bab i pendahuluan a. latar belakang...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Wilayah Indonesia terdiri dari 17.000 pulau yang di dalamnya didiami oleh
lebih dari 300 suku bangsa, heterogenitas suku bangsa tersebut berkaitan dengan
persoalan kesehatan (Sciortino, xvi : 1999) . Hal ini bisa terlihat pada persepsi dan
kebiasaan serta kepercayaan yang khas atas penyakit dan masalah-masalah kesehatan
dalam masyarakat. Kebutuhan akan penyembuhan penyakit, menyebabkan timbulnya
usaha-usaha orang untuk mencoba mengatasinya dengan mencari cara pengobatan
beserta obat-obatannya. Dengan sendirinya, cara pengobatan yang dianut akan
didasarkan pada konsep yang dipunyai oleh masyarakat setempat tentang penyakit
(Sumirat, 1994 : 1).
Definisi tentang sehat, sakit dan penyebab sakit atau penyakit pada setiap
suku bangsa tidak sama, bagi suku bangsa yang hidupnya masih terpencil, mereka
juga mendefenisikan penyakit secara lokal yang disesuaikan dengan pengalaman dan
pemahaman mereka terhadap penyakit.
Komunitas yang masih hidup terpencil pada umumnya menghadapi masalah
terhadap akses pelayanan kesehatan modern. Hal ini disebabkan oleh hambatan
geografis, sosial budaya dan ekonomi. Akibatnya mereka terkendala untuk
mengakses pelayanan kesehatan modern.Walaupun sejauh ini pemerintah telah
berupaya membangun fasilitas-fasilitas pelayanan kesehatan seperti rumah sakit,
2
Puskesmas dan poliklinik desa, serta menempatkan tenaga-tenaga medis seperti
dokter, mantri dan bidan, namun masih juga belum menjangkau daerah-daerah
terpencil. Pada umumnya program pelayanan kesehatan pemerintah baru sampai di
daerah kecamatan. Di Kecamatan Wasile Timur Kabupaten Halmahera Timur
Provinsi Maluku utara, pusat pelayanan kesehatan baru terdapat di ibu kota
kecamatan. Dari Dusun Totodoku yang dihuni oleh komunitas orang Tugutil, untuk
menjangkau fasilitas kesehatan berupa Puskesmas, mereka harus menempuh
perjalanan dengan jaraknya sekitar 17 Km dengan cara jalan kaki.
Orang Tugutilyang hidup terpencil di hutan pedalaman pulau Halmahera1,
secara kuantitas tidak terlalu banyak jika dibandingkan dengan suku bangsa lainnya
yang juga berada di Pulau Halmahera. Persebaran orang Tugutil di pedalaman
Halmahera terdapat di wilayah Halmahera bagian utara dan tengah, yang diperkirakan
tidak lebih dari 1250 sampai 1500 orang, di Halmahera Utara terdapat di Kecamatan
Galela, Tobelo dan Kao. Daerah Halmahera bagian tengah orang Tugutil terdapat di
Kecamatan Wasile, Maba dan Patani (Martodirjo, 1994 : 116).
Berdasarkan data peta persebaran komunitas adat terpencil Kementrian
Republik Indonesia, orang Tugutil tersebar dalam kelompok-kelompok kecil hampir
di seluruh pedalaman Halmahera (Kemensos, 2009 : 264-267). Penyebutan orang
Tugutil dipakai oleh masyarakat pada umumnya, para ahli bahasa, pemerintah daerah,
antropolog dan para peneliti lainnya (Miete, 1936; Huliselan, 1978; Martodirjo, 1993;
1. Pulau Halmahera merupakan pulau terbesar dari 605 pulau di Maluku Utara, luas Pulau Halmahera
sekitar 18.534 km (Sahib, 1978)
3
Topatimasang, 2004; FSB Unkhair,2008; Ulaen, 2010). Warga desa yang hidup di
sekitar komunitas Tugutil, menyebut orang Tugutil dengan sebutan Orang Suku atau
Orang Asli(Dinas Sosial Maluku Utara, 2007).
Sementara itu penamaan orang Tugutil dengan berbagai sebutan tersebut tidak
diketahui atau dipahami oleh orang Tugutil sendiri. Orang Tugutil sendiri lebih
senang dan akrab bila disebut dengan (o hongana manyawa atau o honganoka) yang
padanannya dalam bahasa Indonesia berarti “orang rimba”. Orang yang hidup dan
mendiami hutan, sebagai kebalikan dari istilah (o berera manyawa) orang yang hidup
di kampung atau orang pesisir.
Agar bisa membedakan antara kelompok-kelompok orang Tugutil yang
tersebar di pulau Halmahera, biasanya masyarakat menggunakan sebutan nama etnis
(Tugutil) disertai dengan nama lokasi atau wilayah yang ditempatinya. Seperti
Tugutil Dodaga adalah orang Tugutil yang mendiami wilayah Desa Dodaga (Tugutil
Loleba, Tugutil Foli, Tugutil Lina, Tugutil Kusuri dan yang lainnya). Penelitian ini,
dilakukan pada orang Tugutil Totodoku. Lokasi Totodoku berada di wilayah Desa
Dodaga Kecamatan Wasile Timur, Kabupaten Halmahera Timur Propinsi Maluku
Utara.
Orang Tugutil yang mendiami lokasi Totodoku2 tercatat sebagai suku
terasing dalam Program Pemberdayaan Masyarakat Terasing di Indonesia (Kemensos
2. Dalam pemberdayaan suku terasing oleh Departemen Sosial, komunitas-komunitas kecil tersebut
masih diistilahkan dengan sebutan “Lokasi” karena belum dikategorikan sebagai dusun atau anak
desa. Hal ini disebabkan belum terdapat hirarki atau struktur pemerintahan desa dengan
perwakilannya berupa kepala dusun di lokasi tersebut.
4
RI, 2009 : 265). Pemberdayaan suku terasing oleh Kementerian Sosial Republik
Indonesia, sekarang lebih dikenal dengan istilah Pemberdayaan Komunitas Adat
Terpencil (PEKAT). Komunitas Tugutil lokasi Totodoku, semula mendiami hutan
Dodaga pada enam lokasi persebaran yakni Lokasi Totodoku, Lokasi Yangerino,
Lokasi Kowehino, Lokasi Titipa, Lokasi Ngowai dan Lokasi Ricaino. Ke enam lokasi
ini ditempati oleh 23 kepala keluarga dengan jumlah jiwa 77, (Dinas Sosial Maluku
Utara, 2008).
Orang Tugutil Totodoku masih sangat kuat kepercayaan animismenya.
Menurut mereka satu penyakit yang diidap seseorang tidak terlepas dari peran mahluk
halus yang berada di sekitar tempat tinggal mereka, dan dipercayai memiliki kekuatan
untuk melindungi dan juga mencelakai. Gomanga merupakan roh para leluhur yang
sangat diyakini bisa menjaga dan melindungi mereka sebagai anak cucunya. Oleh
karena itu mereka harus terus menjaga keharmonisan hubungan terhadap roh-roh
leluhur mereka. Ritual pengobatan gomatere pada orang Tugutil sampai sekarang
masih dilaksanakan, sebagai salah satu cara pengobatan penyakit yang tidak kunjung
sembuh. Ritual gomatere juga sering dilaksanakan bukan hanya pada fungsi
pengobatan atau penyembuhan, melainkan juga untuk mendiagnosis faktor-faktor
yang menyebabkan seseorang jatuh sakit.
Dari aspek kesehatan, angka kesakitan (morbiditas) dan kematian (mortalitas)
pada orang Tugutil tergolong cukup tinggi, diakibatkan oleh rendahnya kualitas
kesehatan. Kualitas kesehatan mereka erat kaitannya dengan lingkungan tempat
tinggal dan pola hidup. Perubahan kondisi lingkungan orang Tugutil, salah satunya
5
disebabkan oleh pemukiman kembali (resettlement)3 dan menyempitnya lahan hutan
tempat mereka beraktivitas karena masuknya perusahaan-perusahaan pertambangan,
pengolahan kayu dan program transmigrasi. Faktor-faktor tersebut dapat
mempengaruhi pola hidup orang Tugutil, khususnya pada kualitas kesehatan mereka
(WALHI Maluku Utara, 2010 : 20).
Banyak persoalan yang muncul sehubungan dengan terjadinya perubahan
lingkungan pada orang Tugutil, yang pada akhirnya menimbulkan dampak sosial dan
ekonomi cukup berat buat mereka. Hewan buruan dan tanaman hutan yang dulu
mudah diperoleh, kini semakin sulit untuk didapatkan. Sebagai komunitas yang
selama ini menggantungkan hidup sepenuhnya pada kemurahan alam, orang Tugutil
membutuhkan strategi agar bisa bertahan hidup (Survive) dalam lingkungan yang
telah banyak berubah tersebut.
Sebagai sebuah komunitas yang memiliki pengetahuan lokal (local
knowledge), orang Tugutil juga mengenal dan mengembangkan perangkat
kepercayaan, kognisi dan presepsi yang konsisten dengan lingkungan atau konteks
budaya mereka. Dalam hal ini khususnya pada cara-cara untuk mengatasi masalah-
masalah kesehatan dalam komunitas.
3. Akibat dari pola hidup yang menetap, orang Tugutil secara perlahan mulai melepaskan beberapa
kebiasaan yang berhubungan dengan kebiasaan mencari nafkah dan merubah pola makan dan jenis
makanan mereka. Keadaan tersebut diduga menurunkan tingkat kesehatan orang-orang Tugutil
yang dimukimkan. (Huliselan 1978 : 177).
6
B. Rumusan Masalah
Berkaitan dengan apa yang telah dijelaskan pada paragraf-paragraf
sebelumnya, bahwa orang Tugutil di Pulau Halmahera sebagian besar hidup di
pedalaman dan sangat rentan terhadap persoalan kesehatan (penyakit), hal ini dapat
terlihat pada data angka morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi (Dinas Sosial
Maluku Utara, 2007, 2008, 2009, 2010). Dua hasil penelitian sebelumnya juga
menunjukkan bahwa persoalan kesehatan pada orang Tugutil sangat dipengaruhi oleh
pola hidup dan perubahan lingkungan yang terus terjadi (Huliselan, 1979; Martodirjo,
1994). Dalam rangka penelitian ini dianjukan pertanyaan penelitian, bagaimana
pengetahuan lokal, sikap dan prilaku orang Tugutil dalam upaya-upaya pengobatan
atau penyembuhan penyakit ?. Pertanyaan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit ?
2. Bagaimana tindakan yang dilakukan dalam menangani penyakit karena
sebab personalistik dan naturalistik ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan penelitian yang telah
dipaparkan sebelumnya, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk menghasilkan
sebuah studi etnomedisin dengan pemahaman analitis-deskriptif mengenai
pengetahuan lokal orang Tugutil di pedalaman Pulau Halmahera tentang penyebab,
pencegahan dan penyembuhan penyakit.
7
D. Manfaat penelitian
Hasil kajian ini diharapkan dapat memberi kontribusi terhadap pengetahuan
antropologis mengenai kelompok masyarakat Tugutil di Pulau Halmahera dalam
perspektif kesehatan mereka. Penelitian tentang suku bangsa Tugutil di Pulau
Halmahera oleh beberapa peneliti terdahulu telah dilakukan, namun penelitian yang
lebih spesifik pada sistem medis tradisionalnya, sejauh ini belum pernah dilakukan.
Kajian ini merupakan sebuah langkah awal dalam rangka memahami komunitas suku
bangsa Tugutil dari sisi kesehatannya.
Secara praktis, hasil kajian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai data atau
informasi bagi perencana dan penentu kebijakan dalam merumuskan dan
melaksanakan program-program pembangunan nasional, khususnya yang
berhubungan dengan program perencanaan kesehatan dan pengadaan pelayanan
kesehatan yang ditujukan kepada masyarakat tradisional dan terpencil.
E. Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka dalam proposal penelitian ini akan membicarakan beberapa
literatur dengan kategorisasi yang dianggap membantu dalam memahami sistem
medis tradisional. Di dalam studi-studi antropologi kesehatan khususnya pada kajian
sistem kesehatan tradisional (etnomedisin) menurut George M. Foster dan Barbara G.
Anderson terdapat dua kategori besar, yakni sistem medis personalistik dan sistem
medis naturalistik. Menurut Hughes (1968) etnomedisin merupakan subbagian dari
antropologi kesehatan, yang khusus melakukan studi-studi tradisional mengenai
8
pengobatan non-barat, atau mengenai praktik-praktik medis tradisional yang tidak
berasal dari konsep medis modern (1986 : 63-64).
Setiap suku bangsa memiliki sistem pengobatan tradisional yang berkembang
dari kebudayaan sendiri. Sistem pengobatan tradisional bersifat personalistik dan
naturalistik. Sistem personalistik adalah suatu sistem di mana penyakit disebabkan
oleh intervensi dari suatu agen yang aktif, yang dapat berupa mahluk supranatural
(mahluk gaib atau dewa), mahluk bukan manusia ( seperti hantu, roh leluhur, atau roh
jahat) maupun mahluk manusia (tukang sihir atau tukang tenung). Sedangkan dalam
sistem naturalistik, penyakit (illness) dijelaskan dengan istilah-istilah sistemik yang
bukan pribadi. Dalam sistem naturalistik, sehat terjadi karena unsur-unsur yang tetap
atau seimbang dalam tubuh, apabila keseimbangan terganggu maka hasilnya adalah
timbulnya penyakit. (Foster dan Anderson,1986 : 63).
Penelitian Naniek Kasniyah (2002) tentang Symptoms (gejala-gejala)
Diagnosis dan Terapi Pada Penyembuhan Sakit Karena Santet, menggungkapkan
berbagai gejala penyakit dalam masyarakat yang dianggap kehadirannya tidak wajar,
atau tidak seperti penyakit-penyakit lain yang masih bisa terdeteksi. Penyakit yang
muncul karena santet tidak bisa diobati dengan cara-cara biasa, melainkan harus
diobati oleh orang yang memiliki keahlian khusus (dukun dan shaman).
Sistem penyembuhan penyakit karena santet juga menggunakan sistim
diagnosis yang dilakukan oleh shaman, menggunakan cara berkonsultasi dengan
dunia halus dan dilakukan dalam keadaan trance. Pada keadaan trance penyembuh
dapat mendiagnosis gejala sakit yang disebabkan oleh sebab-sebab supranatural,
9
dalam diagnosis tersebut penyembuh akan mencari tahu “siapa” dan “mengapa” yang
secara logika dapat diterima oleh pasien dan keluarganya. Hasil penelitian ini
menguraikan dengan sangat jelas proses munculnya penyakit dengan etiologi
personalistik serta cara-cara penyembuhannya.
Peran seorang shaman pernah ditulis oleh P.H. Koagow (1980) dengan judul
Shamanisme pada Orang Modole di Daerah Halmahera Utara, mengungkapkan
tentang kepercayaan terhadap roh-roh orang yang telah meninggal (wongemi atau
gomanga) yang dianggap sebagai roh nenek moyangnya. Hal ini menyebabkan
keberadaan seorang shaman (gomatere) begitu penting pada komunitas orang Modole
dalam sistem penyembuhan penyakit, karena gomatere dapat menjadi medium antara
orang yang hidup dan orang yang telah mati4 . Apabila seseorang terserang penyakit,
terdapat kegagalan dalam bercocok tanam atau malapetaka lainnya, dianggap sebagai
bukti kemurkaan dari roh-roh nenek moyang mereka. Untuk itu harus dilakukan
upacara yang dipimpin oleh seorang gomatere untuk memberikan persembahan
kepada wongemi atau gomanga. Apabila terdapat orang yang sakit, hal itu disebabkan
oleh kemarahan roh nenek moyang yang memegang jiwa orang sakit tersebut, disini
seorang gomatere berperan mengambil kembali jiwa atau roh orang yang masih hidup
(gurumini) dari genggaman roh nenek moyang mereka.
4. Gomaterea dalah sebutan untuk shaman pada orang Modole, Tobelo dan Tugutil. Seorang
gomatere bekerja dengan cara membaringkan diri di tempat tidur dan menutupi tubuhnya dengan
sehelai kain, kedua tangannya mengetuk-ngetuk tempat tidur dengan irama tertentu yang dapat
mengundang kehadiran jin, lama-kelamaan tubuh gomatere mulai gemetar (trance) dilanjutkan
dengan proses pengobatan. Gomatere tidak saja dijabat oleh laki-laki akan tetapi bisa juga oleh
wanita.
10
Tulisan P. H. Koagow tentang shamanisme pada orang Modole di Halmahera
Utara hampir seluruhnya menggunakan studi kepustakaan dan hanya sedikit sekali
data lapangan, sehingga tidak terungkap penyakit-penyakit seperti apa yang diobati
dengan ritual gomatere atau idu-idu. Apakah gomatere atau idu-idu hanya mengobati
penyakit dengan etiologi personalistik ataukah juga penyakit dengan etiologi
naturalistik, tidak dijelaskan. Karena penyakit dengan etiologi personalistik dan
naturalistik memiliki hubungan dan tidak bisa dilihat terpisah pada sistem kesehatan
satu masyarakat yang masih tradisional.
Berkaitan dengan tulisan dari Koagow, Martodirjo (1993) dalam tulisannya
tentang Masyarakat Tugutil di Halmahera juga sedikit menjelaskan tentang sistem
pengobatan penyakit dengan etiologi personalistik. Menurut keyakinan orang Tugutil
bahwa mahluk-mahluk halus yang berada di sekitar lingkungan mereka memiliki
kekuatan sakti yang bersifat gaib. Oleh karena, itu praktek ilmu gaib menjadi bagian
yang tidak terpisahkan dalam kehidupan mereka. Upacara penghormatan terhadap
roh-roh leluhur dilaksanakan setiap saat sesuai dengan kebutuhan, biasanya upacara
dilaksanakan bila ada anggota keluarga yang sembuh setelah menderita sakit berat,
atau bila ada anggota keluarga yang sakit dan tidak kunjung sembuh.
Upacara penghormatan terhadap roh-roh leluhur juga dilaksanakan jika terjadi
wabah penyakit yang menimpa banyak keluarga. Selain itu, untuk kepentingan lain
seperti menghadapi serangan musuh dan juga menyerang musuh. Seorang shaman
pada orang Tugutil disebut o gomatere yang berperan sebagai perantara dengan dunia
mahluk halus yang dianggap berkaitan dengan sumber penyakit. Dalam ritual, o
11
gomatere akan menari-nari sampai dirasuki oleh roh leluhur (o gomanga) yang
dianggap sebagai pemilik obat (o houru ma dutu). Tubuh o gomatere sebagai medium
dari roh leluhur akan memberikan keterangan dan petunjuk-petunjuk tentang penyakit
yang diderita, faktor-faktor penyebabnya, jenis obat yang akan diberikan dan cara
pengobatannya.
Masih berkaitan dengan ritual pencegahan dan penyembuhan penyakit
tersebut di atas, penelitian tesis La Ode Aris (2010) di Desa Lohia Kecamatan Lohia
Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara, juga mengkaji tentang Ritual Kaago-ago,
sebagai sebuah ritual pencegahan penyakit pada orang Muna. Ritual ini dilakukan
dua kali dalam satu tahun yang disesuaikan dengan pergantian musim, yaitu sebelum
datangnya musim barat dan musim timur. Orang Muna masih meyakini bahwa
pergantian musim dapat membawa penyakit atau menyebabkan penyakit, oleh karena
itu harus dilaksanakan ritual Kaago-ago untuk pencegahan penyakit. Penyakit
Nomaigo nekawea (berasal dari angin) oleh orang Muna diyakini, bahwasanya
penyakit itu berasal dari angin yang disebabkan oleh agen tertentu berupa mahluk
bukan manusia, dengan demikian ritual tersebut dapat menghindarkan mereka dari
gangguan dalam bentuk menyebarkan penyakit kepada manusia.
Pada penelitian tersebut sangat menonjolkan sistem medis tradisional pada
orang Muna yang begitu personalistik, atas dasar pemaknaan ritual Kaago-ago yang
melatar belakangi pemahaman bahwa setiap penyakit disebabkan oleh mahluk
supranatural, sehingga pengobatannya juga harus menggunakan jasa para dukun atau
shaman. Di dalam penelitian tersebut, belum diungkapkan penyakit-penyakit apa saja
12
yang ditimbulkan oleh pergantian musim bila tidak melaksanakan ritual Kaago-ago,
serta belum mengkategorikan penyakit-penyakit yang muncul dan bagaimana cara
pengobatannya.
Sehubungan dengan pelaksanaan ritual-ritual untuk pengobatan penyakit
tersebut, ternyata etiologi penyakit personalistik tidak saja disebabkan oleh agen-agen
yang supranatural, melainkan ada sebab-sebab penyakit yang bersifat
nonsupranatural. Penelitian tesis Yosefina Griapon (2005) tentang Pengetahuan
Lokal, Sikap dan Prilaku Masyarakat Ganyem Terhadap Penyakit di Desa Gemebs
Distrik Nimboran Jayapura, mengkaji tentang penyakit dan proses
penyembuhannya dari pemahaman (perspektif) lokal masyarakat. Pemahaman lokal
terhadap penyakit berhubungan dengan konsep “salah” atau melanggar aturan dalam
melakukan aktivitas keseharian. Munculnya penyakit selalu dikaitkan dengan konsep
salah makan, salah tempat, salah waktu dan salah jalan. Di dalam penelitian ini lebih
banyak difokuskan pada etiologi penyakit secara personalistik dibandingkan dengan
sebab-sebab yang lebih naturalistik. Hal ini disebabkan oleh pandangan masyarakat
Ganyem, bahwasanya penyakit yang diderita oleh warga pada umumnya lebih
bersifat personalistik. Namun demikian ada juga penyakit dalam masyarakat Ganyem
yang penyebabnya bersifat naturalistik, namun tidak dijelaskan lebih detail.
Penyakit dengan etiologi personalistik dan naturalistik proses
penyembuhannya dalam pandangan masyarakat tidak saling terpisah, keduanya
memiliki hubungan yang saling melengkapi. Hal ini bisa terlihat pada penelitian yang
dilakukan Suhadi H.P. dkk (1991) tentang sistem pengobatan tradisional pada orang
13
Sumbawa. Penyebab penyakit bermacam-macam, ada yang dari Tuhan dan ada yang
dari syetan. Oleh karena itu para dukun dalam pengobatannya selalu memohon
kepada Tuhan dengan membaca mantra pada ramuan obat, kalau penyakit yang
diobati tidak kunjung sembuh berarti penyakit tersebut berasal dari syetan. Dengan
demikian penyembuhannya harus menggunakan cara mengusir syetan terlebih dahulu
dengan keahlian khusus. Penyakit yang dapat segera disembuhkan diyakini barasal
dari Tuhan. Noer Muhammad, dkk (1992) melakukan penelitian tentang pengobatan
tradisional pada masyarakat Pangean di daerah Riau. Hasil penelitian
mengungkapkan bahwa masyarakat Pangean masih sangat percaya terhadap peran
pengobat tradisional dalam mengobati semua jenis penyakit. Hal ini disebabkan oleh
mantra dan ramuan akan disesuaikan dengan jenis penyakit serta penyebab
penyakitnya.
Syahrudin Lubis dkk, (1996) melakukan penelitian tentang Pengobatan
Tradisional Pada Masyarakat Pedesaan daerah Sumatera Utara, tepatnya di Desa
Sibinail Kecamatan Muarasipongi Kabupaten Tapanuli Selatan. Masyarakat Desa
Sibinail melihat persoalan sehat dan sakit dikaitkan dengan aktivitas hidup sehari-
hari. Mereka memandang bahwa sakit dan sehat bukan didasarkan pada penekanan
yang abstrak, akan tetapi orang yang sehat dan sakit adalah orang yang merasakan
ada dan tidak adanya gangguan dalam tubuh ketika melaksanakan aktivitasnya.
Konsepsi masyarakat tentang sakit adalah, jika seseorang mengalami
gangguan dalam tubuhnya tetapi kalau masih mampu untuk bekerja maka tidaklah
dianggap sakit. Masyarakat Desa Sibinail mengenal istilah maido yang padanannya
14
dalam bahasa indonesia adalah “kurang enak badan” konsep maido berbeda dengan
konsep sakit, karena diartikan sebagai keadaan dalam diri seseorang yang sifatnya
kurang enak atau kurang bergairah dalam melakukan pekerjaan. Menurut masyarakat
setempat maido dapat dikategorikan sebagai kondisi pra-sakit.
Pandangan masyarakat Sibinail tentang penyakit dapat dikategorikan atas dua
bagian, pertama adalah konsep keseimbangan (equilibrium) bahwa tubuh manusia
terdiri dari empat unsur, yakni unsur tanah (daging), unsur air (cairan tubuh), panas
(api) dan angin (nafas). Kalau seseorang sakit maka ada unsur yang tidak seimbang.
Berdasarkan konsep tersebut, seseorang yang sakit harus diobati dengan berbagai
ramuan yang dalam bahasa setempat disebut pulungan yang bertujuan untuk
menyeimbangkan kembali unsur-unsur yang tidak seimbang.
Pandangan yang kedua berkaitan dengan etiologi penyakit, etiologi penyakit
itu sendiri dibagi menjadi dua bagian, yakni secara fisik dan nonfisik. Faktor fisik
oleh masyarakat diartikan sebagai penyakit yang disebabkan oleh gejala-gejala alam
(seperti angin, panas, dingin, lembab dan basah). Sedangkan faktor non fisik adalah
penyakit yang oleh pandangan masyarakat disebabkan oleh mahluk halus (seperti roh,
setan atau kekuatan gaib lainnya). Untuk pengobatannya harus menggunakan jampi
atau mantra agar bisa mengusir penyakit. Pengobatan tetap menggunakan pulungan,
tetapi menurut mereka ramuan pulungan tidak sebagai penyembuh utama, melainkan
hanya sebagai pembawa (motor) jampi atau mantra ke dalam tubuh. Berdasarkan
pandangan yang kedua ini, umumnya pengobatan berbagai jenis penyakit selalu
15
menggunakan jampi, biasanya seorang dukun (dotu) memiliki berbagai jenis jampi
yang sesuai dengan jenis penyakit dan penyebabnya.
Pengobatan tradisional dengan menggunakan metode jampi dan ramuan
ternyata tetap masih dipertahankan, walaupun dalam komunitas tersebut telah
diperkenalkan sistem medis modern. Bahkan pada situasi-situasi tertentu bisa terjadi
penolakan terhadap sistem medis modern dengan berbagai alasan. Erson Sirait (2009)
dalam disertasinya yang mengkaji tentang Sando dan Dokter (Kontestasi Pelayanan
Kesehatan Tradisional dan Modern di Sulawesi Tengah, membicarakan masalah
prilaku masyarakat Kaili Da’a dalam mencari pelayanan kesehatan, yang berawal
dari masalah adanya kelompok masyarakat yang terkendala mengakses pelayanan
kesehatan modern, sehingga mereka mengobati sendiri penyakitnya dengan cara-cara
tradisional berdasarkan pengetahuan yang diwariskan secara-turun temurun. Dari
hasil kajiannya terungkap bahwa, masyarakat Kaili Da‟a lebih cenderung memilih
melakukan penyembuhan penyakitnya dengan berobat sendiri secara tradisional
dengan berbagai alasan, seperti tidak memiliki uang untuk membayar obat, jam
pelayanan Puskesmas yang tidak sesuai dengan kebutuhan, dan juga masih adanya
pemahaman dari masyarakat bahwasanya berobat di Puskesmas merupakan salah satu
alternatif karena masih lebih mengutamakan pengobatan dengan cara tradisional.
Mengadopsi perawatan kesehatan modern masih terdapat hambatan-hambatan
kebudayaan, sosial dan psikologis. Seperti yang dikemukakan oleh Foster , persoalan
biaya-biaya ekonomis dan sosial (economic and social values) merupakan faktor-
faktor yang lebih menonjol dan menentukan penerimaan atau penolakan perawatan
16
medis modern. Utamanya pada masyarakat tradisional yang sudah relatif lama telah
mengenal dan merasakan faedah dari perawatan medis modern. Pada masyarakat
tradisional (tipe of tribal community) yang belum lama mengenal perawatan
kesehatan modern tetap akan terjadi konflik kepercayaan. (Kalangi, 1994 : 153).
Terkait dengan sistem perawatan kesehatan tradisional dan modern pada
sebuah komunitas, dapat dilihat pada penelitian Myrnawati (1993) yang melakukan
penelitian terhadap prilaku sehat masyarakat terasing pada suku Anak Dalam. Hasil
penelitian tersebut banyak mengemukakan hal-hal yang menyangkut prilaku
masyarakat suku Anak Dalam yang berkaitan dengan persoalan kesehatannya.
Persoalan kesehatan yang dihadapi tidak lepas dari pandangan atau persepsi mereka
tentang kesehatan yang diwujudkan dalam bentuk prilaku (prilaku kesehatan). Dalam
pandangan mereka, apabila seseorang menderita sakit, maka dianggap mendapat sial,
diganggu oleh Dewo. Untuk itu mereka selalu melakukan upacara basale5 pada setiap
ada warga yang sakit keras, agar bisa mendeteksi apakah masih bisa ditolong atau
dibiarkan saja. Menurut kepercayaan mereka seseorang yang akan mati tidak bisa
ditahan oleh siapapun juga.
Sakit karena didera oleh penyakit apapun dianggap sebagai pangkal kesialan,
sehingga harus dijauhi. Tradisi melangun pada suku Anak Dalam merupakan salah
satu cara untuk menghindari berjangkitnya penyakit yang diderita oleh seseorang dan
5. Upacara pengobatan yang dipandu oleh dukun (Tumenggung) untuk memutuskan seseorang yang
sakit masih bisa diobati atau tidak. Apabila sudah tidak bisa diobati maka orang yang sakit tersebut
akan dipindahkan kedalam pondok kecil yang terpisah dari pemukiman induk sampai saatnya
meninggal.
17
akhirnya meninggal. Sistem pengobatan pada suku Anak Dalam juga menggunakan
ramuan-ramuan yang diramu oleh seorang dukun, namun setiap penyakit yang
diderita tetap dikaitkan dengan etiologi personalistik. Suku Anak Dalam di antaranya
telah ada yang mengenal sistem pengobatan modern (paramedik) namun sering
terjadi penolakan-penolakan karena terdapat berbagai hambatan sosial budaya dan
ekonomi.
Angka kesakitan (morbiditas) dan kematian (mortalitas) pada suku bangsa
yang masih hidup terpencil (suku terasing) tergolong tinggi, karena dipicu oleh
derajat kesehatan mereka yang tergolong rendah. Hasil penelitian dari Mus Huliselan
(1979) mengungkapkan bahwa, masalah kependudukan pada orang Tugutil yang
mendiami wilayah hutan Dodaga dan Tutuling adalah adanya angka kematian warga
yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan angka kelahiran (Natalitas)6. Diduga
salah satu pemicu angka kematian yang cukup tinggi tersebut adalah menurunnya
derajat kesehatan, karena dilaksanakannya program pemukiman kembali
(Resetlement). Akibat dari program pemukiman tersebut, mereka harus meninggalkan
beberapa kebiasaan yang berhubungan dengan pola mencari nafkah yang berimbas
pada terjadinya perubahan dalam pola dan jenis makanan yang dikonsumsi. Hal
tesebut berdampak pada kesehatan mereka, karena mereka dengan mudah terserang
beberapa penyakit, seperti penyakit kulit, TBC, malaria dan rematik. Anak-anak
sering dihinggapi penyakit cacing dan kekurangan gizi. Dalam kondisi tersebut
6. Hasil pencacahan jiwa tahun 1977 jumlah orang Tugutil di hutan Dodaga dan Tutuling adalah 295
jiwa, dalam satu tahun tercatat angka kematian sebanyak sepuluh orang dan terdapat lima orang
yang lahir (Huliselan, 1979).
18
tingkat kematian bayi dan anak-anak di bawah usia lima tahun relatif tinggi yang
disebabkan kurangnya perawatan, di samping itu rendahnya tingkat kesehatan dan
gizi makanan, (Martodirjo, 1994).
Berdasarkan beberapa hasil penelitian yang telah ditunjukan sebelumnya,
bahwasanya kajian tentang aspek kesehatan pada sebuah komunitas dari perspektif
antropologi telah banyak dilakukan. Namun dalam penelitian ini saya mencoba untuk
melihat masalah kesehatan pada orang Tugutil melalui sistem pengetahuan mereka.
Berangkat dari pemikiran bahwa manusia beradaptasi dengan lingkungannya melalui
mekanisme kebudayaan yang mereka miliki, oleh karena itu setiap bentuk adaptasi
pada sebuah masyarakat memiliki keunikan. Upaya ini memungkinkan untuk
mengungkap permasalahan dari sudut pandang masyarakat setempat sebagai pelaku
budaya.
E. Kerangka Teori
Kajian pustaka yang telah diuraikan di atas, menjadi acuan untuk melakukan
penelitian lebih lanjut tentang sistem kesehatan dalam kaitannya dengan sistem
penyembuhan atau pengobatan terhadap penyakit pada sebuah komunitas. Dalam
penelitian ini akan dlihat sistem pengetahuan sebuah komunitas, tentang bagaimana
mengoperasionalisasikan sistem pengetahuan tersebut dalam menghadapi kendala-
kendala kesehatannya.
Penelitian ini, akan mengkaji prilaku pengobatan penyakit karena sebab-
sebab personalistik dan naturalistik pada orang Tugutil di Pulau Halmahera. Selain itu
19
juga ingin mengetahui apa yang melatarbelakangi prilaku-prilaku tersebut. Penelitian
akan mengikuti tradisi antropologi kognitif (cognitive anthropology) atau etnosains
(ethnoscience). Dalam etnosains akan memusatkan usahanya untuk menemukan
bagaimana masyarakat mengorganisasikan budaya mereka dalam pikiran dan
kemudian menggunakan budaya tersebut dalam kehidupan (Marzali, 1997 : via
Spradley, 1997).
Aliran etnosains adalah sebuah pendekatan dalam antropologi yang berusaha
untuk mengetahui sistem pengetahuan yang mendasari tingkah laku individu dalam
masyarakat (bdk. Ahimsa-Putra, 1985). Selanjutnya, Ahimsa Putra (1985 : 104 – 111)
juga mengatakan bahwa penelitian yang menggunakan pendekatan etnosains lebih
memfokuskan diri pada makna-makna yang diberikan oleh individu-individu
terhadap tindakannya dan juga pada sistem klasifikasi suatu masyarakat. Pendekatan
etnosains tidak mempersoalkan salah atau benar pengetahuan yang dimiliki oleh
suatu masyarakat, menurut pandangan luar (outsider), tetapi mencoba memahami dan
menjelaskan pandangan-pandangan mereka (Ahimsa-Putra, 1985 : 104). Berangkat
dari pemikiran di atas, dan terkait dengan fokus kajian, maka penelitian ini mencoba
untuk memahami bagaimana sebuah komunitas yang masih hidup terpencil
menghadapi tantangan lingkungan (lingkungan kesehatan) sesuai dengan persepsi dan
pengalaman mereka sendiri, maka dibutuhkan pendekatan yang layak terhadap kajian
ini. Untuk itu pendekatan yang digunakan dalam kajian ini adalah pendekatan
etnomedisin.
20
1. Etnomedisin
Penelitian kesehatan dalam bidang antropologi adalah penelitian yang
menyoroti aspek kesehatan dari perspektif sosial budaya. Dalam antropologi
kesehatan itu sendiri terdapat bagian khusus yang mempelajari sistem medis pribumi
dikenal dengan istilah “etnomedisin”. Menurut Huges (1968), etnomedisin adalah
kepercayaan dan praktik-praktik yang berkenaan dengan penyakit yang merupakan
hasil dari perkembangan kebudayaan asli dan ekplisit, tidak berasal dari kerangka
konseptual kedokteran modern (dalam Foster dan Anderson,1986 : 6). Lieban (1977)
etnomedisin adalah pengobatan rakyat, kalisifikasi penyakit yang berbeda serta terapi
dan pencegahan secara tradisional (Heggenhougen dan Draper, 1990 : 2).
Kajian ini penekanannya pada dua hal, yakni: pengetahuan dan prilaku
masyarakat dalam strategi pencegahan dan penyembuhan penyakit. Menurut George
M. Foster dan Barbara G. Anderson, penyakit merupakan bagian dari lingkungan
manusia, pada satu tingkatan penyakit jelas bersifat biologis, namun pada
kenyataannya faktor sosial, psikologi dan budaya juga memainkan peran dalam
mencetuskan penyakit. Cara-cara perawatan (penyembuhan) adalah benar-benar
merupakan kebudayaan. (1986 : 15).
Menurut Pallegrino (1963) setiap kebudayaan memiliki dan mengembangkan
suatu sistem medis. Sistem medis sangat penting dalam mempertahankan
kelangsungan hidup suatu masyarakat. Oleh karena itu sistem medis dalam sebuah
masyarakat selalu disesuaikan dengan pandangan dari masyarakat yang bersangkutan.
Selanjutnya, bahwa tingkah laku medis dari individu-individu dan kelompok-
21
kelompok tidak akan bisa dimengerti jika dilihat secara terpisah dari sejarah
kebudayaan masyarakat tersebut. Hal ini disebabkan karena sistem medis merupakan
bagian integral dari kebudayaan. (dalam Foster dan Anderson, 1986 : 48-49).
2. Konsep Sehat, Sakit dan Penyakit
Usaha kesehatan yang dilakukan suatu masyarakat tidak lepas dari
pemahaman masyarakat tersebut terhadap konsep sehat dan sakit. Pendukung
kebudayaan yang berbeda akan menafsirkan dua konsep ini juga secara berbeda.
Bahkan gejala-gejala sakit dan penyakit yang yang sama dapat ditanggapi dan
ditafsirkan secara berbeda oleh kelompok masyarakat yang berbeda (Ahimsa-Putra,
1995 : 3). Di sisi lain, masalah sehat dan sakit merupakan proses kemampuan dan
ketidakmampuan manusia dalam beradaptasi dengan lingkungan baik secara biologis,
psikologis dan sosial budaya.
Dalam upaya untuk menjelaskan konsep sehat dan sakit serta cara
penyembuhannya, kita tidak bisa melepaskan diri dari sistem pengetahuan dan
pemahaman masyarakat tentang hal-hal yang menyebabkan sakit dan bagaimana
munculnya suatu penyakit. Dalam sistem medis tradisional, terdapat perbedaan
makna terhadap konsep sakit (illness) dan penyakit (disease). Terutama pada
penelitian-penelitian yang mengkaji sistem medis tradisional, batasan konsep sakit
dan penyakit menurut suatu masyarakat sangat penting, agar bisa mendapatkan
konsep sehat yang berkembang dalam masyarakat. Pemahaman yang tepat dan jelas
22
mengenai konsep sehat, sakit dan penyakit, akan mengantarkan kita untuk
mendapatkan gambaran yang utuh mengenai sistem medis suatu masyarakat.
Pandangan orang tentang kriteria tubuh sehat atau sakit, sifatnya tidaklah
selalu obyektif. Bahkan lebih banyak unsur subyektif dalam menentukan kondisi
tubuh seseorang. Persepsi masyarakat tentang sehat atau sakit sangat dipengaruhi oleh
unsur pengalaman masa lalu, di samping unsur sosial budaya. Secara ilmiah penyakit
(disease) itu diartikan sebagai gangguan fungsi fisiologis dari suatu organisme
sebagai akibat dari infeksi atau tekanan dari lingkungan. Jadi penyakit itu lebih
bersifat obyektif. Sebaliknya, sakit (illness) adalah penilaian individu terhadap
pengalaman menderita suatu penyakit (Sarwono, 2007 : 31).
Konsep sakit dan penyakit, untuk setiap individu atau kelompok masyarakat
yang berbeda akan menghasilkan pandangan yang berbeda pula. Hal ini akan
berdampak pada upaya penyembuhan dan pencegahan yang dilakukan oleh
masyarakat. Konsep disease dan illness dalam masyarakat, menurut Nanik Kasniah
(2009) dapat dibagi menjadi dua. Yakni “disease without illness and illness without
disease”, seseorang yang secara klinis memang terdapat penyakit di tubuhnya namun
tidak merasakan sakit, dan sebaliknya seseorang yang secara klinis tidak ditemukan
penyakit namun dia merasa sakit sehingga tidak mampu beraktivitas. Dalam
masyarakat yang masih hidup dengan sistem medis tradisional mengaitkan illness
without disease sebagai penyakit yang diakibatkan oleh sebab-sebab supernatural atau
personalistik.
23
3. Personalistik dan Naturalistik
Dalam sistem medis non barat (non-western medicine system) terdapat dua
sistem medis. Foster dan Anderson mengusulkan untuk pembagian tersebut dengan
istilah personalistik dan naturalistik. Sistem medis personalistik melihat penyakit
(disease) disebabkan oleh intervensi dari suatu agen aktif, yang dapat berupa mahluk
supranatural (makhluk gaib atau dewa) mahluk yang bukan manusia (hantu, roh
leluhur atau roh jahat) maupun mahuk manusia (tukang sihir atau tukang tenung).
Sistem medis naturalistik, penyakit dijelaskan dengan istilah yang lebih sistemik dan
bukan pribadi. Sistem naturalistik mengakui adanya suatu model keseimbangan
(equilibrium), sehat terjadi karena unsur-unsur yang tetap dalam tubuh. Unsur-unsur
dalam tubuh seperti (panas, dingin, cairan tubuh, yin dan yang), berada dalam
keadaan seimbang menurut usia dan kondisi individu dalam lingkungan alamiah dan
lingkungan sosialnya. Apabila keseimbangan ini terganggu, maka hasilnya adalah
timbulnya penyakit (1986 : 63 - 64). Naturalistik menurut Seijas (1973) penjelasan
seluruhnya didasarkan atas hubungan sebab akibat yang dapat diobservasi, lepas dari
persoalan apakah hubungan yang terbentuk itu keliru atau tidak, disebabkan oleh
observasi yang tidak lengkap atau keliru (1986 : 63 - 64)
Menurut Foster dan Anderson, bahwa sistem-sistem personalistik adalah lebih
kompleks, dalam arti bahwa dua tingkatan kausalitas atau lebih dapat dibedakan, dan
dalam usaha penyembuhan tingkatan ini harus diperhitungkan. Paling sedikit dapat
dibedakan antara agen personal (dukun sihir, hantu atau dewa), dan tekhnik yang
digunakan oleh agen tersebut (pemasukan objek penyakit, racun, pencurian jiwa,
24
kesurupan atau ilmu sihir). Selanjutnya, sistem etiologi personalistik dan naturalistik
dapat dibedakan berdasarkan teknik-teknik diagnosis. Dalam personalistik diinginkan
shaman atau dukun sihir memiliki kekuatan besar, untuk dapat mengidentifikasi agen
penyebab, sedangkan diagnosis itu sendiri merupakan hal yang kurang penting dalam
sistem-naturalistik (1986 : 82 - 83).
Pada sebuah komunitas yang belum tersentuh dengan sarana dan fasilitas
kesehatan modern, akan tetap mengandalkan sistem pengobatan tradisonalnya yang
lebih cenderung pada sistem medis personalistik. Penelitian Paul C.Y. Chen di
wilayah komunitas pedeasaan Melayu di Malaysia tentang pemahaman masyarakat
pribumi terhadap penyakit pada anak-anak, masih ditemukan keyakinan-keyakinan
tradisional yang sangat kuat, walaupun dalam masyarakat tersebut telah tersentuh
sistem medis modern. Bagi orang Melayu, penyakit dengan sebab-sebab personalistik
atau supernatural, dianggap sebagai tindakan sadar dan disengaja, di mana kebaikan
dan kejahatan dengan inisiatif sendiri digerakkan oleh manusia. Sebab-sebab
supernatural termasuk aktivitas berbagai macam roh, penggunaan sihir, dan
kemurkaan Tuhan. Sedangkan sebab-sebab fisik (naturalistic) diyakini merupakan
tindakan yang tidak disadari atau tidak diketahui, apalagi penyebabnya seperti cacing
atau kuman (1970 : 33-37).
4. Pencegahan dan Penyembuhan
Di dalam masyarakat masalah kesehatan tidak hanya dipahami sebagai
masalah fisik, karena pada kenyataannya kesehatan tubuh sedikit banyaknya terkait
25
dengan hal-hal yang non fisik. Tidak mengherankan bilamana kesehatan fisik yang
terkait dengan kesehatan psikis, banyak dikaitkan dengan kondisi sosial budaya
dalam suatu masyarakat. Upaya penyembuhan penyakit dalam setiap masyarakat
merupakan sebuah gejala yang berbeda. Penyembuhan itu sendiri merupakan sebuah
proses, cara atau perbuatan menjadikan orang yang sakit atau terganggu kesehatannya
menjadi sehat kembali. Menurut Ahimsa-Putra, upaya penyembuhan penyakit itu
sangat bervariasi antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya.
Pemahaman semacam inilah yang menjadi salah satu pemicu utama munculnya
kajian-kajian kesehatan dengan perspektif sosial budaya (2005 : 13-14)
Masyarakat di negara-negara maju, sistem kesehatan formalnya dibagi
menjadi sub-sub sistem. Sedangkan dalam masyarakat yang teknologinya lebih
sederhana sistem kesehatannya juga masih sederhana. Walaupun demikian, sistem
kesehatan pada suatu masyarakat yang kompleks maupun masih sederhana menurut
Foster dan Anderson dapat dipecah ke dalam dua kategori besar, yakni sistem teori
penyakit dan sistem perawatan kesehatan. Suatu sistem teori penyakit meliputi
kepercayaan-kepercayaan mengenai ciri-ciri sehat, sebab-sebab sakit, serta
pengobatan dan teknik-teknik penyembuhannya. Sistem teori penyakit berkenan
dengan kausalitas, penjelasan yang diberikan oleh penduduk mengenai hilangnya
kesehatan dan mengenai gangguan keseimbangan antara unsur panas dingin dalam
tubuh. Suatu sistem perawatan kesehatan adalah suatu pranata sosial yang
melibatkan interaksi antara sejumlah orang, sedikitnya pasien dan penyembuh.
Fungsi yang terwujudkan dari suatu sistem perawatan kesehatan adalah untuk
26
memobilisasi sumber-sumber daya pasien, yakni keluarganya dan masyarakatnya
untuk menyertakan mereka dalam mengatasi masalah tersebut.(1986 : 45-46).
Sistem perawatan kesehatan mengintegrasikan unsur-unsur yang berhubungan
dengan kesehatan yang mencakup pengetahuan dan kepercayaan tentang kausalitas
ketidaksehatan, aturan dan alasan pemilihan dan penilaian perawatan, kedudukan dan
peranan, kekuasaan, latar interaksi, pranata-pranata, dan jenis-jenis sumber serta
praktisi perawat yang tersedia. Sistem perawatan kesehatan memberikan pemahaman
bagaimana pelaku-pelaku dalam masyarakat tertentu memikirkan mengenai
perawatan kesehatan dan cara-cara bertindak dalam kenyataan komponen-komponen
yang dimaksud, untuk memecahkan masalah utama yaitu penyembuhan (Kalangie,
1994 : 25)
5. Kerangka Pemikiran
Mengacu pada uraian-uraian sebelumnya, untuk menganalisis dan
menjelaskan sebab-sebab sakit dalam perspektif lokal, dan strategi penyembuhan
penyakit dengan etiologi personalistik dan naturalistik menurut konsep lokal yang
dijadikan topik dalam penelitian ini. Untuk itu dapat digambarkan dalam kerangka
konsep penelitian sebagai berikut :
27
Faktor-Faktor Penyebab Sakit :
Sumber : Paul C.Y. Chen (1970:36).
1. Gejala awal sakit atau Pra-sakit (symptoms) adalah sebagai kondisi atau
gejala-gejala awal dari seseorang (fisik dam psikis) yang memperlihatkan
keadaan tidak seperti biasanya, misalnya : (a). Kehilangan semangat atau
tidak bergairah; (b). Tidak bisa beraktivitas seperti biasanya; (c). Terdapat
prilaku-prilaku menyimpang (incorrect behaviour); (d). Kurang nafsu makan,
dan lain-lain.
Gejala Awal Sakit (symptoms)
1. Tidak bisa bekerja
2. Tidak bergairah
3. Kurang nafsu makan
4. Perbuatan menyimpang
Sebab Naturalistik
1. Makanan Tertentu
2. Panas dan dingin
3. Angin
4. Kuman
5. Matahari dan hujan
Sebab Personalistik
1. Tuhan/jou madutu
2. Roh-roh
leluhur/gomanga
3. Manusia/nyawa
madorou
4. Roh-roh jahat/dilikene
5. Iblis/ hetana
S a k i t
28
2. Sebab personalistik (supernatural causes), adalah gejala-gejala penyakit yang
dianggap berasal dari roh-roh halus dengan sifat jahat yang berada di sekitar
tempat tinggal mereka, atau juga berasal dari perbuatan jahat manusia dengan
cara mengirimkan penyakit atau racun melalui media berupa angin, asap, bau-
bauan atau benda-benda keras lainnya.
3. Sebab naturalistik (naturalistic causes) adalah gejala-gejala penyakit yang
mereka pahami secara lebih rasional, atau bisa dijelaskan hubungan sebab
akibatnya (kausalitas). Penyakit yang muncul karena mengkonsumsi makanan
tertentu, unsur panas dan dingin dalam tubuh, hujan dan sinar matahari, angin,
dan trauma fisik (seperti kecelakaan, digigit binatang, terbakar, luka terkena
benda tajam, dan cedera fisik yang lainnya).
4. Sakit (illness) adalah tidak adanya keselarasan antara lingkungan dengan
individu, yang membuat keadaan seseorang menjadi tidak menyenangkan
sehingga menimbulkan gangguan aktivitas sehari-hari, baik aktivitas jasmani,
rohani dan sosial ( Parkins, 1935 : via Maryani dan Mulyani, 2010 : 24)
F. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian dasar (basic research). Dalam peta
paradigma penelitian sosial budaya, penelitian ini termasuk pada jenis penelitian
etnosains. Secara epistemologis, penelitian ini dapat dikelompokkan ke dalam
penelitian fenomenologis. Dalam penelitian fenomenologis, fokus kajian mencakup
dua hal, yakni : penelitian tentang prilaku dan kebudayaan (Ahimsa-Putra, 2007 : 41-
29
44). Mengacu pada dua hal tersebut, maka dalam penelitian ini akan mencoba untuk
mengkaji sistem pengetahuan dan paraktik atau prilaku pencegahan dan pengobatan
penyakit pada komunitas orang Tugutil di Pulau Halmahera.
Penelitian dengan pendekatan fenomenologis lebih menekankan pada
pandangan warga setempat (emic view). Peneliti harus berusaha masuk pada subyek
yang ditelitinya sedemikian rupa sehingga bisa dimengerti apa dan bagaimana suatu
pengertian dikembangkan dalam hidup sehari-hari. Karena subyek yang diteliti
dipercaya memiliki kemampuan untuk menafsirkan pengalamannya melalui proses
interaksi (Endraswara, 2006 : 44). Di bawah ini akan disajikan tentang metode yang
akan ditempuh dalam proses penelitian ini.
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan pada komunitas Tugutil penghuni kesatuan
hutan Dodaga Dusun Totodoku Desa Dodaga Kecamatan Wasile Timur Kabupaten
Halmahera Timur Provinsi Maluku Utara. Alasan yang mendasari atas pemilihan
lokasi pada komunitas Tugutil Totodoku, karena komunitas Tugutil Totodoku secara
turun temurun masih kuat mempertahankan adat istiadat warisan leluhurnya yang
dijadikan sebagai pedoman hidup sehari-hari (way of life). Di samping itu, komunitas
Tugutil di Dusun Totodoku walaupun sudah mulai tersentuh dengan sistem medis
modern, namun dalam persoalan sistem kesehatannya, mereka masih cenderung
melakukan pencegahan dan pengobatan sendiri penyakitnya dengan cara-cara
tradisional.
30
2. Pemilihan Informan
Informan adalah orang-orang yang dianggap mengetahui dengan baik dan
benar permasalahan yang ada dalam masyarakat serta bersedia memberikan informasi
kepada peneliti. Pada prinsipnya seorang informan yang baik harus paham terhadap
budayanya,dengan begitu baik tanpa harus memikirkannya. Mereka melakukan
berbagai hal secara otomatis dari tahun ke tahun (Spradley (1997 : 62-63). Menurut
Koentjaraningrat, informan kunci atau informan pangkal adalah orang yang memiliki
pengetahuan luas tentang berbagai sektor dalam masyarakat, dan memiliki
kemampuan untuk mengintroduksikan peneliti kepada informan lain yang merupakan
ahli tentang sektor-sektor masyarakat atau unsur-unsur kebudayaan yang ingin kita
ketahui (1991: 130)
Berdasarkan pendapat tersebut, informan kunci yang dipilih dalam penelitian
ini adalah para tetua adat atau yang dituakan (dimono) dukun (ohouru manyawa atau
hou-houru) dan shaman (ogomatere) yang lebih banyak mengetahui tentang
pencegahan dan penyembuhan penyakit dalam komunitas. Selain itu juga para tokoh
masyarakat di dusun maupun di desa induk, seperti pendeta atau guru agama, kepala
dusun dan kepala desa, camat dan dokter Puskesmas. Informan kunci adalah orang
yang dapat berceritera secara mudah, paham terhadap informasi yang kita butuhkan
dan dengan senang hati memberikan informasi kepada peneliti (Endraswara, 2006:
56).
Komunitas Tugutil di Dusun Totodoku yang menjadi lokasi penelitian
seluruhnya berjumlah 32 kepala keluarga, dengan demikian memungkinkan dalam
31
proses pengambilan data seluruhnya bisa dilibatkan dengan menyesuaikan kebutuhan
data. Kalau sampai tidak memungkinkan, informan yang diambil pada setiap keluarga
akan dilakukan melalui proses seleksi. Informan yang dijadikan sebagai unit analisis
dalam penelitian ini adalah tiap kepala keluarga, baik itu terhadap para suami maupun
istri. Karena mereka adalah pengambil keputusan dalam keluarga. keputusan yang
dimaksud adalah keputusan berkaitan dengan penyembuhan atau pengobatan
penyakit dalam keluarga.
Pengumpulan data di lapangan yang pada rencana semula akan melibatkan
seluruh kepala keluarga di Dusun Totodoku, ternyata tidak bisa dilakukan karena
disebabkan oleh warga yang masuk hutan dan meninggalkan lokasi pemukiman
dalam jangka waktu yang lama, dan tidak ada informasi yang pasti kapan mereka
kembali ke pemukiman. Jumlah kepala keluarga yang bisa ditemui dan dijadikan
informan adalah 21 kepala keluarga, di dalamnya sudah termasuk kepala keluarga
yang tergolong sebagai dukun, shaman, dan guru jemaat (pendeta).
3. Pengumpulan Data
Data kualitatif yang dikumpulkan berupa pernyataan-pernyataan mengenai isi,
sifat, ciri, keadaan dari suatu gejala, atau pernyataan mengenai hubungan-hubungan
antara sesuatu dengan yang lain. Sesuatu itu bisa berupa benda-benda fisik, pola-pola
prilaku, gagasan-gagasan, atau nilai-nilai, bisa pula peristiwa-peristiwa yang terjadi di
dalam masyarakat (Ahimsa-Putra, 2007 : 19).
32
Terdapat beberapa hal yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah: (a).
Sistem pengetahuan masyarakat yang diteliti terhadap lingkungannya (lingkungan
kesehatan). (b). Berbagai bentuk prilaku pemanfaatan sumber daya lingkungan alam
dan sosial oleh masyarakat setempat, dalam rangka mengatasi masalah-masalah
kesehatan yang dihadapi. (c). Cara-cara yang ditempuh oleh masyarakat setempat
untuk pencegahan dan pengobatan penyakit yang diderita. Metode pengumpulan data
yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah : (a). Observasi partisipasi, (b).
Wawancara, dan (c). Dokumentasi. Ketiganya akan dijelaskan sebagai berikut :
(a). Observasi Partisipasi
Metode observasi partisipasi (participant observation) merupakan salah satu
metode utama dalam pengumpulan data yang digunakan. Pengamatan terlibat
dilakukan agar bisa ikut merasakan, melihat dan terlibat dalam aktivitas mereka.
Observasi partsipasi pada satu pihak merupakan “orang dalam” yang merasakan dan
mengalami situasi secara pribadi. Di lain pihak pengamat juga sebagai “orang luar”
yang dapat mengamati situasi dengan sikap yang lebih objektif (Nasution, 1988 : 60 -
61). Pengumpulan data dengan metode partisipasi observasi, diharapkan peneliti
dapat memperoleh data-data empiris dan konkrit tentang aktivitas mereka yang
berkaitan dengan proses pencegahan dan penyembuhan penyakit.
Observasi partisipasi merupakan teknik penelitian yang dicirikan oleh adanya
interaksi sosial yang intensif antara peneliti dengan masyarakat yang diteliti. Peneliti
(observer) menceburkan diri dalam kehidupan masyarakat, bergaul, menyatu dan
33
sama terlibat dalam pengalaman yang sama (Mantra, 2008 : 30). Data observasi
meliputi berbagai aktivitas kehidupan sehari-hari warga komunitas. Beberapa di
antaranya adalah kondisi lingkungan alam, pola pemukiman, organisasi sosial,
interaksi antar warga komunitas, serta praktik pencegahan dan penyembuhan
penyakit dalam komunitas. Melalui teknik observasi partisipasi juga akan
menemukan hal-hal yang sebelumnya belum atau tidak diungkapkan oleh mereka
selama proses wawancara.
(b). Wawancara
Wawancara adalah satu metode yang digunakan untuk mengumpulkan data,
peneliti mendapat keterangan atau pendirian secara lisan dari sasaran penelitian
(responden atau informan). Wawancara sebagai pembantu utama dari metode
observasi. Gejala-gejala sosial yang tidak dapat terlihat atau diperoleh melalui
observasi dapat digali dari wawancara (Notoatmojdo, 2005 : 102). Observasi saja
tidak memadai dalam melakukan penelitian. Karena mengamati kegiatan dan
kelakuan orang saja tidak dapat mengungkapkan apa yang diamati atau dirasakan
orang lain. Itu sebabnya observasi harus dilengkapi dengan wawancara. Dengan
wawancara kita bisa memasuki dunia pikiran dan perasaan responden (Nasution,
1988 : 69).
Data-data wawancara menyangkut topik-topik yang berkaitan dengan
pandangan, persepsi, dan tanggapan-tanggapan dari warga komunitas tentang
lingkungannya (lingkungan kesehatan) yang berkaitan dengan berbagai permasalahan
34
menyangkut pencegahan dan pengobatan penyakit. Wawancara mendalam akan
dilakukan terhadap informan-informan kunci (key informan).
(c). Dokumentasi
Dokumentasi di sini dimaksudkan untuk melengkapi data-data yang diperoleh
dengan cara observasi dan wawancara. Dokumentasi lebih kepada perolehan data
secara visual dengan peralatan bantu berupa kamera dan video. Peralatan kamera
digunakan untuk mendokumentasikan perilaku atau berbagai praktik yang
berhubungan dengan aktivitas pencegahan dan penyembuhan penyakit, serta aktivitas
lainnya yang berkaitan dengan fokus penelitian ini.
Teknik dokumentasi juga meliputi kajian terhadap berbagai sumber tulisan:
jurnal, buku, laporan hasil penelitian, dan laporan hasil survey. Selain itu juga
digunakan data atau informasi berupa catatan resmi atau publikasi yang bersumber
dari instansi pemerintah dan swasta: Profil desa, kecamatan, dianas atau instansi
terkait (dinas kesehatan, lingkungan hidup, kehutanan, dan lain-lain).
4. Teknik Analisis Data
Data dari hasil partisipasi observasi dan wawancara dilanjutkan dengan proses
analisis. Analisis adalah proses menyusun data agar bisa ditafsirkan. Menyusun data
berarti menggolongkannya dalam pola, tema atau kategori. Tafsiran dan interpretasi
untuk memberikan makna pada analisis, menjelaskan pola atau kategori dan mencari
hubungan antara berbagai konsep (Nasution, 1988 : 126). Menurut Huberman dan
Miles (Denzin dan Lincoln, 2009) analisis data terdiri dari tiga sub proses yang saling
terkait: reduksi data, penyajian data, dan pengambilan keputusan/verifikasi. Ketiga
35
macam analisis tersebut, saling berhubungan dan berlangsung terus selama penelitian
dilakukan. Proses sejak tahap sebelum pengumpulan data, sewaktu proses
pengumpulan data sementara dan analisis awal, serta tahap pengumpulan data akhir.
Reduksi data dilakukan ketika peneliti menentukan kerangka kerja konseptual.
Jika hasil catatan lapangan, wawancara, rekaman, dan data lain yang telah tersedia,
tahap seleksi data berikutnya adalah perangkuman data (data summary), pengkodean
(coding), merumuskan tema-tema, pengelompokan (clustering), dan penyajian secara
tertulis. Tahap penyajian data (data display) adalah tahap di mana peneliti mengkaji
proses reduksi data sebagai dasar pemaknaan, sebagai konstruk informasi padat
terstruktur yang memungkinkan pengambilan kesimpulan. Tahap pengambilan
kesimpulan dan verifikasi ini melibatkan peneliti dalam proses interpretasi, penetapan
makna dari data yang tersaji. Cara yang digunakan adalah merumuskan pola dan
tema, pengelompokan dengan metode triangulasi, menindaklanjuti temuan-temuan
dan cek-silang hasilnya dengan informan.