bab i pendahuluan a. latar...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Epilepsi merupakan serangan berulang secara periodik dengan atau tanpa
kejang. Serangan tersebut disebabkan oleh aktivasi listrik berlebihan pada neuron
korteks dan ditandai dengan perubahan aktivitas listrik seperti yang diukur degan
electro ensephalography (EEG) (Rogers dan Cavazos, 2009).
Menurut Tjay dan Rahardja (2010), epilepsi atau sawan/ayan adalah suatu
gangguan saraf yang timbul secara tiba-tiba dan berkala, biasanya dengan
perubahan kesadaran. Penyebabnya adalah aksi serentak dan mendadak dari
sekelompok besar sel-sel saraf di otak. Aksi ini disertai pelepasan muatan listrik
yang berlebihan dari neuron-neuron tersebut. Lazimnya pelepasan muatan listrik
ini terjadi secara teratur dan terbatas dalam kelompok-kelompok kecil, yang
memberikan ritme normal pada electroencephalograms (EEGs). Serangan ini
kadang kala bergejala ringan dan hampir tidak kentara, tetapi ada kalanya bersifat
demikian hebat sehingga perlu dirawat di rumah sakit. Kurang lebih 30% dari
pasien epilepsi mempunyai keluarga dekat yang juga menderita gangguan
konvulsi.
Epilepsi merupakan salah satu penyebab morbiditas di bidang saraf anak yang
menimbulkan berbagai permasalahan antara lain kesulitan belajar, gangguan
tumbuh-kembang, dan menentukan kualitas hidup anak. Insidensi epilepsi pada
2
anak dilaporkan dari berbagai negara dengan variasi yang luas, sekitar 4-6 per
1000 anak, tergantung pada rancangan penelitian dan kelompok umur populasi. Di
Indonesia terdapat paling sedikit 700.000-1.400.000 kasus epilepsi dengan
pertambahan sebesar 70.000 kasus baru setiap tahun dan diperkirakan 40-50%
terjadi pada anak-anak. Sebagian besar epilepsi bersifat idiopatik, tetapi sering
juga disertai gangguan neurologi seperti retardasi mental, cerebral palsy, dan
sebagainya yang disebabkan kelainan pada susunan saraf pusat. Di samping itu,
dikenal pula beberapa sindrom epilepsi pada anak antara lain Sindrom Ohtahara,
spasme infantil (Sindrom West), Sindrom Lenox-Gestaut, benign rolandic
epilepsy, dan juvenile myoclonic epilepsy (Suwarba, 2011).
Kebanyakan pasien anak yang baru didiagnosis epilepsi memiliki prognosis
jangka panjang yang baik, khususnya pada pasien dengan etiologi idiopatik.
Sebaliknya, epilepsi akan tetap aktif pada kurang lebih 30% pasien dan memburuk
pada kurang lebih 10% pasien (Geerts et al., 2010).
Pengobatan epilepsi bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
Namun demikian, berbagai jenis efek samping dapat terjadi selama pengobatan
berlangsung. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Mustarsid et al. (2011),
semakin lama pengobatan epilepsi semakin besar kemungkinan terjadi gangguan
memori. Kualitas hidup pasien epilepsi juga dapat menurun di antaranya karena
gangguan daya ingat yang dapat disebabkan oleh epilepsi, pengaruh OAE, serta
faktor psikososial.
Penelitian-penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa pengobatan epilepsi
jangka panjang memungkinkan terjadinya berbagai efek samping pada pasien.
3
Oleh karena itu, peneliti merasa perlu untuk melakukan penelitian berupa evaluasi
efek samping obat anti epilepsi yang telah digunakan pada jangka panjang dan
diberikan secara monoterapi pada pasien epilepsi pediatrik. Penelitian dilakukan
di RSUP Dr. Sardjito karena merupakan rumah sakit pendidikan tipe A yang
menjadi pusat rujukan di DIY dan Jawa Tengah bagian selatan (Humas RSUP Dr.
Sardjito, 2015). Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan
bagi tenaga kesehatan untuk terus melakukan pemantauan efek samping sehingga
kualitas hidup pasien dapat meningkat.
B. Rumusan Masalah
Masalah yang dapat dirumuskan berdasarkan uraian di atas adalah:
1. Bagaimana pola pengobatan epilepsi pada pasien epilepsi pediatrik rawat
jalan di Instalasi Kesehatan Anak Sub. Bagian Neurologi RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta periode Januari – Maret 2015?
2. Bagaimana efek samping obat anti epilepsi pada pengobatan monoterapi
pasien epilepsi pediatrik rawat jalan di Instalasi Kesehatan Anak Sub.
Bagian Neurologi RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode Januari – Maret
2015?
C. Tujuan
Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan sebagai berikut :
1. Mengetahui pola pengobatan epilepsi pada pasien pediatrik rawat jalan di
Instalasi Kesehatan Anak Sub. Bagian Neurologi RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta bulan Januari-Maret 2015.
4
2. Mengetahui jenis efek samping Obat Anti Epilepsi (OAE) monoterapi yang
terjadi pada pasien pediatrik rawat jalan di Instalasi Kesehatan Anak Sub.
Bagian Neurologi RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta bulan Januari-Maret tahun
2015.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat bagi Peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran
informasi terkait efek samping Obat Anti Epilepsi yang digunakan secara
monoterapi pada pasien epilepsi pediatrik.
2. Manfaat bagi rumah sakit
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam
melakukan pemantauan efek samping obat, khususnya efek samping OAE
sebagai bagian dari pharmaceutical care sehingga kualitas hidup pasien
dapat meningkat.
5
E. Tinjauan Pustaka
1. Epilepsi
a. Definisi
Menurut Ginsberg (2008), epilepsi adalah istilah untuk cetusan listrik
lokal pada substansia grisea otak, yang terjadi sewaktu-waktu, mendadak,
dan sangat cepat. Secara klinis epilepsi merupakan gangguan paroksismal.
Cetusan neuron korteks serebri mengakibatkan serangan penurunan
kesadaran, perubahan fungsi motorik atau sensorik, perilaku atau emosional
yang intermiten dan stereotipik. Harus dibedakan antara kejang yang terjadi
sendiri dan kejang berulang yang berupa epilepsi.
Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat (SSP) yang dicirikan
oleh terjadinya bangkitan (seizure, fit, attack, spell) yang bersifat spontan
(unprovoked) dan berkala. Bangkitan dapat diartikan sebagai modifikasi
fungsi otak yang bersifat mendadak dan sepintas, yang berasal dari
sekelompok besar sel-sel otak, bersifat sinkron dan berirama. Istilah epilepsi
tidak boleh digunakan untuk bangkitan yang terjadi selama penyakit akut
berlangsung, dan occasional provoked seizures misalnya kejang atau
bangkitan pada hipoglikemi (Harsono, 2007).
b. Epidemiologi
Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf yang banyak diderita,
terutama pada usia anak-anak. Angka kejadian per tahun mencapai 44 dari
100.000 orang. Setiap tahun, ada kurang lebih 125.000 insidensi epilepsi
6
yang tercatat di Amerika Serikat; hanya 30% di antaranya yang berusia
kurang dari 18 tahun pada saat didiagnosa epilepsi (Rogers dan Cavazos,
2008).
World Health Organization (2012) menyebutkan bahwa perkiraan
proporsi penderita epilepsi aktif dari keseluruhan populasi adalah antara 4
sampai 10 per 1000 orang. Namun, beberapa penelitian menyatakan bahwa
di negara berkembang, proporsi penderita epilepsi diperkirakan sebanyak 6
sampai 10 per 1000 orang. Di negara berkembang, kasus baru tiap tahunnya
berkisar antara 40 sampai 70 kasus per 100.000 orang.
c. Etiologi
Berbagai kondisi medis diketahui dapat menyebabkan epilepsi, mulai
dari mutasi genetik hingga trauma otak. Pasien dengan keterbelakangan
mental, cerebral palsy, trauma kepala, atau stroke memiliki risiko yang
tinggi untuk mengalami kejang dan epilepsi. Semakin tinggi derajat
keterbelakangan mental yang diukur menggunakan intelligent quotient (IQ),
semakin tinggi pula insidensi epilepsi yang terjadi. Beberapa kasus
menunjukkan jika etiologi kejang dapat diketahui dan dikoreksi maka pasien
memungkinkan untuk tidak mendapatkan obat anti epilepsi jangka panjang.
Pasien dapat juga mengalami kejang dengan penyebab yang tidak diketahui,
yang kemudian secara definisional disebut epilepsi idiopatik atau
kriptogenik. Idiopathic etiology merupakan batasan yang digunakan pada
pasien kejang umum primer, sedangkan cryptogenic etiology digunakan jika
7
tidak ditemukan penyebab yang jelas pada pasien kejang parsial (Rogers
dan Cavazos, 2008).
Menurut Rogers dan Cavazos (2008), perubahan hormonal yang terjadi
pada waktu menstruasi, pubertas, atau kehamilan dapat mempengaruhi onset
kejang maupun meningkatkan frekuensi kejang. Penting juga untuk
mengetahui riwayat penggunaan obat pada pasien kejang karena teofilin,
alkohol, fenotiazin dosis tinggi, serta antidepresan dapat memicu terjadinya
kejang. Kecelakaan perinatal dan berat badan bayi lahir rendah juga
merupakan faktor risiko terjadinya kejang parsial.
Menurut Shorvon (2011), klasifikasi epilepsi secara etiologis adalah
sebagai berikut.
1) Idiopathic Epilepsy
Epilepsi yang mayoritas terjadi karena adanya kelainan secara genetis
tanpa adanya abnormalitas neuropatologis dan neuroanatomis.
2) Symptomatic Epilepsy
Epilepsi yang diperoleh secara genetis, berhubungan dengan adanya
abnormalitas anatomis dan patologis, dan atau kondisi klinis sebagai
indikasi dari penyakit yang mendasari.
3) Provoked Epilepsy
Epilepsi yang penyebab utamanya berasal dari lingkungan dan tidak
terdapat abnormalitas neuroanatomis dan neuropatologis.
4) Cryptogenic Epilepsy
Epilepsi yang penyebabnya belum diketahui.
8
d. Patofisiologi
Menurut Sukandar et al. (2013), pada kasus epilepsi, terjadi
konduktansi kalium yang tidak normal, cacat pada kanal kalsium sensitif
voltase, atau defisiensi pada membran Adenosin Trifosfat (ATPase) yang
berkaitan dengan transpor ion sehingga dapat menghasilkan ketidakstabilan
membran neuronal dan kejang. Aktivitas neuronal normal tergantung pada
faktor pemicu rangsang (glutamat, aspartat, asetilkolin, norepinefrin,
histamin, faktor pelepas kortikotropin, purin, peptida, sitokin, dan hormon
steroid) dan penghambat neurotransmiter (dopamin, asam gama
aminobutirat [GABA]), pasokan glukosa, oksigen, natrium, kalium, klorida,
kalsium, asam amino yang cukup, pH normal, dan fungsi normal reseptor.
Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih
dominan daripada proses inhibisi (Madara dan Pomarico-Denino, 2008).
Menurut Harsono (2007), serangan epilepsi akan muncul apabila
sekelompok kecil neuron abnormal mengalami mengalami depolarisasi yang
berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial aksi secara cepat dan
berulang-ulang. Cetusan listrik abnormal ini kemudian menstimulasi
neuron-neuron sekitarnya atau neuron-neuron yang terkait di dalam proses.
Secara klinis serangan epilepsi akan tampak apabila cetusan listrik dari
sejumlah besar neuron abnormal muncul secara bersama-sama, membentuk
suatu aktivitas listrik berlebihan di dalam otak. Perubahan-perubahan di
dalam eksitasi aferen, disinhibisi, pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler,
voltage-gated ion-channel opening, dan menguatnya sinkroni neuron sangat
9
penting artinya dalam hal inisiasi dan perambatan aktivitas serangan
epileptik. Pada epilepsi yang berulang, ketidaknormalan saraf menyebabkan
depolarisasi secara spontan (Madara dan Pomarico-Denino, 2008).
e. Klasifikasi epilepsi
Menurut Gidal et al. (2005) klasifikasi epilepsi berdasarkan tanda-tanda
klinik dan data EEG, dibagi menjadi:
1) Kejang umum (generalized seizure)
Kejang epilepsi digolongkan dalam kejang umum jika aktivasi terjadi
pada kedua hemisfer otak secara bersama-sama. Kejang umum terbagi
atas:
a) Absense (Petit mal)
Jenis yang jarang dijumpai ini umumnya hanya terjadi pada masa
anak-anak atau awal remaja. Kesadaran hilang beberapa detik,
ditandai dengan terhentinya percakapan untuk sesaat. Penderita tiba-
tiba melotot atau matanya berkedip-kedip dengan kepala terkulai.
b) Tonik-klonik (grand mal)
Merupakan bentuk kejang yang paling banyak terjadi, biasanya
didahului oleh suatu aura. Pasien tiba-tiba jatuh, kejang, nafas
terengah-engah, dan keluar air liur. Pasien juga bisa mengalami
sianosis, ngompol, atau menggigit lidah. Serangan ini terjadi beberapa
menit, lalu diikuti lemah, kebingungan, sakit kepala atau tidur.
10
c) Mioklonik
Serangan ini biasanya terjadi pada pagi hari, setelah bangun tidur
pasien mengalami sentakan yang tiba-tiba.
d) Atonik
Serangan tipe atonik ini jarang terjadi. Pasien tiba-tiba kehilangan
kekuatan otot yang mengakibatkan pasien terjatuh, namun dapat
segera pulih kembali.
2) Kejang parsial
Serangan parsial merupakan perubahan-perubahan klinis dan elektro-
ensefalografik yang menunjukan aktivitas sistem neuron yang berbatas di
salah satu bagian otak
Kejang parsial ini terbagi menjadi:
a) Simple partial seizure
Pasien tidak mengalami kehilangan kesadaran. Terjadi sentakan-
sentakan pada bagian tertentu dari tubuh.
b) Complex partial seizure
Pasien mengalami penurunan kesadaran. Perubahan tingkah laku
dapat terjadi pada penderita dengan penurunan kesadaran.
3) Kejang tak terklasifikasikan
Serangan kejang ini merupakan jenis serangan yang tidak didukung oleh
data yang cukup atau lengkap. Jenis ini termasuk serangan epilepsi pada
neonatus misalnya gerakan mata ritmis, dan gerakan mengunyah serta
berenang.
11
f. Diagnosa
Budikayanti et al. (2014) menjelaskan bahwa diagnosa epilepsi
ditegakkan terutama dari anamnesis, yang didukung dengan pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Dalam praktik klinis, langkah-langkah
dalam penegakan diagnosis adalah sebagai berikut.
1) Anamnesis
Auto atau allo-anamnesis dari orangtua atau saksi mata mengenai hal-
hal terkait di bawah ini.
a) Gejala dan tanda sebelum, selama, dan pascabangkitan
b) Faktor pencetus
c) Usia saat didiagnosis epilepsi, durasi bangkitan, frekuensi
bangkitan, interval antar bangkitan yang terpanjang, kesadaran
antara bangkitan
d) Terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap OAE sebelumnya
e) Penyakit yang diderita sekarang, riwayat penyakit neurologis
psikiatrik maupun sistemik yang mungkin menjadi penyebab
maupun komorbiditas
f) Riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam keluarga
g) Riwayat saat berada dalam kandungan, kelahiran, dan tumbuh
kembang
h) Riwayat bangkitan neonatal / kejang demam
i) Riwayat trauma kepala, stroke, infeksi susunan saraf pusat, dll.
12
2) Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
a) Pemeriksaan fisik umum
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mencari tanda-tanda gangguan yang
berkaitan dengan epilepsi, misalnya.
(1) Trauma kepala
(2) Tanda-tanda infeksi
(3) Kelainan kongenital
(4) Kecanduan alkohol atau napza
(5) Kelainan pada kulit
(6) Tanda-tanda keganasan
b) Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan ini dilakukan uutuk mencari tanda-tanda defisit
neurologis fokal atau difus yang dapat berhubungan dengan
epilepsi. Jika dilakukan dalam beberapa menit setelah bangkitan,
maka akan tampak pascabangkitan terutama pada tanda fokal yang
tidak jarang dapat menjadi petunjuk lokalisasi, seperti:
(1) Paresis Todd
(2) Gangguan kesadaran pascaiktal (setelah kejang)
(3) Afasia pascaiktal (gangguan bicara setelah kejang)
3) Pemeriksaan penunjang
a) Pemeriksaan elektro-ensefalografi (EEG)
Rekaman EEG merupakan pemeriksaan yang paling berguna pada
dugaan suatu bangkitan untuk membantu menunjang diagnosis,
13
penentuan jenis bangkitan maupun sindrom epilepsi, menentukan
prognosis, dan menentukan keputusan pemberian OAE.
b) Pemeriksaan pencitraan otak
Pemeriksaan ini berguna untuk mendeteksi lesi epileptogenik di
otak. Magnetic Resonance Imaging (MRI) beresolusi tinggi
(minimal 1,5 Tesla) dapat mendiagnosis secara non-invasif
berbagai macam lesi patologik. Functional brain imaging seperti
Positron Emission Tomography (PET), Single Photon Emission
Computed Tomography (SPECT) dan Magnetic Resonance
Spectroscopy (MRS) bermanfaat dalam memberikan informasi
tambahan mengenai dampak perubahan metabolik dan perubahan
aliran darah regional di otak berkaitan dengan bangkitan.
Indikasi pemeriksaan neuroimaging (CT Scan kepala atau MRI
kepala) pada kasus kejang adalah bila muncul kejang unprovoked
pertama kali pada usia dewasa. Tujuan pemeriksaan neuroimaging
pada kondisi ini adalah untuk mencari adanya lesi struktural
penyebab kejang. Bila ditinjau dari segi sensitivitas dalam
menentukan lesi struktural, maka MRI lebih sensitif daripada CT
Scan kepala.
c) Pemeriksaan laboratorium
(1) Pemeriksaan hematologis
Pemeriksaan ini mencakup hemoglobin, leukosit dan hitung
jenis, hematokrit, trombosit, apusan darah tepi, elektrolit
14
(natrium, kalium, kalsium, magnesium), kadar gula darah
sewaktu, fungsi hati (SGOT/SGPT), ureum, kreatinin dan
albumin.
(2) Pemeriksaan kadar OAE
Pemeriksaan ini idealnya untuk melihat kadar OAE dalam
plasma saat bangkitan belum terkontrol, meskipun sudah
mencapai dosis terapi maksimal atau untuk memonitor
kepatuhan pasien.
d) Pemeriksaan penunjang lainnya
Dilakukan sesusai dengan indikasi, misalnya:
(1) Punksi lumbal
(2) EKG
Beberapa gerakan atau kondisi yang menyerupai kejang
epileptik, seperti pingsan (syncope), reaksi konversi, panik dan
gerakan movement disorder ditemukan pada beberapa kasus.
Hal ini sering membingungkan klinisi dalam menentukan
diagnosis dan pengobatannya. Oleh karena itu perlu dilakukan
diagnosis banding (Budikayanti et al, 2014).
Tjandrajani et al. (2012), dalam penelitiannya
menyebutkan bahwa klasifikasi sindrom epilepsi tepatnya
dapat ditentukan berdasarkan keadaan klinis, pemeriksaan
EEG, dan neuroradiologi serta pemeriksaan genetik. Meskipun
demikian, diagnosis epilepsi dan pengelompokan sindrom
15
epilepsi dapat ditegakkan berdasarkan klinis (riwayat sakit,
pemeriksaan fisis dan atau EEG).
g. Penatalaksanaan terapi
Menurut Gunadharma et al. (2014), ketepatan diagnosis
merupakan dasar terapi. Diagnosis yang kurang tepat dapat
menyebabkan kesalahan terapi. Adapun tujuan utama dari terapi
epilepsi adalah mengupayakan pasien epilepsi dapat hidup normal
dan tercapai kualitas hidup optimal. Harapannya adalah bebas
bangkitan tanpa efek samping.
Obat Anti Epilepsi (OAE) dapat diberikan bila:
1) Diagnosis epilepsi sudah dipastikan
2) Terdapat minimum dua bangkitan dalam setahun
3) Pasien dan atau keluarganya sudah menerima penjelasan
tentang tujuan pengobatan
4) Pasien dan atau keluarganya telah diberitahu tentang
kemungkinan efek samping yang timbul dari OAE
5) Bangkitan terjadi berulang walaupun faktor pencetus sudah
dihindari (misalnya kurang tidur, alkohol, stres, dll.)
Pemberian obat dimulai dengan monoterapi, menggunakan
OAE pilihen sesuai dengan jenis bangkitan dan jenis sindrom
epilepsi. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan
bertahap sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek samping.
16
Bila dengan penggunaan OAE pertama dosis maksimum tidak
dapat mengontrol bangkitan, maka diganti dengan OAE kedua.
Caranya, bila OAE telah mencapai kadar terapi, maka OAE
pertama diturunkan bertahap (tappering off). Bila terjadi bangkitan
saat penurunan OAE pertama, maka kedua OAE tetap diberikan.
Bila diperoleh respon yang buruk, kedua OAE harus diganti dengan
OAE yang lain. Penambahan OAE ketiga baru dilakukan bila
terdapat respon suboptimal dengan OAE kedua walaupun
penggunaan OAE pertama sudah maksimal. Obat anti epilepsi
kedua yang ditambahkan harus memiliki mekanisme kerja yang
berbeda dengan OAE pertama.
Pasien dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk
mulai terapi bila kemungkinan kekambuhan tinggi, yaitu bila:
1) Dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG
2) Pada pemeriksaan CT Scan atau MRI otak dijumpai lesi yang
berkorelasi dengan bangkitan, misalnya meningioma,
neoplasma otak, malformasi arteri dan vena, abses otak
ensefalitis herpes
3) Pada pemeriksaan neurologis dijumpai kelainan yang
mengarah pada adanya kerusakan otak
4) Terdapat riwayat epilepsi pada saudara sekandung (bukan
orangtua)
5) Riwayat bangkitan simtomatis
17
6) Terdapat sindrom epilepsi yang berisiko kekambuhan tinggi
7) Riwayat trauma kepala terutama yang disertai penurunan
kesadaran
8) Bangkitan pertama berupa status epileptikus
Jika terapi OAE pada pasien anak dinilai efektif, maka harus
ada kepastian tentang diagnosis epilepsi dan atau sindrom epilepsi
yang terjadi. Respon terhadap penggunaan obat tunggal bervariasi
menurut jenis kejang dan jenis sindrom. Keputusan untuk memulai
pengobatan dapat memberikan hasil yang optimal apabila terjadi
kerjasama yang baik antara pasien anak, keluarga pasien dan klinisi
kesehatan anak (SIGN, 2005).
2. Obat Anti Epilepsi (OAE)
Menurut Wibowo dan Gofir (2006) mekanisme kerja obat antiepilepsi
dibagi menjadi 2 bagian besar, yakni: efek langsung pada membran yang
eksitabel dan efek melalui perubahan meurotransmitter. Berikut penggolongan
obat anti epilepsi berdasarkan pada mekanisme tersebut:
a. Efek langsung pada membran yang eksitabel.
Perubahan permeabilitas membran merubah fase recovery serta mencegah
aliran frekuensi tinggi dan neuron pada keadaan lepas muatan listrik
epilepsi. Efek ini karena adanya perubahan mekanisme pengaturan aliran
ion Na+
dan ion Ca2+
.
Obat-obat antiepilepsi dengan mekanisme ini antara lain:
18
1) Fenitoin
Senyawa imidazolin ini tidak bersifat hipnotik seperti senyawa
barbital dan suksinimida. Fenitoin terutama efektif pada grand mal dan
serangan psikomotor, tetapi tidak boleh diberikan pada petit mal, karena
dapat memprovokasi absense (Tjay dan Rahardja, 2010).
Cara kerja utama fenitoin adalah memblokade pergerakan ion
melalui kanal Na dengan menurunkan aliran ion Na yang tersisa maupun
aliran ion Na yang mengalir selama penyebaran potensial aksi,
memblokade dan mencegah potensial post tetanik, membatasi
perkembangan aktivitas serangan yang maksimal dan mengurangi
penyebaran serangan. Fenitoin memberikan efek stabilitas pada membran
yang eksitabel (mudah terpacu) maupun yang tidak eksitabel. Fenitoin
juga dapat menghambat efek kanal Ca dan menunda aktifasi ion K keluar
aksi potensial, menyebabkan kenaikan periode refractory dan
menurunnya cetusan ulangan (Wibowo dan Gofir, 2006).
Kadar terapeutik fenitoin untuk sebagian besar pasien adalah antara
10 dan 20µg/mL. Dosis awal dapat diberikan secara oral atau intravena;
yang terakhir adalah metode pilihan untuk status epileptikus konvulsif.
Bila terapi oral dimulai, pada umumnya pemberian dosis kepada orang
dewasa mulai dari 300mg/hari, tanpa memandang berapa berat badannya
(Porter dan Meldrum, 2009).
Efek samping yang seringkali timbul adalah hiperplasia gusi
(tumbuh berlebihan) dan obstipasi. Efek lainnya antara lain,
19
menyebabkan pusing, mual, dan bertambahnya rambut/bulu badan
(hipertrichosis). Wanita hamil tidak boleh menggunakan fenitoin karena
bersifat teratogenik (Tjay dan Rahardja, 2010)
2) Karbamazepin
Derivat dari anti depresan trisiklik ini efektif untuk serangan parsial
dan general tonik klonik, dapat diberikan secara tunggal atau kombinasi.
Mekanisme kerja obat ini dengan memblokade kanal Na selama
pelepasan dan mengalirnya muatan listrik sel-sel saraf serta mencegah
potensial post tetanik (Wibowo dan Gofir, 2006). Obat ini efektif untuk
anak-anak, dan dosis yang tepat adalah 15-25 mg/kg/hari (Porter dan
Meldrum, 2009). Efektivitas obat ini sama dengan fenitoin untuk
penggunaan pada epilepsi grand mal dan epilepsi parsial. Namun efek
samping yang ditimbulkan lebih sedikit. Fenobarbital dapat memperkuat
efek obat ini. Karbamazepin tidak efektif pada jenis absence (Tjay dan
Rahardja, 2010).
Efek samping yang paling sering terjadi berupa sedasi, sakit kepala,
pusing, mual, muntah dan ataksia yang umumnya bersifat sementara
(kurang dari 2 minggu). Kurang lebih 40% dari pengguna masih
mengalami rasa kantuk setelah 1 tahun, reaksi kulit juga agak sering
terjadi. Efek lainnya adalah anoreksia, mengantuk, radang kulit dan
gangguan psikis. Berhubung dapat terjadi gangguan darah, hepatitis dan
lupus erythematodes, maka harus dilakukan pemeriksaan darah setiap
minggu/bulan. Kombinasi dengan antara lain fenobarbital dan fenitoin
20
dapat menyulitkan terapi. Obat ini dapat menembus plasenta,
berakumulasi di jaringan janin dan dapat mengganggu pertumbuhan
janin. Oleh sebab itu, tidak dianjurkan penggunaannya pada saat
kehamilan (Tjay dan Rahardja, 2010).
Dosis permulaan sehari 200-400 mg dibagi dalam beberapa dosis
yang berangsur-angsur dapat dinaikkan sampai 800-1200 mg dibagi
dalam 2-4- dosis. Pada manula, setengah dari dosis ini. Dosis awal bagi
anak-anak sampai usia 1 tahun 100 mg sehari, 1-5 tahun 100-200 mg
sehari, 5-10 tahun 200-300 mg sehari dengan dosis pemeliharaan 10-20
mg/kg BB sehari dibagi dalam beberapa dosis (Tjay dan Rahardja, 2010).
3) Etosuksimid
Mekanisme kerja obat ini menghambat kanal Ca tipe T. etosuksimid
mempunyai efek penting pada arus Ca2+,
menurunkan arus nilai ambang
rendah (tipe T). Arus kalsium tipe T diperkirakan merupakan arus yang
menimbulkan pemacu pada saraf talamus sehingga terjadi gelombang
korteks yang ritmis dari serangan absens. Penghambat arus tersebut
merupakan kerja terapeutik dari etosuksimid (Porter dan Meldrum,
2009). Etosuksimid sebagai obat pilihan untuk serangan absens pada
anak-anak yang tidak disertai serangan tonik-klonik atau mioklonik
(Wibowo dan Gofir, 2006).
Kadar terapeutik sebesar 60-100µg/mL dapat dicapai pada orang
dewasa dengan dosis 750-1500 mg/hari, meski kadang dibutuhkan dosis
yang lebih tinggi atau lebih rendah (Porter dan Meldrum, 2009).
21
Efek samping berupa sedasi, antara lain rasa mengantuk dan
termenung, sakit kepala, anoreksia, dan mual. Leukopenia jarang terjadi,
namun gambaran darah, juga fungsi hati dan urin, perlu dikontrol secara
teratur (Tjay dan Rahardja, 2010).
4) Asam valproat
Memiliki mekanisme aksi yang multipel. Asam valproat
menghambat kanal Ca tipe T. Asam valproat meningkatkan fungsi
GABA tetapi hanya terlihat pada konsentrasi tinggi. Obat ini
meningkatkan sintesa GABA dengan menstimulasi Glutamic Acid
Dekarboksilasi (GAD). Obat ini menghasilkan modulasi selektif pada
arus Na selama pelepasan muatan (Wibowo dan Gofir, 2006).
Asam valproat diindikasikan sebagai drug of choice untuk epilepsi
general idiopatik, epilepsi mioklonik juvenile, dapat digunakan untuk
serangan mioklonus tipe-tipe lain, epilepsi fotosensitif dan sindrom
Lennox. Sebagai second-line pada terapi spasme infantil. Sebagai first-
line pada epilepsi fokal (Wibowo dan Gofir, 2006).
Dosis sebesar 25-30 mg/kg/hari mungkin sesuai untuk sebagian
pasien, tetapi ada pula yang membutuhkan 60 mg/kg atau lebih. Kadar
terapeutik asam valproat berkisar 50µg/mL sampai 100µg/mL. Dalam uji
efikasi, pemberian obat sebaiknya tidak dihentikan hingga kadar puncak
waktu pagi hari paling sedikit 80µg/mL sudah dicapai; beberapa pasien
dapat memerlukan dan menoleransi kadar puncak yang lebih besar dari
100µg/m (Porter dan Meldrum, 2009).
22
Efek samping yang sering terjadi adalah gangguan saluran cerna
yang bersifat sementara, adakalanya juga sedasi, ataksia, udema
pergelangan kaki, dan rambut rontok (reversibel). Efek lainnya kenaikan
berat badan terutama remaja putri (Tjay dan Rahardja, 2010).
Valproat menghambat metabolisme beberapa obat (fenobarbital,
fenitoin dan karbamazepin), meningkatkan konsentrasi obat-obat tersebut
dalam darah. Penghambatan metabolisme fenobarbital menyebabkan
kadar barbiturat meningkat secara tajam hingga menimbulkan stupor atau
koma (Porter dan Meldrum, 2009).
b. Efek melalui perubahan neurotransmitter
1) Blokade aksi glutamat
Obat-obat dengan aksi ini antara lain:
a) Felbamat
Mekanisme kerja obat dengan memperkuat aktivitas GABA yakni
dengan memblokade reseptor NMDA. Memblokade kanal Na voltage-
dependent, tetapi tidak berefek pada reseptor GABA (Wibowo &
Gofir, 2006). Felbamat terbukti efektif baik pada monoterapi maupun
terapi tambahan pada serangan parsial pada pasien dengan usia ≥14
tahun. Obat ini juga bermanfaat untuk sindrom lennox-gastaut yang
tidak berespon terhadap terapi lain (Wibowo dan Gofir, 2006).
Dosis lazim berkisar antara 2000-4000mg/hari pada orang
dewasa, dan rentang kadar plasma efektif adalah 30µg/mL sampai
100µg/mL (Porter dan Meldrum, 2009).
23
Efek samping berupa mual, muntah, gangguan penglihatan,
pusing, dan reaksi alergi di kulit serta anemia aplastik (Tjay dan
Rahardja, 2010).
b) Topiramat
Memiliki mekanisme aksi yang beragam, menghambat reseptor
glutamat subtipe Alpha-amino-3-hidroxy-5methylisoxazole-4-
propionicacid (AMPA), menghambat karbonik anhidrase dengan
lemah, menghambat channel Na high-voltaged-activated,
memperpendek durasi ledakan spontan dan frekuensi potensial aksi,
dan menghambat GABA dengan mekanisme yang tidak diketahui
dengan pasti. Topiramat sebagai terapi adjuvan pada epilepsi parsial
dan general tonik-klonik sekunder, epilepsi general tonik-klonik
primer dan sindrom Lennox-Gastaut.
Dosis obat ini biasanya berkisar dari 200 mg/hari sampai 600
mg/hari, dengan sedikit pasien menoleransi dosis lebih besar dari 1000
mg/hari (Porter dan Meldrum, 2009).
Efek yang tidak diinginkan yang berhubungan dengan dosis
paling sering terjadi dalam empat minggu pertama meliputi rasa
kantuk, kelelahan, pusing, lambat berpikir, parestesi, kegelisahan, dan
bingung (Porter dan Meldrum, 2009).
2) Mendorong aksi inhibisi Gamma Amino Butyruc Acid (GABA) pada
membran pasca-sinaptik dan neuron
Obat-obat dengan aksi ini antara lain:
24
a) Klonazepam
Sebagai agonis reseptor GABA, mempunyai afinitas yang tinggi
terhadap resepto GABA-A. efektif untuk serangan mioklonik dan
subkortikal mioklonus. Obat ini juga efektif pada serangan umum dan
sedikit berperan pada serangan parsial. Obat ini digunakan sebagai
terapi adjuvan untuk epilepsi refrakter. Klonazepam juga digunakan
sebagai terapi emergensi pada status epileptikus seperti diazepam
(Wibowo dan Gofir, 2006).
Efek sedasi cukup menonjol terutama pada awal terapi, dosis awal
seharusnya rendah. Dosis maksimal yang dapat ditolerir berkisar
antara 0,1-0,2 mg/kg, tetapi untuk pasien tertentu diperlukan beberapa
minggu untuk mencapai dosis tersebut. Kadar terapeutik obat dalam
darah biasanya kurang dari 0,1 µg/mL (Porter dan Meldrum, 2009).
Efek samping yang agak sering terjadi adalah sedasi, seperti
mengantuk, pusing, juga kelemahan otot dan sekresi ludah berlebihan
yang dapat membahayakan pernapasan terutama pada anak-anak (Tjay
dan Rahardja, 2010).
b) Fenobarbital
Beraksi langsung pada reseptor GABA dengan berikatan pada
tempat ikatan barbiturat sehingga memperpanjang durasi pembukaan
kanal Cl, mengurangi aliran Na dan K, mengurangi influks Ca dan
menurunkan eksitabilitas glutamat. Merupakan obat entiepilepsi
dengan spektrum luas, digunakan pada terapi serangan parsial dan
25
serangan umum sekunder. Obat ini digunakan sebagai obat lini kedua
karena memberikan efek buruk seperti sedasi dan penurunan daya
kognitif. Namun, pada status epileptikus, obat ini masih digunakan
sebagai obat lini pertama (Wibowo dan Gofir, 2006).
Fenobarbital bersifat menginduksi enzim dan mempercepat
penguraian kalsiferol (vitamin D2) dengan kemungkinan timbulnya
rakhitis pada anak kecil. Penggunaan bersama valproat harus hati-hati,
karena kadar fenobarbital dalam darah dapat meningkat. Di lain pihak
kadar fenitoin dan karbamazepin dalam darah efeknya dapat
diturunkan oleh fenobarbital (Tjay dan Rahardja, 2010).
Kadar terapeutik fenobarbital pada kebanyakan paisen berkisar
antara 10µg/mL hingga 40µg/mL. Dokumentasi dari efektivitasnya
adalah paling baik untuk kejang demam, dan kadar dibawah 15µg/mL
tampaknya tidak efektif untuk mencegah kambuhnya kejang demam.
Batas atas dari rentang terapeutik sulit untuk ditetapkan, dimana
banyak pasien tampaknya menoleransi kadar kronis di atas 40µg/mL
(Porter dan Meldrum, 2009).
Pemilihan OAE pada pasien epilepsi pediatrik membutuhkan perhatian
khusus. Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan antara lain AED-specific
variables (sindrom epilepsi spesifik, efikasi/ efektivitas, efek samping,
farmakokinetik, formulasi, dan sebagainya), patient specific variables (latar
belakang genetik, jenis kelamin, usia, komorbiditas, dan status sosial ekonomi),
26
dan nation specific variables (ketersediaan dan biaya OAE) (Glauser et al.,
2006).
Tabel I. Pilihan Terapi Untuk Berbagai Tipe Bangkitan Epilepsi Anak (NICE
Guideline, 2012)
Tipe Bangkitan Obat Lini 1 Obat lini 2 Alternatif/obat
lain yang dapat
dipertimbangkan
Obat yang
harus dihindari
(mungkin
memperburuk
kejang)
Kejang umum
tonik-klonik
Karbamazepin
Lamotrigin
Valproat
Topiramat
Klobazam
Levetirasetam
okskarbazepin
Aserazolamida
Klonazepam
Fenobarbital
Fenitoin
Pirimidon
Tiagabin
Vigabatrin
Absens Etosuksimid
Lamotrigin
Valproat
Klobazam
Klonazepam
Topiramat
- Karbamazepin
Gabapentin
Okskarbazepin
Tiagabin
Vigabatrin
Mioklonik Valproat
Topiramat
Klobazam
Klonazepam
Lamotrigin
Levetirasetam
Pirasetam
- Karbamazepin
Gabapentin
Okskarbazepin
Tiagabin
Vigabatrin
Tonik Lamotrigin
Valproat
Klobazam
Klonazepam
Levetirazetam
Topiramat
Asetazolamida
Fenobarbital
Fenitoin
Pirimidon
Karbamazepin
Okskarbazepin
Atonik Lamotrigin
Valproat
Klobazam
Klonazepam
Levetirazetam
Topiramat
Asetazolamida
Fenobarbital
Pirimidon
Karbamazepin
Okskarbazepin
Fenitoin
Spasme infantil Steroid
Vigabatrin
Klobazam
Klonazepam
Valproat
Topiramat
Nitrazepam Karbamazepin
Okskarbazepin
Kejang fokal
dengan/tanpa
kejang umum
sekunder
Karbamazepin
Lamotrigin
Okskarbazepin
Valproat
Topiramat
Klobazam
Gabapentin
Levetirasetam
Fenitoin
Tiagabin
Asetazolamida
Klonazepam
Fenobarbital
Pirimidon
-
Keterangan:
1. Enzim hati menginduksi OAE
2. Harus digunakan sebagai pilihan pertama dalam keadaan seperti diuraikan dalam NICE
Technology Appraisal of Newer AEDs for Children
3. Jarang dan perlu inisiasi, jika barbiturat yang digunakan lebih disukai
3. Efek Samping
Penggunaan obat secara kronis sering memberikan efek samping yang
merugikan bagi pasien. Obat antiepilepsi digunakan minimal 2 tahun untuk
27
mengontrol kejang, oleh karena itu banyak efek samping yang dialami
oleh pasien dengan penggunaan kronis tersebut. Kemudian efek samping
tersebut bisa memiliki beberapa kemungkinan, yaitu menjadi masalah
yang sangat serius, masalah sedang, masalah ringan atau bukan masalah.
Penilaian efek samping yang terjadi pada pasien pediatrik dilakukan
menggunakan kuesioner Pediatric Epilepsy Side Effect Questionnaire
(PESQ) yang terdiri atas 19 item pertanyaan dengan pengelompokan 6
item pertanyaan untuk mengukur perubahan kognitif, 4 item pertanyaan
untuk mengukur perubahan motorik, 3 item pertanyaan untuk mengukur
perubahan tingkah laku, 4 item pertanyaan untuk mengukur perubahan
neurologis, dan 2 item pertanyaan untuk mengukur perubahan berat badan
(Morita et al, 2012).
Menurut Gunadharma (2014), strategi untuk mencegah efek samping
adalah sebagai berikut.
a. Memilih OAE yang paling cocok untuk karakteristik pasien
b. Menggunakan titrasi dosis terkecil mengacu pada sindrom epilepsi dan
karakteristik pasien.
Tabel II. Efek Samping Obat Anti Epilepsi (Sukandar et al., 2013)
OAE Efek Samping Akut
Efek Samping Kronis Tergantung Kadar Obat Idiosinkratik
Asam Valproat Gangguan saluran cerna
Sedasi
Goyah / tidak bisa tegak
Tremor
Gagal hepar akut
Pankreatitis akut
Alopesia
Polocystic ovary-
like-syndrome
Berat badan
bertambah
28
Tabel II. Lanjutan.........
OAE Efek Samping Akut
Efek Samping Kronis Tergantung Kadar Obat Idiosinkratik
Etosuksimid Ataksia
Mengantuk
Gangguan pencernaan
Goyah / tidak bisa tegak
Cegukan
Diskarsia darah
Kemerahan pada
kulit
Perubahan perilaku
Sakit kepala
Felbamat Anoreksia
Mual
Muntah
Insomnia (gangguan
pola tidur)
Sakit kepala
Anemia aplastik
Gagal hati akut
(belum ditemukan)
Fenitoin Ataksia
Nystagmus
Perubahan perilaku
Pusing
Sakit kepala
Inkoordinasi
Sedasi
Letargia
Gangguan kognitif
Kelelahan
Penglihatan kabur
Diskarsia darah
Kemerahan pada
kulit
Reaksi imunologi
Perubahan perilaku
Sindrom serebral
Perubahan jaringan
konektif
Penebalan kulit
Hiperplasia gusi
Kulit wajah menjadi
kasar
Jerawat
Gangguan kognitif
Penyakit tulang
metabolik
Sedasi
Fenobarbital Ataksia
Hiperaktivitas
Sakit kepala
Goyah / tidak bisa tegak
Sedasi
Mual
Diskarsia darah
Kemerahan pada
kulit
Perubahan perilaku
Gangguan jaringan
konektif
Gangguan intelektual
Penyakit tulang
metabolik
Gangguan mood
Sedasi
Gabapentin Pusing
Kelelahan
Somnolen
Ataksia
Kaki bengkak Berat badan
meningkat
Okskarbazepin Sedasi
Pusing
Ataksia
Mual
Kemerahan pada
kulit
Hiponatremia
Pirimidon Perubahan perilaku
Sakit kepala
Mual
Sedasi
Goyah / tidak bisa tegak
Diskarsia darah
Kemerahan pada
kulit
Perubahan perilaku
Gangguan jaringan
konektif
Gangguan kognitif
Sedasi
Tiagabin Pusing
Kelelahan
Sulit berkonsentrasi
Gelisah
Tremor
Penglihatan kabur
Depresi
Spike-wave stupor (belum ditemukan)
29
Tabel II. Lanjutan.........
OAE Efek Samping Akut
Efek Samping Kronis Tergantung Kadar Obat Idiosinkratik
Topiramat Sulit berkonsentrasi
Kelambatan psikomotor
Gangguan bicara /
bahasa
Somnolen
Kelelahan
Pusing
Sakit kepala
Asidosis metabolik
Acute-angle
glaucoma
Oligohirolisis
Batu ginjal
Berat badan menurun
Zonisamid Sedasi
Pusing
Gangguan kognitif
Mual
Kemerahan pada
kulit
Oligohidrolisis
Batu ginjal
Berat badan menurun
F. Keterangan Empiris
Epilepsi merupakan penyakit yang angka kejadiannya semakin meningkat
dari tahun ke tahun. Pengobatan epilepsi menjadi hal yang perlu mendapat
perhatian. Masa terapi epilepsi yang memakan waktu lama diketahui
meningkatkan kemungkinan terjadinya efek samping obat. Penelitian ini
diharapkan mendapatkan hasil berupa data kejadian efek samping dari
penggunaan Obat Anti Epilepsi (OAE) secara monoterapi yang diresepkan pada
pasien pediatrik rawat jalan di Instalasi Kesehatan Anak RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta.