bab i pendahuluan 1.1 latar belakang masalah pajak dipungut dari warga negara indonesia dan menjadi...

27
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan Nasional adalah kegiatan yang berlangsung terus menerus dan berkesinambungan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik materil maupun spiritual. 1 Untuk merealisasikan tujuan tersebut perlu banyak memperhatikan masalah pembiayaan pembangunan. Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu bangsa yaitu dengan menggali sumber dana yang berasal dari dalam negeri berupa pajak. Pajak yang dipungut oleh pemerintah digunakan untuk menjaga kelangsungan hidup negara dan sumber pembiayaan belanja-belanja yang dikeluarkan oleh pemerintah guna menjalankan roda pemerintahan. Sektor pajak merupakan sumber penerimaan negara, penerimaan negara dari sektor perpajakan memberikan sumbangan dalam menurunkun volume dan rasio deficit anggaran. Maka peranan pajak sebagai salah satu sumber Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sangat penting dan strategis. Oleh sebab itu, pemerintah dengan berbagai cara melakukan sosialisasi agar masyarakat menyadari bahwa pajak itu untuk kepentingan bersama. 1 Waluyo dan Wirawan B. Ilyas, 2001, Perpajakan Indonesia, Salemba Empat. Jakarta, h. 2.

Upload: truongduong

Post on 07-Apr-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pajak dipungut dari Warga Negara Indonesia dan menjadi salah satu kewajiban yang dapat dipaksakan penagihannya. Dengan demikian pemungutan

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pembangunan Nasional adalah kegiatan yang berlangsung terus

menerus dan berkesinambungan yang bertujuan untuk meningkatkan

kesejahteraan rakyat baik materil maupun spiritual.1 Untuk merealisasikan

tujuan tersebut perlu banyak memperhatikan masalah pembiayaan

pembangunan. Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu

bangsa yaitu dengan menggali sumber dana yang berasal dari dalam negeri

berupa pajak.

Pajak yang dipungut oleh pemerintah digunakan untuk menjaga

kelangsungan hidup negara dan sumber pembiayaan belanja-belanja yang

dikeluarkan oleh pemerintah guna menjalankan roda pemerintahan. Sektor

pajak merupakan sumber penerimaan negara, penerimaan negara dari sektor

perpajakan memberikan sumbangan dalam menurunkun volume dan rasio

deficit anggaran. Maka peranan pajak sebagai salah satu sumber Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sangat penting dan strategis. Oleh

sebab itu, pemerintah dengan berbagai cara melakukan sosialisasi agar

masyarakat menyadari bahwa pajak itu untuk kepentingan bersama.

1 Waluyo dan Wirawan B. Ilyas, 2001, Perpajakan Indonesia, Salemba Empat. Jakarta, h.

2.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pajak dipungut dari Warga Negara Indonesia dan menjadi salah satu kewajiban yang dapat dipaksakan penagihannya. Dengan demikian pemungutan

2

Pajak dipungut dari Warga Negara Indonesia dan menjadi salah satu

kewajiban yang dapat dipaksakan penagihannya. Dengan demikian

pemungutan pajak berdasarkan undang–undang mengandung pengertian

bahwa terhadap mereka yang ternyata mengabaikan atau melanggar

ketentuan pembayaran pajak akan dikenakan sanksi penagihan secara paksa

dalam bentuk penyitaan, penyegelan ataupun penahanan.2

Tak bisa dipungkiri bahwa sulitnya negara melakukan pemungutan

pajak karena banyaknya wajib pajak yang tidak patuh dalam membayar

pajak merupakan suatu tantangan tersendiri. Hal ini mendorong pemerintah

menciptakan suatu mekanisme yang dapat memberikan daya pemaksa bagi

para wajib pajak yang tidak taat hukum. Salah satu mekanisme tersebut

adalah gijzeling atau lembagapaksa badan. Keberadaan lembaga ini masih

kontroversial. Beberapa kalangan beranggapan bahwa pemberlakuan

lembaga paksa badan merupakan hal yang berlebihan. Di lain pihak, muncul

pula pendapat bahwa lembaga ini diperlukan untuk memberikan efek jera

yang potensial dalam menghadapi wajib pajak yang nakal.3

Dalam meraih target pendapatan pajak, ketetapan pajak yang

diterbitkan oleh pejabat pajak yang berwenang tidak selalu dapat diterima

oleh Wajib Pajak yang bersangkutan, tentu ada perbedaan pendapat antara

Wajib Pajak dan Fiskus yang disebabkan karena adanya perbedaan dalam

menafsirkan peraturan atau perundang-undangan perpajakan. Kemudian,

2 Saadudin Ibrahim dan Pranoto K, 1984, Pajak Pertambahan Nilai, Jaya Prasada,

Jakarta, h. 3.

3 Ibid.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pajak dipungut dari Warga Negara Indonesia dan menjadi salah satu kewajiban yang dapat dipaksakan penagihannya. Dengan demikian pemungutan

3

terkait dengan mekanisme perpajakan yang tentunya juga melibatkan Wajib

Pajak dan aparat perpajakan, dalam mekanisme ini dapat juga melibatkan

orientasi yang berbeda. Aparat perpajakan perpajakan di satu sisi tentunya

berkepentingan untuk mengamankan pendapatan negara dari bidang

perpajakan, sedangkan bagi Wajib Pajak disisi lain berkepentingan untuk

memenuhi kewajiban perpajakan dengan tetap menjalankan bisnisnya.

Perbedaan orientasi ini tentunya berpotensi untuk menimbulkan

sengketa, terhadap sengketa tersebut tentunya memerlukan penyelesaian

yang memadai, baik secara administratif maupun secara yuridis. Dalam hal

penyelesaian secara administratif menemui jalan buntu, maka opsi

penyelesaian yuridis melalui upaya banding di peradilan pajak. Perbedaan

pendapat tersebut yang dapat menyebabkan terjadinya sengketa pajak.

Ketentuan yang tercantum dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor

28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6

Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740, selanjutnya disebut UU

KUP) menjamin hak setiap Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan

sampai dengan tingkat banding atas ketetapan pajak yang dikenakan

terhadapnya, hal ini dikarenakan pada prosesnya peradilan bebas dari setiap

pembatasan-pembatasan atau hasutan-hasutan secara langsung ataupun tidak

langsung. Terlebih saat ini masih ada peluang untuk mengajukan peninjauan

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pajak dipungut dari Warga Negara Indonesia dan menjadi salah satu kewajiban yang dapat dipaksakan penagihannya. Dengan demikian pemungutan

4

kembali atas putusan banding ke Mahkamah Agung, yang tidak hanya

berlaku untuk Wajib Pajak tetapi juga untuk pejabat pajak yang berwenang.

Definisi sengketa pajak sebagaimana dijelaskan dalam ketentuan

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 27, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4189, selanjutnya disebut UU

Pengadilan Pajak) Pasal 1 angka 5 menjelaskan bahwa,

“Sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan

antara Wajib Pajak atau penanggung Pajak dengan pejabat yang

berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat

diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan

peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk Gugatan atas

pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak

dengan Surat Paksa.”

Saat ini, penyelesaian permasalahan sengketa di bidang perpajakan

telah memiliki sarana dengan adanya Pengadilan Pajak. Sebelum Pengadilan

Pajak berdiri, media yang digunakan untuk menyelesaikan masalah sengketa

pajak adalah Majelis Pertimbangan Pajak yang kemudian berkembang

menjadi Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (selanjutnya di sebut BPSP).

Penyelesaian sengketa pajak berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 tahun

1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3684, selanjutnya disebut UU BPSP) banyak

mengandung kelemahan, dimana dalam pelaksanaannya masih terdapat

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pajak dipungut dari Warga Negara Indonesia dan menjadi salah satu kewajiban yang dapat dipaksakan penagihannya. Dengan demikian pemungutan

5

ketidakpastian hukum yang pada akhirnya dapat menimbulkan

ketidakadilan.

Dengan disahkannya UU Pengadilan Pajak sebagai pengadilan yang

khusus menangani sengketa di bidang pajak dan merupakan penyempurnaan

UU BPSP, maka terjadi beberapa perubahan yang cukup signifikan dalam

penyelesaian sengketa pajak antara Wajib Pajak dengan Fiskus. Salah satu

alasan mengapa UU BPSP diubah antaralain adalah meminimalisasi ketidak

pastian hukum yang dapat menimbulkan ketidak-adilan.4

Menurut Pasal 12 ayat (1) UU KUP, setiap Wajib Pajak wajib

membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada

adanya surat ketetapan pajak. Yang dimaksud Surat Ketetapan Pajak

berdasarkan Pasal 1 angka 15 UU KUP adalah surat ketetapan yang meliputi

Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar

Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih

Bayar.

Kadangkala terjadi selisih perhitungan pajak yang terutang menurut

wajib pajak dan pihak kantor pelayanan pajak. Namun, kalau wajib pajak

yakin pembukuan sudah benar dan penerapan pajaknya juga sudah benar,

Surat Ketetapan Pajak (SKP) bukanlah akhir dari segalanya. Masih ada jalan

untuk mencari kebenaran dan keadilan. Pertama, menempuh jalur keberatan.

4 Gunawan Pribadi, 2014, UU Pengadilan Pajak sebagai Penyempurna UU BPSP,

tersedia dalam URL: http://www.klikpajak.com, diakses tanggal 25 Desember 2015.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pajak dipungut dari Warga Negara Indonesia dan menjadi salah satu kewajiban yang dapat dipaksakan penagihannya. Dengan demikian pemungutan

6

Keberatan merupakan hak bagi wajib pajak yang dijamin oleh undang-

undang perpajakan, dan itu merupakan pilihan.5 Hak keberatan juga

diberikan kepada wajib pajak terkait pemotongan atau pemungutan pajak

oleh pihak ketiga. Pengajuan keberatan harus memenuhi syarat formal dan

material agar dapat diterima atau dikabulkan.6 Syarat formal menyangkut

aspek formalitas pengajuan dan banding sesuai keberatan UU KUP,

sedangkan syarat material sengketa, yaitu penetapan SKP atau penerapan

ketentuan pajak yang tidak disetujui oleh wajib pajak.

Syarat formal akan terlebih dahulu disetujui dan sangat menentukan

hasil akhir. Apabila syarat formal tidak terpenuhi oleh wajib pajak, maka

permohonan keberatan atau banding pasti ditolak dan hak wajib pajak

terbuang sia-sia.7 Bila formalitas keberatan terpenuhi, baru materi sengketa

ditelaah. Selanjutnya keberatan akan dikabulkan atau ditolak tergantung

bukti dan pembuktian kedua belah pihak. Perlu diperhatikan pula, meskipun

bukan merupakan syarat utama, pemenuhan aspek formalitas oleh wajib

pajak saat pemeriksaan pajak, bahkan pemenuhan kewajiban Surat

Pemberitahuan (SPT) juga mempengaruhi hasil putusan keberatan.8

Terhadap adanya keberatan wajib pajak dapat mengajukan keberatan

hanya kepada Direktur Jenderal Pajak. Keberatan diajukan dalam jangka

5 Fidel, 2014, Tax Law: Proses Beracara di Pengadilan Pajak dan Peradilan Umum, PT

Carofin Media, Jakarta, h. 28.

6 Ibid.

7 Ibid.

8 Ibid.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pajak dipungut dari Warga Negara Indonesia dan menjadi salah satu kewajiban yang dapat dipaksakan penagihannya. Dengan demikian pemungutan

7

waktu 3 bulan sejak tanggal dikirim surat ketetapan pajak atau sejak tanggal

pemotongan atau pemungutan pajak secara tertulis. Keberatan diajukan

dalam Bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang

terutang, jumlah pajak yang dipotong atau dipungut, atau jumlah rugi

menurut penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan yang menjadi

dasar penghitungan. Kemudian berdasarkan Pasal 26 ayat (1) UU KUP,

Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 bulan sejak

tanggal surat keberatan diterima sudah harus memberi keputusan atas

keberatan yang diajukan. Jika jangka waktu telah terlampaui dan Direktur

Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan

tersebut dianggap dikabulkan. Tata cara pengajuan keberatan dan

penyelesaian diatur lebih lanjut melalui Permenkeu No. 9/PMK.03/2013

tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan dan jika wajib

pajak tidak puas dengan keputusan Dirjen Pajak atas keberatan yang

diajukan, wajib pajak dapat mengajukan upaya hukum berupa banding

maupun gugatan kepada pengadilan pajak sesuai dengan ketentuan Pasal 27

ayat (1) UU KUP.

Pada dasarnya pengadilan pajak merupakan pengadilan tingkat

pertama dan terakhir dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak

sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 33 ayat (1) UU

Pengadilan Pajak. Oleh karena itu, setelah Pengadilan Pajak menjatuhkan

putusan terhadap upaya hukum banding maupun gugatan yang diajukan oleh

wajib pajak, namun wajib pajak masih tetap tidak puas dengan putusan

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pajak dipungut dari Warga Negara Indonesia dan menjadi salah satu kewajiban yang dapat dipaksakan penagihannya. Dengan demikian pemungutan

8

tersebut maka wajib pajak hanya dapat mengajukan upaya hukum luar biasa

berupa Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam

ketentuan Pasal 89 sampai dengan Pasal 93 UU Pengadilan Pajak.

Penyelesaian sengketa pajak seharusnya mampu memberikan

jaminan kepastian hukum dan rasa keadilan bagi pihak yang bersengketa

serta dapat dilakukan melalui prosedur dan proses yang cepat, transparan,

biaya ringan dan sederhana. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 5076, selanjutnya disebut UU Kekuasaan Kehakiman) juga

mengamanatkan bahwa peradilan seharusnya dilaksanakan dengan

sederhana, cepat dan biaya ringan. Butuh waktu yang cukup lama untuk

menyelesaikan satu kasus pajak. Ada yang bisa selesai sampai proses

keberatan saja, atau berlanjut ke proses banding, bahkan sampai peninjauan

kembali. Masing-masing proses juga memakan waktu yang cukup lama,

paling cepat selama satu tahun, dan jika dihitung sampai ke proses banding,

bisa membutuhkan waktu tiga tahun lamanya.9 Berikut adalah tabel jumlah

perkara yang masuk pada Pengadilan Pajak sejak didirikan pada tahun

2002:10

9 Direktorat Jenderal Pajak RI, 2013, Perlu Terobosan dalam Penyelesaian Sengketa

Pajak, tersedia dalam URL: http://www.pajak.go.id, diakses tanggal 25 Desember 2015.

10 Direktorat Jenderal Pajak RI, 2011, Jumlah Perkara di Pengadilan Pajak Meningkat,

tersedia dalam URL: http://www.pajak.go.id, diakses tanggal 25 Desember 2015.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pajak dipungut dari Warga Negara Indonesia dan menjadi salah satu kewajiban yang dapat dipaksakan penagihannya. Dengan demikian pemungutan

9

Gambar 1: Tabel jumlah perkara yang masuk pada Pengadilan Pajak

Jakarta sejak didirikan pada tahun 2002.

Tahun Perkara Yang Masuk Perkara Yang Diselesaikan

2002 2.120 1.288

2009 14.473 4.650

2013 16.000 6.000

2014 10.866 8.845

Menurut Kasubdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi (PKE) Budi

Christiadi, jika kasus pajak bisa diselesaikan tanpa proses hukum berbelit

dan panjang tentu akan mempermudah Ditjen Pajak dalam menyelesaikan

persoalan. Selain itu juga dapat memberikan pelayanan ke wajib pajak

dalam proses penyelesaian sengketa dengan lebih cepat.11

Proses hukum panjang yang berujung pada adanya penumpukan

perkara di pengadilan pajak menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas

upaya hukum keberatan itu sendiri dalam penyelesaian sengketa di bidang

pajak. Sebagai upaya hukum yang pertama kali ditempuh oleh wajib pajak

dalam menyelesaikan sengketa pajaknya, sebaimana dimaksud dalam Pasal

25 ayat (1) UU KUP, upaya hukum keberatan seharusnya dapat

dimanfaatkan oleh wajib pajak untuk menyelesaikan sengketa pajak tanpa

11 Direktorat Jenderal Pajak RI, 2013, Perlu Terobosan dalam Penyelesaian Sengketa

Pajak, tersedia dalam URL: http://www.pajak.go.id, diakses tanggal 25 Desember 2015.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pajak dipungut dari Warga Negara Indonesia dan menjadi salah satu kewajiban yang dapat dipaksakan penagihannya. Dengan demikian pemungutan

10

harus dilanjutkan ke lembaga Pengadilan Pajak. Upaya hukum keberatan

yang efektif juga seharusnya dapat memberikan jaminan kepastian hukum

kepada setiap wajib pajak. Tidak efektifnya upaya hukum keberatan dalam

penyelesaian sengketa pajak juga dipengaruhi oleh faktor-faktor

penghambat, baik berupa ketentuan peraturan perundang-undangannya,

aparat penegak hukumnya, maupun budaya dari masyarakat itu sendiri.

Berdasarkan uraian tersebut maka penulis dalam penulisan penelitian

ini mengangkat judul “Upaya Hukum Keberatan dalam Penyelesaian

Sengketa di Bidang Perpajakan”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah diatas, maka dapat

dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana efektivitas pelaksanaan upaya hukum keberatan dalam

penyelesaian sengketa di bidang perpajakan pada Direktorat Jenderal

Pajak Kantor Wilayah Bali?

2. Hambatan-hambatan apa yang timbul serta bagaimana solusi untuk

menyelesaikan hambatan-hambatan dalam pelaksanaan upaya hukum

keberatan dalam penyelesaian sengketa di bidang perpajakan pada

Direktorat Jenderal Pajak Kantor Wilayah Bali?

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pajak dipungut dari Warga Negara Indonesia dan menjadi salah satu kewajiban yang dapat dipaksakan penagihannya. Dengan demikian pemungutan

11

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Dalam Usulan Penelitian ini diperlukan ruang lingkup permasalahan

untuk membatasi pembahasan guna menghindari pembahasan yang

menyimpang dan keluar dari topik yang dibahas. Adapun ruang lingkup

masalah tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:

a. Terkait rumusan masalah yang pertama dibahas mengenai efektivitas

pelaksanaan upaya hukum keberatan dalam penyelesaian sengketa di

bidang perpajakan pada Direktorat Jenderal Pajak Kantor Wilayah Bali.

b. Terkait rumusan masalah yang kedua dibahas mengenai hambatan-

hambatan yang timbul serta solusi untuk menyelesaikan hambatan-

hambatan dalam pelaksanaan upaya hukum keberatan dalam

penyelesaian sengketa di bidang perpajakan pada Direktorat Jenderal

Pajak Kantor Wilayah Bali.

1.4 Orisinalitas Penelitian

Penelitian Hukum dengan judul “Upaya Hukum Keberatan dalam

Penyelesaian Sengketa di Bidang Perpajakan” merupakan hasil karya asli

penulis. Sejauh observasi yang penulis lakukan baik di ruang koleksi Skripsi

Fakultas Hukum Universitas Udayana maupun di internet, tidak terdapat

penelitian yang sama yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar

kesarjanaan baik di Fakultas Hukum Universitas Udayana dan juga di suatu

perguruan tinggi manapun kecuali yang secara tertulis diacu dalam

penulisan penelitian ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pajak dipungut dari Warga Negara Indonesia dan menjadi salah satu kewajiban yang dapat dipaksakan penagihannya. Dengan demikian pemungutan

12

Untuk penelitian yang serupa dengan penelitian yang diajukan,

ditulis oleh Putu Riyani Kartika Sari, 2014, Universitas Udayana, Denpasar,

dengan judul skripsi “Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di

Luar Pengadilan bagi Sengketa Hak Kekayaan Intelektual di Propinsi Bali”.

Skripsi ini membahas mengenai dua permasalahan yaitu:

1. Mengapa mediasi sebagai salah satu Alternatif Penyelesaian Sengketa di

luar pengadilan penting untuk diterapkan dalam menyelesaikan sengketa

Hak Kekayaan Intelektual?

2. Bagaimanakah presisi mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa

di luar pengadilan dalam menyelesaikan sengketa Hak Kekayaan

Intelektual di Propinsi Bali dan faktor apa saja yang mempengaruhi

pelaksanaan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa Hak

Kekayaan Intelektual?

Selain itu terdapat juga penelitian yang ditulis oleh Ayu Komang

Sari Merta Dewi, 2014, Universitas Udayana, Denpasar, dengan judul

skripsi “Efektivitas Penyelesaian Sengketa Konsumen melalui Mediasi pada

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Denpasar”. Skripsi

ini membahas mengenai dua permasalahan yaitu, efektivitas penyelesaian

sengketa konsumen melalui mediasi pada Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen Kota Denpasar dan akibat hukum dari penyelesaian sengketa

konsumen melalui mediasi pada Badan Penyelesaian Konsumen Kota

Denpasar.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pajak dipungut dari Warga Negara Indonesia dan menjadi salah satu kewajiban yang dapat dipaksakan penagihannya. Dengan demikian pemungutan

13

Dari kedua judul penelitian sebagaimana yang telah dijabarkan diatas

tidak ditemukan kesamaan baik dari segi judul, rumusan masalah maupun

lokasi penelitian.

1.5 Tujuan Penelitian

1.5.1 Tujuan Umum

Adapun tujuan umum dari penulisan ini adalah untuk

mengetahui penerapan upaya hukum keberatan dalam penyelesaian

sengketa di bidang perpajakan.

1.5.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus yang ingin dicapai dari usulan penelitian ini

meliputi:

1. Untuk mengetahui efektivitas pelaksanaan upaya hukum keberatan

dalam penyelesaian sengketa di bidang perpajakan pada Direktorat

Jenderal Pajak Kantor Wilayah Bali.

2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang timbul serta solusi

untuk menyelesaikan hambatan-hambatan dalam pelaksanaan

upaya hukum keberatan dalam penyelesaian sengketa di bidang

perpajakan pada Direktorat Jenderal Pajak Kantor Wilayah Bali.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pajak dipungut dari Warga Negara Indonesia dan menjadi salah satu kewajiban yang dapat dipaksakan penagihannya. Dengan demikian pemungutan

14

1.6 Manfaat Penelitian

1.6.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan

sumbangan bagi ilmu pengetahuan dalam pengembangan hukum

formil khususnya dalam hal pemahaman mengenai penerapan upaya

hukum keberatan dalam penyelesaian sengketa di bidang perpajakan.

1.6.2 Manfaat Praktis

Manfaat Praktis yang diharapkan dari penelitian ini yakni agar

penelitian ini dapat memberikan informasi terkait kondisi yang nyata

di masyarakat dalam hal penerapan upaya hukum keberatan dalam

penyelesaian sengketa di bidang perpajakan serta memberikan

kontribusi dan solusi bagi masyarakat yang sedang mengalami

sengketa perpajakan.

1.7 Landasan Teoritis

Adapun landasan teoritis yang berkaitan dan digunakan untuk

membahas rumusan masalah dalam penelitian mengenai Upaya Hukum

Keberatan dalam Penyelesaian Sengketa di Bidang Perpajakan adalah teori

yang berkaitan dengan asas-asas hukum acara peradilan pajak dan sengketa

pajak, upaya hukum dalam penyelesaian sengketa perpajakan, teori tentang

penegakan hukum serta teori tentang efektivitas hukum.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pajak dipungut dari Warga Negara Indonesia dan menjadi salah satu kewajiban yang dapat dipaksakan penagihannya. Dengan demikian pemungutan

15

1.7.1 Teori tentang Asas-Asas Hukum Acara Peradilan Pajak

Hukum acara peradilan pajak tidak berbeda dengan hukum

acara lainnya yang diberlakukan, karena memiliki asas-asas hukum

sebagai pedoman untuk menciptakan norma hukum atau kaidah

hukum.12 Asas-asas hukum merupakan suatu sarana yang

menyebabkan hukum itu hidup, tumbuh dan berkembang sebagaimana

perkembangan hukum pajak akhir-akhir ini. Satjipto Rahardjo

mengatakan13 apabila kita sekarang sampai pada pembicaraan

mengenai asas hukum, maka pada saat itu kita membicarakan unsur

yang paling penting dan pokok dari peraturan hukum. Hal ini

dikarenakan asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi

lahirnya suatu peraturan hukum. Dengan adanya asas hukum, hukum

itu bukan sekedar kumpulan peraturan-peraturan, maka hal itu

disebabkan oleh karena asas itu mengandung nilai-nilai dan tuntutan

etis.14

Berpatokan pada undang-undang yang berkaitan dengan

perpajakan yang berlaku maka asas-asas hukum yang diberlakukan

atau diterapkan dalam hukum acara peradilan pajak, antara lain:

a. Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas;

12 Muhammad Djafar Saidi, 2013, Hukum Acara Peradilan Pajak, PT Raja Grafindo

Persada, Jakarta, h. 7.

13 Sudikno Mertokusumo, 1991, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberty,

Yogyakarta, h. 45.

14 Ibid.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pajak dipungut dari Warga Negara Indonesia dan menjadi salah satu kewajiban yang dapat dipaksakan penagihannya. Dengan demikian pemungutan

16

b. Pengadilan sebagai instrumen terakhir untuk mendapatkan

perlindungan hukum;

c. Objektivitas;

d. Peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan;

e. Kesatuan beracara dalam sengketa atau perkara yang sejenis;

f. Praduga rechmatig;

g. Pencegahan untuk tidak menunda penagihan pajak;

h. Ne bis in idem;

i. Sidang terbuka untuk umum;

j. Hakim wajib aktif;

k. Kesamaan di hadapan lembaga peradilan;

l. Satu saksi bukan saksi;

m. Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.15

Asas-asas hukum memiliki fungsi yang bersifat universal dan

mengayomi kaidah hukum yang terdapat dalam hukum itu sendiri.

Tidak boleh dianggap bahwa asas-asas hukum acara peradilan pajak

hanya untuk kepentingan hukum pajak, khususnya pada pembentukan

kaidah hukum dalam kerangka penegakan hukum pajak.16 Asas-asas

hukum pajak bersifat sangat fleksibel yang berfungsi sebagai pedoman

untuk menegakkan hukum pajak secara utuh dan menyeluruh dalam

kerangka mengisi kekosongan hukum pajak.

15 Muhammad Djafar Saidi, Op.cit., h. 8.

16 Muhammad Djafar Saidi, Op.cit., h. 11.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pajak dipungut dari Warga Negara Indonesia dan menjadi salah satu kewajiban yang dapat dipaksakan penagihannya. Dengan demikian pemungutan

17

1.7.2 Teori tentang Upaya Hukum

Dalam UU Pengadilan Pajak dikenal empat upaya hukum

dalam menyelesaikan sengketa yaitu keberatan, banding, gugatan dan

peninjauan kembali. Yang dimaksud dengan keberatan dalam

pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan

kemungkinan terjadi dikarenakan wajib pajak merasa kurang atau tidak

puas atas suatu ketetapan pajak yang dikenakan kepadanya, maupun

atas pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga. Maka dalam hal

ini wajib pajak dapat mengajukan keberatan.

Upaya hukum banding merupakan kelanjutan dari upaya

hukum keberatan. Dalam arti, tidak ada banding sebelum melalui

keberatan karena yang diajukan banding adalah surat keputusan

keberatan sebagai bentuk penyelesaian sengketa pajak di tingkat

Lembaga Keberatan. Hukum acara peradilan pajak tidak hanya

mengenal keberatan dan banding sebagai upaya hukum biasa, tetapi

termasuk pula gugatan untuk melawan kebijakan fiskus yang terkait

dengan penagihan pajak, seperti terbitnya surat tagihan pajak dan

penagihan secara paksa. Gugatan dan banding keduanya merupakan

upaya hukum biasa.17

Pengadilan Pajak dalam menangani masalah gugatan

kompetensinya diperluas sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (2)

UU KUP. Di samping terhadap pelaksanaan penagihan pajak, gugatan

17 Muhammad Djafar Saidi, 2007, Perlindungan Hukum Wajib Pajak dalam

Penyelesaian Sengketa Pajak, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 183.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pajak dipungut dari Warga Negara Indonesia dan menjadi salah satu kewajiban yang dapat dipaksakan penagihannya. Dengan demikian pemungutan

18

dapat diajukan terhadap keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat yang

berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan.18

Bagi pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan Peninjauan

Kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung.

Berdasarkan Pasal 77 ayat (3) UU Pengadilan Pajak, terhadap putusan

Pengadilan Pajak dapat diajukan upaya hukum luar biasa berupa

Peninjauan Kembali oleh pihak-pihak yang bersengketa ke Mahkamah

Agung berdasarkan alasan tertentu yang diatur dalam Pasal 91 UU

Pengadilan Pajak.

1.7.3 Teori tentang Penegakan Hukum

Manusia sebagai makhluk sosial akan selalu berinteraksi

dengan sesama sehingga memerlukan aturan untuk menjaga perilaku

para pihak agar tidak terjadi gesekan antar individu selama berinteraksi

di masyarakat. Dalam rangka menjaga ketentraman dan kedamaian di

masyarakat selama berinteraksi, maka aturan atau norma-norma yang

ada harus ditegakkan. Arti dari penegakan hukum di masyarakat

terletak pada penyerasian hubugan antara nilai yang ada dalam kaidah

atau norma dengan realisasi atau penerapan dalam tindakan sebagai

penjabaran nilai tersebut untuk menciptakan, memelihara, dan

mempertahankan kedamaian dalam pergaulan.19 Dengan demikian

18 Widayatno Sastrohardjono dan TB. Eddy Mangkuprawira, 2002, dalam Makalah

“Prosedur Beracara Dalam Pengajuan Banding dan Gugatan di Pengadilan Pajak”, Jakarta,

hlm.2

19 Soerjono Soekanto, 2012, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,

cet.XI, Rajawali Pers, Jakarta, (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto I), h. 5.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pajak dipungut dari Warga Negara Indonesia dan menjadi salah satu kewajiban yang dapat dipaksakan penagihannya. Dengan demikian pemungutan

19

secara konsepsional penegakan hukum berkisar dalam hal penerapan

kaidah atau norma sebagai pedoman bagi prilaku yang dianggap pantas

aau yang seharusnya yang mana ditujukan untuk memelihara

kedamaian.

Kemudian penegakan hukum sebagai suatu proses pada

hakikatnya merupakan penerapan diskresi yang menyangkut

pembuatan keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah

hukum.20 Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa dalam

rangka penegakan hukum identik dengan penerapan hukum di

masyarakat yang mana amat dipengaruhi berbagai faktor untuk dapat

terselenggaranya penegakan hukum yang baik. Oleh karena itu dalam

hal penegakan hukum di masyarakat sering kali dipengaruhi oleh

beberapa faktor, antara lain:

a. Faktor hukumnya sendiri yakni yang berkaitan dengan undang-

undang;

b. Faktor penegak hukum yakni pihak-pihak yang membentuk atau

menerapkan hukum;

c. Faktor sarana atau fasilitas yakni fasilitas yang mendukung

penegakan hukum;

d. Faktor masyarakat yakni lingkungan dimana hukum tersebut

diterapkan;

20 Soerjono Soekanto I, op.cit., h. 7.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pajak dipungut dari Warga Negara Indonesia dan menjadi salah satu kewajiban yang dapat dipaksakan penagihannya. Dengan demikian pemungutan

20

e. Faktor kebudayaan yakni hasil karya, cipta, dan rasa yang

dirasakan manusia dalam pergaulan hidup.21

1.7.4 Teori tentang Efektivitas Hukum

Efektivitas Hukum artinya bahwa seseorang atau masyarakat

benar-benar berbuat sesuai dengan ketentuan norma-norma hukum

sebagaimana yang harus mereka perbuat dalam norma-norma hukum

tersebut dan bahwa norma hukum tersebut benar-benar diterapkan dan

dipatuhi. Menurut L.J. Van Apeldorn, Efektivitas Hukum berarti

keberhasilan, kemajemukan, atau kemujaraban hukum atau Undang-

Undang untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat secara damai.22

Penerapan hukum di masyarakat dalam berbagai teori ditujukan

sebagai alat untuk mengubah masyarakat serta mendukung

pembagunan. Sebagai sarana pengubah masyarakat terdapat beberapa

kondisi yang diperhatikan agar hukum dapat digunakan sebagai sarana

pengubah masyarakat antara lain:

a. Hukum merupakan aturan umum yang tetap, bukan aturan yang

bersifat ad-hoc;

b. Hukum harus jelas dan diketahui oleh warga masyarakat yang

kepentingannya diatur;

c. Dalam penerapan hukum sebaiknya dihindari penerapan peraturan

yang bersifat retroaktif;

21 Ibid., h. 8.

22Van Apeldoorn, 2005, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 11.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pajak dipungut dari Warga Negara Indonesia dan menjadi salah satu kewajiban yang dapat dipaksakan penagihannya. Dengan demikian pemungutan

21

d. Hukum harus dimengerti oleh umum;

e. Tidak ada konflik peraturan;

f. Pembentukan hukum harus memperhatikan kemampuan warga

masyarakan untuk mematuhi;

g. Perlu dihindarkan terlalu banyaknya perubahan pada hukum karena

masyarakat dapat kehilangan pegangan bagi kegiatannya;

h. Adanya korelasi antara hukum dengan penerapannya.23

Suatu kaidah hukum yang diterapkan di masyarakat agar dapat

berlaku efektif harus memenuhi dua syarat utama yakni:

1. Kaidah hukum tersebut harus dapat diterapkan;

2. Kaidah hukum tersebut harus dapat diterima oleh masyarakat.24

Dalam rangka penerapan atau pemberlakuan hukum yang baik

di masyarakat perlu memperhatikan beberapa faktor yang

mempengaruhi penerapan hukum itu sendiri yakni faktor yuridis,

filosofis dan sosiologis. Secara yuridis, hukum berlaku apabila hukum

tersebut dibentuk melalui proses tertentu oleh Badan atau lembaga

negara yang berwenang. Secara filosofis, hukum yang berlaku di

masyarakat sesuai dengan cita-cita hukum dari masyarakat. Secara

23 Soerjono Soekanto, 2006, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Ed.I-Cet.XVI, RajaGrafindo,

Jakarta, (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto II), h. 148. 24 Munir Fuady, 2013, Teori-Teori Besar dalam Hukum (Grand Theory), Kencana,

Jakarta, h. 117.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pajak dipungut dari Warga Negara Indonesia dan menjadi salah satu kewajiban yang dapat dipaksakan penagihannya. Dengan demikian pemungutan

22

sosiologis, hukum yang berlaku di masyarakat apabila hukum tersebut

dapat diakui, ditaati oleh masyarakat meskipun diterima atau tidak.25

Berbicara mengenai hukum yang berlaku di masyarakat

(efektivitas hukum) menurut Laurence M. Freidman dalam bukunya

yang berjudul The Legal System A Social Science Perspective

menyebutkan bahwa suatu sistem hukum tersusun atas tiga perangkat

yakni struktur hukum (lembaga hukum); substansi hukum (peraturan

perundang-undangan); dan kultur atau budaya hukum.26 Dengan

demikian untuk melihat bahwa hukum tersebut berlaku secara efektif

atau tidak di masyarakat maka dapat tolak ukurnya dapat kita lihat dari

penerapan ketiga unsur dari sistem hukum tersebut sesuai dengan

fungsinya masing-masing disesuaikan dengan kebutuhan di

masyarakat.

1.8 Metode Penelitian

1.8.1 Jenis Penelitian

Penulisan Skripsi ini menggunakan jenis penelitian hukum

empiris. Artinya, penelitian hukum tersebut dalam penulisannya

mengkonsepkan hukum sebagai suatu gejala empiris yang dapat

diamati dalam kehidupan nyata.

25 Soerjono Soekanto II, Op.cit., h. 171. 26 Saifullah, 2010, Refleksi Sosiologi Hukum, Refika Aditama, Bandung, h.26.

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pajak dipungut dari Warga Negara Indonesia dan menjadi salah satu kewajiban yang dapat dipaksakan penagihannya. Dengan demikian pemungutan

23

Dalam konteks penelitian terhadap efektivitas hukum dibahas

mengenai bagaimana hukum tersebut diterapkan dan beroperasi dalam

masyarakakat.27 Dalam konteks efektivitas hukum diteliti bahwa

hukum tidak semata-mata ditimbulkan dan didasarkan dari literatur-

literatur hukum, namun sebagai suatu yang ditimbulkan dari keadaan

masyarakat atau proses penerapan hukum di dalam masyarakat

berdasarkan suatu gejala yang akan menimbulkan berbagai efek dalam

kehidupan sosial dengan merumuskan kesenjangan antara das sein dan

das solen, yaitu kesenjangan antara teori dengan realita atau fakta

hukum. Senada dengan hal tersebut, Soetandyo Wignjosoebroto

mengemukakan bahwa penelitian hukum non doctrinal merupakan

penelitian yang berupa studi empiris untuk menemukan teori mengenai

proses terjadinya dan mengenai proses bekerjanya hukum dalam

masyarakat.28

1.8.2 Jenis Pendekatan

Dalam penelitian ini digunakan beberapa jenis pendekatan

yakni:

a. Pendekatan Perundang-undangan

b. Pendekatan Fakta

c. Pendekatan Analisis Konsep Hukum

d. Pendekatan Kasus

27 Zainudin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 31.

28 Bambang Sunggono, 2012, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo, Jakarta,

h.42.

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pajak dipungut dari Warga Negara Indonesia dan menjadi salah satu kewajiban yang dapat dipaksakan penagihannya. Dengan demikian pemungutan

24

Pendekatan Perundang-undangan adalah pendekatan dengan

berdasarkan kepada perundang-undangan, norma/kaidah hukum dalam

hukum positif di Indonesia yang berkaitan dengan penerapan upaya

hukum keberatan dalam penyelesaian sengketa di bidang perpajakan.

Pendekatan Fakta adalah pendekatan dengan mendasarkan pada

fakta-fakta yang didapat dari data-data yang ada di lapangan terutama

berkaitan dengan pelaksanaan upaya hukum keberatan dalam

penyelesaian sengketa di bidang perpajakan pada Direktorat Jenderal

Pajak Kantor Wilayah Bali.

Kemudian pendekatan analisis konsep hukum dimaksudkan

untuk memahami konsep-konsep yang dapat dijadikan acuan untuk

menjawab rumusan masalah terkait hambatan-hambatan yang timbul

dalam pelaksanaan upaya hukum keberatan dalam penyelesaian

sengketa di bidang perpajakan pada Direktorat Jenderal Pajak Kantor

Wilayah Bali.

1.8.3 Sifat Penelitian

Dalam penelitian ini bersifat eksploratif dimana dalam

penelitian ini mengeksplorasi mengenai penerapan upaya hukum

keberatan dalam penyelesaian sengketa di bidang perpajakan di

masyarakat, pelaksanaan upaya hukum keberatan dalam penyelesaian

sengketa di bidang perpajakan serta hambatan-hambatan yang timbul

dalam pelaksanaan upaya hukum keberatan dalam penyelesaian

Page 25: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pajak dipungut dari Warga Negara Indonesia dan menjadi salah satu kewajiban yang dapat dipaksakan penagihannya. Dengan demikian pemungutan

25

sengketa di bidang perpajakan pada Direktorat Jenderal Pajak Kantor

Wilayah Bali.

1.8.4 Sumber Data

Sumber data dalam penelitian hukum empiris didapatkan

melalui data primer dan data sekunder. Data primer atau dikenal juga

dengan nama data dasar adalah data yang diperoleh secara langsung

dari masyarakat.29 Adapun data Primer berdasarkan atas data diperoleh

di masyarakat yang berkaitan dengan rumusan masalah yang dibahas

dengan kondisi yang ada di masyarakat. Data ini diperoleh dengan

mengadakan penelitian secara langsung di lapangan yang akan

dilakukan di Direktorat Jenderal Pajak Kantor Wilayah Bali baik

berupa hasil wawancara dengan pihak-pihak yang terlibat langsung.

Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari

bahan-bahan pustaka.30 Dalam penelitian ini data sekunder bersumber

dari bahan-bahan pustaka dalam bentuk bahan-bahan hukum yang

memiliki kekuatan mengikat. Adapun beberapa bahan hukum yang

dipergunakan dalam penelitian ini sebagai data sekunder dibedakan

menjadi tiga, yakni:

1. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang memiliki kekuatan

hukum mengikat, seperti Peraturan Perundang-undangan. Adapun

29Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2013, Penelitian Hukum Normatif, Cet.XV, Raja

Grafindo, Jakarta, (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto III) h. 12.

30 Soerjono Soekanto III, loc.cit.

Page 26: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pajak dipungut dari Warga Negara Indonesia dan menjadi salah satu kewajiban yang dapat dipaksakan penagihannya. Dengan demikian pemungutan

26

peraturan perundang-undangan yang digunakan dalam penelitian

ini antara lain:

- Undang-Undang Nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan

Pajak;

- Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan

Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang

Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;

- Permenkeu No. 9/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pengajuan

dan Penyelesaian Keberatan.

2. Bahan Hukum Sekunder, yakni bahan hukum yang menjelaskan

mengenai bahan hukum primer seperti hasil penelitian hukum;

hasil karya ilmiah, literatur-literatur yang ditulis para ahli yang

relevan dengan rumusan masalah yang dibahas dalam penelitian

ini.

3. Bahan Hukum Tertier, yakni bahan hukum yang memberikan

petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan

sekunder seperti kamus, ensiklopedia, kamus hukum, bahan dari

internet.

1.8.5 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

antara lain menggunakan Teknik Wawancara (interview) dan Teknik

Studi Dokumen. Adapun Teknik Wawancara dilakukan untuk

mengumpulkan data primer yang akan dilakukan dengan melakukan

Page 27: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pajak dipungut dari Warga Negara Indonesia dan menjadi salah satu kewajiban yang dapat dipaksakan penagihannya. Dengan demikian pemungutan

27

wawancara terhadap beberapa staf di Direktorat Jenderal Pajak Kantor

Wilayah Bali. Sedangkan teknik studi dokumen yang dilakukan untuk

mengumpulkan data sekunder sebagaimana yang telah dijabarkan

diatas.

1.8.6 Pengolahan dan Analisis Data

Dalam penelitian ini pengolahan dan analisis data dilakukan

secara kualitatif. Dalam pengolahan dan analisis data secara kualitatif

yaitu dengan menghubungkan antara data yang diperoleh di lapangan

dengan permasalahan terkait. Setelah dilakukan analisis secara

kualitatif maka data yang diperoleh akan disajikan dengan secara

deskriptif kualitatif dan sistematis. Hal tersebut dimaksudkan dengan

menganalisis data yang didapat dikaitkan dengan teori-teori dalam

landasan teoritis kemudian disajikan secara mendetail dan tersusun

untuk merampungkan tulisan ini.