bab i pendahuluan -...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Alih fungsi lahan merupakan perubahan penggunaan lahan dari suatu fungsi
tertentu menjadi fungsi lain, salah satunya yaitu lahan terbuka menjadi lahan
terbangun. Alih fungsi lahan dalam hal ini akan menyebabkan semakin
berkurangnya daerah tangkapan hujan karena mulai banyak dibangun gedung-
gedung yang kedap air. Kondisi ini tentu dapat menyebabkan peningkatan
pembentukan aliran limpasan (overland flow) karena minimnya ruang terbuka
sebagai tempat infiltrasi air. Dampak lebih buruk yang dapat terjadi yaitu bencana
banjir akibat volume limpasan yang sudah tidak dapat ditampung lagi oleh sungai
atau saluran-saluran air.
Sebagian wilayah Kabupaten Sleman merupakan kawasan resapan di Daerah
Istimewa Yogyakarta. Alih fungsi lahan menjadi lahan terbangun di kawasan
resapan ini dapat menyebabkan berkurangnya area resapan yang semestinya
digunakan sebagai daerah recharge. Lahan yang sudah tertutup oleh bangunan dan
menjadi kedap air mengakibatkan air hujan tidak dapat meresap masuk ke dalam
tanah sehingga langsung dialirkan menjadi aliran limpasan menuju badan sungai
atau saluran-saluran air. Akibatnya imbuhan airtanah akan berkurang karena air
hujan yang seharusnya dapat meresap masuk ke dalam tanah akan langsung
dialirkan sebagai aliran limpasan.
2
Perumahan Griya Taman Asri merupakan perumahan padat yang lokasinya
masih berada di kawasan resapan di Kabupaten Sleman, yaitu di perbatasan
Kecamatan Sleman dan Kecamatan Ngaglik. Kedua kecamatan tersebut merupakan
kawasan strategis peresapan air dalam rencana tata ruang wilayah Kabupaten
Sleman. Perubahan penggunaan lahan secara intensif tanpa adanya upaya
pengendalian keseimbangan siklus hidrologi akan memberikan dampak buruk bagi
daerah tersebut dan daerah lain di sekitarnya. Dampak yang dapat terjadi yaitu
berkurangnya imbuhan airtanah dan peningkatan pembentukan aliran limpasan.
Aliran limpasan merupakan air hujan yang terlimpaskan dan tidak dapat
meresap masuk ke dalam tanah. Kondisi ini dapat terjadi akibat luas lahan terbuka
yang tidak sebanding dengan luas lahan terbangun yang ada. Daerah penelitian
dilihat dari citra satelit merupakan perumahan padat yang hampir seluruhnya
berupa lahan terbangun. Berdasarkan data BPS (2017), curah hujan di Kabupaten
Sleman tergolong tinggi, yaitu 1.500-4.000 mm/tahun. Tingginya curah hujan
disertai pemanfaatan lahan terbangun secara intensif tentu akan meningkatkan
pembentukan aliran limpasan. Oleh karena itu, diperlukan upaya pananganan agar
air hujan tidak langsung dibuang sebagai aliran limpasan (Suripin, 2002).
Salah satu upaya untuk mengurangi terjadinya pembentukan aliran limpasan
yaitu dengan penerapan sumur resapan pada kawasan yang tertutup oleh bangunan.
Sumur resapan dapat diterapkan pada setiap rumah dengan melihat seberapa luas
lahan tanah yang ditutupi oleh bangunan tersebut. Sumur resapan ini sebagai salah
satu upaya pengendali banjir yang dilakukan dengan menampung air hujan pada
suatu lubang atau sumur dan meresapkannya ke dalam tanah (Kusnaedi, 2011).
3
1.2. Perumusan Masalah
Tingginya intensitas perubahan penggunaan lahan dari lahan terbuka menjadi
lahan terbangun sangat berpengaruh terhadap siklus hidrologi di suatu daerah.
Pembentukan aliran limpasan yang besar merupakan salah satu dampak yang dapat
dirasakan akibat perubahan penggunaan lahan ini. Aliran limpasan terbentuk akibat
banyaknya lahan terbangun yang menutupi area resapan air. Air yang jatuh pada
lahan terbangun atau pada lapisan kedap air selanjutnya akan langsung dialirkan ke
saluran air atau sungai sebagai aliran limpasan. Apabila sungai atau saluran air tidak
mampu menampung volume aliran limpasan, maka akan terjadi banjir luapan pada
daerah tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, perubahan penggunaan lahan secara intensif di
daerah penelitian dapat menyebabkan berkurangnya imbuhan air dan meningkatkan
pembentukan aliran limpasan. Tinggi rendahnya aliran limpasan sangat
dipengaruhi oleh bentuk penggunaan lahan di daerah tersebut, seperti tingginya
penggunaan lahan terbangun atau kedap air. Salah satu upaya konservasi yang dapat
dilakukan yaitu dengan membuat sumur resapan untuk mengendalikan aliran
limpasan tersebut. Atas dasar permasalahan tersebut, maka dapat dirumuskan
pertanyaan dalam penelitian ini sebagai berikut.
1. Berapa nilai koefisien aliran di Perumahan Griya Taman Asri?
2. Berapa intensitas hujan selama durasi hujan dominan pada periode ulang
5 tahun, 10 tahun, 25 tahun, dan 50 tahun di Perumahan Griya Taman Asri?
3. Bagaimana desain sumur resapan yang dapat diterapkan di Perumahan
Griya Taman Asri?
4
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah penelitian dapat dirumuskan tujuan sebagai
berikut:
1. Menghitung nilai koefisien aliran di Perumahan Griya Taman Asri.
2. Menghitung intensitas hujan selama durasi hujan dominan pada periode
ulang 5 tahun, 10 tahun, 25 tahun, dan 50 tahun.
3. Menentukan dan menganalisis desain sumur resapan yang dapat
diterapkan di Perumahan Griya Taman Asri.
1.4. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian yang ingin dicapai ini, maka akan diperoleh manfaat
sebagai berikut:
1. Sebagai salah satu upaya konservasi airtanah.
2. Sebagai upaya pananganan pembentukan aliran limpasan.
3. Sebagai acuan pengambilan keputusan terkait izin mendirikan bangunan.
1.5. Tinjauan Pustaka
1.5.1. Siklus Hidrologi
Siklus hirologi merupakan siklus yang menunjukkan pergerakan air di
permukaan bumi (Asdak, 1995). Siklus hidrologi menunjukkan rangkaian peristiwa
pergerakan air mulai dari saat jatuh ke bumi berupa hujan hingga menguap ke udara
dan jatuh kembali ke bumi. Konsep inilah yang disebut sebagai keseimbangan air
secara global (Kodoatie dan Sjarief, 2008).
5
Proses berlangsungnya siklus hidrologi dimulai dari proses penguapan
(evaporasi) secara vertikal dan kemudian di udara mengalami proses pengembunan
hingga terjadi hujan yang jatuh di atas permukaan tanah. Air hujan yang jatuh di
permukaan tanah ada yang mengalir melalui akar tanaman, masuk ke dalam tanah
melalui pori-pori tanah, dan ada yang mengalir secara langsung di atas permukaan
untuk kembali lagi menuju ke laut (Arsyad, 1989). Selama perjalanan menuju ke
laut, air mengalami banyak proses perubahan wujud. Sebagian air akan mengalami
penguapan, kemudian air yang sebelumnya masuk ke dalam tanah, sebagian lagi
akan keluar menuju sungai yang disebut dengan interflow, dan sebagian lagi akan
terus turun menjadi aliran bawah tanah atau groundwater flow (Soemarto, 1987).
Proses siklus hidrologi ini dapat dilihat pada Gambar 1.1.
Gambar 1.1 Siklus Hidrologi
Sumber: Soemarto (1987)
6
Secara singkat siklus hidrologi terdiri dari hujan (presipitasi), penguapan
(evaporasi), meresapnya air hujan ke dalam tanah (infiltrasi), aliran limpasan
(overland flow), dan aliran permukaan (runoff). Pergerakan air di bumi tidak akan
pernah habis, jumlah air yang masuk akan selalu sama dengan jumlah air yang
keluar. Oleh karena itu siklus hidrologi juga dikatakan sebagai suatu sistem yang
tertutup atau dikenal dengan neraca air (Soemarto, 1987).
Siklus hidrologi dapat berlangsung secara cepat maupun lambat tergantung
kondisi fisik alam masing-masing daerah. Keberadaan air di daratan dipengaruhi
oleh kemampuan lahan untuk menahan air selama mungkin agar tidak langsung
menjadi aliran limpasan. Semakin besar kemampuan lahan tersebut, maka semakin
banyak air yang akan tertampung dan meresap menjadi airtanah. Sebaliknya apabila
kemampuan lahan untuk menahan air sangat kecil, maka akan banyak air yang
langsung menjadi aliran limpasan (Anwar, 2005).
1.5.2. Hujan
Hujan merupakan suatu peristiwa dalam siklus hidrologi yang terjadi secara
tidak merata di semua tempat. Tinggi dan rendahnya curah hujan di suatu daerah
dapat disebabkan oleh letak lokasi dan iklim daerah, serta tingkat kebasahan udara
atau uap. Umumnya daerah yang berada di lereng gunung memiliki curah hujan
yang lebih besar dibandingkan dengan daerah lain yang ada di daratan (Soetedjo,
1970 dalam Sirait, 2010). Hujan terjadi karena penguapan air, terutama air dari
permukaan yang naik ke atmosfer kemudian terjadi proses pendinginan dan
pengembunan hingga jatuh kembali di permukaan bumi (Subarkah, 1980).
7
Hujan merupakan komponen masukan air yang sangat penting dalam
keberlangsungan proses hidrologi. Hal ini dapat terjadi karena jumlah kedalaman
hujan (rainfall depth) selanjutnya akan terbentuk menjadi aliran di sungai, baik
melalui aliran limpasan (overland flow), aliran antara (interflow), dan aliran
airtanah (groundwater flow) (Harto, 1993). Variasi perubahan bentuk hujan ini
menunjukkan bahwa hujan sangat berperan dalam siklus hidrologi di bumi.
Hujan dapat terjadi karena perpindahan massa uap air dari suatu tempat ke
tempat lain yang lebih tinggi sebagai respon adanya perbedaan tekanan udara antara
dua tempat dengan ketinggian yang berbeda. Uap air selanjutnya akan terakumulasi
hingga terjadi proses kondensasi dan uap air tersebut akan jatuh ke permukaan bumi
akibat adanya pengaruh gaya gravitasi bumi (Asdak, 1995). Teori tersebut juga
didukung oleh Sosrodarsono (1978) yang menyatakan bahwa hujan merupakan uap
yang mengkondensasi dan jatuh ke permukaan tanah sebagai rangkaian dari proses
siklus hidrologi.
1.5.3. Frekuensi Hujan
Sifat hujan yang perlu diperhatikan dalam proses pengalihragaman hujan
menjadi aliran, yaitu intensitas hujan, durasi hujan, kedalaman hujan, frekuensi
hujan, dan luas daerah pengaruh hujan (Soemarto, 1987). Secara umum parameter
hujan yang sering digunakan yaitu berupa intensitas dan durasi hujan yang
dihubungkan secara stastistik sebagai kurva Intensity-Duration-Frequency (IDF)
(Loebis, 1984). Intensitas hujan merupakan ketinggian hujan yang terjadi pada
suatu rentang waktu dimana air tersebut terkonsentrasi (Loebis, 1984).
8
Durasi Hujan merupakan lamanya suatu kejadian hujan (Sudjarwadi, 1987).
Secara umum hujan yang lebat hanya terjadi dalam waktu yang pendek, misalnya
4 sampai 5 jam. Berbeda dengan hujan yang memiliki durasi lama, misalnya 12 jam
yang biasanya mempunyai intensitas hujan kecil. Intensitas hujan tinggi pada
umumnya berlangsung pada durasi pendek dan meliputi daerah yang tidak luas
(Sudjarwadi, 1987). Hujan yang meliputi daerah luas jarang terjadi pada intensitas
tinggi, tetapi dapat berlangsung pada durasi panjang. Oleh karena itu, kombinasi
antara intensitas dan durasi hujan lebih mudah disajikan dalam bentuk kurva IDF.
Gambar 1.2 merupakan contoh kurva IDF yang menunjukkan hubungan antara
durasi dan intensitas hujan.
Gambar 1.2 Contoh Kurva IDF
Sumber: Asih dan Habaita (2013)
9
Kala ulang merupakan waktu dimana hujan atau debit dengan suatu besaran
akan disamai atau dilampaui sekali dalam jangka waktu tertentu. Kala ulang ini
bukan berarti bahwa selama jangka waktu ulang tersebut hanya terjadi sekali
kejadian hujan yang menyamai atau melampaui. Kala ulang menunjukkan
perkiraan bahwa kejadian hujan tersebut akan disamai atau dilampaui dalam jangka
waktu tertentu (Harto, 1993).
1.5.4. Aliran Limpasan
Peralihan penggunaan lahan yang pesat dari lahan terbuka menjadi lahan
tertutup menyebabkan berkurangnya lahan sebagai kawasan resapan air hujan.
Kawasan resapan air hujan seharusnya mampu meresapkan air hujan untuk
disimpan sebagai cadangan airtanah. Berkurangnya kawasan resapan akan
mempercepat terjadinya aliran limpasan (overland flow). Aliran limpasan ini
selanjutnya dapat memicu terjadinya banjir (Kodoatie dan Sugiyanto, 2002).
Aliran limpasan merupakan bagian dari curah hujan yang mengalir di atas
permukaan tanah menuju ke sungai, danau, dan lautan (Asdak, 2002). Besar
kecilnya aliran limpasan dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu faktor iklim dan
karakteristik DAS. Faktor iklim yaitu curah hujan dan faktor karakteristik DAS
yaitu bentuk atau ukuran DAS, topografi, geologi, serta jenis penggunaan lahan
(Suripin, 2002). Aliran limpasan juga disebut sebagai bagian curah hujan yang
masuk ke dalam lapisan tanah yang sudah jenuh air sehingga air tersebut keluar
kembali ke permukaan dan mengalir di permukaan menuju tempat lebih rendah
(Chow, 1964 dalam Seyhan 1977).
10
1.5.5. Koefisien Aliran
Koefisien aliran merupakan bilangan yang menunjukkan perbandingan
antara besarnya aliran air di permukaan tanah yang terbentuk terhadap besarnya
curah hujan (Asdak, 2002). Koefisien aliran menunjukkan seberapa besar aliran
yang terbentuk dari curah hujan. Semakin besar nilai koefisien aliran maka semakin
besar aliran air di permukaan tanah yang terbentuk. Selain perningkatan
pembentukan aliran limpasan, jumlah air yang dapat masuk ke dalam tanah akan
menjadi lebih sedikit.
Koefisien aliran dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya keadaan
hujan, luas dan bentuk daerah aliran, kemiringan daerah aliran, kondisi tanah, dan
kondisi lahannya. Nilai koefisien aliran akan berubah dari waktu ke waktu sesuai
dengan perubahan pada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Penentuan besarnya
pengaruh setiap faktor terhadap koefisien aliran ini cukup sulit dilakukan, oleh
karena itu perlu dilakukan berbagai pertimbangan dalam perhitungannya.
Perhitungan dapat didasarkan pada pengamatan faktor secara umum dan dapat
dilakukan dengan membagi faktor yang ada menjadi beberapa kelompok untuk
dapat diperhitungkan secara lebih spesifik (Subarkah, 1980).
Setiap bentuk pengunaan lahan akan memiliki nilai koefisien aliran yang
berbeda-beda. Perbedaan koefisien aliran tergantung pada seberapa luas lahan yang
tertutupi dan jenis penutup lahannya. Semakin rapat jenis penutup lahannya, maka
nilai koefisien aliran akan semakin tinggi dan semakin kecil intensitas pemanfaatan
lahannya maka nilai koefisien alirannya juga akan semakin kecil. Nilai koefisien
aliran setiap jenis penggunaan lahan dapat dilihat pada Tabel 1.1.
11
Tabel 1.1 Koefisien Aliran Setiap Penggunaan Lahan
Deskripsi Penggunaan Lahan Koefisien Aliran (C)
Kawasan Bisnis
a. Perkotaan 0,70-0,95
b. Pinggiran 0,50-0,70
Perumahan
a. Rumah Tinggal 0,30-0,50
b. Multiunit, terpisah 0,40-0,60
c. Multiunit, tergabung 0,60-0,75
d. Perkampungan 0,25-0,40
Industri
a. Ringan 0,50-0,80
b. Berat 0,60-0,90
Perkerasan
a. Aspal dan Beton 0,70-0,95
b. Batu Bata, Paving 0,50-0,70
Atap 0,75-0,95
Halaman, tanah berpasir
a. Datar (<2%) 0,05-0,10
b. Rata-Rata (2-7%) 0,10-0,15
c. Curam (>7%) 0,15-0,20
Halaman, tanah berat
a. Datar (<2%) 0,13-0,17
b. Rata-Rata (2-7%) 0,18-0,22
c. Curam (>7%) 0,25-0,35
Taman 0,20-0,35
Tanah Pertanian 0,30-0,50
Hutan
a. Datar (0-5%) 0,10-0,40
b. Bergelombang (5-10%) 0,25-0,50
c. Berbukit (10-30%) 0,30-0,60
Daerah tidak dikerjakan 0,10-0,30
Sumber: McGuen (1989, dalam Suripin, 2004)
12
Faktor yang dapat mempengaruhi nilai koefisien aliran diantaranya
intensitas hujan dan lama hujan, distribusi hujan, topografi, geologi, vegetasi, dan
aktivitas manusia. Koefisien aliran erat kaitannya dengan debit air sungai.
Banyaknya jumlah lahan terbangun akan menyebabkan air hujan tidak dapat masuk
ke dalam tanah sehingga akan langsung dialirkan melalui saluran drainase dan
berakhir di sungai (Putrinda, 2012). Lahan terbangun memiliki nilai koefisien aliran
yang lebih tinggi dibandingkan dengan lahan terbuka karena lahan sebagai jalan air
masuk ke dalam tanah sudah tertutupi oleh bangunan.
1.5.6. Airtanah
Airtanah merupakan air yang berada pada rongga-rongga dalam lapisan
geologi. Lapisan air yang berada di bawah permukaan tanah dinamakan daerah
jenuh (saturated zone) dan daerah di atasnya sampai ke permukaan tanah
dinamakan daerah tidak jenuh (Soemarto, 1989). Airtanah dapat disebut sebagai
aliran yang secara alami mengalir masuk ke permukaan tanah melalui rembesan
(Kodoatie dan Sjarief, 2008).
Airtanah terdapat pada formasi geologi yang dapat menyimpan dan
meloloskan air dalam jumlah yang cukup besar atau lebih dikenal sebagai akuifer
(Purnama, 2010). Secara umum terdapat dua sumber pengisi airtanah. Pertama, air
hujan yang masuk ke dalam tanah melalui pori-pori atau celah formasi batuan dan
kedua, air dari aliran sungai, danau maupun reservoir yang meresap ke dalam tanah
(Wibowo, 2007 dalam Haumahu, 2011).
13
Airtanah merupakan komponen dari siklus hidrologi yang di dalamnya
mencakup aspek bio-geo-fisik dan sosial budaya yang dapat menentukan
keberadaan airtanah di suatu daerah (Seyhan, 1990). Ketersediaan airtanah
dipengaruhi oleh kondisi dari kemampuan lapisan tanah untuk menyimpan dan
meloloskan air. Menurut Todd (1980), kemampuan lapisan tanah dapat dibagi
menjadi beberapa jenis, yaitu:
1. Aquifer merupakan lapisan tanah bersifat permeabel yang dapat
menyimpan dan meloloskan air dalam jumlah besar, seperti kerikil dan
pasir.
2. Aquiclude merupakan lapisan tanah yang dapat menyimpan air dalam
jumlah tertentu tetapi tidak dapat meloloskan air dalam jumlah besar,
seperti lempung, tuff halus, dan silt.
3. Aquifuge merupakan lapisan tanah yang tidak dapat menyimpan dan
meloloskan air, seperti batuan granit dan batuan kompak.
4. Aquitard merupakan lapisan tanah yang dapat menyimpan air tetapi
hanya dapat meloloskan air dalam jumlah sangat terbatas.
Airtanah juga dapat dibedakan berdasarkan ada atau tidaknya muka
airtanah, yaitu akuifer bebas dan akuifer tertekan. Akuifer bebas merupakan
airtanah yang banyak dijumpai pada kedalaman yang relatif dangkal dengan tinggi
muka airtanah yang dipengaruhi lokasi akuifer, debit penurapan, dan kemampuan
akuifer meloloskan air (Todd, 1980). Akuifer tertekan merupakan akuifer yang
berada pada dua lapisan yang bersifat impermeabel terhadap air (Seyhan, 1977).
14
1.5.7. Permeabilitas
Tanah merupakan tubuh alam gembur yang menyelimuti sebagian besar
permukaan bumi dengan sifat dan karakteristik khas tertentu, seperti sifat fisik, sifat
kimia, sifat biologi, dan morfologi akibat dari adanya serangkaian proses
pembentukan yang panjang (Sartohadi dkk, 2014). Tanah merupakan kumpulan
partikel yang memiliki rongga, sehingga memungkinkan air untuk mengalir melalui
rongga-rongga tersebut dari titik yang lebih tinggi ke titik yang lebih rendah. Sifat
tanah ini menunjukkan sifat permeabilitas tanah yang berasal dari sifat granular
tanah (Das, 1993).
Permeabilitas tanah adalah salah satu sifat fisik yang dimiliki tanah untuk
dapat mengalirkan atau meloloskan aliran air melalui ruang pori-pori tanah yang
diukur berdasarkan besar aliran air yang melalui satuan tanah yang sudah jenuh air
(Soepardi, 1979). Secara sederhana permeabilitas tanah merupakan kecepatan
aliran air pada tanah tersebut. Istilah permeabilitas dalam ilmu geohidrologi sering
disamakan dengan konduktivitas hidrolik. Oleh karena itu dalam pengukurannya
harus dilakukan secara tegak lurus terhadap arah aliran (Purnama, 2010).
Pengukuran permeabilitas tanah sangat berguna untuk beberapa
kepentingan, seperti untuk mengetahui seberapa lama masuknya air ke dalam tanah,
mengetahui pergerakan air ke akar tanaman, aliran air drainase, maupun evaporasi
air pada permukaan tanah. Semua hal tersebut dapat dipengaruhi oleh koefisien
permeabilitas tanah dan juga berkaitan dengan peranan konduktivitas hidrolik
(Soepardi, 1975 dalam Siregar dkk, 2013). Nilai koefisien permeabilitas berbagai
jenis material batuan dapat dilihat pada Tabel 1.2.
15
Tabel 1.2 Nilai Permeabilitas Berbagai Jenis Material Batuan
Material Permeabilitas
(m/hari) (cm/jam)
Kerikil kasar 150 625
Kerikil halus 450 1875
Pasir kasar 45 187,5
Pasir sedang 12 50
Pasir halus 2,5 10.4
Lempung 0,0002 0.0008
Batu pasir halus 0,2 0.833
Batu pasir sedang 3,1 12.9167
Batu gamping 0,94 3.9167
Pasir gumuk 20 83.333
Gambut 5,7 23.75
Basalt 0,01 0.04167
Gabro lapuk 0,2 0.8333
Granit lapuk 1,4 5.8333
Sumber: Purnama (2010)
1.5.8. Konservasi Air
Air merupakan sumber kehidupan bagi semua makhluk hidup yang ada di
bumi. Airtanah merupakan salah satu sumber air yang banyak digunakan oleh
makhluk hidup, khususnya manusia. Komposisi airtanah di bumi menunjukkan
bahwa hanya sebagian kecil dari seluruh total volume air yang ada di bumi. Oleh
karena itu, setiap kegiatan manusia yang memberikan pengaruh negatif terhadap
airtanah perlu dilakukan evaluasi, salah satunya dengan konservasi airtanah
(Kodoatie dan Sugiyanto, 2002).
16
Konservasi airtanah merupakan serangkaian upaya yang dilakukan untuk
melindungi dan memelihara keberadaan, kondisi, dan lingkungan airtanah guna
mempertahankan dan melestarikan ketersesiaan air untuk pemenuhan kebutuhan
makhluk hidup di masa sekarang dan di masa yang akan datang (Danaryanto dkk,
2010). Konservasi airtanah sebenarnya tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan
volume airtanah, tetapi juga untuk konservasi air permukaan, baik aliran limpasan
maupun aliran permukaan agar tidak langsung terbuang ke laut. Upaya konservasi
air yang sering dilakukan adalah dengan mengendalikan besarnya evaporasi,
transpirasi, dan aliran airnya.
Upaya konservasi air paling efektif dilakukan yaitu dengan pengendalian
aliran limpasan. Aliran limpasan akan masuk ke dalam tanah dan mengisi cadangan
airtanah apabila aliran limpasan tersebut dapat tertahan dan tidak langsung dialirkan
ke tubuh sungai. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk menahan air
permukaan tersebut adalah dengan membuat suatu lubang untuk menampung air
hujan atau biasa disebut dengan sumur resapan (Kusnaedi, 2011).
1.5.9. Sumur Resapan
Sumur resapan merupakan suatu lubang di permukaan tanah yang dibuat
untuk menampung air hujan yang kemudian akan diresapkan ke dalam tanah.
Konsep sumur resapan berkebalikan dengan sumur gali. Sumur resapan berfungsi
untuk memasukkan air di permukaan tanah menuju ke dalam tanah, sedangkan
sumur gali berfungsi menaikkan airtanah menuju permukaan. Oleh karena itu,
konstruksi kedua sumur tersebut juga berbeda, sumur gali memiliki kedalaman
17
hingga mencapai batas muka airtanah, sedangkan sumur resapan memiliki
kedalaman di atas muka airtanah (Kusnaedi, 2011). Prinsip kerja sumur resapan
dapat dilihat pada Gambar 1.3.
Gambar 1.3 Prinsip Kerja Sumur Resapan
Sumber: Kusnaedi (2011)
Sumur resapan dapat dikatakan sebagai suatu rekayasa teknik untuk
konservasi airtanah, berupa sumur galian dengan dimensi dan kedalaman tertentu
(Kusnaedi, 2011). Secara umum sumur resapan akan menjadi wadah dan
memberikan jalan untuk air hujan yang jatuh ke atap rumah atau lahan yang kedap
air agar dapat meresap masuk ke dalam tanah. Sumur resapan memiliki kapasitas
atau daya tampung yang cukup besar sebagai wadah air hujan sementara sebelum
meresap ke dalam tanah (Suripin, 2004). Sistem peresapan buatan dapat berupa
sumur, kolam, maupun saluran porous (berpori) yang akan menampung air hujan
yang tidak terserap oleh permukaan tanah (Fakhrudin, 2010).
18
Pembuatan sistem peresapan merupakan salah satu upaya yang dilakukan
manusia sebagai langkah konservasi air untuk tujuan tertentu (Sunjoto, 2008)
Manfaat utama yang dapat diperoleh dari pembuatan sumur resapan yaitu
mengurangi aliran limpasan dan menambah persediaan airtanah. Sumur resapan
juga dapat mengurangi atau manahan kenaikan muka air laut untuk daerah pantai,
mencegah terjadinya penurunan lahan akibat pengambilan airtanah, dan
mengurangi konsentrasi pencemaran airtanah (Kusnaedi, 2011).
Pembuatan sumur resapan perlu mempertimbangkan beberapa persyaratan
umum. Persyaratan umum sesuai dengan SNI 03-2453-2002 yaitu sumur resapan
ditempatkan pada lahan relatif datar, air masukan bukan air yang tercemar,
mempertimbangkan keamanan bangunan lain disekitarnya, dan memperhatikan
peraturan daerah setempat. Gambar 1.4 merupakan batasan jarak pembuatan sumur
resapan tampak atas sesuai dengan SNI 03-2453-2002.
Gambar 1.4 Kriteria Jarak Sumur Resapan Terhadap Bangunan Lain
Sumber: SNI (2002)
19
1.5.10. Kebijakan Sumur Resapan
Sumur resapan sesuai yang sudah dijelaskan dalam Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup No. 12 Tahun 2009 tentang pemanfaatan air hujan merupakan
lubang yang dibuat untuk meresapkan air hujan ke dalam tanah atau lapisan batuan
pembawa air. Pengertian tersebut mengandung makna bahwa salah satu upaya yang
dapat dilakukan masyarakat untuk memanfaatkan air hujan yaitu dengan membuat
sumur resapan. Cara pembuatan sumur resapan sendiri juga sudah dijelaskan dalam
SNI 03-2453-2002 tentang tata cara perencanaan sumur resapan air hujan untuk
lahan pekarangan.
Sebagian besar wilayah di Kabupaten Sleman merupakan kawasan resapan
airtanah yang berada dalam Sistem Akuifer Merapi (Santosa, 2015). Peraturan
Daerah Kabupaten Sleman No. 12 Tahun 2012 tentang rencana tata ruang wilayah
Kabupaten Sleman menjelaskan bahwa kawasan strategis sebagai kawasan resapan
air meliputi Kecamatan Seyegan, Mlati, Ngemplak, Ngaglik, Sleman, Tempel, Turi,
Pakem, dan Cangkringan. Kawasan resapan air ini merupakan daerah yang
mempunyai kemampuan tinggi untuk meresapkan air hujan sehingga dapat
dikatakan sebagai kawasan pengisian imbuhan airtanah yang berguna untuk
ketersediaan sumberdaya air.
Imbuhan airtanah dapat terbentuk secara alami melalui proses alam maupun
dengan upaya rekayasa yang dilakukan oleh manusia. Upaya rekayasa yang
dimaksud ini yaitu dengan pembuatan sumur resapan, biopori, atau sumur injeksi.
Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No. 5 Tahun
2012 tentang pengelolaan airtanah, membuat imbuhan air buatan merupakan
20
pembuatan sumur resapan untuk meningkatkan kapasitas pengisian airtanah pada
akuifer dalam suatu cekungan airtanah.
Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No. 5 Tahun 2012
tentang pengelolaan airtanah Pasal 52 juga menjelaskan bahwa setiap orang
diwajibkan untuk memperbaiki kondisi dan lingkungan airtanah yang rusak akibat
penggunaan airtanah. Upaya perbaikan ini dapat dilakukan dengan upaya
penanggulangan seperti pembuatan sumur resapan, biopori, atau sumur injeksi.
Selain sebagai upaya konservasi airtanah pada kawasan resapan sesuai Peraturan
Daerah Kabupaten Sleman, pembuatan sumur resapan diharapkan juga akan
berfungsi sebagai pengendali aliran limpasan mengingat banyaknya peralihan lahan
terbuka menjadi lahan terbangun di kawasan resapan Kabupaten Sleman.
1.6. Kerangka Pemikiran
Penataan ruang dan tataguna lahan yang tidak sesuai dengan pengaturan
konservasi air merupakan salah satu penyebab pembentukan aliran limpasan yang
tinggi. Air hujan merupakan sumber masukan utama dari aliran limpasan. Secara
alami sebagian air hujan yang jatuh ke permukaan tanah akan meresap ke dalam
tanah dan sebagian lagi akan mengalir menjadi aliran limpasan. Aliran limpasan
terbentuk akibat air hujan yang jatuh pada lahan terbangun tidak dapat meresap
masuk ke dalam tanah. Ketidakmampuan tanah dalam meresapkan air hujan ini
merupakan pengaruh dari perubahan penggunaan lahan terbuka menjadi lahan
bangunan atau lahan kedap air.
21
Perubahan lahan terbuka menjadi lahan terbangun akan meningkatkan
koefisien aliran dari suatu lahan. Setiap jenis lahan memiliki koefisien aliran yang
berbeda-beda. Semakin tinggi kerapatan lahan maka nilai koefisien alirannya juga
akan semakin tinggi. Dengan demikian, pembentukan aliran limpasan di daerah
tersebut juga akan semakin tinggi. Hal ini dapat terjadi karena air hujan yang
seharusnya dialirkan secara vertikal ke dalam tanah justru terhalang oleh kerapatan
suatu lahan, sehingga air hujan akan mengalir secara horisontal.
Penggunaan lahan terbangun yang padat tanpa adanya upaya konservasi
akan berdampak buruk pada daerah tersebut dan daerah lain di sekitarnya. Daerah
yang tertutupi lahan terbangun akan berkurang imbuhan airtanahnya dan memiliki
potensi pembentukan aliran limpasan yang tinggi. Aliran limpasan ini selanjutnya
juga dapat berpengaruh pada daerah lain di sekitarnya yang memiliki elevasi lebih
rendah karena aliran limpasan dapat masuk menjadi aliran permukaan melalui
tubuh air, seperti saluran air maupun aliran sungai.
Sumur resapan dibuat untuk menampung air hujan agar dapat meresap
masuk ke dalam tanah atau untuk mempercepat laju infiltasi. Sumur resapan
membuat air hujan yang turun ke permukaan bumi akan lebih cepat masuk ke dalam
tanah dibandingkan membentuk aliran limpasan. Parameter yang digunakan untuk
merancang dimensi sumur resapan, yaitu intensitas hujan, luas dan koefisien atap
bangunan, koefisien permeabilitas tanah, dan kedalaman muka airtanah sebagai
batasan maksimal kedalaman sumur resapan. Kerangka pemikiran penelitian dapat
disajikan pada Gambar 1.5.
22
Gambar 1.5 Diagram Alir Kerangka Pemikiran
1.7. Batasan Operasional
Aliran limpasan adalah bagian dari curah hujan yang jatuh langsung ke permukaan
tanah dan mengalir setelah kondisi tanah jenuh dari tempat tinggi ke tempat yang
lebih rendah melalui jarak dan media yang berbeda (Asdak, 2002)
Aliran permukaan adalah bagian dari curah hujan yang mengalir di atas sistem
hidrologi berupa tubuh air, yang di dalamnya termasuk aliran limpasan, aliran
dasar, dan rembesan airtanah (Asdak, 2002)
Airtanah adalah komponen dari siklus hidrologi yang di dalamnya mencakup
aspek bio-geo-fisik dan sosial budaya yang dapat menentukan keberadaan airtanah
di suatu daerah (Seyhan, 1990).
Perubahan Penggunaan Lahan
Peningkatan Koefisien Aliran Hujan
Konservasi Air
Sumur Resapan
Imbuhan Air Berkurang Pembentukan Aliran
Limpasan
23
Durasi hujan adalah lamanya suatu kejadian hujan (Sudjarwadi, 1987).
Frekuensi hujan adalah besarnya kemungkinan suatu besaran hujan akan disamai
atau dilampaui (Harto, 1993).
Hujan adalah uap yang mengkondensasi dan jatuh ke permukaan tanah sebagai
rangkaian proses siklus hidrologi (Sosrodarsono, 1978).
Intensitas hujan adalah jumlah hujan yang jatuh pada waktu tertentu
(Sosrodarsono dan Takeda, 2006)
Kala ulang adalah waktu dimana hujan dengan suatu besaran tertentu akan disamai
atau dilampaui dalam jangka waktu tertentu (Harto, 1993).
Koefisien aliran adalah bilangan yang menunjukkan perbandingan antara besarnya
aliran air di permukaan tanah yang terbentuk terhadap besarnya curah hujan
(Asdak, 2002).
Konservasi airtanah adalah upaya yang dilakukan untuk melindungi airtanah guna
mempertahankan dan melestarikan ketersediaan air untuk pemenuhan kebutuhan
makhluk hidup di masa sekarang dan yang akan datang (Danaryanto dkk, 2010).
Luas atap bangunan adalah luas lahan sebagai area tangkapan air hujan yang akan
ditampung dalam sumur resapan (Suripin, 2004)
Permeabilitas tanah adalah salah satu sifat fisik yang dimiliki tanah untuk dapat
mengalirkan atau meloloskan aliran air melalui ruang pori-pori tanah yang diukur
berdasarkan besar aliran air yang melalui satuan tanah jenuh air (Soepardi, 1979)
Sumur resapan adalah suatu rekayasa teknik untuk konservasi airtanah, berupa
sumur galian dengan dimensi dan kedalaman tertentu (Kusnaedi, 2011).
24
1.8. Penelitian Terdahulu
Penelitian-penelitian terkait sumur resapan yang pernah dilakukan
sebelumnya, yaitu penelitian oleh Werdiningsih (2012), Damayanti (2011),
Indramaya (2013), Syahrozi (2009), dan Yusuf dkk (2013) yang secara umum
menggunakan metode penelitian yang sama. Analisis hidrologi dilakukan dengan
perhitungan statistik dan kurva IDF untuk menentukan curah hujan rencana. Hasil
perhitungan statistik juga dilakukan uji kecocokan distribusi dari sampel data. Uji
statistik yang biasa dilakukan yaitu dengan uji chi-kuadrat dan uji Smirnov-
Kolmogorov. Seluruh penelitian yang pernah dilakukan menggunakan metode
Mononobe dan metode rasional untuk menentukan intensitas hujan dan debit
limpasan. Sedangkan untuk penentuan dimensi sumur resapan digunakan metode
Sunjoto dan metode SNI maupun gabungan dari keduanya.
Perbedaan dari penelitian-penelitian tersebut yaitu pada cakupan lokasi
penelitian, tujuan dilakukannya penelitian, dan penentuan faktor geometrik sumur
resapan. Daerah penelitian oleh Werdiningsih (2012) dilakukan di Kompleks
Tambakbayan, Kabupaten Sleman dengan tujuan utama untuk konservasi airtanah.
Penelitian Damayanti (2011) dilakukan di Perumahan Graha Sejahtera 7,
Kabupaten Boyolali untuk mencegah terbentuknya aliran limpasan. Penelitian
Indramaya (2013) dilakukan di Perumahan Dayu Baru, Kabupaten Sleman untuk
konservasi airtanah. Penelitian Syahrozi (2009) dilakukan di DAS Celeng,
Kabupaten Bantul untuk meresapkan air hujan. Penelitian Yusuf dkk (2013)
dilakukan di Perumahan Purimas 2, Kabupaten Bogor untuk mengatasi banjir
genangan.
25
Penelitian lain yang paling banyak memiliki kesamaan dengan penelitian
yang dilakukan ini yaitu penelitian oleh Damayanti (2011), yaitu dengan cakupan
daerah penelitian berupa perumahan dan memiliki tujuan utama sebagai fungsi
pengendalian aliran limpasan. Metode perhitungan intensitas hujan, debit masukan,
dan kedalaman sumur resapan juga digunakan metode yang sama. Selain itu,
rancangan sumur resapan juga diperhitungkan untuk setiap kelas luas atap
bangunan di perumahan.
Perbedaaan penelitian yang dilakukan yaitu pada penelitian Damayanti
(2011) mengevaluasi saluran drainase yang memang sudah ada di daerah penelitian,
sedangkan penelitian ini merancang dari awal desain sumur resapan yang belum
ada di daerah penelitian. Desain sumur resapan setiap lokasi memiliki kesesuaian
yang berbeda-beda, sehingga bentuk yang akan digunakan juga berbeda. Penelitian
Damayanti (2011) menerapkan sumur resapan dengan dinding impermeabel pada
bagian atas, sedangkan penelitian ini digunakan sumur resapan dengan dinding
yang seluruhnya impermeabel. Selain itu, faktor geometrik yang digunakan juga
berbeda karena menyesuaikan dengan bentuk sumur resapan. Penelitian terkait
yang sebelumnya pernah dilakukan dapat dilihat pada Tabel 1.4.
26
Tabel 1.3 Penelitian Terkait
No Peneliti Judul Tujuan Penelitian Metode Hasil Penelitian
1 Werdiningsih.
2012
Rancangan
Dimensi Sumur
Resapan Untuk
Konservasi
Airtanah Di
Kompleks
Tambakbayan,
Kabupaten
Sleman
1. Menghitung intensitas
hujan periode ulang 5,
10, 20, dan 50 tahun.
2. Menghitung dan
menganalisis
klasifikasi kelas atap.
3. Menghitung dan
menganalisis desain
sumur resapan untuk
masing-masing kelas
atap.
1. Analisis kurva IDF untuk
menentukan curah hujan
rencana.
2. Metode Mononobe untuk
menentukan intensitas
hujan.
3. Metode rasional untuk
menentukan debit puncak.
4. Perhitungan Sunjoto untuk
menentukan dimensi sumur
resapan.
1. Hasil intensitas hujan rancangan periode
5, 10, 20, dan 50 tahun berturut-turut 46,2;
51,6; 56,4; dan 62,4 mm/jam.
2. Diperoleh 8 kelas klasifikasi kelas atap,
yaitu 21-36, 37-40, 41-45, 46-54, 55-60,
61-70, 71-80, dan 81-100 m2 yang
terdistribusi menyebar.
3. Diperoleh kedalaman sumur yang beragam
untuk tiap kelas luas atap. Pada kasus luas
atap yang lebih dari 100 m2 dapat dibuat
sumur resapan dengan model paralel.
2 Damayanti,
W.D. 2011
Sumur Resapan
Air Hujan
Sebagai Salah
Satu Upaya
Pencegahan
Terjadinya
Limpasan Pada
Perumahan
Graha Sejahtera
7, Kabupaten
Boyolali
1. Mengetahui kapasitas
saluran drainase.
2. Merencanakan sumur
resapan sebagai
metode alternatif
mengendalikan
banyaknya limpasan.
3. Mengetahui besar
estimasi biaya dalam
pembangunan sumur
resapan.
1. Metode statistik untuk
menentukan curah hujan
rencana.
2. Metode Mononobe untuk
menentukan intensitas
hujan.
3. Metode rasional untuk
menentukan debit aliran
puncak.
4. Perhitungan Sunjoto untuk
menentukan dimensi sumur
resapan.
5. Analisis harga satuan
pekerjaan untuk
menentukan biaya.
1. Diperoleh kapasitas saluran drainase yang
bervariasi dan didapatkan beberapa
saluran drainase yang tidak mampu
menampung debit rencana 2 tahunan.
2. Sumur resapan diterapkan berdasarkan
tipe kapling dan mampu mereduksi debit
rencana 2 tahunan, sehingga saluran
drainase yang ada tidak melimpas.
3. Rencana anggaran biaya sumur resapan
untuk rumah type 36/84 sebesar
Rp.1.012.000,00 dan untuk tipe 30/70
sebesar Rp.983.000,00.
27
Tabel 1.3 (Lanjutan)
No Peneliti Judul Tujuan Penelitian Metode Hasil Penelitian
3 Indramaya,
E.A.
Rancangan
Sumur Resapan
Air Hujan
Sebagai Salah
Satu Usaha
Konservasi
Airtanah Di
Perumahan
Dayu Baru
Kabupaten
Sleman
1. Mengetahui sebaran
nilai permeabilitas
dan kedalaman muka
airtanah.
2. Menentukan intensitas
hujan rancangan
periode ulang 2, 5, 10,
dan 25 tahun.
3. Menentukan desain
sumur resapan.
4. Mengetahui pengaruh
perlapisan batuan dan
sumur resapan.
1. Analisis kurva IDF untuk
menentukan curah hujan
rencana.
2. Metode Mononobe untuk
menentukan intensitas
hujan.
3. Metode rasional untuk
menentukan debit aliran
puncak.
4. Metode Sunjoto untuk
menentukan dimensi sumur
resapan
1. Rata-rata permeabilitas mencapai 5,03
m/hari dan kedalaman muka airtanah
berkisar antara 1,6 sampai 2,9 meter.
2. Hasil intensitas hujan rancangan untuk
periode 2, 5, 10, dan 25 tahun berturut-
turut adalah 52, 63, 70, dan 78 mm/jam.
3. Diperoleh kedalaman sumur yang
beragam untuk tiap kelas luas atap dengan
sistem pararel karena kedalaman sumur
resapan lebih dari 3 meter.
4. Perlapisan batuan dengan permeabilitas
tinggi menyebabkan kedalaman sumur
resapan semakin dangkal.
4 Yusuf,
M.A.M.,
Susilowati,
D., Purwanti,
H. 2013
Pengendalian
Banjir Genangan
Dengan Sistem
Sumur Resapan
1. Mengetahui debit
limpasan pada lahan
Perumahan Purimas
2.
2. Menentukan desain
sumur resapan pada
lahan Perumahan
Purimas 2.
1. Metode statistik untuk
menentukan curah hujan
rencana.
2. Metode Mononobe untuk
menentukan intensitas
hujan.
3. Metode rasional untuk
menentukan debit puncak.
4. Metode Sunjoto dan SNI
untuk menentukan dimensi
sumur resapan.
1. Debit limpasan dari lahan Perumahan
Purimas 2 sebesar 0,189 m3/s
2. Penggunaan metode Sunjoto dalam luasan
bangunan yang sama menghasilkan
dimensi dan jumlah sumur resapan yang
lebih sedikit dibandingkan menggunakan
metode SNI.
28
Tabel 1.3 (Lanjutan)
No Peneliti Judul Tujuan Penelitian Metode Hasil Penelitian
5 Syahrozi, R.
2009
Rancangan
Sumur Resapan
Di DAS Celeng,
Kabupaten
Bantul
1. Menentukan daerah
yang layak untuk
dibuat sumur resapan.
2. Mengetahui koefisien
permeabilitas tanah.
3. Mengetahui nilai dan
sebaran intensitas
hujan periode ulang.
4. Mendesain sumur
resapan untuk
meresapkan air hujan
di DAS Celeng.
1. Metode statistik untuk
menentukan curah hujan
rencana.
2. Metode Mononobe untuk
menentukan intensitas
hujan.
3. Metode rasional untuk
menentukan debit aliran
puncak.
4. Metode Sunjoto untuk
menentukan dimensi sumur
resapan
1. Lokasi yang layak yaitu pada bentuklahan
lembah antara perbukitan, bekas dasar
sungai lama, dan dataran aluvial.
2. Nilai koefisien permeabilitas tanah
berkisar antara 0,074 sampai 7,04 m/hari.
3. Sebaran intensitas hujan paling tinggi
yaitu sebesar 45,75 mm/jam.
4. Desain sumur resapan dibedakan
berdasarkan bentuklahan dengan sumur
resapan paling dalam pada zona dataran
aluvial dengan kenaikan kedalaman 0,855
m tiap kenaikan luas atap 10 m2.
6 Hidayat, A.
2017
Rancangan
Sumur Resapan
Sebagai Upaya
Pengendalian
Aliran Limpasan
di Perumahan
Griya Taman
Asri, Kabupaten
Sleman
1. Menghitung nilai
koefisien aliran.
2. Menghitung intensitas
hujan selama durasi
hujan dominan pada
periode ulang 5, 10,
10, dan 50 tahun.
3. Menentukan dan
menganalisis desain
sumur resapan.
1. Metode statistik untuk
menentukan curah hujan
rencana.
2. Metode Mononobe untuk
menentukan intensitas
hujan.
3. Metode rasional untuk
menentukan debit masukan.
4. Metode Sunjoto untuk
menentukan desain sumur
resapan.
1. Koefisien aliran diperoleh sebesar 0,645.
2. Intensitas hujan rancangan selama durasi
hujan dominan 1 jam pada periode ulang
5, 10, 25, dan 50 tahun berturut-turut yaitu
48,042 mm/jam, 54,666 mm/jam, 62,754
mm/jam, dan 68,531 mm/jam.
3. Sumur resapan memiliki diameter 1 meter,
dinding impermeabel terbuat dari buis
beton, dan kedalaman berkisar 1,5-8,5
meter tergantung kelas luas atap bangunan