attachment

25
STUDI EPIDEMIOLOGI KEJADIAN SISTISERKOSIS BERDASARKAN JURNAL TENTANG “Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Sistiserkosis pada Penduduk Kecamatan Wamena Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua Tahun 2002 ” Dosen Pembimbing : AT Diana Nerawati, S.KM.,M.Kes Disusun Oleh : 1. Maulana Mukhlisin (P27833113049) 2. Astrid Retno Hapsari (P27833113048) 3. Lintang Hartika Romadhoni (P27833113064) 4. Ucik Latifathul Lailiyah (P27833113075) 5. Churrotul Aini Indah Sari (P27833113084)

Upload: astrid-retno-hapsari

Post on 07-Nov-2015

220 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Pm

TRANSCRIPT

STUDI EPIDEMIOLOGI KEJADIAN SISTISERKOSISBERDASARKAN JURNAL TENTANGFaktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Sistiserkosis pada Penduduk Kecamatan Wamena Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua Tahun 2002

Dosen Pembimbing :AT Diana Nerawati, S.KM.,M.Kes

Disusun Oleh :1. Maulana Mukhlisin (P27833113049)1. Astrid Retno Hapsari (P27833113048)1. Lintang Hartika Romadhoni (P27833113064)1. Ucik Latifathul Lailiyah(P27833113075)1. Churrotul Aini Indah Sari(P27833113084)

Kelas B / Kelompok A / Sub 3Semester IVKementerian Kesehatan Republik IndonesiaPoliteknik Kesehatan Kemenkes SurabayaJurusan Kesehatan LingkunganTahun 2015BAB IPENDAHULUAN1.1 Latar Belakang Sistiserkosis adalah penyakit yang disebabkan oleh stadium larva Taenia solium(cacing pita babi). Manusia berperan sebagai hospes definitif yaitu mengandung cacing dewasa dan sekaligus sebagai hospes perantara yaitu tempat hidupnya larvae T. solium. Seorang akan menderita sistiserkosis bila telur yang mencemari makanan tertelan. Di dalam lambung telur akan dicerna, dinding telur hancur, embrio heksakan/onkosfer keluar, menembus dinding lambung dan masuk ke dalam saluran getah bening serta peredaran darah.Sampai saat ini,sistiserkosis masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara-negara sedang berkembang seperti di Amerika Latin, Afrika dan Asia termasuk Indonesia. Di Indonesia, sampai saat ini, diketahui sistiserkosis terutama ditemukan di tiga propinsi yaitu Bali, Papua (Irian Jaya) dan Sumatera Utara. Berdasarkan data yang diperoleh dari jurnal yang ditulis oleh Wilfred H. Purba, dkk, dapat diketahui bahwa prevalensi tertinggi ditemukan di Propinsi Papua pada tahun 1997 yaitu 42,7%. Studi kasus ini bertujuan untuk mendapatkan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian sistiserkosis di Kecamatan Wamena, Kabupaten Jawawijaya. Dari seluruh variabel yang diteliti didapatkan beberapa faktor yang secara statistik berhubungan bermakna dengan kejadian sistiserkosis setelah dikontrol secara bersamaan yaitu cuci tangan (OR 4,9 95%CI:2,55-9,61), jenis pekerjaan (OR 2,11 95%CI:1,14-3,91), frekuensi mandi (OR 2,59 95%CI:1,31-5,13), jenis sumber air bersih (OR 2,41 95%CI:1,31-4,44) dan tempat buang air besar (OR 6,25 95%CI:3,14-12,44). Perlu dilakukan pendidikan kesehatan kepada masyarakat tentang hal-hal sebagai berikut: kebiasaan mencuci tangan, pentingnya mandi dengan menggunakan air bersih serta membuang air besar pada tempat yang terlindung. Pemerintah daerah perlu mengadakan sarana air bersih dan sarana umum untuk tempat buang air besar.

1.2 Rumusan MasalahFaktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian sistiserkosis di Kecamatan Wamena, Kabupaten Jayawijaya Provinsi Papua ?

1.3 Tujuana. Tujuan Umum Untuk mengetahui Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap sistiserkosis di Kecamatan Wamena, Kabupaten Jayawijaya Provinsi Papua b. Tujuan Khusus1. Menganalisa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap sistiserkosis di Kecamatan Wamena, Kabupaten Jayawijaya Provinsi Papua berdasarkan umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, kebiasaan mencuci tangan sebelum makan, frekuensi mandi, masak air minum, sumber air minum, penyajian daging, dan tempat BAB.2. Menganalisa faktor resiko kejadian sistiserkosis berdasarkan 4W+1H3. Mengidentifikasi faktor resiko kejadian sistiserkosis berdasarkan Host, Agent, dan Environment4. Mengidentifikasi faktor resiko sistiserkosis berdasarkan Orang, Tempat damn waktu

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Penyakit Sistiserkosis Sistiserkosis adalah penyakit yang disebabkan oleh larva Taenia solium yaitu cacing pita pada babi. Nama lain dari larva adalah metasestoda, cacing gelembung, kista atau cysticercus cellulosae. Sistiserkosis dapat menimbulkan gejala-gejala yang berat, khususnya bila ditemukan di dalam otak. Manusia berperan sebagai hospes definitif yaitu mengandung cacing dewasa dan sekaligus sebagai hospes perantara yaitu tempat hidupnya larvae T. solium. Seorang akan menderita sistiserkosis bila telur yang mencemari makanan tertelan. Di dalam lambung telur akan dicerna, dinding telur hancur, embrio heksakan/onkosfer keluar, menembus dinding lambung dan masuk ke dalam saluran getah bening serta peredaran darah. Embrio heksakan kemudian tersangkut antara lain di jaringan subkutan, otot, otak, mata dan berbagai organ lain. Larva yang menginfeksi sistim saraf pusat menyebabkan neurosistiserkosis, sedangkan bila ditemukan di jaringan atau organ lain penyakit secara umum disebut disini sistiserkosis.

2.2 Etiologi Penyakit Sistiserkosis Terjadinya penyakit sistiserkosis disebabkan oleh Taenia solium (cacing pita daging babi).Siklus hidup T. solium secara umum memiliki pola yang sama dengan Taenia yang lain yang membedakan adalah inang antaranya yaitu babi. Babi adalah hewan omnivore termasuk memakan tinja manusia.Larva ini mudah ditemukan dalam jaringan otot melintang tubuh babi.Bahayanya telur T. solium juga menetas dalam usus manusia sehingga manusia bertindak sebagai inang anatara walaupun secara kebetulan. Seseorang akan menderita sistiserkosis apabila telur mencemari makanan tertelan. Di dalam lambung telur akan akan dicerna, dinding telur hancur, embrio heksakan/onkosfer keluar, menembus dinding lambung dan masuk ke dalam saluran getah bening serta peredaran darah. Embrio heksakan kemudian akan tersangkut antara lain di jaringan subkutan, otot, otak, mata dan berbagai organ lain.

2.3 Gejala gejala Penyakit SistiserkosisBerikut ini ada beberapa gejala klinis dari penyakit sistiserkosis antara lain :1. Cysticercosis pada otot , Cysticerci dapat berkembang dalam setiap otot pada manusia. Invasi otot oleh cysticerci dapat menyebabkan myositis, disertai demam, eosinofilia, dan pseudohypertrophy otot, yang dimulai dengan pembengkakan otot dan kemudian berkembang menjadi atrofi dan fibrosis.2. Neurocysticercosis, Neurocysticercosis merupakan istilah umum yang merujuk pada kista dalam parenkim otak. Biasanya berakibat kejang dan sakit kepala (jarang terjadi).3. Neurocysticercosis Intraventricular, Kista terletak di dalam ventrikel otak, dapat memblokir arus keluar cairan serebrospinal dan hadir dengan gejala peningkatan tekanan intrakranial.4. Racemose neurocysticercosis, Racemose neurocysticercosis mengacu pada kista dalam ruang subarachnoid. Ini kadang-kadang dapat tumbuh menjadi massa lobulated yang besar dan menyebabkan tekanan pada struktur sekitarnya.5. Neurocysticercosis Spinal, Neurocysticercosis melibatkan sumsum tulang belakang, paling sering menyajikan sebagai nyeri punggung dan radiculopathy.6. Sistiserkosis Medic, Dalam beberapa kasus, cysticerci dapat ditemukan di seluruh bagian tubuh ; otot luar mata, dan subconjunctiva. Tergantung pada lokasi, sistiserkosis dapat menyebabkan kesulitan visual yang berfluktuasi pada mata, edema retina, perdarahan, visial menurun atau bahkan hilangnya penglihatan.7. Subkutan sistiserkosis, Kista subkutan adalah dalam bentuk lainnya, nodul seluler, terjadi terutama pada batang dan ekstremitas. Nodul subkutan kadang-kadang menyakitkan.

2.4 Masa Inkubasi Penyakit SistiserkosisGejala dari penyakit cysticercosis biasanya muncul beberapa minggu sampai dengan 10 tahun atau lebih setelah seseorang terinfeksi. Telur cacing akan tampak pada kotoran orang yang terinfeksi oleh Taenia solium dewasa antara 8 12 minggu setelah orang yang bersangkutan terinfeksi, dan untuk Taenia saginata telur akan terlihat pada tinja antara 10-14 minggu setelah seseorang terinfeksi oleh Taenia saginata dewasa.

2.5 Cara Penularan Penyakit Sistiserkosis Cacing pita Taenia dewasa hidup dalam usus manusia yang merupakan induk semang definitive. Segmen tubuh Taenia yang telah matang dan mengandung telur keluar secara aktif dari anus manusia atau secara pasif bersama-sama feses manusia. Bila inang definitif (manusia) maupun inang antara (sapi dan babi) menelan telur (cysticercus bovis) pada sapi maupun larva Taenia Solium (Cysticerosis cellulosa) atau larva Taenia asiatica yang terdapat pada daging babi maka telur yang menetas akan mengeluarkan embrio (onchosphere) yang kemudian menembus dinding usus. Embrio cacing yang mengikuti sirkulasi darah limfe berangsur-angsur berkembang menjadi sistiserkosis yang infektif di dalam otot tertentu. Otot yang paling sering terserang sistiserkus yaitu jantung, diafragma, lidah, otot pengunyah, daerah esofagus, leher dan otot antar tulang rusuk. Manusia terkena sistiserkosis bila tertelan makanan atau minuman yang mengandung telur Taenia solium. Penularan dapat juga terjadi karena autoinfeksi, yaitu langsung melalui ano-oral akibat kebersihan tangan yang kurang dari penderita Taniasis solium. Sumber penularan cacing pita Taenia pada manusia yaitu : 1. Penderita taeniasis sendiri dimana tinjanya mengandung telur atau segmen tubuh (proglotid) cacing pita.2. Hewan, terutama babi dan sapi yang mengandung larva cacing pita (sistisekus).3. Makanan, minuman dan lingkungan yang tercemar oleh telur cacing pita.

2.6 Cara Pencegahan Penyakit Sistiserkosis1. Pencegahan Primordiala. Mempertahankan gaya hidup yang sudah ada dan benar dalam masyarakat.b. Peningkatan kinerja pengawasan daging yang dijual, agar bebas larva cacing (sistiserkus). Pengawasan yang dilakukan pada negara endemis biasanya adalah inspeksi yang dilakukan di rumah potong sehingga daging yang mengandung kista tidak sampai dikonsumsi masyarakat (kerjasama lintas sektor dengan dinas Peternakan).2. Pencegahan Primera. Promosi kesehatan masyarakat, misalnya dapat dilakukan pemberian pendidikan mengenai kesehatan. Meningkatkan pendidikan komunitas dalam kesehatan (kebersihan, mempersiapkan makanan, dan sebagainya)b. Pencegahan khusus, yaitu pencegahan keterpaparan dan pemberian kemopreventif. Pada babi, dapat dilakukan pemberian oxfendazole oral (30 mg/kg BB). Bila perlu, vaksinasi dengan TSOL18, setelah dilakukan eliminasi parasit dengan kemoterapi.c. Memasak daging sampai di atas 50 derajat C selama 30 menit, untuk membunuh kista cacing, membekukan daging (Soedarto, 2008). Daging yang mengandung kista tidak boleh dimakan. Masyarakat diberi gambaran tentang bentuk kista tersebut dalam daging, hal ini penting dalam daerah yang banyak memotong babi untuk upacara-upacara adat seperti di Sumatera Utara, Bali dan Irian jaya dan menghilanglkan kebiasaan makan makanan yang mengandung daging setengah matang atau mentah.d. Pemakaian jamban keluarga, tidak membuang tinja di sembarang tempat sehingga tinja manusia tidak dimakan oleh babi dan tidak mencemari tanah atau rumput dan untuk menjaga kebersihan lingkungan.e. Pada daerah endemik, sebaiknya tidak memakan buah dan sayur yang tidak dimasak yang tidak dapat dikupas.f. Hanya meminum air yang telah dikemas dalam botol, air yang disaring, atau air yang dididihkan selama 1 menit.3. Pencegahan Sekundera. Mengobati penderita, untuk mengurangi sumber infeksi, dan mencegah terjadinya autoinfeksi dengan larva cacing. b. Pemelihara sapi atau babi pada tempat yang tidak tercemar atau sapi dikandangkan sehingga tidak dapat berkeliaran.4. Pencegahan TersierUsaha untuk penanggulangan penyakit agar tidak menular.Orang yang terinfeksi harus dilindungi sehingga mereka tidak dapat berkontribusi pada siklus penularan.

2.7 Pengobatan Penyakit Sistiserkosis Pengobatan sistiserkosis tergantung pada berbagai faktor, termasuk gejala individu, lokasi dan jumlah cysticerci, dan tahap perkembangan kista. Secara umum, pengobatan disesuaikan dengan setiap pasien dan presentasi khusus mereka, dan rejimen pengobatan mungkin termasuk agen obat cacing, kortikosteroid, obat-obatan antikonvulsan, dan atau pembedahan. Manajemen bedah mungkin diperlukan pada kasus tertentu sistiserkosis. Operasi pengangkatan kista pusat sistem saraf atau penempatan shunt otak (untuk mengurangi tekanan) kadang-kadang diperlukan dalam beberapa kasus neurocysticercosis. Sistiserkosis mata harus dioperasi, sedangkan sisterkosis di otak hanya dapat dioperasi jika terdapat hanya satu kista saja yang lokasinya memungkinkan. Sistiserkosis jaringan subkutan atau otot mempunyai prognosis baik, sedangkan sistiserkosis jantung, otak, mata atau organ penting lainnya prognosisnya buruk. Berikut pengobatan sistiserkosis yang diberikan :1. Prazikuantel per oral 50 mg/kgBB/hari dosis tunggal atau dibagi dalam tiga dosis selama 15 hari. 2. Albendazol per oral 15 mg/kgBB/hari dosis tunggal atau dibagi dalam tiga dosis selama 7 hari. Penggunaan obat tersebut biasanya menimbulkan efek samping yang membuat penderita kurang nyaman. Hal itu dapat dikurangi dengan memberikan kortikosteroid, yaitu prednison 1mg/kgBB/hari dosis tunggal atau dibagi dalam tiga dosis. Kortikosteroid yang juga dapat diberikan adalah deksametason dengan dosis yang setara dengan prednison. Keberhasilan pengobatan sistiserkosis dapat diketahui melalui pemeriksaan tinja pada bulan ketiga sampai bulan keenam setelah pengobatan. Pengobatan dinyatakan berhasil bila tidak ditemukan telur Taenia sp dan proglotidnya. Apabila ditemukan telur Taenia sp, prologtid, atau keduanya maka hal itu menandakan telah terjadi infeksi baru.

BAB IIIPEMBAHASAN

3.1 Data yang diperoleh dari Jurnal1. Prevalensi taeniasis/sistiserkosis di beberapa propinsi di Indonesia berada pada rentang 1,0%-42,7% dan prevalensi tertinggi ditemukan di Propinsi Papua pada tahun 1997 yaitu 42,7%.2. Dari seluruh variabel yang diteliti didapatkan beberapa faktor yang secara statistik berhubungan bermakna dengan kejadian sistiserkosis setelah dikontrol secara bersamaan yaitu cuci tangan (OR 4,9 95%CI:2,55-9,61), jenis pekerjaan (OR 2,11 95%CI:1,14-3,91), frekuensi mandi (OR 2,59 95%CI:1,31-5,13), jenis sumber air bersih (OR 2,41 95%CI:1,31-4,44) dan tempat buang air besar (OR 6,25 95%CI:3,14-12,44).3. Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan untuk melakukan penyuluhan kesehatan yang bersinambungan yang antara lain membahas mengenai kebersihan diri seperti mencuci tangan sebelum makan, mandi tiap hari dengan air bersih. Penyuluhan tersebut selain dapat memutus mata rantai penularan sistiserkosis, juga akan mencegah penularan terhadap oral-transmitted diseases lain seperti cacingan, disentri, tifus, kolera dan hepatitis.

3.2 Analisis Kejadian Sistiserkosis Berdasarkan 4W+1H1. WhatSistiserkosis adalah penyakit yang disebabkan oleh larva Taenia solium yaitu cacing pita pada babi. Larva sistiserkus, yang semi transparan, berwarna keputih-putihan berbentuk gelembung, lonjong, dengan diameter 0,6 sampai dengan 1,8 cm, berisi cairan dan satu skoleks. Dalam potongan lintang terlihat skoleks yang masuk ke dalam (invaginated) dengan 4 batil dan dilengkapi barisan kait-kait. Prevalensi sistiserkosis di beberapa propinsi di Indonesia berada pada rentang 1,0%-42,7% dan prevalensi tertinggi ditemukan di Propinsi Papua pada tahun 1997 yaitu 42,7%.2. When Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai Februari 2002, selama 4 Minggu.3. WhereLokasi penelitian ini adalah di Kecamatan Wamena, mengingat Kecamatan Wamena merupakan daerah endemis sistiserkosis.4. WhoPopulasi dalam penelitian ini adalah seluruh penduduk di 5 desa di Kecamatan Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Propinsi Papua tahun 2002. Sampel pada studi ini adalah seluruh sampel pada survei Taeniasis, Sistiserkosis dan Neurosistiserkosis yang berusia lebih dari 8 tahun dan bersedia diambil darahnya pada survei tersebut. Penderita sistiserkosis didiagnosis berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium yang dilakukan dengan metoda Elisa terhadap serum darah dan memberikan respon positif terhadap antigen Taenia solium. Kelompok kontrol terdiri atas individu-individu yang tidak menderita sistiserkosis berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium dengan respon negatif.5. HowManusia terkena sistiserkosis bila tertelan makanan atau minuman yang mengandung telur Taenia solium. Cacing pita Taenia dewasa hidup dalam usus manusia yang merupakan induk semang definitive. Segmen tubuh Taenia yang telah matang dan mengandung telur keluar secara aktif dari anus manusia atau secara pasif bersama-sama feses manusia. Bila inang definitif (manusia) maupun inang antara (sapi dan babi) menelan telur (cysticercus bovis) pada sapi maupun larva Taenia Solium (Cysticerosis cellulosa) atau larva Taenia asiatica yang terdapat pada daging babi maka telur yang menetas akan mengeluarkan embrio (onchosphere) yang kemudian menembus dinding usus. Embrio cacing yang mengikuti sirkulasi darah limfe berangsur-angsur berkembang menjadi sistiserkosis yang infektif di dalam otot tertentu. Otot yang paling sering terserang sistiserkus yaitu jantung, diafragma, lidah, otot pengunyah, daerah esofagus, leher dan otot antar tulang rusuk.

3.3 Analisis Kejadian Sistiserkosis Berdasarkan Host, Agent, Environtment1. AgentAgent dari penyakit ini adalah Taenia solium yaitu cacing pita pada babi. Larva tersebut memiliki ciri-ciri sebagai berikut : semi transparan, berwarna keputih-putihan berbentuk gelembung, lonjong, dengan diameter 0,6 sampai dengan 1,8 cm, berisi cairan dan satu skoleks. Dalam potongan lintang terlihat skoleks yang masuk ke dalam (invaginated) dengan 4 batil dan dilengkapi barisan kait-kait. 2. HostHost dari penyakit sistiserkosis adalah manusia. Beberapa faktor host yang mempengaruhi terjadinya penyakit sistiserkosis adalah sebagai berikut :a. Kebiasaan mencuci tangan sebelum makanPada penelitian ini dapat ditemukan adanya hubungan yang bermakna antara variabel mencuci tangan sebelum makan dengan kejadian sistiserkosis dengan nilai od ratio sebesar 4,944 dan CI 95% (2,545-9,606). Hal ini berarti responden yang menderita sistiserkosis mempunyai peluang 4,944 kali terpapar variabel tidak mencuci tangan sebelum makan dibandingkan dengan yang tidak menderita sistiserkosis. Hal tersebut dapat dijelaskan mengingat upaya manusia untuk mencegah terjadinya kontaminasi makanan oleh agen infeksi adalah mencuci tangan sebelum makan.b. Kebiasaan mandiPada penelitian ini hubungan antara frekuensi mandi dan kejadian sistiserkosis tampak pada hasil analisis multivariat dimana nilai odd ratio sebesar 2,59 ( 95% CI : 1,312-5,126). Hal ini berarti responden yang sakit sisitiserkosis mempunyai peluang terpapar tidak mandi setiap hari sebesar 2,59 kali dibanding responden yang tidak sakit.

c. Kebiasaan memasak air minumPada tahap multivariat hubungan antara memasak air minum dengan kejadian sistiserkosis tidak signifikan. Kekuatan hubungan antara memasak air minum dengan kejadian sistiserkosis ini bertentangan dengan hasil penelitian lain yang menyatakan bahwa memasak air minum kemungkinan besar dapat merusak telur T.solium yang terdapat pada air minum tersebut.d. Kebiasaan dalam Penyajian daging babiPada saat analisis multivariat, ternyata variabel penyajian daging babi tidak memiliki hubungan yang bermakna, nilai odd ratio menjadi 1,785 dan CI 95% (0,8493,754). Penelitian lain menyatakan bahwa cara penyajian daging babi dapat berhubungan dengan terjadinya sistiserkosis karena dalam pengamatan sehari-hari pada proses memasak daging babi kemungkinan terjadi pencemaran dengan telur T.solium3. EnvironmentKecamatan Wamena merupakan daerah endemis sistiserkosis. Wamena adalah ibukota Kabupaten Jayawijaya yang dikelilingi pegunungan. Jumlah penduduk di Kabupaten Jayawijaya lebih kurang 400.000 jiwa dan pada umumnya mata pencaharian adalah sebagai petani. Sekitar 99% keluarga memelihara ternak babi tanpa kandang ternak. Beberapa faktor environment yang mempengaruhi terjadinya penyakit sistiserkosis adalah sebagai berikut :a. Sumber air minumPada analisis multivariat, variabel sumber air minum masih tetap memiliki hubungan yang bermakna dan nilai odd ratio menjadi 2,410 sedangkan CI 95% (1,309-4,440). Dengan demikian hasil penelitian ini menjelaskan bahwa penduduk yang sakit sisti-serkosis mempunyai resiko terpapar jenis sumber air minum tidak memenuhi syarat sebesar 2,410 kali dibanding penduduk daerah tersebut yang tidak sakit. Dengan kata lain maka penduduk yang air minumnya berasal dari sumber air minum yang tidak memenuhi syarat memiliki risiko lebih besar 2,410 kali dibandingkan orang yang air minumnya berasal dari air yang memenuhi syarat untuk terkena sistiserkosis. Di daerah pedesaan sekitar kota Wamena, sebagian besar penduduk tidak mendapat pasokan air minum Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) sehingga banyak penduduk menggunakan sumber air minum yang berasal dari sungai yang mengalir dipedesaan.b. Tempat buang air besarPada saat memasuki analisa multivariat, ternyata variabel tempat buang air besar dengan kejadian sistiserkosis memiliki hubungan yang bermakna dengan nilai odd ratio sebesar 6,249 dan CI 95% (3,13912,441).

3.4 Analisis Kejadian Sistiserkosis Berdasarkan Faktor Orang, Tempat, Waktu1. Faktor Oranga. UmurPada kenyataannya hubungan umur dengan kejadian sistiserkosis di Kecamatan Wamena disini tidak bermakna.b. Jenis pekerjaanHubungan antara pekerjaan dan kejadian sistiserkosis diperlihatkan oleh hasil analisis multivariat dimana nilai odd ratio sebesar 2,11 ( 95% CI : 1,1369,606). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hubungan antara variabel pekerjaan dengan sistiserkosis juga signifikan.c. Jenis KelaminPada tahap multivariat ternyata hubungan antara jenis kelamin dengan sistiserkosis tidak signifikan.d. Tingkat PendidikanTingkat pendidikan juga tidak ada hubungan yang signifikan dengan sistiserkosis. Hal ini mungkin disebabkan karena pendidikan masih belum dapat mengubah perilaku sehat didaerah penelitian menjadi lebih baik. Tampaknya pengetahuan responden terhadap nilai-nilai kesehatan lebih berperan mengubah perilaku sehat dibanding pendidikan.2. Faktor TempatKejadian penyakit sistiserkosis terjadi di Kecamatan Wamena Kabupaten Jayawijaya Provinsi Papua. Hal ini mengingat Kecamatan Wamena merupakan daerah endemis sistiserkosis.3. Faktor Waktu

BAB IVPENUTUP4.1 Kesimpulan1. Prevalensi tertinggi penyakit sistiserkosis ditemukan di Propinsi Papua pada tahun 1997 yaitu 42,7%.2. Dari seluruh variabel yang diteliti didapatkan beberapa faktor yang secara statistik berhubungan bermakna dengan kejadian sistiserkosis setelah dikontrol secara bersamaan yaitu cuci tangan (OR 4,9 95%CI:2,55-9,61), jenis pekerjaan (OR 2,11 95%CI:1,14-3,91), frekuensi mandi (OR 2,59 95%CI:1,31-5,13), jenis sumber air bersih (OR 2,41 95%CI:1,31-4,44) dan tempat buang air besar (OR 6,25 95%CI:3,14-12,44).3. Sedangkan variabel yang tidak dapat dibuktikan secara statistik bermakna (P>0,05) yaitu variabel jenis kelamin, tingkat pendidikan, masak air minum dan cara penyajian daging babi.

4.2 Saran1. Melakukan penyuluhan kesehatan yang bersinambungan yang antara lain membahas mengenai kebersihan diri seperti mencuci tangan sebelum makan, mandi tiap hari dengan air bersih.2. Mengkonsumsi air minum yang berasal dari sumber air yang memenuhi syarat, seperti air PDAM3. Melakukan kebersihan perorangan setiap hari, seperti mencuci tangan sebelum makan, mandi tiap hari, dan memasak air sebelum dikonsumsi