bab i pendahuluan a. latar belakang...

21
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara beriklim tropis. Sebagai Negara tropis, Indonesia mendapatkan intensitas sinar matahari lebih besar. Sinar matahari di permukaan bumi menghasilkan radiasi yang sangat berbahaya karena memiliki energi yang sangat tinggi dan bersifat karsinogenik (Kaur dan Saraf, 2009). Sinar matahari yang sampai di permukaan bumi sebanyak lebih dari 90% adalah sinar UV A dan kurang dari 10% adalah sinar UV B (Baron, 2014). Radiasi sinar UV baik UV A maupun UV B dapat menyebabkan kerusakan kulit, kulit terbakar serta menyebabkan noda-noda cokelat dan keringnya kulit bahkan dapat menyebabkan kanker kulit (Zulkarnain dkk., 2013). Untuk mencegah semua efek yang timbul oleh sinar matahari maka sangat penting menggunakan perlindungan secara kimiawi yaitu penggunaan tabir surya. Penelitian tentang cara pencegahan dan pengurangan dampak negatif dari sinar matahari terhadap kulit dengan penggunaan kosmetik tabir surya (Garoli et al., 2009). Sediaan tabir surya mengandung bahan aktif fotoprotektor yang berfungsi menyerap, menghalangi, memantulkan atau menghamburkan radiasi sinar matahari (Wasitaatmadja, 1997). Umumnya sediaan tabir surya diformulasi ke dalam bentuk sediaan yang dapat digunakan sehari-hari seperti krim atau lotion (Roberts and Walters, 2008). Tabir surya sintetik memiliki mekanisme secara fisik atau kimia yang dapat menghambat penetrasi sinar UV ke dalam kulit (Oroh & Harun, 2001). Tabir surya yang memiliki mekanisme fisik yaitu tabir surya yang dapat memantulkan sinar UV misalnya

Upload: duonghanh

Post on 08-Mar-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan Negara beriklim tropis. Sebagai Negara tropis, Indonesia

mendapatkan intensitas sinar matahari lebih besar. Sinar matahari di permukaan

bumi menghasilkan radiasi yang sangat berbahaya karena memiliki energi yang

sangat tinggi dan bersifat karsinogenik (Kaur dan Saraf, 2009). Sinar matahari yang

sampai di permukaan bumi sebanyak lebih dari 90% adalah sinar UV A dan kurang

dari 10% adalah sinar UV B (Baron, 2014).

Radiasi sinar UV baik UV A maupun UV B dapat menyebabkan kerusakan

kulit, kulit terbakar serta menyebabkan noda-noda cokelat dan keringnya kulit

bahkan dapat menyebabkan kanker kulit (Zulkarnain dkk., 2013). Untuk mencegah

semua efek yang timbul oleh sinar matahari maka sangat penting menggunakan

perlindungan secara kimiawi yaitu penggunaan tabir surya. Penelitian tentang cara

pencegahan dan pengurangan dampak negatif dari sinar matahari terhadap kulit

dengan penggunaan kosmetik tabir surya (Garoli et al., 2009). Sediaan tabir surya

mengandung bahan aktif fotoprotektor yang berfungsi menyerap, menghalangi,

memantulkan atau menghamburkan radiasi sinar matahari (Wasitaatmadja, 1997).

Umumnya sediaan tabir surya diformulasi ke dalam bentuk sediaan yang dapat

digunakan sehari-hari seperti krim atau lotion (Roberts and Walters, 2008). Tabir

surya sintetik memiliki mekanisme secara fisik atau kimia yang dapat menghambat

penetrasi sinar UV ke dalam kulit (Oroh & Harun, 2001). Tabir surya yang memiliki

mekanisme fisik yaitu tabir surya yang dapat memantulkan sinar UV misalnya

2

titanium dioksida dan seng oksida. Tabir surya alamiah banyak digunakan oleh

masyarakat karena dianggap lebih aman dan harganya terjangkau. Tabir surya

alamiah yang sudah banyak digunakan sebagai tabir surya yaitu teh, wortel, lidah

buaya, pati bengkuang, pati jagung, pati beras dan bahan lainnya. Namun, bahan

alamiah seperti pati kentang (Solanum tuberosum L.) belum ada penelitian yang

menyatakan dapat digunakan sebagai tabir surya. Pati kentang diduga memiliki

aktivitas sebagai tabir surya karena sifat opaque pati yang tidak dapat ditembus

cahaya tetapi dapat memantulkan sinar, sangat bermanfaat untuk mencegah

penetrasi radiasi sinar ultraviolet pada kulit (Nursal dkk., 2006). Penelitian

terdahulu menyatakan bahwa pati kentang (Solanum tuberosum L.) bisa menjadi

sumber alternatif untuk menghilangkan noda hitam bekas jerawat dan menjadikan

lebih cerah pada wajah apabila digunakan sebagai masker wajah karena

mengandung enzim catecholase. Selain itu, pada buah kentang itu sendiri memiliki

kandungan vitamin C, vitamin B6 yang mampu menangkal radikal bebas dan

radiasi sinar yang berbahaya akan masuk ke tubuh (Maspiyah & Kartikasari, 2015).

Efektivitas sediaan tabir surya didasarkan pada penentuan nilai Faktor

Pelindung Sinar (FPS) atau Sun Protecting Factor (SPF) yang menggambarkan

kemampuan tabir surya dalam melindungi kulit dari eritema (Stanfield, 2003)

Pengukuran SPF paling penting menggunakan metode in vivo untuk melihat efikasi

produk tabir surya (Draelos and Thaman, 2006).

Sediaan lotion oil in water memiliki kandungan lilin dan minyak yang lebih

rendah dibandingkan krim, sehingga sediaan lotion o/w lebih encer dan kurang

berminyak. Sifat tersebut yang menyebabkan sediaan lotion o/w memberikan rasa

3

nyaman pada kulit. Selain itu, lotion lebih mudah dibuat dibandingkan dengan krim

karena lebih encer, waktu pemanasan dan pendinginannya lebih singkat (Rieger,

2000).

Peneliti melakukan pengembangan produk tabir surya yang bekerja secara fisik

berasal dari pati kentang (Solanum tuberosum L.). Pada penelitian ini, pati kentang

dibuat dalam bentuk sediaan lotion oil in water (o/w) dengan berbagai variasi

konsentrasi pati kentang sebesar 10,00%; 12,50%; 15,00%; 17,50% dan 20,00%

(Nursal dkk., 2006). Evaluasi stabilitas fisik formulasi lotion yang telah dibuat

dilakukan selama satu bulan penyimpanan dengan pemeriksaan organoleptis,

homogenitas, pH, viskositas, uji daya sebar, daya lekat, serta stabilitas sediaan

dengan siklus freeze thaw. Peningkatan konsentrasi pati kentang cenderung

menyebabkan viskositas mengalami kenaikan karena pati adalah suatu polimer

yang dapat menyerap air dari medium dispers pada sistem emulsi (Zulkarnain,

2013) sehingga dapat mempengaruhi sifat dari daya lekat, daya sebar maupun

stabilitas sediaan selama dilakukan penyimpanan. Suatu produk dapat dikatakan

stabil secara fisik apabila sifat dan karakteristik sediaan ketika selesai dibuat tidak

berbeda secara signifikan dengan sifat dan karakteristik sediaan setelah dilakukan

penyimpanan. Aktivitas tabir surya dilakukan dengan mencari nilai Sun Protecting

Factor (SPF) sediaan lotion pati kentang yang ditentukan secara in vivo

menggunakan kelinci albino jenis Australia yang sebelumnya diinduksi dengan

pemberian 8-MOP atau methoxsalen, kemudian disinari dengan lampu UV.

4

B. Rumusan Masalah

1. Berapakah hasil dari nilai variasi konsentrasi pati kentang pada lotion oil in

water yang paling stabil selama satu bulan penyimpanan?

2. Apakah peningkatan konsentrasi pati kentang memberikan pengaruh terhadap

stabilitas fisik lotion oil in water selama satu bulan penyimpanan?

3. Bagaimanakah hasil dari nilai SPF yang didapatkan dari lotion oil in water pati

kentang pada kelinci albino yang diinduksi methoxsalen (8-MOP)?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui hasil dari nilai variasi konsentrasi pati kentang pada lotion oil in

water pati yang paling stabil selama satu bulan penyimpanan.

2. Mengetahui adanya pengaruh peningkatan konsentrasi pati kentang terhadap

stabilitas fisik lotion oil in water selama satu bulan penyimpanan.

3. Mengetahui hasil dari nilai SPF yang didapatkan dari lotion oil in water pati

kentang pada kelinci albino yang diinduksi methoxsalen (8-MOP).

D. Manfaat Penelitian

Dari penelitian ini diharapkan pati kentang dalam bentuk lotion oil in water

bermanfaat sebagai tabir surya yang memenuhi persyaratan farmasetika yang stabil

secara fisik dan menambah pemanfaatan bahan alam di bidang kosmetika.

E. Tinjauan Pustaka

1. Kulit

Kulit adalah organ paling besar pada tubuh manusia. Luas kulit orang dewasa

sekitar 2 m2 dengan berat kira-kira 15% dari total berat badan (Lai Cheong and Mc

5

Grath, 2013). Kulit merupakan organ yang esensial dan vital serta merupakan

cermin kesehatan dan kehidupan (Djuanda, 1999). Kulit juga sangat kompleks,

elastis dan sensitif, bervariasi pada keadaan iklim, umur, jenis kelamin, ras, dan

juga bergantung pada lokasi tubuh (Tortora and Derrickson, 2009). Kulit

mempunyai berbagai fungsi seperti sebagai perlindung, penyerap, indera perasa,

dan fungsi ekskresi (Setiabudi, 2008). Pembagian kulit secara garis besar tersusun

atas tiga lapisan utama yaitu lapisan epidermis, lapisan dermis, dan lapisan subkutis

(hypodermis). Penyakit kulit dapat berefek pada setiap area dari kulit (Lai Cheong

and Mc Grath, 2013)

Gambar 1: Penampang Kulit (Venus et al., 2010)

a. Lapisan epidermis (kutikel)

6

Epidermis adalah lapisan kulit paling luar. Sel utama pada lapisan epidermis

yaitu sel keratinosit. Melanosit, sel Langerhans dan sel Merkel hanya sebesar

5% (Lai Cheong and Mc Grath, 2013). Keratinosit mensintesis keratin dan

memproduksi sitokin sebagai respon ketika kulit terluka. Epidermis dibagi

menjadi 4 lapisan yaitu:

1). Stratum Korneum (lapisan tanduk) : lapisan kulit paling luar yang terdiri

atas sel-sel yang bermigrasi dari stratum granulosum. Sel-sel tersebut (sekarang

disebut korneosit) telah kehilangan nucleus dan sitoplasma. Sel ini akan

Nampak tebal pada telapak tangan dan kaki sedangkan tidak terlalu tebal di

tempat lain (Venus et al., 2010)

2). Stratum Granulosum (lapisan sel granular) : Keratinosit di lapisan

granular mengandung butiran kasar intraselular dari keratohialin (Venus et al.,

2010)

3). Stratum Spinosum (lapisan spinus atau prickle cell layer) : Sel ini terdiri

dari sel polygonal dengan ukuran yang bermacam-macam yang dihubungkan

oleh desmosome. Diantara sel spinosum juga terdapat sel Langerhans

(Wasitaatmadja, 1997)

4). Stratum Basal (lapisan sel basal) : Sel ini umumnya hanya berupa suatu

sel yang tebal. Pada lapisan ini terdapat melanin (melanosit) yang mengandung

pigmen (melanosom) (Venus et al., 2010)

b. Lapisan dermis

Lapisan di bawah epidermis yang jauh lebih tebal daripada epidermis

dengan ketebalan 0,55 mm. Dermis yang tipis ditemukan di sekitar mata

7

sedangkan dermis yang tebal ditemukan disekitar punggung (Lai Cheong and

Mc Grath, 2013). Secara garis besar lapisan dermis dibagi menjadi dua, yaitu

pers papilare dan pars retikulare (Wasitaatmadja, 1997). Sekitar 70% dari berat

dermis terdapat kolagen yang dominan. 55% adalah kolagen tipe 1 dan 15%

adalah kolagen tipe 3 (Venus et al., 2010).

c. Lapisan subkutis

Subkutis adalah lapisan paling dalam dari kulit. Lapisan subkutis terdiri atas

jaringan ikat longgar berisi sel-sel lemak di dalamnya. Lapisan lemak ini

berfungsi sebagai cadangan makanan. Lapisan ini terdapat pada ujung saraf

tepi, pembuluh darah, dan getah bening (Wasitaatmadja, 1997).

Kulit berfungsi sebagai lapisan pelindung dari radiasi UV dengan dua cara,

yaitu stratum korneum memantulkan radiasi, jadi dapat mengurangi dosis paparan

radiasi UV. Selain itu, paparan sinar matahari meningkatkan aktivitas melanosit,

memproduksi melanosom dan mentransfer melanin ke lapisan epidermis. Hal ini

dapat membantu mengurangi absorpsi radiasi UV yang dapat merusak sel (Venus

et al., 2010).

Berdasarkan reaktivitas melanin terhadap paparan radiasi UV, Fitzpatrick

membagi kulit manusia menjadi 6 tipe. Penggolongan kulit manusia oleh

Flitzpatrick dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

8

Tabel I. Penggolongan Tipe Kulit Manusia Berdasarkan Ketahanan Kulit Yang Terpapar

Radiasi UV (Flitzpatrick Classification)

Tipe Kulit Kondisi kulit yang terpapar radiasi

UV

Warna Kulit

I Kulit mudah terbakar, tidak terjadi

pencoklatan

Ras Kaukasia

Kulit pucat, bitnik di kulit

II Kulit mudah terbakar, jarang

terjadi pencoklatan

Ras Kaukasia

Kulit kuning langsat

III Kulit tidak mudah terbakar,

pencoklatan secara bertahap

Kaukasia gelap atau asia cerah

Kulit agak kuning langsat

IV Tidak terlalu banyak terbakar Mediterania, asia, hispanik

Kulit coklat muda

V Jarang terbakar, susah terjadi

pencoklatan

Middle eastern, Indian, Amerika

Latin

Kulit coklat VI Tidak terbakar Kulit hitam

(Kochevar and Krutman, 2008)

2. Sinar matahari dan kerusakan kulit

Sinar matahari di permukaan bumi menghasilkan radiasi yang terdiri dari

beberapa spektrum antara lain sinar inframerah (>760 nm), sinar tampak (400-760

nm), sinar UV A (315-400 nm), sinar UV B (290-315 nm), dan sinar UVC (100-

290 nm). Radiasi tersebut sangat berbahaya karena memiliki energi yang sangat

tinggi dan bersifat karsinogenik (Kaur dan Saraf, 2009). Sinar UV A menyebabkan

kerusakan kulit yang menjurus ke arah penuaan dan dapat bersifat karsinogenik

apabila bersama dengan UV B. Sinar UV B menyebabkan kulit terbakar (sunburn)

dan dapat menginduksi kanker kulit. Sementara UV C tidak sampai ke permukaan

bumi karena terserap oleh lapisan ozon tetapi apabila lapisan ozon semakin tipis

makan UV C menjadi faktor penting penyebab kanker kulit di masa depan (Venus

et al., 2010).

Sinar UV A diketahui dapat menimbulkan warna kehitaman yang timbul segera

atau beberapa saat setelah terpapar sinar matahari. Sinar UV A juga dapat

9

menyebabkan timbulnya eritema tetapi eritema yang muncul tidak separah apabila

terpapar sinar UV B. Sinar UV B dapat menyebabkan eritema yang hebat sehingga

tampak adanya pembengkakan yang hebat pada kulit. Reaksi kemerahan ini

intensitasnya maksimal 15-24 jam setelah paparan dengan sinar UV B (Harun,

1995).

Mekanisme terbakarnya kulit (sunburn) dan eritema dapat terjadi karena adanya

reaksi inflamasi pada jaringan hidup. Inflamasi ini merupakan mekanisme

pertahanan tubuh untuk menghancurkan jaringan nekrosis, netralisasi, dan

pembuangan agen penyerang termasuk radiasi sinar UV. Inflamasi dapat terjadi

secara imunologis karena adanya suatu respon imun maupun respon non

imunologis karena adanya rangsangan non imunologis seperti radiasi UV. Sinar UV

B menyebabkan kerusakan sel akan memicu inflamasi dengan melepaskan

mediator-mediator inflamasi yang terkandung didalamnya seperti prostaglandin,

histamine, serotonin, dan leukotriene (Pawening, 2009).

3. Tabir surya (uv protection)

Tabir surya adalah suatu sediaan yang mengandung senyawa kimia yang dapat

menyerap, menghamburkan atau memantulkan sinar UV yang mengenai kulit,

sehingga dapat digunakan untuk melindungi fungsi dan struktur kulit manusia dari

efek negatif sinar UV (Draelos and Thaman, 2006). Tabir surya pada umumnya di

formulasi ke dalam sediaan yang biasa dipakai sehari-hari seperti krim dan lotion

untuk mencegah masuknya sinar matahari dan melindungi kulit dari kerusakan,

tabir surya harus bekerja secara efektif dalam mencegah masuknya radiasi UV ke

jaringan kulit (Roberts and Walters, 2008)

10

Tabir surya sediaan topikal dapat dibedakan menjadi 2 macam yaitu tabir surya

kimiawi atau organik dan tabir surya fisik atau inorganik. Mekanisme perlindungan

tabir surya:

a. Tabir surya kimiawi atau organik

Tabir surya kimiawi umumnya merupakan ikatan aromatik yang berkonjugasi

dengan gugus karbonil. Struktur kimiawi bekerja dengan menyerap radiasi UV

dan menghilang sebagai energi dengan panjang gelombang lebih besar, sehingga

dapat melindungi kulit dari potensi kerusakan akibat energi dari radiasi UV.

Komposisi tabir surya organik mencakup PABA (para-aminobenzoic acid) dan

turunannya seperti sinamat, salisilat, dan kampor (Roberts and Walters, 2008).

Paparan sinar matahari meningkatkan aktivitas melanosit, memproduksi

melanosom dan mentransfer melanin ke lapisan epidermis. Hal ini dapat

membantu mengurangi absorpsi radiasi UV yang dapat merusak sel (Venus et

al., 2010).

b. Tabir surya fisik atau inorganik

Tabir surya inorganik mengeblok UV A maupun UV B dengan

memantulkan dan menghamburkan tetapi juga menyerap radiasi UV. Tabir

surya inorganik seperti zink oksida dan titanium dioksida bekerja dengan cara

memantulkan dan menghamburkan radiasi UV yang tergantung dari index bias,

ukuran partikel, disperse emulsi dan ketebalan film. Titanium dioksida dapat

meningkatkan kemampuan sebagai tabir surya karena memiliki nilai SPF yang

cukup tinggi, spektrum penyerapan yang luas (Roberts and Walters, 2008).

11

4. Sun protecting factor (SPF)

Efektivitas sediaan tabir surya didasarkan pada penentuan nilai Faktor

Pelindung Sinar (FPS) atau Sun Protecting Factor (SPF) yang menggambarkan

kemampuan tabir surya dalam melindungi kulit dari eritema (Stanfield, 2003). Sun

Protecting Factor (SPF) diukur dari dosis eritema minimum (MED) pada kulit yang

terlindungi tabir surya dibagi dengan dosis eritema minimum (MED) pada kulit

yang tidak terlindungi tabir surya. MED adalah dosis terkecil dari radiasi UV yang

dapat menimbulkan eritema dengan batasan yang jelas. Sering pula MED dapat

dinyatakan sebagai waktu paparan yang menyebabkan eritema. Eritema utamanya

disebabkan dari UV B, sehingga nilai SPF sebagai indikator keefektifan produk

tabir surya untuk mencegah masuknya UV B ke dalam kulit (Roberts and Walters,

2008).

Nilai SPF dapat ditentukan dengan cara mengaplikasikan tabir surya pada dosis

tertentu sebanyak 2 mg/cm2 dengan luas area punggung sebesar 50-100 cm2

(Roberts and Walters, 2008). Dosis UV atau waktu yang digunakan untuk

menghitung SPF berdasarkan persamaan:

𝑆𝑃𝐹 =𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠/𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢 𝐸𝑟𝑖𝑡𝑒𝑚𝑎 𝑀𝑖𝑛𝑖𝑚𝑢𝑚 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑙𝑜𝑡𝑖𝑜𝑛 𝑡𝑎𝑏𝑖𝑟 𝑠𝑢𝑟𝑦𝑎

𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠/𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢 𝐸𝑟𝑖𝑡𝑒𝑚𝑎 𝑀𝑖𝑛𝑖𝑚𝑢𝑚 𝑡𝑎𝑛𝑝𝑎 𝑙𝑜𝑡𝑖𝑜𝑛 𝑡𝑎𝑏𝑖𝑟 𝑠𝑢𝑟𝑦𝑎

Berdasarkan hipotesis Nash dan Tanner bahwa produk tabir surya untuk zat

aktif yang memiliki efek perlindungan terhadap tabir surya seperti titanium

dioksida, zink oksida, avobenzone, benzofenon, ensulizol, homosalat, dan lain-lain

mengandung konsentrasi sebesar 10-15% memiliki nilai SPF 15 sedangkan pada

12

konsentrasi 30% ke atas memiliki nilai SPF 45 tergantung dari jumlah air dan

komponen lain yang terdapat pada tabir surya (Draelos & Thaman, 2006).

Gambar 2: Hipotesis Produk Tabir Surya Dengan SPF 8-45 Berdasarkan Peningkatan

Komponen UV Filter (Draelos & Thaman, 2006)

5. Kosmetika

Definisi kosmetik dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No.

445/MENKES/PER/V/1998 adalah sebagai berikut: “Kosmetik adalah sediaan atau

paduan bahan yang siap untuk digunakan pada bagian luar badan (epidermis,

rambut, kuku, bibir dan organ kelamin bagian luar), gigi, dan rongga mulut untuk

membersihkan, menambah daya tarik, mengubah penampakan, melindungi supaya

tetap dalam keadaan baik, memperbaiki bau badan tetapi tidak dimaksudkan untuk

mengobati atau menyembuhkan penyakit.”

Menurut definisi kosmetika diatas, yang dimaksud dengan ‘tidak dimaksudkan

untuk mengobati atau menyembuhkan suatu penyakit’ adalah penggunaan dari

kosmetik tersebut tidak mempengaruhi struktur dan faal kulit. Kosmetika pada

umumnya dalam bentuk sediaan topikal (Ernawati, 2011)

13

Sediaan topikal berasal dari Bahasa Yunani topikos yang artinya berkaitan

dengan daerah permukaan tertentu (Koesoemawati dkk., 2002). Dalam literatur lain

disebutkan kata topikal berasal dari kata topos yang berarti lokasi atau tempat

(Wolverton, 2001). Sediaan topikal adalah sediaan yang mengandung dua

komponen dasar yaitu zat pembawa (vehikulum) dan zat aktif. Zat aktif merupakan

komponen bahan topikal yang memiliki efektivitas tertentu sedangkan zat pembawa

(basis) adalah bagian inaktif dari sediaan yang membawa bahan aktif dapat kontak

dengan kulit. Idealnya zat pembawa mudah dioleskan, mudah dibersihkan, tidak

mengiritasi serta menyenangkan dari segi estetika (Yanhendri, 2012)

6. Lotion

Lotion adalah sediaan cair berupa suspensi atau dispers, digunakan sebagai obat

luar. Dapat berbentuk suspensi zat padat dalam bentuk serbuk halus dengan bahan

pensuspensi yang cocok atau emulsi tipe m/a dengan surfaktan yang cocok. Dapat

ditambahkan zat warna, zat pengawet dan zat pewangi yang cocok. Penandaan

harus juga tertera: “obat luar” atau “kocok dahulu” (Depkes RI, 1979).

Lotion adalah sediaan berupa larutan, suspensi, atau emulsi dimaksudkan untuk

penggunaan pada kulit. Penambahan etanol 90% dalam lotion akan mempercepat

proses pengeringan dan memberikan efek pendinginan sedangkan penambahan

gliserol akan menyebabkan kulit tetap lembab dalam waktu tertentu (Depkes RI,

1978).

Lotion dapat didefinisikan sebagai krim encer. Lotion juga merupakan emulsi

tetapi kandungan lilin dan minyaknya lebih rendah dibandingkan krim. Hal ini

menyebabkan lotion lebih encer dan kurang berminyak. Lotion memberikan rasa

14

nyaman dan baik pada kulit. Sebagai emulsi, lotion memiliki banyak kesulitan

dalam pembuatannya seperti layaknya krim, tetapi lotion lebih mudah dibuat

dibandingkan krim karena lebih encer, dan waktu pemanasan dan pendinginannya

lebih singkat. (Rieger, 2000). Tipe paling umum dari emulsi, lotion maupun

kosmetik lainnya terdiri dari air sebagai salah satu fase dan minyak atau lemak

sebagai fase lainnya. Jika tetesan-tetesan didispersikan dalam suatu air sebagai fase

dispers, maka disebut emulsi minyak dalam air (m/a), jika minyak merupakan fase

dispers, emulsi tersebut merupakan tipe air dalam minyak (a/m) (Lachman et al.,

1994).

7. Substantivitas

Substantivitas adalah kemampuan dari tabir surya untuk melekat pada kulit.

Tabir surya dengan nilai SPF yang bagus seharusnya juga memerlukan

substantivitas yang baik untuk perlindungan dari sinar matahari (Khopkar et al.,

2007). Substantivitas adalah derajat perlindungan dari tabir surya untuk tetap

mempertahankan efektivitas dibawah suatu kondisi seperti terpapar air atau

berkeringat. Berdasarkan FDA U.S, tabir surya dapat dikatakan tahan air apabila

tabir surya dapat mempertahankan nilai SPF nya setelah 40-80 menit terkena

paparan air atau keringat (Lowe et al., 1997).

8. Pati kentang (Solanum tuberosum L.)

Pati (starch) adalah karbohidrat kompleks yang tidak larut dalam air, serbuk

putih, tidak berasa, tidak berbau. Pati merupakan bahan utama yang dihasilkan oleh

tumbuhan untuk menyimpan kelebihan glukosa (sebagai produk fotosintesis) dalam

jangka panjang. Sumber pati utama di Indonesia adalah beras. Di samping itu

15

dijumpai beberapa sumber pati lainnya yaitu: jagung, kentang, tapioka, dan lain-

lain. (Whistler et al., 1984). Pati tersusun paling sedikit oleh tiga komponen utama

yaitu amilosa, amilopektin dan material antara seperti, protein dan lemak

(Greenwood and Banks, 1975). Umumnya pati mengandung 15 – 30% amilosa, 70

– 85% amilopektin dan 5 – 10% material antara. Struktur dan jenis material antara

tiap sumber pati berbeda tergantung sifat-sifat botani sumber pati tersebut. Secara

umum dapat dikatakan bahwa pati biji-bijian mengandung bahan antara yang lebih

besar dibandingkan pati batang dan pati umbi (Whistler et al., 1984).

Kandungan kimia dari kentang (Solanum tuberosum L.) antara lain karbohidrat

19 g, pati 15g, serat pangan 2,2 g, lemak 0,1 g, protein 2 g, air 75 g Granula pati

kentang adalah yang terbesar ukurannya di antara pati-pati komersial yaitu sekitar

5-100 µm. Bentuk granula pati kentang adalah oval atau bulat telur. Pati kentang

mengandung 79% b/b amilopektin dan 21% b/b amilosa. Suhu gelatinasi pati

kentang 58-680C (Swinkels, 1985).

Kandungan kentang yaitu enzim catecholase berfungsi untuk menghilangkan

noda hitam pada wajah dan menjadikan lebih cerah pada wajah apabila digunakan

sebagai masker wajah. Selain itu, pada umbi kentang itu sendiri memiliki

kandungan vitamin C, vitamin B6 yang mampu menangkal radikal bebas dan

radiasi sinar yang berbahaya akan masuk ke tubuh (Maspiyah & Kartikasari, 2015).

9. Komponen lotion oil in water pati kentang

a. Gliserin

Gliserin berfungsi sebagai humektan atau pengental dengan cara

meningkatkan kandungan air pada rentang kadar < 30%. Gliserin memiliki

16

ciri yaitu jernih, tidak berwarna, tidak berbau, kental, dan memiliki rasa

manis sekitar 0,6 kali semanis sukrosa. Gliserin memiliki titik lebur 17,80C

dan larut dalam air sehingga gliserin digunakan sebagai basis air pada lotion

oil in water. (Rowe et al., 2009)

b. Trietanolamin

Jernih, tidak berwarna menuju warna kuning pucat, sedikit berbau amoniak.

Trietanolamin berfungsi sebagai agen pengemulsi untuk penstabil emulsi

minyak dalam air dengan rentang 2-4% pada umumnya. (Rowe et al., 2009).

Trietanolamin dapat bercampur dengan air sehingga termasuk dalam fase

air pada formulasi lotion oil in water.

c. Parafin cair

Transparan, tidak berwarna, cairan kental berminyak, tidak berasa, tidak

berbau ketika dingin. Mineral oil atau parafin cair digunakan sebagai

eksipien dari sediaan topikal. Parafin cair pada fase minyak berfungsi

sebagai solven dan emolien dengan rentang 1-32% yang mampu

memberikan kelembutan pada kulit (Rowe et al., 2009).

d. Asam stearat

Keras, putih atau kuning pucat. Berbentuk kristal padat atau putih atau

bubuk putih kekuningan. Berbau lemah dan sedikit berlemak. Asam stearat

sering digunakan pada sediaan oral maupun topikal. Pada formulasi topikal

minyak dalam air asam stearat digunakan sebagai agen pengemulsi dan

peningkat daya larut dengan rentang kadar 1-20% (Rowe et al., 2009).

17

Asam stearat praktis tidak larut dalam air sehingga pada formulasi lotion oil

in water masuk pada fase minyak.

e. Setil alkohol

Bahan seperti lilin, bergranul, bau dan rasa khas. Setil alkohol sering

digunakan dalam kosmetik dan sediaan farmasetik seperti suppositoria,

tablet lepas terkontrol, emulsi, lotion, krim dan salap. Pada lotion dan krim

setil alkohol digunakan sebagai emolien (2-5%) dan agen pengemulsi (2-

5%). Setil alkohol juga digunakan sebagai penyerap air (5%) dalam emulsi

air dalam minyak sehingga termasuk dalam fase minyak pada formulasi.

Setil alkohol juga dapat meningkatkan konsistensi dari emulsi air dalam

minyak (Rowe, et al., 2009).

f. Lanolin alkohol

Bentuk padat dengan karakteristik bau khas sterol. Lanolin alkohol adalah

bentuk padat yang lembut yang digunakan untuk formulasi sediaan topikal

dan kosmetik sebagai basis salap dengan sifat emolien (5-50%). Juga

digunakan untuk preparasi krim dan lotion (Rowe et al., 2009).

g. Vaselin kuning

Sediaan semisolid yang terdiri dari hidrokarbon (jumlah karbon lebih dari

25) (Yanhendri, 2012). Berwarna kuning, tembus cahaya, tidak berasa, tidak

berbau. Vaselin kuning atau petrolatum digunakan sebagai formulasi

sediaan topikal. Vaselin Kuning juga digunakan dalam lotion sebagai

lubrikan yang digunakan bersama mineral oil (4-25%) sehingga termasuk

pada fase minyak pada formulasi lotion oil in water (Rowe et al., 2009).

18

h. Metil paraben

Metilparaben berbentuk kristal tidak berwarna atau kristal bubuk berwarna

putih, tidak berbau dan sedikit memiliki rasa terbakar. Metilparaben sering

digunakan sebagai pengawet antimikroba pada sediaan kosmetik, makanan,

dan formulasi farmasetik dengan rentang kadar 0,02-0,3% untuk sediaan

kosmetik (Rowe et al., 2009).

i. Propil paraben

Propil Paraben berwarna putih, berbentuk kristal, tidak berbau dan tidak

berasa. Propil paraben digunakan sebagai pengawet antibakteri pada

kosmetik, makanan dan sediaan farmasetik dengan rentang kadar 0,01-0,6%

untuk sediaan topikal. (Rowe et al., 2009)

j. 8-MOP (Methoxsalen)

Methoksalen adalah hasil produksi dari psoralen dari berbagai tanaman

(seledri, wortel, lemon, dan lain-lain) yang ditemukan di area tropis

(Ashwood Smith et al., 1985). Methoksalen merupakan senyawa

penginduksi yang menstimulasi fotoaktivasi, sehingga meningkatkan

reaktivitas kulit terhadap radiasi UV dan mempercepat timbulnya eritema.

Eritema yang timbul digunakan sebagai pengukuran SPF (Sun Protecting

Factor) yaitu MED (dosis eritema minimum) pada kulit yang terlindungi

tabir surya dibagi dengan MED (dosis eritema minimum) pada kulit yang

tidak terlindungi tabir surya namun sering pula MED dapat dinyatakan

sebagai waktu paparan yang menyebabkan eritema (Roberts and Walters,

2008). Methoksalen biasanya diberikan dengan susu atau makanan 1,5-2

19

jam sebelum dipapar oleh radiasi UV. Dosis umum methoksalen

berdasarkan berat subjek uji, apabila berat subjek uji kurang dari 30 kg maka

dosis lazim yang diberikan 10 mg/kgBB. Subjek uji yang beratnya lebih dari

115 kg maka dosis lazim yang diberikan sebesar 70 mg/kgBB (Mc Evoy,

2007).

F. Landasan Teori

Berdasarkan penelitian terdahulu, bahan alamiah seperti pati bengkuang, pati

jagung dan pati beras memiliki aktivitas sebagai tabir surya fisik walaupun

memiliki nilai SPF yang masih kecil. SPF pati bengkuang 1,22;1,52 dan 2,38 pada

konsentrasi pati kentang 15,00%; 20,00% dan 25,00% (Zulkarnain dkk., 2013).

Sedangkan nilai SPF dari pati jagung dan pati beras sebesar 3,05-3,85 pada

konsentrasi pati kentang 10,00% dan 15,00% (Nursal dkk., 2006). Namun, bahan

alamiah seperti pati kentang (Solanum tuberosum L.) belum ada penelitian yang

menyatakan dapat digunakan sebagai tabir surya. Pati kentang diduga memiliki

aktivitas sebagai tabir surya karena sifat opaque pati yang tidak dapat ditembus

cahaya tetapi dapat memantulkan sinar, sangat bermanfaat untuk mencegah

penetrasi radiasi sinar ultraviolet pada kulit (Nursal dkk., 2006). Selain itu, kentang

memiliki enzim catecholase yang berfungsi untuk menghilangkan noda hitam pada

wajah. Oleh karena itu, penelitian ini mencoba menggunakan pati kentang

berpotensi memberikan efek sebagai tabir surya. Sehingga diharapkan pati kentang

memiliki aktivitas sebagai tabir surya dengan nilai SPF yang lebih besar dari pati

bengkuang, pati jagung dan pati beras.

20

Penelitian sebelumnya diketahui bahwa penambahan pati bengkuang pada

konsentrasi 15,00%; 20,00% dan 25,00% memberikan pengaruh yang berbeda

bermakna terhadap stabilitas fisik lotion oil in water selama satu bulan

penyimpanan (Ernawati, 2011). Peningkatan konsentrasi pati bengkuang cenderung

menyebabkan viskositas mengalami kenaikan karena pati adalah suatu polimer

yang dapat menyerap air dari medium dispers pada sistem emulsi (Zulkarnain,

2013) sehingga dapat mempengaruhi sifat dari daya lekat, daya sebar maupun

stabilitas sediaan selama dilakukan penyimpanan. Pada penelitian Nursal dkk.

(2006) melakukan pengamatan stabilitas fisik pada beberapa konsentrasi pati

jagung dan pati beras menunjukkan bahwa beberapa formula mengalami perubahan

pH dan viskositas yang cukup signifikan namun pada konsentrasi 10,00% dan

15,00% tidak mengalami perubahan pH dan viskositas yang signifikan. Suatu

produk dapat dikatakan stabil secara fisik apabila sifat dan karakteristik sediaan

ketika selesai dibuat tidak berbeda dengan sifat dan karakteristik sediaan setelah

dilakukan penyimpanan.

Pada penelitian ini pati kentang akan diformulasikan menjadi sediaan tabir

surya berupa lotion o/w yang dilakukan variasi konsentrasi pada pati kentang

10,00%; 12,50%; 15,00%; 17,50%; 20,00% b/b (Nursal dkk., 2006). Evaluasi

stabilitas fisik lotion dilakukan selama penyimpanan dengan pemeriksaan

organoleptis, homogenitas, pH, viskositas, uji daya sebar, uji daya lekat, serta

stabilitas sediaan dengan siklus freeze thaw. Penentuan konsentrasi yang stabil

dilihat dari parameter uji evaluasi stabilitas fisik selama penyimpanan tersebut

untuk dilakukan uji aktivitas tabir surya. Sedangkan kontrol positif yang digunakan

21

pada penelitian yaitu titanium dioksida dengan konsentrasi yang sesuai dengan

konsentrasi terpilih dari pati kentang. Aktivitas tabir surya dilakukan dengan

mencari nilai faktor pelindung surya atau Sun Protecting Factor (SPF) yang

ditentukan secara in vivo menggunakan kelinci albino yang sebelumnya diinduksi

dengan pemberian 8-MOP atau methoxsalen.

G. Hipotesis

1. Lotion oil in water dengan variasi konsentrasi pati kentang 15% yang di

formulasikan diduga akan menghasilkan sediaan lotion yang stabil selama satu

bulan penyimpanan.

2. Kenaikan konsentrasi pati kentang diduga memiliki pengaruh yang berbeda

bermakna terhadap stabilitas fisik lotion oil water selama satu bulan

penyimpanan.

3. Sediaan lotion oil in water pati kentang diduga memiliki nilai SPF sebesar 15

pada kelinci albino yang diinduksi methoxsalen (8-MOP) .