanfaatan lahan gambut, dan kondisi sosial
ekonomi masyarakat yang tinggal di sekitar lahan gambut serta mendapatkan
-
Aspek Sosial Ekonomi
221
pengetahuan mengenai minat masyarakat terhadap pola budidaya yang tidak mengubah
sifat-sifat lahan gambut.
II. METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu Penelitian
Kajian ini dilakukan untuk mengamati dampak yang terjadi pada sistem lingkungan
sebagai dampak interaksi faktor-faktor di dalam sistem ekonomi pada level mikro, yaitu di
tingkat desa. Lokasi yang dipilih adalah Desa Riding, Kecamatan Pangkalan Lampam,
Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Desa ini meliputi wilayah desa yang
cukup luas dan wilayahnya sebagian besar merupakan lahan gambut yang termasuk
kategori Hutan Produksi, Kawasan Konservasi dan Area Penggunaan Lain. Selain itu,
kondisi pemanfaatan lahan gambut di wilayah Desa Riding cukup mewakili dinamika
sistem lingkungan yang tengah dieksploitasi oleh sistem ekonomi. Kegiatan pengumpulan
data lapangan dilakukan pada tahun 2015.
B. Metode Pengumpulan dan Analisis Data
Penelitian ini meliputi dua aspek kajian, yaitu: aspek biofisik dan aspek sosial
ekonomi. Kajian aspek biofisik dilakukan dengan menggunakan metode observasi kondisi
vegetasi, kedalaman gambut, dan kedalaman muka air tanah. Selain itu juga dilakukan
pemetaan jumlah hotspot pada bulan-bulan terjadinya kebakaran dengan menggunakan
metode tumpang susun (overlay) titik panas (hotspot) pada peta penggunaan lahan.
Adapun, aspek sosial ekonomi dilakukan melalui metode diskusi kelompok terfokus
(Focus Group Discussion/FGD). Peserta FGD terdiri dari wakil-wakil tokoh masyarakat,
tokoh pemuda, tokoh perempuan, aparat pemerintahan desa dan penyuluh pertanian. Di
samping dilakukan FGD, juga dilakukan wawancara mendalam kepada informan kunci.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Kondisi Biofisik Lahan Rawan Terbakar
Berdasarkan hasil observasi lapangan, diketahui bahwa kondisi lahan gambut di
Desa Riding yang kerapkali terbakar pada umumnya, dikelompokkan ke dalam dua jenis
pemanfaatan lahan, yaitu Hutan Produksi (HP) dan Area Penggunaan Lain (APL). Areal HP
di wilayah desa ini merupakan areal konsesi PT. Bumi Mekar Hijau (anak perusahaan
Sinarmas Forestry). Kebakaran pada areal ini umumnya dipicu oleh kebakaran yang
terjadi pada areal HP yang tengah dipersengketakan oleh masyarakat Desa Riding dengan
PT. BMH. Beberapa kali perundingan telah dilakukan, namun titik temu belum diperoleh.
Kedua pihak masih bersitegang dengan kehendaknya masing-masing. Berdasarkan hasil
wawancara dengan tokoh masyarakat desa, diketahui bahwa total areal PT. BMH yang
diklaim oleh masyarakat seluas 10.000 ha. Hasil musyawarah antara masyarakat dengan
perusahaan diperoleh kesepakatan bahwa perusahaan bersedia untuk membangunkan
sawah untuk masyarakat seluas 2.000 ha, tanaman akasia dengan pola bagi hasil seluas
3.000 ha dan sisanya seluas 5.000 ha diserahkan pemanfaatannya oleh masyarakat
kepada perusahaan. Sejatinya, butir kesepakatan tersebut telah disetujui oleh kedua
belah pihak, namun dalam implementasinya masih terdapat ketidaksepahaman.
Masyarakat menuntut agar sawah seluas 2.000 ha tersebut dibangun serentak dalam satu
tahun, dengan harapan seluruh rumah tangga di desa Riding mendapatkan sawah secara
-
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian
222
bersamaan. Akan tetapi, pihak perusahaan tidak bersedia memenuhi tuntutan tersebut.
Pihak perusahaan bersedia untuk membangunkan sawah seluas 2.000 ha tersebut secara
bertahap, yaitu 200 ha per tahun.
Belum adanya titik temu antara kedua belah pihak yang saling bersengketa,
menyebabkan lahan gambut yang tengah dipersengketakan tersebut sangat rawan
terbakar. Termasuk pada kejadian kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2015, lahan
konflik tersebut menjadi sumber asap. Pada bulan-bulan basah, lahan gambut dimaksud
tampak hijau ditumbuhi semak belukar yang didominasi oleh belukar, belidang (Scleria
terrestris), senduduk (Melastoma malabathricum), dan permudaan gelam (Melaleuca
leucadendron) (lihat Gambar 1). Namun, pasca terbakar lahan-lahan tersebut
dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai areal tanaman padi (padi sonor). Menurut
pengakuan sebagian masyarakat memang perilaku membakar untuk kegiatan budidaya
sonor masih belum bisa ditinggalkan sepanjang belum ada penggantinya.
Gambar 1. Kondisi Tutupan lahan gambut di areal HP di desa Riding, Kabupaten Ogan
Komering Ilir yang tengah dipersengketakan. (a) Tutupan lahan pada saat sebelum
terbakar, (b) Tutupan lahan setelah terbakar (padi sonor)
Tingginya intensitas kebakaran pada areal tersebut menyebabkan turunnya
lapisan permukaan gambut. Hasil pengukuran yang telah dilakukan menunjukkan bahwa
ketebalan lahan gambutnya tidak lebih dari 50 cm. Dibangunnya kanal di sekeliling areal
HP tersebut juga telah menyebabkan turunnya muka air tanah pada saat musim kemarau.
Hasil pengamatan yang dilakukan pada bulan Agustus 2015 (pertengahan musim
kemarau) memperlihatkan bahwa muka air tanahnya lebih dari atau sama dengan 1,5 m.
Sementara itu, lahan gambut yang terdapat di areal yang belum didrainase, yakni
di Area Penggunaan Lain (APL) yang terletak di sekitar areal HP tersebut, kondisinya
relatif lebih tebal, yaitu lebih dari 50 cm. Berdasarkan hasil pengukuran kedalaman muka
air tanah pada areal tersebut diperoleh angka 0,8 m. Artinya muka air tanah pada areal
tersebut relatif lebih dangkal.
Secara umum, tipe vegetasi pada kedua areal tersebut serupa dengan tipe
vegetasi pada lahan areal HP yang tengah dipersengketakan. Vegetasinya didominasi oleh
jenis belidang (Scleria terrestris), senduduk (Melastoma malabathricum), dan gelam
(Melaleuca leucadendron). Kondisi vegetasi demikian mengindikasikan bahwa areal APL
tersebut juga kerapkali terbakar. Karena kondisi muka air tanah yang tidak terlalu dalam,
dapat menjaga kedalaman gambut sehingga volume gambut yang terbakar tidak
sebanyak pada lahan gambut di areal HP yang telah didrainase.
Secara legal, areal APL tersebut kini merupakan area ijin lokasi perkebunan kelapa
sawit. Pada tahun 2011 areal tersebut dilepaskan oleh Kementerian Kehutanan dari areal
Hutan Produksi Konversi (HPK) menjadi APL dan diberikan ijin untuk lahan perkebunan
tebu. Namun, hingga tahun 2015, kegiatan operasional perkebunan di areal tersebut
(a) (b)
-
Aspek Sosial Ekonomi
223
belum dilakukan, ijin lokasi tersebut dicabut oleh Pemerintah Kabupaten OKI, selanjutnya
diberikan ijin kepada perusahaan lainnya sebagai lokasi perkebunan kelapa sawit.
Walaupun secara legal merupakan areal ijin lokasi perkebunan kelapa sawit, namun lahan
tersebut sebagian telah diklaim oleh masyarakat sebagai lahan mereka dan biasanya
digunakan sebagai areal budidaya padi sonor.
Hasil pengamatan yang diutarakan di muka, boleh dikatakan sebagai gambaran
dalam skala mikro, karena sampel kajian yang dipilih pada level desa, tetapi
sesungguhnya dapat memberikan konklusi yang dapat ditarik dalam skala lebih umum.
Salah satunya adalah bukti yang menunjukkan bahwa pola pemanfaatan lahan gambut
yang dilakukan dalam skala kecil oleh masyarakat memang berdampak terhadap
penyusutan ketebalan gambut, akan tetapi penyusutan yang terjadi pada areal kelola
skala kecil tersebut dampaknya lebih kecil dibandingkan dengan pengelolaan lahan
gambut yang dilakukan oleh perusahaan atau masyarakat yang bermodal besar. Karena
pemanfaat lahan gambut skala kecil umumnya tidak cukup modal untuk membangun
kanal guna mengeringkan gambut.
2. Gambaran Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten OKI pada bulan Agustus – Oktober 2015
Berdasarkan data titik api yang timbul pada kejadian kebakaran hutan dan lahan
pada tahun 2015, tampak bahwa sebaran titik-titik api mulai bergerak dari kawasan APL
kemudian pada akhirnya disusul pada kawasan HP (Gambar 2). Fakta tersebut dapat
memberikan informasi bahwa pembakaran lahan mulai pada areal-areal APL dan areal HP
yang tengah menjadi sengketa. Sebaran api pun tak terhindarkan sehingga merambah
hingga ke areal inti HP yang tidak menjadi areal konflik. Beberapa sumber menyebutkan
bahwa kebakaran pada areal HP merupakan rembetan (APHI, 2015). Namun karena
kondisi lahan gambut di dalam areal HP sangat kering, air di dalam kanal pun anjlok
drastis, sehingga areal tersebut menjadi sangat rawan terbakar. Situasi kekeringan
tersebut memberikan pelajaran bahwa pengeringan gambut melalui pembuatan kanal-
kanal, walaupun dilakukan sejenis pengelolaan air agar tidak surut drastis. Pada
realitanya, pengaturan air tersebut tidak mampu mempertahankan ketinggian air untuk
menjaga agar gambut tetap basah karena sekelilingnya dan kubah gambutnya telah
dibelah sehingga tak mampu lagi menyimpan air pada musim kemarau.
Gambar 2. Sebaran titik-titik api (hotspot) pada kejadian kebakaran hutan dan lahan di
wilayah Kabupaten OKI pada tahun 2015.
Sebaran titik panas terbanyak pada awal-awal kejadian kebakaran hutan tahun
2015 terdapat di wilayah Kecamatan Pampangan dan Kecamatan Tulung Selapan (Gambar
0 1000 2000 3000 4000 5000
Agustus
September
Oktober SM
HPT
HPK
HP
HL
APL
-
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian
224
2). Namun pada puncak kebakaran (Oktober 2015), titik api terbanyak terdapat di wilayah
Kecamatan Tulung Selapan dan Air Sugihan (Gambar 3).
Gambar 3. Penyebaran titik-titik panas (hotspots) pada bulan Agustus 2015
di Kabupaten OKI
Gambar 4. Sebaran titik-titik panas pada bulan Oktober 2015 di Kabupaten OKI
3. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Riding
Jumlah penduduk Desa Riding tercatat sebanyak 984 KK dan jumlah total
penduduknya mencapai 3.762 jiwa. Berdasarkan kategori usia, jumlah penduduk terbesar
berada pada kisaran usia 15 – 45 tahun, yaitu 2.361 jiwa atau 62% dari total jumlah
-
Aspek Sosial Ekonomi
225
penduduk. Apabila dibedakan berdasarkan jenis kelaminnya, jumlah penduduk laki-laki
dan perempuan menunjukkan porsi yang berimbang, yakni masing-masing sebanyak 1882
dan 1880 jiwa (Slamet, 2015).
Proporsi jumlah penduduk miskin di Desa Riding relatif lebih tinggi dibandingkan
dengan jumlah penduduk miskin di Kabaupaten OKI secara keseluruhan. Jumlah
penduduk miskin di Desa Riding mencapai 174 KK atau 22% dari jumlah total KK. Adapun,
prosentase penduduk miskin di tingkat Kabupaten OKI pada tahun 2010 sebesar 15%.
Penduduk Desa Riding secara umum menggantungkan hidupnya pada sektor
pertanian, khususnya sub sektor perkebunan. Data yang ditampilkan dalam dokumen
Profil Desa Riding Tahun 2014 menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Desa Riding
bermata pencaharian sebagai petani (900 KK), sisanya tersebar dalam berbagai mata
pencaharian, antara lain: buruh (48 KK), dagang (16 KK), aparatur negara yaitu sebagai
PNS/TNI/POLRI (13 KK) dan mata pencaharian lainnya yang belum termasuk dalam
kategori di muka (7 KK).
Pola budidaya pertanian masyarakat Desa Riding umumnya mirip dengan pola
bertani masyarakat lokal umumnya yang tinggal di wilayah Kabupaten OKI. Pola bertani
mereka adalah berkebun dan komoditi yang dikembangkannya yaitu tanaman karet.
Selama menunggu tanaman karet siap sadap, petani umumnya melakukan praktik
tumpang sari. Praktik demikian biasanya dilakukan pada saat peremajaan tanaman karet
yaitu saat mengganti tanaman karet lama dengan tanaman yang baru. Jenis komoditi
pertanian yang ditanam umumnya adalah padi (pada tahun pertama), kemudian aneka
jenis sayuran (tahun kedua) dan ada pula yang menanam pisang (pada tahun ketiga).
Setelah tanaman karet lebih dari 3 tahun, tajuknya sudah agak rapat sehingga tidak
digunakan untuk tumpang sari.
Penggunaan api dalam proses persiapan lahan untuk meremajakan tanaman karet
masih umum dilakukan oleh masyarakat Desa Riding. Pembakaran dimaksudkan untuk
membersihkan lahan dari semak belukar, daun, ranting dan cabang-cabang pohon karet
tua yang telah ditebang. Menurut penuturan warga setempat, walaupun pembakaran
dilakukan pada saat musim kemarau, namun jarang sekali api pada proses pembakaran
tersebut merembet ke tempat lain. Karena pembakaran dilakukan secara bertahap,
sedikit demi sedikit dan di sekeliling kebun telah dibuat sekat bakar. Selain itu, proses
pembakaran pun senantiasa diawasi dan dijaga agar api tidak merembet ke tempat lain.
Hasil pemantauan lapangan juga memperlihatkan bahwa penggunaan api oleh
masyarakat dalam proses permudaan tanaman karet masih menjadi pola yang belum
ditinggalkan. Walaupun demikian, tampak bahwa api hanya menghanguskan areal yang
memang hendak dibakar.
Budaya membakar dalam kegiatan berkebun pada tanah mineral juga dilakukan
oleh masyarakat pada lahan rawa yang telah mengering. Walaupun telah ada maklumat
larangan membakar namun sepertinya aturan tersebut belum sepenuhnya ditaati.
Penggunaan api untuk menghilangkan semak pada areal tegakan hutan sekunder gelam
juga merupakan salah satu sumber api yang dapat menyebabkan kebakaran pada lahan
rawa gambut. Adanya aktivitas di dalam kawasan hutan rawa gambut juga meningkatkan
potensi terbakarnya lahan dan hutan rawa gambut. Keteledoran dalam membuang
puntung rokok saat mencari kayu gelam juga dapat memicu terjadinya kebakaran lahan
dan hutan rawa gambut, khususnya pada saat lapisan gambut sangat kering dan
hembusan angin yang cukup kencang.
-
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian
226
Kayu gelam telah menjadi harapan hidup bagi sebagian masyarakat Desa Riding
yang bermukim di Dusun III yang tersebar di beberapa pemukiman, yaitu di Muara
Penyabungan, Rengas Potong, Rengas Merah dan Muara Biyuku. Mereka memanen kayu
gelam dari tegakan alam yang tersebar di sekitar dan di dalam areal konsesi IUPHHK-HTI
PT. BMH dan dalam kawasan Suaka Margasatwa Padang Sugihan. Ukuran kayu gelam
yang ditebang bervariasi dari ukuran diameter pangkal 5 cm hingga di atas 20 cm. Kayu
gelam ukuran diameter 5 cm panjang 4 m dijual pengumpul kepada pedagang pengepul
seharga Rp3.000,- per batang. Harga kayu gelam dengan ukuran panjang yang sama (4 m)
dan ukuran diameter 7 cm dan 12 cm, berturut turut adalah Rp 5.000,- dan Rp 10.000,-
per batang. Pengumpul kayu gelam biasanya berkelompok empat hingga lima orang. Hal
ini untuk meringankan biaya pengangkutan kayu gelam dari dalam hutan ke pinggir jalan
Desa. Sarana pengangkut kayu gelam dari dalam hutan ke pinggir jalan tersebut
menggunakan roda yang ditarik oleh mesin hand tracktor.
Kondisi perekonomian yang sedang terpuruk saat ini juga berimbas terhadap
menurunnya harga komoditas getah karet dan kelapa sawit diduga dapat berdampak
terhadap kelestarian tegakan gelam. Jumlah permintaan dan harga kayu gelam yang
relatif stabil dapat berpotensi menarik minat para para penyadap karet upahan untuk
beralih menjadi pengumpul gelam. Hasil investigasi kami di lapangan dapat mengungkap
bahwa para pencari gelam yang bermukim di wilayah Rengas Potong, tidak hanya warga
asli Desa Riding tetapi mereka pendatang dari wilayah Sirah Pulau (SP) Padang (salah satu
wilayah Kecamatan di Kabupaten OKI).
Hal yang akan menjadi faktor penentu keberlanjutan sumber pendapatan
masyarakat pengumpul gelam adalah kelestarian tegakan gelam di hutan alam. Jika hanya
mengandalkan tegakan alam tanpa adanya upaya budidaya dan pengaturan ekstraksi
maka berpotensi menghadapi kehilangan pendapatan dari gelam. Untuk itu, eksplotasi
gelam oleh masyarakat ini juga perlu diatur agar mampu menjamin kelestarian
pendapatan mereka. Selain itu, eksploitasi kayu gelam dari dalam kawasan Suaka
Margasatwa Sugihan perlu dihentikan untuk menjaga habitat satwa di dalamnya dan
meminimalkan potensi kebakaran hutan rawa gambut di dalam kawasan SM (Suaka
Margasatwa) tersebut.
Seperti telah disinggung di muka, meskipun wilayah Desa Riding sangat luas,
namun sebagian besar arealnya berupa Kawasan Hutan. Areal yang dikelola secara
intensif oleh masyarakat dan telah dibebani Hak Milik tidak lebih dari 13.000 ha. Areal
tersebut umumnya digunakan sebagai tanah sawah/pertanian (383 ha), pekarangan (22
ha), tegalan (10.465 ha) dan perkebunan (1.537 ha). Selebihnya, sekitar 80% areal Desa
Riding adalah berupa kawasan Hutan Produksi (HP), Hutan Konservasi (HK), dan Areal
Penggunaan Lain (APL). Kawasan HP tersebut saat ini telah menjadi areal konsesi IUPHHK-
HTI PT. Bumi Mekar Hijau (PT. BMH), Sinar Mas Group. Adapun, HK merupakan bagian
dari kawasan Suaka Margasatwa Padang Sugihan.
Sebagian besar responden berpandangan bahwa cara mengolah lahan gambut
untuk bisa ditanami adalah dengan cara membakar. Dengan adanya larangan membakar
maka mereka berharap ada bantuan dari pemerintah untuk mengolah lahan rawa
tersebut. Terkait dengan upaya pencegahan kebakaran lahan rawa gambut, Proyek
Penanggulangan dan Pencegahan Kebakaran Hutan yang didanai oleh Uni Eropa (South
Sumatra Forest Fire Management Project) telah mengimplementasikan beberapa
program pembangunan di Desa Riding, yakni pendidikan lingkungan bagi anak sekolah,
pemetaan partisipatif lahan desa, dan pemberdayaan masyarakat. Upaya pemberdayaan
-
Aspek Sosial Ekonomi
227
yang dilaksanakan di Desa Riding adalah usaha penggemukan kerbau. Namun program
tersebut dapat dikatakan tidak berhasil, kerbau bantuan dari proyek tersebut bukannya
digulirkan di dalam kelompok tani melainkan dijual. Program serupa telah dicoba oleh
Manggala Agni melalui program penggemukan kambing etawa. Namun program tersebut
juga belum mampu meminimalkan kebakaran hutan dan lahan.
B. Pembahasan
Berdasarkan uraian hasil penelitian di muka tampak bahwa kejadian kebakaran
hutan dan lahan gambut seiring dengan dinamika pada sistem lingkungan yaitu
terganggunya keseimbangan ekosistem rawa gambut. Gangguan terhadap keseimbangan
ekosistem gambut disebabkan oleh aktivitas dan dinamika yang terjadi pada sistem
ekonomi. Sistem ekonomi yang terjadi dalam skala rumah tangga terkait dengan proses
produksi dan konsumsi atas barang dan jasa oleh rumah tangga yang tergambar dalam
pemanfaatan lahan gambut. Dalam kasus pemanfaatan lahan gambut di desa Riding,
Kabupaten OKI, rumah tangga memproduksi barang konsumsi berupa beras melalui
aktivitas budidaya padi sonor. Pada skala perusahaan, juga terjadi proses eksploitasi lahan
gambut oleh firma yang tujuannya juga memproduksi barang konsumsi. Jenis barang
konsumsi yang diproduksi oleh perusahaan adalah barang setengah jadi (intermediate
goods) yaitu kayu bahan baku pulp dan kertas.
Kedua jenis proses produksi baik yang dilakukan oleh rumah tangga maupun
perusahaan oleh bidang statistik dicatat dan dijumlahkan secara agregat dalam skala
regional kabupaten atau provinsi sebagai nilai PDRB. Namun dampak lingkungan yang
ditimbulkannya berupa kekurangan air dan kerugian akibat bencana asap luput dari
perhitungan. Sebagai contoh bencana pencermaran asap yang tergolong ekstrim pada
kejadian kebakaran hutan dan lahan di Sumatera Selatan pada tahun 2015 diprediksi
dapat menyebabkan kematian penduduk hingga 100.300 jiwa yang tersebar di Indonesia,
Malaysia dan Singapura (Koplitz et al., 2016). Biaya korban asap seperti itu yang tidak
dikalkulasikan dalam neraca pendapatan konvensional.
Mengざhijauざkan neraca pendapatan dapat diartikan sebagai upaya untuk meminimalkan limbah yang dibuang ke sistem lingkungan (polusi) (Douthwaite, 1999).
Oleh karena itu dalam konteks bencana kabut asap, maka pencegahan kebakaran hutan
dan lahan merupakan langkah menuju pengurangan limbah sehingga pertumbuhan yang
diraih oleh sistem ekonomi lebih ramah lingkungan, atau secara singkat dikenal sebagai
pertumbuhan hijau.
Dalam konteks pertumbuhan hijau, meminimalkan polusi juga selayaknya tidak
menyebabkan pengurangan serapan tenaga kerja. Oleh karena itu, pertumbuhan tetap
diperkenankan dengan disertai upaya-upaya mengurangi polusi. Salah satu yang dapat
dilakukan adalah dengan cara menerapkan pola produksi (budidaya) yang bersifat efisien
terhadap bahan baku dan praktik-praktik budidaya yang tidak mengganggu keseimbangan
alam.
Internalisasi eksternalitas (dampak positif dan negatif) pembangunan ekonomi
dapat memperbaiki performa perekonomian (Reilly, 2012). Internalisasi eksternalitas
negatif ke dalam penghitungan pendapatan ekonomi menghasilkan gambaran
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (pertumbuhan hijau). Dalam kasus yang
terjadi di desa Riding adalah timbulnya eksternalitas berupa bencana asap yang
disebabkan oleh kebakaran yang terkait dengan aktivitas ekonomi pada lahan gambut,
yakni sonor oleh rumah tangga dan produksi bahan baku pulp & kertas oleh perusahaan.
-
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian
228
Pencegahan kebakaran adalah upaya untuk mengurangi eksternalitas tersebut, sehingga
pertumbuhan ekonomi hijau dapat dicapai.
IV. KESIMPULAN
Kebakaran lahan dan hutan terjadi berulang pada lahan gambut yang tidak
dikelola dengan baik karena beberapa alasan. Konflik pada kawasan hutan dan lahan
gambut menyebabkan lahan yang disengketakan tidak dapat dikelola dan menjadi rawan
terbakar di musim kemarau. Manipulasi dan modifikasi lingkungan gambut melalui
pembangunan kanal menimbulkan masalah baru yang menyebabkan lahan gambut
semakin terancam bahaya kebakaran pada musim kemarau. Di sisi lain, praktik pertanian
sonor di lahan gambut masih sederhana dengan input sumberdaya yang rendah dan
masih mengandalkan areal bekas terbakar sebagai lokasinya. Hal ini menunjukkan api
masih menjadi media penting dalam kegiatan produksi pertanian di lahan gambut dan
belum ada alternatif penggantinya.
Dinamika pada sistem ekonomi dalam lingkup Desa Riding menunjukkan adanya
aktivitas pemanfaatan lahan gambut oleh masyarakat sebagai lahan budidaya padi sonor
dan oleh perusahaan sebagai lahan pengembangan produk kayu bahan baku pulp dan
kertas. Dinamika pada sistem ekonomi tersebut telah mengakibatkan degradasi pada
sistem lingkungan berupa penyusutan lahan gambut dan meningkatnya kerawanan lahan
rawa gambut karena orientasi pada manfaat finansial ekonomi dengan mengesampingkan
pertimbangan lingkungan.
Dinamika kegiatan sosial ekonomi masyarakat masih mengandalkan lahan sebagai
sumber utama penggerak perekonomian masyarakat dan rumah tangga. Upaya
pelarangan pembakaran lahan gambut tanpa disertai alternatif upaya pengelolaan lahan
tanpa bakar menurut masyarakat bukan menjadi upaya pencegahan kebakaran yang
solutif. Salah satu hal mendasar dalam mencari solusinya adalah menempatkan
masyarakat menjadi aktor utama dalam pengelolaan gambut dan bukan menjadi obyek.
Evaluasi terhadap berbagai program pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan
dan lahan perlu dilakukan untuk mengetahui hal-hal yang perlu diperbaiki. Sentuhan
teknik pengelolaan lahan gambut yang lebih baik belum ada pada level masyarakat
sedangkan teknik pengeloaan lahan gambut oleh korporasi terbatas hanya meliputi areal
yang dikelolanya sehingga pengelolaan lahan gambut berkelanjutan dalam konteks
lansekap kesatuan hidrologi gambut belum dilakukan. Konsep pengelolaan gambut dalam
satu wilayah hendaknya mengintegrasikan kepentingan ekonomi, sosial, budaya dan
ekosistem secara komprehensif. Upaya tersebut dapat dilakukan salah satunya dengan
mengadopsi konsep green growth dalam pengelolaan lahan gambut secara terpadu.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih Kepada Balai Penelitian dan Pengembangan
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) Palembang yang telah mendanai kegiatan
penelitian sehingga memungkinkan didapatkan data untuk penulisan tulisan ini. Ucapan
terima kasih juga kami sampaikan kepada Kepala Dinas, Kabid Perlindungan Hutan, Kasie
Pencegahan Kebakaran Hutan di Dinas Kehutanan Kabupaten Ogan Komering Ilir, Kadaop
Manggala Agni Daop Kayu Agung beserta anggotanya, Kades Riding, Kadus II Riding,
Penyuluh Kehutanan dan Perkebunan Kecamatan Pangkalan Lampam dan segenap
masyarakat Desa Riding, Kecamatan Pangkalan Lampam, Kabupaten OKI.
-
Aspek Sosial Ekonomi
229
DAFTAR PUSTAKA
Chokkalingan, U., Suyanto, R. P. Permana, I. Kurniawan, J. Mannes, A. Darmawan, N.
Khususyiah, R. H. Susanto. 2007. Community fire use, resource change, and
livelihood impacts: The downward spiral in the wetlands of southern Sumatra.
Mitigation and Adaptation Strategy for Global Change (2007) 12: 75 – 100. Daly, H.E. 2007. Ecological Economics and Sustainable Development, Selected Essays of
Herman Daly. Edward Elgar, Cheltenham, UK, Northampton, MA, USA.
Douthwaite, R. 1999. The need to end economic growth, Dalam M. S. Cato, & M. Kennett
(Eds.) Green Economics: Beyond Supply and Demand to Meeting Human Needs.
Aberystwyth: Green Audit.
Ga┗eau, D.L.A., M. A. “aliマ, K. HergoualIげh, B. LoIatelli, “. “loaミ, M. Wooster, M. E. Marlier, E. Molidena, H. Yaen, R. DeFries, L. Verchot, D. Murdiyarso, R. Nasi, P.
Holmgren & D. Sheil. 2014. Major atmospheric emissions from peat fires in
Southeast Asia during non-drought years: evidence from the 2013 Sumatran fires.
Scientific Report. 4 (6112): 1 – 7. Koplitz, S. N., L. J. Mickley, M. E. Marlier, J. J. Buonocore, P. S. Kim, T. Liu, M. P. Sulprizio,
R. S. DeFries, D. J. Jacob, J. Schwartz, M. Pongsiri, & S. S. Myers. 2016. Public
health impacts of the severe haze in Equatorial Asia in September – October 2015: demonstration of a new framework for informing fire management strategies to
reduce downwind smoke exposure. Environmental Research Letters, 11 (2016)
094023: 1 – 10. Reilly, J.M. 2012. Green growth and the efficient use of natural resources. Energy
Economics, 34 (2012): S85–S93. Setijono, D. 2004. Kehidupan Masyarakat dan Kaitannya dengan Kebakaran Lahan
Rawa/Gambut di Kabupaten Ogan Komering Ilir – Provinsi Sumatera Selatan. Dalam Suyanto, U. Chokkalingam & P. Wibowo (Eds.). Prosiding Semiloka
Kebakaran di Lahan Rawa/Gambut di Sumatera: Masalah dan Solusi. 47 – 61. Slamet, H. 2015. Profil Desa Riding, Kecamatan Pangkalan Lampam, Kabupaten Ogan
Komering Ilir. Balai Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan Pangkalan
Lampam, Kabupaten Ogan Komering Ilir.
-
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian
230
-
Aspek Sosial Ekonomi
231
KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAS UNTUK MENDUKUNG
KELESTARIAN DAS MUSI
Nur Arifatul Ulya Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
DAS Musi ditetapkan sebagai salah satu DAS prioritas dalam RPJMN 2015 - 2019 maupun dalam SK
Menhut No SK.328/Menhut-II/2009 karena kondisinya yang kritis. Banyaknya pemangku kepentingan
dengan beragam latar belakang dan cara pandang menjadi salah satu penyebab tidak lestarinya
pengelolaan DAS Musi yang mengarahkan pada kerusakan DAS. Bentuk kelembagaan bersama (dalam
bentuk forum/badan koordinasi) merupakan alternatif yang paling memungkinkan dalam
pembentukan kelembagaan pengelolaan DAS saat ini. Forum koordinasi DAS Musi yang berubah
menjadi FDAS Sumsel tahun pada tahun 2015 diharapkan menjadi wadah yang terstruktur dan
independen dari perwakilan para pihak yang terlibat dalam pengelolaan DAS Musi untuk saling
berkomunikasi, berkonsultasi dan berkoordinasi dalam rangka pengelolaan DAS Musi secara lestari.
Kelembagaan koordinasi DAS Musi perlu mengadopsi kolaborasi bersarang yang mengkordinasikan
micro-macro watershed, karena DAS Musi mempunyai lingkup DAS yang berjenjang. Kolaborasi ini
seyogyanya dilembagakan dalam bentuk aturan.
Kata kunci: DAS prioritas, kolaborasi, koordinasi, pemangku kepentingan
I. PENDAHULUAN
Jumlah Daerah Aliran Sungai (DAS) Prioritas dari waktu ke waktu terus bertambah.
Jumlah DAS Prioritas pada tahun 1970 adalah 22 DAS, tahun 1980-an menjadi 36 DAS dan
1999 semakin meningkat, menjadi 60 DAS. Peningkatan jumlah DAS Prioritas
menunjukkan bahwa pengelolaan DAS yang dilakukan selama ini belum tepat sasaran.
Pengelolaan yang kurang tepat sasaran diindikasikan oleh tingkat kekritisan suatu DAS.
Tingkat kekritisan DAS ditunjukkan oleh penurunan penutupan vegetasi permanen dan
meningkatnya luasan lahan kritis sehingga menurunkan kemampuan DAS dalam
menyimpan air. Akibatnya terjadi peningkatan frekuensi banjir, erosi dan tanah longsor
pada musim penghujan dan kekeringan pada musim kemarau. Areal berhutan sekitar
96,490.8 juta hektar (51,53% dari luas daratan). Angka deforestasi tahun 2012 - 2013
sekitar 727.981,2 hektar. Luas lahan kritis pada tahun 2013 adalah 24.303.294 hektar
(Kementerian Lingkugan Hidup dan Kehutanan, 2015). Erosi daerah pertanian lahan
kering yang padat penduduk pada angka yang tinggi, melebihi yang dapat ditoleransi (15
ton/ha/th), sehingga fungsi DAS dalam mengatur siklus hidrologi mengalami penurunan
(Ekawati, 2015).
Penurunan kemampuan DAS dalam menjalankan fungsinya berdampak negatif
pada kualitas hidup manusia, sehingga diperlukan upaya perbaikan kondisi DAS.
Perbaikan kondisi DAS yang menyangkut hajat hidup masyarakat Indonesia diakomodir
pemerintah dalam rencana pembangunan nasional. Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2015 - 2019 mencantumkan 15 DAS (Daerah Aliran
Sungai) prioritas untuk dipulihkan dalam jangka waktu tahun 2015 sampai 2019. DAS
prioritas untuk dipulihkan berada di Pulau Jawa, Sumatera, Nusa Tenggara Barat,
Kalimantan, dan Sulawesi. DAS prioritas yang berada di Pulau Sumatera adalah DAS
-
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian
232
Asahan Toba, Siak, Musi, Way Sekampung, dan Way Seputih. DAS Musi termasuk salah
satu DAS prioritas untuk dipulihkan dalam kurun waktu 2015 - 2019.
Penetapan DAS Musi sebagai DAS prioritas juga terdapat dalam SK Menhut No
SK.328/Menhut-II/2009. DAS Musi dengan luas sekitar 8,6 juta hektar merupakan salah
satu dari 108 DAS di Indonesia yang ditetapkan melalui SK Menhut No SK.328/Menhut-
II/2009 sebagai DAS prioritas karena kondisinya yang kritis. Kondisi ini diindikasikan dari
luas lahan kritis dengan kategori agak kritis hingga sangat kritis yang mencapai 1,7 juta
hektar (BPDAS Musi, 2011). Indikasi lainnya adalah luas tutupan hutan di Sumatera
Selatan yang tersisa adalah 1.346,8 hektar (± 15,6% dari luas wilayah Sumatera Selatan).
Tekanan terhadap DAS Musi cenderung bersifat antropogenik. Data BPS Provinsi
Sumatera Selatan (2015) menunjukkan bahwa jumlah penduduk Sumatera Selatan yang
meningkat dari waktu ke waktu dengan jumlah 7.941.495 pada tahun 2014 (meningkat
1,44% dari tahun 2013). Jumlah penduduk yang terus meningkat membutuhkan air dan
lahan yang juga meningkat dari waktu ke waktu. BPS Provinsi Sumatera Selatan (2015)
menyatakan bahwa empat sektor utama penyumbang PDRB Sumatera Selatan, yaitu
sektor pertambangan dan penggalian, sektor pertanian, perkebunan dan perikanan,
sektor industri pengolahan dan sektor konstruksi. Keempat sektor utama di Sumatera
Selatan berkaitan erat dengan lahan dan wilayah DAS. Kebutuhan akan lahan untuk
budidaya maupun infrastruktur dalam rangka pembangunan ekonomi memberikan
tekanan pada sumberdaya hutan melalui kegiatan konversi hutan yang mengancam
tutupan lahan di wilayah DAS Musi. Industrialisasi memberikan kontribusi pada
menurunnya kualitas air dan kualitas lingkungan secara umum di DAS Musi. Perbedaan
cara pandang dari pemangku kepentingan yang terkait dengan DAS Musi juga
berkontribusi pada penurunan kualitas lingkungan DAS Musi.
DAS Musi memberikan berbagai manfaat dalam pengelolaannya berkaitan dengan
banyak pemangku kepentingan. Pemangku kepentingan yang berkaitan dengan
pengelolaan DAS Musi berasal dari berbagai sektor dengan cara pandang yang beragam
terhadap DAS. Kondisi ini berpotensi memperburuk kondisi DAS apabila tidak diikuti
upaya untuk menjembatani ber