bab i pendahuluan a. latar belakang...

15
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan hal yang sudah lama mendapat perhatian dari gereja, namun sampai sekarang kemiskinan masih menjadi masalah dalam pelayanan gereja. Karena itu, gereja perlu merefleksikan kembali apa yang sudah dilakukan terhadap orang-orang miskin. Pertanyaan yang sangat crucial sehubungan dengan sikap gereja terhadap keadaan sosial, ekonomi, kebudayaan dan politik dalam kehidupan sehari-hari, adalah bagaimana gereja menyikapi umat yang melarat dalam kemiskinan, orang yang tidak cukup makan dan minum, tidak dapat membayar biaya kesehatan, tidak dapat membayar biaya pendidikan anak- anak mereka? Apakah gereja hanya meminta mereka untuk berdoa dan mendoakan mereka, supaya Tuhan menolong mereka mengatasi masalah-masalah yang sedang dihadapi? Atau, di samping memohon kepada Tuhan dengan tekun, gereja juga terlibat dalam tindakan nyata untuk membantu mereka keluar dari kungkungan sosial yang menyengsarakan, menyakitkan, menekan lahir dan batin? 1 Orang-orang kristen di satu sisi cenderung melihat kemiskinan sebagai musuh yang menghinakan martabat manusia. Karena itu, orang-orang kristen ikut dalam arak-arakan untuk melawan kemiskinan, gereja harus berpihak kepada yang miskin, gereja perlu menolong orang-orang miskin dan berjuang melawan segala sesuatu yang menyebabkan kemiskinan. Namun, di pihak yang lain, ada 1 William Chang, Menjadi Lebih Manusiawi, (Yogyakarta: Kanisius, 2011), hlm. 5 ©UKDW

Upload: dinhtram

Post on 05-Mar-2019

242 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kemiskinan merupakan hal yang sudah lama mendapat perhatian dari

gereja, namun sampai sekarang kemiskinan masih menjadi masalah dalam

pelayanan gereja. Karena itu, gereja perlu merefleksikan kembali apa yang sudah

dilakukan terhadap orang-orang miskin. Pertanyaan yang sangat crucial

sehubungan dengan sikap gereja terhadap keadaan sosial, ekonomi, kebudayaan

dan politik dalam kehidupan sehari-hari, adalah bagaimana gereja menyikapi umat

yang melarat dalam kemiskinan, orang yang tidak cukup makan dan minum, tidak

dapat membayar biaya kesehatan, tidak dapat membayar biaya pendidikan anak-

anak mereka? Apakah gereja hanya meminta mereka untuk berdoa dan

mendoakan mereka, supaya Tuhan menolong mereka mengatasi masalah-masalah

yang sedang dihadapi? Atau, di samping memohon kepada Tuhan dengan tekun,

gereja juga terlibat dalam tindakan nyata untuk membantu mereka keluar dari

kungkungan sosial yang menyengsarakan, menyakitkan, menekan lahir dan

batin?1

Orang-orang kristen di satu sisi cenderung melihat kemiskinan sebagai

musuh yang menghinakan martabat manusia. Karena itu, orang-orang kristen ikut

dalam arak-arakan untuk melawan kemiskinan, gereja harus berpihak kepada yang

miskin, gereja perlu menolong orang-orang miskin dan berjuang melawan segala

sesuatu yang menyebabkan kemiskinan. Namun, di pihak yang lain, ada

1 William Chang, Menjadi Lebih Manusiawi, (Yogyakarta: Kanisius, 2011), hlm. 5

©UKDW

2

kecenderungan untuk melihat kekayaan sebagai yang jahat dan kemiskinan

sebagai kebajikan, karena itu menurut paham ini, orang kristen perlu menjadi

miskin. Paham yang lain, melihat kekayaan sebagai berkat Allah yang diberikan

karena kerajinan dan kesalehan mereka. Ada yang melihat keadaan kaya atau

miskin sebagai nasib yang ditentukan oleh Allah dan perlu diterima dengan

pasrah.2

Usaha untuk mengentaskan kemiskinan terus diupayakan oleh berbagai

pihak termasuk pemerintah. Satu dalih pemerintah untuk pengentasan kemiskinan

adalah memekarkan wilayah pemerintahan seperti provinsi dan kabupaten.

Menjadi pertanyaan, apakah pemekaran wilayah dapat menyelesaikan masalah

pembangunan, khususnya pengentasan kemiskinan bagi wilayah yang

dimekarkan? Nampaknya belum semua rakyat yang ada di wilayah pemekaran

menjadi sejahtera, Mamasa sebagai kabupaten baru dan bagian dari provinsi baru

yaitu Sulawesi Barat, memiliki sejumlah masalah dalam pembangunan daerah.

Selama puluhan tahun, rakyat Mamasa berada dalam penderitaan karena terisolasi

dari pemerintah kabupaten Pelewali Mamasa, membuat masyarakat berjuang

untuk pemekaran wilayah Mamasa sebagai satu kabupaten. Pada tahu 2003,

perjuangan masyarakat Mamasa untuk membentuk kabupaten menjadi kenyataan

dengan diresmikannya Mamasa sebagai kabupaten tersendiri. Sampai sekarang

ini, pembangunan masyarakat Mamasa masih diperhadapkan dengan berbagai

masalah. Salah satu masalah yang terus dihadapi adalah kemiskinan yang ada di

Mamasa. Pemerintah Kabupaten Mamasa, belum mampu melaksanakan

2 Malcolm Brownlee, Tugas Manusia dalam Dunia Milik Tuhan: Dasar Theologis bagi Pekerjaan

Orang Kristen dalam Dunia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), hlm. 79-80

©UKDW

3

pemerataan pembangunan di seluruh wilayah Kabupaten Mamasa. Salah satu

daerah yang merasa tidak diperhatikan oleh pemerintah adalah daerah kecamatan

Nosu.3 Hal ini membuat kemiskinan di Nosu menjadi semakin kompleks.

Kemiskinan merupakan pergumulan bangsa, juga menjadi bagian dari

pergumulan gereja-gereja. Masalah kemiskinan menjadi pergumulan gereja dalam

menghayati hidup dan tugas pengutusannya untuk membawa kabar suka cita bagi

dunia. Karena itu, gereja harus melibatkan diri, baik melalui perkataan maupun

tindakan nyata, dalam usaha pembebasan manusia terutama bagi mereka yang

kecil dan miskin.4

Menurut Singgih, bahwa gereja ada di tengah-tengah dunia ini dengan

tujuan untuk melayani mereka yang miskin dan menderita.5 Dengan demikian

gereja memiliki tanggung jawab untuk memperhatikan kaum yang lemah dan

menderita. Dalam tanggung jawab itu, gereja juga perlu melihat apa yang

menyebabkan kemiskinan. Yewangoe dalam menggali penyebab kemiskinan

mempertanyakan, apakah kemiskinan disebabkan oleh diri mereka sendiri atau

oleh kemalasan mereka? Ataukah, ada sesuatu yang terletak di luar kuasa mereka

yang membuat mereka tidak mampu mengubah kondisi mereka.6 Sehubungan

dengan itu, Suseno mengatakan pada dasarnya kemiskinan terjadi bukan karena

3 Wawancara dengan P. Padang, 8 Juli 2012

4 J.B. Banawiratma dan J. Mueller, Berteologi Sosial Lintas Ilmu, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hlm.

24 5 Emanuel Gerrit Singgih, Reformasi dan Transformasi Pelayanan Gereja Menyongsong Abad ke-

21, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hlm. 27 6 A.A. Yewangoe, Theologi Cruscis di Asia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), hln. 11

©UKDW

4

kesalahan orang miskin itu sendiri, melainkan akibat kondisi-kondisi objektif

mereka.7

Gereja kurang lengkap ketika tidak memperhatikan orang miskin dan

kerinduannya akan satu dunia baru yang adil dan sejahtera. Kehidupan Kristen

yang benar adalah kehidupan yang mengarah pada orang-orang miskin.8 Sikap

Gereja terhadap orang-orang miskin harus mengacu kepada apa yang dikatakan

oleh Yesus dalam Mat 25:35-40, bahwa “ Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi

aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang

asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku

pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku dalam penjara, kamu

mengunjungi Aku.” Dan selanjutnya ayat 40 mengatakan “Aku berkata

kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang

saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku”.

Perkataan Yesus ini mau menunjukkan bahwa betapa pentingnya gereja

memperhatikan orang-orang miskin.

Gereja Toraja Mamasa (GTM) sebagai gereja yang ada di tengah-tengah

dunia ini juga terpanggil untuk melayani mereka yang sedang menderita.

Ketertinggalan dan kemiskinan dalam segala hal patut menjadi perhatian GTM.

GTM dalam eksistensinya merumuskan tugas panggilannya dengan Tri panggilan

Gereja, yaitu bersaksi, bersekutu dan melayani. Namun, dalam pelaksanaan

panggilannya, GTM belum maksimal melaksanakan Tri panggilan itu khususnya

7 F. Magnis Suseno, SJ, “Keadilan Sosial dan Analisis Sosial: Segi-segi etis”, dalam J.B.

Banawiratma (ed.), Kemiskinan dan Pembebasan, (Yogyakarta: Kanisius, 1987), hlm. 38 8 Ebenhaizer I Nuban Timo, Anak Matahari, Teologi Rakyat Bolelebo Tentang Pembangunan,

(Maumere: Penerbit Ledalero, 2008), hlm. 38

©UKDW

5

pelayanan terhadap orang-orang miskin. Sikap GTM terhadap orang–orang

miskin dipengaruhi oleh metode dan pendekatan yang dilakukan oleh Zending

dalam mengabarkan Injil di Mamasa. Dua utusan Zending yang sangat terkenal

memperkenalkan Injil di Mamasa menggunakan pendekatan yang berbeda, yaitu

A. Bikker dan M. Geleynse. A. Bikker melayani di wilayah Mamasa,

Sumarorong, Nosu dan Pana’, sedangkan M. Geleynse melayani di wilayah

Mambi dan Galumpang. Mereka menggunakan pendekatan yang berbeda. A.

Bikker memakai pendekatan “dari atas”, yaitu dengan mendekati pemimpin-

pemimpin adat (parengnge’), sedangkan M. Geleynse memakai pendekatan dari

bawah/rakyat kecil. Gereja di Nosu sejak awal banyak berurusan dengan orang-

orang kaya dan kurang memperhatikan orang-orang miskin. Eksistensi gereja

turut ditentukan oleh kepeduliannya terhadap orang-orang miskin, orang

terpinggirkan, orang-orang yang menjadi korban ketidakadilan sosial.

Sebagaimana yang dikatakan oleh J.P. Widyatmadja bahwa gereja tidak bisa

hidup tanpa solidaritas terhadap kaum miskin.9

Dalam implementasinya, Tri panggilan gereja kadang-kadang

dijalankan/dilakukan secara timpang. Persekutuan, kesaksian dan pelayanan tidak

mendapat porsi yang sama dalam kehidupan bergereja. Persekutuan dan kesaksian

(hal-hal rohani) mendapat perhatian yang lebih banyak dibanding pelayanan.

Pelayanan gereja di bidang rohani tidak seimbang dengan pelayanan di bidang

sosial ekonomi. Kalaupun pelayanan dilakukan, sering disalahmengerti oleh

warga jemaat. Pelayanan dalam hubungannya dengan Tri panggilan gereja sering

9 Josep P. Widyatmadja, Yesus dan Wong Cilik: Praksis diakonia transformatif dan Teologi rakyat

di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), hlm. 1

©UKDW

6

dipahami sebagai pelayanan kepada Tuhan, dan pada akhirnya pelayanan

diartikan sebagai ibadah, kebaktian dan doa, atau dengan kata lain pelayanan yang

bersifat rohani. Pelayanan yang dilakukan hanya terbatas pada bidang ritual,

sehingga pelayanan gereja tidak secara holistik.10

GTM sebagai gereja yang hidup di tengah-tengah masyarakat miskin tidak

boleh berpangku tangan terhadap kemiskinan. Gereja harus memikirkan dan

berperan aktif dalam pemberdayaan orang-orang miskin. Visi dan misi GTM

harus menjadi acuan dalam penjabaran program dan diaplikasikan di tengah-

tengah masyarakat. Dalam pemberdayaan, partisipasi kaum miskin sangat

dibutuhkan. Karena itu J.B. Banawiratma mengatakan, bahwa gereja harus

berdialog dengan orang-orang miskin11

. Dalam rangka melaksanakan misi untuk

mencapai visinya, maka GTM harus memberdayakan orang-orang miskin yang

ada di sekitarnya melalui dialog dengan mereka.

Harus diakui bahwa pelayanan gereja untuk memberdayakan kaum miskin

sering mengalami kegagalan, salah satu faktor yang meyebabkan kegagalan gereja

adalah sulitnya mendefinisikan kemiskinan dan menentukan siapa yang tergolong

sebagai kaum miskin dan siapa yang tergolong sebagai orang kaya. Kesulitan itu

juga membuat gereja tidak mengetahui apa yang dibutuhkan oleh warganya.

Program yang dibuat oleh gereja kadang-kadang bersifat top down. Dalam rangka

peningkatan kehidupan warga masyarakat, maka tugas gereja adalah duduk

bersama dengan orang miskin, memikirkan dan merumuskan apa yang

sepantasnya dilakukan oleh gereja untuk mereka. Di samping itu, gereja juga 10

Emanuel Gerrit Singgih, Reformasi dan Transformasi Pelayanan Gereja Menyongsong Abad ke-21, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hlm. 16 11

J.B. Banawiratma, 10 Agenda Pastoral Transformatif, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 21

©UKDW

7

perlu berdialog dengan budaya kaum miskin, sebagaimana yang dikatakan oleh

Banawiratma bahwa mencintai kaum miskin berarti juga mencintai

kebudayaannya12

. Dalam dialog dengan budaya masyarakat Mamasa, gereja harus

selektif dalam melihat budaya, karena tidak semua budaya dapat bermanfaat bagi

masyarakat, ada sejumlah budaya yang membutuhkan biaya ratusan juta rupiah,

budaya seperti ini tidak membangun tetapi justru menguras ekonomi warga

masyarakat. Oleh karena itu, Gereja perlu mendampingi warga jemaat dan

masyarakat dalam melakukan tuntutan tradisi atau budaya. Dalam dialog inilah,

gereja harus mampu melihat mana hal-hal dari budaya yang menghambat

peningkatan kesejahteraan masyarakat13

, sehingga masyarakat tidak menjadi

miskin karena melakukan tuntutan kebudayaan.

Dalam rangka pembangunan jemaat di GTM, penting bagi GTM untuk

memberdayakan kaum miskin. GTM harus menyadari bahwa gereja tidak hanya

dipanggil untuk dirinya sendiri tetapi untuk seluruh dunia. Agar GTM benar-benar

menjadi berkat bagi seluruh masyarakat, maka GTM harus memikirkan

kesejahteraan masyarakat yang ada di sekitarnya tanpa melihat agama dan status

sosial mereka.

Masalah kemiskinan di Nosu nampaknya terkait dengan berbagai bidang

kehidupan. Namun, selama ini GTM sebagai lembaga gereja belum berbuat

banyak terhadap kaum miskin, semestinya GTM memutar arah pelayanan untuk

memberdayakan mereka. Gereja jangan hanya menjadi juru ritus atau pemimpin

ritual, yang hanya memimpin doa bagi umatnya. Pelayanan yang dilakukan oleh

12

J.B. Banawiratma, 10 Agenda Pastoral Transformatif, hlm. 25

13 Ibid.

©UKDW

8

gereja jangan hanya bersifat verbal tetapi harus secara holistik dan nyata dalam

kehidupan warga masyarakat. Dengan tersentuhnya kaum miskin di Nosu, maka

banyak persoalan dapat diselesaikan. Namun, harus disadari bahwa tugas ini

bukanlah hal yang gampang, tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, tapi

ini adalah tugas yang sangat mendesak untuk dilakukan oleh gereja. Mungkin

banyak orang mengatakan ini sudah terlambat, tetapi lebih baik terlambat

memulai daripada tidak sama sekali. Mereka memiliki potensi yang dapat

diberdayakan. Rasa kekeluargaan, saling menghargai, kebersamaan, dan nilai-nilai

budaya dapat dijadikan sebagai modal untuk membentuk komunitas mereka

menjadi komunitas basis gerejawi.

Penulis menyadari bahwa sudah banyak penelitian terhadap gereja dan

kemiskinan, tetapi menurut penulis kemiskinan adalah hal yang sangat relatif.

Setiap daerah memiliki masalah kemiskinan yang berbeda, karena kemiskinan

sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya: budaya, keadaan geografis,

dan kondisi daerah masing-masing. Demikianpun pendekatan yang dilakukan

terhadap kemiskinan harus memperhatikan konteks daerah masing-masing. Gereja

perlu mencari metode pemberdayaan dan teologi yang relevan terhadap realitas

kemiskinan yang dihadapi.

Pemberdayaan yang dimaksudkan dalam tulisan ini, adalah upaya gereja

untuk memberikan kesempatan dan kemampuan kepada masyarakat miskin untuk

mampu dan berani bersuara (voice) serta kemampuan dan keberanian untuk

©UKDW

9

memilih (choice). Pemberdayaan adalah suatu proses untuk meningkatkan

kemampuan dan meningkatkan kemandirian masyarakat.14

Ambroise15

menyebut pemberdayaan sebagai suatu proses animasi.

Ambroise menjelaskan bahwa:

Animasi adalah suatu proses yang membangkitkan kesadaran dan yang terarah

pada tindakan dengan tujuan transformasi sosial yang mempengaruhi masyarakat

pada umumnya dan kaum miskin pada khususnya. Animasi memprakarsai suatu

dinamika dalam diri seseorang pribadi dan masyarakat untuk berjuang demi

pemberdayaan yang menghasilkan perubahan dalam diri mereka sendiri dan dalam

situasi kemiskinan dan keterpinggiran yang mereka alami serta untuk menegaskan

martabat mereka sebagai pribadi untuk menciptakan suatu masyarakat yang lebih

adil.16

Menurut Ambroise, unsur-unsur yang harus diperhatikan dalam melakukan

animasi adalah: Visi, dinamika, kesadaran, motivasi, tindakan yang

membebaskan, unsur iman. Bagi Ambroise pemberdayaan kaum miskin harus

dimulai dari Visi yang jelas yaitu konsep tentang masyarakat baru, masa depan

yang didambakan. Kaum miskin tidak bisa berjuang sendiri-sendiri, hanya ketika

mereka bersatu dan bekerja sama, maka mereka dapat mengubah keadaan menjadi

lebih baik, dan inilah yang disebut dinamika. Dalam proses pemberdayaan juga

dibutuhkan kesadaran akan apa yang sedang dialami, kesadaran membangkitkan

harga diri kaum miskin, sehingga mereka melihat bahwa dirinya sebagai anak-

anak Allah yang mendambakan kesejahteraan. Pemahaman akan martabat dan

penghargaan terhadap diri inilah akan memampukan seseorang untuk memandang

14

Totok Mardikanto, Yesus Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat, (Solo: Prima Theresia Pressindo, 2005), hlm. 10-11 15

Yvon Ambroise adalah ketua Caritas Asia dan wakil ketua Caritas Internasional, sebelum menjadi Uskup, dia adalah direktur pelaksana Caritas India selama 1988-1995. Uskup Ambroise kini berkarya dari keuskupannya yang berpusat di Tuticorin, sebuah kota pelabuhan di Negara Bagian Tamil. http://test.cathnewsindonesia.com/…india-wawancara-caritas-itu-wajah-ger, diakses tanggal 17 Januari 2013 16

Yvon Ambroise, (terjemahan) Memberdayakan Kaum Miskin, (Maumere: LPBAJ, 2000), hlm. 19

©UKDW

10

jauh melampaui pelbagai masalah kehidupan yang ada. Kaum miskin sering

memahami bahwa mereka miskin karena dosa-dosa masa lalu mereka, karena

kemalasan mereka sendiri, atau karena kehendak Allah, sehingga mereka

menerima tanpa mempersoalkannya. Penyadaran akan memungkinkan kaum

miskin menganalisis keadaan dengan membongkar akar penyebab masalah,

sehingga kaum miskin dapat mengambil tindakan-tindakan yang

mentransformasikan komunitas mereka.17

Ketika kaum miskin sudah menyadari akan apa yang sedang dialami, maka

akan muncul motivasi. Motivasi menyebabkan keberanian untuk menerima

tantangan-tantangan dan menghadapi masa depan tanpa rasa takut. Motivasi dapat

memyebabkan kelompok untuk bangkit bersama-sama. Kaum miskin yang

termotivasi akan berusaha untuk melakukan tindakan yang membebaskan mereka

dari penderitaan. Perubahan yang terjadi di antara kaum miskin bukan hanya demi

kepentingan ekonomi atau material, tetapi juga perubahan budaya, pola pikir

untuk memilih kehidupan yang lebih baik. Tindakan yang dilakukan tentunya di

dasarkan pada iman. Iman merupakan kekuatan yang menentukan arah dalam

seluruh proses animasi. Iman inilah yang mencari kesadaran lebih dalam tentang

keadaan dan memotivasi pribadi untuk terlibat dalam tindakan.18

Salah satu penyebab ketidak berdayaan kaum miskin adalah karena kaum

miskin tidak dapat bersatu. Kaum miskin tidak dapat bersatu bukan karena mereka

egois tetapi karena tidak ada tempat bagi mereka untuk duduk bersama.

Perjuangan bersama kaum miskin perluh dilaksanakan secara terorganisir, karena

17

Yvon Ambroise, (terjemahan) Memberdayakan Kaum Miskin, hlm. 31-32 18

Ibid., hlm. 34

©UKDW

11

melalui organisasi kaum miskin dapat bersatu untuk melakukan perjuangan

bersama. Dalam tulisan ini akan diuraikan komunitas basis gerejawi sebagai

alternatif pemberdayaan kaum miskin.

Pendekatan dalam pemberdayaan kaum miskin sangatlah penting dan turut

menentukan keberhasilan suatu lembaga dalam melayani kaum miskin. Dalam

rangka untuk membantu yayasan Parpem GTM dalam mencari pendekatan yang

tepat, maka penulis mengadakan penelitian dan melahirkan tulisan yang di beri

judul “Gereja Toraja Mamasa dan Kaum Miskin” dengan sub judul “Yayasan

Parpem Sebagai Representasi Gereja Toraja Mamasa dalam Pemberdayaan Kaum

Miskin di Nosu”.

B. Masalah

Saya akan membatasi masalah penelitian ini pada yayasan Partisipasi

Pembangunan (Parpem) GTM yang saya anggap sebagai representasi dari GTM

dalam pemberdayaan masyarakat miskin yang ada di Nosu. Penulis melakukan

penelitian di Kecamatan Nosu.

Berdasarkan latar belakang yang saya kemukakan di atas, maka rumusan

masalah yang ditemukan adalah:

1. Apa yang sudah dilakukan oleh GTM/yayasan Parpem terhadap kaum

miskin di Nosu? Apakah berhasil atau tidak berhasil dalam

memberdayakan masyarakat? Mengapa demikian?

2. Eklesiologi dan pemberdayaan macam apa yang relevan terhadap kaum

miskin di Nosu?

©UKDW

12

C. Judul Tesis

Tesis ini akan diberikan judul “Gereja Toraja Mamasa dan Kaum Miskin”

dengan sub judul “Yayasan Parpem sebagai Representasi Gereja Toraja Mamasa

dalam Pemberdayaan Kaum Miskin di Nosu”.

D. Alasan Memilih Judul

Pemikiran untuk menulis tesis ini, berawal dari pergumulan sebagai pelayan

GTM dan merupakan keprihatinan terhadap kemiskinan masyarakat Nosu.

Kesempatan untuk studi lanjut dan menulis tesis tentang keterlibatan GTM dalam

pemberdayaan kaum miskin di Nosu, merupakan peluang bagi penulis untuk

memberikan sumbangan pemikiran bagi GTM. Pemberdayaan kaum miskin di

Nosu harus dimulai dengan konsep yang jelas. Harapan penulis, kiranya hasil

penelitian ini memberikan sumbangan pemikiran bagi GTM dalam

keterlibatannya untuk memberdayakan kaum miskin di Nosu.

E. Tujuan Penulisan

1. Mengidentifikasi apa yang sudah dilakukan oleh Yayasan Parpem terhadap

orang-orang miskin di Nosu, apakah berhasil atau tidak.

2. Membangun eklesiologi dan alternatif pemberdayaan yang relevan bagi

masyarakat miskin di Nosu.

F. Hipotesa

1. Yayasan Parpem sudah banyak membantu orang-orang miskin di Nosu,

namun bantuan yang disalurkan hanya bersifat karitatif. Sebatas

memberikan “ikan” kepada kaum miskin yang ada di Nosu.

©UKDW

13

2. GTM belum memiliki eklesiologi yang relevan dan pendekatan yang

dipakai oleh yayasan Parpem sebagai representasi GTM belum mampu

memberdayakan kaum miskin di Nosu. Gereja belum menjadi fasilitator

yang memberdayakan kaum miskin untuk meningkatkan kehidupan mereka.

G. Metode penelitian

Penelitian akan difokuskan pada kemiskinan dan yayasan Parpem GTM

dalam kaitannya dengan kaum miskin di Nosu. Data di peroleh melalui penelitian

kualitatif. Pendekatan kualitatif dilakukan melalui observasi, live in, dan

wawancara. Pendekatan kualitatif dipilih dalam penelitian ini, karena: Pertama,

pendekatan kualitatif dapat menyelesaikan masalah jika berhadapan dengan

kenyataan ganda; kedua, metode ini menciptakan hubungan yang langsung antara

peneliti dan yang diteliti; ketiga, metode ini lebih peka dan dapat menyesuaikan

diri dengan banyak penajaman pengaruh pola-pola nilai yang dihadapi.19

Metode ditempuh melalui penelitian lapangan. Pada penelitian lapangan

peneliti mengumpulkan data dengan 3 cara. Pertama, pengamatan serta; peneliti

mengumpulkan data dengan berperan serta dalam kehidupan sehari-hari,

mengamati sitiuasi yang sedang mereka hadapi dan bagaimana mereka bertindak

di dalamnya.20

Kedua, memeriksa dokumen-dokumen berupa informasi dan

catatan penting baik dari lembaga Parpem maupun pribadi. Dokumen ini menjadi

19

Lexy J. Moleong, Metode Penelitian kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya Offset, 1991), hlm. 5 20

John Mansford Prior, Meneliti Jemaat: Pedoman Riset Partisipatoris, (Jakarta: Grasindo, 1997), hlm. 63-64

©UKDW

14

sumber-sumber sekunder dalam penelitian.21

Ketiga, Wawancarara Terbuka, hal

ini dilakukan untuk melengkapi dan memperjelas data yang telah diperoleh dalam

pengamatan serta.22

Respoden dalam penelitian ini, dianggap dapat memberikan

informasi yang layak dan memadai. Mereka yang dipilih adalah mantan pengurus

BPS GTM, mantan pengurus yayasan Parpem GTM, mantan motivator, pengurus

BPMS GTM periode 2011-2016, pengurus yayasan Parpem GTM periode 2011-

2016. majelis jemaat, warga jemaat, tokoh masyarakat, pemerintah. Untuk

menggali informasi dari responden, maka alat penelitian yang digunakan adalah

pertanyaan-pertanyaan melalui wawancara.

H. Sistimatika Penulisan

BAB I : PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah, batasan masalah, rumusan masalah, judul

tesis, hipotesa, tujuan penulisan, sistematika penulisan.

BAB II : YAYASAN PARPEM DAN PEMBERDAYAAN KAUM MISKIN

DI NOSU

Akan menguraikan hasil penelitian dan analisis terhadap hasil

penelitian. Uraian dalam bab ini dimulai dengan gambaran umum

tentang Gereja Toraja Mamasa dan Nosu sebagai tempat penelitian.

Kemudian deskripsi tentang yayasan Parpem GTM dan konteks

pelayanan yayasan Parpem di Nosu serta analisisnya, dilanjutkan

dengan analisis terhadap yayasan Parpem dalam pemberdayaan

masyarakat miskin di Nosu.

21

S. Nasution, Metode Research (Penelitian Ilmiah), (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hlm. 143 22

S. Nasution, Metode Research, hlm. 93

©UKDW

15

BAB III: KOMUNITAS BASIS GEREJAWI YANG KONTEKSTUAL

SEBAGAI ALTERNATIF PEMBERDAYAAN KAUM MISKIN

DI NOSU

Menguraikan bagaimana refleksi atas hasil dari bab II, yang dimulai

dengan uraian gereja yang relevan dengan kaum miskin, dan

bagaimana yayasan Parpem sebagai representasi GTM dalam

memberdayakan dan membebaskan kaum miskin di Nosu. Dilanjutkan

dengan uraian Komunitas Basis Gerejawi sebagai alternatif

pemberdayaan masyarakat miskin di Nosu.

BAB IV: PENUTUP

Merupakan kesimpulan dan saran-saran

©UKDW