bab 2 tinjauan pustaka 2.1 tanaman jaherepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21988/4/chapter...
TRANSCRIPT
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Jahe
Jahe (Zingiber officinale Rosc.) merupakan rempah-rempah Indonesia yang
sangat penting dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam bidang kesehatan. Jahe
merupakan tanaman obat berupa tumbuhan rumpun berbatang semu dan termasuk
dalam suku temu-temuan (Zingiberaceae). Jahe berasal dari Asia Pasifik yang
tersebar dari India sampai Cina. ( Paimin, 2008).
2.1.1 Nama daerah. Zingiber officinale Rosc. mempunyai nama umum atau
nama Jahe, dengan aneka sebutan misalnya Aceh (halia), Batak karo (bahing),
Lampung (jahi), Sumatra Barat (sipadeh atau sipodeh), Jawa (jae), Sunda (jahe),
Madura (jhai), Bugis (pese) dan Irian (lali) (Muhlisah F, 2005).
2.1.2 Deskripsi jahe. Tanaman jahe termasuk keluarga Zingiberaceae yaitu
suatu tanaman rumput - rumputan tegak dengan ketinggian 30 -75 cm, berdaun
sempit memanjang menyerupai pita, dengan panjang 15 – 23 cm, lebar lebih kurang
dua koma lima sentimeter, tersusun teratur dua baris berseling, berwarna hijau
bunganya kuning kehijauan dengan bibir bunga ungu gelap berbintik-bintik putih
kekuningan dan kepala sarinya berwarna ungu. Akarnya yang bercabang-cabang dan
Universitas Sumatera Utara
berbau harum, berwarna kuning atau jingga dan berserat (Paimin, 2008 ;
Rukmana 2000).
2.1.3 Sistematika Tanaman Rimpang Jahe :
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Ordo : Musales
Family : Zingiberaceae
Genus : Zingiber
Spesies : officinale
Berdasarkan ukuran, bentuk dan warna rimpang, jahe dibedakan menjadi
tiga jenis yaitu :
1. Jahe putih/kuning besar disebut juga jahe gajah atau jahe badak.
Ditandai ukuran rimpangnya besar dan gemuk, warna kuning muda atau
kuning, berserat halus dan sedikit. Beraroma tapi berasa kurang tajam.
Dikonsumsi baik saat berumur muda maupun tua, baik sebagai jahe segar
maupun olahan. Pada umumnya dimanfaatkan sebagai bahan baku
makanan dan minuman.
Universitas Sumatera Utara
Jahe Gajah / Jahe Badak Jahe Sunti / Jahe Emprit
Jahe MerahTanaman Jahe
2. Jahe kuning kecil disebut juga jahe sunti atau jahe emprit.
Jahe ini ditandai ukuran rimpangnya termasuk katagori sedang, dengan
bentuk agak pipih, berwarna putih, berserat lembut, dan beraroma serta
berasa tajam. Jahe ini selalu dipanen setelah umur tua. Kandungan
minyak atsirinya lebih besar dari jahe gajah, sehingga rasanya lebih
pedas. Jahe ini cocok untuk ramuan obat- obatan, atau diekstrak
oleoresin dan minyak atsirinya.
3. Jahe merah ditandai dengan ukuran rimpang yang kecil, berwarna
merah jingga, berserat kasar, beraroma serta berasa tajam
(pedas). Dipanen setelah tua dan memiliki minyak atsiri yang sama
dengan jahe kecil sehingga jahe merah pada umumnya dimanfaatkan
sebagai bahan baku obat-obatan.
Gambar 3. Jenis-Jenis Jahe (Paimin, 2008 )
Universitas Sumatera Utara
2.1.4 Kandungan Kimia. Rimpang jahe mengandung 2 komponen, yaitu:
1. Volatile oil (minyak menguap)
Biasa disebut minyak atsiri merupakan komponen pemberi aroma yang
khas pada jahe, umumnya larut dalam pelarut organik dan tidak larut
dalam air. Minyak atsiri merupakan salah satu dari dua komponen utama
minyak jahe. Jahe kering mengandung minyak atsiri 1-3%, sedangkan jahe
segar yang tidak dikuliti kandungan minyak atsiri lebih banyak dari jahe
kering. Bagian tepi dari umbi atau di bawah kulit pada jaringan epidermis
jahe mengandung lebih banyak minyak atsiri dari bagian tengah demikian
pula dengan baunya. Kandungan minyak atsiri juga ditentukan umur panen
dan jenis jahe. Pada umur panen muda, kandungan minyak atsirinya tinggi.
Sedangkan pada umur tua, kandungannyapun makin menyusut walau
baunya semakin menyengat.
2. Non-volatile oil (minyak tidak menguap)
Biasa disebut oleoresin salah satu senyawa kandungan jahe yang sering
diambil, dan komponen pemberi rasa pedas dan pahit. Sifat pedas
tergantung dari umur panen, semakin tua umurnya semakin terasa pedas dan
pahit. Oleoresin merupakan minyak berwarna coklat tua dan mengandung
minyak atsiri 15-35% yang diekstraksi dari bubuk jahe. Kandungan
oleoresin dapat menentukan jenis jahe. Jahe rasa pedasnya tinggi, seperti
jahe emprit, mengandung oleoresin yang tinggi dan jenis jahe badak rasa
Universitas Sumatera Utara
pedas kurang karena kandungan oleoresin sedikit. Jenis pelarut yang
digunakan, pengulitan serta proses pengeringan dengan sinar matahari atau
dengan mesin mempengaruhi terhadap banyaknya oleoresin yang
dihasilkan.
Table 1. Komponen Volatil dan Non-volatil Rimpang Jahe
Fraksi Komponen
Volatile (-)-zingeberene, (+)-ar-curcumene, (-)-β-sesquiphelandrene,
-bisaboline, -pinene, bornyl acetat, borneol, camphene,
-cymene, cineol, cumene, β-elemene, farnesene,
β-phelandrene, geraneol, limonene, linalool, myrcene,
β-pinene, sabinene.
Non-volatil Gingerol, shogaol, gingediol, gingediasetat, Gingerdion,
Gingerenon.
Sumber : WHO Monographs on selected medicinal plants Vol 1,1999
Kandungan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada tanaman jahe terutama
golongan flavonoida, fenolik, terpenoida, dan minyak atsiri (Benjelalai, 1984). Senyawa
fenol jahe merupakan bagian dari komponen oleoresin, yang berpengaruh dalam sifat
pedas jahe (Kesumaningati, 2009), sedangkan senyawa terpenoida adalah merupakan
komponen-komponen tumbuhan yang mempunyai bau, dapat diisolasi dari bahan
nabati dengan penyulingan minyak atsiri. Monoterpenoid merupakan biosintesa
senyawa terpenoida, disebut juga senyawa “essence” dan memiliki bau spesifik.
Senyawa monoterpenoid banyak dimanfaatkan sebagai antiseptik, ekspektoran,
Universitas Sumatera Utara
spasmolitik, sedative, dan bahan pemberi aroma makanan dan parfum. Menurut
Nursal, 2006 senyawa-senyawa metabolit sekunder golongan fenolik, flavanoiada,
terpenoida dan minyak atsiri yang terdapat pada ekstrak jahe diduga merupakan
golongan senyawa bioaktif yang dapat menghambat pertumbuhan bakeri.
2.1.5 Antioksidan Pada Jahe. Menurut Kusumaningati RW (2009) kemampuan
jahe sebagai antioksidan alami tidak terlepas dari kadar komponen fenolik total yang
terkandung di dalamnya, dimana jahe memiliki kadar fenol total yang tinggi
dibandingkan kadar fenol yang terdapat dalam tomat dan mengkudu. Gingerol dan
shogaol telah diidentifikasi sebagai komponen antioksidan fenolik jahe.
Rimpang jahe juga bersifat nefroprotektif terhadap mencit yang diinduksi oleh
gentamisin, dimana gentamisin meningkatkan Reactive Oxygen Species (ROS) dan
jahe yang mengandung flavanoida dapat menormalkan kadar serum kreatinin,
urea dan asam urat (Laksmi B.V.s ., Sudhakar M, 2010).
2.1.6 Farmakokinetik Jahe. Menurut Zick SM, et al ., 2008. Pada manusia
konjugat jahe mulai muncul 30 menit setelah pemberian melalui oral, dan
mencapai Tmax antara 45 -120 menit, dengan t½ eliminasi 75 – 120 menit pada dosis
dua gram. Pada uji ini tidak ada efek samping dilaporkan setelah menggunakan 2 g
ekstrak jahe.
Universitas Sumatera Utara
2.2 Plumbum
2.2.1 Gambaran umum . Plumbum (Pb) adalah logam berat secara alami terdapat
di alam tetapi bisa juga didapat dari industri. Pb secara alami bersumber dari
bebatuan, air telaga dan air sungai, udara dan tumbuh-tumbuhan. Pb organik dan
anorganik banyak digunakan pada pabrik pembuat kaca, pabrik cat, pewarna karet,
pewarna tinta, bahan peledak, bahan pembuat tekstil, regensia kimia, dan
sebagai bahan kimia baterai. Pb asetat khususnya digunakan pada proses
pencelupan dan pencetakan tekstil, bahan pernis kayu, pabrik pestisida, pabrik cat,
regensia kimia dan pewarna rambut (Johonson, 1998; Palar, 2000).
Pb dapat masuk ke dalam jaringan tubuh makhluk hidup melalui beberapa jalan,
yaitu saluran pernapasan, pencernaan, dan penetrasi melalui kulit. Pemaparan Pb
melalui makanan, minuman, akan diikutkan dalam proses metabolisme tubuh.
2.2.2 Sifat Fisika dan Kimia. Plumbum adalah logam berat, dengan nomor atom
delapan puluh dua, berat atom 207,19 dan berat jenis 11,34, bersifat lunak dan
berwarna biru keabu-abuan dengan kilau logam yang khas sesaat setelah dipotong.
Kilauanya akan segera hilang sejalan dengan pembentukan lapisan oksida pada
permukaannya, meliputi titik leleh 327,50C dan titik didih 1740
0C (MSDS, 2005).
Lebih dari 95% Pb merupakan senyawa anorganik dan umumnya dalam bentuk
garam Pb anorganik, kurang larut dalam air dan selebihnya berbentuk Pb organik.
Senyawa Pb anorganik ditemukan dalam bentuk senyawa Tetraethyllead (TEL) dan
Universitas Sumatera Utara
Tetramethyllead (TML) terdapat dalam bahan bakar kenderaan. Jenis senyawa ini
hampir tidak larut dalam air, namun dapat larut dalam pelarut organik, misalnya
dalam lipid (WHO, 1977).
2.2.3 Farmakokinetik. Secara perlahan namun konsisten, Pb anorganik diserap
melalui saluran nafas dan cerana. Pb anorganik tidak diserap secara baik melalui
kulit, tetapi komposisi Pd organik, misalnya antiknock gasoline yang mengandung
Pb, dapat diserap dengan baik melalui kulit. Penyerapan debu yang mengandung Pb
melalui saluran nafas merupakan penyebab paling umum dari keracunan industri.
Saluran cerna merupakan jalan masuk non-industri (Tabel 2).
Tabel 2 . Toksikologi Senyawa Pb Bentuk yang
memasuki
tubuh
Jalan Absorbsi utama
Distribusi Efek Klinis
Utama Aspek Penting dari
Mekanisme Metabolisme dan Eliminasi
Pb
Oksida dan
garam Pb anorganik
Gastrointestinal,
respiratorik
Jaringan lunak ;
redistribusi ke
kerangka (>90% beban tubuh
dewasa)
Defisit SSP;
neuropati perifer; anemi;nefropati.
Inhibisi enzim;
mempengaruhi kation
esensial; mengubah struktur
membran.
Ginjal(mayor)
; air susu (minor).
Organik (tetraethethyl
lead)
Kulit; gastrointestinal;
respiratorik
Jaringan lunak, khususnya hati,
SSP Ensefalopati
Dealkalisasi hepatis (cepat)trialkylmetabo
lites
(lambat)disosiasi Pb
Urine dan feces(mayor);
keringat
(minor)
Sumber : Farmakologi Dasar dan Klinik (Katzung BG,2004)
Penyerapan melalui pencernaan berbeda sesuai dengan sifat komposisi Pb. Secara
umum, orang dewasa menyerap sekitar 10% dari jumlah yang masuk sementara anak-
anak menyerap sampai mendekati 50%. Kalsium diet rendah, kurang zat besi, dan
pemasukan ke dalam perut yang kosong terkait dengan peningkatan penyerapan Pb.
Universitas Sumatera Utara
Setelah diserap dari saluran nafas atau saluran cerna, Pb terikat ke eritrosit dan
awalnya didistribusikan secara luas ke jaringan lunak seperti sumsum tulang, otak,
ginjal, hati, otot, dan gonad; kemudian ke permukaan tulang subperiosteal; lalu ke
matriks tulang. Pb juga menyeberangi plasenta dan merupakan bahaya potensial bagi
janin.
Kinetika klirens Pb dari tubuh mengikuti model multikompartemen, terdiri dari
sebagian besar darah dan jaringan lunak, dengan waktu paruh 1-2 bulan; dan
kerangka tubuh dengan waktu paruh tahunan hingga puluhan tahun. Lebih dari 90%
Pb yang dieliminasi dijumpai dalam urin, dan sisanya diekskresi melalui empedu,
kulit, rambut, kuku, keringat, dan air susu. Sebagian yang tidak segera diekskresi,
kira-kira setengah dari Pb yang diserap, mungkin dimasukkan kedalam kerangka
tubuh, tempat pembuangan lebih dari 90% dari beban Pb tubuh pada kebanyakan
orang dewasa (Katzung BG, 2004).
2.2.4 Metabolisme dan Toksisitas. Absorbsi melalui saluran pencernaan hanya
beberapa persen saja, tetapi jumlah logam yang masuk melalui saluran pencernaan
biasanya cukup besar, walaupun persentase absorbsinya kecil dan absorbsi Pb melalui
saluran pencernaan tergantung dengan ukuran logam berat tersebut, waktu transit
gastrointestinal, status gizi, dan usia (Khaturia, 2008). Namun demikian jumlah
plumbum yang masuk bersama makanan dan minuman masih mungkin ditolelir oleh
lambung disebabkan asam lambung (HCl) yang mempunyai kemampuan untuk
menyerap keberadaan logam Pb.
Universitas Sumatera Utara
Pada umumnya ekskresi Pb berjalan sangat lambat. Waktu paruh dalam
darah kurang 25 hari, pada jaringan 40 hari sedangkan pada tulang 25 tahun. Eksresi
yang lambat menyebabkan Pb mudah terakumulasi dalam tubuh, baik pada pajanan
okupasional maupun nonokupasional (Nordberg, 1998).
Toksikitas Pb sangat mempengaruhi proses metabolisme organ penting pada
makhluk hidup yaitu hati dan ginjal. Kedua organ tersebut sangat berperan dalam
proses metabolisme dan filtrasi unsur-unsur nutrisi bagi kesehatan makhluk hidup.
Banyak penelitian telah dilakukan mengenai hambatan proses metabolisme tersebut
baik dalam sudut perubahan biokimia dan histologi dari organ yang bersangkutan
terutama pada hewan laboratorium. Selain itu beberapa penelitian mengenai toksisitas
Pb pada ginjal menunjukkan terjadi kerusakan tubulus ginjal sehingga fungsinya
sebagai organ filtrasi sangat menurun. Sebagai akibatnya beberapa janis asam amino
dan elektrolit diekskresikan (Darmono, 2001). Saluran pencernaan, susunan saraf,
system hematopoitik dan ginjal merupakan alat-alat tubuh yang paling sensitif
terhadap efek toksik Pb. Logam berat Pb dapat meracuni tubuh manusia baik secara
akut maupun kronis. Senyawa Pb organik mempunyai daya racun yang lebih kuat
dibandingkan dengan senyawa Pb anorganik.
Keracunan Pb akut pada anak-anak dan dewasa dapat menderita disfungsi tubuli
proksimal dengan gejala-gejala seperti sindroma de fanconi (aminoasiduria,
glukosuria dan hiperfosfaturia) (Doloksaribu B, 2008).
Menurut Robbin (2006) Pada sel normal, Pb dapat membentuk radikal bebas,
sehingga menyebabkan rangsangan patologi yang merugikan (jejas; injury) berupa:
Universitas Sumatera Utara
jejas reversible atau jejas irreversible. Jejas reversible menunjukkan perubahan sel
yang dapat kembali menjadi normal jika rangsangan dihilangkan atau jika penyebab
jejasnya ringan, sedangkan jejas irreversible terjadi jika stresornya melampaui
kemampuan sel untuk beradaptasi (hingga di luar point of no return) dan
menunjukkan perubahan patologik permanen yang menyebabkan kematian sel.
Namun pada jejas reversible maupun irreversible bila terjadi, akan mempunyai ciri
yang khas, diantaranya pada jejas reversible akan terjadi pembengkakan sel
sedangkan pada jejas irreversibel (nekrosis) membran sel mengalami fragmentasi dan
perubahan nukleus meliputi piknosis, kariolisis, dan karioreksis.
2.3 Radikal Bebas dan Antioksidan
Suatu radikal bebas dapat dinyatakan sebagai species yang terdiri dari satu
atau lebih elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas ini dapat bereaksi dengan
berbagai cara. Salah satunya apabila dua radikal bebas bertemu maka elektron yang
tidak berpasangan tadi akan bergabung membentuk ikatan kovalen
(Halliwell B, 1991).
Radikal bebas berbahaya jika menjadi sangat reaktif dalam mendapatkan
pasangan elektronnya, sehingga dapat bereaksi dengan berbagai biomolekul penting
seperti enzim, DNA, dan juga merusak sel lain yang akhirnya dapat menimbulkan
penyakit, hal ini dapat dihambat dengan pengguanan antioksidan. Ketidak
seimbangan antara radikal bebas dengan antioksidan menimbulkan stres oksidaif.
Universitas Sumatera Utara
Tubuh manusia mempunyai beberapa mekanisme untuk bertahan terhadap radikal
bebas dan ROS lainnya. Pertahanan yang bervariasi saling melengkapi satu dengan
yang lain karena bekerja pada oksidan yang berbeda atau dalam bagian seluler yang
berbeda (Tuminah, 2000).
Secara umum pengertian antioksidan adalah senyawa yang mampu menangkal
atau meredam efek negatif oksidan dalam tubuh, bekerja dengan cara mendonorkan
satu elektronnya kepada senyawa yang bersifat oksidan sehingga aktifitas senyawa
oksidan tersebut dapat dihambat (Winarsih, 2007).
Antioksidan dikelompokkan menjadi dua, yaitu antioksidan enzimatis dan
antioksidan non-enzimatis.
1. Antioksidan Enzimatis
Antioksidan enzimatis merupakan antioksidan endogenus, yang termasuk di
dalamnya adalah enzim Superoksida Dismutase (SOD), katalase, Glutation
Peroksidase (GSH-PX), serta Glutation Reduktase (GSH-R) (Mates JM, 1999;
Tuminah, 2000). Sebagai antioksidan, enzim-enzim ini bekerja menghambat
pembentukan radikal bebas, dengan cara memutuskan reaksi berantai
(polimerisasi), kemudian mengubahnya menjadi produk yang lebih stabil,
sehingga antioksidan kelompok ini disebut juga chain-breaking-antioxidant
(Winarsih, 2007). Enzim katalase dan glutation peroksidase bekerja dengan
cara mengubah H2O2 menjadi H2O dan O2 sedangkan SOD bekerja dengan
Universitas Sumatera Utara
cara mengkatalisis reaksi dismutasi dari radikal anion superoksida
menjadi H2O2 (Langseth L, 1995; Winarsih 2007).
2. Antioksidan Non-enzimatis
Antioksidan non-enzimatis disebut juga antioksidan eksogenus, antioksidan
ini bekerja secara preventif, dimana terbentukanya senyawa oksigen reaktif
dihambat dengan cara pengkelatan metal, atau dirusak pembentukannya
(Winarsih, 2007). Antioksidan non-enzimatis bisa didapat dari komponen
nutrisi sayuran, buah dan rempah-rempah. Komponen yang bersifat
antioksidan dalam sayuran, buah dan rempah-rempah meliputi vitamin C,
vitamin E, β-karoten, flavonoid, isoflavon, flavon, antosianin, katekin dan
isokatekin (Kahkonen,et al.,1999). Senyawa-senyawa fitokimia ini membantu
melindungi sel dari kerusakan oksidatif yang disebabkan oleh radikal bebas.
2.4 Tubulus Proksimal Ginjal
2.4.1 Anatomi dan Histologi Tubulus Proksimal Ginjal. Secara anatomi
ginjal terbagi menjadi dua bagian yaitu korteks dan medulla ginjal. Di dalam
korteks terdapat berjuta-juta nefron sedangkan di dalam medulla banyak terdapat
duktuli ginjal. Nefron adalah unit fungsional terkecil dari ginjal (Underwood JCE,
2004; Alpers CE, 2007). Setiap ginjal terdiri atas 1-4 juta nefron. Setiap nefron
terdiri atas bagian yang melebar, korpuskulus renal; tubulus kontortus proksimal,
segmen tipis dan tebal ansa Henle; dan tubulus kontortus distal. Pada kutub
Universitas Sumatera Utara
urinarius pada korpuskulus renal, epitel gepeng dari lapisan parietal kapsul
Bowman, berhubungan langsung dengan epitel silidris dari tubulus kontortus
proksimal . Tubulus ini lebih panjang dari tubulus kontortus distal dan karenanya
tampak lebih banyak dekat korpuskulus renalis dalam labirin korteks. Tubulus ini
juga memiliki lumen lebar dan di kelilingi oleh kapiler peritubuler
(Junqueira L.C, 1995). Lapisan sel tubulus proksimal merupakan jaringan di ginjal
paling sangat sensitif untuk plumbum (Goyer RA,1973).
Darah yang membawa sisa-sisa hasil metabolisme tubuh difiltrasi di dalam
glomeruli kemudian di tubuli ginjal,beberapa zat yang masih diperlukan tubuh
mengalami reabsorbsi dan zat-zat hasil sisa metabolisme mengalami sekresi
bersama air membentuk urin sehingga ginjal merupakan organ ekskresi yang
terpenting (Guyton, 1997; Purnomo BB, 2009). Toksin atau konsentrasi zat yang
tinggi berpotensi merusak, dan dapat menyebabkan Akut Tubular Nekrosis (ATN).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 4. Ginjal dan nefron (Junqueira LC, 2007)
2.4.2 Efek Pb Terhadap Tubulus Proksimal Ginjal. Pb yang masuk melalui
mulut akan terdistribusi ke jaringan, salah satunya ginjal. Di ginjal Pb terakumulasi
akan membentuk vakuolisasi sel tubulus proksimal, kemudian akan terbentuk
tonjolan (bleb) dari sitoplasma sel tubulus proksimal, sehingga tubulus sempit,
penyempitan tubulus dapat menjadi suatu tanda awal dari kerusakan ginjal akibat
substansi nefrotoksik dalam darah. Selanjunya bleb tersebut pecah sehingga mikrofili
hilang. Pecahan-pecahan bleb akan menyumbat tubulus proksimal sehingga terjadi
obstruksi tubulus proksimal, keadaan ini mengakibatkan terjadinya Akut Tubular
Universitas Sumatera Utara
Ekskresi
Pb asetat
Tubuh
Akumulasi Pb di ginjal
Respon Radang Akut
Vasodilatasi
Ekstravasasi Cairan
Difusi Intraselular
Vakuolisasi Sel
Tonjolan (Bleb) Sitoplasma pecah
Akut Tubuler Nekrosis (ATN)
Gagal Ginjal Akut (GGA)
Nekrosis dan berakhir dengan gagal ginjal akut (GGA) (Underwood JCE, 2004;
Jennette JC, 2007). Lihat Gambar 5.
Gambar 5. Pengaruh pemberian Pb asetat pada kerusakan tubulus proksimal ginjal
ATN adalah kesatuan klinikopatologik yang ditandai secara morfologik oleh
destruksi sel epitel tubulus dan secara klinik oleh supresi akut fungsi ginjal (Alpers
CE, 2007 ). ATN dapat dibedakan atas ATN iskemik dan ATN nefrotoksik. ATN
nefrotoksik disebabkan oleh berbagai bahan seperti logam berat (Pb, merkuri,
arsenik, emas, kromium, arsenik, bismuth, dan uranium) (Nurdjaman, 2004).
Pada ATN nefrotoksik, ginjal bengkak, berwarna merah, dan sering ditemukan
vakuolisasi sitoplasma sel epitel tubulus. Kerusakan terbanyak di tubulus proksimal,
Universitas Sumatera Utara
jarang di tubulus distal. Tampak adanya degenerasi tubulus proksimal yang
mengandung debris, tetapi membrana basalis utuh (Underwood JCE, 2004; Alpers
CE, 2007 ).
ATN merupakan penyebab terpenting dari gagal ginjal akut. Klinisnya adalah
oliguria yang dilanjutkan dieresis. Peningkatan ketidakkebalan terhadap infeksi
sehingga kurang lebih 25% kematian akibat ATN terjadi selama fase diuretik
(Underwood JCE, 2004).
2.5 Tween 80
Tween 80 (polisorbat 80) adalah surfaktan nonionik digunakan secara luas
sebagai aditif dalam makanan, farmasi , dan kosmetik sebagai emulsifier, dispersan,
atau stabilizer. Menurut laporan program toksikologi, 2009. Penelitian toksisitas dan
karsinogenik dilakukan dengan pemberian polisorbat 80 dalam pakan tikus dan
mencit selama 14 hari, 13 minggu, semua binatang bertahan sampai akhir penelitian.
Berat badan dan tikus mirip dengan kontrol. Tidak ditemuan kelainan klinis,
perubahan organ bobot relatif atau absolut, dan lesi mikroskopis tidak dijumpai pada
tikus atau mencit yang diberi polisorbat 80 dan tidak terbukti sebagai karsinogenik.
Menurut data keamanan material, 2008. Tween 80 tidak menyebabkan toksisitas mau
efek karsinogenik, mutagenik dan teratogenik.
Universitas Sumatera Utara