bab i pendahuluan a. latar belakang...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan Negara beriklim tropis. Sebagai Negara tropis, Indonesia
mendapatkan intensitas sinar matahari lebih besar. Sinar matahari di permukaan
bumi menghasilkan radiasi yang sangat berbahaya karena memiliki energi yang
sangat tinggi dan bersifat karsinogenik (Kaur dan Saraf, 2009). Sinar matahari yang
sampai di permukaan bumi sebanyak lebih dari 90% adalah sinar UV A dan kurang
dari 10% adalah sinar UV B (Baron, 2014).
Radiasi sinar UV baik UV A maupun UV B dapat menyebabkan kerusakan
kulit, kulit terbakar serta menyebabkan noda-noda cokelat dan keringnya kulit
bahkan dapat menyebabkan kanker kulit (Zulkarnain dkk., 2013). Untuk mencegah
semua efek yang timbul oleh sinar matahari maka sangat penting menggunakan
perlindungan secara kimiawi yaitu penggunaan tabir surya. Penelitian tentang cara
pencegahan dan pengurangan dampak negatif dari sinar matahari terhadap kulit
dengan penggunaan kosmetik tabir surya (Garoli et al., 2009). Sediaan tabir surya
mengandung bahan aktif fotoprotektor yang berfungsi menyerap, menghalangi,
memantulkan atau menghamburkan radiasi sinar matahari (Wasitaatmadja, 1997).
Umumnya sediaan tabir surya diformulasi ke dalam bentuk sediaan yang dapat
digunakan sehari-hari seperti krim atau lotion (Roberts and Walters, 2008). Tabir
surya sintetik memiliki mekanisme secara fisik atau kimia yang dapat menghambat
penetrasi sinar UV ke dalam kulit (Oroh & Harun, 2001). Tabir surya yang memiliki
mekanisme fisik yaitu tabir surya yang dapat memantulkan sinar UV misalnya
2
titanium dioksida dan seng oksida. Tabir surya alamiah banyak digunakan oleh
masyarakat karena dianggap lebih aman dan harganya terjangkau. Tabir surya
alamiah yang sudah banyak digunakan sebagai tabir surya yaitu teh, wortel, lidah
buaya, pati bengkuang, pati jagung, pati beras dan bahan lainnya. Namun, bahan
alamiah seperti pati kentang (Solanum tuberosum L.) belum ada penelitian yang
menyatakan dapat digunakan sebagai tabir surya. Pati kentang diduga memiliki
aktivitas sebagai tabir surya karena sifat opaque pati yang tidak dapat ditembus
cahaya tetapi dapat memantulkan sinar, sangat bermanfaat untuk mencegah
penetrasi radiasi sinar ultraviolet pada kulit (Nursal dkk., 2006). Penelitian
terdahulu menyatakan bahwa pati kentang (Solanum tuberosum L.) bisa menjadi
sumber alternatif untuk menghilangkan noda hitam bekas jerawat dan menjadikan
lebih cerah pada wajah apabila digunakan sebagai masker wajah karena
mengandung enzim catecholase. Selain itu, pada buah kentang itu sendiri memiliki
kandungan vitamin C, vitamin B6 yang mampu menangkal radikal bebas dan
radiasi sinar yang berbahaya akan masuk ke tubuh (Maspiyah & Kartikasari, 2015).
Efektivitas sediaan tabir surya didasarkan pada penentuan nilai Faktor
Pelindung Sinar (FPS) atau Sun Protecting Factor (SPF) yang menggambarkan
kemampuan tabir surya dalam melindungi kulit dari eritema (Stanfield, 2003)
Pengukuran SPF paling penting menggunakan metode in vivo untuk melihat efikasi
produk tabir surya (Draelos and Thaman, 2006).
Sediaan lotion oil in water memiliki kandungan lilin dan minyak yang lebih
rendah dibandingkan krim, sehingga sediaan lotion o/w lebih encer dan kurang
berminyak. Sifat tersebut yang menyebabkan sediaan lotion o/w memberikan rasa
3
nyaman pada kulit. Selain itu, lotion lebih mudah dibuat dibandingkan dengan krim
karena lebih encer, waktu pemanasan dan pendinginannya lebih singkat (Rieger,
2000).
Peneliti melakukan pengembangan produk tabir surya yang bekerja secara fisik
berasal dari pati kentang (Solanum tuberosum L.). Pada penelitian ini, pati kentang
dibuat dalam bentuk sediaan lotion oil in water (o/w) dengan berbagai variasi
konsentrasi pati kentang sebesar 10,00%; 12,50%; 15,00%; 17,50% dan 20,00%
(Nursal dkk., 2006). Evaluasi stabilitas fisik formulasi lotion yang telah dibuat
dilakukan selama satu bulan penyimpanan dengan pemeriksaan organoleptis,
homogenitas, pH, viskositas, uji daya sebar, daya lekat, serta stabilitas sediaan
dengan siklus freeze thaw. Peningkatan konsentrasi pati kentang cenderung
menyebabkan viskositas mengalami kenaikan karena pati adalah suatu polimer
yang dapat menyerap air dari medium dispers pada sistem emulsi (Zulkarnain,
2013) sehingga dapat mempengaruhi sifat dari daya lekat, daya sebar maupun
stabilitas sediaan selama dilakukan penyimpanan. Suatu produk dapat dikatakan
stabil secara fisik apabila sifat dan karakteristik sediaan ketika selesai dibuat tidak
berbeda secara signifikan dengan sifat dan karakteristik sediaan setelah dilakukan
penyimpanan. Aktivitas tabir surya dilakukan dengan mencari nilai Sun Protecting
Factor (SPF) sediaan lotion pati kentang yang ditentukan secara in vivo
menggunakan kelinci albino jenis Australia yang sebelumnya diinduksi dengan
pemberian 8-MOP atau methoxsalen, kemudian disinari dengan lampu UV.
4
B. Rumusan Masalah
1. Berapakah hasil dari nilai variasi konsentrasi pati kentang pada lotion oil in
water yang paling stabil selama satu bulan penyimpanan?
2. Apakah peningkatan konsentrasi pati kentang memberikan pengaruh terhadap
stabilitas fisik lotion oil in water selama satu bulan penyimpanan?
3. Bagaimanakah hasil dari nilai SPF yang didapatkan dari lotion oil in water pati
kentang pada kelinci albino yang diinduksi methoxsalen (8-MOP)?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui hasil dari nilai variasi konsentrasi pati kentang pada lotion oil in
water pati yang paling stabil selama satu bulan penyimpanan.
2. Mengetahui adanya pengaruh peningkatan konsentrasi pati kentang terhadap
stabilitas fisik lotion oil in water selama satu bulan penyimpanan.
3. Mengetahui hasil dari nilai SPF yang didapatkan dari lotion oil in water pati
kentang pada kelinci albino yang diinduksi methoxsalen (8-MOP).
D. Manfaat Penelitian
Dari penelitian ini diharapkan pati kentang dalam bentuk lotion oil in water
bermanfaat sebagai tabir surya yang memenuhi persyaratan farmasetika yang stabil
secara fisik dan menambah pemanfaatan bahan alam di bidang kosmetika.
E. Tinjauan Pustaka
1. Kulit
Kulit adalah organ paling besar pada tubuh manusia. Luas kulit orang dewasa
sekitar 2 m2 dengan berat kira-kira 15% dari total berat badan (Lai Cheong and Mc
5
Grath, 2013). Kulit merupakan organ yang esensial dan vital serta merupakan
cermin kesehatan dan kehidupan (Djuanda, 1999). Kulit juga sangat kompleks,
elastis dan sensitif, bervariasi pada keadaan iklim, umur, jenis kelamin, ras, dan
juga bergantung pada lokasi tubuh (Tortora and Derrickson, 2009). Kulit
mempunyai berbagai fungsi seperti sebagai perlindung, penyerap, indera perasa,
dan fungsi ekskresi (Setiabudi, 2008). Pembagian kulit secara garis besar tersusun
atas tiga lapisan utama yaitu lapisan epidermis, lapisan dermis, dan lapisan subkutis
(hypodermis). Penyakit kulit dapat berefek pada setiap area dari kulit (Lai Cheong
and Mc Grath, 2013)
Gambar 1: Penampang Kulit (Venus et al., 2010)
a. Lapisan epidermis (kutikel)
6
Epidermis adalah lapisan kulit paling luar. Sel utama pada lapisan epidermis
yaitu sel keratinosit. Melanosit, sel Langerhans dan sel Merkel hanya sebesar
5% (Lai Cheong and Mc Grath, 2013). Keratinosit mensintesis keratin dan
memproduksi sitokin sebagai respon ketika kulit terluka. Epidermis dibagi
menjadi 4 lapisan yaitu:
1). Stratum Korneum (lapisan tanduk) : lapisan kulit paling luar yang terdiri
atas sel-sel yang bermigrasi dari stratum granulosum. Sel-sel tersebut (sekarang
disebut korneosit) telah kehilangan nucleus dan sitoplasma. Sel ini akan
Nampak tebal pada telapak tangan dan kaki sedangkan tidak terlalu tebal di
tempat lain (Venus et al., 2010)
2). Stratum Granulosum (lapisan sel granular) : Keratinosit di lapisan
granular mengandung butiran kasar intraselular dari keratohialin (Venus et al.,
2010)
3). Stratum Spinosum (lapisan spinus atau prickle cell layer) : Sel ini terdiri
dari sel polygonal dengan ukuran yang bermacam-macam yang dihubungkan
oleh desmosome. Diantara sel spinosum juga terdapat sel Langerhans
(Wasitaatmadja, 1997)
4). Stratum Basal (lapisan sel basal) : Sel ini umumnya hanya berupa suatu
sel yang tebal. Pada lapisan ini terdapat melanin (melanosit) yang mengandung
pigmen (melanosom) (Venus et al., 2010)
b. Lapisan dermis
Lapisan di bawah epidermis yang jauh lebih tebal daripada epidermis
dengan ketebalan 0,55 mm. Dermis yang tipis ditemukan di sekitar mata
7
sedangkan dermis yang tebal ditemukan disekitar punggung (Lai Cheong and
Mc Grath, 2013). Secara garis besar lapisan dermis dibagi menjadi dua, yaitu
pers papilare dan pars retikulare (Wasitaatmadja, 1997). Sekitar 70% dari berat
dermis terdapat kolagen yang dominan. 55% adalah kolagen tipe 1 dan 15%
adalah kolagen tipe 3 (Venus et al., 2010).
c. Lapisan subkutis
Subkutis adalah lapisan paling dalam dari kulit. Lapisan subkutis terdiri atas
jaringan ikat longgar berisi sel-sel lemak di dalamnya. Lapisan lemak ini
berfungsi sebagai cadangan makanan. Lapisan ini terdapat pada ujung saraf
tepi, pembuluh darah, dan getah bening (Wasitaatmadja, 1997).
Kulit berfungsi sebagai lapisan pelindung dari radiasi UV dengan dua cara,
yaitu stratum korneum memantulkan radiasi, jadi dapat mengurangi dosis paparan
radiasi UV. Selain itu, paparan sinar matahari meningkatkan aktivitas melanosit,
memproduksi melanosom dan mentransfer melanin ke lapisan epidermis. Hal ini
dapat membantu mengurangi absorpsi radiasi UV yang dapat merusak sel (Venus
et al., 2010).
Berdasarkan reaktivitas melanin terhadap paparan radiasi UV, Fitzpatrick
membagi kulit manusia menjadi 6 tipe. Penggolongan kulit manusia oleh
Flitzpatrick dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
8
Tabel I. Penggolongan Tipe Kulit Manusia Berdasarkan Ketahanan Kulit Yang Terpapar
Radiasi UV (Flitzpatrick Classification)
Tipe Kulit Kondisi kulit yang terpapar radiasi
UV
Warna Kulit
I Kulit mudah terbakar, tidak terjadi
pencoklatan
Ras Kaukasia
Kulit pucat, bitnik di kulit
II Kulit mudah terbakar, jarang
terjadi pencoklatan
Ras Kaukasia
Kulit kuning langsat
III Kulit tidak mudah terbakar,
pencoklatan secara bertahap
Kaukasia gelap atau asia cerah
Kulit agak kuning langsat
IV Tidak terlalu banyak terbakar Mediterania, asia, hispanik
Kulit coklat muda
V Jarang terbakar, susah terjadi
pencoklatan
Middle eastern, Indian, Amerika
Latin
Kulit coklat VI Tidak terbakar Kulit hitam
(Kochevar and Krutman, 2008)
2. Sinar matahari dan kerusakan kulit
Sinar matahari di permukaan bumi menghasilkan radiasi yang terdiri dari
beberapa spektrum antara lain sinar inframerah (>760 nm), sinar tampak (400-760
nm), sinar UV A (315-400 nm), sinar UV B (290-315 nm), dan sinar UVC (100-
290 nm). Radiasi tersebut sangat berbahaya karena memiliki energi yang sangat
tinggi dan bersifat karsinogenik (Kaur dan Saraf, 2009). Sinar UV A menyebabkan
kerusakan kulit yang menjurus ke arah penuaan dan dapat bersifat karsinogenik
apabila bersama dengan UV B. Sinar UV B menyebabkan kulit terbakar (sunburn)
dan dapat menginduksi kanker kulit. Sementara UV C tidak sampai ke permukaan
bumi karena terserap oleh lapisan ozon tetapi apabila lapisan ozon semakin tipis
makan UV C menjadi faktor penting penyebab kanker kulit di masa depan (Venus
et al., 2010).
Sinar UV A diketahui dapat menimbulkan warna kehitaman yang timbul segera
atau beberapa saat setelah terpapar sinar matahari. Sinar UV A juga dapat
9
menyebabkan timbulnya eritema tetapi eritema yang muncul tidak separah apabila
terpapar sinar UV B. Sinar UV B dapat menyebabkan eritema yang hebat sehingga
tampak adanya pembengkakan yang hebat pada kulit. Reaksi kemerahan ini
intensitasnya maksimal 15-24 jam setelah paparan dengan sinar UV B (Harun,
1995).
Mekanisme terbakarnya kulit (sunburn) dan eritema dapat terjadi karena adanya
reaksi inflamasi pada jaringan hidup. Inflamasi ini merupakan mekanisme
pertahanan tubuh untuk menghancurkan jaringan nekrosis, netralisasi, dan
pembuangan agen penyerang termasuk radiasi sinar UV. Inflamasi dapat terjadi
secara imunologis karena adanya suatu respon imun maupun respon non
imunologis karena adanya rangsangan non imunologis seperti radiasi UV. Sinar UV
B menyebabkan kerusakan sel akan memicu inflamasi dengan melepaskan
mediator-mediator inflamasi yang terkandung didalamnya seperti prostaglandin,
histamine, serotonin, dan leukotriene (Pawening, 2009).
3. Tabir surya (uv protection)
Tabir surya adalah suatu sediaan yang mengandung senyawa kimia yang dapat
menyerap, menghamburkan atau memantulkan sinar UV yang mengenai kulit,
sehingga dapat digunakan untuk melindungi fungsi dan struktur kulit manusia dari
efek negatif sinar UV (Draelos and Thaman, 2006). Tabir surya pada umumnya di
formulasi ke dalam sediaan yang biasa dipakai sehari-hari seperti krim dan lotion
untuk mencegah masuknya sinar matahari dan melindungi kulit dari kerusakan,
tabir surya harus bekerja secara efektif dalam mencegah masuknya radiasi UV ke
jaringan kulit (Roberts and Walters, 2008)
10
Tabir surya sediaan topikal dapat dibedakan menjadi 2 macam yaitu tabir surya
kimiawi atau organik dan tabir surya fisik atau inorganik. Mekanisme perlindungan
tabir surya:
a. Tabir surya kimiawi atau organik
Tabir surya kimiawi umumnya merupakan ikatan aromatik yang berkonjugasi
dengan gugus karbonil. Struktur kimiawi bekerja dengan menyerap radiasi UV
dan menghilang sebagai energi dengan panjang gelombang lebih besar, sehingga
dapat melindungi kulit dari potensi kerusakan akibat energi dari radiasi UV.
Komposisi tabir surya organik mencakup PABA (para-aminobenzoic acid) dan
turunannya seperti sinamat, salisilat, dan kampor (Roberts and Walters, 2008).
Paparan sinar matahari meningkatkan aktivitas melanosit, memproduksi
melanosom dan mentransfer melanin ke lapisan epidermis. Hal ini dapat
membantu mengurangi absorpsi radiasi UV yang dapat merusak sel (Venus et
al., 2010).
b. Tabir surya fisik atau inorganik
Tabir surya inorganik mengeblok UV A maupun UV B dengan
memantulkan dan menghamburkan tetapi juga menyerap radiasi UV. Tabir
surya inorganik seperti zink oksida dan titanium dioksida bekerja dengan cara
memantulkan dan menghamburkan radiasi UV yang tergantung dari index bias,
ukuran partikel, disperse emulsi dan ketebalan film. Titanium dioksida dapat
meningkatkan kemampuan sebagai tabir surya karena memiliki nilai SPF yang
cukup tinggi, spektrum penyerapan yang luas (Roberts and Walters, 2008).
11
4. Sun protecting factor (SPF)
Efektivitas sediaan tabir surya didasarkan pada penentuan nilai Faktor
Pelindung Sinar (FPS) atau Sun Protecting Factor (SPF) yang menggambarkan
kemampuan tabir surya dalam melindungi kulit dari eritema (Stanfield, 2003). Sun
Protecting Factor (SPF) diukur dari dosis eritema minimum (MED) pada kulit yang
terlindungi tabir surya dibagi dengan dosis eritema minimum (MED) pada kulit
yang tidak terlindungi tabir surya. MED adalah dosis terkecil dari radiasi UV yang
dapat menimbulkan eritema dengan batasan yang jelas. Sering pula MED dapat
dinyatakan sebagai waktu paparan yang menyebabkan eritema. Eritema utamanya
disebabkan dari UV B, sehingga nilai SPF sebagai indikator keefektifan produk
tabir surya untuk mencegah masuknya UV B ke dalam kulit (Roberts and Walters,
2008).
Nilai SPF dapat ditentukan dengan cara mengaplikasikan tabir surya pada dosis
tertentu sebanyak 2 mg/cm2 dengan luas area punggung sebesar 50-100 cm2
(Roberts and Walters, 2008). Dosis UV atau waktu yang digunakan untuk
menghitung SPF berdasarkan persamaan:
𝑆𝑃𝐹 =𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠/𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢 𝐸𝑟𝑖𝑡𝑒𝑚𝑎 𝑀𝑖𝑛𝑖𝑚𝑢𝑚 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑙𝑜𝑡𝑖𝑜𝑛 𝑡𝑎𝑏𝑖𝑟 𝑠𝑢𝑟𝑦𝑎
𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠/𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢 𝐸𝑟𝑖𝑡𝑒𝑚𝑎 𝑀𝑖𝑛𝑖𝑚𝑢𝑚 𝑡𝑎𝑛𝑝𝑎 𝑙𝑜𝑡𝑖𝑜𝑛 𝑡𝑎𝑏𝑖𝑟 𝑠𝑢𝑟𝑦𝑎
Berdasarkan hipotesis Nash dan Tanner bahwa produk tabir surya untuk zat
aktif yang memiliki efek perlindungan terhadap tabir surya seperti titanium
dioksida, zink oksida, avobenzone, benzofenon, ensulizol, homosalat, dan lain-lain
mengandung konsentrasi sebesar 10-15% memiliki nilai SPF 15 sedangkan pada
12
konsentrasi 30% ke atas memiliki nilai SPF 45 tergantung dari jumlah air dan
komponen lain yang terdapat pada tabir surya (Draelos & Thaman, 2006).
Gambar 2: Hipotesis Produk Tabir Surya Dengan SPF 8-45 Berdasarkan Peningkatan
Komponen UV Filter (Draelos & Thaman, 2006)
5. Kosmetika
Definisi kosmetik dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
445/MENKES/PER/V/1998 adalah sebagai berikut: “Kosmetik adalah sediaan atau
paduan bahan yang siap untuk digunakan pada bagian luar badan (epidermis,
rambut, kuku, bibir dan organ kelamin bagian luar), gigi, dan rongga mulut untuk
membersihkan, menambah daya tarik, mengubah penampakan, melindungi supaya
tetap dalam keadaan baik, memperbaiki bau badan tetapi tidak dimaksudkan untuk
mengobati atau menyembuhkan penyakit.”
Menurut definisi kosmetika diatas, yang dimaksud dengan ‘tidak dimaksudkan
untuk mengobati atau menyembuhkan suatu penyakit’ adalah penggunaan dari
kosmetik tersebut tidak mempengaruhi struktur dan faal kulit. Kosmetika pada
umumnya dalam bentuk sediaan topikal (Ernawati, 2011)
13
Sediaan topikal berasal dari Bahasa Yunani topikos yang artinya berkaitan
dengan daerah permukaan tertentu (Koesoemawati dkk., 2002). Dalam literatur lain
disebutkan kata topikal berasal dari kata topos yang berarti lokasi atau tempat
(Wolverton, 2001). Sediaan topikal adalah sediaan yang mengandung dua
komponen dasar yaitu zat pembawa (vehikulum) dan zat aktif. Zat aktif merupakan
komponen bahan topikal yang memiliki efektivitas tertentu sedangkan zat pembawa
(basis) adalah bagian inaktif dari sediaan yang membawa bahan aktif dapat kontak
dengan kulit. Idealnya zat pembawa mudah dioleskan, mudah dibersihkan, tidak
mengiritasi serta menyenangkan dari segi estetika (Yanhendri, 2012)
6. Lotion
Lotion adalah sediaan cair berupa suspensi atau dispers, digunakan sebagai obat
luar. Dapat berbentuk suspensi zat padat dalam bentuk serbuk halus dengan bahan
pensuspensi yang cocok atau emulsi tipe m/a dengan surfaktan yang cocok. Dapat
ditambahkan zat warna, zat pengawet dan zat pewangi yang cocok. Penandaan
harus juga tertera: “obat luar” atau “kocok dahulu” (Depkes RI, 1979).
Lotion adalah sediaan berupa larutan, suspensi, atau emulsi dimaksudkan untuk
penggunaan pada kulit. Penambahan etanol 90% dalam lotion akan mempercepat
proses pengeringan dan memberikan efek pendinginan sedangkan penambahan
gliserol akan menyebabkan kulit tetap lembab dalam waktu tertentu (Depkes RI,
1978).
Lotion dapat didefinisikan sebagai krim encer. Lotion juga merupakan emulsi
tetapi kandungan lilin dan minyaknya lebih rendah dibandingkan krim. Hal ini
menyebabkan lotion lebih encer dan kurang berminyak. Lotion memberikan rasa
14
nyaman dan baik pada kulit. Sebagai emulsi, lotion memiliki banyak kesulitan
dalam pembuatannya seperti layaknya krim, tetapi lotion lebih mudah dibuat
dibandingkan krim karena lebih encer, dan waktu pemanasan dan pendinginannya
lebih singkat. (Rieger, 2000). Tipe paling umum dari emulsi, lotion maupun
kosmetik lainnya terdiri dari air sebagai salah satu fase dan minyak atau lemak
sebagai fase lainnya. Jika tetesan-tetesan didispersikan dalam suatu air sebagai fase
dispers, maka disebut emulsi minyak dalam air (m/a), jika minyak merupakan fase
dispers, emulsi tersebut merupakan tipe air dalam minyak (a/m) (Lachman et al.,
1994).
7. Substantivitas
Substantivitas adalah kemampuan dari tabir surya untuk melekat pada kulit.
Tabir surya dengan nilai SPF yang bagus seharusnya juga memerlukan
substantivitas yang baik untuk perlindungan dari sinar matahari (Khopkar et al.,
2007). Substantivitas adalah derajat perlindungan dari tabir surya untuk tetap
mempertahankan efektivitas dibawah suatu kondisi seperti terpapar air atau
berkeringat. Berdasarkan FDA U.S, tabir surya dapat dikatakan tahan air apabila
tabir surya dapat mempertahankan nilai SPF nya setelah 40-80 menit terkena
paparan air atau keringat (Lowe et al., 1997).
8. Pati kentang (Solanum tuberosum L.)
Pati (starch) adalah karbohidrat kompleks yang tidak larut dalam air, serbuk
putih, tidak berasa, tidak berbau. Pati merupakan bahan utama yang dihasilkan oleh
tumbuhan untuk menyimpan kelebihan glukosa (sebagai produk fotosintesis) dalam
jangka panjang. Sumber pati utama di Indonesia adalah beras. Di samping itu
15
dijumpai beberapa sumber pati lainnya yaitu: jagung, kentang, tapioka, dan lain-
lain. (Whistler et al., 1984). Pati tersusun paling sedikit oleh tiga komponen utama
yaitu amilosa, amilopektin dan material antara seperti, protein dan lemak
(Greenwood and Banks, 1975). Umumnya pati mengandung 15 – 30% amilosa, 70
– 85% amilopektin dan 5 – 10% material antara. Struktur dan jenis material antara
tiap sumber pati berbeda tergantung sifat-sifat botani sumber pati tersebut. Secara
umum dapat dikatakan bahwa pati biji-bijian mengandung bahan antara yang lebih
besar dibandingkan pati batang dan pati umbi (Whistler et al., 1984).
Kandungan kimia dari kentang (Solanum tuberosum L.) antara lain karbohidrat
19 g, pati 15g, serat pangan 2,2 g, lemak 0,1 g, protein 2 g, air 75 g Granula pati
kentang adalah yang terbesar ukurannya di antara pati-pati komersial yaitu sekitar
5-100 µm. Bentuk granula pati kentang adalah oval atau bulat telur. Pati kentang
mengandung 79% b/b amilopektin dan 21% b/b amilosa. Suhu gelatinasi pati
kentang 58-680C (Swinkels, 1985).
Kandungan kentang yaitu enzim catecholase berfungsi untuk menghilangkan
noda hitam pada wajah dan menjadikan lebih cerah pada wajah apabila digunakan
sebagai masker wajah. Selain itu, pada umbi kentang itu sendiri memiliki
kandungan vitamin C, vitamin B6 yang mampu menangkal radikal bebas dan
radiasi sinar yang berbahaya akan masuk ke tubuh (Maspiyah & Kartikasari, 2015).
9. Komponen lotion oil in water pati kentang
a. Gliserin
Gliserin berfungsi sebagai humektan atau pengental dengan cara
meningkatkan kandungan air pada rentang kadar < 30%. Gliserin memiliki
16
ciri yaitu jernih, tidak berwarna, tidak berbau, kental, dan memiliki rasa
manis sekitar 0,6 kali semanis sukrosa. Gliserin memiliki titik lebur 17,80C
dan larut dalam air sehingga gliserin digunakan sebagai basis air pada lotion
oil in water. (Rowe et al., 2009)
b. Trietanolamin
Jernih, tidak berwarna menuju warna kuning pucat, sedikit berbau amoniak.
Trietanolamin berfungsi sebagai agen pengemulsi untuk penstabil emulsi
minyak dalam air dengan rentang 2-4% pada umumnya. (Rowe et al., 2009).
Trietanolamin dapat bercampur dengan air sehingga termasuk dalam fase
air pada formulasi lotion oil in water.
c. Parafin cair
Transparan, tidak berwarna, cairan kental berminyak, tidak berasa, tidak
berbau ketika dingin. Mineral oil atau parafin cair digunakan sebagai
eksipien dari sediaan topikal. Parafin cair pada fase minyak berfungsi
sebagai solven dan emolien dengan rentang 1-32% yang mampu
memberikan kelembutan pada kulit (Rowe et al., 2009).
d. Asam stearat
Keras, putih atau kuning pucat. Berbentuk kristal padat atau putih atau
bubuk putih kekuningan. Berbau lemah dan sedikit berlemak. Asam stearat
sering digunakan pada sediaan oral maupun topikal. Pada formulasi topikal
minyak dalam air asam stearat digunakan sebagai agen pengemulsi dan
peningkat daya larut dengan rentang kadar 1-20% (Rowe et al., 2009).
17
Asam stearat praktis tidak larut dalam air sehingga pada formulasi lotion oil
in water masuk pada fase minyak.
e. Setil alkohol
Bahan seperti lilin, bergranul, bau dan rasa khas. Setil alkohol sering
digunakan dalam kosmetik dan sediaan farmasetik seperti suppositoria,
tablet lepas terkontrol, emulsi, lotion, krim dan salap. Pada lotion dan krim
setil alkohol digunakan sebagai emolien (2-5%) dan agen pengemulsi (2-
5%). Setil alkohol juga digunakan sebagai penyerap air (5%) dalam emulsi
air dalam minyak sehingga termasuk dalam fase minyak pada formulasi.
Setil alkohol juga dapat meningkatkan konsistensi dari emulsi air dalam
minyak (Rowe, et al., 2009).
f. Lanolin alkohol
Bentuk padat dengan karakteristik bau khas sterol. Lanolin alkohol adalah
bentuk padat yang lembut yang digunakan untuk formulasi sediaan topikal
dan kosmetik sebagai basis salap dengan sifat emolien (5-50%). Juga
digunakan untuk preparasi krim dan lotion (Rowe et al., 2009).
g. Vaselin kuning
Sediaan semisolid yang terdiri dari hidrokarbon (jumlah karbon lebih dari
25) (Yanhendri, 2012). Berwarna kuning, tembus cahaya, tidak berasa, tidak
berbau. Vaselin kuning atau petrolatum digunakan sebagai formulasi
sediaan topikal. Vaselin Kuning juga digunakan dalam lotion sebagai
lubrikan yang digunakan bersama mineral oil (4-25%) sehingga termasuk
pada fase minyak pada formulasi lotion oil in water (Rowe et al., 2009).
18
h. Metil paraben
Metilparaben berbentuk kristal tidak berwarna atau kristal bubuk berwarna
putih, tidak berbau dan sedikit memiliki rasa terbakar. Metilparaben sering
digunakan sebagai pengawet antimikroba pada sediaan kosmetik, makanan,
dan formulasi farmasetik dengan rentang kadar 0,02-0,3% untuk sediaan
kosmetik (Rowe et al., 2009).
i. Propil paraben
Propil Paraben berwarna putih, berbentuk kristal, tidak berbau dan tidak
berasa. Propil paraben digunakan sebagai pengawet antibakteri pada
kosmetik, makanan dan sediaan farmasetik dengan rentang kadar 0,01-0,6%
untuk sediaan topikal. (Rowe et al., 2009)
j. 8-MOP (Methoxsalen)
Methoksalen adalah hasil produksi dari psoralen dari berbagai tanaman
(seledri, wortel, lemon, dan lain-lain) yang ditemukan di area tropis
(Ashwood Smith et al., 1985). Methoksalen merupakan senyawa
penginduksi yang menstimulasi fotoaktivasi, sehingga meningkatkan
reaktivitas kulit terhadap radiasi UV dan mempercepat timbulnya eritema.
Eritema yang timbul digunakan sebagai pengukuran SPF (Sun Protecting
Factor) yaitu MED (dosis eritema minimum) pada kulit yang terlindungi
tabir surya dibagi dengan MED (dosis eritema minimum) pada kulit yang
tidak terlindungi tabir surya namun sering pula MED dapat dinyatakan
sebagai waktu paparan yang menyebabkan eritema (Roberts and Walters,
2008). Methoksalen biasanya diberikan dengan susu atau makanan 1,5-2
19
jam sebelum dipapar oleh radiasi UV. Dosis umum methoksalen
berdasarkan berat subjek uji, apabila berat subjek uji kurang dari 30 kg maka
dosis lazim yang diberikan 10 mg/kgBB. Subjek uji yang beratnya lebih dari
115 kg maka dosis lazim yang diberikan sebesar 70 mg/kgBB (Mc Evoy,
2007).
F. Landasan Teori
Berdasarkan penelitian terdahulu, bahan alamiah seperti pati bengkuang, pati
jagung dan pati beras memiliki aktivitas sebagai tabir surya fisik walaupun
memiliki nilai SPF yang masih kecil. SPF pati bengkuang 1,22;1,52 dan 2,38 pada
konsentrasi pati kentang 15,00%; 20,00% dan 25,00% (Zulkarnain dkk., 2013).
Sedangkan nilai SPF dari pati jagung dan pati beras sebesar 3,05-3,85 pada
konsentrasi pati kentang 10,00% dan 15,00% (Nursal dkk., 2006). Namun, bahan
alamiah seperti pati kentang (Solanum tuberosum L.) belum ada penelitian yang
menyatakan dapat digunakan sebagai tabir surya. Pati kentang diduga memiliki
aktivitas sebagai tabir surya karena sifat opaque pati yang tidak dapat ditembus
cahaya tetapi dapat memantulkan sinar, sangat bermanfaat untuk mencegah
penetrasi radiasi sinar ultraviolet pada kulit (Nursal dkk., 2006). Selain itu, kentang
memiliki enzim catecholase yang berfungsi untuk menghilangkan noda hitam pada
wajah. Oleh karena itu, penelitian ini mencoba menggunakan pati kentang
berpotensi memberikan efek sebagai tabir surya. Sehingga diharapkan pati kentang
memiliki aktivitas sebagai tabir surya dengan nilai SPF yang lebih besar dari pati
bengkuang, pati jagung dan pati beras.
20
Penelitian sebelumnya diketahui bahwa penambahan pati bengkuang pada
konsentrasi 15,00%; 20,00% dan 25,00% memberikan pengaruh yang berbeda
bermakna terhadap stabilitas fisik lotion oil in water selama satu bulan
penyimpanan (Ernawati, 2011). Peningkatan konsentrasi pati bengkuang cenderung
menyebabkan viskositas mengalami kenaikan karena pati adalah suatu polimer
yang dapat menyerap air dari medium dispers pada sistem emulsi (Zulkarnain,
2013) sehingga dapat mempengaruhi sifat dari daya lekat, daya sebar maupun
stabilitas sediaan selama dilakukan penyimpanan. Pada penelitian Nursal dkk.
(2006) melakukan pengamatan stabilitas fisik pada beberapa konsentrasi pati
jagung dan pati beras menunjukkan bahwa beberapa formula mengalami perubahan
pH dan viskositas yang cukup signifikan namun pada konsentrasi 10,00% dan
15,00% tidak mengalami perubahan pH dan viskositas yang signifikan. Suatu
produk dapat dikatakan stabil secara fisik apabila sifat dan karakteristik sediaan
ketika selesai dibuat tidak berbeda dengan sifat dan karakteristik sediaan setelah
dilakukan penyimpanan.
Pada penelitian ini pati kentang akan diformulasikan menjadi sediaan tabir
surya berupa lotion o/w yang dilakukan variasi konsentrasi pada pati kentang
10,00%; 12,50%; 15,00%; 17,50%; 20,00% b/b (Nursal dkk., 2006). Evaluasi
stabilitas fisik lotion dilakukan selama penyimpanan dengan pemeriksaan
organoleptis, homogenitas, pH, viskositas, uji daya sebar, uji daya lekat, serta
stabilitas sediaan dengan siklus freeze thaw. Penentuan konsentrasi yang stabil
dilihat dari parameter uji evaluasi stabilitas fisik selama penyimpanan tersebut
untuk dilakukan uji aktivitas tabir surya. Sedangkan kontrol positif yang digunakan
21
pada penelitian yaitu titanium dioksida dengan konsentrasi yang sesuai dengan
konsentrasi terpilih dari pati kentang. Aktivitas tabir surya dilakukan dengan
mencari nilai faktor pelindung surya atau Sun Protecting Factor (SPF) yang
ditentukan secara in vivo menggunakan kelinci albino yang sebelumnya diinduksi
dengan pemberian 8-MOP atau methoxsalen.
G. Hipotesis
1. Lotion oil in water dengan variasi konsentrasi pati kentang 15% yang di
formulasikan diduga akan menghasilkan sediaan lotion yang stabil selama satu
bulan penyimpanan.
2. Kenaikan konsentrasi pati kentang diduga memiliki pengaruh yang berbeda
bermakna terhadap stabilitas fisik lotion oil water selama satu bulan
penyimpanan.
3. Sediaan lotion oil in water pati kentang diduga memiliki nilai SPF sebesar 15
pada kelinci albino yang diinduksi methoxsalen (8-MOP) .