aspek sosial ekonomi · 2020. 5. 30. · aspek sosial ekonomi 201 desa pertumbuhan hijau...

106
Aspek Konsevasi dan Lingkungan 199 ASPEK SOSIAL EKONOMI

Upload: others

Post on 31-Jan-2021

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • Aspek Konsevasi dan Lingkungan

    199

    ASPEK SOSIAL EKONOMI

  • Prosiding Ekspose Hasil Penelitian

    200

  • Aspek Sosial Ekonomi

    201

    DESA PERTUMBUHAN HIJAU BERKEMAKMURAN: KRITIK IDEOLOGIS DAN ALTERNATIF

    PEMBANGUNAN LOKAL

    Lukas Rumboko Wibowo*, Ismatul Hakim, Yadi, Triyono Puspitojati,

    Aneka Prawesti Suka, Dewi Ratna Kurniasari dan Fitri Nurfatriani

    Pusat Litbang Sosial Ekonomi Kebijakan dan Perubahan Iklim

    *E-mail: [email protected]

    ABSTRAK

    Ideologisasi paradigma pembangunan dengan menempatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi telah

    menjadi semacam keyakinan tunggal bagi banyak bangsa negara berkembang. Kegagalan ideologi

    pembangunan ekonomi melalui pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam memproduksi keadilan dan

    kesejahteraan dan keberlanjutan adalah pertanda bahwa ideologi ini telah usang dan harus menjadi

    titik poin penting refleksi untuk mencari jalan alternatif ideologi pembangunan ekonomi yang lebih

    bermartabat dan berkelanjutan. Desa pertumbuhan hijau berkemakmuran hadir tidak hanya sebagai

    alternatif pembangunan lokal tetapi merupakan salah satu bentuk kritik ideologis pembangunan

    krusial yang perlu dilembagakan di tingkat lokal. Desa Pertumbuhan Hijau Berkemakmuran adalah

    konsep pembangunan desa yang sudah saatnya di introdusir dan dikembangkan oleh Kementerian

    Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Secara esensial, desa pertumbuhan hijau berkemakmuran bukan

    hanya sekedar konsep, ide atau gagasan tetapi sebuah wacana tandingan dan ideologi alternatif

    pembangunan lokal yang lebih bermartabat dengan menempatkan warga desa dan pemerintahan

    desa sebagai subyek pembangunan. Dan yang lebih penting lagi, desa pertumbuhan hijau juga harus

    dimaknai sebagai gerakan sosial untuk menggerakan tindakan kolektif warga dalam mewujudkan

    pembangunan desa yang mandiri, berkelanjutan dan berkesejahteraan. Selain menggerakan warga

    juga meminta kelancaran birokrasi pemerintah pusat untuk mendukung dan melembagakan idiologi

    pembangunan lokal tersebut.

    Kata kunci: Pembangunan ekonomi, ideologi alternatif dan pembangunan lokal

    I. LATAR BELAKANG

    Kegagalan dan kejatuhan politik Orde Baru, sesungguhnya juga tidak bisa

    dilepaskan oleh model dan pendekatan pembangunan yang dijalankan ketika itu.

    Paradigma pembangunan ekonomi yang mengedepankan pada pertumbuhan ekonomi

    yang tinggi dengan mengandalkan sektor ekstraktif dan industri padat modal sebagai

    leading sectors serta mempercayakan sekelompok kecil pelaku ekonomi untuk menjadi

    aktor utama pembangunan, telah membuat fundamental ekonomi kita rapuh. Kontrol

    usaha bisnis dari kelompok kecil konglomerasi yang mengendalikan bisnis dari lembaga

    keuangan negara yang lemah, telah memperburuk kondisi perekonomian ketika krisis

    melanda sekitar tahun 1998, yang menjalar menjadi krisis politik. Ritzer dalam Baudrillard

    (1998), menegaskan pertumbuhan tidak mampu membawa masyarakat lebih sejahtera,

    tetapi justru mereproduksi kemiskinan struktural.

    Belajar dari kasus pendekatan ekonomi pembangunan tersebut, yang justru hanya

    melahirkan kesenjangan dan keruntuhan politik, komitmen politik kuat dari Presiden

    Jokowi untuk melakukan dekonstruksi paradigma pembangunan ekonomi yang

    menempatkan desa sebagai basis paling dasar dalam pembangunan sesuai dengan

    Nawacita, perlu didukung dan terus dikembangkan. Tanpa ada dukungan dari berbagai

    pihak, termasuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pembangunan

    dari piミggiraミ haミya akaミ マeミjadi さマitos daミ retorika politikざ. PeマHaミguミaミ ekoミoマi yang selama ini bias urban, telah mereproduksi desa bukan sebagai pusat pertumbuhan

  • Prosiding Ekspose Hasil Penelitian

    202

    ekonomi tetapi sebagai pusat pasar dari industri-industri yang ada di kota. Transformasi

    masyarakat desa pun tidak terelakan lagi, dari masyarakat produsen menjadi consumer

    society (Jean Baudillard 1998; Ulrich Beck 2006). Di sisi lain, paradigma pembangunan

    desa sebagai pusat produksi komoditas pertanian untuk memenuhi kebutuhan orang kota

    tetap terus dipertahankan, tanpa disertai dengan kebijakan insentif yang diperlukan bagi

    pengembangan desa. Bahkan, pemerintah justru terus melakukan pengurangan insentif

    bagi petani, sebagai dampak dari liberalisasi sektor pertanian, akibatnya banyak petani

    yang meninggalkan pekerjaannya dan kehilangan lahan pertaniannya.

    Koマitマeミ politik uミtuk マelakukaミ けげHijrahげげ politik peマHaミguミaミ pertaミiaミ dari industri yang berbasis di kota dengan menempatkan desa sebagai さcenter of growth and de┗elopマeミtげげ adalah laミgkah politik ekoミoマi yaミg tepat マeミgiミgat masyarakat kita lebih dari 60% menggantungkan hidupnya dari pertanian. Berbagai program

    pembangunan yang berbasis desa, seperti ekowisata, atau program-program

    pemberdayaan lainnya, adalah secara umum belum mampu mendorong pertumbuhan

    desa dan memakmurkan warga desa secara signifikan, karena pendekatannya tidak

    berbasis komunitas, masih parsial, tidak terintegrasi dengan program pembangunan desa

    dan tidak terkoneksi dengan jaringan ekonomi eksternal, terutama bagi desa-desa di land

    locked areas (Sachs, Mellinger, dan Gallup, 2001).

    II. KRITIK IDEOLOGIS PEMBANGUNAN

    Desa pertumbuhan hijau berkemakmuran hadir tidak hanya sebagai alternatif

    pembangunan lokal, tetapi sebagai kritik ideologi pembangunan krusial, yang selama ini

    dijalankan di banyak negara, terutama negara-negara yang sedang berkembang. Menurut

    Morishima (2004) ideologi didefinisikan sebagai sistem keyakinan yang mengikat orang

    bersama-sama ke pengelompokan sosial. Tidak juah berbeda, Sarbini (2005) menegaskan

    bahwa ideologi adalah sebuah istilah yang lahir pada akhir abad ke-18 atau tahun 1796

    yang dikemukakan oleh filsuf Perancis bernama Destutt de Tracy dan kemudian dipakai

    Napoleon. Istilah itu berasal dari dua kata ideos yang berarti gagasan, dan logos yang

    artinya ilmu. Ideologi ini tidak sekedar gagasan, melainkan gagasan yang diikuti dan

    dianut sekelompok besar manusia atau bangsa, sehingga ideologi bersifat mengerakkan

    manusia untuk merealisasikan gagasan tersebut.

    Ideologisasi paradigma pembangunan dengan menempatkan pertumbuhan

    ekonomi yang tinggi telah menjadi semacam keyakinan tunggal bagi banyak bangsa

    negara berkembang. Beberapa tokoh penting proponen pertumbuhan ekonomi sebagai

    satu-satunya jalan pembangunan ekonomi rasional bagi negara-negara berkembang

    diantaranya Harrod-Domar, Nurkse, Kuznets, Prebisch, Rostow, Meir, Lewis, serta

    Hirschman. Mereka umumnya telah mereduksi makna pembangunan ekonomi sebagai

    identikal dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Meir (1984) misalnya, menyamakan

    pembangunan dengan pertumbuhan riil pendapatan per kapita. Restiyanto, dan Yusroni

    (2006) menyatakan bahwa kelemahan ideologi pertumbuhan ekonomi yang tinggi,

    ternyata mengabaikan masalah distribusi pendapatan nasional, sehingga timbul masalah

    kemiskinan, penganguran, kesenjangan pembagian pendapatan, urbanisasi, (Suradi,

    2012) dan kerusakan lingkungan. Bahkan, ideologi pertumbuhan ekonomi justru telah

    memunculkan konglomerasi yang terisolir relasinya dengan masyarakat miskin

    (Firmansyah dan Gunawan 2007; Zaini 2010). Akibatnya, bagi Zaini (2010), kekayaan

    sumberdaya alam (SDA) yang menjadi basis kegiatan ekonomi produksi tidak menjadikan

  • Aspek Sosial Ekonomi

    203

    masyarakat sejahtera tetapi sebaliknya membuat masyarakat semakin sengsara akibat

    konflik dan permasalahan komplek lainnya. Pranadji (2005) mengingatkan bahwa

    pertumbuhan ada batasnya (limit to growth) sehingga eksploitasi yang berlebihan dan tak

    terkendali terhadap SDA akan berujung bencana (resource curse) bukan menjadi berkah.

    III. ALTERNATIF PEMBANGUNAN LOKAL

    Dalam kontek tersebut, maka sudah saatnya kita mereformulasi, merevitalisasi

    dan me-rebranding desa kembali, sebab selama ini desa telah begitu besar berkontribusi

    tidak saja terhadap pembangunan ekonomi, tetapi juga pembangunan demokrasi politik

    melalui partisipasi warga dalam setiap Pemilihan Umum. Warga desalah yang selama ini

    terus memberikan subsidi demokrasi. Mereka rela berbondong-bondong mendatangi

    tempat pemungutan suara untuk memberikan suaranya sementara banyak kalangan

    terdidik justru melakukan penggembosan politik melalui gerakan golongan putih.

    Dalam suatu kesempatan Chalid Muhammad (2014) pada suatu seminar

    menegaskan bahwa kalau kita mampu menjadikan desa sebagai penggerak pembangunan

    ekonomi, maka pertumbuhan ekonomi tidak akan sulit dicapai. Data statistik

    menunjukkan bahwa ada lebih dari 74,000 desa dan sekitar 30,000 desa yang terletak di

    pinggiran dan di dalam kawasan hutan. Jumlah desa yang besar ini adalah potensi besar

    untuk dikembangkan sebagai basis pertumbuhan ekonomi nasional dengan tanpa

    mengabaikan keberlanjutan dan kelestarian lingkungan serta kesejahteraan masyarakat

    desa.

    Desa Pertumbuhan Hijau Berkemakmuran adalah konsep pembangunan desa yang

    sudah saatnya diperkenalkan dan dikembangkan oleh Kementerian LHK. Secara esensial,

    desa pertumbuhan hijau berkemakmuran bukan hanya sekedar konsep, ide atau gagasan

    tetapi adalah sebuah wacana tandingan dan ideologi alternatif pembangunan lokal yang

    lebih bermartabat dengan menempatkan warga desa dan pemerintahan desa sebagai

    subyek pembangunan. Dan yang lebih penting lagi, desa pertumbuhan hijau juga harus

    dimaknai sebagai gerakan sosial untuk menggerakan tindakan kolektif warga dalam

    mewujudkan pembangunan desa yang mandiri, berkelanjutan dan berkesejahteraan.

    Selain menggerakan warga juga menggerakan birokrasi suprastruktur untuk mendukung

    dan melembagakan idiologisasi pembangunan lokal tersebut.

    Konsep desa ini sesungguhnya sudah jelas yakni mecoba mendorong desa menjadi

    penggerak utama pembangunan ekonomi dengan mengedepankan low-carbon emission

    development, mendorong partisipasi kritis warga, meningkatkan produktivitas warga

    melalui optimalisasi pengelolaan asset desa (bio-fisikal dan social capital), pengembangan

    kapasitas warga dan mendorong tata kelola pemerintahan desa yang demokratis,

    transparan, akuntabel dan responsif (good-village governance). Sedangkan out-putnya

    adalah adanya model desa pertumbuhan berkemakmuran hijau. Sedangkan impaknya

    jelas untuk mendorong tata kelola desa yang demokratis dan memberdayakan warga bagi

    kemakmuran warga secara keseluruhan.

    IV. PENDEKATAN DAN PELEMBAGAAN DESA PERTUMBUHAN

    HIJAU BERKEMAKMURAN

    Transplantasi ideologi alternatif pembangunan lokal melalui desa pertumbuhan

    hijau berkemakmuran tentunya memerlukan pendekatan yang tidak konservatif melalui

    proses birokratisasi yang bersifat top-down, tetapi melalui pendekatan yang lebih

  • Prosiding Ekspose Hasil Penelitian

    204

    menekankan fleksibilitas dengan mengutamakan dialog partisipatif warga, lobby dan studi

    banding untuk meyakinkan warga. Yang perlu diingat bahwa desa pertumbuhan hijau

    berkemamuran adalah konsep ideologi dan resep yang kaku, tetapi walaupun demikian

    resep ini harus dibangun bersama warga desa dan pemerintahan desa sehingga bisa

    bersenyawa dengan tata nilai dan keyakinan warga sebagai gagasan dan cita-cita yang

    perlu diwujudkan bersama. Terkait dengan lobby politik dengan para pejabat

    pemerintahan provinsi, kabupaten dan desa adalah salah satu pendekatan penting untuk

    mainstreaming di tingkat pemerintahan desa, kabupaten, dan provinsi. Setelah

    melakukan proses dialog warga dan lobby politik, secara teknis, langkah-langkah

    mewujudkan desa pertumbuhan hijau berkemakmuran secara khusus dapat dilakukan

    melalui berbagai aktifitas, dalam kerangka untuk melihat dan menganalisis baseline data

    atau status terkini dari kondisi sosial ekonomi dan biofisik desa. Rangkaian kegiatan

    dalam tahapan ini meliputi antara lain melakukan pemetaan biofisik desa, asset desa dan

    kapasitas desa serta social seperti kelembagaan desa, fragmentasi desa dan struktur

    sosial dan relasi tatakuasa desa. Kegiatan tahapan ini dilakukan secara partisipatif.

    Tahapan berikutnya merupakan tahapan transisional dimana memfasilitasi desa dan

    warga untuk menciptakan atau membangun program bersama dengan tujuan untuk

    penguatan partisipasi warga, demokrasi desa dan good village governance, serta

    pengelolaan asset mereka serta penguatan kapasitas kelembagaan desa. Arah dari

    kegiatan ini adalah bagaimana membangkitkan simpul-simpul potensi ekonomi desa

    dengan basis pengelolaan sumber daya alam mereka secara lestari. Ruang lingkup

    pembangkitan ekonomi ini meliputi tiga azas, yakni dalam kegiatan off farm seperti

    pembuatan roti, penggilingan padi, on farm, seperti agroforestry dan non farm seperti

    pengembangan jasa lingkungan dengan orientasi pada peningkatan nilai tambah.

    Gambar 1. Konseptual model Desa Pertumbuhan Hijau Berkemakmuran

    V. TANTANGAN DAN KRISIS PERDESAAN

    Tantangan pelembagaan desa pertumbuhan hijau diantaranya adalah mengubah

    cara pandang warga dan pemerintah desa. Birokrastisasi program pembangunan desa

    yang selama ini dijalankan oleh suprastruktur yang tidak partisipatif dan berorientasi pada

  • Aspek Sosial Ekonomi

    205

    proyek telah menciptakan sesat pikir bagi sebagian warga bahwa semua pembagunan

    desa bersifat elitis dan menguntungkan sebagian kecil elit desa. Terbatasnya kapital

    secara tidak langsung membangun kultur pengelolaan asset SDA yang tidak produktif dan

    desa tidak lagi menjadi sumber pangan dan usaha tani warganya yang diistilahkan oleh

    Shohibuddin (2016) sebagai proses deagrarianisasi. Selain itu program pembangunan

    desa selama ini tidak mampu memanfaatkan sumber daya alam dan manusia secara

    optimal. Pembangunan desa selama ini hanya menciptakan aktor ekonomi yang terbatas.

    Menurut Shohibuddin (2016) desa dan masyarakat desa tidak homogen melainkan telah

    mengalami diferensiasi yang mendalam yang bisa menimbulkan problem soliditas dan

    kolektifitas warga dalam membangun desa. Fragmentasi dan akuisisi lahan-lahan petani

    kecil oleh para orang kaya lokal dan pemodal luar desa mengakibatkan proses yang

    disebut depeasantisation. Di sisi lain desa menjadi representasi kepentingan elit dan luar

    desa.

    Tabel 1. Krisis Perdesaan

    Krisis Agraria Krisis Ekologi

    Hilangnya control desa atas sumberdaya

    alam setempat

    Eksploitasi SDA yang merusak

    Pembatasan akses warga atas SDA Desa Ancaman produksi skala besar dan atau

    monokultur

    Ketimpangan akses warga atas SDA Desa Degradasi sistem hidrologi lokal

    Ketimpangan relasi perburuhan Penurunan dan produksi lahan

    Ketimpangan pola-pola kemitraan Ketergantungan input eksternal

    Kerentanan sistem pangan lokal Perluasan lahan kritis

    Ketiadaan akses warga terhadap SDA Desa Kerentanan akibat perubahan iklim

    global

    Lemahnya keamanan akses warga terhadap

    SDA Desa

    Pudarnya kelembagaan dan kearifan

    lokal dalam pengelolaan SDA

    Sumber: Shohibuddin 2015, 2016

    Tabel 1, mengilustrasikan bagaimana beratnya tantangan pembangunan

    pedesaan. Krisis pedesaan biasanya tidak tunggal tetapi merupakan kombinasi antara

    krisis ekologis dan agrarian yang berdampak pada kehidupan warga. Pengembangan desa

    pertumbuhan hijau berkemakmuran tentunya tidak lepas dari kondisi-kondisi empiris

    tersebut.

    VI. DESA MODEL MEKARJAYA

    Salah satu Desa yang tengah dirancang untuk menjadi desa pilot atau model

    pertumbuhan hijau berkemakmuran adalah Desa Mekarjaya. Kelompok Peneliti Politik

    dan Hukum P3SEKPI telah menetapkan desa tersebut sebagai laboratorium sosial

    transformasi masyarakat desa untuk 4 - 5 tahun ke depan. Tahap awal ini tim P3SEKPI

    tengah melakukan pendekatan dan diharapkan tahun 2017 desa model mulai

    dikembangkan melalui riset aksi.

    Desa Mekarjaya, Kecamatan Ciemas, Kabupaten Sukabumi adalah suatu desa yang

    berada di daerah relatif terpencil, sekitar 5 - 6 jam dari Bogor. Untuk mencapai desa

    tersebut, harus melalui perjalanan yang cukup melelahkan. Desa Mekarjaya berada di

    atas pegunungan dengan lanskap alam yang cukup indah. Pemilihan desa Mekarjaya

    sebagai desa model pertumbuhan hijau berkemakmuran atas pertimbangan dimana desa

  • Prosiding Ekspose Hasil Penelitian

    206

    tersebut masih termasuk tertinggal. Kedua, lokasi desa Mekarjaya juga berdekatan

    dengan calon obyek wisata geopark dan air terjun (curug) yang sangat indah. Ketiga, desa

    Mekarjaya memiliki basis sumber daya lahan yang belum banyak termanfaatkan secara

    optimal.

    Desa ini terbagi ke dalam enam wilayah dusun dengan 12 Rukun Warga dan 59

    Rukun Tetangga. Desa Mekarjaya merupakan desa terluas di Kecamatan Ciemas dengan

    luas 8.768 ha dengan ketinggian rata-rata 350 mdpl. Penggunaan lahan di Desa Mekarjaya

    terdiri atas tanah sawah 420 ha, tanah kering 2.651 ha, bangunan/pekarangan 697 ha,

    dan hutan negara 5.000 ha. Rata-rata kepemilikan lahan masyarakat Desa Mekarjaya

    adalah 0,3 ha. Desa Mekarjaya terdapat 2.495 rumah tangga di mana tiap rumah tangga

    memiliki anggota sekitar tiga sampai empat orang. Sumber penghasilan utama

    masyarakat Desa Mekarjaya berasal dari pertanian dengan komoditas utama padi.

    Persentase keluarga pertanian di desa ini mencapai 70%.

    Setelah melalui lobby dan dialog dengan warga dan pemerintah desa, maka

    pemerintah desa dan warga bersedia membukakan pintu sebagai desa pilot

    pengembangan desa pertumbuhan hijau berkemamuran. Bahkan dalam suatu

    kesempatan pertemuan dengan tim peneliti P3SEKPI pemerintah desa bersedia

    mengalokasikan sebagian dana desa bagi pengembangan desa pertumbuhan hijau ini.

    Apa yang telah dilakukan oleh tim peneliti P3SEKPI ini adalah baru langkah permulaan,

    namun yang perlu mendapatkan catatan adalah pertama, pemerintah desa dan warga

    desa paham akan makna desa pertumbuhan hijau berkemamuran tanpa harus

    mendiskusikan kerumitan istilah low carbon emission development yang justru bisa

    membuat sesat pikir masyarakat desa. Catatan kedua, pemerintah kabupaten, terutama

    bupati memiliki pandangan yang sama dan berkomitmen untuk mendukung program

    desa pertumbuhan hijau berkemakmuran. Catatan ketiga dengan adanya UU desa, secara

    finansial desa semakin kaya, tetapi tidak secara otomatis membuat desa semakin kaya

    akan gagasan inovatif. Dalam dunia yang terus berubah, kelangsungan dan keberlanjutan

    ekonomi desa sangat ditentukan oleh gagasan-gagasan inovatif tersebut.

    VII. PENUTUP

    Keberhasilan dari desa pertumbuhan hijau berkemakmuran akan terletak pada

    perubahan cara pandang desa dan warga desa tentang ideologi pembangunan, yang

    meletakkan warga desa sebagai subyek pembangunan. Cara pandang tentang desa dari

    para pengambil kebijakan harus berubah dengan melepaskan diri dari stereotype jargonik

    desa sebagai penyandang berbagai ketertinggalan dan inferioritas.

    Faktor penting lain yang menentukan keberhasilan desa pertumbuhan hijau

    berkemakmuran adalah fasilitasi atau pendampingan yang bisa menciptakan fasilitator-

    fasilitator organik yang kuat.

    Basis pengembangan desa tetap perlu bertumpu pada sumber daya lokal dan

    karakteristik masyarakat, termasuk budayanya dan pengembangan desa pertumbuhan

    hijau berkemakmuran harus bersifat multi-disiplin dan lintas sektor dan kelembagaan

    Keberhasilan pengembangan desa pertumbuhan hijau juga sangat ditentukan oleh

    pendekatan deliberasi melalui dialog interaktif dengan komunitas-komunitas warga,

    perangkat desa serta dukungan politik suprastruktur.

    Selain hal tersebut di atas, kepemimpinan dan tata kelola pemerintahan desa yang

    demokratis, partisipatif dan akuntabel dan politik penganggaran di tingkat desa melalui

  • Aspek Sosial Ekonomi

    207

    pro-poor dan pro-environmental budgeting adalah prasyarat krusial bagi keberhasilan

    desa pertumbuhan hijau berkemakuran.

    Desa pertumbuhan hijau akan berhasil bila ada perubahan desain pembangunan

    desa dari upaya menciptakan masyarakat desa sebagai masyarakat konsumen menjadi

    masyarakat produktif dan inovatif. Masyarakat desa tidak boleh lagi di desain hanya

    menjadi sasaran tembak kepentingan dan produk-produk globalisasi modernitas tetapi

    tantangannya adalah bagaimana membawa kepentingan lokal dalam era globalisasi.

    Adanya UU Desa No. 6/2014 adalah peluang sekaligus tantangan bagi desa untuk

    mewujudkan desa pertumbuhan hijau berkemakmuran melalui otoritas dan

    kewenangannya yang semakin besar untuk mengelola sumberdayanya secara lebih

    mandiri. Pemerintah Desa Mekarjaya yang bersedia mengalokasikan sebagian dana desa

    bagi pengembangan desa pertumbuhan hijau adalah catatan awal penting yang harus

    terus dirawat dengan proses yang transparan dan kerja yang terukur dengan dukungan

    riset aksi yang lebih terencana.

    DAFTAR PUSTAKA

    Baudrillard, J. 1998. The consumer society: Myths and structures. Sage Publishing,

    London, England.

    Beck, U.2006.Risk society:towards a new modernity. Sage Publishing, London, England.

    Firmansyah, M., dan Gunawan, D.S. 2007. Antara pembangunan ekonomi dan degradasi

    lingkungan. Eko-Regional, Vol. 2, No. 2 September 2007.

    Morishima, M. 1986. Ideology and economic activity. Discussion Paper No. JS/86/142.

    London School of Economics and Political Science Houghton Street, London, WC2A

    2AE, UK.

    Pranadji, T. 2005. Keserakahan, kemiskinan dan kerusakan lingkungan: Pintu gerbang

    pencermatan dan penguatan nilai-nilai budaya Indonesia pada Milenium ke-3.

    Makalah disampaikan pada Seminar Nasional V Ikatan Sosiologi Indoesia (ISI)

    bertema Indonesia yang bebas korupsi, rukun dan mandiri 20 September 2005.

    Gedung Pertemuan BKKBN, Jakarta.

    Restiyanto, D. T., dan Yusroni, N. 2006. Kegagalan pembangunan ekonomi Indonesia

    akibat terperangkap kegagalan pendekatan teori ekonomi pembangunan. AKSES:

    Jurnal Ekonomi dan Bisnis Vol. 1 No. 2, Oktober 2006.

    Sachs, J. D., Mellinger, A. D., and Gallup, J. L. 2001. The geography of poverty and wealth.

    Scientific American, March 2001, pp.71 - 74.

    Sarbini, 2005. Islam di tepian Revolusi: Ideologi, Pemikiran dan Gerakan. Yogyakarta: Pilar

    Media, 2005.

    Shohibbudin, M. 2016. Dinamika akses dan eksklusi. Makalah dipaparkan di diskusi

    internal P3SEKP dengan Tema Pengkayaan Pengetahuan pada tanggal 17 Juni 2016

    di P3SEKPI.

    Suradi.2012. Pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial. Informasi, Vol. 17, No. 03

    Tahun 2012.

    Zaini, A. 2010. Kemiskinan di daerah kaya sumberdaya alam: Sebuah Paradoks

    Pembangunan.

  • Prosiding Ekspose Hasil Penelitian

    208

  • Aspek Sosial Ekonomi

    209

    DAPATKAH PERTUMBUHAN EKONOMI HIJAU MENCAPAI

    PEMBANGUNAN EKONOMI BERKELANJUTAN? PEMBELAJARAN DARI RIAU

    UNTUK SUMATERA SELATAN

    Mamat Rahmat Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang

    E-mail: [email protected]

    ABSTRAK

    Pertumbuhan hijau dimaksudkan sebagai tahapan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan.

    Dalam menuju keberlanjutan, pertumbuhan ekonomi dihadapkan pada kendala keterbatasan sumber

    daya alam. Kemampuan sumber daya alam dalam menyediakan bahan baku untuk menghasilkan

    pertumbuhan ekonomi bersifat terbatas. Demikian pula, kapasitas lingkungan untuk menetralisir

    limbah dari proses produksi dan konsumsi barang dan jasa juga bersifat terbatas. Paper ini

    dimaksudkan untuk mendiskusikan kembali peran pertumbuhan ekonomi hijau dalam mencapai

    pembangunan berkelanjutan. Diskusi tersebut didasarkan atas hasil kajian skala optimal sistem

    ekonomi di Provinsi Riau yang telah mencapai kondisi optimal. Pembandingan kondisi ketergantungan

    terhadap sumber daya alam dilakukan untuk menjustifikasi perlunya kajian skala optimal di Provinsi

    Sumatera Selatan. Bila ditinjau dari pola ketergantungan terhadap sumber daya alam dalam

    pembangunan ekonomi antara Riau dan Sumatera Selatan memperlihatkan kondisi yang mirip. Sektor

    pertanian, kehutanan dan perikanan serta sektor pertambangan dan penggalian masih menjadi sektor

    unggulan di kedua provinsi tersebut. Oleh karena itu, kajian skala optimal terhadap perekonomian

    Sumatera Selatan perlu dilakukan sebelum menetapkan strategi-strategi kebijakan pembangunan

    dalam mencapai pertumbuhan hijau.

    Kata kunci: pembangunan berkelanjutan, pertumbuhan hijau, skala optimal

    I. PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Ir. Alex Nurdin telah mendeklarasikan Provinsi Sumatera Selatan sebagai provinsi

    terdepan dalam mengimplementasikan konsep pertumbuhan hijau. Untuk upaya

    tersebut, pemerintah Provinsi Sumatera Selatan mendapat dukungan dari berbagai pihak

    seperti Initiatief Duurzame Handel (IDH) the trade sustainable, Zoological Society of

    London (ZSL), dan Pemerintah Norwegia (Asmani, 2016).

    Pada tataran nasional, program pertumbuhan hijau juga telah dituangkan di dalam

    dokumen Green Growth Program (Program Pertumbuhan Hijau) yang disusun oleh Global

    Green Growth Institute (GGGI). Dokumen tersebut dimaksudkan untuk

    mengarusutamakan pertumbuhan hijau dalam pembangunan nasional (GoI-GGGI, 2013).

    Di dalam dokumen Green Growth Program disebutkan bahwa konsep

    pertumbuhan hijau dimaksudkan sebagai tahapan untuk mencapai pembangunan yang

    berkelanjutan (sustainable economic development). Adapun, pembangunan berkelanjutan

    didefinisikan sebagai pembangunan sosial dan ekonomi yang mampu memenuhi

    kebutuhan generasi saat ini dan generasi mendatang (WCED, 1987). Definisi tersebut

    mengandung dua konsep yang menjadi acuan dalam mencapai pembangunan yang

    berkelanjutan. Konsep yang pertama, yaitu pembangunan yang berkelanjutan adalah

    pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan manusia (human needs) saat ini.

    Konsep kedua, pembangunan yang berkelanjutan disyaratkan agar dapat memenuhi

    kebutuhan antar generasi (WCED, 1987).

  • Prosiding Ekspose Hasil Penelitian

    210

    Pemenuhan kebutuhan manusia dihadapkan pada realitas ketersediaan sumber

    daya alami yang bersifat terbatas. Sebagaimana dikatakan Meadow et al., (2006), bahwa

    planet bumi memiliki keterbatasan dalam menyediakan bahan baku dan keterbatasan

    kapasitas penyerapan limbah. Oleh karena itu apabila kapasitasnya telah melampaui

    kondisi optimal maka pertumbuhan tidak dapat dilanjutkan.

    Sehingga yang menjadi pertanyaan, kapankah kondisi optimal tersebut dicapai.

    Apabila kondisi optimal telah dicapai apakah pertumbuhan ekonomi hijau masih relevan

    bila digunakan sebagai batu loncatan untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan?

    B. Tujuan

    Paper ini disajikan untuk mengkaji ulang penerapan konsep pertumbuhan hijau

    dalam pembangunan ekonomi di Sumatera Selatan, menuju pembangunan ekonomi yang

    berkelanjutan.

    II. METODE PENELITIAN

    A. Kerangka Pemikiran

    Kajian pertumbuhan hijau di dalam paper ini dibatasi dalam kerangka analisa ilmu

    ekologi ekonomi. Dalam pandangan ilmu ekologi ekonomi, terdapat dua sistem yang

    saling terkait, yaitu sistem alami (lingkungan) dan sistem ekonomi (perekonomian).

    Sistem lingkungan berperan sebagai pemasok sinar matahari, bahan bakar fosil, serta

    material dan jasa-jasa lingkungan. Selain itu sistem lingkungan juga berperan sebagai

    penampung limbah dari proses-proses yang terjadi di dalam sistem ekonomi, yang secara

    umum digolongkan ke dalam proses produksi dan konsumsi barang dan jasa. Di samping

    itu, proses produksi dan konsumsi juga mengakibatkan degradasi pada material dan jasa

    lingkungan yang tersisa di sistem lingkungan. Untuk lebih jelasnya kerangka analisa

    tersebut dapat diamati pada Gambar 1.

    Proses produksi dan konsumsi yang terjadi pada sistem ekonomi mendorong

    proses pertumbuhan, sehingga terjadi perubahan relatif sistem ekonomi terhadap sistem

    lingkungan. Pertumbuhan yang terjadi pada sistem ekonomi dihadapkan pada kondisi

    sistem lingkungan yang tidak bertumbuh. Jumlah material dan energi yang disediakan

    oleh sistem lingkungan tidak bertambah. Oleh karena itu pada situasi tertentu akan

    dicapai titik optimal pertumbuhan ekonomi. Jika titik optimal tersebut telah dicapai maka

    nilai kerugian akibat limbah dan degradasi material dan jasa lingkungan akan lebih besar

    dibandingkan manfaat yang diperoleh dari pertumbuhan ekonomi. Proses pertumbuhan

    sistem ekonomi dalam sistem lingkungan ditampilkan secara grafis pada Gambar 2.

  • Aspek Sosial Ekonomi

    211

    Gambar 1. Gambaran hubungan sistem ekonomi sebagai sub sistem dengan sistem

    lingkungan (Diadopsi dari Colby (1999))

    Gambar 2. Proses Pertumbuhan Ekonomi dalam sistem lingkungan

    B. Pengumpulan dan Analisa Data untuk Mendapatkan Angka Skala Optimal

    Berdasarkan kerangka pemikiran di muka, untuk mendiagnosa kondisi skala

    optimal dapat berpedoman pada Daly & Farley (2006), yang menyatakan bahwa skala

    optimal sistem ekonomi dicapai pada saat penambahan nilai manfaat akibat kenaikan

    satu unit output setara dengan penambahan biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi

    satu unit output tersebut. Situasi tersebut dapat dituliskan sebagai MB=MC, atau manfaat

    marjinal sama dengan biaya marjinal.

    Untuk mendapatkan nilai MB dan MC pada studi di Provinsi Riau, Rahmat (2014)

    menggunakan beberapa pendekatan (proxy). Nilai MB didekati dengan penambahan nilai

    PDRB tahunan, sehingga simbolnya lebih tepat dituliskan sebagai MR. Selanjutnya, nilai

    MC didekati dengan nilai biaya kesempatan yang hilang (opportunity cost) akibat kenaikan

    jumlah PDRB, sehingga simbolnya dituliskan sebagai MOC. Oleh karena itu, maka situasi

    optimal dicapai pada saat MR=MOC atau dapat dituliskan sebagai Apabila

    disederhanakan menjadi k, maka kondisi optimal dapat dicapai pada saat k=1.

  • Prosiding Ekspose Hasil Penelitian

    212

    C. Penarikan Kesimpulan

    Simpulan dalam kajian ini ditarik berdasarkan hasil membandingkan antara kondisi

    yang dicapai oleh sistem ekonomi Provinsi Riau dengan dengan kondisi yang terjadi dalam

    perekonomian Provinsi Sumatera Selatan. Pembandingan dilakukan dalam hal

    ketergantungannya terhadap sumber daya alam dan degradasi lingkungan yang terjadi di

    wilayah Sumatera Selatan.

    III. PERTUMBUHAN EKONOMI: ANTARA COKLAT DAN HIJAU

    Secara sederhana, pertumbuhan ekonomi dapat diartikan sebagai proses kenaikan

    output per kapita dalam jangka waktu tertentu (Boediono, 2005). Berdasarkan definisi

    tersebut, terdapat dua pokok konsep yang menjadi penentu dalam pertumbuhan

    ekonomi yaitu proses kenaikan output per kapita dan interval waktu pengukuran.

    Nilai output yang dihasilkan oleh suatu sistem ekonomi pada tingkat regional

    dikenal sebagai PDRB. Dalam sistem perekonomian konvensional, pertumbuhan ekonomi

    merupakan indikator perekonomian yang paling utama. Pertumbuhan ekonomi

    diperhitungkan berdasarkan kenaikan nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). PDRB

    yang saat ini dikenal dengan istilah PDRB konvensional atau PDRB Coklat.

    PDRB coklat dinilai belum menggambarkan situasi pembangunan ekonomi yang

    berkelanjutan karena nilainya masih mengandung penyusutan nilai sumber daya alam

    serta terindikasi mengandung nilai degradasi manfaat lingkungan. Situasi tersebut terjadi

    karena nilai PDRB hanya ditaksir berdasarkan nilai pasar dari seluruh barang-barang dan

    jasa-jasa akhir yang diproduksi dalam perekonomian pada periode waktu tertentu

    (Mankiw, 2010).

    Adapun, barang dan jasa-jasa yang belum atau tidak memiliki nilai pasar atau

    belum dikomersialkan tidak dapat diperhitungkan dalam nilai PDRB. Walaupun pada

    kenyataanya, sumber daya alam seperti hutan mampu menghasilkan manfaat barang dan

    jasa komersil dan jasa-jasa lingkungan yang belum dikomersialkan.

    Angka PDRB merupakan penjumlahan atau nilai agregat atas barang dan jasa yang

    dihasilkan oleh beragam proses produksi. Bila disederhanakan, output yang berbentuk

    barang dan jasa dihasilkan oleh dua elemen, yaitu perusahaan dan rumah tangga. Dalam

    konteks produksi barang dan jasa, kedua elemen tersebut bertindak sesuai dengan tujuan

    masing-masing, yakni perusahaan bertindak untuk memaksimumkan keuntungan (profit

    maximization), sedangkan rumah tangga bertindak untuk memaksimumkan kepuasan

    (utility maximization). Perbedaan tujuan tersebut merangsang terjadinya pertukaran

    barang dan jasa yang dimiliki oleh masing-masing (Daly, 1981; Mankiw, 2010).

    IV. HASIL KAJIAN SKALA OPTIMAL PROVINSI RIAU

    Hasil pengujian skala optimal di Riau diperoleh nilai k rata-rata sebesar 31,975.

    Nilai k rata-rata yang diperoleh dapat diartikan sebagai jumlah MR yang nilainya 31 kali

    nilai MOC. Namun demikian, nilai tersebut adalah nilai rata-rata dan deviasinya sangat

    lebar yaitu mencapai 82,74. Hasil pengujian statistik (uji t) terhadap nilai k tersebut yang

    telah dilakukan mendapatkan kesimpulan bahwa nilai k yang diperoleh tersebut tidak

    berbeda nyata dengan 1 (satu). Secara lengkap hasil uji tersebut mendapatkan nilai t

    hitung = 1,059 dan nilai t tabel pada tingkat derajat bebas (df) 7 dan nilai probabilitas 5%

    yaitu 1,895 (Rahmat, 2014). Secara grafis, kondisi optimal dapat diilustrasikan sebagai

    titik perpotongan antara kurva MR dan MOC (lihat Gambar 3).

  • Aspek Sosial Ekonomi

    213

    Telah dibuktikan oleh Rahmat (2014) bahwa pencapaian nilai skala optimal

    tersebut berkorelasi positif dengan kenaikan deplesi barang tambang dan sumber daya

    hutan. Tahun 2004 adalah era permulaan eksploitasi batu bara di Riau dan konversi hutan

    tertinggi selama periode 2000 – 2009. Jika kedua hukum tersebut diterapkan dalam situasi sistem ekonomi Provinsi Riau

    yang sudah mencapai skala optimal maka dapat dijelaskan sebagai berikut. Penambahan

    jumlah output perekonomian guna memacu pertumbuhan ekonomi yang dilakukan

    dengan cara menambah jumlah ekstraksi barang tambang dan menambah luas konversi

    hutan alam menjadi areal perkebunan maka dapat menghasilkan manfaat berupa

    peningkatan nilai output dari sektor pertambangan dan sub sektor perkebunan. Namun,

    nilai penambahan manfaat per satu unit tambahan output tersebut angkanya lebih kecil

    dibandingkan dengan tambahan opportunity cost (nilai deplesi barang tambang dan

    tegakan serta degradasi manfaat jasa lingkungan) yang ditimbulkan oleh penambahan

    volume ekstraksi barang tambang dan konversi hutan alam tersebut. Situasinya berbeda

    jika sistem ekonomi belum mencapai skala optimal. Dalam kondisi tersebut, tambahan

    jumlah volume ekstraksi barang tambang dan jumlah konversi hutan alam dapat

    memberikan manfaat marjinal yang lebih besar dibandingkan dengan marjinal

    opportunity cost atau dapat dinyatakan sebagai MR>MOC.

    Gambar 3. Penggambaran skala optimal sistem ekonomi terhadap sistem lingkungan

    (Sumber: Rahmat (2014), diadopsi dari Lawn & Sanders (1999))

    O Output Perekonomian

    MR

    MOC MR,

    MOC

    b)

    a)

    TR

    TOC

    Output Perekonomian

    TR,

    TOC

  • Prosiding Ekspose Hasil Penelitian

    214

    V. REFLEKSI SKALA OPTIMAL RIAU UNTUK SUMATERA SELATAN

    Sama halnya dengan perekonomian Provinsi Riau, Provinsi Sumatera Selatan pun

    masih disokong oleh sektor berbasis sumber daya alam, yaitu Sektor Pertanian,

    Kehutanan dan Perikanan serta Sektor Pertambangan dan Penggalian. Kedua sektor

    tersebut selama periode tahun 2012 – 2014 memberikan kontribusi sekitar 40% terhadap PDRB Provinsi Sumatera Selatan (Tabel 1).

    Kontribusi PDRB dari sektor pertambangan dan penggalian dapat dikatakan

    sebagai nilai deplesi (penyusutan) modal alami, karena PDRB dari sektor ini dihitung

    berdasarkan jumlah barang tambang yang berhasil diekstrak dari alam.

    Tabel 1. Kontribusi sektoral terhadap PDRB Provinsi Riau dan Sumatera Selatan

    No. Sektor Riau Sumatera Selatan

    2012 2013 2014 2012 2013 2014

    1. Pertanian, kehutanan dan

    Perikanan 19,08 19,00 19,68 18,90 18,60 17,77

    2. Pertambangan dan

    Penggalian 42,16 42,21 39,57 25,72 24,98 23,87

    3 Industri Pengolahan 20,60 20,56 20,88 16,55 17,15 17,36

    4 Pengadaan Listrik dan Gas 0,03 0,03 0,03 0,07 0,07 0,07

    5

    Pengadaan Air,

    Pengelolaan Sampah,

    Limbah dan Daur Ulang

    0,01 0,01 0,01 0,10 0,09 0,10

    6 Konstruksi 6,24 6,30 6,69 12,30 12,68 13,41

    7

    Perdagangan Besar dan

    Eceran; Reparasi Mobil dan

    Sepeda Motor

    6,69 6,63 7,77 9,14 8,99 9,08

    8 Transportasi dan

    Pergudangan 0,59 0,62 0,66 1,64 1,77 1,86

    9 Penyediaan Akomodasi

    dan Makan Minum 0,36 0,39 0,47 1,17 1,18 1,26

    10 Informasi dan Komunikasi 0,54 0,52 0,52 2,51 2,39 2,42

    11 Jasa Keuangan dan

    Asuransi 0,76 0,81 0,80 2,48 2,59 2,57

    12 Real Estate 0,66 0,67 0,69 2,43 2,41 2,60

    13 Jasa Perusahaan 0,00 0,00 0,00 0,10 0,10 0,11

    14

    Administrasi

    Pemerintahan, Pertahanan

    dan Jaminan Sosial Wajib

    1,48 1,44 1,36 3,26 3,23 3,55

    15 Jasa Pendidikan 0,38 0,37 0,41 2,29 2,45 2,64

    16 Jasa Kesehatan dan

    Kegiatan Sosial 0,13 0,13 0,14 0,59 0,58 0,59

    17 Jasa lainnya 0,30 0,31 0,34 0,75 0,74 0,74

    Jumlah 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 Sumber: Diolah dari Sumatera Selatan dalam Angka 2016 (BPS Prov. Sumsel, 2016) dan Produk

    Domestik Regional Bruto Provinsi Riau Menurut Lapangan Usaha 2011 – 2015 (BPS Prov. Riau, 2016).

  • Aspek Sosial Ekonomi

    215

    Adapun PDRB yang disumbangkan oleh sektor pertanian, kehutanan dan

    perikanan, dapat berupa hasil ekstraksi sumber daya alam (seperti kayu dan ikan), namun

    tidak serta merta digolongkan sebagai deplesi sumber daya alam. Kayu yang dihasilkan

    dari pola pengelolaan hutan yang berkelanjutan, yaitu yang hanya memanen riap kayu

    yang dihasilkan, maka tidak disebut sebagai deplesi. Deplesi dari hasil hutan kayu hanya

    dikenakan pada kelebihan tebangan dari riap normalnya. Sama halnya dengan ekstraksi

    ikan, apabila penangkapan ikan tidak melebihi riap pertumbuhan ikan maka tidak

    tergolong sebagai deplesi.

    Namun, ekstraksi sumber daya alam kerapkali menyebabkan kerusakan

    lingkungan sekitarnya atau menyebabkan penurunan kualitas lingkungan. Hal ini yang

    kemudian dinilai sebagai faktor pengurang terhadap pertumbuhan dan dikenal dengan

    istilah degradasi lingkungan.

    Ekstensifikasi lahan pertanian dan perkebunan juga kerap kali mengorbankan

    hutan gambut sehingga berpotensi menyebabkan degradasi manfaat jasa lingkungan dari

    hutan gambut. Kajian Rahmat (2013), menunjukkan kontribusi sektor pertanian terhadap

    PDRB Provinsi Sumatera Selatan pada tahun 2000 – 2007 ternyata seiring dengan peningkatan luas areal perkebunan. Ekstensifikasi lahan perkebunan pada periode

    tersebut telah merambah pada lahan gambut.

    Konversi lahan gambut di Sumatera Selatan telah mengakibatkan degradasi

    lingkungan manfaat jasa lingkungan hingga mencapai Rp. 55 trilyun per tahun (Rahmat,

    2013). Jika diperhitungkan terhadap nilai pendapatan dari hasil mengkonversi lahan

    gambut tersebut (nilai PDRB sektor pertanian) ternyata diperoleh nilai minus, sekitar Rp.

    45 trilyun per tahun (Rahmat, 2013). Biaya yang dikorbankan dalam bentuk nilai

    degradasi lingkungan ternyata empat kali lipat lebih besar dibandingkan dengan nilai

    manfaat ekonomi yang diperoleh dalam bentuk PDRB.

    Berdasarkan data yang dikemukakan oleh Rahmat (2013) tersebut, maka program

    pertumbuhan hijau Sumatera Selatan seharusnya mampu menekan biaya lingkungan

    tersebut yang nilai kerugiannya empat kali lipat dari dari PDRB sektor pertanian. Jika

    program pertumbuhan hijau tidak mampu mereduksi nilai kerugian tersebut, maka

    pembangunan berkelanjutan Provinsi Sumatera Selatan sulit tercapai.

    Data yang ditampilkan Rahmat (2013) baru mengemukakan nilai degradasi akibat

    konversi gambut, belum menghitung nilai degradasi lingkungan yang diakibatkan oleh

    pertambangan serta, nilai deplesi barang tambang dan nilai deplesi sumber daya hutan.

    Jika nilai-nilai tersebut dijumlahkan semuanya, maka nilai pengurang terhadap PDRB

    Provinsi Sumatera Selatan berpotensi untuk bertambah. Oleh karena itu, penggunaan

    indikator PDRB Hijau dapat diaplikasikan untuk memprediksi nilai pertumbuhan ekonomi

    yang berkelajutan pada tingkat regional. Karena indikator tersebut telah menginkorporasi

    nilai deplesi/apresiasi sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan.

    VI. PENUTUP

    Berkaca pada kondisi skala optimal yang dicapai oleh sistem perekonomian

    Provinsi Riau, maka strategi pertumbuhan hijau Provinsi Sumatera Selatan laiknya diawali

    dengan kajian skala optimal. Hal ini dipandang perlu mengingat ketercapaian kondisi skala

    optimal akan menentukan efektif atau tidaknya program pertumbuhan hijau dalam

    mencapai pembangunan berkelanjutan.

  • Prosiding Ekspose Hasil Penelitian

    216

    Saat ini, sistem ekonomi Provinsi Riau telah mencapai posisi puncak (skala

    optimal). Dalam situasi tersebut, jika akan diimplementasikan program pertumbuhan

    hijau, maka akan mampu mempertahankan keberlanjutan pembangunan ekonomi.

    Namun, berbeda kondisinya dengan Provinsi Sumatera Selatan yang belum diketahui

    skala optimalnya. Untuk itu, tidak dapat diyakini bahwa program-program pertumbuhan

    hijau Sumatera Selatan akan dapat mencapai keberlanjutan pembangunan. Mengingat

    tingkat degradasi lingkungan yang terjadi akibat konversi gambut di Sumatera Selatan

    juga cukup tinggi dan ketergantungan PDRB terhadap sumber daya alam juga masih

    dominan.

    Oleh karena itu, kajian skala optimal Provinsi Sumatera Selatan perlu dilakukan

    terlebih dahulu sebagai langkah awal untuk mendiagnosa kondisi daya dukung sistem

    lingkungan terhadap sistem ekonomi. Untuk mendukung kajian skala optimal diperlukan

    kajian menyeluruh mengenai deplesi sumber daya alam dan degradasi lingkungan pada

    lingkup regional Provinsi Sumatera Selatan.

    DAFTAR PUSTAKA

    Asamani, N. 2016. Sambutan pada acara kick off meeting penyusunan pertumbuhan

    ekonomi hijaun Provinsi Sumatera Selatan. Di Hotel Arista Palembang, pada

    tanggal 15 Agustus 2016.

    Badan Pusat Statistik Provinsi Riau (BPS Prov. Riau). 2016. Produk domestik regional bruto

    Provinsi Riau menurut lapangan usaha 2011 – 2015. Badan Pusat Statistik Provinsi Riau. Pekanbaru.

    Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Selatan (BPS Prov. Sumsel). 2016. Provinsi

    Sumatera Selatan dalam angka 2016. Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera

    Selatan. Palembang.

    Boediono. 2005. Pertumbuhan ekonomi. Cetakan ke-9. UGM Press. Yogyakarta.

    Colby, M. C. 1991. Environmental management in development: The evolution of

    paradigms. Ecological Economics, 3 (1991): 193 - 213.

    Daly, H. E. 1981. Three visions of the economic process. Paper dipresentasikan pada

    “eマiミar oミ さEミ┗iroミマeミtaly “ustaiミaHle “trategies for EIoミoマiI De┗elopマeミtざ, World Bank, Washington, DC, 4 Januari 1981.

    Daly, H.E. dan J. Farley. 2011. Ecological economics: Principles and applications, Second

    Edition. Island Press. Washington, Covelo, London.

    Government of Indonesia & Global Green Growth Institute (GoI & GGGI). 2013.

    Government of Indonesia-Global Green Growth Institute Green Growth Program -

    Prioritizing Investments: Delivering Green Growth. Government of Indonesia-

    Global Green Growth Institute. Jakarta

    Lawn, P. A. and R. D. Sanders. 1999. Has Australia surpassed its optimal macroeconomic

    sIale? fiミdiミg out ┘ith the aid of けHeミefitげ aミd けIostげ aIIouミts aミd a sustaiミaHle net benefit index. Ecological Economics, 28 (1999): 213 – 229.

    Mankiw, N.G. 2010. Macroeconomics. Seventh Edition. Worth Pubishers. New York.

    Meadows, D., J. Randers, & D. Meadows. 2006. Limits to growth: The 30-years updated.

    earthscan. London, UK.

  • Aspek Sosial Ekonomi

    217

    Rahmat, M. 2013. Restorasi hutan rawa gambut untuk pembangunan ekonomi

    berkelanjutan: sebuah tilikan di Sumatera Selatan. Dalam D. Purwito et al., (Eds.),

    Prosiding Workshop ITTO Project RED-SPD 009/09 Rev.2 (F), Stakeholder

    Consultation The Application of Method and Technologies to Enhance The

    Restoration of PSF Ecosystem, hal: 161 – 173. Pusat Penelitian Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan.

    Bogor.

    Rahmat, M. 2014. Dampak perubahan sediaan sumber daya alam terhadap kinerja

    kelestarian pembangunan ekonomi: Kasus Provinsi Riau. Disertasi Program Doktor,

    Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Tidak dipublikasikan.

    World Commission on Environment and Development (WCED). 1987. Report of the World

    Commission on Environment and Development: Our common future. Website:

    www.un-documents.net/our-common-future.pdf.

  • Prosiding Ekspose Hasil Penelitian

    218

  • Aspek Sosial Ekonomi

    219

    PENCEGAHAN KARHUTLA UNTUK MENDUKUNG PERTUMBUHAN HIJAU DI SUMATERA

    SELATAN: STUDI KASUS DI DESA RIDING

    Mamat Rahmat*, Bondan Winarno

    *, Bastoni, Adi Kunarso

    Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang

    *E-mail: [email protected]; [email protected]

    ABSTRAK

    Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) berpotensi menjadi kendala dalam mencapai pertumbuhan

    hijau di Provinsi Sumatera Selatan. Dalam pandangan ilmu ekonomi ekologi, karhutla merupakan

    gejala merosotnya sistem lingkungan sebagai akibat ekstraksi sumber daya alam yang melampaui

    kapasitasnya. Tulisan ini dimaksudkan untuk mendapatkan pengetahuan mengenai kondisi biofisik

    lahan gambut yang kerapkali terbakar, dinamika pemanfaatan lahan gambut, dan kondisi sosial

    ekonomi masyarakat yang tinggal di sekitar lahan gambut serta minat masyarakat pada pola budidaya

    tanpa bakar. Kajian dilakukan di Desa Riding, Kecamatan Pangkalan Lampam, Kabupaten Ogan

    Komering Ilir. Metode penelitian yang digunakan menggabungkan survey biofisik dan survey sosial

    ekonomi. Survey biofisik meliputi kajian observasi kondisi vegetasi, kedalaman gambut dan kedalaman

    muka air tanah. Adapun survey sosial ekonomi dilakukan melalui Focus Group Discussion (FGD) dan

    wawancara mendalam kepada tokoh kunci. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi biofisik

    gambut rawan terbakar di Desa Riding telah mengalami degradasi berupa penyusutan kedalaman

    muka air tanah dan lapisan gambut sebagai akibat kerapnya peristiwa kebakaran. Seringnya lahan

    gambut terbakar juga diindikasikan dari vegetasi penutupnya berupa belukar dan permudaan gelam.

    Permasalahan lahan gambut di Desa Riding timbul sebagai akibat tingginya tekanan ekonomi pada

    level rumah tangga petani maupun perusahaan dalam mengeksploitasi lahan gambut sebagai sumber

    daya alam. Dalam menuju pembangunan yang berkelanjutan melalui tahap pertumbuhan hijau di

    Sumatera Selatan, upaya pencegahan kebakaran merupakan salah satu langkah yang diperlukan.

    Upaya tersebut dapat dilakukan melalui pengelolaan lahan gambut secara terpadu yang meliputi

    berbagai aspek (sosial, ekonomi dan lingkungan).

    Kata kunci: ekologi, ekonomi, kebakaran hutan, lahan gambut, pembangunan berkelanjutan

    I. PENDAHULUN

    A. Latar Belakang

    Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) merupakan bencana yang muncul secara

    periodik di Sumatera Selatan. Sejak dua puluh tahun yang lalu, tercatat telah terjadi

    karhutla yang berdampak terhadap bencana kabut asap, yaitu pada tahun 1997/1998,

    2006, 2013 (Gaveau et al., 2014) dan terakhir pada tahun 2015 (Koplitz et al., 2015).

    Pada awalnya bencana karhutla kerapkali dikaitkan dengan kondisi kemarau

    panjang yang terjadi pada masa el nino. Namun, belakangan, karhutla juga terjadi pada

    tahun-tahun di luar el nino (Gaveau et al., 2014). Selain el nino, faktor yang seringkali

    dikaitkan dengan kejadian kebakaran di Sumatera Selatan adalah budaya penggunaan api

    dalam berbagai aktivitas mata pencaharian masyarakat, antara lain sonor (budidaya padi

    pada lahan gambut), mencari ikan dan mencari kayu pada hutan dan lahan gambut

    (Setijono, 2004; Chokkalingam et al., 2007). Selain itu, karhutla juga dipicu oleh

    kelimpahan biomasa berupa gambut yang telah mengering terutama pada saat musim

    kemarau. Pengeringan gambut tersebut disebabkan oleh karena terjadi penyusutan

    permukaan air pada lahan gambut sebagai akibat pengaliran air melalui kanal-kanal

    primer, sekunder dan tersier.

    mailto:[email protected]:[email protected]

  • Prosiding Ekspose Hasil Penelitian

    220

    Pengeringan lahan gambut di Sumatera Selatan pada dasarnya merupakan bagian

    dari proses pembangunan ekonomi, khususnya melalui program transmigrasi,

    pembangunan perkebunan dan proyek-proyek pertanian (Chokkalingam et al., 2007).

    Dalam kaidah pembangunan ekonomi, pelaksanaan program dan proyek tersebut

    dimaksudkan untuk meningkatkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), khususnya

    pada sektor pertanian.

    Di lain pihak, upaya peningkatan PDRB tersebut justru menimbulkan dampak

    lingkungan yang tidak diperhitungkan dalam akuntansi PDRB. Dampak lingkungan yang

    secara langsung terlihat pada lahan ekosistem gambut adalah meningkatnya tingkat

    kerawanan kebakaran lahan sebagai akibat pengeringan lahan gambut. Kenaikan volume

    gambut kering bukan satu-satunya faktor yang dapat memicu kebakaran, namun

    pengeringan serta pembukaan hutan dan lahan gambut melalui kanalisasi juga turut

    memberikan kemudahan akses bagi sebagian orang untuk memasuki kawasan hutan dan

    lahan gambut yang semula tidak pernah terjangkau (Chokkalingam, et al., 2007).

    Akibatnya, daerah-daerah tersebut menjadi semakin rawan terbakar.

    Bertolak dari uraian tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa bencana

    karhutla pada dasarnya berkaitan dengan dinamika yang terjadi pada dua sistem, yaitu

    sistem ekonomi dan sistem lingkungan. Aktivitas masyarakat di lahan gambut merupakan

    gambaran dinamika pada sistem ekonomi dalam skala rumah tangga, sedangkan ekspansi

    perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut adalah indikator dinamika sistem ekonomi

    yang terjadi pada level regional. Dinamika pada sistem lingkungan tampak pada

    perubahan yang terjadi pada lahan gambut yang menyebabkan kenaikan bahan bakar

    dalam bentuk gambut kering dan terjadinya penyusutan muka air tanah pada lahan-lahan

    gambut.

    Dalam pandangan ilmu ekonomi ekologi, kedua sistem di muka (sistem ekonomi

    dan sistem lingkungan) berinteraksi sebagai sub sistem dan sistem utama. Ekonomi

    merupakan sub sistem yang diayomi oleh sistem lingkungan, sehingga apabila

    digambarkan, posisi sistem ekonomi berada di dalam lingkup sistem ligkungan (Daly,

    2007). Oleh karena posisinya tersebut, sistem lingkungan berperan dalam menyediakan

    berbagai material bahan baku yang dibutuhkan oleh sistem ekonomi, baik berupa barang

    maupun jasa-jasa lingkungan. Di samping itu sistem lingkungan juga berperan sebagai

    penampung sisa-sisa material yang tidak terpakai oleh sistem ekonomi serta sebagai

    penetralisir polusi yang timbul akibat proses-proses yang terjadi di dalam sistem ekonomi.

    Dalam kerangka ilmu ekonomi ekologi tersebut, bencana kabut asap yang

    ditimbulkan oleh kebakaran hutan dan lahan dapat dipandang sebagai indikator bahwa

    kemampuan sistem lingkungan dalam menetralisir asap telah melampaui kapasitasnya,

    sebagai akibat kenaikan volume gambut yang terbakar dan meluasnya pembakaran pada

    lahan gambut. Fenomena tersebut tidak timbul secara tiba-tiba, namun muncul karena

    adanya interaksi pada berbagai faktor dalam sistem ekonomi yang secara langsung juga

    berdampak terhadap sistem lingkungan. Interaksi dalam sistem ekonomi dapat dilihat

    dalam bentuk pemanfaatan lahan gambut oleh masyarakat serta pola ekspansi areal

    perusahaan perkebunan dan hutan tanaman pada lahan gambut.

    B. Tujuan

    Berlandaskan pada teori ekonomi ekologi tersebut, kajian ini dimaksudkan untuk

    mendapatkan pengetahuan mengenai kondisi biofisik lahan gambut yang hingga saat ini

    masih kerapkali terbakar, dinamika pemanfaatan lahan gambut, dan kondisi sosial

    ekonomi masyarakat yang tinggal di sekitar lahan gambut serta mendapatkan

  • Aspek Sosial Ekonomi

    221

    pengetahuan mengenai minat masyarakat terhadap pola budidaya yang tidak mengubah

    sifat-sifat lahan gambut.

    II. METODE PENELITIAN

    A. Lokasi dan Waktu Penelitian

    Kajian ini dilakukan untuk mengamati dampak yang terjadi pada sistem lingkungan

    sebagai dampak interaksi faktor-faktor di dalam sistem ekonomi pada level mikro, yaitu di

    tingkat desa. Lokasi yang dipilih adalah Desa Riding, Kecamatan Pangkalan Lampam,

    Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Desa ini meliputi wilayah desa yang

    cukup luas dan wilayahnya sebagian besar merupakan lahan gambut yang termasuk

    kategori Hutan Produksi, Kawasan Konservasi dan Area Penggunaan Lain. Selain itu,

    kondisi pemanfaatan lahan gambut di wilayah Desa Riding cukup mewakili dinamika

    sistem lingkungan yang tengah dieksploitasi oleh sistem ekonomi. Kegiatan pengumpulan

    data lapangan dilakukan pada tahun 2015.

    B. Metode Pengumpulan dan Analisis Data

    Penelitian ini meliputi dua aspek kajian, yaitu: aspek biofisik dan aspek sosial

    ekonomi. Kajian aspek biofisik dilakukan dengan menggunakan metode observasi kondisi

    vegetasi, kedalaman gambut, dan kedalaman muka air tanah. Selain itu juga dilakukan

    pemetaan jumlah hotspot pada bulan-bulan terjadinya kebakaran dengan menggunakan

    metode tumpang susun (overlay) titik panas (hotspot) pada peta penggunaan lahan.

    Adapun, aspek sosial ekonomi dilakukan melalui metode diskusi kelompok terfokus

    (Focus Group Discussion/FGD). Peserta FGD terdiri dari wakil-wakil tokoh masyarakat,

    tokoh pemuda, tokoh perempuan, aparat pemerintahan desa dan penyuluh pertanian. Di

    samping dilakukan FGD, juga dilakukan wawancara mendalam kepada informan kunci.

    III. HASIL DAN PEMBAHASAN

    A. Hasil Penelitian

    1. Kondisi Biofisik Lahan Rawan Terbakar

    Berdasarkan hasil observasi lapangan, diketahui bahwa kondisi lahan gambut di

    Desa Riding yang kerapkali terbakar pada umumnya, dikelompokkan ke dalam dua jenis

    pemanfaatan lahan, yaitu Hutan Produksi (HP) dan Area Penggunaan Lain (APL). Areal HP

    di wilayah desa ini merupakan areal konsesi PT. Bumi Mekar Hijau (anak perusahaan

    Sinarmas Forestry). Kebakaran pada areal ini umumnya dipicu oleh kebakaran yang

    terjadi pada areal HP yang tengah dipersengketakan oleh masyarakat Desa Riding dengan

    PT. BMH. Beberapa kali perundingan telah dilakukan, namun titik temu belum diperoleh.

    Kedua pihak masih bersitegang dengan kehendaknya masing-masing. Berdasarkan hasil

    wawancara dengan tokoh masyarakat desa, diketahui bahwa total areal PT. BMH yang

    diklaim oleh masyarakat seluas 10.000 ha. Hasil musyawarah antara masyarakat dengan

    perusahaan diperoleh kesepakatan bahwa perusahaan bersedia untuk membangunkan

    sawah untuk masyarakat seluas 2.000 ha, tanaman akasia dengan pola bagi hasil seluas

    3.000 ha dan sisanya seluas 5.000 ha diserahkan pemanfaatannya oleh masyarakat

    kepada perusahaan. Sejatinya, butir kesepakatan tersebut telah disetujui oleh kedua

    belah pihak, namun dalam implementasinya masih terdapat ketidaksepahaman.

    Masyarakat menuntut agar sawah seluas 2.000 ha tersebut dibangun serentak dalam satu

    tahun, dengan harapan seluruh rumah tangga di desa Riding mendapatkan sawah secara

  • Prosiding Ekspose Hasil Penelitian

    222

    bersamaan. Akan tetapi, pihak perusahaan tidak bersedia memenuhi tuntutan tersebut.

    Pihak perusahaan bersedia untuk membangunkan sawah seluas 2.000 ha tersebut secara

    bertahap, yaitu 200 ha per tahun.

    Belum adanya titik temu antara kedua belah pihak yang saling bersengketa,

    menyebabkan lahan gambut yang tengah dipersengketakan tersebut sangat rawan

    terbakar. Termasuk pada kejadian kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2015, lahan

    konflik tersebut menjadi sumber asap. Pada bulan-bulan basah, lahan gambut dimaksud

    tampak hijau ditumbuhi semak belukar yang didominasi oleh belukar, belidang (Scleria

    terrestris), senduduk (Melastoma malabathricum), dan permudaan gelam (Melaleuca

    leucadendron) (lihat Gambar 1). Namun, pasca terbakar lahan-lahan tersebut

    dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai areal tanaman padi (padi sonor). Menurut

    pengakuan sebagian masyarakat memang perilaku membakar untuk kegiatan budidaya

    sonor masih belum bisa ditinggalkan sepanjang belum ada penggantinya.

    Gambar 1. Kondisi Tutupan lahan gambut di areal HP di desa Riding, Kabupaten Ogan

    Komering Ilir yang tengah dipersengketakan. (a) Tutupan lahan pada saat sebelum

    terbakar, (b) Tutupan lahan setelah terbakar (padi sonor)

    Tingginya intensitas kebakaran pada areal tersebut menyebabkan turunnya

    lapisan permukaan gambut. Hasil pengukuran yang telah dilakukan menunjukkan bahwa

    ketebalan lahan gambutnya tidak lebih dari 50 cm. Dibangunnya kanal di sekeliling areal

    HP tersebut juga telah menyebabkan turunnya muka air tanah pada saat musim kemarau.

    Hasil pengamatan yang dilakukan pada bulan Agustus 2015 (pertengahan musim

    kemarau) memperlihatkan bahwa muka air tanahnya lebih dari atau sama dengan 1,5 m.

    Sementara itu, lahan gambut yang terdapat di areal yang belum didrainase, yakni

    di Area Penggunaan Lain (APL) yang terletak di sekitar areal HP tersebut, kondisinya

    relatif lebih tebal, yaitu lebih dari 50 cm. Berdasarkan hasil pengukuran kedalaman muka

    air tanah pada areal tersebut diperoleh angka 0,8 m. Artinya muka air tanah pada areal

    tersebut relatif lebih dangkal.

    Secara umum, tipe vegetasi pada kedua areal tersebut serupa dengan tipe

    vegetasi pada lahan areal HP yang tengah dipersengketakan. Vegetasinya didominasi oleh

    jenis belidang (Scleria terrestris), senduduk (Melastoma malabathricum), dan gelam

    (Melaleuca leucadendron). Kondisi vegetasi demikian mengindikasikan bahwa areal APL

    tersebut juga kerapkali terbakar. Karena kondisi muka air tanah yang tidak terlalu dalam,

    dapat menjaga kedalaman gambut sehingga volume gambut yang terbakar tidak

    sebanyak pada lahan gambut di areal HP yang telah didrainase.

    Secara legal, areal APL tersebut kini merupakan area ijin lokasi perkebunan kelapa

    sawit. Pada tahun 2011 areal tersebut dilepaskan oleh Kementerian Kehutanan dari areal

    Hutan Produksi Konversi (HPK) menjadi APL dan diberikan ijin untuk lahan perkebunan

    tebu. Namun, hingga tahun 2015, kegiatan operasional perkebunan di areal tersebut

    (a) (b)

  • Aspek Sosial Ekonomi

    223

    belum dilakukan, ijin lokasi tersebut dicabut oleh Pemerintah Kabupaten OKI, selanjutnya

    diberikan ijin kepada perusahaan lainnya sebagai lokasi perkebunan kelapa sawit.

    Walaupun secara legal merupakan areal ijin lokasi perkebunan kelapa sawit, namun lahan

    tersebut sebagian telah diklaim oleh masyarakat sebagai lahan mereka dan biasanya

    digunakan sebagai areal budidaya padi sonor.

    Hasil pengamatan yang diutarakan di muka, boleh dikatakan sebagai gambaran

    dalam skala mikro, karena sampel kajian yang dipilih pada level desa, tetapi

    sesungguhnya dapat memberikan konklusi yang dapat ditarik dalam skala lebih umum.

    Salah satunya adalah bukti yang menunjukkan bahwa pola pemanfaatan lahan gambut

    yang dilakukan dalam skala kecil oleh masyarakat memang berdampak terhadap

    penyusutan ketebalan gambut, akan tetapi penyusutan yang terjadi pada areal kelola

    skala kecil tersebut dampaknya lebih kecil dibandingkan dengan pengelolaan lahan

    gambut yang dilakukan oleh perusahaan atau masyarakat yang bermodal besar. Karena

    pemanfaat lahan gambut skala kecil umumnya tidak cukup modal untuk membangun

    kanal guna mengeringkan gambut.

    2. Gambaran Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten OKI pada bulan Agustus – Oktober 2015

    Berdasarkan data titik api yang timbul pada kejadian kebakaran hutan dan lahan

    pada tahun 2015, tampak bahwa sebaran titik-titik api mulai bergerak dari kawasan APL

    kemudian pada akhirnya disusul pada kawasan HP (Gambar 2). Fakta tersebut dapat

    memberikan informasi bahwa pembakaran lahan mulai pada areal-areal APL dan areal HP

    yang tengah menjadi sengketa. Sebaran api pun tak terhindarkan sehingga merambah

    hingga ke areal inti HP yang tidak menjadi areal konflik. Beberapa sumber menyebutkan

    bahwa kebakaran pada areal HP merupakan rembetan (APHI, 2015). Namun karena

    kondisi lahan gambut di dalam areal HP sangat kering, air di dalam kanal pun anjlok

    drastis, sehingga areal tersebut menjadi sangat rawan terbakar. Situasi kekeringan

    tersebut memberikan pelajaran bahwa pengeringan gambut melalui pembuatan kanal-

    kanal, walaupun dilakukan sejenis pengelolaan air agar tidak surut drastis. Pada

    realitanya, pengaturan air tersebut tidak mampu mempertahankan ketinggian air untuk

    menjaga agar gambut tetap basah karena sekelilingnya dan kubah gambutnya telah

    dibelah sehingga tak mampu lagi menyimpan air pada musim kemarau.

    Gambar 2. Sebaran titik-titik api (hotspot) pada kejadian kebakaran hutan dan lahan di

    wilayah Kabupaten OKI pada tahun 2015.

    Sebaran titik panas terbanyak pada awal-awal kejadian kebakaran hutan tahun

    2015 terdapat di wilayah Kecamatan Pampangan dan Kecamatan Tulung Selapan (Gambar

    0 1000 2000 3000 4000 5000

    Agustus

    September

    Oktober SM

    HPT

    HPK

    HP

    HL

    APL

  • Prosiding Ekspose Hasil Penelitian

    224

    2). Namun pada puncak kebakaran (Oktober 2015), titik api terbanyak terdapat di wilayah

    Kecamatan Tulung Selapan dan Air Sugihan (Gambar 3).

    Gambar 3. Penyebaran titik-titik panas (hotspots) pada bulan Agustus 2015

    di Kabupaten OKI

    Gambar 4. Sebaran titik-titik panas pada bulan Oktober 2015 di Kabupaten OKI

    3. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Riding

    Jumlah penduduk Desa Riding tercatat sebanyak 984 KK dan jumlah total

    penduduknya mencapai 3.762 jiwa. Berdasarkan kategori usia, jumlah penduduk terbesar

    berada pada kisaran usia 15 – 45 tahun, yaitu 2.361 jiwa atau 62% dari total jumlah

  • Aspek Sosial Ekonomi

    225

    penduduk. Apabila dibedakan berdasarkan jenis kelaminnya, jumlah penduduk laki-laki

    dan perempuan menunjukkan porsi yang berimbang, yakni masing-masing sebanyak 1882

    dan 1880 jiwa (Slamet, 2015).

    Proporsi jumlah penduduk miskin di Desa Riding relatif lebih tinggi dibandingkan

    dengan jumlah penduduk miskin di Kabaupaten OKI secara keseluruhan. Jumlah

    penduduk miskin di Desa Riding mencapai 174 KK atau 22% dari jumlah total KK. Adapun,

    prosentase penduduk miskin di tingkat Kabupaten OKI pada tahun 2010 sebesar 15%.

    Penduduk Desa Riding secara umum menggantungkan hidupnya pada sektor

    pertanian, khususnya sub sektor perkebunan. Data yang ditampilkan dalam dokumen

    Profil Desa Riding Tahun 2014 menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Desa Riding

    bermata pencaharian sebagai petani (900 KK), sisanya tersebar dalam berbagai mata

    pencaharian, antara lain: buruh (48 KK), dagang (16 KK), aparatur negara yaitu sebagai

    PNS/TNI/POLRI (13 KK) dan mata pencaharian lainnya yang belum termasuk dalam

    kategori di muka (7 KK).

    Pola budidaya pertanian masyarakat Desa Riding umumnya mirip dengan pola

    bertani masyarakat lokal umumnya yang tinggal di wilayah Kabupaten OKI. Pola bertani

    mereka adalah berkebun dan komoditi yang dikembangkannya yaitu tanaman karet.

    Selama menunggu tanaman karet siap sadap, petani umumnya melakukan praktik

    tumpang sari. Praktik demikian biasanya dilakukan pada saat peremajaan tanaman karet

    yaitu saat mengganti tanaman karet lama dengan tanaman yang baru. Jenis komoditi

    pertanian yang ditanam umumnya adalah padi (pada tahun pertama), kemudian aneka

    jenis sayuran (tahun kedua) dan ada pula yang menanam pisang (pada tahun ketiga).

    Setelah tanaman karet lebih dari 3 tahun, tajuknya sudah agak rapat sehingga tidak

    digunakan untuk tumpang sari.

    Penggunaan api dalam proses persiapan lahan untuk meremajakan tanaman karet

    masih umum dilakukan oleh masyarakat Desa Riding. Pembakaran dimaksudkan untuk

    membersihkan lahan dari semak belukar, daun, ranting dan cabang-cabang pohon karet

    tua yang telah ditebang. Menurut penuturan warga setempat, walaupun pembakaran

    dilakukan pada saat musim kemarau, namun jarang sekali api pada proses pembakaran

    tersebut merembet ke tempat lain. Karena pembakaran dilakukan secara bertahap,

    sedikit demi sedikit dan di sekeliling kebun telah dibuat sekat bakar. Selain itu, proses

    pembakaran pun senantiasa diawasi dan dijaga agar api tidak merembet ke tempat lain.

    Hasil pemantauan lapangan juga memperlihatkan bahwa penggunaan api oleh

    masyarakat dalam proses permudaan tanaman karet masih menjadi pola yang belum

    ditinggalkan. Walaupun demikian, tampak bahwa api hanya menghanguskan areal yang

    memang hendak dibakar.

    Budaya membakar dalam kegiatan berkebun pada tanah mineral juga dilakukan

    oleh masyarakat pada lahan rawa yang telah mengering. Walaupun telah ada maklumat

    larangan membakar namun sepertinya aturan tersebut belum sepenuhnya ditaati.

    Penggunaan api untuk menghilangkan semak pada areal tegakan hutan sekunder gelam

    juga merupakan salah satu sumber api yang dapat menyebabkan kebakaran pada lahan

    rawa gambut. Adanya aktivitas di dalam kawasan hutan rawa gambut juga meningkatkan

    potensi terbakarnya lahan dan hutan rawa gambut. Keteledoran dalam membuang

    puntung rokok saat mencari kayu gelam juga dapat memicu terjadinya kebakaran lahan

    dan hutan rawa gambut, khususnya pada saat lapisan gambut sangat kering dan

    hembusan angin yang cukup kencang.

  • Prosiding Ekspose Hasil Penelitian

    226

    Kayu gelam telah menjadi harapan hidup bagi sebagian masyarakat Desa Riding

    yang bermukim di Dusun III yang tersebar di beberapa pemukiman, yaitu di Muara

    Penyabungan, Rengas Potong, Rengas Merah dan Muara Biyuku. Mereka memanen kayu

    gelam dari tegakan alam yang tersebar di sekitar dan di dalam areal konsesi IUPHHK-HTI

    PT. BMH dan dalam kawasan Suaka Margasatwa Padang Sugihan. Ukuran kayu gelam

    yang ditebang bervariasi dari ukuran diameter pangkal 5 cm hingga di atas 20 cm. Kayu

    gelam ukuran diameter 5 cm panjang 4 m dijual pengumpul kepada pedagang pengepul

    seharga Rp3.000,- per batang. Harga kayu gelam dengan ukuran panjang yang sama (4 m)

    dan ukuran diameter 7 cm dan 12 cm, berturut turut adalah Rp 5.000,- dan Rp 10.000,-

    per batang. Pengumpul kayu gelam biasanya berkelompok empat hingga lima orang. Hal

    ini untuk meringankan biaya pengangkutan kayu gelam dari dalam hutan ke pinggir jalan

    Desa. Sarana pengangkut kayu gelam dari dalam hutan ke pinggir jalan tersebut

    menggunakan roda yang ditarik oleh mesin hand tracktor.

    Kondisi perekonomian yang sedang terpuruk saat ini juga berimbas terhadap

    menurunnya harga komoditas getah karet dan kelapa sawit diduga dapat berdampak

    terhadap kelestarian tegakan gelam. Jumlah permintaan dan harga kayu gelam yang

    relatif stabil dapat berpotensi menarik minat para para penyadap karet upahan untuk

    beralih menjadi pengumpul gelam. Hasil investigasi kami di lapangan dapat mengungkap

    bahwa para pencari gelam yang bermukim di wilayah Rengas Potong, tidak hanya warga

    asli Desa Riding tetapi mereka pendatang dari wilayah Sirah Pulau (SP) Padang (salah satu

    wilayah Kecamatan di Kabupaten OKI).

    Hal yang akan menjadi faktor penentu keberlanjutan sumber pendapatan

    masyarakat pengumpul gelam adalah kelestarian tegakan gelam di hutan alam. Jika hanya

    mengandalkan tegakan alam tanpa adanya upaya budidaya dan pengaturan ekstraksi

    maka berpotensi menghadapi kehilangan pendapatan dari gelam. Untuk itu, eksplotasi

    gelam oleh masyarakat ini juga perlu diatur agar mampu menjamin kelestarian

    pendapatan mereka. Selain itu, eksploitasi kayu gelam dari dalam kawasan Suaka

    Margasatwa Sugihan perlu dihentikan untuk menjaga habitat satwa di dalamnya dan

    meminimalkan potensi kebakaran hutan rawa gambut di dalam kawasan SM (Suaka

    Margasatwa) tersebut.

    Seperti telah disinggung di muka, meskipun wilayah Desa Riding sangat luas,

    namun sebagian besar arealnya berupa Kawasan Hutan. Areal yang dikelola secara

    intensif oleh masyarakat dan telah dibebani Hak Milik tidak lebih dari 13.000 ha. Areal

    tersebut umumnya digunakan sebagai tanah sawah/pertanian (383 ha), pekarangan (22

    ha), tegalan (10.465 ha) dan perkebunan (1.537 ha). Selebihnya, sekitar 80% areal Desa

    Riding adalah berupa kawasan Hutan Produksi (HP), Hutan Konservasi (HK), dan Areal

    Penggunaan Lain (APL). Kawasan HP tersebut saat ini telah menjadi areal konsesi IUPHHK-

    HTI PT. Bumi Mekar Hijau (PT. BMH), Sinar Mas Group. Adapun, HK merupakan bagian

    dari kawasan Suaka Margasatwa Padang Sugihan.

    Sebagian besar responden berpandangan bahwa cara mengolah lahan gambut

    untuk bisa ditanami adalah dengan cara membakar. Dengan adanya larangan membakar

    maka mereka berharap ada bantuan dari pemerintah untuk mengolah lahan rawa

    tersebut. Terkait dengan upaya pencegahan kebakaran lahan rawa gambut, Proyek

    Penanggulangan dan Pencegahan Kebakaran Hutan yang didanai oleh Uni Eropa (South

    Sumatra Forest Fire Management Project) telah mengimplementasikan beberapa

    program pembangunan di Desa Riding, yakni pendidikan lingkungan bagi anak sekolah,

    pemetaan partisipatif lahan desa, dan pemberdayaan masyarakat. Upaya pemberdayaan

  • Aspek Sosial Ekonomi

    227

    yang dilaksanakan di Desa Riding adalah usaha penggemukan kerbau. Namun program

    tersebut dapat dikatakan tidak berhasil, kerbau bantuan dari proyek tersebut bukannya

    digulirkan di dalam kelompok tani melainkan dijual. Program serupa telah dicoba oleh

    Manggala Agni melalui program penggemukan kambing etawa. Namun program tersebut

    juga belum mampu meminimalkan kebakaran hutan dan lahan.

    B. Pembahasan

    Berdasarkan uraian hasil penelitian di muka tampak bahwa kejadian kebakaran

    hutan dan lahan gambut seiring dengan dinamika pada sistem lingkungan yaitu

    terganggunya keseimbangan ekosistem rawa gambut. Gangguan terhadap keseimbangan

    ekosistem gambut disebabkan oleh aktivitas dan dinamika yang terjadi pada sistem

    ekonomi. Sistem ekonomi yang terjadi dalam skala rumah tangga terkait dengan proses

    produksi dan konsumsi atas barang dan jasa oleh rumah tangga yang tergambar dalam

    pemanfaatan lahan gambut. Dalam kasus pemanfaatan lahan gambut di desa Riding,

    Kabupaten OKI, rumah tangga memproduksi barang konsumsi berupa beras melalui

    aktivitas budidaya padi sonor. Pada skala perusahaan, juga terjadi proses eksploitasi lahan

    gambut oleh firma yang tujuannya juga memproduksi barang konsumsi. Jenis barang

    konsumsi yang diproduksi oleh perusahaan adalah barang setengah jadi (intermediate

    goods) yaitu kayu bahan baku pulp dan kertas.

    Kedua jenis proses produksi baik yang dilakukan oleh rumah tangga maupun

    perusahaan oleh bidang statistik dicatat dan dijumlahkan secara agregat dalam skala

    regional kabupaten atau provinsi sebagai nilai PDRB. Namun dampak lingkungan yang

    ditimbulkannya berupa kekurangan air dan kerugian akibat bencana asap luput dari

    perhitungan. Sebagai contoh bencana pencermaran asap yang tergolong ekstrim pada

    kejadian kebakaran hutan dan lahan di Sumatera Selatan pada tahun 2015 diprediksi

    dapat menyebabkan kematian penduduk hingga 100.300 jiwa yang tersebar di Indonesia,

    Malaysia dan Singapura (Koplitz et al., 2016). Biaya korban asap seperti itu yang tidak

    dikalkulasikan dalam neraca pendapatan konvensional.

    Mengざhijauざkan neraca pendapatan dapat diartikan sebagai upaya untuk meminimalkan limbah yang dibuang ke sistem lingkungan (polusi) (Douthwaite, 1999).

    Oleh karena itu dalam konteks bencana kabut asap, maka pencegahan kebakaran hutan

    dan lahan merupakan langkah menuju pengurangan limbah sehingga pertumbuhan yang

    diraih oleh sistem ekonomi lebih ramah lingkungan, atau secara singkat dikenal sebagai

    pertumbuhan hijau.

    Dalam konteks pertumbuhan hijau, meminimalkan polusi juga selayaknya tidak

    menyebabkan pengurangan serapan tenaga kerja. Oleh karena itu, pertumbuhan tetap

    diperkenankan dengan disertai upaya-upaya mengurangi polusi. Salah satu yang dapat

    dilakukan adalah dengan cara menerapkan pola produksi (budidaya) yang bersifat efisien

    terhadap bahan baku dan praktik-praktik budidaya yang tidak mengganggu keseimbangan

    alam.

    Internalisasi eksternalitas (dampak positif dan negatif) pembangunan ekonomi

    dapat memperbaiki performa perekonomian (Reilly, 2012). Internalisasi eksternalitas

    negatif ke dalam penghitungan pendapatan ekonomi menghasilkan gambaran

    pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (pertumbuhan hijau). Dalam kasus yang

    terjadi di desa Riding adalah timbulnya eksternalitas berupa bencana asap yang

    disebabkan oleh kebakaran yang terkait dengan aktivitas ekonomi pada lahan gambut,

    yakni sonor oleh rumah tangga dan produksi bahan baku pulp & kertas oleh perusahaan.

  • Prosiding Ekspose Hasil Penelitian

    228

    Pencegahan kebakaran adalah upaya untuk mengurangi eksternalitas tersebut, sehingga

    pertumbuhan ekonomi hijau dapat dicapai.

    IV. KESIMPULAN

    Kebakaran lahan dan hutan terjadi berulang pada lahan gambut yang tidak

    dikelola dengan baik karena beberapa alasan. Konflik pada kawasan hutan dan lahan

    gambut menyebabkan lahan yang disengketakan tidak dapat dikelola dan menjadi rawan

    terbakar di musim kemarau. Manipulasi dan modifikasi lingkungan gambut melalui

    pembangunan kanal menimbulkan masalah baru yang menyebabkan lahan gambut

    semakin terancam bahaya kebakaran pada musim kemarau. Di sisi lain, praktik pertanian

    sonor di lahan gambut masih sederhana dengan input sumberdaya yang rendah dan

    masih mengandalkan areal bekas terbakar sebagai lokasinya. Hal ini menunjukkan api

    masih menjadi media penting dalam kegiatan produksi pertanian di lahan gambut dan

    belum ada alternatif penggantinya.

    Dinamika pada sistem ekonomi dalam lingkup Desa Riding menunjukkan adanya

    aktivitas pemanfaatan lahan gambut oleh masyarakat sebagai lahan budidaya padi sonor

    dan oleh perusahaan sebagai lahan pengembangan produk kayu bahan baku pulp dan

    kertas. Dinamika pada sistem ekonomi tersebut telah mengakibatkan degradasi pada

    sistem lingkungan berupa penyusutan lahan gambut dan meningkatnya kerawanan lahan

    rawa gambut karena orientasi pada manfaat finansial ekonomi dengan mengesampingkan

    pertimbangan lingkungan.

    Dinamika kegiatan sosial ekonomi masyarakat masih mengandalkan lahan sebagai

    sumber utama penggerak perekonomian masyarakat dan rumah tangga. Upaya

    pelarangan pembakaran lahan gambut tanpa disertai alternatif upaya pengelolaan lahan

    tanpa bakar menurut masyarakat bukan menjadi upaya pencegahan kebakaran yang

    solutif. Salah satu hal mendasar dalam mencari solusinya adalah menempatkan

    masyarakat menjadi aktor utama dalam pengelolaan gambut dan bukan menjadi obyek.

    Evaluasi terhadap berbagai program pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan

    dan lahan perlu dilakukan untuk mengetahui hal-hal yang perlu diperbaiki. Sentuhan

    teknik pengelolaan lahan gambut yang lebih baik belum ada pada level masyarakat

    sedangkan teknik pengeloaan lahan gambut oleh korporasi terbatas hanya meliputi areal

    yang dikelolanya sehingga pengelolaan lahan gambut berkelanjutan dalam konteks

    lansekap kesatuan hidrologi gambut belum dilakukan. Konsep pengelolaan gambut dalam

    satu wilayah hendaknya mengintegrasikan kepentingan ekonomi, sosial, budaya dan

    ekosistem secara komprehensif. Upaya tersebut dapat dilakukan salah satunya dengan

    mengadopsi konsep green growth dalam pengelolaan lahan gambut secara terpadu.

    UCAPAN TERIMA KASIH

    Penulis mengucapkan terima kasih Kepada Balai Penelitian dan Pengembangan

    Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) Palembang yang telah mendanai kegiatan

    penelitian sehingga memungkinkan didapatkan data untuk penulisan tulisan ini. Ucapan

    terima kasih juga kami sampaikan kepada Kepala Dinas, Kabid Perlindungan Hutan, Kasie

    Pencegahan Kebakaran Hutan di Dinas Kehutanan Kabupaten Ogan Komering Ilir, Kadaop

    Manggala Agni Daop Kayu Agung beserta anggotanya, Kades Riding, Kadus II Riding,

    Penyuluh Kehutanan dan Perkebunan Kecamatan Pangkalan Lampam dan segenap

    masyarakat Desa Riding, Kecamatan Pangkalan Lampam, Kabupaten OKI.

  • Aspek Sosial Ekonomi

    229

    DAFTAR PUSTAKA

    Chokkalingan, U., Suyanto, R. P. Permana, I. Kurniawan, J. Mannes, A. Darmawan, N.

    Khususyiah, R. H. Susanto. 2007. Community fire use, resource change, and

    livelihood impacts: The downward spiral in the wetlands of southern Sumatra.

    Mitigation and Adaptation Strategy for Global Change (2007) 12: 75 – 100. Daly, H.E. 2007. Ecological Economics and Sustainable Development, Selected Essays of

    Herman Daly. Edward Elgar, Cheltenham, UK, Northampton, MA, USA.

    Douthwaite, R. 1999. The need to end economic growth, Dalam M. S. Cato, & M. Kennett

    (Eds.) Green Economics: Beyond Supply and Demand to Meeting Human Needs.

    Aberystwyth: Green Audit.

    Ga┗eau, D.L.A., M. A. “aliマ, K. HergoualIげh, B. LoIatelli, “. “loaミ, M. Wooster, M. E. Marlier, E. Molidena, H. Yaen, R. DeFries, L. Verchot, D. Murdiyarso, R. Nasi, P.

    Holmgren & D. Sheil. 2014. Major atmospheric emissions from peat fires in

    Southeast Asia during non-drought years: evidence from the 2013 Sumatran fires.

    Scientific Report. 4 (6112): 1 – 7. Koplitz, S. N., L. J. Mickley, M. E. Marlier, J. J. Buonocore, P. S. Kim, T. Liu, M. P. Sulprizio,

    R. S. DeFries, D. J. Jacob, J. Schwartz, M. Pongsiri, & S. S. Myers. 2016. Public

    health impacts of the severe haze in Equatorial Asia in September – October 2015: demonstration of a new framework for informing fire management strategies to

    reduce downwind smoke exposure. Environmental Research Letters, 11 (2016)

    094023: 1 – 10. Reilly, J.M. 2012. Green growth and the efficient use of natural resources. Energy

    Economics, 34 (2012): S85–S93. Setijono, D. 2004. Kehidupan Masyarakat dan Kaitannya dengan Kebakaran Lahan

    Rawa/Gambut di Kabupaten Ogan Komering Ilir – Provinsi Sumatera Selatan. Dalam Suyanto, U. Chokkalingam & P. Wibowo (Eds.). Prosiding Semiloka

    Kebakaran di Lahan Rawa/Gambut di Sumatera: Masalah dan Solusi. 47 – 61. Slamet, H. 2015. Profil Desa Riding, Kecamatan Pangkalan Lampam, Kabupaten Ogan

    Komering Ilir. Balai Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan Pangkalan

    Lampam, Kabupaten Ogan Komering Ilir.

  • Prosiding Ekspose Hasil Penelitian

    230

  • Aspek Sosial Ekonomi

    231

    KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAS UNTUK MENDUKUNG

    KELESTARIAN DAS MUSI

    Nur Arifatul Ulya Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang

    E-mail: [email protected]

    ABSTRAK

    DAS Musi ditetapkan sebagai salah satu DAS prioritas dalam RPJMN 2015 - 2019 maupun dalam SK

    Menhut No SK.328/Menhut-II/2009 karena kondisinya yang kritis. Banyaknya pemangku kepentingan

    dengan beragam latar belakang dan cara pandang menjadi salah satu penyebab tidak lestarinya

    pengelolaan DAS Musi yang mengarahkan pada kerusakan DAS. Bentuk kelembagaan bersama (dalam

    bentuk forum/badan koordinasi) merupakan alternatif yang paling memungkinkan dalam

    pembentukan kelembagaan pengelolaan DAS saat ini. Forum koordinasi DAS Musi yang berubah

    menjadi FDAS Sumsel tahun pada tahun 2015 diharapkan menjadi wadah yang terstruktur dan

    independen dari perwakilan para pihak yang terlibat dalam pengelolaan DAS Musi untuk saling

    berkomunikasi, berkonsultasi dan berkoordinasi dalam rangka pengelolaan DAS Musi secara lestari.

    Kelembagaan koordinasi DAS Musi perlu mengadopsi kolaborasi bersarang yang mengkordinasikan

    micro-macro watershed, karena DAS Musi mempunyai lingkup DAS yang berjenjang. Kolaborasi ini

    seyogyanya dilembagakan dalam bentuk aturan.

    Kata kunci: DAS prioritas, kolaborasi, koordinasi, pemangku kepentingan

    I. PENDAHULUAN

    Jumlah Daerah Aliran Sungai (DAS) Prioritas dari waktu ke waktu terus bertambah.

    Jumlah DAS Prioritas pada tahun 1970 adalah 22 DAS, tahun 1980-an menjadi 36 DAS dan

    1999 semakin meningkat, menjadi 60 DAS. Peningkatan jumlah DAS Prioritas

    menunjukkan bahwa pengelolaan DAS yang dilakukan selama ini belum tepat sasaran.

    Pengelolaan yang kurang tepat sasaran diindikasikan oleh tingkat kekritisan suatu DAS.

    Tingkat kekritisan DAS ditunjukkan oleh penurunan penutupan vegetasi permanen dan

    meningkatnya luasan lahan kritis sehingga menurunkan kemampuan DAS dalam

    menyimpan air. Akibatnya terjadi peningkatan frekuensi banjir, erosi dan tanah longsor

    pada musim penghujan dan kekeringan pada musim kemarau. Areal berhutan sekitar

    96,490.8 juta hektar (51,53% dari luas daratan). Angka deforestasi tahun 2012 - 2013

    sekitar 727.981,2 hektar. Luas lahan kritis pada tahun 2013 adalah 24.303.294 hektar

    (Kementerian Lingkugan Hidup dan Kehutanan, 2015). Erosi daerah pertanian lahan

    kering yang padat penduduk pada angka yang tinggi, melebihi yang dapat ditoleransi (15

    ton/ha/th), sehingga fungsi DAS dalam mengatur siklus hidrologi mengalami penurunan

    (Ekawati, 2015).

    Penurunan kemampuan DAS dalam menjalankan fungsinya berdampak negatif

    pada kualitas hidup manusia, sehingga diperlukan upaya perbaikan kondisi DAS.

    Perbaikan kondisi DAS yang menyangkut hajat hidup masyarakat Indonesia diakomodir

    pemerintah dalam rencana pembangunan nasional. Rencana Pembangunan Jangka

    Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2015 - 2019 mencantumkan 15 DAS (Daerah Aliran

    Sungai) prioritas untuk dipulihkan dalam jangka waktu tahun 2015 sampai 2019. DAS

    prioritas untuk dipulihkan berada di Pulau Jawa, Sumatera, Nusa Tenggara Barat,

    Kalimantan, dan Sulawesi. DAS prioritas yang berada di Pulau Sumatera adalah DAS

  • Prosiding Ekspose Hasil Penelitian

    232

    Asahan Toba, Siak, Musi, Way Sekampung, dan Way Seputih. DAS Musi termasuk salah

    satu DAS prioritas untuk dipulihkan dalam kurun waktu 2015 - 2019.

    Penetapan DAS Musi sebagai DAS prioritas juga terdapat dalam SK Menhut No

    SK.328/Menhut-II/2009. DAS Musi dengan luas sekitar 8,6 juta hektar merupakan salah

    satu dari 108 DAS di Indonesia yang ditetapkan melalui SK Menhut No SK.328/Menhut-

    II/2009 sebagai DAS prioritas karena kondisinya yang kritis. Kondisi ini diindikasikan dari

    luas lahan kritis dengan kategori agak kritis hingga sangat kritis yang mencapai 1,7 juta

    hektar (BPDAS Musi, 2011). Indikasi lainnya adalah luas tutupan hutan di Sumatera

    Selatan yang tersisa adalah 1.346,8 hektar (± 15,6% dari luas wilayah Sumatera Selatan).

    Tekanan terhadap DAS Musi cenderung bersifat antropogenik. Data BPS Provinsi

    Sumatera Selatan (2015) menunjukkan bahwa jumlah penduduk Sumatera Selatan yang

    meningkat dari waktu ke waktu dengan jumlah 7.941.495 pada tahun 2014 (meningkat

    1,44% dari tahun 2013). Jumlah penduduk yang terus meningkat membutuhkan air dan

    lahan yang juga meningkat dari waktu ke waktu. BPS Provinsi Sumatera Selatan (2015)

    menyatakan bahwa empat sektor utama penyumbang PDRB Sumatera Selatan, yaitu

    sektor pertambangan dan penggalian, sektor pertanian, perkebunan dan perikanan,

    sektor industri pengolahan dan sektor konstruksi. Keempat sektor utama di Sumatera

    Selatan berkaitan erat dengan lahan dan wilayah DAS. Kebutuhan akan lahan untuk

    budidaya maupun infrastruktur dalam rangka pembangunan ekonomi memberikan

    tekanan pada sumberdaya hutan melalui kegiatan konversi hutan yang mengancam

    tutupan lahan di wilayah DAS Musi. Industrialisasi memberikan kontribusi pada

    menurunnya kualitas air dan kualitas lingkungan secara umum di DAS Musi. Perbedaan

    cara pandang dari pemangku kepentingan yang terkait dengan DAS Musi juga

    berkontribusi pada penurunan kualitas lingkungan DAS Musi.

    DAS Musi memberikan berbagai manfaat dalam pengelolaannya berkaitan dengan

    banyak pemangku kepentingan. Pemangku kepentingan yang berkaitan dengan

    pengelolaan DAS Musi berasal dari berbagai sektor dengan cara pandang yang beragam

    terhadap DAS. Kondisi ini berpotensi memperburuk kondisi DAS apabila tidak diikuti

    upaya untuk menjembatani ber