bab i pendahuluan 1.1. latar...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Globalisasi telah menjadi aspek yang memberikan pengaruh besar terhadap
perubahan sosial yang terjadi di berbagai negara. Salah satunya di negara
berkembang seperti Indonesia. Pengaruh tersebut ditenggarai mengubah arah gerak
manusia di berbagai sektor kehidupan, baik meliputi bidang ekonomi, sosial, budaya
dan keamanan. Tak jarang pengaruh yang menyebabkan perubahan sosial tersebut
telah melibatkan manusia secara global, termasuk anak sebagai individu yang
memiliki hak yang sama sebagai manusia sekaligus warga negara. Namun,
permasalahan yang menyangkut anak, seperti kekerasan dalam pola asuh, tontonan
komersial yang kurang mendidik, kasus kekerasan pada anak secara fisik maupun
psikis, isu trafficking, eksploitasi anak, pelecehan seksual, Anak Bermasalah dengan
Hukum (ABH) hingga kasus anak terjerat narkoba, hingga kini tak kunjung usai
untuk diselesaikan. Berbagai permasalahan tersebut, telah menyebabkan lingkungan
menjadi tidak responsif bagi anak.
Kondisi demikian, menjadi satu gambaran bahwa kepentingan anak masih
menjadi aspek yang terpinggirkan dalam kehidupan. Kenyataan ini pun menegaskan
bahwa tidak hanya orang tua dan masyarakat saja yang dirugikan. Melainkan juga
negara. Bila hal tersebut terus terjadi, tidak disangsikan bahwa aspek tumbuh
kembang anak sebagai generasi penerus bangsa akan mengalami kemunduran.
Mencermati hal tersebut, pemerintah Indonesia telah berupaya untuk menangani
berbagai permasalahan menyangkut anak melalui Keputusan presiden Nomor 36
Tahun 1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights
2
of the Child) yang kemudian dikenal dengan Konvensi Hak Anak. Konvensi tersebut
menjadi bagian dari Hukum Internasional yang bersifat mengikat bagi setiap negara
peserta. Tujuan utamanya ialah, negara berkewajiban untuk melaksanakan
pemenuhan hak anak dengan mengacu pada beberapa prinsip umum yakni : tindakan
non-diskriminasi, memprioritaskan kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk
hidup dan kelangsungan hidup, perkembangan pada anak, serta memberikan
apresiasi pada pendapat yang dikemukakan oleh anak.
Sebagai bentuk tindak lanjut atas tingginya permasalahan dan kasus pada
anak di Indonesia, melalui Laporan Akhir Kajian Pengembangan Kota Layak Anak
di Kota Yogyakarta (2012), pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) telah menetapkan program Nasional
Bagi Anak Indonesia (PNBAI) pada tahun 2015 yang mengacu pada beberapa
bidang pokok. Bidang-bidang tersebut mencakup beberapa hal berikut, yakni : (1).
Promosi hidup sehat ; (2). Penyediaan pendidikan berkualitas ; (3). Perlindungan
pada anak terkait perlakuan salah ; (4). memerangi HIV/AIDS.
Hingga akhirnya, pemerintah menetapkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang perlindungan anak sebagai dasar hukum bagi kehidupan anak di
Indonesia. Hal ini dilakukan sebagai upaya mengakomodir berbagai bidang pokok
program PNBAI serta sarana dalam menyikapi berbagai realitas permasalahan yang
terjadi pada anak. Tidak hanya sampai disitu, pemerintah pun berupaya membentuk
Kota Layak Anak dengan mengacu pada Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan Nomor 2 Tahun 2009 mengenai aturan Kebijakan/Kota Layak Anak.
Tujuannya sebagai bentuk realisasi dari progam PNBAI serta Undang-undang No 23
Tahun 2002. Dimana, Kota Layak Anak menjadi sarana dalam mempercepat
3
pemenuhan hak anak sekaligus memberikan perlindungan kepada anak selaku
warga negara yang memiliki kedudukan yang sama di mata hukum dan negara.
Dalam Draft RAD KLA Kota Yogyakarta tahun 2012 menyebutkan bahwa
saat ini proporsi anak yang tinggal di perkotaan telah mencapai 43,42 % dengan
pertumbuhan jumlah anak Indonesia yang mencapai 4,4 % pertahunnya. Jumlah ini
menjadi salah satu bukti bahwa anak memiliki muatan kepentingan yang sama
sebagai warga negara untuk mengakses kehidupan. Dalam pelaksanaannya, Kota
Layak Anak mengacu pada 5 kluster hak anak yang perlu dipenuhi nantinya :
pertama, hak kebebasan, kedua hak anak untuk mendapatkan lingkungan dan
pengasuhan alternatif, ketiga hak anak untuk mendapatkan kesehatan dasar serta
kesejahteraan, keempat, hak mendapatkan pendidikan, pemanfaatan waktu luang,
dan kegiatan budaya serta kelima, hak untuk mendapatkan perlindungan khusus.
Sementara saat ini, sebuah sumber online (www.setkab.go.id, 2012)
menyebutkan bahwa pemerintah telah memfasilitasi setidaknya 60 Kabupaten/Kota
untuk menjadi Kota Layak Anak dan 40 Kabupaten/kota diantaranya telah berjalan
secara mandiri. Artinya, pembentukan Kota Layak Anak tersebut tidak lagi menjadi
bagian dari pilot project pemerintah yang penggunaan anggarannya langsung dari
APBN, melainkan menjadi tanggungan dari pemerintah daerah dengan
mengalokasikan dana APBD untuk membentuk wilayahnya menjadi Kota Layak
Anak berdasarkan indikator yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Menyikapi hal tersebut, pemerintah Kota Yogyakarta dalam hal ini turut
serta mengambil bagian secara mandiri untuk merealisasikan Kota Layak Anak di
wilayahnya. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa Yogyakarta merupakan
salah satu kawasan dengan tingkat pertumbuhan migrasi yang tinggi serta wilayah
4
yang strategis dalam menumbuhkan iklim pendidikan dan ekonomi bagi anak dan
warganya. Akan tetapi, kondisi ini justru disinyalir akan menimbulkan tekanan dan
permasalahan baru yang lazimnya terjadi pada kota-kota besar lainnya di Indonesia.
Penyediaan pelayanan dasar seperti : perumahan, pendidikan, kesehatan, dan
peluang untuk kerja dirasakan semakin terbatas. Terlebih, pertumbuhan tersebut
diiringi oleh laju bertambahnya penduduk pada kategori anak berusia 0-18 tahun
yang rentan memiliki masalah sosial yang umumnya terjadi. Karenanya, anak-anak
kerap menghadapi resiko kekerasan baik di rumah, di sekolah, di tempat bermain,
maupun ditempat-tempat umum seperti tempat rekreasi, terminal, stasiun, tempat-
tempat ibadah dan lain-lain.
Disamping itu, tekanan kehidupan dengan alasan ekonomi serta pengaruh
lingkungan dinilai menjadi latar belakang tingginya permasalahan yang terjadi pada
anak. Modernitas dan pengaruh iklim ekonomi industri telah memberikan tekanan
pada faktor pemenuhan kebutuhan ekonomi dan sosial bagi manusia. Temuan data
dari Forum Penanganan Korban Kekerasan Perempuan dan Anak DIY yang diakses
melalui (www.republika.co.id, 2012) menjelaskan bahwa Kota Yogyakarta
menempati peringkat teratas kasus kekerasan pada perempuan dan anak di tahun
2010 dan 2011.
Data dari Komisi Perlindungan Anak menurut UCAN Indonesia (2012)
menyebutkan bahwa tahun 2009, kekerasan pada anak mencapai angka 1.552 kasus,
sedangkan di tahun 2010 terdeteksi sebanyak 2.335 kasus yang ditemukan, hingga
pada tahun 2011 mengalami kenaikan mencapai 2.508 kasus. Pihak Komisi Nasional
Perlindungan Anak menjelaskan bahwa pada tahun 2011 kekerasan yang terjadi
banyak dilakukan oleh orang tua kandung dengan persentase sebesar 44,32 %, teman
5
25,9 % , tetangga 10,9 %, orang tua tiri 9,8 %, guru 6,7 % dan saudara 2 %. Lebih
lanjut, Komisi Nasional Perlindungan Anak (KOMNAS PA) menyatakan bahwa
kekerasan pada anak dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, antara lain : (1).
Disfungsi peran orang tua dalam keluarga yang berdampak pada pertikaian dan
broken home ; (2). Pandangan yang keliru mengenai posisi anak dalam keluarga ;
(3). Ketidakstabilan emosi pada orang tua sehingga kemarahan kerap kali menyasar
pada anak ; (4). Faktor ekonomi dan kemiskinan yang dinilai sangat rentan sebagai
penyebab kekerasan pada anak. Untuk itu, agar iklim yang terbentuk dapat kondusif,
perhatian pemerintah Kota Yogyakarta terhadap wilayah agar dapat layak terhadap
anak menjadi satu hal penting untuk diwujudkan.
Berdasarkan temuan yang terjadi, permasalahan pada anak tentu saja
mencuri perhatian yang besar bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah
khususnya. Untuk itu, sebagai sarana dalam merealisasikan hak anak dan
meminimalisir berbagai permasalahan yang melibatkan anak, Pemerintah Kota
Yogyakarta, melalui KPMP (Kantor Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan)
memandang bahwa pemenuhan hak anak dapat diupayakan melalui unit terkecil
dalam masyarakat yakni keluarga dan lingkungan sosial anak. Untuk kemudian
berlanjut pada basis kelompok masyarakat yang lebih luas melalui struktur
kelembagaan yang lebih tinggi di suatu wilayah.
Keluarga dipandang menjadi komponen penting dalam membentuk
kebutuhan secara fisik, spriritual, emosi, dan intelektual pada anak. Namun, struktur
sosial lainnya di level yang lebih tinggi seperti RW memiliki peran yang jelas tidak
dapat dikesampingkan. Rukun warga atau RW memegang peran penting setelah
keluarga dalam memenuhi kebutuhan dasar dan Hak Anak. Karena pada level ini,
6
relasi antara keluarga dan masyarakat akan dibingkai dalam tatanan sosial yang lebih
kompleks. Sehingga dapat menjadi ruang sosial dalam memberikan pengaruh,
kesadaran dan pengetahuan mengenai Hak Anak yang secara timbal balik dimiliki
oleh keluarga dan masyarakat.
Pada tahun 2010 melalui peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan
Nomor 2 Tahun 2009 tentang Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak, pemerintah
Kota Yogyakarta merintis Pilot Poject Kampung Ramah Anak sebagai
pengembangan Kota Layak Anak yang saat ini tengah direalisasikan di Kota
Yogyakarta. Program ini menjadi satu-satunya pengembangan Kota Layak Anak di
Indonesia yang menggunakan kelompok RW (Rukun Warga) di wilayah Kampung
sebagai basisnya. Melalui pengembangan ini, diharapkan Kampung Ramah Anak
menjadi sarana dalam memberikan ruang yang responsif terhadap Hak Anak sesuai
dengan program PNBAI dan UU No 23 Tahun 2002 mengenai Perlindungan
Perempuan dan Anak.
Dalam realisasinya, pilot project Kampung Ramah Anak telah
dikembangkan di dua wilayah Kampung di Kota Yogyakarta yakni : di RW 11
Kampung Badran dan RW 7 Kampung Dagaran. Bila ditinjau secara geografis dan
sosiologis, terdapat karakteristik dan perbedaan yang nyata dari dua kampung
tersebut. Bila Kawasan Dagaran RW 7 merupakan kawasan padat penduduk yang
jauh dari bantaran sungai, tidak demikian halnya dengan wilayah RW 11 Kampung
Badran. Wilayah RW 11 Kampung Badran memiliki posisi geografis yang berada di
dekat bantaran Sungai Winongo dengan kepadatan penduduk yang cukup tinggi.
Lazimnya kawasan yang terletak di dekat bantaran sungai, Kampung Badran
menjadi pilihan tempat tinggal bagi para kaum urban yang bermigrasi ke wilayah
7
Kota Yogyakarta. Sebagai kaum urban, mereka umumnya mengadu nasib dengan
melakoni pekerjaan yang tidak tetap di sektor informal perkotaan. Sehingga
kelompok masyarakatnya memiliki kategori penghasilan menengah ke bawah
dengan rata-rata pendidikan yang masih minim. Disamping itu, bertempat tinggal di
wilayah bantaran sungai menjadi pilihan utama karena akses air sebagai sumber
kehidupan dirasa lebih murah diperoleh serta harga tanah dan sewa rumah relatif
terjangkau. Meskipun bentuk dan tata letak bangunan tidak tertata secara teratur.
Namun, oleh penduduk, hal ini tetap saja dianggap mampu mengakomodir
kehidupan masyarakat yang bermukim di wilayah tersebut.
Inilah yang menjadi salah satu faktor yang menyebabkan kampung di
wilayah pinggir sungai kerap diidentikkan sebagai wilayah kumuh yang erat dengan
potret kemiskinan. Serta dianggap bersinggungan dengan masalah sosial yang rentan
menimpa anak. Disamping itu, aspek sejarah yang melekat sejak lama di Kampung
Badran telah memberikan image negatif yang melekatkan nama Kampung Badran
sebagai Kampung Preman di era tahun 1970-an. Hingga kini, stigma tersebut belum
dapat pudar dan masih dapat dirasakan oleh sebagian masyarakat yang bermukim di
Kampung Badran. Permasalahan dalam fenomena tersebut, lantas dilihat oleh
pemerintah kota melalui KPMP sebagai celah dalam memperbaiki wilayah Badran
secara umum. Bergulirnya program kampung ramah anak, dinilai menjadi suatu
terobosan yang dapat merekonstruksi kondisi sosial dan anak di wilayah tersebut.
Sebagai bentuk kebijakan yang digulirkan oleh pemerintah, program Kampung
Ramah Anak telah melalui proses dan tahapan panjang agar implementasinya
responsif terhadap warga di RW 11 Kampung Badran.
8
Meski demikian, sebagai sebuah implementasi program, Kampung Ramah
Anak tidak lepas dari beragam permasalahan. Realitas yang terjadi di lapangan
menunjukkan bahwa nilai sejarah serta kemajemukan kondisi sosial, ekonomi,
budaya yang dialami oleh masyarakat di RW 11 Kampung Badran telah menyajikan
ruang bagi warganya untuk mengkonstruksi dan memberikan makna secara
subyektif terhadap keberadaan Kampung Ramah Anak saat ini. Hal ini senada
dengan pendapat yang disampaikan oleh Berger dan Luckhman (1990) bahwa suatu
fenomena yang terjadi pada masyarakat, tidak terlepas dari suatu sejarah yang khas,
sehingga keberadaannya tidak dapat digeneralisir begitu saja melalui narasi besar.
Melainkan terjadi melalui proses dialektis yang berjalan secara simultan dengan
basis pengetahuan akal sehat serta realitas yang akhirnya diproduksi sebagai produk
sosial baru dalam masyarakat yang bersangkutan. Konstruksi sosial dan makna
menjadi sebuah realitas yang terakumulasi oleh adanya pengetahuan dan
pengalaman kehidupan dari warga masyarakatnya. Sehingga dalam implementasi
Kampung Ramah Anak yang terjadi, proses dialektis terhadap realitas akan
berlangsung secara terus menerus dan berkelanjutan. Serta keberadannya tidak dapat
dilepaskan dari beragam peran aktor, pengetahuan dan proses interaksi sosial,
sosialisasi dan tindakan subyektif yang dilakukan oleh masyarakatnya.
Sejauh ini, seringkali program yang hadir dalam masyarakat merupakan
kepanjangan tangan dari program pemerintah yang dipaksakan untuk direalisasi.
Hak Anak yang menjadi indikator dalam program Kampung Ramah Anak, telah
mengalami kondisi dilematis dengan kenyataan sosial yang terjadi. Meskipun dalam
tataran teori masyarakat seringkali ditempatkan sebagai subjek dna objek. Namun,
9
membentuk realitas sosial baru di wilayah kampung, tidak akan pernah lepas dari
kondisi sosial dan budaya di wilayah tersebut.
Berangkat dari hal tersebut, selama ini penelitian dengan pendekatan
kualitatif mengenai konstruksi dan makna kampung ramah anak memang belum
tersedia. Penelitian yang ada cenderung mengarah pada evaluasi pelaksanaan
program Kota Layak Anak yang dilakukan melalui pendekatan kuatitatif. Pada
penelitian kali ini, permasalahan mengenai konstruksi dan makna menjadi kajian
menarik untuk diteliti. Hal ini karena, penelitian yang dilakukan oleh peneliti akan
berpijak pada perspektif konstruksi sosial dan makna yang lahir dari sudut pandang
warga selaku subjek dan objek program yang tengah diimplementasi. Sejauh mana
konstruksi warga mengenai kampung ramah anak yang selama ini telah diidealisasi
dalam program. Konstruksi sosial menjadi suatu proses yang berlangsung secara
dialektis dan bertujuan membangun pengetahuan dan realitas yang tengah terjadi.
Sedangkan makna dalam konstruksi sosial hadir dalam setiap kenyataan subyektif
yang ada dalam diri individu. Kenyataan subjektif yang berbeda-beda tersebut
nantinya akan menyebabkan keberagaman dalam makna yang dibentuk oleh
individu mengenai Program Kampung Ramah Anak di wilayah RW 11 Kampung
Badran, Kota Yogyakarta.
1.2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang diuraikan sebelumnya, maka rumusan masalah
dalam penelitian ini ialah :
1. Bagaimana konstruksi sosial yang dibangun oleh warga RW 11 di Kampung
Badran mengenai program“Kampung Ramah Anak”?
10
2. Bagaimana warga memaknai “Kampung Ramah Anak” yang di Implementasikan
di RW 11 Kampung Badran, Yogyakarta?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk memahami konstruksi sosial mengenai Kampung Ramah Anak yang
dilakukan oleh warga RW 11 Kampung Badran, Kota Yogyakarta.
2. Untuk menganalisis konstruksi sosial yang dibangun oleh warga RW 11
Kampung Badran terkait dengan pelaksanaan Program Kampung Ramah Anak
di wilayah Badran.
3. Untuk memahami makna Kampung Ramah Anak bagi warga RW 11 Kampung
Badran, Yogyakarta.
1.4. Manfaat Penelitian
A. Manfaat Teoritis
1. Memberikan pemahaman secara utuh mengenai konstruksi sosial dan makna yang
dibangun oleh warga masyarakat RW 11 mengenai Kampung Ramah Anak di
wilayah RW 11 Kampung Badran, Kota Yogyakarta.
2. Memberikan kontribusi terhadap berkembangnya ilmu pengetahuan, terutama di
bidang ilmu sosial. Sehingga dapat digunakan sebagai bahan masukan yang
relevan untuk penelitian sejenis di masa mendatang.
B. Manfaat Praktik
1. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat kepada pembaca. Sehingga,
para pembaca mampu memahami konstruksi sosial dan makna yang dibangun
11
oleh masyarakat RW 11 mengenai Program Kampung Ramah Anak di wilayah
RW 11 Kampung Badran, Kota Yogyakarta.
2. Memberikan kajian sekaligus pertimbangan dalam menentukan arah kebijakan
yang berkaitan dengan Program Kampung Ramah Anak di wilayah RW 11
Kampung Badran maupun Kampung lainnya yang akan mengimplementasikan
program Kampung Ramah Anak di Kota Yogyakarta.
1.5 Penelitian Terdahulu
Kota Layak Anak menjadi salah satu kebijakan program yang dinilai
strategis dalam menjamin kesejahteraan pada anak. Keberlangsungan Kota Layak
Anak dalam beberapa tahun ini, telah banyak menghasilkan penelitian dan tinjauan
teoritis yang hadir sebagai upaya memberikan gambaran secara holistik mengenai
pelaksanaan Kebijakan Kota Layak Anak di Indonesia.
Salah satu penelitian dari Henry Purwoko (2010) mengenai Efektivitas
kemitraan antar stakeholder dalam mewujudkan Kota layak anak (KLA) di
Surakarta tahun 2016 menunjukkan bahwa pelaksanaan kemitraan Kota Layak
Anak di Kota Surakarta dinilai belum mampu terlaksana secara efisien. Hal ini
karena ketidakjelasan pada aturan dan pengelolaan jaringan kemitraan yang buruk.
Sehingga memunculkan hambatan teknis pada pola komunikasi dan distribusi
informasi. Komitmen dan kemauan menjadi titik point untuk membawa perubahan
pada hubungan kemitraan dari seluruh stakeholder.
Penelitian lainnya juga dilakukan oleh Dodi Widiyanto dan R. Rijanta
(2012), keduanya menjelaskan mengenai lingkungan kota layak anak (child-friendly
city) berdasarkan persepsi orangtua di kota yogyakarta. Penelitian menjelaskan
12
bahwa ada beberapa faktor dalam menganalisis kondisi lingkungan yang ramah
anak. yakni, kebijakan yang dihasilkan pemerintah, kondisi lingkungan dan
perencanaan untuk anak itu sendiri.
Candrika Pradipta Apsari (2011) dalam penelitiannya juga menyatakan
bahwa dalam Pelaksanaan Kebijakan Program Kota Layak Anak di Kota Surakarta
telah dilaksanakan berdasarkan Pedoman Kota Layak Anak dengan prosedur yang
melibatkan : Pengumpulan baseline data, penentuan indikator, pengidentifikasian
permasalahan anak, serta berbagai kegiatan dalam pelaksanaan pengembangan Kota
Layak Anak hingga proses evaluasi dan monitoring. Disamping itu, dalam penelitian
ditemukan hambatan dalam proses pelaksanaan pengembangan Kegiatan Kota
Layak Anak di Surakarta yakni permasalahan mengenai komunikasi, serta minimnya
sosialisasi kepada masyarakat hingga proses pendanaan program.
Secara umum, masalah yang diangkat dalam penelitian terdahulu, lebih
banyak menyoroti pada kajian evaluasi terhadap kebijakan program Kota Layak
Anak yang telah dilaksanakan di daerah tertentu dengan menggunakan perspektif
dari pihak pemerintah selaku penyelenggara program. Belum sampai pada aspek
kajian yang secara substantif membahas pemahaman masyarakat tatkala Kota Layak
Anak terimplementasi sebagai sebuah program pemerintah. Dengan demikian,
penelitian yang mengangkat permasalahan konstruksi sosial dan makna secara
integratif mengenai Kampung Ramah Anak belum ada hingga saat ini. Sehingga,
dianggap perlu sebagai kajian untuk memahami realitas sosial program yang diambil
berdasarkan persepsi warga yang bersangkutan.
13
1.6 Definisi Konseptual
A. Kampung Ramah Anak Sebagai Implementasi Kebijakan KLA
Sebagai upaya mempercepat pemenuhan hak pada anak, Pemerintah Kota
Yogyakarta melalui Kantor Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan (KPMP)
telah berinisitif membentuk program Kampung Ramah Anak. Kampung Ramah
Anak diselenggarakan di dua wilayah sebagai bentuk pilot project. Istilah Pilot
project (proyek percontohan) merupakan kegiatan yang menjadikan suatu kelompok
masyarakat dalam suatu wilayah sebagai percontohan bagi kawasan lainnya, serta
berjalan sesuai dengan sasaran program yang telah dibentuk dalam aturan.
Implementasi kebijakan ini memuat aturan yang telah terlegitimasi secara hukum,
sehingga seluruh komponen yang terlibat bersama-sama melakukan tindakan dalam
mencapai tujuan kebijakan.
Dalam penerapan Kampung Ramah Anak, wilayah Kampung dianalisis
sebagai satu kesatuan unit terkecil setelah keluarga untuk dapat mengakomodir
berbagai indikator Kampung Ramah Anak yang telah ditetapkan sebelumnya.
Sedangkan menurut UNICEF melalui Innocenty research menjelaskan bahwa kata
ramah anak berarti menjamin kondisi anak beserta haknya dalam menjalani
kehidupan. Dengan demikian, Kampung Ramah Anak dapat didefinisikan sebagai
tempat memberikan ruang interaksi agar masyarakat lebih mudah dalam sosialisasi
dan pembangunan kesadaran mengenai hak-hak pada anak. Laporan Akhir Kajian
Pengembangan Kota Layak Anak Kota Yogyakarta (2012:113) menjelaskan bahwa :
Kampung ramah anak adalah satuan program yang dilakukan oleh warga
yang tergabung dalam rukun kampung berupa usaha pemenuhan hak sipil
anak untuk memberikan kesempatan tumbuh dan berkembang berdasarkan
kondisi realistik menuju kampung yang mampu memberi kenyamanan, layak
huni, dan layak kembang dengan dasar kesehatan, pendidikan serta
14
perlindungan hukum berdasarkan inisiatif mandiri. Program ini dilaksanakan
terintegrasi dengan kegiatan rukun wilayah dan rukun tetangga sebagai
pemenuhan kebutuhan dasar hidup.
Seperti halnya Kota Layak Anak, pengembangan program Kampung Ramah
Anak yang hadir di RW 11 Kampung Badran memiliki landasan hukum yang
meliputi aturan sebagai berikut :
1. Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan Anak.
2. Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak- hak
anak (Convention on The Rights of The Child)
3. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Nomor 3 Tahun 2008
tentang Pedoman Pelaksanaan Perlindungan Anak.
4. Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan Nomor 2 Tahun 2009 tentang
Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak.
Disamping itu, dalam usaha membentuk Kampung Ramah Anak, ada
prasyarat penting yang perlu dipenuhi. yakni : Adanya komitmen pengambil
kebijakan di tingkat lokal dan inisiatif dari masyarakat yang bersangkutan. Setelah
kedua hal tersebut dipenuhi, Ifa Aryani (LSPPA, 2012) menjelaskan bahwa ada
beberapa langkah dalam pembentukan Kampung Ramah Anak yaitu :
15
Gambar 1.1
Langkah Pembentukan Kampung Ramah Anak
Sumber : Ifa Aryani (LSPPA, 2012)
Tahapan-tahapan tersebut menjadi pijakan dalam membentuk Kampung
Ramah Anak agar sesuai dengan program yang telah dirancang secara berkelanjutan.
Serta mencapai tujuan sesuai indikator penilaian berjenjang yakni tingkatan pratama,
madya, nindya, utama dan berakhir pada, kampung ramah anak sebagai tingkat yang
ideal. Setelah semua dipenuhi, pengembangan Kampung Ramah Anak akan
berlanjut pada tataran yang lebih masif yakni tingkat kecamatan dan berakhir pada
penguatan tujuan utama Kota Layak Anak itu sendiri.
Kampung ramah anak merupakan wujud nyata peningkatan kepedulian yang
menjamin pemenuhan anak di tingkat kampung serta memastikan upaya
memberikan perhatian pada kebutuhan aspirasi, perhatian, serta penghargaan pada
anak tanpa adanya diskriminasi (RAD KLA Yogyakarta, 2012 : 3). Hal ini sesuai
dengan tujuan dasar dari program Kampung Ramah Anak yang merupakan bentuk
tindak lanjut Kota Yogyakarta menuju Kota Layak Anak serta dapat menemukan isu
Sosialisasi Kebijakan Kota Layak Anak
Membangun komitmen bersama
Focus Grup Discussion
Pembentukan gugus tugas Kampung
Ramah Anak dan Forum Anak
Workshop penyusunan
program kegiatan
Pendampingan
Monitoring dan Evaluasi
16
strategis mengenai anak sekaligus memecahkannya dengan kebijakan yang
berhubungan dengan kesejahteraan dan perlindungan anak.
Disamping itu, dalam Rencana Aksi Daerah KLA Yogyakarta (2012 : 3) juga
menyebutkan bahwa Kampung Ramah Anak diharapkan dapat mempercepat proses
pemenuhan hak anak. Sehingga wilayah yang bersangkutan diharapkan layak secara
fisik maupun non fisik dalam memenuhi kebutuhan dan hak-hak pada anak.
Pembangunan kampung ramah anak diharapkan dapat menyatukan komitmen dan
sumber daya kampung, masyarakat dan dunia usaha yang berada di kampung untuk
dapat menghormati, menjamin dan memenuhi hak anak, melindungi anak dari
tindakan kekerasan, eksploitasi, pelecehan dan diskriminasi dan mendengar
pendapat anak yang direncanakan secara sadar, menyeluruh dan berkelanjutan.
Untuk mencapai itu semua, diperlukan adanya peran serta pemerintah,
masyarakat dan dunia usaha untuk menciptakan sebuah kebijakan yang berpihak
terhadap anak. Adapun wujud kebijakan tersebut berupa sarana dan prasarana
penujang fisik bagi anak dan aktivitas wilayah dengan program kegiatan kampung
ramah anak yang bertujuan memenuhi hak-hak pada anak (Rencana Aksi Daerah
KLA Yogyakarta, 2012 : 3).
Sebagai langkah awal, pada tanggal 22 Juli 2010 diadakan launching
Kampung Badran Menuju Kampung Ramah Anak oleh Walikota Kota Yogyakarta
di RW 11 Kampung Badran. Menurut Ifa Aryani (2012), dipilihnya Kampung
Badran dan sebagai pilot project pengembangan Kampung Ramah Anak tidak lepas
dari pertimbangan berikut :
1. Jumlah anak yang cukup signifikan hingga mencapai angka 275 anak dengan
kategori usia 0-18 tahun. Anak-anak tersebut hidup dan tumbuh dengan latar
17
belakang kehidupan sosial-budaya yang beragam. Sehingga diharapkan dapat
menjadi contoh untuk wilayah lain dalam penerapan sekaligus pendampingan
program ke depan.
2. Adanya motor penggerak dalam rangka memotivasi wilayah bersama-sama
dengan lembaga kemasyarakatan yang ada di wilayah.
3. Di Kampung Badran RW 11 Kelurahan Bumijo terdapat bibit lembaga yang
memiliki potensi untuk dapat ikut serta berperan dalam pemenuhan hak anak.
4. Adanya dukungan para pihak, baik dari kecamatan, kelurahan, dunia usaha,
organisasi masyarakat di wilayah yang dinilai antusias kegiatan ini.
5. Kampung Badran mewakili zona utara yang memiliki lokasi padat penduduk dan
letaknya dekat dengan bantaran sungai Winongo. Sehingga banyak warga
pendatang dengan variasi kelas yang berasal dari tingkat ekonomi menengah ke
bawah datang. Alhasil, dengan kondisi ekonomi dan sosial yang tidak memadai,
maka hal tersebut, disinyalir memiliki kaitan terhadap perlakuan pola asuh orang
tua pada anak-anaknya.
Untuk membantu pelaksanaan kegiatan Kampung Ramah Anak, KPMP
membentuk gugus tugas kota layak anak. Gugus tugas Kota Layak Anak merupakan
institusi yang dibentuk sebagai sarana dalam merumuskan konsep dan
pengembangan Kampung Ramah anak serta menjalin interaksi sosial melalui
mekanisme bottom-up dalam merealisasikan kampung ramah anak sebagai unit
dasar pembentukan Kota Layak Anak di Kota Yogyakarta. Dalam merealisasikan
Kampung Ramah Anak, maka gugus tugas Kota Layak Anak lantas melakukan 3
tahapan berikut : 1). Tahapan pertama di tahun 1 mengambil fokus pada sosialisasi
Program Kegiatan Kampung Ramah Anak di wilayah sasaran, 2). Tahapan kedua di
18
tahun 2 mengambil fokus pada pelembagaan meliputi : Penguatan kelembagaan
Kampung Ramah Anak, workshop kampung ramah anak yang bertujuan untuk
membangun sistem dan jaringan sosial, monitoring, evaluasi dan pelaporan
pendampingan, 3). Tahapan ketiga di tahun 3 berfokus pada kemandirian yang
berupa : pemantapan program, monitoring, evaluasi dan pendampingan, menjadi
pendamping bagi kampung lain di sekitarnya untuk menuju kampung ramah anak.
Selanjutnya, pada proses pendampingan dan pembinaan, dilakukan secara
berkelanjutan dengan jangka waktu selama 2 tahun atau sesuai dengan kebutuhan
wilayah. Meskipun demikian, dalam kurun waktu tersebut pendampingan dapat
dihentikan dengan alasan berikut : 1). Hilangnya komitmen dari masyarakat pada
program Kampung Ramah Anak, 2). Tidak ada tindak lanjut atas rencana kegiatan
yang sudah disepakati dengan tim pendamping, 3). Tidak menyampaikan laporan
kemajuan kegiatan, 4). Alokasi bantuan dana yang diberikan tidak sesuai dengan
peruntukan dan tujuan yang telah disepakati.
Dalam Buku Pedoman Kampung Ramah Anak Kota Yogyakarta (2012)
dijelaskan bahwa proses pembinaan merupakan suatu rangkaian kegiatan untuk
memastikan pelaksanaan kegiatan dan komitmen masyarakat dalam mewujudkan
kampung ramah anak. Pembinaan dilaksanakan untuk dapat memberikan solusi yang
berguna dalam mengatasi permasalahan anak. Sekaligus bentuk pengoptimalan
pelaksanaan program kegiatan di Kampung Ramah Anak. Proses pendampingan
dilaksanakan oleh tim pendamping Kota Layak Anak dan tim pendamping Kampung
Ramah Anak. Pelaksanaan Pembinaan dilakukan dengan cara berikut : analisa
laporan, koordinasi dan kunjungan lapangan. Hasil pendampingan digunakan
sebagai masukan bagi pembinaan selanjutnya.
19
B. Kluster Hak Anak Sebagai Indikator Kampung Ramah Anak
Dalam pengembangan Kebijakan Kota Layak Anak, pelaksanaannya tidak
lepas dari hak dasar pada anak yang menjadi lokus penting dalam pemenuhan hak
anak. Lokus tersebut lahir melalui Konvensi Hak Anak yang kemudian dijabarkan
ke dalam kluster yang memuat : kepentingan terbaik bagi anak, sikap
nondiskriminasi, hak kelangsungan hidup, hak untuk hidup bagi anak dan
penghargaan pada hak anak. Dari kluster tersebut lantas memuat indikator yang
menjadi tolak ukur dalam melihat tindakan warga RW 11 Kampung Badran dalam
memenuhi Hak Anak. Pemerintah Kota Yogyakarta bekerjasama dengan gugus
tugas kota layak anak melakukan kontrol sosial dari masing-masing indikator yang
ada dalam memenuhi hak anak. Hak anak yang dimaksud merupakan hal yang wajib
dipenuhi oleh orang tua, masyarakat dan pemerintah kepada anak. Dengan demikian,
anak akan terhindar dari diskriminasi, memiliki perlindungan khusus, serta dapat
berpartisipasi dalam kegiatan. Hal ini penting guna tercapainya pemenuhan hak anak
secara mendasar. Keberadaan Hak Anak merupakan salah satu upaya yang
terintegrasi untuk mewujudkan Pengarusutamaan Hak Anak (PUHA) di seluruh
wilayah di Indonesia. Di wilayah RW 11 Kampung Badran, hak anak berpijak pada
5 kluster yang telah ditetapkan pemerintah serta dijabarkan ke dalam 61 indikator
hak anak. Kluster tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Hak Sipil dan Kebebasan
Hak Sipil dan kebebasan ditandai dengan hak untuk mendapatkan hidup serta
kebebasan berdasarkan hukum yang berlaku. Disamping itu, hak kebebasan ditandai
dengan memberikan ruang kepada anak untuk dapat mengutarakan pendapat,
gagasan dan pikiran melalui berbagai forum kegiatan. Seperti yang telah dijelaskan
20
UUD 1945 Pasal 28 mengenai kebebasan mengeluarkan pendapat, berserikat serta
berkumpul bagi warga negara. Upaya merealisasikan hak anak tersebut ditandai
dengan keberadaan Forum Anak Kota (FAKTA) sebagai salah satu wadah aspirasi
anak dalam mengaktualisasikan diri, Pengadaan Profil Anak di setiap wilayah, Kartu
Identitas Anak (KIA), Partisipasi anak dalam berbagai kegiatan wilayah,
Pembentukan kelompok anak berdasarkan minat dan bakat, hak anak untuk
memperoleh Akte Kelahiran.
2. Hak Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif
Lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif menitikberatkan pada upaya
peningkatan kesadaran pada anak mengenai usia perkawinan dan kesehatan
reproduksi. Sehingga diharapkan dapat bersinergis dengan Lembaga Kesejahteraan
Sosial Anak (LKSA) yang ada dimasing-masing daerah untuk mendampingi anak
yang bermasalah dengan hukum, kasus pernikahan dini, anak miskin, anak
berkebutuhan khusus dan lain-sebagainya.
3. Hak mendapatkan Kesehatan Dasar dan Kesejahteraan
Hak untuk mendapatkan kesehatan dasar dan kesejahteraan menitikberatkan
pada pemenuhan hak anak untuk mendapatkan gizi, ASI ekslusif, hak tumbuh
kembang, imunisasi, layanan posyandu, serta menciptakan kawasan bebas asap
rokok, hingga upaya untuk mempercepat penurunan angka kematian bayi sekaligus
pendampingan bagi ibu hamil dan menyusui.
4. Hak memperoleh Pendidikan, Pemanfaatan Waktu Luang dan Kegiatan
Seni Budaya
Pendidikan merupakan salah satu pondasi dasar dalam pembangunan suatu
negara. Oleh sebab itu, hak pendidikan pada anak selaku generasi penerus bangsa,
21
perlu menjadi agenda dan prioritas utama. Salah satunya dapat merujuk pada
kegiatan pemenuhan hak anak untuk dapat mengakses pendidikan baik di tingkat
formal dan informal, mengikuti wajib belajar 12 tahun, penyediaan sarana dan
prasarana untuk menunjang pendidikan dan penyediaan ruang bermain yang layak
bagi anak, pendidikan alternatif, PAUD dan lain sebagainya.
5. Hak Mendapatkan Perlindungan Khusus
Pada indikator ini, pemenuhan hak anak untuk memperoleh perlindungan
khusus ditandai dengan pendampingan pada anak yang bermasalah secara hukum,
penyelesaian kasus terhadap anak korban kekerasan, eksploitasi ekonomi dan
seksual, anak yang terlibat narkoba, serta pendampingan bagi anak korban bencana
alam yang terjadi di suatu wilayah.
1.7 Kerangka Teoritik
A. Fenomenologi Alfred Schutz
Dunia mengandung realitas sosial yang memiliki pola, struktur sosial dan
berbagai perangkat tatanan yang menunjang kehidupan sehari-hari bagi masyarakat.
Untuk memahami hal tersebut, pendekatan dalam teori sosiologi terus berupaya
menafsirkan realitas yang mengandung bagian-bagian tersebut agar dapat dimaknai
secara bersama oleh individu. Dalam menafsirkan realitas, salah satu pendekatan
yang digunakan ialah fenomenologi. Secara istilah fenomenologi berasal dari kata
Phainoai yang berarti „menampak‟ dan phainomenon merujuk pada „yang
menampak‟. Fenomenologi dipelopori oleh Edmund Husserl. Ia telah merefleksikan
pemikiran Weber secara filosofis melalui pendekatan fenomenologi. Bagi Husserl
fenomenologi merupakan upaya dalam mempelari fenomena yang melibatkan
22
manusia dalam kehidupan, tanpa harus mempertanyakan substansi dasar penyebab
terbentuknya realitas. Sehingga, Husserl memandang bahwa fenomenologi
merupakan metode analisis secara transedental dalam mengkaji sesuatu yang hanya
muncul dipermukaan.
Ide tersebut masih terbilang abstrak untuk dipahami. Realitas yang terjadi
tidak mungkin dimengerti tanpa mempertanyakan substansi sebagai asal muasal
suatu realitas. Hingga kemudian, fenomenologi Husserl menarik minat Alfred
Shuctz untuk menjembatani tradisi fenomenologi filsafat yang dibawa oleh Edmund
Husserl menuju fenomenologi yang dirasa lebih memberikan makna dalam
kehidupan. Meskipun pada mulanya, Shutz sendiri bukanlah seorang sosiolog, ia
seorang bankir yang menaruh minat dalam dunia pendidikan.
Pemikiran schutz sangat kental dengan pengaruh weberian dan fenomenologi
Husserl. Ia berhasil menjembatani fenomenologi transedental yang telah
dikemukakan oleh Husserl dan pengaruh tindakan dalam perspektif weberian. Serta
membawa fenomenologi menemukan metode analisis yang dapat diaplikasi dalam
penelitian secara empiris. Menurutnya, peranan fenomenologi dalam tataran praxis
dapat dilakukan melalui pengamatan yang dilakukan terhadap pola perilaku dan
relasi sosial dalam masyarakat. Subyektifitas dari aktor dipandang penting dalam
membuat objek memiliki makna (Salim, 2006 : 169).
Shutz juga menyatakan bahwa dunia realitas sosial memuat intersubyektif
(kesadaran bersama) yang hadir melalui stock of knowledge yang akan melahirkan
tindakan subyektif bagi individu. Melalui pengetahuan yang hadir dalam akal sehat
individu, maka dari sanalah akan muncul sistem kontruksi yang dinilai memiliki
karakteristik tertentu. Dalam stock of knowledge tersebut, mengandung beberapa
23
unsur yang sifatnya mengikat yakni : makna (meaning), intensitas, waktu, serta isi
yang mengandung content isi. Unsur-unsur tersebut merupakan bentuk tipifikasi
yang akan menghasilkan realitas secara intersubyektif. Tipifikasi merupakan
pengkategorian tanda dalam mengarahkan manusia untuk mendekati realitas secara
objektif. Sehingga, manusia dapat menyadari dunia yang dibentuk secara bersama
melalui kesadaran intersubjektif. Kesadaran intersubjektif merupakan kesadaran
yang muncul sebagai penerimaan secara bersama realitas objektif yang terjadi.
Shutz juga menjelaskan bahwa keberadaan pengalaman di dalam maupun
diluar individu dengan beragam sistem yang melekat secara sosial merupakan
tipifikasi yang dibutuhkan dalam membentuk dunia yang intersubyektif bagi
individu. Dengan demikian, hubungan tersebut akan menjadi dasar pijakan bagi
schutz untuk dapat menghubungkan dunia akal sehat secara intersubyektif dengan
keilmuan melalui fenomenologi sosial.
B. Perspektif Konstruksi Sosial Peter L.Berger dan Thomas Luckhmann
Dari pemikiran Alfredz Shutz tersebut, seorang sosiolog dari New School
For Social Research bernama Peter Ludwig Berger dan Thomas Luckmann yang
merupakan sosiolog dari University of Frankfrut menaruh minat yang besar dalam
pengembangan fenomenologi sebagai acuan dalam melihat terbentuknya kehidupan
masyarakat. Fenomenologi Shutz dijadikan pijakan dalam pengembangan teori yang
berakar dari tradisi tindakan subyektif Weber dan fakta sosial Durkheim. Serta
melihat masyarakat sebagai kenyataan objektif yang bersemayam sebagai realitas
subyektif dalam kesadaran yang dimiliki oleh individu. Keduanya menggunakan
realitas sosial dan pengetahuan sebagai dasar membentuk konstruksi sosial dalam
masyarakat.
24
Pada tahun 1966, Berger dan Luckhmann menuangkan pemikiran tersebut
dalam buku yang berjudul The Social Construction of Reality : A Treatise in the
Sociological of Knowledge. Dalam buku tersebut, Berger dan Luckmann mencoba
untuk mensintesiskan pemikiran Durkheim-parsonian mengenai struktur, Weber
mengenai makna yang menghasilkan tindakan subyektif individu, Marx mengenai
konsep dialektika serta Mead mengenai interaksionisme simbolik dalam proses
sosialisasi. Dari proses dialektis teori-teori tersebut, Berger dan Luckhmann
menghasilkan teori konstruksi sosial yang membentuk hubungan antara struktur dan
individu dalam kehidupan sosial secara dialektis.
Menurut keduanya, proses sosial terjadi karena adanya hubungan objektif
(struktur sosial) serta subyektif (individu) melalui proses interaksi dan tindakan
subyektif dari individu. Berger memposisikan struktur sosial sebagai salah satu
penyebab dari perubahan, namun ia tak mengabaikan peran individu sebagai
manusia yang memiliki rasional dalam berpikir serta bertindak. Sehingga individu
terus dapat menciptakan realitas secara obyektif melalui moment dialektis. Agar
konstruksi sosial tersebut dapat terus terpelihara, maka dibutuhkan rangkaian secara
simultan. Oleh Berger dan Luckhmann rangkaian proses tersebut dikenal dengan :
objektivasi, internalisasi dan eksternalisasi. Berikut gambaran tiga momentum
dialektis menurut pemikiran Berger dan Luckhmann :
25
Gambar 1.2
Tiga momentum Simultan dalam Pemikiran Berger dan Luckhman
Sumber : Riyanto, Geger.2002. Peter L.Berger : Persepektif Metateori
Pemikiran.Jakarta :LP3ES.(Hal 112)
Dalam teori konstruksi sosial Berger dan Luckhmann, kehadiran realitas dan
pengetahuan menjadi kunci dalam memahami kehidupan sehari-hari. Realitas
merupakan sesuatu yang hadir sebagai fenomena yang disadari memiliki keberadaan
dan karakteristik pengetahuan. Sedangkan pengetahuan merupakan kepastian bahwa
fenomena yang hadir itu bersifat nyata (real) dan memiliki karakteristik spesifik
(Berger, 1990:1). Kehidupan sehari-hari akan memuat realitas yang akan
menghadirkan pengetahuan baru bagi masyarakat. Kehadiran pengetahuan yang
secara terus menerus terakumulasi dalam kehidupan sehari-hari akan membentuk
common sense dalam diri individu. Menurut Berger common sense merupakan dasar
pengetahuan yang dimiliki secara sadar dan bersamaan oleh individu lainnya, serta
terwujud dalam kegiatan rutin yang dijalani oleh individu dalam kehidupan sehari-
hari (Berger, 1990:34). Keberadaan common sense tersebut kemudian akan menjadi
pengetahuan yang dapat dimiliki oleh individu secara bersama-sama dalam
menjalani kehidupan.
Dimensi Struktur Sosial
Keteraturan Yang Objektif
Dimensi Manusia
Rasionalitas-Subyektif
Eksternalisasi Obyektivasi Internalisasi
26
1. Objektivasi Sebagai Proses Dialektis dalam Konstruksi Sosial
Kehadiran pengetahuan dan realitas dalam kehidupan, tentu saja tidak dapat
diterima begitu saja dalam diri individu. Hal ini karena individu dalam kehidupan
memiliki makna subyektif yang berbeda-beda dalam memahami suatu realitas sosial.
Realitas sosial merupakan kemampuan anggota masyarakat untuk dapat menyadari
sekaligus memahami tindakan individu yang lahir dalam struktur sosial masyarakat.
Kehadiran realitas akan berpengaruh pada makna subyektif yang diciptakan oleh
individu dalam menjalani kehidupannya. Dalam sebuah masyarakat, heterogenitas
makna menjadi hal yang pasti terjadi. Meskipun demikian, disisi lain, individu tentu
saja dapat memaksakan makna subyektif yang hadir dalam realitas sosial tersebut.
Hal ini agar realitas objektif dapat terjaga dan terpelihara sebagai suatu kenyataan
yang dapat diterima secara pengetahuan dunia akal sehat yang intersubyektif. Serta
dapat dijalankan dalam kegiatan rutin sehari-hari. Proses inilah yang disebut sebagai
obyektivasi. Melalui dasar pengetahuan yang diobjektivasi tersebut, individu akan
menghadapi realitas di luar dirinya.
Objektivasi akan membentuk realitas objektif yang hadir sebagai upaya
untuk memelihara realitas sosial yang tengah dijalani. Melalui realitas objektif yang
hadir dalam ruang sosial, maka aktivitas manusia akan terus diproduksi secara
berulang agar dapat memenuhi kebutuhan dan aktivitas individu dalam masyarakat.
Melalui produksi dan pemeliharaan aktivitas, masyarakat sebenarnya tengah
membentuk tatanan sosial yang teratur. Tujuannya agar manusia mengalami
transformasi dari ketertutupan–dunia secara relatif yang dibutuhkan oleh manusia itu
sendiri. Sehingga berguna membuatnya berada pada kestabilan hidup. Perlu diingat
27
bahwa, tatanan sosial bukanlah kodrat dari alam, ia hadir sebagai perwujudan
produk aktivitas manusia yang juga hadir sebagai representatif keadaan.
Agar realitas objektif yang terobjektivasi dapat terpelihara, maka perlu
memuat pelembagaan dan legitimasi. Pelembagaan atau institusionalisasi, terjadi
dari aktivitas yang dilakukan individu sebagai manusia, diwujudkan melalui
tindakan individu yang secara berkesinambungan membentuk kebiasaan. Tindakan
individu tersebut mengandung proses pengidentifikasian diri yang secara objektif
berlangsung dalam diri individu. Sehingga dilakukan oleh individu dengan
melibatkan dasar arti objektif pada setiap tindakan yang dilakukan.
Sedangkan legitimasi menyediakan makna yang diperlukan untuk
melahirkan makna baru yang berfungsi untuk mengintegrasikan makna yang sudah
ada pada proses kelembagaan. Hal ini terjadi, karena makna dalam aktivitas
kelembagaan tidak dapat hanya diingat, melainkan perlu rumusan yang dapat
menjadi aturan bagi masyarakat. Legitimasi menjadi aturan yang memuat kekuasaan
sehingga sifatnya mengikat dan “memaksa” masyarakat. Dengan begitu, masyarakat
akan patuh dan menerima realitas sosial dalam kehidupan sehari-hari.
Disamping itu agar realitas yang terobjektivasi tersebut dapat diterima
sebagai pengetahuan akal sehat intersubyketif, maka diperlukan perantaraan orang
yang berpengaruh (significant others). Orang yang berpengaruh tersebut dapat
disebut sebagai aktor peranan. Tujuannya agar dapat menghubungkan realitas
objektif dengan budaya spesifik sebagai makna subyektif dalam diri individu. Aktor
yang berperan akan melakukan proses sosialisasi dalam rangka mendistribusikan
pengetahuan agar dapat ditransformasikan dalam realitas subyektif individu. Sehinga
keberadaan aktor sebagai agen konstruksi berperan dalam setiap tindakan yang
28
menyangkut kelembagaan. Kehadiran aktor jelas berfungsi untuk mengontrol dan
mengendalikan setiap aktivitas yang tengah berlangsung dalam kelembagaan. Dalam
objektivasi lanjutan, realitas objektif yang terobjektivasi akan memuat signifikasi.
Dalam proses signifikasi, realitas akan memuat sistem tanda yang meliputi : bahasa,
gesture tubuh, artefak dan lain-lain. Sekalipun tanda memiliki makna yang sangat
beragam. Namun, melalui proses signifikasi, realitas objektif diyakini dapat
terpelihara serta dapat diwariskan kepada generasi selanjutnya melalui bahasa.
Bahasa menjadi sarana dalam menegaskan realitas objektif secara terus menerus dan
berulang. Melalui bahasa, interaksi manusia dalam objektivasi dapat terjadi.
Sekaligus dapat memunculkan penilaian masyarakat terhadap perilaku yang dinilai
menyimpang dari keteraturan yang telah disepakati. Sehingga membuat masyarakat
menjadi bagian yang memiliki dominasi untuk memaksa dan mengarahkan individu
dalam menjalani aktivitas kehidupan.
2. Internalisasi Sebagai Proses Dialektis dalam Konstruksi Sosial
Pengetahuan akal sehat secara intersubyektif yang membentuk realitas
objektif tidak hanya berhenti pada objektivasi semata. Untuk dapat diterima sebagai
kesadaran bersama oleh masyarakat, realitas objektif tersebut perlu diterima oleh
individu sebagai kesadaran yang memuat makna subyektif. Proses ini disebut
sebagai internalisasi. Tujuannya agar apa yang diterima sebagai pengetahuan dalam
masyarakat, dapat serupa diterima sebagai pengetahuan dan makna subyektif bagi
individu yang lain.
Bagi Berger dan Luckhmann (1990:185) proses ini disebut sebagai
pradisposisi (kecenderungan) ke arah sosialitas. Dengan demikian, manusia akan
dilibatkan secara dialektis, sehingga keterlibatannya mampu memposisikan manusia
29
sebagai individu di dalam realitas objektif yang tengah berlangsung. Individu
diharapkan mampu menyerap secara subjektif realitas yang dialami oleh orang lain.
Disinilah internalisasi melibatkan sosialisasi sebagai sarana dalam
mentransformasikan realitas yang telah terlegitimasi sebelumnya.
Sosialisasi menjadi penting untuk dilakukan kepada inividu karena manusia
tidak dilahirkan sebagai anggota masyarakat secara langsung. Manusia
membutuhkan waktu dan proses untuk dapat memahami realitas sosial yang terjadi.
Sehingga membuat individu tersebut mengalami proses ontogentic, yakni membuat
dirinya menjadi bagian dari masyarakat. Serta akan membawa individu untuk
berjalan secara konsisten dalam dunia obyektif masyarakat. Melalui proses belajar
mengenai apapun yang telah terobjektivasi. Serta menghubungkannya dalam suatu
integrasi pola yang memiliki makna bagi dirinya sendiri.
Realitas yang mengalami internalisasi akan memuat sosialisasi yang terbagi
menjadi dua bagian, yakni : sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder. Sosialisasi
primer diartikan sebagai sosialisasi yang dialami oleh individu pertama kali di masa
kanak-kanak, sosialisasi ini disebut juga sebagai sosialiasi tataran pertama,
kehadirannya memiliki bagian yang erat dengan realitas sosial. Karena dunia dalam
diri individu dapat terbentuk. Serta menyangkut pengenalan individu pada
lingkungannya untuk pertama kali. Pada sosialisasi primer, aspek bahasa tidak dapat
dikesampingkan. Bahasa merupakan unsur penting yang digunakan sebagai sarana
pengungkapan realitas. Dengan bahasa, aktor yang berperan dalam mendistribusikan
pengetahuan dapat menanamkan secara kuat realitas objektif yang memuat makna
kelembagaan, nilai dan norma yang tengah dijalani oleh masyarakat. Sehingga tidak
dapat dilupakan dalam kesadaran subyektif individu.
30
Setelah melalui sosialisasi primer, individu akan masuk pada tataran
berikutnya, yakni sosialisasi sekunder. Sosialisasi ini merupakan kelanjutan dari
sosialisasi primer yang akan memberikan pengaruh baru pada individu. Sehingga
individu akan mengalami proses dialektis yang mengarahkan dirinya pada proses
pengidentifikasian mengenai realitas objektif yang dipenuhi oleh kelembagaan dan
aturan yang terlegitimasi. Sehingga manusia akan terkotak-kotak pada wilayah
realitas subyektifnya masing-masing. Seperti yang disampaikan oleh Berger dan
Luckhamnn (1990:187) bahwa setelah manusia mengalami sosialiasi di tahapan
primer, maka manusia akan masuk ke dalam sektor-sektor baru dunia obyektif
masyarakatnya. Individu diharapkan mampu mengidentifikasikan subyektif dirinya
sesuai dengan nilai dan norma dalam realitas objektif yang telah ada. Dengan begitu,
individu dapat memiliki persamaan dengan struktur sosial yang ada pada lingkungan
dan sosialisasi sebelumnya. Melalui mekanisme demikian, sosialisasi sekunder dapat
membentuk individu untuk menjalankan peranannya sesuai dengan pembagian kerja
yang telah hadir dalam realitas objektif sebelumnya. Proses tersebut berlangsung
secara timbal balik, sehingga membuat individu memiliki keterikatan pada
kenyataan baru yang membuatnya menjadi bagian dari anggota masyarakat.
Sosialisasi yang terjadi dalam tahap internalisasi mengalami dua
kemungkinan dalam membentuk realitas. Pertama, keberhasilan sosialisasi dapat
terjadi, tatkala adanya keterpaduan realitas yang dibentuk oleh kenyataan subjektif
maupun kenyataan objektif dari individu yang bersangkutan. Artinya aktor
sosialisasi menjadi salah satu faktor penentu dalam menyampaikan makna penting
dari realitas sosial yang dijalaninya. Namun, manakala terjadi kemajemukan dari
para aktor sosialisasi, kemungkinan makna hanya dapat diterima secara absurd dan
31
setengah-setengah. Makna subyektif tidak dapat diterima secara tunggal. Hal inilah
disebut sebagai kondisi “asimetri” yang menjadi salah satu penyebab
ketidakberhasilan sosialisasi sekunder. Bila hal ini terjadi, maka tidak menutup
kemungkinan, makna yang seharusnya ditangkap secara utuh, hanya akan ditangkap
secara parsial. Serta masyarakat tersebut kemungkinan tidak dapat menjaga tatanan
dan struktur sosial yang sudah ada dalam masyarakat yang bersangkutan.
Kedua, sosialisasi yang berjalan baik, dapat menghasilkan proses
“identifikasi” subjektif dan norma dalam diri individu. Dengan demikian, individu
akan mentransformasikan peranan dirinya agar mampu mengidentifikasikan diri
sebagai anggota masyarakat yang juga turut memiliki bagian “peranan” seperti yang
sebelumnya ditransformasikan oleh orang-orang yang berpengaruh. Identifikasi
yang terjadi bersifat subyektif dalam memahami pengakuan pada diri sendiri. Diri
merupakan suatu entitas yang direfleksikan, yang memantulkan sikap yang mula-
mula diambil dari orang-orang yang berpengaruh terhadap entitas diri sendiri
(Manuaba, 2010 :14). Dengan demikian, kehadirannya menjadi wujud identitas ke-
diri-an” individu yang lahir dari sebuah realitas masyarakat objektif. Sehingga,
keberhasilan sosialiasasi akan menghasilkan masyarakat yang terpelihara, sedangkan
kegagalan sosialisasi akan membuat sulitnya pemeliharaan tradisi dan tatanan sosial
masyarakat.
3. Eksternalisasi Sebagai Proses Dialektis dalam Konstruksi Sosial
Ketika manusia menciptakan kesadaran baru dalam hidupnya, manusia
sebenarnya tengah melakukan proses dialektis untuk memberikan perlakuan secara
timbal balik dalam kehidupannya. Proses tersebut terjadi melalui pencurahan diri
individu ke dalam dunia sosial budaya dan kebudayaan yang bersifat nonmaterial.
32
Individu mengalami proses eksternalisasi yang menempatkan posisinya lebih
dominan dalam menciptakan produk sosial bernama masyarakat. Produk sosial yang
dihasilkannya merupakan akumulasi dari beragam aktivitas yang telah menjadi
dunia bentukan (dikonstruksi) oleh aktivitas manusia sendiri. Menurut Berger dan
Luckmann (1990 :75) kondisi tersebut merupakan bentuk keharusan antropologis
yang memiliki sifat sui generis. Artinya keberadaan manusia tak mungkin
berlangsung dalam lingkungan interioritas yang tertutup tanpa gerak. Manusia
membutuhkan ruang gerak, ia hadir dan memiliki kebebasan sikap. Melalui
keterbukaan sikap dan pencurahan manusia dalam dunia sosialnya akan
memungkinkan untuk manusia dapat melaksanakan aktivitas dalam kehidupan
(Berger, 1990 : 67). Melalui aktivitas tersebut, manusia dapat mengembangkan diri
menjadi seorang individu dalam kebudayaan material dan immaterial di masyarakat
melalui hubungan yang timbale balik secara berkesinambungan.
Melalui proses eksternalisasi, manusia mengalami “ke-diri-an” yang memuat
kenyataan subyektif individu serta tidak dapat dilepaskan dari eksternalisasi
kehidupan yang sebelumnya telah dilakukan. Sehingga individu akan membentuk
dunianya sendiri dalam hubungannya dengan dunia sosial (Berger, 1994 : 6-7). Agar
aktivitas dan pencurahan diri manusia dalam realitas objektif dapat berjalan, maka
individu memerlukan kesadaran sebagai suatu hal yang sifatnya sui generis.
Sedangkan untuk memunculkan kesadaran, maka individu memerlukan motivasi
yang perlu dihadirkan dalam struktur dan tatanan sosial. Motivasi yang dimaksud
akan menjadi menjadi kekuatan dalam memelihara kesadaran manusia dalam
menjaga realitas objektif yang tengah berlangsung. Manusia merupakan produsen
dalam melahirkan kesadaran untuk membentuk realitas baru. Kesadaran tersebut
33
lantas dimanifestasikan oleh manusia melalui tindakan subyektif individu. Melalui
tindakan tersebut, individu seolah memiliki ke-diri-an secara subyektif dalam proses
eksternalisasi yang terjadi. Individu akan menyesuaikan diri dengan keberadaan
nilai, norma, aturan dan aktivitasnya dalam masyarakat. Dalam menjalani proses
eksternalisasi, individu rupanya dapat menjadi makhluk sosial yang juga
membutuhkan orang lain. Proses membutuhkan orang lain inilah yang
menumbuhkan nilai kolektivitas pada manusia di ranah struktur sosial. Kemunculan
kolektivitas tersebut, akan membuat manusia menghasilkan beragam kebudayaan
yang bersifat materiil maupun imateriil yang mengandung unsur, ketertiban, nilai,
dan bahasa. Dengan demikian, manusia sebagai individu akan terus mengupayakan
terwujudnya situasi lingkungan yang stabil terhadap kondisi perilaku dan
tindakannya. Serta memodifikasi produk sosialnya tatkala dirasa tidak mampu lagi
mengakomodir kebutuhan individu dalam masyarakat.
C. Identitas dalam Dinamika Perubahan Sosial Kampung Badran
Perubahan sosial menjadi hal yang dipastikan terjadi dalam setiap
masyarakat. Sekalipun perubahan sosial tersebut terbilang lambat, masyarakat tidak
akan stagnan dan terus akan menjalani realitas sosial. Perubahan sosial menjadi
serangkaian peristiwa yang membawa manusia pada dimensi sejarah baru. Serta
memuat aspek akulturasi, asimilasi dan enkulturasi dalam budaya yang dilakukan.
Perubahan sosial membawa manusia menyadari kondisi yang dinilainya tidak lagi
relevan dalam kehidupan sosial. Salah satunya mengenai permasalahan identitas.
Keberadaan identitas menjadi hal yang penting, karena identitas menjadi suatu ciri
yang membedakan manusia dengan orang lain.
34
Dalam akar filsafat, menurut Aini (dalam widayanti, 2009 : 14) pembentukan
identitas terbagi dalam tiga pendekatan, yakni : primordialisme, konstruktivisme dan
instrumentalisme. dalam pendekatan primodrialisme menjelaskan bahwa identitas
sebagai sesuatu yang diperoleh secara alami (given) yang terbentuk melalui proses
sosialisasi yang turun temurun. Sedangkan pendekatan konstruksivisme menjelaskan
bahwa identitas merupakan proses sosial yang kompleks melalui ikatan budaya yang
dibangun dalam masyarakat. Pendekatan instrumentalis, identitas sebagai sesuatu
yang dikonstruksikan untuk kepentingan elit dan demi kekuasaan.
Identitas menjadi suatu bentuk peneguhan eksistensi seorang individu dan
kelompoknya. Menurut Kinasih (2005:3) identitas menjadi sebuah dimensi
keniscayaan yang melekat dalam hubungan antar manusia karena keberadaan
seseorang menjadi bagian dari sebuah kelompok etnik, agama, tradisi dan bahasa
dalam sebuah sisem kebudayaan tertentu. Manusia secara individu maupun
berkelompok akan menempatkan dirinya pada koridor identitas dalam sebuah
konteks budaya. Dengan adanya identitas, maka individu akan diakui keberadannya
sekaligus eksistensinya dalam ruang sosial. Jeefrey Weeks yang dikutip oleh Kinasih
(2005:4) menjelaskan mengenai pentingnya identitas bagi seorang individu :
Identitas adalah tentang belonging, tentang persamaan sejumlah orang dan
tentang apa yang membedakan kamu dengan orang lainnya. Sebagai sesuatu
yang paling mendasar. Identitas akan memberikan seseorang rasa tentang
lokasi pribadi, inti yang stabil bagi individualisme.
Sense of belonging dalam konteks ini akan memberikan rasa aman bagi
individu. Rasa aman akan memberikan stabilitas dalam sistem sosial yang tengah
dijalani oleh individu dalam masyarakat. Melalui identitas, individu diluar
masyarakat akan memberikan penilaian yang secara disadari membentuk kedirian
35
bagi individu tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh Barker (2009:173) bahwa
identitas sosial merupakan harapan atau pendapat orang lain mengenai kedirian.
Namun, perlu kiranya untuk disadari, bahwa identitas suatu waktu dapat
berubah bentuk seiring perubahan sosial yang kembali terjadi. Karena sifatnya yang
bukan taken for granted, identitas dapat digunakan secara tidak konsisten.
Disesuaikan dengan kebutuhan dari individu dan kelompok yang bersangkutan. Bagi
Jean Baudrillard, dekonstruksi terhadap identitas menjadi hal yang pasti dalam
menyesuaikan identitas dengan kebutuhan bagi individu dan kelompoknya.
Penyesuaian tersebut terjadi sebagai langkah dalam membentuk identitas yang
bernilai positif. Hal ini sebagai langkah misidentification yang berarti, upaya
mengidentifikasikan identitas yang terlanjur melekat agar mendapatkan pandangan
serta pernilaian yang lebih baik dari orang lain (susetyo dikutip Kinasih, 2005:8).
Bangunan identitas lahir dalam proses yang panjang. Aturan, nilai, norma
dan iklim politik suatu wilayah menjadi faktor yang berpengaruh terhadap
perubahan identitas yang melekat dalam diri individu maupun kelompok sosial
tertentu. Untuk membentuk identitas yang berfungsi dalam menentukan keberadaan
diri suatu kelompok, konstruksi identitas menjadi hal yang mutlak diperlukan dalam
diri individu dan kelompok. Untuk itu, identitas menjadi suatu hal yang dapat
dikonstruksikan dalam kehidupan individu.
Upaya yang dilakukan ialah melalui sosialisasi. Identitas dibangun pada saat
sosialisasi yang dilakukan oleh individu kepada individu lainnya. Dengan begitu,
identifikasi mengenai unsur pembentuk identitas dapat diinternalisasikan secara
maksimal. Sebagai contoh adalah identitas yang dilakukan oleh orang tua kepada
anak-anaknya. Orang tua akan memperkenalkan individu kepada dunia realitas
36
beserta tatanannya serta memberikan pelajaran yang memuat realitas sosial sesuai
dengan aturan dan norma yang berlaku dalam masyarakatnya. Agar dapat
diidentifikasikan oleh anaknya. Proses ini berlangsung terus menerus. Sehingga anak
akan memiliki identitas sosial sebagaimana yang telah dibentuk oleh orang tuanya
terdahulu. Begitu juga dalam kelompok sosial, identitas menjadi hal yang senantiasa
terus dicari, dipelajari untuk kemudian dilekatkan pada suatu kelompok. Melalui
simbol, teks, tanda yang dapat digunakan sebagai sarana dalam merepresentasikan
individu dan kelompok tersebut dalam kehidupan. Tentu saja, dengan tujuan
melegalisasi identitas yang telah dibentuk agar sesuai dengan harapan dari kelompok
I.8 Metode Penelitian
Sebagai upaya menjawab permasalahan penelitian mengenai konstruksi
sosial dan makna Kampung Ramah Anak di RW 11 Kampung Badran, maka peneliti
menggunakan metode penelitian secara kualitatif. Penggunaan penelitian kualitatif
merupakan bentuk proporsi yang dapat digunakan untuk menjelaskan makna dibalik
sebuah fenomena sosial. Metode penelitian yang digunakan oleh peneliti meliputi :
a).Pendekatan penelitian, b). Unit analisis, c). Teknik pengumpulan data serta d)
Analisis data untuk menghasilkan kesimpulan.
A. Pendekatan Penelitian
Sebagai upaya untuk menjawab masalah penelitian, peneliti menggunakan
strategi penelitian melalui pendekatan fenomenologi. Alfred Schutz (dikutip oleh
Denzin dan Lincoln, 2009 : 336) menjelaskan bahwa pendekatan fenomenologi
berfungsi untuk merumuskan ilmu sosial yang mampu menafsirkan dan menjelaskan
pengetahuan yang merupakan (taken for granted) dan dimaknai oleh individu.
37
Penafsiran tersebut dilalui dengan cara menggambarkan struktur-struktur dasar
mengenai realitas yang nampak nyata di mata setiap orang yang berpegang teguh
pada ”sikap alamiah”. Hal ini dikarenakan pemikiran manusia menghasilkan
kesadaran constitutive maupun kesadaran reconstutive yang dibentuk tidak secara
kebetulan, melainkan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan.
Begitu pula kesadaran mengenai Kampung Ramah Anak, keberadaannya
bukan terjadi secara kebetulan, melainkan dibentuk secara sosial. Melalui,
pendekatan fenomenologi inilah, peneliti dapat melihat realitas secara nyata. Dengan
cara mengkonseptualisasikan kenyataan sebagai gambaran realitas yang utuh dan
holistik. Upaya konseptualisasi dilakukan dengan memusatkan perhatian mengenai
konstruksi sosial dan makna Kampung Ramah Anak ditinjau dari sejarah,
pengetahuan, kesadaran dan tindakan subyektif serta pengalaman kehidupan sosial
sehari-hari individu sebagai subyek sekaligus objek penelitian.
B. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di RW 11 Kampung Badran, Kelurahan Bumijo,
Kecamatan Jetis, Kota Yogyakarta. Dipilihnya lokasi tersebut berdasarkan
pertimbangan bahwa Kampung Badran merupakan wilayah urban yang terletak di
dekat bantaran Sungai Winongo. Lazimnya wilayah urban, posisi kampung yang
dekat dengan bantaran sungai seringkali dinilai tidak responsif pada kebutuhan anak
di berbagai bidang kehidupan. Baik menyangkut pendidikan, kesehatan, ekonomi
sosial, budaya dan lingkungan. Selain itu, sejarah kelam yang menunjukkan
Kampung Badran sebagai Kampung Hitam menambah image negatif yang hadir di
wilayah tersebut.
38
C. Unit Analisis
Dalam penelitian ini, penentuan unit analisis dimaksudkan agar dapat
memfokuskan kajian penelitian. Objek yang dipilih ditentukan sesuai dengan kriteria
yang digunakan untuk menjawab permasalahan penelitian. Dalam penelitian
kualitatif, unit analisis menempati posisi sebagai sumber data yang menghadirkan
manusia sebagai informan dan narasumber dalam penelitian. Sehingga manusia
memiliki peran yang sangat penting sebagai individu yang memiliki informasi dan
data yang dibutuhkan oleh peneliti guna menjawab permasalahan penelitian. Dalam
pelaksanaannya, peneliti dan narasumber disini memiliki posisi yang sama.
Narasumber bukan sekadar memberikan tanggapan pada apa yang diminta peneliti,
tetapi ia bisa lebih memilih arah dan selera dalam menyajikan informasi yang ia
miliki kepada peneliti selama proses pengumpulan data. Dalam penelitian ini subyek
penelitian terdiri dari beberapa informan, sebagai berikut :
1. Ketua RW 11 Kampung Badran yang merupakan beperan sebagai informan untuk
penggalian informasi yang akan dilakukan oleh peneliti.
2. Ketua RT di wilayah RW 11 Kampung Badran, yang meliputi : Ketua RT 47, 48,
49, 50 dan 51.
3. Pengurus atau “Kader” yang bertugas sebagai pendamping maupun penunjang
kegiatan Program Kampung Ramah Anak di RW 11 Kampung Badran. Kader
merupakan aktor sekaligus agen pelaksana program kegiatan Kampung Ramah
Anak yang secara struktural berada langsung dibawah komando Ketua RW 11
Kampung Badran.
4. Warga meliputi anak dan orang tua di RW 11 Kampung Badran, Kelurahan
Bumijo, Jetis, Kota Yogyakarta
39
5. Gugus Tugas Kota Layak Anak yang terdiri dari KPMP Kota Yogyakarta dan
beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat seperti : LSPPA, SOS Children Village
dan Wadah Titian Harapan yang merupakan pelaksana advokasi dalam
penyelenggaraan pilot project Kampung Ramah Anak di RW 11 Badran.
D. Teknik Penentuan Informan
Subyek penelitian dilakukan ketika peneliti mulai masuk ke lapangan dan
selama melakukan proses penelitian. Dalam menentukan subyek penelitian, peneliti
menggunakan teknik purposive sampling dan snowball sampling. Teknik purposive
dan snowball sampling dapat dilihat pada skema berikut :
Gambar 1.3. Proses Penentuan Informan
Sumber : (Adaptasi dari Proses Pengambilan Sampel Menurut Sugitono, 2002:56)
Dipilihnya teknik purposive sampling didasarkan pada kecenderungan
peneliti untuk memilih informan yang dianggap mengetahui informasi dan
permasalahan yang diteliti secara mendalam. Sehingga mampu menjadi key
informan yang dapat dipercaya untuk menjadi sumber data. Disisi lain, dipilihnya
teknik snowball sampling didasarkan pada upaya pengambilan informan secara
bebas pada siapapun yang ditemui di lapangan. Dimana peneliti akan mencari
informasi dari orang yang dianggap mengetahui informasi yang lebih jelas atas dasar
B
A
C
D
E G
H
I
40
rekomendasi dari informan sebelumnya. Teknik pengambilan sampel dengan cara
ini memuat unsur jumlah yang sedikit dan lama-lama menjadi besar (Sugiyono,
2009:54). Menurut Creswell bahwa dalam penelitian fenomenologi jumlah informan
yang diharapkan berkisar sekitar 5-25 orang, agar dapat mengungkapkan makna di
balik fenomena yang ada (Kuswarno, 2009 :57). Dalam penelitian ini, informan
yang digunakan sebanyak 40 orang yang terdiri dari Ketua RW 1 orang, Pengurus
wilayah sebanyak 15 orang, warga RW 11 Kampung Badran sebanyak 20 orang,
gugus tugas kota layak anak sebanyak 2 orang dan Instansi KPMP sebanyak 2
orang. Meski demikian, jumlah informan sebagai sumber data tidak dapat ditentukan
banyaknya. Namun lebih didasarkan pada pertimbangan pada kedalaman data dan
banyaknya informasi yang dapat diperoleh.
E. Sumber Data
Sumber data merupakan komponen yang penting dalam sebuah penelitian
kualitatif. Sumber data dalam penelitian ini terbagi menjadi dua kategori yang
meliputi : sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer dalam
penelitian ini menitiberatkan pada aspek data berupa kata-kata, tindakan serta lokasi
yang ditujukan untuk menjawab permasalahan mengenai konstruksi sosial dan
makna Kampung Ramah Anak bagi warga masyarakat di RW 11 Kampung Badran.
Kata-kata yang menjadi sumber data berasal dari informan atau narasumber ketika
peneliti melakukan interaksi sosial dan wawancara mendalam. Sedangkan sumber
data yang berupa tindakan dapat diamati melalui pola interaksi sosial, komunikasi
sosial dan tindakan sosial dari warga RW 11 Kampung Badran dalam kehidupan
sehari-hari.
41
Sedangkan sumber data sekunder dalam penelitian ini berasal dari data yang
tertulis dan dokumentasi baik melalui foto maupun video yang memiliki keterkaitan
dengan fokus masalah penelitian. Dokumentasi sebagai sumber data sekunder
menjadi salah satu penunjang guna mendapatkan gambaran secara utuh dalam
proses penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Sumber data sekunder yang
dibutuhkan oleh peneliti meliputi beberapa hal yaitu : Informasi secara lengkap
mengenai keadaan geografis wilayah penelitian, kondisi sosiologis masyarakat di
wilayah RW 11 Kampung Badran, dokumentasi tertulis dari KPMP Kota
Yogyakarta hingga indikator program Kampung Ramah Anak yang telah dirancang
oleh gugus tugas pelaksana Kota Layak Anak di Kota Yogyakarta. Namun, dalam
penelitian ini peneliti mengalami kesulitan untuk dapat mengakses data sekunder
mengenai jumlah anak yang melakukan pernikahan dini di RW 11 Kampung
Badran. Data tersebut sebenarnya dibutuhkan untuk menganalisis asumsi dan
pendapat dari masyarakat mengenai banyaknya kasus pernikahan dini yang terjadi di
wilayah RW 11 Kampung Badran. Karena permasalahan pernikahan dini
menyangkut pemenuhan kebutuhan hak anak mengenai pengasuhan alternatif.
F. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data menjadi komponen penting sebagai upaya untuk
mendapatkan data yang berguna menjawab permasalahan penelitian. Teknik
pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini, meliputi tiga hal berikut :
1. Wawancara
Proses pengumpulan data dilakukan oleh peneliti melalui wawancara
mendalam (indepth interview). Wawancara mendalam melibatkan proses percakapan
42
dengan maksud dan tujuan tertentu. Seperti yang diungkapkan oleh Esterberg (2002)
dalam (Sugiyono, 2009 : 72) bahwa “interview is a meeting of two persons to
exchange information and idea through question and responses, resulting in
communication and joint construction of meaning about a particular topic”. Dalam
pertemuan yang akan dilakukan dengan informan, peneliti akan menghasilkan
proses pertukaran informasi melalui respon-respon terhadap ide dari informan
tersebut. Sehingga menghasilkan pemahaman mengenai topik yang tengah
diperbincangkan.
Selanjutnya, pada proses pencarian data dan inforamasi inilah wawancara
menjadi tindakan yang oleh Licoln dan Guba (dikutip Moleong, 2001 : 186) disebut
sebagai tindakan untuk mengkonstruksi segala hal, baik mengenai orang, kejadian,
organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian. Dengan demikian, akan
menghasilkan pandangan baru yang dapat dikembangkan peneliti untuk memeriksa
informasi dari informan lainnya megenai fenomena yang terjadi.
Pada pelaksanaannya, peneliti menggunakan wawancara semi struktur,
artinya peneliti dapat melakukan wawancara secara bebas namun tetap mengacu
pada pedoman wawancara yang telah disusun melalui question research. Melalui
wawancara yang dilakukan, informan diharapkan bercerita sekaligus menjelaskan
mengenai pendapat, ide dan gagasan yang dapat didengarkan kemudian dapat dicatat
menggunakan buku catatan atau direkam menggunakan tape recorder oleh peneliti.
Meski demikian, proses wawancara yang dilakukan dapat berkembang seiring
kedalaman informasi yang nantinya diperoleh oleh peneliti.
43
2. Observasi
Disamping wawancara, teknik pengumpulan data yang digunakan oleh
peneliti ialah melalui observasi. Menurut H.B Sutopo (2002 : 64) teknik observasi
digunakan untuk menggali data berupa peristiwa, perilaku dan kegiatan informan,
tempat atau lokasi serta benda ataupun rekaman gambar. Mengacu dengan hal
tersebut, proses observasi dilakukan melalui pengamatan yang sifatnya
berkesinambungan. Sebagai upaya penggalian data, proses observasi yang dilakukan
dalam penelitian ini ialah observasi aktif. Atau yang dikenal sebagai participant as
observer yang mana peneliti memberitahukan maksud dan tujuan penelitian kepada
kelompok yang diteliti.
Spradley yang dikutip dalam H.B Sutopo (2002:65-69) menjelaskan bahwa
observasi dapat dibagi menjadi observasi tak berperan sama sekali dan observasi
berperan yang terdiri dari (1). berperan pasif, (2). berperan aktif, dan (3). berperan
penuh. Dipilihnya observasi berperan aktif didasarkan pada suatu cara khusus dan
keadaan lingkungan di RW 11 Kampung Badran. Sehingga, penelitian tidak hanya
diam dan bersikap pasif sebagaimana pengamat biasa.
Pada kondisi tertentu, peneliti akan memainkan peran yang dimungkinkan
ketika berada pada situasi yang memiliki kaitan dengan penelitian. Misalnya :
terlibat dalam aktivitas informan dan peristiwa di RW 11 Kampung Badran. Hal ini
menjadi bentuk pertimbangan agar peneliti dapat memperoleh akses untuk
pengumpulan data. Tidak hanya itu saja, dalam proses observasi yang dilakukan,
peneliti harus memperoleh “perasaan terlibat” (Salim, 2006:14). Artinya ada
dermagasi dan batasan tegas yang perlu dibuat oleh peneliti agar tidak larut dalam
wadah peristiwa yang tak berkaitan dengan permasalahan penelitian.
44
3. Analisis Dokumen
Pada proses penelitian ini, teknik pengumpulan data juga dilakukan melalui
analisis dokumen. Menurut Sugiyono (2009 : 82) dokumen dapat berupa catatan
peristiwa yang sudah berlalu maupun sedang terjadi, misalnya : tulisan,
gambar/foto, karya seseorang, bahan tertulis maupun rekaman dari tape record yang
merekam percakapan pada saat proses wawancara antara peneliti dan informan.
Dalam penelitian ini, peneliti menganalisis dokumen yang di peroleh melalui catatan
peristiwa, foto, data tertulis mengenai Kampung Ramah Anak serta tape recorder
yang digunakan oleh peneliti pada saat proses wawancara berlangsung. Hemat
peneliti, teknik pengumpulan data berupa analisis dokumen dapat menjadi salah satu
pelengkap untuk memperoleh data penelitian, disamping wawancara dan observasi.
G. Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara bersamaan dengan
kegiatan pengumpulan data lainnya, yakni pada saat wawancara mendalam (indepth
interview), observasi, serta analisis dokumen. Peneliti menggunakan teknik analisis
data kualitatif interaktif. Menurut Miles dan Haberman (1992 : 16-20) teknik
analisis data perlu dilaksanakan secara interaktif, berkesinambungan dan
berlangsung terus menerus hingga data dapat dikatakan jenuh dan tuntas. Dengan
demikian, proses tersebut akan berlangsung secara berkesinambungan. Sehingga
memperoleh data yang merupakan sasaran penelitian. Dalam model analisa
interaktif tersebut terdapat tiga jenis kegiatan analisis yang saling susul menyusul
dan dilakukan secara berkesinambungan. Kegiatan tersebut meliputi hal-hal berikut :
45
1. Reduksi Data
Dalam melakukan analisis data, langkah pertama yang akan dilakukan oleh
peneliti ialah reduksi data. Reduksi data merupakan bagian dari teknik analisis data
yang dilakukan dengan memilih hal pokok untuk menjawab masalah penelitian agar
tetap fokus sehingga ditemukan pola dari penelitian yang dilakukan. Dalam
melakukan reduksi data, peneliti melakukan proses pengorganisasian data,
pengelompokkan data berdasarkan pola jawaban yang diperoleh selama melakukan
penelitian, baik melalui pengumpulan data dengan wawancara mendalam (in depth
interview), pengamatan (observasi) maupun analisis dokumen. Proses
pengelompokan dan pengorganisasian data dilakukan dengan mengkode,
mengkategorikan data yang penting dan yang tidak penting secara detail. Hal ini
dilakukan karena data yang nantinya diperoleh dari lapangan jumlahnya sangat
banyak, kompleks dan belum memiliki pola yang tetap. Melalui proses reduksi data,
peneliti mendapatkan ringkasan serta gambaran secara jelas mengenai data-data
yang dibutuhkan untuk menjawab permasalahan penelitian.
2. Penyajian Data
Setelah melakukan reduksi data, proses selanjutnya ialah penyajian data yang
dilakukan dalam bentuk uraian singkat, serta menghubungkan kategori-kategori
tertentu yang ditemukan selama melakukan penelitian di lapangan. Sehingga
diperoleh kumpulan informasi yang tersususun secara deskriptif yang digunakan
untuk melakukan penarikan kesimpulan. Selanjutnya, peneliti menyajikan data yang
diperoleh dalam bentuk teks naratif. Dengan langkah penyajian data ini,
memudahkan peneliti untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan langkah
46
selanjutnya setelah menemukan data muncul di lapangan untuk menjawab
permasalahan penelitian.
3. Penarikan Kesimpulan atau Verifikasi
Langkah dalam teknik analisis data berikutnya ialah verifikasi. Verifikasi
merupakan proses penarikan kesimpulan yang sifatnya masih terkategori sementara
serta dapat berubah mengikuti perkembangan temuan data selanjutnya. Mengingat
dalam penelitian kualitatif, data yang didapatkan bisa saja bertambah, maka dalam
penarikan kesimpulan, peneliti melakukan kegiatan pengumpulan data secara
continue, sehingga dapat tercatat serta dimaknai secara menyeluruh. Sehingga
diperoleh pola-pola, penjelasan, serta dapat menganalisis hal-hal yang menjadi
sebab-akibat dari temuan data yang didapatkan dilapangan. Disamping itu, untuk
memperoleh validitas data maka penelitian didasarkan pada tingkat kepercayaan
dengan menggunakan langkah sebagai berikut :
1. Meningkatkan ketekunan dalam proses pengamatan. Hal ini dilakukan dengan
memperpanjang keikutsertaan peneliti dalam pengumpulan data yang terjadi di
lapangan. Intensitas keterlibatan peneliti akan membantu meningkatkan
kepercayaan data yang dikumpulkan sebagai upaya validitas data.
2. Melakukan proses wawancara dan observasi sesering mungkin. Sehingga peneliti
diharapkan dapat mendalami fenomena sosial yang tengah diteliti.
3. Dalam penarikan kesimpulan, peneliti merefleksi kembali apa-apa saja yang telah
dilakukan selama melakukan penelitian di lapangan. Refleksi dilakukan melalui
mekanisme triangulasi dengan tujuan untuk menguji keabsahan data agar dapat
dikatakan valid. Penggunaan teknik triangulasi sebagai upaya memvaliditas data.
Triangulasi merupakan proses untuk mengecek kebenaran data dari berbagai
47
sumber. Lexy Moleng (2000 : 178) menjelaskan bahwa triangulasi merupakan
bagian dari proses validitas data dengan memanfaatkan hal lain diluar data
sebagai sarana untuk mengecek dan membandingkan data yang ada. Pada
prakteknya, triangulasi dapat dilakukan atas dasar sumber data, teknik
pengambilan data (metode), waktu serta teori pendukung. Pertama, hal yang
dilakukan oleh peneliti ialah melakukan cross check ulang pada data yang telah
didapatkan sebelumnya untuk dibuktikan kebenarannya. Kedua, cross check
ulang antara data wawancara dengan data observasi, maupun data wawancara
dengan dokumen yang terkait serta dengan narasumber lain. Disamping itu,
triangulasi teori dilakukan dengan menggunakan perspektif lebih dari satu teori
dalam membahas masalah penelitian yang tengah dikaji. Dengan demikian,
dapat diperoleh variasi informasi yang lebih luas serta memperoleh kesimpulan
yang valid. Secara skematis proses analisis dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar 1.4. Skema Analisis Data
Sumber : Modifikasi dari Pemikiran Miles B. Matthew, A. Michael,
Huberman. 1992. Analisa DataKualitatif. Jakarta: UI Press.hal.20
Pengumpulan
Data
Penyajian Data
Reduksi Data
Penarikan Kesimpulan
dan Verifikasi
Masalah
Penelitian
Deskripsi Masalah
penelitian Membuat Catatan
Lapangan
Triangulasi
Data
Membuat Catatan
Lapangan
Wawancara
Observasi
Analisis Data