bab i pendahuluan 1.1. latar...

47
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Globalisasi telah menjadi aspek yang memberikan pengaruh besar terhadap perubahan sosial yang terjadi di berbagai negara. Salah satunya di negara berkembang seperti Indonesia. Pengaruh tersebut ditenggarai mengubah arah gerak manusia di berbagai sektor kehidupan, baik meliputi bidang ekonomi, sosial, budaya dan keamanan. Tak jarang pengaruh yang menyebabkan perubahan sosial tersebut telah melibatkan manusia secara global, termasuk anak sebagai individu yang memiliki hak yang sama sebagai manusia sekaligus warga negara. Namun, permasalahan yang menyangkut anak, seperti kekerasan dalam pola asuh, tontonan komersial yang kurang mendidik, kasus kekerasan pada anak secara fisik maupun psikis, isu trafficking, eksploitasi anak, pelecehan seksual, Anak Bermasalah dengan Hukum (ABH) hingga kasus anak terjerat narkoba, hingga kini tak kunjung usai untuk diselesaikan. Berbagai permasalahan tersebut, telah menyebabkan lingkungan menjadi tidak responsif bagi anak. Kondisi demikian, menjadi satu gambaran bahwa kepentingan anak masih menjadi aspek yang terpinggirkan dalam kehidupan. Kenyataan ini pun menegaskan bahwa tidak hanya orang tua dan masyarakat saja yang dirugikan. Melainkan juga negara. Bila hal tersebut terus terjadi, tidak disangsikan bahwa aspek tumbuh kembang anak sebagai generasi penerus bangsa akan mengalami kemunduran. Mencermati hal tersebut, pemerintah Indonesia telah berupaya untuk menangani berbagai permasalahan menyangkut anak melalui Keputusan presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights

Upload: dinhthu

Post on 11-Mar-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Globalisasi telah menjadi aspek yang memberikan pengaruh besar terhadap

perubahan sosial yang terjadi di berbagai negara. Salah satunya di negara

berkembang seperti Indonesia. Pengaruh tersebut ditenggarai mengubah arah gerak

manusia di berbagai sektor kehidupan, baik meliputi bidang ekonomi, sosial, budaya

dan keamanan. Tak jarang pengaruh yang menyebabkan perubahan sosial tersebut

telah melibatkan manusia secara global, termasuk anak sebagai individu yang

memiliki hak yang sama sebagai manusia sekaligus warga negara. Namun,

permasalahan yang menyangkut anak, seperti kekerasan dalam pola asuh, tontonan

komersial yang kurang mendidik, kasus kekerasan pada anak secara fisik maupun

psikis, isu trafficking, eksploitasi anak, pelecehan seksual, Anak Bermasalah dengan

Hukum (ABH) hingga kasus anak terjerat narkoba, hingga kini tak kunjung usai

untuk diselesaikan. Berbagai permasalahan tersebut, telah menyebabkan lingkungan

menjadi tidak responsif bagi anak.

Kondisi demikian, menjadi satu gambaran bahwa kepentingan anak masih

menjadi aspek yang terpinggirkan dalam kehidupan. Kenyataan ini pun menegaskan

bahwa tidak hanya orang tua dan masyarakat saja yang dirugikan. Melainkan juga

negara. Bila hal tersebut terus terjadi, tidak disangsikan bahwa aspek tumbuh

kembang anak sebagai generasi penerus bangsa akan mengalami kemunduran.

Mencermati hal tersebut, pemerintah Indonesia telah berupaya untuk menangani

berbagai permasalahan menyangkut anak melalui Keputusan presiden Nomor 36

Tahun 1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights

2

of the Child) yang kemudian dikenal dengan Konvensi Hak Anak. Konvensi tersebut

menjadi bagian dari Hukum Internasional yang bersifat mengikat bagi setiap negara

peserta. Tujuan utamanya ialah, negara berkewajiban untuk melaksanakan

pemenuhan hak anak dengan mengacu pada beberapa prinsip umum yakni : tindakan

non-diskriminasi, memprioritaskan kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk

hidup dan kelangsungan hidup, perkembangan pada anak, serta memberikan

apresiasi pada pendapat yang dikemukakan oleh anak.

Sebagai bentuk tindak lanjut atas tingginya permasalahan dan kasus pada

anak di Indonesia, melalui Laporan Akhir Kajian Pengembangan Kota Layak Anak

di Kota Yogyakarta (2012), pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan

Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) telah menetapkan program Nasional

Bagi Anak Indonesia (PNBAI) pada tahun 2015 yang mengacu pada beberapa

bidang pokok. Bidang-bidang tersebut mencakup beberapa hal berikut, yakni : (1).

Promosi hidup sehat ; (2). Penyediaan pendidikan berkualitas ; (3). Perlindungan

pada anak terkait perlakuan salah ; (4). memerangi HIV/AIDS.

Hingga akhirnya, pemerintah menetapkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2002 tentang perlindungan anak sebagai dasar hukum bagi kehidupan anak di

Indonesia. Hal ini dilakukan sebagai upaya mengakomodir berbagai bidang pokok

program PNBAI serta sarana dalam menyikapi berbagai realitas permasalahan yang

terjadi pada anak. Tidak hanya sampai disitu, pemerintah pun berupaya membentuk

Kota Layak Anak dengan mengacu pada Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan

Perempuan Nomor 2 Tahun 2009 mengenai aturan Kebijakan/Kota Layak Anak.

Tujuannya sebagai bentuk realisasi dari progam PNBAI serta Undang-undang No 23

Tahun 2002. Dimana, Kota Layak Anak menjadi sarana dalam mempercepat

3

pemenuhan hak anak sekaligus memberikan perlindungan kepada anak selaku

warga negara yang memiliki kedudukan yang sama di mata hukum dan negara.

Dalam Draft RAD KLA Kota Yogyakarta tahun 2012 menyebutkan bahwa

saat ini proporsi anak yang tinggal di perkotaan telah mencapai 43,42 % dengan

pertumbuhan jumlah anak Indonesia yang mencapai 4,4 % pertahunnya. Jumlah ini

menjadi salah satu bukti bahwa anak memiliki muatan kepentingan yang sama

sebagai warga negara untuk mengakses kehidupan. Dalam pelaksanaannya, Kota

Layak Anak mengacu pada 5 kluster hak anak yang perlu dipenuhi nantinya :

pertama, hak kebebasan, kedua hak anak untuk mendapatkan lingkungan dan

pengasuhan alternatif, ketiga hak anak untuk mendapatkan kesehatan dasar serta

kesejahteraan, keempat, hak mendapatkan pendidikan, pemanfaatan waktu luang,

dan kegiatan budaya serta kelima, hak untuk mendapatkan perlindungan khusus.

Sementara saat ini, sebuah sumber online (www.setkab.go.id, 2012)

menyebutkan bahwa pemerintah telah memfasilitasi setidaknya 60 Kabupaten/Kota

untuk menjadi Kota Layak Anak dan 40 Kabupaten/kota diantaranya telah berjalan

secara mandiri. Artinya, pembentukan Kota Layak Anak tersebut tidak lagi menjadi

bagian dari pilot project pemerintah yang penggunaan anggarannya langsung dari

APBN, melainkan menjadi tanggungan dari pemerintah daerah dengan

mengalokasikan dana APBD untuk membentuk wilayahnya menjadi Kota Layak

Anak berdasarkan indikator yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat.

Menyikapi hal tersebut, pemerintah Kota Yogyakarta dalam hal ini turut

serta mengambil bagian secara mandiri untuk merealisasikan Kota Layak Anak di

wilayahnya. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa Yogyakarta merupakan

salah satu kawasan dengan tingkat pertumbuhan migrasi yang tinggi serta wilayah

4

yang strategis dalam menumbuhkan iklim pendidikan dan ekonomi bagi anak dan

warganya. Akan tetapi, kondisi ini justru disinyalir akan menimbulkan tekanan dan

permasalahan baru yang lazimnya terjadi pada kota-kota besar lainnya di Indonesia.

Penyediaan pelayanan dasar seperti : perumahan, pendidikan, kesehatan, dan

peluang untuk kerja dirasakan semakin terbatas. Terlebih, pertumbuhan tersebut

diiringi oleh laju bertambahnya penduduk pada kategori anak berusia 0-18 tahun

yang rentan memiliki masalah sosial yang umumnya terjadi. Karenanya, anak-anak

kerap menghadapi resiko kekerasan baik di rumah, di sekolah, di tempat bermain,

maupun ditempat-tempat umum seperti tempat rekreasi, terminal, stasiun, tempat-

tempat ibadah dan lain-lain.

Disamping itu, tekanan kehidupan dengan alasan ekonomi serta pengaruh

lingkungan dinilai menjadi latar belakang tingginya permasalahan yang terjadi pada

anak. Modernitas dan pengaruh iklim ekonomi industri telah memberikan tekanan

pada faktor pemenuhan kebutuhan ekonomi dan sosial bagi manusia. Temuan data

dari Forum Penanganan Korban Kekerasan Perempuan dan Anak DIY yang diakses

melalui (www.republika.co.id, 2012) menjelaskan bahwa Kota Yogyakarta

menempati peringkat teratas kasus kekerasan pada perempuan dan anak di tahun

2010 dan 2011.

Data dari Komisi Perlindungan Anak menurut UCAN Indonesia (2012)

menyebutkan bahwa tahun 2009, kekerasan pada anak mencapai angka 1.552 kasus,

sedangkan di tahun 2010 terdeteksi sebanyak 2.335 kasus yang ditemukan, hingga

pada tahun 2011 mengalami kenaikan mencapai 2.508 kasus. Pihak Komisi Nasional

Perlindungan Anak menjelaskan bahwa pada tahun 2011 kekerasan yang terjadi

banyak dilakukan oleh orang tua kandung dengan persentase sebesar 44,32 %, teman

5

25,9 % , tetangga 10,9 %, orang tua tiri 9,8 %, guru 6,7 % dan saudara 2 %. Lebih

lanjut, Komisi Nasional Perlindungan Anak (KOMNAS PA) menyatakan bahwa

kekerasan pada anak dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, antara lain : (1).

Disfungsi peran orang tua dalam keluarga yang berdampak pada pertikaian dan

broken home ; (2). Pandangan yang keliru mengenai posisi anak dalam keluarga ;

(3). Ketidakstabilan emosi pada orang tua sehingga kemarahan kerap kali menyasar

pada anak ; (4). Faktor ekonomi dan kemiskinan yang dinilai sangat rentan sebagai

penyebab kekerasan pada anak. Untuk itu, agar iklim yang terbentuk dapat kondusif,

perhatian pemerintah Kota Yogyakarta terhadap wilayah agar dapat layak terhadap

anak menjadi satu hal penting untuk diwujudkan.

Berdasarkan temuan yang terjadi, permasalahan pada anak tentu saja

mencuri perhatian yang besar bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah

khususnya. Untuk itu, sebagai sarana dalam merealisasikan hak anak dan

meminimalisir berbagai permasalahan yang melibatkan anak, Pemerintah Kota

Yogyakarta, melalui KPMP (Kantor Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan)

memandang bahwa pemenuhan hak anak dapat diupayakan melalui unit terkecil

dalam masyarakat yakni keluarga dan lingkungan sosial anak. Untuk kemudian

berlanjut pada basis kelompok masyarakat yang lebih luas melalui struktur

kelembagaan yang lebih tinggi di suatu wilayah.

Keluarga dipandang menjadi komponen penting dalam membentuk

kebutuhan secara fisik, spriritual, emosi, dan intelektual pada anak. Namun, struktur

sosial lainnya di level yang lebih tinggi seperti RW memiliki peran yang jelas tidak

dapat dikesampingkan. Rukun warga atau RW memegang peran penting setelah

keluarga dalam memenuhi kebutuhan dasar dan Hak Anak. Karena pada level ini,

6

relasi antara keluarga dan masyarakat akan dibingkai dalam tatanan sosial yang lebih

kompleks. Sehingga dapat menjadi ruang sosial dalam memberikan pengaruh,

kesadaran dan pengetahuan mengenai Hak Anak yang secara timbal balik dimiliki

oleh keluarga dan masyarakat.

Pada tahun 2010 melalui peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan

Nomor 2 Tahun 2009 tentang Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak, pemerintah

Kota Yogyakarta merintis Pilot Poject Kampung Ramah Anak sebagai

pengembangan Kota Layak Anak yang saat ini tengah direalisasikan di Kota

Yogyakarta. Program ini menjadi satu-satunya pengembangan Kota Layak Anak di

Indonesia yang menggunakan kelompok RW (Rukun Warga) di wilayah Kampung

sebagai basisnya. Melalui pengembangan ini, diharapkan Kampung Ramah Anak

menjadi sarana dalam memberikan ruang yang responsif terhadap Hak Anak sesuai

dengan program PNBAI dan UU No 23 Tahun 2002 mengenai Perlindungan

Perempuan dan Anak.

Dalam realisasinya, pilot project Kampung Ramah Anak telah

dikembangkan di dua wilayah Kampung di Kota Yogyakarta yakni : di RW 11

Kampung Badran dan RW 7 Kampung Dagaran. Bila ditinjau secara geografis dan

sosiologis, terdapat karakteristik dan perbedaan yang nyata dari dua kampung

tersebut. Bila Kawasan Dagaran RW 7 merupakan kawasan padat penduduk yang

jauh dari bantaran sungai, tidak demikian halnya dengan wilayah RW 11 Kampung

Badran. Wilayah RW 11 Kampung Badran memiliki posisi geografis yang berada di

dekat bantaran Sungai Winongo dengan kepadatan penduduk yang cukup tinggi.

Lazimnya kawasan yang terletak di dekat bantaran sungai, Kampung Badran

menjadi pilihan tempat tinggal bagi para kaum urban yang bermigrasi ke wilayah

7

Kota Yogyakarta. Sebagai kaum urban, mereka umumnya mengadu nasib dengan

melakoni pekerjaan yang tidak tetap di sektor informal perkotaan. Sehingga

kelompok masyarakatnya memiliki kategori penghasilan menengah ke bawah

dengan rata-rata pendidikan yang masih minim. Disamping itu, bertempat tinggal di

wilayah bantaran sungai menjadi pilihan utama karena akses air sebagai sumber

kehidupan dirasa lebih murah diperoleh serta harga tanah dan sewa rumah relatif

terjangkau. Meskipun bentuk dan tata letak bangunan tidak tertata secara teratur.

Namun, oleh penduduk, hal ini tetap saja dianggap mampu mengakomodir

kehidupan masyarakat yang bermukim di wilayah tersebut.

Inilah yang menjadi salah satu faktor yang menyebabkan kampung di

wilayah pinggir sungai kerap diidentikkan sebagai wilayah kumuh yang erat dengan

potret kemiskinan. Serta dianggap bersinggungan dengan masalah sosial yang rentan

menimpa anak. Disamping itu, aspek sejarah yang melekat sejak lama di Kampung

Badran telah memberikan image negatif yang melekatkan nama Kampung Badran

sebagai Kampung Preman di era tahun 1970-an. Hingga kini, stigma tersebut belum

dapat pudar dan masih dapat dirasakan oleh sebagian masyarakat yang bermukim di

Kampung Badran. Permasalahan dalam fenomena tersebut, lantas dilihat oleh

pemerintah kota melalui KPMP sebagai celah dalam memperbaiki wilayah Badran

secara umum. Bergulirnya program kampung ramah anak, dinilai menjadi suatu

terobosan yang dapat merekonstruksi kondisi sosial dan anak di wilayah tersebut.

Sebagai bentuk kebijakan yang digulirkan oleh pemerintah, program Kampung

Ramah Anak telah melalui proses dan tahapan panjang agar implementasinya

responsif terhadap warga di RW 11 Kampung Badran.

8

Meski demikian, sebagai sebuah implementasi program, Kampung Ramah

Anak tidak lepas dari beragam permasalahan. Realitas yang terjadi di lapangan

menunjukkan bahwa nilai sejarah serta kemajemukan kondisi sosial, ekonomi,

budaya yang dialami oleh masyarakat di RW 11 Kampung Badran telah menyajikan

ruang bagi warganya untuk mengkonstruksi dan memberikan makna secara

subyektif terhadap keberadaan Kampung Ramah Anak saat ini. Hal ini senada

dengan pendapat yang disampaikan oleh Berger dan Luckhman (1990) bahwa suatu

fenomena yang terjadi pada masyarakat, tidak terlepas dari suatu sejarah yang khas,

sehingga keberadaannya tidak dapat digeneralisir begitu saja melalui narasi besar.

Melainkan terjadi melalui proses dialektis yang berjalan secara simultan dengan

basis pengetahuan akal sehat serta realitas yang akhirnya diproduksi sebagai produk

sosial baru dalam masyarakat yang bersangkutan. Konstruksi sosial dan makna

menjadi sebuah realitas yang terakumulasi oleh adanya pengetahuan dan

pengalaman kehidupan dari warga masyarakatnya. Sehingga dalam implementasi

Kampung Ramah Anak yang terjadi, proses dialektis terhadap realitas akan

berlangsung secara terus menerus dan berkelanjutan. Serta keberadannya tidak dapat

dilepaskan dari beragam peran aktor, pengetahuan dan proses interaksi sosial,

sosialisasi dan tindakan subyektif yang dilakukan oleh masyarakatnya.

Sejauh ini, seringkali program yang hadir dalam masyarakat merupakan

kepanjangan tangan dari program pemerintah yang dipaksakan untuk direalisasi.

Hak Anak yang menjadi indikator dalam program Kampung Ramah Anak, telah

mengalami kondisi dilematis dengan kenyataan sosial yang terjadi. Meskipun dalam

tataran teori masyarakat seringkali ditempatkan sebagai subjek dna objek. Namun,

9

membentuk realitas sosial baru di wilayah kampung, tidak akan pernah lepas dari

kondisi sosial dan budaya di wilayah tersebut.

Berangkat dari hal tersebut, selama ini penelitian dengan pendekatan

kualitatif mengenai konstruksi dan makna kampung ramah anak memang belum

tersedia. Penelitian yang ada cenderung mengarah pada evaluasi pelaksanaan

program Kota Layak Anak yang dilakukan melalui pendekatan kuatitatif. Pada

penelitian kali ini, permasalahan mengenai konstruksi dan makna menjadi kajian

menarik untuk diteliti. Hal ini karena, penelitian yang dilakukan oleh peneliti akan

berpijak pada perspektif konstruksi sosial dan makna yang lahir dari sudut pandang

warga selaku subjek dan objek program yang tengah diimplementasi. Sejauh mana

konstruksi warga mengenai kampung ramah anak yang selama ini telah diidealisasi

dalam program. Konstruksi sosial menjadi suatu proses yang berlangsung secara

dialektis dan bertujuan membangun pengetahuan dan realitas yang tengah terjadi.

Sedangkan makna dalam konstruksi sosial hadir dalam setiap kenyataan subyektif

yang ada dalam diri individu. Kenyataan subjektif yang berbeda-beda tersebut

nantinya akan menyebabkan keberagaman dalam makna yang dibentuk oleh

individu mengenai Program Kampung Ramah Anak di wilayah RW 11 Kampung

Badran, Kota Yogyakarta.

1.2. Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang diuraikan sebelumnya, maka rumusan masalah

dalam penelitian ini ialah :

1. Bagaimana konstruksi sosial yang dibangun oleh warga RW 11 di Kampung

Badran mengenai program“Kampung Ramah Anak”?

10

2. Bagaimana warga memaknai “Kampung Ramah Anak” yang di Implementasikan

di RW 11 Kampung Badran, Yogyakarta?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk memahami konstruksi sosial mengenai Kampung Ramah Anak yang

dilakukan oleh warga RW 11 Kampung Badran, Kota Yogyakarta.

2. Untuk menganalisis konstruksi sosial yang dibangun oleh warga RW 11

Kampung Badran terkait dengan pelaksanaan Program Kampung Ramah Anak

di wilayah Badran.

3. Untuk memahami makna Kampung Ramah Anak bagi warga RW 11 Kampung

Badran, Yogyakarta.

1.4. Manfaat Penelitian

A. Manfaat Teoritis

1. Memberikan pemahaman secara utuh mengenai konstruksi sosial dan makna yang

dibangun oleh warga masyarakat RW 11 mengenai Kampung Ramah Anak di

wilayah RW 11 Kampung Badran, Kota Yogyakarta.

2. Memberikan kontribusi terhadap berkembangnya ilmu pengetahuan, terutama di

bidang ilmu sosial. Sehingga dapat digunakan sebagai bahan masukan yang

relevan untuk penelitian sejenis di masa mendatang.

B. Manfaat Praktik

1. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat kepada pembaca. Sehingga,

para pembaca mampu memahami konstruksi sosial dan makna yang dibangun

11

oleh masyarakat RW 11 mengenai Program Kampung Ramah Anak di wilayah

RW 11 Kampung Badran, Kota Yogyakarta.

2. Memberikan kajian sekaligus pertimbangan dalam menentukan arah kebijakan

yang berkaitan dengan Program Kampung Ramah Anak di wilayah RW 11

Kampung Badran maupun Kampung lainnya yang akan mengimplementasikan

program Kampung Ramah Anak di Kota Yogyakarta.

1.5 Penelitian Terdahulu

Kota Layak Anak menjadi salah satu kebijakan program yang dinilai

strategis dalam menjamin kesejahteraan pada anak. Keberlangsungan Kota Layak

Anak dalam beberapa tahun ini, telah banyak menghasilkan penelitian dan tinjauan

teoritis yang hadir sebagai upaya memberikan gambaran secara holistik mengenai

pelaksanaan Kebijakan Kota Layak Anak di Indonesia.

Salah satu penelitian dari Henry Purwoko (2010) mengenai Efektivitas

kemitraan antar stakeholder dalam mewujudkan Kota layak anak (KLA) di

Surakarta tahun 2016 menunjukkan bahwa pelaksanaan kemitraan Kota Layak

Anak di Kota Surakarta dinilai belum mampu terlaksana secara efisien. Hal ini

karena ketidakjelasan pada aturan dan pengelolaan jaringan kemitraan yang buruk.

Sehingga memunculkan hambatan teknis pada pola komunikasi dan distribusi

informasi. Komitmen dan kemauan menjadi titik point untuk membawa perubahan

pada hubungan kemitraan dari seluruh stakeholder.

Penelitian lainnya juga dilakukan oleh Dodi Widiyanto dan R. Rijanta

(2012), keduanya menjelaskan mengenai lingkungan kota layak anak (child-friendly

city) berdasarkan persepsi orangtua di kota yogyakarta. Penelitian menjelaskan

12

bahwa ada beberapa faktor dalam menganalisis kondisi lingkungan yang ramah

anak. yakni, kebijakan yang dihasilkan pemerintah, kondisi lingkungan dan

perencanaan untuk anak itu sendiri.

Candrika Pradipta Apsari (2011) dalam penelitiannya juga menyatakan

bahwa dalam Pelaksanaan Kebijakan Program Kota Layak Anak di Kota Surakarta

telah dilaksanakan berdasarkan Pedoman Kota Layak Anak dengan prosedur yang

melibatkan : Pengumpulan baseline data, penentuan indikator, pengidentifikasian

permasalahan anak, serta berbagai kegiatan dalam pelaksanaan pengembangan Kota

Layak Anak hingga proses evaluasi dan monitoring. Disamping itu, dalam penelitian

ditemukan hambatan dalam proses pelaksanaan pengembangan Kegiatan Kota

Layak Anak di Surakarta yakni permasalahan mengenai komunikasi, serta minimnya

sosialisasi kepada masyarakat hingga proses pendanaan program.

Secara umum, masalah yang diangkat dalam penelitian terdahulu, lebih

banyak menyoroti pada kajian evaluasi terhadap kebijakan program Kota Layak

Anak yang telah dilaksanakan di daerah tertentu dengan menggunakan perspektif

dari pihak pemerintah selaku penyelenggara program. Belum sampai pada aspek

kajian yang secara substantif membahas pemahaman masyarakat tatkala Kota Layak

Anak terimplementasi sebagai sebuah program pemerintah. Dengan demikian,

penelitian yang mengangkat permasalahan konstruksi sosial dan makna secara

integratif mengenai Kampung Ramah Anak belum ada hingga saat ini. Sehingga,

dianggap perlu sebagai kajian untuk memahami realitas sosial program yang diambil

berdasarkan persepsi warga yang bersangkutan.

13

1.6 Definisi Konseptual

A. Kampung Ramah Anak Sebagai Implementasi Kebijakan KLA

Sebagai upaya mempercepat pemenuhan hak pada anak, Pemerintah Kota

Yogyakarta melalui Kantor Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan (KPMP)

telah berinisitif membentuk program Kampung Ramah Anak. Kampung Ramah

Anak diselenggarakan di dua wilayah sebagai bentuk pilot project. Istilah Pilot

project (proyek percontohan) merupakan kegiatan yang menjadikan suatu kelompok

masyarakat dalam suatu wilayah sebagai percontohan bagi kawasan lainnya, serta

berjalan sesuai dengan sasaran program yang telah dibentuk dalam aturan.

Implementasi kebijakan ini memuat aturan yang telah terlegitimasi secara hukum,

sehingga seluruh komponen yang terlibat bersama-sama melakukan tindakan dalam

mencapai tujuan kebijakan.

Dalam penerapan Kampung Ramah Anak, wilayah Kampung dianalisis

sebagai satu kesatuan unit terkecil setelah keluarga untuk dapat mengakomodir

berbagai indikator Kampung Ramah Anak yang telah ditetapkan sebelumnya.

Sedangkan menurut UNICEF melalui Innocenty research menjelaskan bahwa kata

ramah anak berarti menjamin kondisi anak beserta haknya dalam menjalani

kehidupan. Dengan demikian, Kampung Ramah Anak dapat didefinisikan sebagai

tempat memberikan ruang interaksi agar masyarakat lebih mudah dalam sosialisasi

dan pembangunan kesadaran mengenai hak-hak pada anak. Laporan Akhir Kajian

Pengembangan Kota Layak Anak Kota Yogyakarta (2012:113) menjelaskan bahwa :

Kampung ramah anak adalah satuan program yang dilakukan oleh warga

yang tergabung dalam rukun kampung berupa usaha pemenuhan hak sipil

anak untuk memberikan kesempatan tumbuh dan berkembang berdasarkan

kondisi realistik menuju kampung yang mampu memberi kenyamanan, layak

huni, dan layak kembang dengan dasar kesehatan, pendidikan serta

14

perlindungan hukum berdasarkan inisiatif mandiri. Program ini dilaksanakan

terintegrasi dengan kegiatan rukun wilayah dan rukun tetangga sebagai

pemenuhan kebutuhan dasar hidup.

Seperti halnya Kota Layak Anak, pengembangan program Kampung Ramah

Anak yang hadir di RW 11 Kampung Badran memiliki landasan hukum yang

meliputi aturan sebagai berikut :

1. Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan Anak.

2. Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak- hak

anak (Convention on The Rights of The Child)

3. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Nomor 3 Tahun 2008

tentang Pedoman Pelaksanaan Perlindungan Anak.

4. Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan Nomor 2 Tahun 2009 tentang

Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak.

Disamping itu, dalam usaha membentuk Kampung Ramah Anak, ada

prasyarat penting yang perlu dipenuhi. yakni : Adanya komitmen pengambil

kebijakan di tingkat lokal dan inisiatif dari masyarakat yang bersangkutan. Setelah

kedua hal tersebut dipenuhi, Ifa Aryani (LSPPA, 2012) menjelaskan bahwa ada

beberapa langkah dalam pembentukan Kampung Ramah Anak yaitu :

15

Gambar 1.1

Langkah Pembentukan Kampung Ramah Anak

Sumber : Ifa Aryani (LSPPA, 2012)

Tahapan-tahapan tersebut menjadi pijakan dalam membentuk Kampung

Ramah Anak agar sesuai dengan program yang telah dirancang secara berkelanjutan.

Serta mencapai tujuan sesuai indikator penilaian berjenjang yakni tingkatan pratama,

madya, nindya, utama dan berakhir pada, kampung ramah anak sebagai tingkat yang

ideal. Setelah semua dipenuhi, pengembangan Kampung Ramah Anak akan

berlanjut pada tataran yang lebih masif yakni tingkat kecamatan dan berakhir pada

penguatan tujuan utama Kota Layak Anak itu sendiri.

Kampung ramah anak merupakan wujud nyata peningkatan kepedulian yang

menjamin pemenuhan anak di tingkat kampung serta memastikan upaya

memberikan perhatian pada kebutuhan aspirasi, perhatian, serta penghargaan pada

anak tanpa adanya diskriminasi (RAD KLA Yogyakarta, 2012 : 3). Hal ini sesuai

dengan tujuan dasar dari program Kampung Ramah Anak yang merupakan bentuk

tindak lanjut Kota Yogyakarta menuju Kota Layak Anak serta dapat menemukan isu

Sosialisasi Kebijakan Kota Layak Anak

Membangun komitmen bersama

Focus Grup Discussion

Pembentukan gugus tugas Kampung

Ramah Anak dan Forum Anak

Workshop penyusunan

program kegiatan

Pendampingan

Monitoring dan Evaluasi

16

strategis mengenai anak sekaligus memecahkannya dengan kebijakan yang

berhubungan dengan kesejahteraan dan perlindungan anak.

Disamping itu, dalam Rencana Aksi Daerah KLA Yogyakarta (2012 : 3) juga

menyebutkan bahwa Kampung Ramah Anak diharapkan dapat mempercepat proses

pemenuhan hak anak. Sehingga wilayah yang bersangkutan diharapkan layak secara

fisik maupun non fisik dalam memenuhi kebutuhan dan hak-hak pada anak.

Pembangunan kampung ramah anak diharapkan dapat menyatukan komitmen dan

sumber daya kampung, masyarakat dan dunia usaha yang berada di kampung untuk

dapat menghormati, menjamin dan memenuhi hak anak, melindungi anak dari

tindakan kekerasan, eksploitasi, pelecehan dan diskriminasi dan mendengar

pendapat anak yang direncanakan secara sadar, menyeluruh dan berkelanjutan.

Untuk mencapai itu semua, diperlukan adanya peran serta pemerintah,

masyarakat dan dunia usaha untuk menciptakan sebuah kebijakan yang berpihak

terhadap anak. Adapun wujud kebijakan tersebut berupa sarana dan prasarana

penujang fisik bagi anak dan aktivitas wilayah dengan program kegiatan kampung

ramah anak yang bertujuan memenuhi hak-hak pada anak (Rencana Aksi Daerah

KLA Yogyakarta, 2012 : 3).

Sebagai langkah awal, pada tanggal 22 Juli 2010 diadakan launching

Kampung Badran Menuju Kampung Ramah Anak oleh Walikota Kota Yogyakarta

di RW 11 Kampung Badran. Menurut Ifa Aryani (2012), dipilihnya Kampung

Badran dan sebagai pilot project pengembangan Kampung Ramah Anak tidak lepas

dari pertimbangan berikut :

1. Jumlah anak yang cukup signifikan hingga mencapai angka 275 anak dengan

kategori usia 0-18 tahun. Anak-anak tersebut hidup dan tumbuh dengan latar

17

belakang kehidupan sosial-budaya yang beragam. Sehingga diharapkan dapat

menjadi contoh untuk wilayah lain dalam penerapan sekaligus pendampingan

program ke depan.

2. Adanya motor penggerak dalam rangka memotivasi wilayah bersama-sama

dengan lembaga kemasyarakatan yang ada di wilayah.

3. Di Kampung Badran RW 11 Kelurahan Bumijo terdapat bibit lembaga yang

memiliki potensi untuk dapat ikut serta berperan dalam pemenuhan hak anak.

4. Adanya dukungan para pihak, baik dari kecamatan, kelurahan, dunia usaha,

organisasi masyarakat di wilayah yang dinilai antusias kegiatan ini.

5. Kampung Badran mewakili zona utara yang memiliki lokasi padat penduduk dan

letaknya dekat dengan bantaran sungai Winongo. Sehingga banyak warga

pendatang dengan variasi kelas yang berasal dari tingkat ekonomi menengah ke

bawah datang. Alhasil, dengan kondisi ekonomi dan sosial yang tidak memadai,

maka hal tersebut, disinyalir memiliki kaitan terhadap perlakuan pola asuh orang

tua pada anak-anaknya.

Untuk membantu pelaksanaan kegiatan Kampung Ramah Anak, KPMP

membentuk gugus tugas kota layak anak. Gugus tugas Kota Layak Anak merupakan

institusi yang dibentuk sebagai sarana dalam merumuskan konsep dan

pengembangan Kampung Ramah anak serta menjalin interaksi sosial melalui

mekanisme bottom-up dalam merealisasikan kampung ramah anak sebagai unit

dasar pembentukan Kota Layak Anak di Kota Yogyakarta. Dalam merealisasikan

Kampung Ramah Anak, maka gugus tugas Kota Layak Anak lantas melakukan 3

tahapan berikut : 1). Tahapan pertama di tahun 1 mengambil fokus pada sosialisasi

Program Kegiatan Kampung Ramah Anak di wilayah sasaran, 2). Tahapan kedua di

18

tahun 2 mengambil fokus pada pelembagaan meliputi : Penguatan kelembagaan

Kampung Ramah Anak, workshop kampung ramah anak yang bertujuan untuk

membangun sistem dan jaringan sosial, monitoring, evaluasi dan pelaporan

pendampingan, 3). Tahapan ketiga di tahun 3 berfokus pada kemandirian yang

berupa : pemantapan program, monitoring, evaluasi dan pendampingan, menjadi

pendamping bagi kampung lain di sekitarnya untuk menuju kampung ramah anak.

Selanjutnya, pada proses pendampingan dan pembinaan, dilakukan secara

berkelanjutan dengan jangka waktu selama 2 tahun atau sesuai dengan kebutuhan

wilayah. Meskipun demikian, dalam kurun waktu tersebut pendampingan dapat

dihentikan dengan alasan berikut : 1). Hilangnya komitmen dari masyarakat pada

program Kampung Ramah Anak, 2). Tidak ada tindak lanjut atas rencana kegiatan

yang sudah disepakati dengan tim pendamping, 3). Tidak menyampaikan laporan

kemajuan kegiatan, 4). Alokasi bantuan dana yang diberikan tidak sesuai dengan

peruntukan dan tujuan yang telah disepakati.

Dalam Buku Pedoman Kampung Ramah Anak Kota Yogyakarta (2012)

dijelaskan bahwa proses pembinaan merupakan suatu rangkaian kegiatan untuk

memastikan pelaksanaan kegiatan dan komitmen masyarakat dalam mewujudkan

kampung ramah anak. Pembinaan dilaksanakan untuk dapat memberikan solusi yang

berguna dalam mengatasi permasalahan anak. Sekaligus bentuk pengoptimalan

pelaksanaan program kegiatan di Kampung Ramah Anak. Proses pendampingan

dilaksanakan oleh tim pendamping Kota Layak Anak dan tim pendamping Kampung

Ramah Anak. Pelaksanaan Pembinaan dilakukan dengan cara berikut : analisa

laporan, koordinasi dan kunjungan lapangan. Hasil pendampingan digunakan

sebagai masukan bagi pembinaan selanjutnya.

19

B. Kluster Hak Anak Sebagai Indikator Kampung Ramah Anak

Dalam pengembangan Kebijakan Kota Layak Anak, pelaksanaannya tidak

lepas dari hak dasar pada anak yang menjadi lokus penting dalam pemenuhan hak

anak. Lokus tersebut lahir melalui Konvensi Hak Anak yang kemudian dijabarkan

ke dalam kluster yang memuat : kepentingan terbaik bagi anak, sikap

nondiskriminasi, hak kelangsungan hidup, hak untuk hidup bagi anak dan

penghargaan pada hak anak. Dari kluster tersebut lantas memuat indikator yang

menjadi tolak ukur dalam melihat tindakan warga RW 11 Kampung Badran dalam

memenuhi Hak Anak. Pemerintah Kota Yogyakarta bekerjasama dengan gugus

tugas kota layak anak melakukan kontrol sosial dari masing-masing indikator yang

ada dalam memenuhi hak anak. Hak anak yang dimaksud merupakan hal yang wajib

dipenuhi oleh orang tua, masyarakat dan pemerintah kepada anak. Dengan demikian,

anak akan terhindar dari diskriminasi, memiliki perlindungan khusus, serta dapat

berpartisipasi dalam kegiatan. Hal ini penting guna tercapainya pemenuhan hak anak

secara mendasar. Keberadaan Hak Anak merupakan salah satu upaya yang

terintegrasi untuk mewujudkan Pengarusutamaan Hak Anak (PUHA) di seluruh

wilayah di Indonesia. Di wilayah RW 11 Kampung Badran, hak anak berpijak pada

5 kluster yang telah ditetapkan pemerintah serta dijabarkan ke dalam 61 indikator

hak anak. Kluster tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Hak Sipil dan Kebebasan

Hak Sipil dan kebebasan ditandai dengan hak untuk mendapatkan hidup serta

kebebasan berdasarkan hukum yang berlaku. Disamping itu, hak kebebasan ditandai

dengan memberikan ruang kepada anak untuk dapat mengutarakan pendapat,

gagasan dan pikiran melalui berbagai forum kegiatan. Seperti yang telah dijelaskan

20

UUD 1945 Pasal 28 mengenai kebebasan mengeluarkan pendapat, berserikat serta

berkumpul bagi warga negara. Upaya merealisasikan hak anak tersebut ditandai

dengan keberadaan Forum Anak Kota (FAKTA) sebagai salah satu wadah aspirasi

anak dalam mengaktualisasikan diri, Pengadaan Profil Anak di setiap wilayah, Kartu

Identitas Anak (KIA), Partisipasi anak dalam berbagai kegiatan wilayah,

Pembentukan kelompok anak berdasarkan minat dan bakat, hak anak untuk

memperoleh Akte Kelahiran.

2. Hak Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif

Lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif menitikberatkan pada upaya

peningkatan kesadaran pada anak mengenai usia perkawinan dan kesehatan

reproduksi. Sehingga diharapkan dapat bersinergis dengan Lembaga Kesejahteraan

Sosial Anak (LKSA) yang ada dimasing-masing daerah untuk mendampingi anak

yang bermasalah dengan hukum, kasus pernikahan dini, anak miskin, anak

berkebutuhan khusus dan lain-sebagainya.

3. Hak mendapatkan Kesehatan Dasar dan Kesejahteraan

Hak untuk mendapatkan kesehatan dasar dan kesejahteraan menitikberatkan

pada pemenuhan hak anak untuk mendapatkan gizi, ASI ekslusif, hak tumbuh

kembang, imunisasi, layanan posyandu, serta menciptakan kawasan bebas asap

rokok, hingga upaya untuk mempercepat penurunan angka kematian bayi sekaligus

pendampingan bagi ibu hamil dan menyusui.

4. Hak memperoleh Pendidikan, Pemanfaatan Waktu Luang dan Kegiatan

Seni Budaya

Pendidikan merupakan salah satu pondasi dasar dalam pembangunan suatu

negara. Oleh sebab itu, hak pendidikan pada anak selaku generasi penerus bangsa,

21

perlu menjadi agenda dan prioritas utama. Salah satunya dapat merujuk pada

kegiatan pemenuhan hak anak untuk dapat mengakses pendidikan baik di tingkat

formal dan informal, mengikuti wajib belajar 12 tahun, penyediaan sarana dan

prasarana untuk menunjang pendidikan dan penyediaan ruang bermain yang layak

bagi anak, pendidikan alternatif, PAUD dan lain sebagainya.

5. Hak Mendapatkan Perlindungan Khusus

Pada indikator ini, pemenuhan hak anak untuk memperoleh perlindungan

khusus ditandai dengan pendampingan pada anak yang bermasalah secara hukum,

penyelesaian kasus terhadap anak korban kekerasan, eksploitasi ekonomi dan

seksual, anak yang terlibat narkoba, serta pendampingan bagi anak korban bencana

alam yang terjadi di suatu wilayah.

1.7 Kerangka Teoritik

A. Fenomenologi Alfred Schutz

Dunia mengandung realitas sosial yang memiliki pola, struktur sosial dan

berbagai perangkat tatanan yang menunjang kehidupan sehari-hari bagi masyarakat.

Untuk memahami hal tersebut, pendekatan dalam teori sosiologi terus berupaya

menafsirkan realitas yang mengandung bagian-bagian tersebut agar dapat dimaknai

secara bersama oleh individu. Dalam menafsirkan realitas, salah satu pendekatan

yang digunakan ialah fenomenologi. Secara istilah fenomenologi berasal dari kata

Phainoai yang berarti „menampak‟ dan phainomenon merujuk pada „yang

menampak‟. Fenomenologi dipelopori oleh Edmund Husserl. Ia telah merefleksikan

pemikiran Weber secara filosofis melalui pendekatan fenomenologi. Bagi Husserl

fenomenologi merupakan upaya dalam mempelari fenomena yang melibatkan

22

manusia dalam kehidupan, tanpa harus mempertanyakan substansi dasar penyebab

terbentuknya realitas. Sehingga, Husserl memandang bahwa fenomenologi

merupakan metode analisis secara transedental dalam mengkaji sesuatu yang hanya

muncul dipermukaan.

Ide tersebut masih terbilang abstrak untuk dipahami. Realitas yang terjadi

tidak mungkin dimengerti tanpa mempertanyakan substansi sebagai asal muasal

suatu realitas. Hingga kemudian, fenomenologi Husserl menarik minat Alfred

Shuctz untuk menjembatani tradisi fenomenologi filsafat yang dibawa oleh Edmund

Husserl menuju fenomenologi yang dirasa lebih memberikan makna dalam

kehidupan. Meskipun pada mulanya, Shutz sendiri bukanlah seorang sosiolog, ia

seorang bankir yang menaruh minat dalam dunia pendidikan.

Pemikiran schutz sangat kental dengan pengaruh weberian dan fenomenologi

Husserl. Ia berhasil menjembatani fenomenologi transedental yang telah

dikemukakan oleh Husserl dan pengaruh tindakan dalam perspektif weberian. Serta

membawa fenomenologi menemukan metode analisis yang dapat diaplikasi dalam

penelitian secara empiris. Menurutnya, peranan fenomenologi dalam tataran praxis

dapat dilakukan melalui pengamatan yang dilakukan terhadap pola perilaku dan

relasi sosial dalam masyarakat. Subyektifitas dari aktor dipandang penting dalam

membuat objek memiliki makna (Salim, 2006 : 169).

Shutz juga menyatakan bahwa dunia realitas sosial memuat intersubyektif

(kesadaran bersama) yang hadir melalui stock of knowledge yang akan melahirkan

tindakan subyektif bagi individu. Melalui pengetahuan yang hadir dalam akal sehat

individu, maka dari sanalah akan muncul sistem kontruksi yang dinilai memiliki

karakteristik tertentu. Dalam stock of knowledge tersebut, mengandung beberapa

23

unsur yang sifatnya mengikat yakni : makna (meaning), intensitas, waktu, serta isi

yang mengandung content isi. Unsur-unsur tersebut merupakan bentuk tipifikasi

yang akan menghasilkan realitas secara intersubyektif. Tipifikasi merupakan

pengkategorian tanda dalam mengarahkan manusia untuk mendekati realitas secara

objektif. Sehingga, manusia dapat menyadari dunia yang dibentuk secara bersama

melalui kesadaran intersubjektif. Kesadaran intersubjektif merupakan kesadaran

yang muncul sebagai penerimaan secara bersama realitas objektif yang terjadi.

Shutz juga menjelaskan bahwa keberadaan pengalaman di dalam maupun

diluar individu dengan beragam sistem yang melekat secara sosial merupakan

tipifikasi yang dibutuhkan dalam membentuk dunia yang intersubyektif bagi

individu. Dengan demikian, hubungan tersebut akan menjadi dasar pijakan bagi

schutz untuk dapat menghubungkan dunia akal sehat secara intersubyektif dengan

keilmuan melalui fenomenologi sosial.

B. Perspektif Konstruksi Sosial Peter L.Berger dan Thomas Luckhmann

Dari pemikiran Alfredz Shutz tersebut, seorang sosiolog dari New School

For Social Research bernama Peter Ludwig Berger dan Thomas Luckmann yang

merupakan sosiolog dari University of Frankfrut menaruh minat yang besar dalam

pengembangan fenomenologi sebagai acuan dalam melihat terbentuknya kehidupan

masyarakat. Fenomenologi Shutz dijadikan pijakan dalam pengembangan teori yang

berakar dari tradisi tindakan subyektif Weber dan fakta sosial Durkheim. Serta

melihat masyarakat sebagai kenyataan objektif yang bersemayam sebagai realitas

subyektif dalam kesadaran yang dimiliki oleh individu. Keduanya menggunakan

realitas sosial dan pengetahuan sebagai dasar membentuk konstruksi sosial dalam

masyarakat.

24

Pada tahun 1966, Berger dan Luckhmann menuangkan pemikiran tersebut

dalam buku yang berjudul The Social Construction of Reality : A Treatise in the

Sociological of Knowledge. Dalam buku tersebut, Berger dan Luckmann mencoba

untuk mensintesiskan pemikiran Durkheim-parsonian mengenai struktur, Weber

mengenai makna yang menghasilkan tindakan subyektif individu, Marx mengenai

konsep dialektika serta Mead mengenai interaksionisme simbolik dalam proses

sosialisasi. Dari proses dialektis teori-teori tersebut, Berger dan Luckhmann

menghasilkan teori konstruksi sosial yang membentuk hubungan antara struktur dan

individu dalam kehidupan sosial secara dialektis.

Menurut keduanya, proses sosial terjadi karena adanya hubungan objektif

(struktur sosial) serta subyektif (individu) melalui proses interaksi dan tindakan

subyektif dari individu. Berger memposisikan struktur sosial sebagai salah satu

penyebab dari perubahan, namun ia tak mengabaikan peran individu sebagai

manusia yang memiliki rasional dalam berpikir serta bertindak. Sehingga individu

terus dapat menciptakan realitas secara obyektif melalui moment dialektis. Agar

konstruksi sosial tersebut dapat terus terpelihara, maka dibutuhkan rangkaian secara

simultan. Oleh Berger dan Luckhmann rangkaian proses tersebut dikenal dengan :

objektivasi, internalisasi dan eksternalisasi. Berikut gambaran tiga momentum

dialektis menurut pemikiran Berger dan Luckhmann :

25

Gambar 1.2

Tiga momentum Simultan dalam Pemikiran Berger dan Luckhman

Sumber : Riyanto, Geger.2002. Peter L.Berger : Persepektif Metateori

Pemikiran.Jakarta :LP3ES.(Hal 112)

Dalam teori konstruksi sosial Berger dan Luckhmann, kehadiran realitas dan

pengetahuan menjadi kunci dalam memahami kehidupan sehari-hari. Realitas

merupakan sesuatu yang hadir sebagai fenomena yang disadari memiliki keberadaan

dan karakteristik pengetahuan. Sedangkan pengetahuan merupakan kepastian bahwa

fenomena yang hadir itu bersifat nyata (real) dan memiliki karakteristik spesifik

(Berger, 1990:1). Kehidupan sehari-hari akan memuat realitas yang akan

menghadirkan pengetahuan baru bagi masyarakat. Kehadiran pengetahuan yang

secara terus menerus terakumulasi dalam kehidupan sehari-hari akan membentuk

common sense dalam diri individu. Menurut Berger common sense merupakan dasar

pengetahuan yang dimiliki secara sadar dan bersamaan oleh individu lainnya, serta

terwujud dalam kegiatan rutin yang dijalani oleh individu dalam kehidupan sehari-

hari (Berger, 1990:34). Keberadaan common sense tersebut kemudian akan menjadi

pengetahuan yang dapat dimiliki oleh individu secara bersama-sama dalam

menjalani kehidupan.

Dimensi Struktur Sosial

Keteraturan Yang Objektif

Dimensi Manusia

Rasionalitas-Subyektif

Eksternalisasi Obyektivasi Internalisasi

26

1. Objektivasi Sebagai Proses Dialektis dalam Konstruksi Sosial

Kehadiran pengetahuan dan realitas dalam kehidupan, tentu saja tidak dapat

diterima begitu saja dalam diri individu. Hal ini karena individu dalam kehidupan

memiliki makna subyektif yang berbeda-beda dalam memahami suatu realitas sosial.

Realitas sosial merupakan kemampuan anggota masyarakat untuk dapat menyadari

sekaligus memahami tindakan individu yang lahir dalam struktur sosial masyarakat.

Kehadiran realitas akan berpengaruh pada makna subyektif yang diciptakan oleh

individu dalam menjalani kehidupannya. Dalam sebuah masyarakat, heterogenitas

makna menjadi hal yang pasti terjadi. Meskipun demikian, disisi lain, individu tentu

saja dapat memaksakan makna subyektif yang hadir dalam realitas sosial tersebut.

Hal ini agar realitas objektif dapat terjaga dan terpelihara sebagai suatu kenyataan

yang dapat diterima secara pengetahuan dunia akal sehat yang intersubyektif. Serta

dapat dijalankan dalam kegiatan rutin sehari-hari. Proses inilah yang disebut sebagai

obyektivasi. Melalui dasar pengetahuan yang diobjektivasi tersebut, individu akan

menghadapi realitas di luar dirinya.

Objektivasi akan membentuk realitas objektif yang hadir sebagai upaya

untuk memelihara realitas sosial yang tengah dijalani. Melalui realitas objektif yang

hadir dalam ruang sosial, maka aktivitas manusia akan terus diproduksi secara

berulang agar dapat memenuhi kebutuhan dan aktivitas individu dalam masyarakat.

Melalui produksi dan pemeliharaan aktivitas, masyarakat sebenarnya tengah

membentuk tatanan sosial yang teratur. Tujuannya agar manusia mengalami

transformasi dari ketertutupan–dunia secara relatif yang dibutuhkan oleh manusia itu

sendiri. Sehingga berguna membuatnya berada pada kestabilan hidup. Perlu diingat

27

bahwa, tatanan sosial bukanlah kodrat dari alam, ia hadir sebagai perwujudan

produk aktivitas manusia yang juga hadir sebagai representatif keadaan.

Agar realitas objektif yang terobjektivasi dapat terpelihara, maka perlu

memuat pelembagaan dan legitimasi. Pelembagaan atau institusionalisasi, terjadi

dari aktivitas yang dilakukan individu sebagai manusia, diwujudkan melalui

tindakan individu yang secara berkesinambungan membentuk kebiasaan. Tindakan

individu tersebut mengandung proses pengidentifikasian diri yang secara objektif

berlangsung dalam diri individu. Sehingga dilakukan oleh individu dengan

melibatkan dasar arti objektif pada setiap tindakan yang dilakukan.

Sedangkan legitimasi menyediakan makna yang diperlukan untuk

melahirkan makna baru yang berfungsi untuk mengintegrasikan makna yang sudah

ada pada proses kelembagaan. Hal ini terjadi, karena makna dalam aktivitas

kelembagaan tidak dapat hanya diingat, melainkan perlu rumusan yang dapat

menjadi aturan bagi masyarakat. Legitimasi menjadi aturan yang memuat kekuasaan

sehingga sifatnya mengikat dan “memaksa” masyarakat. Dengan begitu, masyarakat

akan patuh dan menerima realitas sosial dalam kehidupan sehari-hari.

Disamping itu agar realitas yang terobjektivasi tersebut dapat diterima

sebagai pengetahuan akal sehat intersubyketif, maka diperlukan perantaraan orang

yang berpengaruh (significant others). Orang yang berpengaruh tersebut dapat

disebut sebagai aktor peranan. Tujuannya agar dapat menghubungkan realitas

objektif dengan budaya spesifik sebagai makna subyektif dalam diri individu. Aktor

yang berperan akan melakukan proses sosialisasi dalam rangka mendistribusikan

pengetahuan agar dapat ditransformasikan dalam realitas subyektif individu. Sehinga

keberadaan aktor sebagai agen konstruksi berperan dalam setiap tindakan yang

28

menyangkut kelembagaan. Kehadiran aktor jelas berfungsi untuk mengontrol dan

mengendalikan setiap aktivitas yang tengah berlangsung dalam kelembagaan. Dalam

objektivasi lanjutan, realitas objektif yang terobjektivasi akan memuat signifikasi.

Dalam proses signifikasi, realitas akan memuat sistem tanda yang meliputi : bahasa,

gesture tubuh, artefak dan lain-lain. Sekalipun tanda memiliki makna yang sangat

beragam. Namun, melalui proses signifikasi, realitas objektif diyakini dapat

terpelihara serta dapat diwariskan kepada generasi selanjutnya melalui bahasa.

Bahasa menjadi sarana dalam menegaskan realitas objektif secara terus menerus dan

berulang. Melalui bahasa, interaksi manusia dalam objektivasi dapat terjadi.

Sekaligus dapat memunculkan penilaian masyarakat terhadap perilaku yang dinilai

menyimpang dari keteraturan yang telah disepakati. Sehingga membuat masyarakat

menjadi bagian yang memiliki dominasi untuk memaksa dan mengarahkan individu

dalam menjalani aktivitas kehidupan.

2. Internalisasi Sebagai Proses Dialektis dalam Konstruksi Sosial

Pengetahuan akal sehat secara intersubyektif yang membentuk realitas

objektif tidak hanya berhenti pada objektivasi semata. Untuk dapat diterima sebagai

kesadaran bersama oleh masyarakat, realitas objektif tersebut perlu diterima oleh

individu sebagai kesadaran yang memuat makna subyektif. Proses ini disebut

sebagai internalisasi. Tujuannya agar apa yang diterima sebagai pengetahuan dalam

masyarakat, dapat serupa diterima sebagai pengetahuan dan makna subyektif bagi

individu yang lain.

Bagi Berger dan Luckhmann (1990:185) proses ini disebut sebagai

pradisposisi (kecenderungan) ke arah sosialitas. Dengan demikian, manusia akan

dilibatkan secara dialektis, sehingga keterlibatannya mampu memposisikan manusia

29

sebagai individu di dalam realitas objektif yang tengah berlangsung. Individu

diharapkan mampu menyerap secara subjektif realitas yang dialami oleh orang lain.

Disinilah internalisasi melibatkan sosialisasi sebagai sarana dalam

mentransformasikan realitas yang telah terlegitimasi sebelumnya.

Sosialisasi menjadi penting untuk dilakukan kepada inividu karena manusia

tidak dilahirkan sebagai anggota masyarakat secara langsung. Manusia

membutuhkan waktu dan proses untuk dapat memahami realitas sosial yang terjadi.

Sehingga membuat individu tersebut mengalami proses ontogentic, yakni membuat

dirinya menjadi bagian dari masyarakat. Serta akan membawa individu untuk

berjalan secara konsisten dalam dunia obyektif masyarakat. Melalui proses belajar

mengenai apapun yang telah terobjektivasi. Serta menghubungkannya dalam suatu

integrasi pola yang memiliki makna bagi dirinya sendiri.

Realitas yang mengalami internalisasi akan memuat sosialisasi yang terbagi

menjadi dua bagian, yakni : sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder. Sosialisasi

primer diartikan sebagai sosialisasi yang dialami oleh individu pertama kali di masa

kanak-kanak, sosialisasi ini disebut juga sebagai sosialiasi tataran pertama,

kehadirannya memiliki bagian yang erat dengan realitas sosial. Karena dunia dalam

diri individu dapat terbentuk. Serta menyangkut pengenalan individu pada

lingkungannya untuk pertama kali. Pada sosialisasi primer, aspek bahasa tidak dapat

dikesampingkan. Bahasa merupakan unsur penting yang digunakan sebagai sarana

pengungkapan realitas. Dengan bahasa, aktor yang berperan dalam mendistribusikan

pengetahuan dapat menanamkan secara kuat realitas objektif yang memuat makna

kelembagaan, nilai dan norma yang tengah dijalani oleh masyarakat. Sehingga tidak

dapat dilupakan dalam kesadaran subyektif individu.

30

Setelah melalui sosialisasi primer, individu akan masuk pada tataran

berikutnya, yakni sosialisasi sekunder. Sosialisasi ini merupakan kelanjutan dari

sosialisasi primer yang akan memberikan pengaruh baru pada individu. Sehingga

individu akan mengalami proses dialektis yang mengarahkan dirinya pada proses

pengidentifikasian mengenai realitas objektif yang dipenuhi oleh kelembagaan dan

aturan yang terlegitimasi. Sehingga manusia akan terkotak-kotak pada wilayah

realitas subyektifnya masing-masing. Seperti yang disampaikan oleh Berger dan

Luckhamnn (1990:187) bahwa setelah manusia mengalami sosialiasi di tahapan

primer, maka manusia akan masuk ke dalam sektor-sektor baru dunia obyektif

masyarakatnya. Individu diharapkan mampu mengidentifikasikan subyektif dirinya

sesuai dengan nilai dan norma dalam realitas objektif yang telah ada. Dengan begitu,

individu dapat memiliki persamaan dengan struktur sosial yang ada pada lingkungan

dan sosialisasi sebelumnya. Melalui mekanisme demikian, sosialisasi sekunder dapat

membentuk individu untuk menjalankan peranannya sesuai dengan pembagian kerja

yang telah hadir dalam realitas objektif sebelumnya. Proses tersebut berlangsung

secara timbal balik, sehingga membuat individu memiliki keterikatan pada

kenyataan baru yang membuatnya menjadi bagian dari anggota masyarakat.

Sosialisasi yang terjadi dalam tahap internalisasi mengalami dua

kemungkinan dalam membentuk realitas. Pertama, keberhasilan sosialisasi dapat

terjadi, tatkala adanya keterpaduan realitas yang dibentuk oleh kenyataan subjektif

maupun kenyataan objektif dari individu yang bersangkutan. Artinya aktor

sosialisasi menjadi salah satu faktor penentu dalam menyampaikan makna penting

dari realitas sosial yang dijalaninya. Namun, manakala terjadi kemajemukan dari

para aktor sosialisasi, kemungkinan makna hanya dapat diterima secara absurd dan

31

setengah-setengah. Makna subyektif tidak dapat diterima secara tunggal. Hal inilah

disebut sebagai kondisi “asimetri” yang menjadi salah satu penyebab

ketidakberhasilan sosialisasi sekunder. Bila hal ini terjadi, maka tidak menutup

kemungkinan, makna yang seharusnya ditangkap secara utuh, hanya akan ditangkap

secara parsial. Serta masyarakat tersebut kemungkinan tidak dapat menjaga tatanan

dan struktur sosial yang sudah ada dalam masyarakat yang bersangkutan.

Kedua, sosialisasi yang berjalan baik, dapat menghasilkan proses

“identifikasi” subjektif dan norma dalam diri individu. Dengan demikian, individu

akan mentransformasikan peranan dirinya agar mampu mengidentifikasikan diri

sebagai anggota masyarakat yang juga turut memiliki bagian “peranan” seperti yang

sebelumnya ditransformasikan oleh orang-orang yang berpengaruh. Identifikasi

yang terjadi bersifat subyektif dalam memahami pengakuan pada diri sendiri. Diri

merupakan suatu entitas yang direfleksikan, yang memantulkan sikap yang mula-

mula diambil dari orang-orang yang berpengaruh terhadap entitas diri sendiri

(Manuaba, 2010 :14). Dengan demikian, kehadirannya menjadi wujud identitas ke-

diri-an” individu yang lahir dari sebuah realitas masyarakat objektif. Sehingga,

keberhasilan sosialiasasi akan menghasilkan masyarakat yang terpelihara, sedangkan

kegagalan sosialisasi akan membuat sulitnya pemeliharaan tradisi dan tatanan sosial

masyarakat.

3. Eksternalisasi Sebagai Proses Dialektis dalam Konstruksi Sosial

Ketika manusia menciptakan kesadaran baru dalam hidupnya, manusia

sebenarnya tengah melakukan proses dialektis untuk memberikan perlakuan secara

timbal balik dalam kehidupannya. Proses tersebut terjadi melalui pencurahan diri

individu ke dalam dunia sosial budaya dan kebudayaan yang bersifat nonmaterial.

32

Individu mengalami proses eksternalisasi yang menempatkan posisinya lebih

dominan dalam menciptakan produk sosial bernama masyarakat. Produk sosial yang

dihasilkannya merupakan akumulasi dari beragam aktivitas yang telah menjadi

dunia bentukan (dikonstruksi) oleh aktivitas manusia sendiri. Menurut Berger dan

Luckmann (1990 :75) kondisi tersebut merupakan bentuk keharusan antropologis

yang memiliki sifat sui generis. Artinya keberadaan manusia tak mungkin

berlangsung dalam lingkungan interioritas yang tertutup tanpa gerak. Manusia

membutuhkan ruang gerak, ia hadir dan memiliki kebebasan sikap. Melalui

keterbukaan sikap dan pencurahan manusia dalam dunia sosialnya akan

memungkinkan untuk manusia dapat melaksanakan aktivitas dalam kehidupan

(Berger, 1990 : 67). Melalui aktivitas tersebut, manusia dapat mengembangkan diri

menjadi seorang individu dalam kebudayaan material dan immaterial di masyarakat

melalui hubungan yang timbale balik secara berkesinambungan.

Melalui proses eksternalisasi, manusia mengalami “ke-diri-an” yang memuat

kenyataan subyektif individu serta tidak dapat dilepaskan dari eksternalisasi

kehidupan yang sebelumnya telah dilakukan. Sehingga individu akan membentuk

dunianya sendiri dalam hubungannya dengan dunia sosial (Berger, 1994 : 6-7). Agar

aktivitas dan pencurahan diri manusia dalam realitas objektif dapat berjalan, maka

individu memerlukan kesadaran sebagai suatu hal yang sifatnya sui generis.

Sedangkan untuk memunculkan kesadaran, maka individu memerlukan motivasi

yang perlu dihadirkan dalam struktur dan tatanan sosial. Motivasi yang dimaksud

akan menjadi menjadi kekuatan dalam memelihara kesadaran manusia dalam

menjaga realitas objektif yang tengah berlangsung. Manusia merupakan produsen

dalam melahirkan kesadaran untuk membentuk realitas baru. Kesadaran tersebut

33

lantas dimanifestasikan oleh manusia melalui tindakan subyektif individu. Melalui

tindakan tersebut, individu seolah memiliki ke-diri-an secara subyektif dalam proses

eksternalisasi yang terjadi. Individu akan menyesuaikan diri dengan keberadaan

nilai, norma, aturan dan aktivitasnya dalam masyarakat. Dalam menjalani proses

eksternalisasi, individu rupanya dapat menjadi makhluk sosial yang juga

membutuhkan orang lain. Proses membutuhkan orang lain inilah yang

menumbuhkan nilai kolektivitas pada manusia di ranah struktur sosial. Kemunculan

kolektivitas tersebut, akan membuat manusia menghasilkan beragam kebudayaan

yang bersifat materiil maupun imateriil yang mengandung unsur, ketertiban, nilai,

dan bahasa. Dengan demikian, manusia sebagai individu akan terus mengupayakan

terwujudnya situasi lingkungan yang stabil terhadap kondisi perilaku dan

tindakannya. Serta memodifikasi produk sosialnya tatkala dirasa tidak mampu lagi

mengakomodir kebutuhan individu dalam masyarakat.

C. Identitas dalam Dinamika Perubahan Sosial Kampung Badran

Perubahan sosial menjadi hal yang dipastikan terjadi dalam setiap

masyarakat. Sekalipun perubahan sosial tersebut terbilang lambat, masyarakat tidak

akan stagnan dan terus akan menjalani realitas sosial. Perubahan sosial menjadi

serangkaian peristiwa yang membawa manusia pada dimensi sejarah baru. Serta

memuat aspek akulturasi, asimilasi dan enkulturasi dalam budaya yang dilakukan.

Perubahan sosial membawa manusia menyadari kondisi yang dinilainya tidak lagi

relevan dalam kehidupan sosial. Salah satunya mengenai permasalahan identitas.

Keberadaan identitas menjadi hal yang penting, karena identitas menjadi suatu ciri

yang membedakan manusia dengan orang lain.

34

Dalam akar filsafat, menurut Aini (dalam widayanti, 2009 : 14) pembentukan

identitas terbagi dalam tiga pendekatan, yakni : primordialisme, konstruktivisme dan

instrumentalisme. dalam pendekatan primodrialisme menjelaskan bahwa identitas

sebagai sesuatu yang diperoleh secara alami (given) yang terbentuk melalui proses

sosialisasi yang turun temurun. Sedangkan pendekatan konstruksivisme menjelaskan

bahwa identitas merupakan proses sosial yang kompleks melalui ikatan budaya yang

dibangun dalam masyarakat. Pendekatan instrumentalis, identitas sebagai sesuatu

yang dikonstruksikan untuk kepentingan elit dan demi kekuasaan.

Identitas menjadi suatu bentuk peneguhan eksistensi seorang individu dan

kelompoknya. Menurut Kinasih (2005:3) identitas menjadi sebuah dimensi

keniscayaan yang melekat dalam hubungan antar manusia karena keberadaan

seseorang menjadi bagian dari sebuah kelompok etnik, agama, tradisi dan bahasa

dalam sebuah sisem kebudayaan tertentu. Manusia secara individu maupun

berkelompok akan menempatkan dirinya pada koridor identitas dalam sebuah

konteks budaya. Dengan adanya identitas, maka individu akan diakui keberadannya

sekaligus eksistensinya dalam ruang sosial. Jeefrey Weeks yang dikutip oleh Kinasih

(2005:4) menjelaskan mengenai pentingnya identitas bagi seorang individu :

Identitas adalah tentang belonging, tentang persamaan sejumlah orang dan

tentang apa yang membedakan kamu dengan orang lainnya. Sebagai sesuatu

yang paling mendasar. Identitas akan memberikan seseorang rasa tentang

lokasi pribadi, inti yang stabil bagi individualisme.

Sense of belonging dalam konteks ini akan memberikan rasa aman bagi

individu. Rasa aman akan memberikan stabilitas dalam sistem sosial yang tengah

dijalani oleh individu dalam masyarakat. Melalui identitas, individu diluar

masyarakat akan memberikan penilaian yang secara disadari membentuk kedirian

35

bagi individu tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh Barker (2009:173) bahwa

identitas sosial merupakan harapan atau pendapat orang lain mengenai kedirian.

Namun, perlu kiranya untuk disadari, bahwa identitas suatu waktu dapat

berubah bentuk seiring perubahan sosial yang kembali terjadi. Karena sifatnya yang

bukan taken for granted, identitas dapat digunakan secara tidak konsisten.

Disesuaikan dengan kebutuhan dari individu dan kelompok yang bersangkutan. Bagi

Jean Baudrillard, dekonstruksi terhadap identitas menjadi hal yang pasti dalam

menyesuaikan identitas dengan kebutuhan bagi individu dan kelompoknya.

Penyesuaian tersebut terjadi sebagai langkah dalam membentuk identitas yang

bernilai positif. Hal ini sebagai langkah misidentification yang berarti, upaya

mengidentifikasikan identitas yang terlanjur melekat agar mendapatkan pandangan

serta pernilaian yang lebih baik dari orang lain (susetyo dikutip Kinasih, 2005:8).

Bangunan identitas lahir dalam proses yang panjang. Aturan, nilai, norma

dan iklim politik suatu wilayah menjadi faktor yang berpengaruh terhadap

perubahan identitas yang melekat dalam diri individu maupun kelompok sosial

tertentu. Untuk membentuk identitas yang berfungsi dalam menentukan keberadaan

diri suatu kelompok, konstruksi identitas menjadi hal yang mutlak diperlukan dalam

diri individu dan kelompok. Untuk itu, identitas menjadi suatu hal yang dapat

dikonstruksikan dalam kehidupan individu.

Upaya yang dilakukan ialah melalui sosialisasi. Identitas dibangun pada saat

sosialisasi yang dilakukan oleh individu kepada individu lainnya. Dengan begitu,

identifikasi mengenai unsur pembentuk identitas dapat diinternalisasikan secara

maksimal. Sebagai contoh adalah identitas yang dilakukan oleh orang tua kepada

anak-anaknya. Orang tua akan memperkenalkan individu kepada dunia realitas

36

beserta tatanannya serta memberikan pelajaran yang memuat realitas sosial sesuai

dengan aturan dan norma yang berlaku dalam masyarakatnya. Agar dapat

diidentifikasikan oleh anaknya. Proses ini berlangsung terus menerus. Sehingga anak

akan memiliki identitas sosial sebagaimana yang telah dibentuk oleh orang tuanya

terdahulu. Begitu juga dalam kelompok sosial, identitas menjadi hal yang senantiasa

terus dicari, dipelajari untuk kemudian dilekatkan pada suatu kelompok. Melalui

simbol, teks, tanda yang dapat digunakan sebagai sarana dalam merepresentasikan

individu dan kelompok tersebut dalam kehidupan. Tentu saja, dengan tujuan

melegalisasi identitas yang telah dibentuk agar sesuai dengan harapan dari kelompok

I.8 Metode Penelitian

Sebagai upaya menjawab permasalahan penelitian mengenai konstruksi

sosial dan makna Kampung Ramah Anak di RW 11 Kampung Badran, maka peneliti

menggunakan metode penelitian secara kualitatif. Penggunaan penelitian kualitatif

merupakan bentuk proporsi yang dapat digunakan untuk menjelaskan makna dibalik

sebuah fenomena sosial. Metode penelitian yang digunakan oleh peneliti meliputi :

a).Pendekatan penelitian, b). Unit analisis, c). Teknik pengumpulan data serta d)

Analisis data untuk menghasilkan kesimpulan.

A. Pendekatan Penelitian

Sebagai upaya untuk menjawab masalah penelitian, peneliti menggunakan

strategi penelitian melalui pendekatan fenomenologi. Alfred Schutz (dikutip oleh

Denzin dan Lincoln, 2009 : 336) menjelaskan bahwa pendekatan fenomenologi

berfungsi untuk merumuskan ilmu sosial yang mampu menafsirkan dan menjelaskan

pengetahuan yang merupakan (taken for granted) dan dimaknai oleh individu.

37

Penafsiran tersebut dilalui dengan cara menggambarkan struktur-struktur dasar

mengenai realitas yang nampak nyata di mata setiap orang yang berpegang teguh

pada ”sikap alamiah”. Hal ini dikarenakan pemikiran manusia menghasilkan

kesadaran constitutive maupun kesadaran reconstutive yang dibentuk tidak secara

kebetulan, melainkan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan.

Begitu pula kesadaran mengenai Kampung Ramah Anak, keberadaannya

bukan terjadi secara kebetulan, melainkan dibentuk secara sosial. Melalui,

pendekatan fenomenologi inilah, peneliti dapat melihat realitas secara nyata. Dengan

cara mengkonseptualisasikan kenyataan sebagai gambaran realitas yang utuh dan

holistik. Upaya konseptualisasi dilakukan dengan memusatkan perhatian mengenai

konstruksi sosial dan makna Kampung Ramah Anak ditinjau dari sejarah,

pengetahuan, kesadaran dan tindakan subyektif serta pengalaman kehidupan sosial

sehari-hari individu sebagai subyek sekaligus objek penelitian.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RW 11 Kampung Badran, Kelurahan Bumijo,

Kecamatan Jetis, Kota Yogyakarta. Dipilihnya lokasi tersebut berdasarkan

pertimbangan bahwa Kampung Badran merupakan wilayah urban yang terletak di

dekat bantaran Sungai Winongo. Lazimnya wilayah urban, posisi kampung yang

dekat dengan bantaran sungai seringkali dinilai tidak responsif pada kebutuhan anak

di berbagai bidang kehidupan. Baik menyangkut pendidikan, kesehatan, ekonomi

sosial, budaya dan lingkungan. Selain itu, sejarah kelam yang menunjukkan

Kampung Badran sebagai Kampung Hitam menambah image negatif yang hadir di

wilayah tersebut.

38

C. Unit Analisis

Dalam penelitian ini, penentuan unit analisis dimaksudkan agar dapat

memfokuskan kajian penelitian. Objek yang dipilih ditentukan sesuai dengan kriteria

yang digunakan untuk menjawab permasalahan penelitian. Dalam penelitian

kualitatif, unit analisis menempati posisi sebagai sumber data yang menghadirkan

manusia sebagai informan dan narasumber dalam penelitian. Sehingga manusia

memiliki peran yang sangat penting sebagai individu yang memiliki informasi dan

data yang dibutuhkan oleh peneliti guna menjawab permasalahan penelitian. Dalam

pelaksanaannya, peneliti dan narasumber disini memiliki posisi yang sama.

Narasumber bukan sekadar memberikan tanggapan pada apa yang diminta peneliti,

tetapi ia bisa lebih memilih arah dan selera dalam menyajikan informasi yang ia

miliki kepada peneliti selama proses pengumpulan data. Dalam penelitian ini subyek

penelitian terdiri dari beberapa informan, sebagai berikut :

1. Ketua RW 11 Kampung Badran yang merupakan beperan sebagai informan untuk

penggalian informasi yang akan dilakukan oleh peneliti.

2. Ketua RT di wilayah RW 11 Kampung Badran, yang meliputi : Ketua RT 47, 48,

49, 50 dan 51.

3. Pengurus atau “Kader” yang bertugas sebagai pendamping maupun penunjang

kegiatan Program Kampung Ramah Anak di RW 11 Kampung Badran. Kader

merupakan aktor sekaligus agen pelaksana program kegiatan Kampung Ramah

Anak yang secara struktural berada langsung dibawah komando Ketua RW 11

Kampung Badran.

4. Warga meliputi anak dan orang tua di RW 11 Kampung Badran, Kelurahan

Bumijo, Jetis, Kota Yogyakarta

39

5. Gugus Tugas Kota Layak Anak yang terdiri dari KPMP Kota Yogyakarta dan

beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat seperti : LSPPA, SOS Children Village

dan Wadah Titian Harapan yang merupakan pelaksana advokasi dalam

penyelenggaraan pilot project Kampung Ramah Anak di RW 11 Badran.

D. Teknik Penentuan Informan

Subyek penelitian dilakukan ketika peneliti mulai masuk ke lapangan dan

selama melakukan proses penelitian. Dalam menentukan subyek penelitian, peneliti

menggunakan teknik purposive sampling dan snowball sampling. Teknik purposive

dan snowball sampling dapat dilihat pada skema berikut :

Gambar 1.3. Proses Penentuan Informan

Sumber : (Adaptasi dari Proses Pengambilan Sampel Menurut Sugitono, 2002:56)

Dipilihnya teknik purposive sampling didasarkan pada kecenderungan

peneliti untuk memilih informan yang dianggap mengetahui informasi dan

permasalahan yang diteliti secara mendalam. Sehingga mampu menjadi key

informan yang dapat dipercaya untuk menjadi sumber data. Disisi lain, dipilihnya

teknik snowball sampling didasarkan pada upaya pengambilan informan secara

bebas pada siapapun yang ditemui di lapangan. Dimana peneliti akan mencari

informasi dari orang yang dianggap mengetahui informasi yang lebih jelas atas dasar

B

A

C

D

E G

H

I

40

rekomendasi dari informan sebelumnya. Teknik pengambilan sampel dengan cara

ini memuat unsur jumlah yang sedikit dan lama-lama menjadi besar (Sugiyono,

2009:54). Menurut Creswell bahwa dalam penelitian fenomenologi jumlah informan

yang diharapkan berkisar sekitar 5-25 orang, agar dapat mengungkapkan makna di

balik fenomena yang ada (Kuswarno, 2009 :57). Dalam penelitian ini, informan

yang digunakan sebanyak 40 orang yang terdiri dari Ketua RW 1 orang, Pengurus

wilayah sebanyak 15 orang, warga RW 11 Kampung Badran sebanyak 20 orang,

gugus tugas kota layak anak sebanyak 2 orang dan Instansi KPMP sebanyak 2

orang. Meski demikian, jumlah informan sebagai sumber data tidak dapat ditentukan

banyaknya. Namun lebih didasarkan pada pertimbangan pada kedalaman data dan

banyaknya informasi yang dapat diperoleh.

E. Sumber Data

Sumber data merupakan komponen yang penting dalam sebuah penelitian

kualitatif. Sumber data dalam penelitian ini terbagi menjadi dua kategori yang

meliputi : sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer dalam

penelitian ini menitiberatkan pada aspek data berupa kata-kata, tindakan serta lokasi

yang ditujukan untuk menjawab permasalahan mengenai konstruksi sosial dan

makna Kampung Ramah Anak bagi warga masyarakat di RW 11 Kampung Badran.

Kata-kata yang menjadi sumber data berasal dari informan atau narasumber ketika

peneliti melakukan interaksi sosial dan wawancara mendalam. Sedangkan sumber

data yang berupa tindakan dapat diamati melalui pola interaksi sosial, komunikasi

sosial dan tindakan sosial dari warga RW 11 Kampung Badran dalam kehidupan

sehari-hari.

41

Sedangkan sumber data sekunder dalam penelitian ini berasal dari data yang

tertulis dan dokumentasi baik melalui foto maupun video yang memiliki keterkaitan

dengan fokus masalah penelitian. Dokumentasi sebagai sumber data sekunder

menjadi salah satu penunjang guna mendapatkan gambaran secara utuh dalam

proses penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Sumber data sekunder yang

dibutuhkan oleh peneliti meliputi beberapa hal yaitu : Informasi secara lengkap

mengenai keadaan geografis wilayah penelitian, kondisi sosiologis masyarakat di

wilayah RW 11 Kampung Badran, dokumentasi tertulis dari KPMP Kota

Yogyakarta hingga indikator program Kampung Ramah Anak yang telah dirancang

oleh gugus tugas pelaksana Kota Layak Anak di Kota Yogyakarta. Namun, dalam

penelitian ini peneliti mengalami kesulitan untuk dapat mengakses data sekunder

mengenai jumlah anak yang melakukan pernikahan dini di RW 11 Kampung

Badran. Data tersebut sebenarnya dibutuhkan untuk menganalisis asumsi dan

pendapat dari masyarakat mengenai banyaknya kasus pernikahan dini yang terjadi di

wilayah RW 11 Kampung Badran. Karena permasalahan pernikahan dini

menyangkut pemenuhan kebutuhan hak anak mengenai pengasuhan alternatif.

F. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data menjadi komponen penting sebagai upaya untuk

mendapatkan data yang berguna menjawab permasalahan penelitian. Teknik

pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini, meliputi tiga hal berikut :

1. Wawancara

Proses pengumpulan data dilakukan oleh peneliti melalui wawancara

mendalam (indepth interview). Wawancara mendalam melibatkan proses percakapan

42

dengan maksud dan tujuan tertentu. Seperti yang diungkapkan oleh Esterberg (2002)

dalam (Sugiyono, 2009 : 72) bahwa “interview is a meeting of two persons to

exchange information and idea through question and responses, resulting in

communication and joint construction of meaning about a particular topic”. Dalam

pertemuan yang akan dilakukan dengan informan, peneliti akan menghasilkan

proses pertukaran informasi melalui respon-respon terhadap ide dari informan

tersebut. Sehingga menghasilkan pemahaman mengenai topik yang tengah

diperbincangkan.

Selanjutnya, pada proses pencarian data dan inforamasi inilah wawancara

menjadi tindakan yang oleh Licoln dan Guba (dikutip Moleong, 2001 : 186) disebut

sebagai tindakan untuk mengkonstruksi segala hal, baik mengenai orang, kejadian,

organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian. Dengan demikian, akan

menghasilkan pandangan baru yang dapat dikembangkan peneliti untuk memeriksa

informasi dari informan lainnya megenai fenomena yang terjadi.

Pada pelaksanaannya, peneliti menggunakan wawancara semi struktur,

artinya peneliti dapat melakukan wawancara secara bebas namun tetap mengacu

pada pedoman wawancara yang telah disusun melalui question research. Melalui

wawancara yang dilakukan, informan diharapkan bercerita sekaligus menjelaskan

mengenai pendapat, ide dan gagasan yang dapat didengarkan kemudian dapat dicatat

menggunakan buku catatan atau direkam menggunakan tape recorder oleh peneliti.

Meski demikian, proses wawancara yang dilakukan dapat berkembang seiring

kedalaman informasi yang nantinya diperoleh oleh peneliti.

43

2. Observasi

Disamping wawancara, teknik pengumpulan data yang digunakan oleh

peneliti ialah melalui observasi. Menurut H.B Sutopo (2002 : 64) teknik observasi

digunakan untuk menggali data berupa peristiwa, perilaku dan kegiatan informan,

tempat atau lokasi serta benda ataupun rekaman gambar. Mengacu dengan hal

tersebut, proses observasi dilakukan melalui pengamatan yang sifatnya

berkesinambungan. Sebagai upaya penggalian data, proses observasi yang dilakukan

dalam penelitian ini ialah observasi aktif. Atau yang dikenal sebagai participant as

observer yang mana peneliti memberitahukan maksud dan tujuan penelitian kepada

kelompok yang diteliti.

Spradley yang dikutip dalam H.B Sutopo (2002:65-69) menjelaskan bahwa

observasi dapat dibagi menjadi observasi tak berperan sama sekali dan observasi

berperan yang terdiri dari (1). berperan pasif, (2). berperan aktif, dan (3). berperan

penuh. Dipilihnya observasi berperan aktif didasarkan pada suatu cara khusus dan

keadaan lingkungan di RW 11 Kampung Badran. Sehingga, penelitian tidak hanya

diam dan bersikap pasif sebagaimana pengamat biasa.

Pada kondisi tertentu, peneliti akan memainkan peran yang dimungkinkan

ketika berada pada situasi yang memiliki kaitan dengan penelitian. Misalnya :

terlibat dalam aktivitas informan dan peristiwa di RW 11 Kampung Badran. Hal ini

menjadi bentuk pertimbangan agar peneliti dapat memperoleh akses untuk

pengumpulan data. Tidak hanya itu saja, dalam proses observasi yang dilakukan,

peneliti harus memperoleh “perasaan terlibat” (Salim, 2006:14). Artinya ada

dermagasi dan batasan tegas yang perlu dibuat oleh peneliti agar tidak larut dalam

wadah peristiwa yang tak berkaitan dengan permasalahan penelitian.

44

3. Analisis Dokumen

Pada proses penelitian ini, teknik pengumpulan data juga dilakukan melalui

analisis dokumen. Menurut Sugiyono (2009 : 82) dokumen dapat berupa catatan

peristiwa yang sudah berlalu maupun sedang terjadi, misalnya : tulisan,

gambar/foto, karya seseorang, bahan tertulis maupun rekaman dari tape record yang

merekam percakapan pada saat proses wawancara antara peneliti dan informan.

Dalam penelitian ini, peneliti menganalisis dokumen yang di peroleh melalui catatan

peristiwa, foto, data tertulis mengenai Kampung Ramah Anak serta tape recorder

yang digunakan oleh peneliti pada saat proses wawancara berlangsung. Hemat

peneliti, teknik pengumpulan data berupa analisis dokumen dapat menjadi salah satu

pelengkap untuk memperoleh data penelitian, disamping wawancara dan observasi.

G. Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara bersamaan dengan

kegiatan pengumpulan data lainnya, yakni pada saat wawancara mendalam (indepth

interview), observasi, serta analisis dokumen. Peneliti menggunakan teknik analisis

data kualitatif interaktif. Menurut Miles dan Haberman (1992 : 16-20) teknik

analisis data perlu dilaksanakan secara interaktif, berkesinambungan dan

berlangsung terus menerus hingga data dapat dikatakan jenuh dan tuntas. Dengan

demikian, proses tersebut akan berlangsung secara berkesinambungan. Sehingga

memperoleh data yang merupakan sasaran penelitian. Dalam model analisa

interaktif tersebut terdapat tiga jenis kegiatan analisis yang saling susul menyusul

dan dilakukan secara berkesinambungan. Kegiatan tersebut meliputi hal-hal berikut :

45

1. Reduksi Data

Dalam melakukan analisis data, langkah pertama yang akan dilakukan oleh

peneliti ialah reduksi data. Reduksi data merupakan bagian dari teknik analisis data

yang dilakukan dengan memilih hal pokok untuk menjawab masalah penelitian agar

tetap fokus sehingga ditemukan pola dari penelitian yang dilakukan. Dalam

melakukan reduksi data, peneliti melakukan proses pengorganisasian data,

pengelompokkan data berdasarkan pola jawaban yang diperoleh selama melakukan

penelitian, baik melalui pengumpulan data dengan wawancara mendalam (in depth

interview), pengamatan (observasi) maupun analisis dokumen. Proses

pengelompokan dan pengorganisasian data dilakukan dengan mengkode,

mengkategorikan data yang penting dan yang tidak penting secara detail. Hal ini

dilakukan karena data yang nantinya diperoleh dari lapangan jumlahnya sangat

banyak, kompleks dan belum memiliki pola yang tetap. Melalui proses reduksi data,

peneliti mendapatkan ringkasan serta gambaran secara jelas mengenai data-data

yang dibutuhkan untuk menjawab permasalahan penelitian.

2. Penyajian Data

Setelah melakukan reduksi data, proses selanjutnya ialah penyajian data yang

dilakukan dalam bentuk uraian singkat, serta menghubungkan kategori-kategori

tertentu yang ditemukan selama melakukan penelitian di lapangan. Sehingga

diperoleh kumpulan informasi yang tersususun secara deskriptif yang digunakan

untuk melakukan penarikan kesimpulan. Selanjutnya, peneliti menyajikan data yang

diperoleh dalam bentuk teks naratif. Dengan langkah penyajian data ini,

memudahkan peneliti untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan langkah

46

selanjutnya setelah menemukan data muncul di lapangan untuk menjawab

permasalahan penelitian.

3. Penarikan Kesimpulan atau Verifikasi

Langkah dalam teknik analisis data berikutnya ialah verifikasi. Verifikasi

merupakan proses penarikan kesimpulan yang sifatnya masih terkategori sementara

serta dapat berubah mengikuti perkembangan temuan data selanjutnya. Mengingat

dalam penelitian kualitatif, data yang didapatkan bisa saja bertambah, maka dalam

penarikan kesimpulan, peneliti melakukan kegiatan pengumpulan data secara

continue, sehingga dapat tercatat serta dimaknai secara menyeluruh. Sehingga

diperoleh pola-pola, penjelasan, serta dapat menganalisis hal-hal yang menjadi

sebab-akibat dari temuan data yang didapatkan dilapangan. Disamping itu, untuk

memperoleh validitas data maka penelitian didasarkan pada tingkat kepercayaan

dengan menggunakan langkah sebagai berikut :

1. Meningkatkan ketekunan dalam proses pengamatan. Hal ini dilakukan dengan

memperpanjang keikutsertaan peneliti dalam pengumpulan data yang terjadi di

lapangan. Intensitas keterlibatan peneliti akan membantu meningkatkan

kepercayaan data yang dikumpulkan sebagai upaya validitas data.

2. Melakukan proses wawancara dan observasi sesering mungkin. Sehingga peneliti

diharapkan dapat mendalami fenomena sosial yang tengah diteliti.

3. Dalam penarikan kesimpulan, peneliti merefleksi kembali apa-apa saja yang telah

dilakukan selama melakukan penelitian di lapangan. Refleksi dilakukan melalui

mekanisme triangulasi dengan tujuan untuk menguji keabsahan data agar dapat

dikatakan valid. Penggunaan teknik triangulasi sebagai upaya memvaliditas data.

Triangulasi merupakan proses untuk mengecek kebenaran data dari berbagai

47

sumber. Lexy Moleng (2000 : 178) menjelaskan bahwa triangulasi merupakan

bagian dari proses validitas data dengan memanfaatkan hal lain diluar data

sebagai sarana untuk mengecek dan membandingkan data yang ada. Pada

prakteknya, triangulasi dapat dilakukan atas dasar sumber data, teknik

pengambilan data (metode), waktu serta teori pendukung. Pertama, hal yang

dilakukan oleh peneliti ialah melakukan cross check ulang pada data yang telah

didapatkan sebelumnya untuk dibuktikan kebenarannya. Kedua, cross check

ulang antara data wawancara dengan data observasi, maupun data wawancara

dengan dokumen yang terkait serta dengan narasumber lain. Disamping itu,

triangulasi teori dilakukan dengan menggunakan perspektif lebih dari satu teori

dalam membahas masalah penelitian yang tengah dikaji. Dengan demikian,

dapat diperoleh variasi informasi yang lebih luas serta memperoleh kesimpulan

yang valid. Secara skematis proses analisis dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 1.4. Skema Analisis Data

Sumber : Modifikasi dari Pemikiran Miles B. Matthew, A. Michael,

Huberman. 1992. Analisa DataKualitatif. Jakarta: UI Press.hal.20

Pengumpulan

Data

Penyajian Data

Reduksi Data

Penarikan Kesimpulan

dan Verifikasi

Masalah

Penelitian

Deskripsi Masalah

penelitian Membuat Catatan

Lapangan

Triangulasi

Data

Membuat Catatan

Lapangan

Wawancara

Observasi

Analisis Data