bab i pendahuluan a. -...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pars plana vitrectomy (PPV) adalah prosedur vitreoretina yang umum
digunakan dalam penanganan beberapa kondisi termasuk sindrom traksi vitreo-
macular, macular hole, epiretinal-membran, proliferative diabetic retinopathy
(PDR) fase lanjut/advance, dan ablasi retina (retinal detachement/RD). Selama
melakukan PPV, pengambilan menyeluruh vitreous dan membran hyaloid
posterior adalah untuk bisa mencapai adhesi vitreoretinal. Pada proses PPV,
pemisahan vitreous mungkin sulit pada beberapa pasien, terutama penderita
diabetes dan pasien muda. Pasca-operasi adanya sisa hyaloid dapat memberikan
pemicu untuk proliferasi fibrovaskular pada retinopati diabetes proliferatif atau
mungkin memberikan traksi, yang dapat menyebabkan atau memperburuk kondisi
seperti macular hole atau sindrom traksi vitreomaular (Peyman et.al., 2000).
Pembersihan dengan teliti vitreus dan membran hyaloid membutuhkan kesabaran
dan pengamatan yang cermat, tetapi jika batas vitreous bisa lebih nyata maka
proses ini bisa lebih efisien dan efektif (Couch & Bakri, 2008).
Meskipun ada berbagai kemajuan dalam teknik vitrectomi dan peralatan,
transparansi vitreous masih dapat menimbulkan beberapa kesulitan selama
vitrektomi. Peyman dkk, pertama kali dijelaskan penggunaan intravitreal
triamsinolone acetonide (TA) sebagai bantuan untuk memvisualisasikan vitreous
dan hyaloid posterior selama pars plana vitrectomy (PPV). Penggunaan
intraoperatif dari TA dilaporkan untuk meningkatkan visibilitas hyaloid dan
epiretina-membran (ERM), yang memungkinkan pengangkatan ERM lebih
lengkap dan lebih aman dalam pengelolaan PVR. Enaida, et.al, mempelajari
keuntungan dari TA-dibantu PPV untuk berbagai penyakit retina dan melaporkan
bahwa hal itu dapat mengurangi kejadian re-operation karena fibrosis preretinal.
Triamsinolone acetonide (TA) adalah kortikosteroid sintetik yang memiliki
banyak kegunaan anti-inflamasi, anti-permeabilitas dan sifat anti-fibrosis,
penggunaannya pada berbagai penyakit inflamasi dan pembuluh darah mata, dapat
diberikan dalam berbagai cara, termasuk oral, parenteral, topikal, inhalasi dan
intraokular. Sementara TA telah lama digunakan dalam pengobatan penyakit,
baru-baru ini dianjurkan sebagai adjuvant dalam operasi mata (Shukla, et al.,
2007; Sonoda, et al., 2003; Takahashi, et.al, 2008).
Dari pengalaman lebih dari 200 kasus, terjadinya TA deposisi
supramacular cukup jarang, karena supraretinal TA biasanya dapat dengan mudah
dihapus oleh jarum silicone-tipped intraoperatif. Namun, sulit untuk menghapus
TA yang telah terjadi subretinal deposit. Dalam hal ini, kerusakan yang
disebabkan deposit TA subretinal tidak signifikan baik secara morfologis maupun
fungsional. Tentu saja, temuan ini tidak berarti bahwa TA tidak berbahaya untuk
setiap sel retina, juga adanya resiko komplikasi jangka panjang pengguanan TA
intravitreal (Couch & Bakri, 2008).
Penggunaan kortikosteroid dikaitkan dengan risiko komplikasi jangka
panjang termasuk hipertensi okular atau tekanan intraokular tinggi (IOP) dan
kekeruhan lensa (katarak) (Sonmez and Oztruk, 2012). Komplikasi glaukoma
sekunder, sering kali hal itu terjadi sementara, dapat diatasi dengan pemberian
obat anti glaukoma dan penghentian steroid. Namun, beberapa pasien dapat
berkembang menjadi glaukoma yang sampai memerlukan intervensi bedah.
Kemungkinan berkembangnya glaukoma tergantung pada beberapa faktor, yaitu
status okular pra bedah, riwayat keluarga glaukoma, durasi dan dosis steroid
(Mowatt, 2008; Smithen, et al., 2004).
Hubungan antara penggunaan steroid dan katarak pertama kali dicatat oleh
Black , et.al. pada tahun 1960. Dalam sebuah penelitian terhadap 44 penderita
rheumatoid arthritis, diamati bahwa 39 persen dari orang-orang yang mendapat
terapi sistemik steroid terjadi katarak sub-kapsular posterior (PSC). Katarak yang
diinduksi steroid bersifat bilateral (Sonmez & Oztruk, 2012).
Gillies , et.al. telah menganalisis pembentukan katarak di mata setelah
pemberian triamsinolon intravitreal pada kondisi neovaskularisasi koroid. Mereka
menemukan bahwa sclerosis nuklear meningkat 9,1%, katarak kortikal pada
12,1%, dan posterior katarak subkapsular di 24,2% dari 33 mata pada dua tahun
setelah terapi. Perkembangan katarak dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk
usia, jenis kelamin, diabetes, paparan sinar ultraviolet, merokok, diet rendah anti
oksidan, dan penggunaan steroid. Gillies, et.al, menyatakan penyebab katarak
steroid-induced tampaknya multifaktorial. Perubahan dalam metabolisme lensa,
pompa kation seluler, pembentukan Schiff dasar antara rantai C-20 steroid dan
gugus-amino dari lensa, dan stres oksidatif merupakan faktor yang sering
disebutkan sebagai kontribusi terhadap perubahan lenticular pada katarak .
Kehadiran reseptor glukokortikoid tertentu juga dianggap bertanggung jawab
untuk pemicu langsung pembentukan katarak steroid-induced walau belum
sepenuhnya bias dijelaskan (Gillies, et al., 2005).
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasar uraian diatas dapat dikemukakan pertanyaan penelitian:
Apakah ada komplikasi jangka panjang penggunaan triamsinolon asetonide untuk
penanda vitreus saat operasi?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek samping jangka panjang
triamsinolon asetonide terhadap peningkatan tekanan intra okuler dan terjadinya
katarak pasca pars plana vitrektomi
D. Manfaat Penelitian
Untuk mengevaluasi penggunaan triamsinolon asetonide pada saat pars
plana vitrektomi terhadap komplikasi peningkatan tekanan intra okuler dan
terjadinya katarak post operasi
E. Keaslian Penelitian
Berikut beberapa penelitian yang telah dilakukan:
Tabel 1. Keaslian Penelitian
Peneliti Metode Kesimpulan
Fujikawa, et.al.,2014 Secara retrospektif meneliti perubahan tekanan intraokular (TIO) jangka panjang setelah vitrektomi untuk membran epiretinal (ERM) atau macular hole (MH).
TIO meningkat setelah vitrectomy ditemukan di beberapa mata dengan MH selama follow up jangka panjang tapi itu tidak di mata dengan ERM
Selim, et.al., 2008 Mengevaluasi tekanan intraokular (TIO) post injeksi intravitreal triamsinolon acetonide (IVTA) dan penatalaksanaan. Catatan dari 175 pasien yang menjalani perawatan ivta dan mata diperiode 2003-2006 ditinjau 122 pasien ini dimasukkan dalam studi, yang 147 mata yang menerima IVTA (4. mg/0,1 ml) diikuti selama minimal 9 bulan
Didapat kenaikan TIO sampai melewati masa clearance IVTA dan terjadinya glaukoma sekunder yang memerlukan intervensi bedah, sehingga sangat diperlukan pertimbangan yang hati-hati dalam menentukan indikasi dan tindak lanjut dari ivta.
Somnez, et.al., 2012 menyelidiki komplikasi intravitreal triamsinolon acetonide (IVTA) untuk pengobatan edema makula, dan untuk menentukan faktor risiko peningkatan tekanan intraokular (TIO)
Ivta memiliki 2 efek samping yang umum elevasi TIO dan pembentukan katarak.
Yamakiri, et.al., 2008 Metode STUDI POPULASI: populasi penelitian terdiri 774 mata dari pasien yang dirawat delapan dirumah sakit Jepang, di antaranya 391 mata menjalani PPV dengan dibantu TA dan 383 kontrol mata menjalani PPV konvensional. Yang diteliti : perubahan ketajaman visual, komplikasi pasca operasi (termasuk operasi tambahan), dan efek samping yang terjadi dalam waktu 1 tahun
PPV dengan TA memiliki efek posistif maupun negatif pada ketajaman visual, kejadian operasi tambahan, atau efek samping dibandingkan dengan PPV konvensional.
operasi dibandingkan antara kelompok TA-PPV dan kelompok PPV konvensional
Cekic, et.al., 2005 Berupa Penelitian retrospektif, intervensi, studi kasus-kontrol, meneliti perkembangan katarak setelah injeksi triamcinolone intravitreal.
Injeksi intravitreal triamsinolon tunggal menginduksi perkembangan katarak posterior subkapsular, sedangkan beberapa suntikan menghasilkan semua lapisan perkembangan katarak.
Gillies, et.al., 2005 Meneliti hubungan antara
tekanan tinggi intraokular (TIO) dan kejadian katarak pada pasien yang diobati dengan intravitreal triamsinolon. Kenaikan tekanan intraokular minimal 5 mmHg (TIO responden) dan perkembangan posterior subkapsular katarak oleh 2 atau lebih nilai menggunakan standar fotografi dari Age Related Eye Disease Study.
Hasilnya ada hubungan yang kuat bahwa mekanisme yang bertanggung jawab untuk pengembangan steroid-induced PSC katarak dan peningkatan TIO mungkin sama.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pendahuluan
Operasi vitreoretina modern dengan sistem yang tertutup sebagian besar
merupakan hasil dari karya Machemer. Setelah keberhasilan rintisan teknik
operasi itu, vitrektomi terus berkembang dan telah menjadi prosedur pengobatan
standar untuk penyakit vitreoretinal. Dengan kemajuan instrumentasi dan
pemahaman patofisiologi vitreoretinal, indikasi vitrectomi telah diperluas untuk
berbagai penyakit seperti sederhana rhegmatogenous retina detachment, macula
hole, dan edema makula(Ishibashi, Sakamoto & Tatsuro, 2009). Meskipun ada
berbagai kemajuan dalam teknik dan peralatan vitrektomi, transparansi vitreous
dapat menimbulkan beberapa kesulitan selama vitrektomi. Peyman, et.al. (2000)
pertama kali dijelaskan penggunaan intravitreal triamsinolone acetonide (TA)
sebagai bantuan untuk memvisualisasikan vitreous dan hyaloid posterior selama
pars plana vitrectomy (PPV) meningkatkan visibilitas membran hyaloid dan
epiretinal (ERM), yang memungkinkan pembersihan ERM lebih lengkap dan
lebih aman dalam pengelolaan bedah PVR dapat mengurangi kejadian re-
operation karena fibrosis pre-retinal (Acar, et al., 2010).
B. Efek samping pars plana vitrectomy
Katarak adalah komplikasi yang paling umum dari vitrectomi. Dalam
waktu 2 tahun menjalani vitrektomi, lebih dari 90% dari mata phakic pada pasien
yang berusia lebih dari 50 tahun akan mengalami katarak. Sementara itu, bukti
lain menunjukkan bahwa vitrektomi juga meningkatkan risiko jangka panjang dari
glaukoma sudut terbuka (AAO, 2013;Jamil, 2014).
Kenaikan TIO awal periode pasca vitrektomi, umumnya sementara dan
dapat dikendalikan oleh obat-obatan. Terjadinya perkembangan hipertensi okular
biasanya tidak terdeteksi karena tidak ada follow up jangka panjang (Toyokawa,
et al., 2015).
Chang (2006) menyatakan bahwa vitrektomi meningkatkan risiko
berkembangnya glaucoma, diperkirakan 15% sampai 20% dari mata mungkin
berisiko untuk berkembang menjadi OAG setelah vitrektomi. Periode waktu dari
vitrektomi mata phakic untuk menjadi glaukoma (rata-rata: 45,9 bulan)
dibandingkan dengan interval waktu yang sama di mata pseudofakia (rata-rata,
18,4 bulan) dan secara statistik signifikan. Mata dengan riwayat glaukoma, sering
memburuk karena vitrektomi, dapat dilihat dari jumlah obat yang digunakan
untuk mengontrol TIO meningkat setelah operasi (Chang, 2006).
Patofisiologi terjadinya peningkatan TIO akut post PPV, yaitu peradangan
pasca bedah dan debris bisa mengurangi outflow humor aquous. Papil optik di
mata yang dilakukan vitrektomi juga menjadi lebih rentan terhadap kerusakan.
Untuk yang onsetnya lambat, mungkin bahwa pembersihan vitreous mengubah
lingkungan biokimia cavum vitreus muncul stres oksidatif yang akan mengganggu
adhesi matriks di trabecular meshwork, akibatnya aliran humor aquous menjadi
berkurang (Chang, 2006).
Katarak biasanya dilaporkan setelah pars plana vitrectomy (PPV) dengan
tingkat kejadian bervariasi dari 12,5%-80%. Sementara etiologi pasti
pembentukan katarak paska prosedur vitreoretinal belum diketahui pasti, mungkin
berhubungan dengan peningkatan PO2, perubahan lingkungan intraocular, stres
oksidatif, trauma, dan iatrogenik. Perubahan lingkungan intraokuler yaitu
perubahan PO2 2 – 3 kali lipat di dekat lensa, sehingga kadar oksigen yang tinggi
dari retina dapat mencapai lensa dalam selama vitrektomi atau setelah vitreus
bersih. Nukleus lensa yang seharusnya rendah kadar oksigennya, akan teroksidasi
dan terbentuk katarak (Holekamp, Shui & Beebe, 2004; Feng & Adelman, 2014).
Stres oksidatif meningkatkan hidrogen perosida (H2O2) sebagai hasil
oksidasi askorbat dan glutasion, dan antioksidan menjadi tidak cukup
menghambatnya, akibatnya muncul kekeruhan lensa. Faktor iatrogenik, memang
bisa saja terjadi, kapsul posterior robek dan akan terjadi katarak. Mata yang
dilakukan PPV memiliki perubahan terbesar dalam kekeruhan lensa selama 6
bulan pertama setelah operasi, dengan sebagian besar perubahan yang terjadi
dengan 24 bulan (Holekamp, Shui & Beebe, 2004; Feng & Adelman 2014).
C. Triamsinolone acetonide dalam operasi vitrektomi
Triamsinolone acetonide (TA) telah digunakan dalam pengobatan
penyakit mata selama beberapa dekade.TA adalah kortikosteroid sintetik yang
dapat diberikan dalam berbagai cara, termasuk oral, parenteral, topikal, inhalasi
dan intraocular. Manfaat TA di operasi vitreoretina adalah untuk membantu dalam
visualisasi struktur mata, seperti vitreous dan membran limitan internal. Kristal
putih triamsinolon tidak larut air dan terjalin ke dalam bundel kolagen vitreous,
bagian superfisial membran limitan internal (ILM) dan membran epiretinal
(ERM) (Peyman, Cheema dan Conway, 2000). Tidak ada reaksi biokimia pada
proses visualisasi ini, TA dapat hanyut dan bersih dengan irigasi terus menerus
atau aspirasi hati-hati (Couch & Bakri, 2008). Kristal putih TA menetap pada
permukaan vitreous, dan jelas memvisualisasikan struktur vitreous. Mengingat
fakta-fakta ini bersama-sama, TA itu diyakini sebagai ajuvan terbaik untuk
memvisualisasikan vitreous di vitrectomi. Beberapa indikasi penggunaan
triamsinolone acetonide (TA) pada vitrektomi, akan diuraikan berikut (Ishibashi,
Sakamoto & Tatsuro, 2009).
Visualisasikan dan mengidentifikasi struktur penting dalam operasi
apapun, dan TA berguna untuk setiap langkah dari vitrectomi. Pada Core
vitrectomy, intravitreal TA berguna untuk kasus-kasus di mana permukaan
posterior lensa perlu diidentifikasi. Mungkin membantu terutama bagi seorang
ahli bedah yang kurang berpengalaman. Pada surgical posterior vitreus
detachment, adhesi vitreoretina menjadi faktor utama dalam patogenesis berbagai
bentuk retinopati diabetes tingkat lanjut dan ablasi retina yang kompleks. Oleh
karena itu, salah satu tujuan utama vitrektomi adalah pembersihan lengkap dari
hyaloid posterior dari retina. Untuk itu, operasi pada posterior vitreous
detachment (PVD) dengan tingkat vakum tinggi melalui vitrektom atau ujung
jarum silikon, pada sekitar papil saraf optik. Namun, manuver ini mungkin sulit,
karena sulit memvisualisasikan korteks posterior vitreous, bahkan dengan
menggunakan endo-illumination. Intravitreal TA dapat memberi gambaran
korteks posterior vitreous, yang memungkinkan untuk melakukan manuver yang
aman. Para ahli bedah telah menilai TA membantu untuk pemisahan hyaloid
posterior retina. Sebagai contoh, sisa difus korteks vitreous setelah operasi PVD
jauh lebih sering di retinopati diabetes dibandingkan penyakit lain, dan sisa
korteks ini berisi banyak sel-sel inflamasi dan hyalocyte, yang dapat menimbulkan
retinopati diabetes lebih kompleks (Ishibashi, Sakamoto & Tatsuro, 2009).
Vitrektomi juga dapat untuk menangani penyakit inflamasi seperti uveitis
untuk menghilangkan kekeruhan media, juga membersihkan sel-sel inflamasi dan
sitokin dari rongga vitreous. Vitrektomi dapat mengubah environment intravitreal
dan memiliki berbagai konsekuensi fisiologis dalam rongga vitreous: misalnya,
transportasi oksigen ke retina yang iskemik akan meningkat, dan membersikan
berbagai molekul inflamasi. Vitrektomi yang dibantu TA telah dilakukan dalam 6
kasus dengan uveitis termasuk sarkoidosis, penyakit Bechet itu, nekrosis retina
akut, dan penyakit Vogt-Koyanagi-Harada, dan hasilnya menunjukkan bahwa
lima dari enam kasus dapat meningkat ketajaman visus tanpa komplikasi
(Ishibashi, Sakamoto & Tatsuro, 2009).
Robeknya kapsul posterior dan prolaps dari badan vitreous adalah salah
satu komplikasi operasi katarak dan dapat mengakibatkan komplikasi yang lebih
serius. Untuk menghindari ini, badan vitreous di kamera anterior harus
dibersihkan sebersih mungkin, kadang-kadang manuver bisa tidak aman karena
sulit memvisualisasi vitreous. Vitrektomi dibantu TA berguna untuk melakukan
manuver ini dengan aman dan mudah, TA disemprotkan di lokasi di mana prolaps
vitreous, menggunakan jarum suntik tumpul. Segera, badan vitreous muncul
sebagai gel berwarna putih, sehingga mudah dibersihkan dengan cutter vitreous
(Ishibashi, Sakamoto & Tatsuro, 2009).
D. Efek samping jangka panjang penggunaan triamsinolone acetonide
Triamsinolone acetonide (TA) merupakan agen yang tidak toksis ketika
disuntikkan intravitreal pada mata yang divitrektomi dan yang tidak divitrektomi.,
dan mengurangi kerusakan dan menstabilkan barrier darah retina. Selama 5 tahun
terakhir, injeksi intravitreal triamsinolone acetonide (IVTA) sebagai modalitas
pengobatan yang penting dan efektif untuk berbagai kondisi patologis intraokular
seperti proliferasi, edema, neovascular dan inflamasi okular disorders (Jonas
2005; Jonas et al 2005). Penggunaan TA juga sangat membantu dalam operasi
vitreoretina, namun, penggunaan kortikosteroid dikaitkan dengan risiko jangka
panjang termasuk hipertensi okular atau tekanan intraokular tinggi (IOP) dan
kekeruhan lensa (katarak) (Özkiris & Erkiliç, 2005).
D. 1. Peningkatan tekanan intraokuler
Peningkatan tekanan intraokular (TIO) merupakan komplikasi pada
tindakan PPV. Dalam sebuah studi prospektif, menemukan bahwa sekitar 60%
dari pasien memiliki kenaikan TIO akut 5-22 mg Hg dalam waktu 48 jam dari
PPV dan sekitar 40% dari pasien memiliki kenaikan dalam 6 bulan (Chang,
2006). Peningkatan TIO juga biasa terjadi pada pengobatan kortikosteroid, baik
secara sistemik, topikal dan suntikan intravitreal dan periokular. Suntikan
kortikosteroid intravitreal digunakan secara klinis untuk berbagai kondisi retina
seperti makula edema dan neovaskularisasi retina, dan juga saat membantu
visualisasi vitreus saat PPV. Meskipun demikian banyak penelitian yang
melaporkan adanya variasi peningkatan TIO setelah pemberian kortikosteroid,
tergantung pada definisi respon tekanan yang digunakan, sebuah studi tahun 2007
menunjukkan lebih dari 60% pasien, TIO meningkat lebih dari 5 mmHg dari
baseline pada 4 sampai 8 minggu. Dalam studi yang sama, 32,5% dari pasien
memerlukan terapi glaukoma topikal untuk kontrol TIO setelah IVTA 4 mg.
Elevasi TIO yang berat setelah IVTA sangat jarang, kejadian antara 5,5% dan
12,3% untuk TIO> 35 mmHg post IVTA (Park, et al., 2005; Fitzgerald, et al.,
2014) .
Agen topical penurun TIO dapat untuk mengontrol TIO dalam banyak
kasus steroid induced glaucoma, namun beberapa pasien yang tidak cukup
terkontrol secara medis dan memerlukan laser atau manajemen operasi, untuk
mencegah kehilangan penglihatan dari glaukoma, yang dapat menyebabkan
kebutaan total mata yang terkena. Faktor risiko untuk peningkatan TIO setelah
pemberian steroid telah dilaporkan yaitu bertambahnya usia, riwayat personal
glaukoma, memiliki tingkat pertama relatif dengan glaukoma primer sudut
terbuka, miopia tinggi, diabetes mellitus tipe 1 dan beberapa penyakit jaringan
ikat. Disamping itu, ada perbedaan respon okular dalam populasi pada terapi
dengan kortikosteroid. dikategorikan menjadi tiga kelompok: 5% adalah high
responder (kenaikan TIO > 15 mmHg atau TIO> 31 mmHg), 33% moderate
responder (kenaikan TIO 6-15 mmHg atau TIO> 20 mmHg), sedangkan sisanya
non-responder (tidak ada efek kenaikan TIO, atau kenaikan <6 mmHg) (Clark, et
al., 2010).
Mekanisme kortikosteroid menginduksi hipertensi okular adalah adanya
peningkatan resistensi aliran humor aquos. Mekanisme dapat dikelompokkan
menjadi tiga kategori besar yaitu kortikosteroid dapat menyebabkan perubahan
fisik dan mekanis dalam mikro trabecular meshwork; menyebabkan peningkatan
pengendapan debris dalam trabecular meshwork, sehingga menyebabkan drainase
menurun; dan menghambat protease dan fagositosis sel endotel trabekular
meshwork yang menyebabkan penurunan dalam pemecahan zat dalam trabecular
meshwork (Kramar, et al., 2007; Sonmez dan Oztruk, 2012; Fujikawa, et al.,
2014). Akumulasi matriks ekstraselular (ECM) memiliki potensi untuk
mempengaruhi paraselular ( aliran di antara sel-sel endotel trabecular meshwork)
dan transelular (, aliran melalui pori-pori dalam satu dan atau antara dua dinding
bagian Schlemm kanalis sel) tingkat. Kortikosteroid juga meningkatkan deposisi
ECM di trabecular meshwork yang menyababkan drainase menurun. Sebuah studi
oleh Wilson , et.al., menemukan peningkatan deposit bahan ECM mengubah
ultrastruktur dari wilayah juxtacanalicular. Dexamethasone meningkatkan
glikosaminoglikan, elastin, dan produksi fibronektin dalam kultur trabecular
meshwork; deposisi glikosaminoglikan akan meningkat lebih lanjut dengan
paparan steroid yang berkepanjangan. Myocilin adalah protein 55 kDa yang juga
telah terbukti diinduksi dalam sel kultur trabecular meshwork manusia setelah
terpapar deksametason selama 2-3 minggu. Mutasi pada myocilin telah terbukti
berhubungan dengan onset POAG pada remaja dan dewasa. Masih menjadi
kontroversi, myocilin apakah menyebabkan peningkatan atau penurunan dainase.
Dalam studi kultur sel trabecular meshwork manusia, myocilin rekombinan
menurunkan fasilitas drainase, sementara studi transfer virus dimediasi myocilin
dalam sel trabecular meshwork menyebabkan overexpression myocilin dan
peningkatan fasilitas outflow.
Penurunan fasilitas outflow dapat juga disebabkan oleh berkurangnya
degradasi debris dalam trabecular meshwork. Tingkat aktivator plasminogen,
stromelysin, dan metalloproteases telah terbukti menurunkan dalam kultur
trabecular meshwork yang diberikan deksametason, juga menghambat
metabolisme asam arachadonic pada trabecular meshwork dan mengurangi sifat
fagositosis dari sel, karena sel-sel ini berfungsi untuk menghilangkan debris,
penurunan aktivitas fungsionalnya akan dapat menyebabkan outflow berkurang
(Kramar, et al., 2007).
D. 2. Terjadinya kekeruhan lensa
Hubungan antara penggunaan steroid dan katarak pertama kali dicatat oleh
Black , et.al. pada tahun 1960. Dalam sebuah penelitian terhadap 44 penderita
rheumatoid arthritis, diamati bahwa 39 persen dari orang-orang yang mendapat
terapi sistemik steroid terjadi katarak sub-kapsular posterior (PSC). Katarak yang
diinduksi steroid bersifat bilateral. Gillies , et.al. telah menganalisis pembentukan
katarak di mata setelah pemberian triamsinolon intravitreal pada kondisi
neovaskularisasi koroid. Mereka menemukan bahwa sclerosis nuklear meningkat
9,1%, katarak kortikal pada 12,1%, dan posterior katarak subkapsular di 24,2%
dari 33 mata pada dua tahun setelah terapi (Jobling & Augusteyn, 2002).
Vitrektomi juga meningkatkan kejadian katarak, pada follow up 6 bulan didapat
81% perkembangan katarak disbanding mata yan tidak divitrektomi sebesar 18%
(Cheng, et al., 2008)
Sebuah katarak adalah kondisi dimana ada penurunan transparansi dalam
lensa, dan dapat mencakup opasitas dari kapsul lensa dan deposisi bahan yang
bukan dari lentikuler. Perkembangan katarak dipengaruhi oleh beberapa faktor,
termasuk usia, jenis kelamin, diabetes, paparan sinar ultraviolet, merokok, diet
rendah anti oksidan, dan penggunaan steroid. Mekanisme yang dianggap
bertanggung jawab terhadap kejadian katarak akibat pemakaian steroid, yaitu:
kortikosteroid mengganggu metabolisme di sel epitel lensa yang kemudian
berdampak adanya gangguan osmotik, oksidasi, protein adduct formation, dan
penyimpangan perilaku sel (Brown, 2001; Cheng, et al., 2008).
Glukokortikoid dapat berdampak pada metabolisme sel dengan
berinteraksi langsung dengan enzim, untuk mengubah kegiatan mereka, atau
melalui jalur mediasi reseptor untuk mengubah jumlah enzim yang disintesis oleh
sel. Hal ini akan mempengaruhi sintesis protein dan juga sifat protein yang
disintesis. Dalam studi kultur sel epitel lensa diungkap bahwa ada penurunan ATP
dan dinukleotida setelah 24 jam pemberian kortikosteroid, dan akan mengganggu
kegiatan sel yang tergantung energi seperti sintesis protein, transport ion, dan
kemampuan perlindungan antioksidan (Jobling & Augusteyn, 2002)
Seperti jaringan lainnya, lensa mempertahankan perbedaan ion antara
cairan intra dan ekstraseluler (internal: tinggi K + dan Na rendah; eksternal:
rendah K, Na tinggi) melalui aksi Na K-ATP ase . Suatu mekanisme pemeliharaan
keseimbangan ion telah terbukti sangat penting untuk transparansi lensa dan
kortikosteroid memicu perubahan dalam komposisi ion dari lensa yang
memunculkan katarak, melalui gangguan pada pompa ATP-ase atau dari
peningkatan permeabilitas membran (Jobling & Augusteyn, 2002).
Kortikosteroid dapat mempengaruhi kegiatan mekanisme yang terlibat
dalam perlindungan lensa dari stres oksidatif. Lensa berisi berbagai mekanisme
pelindung tersebut, termasuk glutatione/glutation reduktase dan sistem radikal
bebas. Beberapa bentuk stres (oksidatif, osmotik, metabolisme), membuat protein
lensa rentan terhadap modifikasi oksidatif. Hal ini akan menghasilkan
pembentukan ikatan disulfida, pigmentasi dan perubahan oksidatif lainnya serta
interaksi hidrofobik non-spesifik untuk menghasilkan agregat besar protein, yang
menghamburkan cahaya dan menjadi tidak larut (Jobling & Augusteyn, 2002).
Kortikosteroid juga mempengaruhi perilaku sel epitel. Proliferasi dan
diferensiasi sel-sel epitel berada di bawah kendali faktor pertumbuhan fibroblast-2
(bFGF) sebagai affektor utama pertumbuhan lensa dan ada gradien peningkatan
konsentrasi bFGF dalam aqueous humor dari anterior ke posterior mata. Gradien
ini sangat penting untuk mengendalikan perilaku sel lensa. Konsentrasi βFGF
rendah dalam aqueous humor yang mengalir di atas permukaan anterior lensa
cukup untuk menstimulasi proliferasi sel epitel dan migrasi (menuju ekuator),
sedangkan konsentrasi yang lebih tinggi sekitar wilayah ekuator akan
menginduksi diferensiasi menjadi sel serat. Beberapa penelitian terbaru telah
menunjukkan bahwa mungkin ada beberapa faktor pertumbuhan lainnya, seperti
epidermal growth factor (EGF), insulin-like growth factor (IGF), platelet-derived
growth factor (PDGF), transforming growth factor (TGF-P) dan beberapa jenis
lain dari FGF terlibat dalam proses ini. Perubahan dalam komplemen dari faktor
pertumbuhan yang berdampak pada lensa dapat menyebabkan perilaku
menyimpang sel dan memicu perkembangan katarak. Ini adalah apa yang bisa
diharapkan dalam situasi di mana konsentrasi FGF tidak cukup tinggi untuk
merangsang diferensiasi sel epitel ke dalam sel serat di zona ekuator (Jobling &
Augusteyn, 2002).
E. Kerangka Konsep
Gambar 1. Kerangka Konsep
F. Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini adalah:
• Kejadian katarak pasca pars plana vitrektomi yang menggunakan
triamsinolon asetonide, lebih tinggi dibandingkan yang tidak
menggunakan triamsinolon asetonide
• Kejadian kenaikan TIO pasca pars plana vitrektomi yang menggunakan
triamsinolon asetonide, lebih tinggi dibandingkan yang tidak
menggunakan triamsinolon asetonide
BAB III
METODELOGI PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental dengan
menggunakan rancangan penelitian kohort retrospektif. Penelitian ini
membandingkan adanya peningkatan tekanan intra okuler dan terjadinya katarak
pasca PPV dengan bantuan TA dan yang tidak menggunakan TA dengan melihat
status pasien dari Januari 2014 ke belakang sampai memenuhi jumlah sampel
yang diperlukan.
B. Subjek Penelitian
Sampel penelitian adalah penderita ablasi retina yang dilakukan vitrektomi
dengan bantuan triamsinolon asetonid dan tanpa bantuan triamsinolon asetonid di
RS. Mata dr. Yap, Yogyakarta
Kriteria inklusi:
• Baru pertama kali menjalani operasi PPV
• Belum pernah menjalani operasi mata lainnya : SB, operasi
glaucoma,operasi katarak
• Tidak menderita glaucoma
• Tidak ada riwayat trauma
• Tidak dalam pengobatan jangka panjang kortikosteroid
• Status follow up lengkap dalam 1 tahun (1 minggu, 1 bulan, 3
bulan, 6 bulan, 1 tahun)
Kriteria Eksklusi:
• Adanya kompilkasi pasca operasi: infeksi, perdarahan, dan
memerlukan tindakan operasi lain
• Terdiagnosis katarak sebelum operasi
C. Besar sampel
Besar sampel dihitung menggunakan rumus besar sampel uji hipotesis
penelitian analitik kategorik tidak berpasangan :
n1 = n2 = (Zα √ 2PQ + Zβ √ P1Q1 + P2Q2 ) 2
(P1 - P2) 2
Menghitung besar sampel kejadian kenaikan TIO :
Keterangan :
n1 = besar sampel pada kelompok 1 (Kejadian kenaikan TIO post PPV tanpa
TA)
n2 = besar sampel pada kelompok 2 (Kejadian kenaikan TIO post PPV
dengan TA)
Zα = 1,64 = kesalahan tipe 1
Zβ = 0,84 = kesalahan tipe 2
p2 = proporsi tidak terjadi komplikasi kenaikan TIO post PPV tanpa TA
= 0,4 (Clark, et al., 2010)
q2 = 1 – p2 = 1 – 0.4 = 0.6
p1-p2 = selisih proporsi minimal yang dianggap bermakna oleh peneliti = 0.2
p1 = proporsi komplikasi kenaikan TIO post PPV dengan TA
= p2 + 0.2 = 0.4 + 0.2 = 0.6
q1 = 1 – p1 = 1 – 0.6 = 0.4
P = proporsi total = (p1+p2)/2= (0.6+0.4)/2 = 0.5
Q = 1 – P = 1 – 0.5 = 0.5
Maka Jumlah sampel pada penelitian ini adalah :
n1 = n2 = (1.64 √ 2x0.5x0.5 + 0.84 √ 0.6x0.4 + 0.4x0.6 ) 2
( 0.6 – 0.4 ) 2
= 43.54 (dibulatkan 43)
Menghitung besar sampel kejadian katarak :
Keterangan :
n1 = besar sampel pada kelompok 1 (Kejadian katarak post PPV tanpa TA)
n2 = besar sampel pada kelompok 2 (Kejadian katarak post PPV dengan TA)
Zα = 1,64 = kesalahan tipe 1
Zβ = 0,84 = kesalahan tipe 2
p2 = proporsi terjadi komplikasi katarak post PPV tanpa TA
= 0,6 (Cheng, et al., 2008)
q2 = 1 – p2 = 1 – 0.4 = 0.6
p1-p2 = selisih proporsi minimal yang dianggap bermakna oleh peneliti = 0.3
p1 = proporsi komplikasi katarak post PPV dengan TA
= 0.9
q1 = 1 – p1 = 1 – 0.9 = 0.1
P = proporsi total = (p1+p2)/2= (0.9+0.6)/2 = 0.7
Q = 1 – P = 1 – 0.7= 0.3
Maka Jumlah sampel pada penelitian ini adalah :
n1 = n2 = (1.64 √ 2x0.7x0.3 + 0.84 √ 0.9x0.1 + 0.6x0.4 ) 2
( 0.9 – 0.6) 2
= 26,5 (26)
Jadi sampel penelitian: 43 sampel
D. Variabel Penelitian
1. Variabel bebas: variabel apabila terjadi perubahan akan mempengaruhi variabel
lain
• PPV dengan TA
• PPV tanpa TA
2. Variabel terikat: variabel yang dipengaruhi oleh variabel bebas.
• Hasil pengukuran TIO
• Kejadian katarak
3. Variabel penggangu: variabel yang tidak diteliti namun berhubungan dengan
variabel bebas dan tergantung.
• Usia
• Lama operasi
• Jenis tamponade
E. Definisi Operasional
1. Pars plana vitrektomi dengan bantuan triamsinolone acetonide(TA): adalah
prosedur operasi vitrektomi dengan penggunaan intravitreal triamsinolone
acetonide (TA) sebagai bantuan memvisualisasikan vitreous dan hyaloid
posterior selama pars plana vitrektomi (PPV)
2. Kenaikan Tekanan Intraokuler: adalah peningkatan tekanan intraokuler
lebih dari 5 mmHg cut-off point yang terjadi pada follow up 1 minggu, 1
bulan, 3 bulan, 6 bulan dan 1 tahun post tindakan pars plana vitrektomi
dengan bantuan triamsinolone acetonide(TA) dan yang tidak dengan
bantuan triamsinolone acetonide(TA), dibandingkan tekanan intraokuler
sebelum operasi. TIO diukur menggunakan tonometer non kontak.
3. Katarak: adalah lensa mata menjadi keruh secara berlahan-lahan, sehingga
cahaya tidak dapat menembusnya, bervariasi sesuai tingkatannya dari
sedikit sampai keburaman total. yang didapat 1 tahun post tindakan pars
plana vitrektomi dengan bantuan triamsinolone acetonide(TA). Katarak
akan dinyatakan: ada katarak (berbagai derajat) dan tidak ada katarak
F. Alur Penelitian
Penelitian dilakukan dengan alur sebagai berikut :
1. Mempersiapkan ethical clearance (kelaikan etik)
2. Mengumpulkan data dari rekam medis RS Mata dr. Yap : usia, jenis
kelamin, dan follow up meliputi TIO, kenaikan TIO, diagnosis katarak,
waktu terjadinya kenaikan TIO, waktu terjadinya katarak
G. Kerangka Alur Penelitian
Gambar 2. Kerangka Penelitian
H. Analisis Statistik
Data yang didapat dianalisis dengan program statistik komputer SPSS 17 for
Windows. Data nominal karakteristik subyek dianalisa dengan chi-square test. Uji
Mann-Whitney untuk uji hipotesis komparatif numerik, dua kelompok.
Populasi penelitian
Kriteria inklusi Kriteria eksklusi
Sampel penelitian
• Adanya Katarak • TIO pre operasi, 1 minggu, 1 bulan, 3
bulan, 6 bulan, 1 tahun
Analisis statistik
I. Organisasi Penelitian
1. dr. Angela Nurini Agni, Sp.M(K), MKes : Supervisor
2. dr. Hartono, Sp.M(K) : Supervisor
3. dr. Franciscus Assisi Timmy Budi Yudhantara : Pelaksana
I . Jadwal Pelaksanaan
Tahap Kegiatan Januari-Februari April-Mei Juni
Persiapan
Proposal
Seminar
*
*
Pelaksanaan
Pengambilan
sampel
Pengumpulan data
*
*
Penyelesaian
Penyusunan
Pelaporan
*
*