bab i pendahuluan - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/c0112012_bab1.pdf ·...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penggunaan bahasa dalam suatu karya sastra merupakan perwujudan seni
dari hasil pikiran dan imajinasi pengarang dalam proses penciptaan suatu karya
sastra. Bahasa yang digunakan dalam karya sastra berbeda dengan bahasa sehari-
hari maupun bahasa karya ilmiah. Melalui imajinasi, pengarang mengawali
tulisannya sebagai tulisan yang bersifat ekspresif. Ekspresi pikiran dan perasaan
manusia maupun pengarang (penyair) dihasilkan dari realita yang diangkat dari
imajinasi, sehingga menghasilkan bentuk tulisan yang mengandung unsur realis
dan imaji, diolah dengan bahasa yang estetis yang tidak mungkin dipisahkan dari
proses kreatif (Atmazaki, 1990 dalam Tsalis Abdul Aziz Alfarizi, 2015:125).
Setiap pengarang mempunyai ciri khas sendiri dalam menciptakan suatu
karya sastra. Salah satu bentuk karya sastra ialah novel. Novel merupakan jenis
prosa panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang
sekelilingnya, menonjolkan watak dan sifat para pelakunya. Dari segi pemakaian
bahasa, novel (roman) menggunakan bahasa yang mengandung unsur-unsur
tertentu seperti aspek bunyi, diksi, gaya bahasa, dan citraan.
Kekhasan bahasa maupun potensi bahasa dalam karya sastra untuk tujuan
tertentu sangat menarik bila dikaji melalui pendekatan stilistika. Stilistika
merupakan ilmu yang menyelidiki bahasa yang dipergunakan dalam karya sastra.
Menurut Kridalaksana (2001:202) stilistika adalah ilmu yang menyelidiki bahasa
yang dipergunakan dalam karya sastra, ilmu interdisipliner antara linguistik dan
kesusastraan, penerapan linguistik pada penelitian gaya bahasa. Stilistika ialah
2
telaah tentang variasi pemilihan dan penggunaan unsur-unsur bahasa sesuai
dengan situai dan juga bagaimana akibatnya untuk pembaca dan pendengar (J. D.
Parera, 1993:144).
Dalam penelitian ini objek yang dikaji adalah karya sastra novel berbahasa
Jawa karya Ardini Pangastuti Bn yang berjudul „Alun Samudra Rasa‟. Peneliti
tertarik memilih kajian stilistika novel, karena kajian ini lebih dapat
mengembangkan pemahaman kaidah kebahasaan dan kesusastraan.
Gaya yang dipilih seorang pengarang biasanya berbeda dengan pengarang-
pengarang yang lain (Sutejo, 2010:9). Dalam penelitian ini, terdapat kekhasan
bahasa yang digunakan oleh Ardini Pangastuti Bn dalam karyanya berjudul Alun
Samudra Rasa, yang selanjutnya disingkat menjadi ASR. Salah satu kekhasan
pemakaian bahasa oleh Ardini Pangastuti Bn adalah pemanfaatan dan pemilihan
aspek bunyi. Contoh:
1) sing kanthi gamblang bisa crita
ngenani apa kang sinerat ing kana
sing kanthi trawaca tansah aweh
sasmita
marang mobah mosiking swasana
(ASR/P1/1)
„yang dengan jelas dapat bercerita‟
„mengenai apa yang tertulis disana‟
„yang sudah terbaca akan memberi
pelajaran‟
„terhadap hiruk pikuk suasana‟
(ASR/P1/1)
Data di atas bersajak a-a-a-a yaitu pada kata crita „cerita‟, kana „sana‟,
sasmita „pelajaran‟, dan swasana „suasana‟. Baris satu dan dua terdapat bunyi
vokal [O] yang mendukung keindahan sajak terletak pada suku kata kedua pada
kata bisa „bisa‟, crita „cerita, apa „apa‟, dan kana „sana‟. Baris ketiga dan keempat
bunyi vokal [O] pada kata trawaca „terbaca‟, dan swasana „suasana‟. Keduanya
terletak pada suku kata kedua dan ketiga, serta kata sasmita „pelajaran‟ pada suku
kata ketiga.
3
Novel karya Ardini Pangastuti Bn tidak hanya memanfaatkan asonansi
bunyi [O], melainkan juga memanfaatkan aspek bunyi lain berupa aliterasi, dan
purwakanthi lumaksita. Guna menghindari kemonotonan, Ardini Pangastuti Bn
juga memanfaatkan penggunaan diksi. Diksi bukan hanya dipergunakan untuk
menyatakan kata yang akan dipakai untuk mengungkapkan suatu gagasan, tetapi
juga meliputi persoalan gaya bahasa, ungkapan-ungkapan, dan sebagainya (Gorys
Keraf, 2004:18). Contoh diksi dalam novel “Alun Samudra Rasa” karya Ardini
Pangastuti Bn:...
2) “Pak Paimin mung mlengeh”(ASR/P1/4/2)
„Pak Paimin cuma tersenyum‟
Data (2) di atas terdapat diksi berupa aferesis pada kata Pak yang
seharusnya ditulis bapak dan kata mung yang biasanya ditulis lengkap amung.
Kedua kata tersebut mengalami penghilangan satu suku kata di bagian depan agar
susunan kalimat nampak terlihat lebih efektif.
Pemanfaatan diksi selain penggunaan abreviasi berupa aferesis seperti
data di atas, adapula penggunaan sinonimi, antonimi, panambahing swara
(wuwuh), tembung saroja, paribasan dan lain-lain. Gaya bahasa turut pula
dimasukkan dalam NASR, adapun contoh sebagai berikut:
3) Tekan ngomah kabeh wis padha turu kepati. (ASR/P1/7)
„Sampai rumah semua sudah tidur pulas.‟
Data (3) terdapat gaya bahasa hiperbola yaitu pada tuturan turu kepati,
bukan berarti orang tersebut tidur hingga dirinya meninggal. Akan tetapi tuturan
tersebut mempunyai pengertian bahwa tidurnya pulas. Selain gaya bahasa
hiperbola masih ada gaya bahasa simile, metafora, personifikasi dan lain-lain yang
4
difungsikan untuk menghindari kemonotonan bahasa, sehingga bahasa terkesan
indah dan tidak menjenuhkan ketika membacanya.
Ardini Pangastuti Bn tidak lupa menyuguhkan aspek pencitraan di dalam
novel karyanya ini, seperti: citra penglihatan, citra pendengaran, citra penciuman,
citra perabaan, dan citra gerak. Hal tersebut terbukti pada contoh data di bawah
ini:
4) “Swasana langit sing mendhung esuk iku cengkah karo swasana atine
Intan Purnama, ibu putra siji, wanita karier sing ayu lan enerjik.”
(ASR/P1/1/4/)
„Suasana langit yang mendung pagi tadi berkebalikan dengan suasana hati
Intan Purnama, ibu putra satu, wanita karier yang cantik dan enerjik.‟
Data nomor (4) di atas terdapat pencitraan penglihatan yang ditandai
dengan adanya kata mendhung ‟mendung‟, ayu „cantik‟, dan kata enerjik . Ketiga
kata tersebut merupakan hasil deskripsi dari apa yang dilihat oleh indera
penglihatan bahwa pagi itu sedang mendung berbeda dengan Intan Purnama yang
tetap cantik dan enerjik.
Permasalahan yang timbul dari beberapa contoh data di atas, menarik
minat peneliti untuk meneliti lebih dalam novel Alun Samudra Rasa dengan
kajian stilistika. Novel ini menyuguhkan konflik yang terjadi di tengah kehidupan
masyarakat. Konflik di gambarkan disebuah keluarga yang di peragakan oleh
tokoh bernama Intan Purnami lan Bregas Jatmika menjadi fokus cerita. Mereka di
karunia seorang putri kecil bernama Sekar Melur. Kesibukan masing-masing
membuat komunikasi keduanya kurang harmonis. Intan Purnami menjadi tangan
kanan Mr. Tanaka, pimpinan perusahaan ditempat dia bekerja. Keadaan seperti itu
yang membuat Bregas Jatmiko cemburu buta dan curiga kepada Intan. Masalah di
5
anatara keduanya menjadikan masalah menjadi lebih besar lagi karena Intan
marah dan memutuskan kembali ke orang tuanya. Di tengah gonjang-ganjing
kehidupan rumah tangganya, bertemulah dia dengan mantan pacarnya terdahulu,
Pramudita yang sangat dia cintai. Tentu saja pertemuannya dengan Pramudita
menjadi obat luka hatinya waktu itu. Namun pertemuannya dengan Pramudita
menambah deretan panas permasalahan hingga merembet ke keluarga Pramudita.
Pikiran Intan semakin runyam, karena tiba-tiba Bregas datang ke tempatnya
bekerja sambil mengungkit-ungkit permasalahan yang kemarin dan menanyakan
hak asuh anaknya, Sekar Melur. Dari alur cerita dan konflik yang dibuat oleh
Ardini Pangastuti Bn dalam Alun Samudra Rasa menyimpan makna tersirat,
bahwasannya hidup dan cinta itu tidak terbatas hanya karena fisik dan logika saja.
Karena sejatinya cinta bisa hidup karena mau memberi, sabar, murah hati, pemaaf
dan rela berkorban terhadap orang lain, khususnya terhadap orang yang dicintai.
Kisah Intan dan Bregas tadi mengisyaratkan sebuah peribahasa “Urip ora mung
perlu mampir ngombe nanging uga perlu mampir mangan”, antologi dari maksud
“urip ora mung mampir ngombe” ialah, manusia itu harus mempunyai bekal yang
banyak. Alun Samudra Rasa menjadi salah satu perangkat didaktis Ardini untuk
memberi pembelajaran akan nilai-nilai kehidupan, supaya manusia itu harus
belajar dan berbekal cinta yang bermanfaat bagi kehidupan, bermasyarakat, dan
orang lain.
Adapun alasan mengenai peneliti memilih Alun Samudra Rasa karya
Ardini Pangastuti sebagai objek penelitian yaitu: (1) novel Alun Samudra Rasa
merupakan pemenang lomba Rancage tahun 2016 yang diberikan oleh Balai
Bahasa Jawa Tengah kepada Ardini Pangastuti Bn kategori karya sastra berbahasa
6
Jawa. Rancage merupakan penghargaan yang diberikan oleh Balai Bahasa Jawa
Tengah kepada sastrawan, penyair, maupun pengarang setiap tahunnya untuk
beberapa kategori, (2) novel ini mengandung unsur stilistika sesuai dengan
penelitian yang akan dikaji penulis, (3) novel ini terdiri atas 31 perangan „bab
atau bagian‟, dengan keunikan setiap bab diawali dengan geguritan „puisi‟, (4)
peneliti menganggap bahwa novel ini memuat nilai-nilai kehidupan yang biasa
ada di tengah masyarakat.
Penelitian dengan kajian stilistika yang sudah dilaksanakan oleh peneliti
terdahulu adalah sebagai berikut: (1) Mengungkap Penggunaan Diksi Lirik Lagu
Bugis Ciptaan Jauzi Saleh: Kajian Stilistika oleh Abdul Asis Balai Pelestarian
Sejarah dan Nilai Tradisional Makasar, Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata
tahun 2010, meliputi aspek diksi atau pemilihan kata yang estetis, dan
penggunaan kosa kata arkais/kata yang telah usang, (2) “Penggunaan Stilistika
dalam Puisi Jawa Dialek Using” oleh Setya Yuwana tahun 2000, adalah
pengkajian secara stilistika meliputi aspek penggunaan gaya bahasa yang khas,
pola bunyi bahasa, rima, majas, serta diksi dan didapatkan perbedaan morfologis
sintaksis dan ketaksaan leksikal serta gramatikal 77 buah syair dari 17 penyair
Using, (3) “Pamilihe Tembung lan Lelewane Basa Sajrone Antologi Geguritan
Bakal Terus Gumebyar anggitane Suci Hadi Suwita (Tintingan Stilistika) ” oleh
Meriya Puspitasari. Skripsi mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Daerah
(Jawa) UNESA, meliputi aspek bunyi, diksi, gaya bahasa, dan pencitraan, (4)
“Stilistika Mofologi Al-Quran Juz 30” oleh M. Aunul Hakim dalam jurnal
Lingua. Makalah ini menjelaskan morfologi bahasa Arab dalam juz 30 yang dikaji
secara Stilistika, (5) “Kajian Stilistika Novel Sirah Karya Ay. Suharyana” oleh
7
Retno Dwi Handayani (2010), pengkajian novel secara stilistika mengenai
pemanfaatan bunyi-bunyi bahasa, diksi, dan gaya bahasa, (6) “Kajian Stilistika
Novel Kembang Alang Karya Margareth Widhy Pratiwi” oleh Solichah Nur
Isnaeny (2012), adalah pengkajian novel secara aspek morfologi, diksi, dan gaya
bahasa.
Berdasarkan penelitian yang sudah ada, penelitian novel berbahasa Jawa
Alun Samudra Rasa belum pernah dikaji, penelitian ini akan membahas masalah
yang ada kaitannya dengan pengkajian stilistika dengan mengambil judul “Kajian
Stilistika Alun Samudra Rasa Karya Ardini Pangastuti Bn.”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan pembatasan masalah, maka
perumusan masalah yang ada dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah pemanfaatan dan pemilihan aspek-aspek bunyi dalam
novel Alun Samudra Rasa karya Ardini Pangastuti Bn?
2. Bagaimanakah diksi atau pemilihan kosakata dalam novel Alun Samudra
Rasa karya Ardini Pangastuti Bn?
3. Bagaimanakah penggunaan gaya bahasa dalam novel Alun Samudra Rasa
karya Ardini Pangastuti Bn?
4. Bagaimanakah aspek pencitraan dalam novel Alun Samudra Rasa karya
Ardini Pangastuti Bn?
8
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang diajukan, maka penelitian ini
bertujuan untuk:
1. Mendeskripsikan pemanfaatan dan pemilihan aspek-aspek bunyi dalam
novel Alun Samudra Rasa karya Ardini Pangastuti Bn.
2. Mendeskripsikan diksi atau pemilihan kosakata dalam novel Alun
Samudra Rasa karya Ardini Pangastuti Bn.
3. Mendeskripsikan penggunaan gaya bahasa dalam novel Alun Samudra
Rasa karya Ardini Pangastuti Bn
4. Mendeskripsikan aspek pencitraan dalam novel Alun Samudra Rasa karya
Ardini Pangastuti Bn.
D. Pembatasan Masalah
Penelitian ini dibatasi pada kajian stilistika novel Alun Samudra Rasa
karya Ardini Pangastuti Bn. Analisisnya akan dibatasi pada kajian aspek bunyi,
diksi atau pemilihan kosakata, gaya bahasa serta pencitraan dalam novel Alun
Samudra Rasa Karya Ardini Pangastuti Bn yang akan dibahas dengan kajian
stilistika.
E. Landasan Teori
1. Pengertian Stilistika
Stilistika Secara harfiyah, stilistika berasal dari bahasa Inggris: stylistics,
yang berarti studi mengenai style 'gaya bahasa' atau 'bahasa bergaya'. Aminuddin
(1995:13) menyatakan bahwa style dapat diartikan sebagai bentuk pengungkapan
9
ekspresi kebahasaan sesuai dengan kedalaman emosi dan sesuatu yang ingin
direfleksikan pengarang secara tidak langsung.
Pemakaian bahasa dalam karya sastra yang runtut dan sesuai gramatikal
memang baik, tetapi terdapat juga pemakaian yang memperlihatkan keunikan
bahasa atau menyimpang dari pola umum. Penyimpangan tersebut merupakan
daya tarik sebuah karya sastra yang merupakan cerminan dari gaya bahasa
ataupun kekhasan pengarang.
Nyoman Kutha Ratna (2009:13-15) mengungkapkan bahwa dikaitkan
dengan relevansinya, sebagai kekhasan itu sendiri, bahasa yang diciptakan dengan
sengaja, bahkan sebagai bahasa yang artifisial, maka stilistika pada umumnya
dibatasi pada karya sastra. Lebih khusus lagi adalah karya sastra jenis puisi.
Nyoman juga mengungkapkan bahwa dominasi penggunaan bahasa yang khas
dalam karya sastra diakibatkan oleh beberapa hal, sebagai berikut:
a. Karya sastra mementingkan unsur keindahan.
b. Dalam menyampaikan pesan karya sastra menggunakan cara-cara tak
langsung, seperti: refleksi, refraksi, proyeksi, manifestasi, dan representatif.
c. Karya sastra adalah curahan emosi, bukan intelektual.
Berdasarkan pengertian dia atas, penulis menyimpulkan bahwa stilistika
merupakan ilmu yang di gunakan untuk mengkaji gaya dan ekspresi kebahasaan
yang dituangkan ke dalam sebuah karya sastra.
2. Pengulangan Bunyi (Purwakanthi)
Purwakanthi mempunyai pengertian sebagai pengulangan bunyi, baik
konsonan, vokal, ataupun kata yang telah tersebut pada bagian depan
10
(Padmosoekotjo, 1953 dalam Prasetya Wisnu, 2003: 60). Purwakanthi ada tiga
jenis sebagai berikut.
a. Asonansi (Purwakanthi swara) adalah semacam gaya bahasa retoris yang
sama berdasarkan langsung dan tidaknya makna yang berwujud bunyi vokal yang
sama.
Contoh: Sawise sakabehe prastawa, sing ngremukake jiwa
raga.(ASR/P2/56/5)
„setelah semua peristiwa, yang meremukan jiwa raga
Pada contoh diatas terdapat asonansi atau purwakanthi swara [a] dengan
bunyi vokal [O] yaitu pada kata prastawa „peristiwa‟ yang terletak pada kata
ketiga unsur langsung pertama, kata jiwaraga „jiwa raga‟ yang terletak pada
kalimat keenam dan ketujuh unusur langsung kedua.
b. Aliterasi (purwakanthi sastra) adalah repetisi bunyi awal pada kata-kata
yang berbeda, biasanya berupa konsonan (Cumming dan Simmons dalam Sutarjo,
2002:62) atau secara umum aliterasi adalah initial rhyme „rima awal‟, jadi tidak
sekadar bunyi konsonan, tapi dapat pula bunyi vokal (Reaske, dalam Sutarjo,
2002:62). Contoh purwakanthi sastra (aliterasi) sebagai berikut:
Contoh: Sun sayang marang Sekar(ASR/P1/1/6)
„ Sun sayang terhadap Sekar‟
Pada data di atas terdapat purwakanthi sastra atau aliterasi [s] pada kata
sun „sun‟, sayang „sayang‟, dan Sekar „Sekar‟. Ketiganya terletak pada suku kata
pertama kalimat pertama, kedua dan keempat agar kata-kata terdengar lebih
ritmis.
c. Lumaksita (purwakanthi basa) adalah bentuk pengulangan berdasarkan
persamaan kata, suku kata akhir dengan suku kata awal yang bertuturan atau
persamaan huruf akhir dengan huruf awal yang berturut-turut dalam suatu
11
bait/baris tembang. Purwakanthi basa adalah pengulangan, suku kata, kata atau
frase yang letaknya di depan, tengah dan akhir satuan lingual yang kesemuanya
itu untuk memberi suasana estetis/indah (Sutarjo, 2002:125). Perulangan bunyi,
suku kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi
tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai disebut repetisi (Gorys Keraf,
2002:124-145). Jenis-jenis repetisi (Gorys Keraf, 2002:127-128):
1) Epizeuksis, yaitu repetisi yang bersifat langsung, artinya kata yang
dipentingkan diulang beberapa kali berturut-turut.
Contoh: Pancen tenan. ing Semarang sawise oleh kanca-kanca anyar,
swasana kampus sing uga beda karo Yogya lan srawung karo
kanca-kanca anyar kanthi pakulinan-pakulinan sing uga
anyar,...(ASR/P2/28/7)
„Memang benar. di Semarang sehabis mendapat teman-teman
baru, suasana kampusyang juga berbeda dari Yogya dan kenal
dengan teman-teman baru dengan kebiasaan-kebiasaan yang
juga baru,...‟
Pada diatas menunjukkan adanya repetisi epizeuksis, yaitu perulangan
kata yang dipentingkan beberapa kali secara langsung. Dalam hal ini kata
anyar „baru‟ diulang sebanyak tiga kali.
2) Tautoses, yaitu repetisi atas sebuah kata berulang-ulang dalam sebuah
kontruksi.
3) Anafora, yaitu repetisi yang berwujud perulangan kata pertama pada tiap baris
atau kalimat berikutnya.
Contoh: Ora ana owah-owahan...
Ora ana owah-owahaning nggon sikap utawa tindak tanduk
liyane.(ASR/P8/81/8)
„tidak ada perubahan...‟
„tidak ada perubahan disikap atau perilakunya‟
12
Pada data diatas menunjukan adanya repetisi anfora, kata Ora ana owah-
owahan „tidak ada perubahan‟ diulang sebanyak dua kali yang terletak di awal
kalimat.
4) Epistrofa, yaitu repetisi yang berwujud perulangan kata atau frasa pada akhir
baris atau kalimat berurutan.
Contoh: Tegese ayu banget ora, elek banget uga ora(ASR/P1/3/9/)
„artinya cantik sekali tidak, jelek juga tidak‟
Pada data di atas menunjukan adanya pengulangan kata ora „tidak‟ di
akhir kalimat. Perulangan tersebut bertujuan memeberikan penjelasan
mengenai cantik yang standar.
3. Diksi
Diksi atau pilihan kata adalah kejelasan lafal untuk memperoleh efek
tertentu dalam berbicara di depan umum atau dalam karang mengarang (Harimurti
Kridalaksana, 2001:440). Penggunaan diksi bertujuan untuk mendapatkan
kepuitisan, dan mendapatkan nilai estetik (Pradopo, 2005 dalam Abdul Asis,
2010:104)
Diksi atau pilihan kata dilakukan untuk memperoleh efek tertentu dalam
menulis. Diksi atau pilihan kata dalam novel Alun Samudra Rasa karya Ardini
Pangastuti Bn terlihat adanya sinonimi, antonimi, panyudaning swara atau
abreviasi, panambahing swara (wauwuh), tembung saroja, tembung garba,
tembung entar, paribasan, bebasan, saloka, kosakata bahasa Indonesia, bahasa
Asing dan penanda morfologi ragam literer.
a. Sinonim
Sinonim yaiku rong tembung utawa luwih kang awujud lan panulisane
beda, nanging nduwe teges padha, utawa meh padha „sinonim yaitu dua kata atau
13
lebih yang wujud dan penulisannya berbeda, tetapi memiliki makna yang sama,
atau hampir sama‟ (Sry Satriya Wisnu Sasangka, 2013:203).
Menurut Verhaar dalam Abdul Chaer (2002:82) sinonim adalah ungkapan
(bisa berupa kata, frase, atau kalimat) yangmaknanya kurang lebih sama dengan
yang lain. Didalam puisi sinonimi berfungsi memberi penekanan kepada makna
kata tertentu seperti yang dimaksud oleh si penyair (Siswantoro, 2010:90)
Contoh :Sebab senajan negara agraris, olah tani utawa tetanen wis kurang
diminati dening para kadang tani, mligine saperangan tlatah Jawa.
(ASR/P1/5/10/)
„ Sebab meskipun negara agraris, olah tani atau bertani sudah kurang
diminati oleh para tetani, khususnya sekitar tanah Jawa‟
Pada data di atas menunjukan persamaan kata, yaitu pada kata olah tani
„olah tani‟ yang sepadan dengan kata tetanen „bertani‟. Kesepadan kata tersebut
terletak dalam unsur langsung kedua pada kalimat olah tani utawa tetanen wis
kurang diminati dening para kadang tani.
b. Antonim
Antonim yaiku tembung, frase, utawa ukara kang duwe teges, walikan
karo tembung frase, utawa ukara liyane „antonim yaitu kata, frase, atau kalimat
yang memiliki makna yang berlawanan dengan kata, frase, atau kalimat
lainnya‟(Sry Satriya Wisnu Sasangka, 2013:205).
Contoh: Dheweke banjur nudingi nganggo mripate marang bocah loro
lanang wadon nganggo sragam SMA sing boncengan sepeda
motor matic. (ASR/P1/8/11/)
„Dia kemudian menuding dengan matanya kepada dua anak laki-
laki dan perempuan memakai seragam SMA yang berboncengan
sepeda motor matic.
Data di atas terdapat adanya penggunaan antonimi yaitu pada kata lanang
wadon „laki-laki perempuan‟.
14
c. Panyudaning Swara atau Abreviasi
Panyudaning swara atau abreviasi ing sawijining tembung bisa
dibedakake dadi telu, yaiku aferesis, sinkop, lan apokop. Abreviasi iki ana uga
kang ngarani plutan (tembung plutan) (Sri Satriya Tjatur Wisnu Sasangka,
2011:20-21) „pengurangan suara atau abreviasi dalam salah satu kata dapat
dibedakan menjadi tiga, yaitu aferesis, sinkop, dan apokop. Abreviasi ada juga
yang menyebutnya plutan (tembung plutan)‟.
Tembung Plutan yaiku tembung sing diringkes cacahing wandane
„tembung plutan yaitu kata yang diringkas/dikurangi jumlah suku katanya‟ (S.
Hadiwirodarsono, 88).
Macam panyudaning swara atau abreviasi akan dibahas di bawah ini.
1) Aferesis
Aferesis yaiku sudane swara ing wiwitane tembung. Sanadyan
mengkono, surasane tembung ora nganti owah (Sri Satriya Tjatur Wisnu
Sasangka, 2011:20-21) „aferesis yaitu berkurangnya suara di awal kata.
Meskipun demikian maksud dari kata tersebut tidak sampai berubah‟.
Contoh: Pak Paimin mung mlengeh. (ASR/P1/4/12)
„Pak Paimin hanya tersenyum‟
Data di atas menunjukan adanya pengurangan suku kata dari kata amung
„hanya‟ menjadi mung. Pengurangan kata tersebut bertujuan untuk
keefektifan penggunaan kata untuk menyebut secara cepat.
2) Sinkop
Sinkop yaiku sudane swara ing tengah tembung. Sanadyan ana sesudan
swara ing tengah tembung, surasaning tembung ora owah (Sri Satriya Tjatur
15
Wisnu Sasangka, 2011:20-21) „sinkop yaitu berkurangnya suara di tengah
kata. Meskipun ada pengurangan ditengah kata, makna kata tidak berubah‟.
3) Apokop
Kang sinebut apokop yaiku sudane swara ing pungkasaning tembung.
Sanadyan ana sesudan swara ing pungkasaning tembung, surasane tembung
babar pisan ora owah (Sri Satriya Tjatur Wisnu Sasangka, 2011:20-21)
„apokop yaitu berkurangnya suara di akhir kata. Meskipun ada pengurangan
suara di akhir kata, makna kata sama sekali tidak berubah‟.
d. Panambahing Swara
Panambahing swara ing sawijini tembung bisa dibedakake dadi telu, yaiku
protesis, epentesis, lan paragog (Sri Satriya Tjatur Wisnu Sasangka, 2011:19)
„penambahan suara di dalam sebuah kata bisa dibedakan menjaadi tiga, yaitu
protesis, epentesis, dan paragog‟.
1) Protesis
Protesis yaiku tambahe swara ing wiwitane tembung kang ora nganti
ngowahi surasane tembung (Sri Satriya Tjatur Wisnu Sasangka, 2011:19)
„protesis yaitu penambahan suara di awal kata tanpa merubah makna kata‟.
2) Epentesis
Epentesis yaiku tambahe swara ing tengah tembung. Sanadyan ing tengah
tembung tinambahan utawa sineselan swara, surasaning tembung ora nganti
owah (Sri Satriya Tjatur Wisnu Sasangka, 2011:20) „epentesis yaitu
penambahan suara di tengah kata. Meskipun di tengah kata ditambahi atau
diselipkan suara, makna kata tidak sampai berubah‟.
16
3) Paragog
Paragog yaiku tambahe swara ing pungkasane tembung nanging surasane
tembung ora nganti owah (Sri Satriya Tjatur Wisnu Sasangka, 2011:20)
„paragog yaitu penambahan suara di akhir kata tetapi makna kata tidak
sampai berubah‟.
e. Tembung Saroja
Tembung Saroja yaiku tembung loro kang dirangkep dadi siji. Loro-lorone
tembung iku duwe teges meh padha „ tembung saroja adalah dua kata yang
dirangkap menjadi satu. Kata tersebut dua-duanya mempunyai arti yang hampir
sama‟ (S. Hadiwirodarsono, 84).
Contoh: marang mobah mosiking swasana. (ASR/P1/1/13)
„terhadap hiruk pikuknya suasana‟
Data di atas menunjukan dua kata yang dirangkap menjadi satu dan
keduanya mempunyai arti hampir sama, yaitu pada kata mobah mosiking‟ „hiruk
pikuk‟.
f. Tembung Garba
Tembung garba, tegese tembung rerangken, tembung sesambungan,
tembung kang kadadean saka gandenge tembung loro utawa luwih „tembung
garba adalah rangkaian kata, gabungan kata, kata yang terbentuk berasal dari
gabungan dua kata atau lebih‟ (S. Padmosoekotjo, 29).
Nggarba tembung „menggarba kata‟ maksudnya menggabungkan dua kata
atau lebih, perlunya untuk mengurangi jumlah suku kata. Tembung Garba dalam
NASR tidak sebanyak ditemukan pada sebuah tembang. Wajarnya persandian
ditemukan pada kasusastraan berbentuk tembang. Ketika terdapat guru gatra
„jumlah baris‟ yang berlebih guru wilangannya „suku kata‟, penulisan bisa dengan
17
cara mengurangi jumlah suku kata itu sebagai sarana persandian dua kata atau
lebih yang terletak pada baris tersebut.
g. Tembung Entar
Entar mempunyai arti 1. Silihan „pinjaman‟, 2. Lunga„pergi‟, mangkat
„berangkat‟, bablas „langsung/terus tidak berhenti‟. Tembung entar, tegese
tembung silihan. Tembung kang ora kena ditegesi mung sawantahe bae „tembung
entar adalah peminjaman kata. Kata yang tidak boleh diartikan apa adanya.
Menurut maknanya entar maksudnya: makna kata tidak boleh dimaknai
apa adanya, karena makna yang terselip tidak selugunya, mempunyai arti kiasan.
Jelasnya makna tersebut sesuai dengan yang baku, selugunya, dan sebenarnya.
h. Paribasan
Paribasan , unen-unen kang adjek panggonane, mawa teges entar, ora ngemu
surasa pepindan „peribahasa yaitu tuturan yang tidak dapat diubah atau tetap pada
tempatnya, termasuk golonganentar „meminjam kata‟, tidak mempunyai maksud
untuk mengibaratkan (S. Padmosoekotjo, 40).
Contoh: Senajan nasip mahanani aluring crita dadi beda, dheweke lan
Pram kudu nempuh dalan dhewe-dhewe, ning tresna sing wis
kebacut ngoyot iku tetep ora bisa dipunthes ngono wae.
Paribasane tetep urip ngrembaka senajan diseleh ing pot sing
beda.(ASR/P26/ 283/14)
„Meskipun nasib menyebabkan alur cerita menjadi berbeda, dia
dan Pramharus menempuh jalan sendiri-sendiri, tetapi cinta yang
sudah terlanjur mengakaritu tetap tidak bisa dipupus begitu saja.
Peribahasanya tetap dapat hidup berkembang meskipun
ditempatkan di pot yang berbeda‟
Data diatas menunjukan penggunaan ungkapan tetep urip ngrembaka
senajan diseleh ing pot sing beda „tetap dapat hidup berkembang meskipun
ditempatkan di pot yang berbeda‟ yang mempunyai pengertian, bahwasannya
18
cinta antara Intan dan Pram tetap akan ada dan bahkan dapat berkembang
meskipun keduanya tau bahwa mereka tidak dapat bersatu.
i. Bebasan
Bebasan, unen-unen kang ajeg panggonane, mawa teges entar, ngemu
surasa pepindhan „Bebasan yaitu tuturan yang tetap pada tempatnya atau tidak
dapat diubah, tergolong entar „meminjam kata‟, bermaksud mengibaratkan (S.
Padmosoekotjo, 46).
Bebasan, biasanya termuat di kasusastraan, ungkapan yang diibaratkan
adalah keadaan atau sifat seseorang. Orang yang diibaratkan juga termasuk di
dalamnya, tetapi yang lebih diutamakan itu “keadaan, perilakunya”. Keadaan
lebih diutamakan untuk diibaratkan, atau kalau jika sifat dan perilaku manusia itu
diibaratkan penyebutannya terletak di depan.
j. Saloka
Saloka iku kalebu tembung entar, nanging unen-unenne ora kena owah,
ora kena diganti, kudu ajeg panggonane, sarta mawa surasa pepindhan „Saloka
itu tergolong kata entar, tetapi tuturannya tidak boleh berubah, tidak boleh
diganti, harus tetap pada tempatnya, serta bermaksud mengibaratkan (S.
Padmosoekotjo, 52).
Berbeda dengan bebasan, yang diibaratkan dalam saloka adalah
“orangnya”. Tentu saja watak atau keadaan “orangnya”, maka kata yang berisi
pengibaratan orang (barang) terletak di depan.
k. Kosakata Bahasa Indonesia
Dalam novel “Alun Samudra Rasa” ada beberapa kata yang menggunakan bahasa
Indonesia. Dalam novel maupun teks berbahas Jawa bisa jadi disisipkan kata atau
19
frasa berbahasa Indonesia dengan tujuan agar lebih komunikatif dan mudah di
pahami.
Contoh: ...Pak Paimin, sopir perusahaan sing biasa antar jemput
dheweke .(ASR/P1/2/15/)
„...Pak Paimin, sopir perusahaan yang biasa antar jemput
dirinya.‟
Data di atas menunjukan pemakaian kosakata berbahasa Indonesia yaitu
pada kata antar jemput „antar jemput‟.
l. Kosakata Bahasa Asing
Bahasa asing bisa saja di masukkan kedalam teks berbahasa Jawa berupa frasa
atau kata karena kata akan terdengar janggal jika menggunakan bahasa Jawa.
Contoh: Intan noleh. Dha-dha marang Sekar sing banjur dibales kanthi kiss
by dening bocah cilik iku. (ASR/P1/2/16/)
„ Intan menoleh. Da-da kepada Sekar yang langsung dibalas kiss by
oleh bocah kecil itu.‟
Data di atas menunjukan penggunaan kosakata asing yaitu pada kata kiss
by. Kiss by merupakan istilah memberikan cium jauh terhadap lawan bicaranya.
m. Penanda morfologi ragam literer
Morfologi merupakan salah satu bidang linguistik yang mengkaji kata atau
leksikon suatu bahasa. Dalam pembentukan sebuah kata dalam karya sastra novel
berbahasa Jawa terdapat bentuk-bentuk kata yang literer.
Sujono dan Endang Siti Saparinah (1988: 25-26) struktur ragam literer
bahasa Jawa, sebagaimana bahasa Jawa bukan literer dapat berupa morfem bebas
dan terikat. Contoh morfem bebas seperti: udan „hujan‟, panas „panas‟, golek
„mencari‟, dan lain sebagainya. Sedangkan untuk morfem terikat dapat berbentuk:
{pa-+-an}, {ka-+-an}, {a-}, {N-}, {-in-}, {-um}, {-ing}, {-ning}, {-ira} dan
sebagainya.
20
Penanda morfologis ragam literer tersebut, dari segi bentuk literernya
dapat dipilah lagi menjadi bentuk literer yang berafiks dan bentuk literer yang
reduplikasi.
1) Bentuk literer yang berafiks
Afiksasi merupakan proses perubahan. Perubahan terjadi karena
pengimbuhan ater-ater „prefiks‟, seselan ‟infiks‟, panambang „sufiks‟, dan
imbuhan bebarengan „konfiks‟ tertentu.
2) Bentuk literer yang reduplikasi
Reduplikasi adalah proses dan hasil pengulangan satuan bahasa sebagai alat
fonologis atau gramatikal (Harimurti Kridalaksana, 2008:208). Aryo Bimo
Setiyanto (2007:81) mengatakan reduplikasi dalam bahasa Jawa disebut
tembung rangkep. Tembung rangkep dibedakan menjadi tiga macam: (a)
tembung dwilingga, (b) tembung dwipurwa, dan (c)tembung dwiwasana.
Berdasarkan cara mengulang bentuk dasarnya, proses pengulangan dapat
dibedakan atas 3 yaitu sebagai berikut:
1) Pengulangan seluruh/utuh, meliputi:
(a) Pengulangan seluruh bentuk dasarnya tanpa variasi fonem (Dwilingga
wutuh).
(b)Perulangan seluruh bentuk dasarnya dengan variasi fonem (Dwilingga
salin swara).
2) Perulangan sebagian suku pertama (Dwipurwa) dan perulangan sebagian
suku kedua (Dwiwasana).
3) Perulangan berkombinasi dengan pembubuhan afiks.
21
4. Gaya Bahasa
Gaya bahasa berkaitan dengan aspek keindahan. Nyoman Kutha Ratna
(2009:22) berpendapat bahwa gaya bahasa adalah ekspresi linguistik, baik di
dalam puisi maupun prosa (cerpen, novel dan drama). Gaya bahasalah yang
menjadi unsur pokok untuk mencapai berbagai bentuk keindahan.
Menurut Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan
(2007), gaya bahasa terdiri dari empat macam, yaitu (1) majas perbndingan
(alegori, alusio, simile, metafora, antropomorfemis, sinestesia, antonomasia,
aptronim, metonemia, hipokorisme, litotes, hiperbola, personifikasi,
depersonifikasi, pars prototo, totum proparte, eufimisme, disfemisme, fabel,
parable, perifrase, eponym, dan simbolik), (2) majas penegasan (apofasis,
pleonasme, repetisi,parairama, aliterasi, paralelisme, tautologi, sigmatisme,
antanaklasis, klimaks, antiklimaks, iversi, retoris, ellipsis, korekio, sindeton,
interupi, eksklamasio, enumorasio, preterito, alonim, kolokasi, silepis, zeugma),
(3) majas pertentangan (paradoks, antitesis, oksimoron, kontradiksi interminus,
dan anakronisme), dan (4) majas sindiran (ironi, sarkasme, sinisme, satire, dan
innuendo).
Menurut Gorys Keraf (2002:113) pengertian gaya atau khususnya gaya
bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah style. Pengertian gaya bahasa dapat
dibatasi, yaitu gaya pengungkapan pikiran melalui bahasa secara khas yang
memperlihatkan jiwa kepribadian penulis atau pemakai bahasa.
Harimurti Kridalaksana (2001:63) memberikan pengertian mengenai gaya
bahasa atau style adalah (1) pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang
22
dalam bertutur atau menulis; (2) pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh
efek-efek tertentu; (3) keseluruhan ciri-ciri bahasa sekelompok penulis sastra.
Jenis-jenis gaya bahasa menurut Gorys Keraf (2002:115-145) antara lain:
a. Segi nonbahasa, meliputi: berdasarkan pengarang, berdasarkan masa,
berdasarkan medium, berdasarkan subyek, berdasarkan tempat, berdasarkan
hadirin, berdasarkan tujuan.
b. Segi bahasa
1) Gaya bahasa berdasarkan pilihan kata dibedakan menjadi gaya bahasa
resmi, gaya bahasa tak resmi, dan gaya bahasa percakapan.
2) Gaya bahasa berdasarkan nada terdiri dari gaya sederhana, gaya mulia
dan bertenaga, dan gaya menengah.
3) Gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat terdiri dari klimaks, anti
klimaks, paralelisme, antitesis, dan repetisi.
4) Gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna meliputi:
(a) Gaya bahasa retoris meliputi aliterasi atau preterisio, apostrof,
asidenton, polisidenton, kiasmus, elipsis, eufemisme, litotes,
histeron proteron, pleonasme, dan tautologi, perifrasis, prolepsis
atau antisipasi, erotesis atau pertanyaan retoris, silepsis dan
zeugma, koreksio atau epanortosis, hiperbol, paradoks, oksimoron.
(b) Gaya bahasa kiasan, meliputi: persamaan simile, metafora, alegori,
parabel, dan fabel, personifikasi atau prosopopoeia, alusi, eponim,
epitet, sinekdoke, metonimia, antonoia, hipalase, ironi, sinisme, dan
sarkasme, satire, inuendo, antifrasis dan pun atau paronomasia.
23
Berikut ini dikemukakan beberapa penjelasan tentang gaya bahasa.
1. Asindenton
Asindenton adalah gaya yang berupa acuan, bersifat padat dimana beberapa
kata, frasa atau klausa yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung.
Contoh: “Yen ing rumah makan liyane piye? Pring Sewu, Lombok Abang,
Lombok cimpling, Seruni, apa ngendi kek,..(ASR/P17/180/17/)
„kalau di rumah makan yang lain gimana? Pring Sewu, Lombok
Abang, Lombok cimpling, Seruni, apa dimana gitu,..
2. Polisindenton
Gaya bahasa penegasan dengan menyebutkan beberapa benda, hal atau
keadaan secara berturut-turut dengan mempergunakan kata sambung.
Contoh: Sawise ngentekake cemilan lan ngombe putih, Intan banjur bali
mlebu kamarae, salin penganggo sarta dandan saperlune njur
jumangkah marani bapake ing teras.(ASR/P8/86/18/)
„Setelah menghabiskan cemilan dan minum air putih, Intan lalu
kembali masuk kamar, ganti baju serta dandan seperlunya lalu
berjalan mendekati bapaknya di teras‟
3. Perifrase
Perifrase adalah gaya bahasa perbandingan dengan mengganti sebuah kata
dengan beberapa kata atau kalimat. Gaya bahasa yang mempergunakan kata lebih
banyak dari yang diperlukan. Namun sebenarnya kata-kata yang berlebihan itu
dapat diganti dengan satu kata saja.
Contoh: Sajake kabeh wis padha turu kepati nalika Bregas bali saka
seneng-seneng ing cafe.(ASR/P4/38/19/)
„Sepertinya semua sudah pada tidur nyenyak saat Bregas pulang
dari senang-senang di cafe‟
4. Erotesis
Erotesis atau pertanyaan retoris adalah semacam pertanyaan yang
dipergunakan dalam pidato atau tulisan dengan tujuan mencapai efek, yang lebih
24
mendalam dan penekanan yang wajar, dan sama sekali tidak menghendaki adanya
suatu jawaban (Gorys Keraf, 2002:134).
Contoh: Nanging Sekar Melur terus kepriye? Iku tansah dadi
pamikiran.(ASR/P3/33/20)
„Tetapi Sekar Melur terus bagaimana? Itu yang menjadi
pemikiran‟
5. Koreksio
Koreksio atau epanortosis merupakan gaya yang berwujud, mula-mula
menegaskan, tetapi kemudian memperbaikinya.
Contoh: Kuwi ora merga Mr. Tanaka naksir, nanging minangka “balas budi”,
sebab Intan tau “nylametake” perusahaan saka pangamuke para
karyawan sing nuntut undhak-undhakan bayar. (ASR/P1/5/21/)
„Itu bukan karena Mr. Tanaka suka, tetapi karena” balas budi”, karena
Intan pernah menyelamatkan perusahaan dari amukan para karyawan
yang menuntuk kenaikan gaji.‟
6. Hiperbol
Hiperbol (Gorys Keraf, 2002:135) yaitu gaya bahasa yang mengandung
pernyataan berlebihan, dengan membesar-besarkan suatu hal.
Contoh:“Aduh, Mbak Intan. Aku kuwatir yen sirahku mengko langsung
mbledhos krungu pangalembanane Mbak. (ASR/P1/10/22/)
„Aduh, Mbak Intan. Aku khawatir kalau kepalaku nanti langsung meletus
mendengar pujiannya Mbak,”
7. Simile
Simile ialah bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan hal lain
dengan mempergunakan kata-kata pembanding. Simile adalah perbandingan yang
bersifat eksplisit. Perbandingan eksplisit mempunyai maksud bahwa ia langsung
menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain. Simile banyak menggunakan
kkata kadya, lir, kaya, kados, prasasat, bebasan, dan sebagainya (Gorys Keraf,
2002:138).
25
Contoh: Tangis sing kawit mau diampet iku pungkasane ambrol kaya bendungan
jebol (ASR/P3/24/23/)
„Tangis yang sejak tadi di tahan itu akhirnya tumpah seperti bendungan
jebol‟
8. Metafora
Metafora (Gorys Keraf, 2002:139) merupakan semacam analogi
membandingkan dua hal secara langsung, melainkan dalam bentuk yang singkat.
Contoh: Sawah lan tegal akeh sing padha disulap dadi alas beton.(ASR/P1/5/24/)
Sawah dan kebun banyak yang di sulap menjadi gedung.
9. Alegori
Alegori merupakan cerita singkat yang mengandung kiasan.
10. Parabel
Gaya bahasa perbandingan dengan mempergunakan perumpamaan dalam
hidup. Gaya bahasa ini terkandung dalam seluruh isi karangan. Dengan tersimpul
berupa pedoman hidup. Parabel (parabola) adalah kisah singkat dengan tokoh-
tokoh biasanya berupa manusia, yang selalu mengandung tema moral.
11. Personifikasi
Gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-
barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan. Gorys
Keraf, 2002:140 personifikasi merupakan suatu corak khusus dari metafora, yang
mengiaskan benda-benda mati, bertindak, berbuat, berbicara seperti manusia.
Contoh: Jogede angin, tembang kewan iber-iberan.(ASR/P16/164/25/)
„jogetnya angin, tembang hewan berterbangan‟
12. Eufemisme
Eufemisme merupakan semacam acuan berupa ungkapan-ungkapan yang
halus untuk menggantikan acuan-acuan yang mungkin dirasakan menghina,
26
menyinggung perasaan atau mensugestikan sesuatu yang tidak menyenangkan
(Gorys Keraf, 20014:132)
Contoh:Ayune Intan klebu standar kanggo ukuran wong Indonesia, mligine wong
Jawa. Tegese ayu banget ora, elek banget uga ora. (ASR/P1/3/26/)
„ Cantiknya Intan termasuk standar untuk ukuran orang Indonesia,
khususnya orang Jawa. Maksudnya cantik sekali tidak, jelek sekali juga
tidak‟
13. Sinekdoke
Gaya bagasa ini terdiri dari pars prototo (sebagian untuk keseluruhan) dan
totem to parte (keseluruhan untuk sebagian). Gaya bahasa itu sendiri merupakan
bahasa kiasan yang menyebutkan sesuatu bagian yang penting suatu benda (hal)
untuk benda atau hal itu sendiri.
Contoh: Wong jepang kuwi fanatik karo klambi bathik, nyonyahe, senajan ora
fanatik banget kaya si Mister, nanging uga seneng nganggo bathik.
(ASR/P2/17/27/)
„ Orang Jepang itu fanatik dengan baju batik, istrinya tidak fanatik sekali
seperti si Mister, tetapi juga suka memakai batik‟
14. Metonimia
Metonimia (Gorys Keraf, 2002:142) adalah gaya bahasa yang
mempergunakan kata untuk menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai
pertalian yang sangat dekat. Hubungan itu dapat berupa penemu untuk hasil
penemuan, pemilik untuk barang yang dimiliki, akibat untuk sebab, sebab untuk
akibat, isi untuk menyatakan kulitnya, dan sebagainya.
Contoh: Dina iku uga Toyota Yaris werna abang metalik kuwi sida digawa bali
menyang omahe.(ASR/P2/19/28)
„ Hari itu juga Toyota Yaris warna merah metalik itu jadi dibawa pulang
ke rumahnya.
27
15. Antonomasia
Antonomasia adalah bentuk khusus dari sinekdoke yang berwujud
penggunaan sebuah epiteta untuk menggantikan nama diri, atau gelar resmi, atau
jabatan untuk menggantikan nama diri (Gorys Keraf, 2004:142).
16. Interupsi
Interupsi adalah agaya bahasa penegasan dengan mempergunakan kata-kata
atau bagian kalimat yang disisipkan di antara kalimat pokok guna lebih
memperjelas dan menekankan bagian kalimat sebelumnya.
Contoh: Intan Purnami, ibu putra siji, wanita karier sing ayu lan
enerjik.(ASR/P1/1/30/)
„Intan Purnami, ibu putra satu, wanita karir yang cantik dan enerjik‟
17. Sarkasme
Gaya bahasa sindiran yang paling kasar dengan mempergunakan kata-kata
tertentu yang cenderung tidak sopan.
Contoh: “Dasar lonthe! Plak...!” Tangane Bregas mampir ing pipine
Intan.(ASR/P1/23/31/)
„Dasar lonthe! Plak...!” Tangan Bregas mampir ke pipi Intan.
18. Simetri
Gaya bahasa yang menyatakan kalimat dengan kalimat yang lain tetapi
isinya sebanding.
5. Aspek Pencitraan
Citra adalah gambaran pengalaman indera yang diungkapkan melalui
bahasa. Sedangkan pencitraan adalah perwujudan dari pencitraan yang dilakukan
oleh seorang pengarang yang dipergunakan untuk melukiskan kualitas respon
indera baik secara harfiah maupun kiasan (Sutejo dan Kasnadi, 2009:176).
28
Pencitraan (imagery) atau gambaran angan-angan dalam puisi. Melalui
pencitraan, para penikmat puisi akan memperoleh gambaran yang jelas, suasana
khusus, atau gambaran yang menghidupkan alam pikiran dan perasaan penyairnya
(Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2011:179). Pencitraan dapat pula
diartikan sebagai cara membentuk citra mental pribadi/gambaran sesuatu
(Departemen Pendidikam dan Kebudayaan, 1966:192).
Menurut Sutejo (2010:21-24) citra dalam sebuah karya sastra meliputi:
a. Citra Penglihatan (Visual Imagery)
Citra penglihatan (visual imagery) adalah jenis pencitraan yang sering
menekankan pengalaman visual (penglihatan) yang dialami pengarang kemudian
diformulasikan ke dalam rangkaian kata yang sering kali metafisis dan simbolis.
Suatu ciri penglihatan yang memberi rangsangan kepada indera penglihatan
hingga hal-hal yang tak terlihat jadi seolah-olah terlihat (Sutejo, 2010:21).
Contoh: Intan migatekake raine ing njero kaca. Mripate katon mbendhul
lan abang amarga kesuwen ngempet tangis.(ASR/P2/26/32)
„Intan memeperhatikan wajahnya di dalam kaca. Matanya nampak
besar dan merah karena terlalu lama menahan tangis.‟
Data di atas terdapat pencitraan penglihatan yang mendeskripsikan tetang
wajah Intan saat menahan tangis.
b. Citra Pendengaran(Audio Imagery)
Citra pendengaran (audio imagery) adalah pelukisan bahasa yang
merupakan perwujudan dari pengalaman pendengaran (audio). Selain itu memberi
rangsangan kepada indera pendengaran sehingga mengusik imajinasi pembaca
untuk memahami teks sastra secara lebih utuh (Sutejo, 2010:22).
Contoh: Intan mung njegreg. Ora bisa kumecap. Jantunge dhag-dhig-dhug
ora karuan.(ASR/P8/89/33/)
29
„Intan hanya terdiam. Tidak bisa berkata-kata. Jantungnya dag-dig-
dug tidak karuan‟
Data di atas menunjukkan adanya citraan pendengaran yang dikuatkan
dengan kata dhag-dhig-dhug „dag-dig-dug‟ yang merupakan bunyi jantung
Intanyang secara spontan mengajak pembaca larut dalam cerita betapa jantung
Intan kala itu berdetak sangat keras ketika mendengar seseorang memanggil
namanya. Dan hanya Pram yang hanya memanggil nama dia dengan sebutan
Nami.
c. Citra Penciuman
Citra penciuman adalah penggambaran yang diperoleh melalui
pengalaman indera penciuman (Sutejo, 2010:23). Citraan ini mampu
membangkitkan emosi penciuman pembaca untuk memperoleh gambaran yang
lebih utuh atas pengalaman indera yang lain.
Contoh: Wangi mawar, arum melathi, saka mangsa kawuri.
(ASR/P9/90/34)
„bau mawar, harum melati, dari musim lalu‟
Data di atas menunjukkan adanya citraan penciuman. Citraan penciuman
yang digunakan dalam kata Wangi mawar, arum melathi, saka mangsa kawuri
„bau mawar, harum melati, dari musim lalu‟ mengimajinasikan pembaca tentang
pengalaman penggambaran masa lalunya yang indah seperti ketika mencium bau
wangi bunga mawar, dan harum bunga melati yang tentunya begitu wangi dan
artinya masa lalunya dahulu begitu indah.
d. Citra Perabaan (Tactil Imagery)
Citra perabaan (tactil imagery) adalah penggambaran atau pembayangan
dalam cerita yang diperoleh melalui pengalaman indera perabaan (Sutejo,
2010:24).
30
Contoh: Luwih-luwih nalika tangane nggrayangi pipine sing tilaskena
tangane sing lanang, sing isih nyisakake rasa lara campur panas.
(ASR/P3/24/35)
„lebih-lebih saat tangannya meraba pipi bekas tangan laki-lakinya,
yang masih menyisakan rasa sakit bercampur panas‟
Data di atas menunjukan penggunaan citra perabaan untuk
mendeskripsikan adegan perabaan yang terjadi di dalam alur cerita, ditunjukan
dengan adanya kata tangane nggrayangi pipine „tanggannya meraba pipinya‟.
Menunjukan tokoh Intan sedang meraba pipinya yang sakit, bekas tamparan dari
Bregas suaminya.
e. Citra Gerak (Movement Imagery)
Citra gerak (Movement imagery) adalah menggambarkan sesuatu yang
sesungguhnya tidak bergerak, atupun gambaran gerak pada umumnya (Sutejo,
2010:24). Citraan demikian dapat menggambarkan sesuatu lebih dinamis dalam
karya fiksi.
Contoh: “Dha... Bunda..?!”Kuwi swarane Mona sinambi ngangkat
tangane Sekar diajak dha-dha marang ibune. (ASR/P1/2/36)
„Daa...Bunda..?!” Itu suara Mona sambil mengangkat tangannya
Sekar untuk diajak da-da kepada ibunya.‟
Data di atas menunjukkan adanya citra gerak, berupa gerakan tangan yang
dilakukan oleh baby sister Sekar yaitu pada kata Dha... Bunda..?!”Kuwi swarane
Mona sinambi ngangkat tangane Sekar diajak dha-dha marang ibune
„Daa...Bunda..?!” Itu suara Mona sambil mengangkat tangannya Sekar untuk
diajak da-da kepada ibunya‟. Tangan Mona diangkat oleh baby sisternya untuk
diajak da-daa kepada ibunya yang akan berangkat ke kantor.
6. Ardini Pangastuti Bn dan Karyanya
Ardini Pangastuti Bn, lahir di Tulungagung, 16 November 1960. Cukup
lama beliau terjun dalam dunia sastra Jawa. Tahun 1993-1995, beliau mengemban
31
majalah bahasa Jawa dan mengasuh majalah kabudayan Jawa “Jawa Nilakandi”
sebagai Pemimpin Redaksi (2005-2007). Alun Samudra Rasa merupakan wujud
novel keempat yang sudah dibukukan. Novel yang pertama, Bumerang, disusul
Nalika Prau Gonjing lan Lintang. Novel lain yang belum dibukukan masih cukup
banyak, diantaranya: Kejiret Jaring Sutra, Tangis Biru, Rembulan Wungu, Kidung
sukma Larasing Jiwa, Pilihan dan lain sebagainya. Karya-karya tersebut sudah
pernah termuat menjadi cerita bersambung di majalah bahasa Jawa (Mekar Sari,
Djaka Lodang, lan Jaya Baya).
Selain menulis novel, Ardini juga sering menulis geguritan, cerkak, dan esai
yang tersebar di majalah Jaya Baya, Panyebar Semangat lan Djaka Lodang.
Nalika Srengenge Durung Angslup dan Kidung Jaman berwujud kumpulan
cerkak dan geguritan yang sudah di terbitkan menjadi buku. Sekarang Ardini aktif
di Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta (SSJY) dan ikut mengemban majalah sastra
Jawa “Pagagan”, yang merupakan wujud majalah komunitas.
7. Pengertian Novel
Novel merupakan karya sastra yang dibangun dengan menggunakan sarana
bahasa (Teguh Supriyanto, 2014:14).
Clara (dalam Wellek & Warren, 1993:282) novel adalah gambaran
kehidupan dan perilaku nyata, dari zaman pada saat novel itu ditulis. Romansa
yang ditulis dalam bahasa yang agung dan diperindah, menggambarkan apa yang
tidak pernah terjadi dan tidak mungkin terjadi.
Novel dapat dibagi menjadi tiga golongan, yakni novel percintaan, novel
petualangan, dan novel fantasi. Novel percintaan melibatkan peranan tokoh wanita
dan pria secara imbang, bahkan kadang-kadang peranan wanita lebih dominan.
32
Novel petualangan merupakan jenis novel yang sedikit sekali memasukan peran
wanita. Sedangkan novel fantasi merupakan jenis novel yang bercerita tentang
hal-hal yang tidak realitas dan serba tidak mungkin dilihat dari pengalaman
sehari-hari (Sumardjo dan Saini, 1988:29).
F. Data dan Sumber Data
Data adalah bahan penelitian, atau lebih tepatnya bahan jadi penelitian
(Sudaryanto, 1990:9). Data menurut Edi Subroto (1992:34) adalah semua
informasi atau bahan yang disediakan oleh alam (dalam arti luas), yang harus
dicari/dikumpulkan dan dipilih oleh peneliti. Data terdapat pada segala sesuatu
yang dianggap relevan sesuai bidang dan sasaran penelitian. Data dapat terdapat
pada wujud pemakaian bahasa, pada diri orang perorangan atau masyarakat, pada
perilaku atau perbuatan perorangan atau masyarakat, pada semua kegiatan
masyarakat, pada alam apapun dengan segala fenomenanya. Data dapat berwujud
angka-angka, perkataan-perkataan, kalimat-kalimat, wacana-wacana, gambar-
gambar atau foto-foto, rekaman-rekaman, catatan-catatan atau arsip-arsip,
dokumen-dokumen, buku-buku. Penulis menyimpulkan bahwa data adalah bahan
penelitian sebagai sasaran yang akan dikaji.
Data penelitian ini adalah berupa tuturan baik yang dinarasikan oleh
pengarang maupun dialog antar pelaku, yang didalamnya terdapat aspek stilistika
seperti: pemanfaatan dan pemilihan aspek bunyi, diksi atau pemilihan kosakata,
penggunaan gaya bahasa, dan aspek pencitraan yang diambil dari novel Alun
Samudra Rasa karya Ardini Pangastuti Bn.
Kesimpulannya sumber data merupakan bahan mentah data atau asal-
muasalnya data lingual. Bahan mentah data yang dalam bentuk konkret tampak
33
sebagai segenap tuturan apapun yang dipilih oleh peneliti karena dipandang cukup
mewakili, sumber data merupakan penghasil atau pencipta data. Sumber data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah novel Alun Samudra Rasa karya Ardini
Pangastuti Bn dengan jumlah halaman 341 lembar dan diterbitkan oleh Surya
Samudra di Yogyakarta (2015).
G. Metode dan Teknik
Metode adalah cara untuk mengamati atau menganalisis suatu fenomena,
sedangkan metode penelitian mencakup kesatuan dan serangkaian proses
penentuan kerangka pikiran, perumusan masalah, penentuan sampel data, teknik
pengumpulan data dan analisis data (Edi Subroto, 1992:31). Dalam metode
penelitian ini akan dijelaskan mengenai beberapa hal, antara lain: (1) jenis
penelitian, (2) sumber data dan data, (3) metode pengumpulan data, (4) metode
analisis data, dan (5) metode penyajian hasil analisis data.
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian
deskriptif adalah penelitian yang studi kasusnya mengarah pada
pendeskripsian secara rinci, mendalam, dan benar-benar potret kondisi apa
yang sebenarnya terjadi menurut apa adanya dilapangan (Sutopo, 2002:11).
Data yang bersifat deskriptif tersebut dianalisis untuk membuat generalisasi
atau kesimpulan umum yang merupakan sistem atau kaidah yang bersifat
mengatur atau gambaran dari objek penelitian (Edi Subroto, 1992:7).
Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang penentuan
sampelnya dengan cara cuplikan atau nukilan yang juga disebut purposive
sampling, artinya sampel ditentukan secara selektif, sumber datanya
34
diarahkan kepada sumber data yang menghasilkan data secara produktif,
penting sesuai dengan permasalahan yang ditentukan tujuan penelitian, dan
teori yang digunakan (Sutopo, 2002:36). Penelitian kualitatif cenderung
menganalisis data secara induktif. Jadi, tidak mencari data untuk menguji
hipotesis, tetapi cenderung membuat generalisasi berdasarkan pada fakta yang
ada atau fenomena yang secara empiris hidup pada penutur-penuturnya.
Penelitian deskriptif kualitatif adalah penelitian yang
mendeskripsikan kondisi yang benar-benar terjadi di lapangan dengan
penentuan sampelnya ditentukan secara selektif menggunakan cara cuplikan
atau nukilan yang disebut purposive sampling, sehingga cenderung
menganalisis data secara induktif.
2. Alat Penelitian
Alat penelitian terdiri dari alat utama dan alat bantu. Alat utama
adalah peneliti sendiri artinya kelenturan sikap peneliti mampu menggapai
dan menilai makna dari berbagai interaksi (Sutopo, 2002:35-36). Alat utama
dalam penelitian ini adalah kompetensi kebahasaan peneliti sendiri, dengan
ketajaman intuisi kebahasaan (lingual) peneliti mampu membagi data secara
baik menjadi beberapa unsur (Sudaryanto, 1993:31-32). Ketajaman intuisi
kebahasaan tersebut digunakan untuk menganalisis data yang berupa aspek
bunyi, diksi, gaya bahasa dan aspek pencitraan dalam teks novel Alun
Samudra Rasa karya Ardini Pangastuti Bn. Alat bantu dalam penelitian ini
adalah alat elektronik berupa komputer, laptop, handphone dan alat tulis
seperti buku, bolpoin, pensil dan penghapus.
35
3. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Metode adalah cara mendeteksi mengamati, dan menganalisis gejala yang
ada (Harimurti Kridalaksana, 2001:123). Pengumpulan data dalam penelitian ini
menggunakan metode simak. Metode simak atau penyimakan adalah metode
pengumpulan data dengan menyimak penggunaan bahasa (Sudaryanto, 1988:2).
Peneliti melakukan penyimakan secara seksama atau pemakaian bahasa yang
dipergunakan oleh Ardini Pangastuti Bn teks dalam novel Alun Samudra Rasa
karya.
Penggunaan metodek simak dengan teknik dasar yaitu teknik pustaka,
dalam pelaksanaanya dengan ditindaklanjuti menggunakan teknik catat. Data-data
dalam teks nov/el Alun Samudra Rasa tentang pemakaian bahasa yang diperlukan,
kemudian dilakukan pencatatan data pada kartu data yang telah disediakan.
Setelah data yang diperlukan terkumpul selanjutnya dilakukan klasifikasi data.
Pengklasifikasian data dilakukan berdasarkan aspek bunyi, diksi, gaya bahasa dan
pencitraan.
4. Metode Analisis Data
Analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengordinasikannya
dalam satu pola, kategori dan satuan uraian dasar. Menganalisis berarti memilah-
milah unsur yang membentuk suatu satuan lingual atau mengutarakan ke dalam
komponen-komponennya atau mengandung pengertian penentuan identitas suatu
satuan lingual. Penentuan identitas atau penyajian berdasarkan segi-segi tertentu
dari satuan lingual yang kita teliti (Edi Subroto, 1992:55). Dalam penelitian ini
data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan metode distribusional
(metode agih) untuk menganalisis aspek bunyi, diksi atau pilihan kata, dan
36
penanda morfologis. Metode padan digunakan untuk menganalisis gaya bahasa
dan pencitraan yang terdapat dalam teks novel Alun Samudra Rasa karya Ardini
Pangastuti Bn
Metode distribusional (metode agih) adalah metode analisis data yang alat
penentunya unsur dari bahasa yang bersangkutan itu sendiri (Sudaryanto,
1993:15). Menurut Edi Subroto (1992:64), metode distribusional adalah
menganalisis sistem bahasa atau keseluruhan kaidah yang bersifat mengatur
didalam bahasa berdasarkan perilaku atau ciri unsur bahasa itu dianalisis sesuai
perilaku bahasanya. Metode ini digunakan untuk menganalisis diksi, dan aspek
bunyi yang digunakan dalam teks novel Alun Samudra Rasa karya Ardini
Pangastuti Bn. Teknik dasar yang digunakan adalah teknik bagi unsur langsung
(BUL). Teknik ini digunakan untuk membagi satuan lingual data menjadi
beberapa unsur dan unsur-unsur yang bersangkutan dipandang sebagai bagian
yang membentuk satuan lingual yang dimaksud (Sudaryanto, 1992:15). Dari
satuan lingual yang dimaksud yang dimaksud itulah aspek-aspek kelitereran dapat
ditemukan.
Metode padan adalah metode yang alat penentunya sesuatu yang bersifat
di luar bahasa atau yang tidak terkait dengan bahasa. Alat penentu metode ini
adalah referent bahasa, organ atau alat ucap tertentu, bahasa atau lingual lain,
perekam atau pengawet bahasa (tulisan), dan lawan bicara (Edi Subroto, 1992:62).
Adapun teknik yang digunakan dalam metode ini adalah teknik PUP (pilah unsur
penentu) dengan daya pilah referensial dapat diketahui referen yang berupa tulisan
yang didalamnya memuat gaya bahasa dan aspek pencitraan. Metode padan
digunakan untuk menganalisis gaya bahasa dan pencitraan.
37
Semua data yang berkaitan dengan masing masing aspek itu dikumpulkan
menjadi satu, kemudian diamati secara kritis dan mendalam selanjutnya di
klasifikasikan sesuai dengan permasalahan yang akan dicapai.
1. Pemanfaatan bunyi bahasa (Purwakanthi)
1) Purwakanthi Swara (asonansi) [e].
Apa jangkah keconggah ngranggeh angkah. (ASR/P22/230)
„apakah langkah mampu meraih arah‟
Data (10) asonansi suku tertutup [h] dengan variasi vokal [a], pada
kata jangkah „langkah‟ suku kata kedua, keconggah „tercapai‟ suku kata
ketiga, angkah „arah‟ suku kata kedua. Asonansi tersebut mendukung
keindahan dalam kalimat yang mempertandakan kegelisahan hati Intan.
2) Purwakanthi Sastra atau Aliterasi
“Saiki sithik-sithik Sekar wis bisa omongan nganggo bahasa
Jawa.”(ASR/P15/154/38)
„Sekarang sedikit-sedikit Sekar sudah bisa berbicara memakai
bahasa Jawa‟
Pada data diatas merupakan perwujudan purwakanthi sastra atau
aliterasi [s] pada kata saiki „sekarang‟ kata, sithik-sithik „sedikit-sedikit‟,
dan Sekar „Sekar‟ yang konsonan ketiganya terletak pada awal suku kata.
3) Purwakanthi Basa atau Lumaksita
“Saiki sithik-sithik wiwit di kulinakake nganggo bahasa Jawa
dening eyange...Saiki sithik-sithik Sekar wis bisa omongan nganggo
bahasa Jawa.”(ASR/P15/154/39/)
„Sekarang seikit-sedikit mulai dibiasakan memakai bahasa Jawa oleh
eyangnya...Sekarang sedikit-sedikit Sekar sudah bisa berbicara
memakai bahasa Jawa‟
Pada data diatas terdapat purwakanthi lumaksita yang berupa
perulangan kata saiki sithik-sithik „sekarang sedikit-sedikit. Perulangan
terjadi di awal kalimat
38
2. Diksi
1) Tembung Rangkep (Reduplikasi)
Kuwi sing isih dilimbang-limbang dening Intan lan perkara kuwi uga
cukup nganggu pikiran. (ASR/P5/55/40/)
„Itu yang masih ditimbang-timbang oleh Intan dan masalah itu juga
cukup mengganggu pikiran‟
Data diatas menunjukkan Reduplikasi dwilingga atau perulangan
bentuk kata dasar dengan penambahan prefiks {di-} yaitu pada kata
dilimbang-limbang „ditimbang-timbang‟ terbentuk dari prefiks {di-} +
limbang-limbang menjadi dilimbang-limbang „ditimbang-timbang‟.
2) Abreviasi (Aferesis)
“Adegan kaya iku meh dumadi ing saben esuk” (ASR/P1/3/41/)
„Adegan seperti tadi hampir terjadi setiap pagi‟
Pada data di atas terjadi pengurangan suku kata ameh „hampir‟
menjadi meh. Terdapat pula sufiks {-um-} pada kata dumadi „terjadi‟.
Terbentuk dari kata dadi „jadi‟ + {-um-} menjadi dumadi „jadi‟.
3) Afiksasi
“Bregas Jatmika, bojone arang-arang ana prei yen dina minggu.
Luwih kerep saba luar Jawa tinimbang ing kantore, ing
Semarang”(ASR/P1/5/42/)
„Bregas Jatmika, suaminya jarang ada libur di hari minggu. Lebih
banyak pergi keluar Jawa daripada di kantornya, di Semarang ‟
Terdapat proses infiksasi yaitu infiks {-in-} pada kata tinimbang
„daripada‟ terbentuk dari infiks {-in-} + timbang „daripada‟ menjadi
tinimbang.
3. Gaya Bahasa
“Aku kuwatir yen sirahku mengko langsung mbledhos krungu
pangalembanane Mbak,” aloke Siti Sundari sawise uwal saka
rangkulane Intan. (ASR/P1/10/43/)
39
„Aku khawatir kalau kepalaku nanti bakal langsung pecah
mendengar pujianmu Mbak,” kata Siti Sundari seusai lepas dari
dekapan Intan‟
Pada data di atas merupakan wujud gaya bahasa hiperbola, yaitu
melebih-lebihkan ungkapan yang ditandai dengan adanya kata mbledhos
„pecah‟ yang mempunyai maksud bukan kepalanya akan meledak atau
meletus tetapi takut menjadi besar kepala karena terlalu dipuji.
4. Aspek Pencitraan
Citraan Penglihatan
“Mripate katon urip lan lambene kaya-kaya tansah nyungging
esem.” (ASR/P1/3/44/)
„ Matanya terlihat hidup dan bibirnya seperti akan tersenyum‟
Data di atas terdapat citraan penglihatan, karena mampu
membangkitkan kualitas penglihatan, ditandai dengan kata matanya
terlihat hidup „matanya telihat hidup‟ dan kata nyungging esem
„tersenyum‟. Kata urip dan nyungging esem merupakan pendeskripsian
hasil citraan penglihatan.
5. Metode Penyajian Hasil Analisis Data
Dalam penyajian hasil penelitian ini menggunakan metode formal dan
metode informal. Metode formal adalah metode penyajian hasil analisis
dengan menggunakan lambang atau tanda-tanda. Tanda yang dimaksud
adalah tanda kurung (( )); tanda pengapit ejaan fonemis (/ /); dan tanda untuk
menyatakan terjemahan dari satuan lingual yang disebutkan sebelumnya
(„...‟). Metode penyajian informal yaitu perumusan dengan kata-kata biasa
atau sederhana agar mudah dipahami (Sudaryanto, 1993:145). Analisis
40
penyajian informal dalam penelitian ini mempermudah pemahaman terhadap
hasil analisis.
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penelitian ini terdiri dari tiga bab yang
ketiganya membentuk satu kesatuan yang utuh. Adapun sistematika penulisan
penelitian ini yaitu sebagai berikut.
Bab I. Pendahuluan, berisi tentang latar belakang, rumusan masalah,
tujuan penelitian, pembatasan masalah, manfaat penelitian, landasan teori, metode
penelitian, metode pengumpulan data, metode analisis data, metode penyajian
hasil analisis data, dan sistematika penulisan.
Bab II. Analisis data dan pembahasan yang meliputi deskripsi
pemanfaatan dan pemilihan aspek-aspek bunyi, diksi atau pemilihan kosakata,
penggunaan gaya bahasa dan aspek pencitraan.
Bab III. Penutup yang berupa uraian simpulan hasil analisis data dan saran
penulis sehubungan dengan hasil penelitian.