bab i pendahuluan -...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Kota Jayapura merupakan pusat permukiman terpadat di Provinsi Papua. Luas
wilayah administrasi Kota Jayapura ± 940 km2 dengan jumlah penduduk Kota
Jayapura tahun 2012 sebanyak 273.928 jiwa memiliki tingkat pertumbuhan pertahun
mencapai 4,24% (BPS, 2013). Penduduk Kota Jayapura 94,5% terpusat di bagian barat
kota yang hanya mencakup 33, 33% dari luas wilayah. Pertumbuhan penduduk yang
tinggi dan perkembangan pembangunan di Kota Jayapura membutuhkan ruang.
Bencana banjir dan tanah longsor semakin sering terjadi di Kota Jayapura. Setiap
datang hujan dengan intensitas tinggi dapat mengakibatkan bencana banjir dan longsor
yang mendatangkan kerugian harta benda maupun jiwa. Tajuk media koran lokal
Bintang Papua tanggal 13 April 2014 mengabarkan, hujan deras yang mengguyur Kota
Jayapura sejak Sabtu, 12 April 2014 dini hari yang terus berlanjut hingga pagi hari,
menyebabkan terjadinya banjir yang kembali terulang di tengah Kota Jayapura.
Peristiwa ini, bukan yang pertama mengingat dua bulan sebelumnya pada hari yang
sama, Sabtu 22 Februari 2014 telah terjadi peristiwa banjir dan tanah longsor yang
bahkan merenggut beberapa korban jiwa dan kerusakan infrastruktur pada bangunan
rumah warga dan bangunan kantor Gubernur Pemerintah Provinsi Papua. Data yang
diperoleh dari kantor Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Stasiun
Geofisika Klas I Angkasapura Jayapura mencatat, bahwa intensitas curah hujan
yang terjadi di Kota Jayapura sejak Sabtu dini hari, 12 April 2014 pada
alat penakar hujan sebesar 143,5 mm, yang tergolong dalam kategori hujan sangat
lebat.
Bencana tsunami menjadi ancaman wilayah pesisir pantai utara Kota Jayapura.
Kejadian gempa Jepang yang berkekuatan 8,9 SR pada tanggal 11-3-2011 terasa
dampaknya di Kota Jayapura. Kampung Tobati dan Kampung Enggros yang berada di
Teluk Youtefa terkena dampaknya yang mengakibatkan beberapa rumah penduduk
rusak parah. Gelombang tsunami memiliki ketinggian 1,5 m dan menerjang Kota
Jayapura pada pukul 21.30 WIT. Laporan Badan Penanggulangan Bencana Daerah
(BPBD) Kota Jayapura total kerusakan rumah akibat bencana tsunami di Jayapura
ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
2
mencapai 31 rumah yaitu 12 rumah di Distrik Muara Tami dan 19 rumah di Kampung
Holtekam. Sebanyak empat buah jembatan ikut rusak diterjang tsunami, berikut
puluhan perahu nelayan, jaring dan tambak ikan.
Perencanaan tataguna lahan hakekatnya adalah pemanfaatan lahan yang
ditujukan untuk peruntukan tertentu. Permasalahan yang timbul dalam perencanaan
suatu lahan adalah masalah kesesuaian/kecocokan lahan terhadap suatu peruntukan
tertentu. Kesesuaian suatu lahan sangat ditentukan oleh faktor-faktor lingkungannya
seperti faktor kelerengan, iklim, jenis tanah dan batuan, tutupan lahan, hidrogeologi
dan lain sebagainya.
Penataan ruang dan pengelolaan lingkungan merupakan media kajian GTL.
Informasi tentang karakteristik lingkungan geologi suatu wilayah berdasarkan
keterpaduan dari aspek sumberdaya geologi sebagai faktor pendukung pada kawasan
budidaya dan aspek bencana geologi sebagai faktor kendala pada kawasan lindung.
Hasil kajian GTL menggambarkan tingkat keleluasaan (restraint) suatu wilayah untuk
dikembangkan guna memperkecil dampak negatif yang dapat diakibatkan oleh suatu
pengembangan wilayah. Meningkatnya ketahanan wilayah ini dapat tercapai jika
unsur-unsur geologi lingkungan berupa kendala geologi dan sumberdaya geologi
diintegrasikan dalam RTRW dan dijadikan acuan pada saat proses penyusunan tata
ruang serta djadikan alat pengendali pembangunan fisik di wilayah ini (Djauhari,
2011). Penyusunan informasi GTL dilakukan dengan menggabungkan informasi dari
peta tematik geologi maupun peta nongeologi. Informasi geologi lingkungan dapat
membantu mengatasi permasalahan lingkungan dan upaya pengelolaannya melalui
rekomendasi penggunaan lahan dan juga menyediakan alternatif pemecahan
permasalahannya.
Analisis tingkat keleluasan suatu wilayah GTL dapat menggambarkan ketahanan
wilayah tersebut untuk dikembangkan. Kajian GTL sebagai salah satu masukan dalam
perencanaan dan penyusunan RTRW, agar diketahui gambaran secara umum tentang
faktor pendukung dan pembatas/kendala yang ada. Dengan demikian dapat dilakukan
evaluasi terhadap setiap penataan ruang guna menilai keleluasaannya di suatu wilayah
untuk dikembangkan menjadi suatu peruntukan, sehingga penataan ruang mempunyai
dasar yang akurat dan menghindari dampak negatif lingkungan terkait dengan
pengembangan wilayah.
ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
3
I.2. Rumusan Masalah
Pemaparan kondisi GTL Kota Jayapura, dalam penataan ruang dapat menjamin
tercapainya asas kemanfaatan, keseimbangan dan kelestarian sumberdaya alam
geologi dan lingkungan fisik. Pembudidayaan sumberdaya tersebut dapat menunjang
kehidupan dan dampak negatif yang timbul dapat ditekan seminimal mungkin.
Analisis GTL merupakan zonasi pengembangan wilayah yang menggambarkan
tingkat keleluasan suatu wilayah untuk dapat dikembangkan dalam penataan ruang.
Belum diketahuinya kondisi sumberdaya geologi sebagai faktor pendukung pada
kawasan budidaya dan aspek bencana geologi sebagai faktor kendala pada kawasan
lindung terhadap kesesuaian RTRW (RTRW) Kota Jayapura merupakan masalah
dalam penelitia ini oleh karena itu diperlukan kajian tentang kesesuaian RTRW Kota
Jayapura tahun 2007-2027 terhadap tingkat keleluasaan suatu wilayah untuk
dikembangkan dalam GTL.
Evaluasi tingkat keberhasilan pelaksanaan RTRW Kota Jayapura dilakukan
dengan membandingkan rencana pola ruang dalam RTRW dengan kondisi LULC
terkini. Update LULC tahun 2014 belum ada sehingga untuk evaluasi RTRW Kota
Jayapura belum bisa dilakukan. Dengan pemanfaatan PJ diperoleh data LULC,
sehingga evaluasi penataan dan pemanfaatan ruang Kota Jayapura, dapat dilakukan.
I.3. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah pada penelitian ini diharapkan dapat menjawab
pertanyaan peneliti sebagai berikut:
1. Dimana daerah yang berada pada wilayah budidaya (sumberdaya geologi) dan wilayah
lindung (bencana geologi) dalam analisis GTL?
2. Bagaimana tingkat keleluasaan zonasi pengembangan wilayah pada RTRW Kota
Jayapura tahun 2007-2027 terhadap GTL?
3. Bagaimana kesesuaian RTRW Kota Jayapura Tahun 2007-2027 terhadap kondisi
LULC di tahun 2014?
ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
4
I.4. Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah mengevaluasi kesesuaian dokumen RTRW
Kota Jayapura tahun 2007-2027 terhadap GTL. Untuk mencapai tujuan utama
penelitian ini, ada tiga tujuan spesifik yang diinginkan yaitu:
1. Mendapatkan gambaran lokasi wilayah budidaya dan wilayah lindung dalam GTL.
2. Mendapatkan gambaran tingkat keleluasaan (restraint) suatu wilayah untuk
dikembangkan dari karakteristik lingkungan geologi berdasarkan keterpaduan dari
aspek sumberdaya geologi sebagai faktor pendukung dan aspek bencana geologi
sebagai faktor kendala.
3. Mendapatkan hasil evaluasi RTRW Kota Jayapura tahun 2007-2027 terhadap GTL
dan LULC.
I.5. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini dapat dimanfaatkan Badan Perencanaan dan
Pembangunan Daerah Kota Jayapura sebagai bahan masukan dan sekaligus evaluasi
terhadap revisi RTRW Kota Jayapura tahun 2007-2027 dalam aspek GTL berupa
tingkat keleluasaan (restraint) suatu wilayah yang menggambarkan tingkat ketahanan
wilayah tersebut dapat dkembangkan. Peta LCLU tahun 2014 dapat dimanfaatkan
dalam pengawasan dan monitoring tingkat keberhasilan pelaksanaan RTRW di Kota
Jayapura.
I.6. Lingkup Penelitian
Penelitian ini difokuskan pada analisis parameter geologi lingkungan yang
terdiri atas dua hal yaitu sumberdaya geologi dan bencana geologi. Penelitian ini akan
membahas sumberdaya geologi yang terdiri atas ketersediaan dan kualitas air tanah,
morfologi, kelerengan, kondisi fisik tanah dan batuan serta kemungkinan keterdapatan
bahan galian yang bernilai ekonomis. Faktor bencana geologinya adalah gerakan
tanah, potensi tsunami, dan gempa. Selain parameter geologi lingkungan juga
dilakukan analisis terhadap parameter nongeologi yang terdiri atas analisis tutupan
lahan, kondisi sarana transportasi dan utilitas yang terbangun, potensi wisata dan iklim.
Pemanfaatan SIG dengan cara pemberian skor terhadap parameter GTL dan metode
tumpang susun (overlay) diperoleh zonasi pengembangan wilayah berdasarkan
ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
5
analisis GTL. Penggunaan PJ dari data citra WordView 2 tahun 2012 dan citra Landsat
8 LDCM tahun 2014 untuk mendapatkan data dan informasi terhadap pola LULC di
Kota Jayapura yang terkini.
Data RTRW Kota Jayapura yang ada memakai RTRW tahun 2007-2027 dengan
Perda No. 5 tahun 2008. Seiring berjalanannya waktu pertumbuhan penduduk dan
pembangunan di segala bidang berjalan dengan pesat diperlukan evaluasi kembali
RTRW Kota Jayapura. Analisis kesesuaian dokumen RTRW Kota Jayapura
tahun 2007-2027 terhadap GTL dan peta LULC tahun 2014 digunakan untuk
mengevaluasi dan merekomendasikan penataan ruang baru yang ada di Kota Jayapura.
I.7. Tinjauan Pustaka
Penelitian dengan memanfaatan citra Landsat dalam pengelolaan sumberdaya
alam telah banyak dilakukan. Diantaranya dengan melakukan evaluasi terhadap
pelaksanaan RTRW di suatu wilayah. Noviasih (2001) meneliti tentang pemanfaatan
citra Landsat TM (Thematic Mapper) untuk evaluasi RTRW Kotamadya Yogyakarta,
dengan menggunakan metode klasifikasi beracuan algoritma maximum likelihood.
Variabel yang digunakan dalam klasifikasi adalah pemukimam, jalan, lahan terbuka,
perairan. Evaluasi yang dilakukan dengan membandingkan luasan masing-masing
kelas pada tahun yang berbeda yakni peta RTRW tahun 1994 dengan citra Landsat TM
tahun 1998.
Penelitian serupa juga pernah dilakukan di Kepulauan Riau khususnya Pulau
Bintan. Saragih J.A. (2002) meneliti tentang manfaat citra Landsat TM untuk evaluasi
pnggunaan lahan dalam RTRW Kabupaten Kepulauan Riau khususnya Pulau Bintan
dengan menggunakan metode klasifikasi beracuan algoritma maximum likelihood.
Evaluasi dilakukan dengan membandingkan antara perencanaan pemanfaatan ruang
tahun 1996-2006 dengan citra Landsat tahun 2000.
Landsat 7 ETM+ (Enhanced Thematic Mapper) merupakan satelit generasi III,
yang diluncurkan pada tanggal 15 April 1999. Tallo (2006) meneliti tentang
pemanfaatan citra Landsat 7 ETM+ untuk evaluasi penggunaan lahan dalam rencana
umum tata ruang wilayah dengan studi kasus pada Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Dalam penelitiannya citra Landsat 7 ETM+ dilakukan proses dengan fusi antara citra
RGB dengan citra pankromatik agar didapat citra baru dengan resolusi 15 m, lalu
ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
6
dilakukan proses klasifikasi digital beracuan algoritma maximum likelihood dengan uji
ketelitian menggunakan metode short. Hasil klasifikasi tersebut dioverlaykan dengan
peta rencana penggunaan lahan dalam RTRW Kabupaten Timor Tengah Selatan dan
dilakukan perbandingan luasan rencana penggunaan lahan dengan luas penggunaan
lahan hasil klasifikasi citra.
Karakteristik lingkungan GTL meliputi sumberdaya geologi dan bencana
geologi. Sumberdaya geologi sebagai faktor pendukung pada kawasan budidaya salah
satu komponenya adalah keterdapatan air tanah. Awi R., (2007) meneliti tentang
penentukan jenis dan geometri akifer di Jayapura dengan metode yang digunakan
analisis geologi dan hidrogeologi dengan menggunakan data primer berupa data
geologi dan hidrogeologi permukaan dan geolistrik serta data sekunder berupa data log
bor dan uji pompa. Stratigrafi daerah penelitian dibedakan atas lima satuan, dari satuan
yang paling tua sampai yang termuda, yaitu Satuan Sekis (Formasi Cycloop), Satuan
Batugamping II (Formasi Numbay), Satuan Perselingan Napal-Batupasir (Formasi
Makat) yang berubah terhadap Satuan Batugamping II, Satuan Batugamping I
(Formasi Jayapura) dan Satuan Aluvial (Qa). Struktur geologi yang berkembang di
daerah penelitian terdiri atas sesar normal tanah hitam dan sesar geser mengiri
Kotaraja. Elevasi muka air tanah yang paling rendah terdapat di bagian tengah daerah
penelitian yang merupakan daerah dataran, semakin ke arah perbukitan, elevasi muka
air tanah semakin tinggi. Kondisi ini menunjukkan bahwa kontur muka air tanah
dikontrol oleh bentuk morfologi, sehingga pola garis kontur topografi daerah
penelitian mencerminkan juga pola kesamaan muka air tanah.
Bencana geologi sebagai faktor kendala dalam kawasan lindung GTL perlu
diteliti agar ketahanan wilayah tersebut dalam menghadapi bencana geologi meningkat
dan menghindari kerugian yang lebih besar. Gempa bumi Padang-Pariaman yang
terjadi pada tanggal 30 September 2009 berkekuatan 7,6 SR telah mengakibatkan
korban jiwa dan harta benda di Kota Padang dan sekitarnya. Pasca kejadian gempa
bumi, Kota Padang memasuki tahap rehabilitasi dan rekonstruksi yang diawali dengan
penyusunan kembali RTRW tersebut. Penyusunan kembali RTRW kota Padang pasca
gempa bumi merupakan tahap yang sangat menentukan. Metode yang digunakan
untuk menunjang pemetaan geologi lingkungan yaitu berdasarkan pada analisis aspek
geologi lingkungan seperti faktor kondisi fisik topografi, geologi, keairan,
ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
7
kebencanaan/proses geodinamika dan unsur lainnya yang terkait, seperti penggunaan
lahan dan RTRW. Berdasarkan hasil analisis menunjukkan tiga zona keleluasaan
untuk pembangunan Kota Padang, yakni leluasa, cukup leluasa, dan agak leluasa.
Evaluasi terhadap tata ruang menunjukkan kawasan yang saat ini merupakan kawasan
budi daya berada pada zona agak leluasa, adapun kawasan lindung berada pada zona
agak leluasa - cukup leluasa. Dengan demikian pengembangan kegiatan perdagangan,
jasa dan industri dalam kawasan budi daya harus mempertimbangkan masalah tanah
lunak, sedangkan pengembangan kegiatan perdagangan, jasa, industri dan
permukiman dalam kawasan lindung harus mempertimbangkan faktor keselamatan,
dalam hal ini harus disesuaikan dengan aspek bencana geologi yang ada pada kawasan
tersebut (Andiani dkk., 2011).
I.8. Landasan Teori
I.8.1. Rencana Tata Ruang Wilayah
UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dalam Bab I Ketentuan Umum
disebutkan pengertian tentang ruang, tata ruang, dan penataan ruang. Ruang adalah
wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam
bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup,
melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.
Tata ruang merupakan wujud struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang baik
direncanakan atau tidak direncanakan. Tata ruang perlu direncanakan dengan maksud
agar lebih mudah menampung kelanjutan perkembangan kawasan yang bersangkutan
(Adisasmita, 2010). Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan
sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan
sosial ekonomi masyarakat yang secara hirarkis memiliki hubungan fungsional. Pola
ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi
peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya.
Menurut UU No. 26 tahun 2007 Pasal 1 penataan ruang adalah suatu sistem proses
perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola
ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang. Kawasan adalah
wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budidaya. Rustiadi (2011)
ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
8
menyatakan bahwa penataan ruang memiliki tiga urgensi, yaitu: pertama; optimalisasi
pemanfaatan sumberdaya (prinsip produktifitas dan efisien), kedua; alat dan wujud
distribusi sumberdaya (prinsip pemerataan, keberimbangan dan keadilan), ketiga;
keberlanjutan (prinsip sustainability).
Tata ruang itu berkonotasi pasif, aktifnya adalah penataan ruang, makanya tata
ruang diberi pengertian sebagai wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang baik
yang direncanakan maupaun tidak direncanakan, artinya ada secara alami. Penataan
ruang memiliki tiga jenis dasar penekanan dalam penataan ruang, yaitu:
1. Berdasarkan fungsi utama kawasan, yang meliputi kawasan fungsi lindung, dan
kawasan fungsi budidaya.
2. Berdasarkan aspek administrasi, yang meliputi Tata Ruang Wilayah Nasional,
Wilayah Propinsi, Wilayah Kabupaten/ Kota, dan Wilayah Kota Kecamatan.
3. Berdasarkan aspek kegiatan, yaitu kawasan perkotaan, kawasan perdesaan,
kawasan tertentu (wisata dan sejenisnya).
Jadi jelas bahwa sebenarnya penataan ruang yang utama adalah penetapan
kawasan fungsi lindung dan kawasan fungsi budidaya pada wilayah administrasi
tertentu (propinsi atau kabupaten/kota), kemudian baru menetapkan fungsi atas aspek
kegiatan yang terjadi atau yang diinginkan.
Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah
nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan
Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan:
1. Terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan;
2. Terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumberdaya alam dan sumberdaya
buatan dengan memperhatikan sumberdaya manusia;
3. Terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif
terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
PP No. 47 tahun 2012 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Daerah tentang
RTRW Provinsi dan Kabupaten/Kota dijelaskan bahwa RTRW Kabupaten/Kota, yang
selanjutnya disingkat RTRWK/K, adalah rencana tata ruang yang bersifat umum dari
wilayah kabupaten/kota yang merupakan penjabaran RTRW Propinsi (RTRWP), yang
berisi tujuan, kebijakan, strategi penataan ruang wilayah kabupaten/kota, rencana
struktur ruang wilayah kabupaten/kota, rencana pola ruang wilayah kabupaten/kota,
ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
9
penetapan kawasan strategis kabupaten/kota, arahan pemanfaatan ruang wilayah
kabupaten/kota, dan ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah
kabupaten/kota.
Penataan ruang merupakan suatu proses berkesinambungan yang terdiri atas tiga
tahapan, yaitu perencanaan tata ruang, pemanfaatan dan pengendalian tata ruang.
RTRW adalah hasil dari tahapan perencanaan tata ruang yang menggambarkan pola
dan struktur tata ruang yang diinginkan dimasa yang akan datang untuk mewujudkan
tujuan pembangunan di suatu wilayah kabupaten atau kota. Dalam penyusunan RTRW
dilakukan pengkajian aspek-aspek sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan
sumberdaya buatan.
I.8.2. Geologi Tata Lingkungan
UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 5 ayat 2 adalah landasan
hukum bagi penataan lingkungan fisik (geologi). Dalam ayat tersebut dijelaskan
bahwa penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan yang terdiri atas kawasan
lindung dan kawasan budidaya. Pengertian kedua kawasan tersebut kemudian
dijelaskan dalam Pasal 1 No. 21 dan 22, yakni kawasan lindung adalah wilayah yang
ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang
mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan. Sedangkan kawasan budi daya
adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar
kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya buatan.
Tanah/batuan dan air sebagai sumberdaya alam geologi dan bagian dari
komponen lingkungan fisik adalah cakupan objek dari GTL yang mengkaji faktor
pembatas dan faktor pendukung sumberdaya alam geologi tersebut berkaitan dengan
kegiatan/kehidupan manusia terhadap lingkungan fisiknya.
Geologi lingkungan merupakan ilmu terapan dari ilmu geologi yang ditujukan
sebagai upaya memanfaatkan sumberdaya alam dan energi secara efisien dan efektif
untuk memenuhi kebutuhan manusia pada masa kini maupun masa mendatang dengan
mengurangi dampak lingkungan yang ditimbulkannya semaksimal mungkin
(Djauhari, 2006). Ruang lingkup ilmu geologi lingkungan mencakup proses-proses
geologi dan perubahan bentang alam, sumberdaya geologi (air, mineral, lahan, dan
energi), bahaya gerakan geologi (gerakan tanah/longsor, gempa bumi, tsunami,
ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
10
gunung api) serta perencanaan tata guna lahan. Adanya ruang lingkup tersebut dapat
menjadikan geologi lingkungan sebagai pedoman dalam melakukan analisis dan
rekayasa teknis dalam menyelesaikan konflik, meminimalisasi dampak negatif dan
meningkatkan dampak positif yang muncul dalam lingkungan suatu wilayah.
GTL adalah kegiatan menandai (identity), menginventarisasi dan meneliti semua
gejala/proses dan keterdapatan sumberdaya alam geologi yang berhubungan dengan
pengembangan lingkungan fisik suatu wilayah, menaksir besarnya kemungkinan
benturan yang terjadi akibat pengembangan tersebut, serta mengukur responnya
terhadap kemungkinan bencana alam geologi (tanah longsor, letusan gunung api,
gempa dan sebagainya). Perangkuman tersebut dihasilkan informasi GTL yang berupa
informasi kualitas lingkungan fisik yang dapat dikembangkan/ dibudidayakan maupun
yang harus dilindungi dari aspek geologi. Informasi ini menjadi masukan dalam
perencanaan suatu wilayah.
Konsep didasarkan pada analisis dari komponen-komponen geologi yang
berkaitan dengan faktor pendukung dan faktor pembatas/kendala secara fisik dalam
suatu penataan ruang. Komponen geologi lingkungan yang digunakan dalam analisis
ini terdiri atas tiga kelompok besar, masing-masing adalah:
1. Kondisi kelerengan lahan, daya dukung tanah dan batuan serta produktivitas air
bawah tanah yang selanjutnya disebut dengan sumberdaya geologi.
2. Faktor bencana alam berupa banjir, longsor dan potensi tsunami yang
selanjutnya disebut dengan kendala geologi.
3. Penyisih geologi dan penyisih nongeologi mengambarkan daerah terlarang
dikembangkan dan daerah konservasi.
Di dalam melakukan analisis untuk pengembangan wilayah diperlukan suatu
satuan unit analisis, yaitu: satuan geologi lingkungan, sebagai kerangka analisis yang
di dalamnya terdapat persamaan karakteristik dari seluruh atau sebagai besar
komponen-komponen geologi lingkungan, sehingga dapat diketahui gambaran secara
umum tentang faktor pendukung dan pembatas/kendala yang ada. Dengan demikian
dapat dilakukan evaluasi terhadap setiap satuan ini guna menilai keleluasaannya di
suatu wilayah untuk dikembangkan menjadi suatu peruntukan, sehingga penataan
ruang mempunyai dasar yang akurat.
ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
11
Parameter kunci di dalam melakukan kegiatan evaluasi GTL untuk
pengembangan wilayah adalah dengan cara melakukan penilaian secara kumulatif
terhadap faktor pendukung dan penghambat/kendala dari komponen-komponen
geologi lingkungan pada setiap satuan geologi lingkungan (Djauhari, 2006). Dalam
melakukan penilaian ini digunakan metode tumpang susun (overlay) serta scoring
peta-peta tematik dari komponen-komponen geologi lingkungan tersebut, dengan
terlebih dahulu memberikan bobot dan nilai pada masing-masing komponen geologi
lingkungan sesuai dengan pengaruhnya terhadap suatu kesesuaian lahan. Selanjutnya
dilakukan klasifikasi untuk mengetahui tingkat keleluasaan dalam pengembangan
wilayah, sehingga memberikan produk yang akurat di dalam mengambil keputusan
penggunaan lahan.
Tingkat keleluasaan dalam pengembangan wilayah dan karakteristik yang
dimiliki pada tiap satuan geologi lingkungan dipergunakan sebagai dasar di dalam
mengambil keputusan penggunaan lahan. Rekomendasi/arahan penggunaan lahan
mempertimbangkan penggunaan lahan pada saat ini serta RTRW yang ada. Dengan
demikian secara keseluruhan evaluasi geologi lingkungan dimaksudkan, untuk
mengetahui potensi sumberdaya geologi, kendala geologi dan kondisi fisik lainnya.
Pemberian masukan data informasi beraspek geologi lingkungan dalam rangka
penataan ruang wilayah yang dapat berlangsung secara berkelanjutan dengan dampak
negatif dapat ditekan dan dampak positif dapat dikembangkan semaksimal mungkin,
sehingga di dalam melakukan pengembangan wilayah di daerah Kota Jayapura dan
sekitarnya sudah tidak ada permasalahan yang berbasis GTL.
I.8.2.1. Zonasi Pengembangan Wilayah. Hasil analisis komponen GTL, dimana
nilai skor menggambarkan karakteristik fisik lahan dari rangkuman aspek topografi,
tanah dan batuan, potensi air tanah dan bahaya geologi dengan faktor penyisih
komponen geologi dan komponen nongeologi (kawasan lindung, bangunan vital dan
lain-lain) disebut sebagai zonasi pengembangan wilayah (Rudy S., 2008). Kriteria
yang digunakan dalam penentuan nilai dan bobot dari aspek-aspek geologi lingkungan
beserta klasifikasi tingkat keleluasaan dalam pengembangan wilayah yang digunakan
untuk evaluasi geologi ketatalingkungan untuk pengembangan wilayah di Kota
Jayapura disajikan pada Tabel I.1.
ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
12
Tingkat keleluasaan pengembangan wilayah berdasarkan analisis dan evaluasi
aspek geologi lingkungan tergantung pada kondisi fisik dari aspek geologi lingkungan
yang disajikan, penetapan besarnya nilai masing-masing faktor, bobot dari masing-
masing faktor untuk kepentingan perencanaan pengembangan wilayah yang dimaksud,
klasifikasi tingkat keleluasaan dalam pengembangan wilayah berdasarkan perhitungan
skor (nilai dan bobot) dari aspek-aspek geologi lingkungan tersebut.
Tabel I.1. Kriteria penilaian komponen geologi lingkungan (Rudy S., 2008)
A. Komponen Sumberdaya Geologi
NO
KOMPONEN
KISARAN
KELAS
NILAI
BOBOT
SKOR
1. Air tanah
a. Zona konservasi Daerah aman 4 Baik 4 12
(pengambialan air Daerah rawan (daerah imbuhan) 2
tanah) Daerah kritis dan rusak 1 P
b. Produktivitas aquifer Tinggi ( > 3 liter/detik) 4 O
Sedang (1 – 3 liter/detik) 3 T Sedang 3 9
Rendah (0.5 – 1 liter/detik) 2 E
Sangat rendah ( < 0.5 liter/detik) 1 N 3
c. Kedalaman air tanah Dangkal (0 – 50) meter 4 S
Agak dalam (50 – 100) meter 3 I Buruk 2 6
Dalam (100 – 200) meter 2
Sangat dalam (> 200) meter 1
d. Kesesuaian/kelayakan
sebagai air baku air
minum
1. Air tanah dangkal sesuai untuk air baku
sampai setempat tercemar atau
setempat tidak sesuai untuk air baku.
Air tanah dalam sesuai untuk air baku.
4
2. Air tanah dangkal. Tidak sesuai untuk
air baku. Air tanah dalam sesuai untuk
air baku
3 Sangat
Buruk
1 3
3. Air tanah dangkal dan air tanah dalam
setempat tidak sesuai untuk air baku.
2
4. Air tanah dangkal tidak sesuai untuk air
baku. Air tanah dalam setempat tidak
sesuai sampai seluruhnya tidak sesuai
untuk air baku.
1
ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
13
Lanjutan Tabel I.1. Kriteria penilaian komponen geologi lingkungan (Rudy S., 2008)
NO KOMPONEN KISARAN KELAS NILAI BOBOT SKOR
2 Kemiringan Lereng Datar (0 - 5) % Baik 4 16
Landai (5 – 10) % Sedang 3 4 12
Terjal (10 – 15) % Buruk 2 8
Sangat terjal (> 15 %) Sangat buruk 1 4
3 Tanah/batuan SPT kg/cm3 Jenis material
BOR Sondir Permukaan
Keras > 50 >150 Batuan Baik 4 20
Sedang 30-50 60-150 Tanah residu (>
2mm)
Pasir, kerikil
(>5mm)
Sedang 3 15
Lunak 10-30 20-60 Lanau, pasir,
kerikil, lempung
(< 5mm)
Buruk 2 5 10
Sangat lunak <10 <20 Lempung,
lempung
organic dan
gambut.
Sangat
buruk
1 5
B. Komponen Bahaya Geologi
NO KOMPONEN KISARAN KELAS NILAI BOBOT SKOR
1. Gempa bumi MMI ∝ RICTER
I,II,III,IV,V < 0.05 < 5 Baik 4 16
VI,VII 0,05 – 0,15 5 - 6 Sedang 3 4 12
VIII 0,15 – 0,3 6 – 6,5 Buruk 2 8
IX,X,XI,XI > 0,3 > 6,5 Sangat buruk 1 4
2. Potensi gerakan tanah Sangat rendah Baik 4 16
Rendah Sedang 3 4 12
Menengah Buruk 1 4
3. Gunung api Aman Baik 4 8
Kawasan rawan I Sedang 3 2 6
Kawasan rawan II Buruk 1 2
4. Tsunami (potensi Ketinggian tempat Tinggi landaan
landaan) Tidak berpotensi Tidak berpotensi Baik 4 8
5 - 15 m 0-2 m Sedang 3 2 6
2 - 5 m 2-5 m Buruk 2 4
0 - 2 m 5-15 m Sangat buruk 1 2
C. Komponen Penyisih Geologi
NO KOMPONEN KRITERIA KELAS KETERANGAN
1. Zona sesar aktif Jarak < 100 m Tidak layak Berkaitan dengan faktor
2. Bahaya gunung api Kawasan rawan III Tidak layak keamanan
3. Potensi gerakan tanah Potensi tinggi Tidak layak
ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
14
D. Komponen Penyisih Nongeologi
NO KOMPONEN KRITERIA KELAS KETERANGAN
1. Kawasan lindung Dalam kawasan
lindung
Tidak layak Berkaitan dengan peraturan
dan perundang-undangan
2. Banjir periode > 5
tahunan
Dalam daerah
genangan banjir
Tidak layak Gangguan mobilitas dan
kenyamanan, pencemaran,
wabah penyakit dan lain-lain.
3. Daerah pasang surut air
laut
Dalam genangan
pasang tertinggi
Tidak layak Gangguan mobilitas dan
kenyamanan, pencemaran,
wabah penyakit dan lain-lain.
Klasifikasi Zona Pengembangan Wilayah Kota berdasarkan total skor komponen
GTL sebagai berikut:
Zona Pengembangan Tidak
Layak
Tidak
Leluasa
Kurang
Leluasa
Agak
Leluasa
Cukup
Leluasa
Leluasa
Total Skor 24 38 52 67 81 96
Berdasarkan klasifikasi zona pengembangan wilayah berdasarkan total skor
komponen geologi lingkungan, dapat dijabarkan sebagai berikut:
Zona Tidak Layak: Merupakan zona yang tidak layak untuk dikembangkan karena
termasuk dalam kawasan lindung atau dilindungi untuk tidak dikembangkan,
berdasarkan peraturan dan perundangan–undangan yang berlaku, serta penyisih
geologi yaitu zona rawan bencana geologi yang meliputi zona gerakan tanah tinggi,
zona patahan dan abrasi pantai.
Zona Tidak Leluasa untuk Dikembangkan: Suatu daerah dengan kondisi fisik lahan
yang memiliki sumberdaya geologi tidak memadai untuk dikembangkan serta adanya
faktor pembatas atau kendala geologi lingkungan tinggi. Dengan demikian tidak
leluasa dalam melakukan pengorganisasian ruang untuk penggunaan
lahan/pengembangan wilayah dan pemilihan jenis penggunaan lahan dengan biaya
pembangunan mahal, dengan nilai skor pembobotan 24-38.
Zona Kurang Leluasa untuk Dikembangkan: Suatu daerah dengan kondisi fisik
lahan yang memiliki sumberdaya geologi kurang memadai untuk dikembangkan serta
adanya faktor pembatas atau kendala geologi lingkungan cukup tinggi. Dengan
ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
15
demikian kurang leluasa dalam melakukan pengorganisasian ruang untuk penggunaan
lahan/pengembangan wilayah dan pemilihan jenis penggunaan lahan dengan biaya
pembangunan yang agak mahal dengan nilai skor pembobotan 38-52.
Zona Agak Leluasa untuk Dikembangkan: Suatu daerah dengan kondisi fisik lahan
yang memiliki sumberdaya geologi agak memadai untuk dikembangkan serta adanya
faktor pembatas atau kendala geologi lingkungan sedang. Dengan demikian agak
leluasa dalam melakukan pengorganisasian ruang untuk penggunaan
lahan/pengembangan wilayah dan pemilihan jenis penggunaan lahan dengan biaya
pembangunan yang sedang, dengan nilai skor pembobotan 52-67.
Zona Cukup Leluasa untuk Dikembangkan: Suatu daerah dengan kondisi fisik
lahan yang memiliki sumberdaya geologi cukup leluasa untuk dikembangkan serta
adanya faktor pembatas atau kendala geologi lingkungan yang kecil. Dengan demikian
cukup leluasa dalam melakukan pengorganisasian ruang untuk penggunaan
lahan/pengembangan wilayah dan pemilihan jenis penggunaan lahan dengan biaya
pembangunan yang agak ringan karena mempunyai daya dukung yang cukup, dengan
nilai skor pembobotan 67–81.
Zona Leluasa untuk Dikembangkan: Suatu daerah dengan kondisi fisik lahan yang
memiliki sumberdaya geologi leluasa untuk dikembangkan serta adanya faktor
pembatas atau kendala geologi lingkungan hampir tidak ada. Dengan demikian leluasa
dalam melakukan pengorganisasian ruang untuk penggunaan lahan/pengembangan
wilayah dan pemilihan jenis penggunaan lahan dengan biaya pembangunan yang
ringan karena mempunyai daya dukung yang memadai, dengan nilai skor pembobotan
81-96.
I.8.2.2. Sumberdaya geologi. Sumberdaya alam adalah semua sumberdaya,
baik yang bersifat terbarukan (renewable resources) maupun sumberdaya tidak
terbarukan (non-renewable resources). Sumberdaya yang tidak terbarukan dalam Ilmu
Geologi disebut sebagai sumberdaya geologi sehingga pemanfaatannya harus
dilakukan secara hati-hati. Keterdapatan dan ketersediaan sumberdaya geologi sangat
dipengaruhi oleh kondisi geologi setempat. Sumberdaya geologi meliputi sumberdaya
air dan sumberdaya lahan.
ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
16
A. Sumberdaya air
Air merupakan salah satu sumberdaya geologi yang sangat penting, tidak saja
diperlukan oleh semua makhluk hidup, tetapi juga diperlukan bagi proses-proses
geologi seperti pelapukan, erosi, transportasi dan pengendapan material bumi.
Wujudnya bisa berupa cairan, es (padat) dan uap (gas). Dengan kata lain karena air,
maka bumi menjadi satu-satunya planet dalam tata surya yang memiliki kehidupan
(Parker, 2007).
Ilmu pengetahuan yang membahas tentang air yaitu hidrogeologi. Secara umum,
hidrogeologi adalah ilmu yang mempelajari mengenai keberadaan air di bumi dan
pengelolaannya. Hidrogeologi adalah ilmu yang mempelajari air mulai saat jatuh di
daratan sampai kelautan dan kembali ke atmosfer. Hidrogeologi melibatkan air
permukaan dan air bawah tanah (Djauhari, 2011).
Atmosfir
Vegetasi
3. Hujan
2. Evaporasi
Permukaan
4. Air jatuh/mengalir
lewat tanaman
Butiran air dalam tanah
(soil moisture)
Air tanah14. Perkolasi
15. Kenaikan kapiler
9. Kapiler 10. Infiltrasi
8. Tranpirasi
1. Penguapan
Jaringan
sungai, waduk
dan danau
Laut
5. Aliran
permukaan
6. Banjir/
genangan
3. Hujan
7. Aliran
sungai
11. Aliran antara
/interflow
12. Aliran dasar/
base flow
13. Aliran run-out/
Aliran air tanah
1. Penguapan
1. Penguapan
Gambar I.1. Diagram siklus hidrogeologi (Kondoatie dan Roestam, 2010)
Gambar I.1 menjelaskan air tanah menerima pemasukan air (recharger) dari air
yang jatuh di atas permukaan bumi melalui proses infiltrasi yang kemudian bergerak
mengalir memasuki batuan dan lapisan tanah. Keluar lagi sebagai sumber-sumber air
(discharger), dan kembali ke permukaan sebagai sungai atau tertahan sementara
sebagai danau atau di rawa. Banyaknya air yang masuk ke dalam tanah sangat
ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
17
tergantung pada sifat, keadaan dan jenis batuan setempat, jumlah vegetasi di daerah
tanggkapan air (catchment area), bentang alam dan banyaknya air yang jatuh ke bumi
sebagai curah hujan.
Daerah yang bervegetasi lebat infiltrasi dipercepat oleh akar tumbuh-tumbuhan
yang membuka jalan untuk dilalui air. Air mengalir lebih cepat pada permukaan lereng
yang curam dan menuju ke sungai dibanding dengan permukaan yang landai. Dengan
demikian peresapan air lebih banyak terjadi di topografi yang landai. Sifat batuan atau
tanah yang dapat meneruskan air, ditentukan oleh kadar kesarangan (porositas).
Batuan dasar yang tesingkap dan retak-retak dapat merupakan tempat infiltrasi yang
potensial.
Gambar I.2. Penampang air tanah unconfined dan confined
(Kondoatie dan Roestam, 2010)
Kedalaman dari air tanah sangat beragam dan ditentukan oleh bentuk bentang
alam dan keadaan iklim. Kedalaman muka air tanah sangatlah penting dalam upaya
untuk menentukan keberhasilan melakukan pemboran air tanah. Kedudukan muka air
tanah dapat seimbang apabila terjadi keseimbangan antara pengisian (recharger) dan
yang keluar (discharger).
Suatu bentuk atau lapisan massa batuan yang mampu meloloskan dan secara
nyata dapat menyimpan air tanah dinamakan aquifer. Definisi aquifer ialah suatu
lapisan, formasi, atau kelompok formasi satuan geologi yang lulus air baik yang
terkonsolidasi (misalnya batu pasir) maupun yang tidak terkonsolidasi (pasir lepas)
dengan kondisi jenuh air dan mempunyai suatu besaran keterhantaran hidraulik (K)
ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
18
sehingga dapat membawa air (atau air dapat diambil) dalam jumlah yang ekonomis
(Kondoatie, 1996). Dikenal ada dua aquifer yaitu:
1. Aquifer bebas (unconfined), aquifer yang letaknya dekat sekali dengan muka air
tanah, dengan sedikit atau sama sekali tidak ada tanah atau lapisan penutup
diatasnya. Kebanyakan ait tanah setempat diperoleh dari aquifer jenis ini yang
terutama berupa pasir dan kerakal lepas.
2. Aquifer tertekan (confined), Aquifer ini berada diantara dua lapisan yang tak
lulus air. Aquifer ini sebarannya lebih luas dan letaknya lebih dalam dari
permukaan.
B. Sumberdaya lahan
Lahan dapat didefinisikan sebagai suatu ruang di permukaan bumi yang secara
alami dibatasi oleh sifat-sifat fisik serta bentuk lahan tertentu. Sumberdaya lahan
adalah lahan yang di dalamnya mengandung semua unsur sumberdaya, baik yang
berada di atas maupun di bawah permukaan bumi.
Lahan merupakan sumberdaya alam yang jumlahnya terbatas. Hampir semua
kegiatan produksi, rekreasi, dan konservasi memerlukan lahan. Pemanfaatan lahan
untuk berbagai kepentingan dari berbagai sektor seharusnya selalu mengacu pada
potensi fisik lahan. Menurut Djauhari (2011) faktor-faktor yang menentukan
sumberdaya lahan adalah:
1. Ketinggian/elevasi
Ketinggian suatu lahan dihitung dari tinggi muka air laut rata-rata. Berdasarkan
lokasinya lahan dapat dikelompokkan ke dalam lahan pasang surut, lahan pantai,
lahan basah, lahan kering, lahan dataran rendah, lahan dataran tinggi, lahan
perbukitan, dan lahan pegunungan.
2. Kelerengan
Permukaan bumi pada kenyataannya tidaklah berbentuk dataran, akan tetapi ada
tempat-tempat di permukaan bumi yang berbentuk bukit-bukit, lembah, dataran,
dan lautan. Perbedaan bentuk-bentuk bentang alam/relief muka bumi dapat
dikelompokkan berdasarkan sudut lerengnya. Lereng adalah suatu permukaan
tanah yang miring dan membentuk sudut tertentu terhadap bidang horisontal dan
tidak terlindungi.
ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
19
3. Jenis batuan
Jenis batuan yang menempati suatu lahan sangat ditentukan oleh kondisi geologi
dimana lahan tersebut berada. Suatu lahan dapat berisi berbagai jenis batuan, baik
batuan beku, sedimen, maupun metamorf.
4. Jenis tanah
Hakekatnya tanah secara geologi merupakan hasil pelapukan batuan yang ada di
permukaan bumi. Oleh karena itu jenis-jenis tanah yang ada di permukaan bumi
sangat erat kaitannya dengan komposisi kimia-mineral batuan dasarnya. Berbagai
macam jenis tanah seperti laterit, andosol, latosol, alluvial, podsolik adalah jenis-
jenis tanah hasil pelapukan dari jenis-jenis batuan tertentu.
5. Tutupan lahan
Tutupan lahan adalah segala jenis vegetasi maupun hasil budidaya manusia yang
menempati suatu lahan.
6. Hidrologi
Hidrologi suatu daerah dapat berpengaruh terhadap sumberdaya lahan tersebut.
Sumberdaya air yang terdapat dalam suatu lahan dapat berasal dari curah hujan,
mata air, air run off (sungai), air bawah tanah, danau dan air rawa.
8. Iklim dan posisi geografis
Posisi geografis suatu lahan menentukan kondisi iklim yang ada di lahan tersebut.
Secara geografis suatu lahan dapat berada di tepi pantai, di dataran, di
pegunungan, di dataran tinggi. Ketinggian/elevasi suatu lahan juga mempengaruhi
kondisi iklim suatu lahan. Oleh karena itu posisi geografi dan ketinggian suatu
lahan sangat menentukan iklim yang ada di lahan tersebut.
I.8.2.3. Bencana geologi. Proses-proses geologi baik yang bersifat endogenik
maupun eksogenik dapat menimbulkan bahaya bahkan bencana bagi kehidupan
manusia. Bencana yang disebabkan oleh proses-proses geologi disebut dengan
bencana geologi. Longsoran tanah, erupsi gunung api dan gempa bumi serta tsunami
adalah contohnya.
Potensi bencana geologi sangat ditentukan oleh kondisi geologi setempat.
Kondidi geologi seperti jenis batuan, struktur geologi, dan patahan aktif serta
seismisitas dapat berpengaruh terhadap kemungkinan bencana geologi. Faktor-faktor
ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
20
lainnya yang mempengaruhi potensi bencana geologi adalah tutupan lahan,
pemanfaatan lahan dan eksploitasi lahan yang melebihi daya dukung suatu lahan.
A. Bahaya gempa bumi
Gempa bumi adalah getaran dalam bumi yang terjadi sebagai akibat dari
terlepasnya energi yang terkumpul secara tiba-tiba dalam batuan yang mengalami
deformasi. Gempa bumi dapat didefinisikan sebagai rambatan gelombang pada masa
batuan/tanah yang berasal dari hasil pelepasan energi kinetik yang berasal dari dalam
bumi (Djauhari, 2011). Getaran gempa dapat disebabkan oleh banyak hal antara lain
akibat peristiwa vulkanik, tektonik dan runtuhan.
Ukuran gempa yang dapat langsung mempengaruhi struktur bangunan ialah
insensitas lokal gempa, yaitu besar insensitas percepatan permukaan tanah di daerah
lokasi gempa. Percepatan permukaan tanah sangat mempengaruhi konstruksi. Karena
itu, hal ini merupakan titik tolak dari perhitungan bangunan tahan gempa. Percepatan
adalah parameter yang menyatakan perubahan kecepatan mulai dari keadaan diam
sampai pada kecepatan tertentu. Percepatan gelombang gempa yang sampai di
permukaan bumi disebut percepatan tanah, dan merupakan gangguan yang perlu dikaji
untuk setiap gempa, kemudian dipilih percepatan tanah yang maksimum untuk
dipetakan agar bisa memberikan pengertian tentang efek paling parah yang pernah
dialami suatu lokasi. Hubungan besar energi dan percepatan permukaan tanah (a)
maksimum ditentukan dengan persamaan I.1. menurut Matuschka (1980) dalam Helda
(2012) adalah :
a = 119.e0,81R. (H+25)-1,15 (I.1)
Dalam hal ini,
a : percepatan maksimum permukaan tanah (cm/det2)
e : bilangan natural (2,718)
R : besar gempa skala richter
H : jarak hypocenter (km)
Epicenter adalah titik pada permukaan bumi yang ditarik tegak lurus dari titik
pusat terjadinya Gempa bumi (hypocenter). Dalam perhitungan intensitas dan
percepatan tanah digunakan parameter jarak antara epicenther sampai pada titik
pengamatan (observasi).
ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
21
Jarak hypocenter dihitung dengan rumus:
22 hAH (I.2)
Dalam hal ini,
A : jarak epicenter ke seismograf (pengamatan) dalam km
h : kedalaman epicenter (km)
Gambar I.3. Hitung jarak hypocenter
Hubungan percepatan permukaan tanah (a) dengan intensitas lokal menurut skala MM
ditentukan dengan persamaan (I.3).
4
1.
4
1log
2
1.
3
1log IaatauIa (I.3)
Dalam hal ini,
a : cm/det2
I : skala MM
ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
22
Tabel I.2. Insensitas, mangnitud dan kecepatan gempa (IISEE, 2001)
Insensitas
Mercalli
Mangnitud
(Skala
richter)
Kecepatan
tertinggi
rata-rata
(cm/dt)
Deskripsi
Percepatan
puncak
rata-rata
(g adalah
graviti =
9,8 m/s2)
Jumlah
gempa
pertahun
di dunia
I 0 – 1,9 Tidak terasa kecuali
menggunakan alat bantu
pendeteksi gempa
Sangat
besar
II 2 – 2,9 Dirasakan oleh hanya sedikit
orang yang beristirahaat,
khususnya pada lantai atas
gedung, benda-benda yang
bergantung akan terayun.
300,00
III 3 – 3,9 Mulai dirasakan sebagaian
orang, khususnya pada lantai
atas gedung, tapi banyak
orang yang tidak menyadari
akan adanya gempa tersebut.
Getarannya seperti truk yang
sedang lewat.
49,00
IV 4 – 4,4 1 – 2 Pada siang hari dirasakan
banyak orang dalam ruangan
dan sedikit orang di luar
ruangan. Pada malam hari
beberapa orang terjaga dari
tidurnya. Pintu dan jendela
mulai berbunyi; dinding
mulai menimbulkan suara.
Ada getaran seperti truk
besar lewat di bawah
gedung. Mobil yang sedang
parkir dapat berpindah.
0,015g –
0,03g
4,00
V 4,5 – 4,9 2 – 5 Dirasakan oleh hampir
semua orang, banyak orang
terbangun dari tidurnya.
Kaca jendela mulai pecah,
terjadi keretakan di beberapa
plesteran semen, benda tidak
stabil dapat terguling.
Kerusakan pada pohon,
tiang-tiang listrik, dan objek
tinggi lainnya. Bandul jam
mungkin berhenti.
0,03g –
0,05g
1,20
VI 5 – 5,9 5 – 8 Dirasakan oleh semua orang,
banyak yang ketakutan dan
lari keluar ruangan.
Beberapa furniture berat
bergerak. Plesteran mulai
runtuh, cerobong mulai
retak.
0,05g –
0,07g
800
ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
23
Lanjutan Tabel I.2. Insensitas, mangnitud dan kecepatan gempa (IISEE, 2001)
Insensitas
Mercalli
Mangnitud
(Skala
richter)
Kecepatan
tertinggi
rata-rata
(cm/dt)
Deskripsi
Percepatan
puncak
rata-rata
(g adalah
graviti =
9,8 m/s2)
Jumlah
gempa
pertahun
di dunia
VII 6 – 6,3 8 – 20 Semua orang lari keluar
ruangan. Dirasakan orang
yang mengendarai mobil,
bangunan yang
konstruksinya kurang baik
dapat runtuh, cerobong
runtuh.
0,07g –
0,15g
65
VIII 6,4 – 6,6 20 – 30 Kerusakan mulai terjadi pada
bangunan dengan desain
baik. Beberapa bangunan
dapat runtuh sebagian. Panel
dinding dapat keluar dari
rangka strukturnya.
Cerobong tumbang,
tumpukan material pabrik
dapat runtuh, dinding,
kolom, dinding, monumen
runtuh. Furniture berat akan
tumbang. Pasir dan lumpur
terlempar sebagian. Terjadi
perubahan dalam air sumur.
Pengendara mobil dapat
tergangu.
0,15g –
0,30g
35
IX 6,7 – 6,9 30 – 60 Kerusakan dapat terjadi pada
bangunan dengan desain
baik, struktur rangka dapat
miring, sebagian bangunan
runtuh, perubahan terjadi
pula pada pondasi.
Keretakan tanah terjadi, pipa
bawah tanah rusak
0,30g –
0,60g
20
X 7 – 7,5 Lebih dari
60
Bangunan konstruksi kayu
mulai rusak, sebagaian besar
pasangan batu rusak, dan
struktur rangka dan
pondasinya rusak. Tanah
dapat terjadi retakan besar,
rel kereta bengkok,
kelongsoran dapat terjadi di
tepi sungai dan tebing-tebing
tanah.
Lebih dari
0,60 g
14
XI 7,6 – 7,9 Sangat sedikit bangunan
yang masih berdiri.
Jembatan hancur. Terjadi
retakan-retajkan besar di
tanah dan jalan aspal, pipa-
pipa bawah tanah total tidak
berfungsi.
4
ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
24
Lanjutan Tabel I.2. Intensitas, mangnitud dan kecepatan gempa (IISEE, 2001)
Insensitas
Mercalli
Mangnitud
(Skala
richter)
Kecepatan
tertinggi
rata-rata
(cm/dt)
Deskripsi
Percepatan
puncak
rata-rata
(g adalah
graviti =
9,8 m/s2)
Jumlah
gempa
pertahun
di dunia
XII 8 - 8,6 Kerusakan total. Gelombang
terlihat pada permukaan
tanah. Benda-benda
terlempar ke udara.
0,2 (satu
dalam
lima
tahun)
B. Bahaya gerakan tanah
Gerakan tanah atau tanah longsor adalah perpindahan material pembentuk lereng
berupa batuan, bahan rombakan, tanah, atau material campuran tersebut, bergerak ke
bawah atau keluar lereng. Proses terjadinya tanah longsor dapat diterangkan sebagai
berikut: air yang meresap ke dalam tanah akan menambah bobot tanah. Jika air tersebut
menembus sampai tanah kedap air yang berperan sebagai bidang gelincir, maka tanah
menjadi licin dan tanah pelapukan di atasnya akan bergerak mengikuti lereng (ESDM,
2005).
Faktor internal yang menjadi penyebab terjadinya longsoran tanah adalah daya
ikat (kohesi) tanah/batuan yang lemah sehingga butiran-butiran tanah/batuan dapat
terlepas dari ikatannya dan bergerak ke bawah dengan menyeret butiran yang lainnya
yang ada disekitarnya membentuk massa yang lebih besar. Lemahnya daya ikat
tanah/batuan dapat disebabkan oleh sifat kesarangan (porositas) dan kelolosan air
(permeabilitas) tanah/batuan maupun rekahan yang sensitif dari massa tanah/batuan
tersebut. Faktor eksternal yang dapat mempercepat dan menjadi pemicu longsoran
tanah dapat terdiri dari berbagai faktor seperti kegempaan, morfologi, aktifitas geologi,
kemiringan lereng, perubahan kelembaban tanah/batuan karena masuknya air hujan,
tutupan lahan serta pengolahan lahan (Zakarian, 2000).
a. Curah Hujan
Curah hujan (CH) adalah banyaknya air hujan yang jatuh ke bumi persatu
satuan luas permukaan pada suatu jangka waktu tertentu. Besar kecilnya curah
hujan dapat dinyatakan sebagai volume air hujan yang jatuh pada suatu areal
tertentu dalam jangka waktu relatif lama, oleh karena itu besarnya curah hujan
dapat dinyatakan dalam m3/satuan luas, secara umum dinyatakan dalam tinggi air
ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
25
(mm). Curah hujan 10 mm berarti tinggi hujan yang jatuh pada areal seluas 1 m2
adalah 10 liter (Subekti, 2009).
Curah hujan sebagai salah satu komponen iklim, akan mempengaruhi kadar
air dan kejenuhan air. Air hujan seringkali menjadi pemicu terjadinya longsor.
Hujan dapat meningkatkan kadar air dalam tanah. Kondisi besaran curah hujan
tentunya sangat mempengaruhi kondisi tanah atau batuan, karena sifat fisik
tanah/batuan menjadi kurang tahan apabila kandungan air di dalamnya berlebihan,
dan dapat memicu terjadinya gerakan tanah.
Data curah hujan yang diperoleh dari alat penakar hujan merupakan hujan
yang terjadi hanya pada satu tempat atau titik saja (point rainfall). Mengingat hujan
sangat bervariasi terhadap tempat (space), maka untuk kawasan yang luas, satu
penakar hujan belum dapat menggambarkan hujan wilayah tersebut. Dalam hal ini
diperlukan hujan kawasan yang diperoleh dari harga rata-rata curah hujan beberapa
stasiun penakar hujan yang ada di dalam/atau disekitar kawasan tesebut. Data curah
hujan dicatat secara manual dengan perincian berupa data curah hujan harian
kemudian diolah menjadi data curah hujan bulanan dan tahunan. Data curah hujan
dapat di lihat di lampiran B.
Menurut Sri Harto (2000), data hujan yang akan digunakan dalam analisis
hidrologi harus merupakan data yang mengandung kesalahan yang sekecil
mungkin, karena menghilangkan sama sekali kesalahan adalah tidak mungkin. Hal
tersebut harus dilakukan, karena besaran hujan merupakan masukan terpenting
dalam analisis, sehingga dapat dipahami, apabila kesalahan yang terbawa dalam
data hujan hujan terlalu besar, maka hasil analisispun juga diragukan, padahal akan
digunakan sebagai acuan dalam perencanaan maupun perancangan.
Sering dijumpai data curah hujan dari BMKG tidak sepenuhnya
lengkap. Data hujan hilang ini dapat terjadi akibat beberapa faktor, misalnya alat
pengukur hujan yang rusak, pengamat stasiun hujan yang berhalangan, data hasil
pencatatan hujan yang hilang, dan lain-lain. Menurut Triatmodjo (2008) salah satu
metode mencari data hujan yang hilang dapat dicari dengan menggunakan metode
perbandingan normal (normal ratio method) dengan rumus:
ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
26
Px = 1
𝑛 . ∑ (
Rx
Ri . ri)𝑛
𝑛−1 (I.4)
Dalam hal ini,
Px : data hujan yang hilang
Rx : curah hujan tahunan rata-rata pada stasiun dimana data yang hilang
Ri : curah hujan tahunan rata-rata pada stasiun ke – i
ri : curah hujan bulanan pada stasiun ke – i yang hilang
n : banyaknya stasiun yang datanya tidak hilang pada tahun tersebut
Ketelitian hasil hitungan dalam pengisian data curah hujan yang
kosong/hilang sangat diperlukan, yang tergantung dari konsistensi data itu sendiri.
Suatu rangkaian data pengamatan hujan, dapat timbul ketidak konsistenan, yang
dapat mengakibatkan penyimpangan dalam perhitungan. Uji konsistensi data curah
hujan pada setiap data curah hujan dapat dilakukan dengan analisis kurva ganda
(double mass curva analysis) untuk data hujan musiman atau tahunan (Soewarno,
2015).
Metode interpolasi spasial yang digunakan, yaitu metode Spline dalam
analisis interpolasi elevasi permukaan yang diimplementasikan dalam ArcGIS.
Metode interpolasi spasial dari data yang tersebar merupakan suatu metode yang
digunakan untuk memprediksikan dan merepresentasikan sebaran curah hujan di
suatu wilayah dengan banyak varian.
Pengelolaan data curah hujan di SIG bisa ditampilkan sebagai peta rata-rata
curah hujan dalam setiap tahun. Zona curah hujan dalam bentuk poligon
melingkupi permukaan curah hujan yang dibuat dari metode thiessen polygon, dan
statistik curah hujan untuk setiap zone diestimasikan menggunakan fungsi-fungsi
dalam ArcGIS.
Rata-rata terbobot (weighted average), masing-masing stasiun hujan
ditentukan luas daerah pengaruhnya berdasarkan poligon yang dibentuk
menggambarkan garis-garis sumbu pada garis-garis penghubung antara dua stasiun
hujan yang berdekatan. Cara ini diperoleh dengan membuat poligon yang
memotong tegak lurus pada tengah-tengah garis penghubung dua stasiun hujan.
Dengan demikian tiap stasiun penakar Rn akan terletak pada suatu poligon tertentu
An. Dengan menghitung perbandingan luas untuk setiap stasiun yang besarnya =
ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
27
An/A, dimana A adalah luas daerah penampungan atau jumlah luas seluruh areal
yang dicari tinggi curah hujannya. Curah hujan rata-rata diperoleh dengan cara
menjumlahkan pada masing-masing penakar yang mempunyai daerah pengaruh
yang dibentuk dengan menggambarkan garis-garis sumbu tegak lurus terhadap
garis penghubung antara dua pos penakar. Apabila terdapat perubahan jaringan
stasiun hujan seperti pemindahan atau penambahan stasiun, maka harus dibuat lagi
poligon thiessen yang baru (Triatmodjo, 2008).
Cara perhitungannya adalah sebagai berikut:
Dalam hal ini:
A : Luas areal (km2)
d : Tinggi curah hujan rata-rata areal (mm)
d1, d2, d3,...dn : Tinggi curah hujan di pos 1, 2, 3,...n
A1, A2, A3,..An: Luas daerah pengaruh pos 1, 2, 3,...n .
Gambar I.4. Poligon thiessen (Dewi, 2012)
b. Kemiringan Lereng
Permukaan bumi kenyataannya tidaklah berbentuk dataran, akan tetapi ada
yang berbentuk bukit, lembah dan lautan. Perbedaan bentuk bentang alam/relief
muka bumi dapat dikelompokkan berdasarkan sudut lerengnya.
Lereng adalah kenampakan permukan alam disebabkan adanya beda tinggi,
apabila beda tinggi dua tempat tesebut di bandingkan dengan jarak lurus mendatar
sehingga akan diperoleh besarnya kelerengan. Bentuk lereng bergantung pada
proses erosi juga gerakan tanah dan pelapukan. Lereng merupakan parameter
(I.
5)
ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
28
topografi yang terbagi dalam dua bagian yaitu kemiringan lereng dan beda tinggi
relatif, dimana kedua bagian tersebut besar pengaruhnya terhadap penilaian suatu
bahan kritis.
Tanah longsor umumnya dapat terjadi pada wilayah berlereng. Makin tinggi
kemiringan lahannya akan semakin besar potensi longsornya. Tanah longsor
terjadi biasanya diakibatkan oleh wilayah jenuh air dan adanya gaya gravitasi. Hal
ini terjadi karena bagian bawah tanah terdapat lapisan yang licin dan kedap (sukar
ditembus) air (Sumiyatinah dan Yohanes, 2000). Dalam musim hujan, apabila
tanah di atasnya tertimpa hujan dan menjadi jenuh air, sebagian tanah akan
bergeser ke bawah melalui lapisan kedap yang licin tersebut dan menimbulkan
longsor.
c. Jenis Tanah
Tanah secara geologi merupakan hasil pelapukan batuan yang ada di
permukaan bumi. Karenanya jenis-jenis tanah sangat erat kaitannya dengan
komposisi kimia-mineral batuan dasarnya. Berbagai jenis tanah seperti laterit,
andosol, latosol, alluvial, podsolik adalah jenis-jenis tanah hasil pelapukan dari
jenis-jenis batuan. Jenis-jenis tanah menentukan terhadap jenis tanaman yang baik
tumbuh di suatu lahan tertentu. Disamping itu daya dukung lahan untuk bangunan
ditentukan oleh sifat-sifat keteknikan dari tanah dan batuan terhadap daya dukung
bangunan, seperti kuat tekan, plastisitas, mekanika tanah dan batuan.
Faktor jenis tanah mempunyai kepekaan terhadap longsor yang berbeda-
beda. Kepekaan longsor tanah yaitu mudah atau tidaknya tanah longsor sebagai
fungsi berbagai sifat fisik tanah dan kimia tanah. Sifat-sifat tanah yang
mempengaruhi kepekaan longsor adalah: 1) sifat-sifat tanah yang mempengaruhi
laju infiltrasi, permeabilitas, dan kapasitas menahan air dan 2) sifat-sifat tanah
yang mempengaruhi ketahanan struktur tanah terhadap disperse dan pengikisan
oleh butir-butir tanah yang jatuh dan aliran permukaan. Adapun sifat-sifat tanah
yang mempengaruhi longsor adalah: tekstur, struktur, bahan organik, kedalaman,
sifat lapis air tanah dan tingkat kesuburan tanah (Arifin dan Ita, 2006).
ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
29
Berikut adalah deskripsi mengenai jenis tanah:
1. Latosol
Jenis tanah latosol merupakan jenis tanah yang berkembang, berwarna coklat
merah hingga kuning. Penyebarannya terletak pada daerah iklim basah, dan
berasal dari batuan induk tuf.
2. Mediteran rensia
Mediteran merupakan jenis tanah yang mempunyai perkembangan profil,
solum sedang hingga dangkal. Berwarna coklat hingga merah dengan daya
absorpsi sedang. Jenis tanah ini merupakan jenis tanah yang peka terhadap
erosi.
3. Podsolik merah kuning
Merupakan bagian darai tanah ulitisol. Bersifat agak lembab dengan kadar
lengas tertinggi pada utisol yang berbentuk bongkah. Tanah podsolik merah
kuning merupakan tanah yang terbentuk karena curah hujan yang tinggi dan
suhu yang rendah. Tanah podsolik merah kuning berwarna merah sampai
kuning dengan kesuburan yang relatif rendah karena pencucian-pencucian.
d. Tutupan lahan
Minimnya penutupan permukaan tanah dan vegetasi, sehingga perakaran
sebagai pengikat tanah menjadi berkurang dan mempermudah tanah menjadi
retak-retak pada musim kemarau. Pada musim penghujan air akan mudah meresap
ke dalam lapisan tanah melalui retakan tersebut dan dapat menyebabkan lapisan
tanah menjadi jenuh air. Hal demikian cepat atau lambat akan mengakibatkan
terjadinya longsor atau gerakan tanah (Wahyunto, 2007).
Tutupan lahan adalah jenis vegetasi maupun hasil budidaya manusia yang
menempati suatu lahan. Suatu lahan dapat ditempati oleh berbagai jenis vegetasi
seperti hutan, semak belukar, kebun sawah, permukiman, perikanan/tambak dan
lain-lain.
Karnawati (2003) menyatakan bahwa pemanfaatan lahan dapat menjadi
faktor pengontrol gerakan tanah dan meningkatkan resiko gerakan tanah karena
pemanfaatan lahan akan berpengaruh pada tutupan lahan (land cover) yang ada.
Tutupan lahan dalam bentuk tanaman-tanaman hutan akan mengurangi erosi.
Adapun tutupan lahan dalam bentuk permukiman, sawah dan kolam akan rawan
ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
30
terhadap erosi, lebih-lebih lahan tanpa penutup akan sangat rawan terhadap erosi
yang akan mengakibatkan gerakan tanah.
Faktor vegetasi berpengaruh terhadap longsor melalui akar dan kegiatan
biologis yang berhubungan dengan pertumbuhan vegetatif dan pengaruhnya
terhadap stabilitas struktur dan porositas tanah, dan transpirasi yang
mengakibatkan kandungan air tanah berkurang. Suatu vegetasi penutup tanah
yang baik seperti rumput yang tebal atau rimba yang lebat akan menghilangkan
pengaruh hujan dan topografi terhadap longsor (Arsyad, 1989).
C. Bahaya tsunami
Tsunami adalah gelombang laut yang terjadi karena adanya gangguan impulsif
pada laut. Gangguan impulsif tersebut terjadi akibat adanya perubahan bentuk dasar
laut secara tiba-tiba dalam arah vertikal atau dalam arah horizontal (Satake dan Y.
Tanioka, 1995). Perubahan tersebut disebabkan oleh tiga sumber utama, yaitu gempa
tektonik, letusan gunung api, atau longsoran yang terjadi di dasar laut. Dari ketiga
sumber tersebut, di Indonesia gempa merupakan penyebab utama (Puspito dan
Triyoso, 1994).
Tsunami akan menimbulkan gelombang laut pasang yang sangat besar yang lazim
disebut “tidal waves”.
Gambar I.5. Proses terjadinya tsunami (BMKG)
Secara lebih sederhana Yuwono (1998) menjelaskan proses tsunami sebagai
energi tsunami (relatif) konstan dan terdiri dari energi kinetis yang berpengaruh
ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
31
kepada kecepatan dan energi potensial yang berpengaruh terhadap ketinggian
gelombang. Di laut dalam kecepatan tinggi bisa mencapai ratusan sampai ribuan
km/jam namun tinggi gelombang rendah (1 sampai 2 m). Mendekati pantai dengan
kedalaman laut dangkal kecepatan turun drastis namun gelombang menjadi tinggi.
Panjang gelombang tsunami yaitu jarak antara dua puncak gelombang yang
berurutan. Gerakan vertikal pada kerak bumi, dapat mengakibatkan dasar laut naik
atau turun secara tiba-tiba, yang mengakibatkan gangguan kesetimbangan air yang
berada di atasnya. Hal ini mengakibatkan terjadinya aliran energi air laut, yang ketika
sampai di pantai menjadi gelombang naik (run-up) yang mengakibatkan kehancuran
di daerah pantai. Kembalinya air ke laut setelah mencapai puncak gelombang (run-
down) bisa menyeret segala sesuatu kembali ke laut (Kondoatie, 1996)
Kecepatan gelombang tsunami tergantung pada kedalaman laut di mana
gelombang terjadi, dimana kecepatannya bisa mencapai ratusan kilometer per/jam.
Bila tsunami mencapai pantai, kecepatannya akan menjadi kurang lebih 50 km/jam
dan energinya sangat merusak daerah pantai yang dilaluinya. Di tengah laut tinggi
gelombang tsunami hanya beberapa centimeter hingga beberapa meter, namun saat
mencapai pantai tinggi gelombangnya bisa mencapai puluhan meter karena terjadi
penumpukan masa air. Saat mencapai pantai tsunami akan merayap masuk daratan
jauh dari garis pantai dengan jangkauan mencapai beberapa ratus meter bahkan bisa
beberapa kilometer.
Gerakan vertikal ini dapat terjadi pada patahan bumi atau sesar. Gempa bumi
juga banyak terjadi di daerah subduksi, dimana lempeng samudera menelusup ke
bawah lempeng benua.
Tanah longsor yang terjadi di dasar laut serta runtuhan gunung api juga dapat
mengakibatkan gangguan air laut yang dapat menghasilkan tsunami. Gempa yang
menyebabkan gerakan tegak lurus lapisan bumi. Akibatnya, dasar laut naik-turun
secara tiba-tiba sehingga keseimbangan air laut yang berada di atasnya terganggu.
I.8.3. Sistem Informasi Geografik (SIG)
SIG merupakan suatu sistem informasi yang dirancang pelaksanaannya dengan
mendasarkan pada letak spasial atau koordinat geografi. Dengan kata lain, SIG
merupakan suatu sistem “data base” yang memiliki kemampuan tertentu untuk data
ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
32
yang bereferensi spasial dan juga merupakan serangkaian proses kerja dengan data
spasial dan atribut. Star dan Estes (1990) menyatakan bahwa pemahaman terhadap
lingkungan alam dan gejala-gejalanya (termasuk bencana alam) dapat dilakukan
dengan menerapkan konsep empat M. Empat M tersebut adalah pengukuran
(measurement), pemetaan (mapping), pantauan (monitoring) dan pembuatan model
(modeling). Data penginderaan jauh merupakan input penting pada SIG karena
datanya terkini, lengkap dan cepat diperoleh.
Kekuatan dari SIG adalah terbentuknya informasi baru dari hasil analisis
basisdata, melalui berbagai proses yang dapat dilakukan pada SIG, melalui (1)
Pemrosesan data atribut (query dan kalkulasi); (2) Pemrosesan data grafis (mengubah
skala, mengubah sistem proyeksi, rotasi dan translasi, pengkondisian (spasial
querying), tumpang susun (overlay), reklasifikasi, jarak dan buffer, model
elevasi/medan digital, pemodelan spasial dan kalkulasi data grafis; dan (3) Terpadu
antara data grafis dan atribut (pengkaitan atribut ke grafis dengan simbol area, warna,
angka, diagram).
Barus dan Wiradisastra (2000) mengemukakan SIG adalah suatu sistem
informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau
berkoordinat geografis. SIG adalah alat yang handal untuk menangani data spasial,
dimana didalam SIG data dipelihara dalam bentuk digital sehingga data lebih padat
dibanding dalam bentuk peta cetak, tabel atau dalam bentuk konvensional lainnya yang
akhirnya akan mempercepat pekerjaan dan meringankan biaya yang diperlukan.
SIG merupakan sistem yang terkomputerisasi yang menolong dalam mengelola
data tentang lingkungan dalam bidang geografis. SIG selalu memiliki relasi dengan
disiplin keilmuan Geografi, hal tersebut memiliki hubungan dengan disiplin yang
berkenaan dengan yang ada di permukaan bumi, termasuk didalamnya adalah
perencanaan dan arsitektur wilayah (Longley, 2001). Data dalam SIG terdiri atas dua
komponen yaitu data spasial yang berhubungan dengan geometri bentuk keruangan
dan data atribut yang memberikan informasi tentang bentuk keruangannya (Kang-
Tsung, 2002).
Sistem informasi geografis muncul dari kegiatan dalam empat bidang yang
berbeda:
ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
33
1. Kartografi, yang berusaha untuk mengotomatisasi manual tergantung pembuatan
peta proses dengan menggantikan gambar kerja oleh vektor digitalisasi.
2. Komputer grafis, yang memiliki banyak aplikasi data vektor digital selain
kartografi, terutama dalam desain bangunan, mesin dan fasilitas.
3. Database, yang menciptakan struktur matematika umum yang menurutnya
masalah grafis komputer dan kartografi komputer dapat ditangani.
4. Penginderaan jauh, yang menciptakan sejumlah besar data citra digital
membutuhkan geocoded rectification dan analisis.
Gambar I.6. Keterkaitan beberapa disiplin dalam SIG (Konecny, 2003)
I.8.3.1. Model Data Spasial Dalam SIG. Sebagai salah satu bagian dari teknologi
informasi, semua sistem yang dibangun dengan pendekatan SIG akan berbasis
komputer. Tidak seperti manusia, komputer tidak dapat mengerti esensi obyek atau
data spasial, untuk mempresentasikan obyek atau data tersebut maka yang dapat
dilakukan oleh komputer adalah memanipulasinya sebagai data yang memiliki atribut
geometri. Sampai dengan saat ini representasi data spasial dapat dikelompokkan
menjadi data vektor dan data raster.
Model data vektor menampilkan, menempatkan dan menyimpan data spasial
dengan menggunakan titik, garis atau poligon beserta atribut-atributnya. Bentuk-
bentuk tersebut didefinisikan oleh sistem koordinat kartesian dua dimensi (x,y)
(Prahasta, 2009). Representasi vektor suatu obyek spasial merupakan suatu usaha
menyajikan obyek sesempurna mungkin. Untuk itu, dimensi koordinat diasumsikan
bersifat kontinyu yang memungkinkan semua posisi, panjang dan dimensi
ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
34
didefinisikan dengan presisi. Bentuk model data vektor dapat berupa titik (point), garis
(polyline), dan luasan (polygon)
Raster Vektor
Gambar I.7. Model data spasial (Worboys dan Duckham, 2004)
Struktur model data raster disusun sebagai sebuah array atau grid sel yang
disebut piksel. (Worboys dan Duckham, 2004). Kumpulan piksel-piksel yang
menggambar suatu obyek spasial dapat disebut sebagai dataset obyek. Setiap piksel
dalam dataset raster mempunyai informasi atau sekumpulan data yang unik. Informasi
yang terdapat dalam satu piksel dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu data
atribut (informasi mengenai obyek, misal: sawah, kebun, permukiman dan lain-lain)
dan koordinat data yang menunjukkan posisi geometris dari data tersebut.
I.8.3.2 Kemampuan Analisi Spasial Dalam SIG. Kemampuan SIG juga
dikenali dari fungsi-fungsi analisis yang dapat dilakukan. Kemampuan analisis spasial
menggunakan SIG dapat diklasifikasikan bermacam-macam. Klasifikasi di bawah ini
mengacu pada Aronoff dan Stanley (1989):
1. Pengukuran, query spasial dan fungsi klasifikasi
2. Fungsi overlay
3. Fungsi neighbourhood
4. Fungsi network
5. Fungsi 3D analyst
Fungsi pengukuran, query spasial dan fungsi klasifikasi ini merupakan fungsi
yang meng-eksplore data tanpa membuat perubahan yang mendasar, dan biasanya
dilakukan sebelum analisis data. Fungsi pengukuran mencakup pengukuran jarak suatu
ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
35
obyek, luas area baik itu 2 dimensi atau 3 dimensi. Query spasial dalam
mengidentifikasikan obyek secara selektif, definisi pengguna, maupun melalui kondisi
logika.
Gambar I.8. Klasifikasi pendapatan rumah tangga suatu daerah dari (kiri) 7 kelas
klasifikasi menjadi (kanan) 5 kelas klasifikasi (Rolf A de By, 2004)
Fungsi overlay ini menghasilkan data spasial baru dari minimal dua data spasial
yang menjadi dua data spasial yang menjadi masukannya. Prinsip overlay dapat
dilihat pada Gambar I.9. Fungsi overlay ini juga dapat berlaku untuk model data
raster.
Gambar I.9. Dua buah poligon layer A dan B akan menghasilkan data spasial baru
(dan atribut) yang merupakan hasil interseksi dari A dan B (Rolf A de By, 2004)
Fungsi neighborhood salah satu yang terdapat dalam klasifikasi ini adalah
buffering. Fungsi ini menghasilkan data spasial baru yang berbentuk poligon atau area
dengan jarak tertentu dari data spasial yang menjadi masukannya. Data spasial titik
akan menghasilkan data spasial baru yang berupa lingkaran-lingkaran yang
mengelilingi titik-titik pusatnya. Untuk data spasial garis akan menghasilkan data
ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
36
spasial baru yang berupa poligon-poligon yang melingkupi garis-garis. Demikian pula
untuk data spasial poligon berupa poligon-poligon yang lebih besar dan konsentris.
I.8.4. Penginderaan Jauh
Penginderaan jauh berasal dari kata remote sensing memiliki
pengertian bahwa penginderaan jauh merupakan suatu ilmu dan seni untuk
memperoleh data dan informasi dari suatu objek dipermukaan bumi dengan
menggunakan alat yang tidak berhubungan langsung dengan objek yang dikajinya
(Lillesand dkk., 2000). Jadi penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk
mengindera/menganalisis permukaan bumi dari jarak yang jauh, dimana perekaman
dilakukan di udara atau di angkasa dengan menggunakan alat (sensor) dan wahana.
Alat yang dimaksud adalah alat perekam yang tidak berhubungan langsung dengan
objek yang dikajinya yaitu: alat tersebut pada waktu perekaman tidak ada di permukaan
bumi, tetapi di udara atau di angkasa. Perekaman tersebut menggunakan wahana
(platform) seperti satelit, pesawat udara, balon udara dan sebagainya. Data yang
merupakan hasil perekaman alat (sensor) masih merupakan data mentah yang perlu
dianalisis. Untuk menjadi suatu informasi tentang permukaan bumi yang berguna bagi
berbagai kepentingan bidang ilmu yang berkaitan perlu dianalisis dengan cara interpretasi.
Gambar I.10. Prinsip penginderaan jauh (Konecny, 2003)
I.8.4.1. Data Penginderaan Jauh. Perekaman objek dapat dilakukan, karena
tenaga elektromagnetik yang dipancarkan oleh matahari kesegala arah terutama ke
permukaan bumi, tenaga tersebut dipantulkan dan dipancarkan oleh permukaan bumi.
Tenaga pantulan dan pancaran tersebut direkam oleh alat yang disimpan oleh wahana.
Karena itu untuk memperoleh data penginderaan jauh tersebut diperlukan komponen-
ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
37
komponen penginderaan jauh diantaranya; tenaga, objek, sensor, detektor dan wahana.
Komponen tersebut saling mendukung dalam perekaman objek, karena setiap
komponen harus saling berinteraksi. Akibat adanya interaksi tenaga dengan objek,
tenaga terebut dipantulkan dan direkam oleh alat. Data hasil perekaman tersebut
menghasilkan 2 jenis data yaitu; (1) data visual (citra) dan (2) data citra (numerik).
Data visual merupakan gambar dari objek yang direkam yang disebut dengan
”citra”. Menurut Simonett dkk. (1983) mengemukakan bahwa citra adalah gambaran
suatu objek biasanya berupa gambaran objek pada foto yang dihasilkan dengan cara
optik, elektro-optik, optik mekanik atau elektronik. Pada umumnya digunakan bila
radiasi elektromagnetik yang dipancarkan atau dipantulkan oleh suatu objek tidak
langsung direkam pada film. Jadi atas dasar uraian tersebut penulis berpendapat bahwa
citra adalah gambaran objek yang direkam akibat adanya interaksi tenaga
elektromagnetik yang dipantulkan dan dipancarkan objek yang direkam detektor pada
alat (sensor).
Selain data visual (citra) juga diperoleh data citra (numerik). Tiap objek
mempunyai kepekaan dan karakteristik yang berbeda, maka tiap objek akan
memantulkan atau memancarkan tenaga elektromagnetik membentuk karakteristik
yang berbeda.Interaksinya antara tenaga dan objek dipengaruhi oleh kondisi
atmosferik.
I.8.4.2. Resolusi Citra. Resolusi sangat penting dipahami oleh pengguna data
penginderaan jauh untuk mengukur sejauh mana data tersebut dapat digunakan sesuai
kebutuhan. Resolusi dapat dibedakan dalam lima kategori yaitu resolusi spasial,
resolusi temporal, resolusi spektral, resolusi radiometrik, dan resolusi layar.
a. Resolusi spasial
Resolusi spasial adalah ukuran spasial terkecil suatu objek di permukaan bumi yang
dapat dideteksi oleh instrumen pengindera. Resolusi spasial sangat penting dipahami
dalam sebuah proses analisis penginderaan jauh dikarenakan perbedaan resolusi
spasial maka berbeda pula aplikasi pemanfaatanya. Lebih jauh lagi terdapat sebuah
hubungan antara resolusi spasial dengan skala citra. Hal ini sering dikaitkan dalam
sebuah konsep Ground Sample Distance (GSD). GSD merupakan jarak di lapangan
ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
38
yang dinyatakan dalam satu piksel Danoedoro (2012). Seperti halnya citra Landsat
memiliki ukuran 30 m x 30 m di lapangan maka GSD nya adalah 30 m.
b. Resolusi spektral
Resolusi spektral adalah kemampuan sebuah sistem optik-elektronik untuk
membedakan informasi objek berdasarkan pantulan spektralnya (Danoedoro, 2012).
Semakin banyak jumlah saluran dan semakin sempit rentang panjang gelombangnya,
semakin tinggi kemungkinan membedakan suatu objek. Resolusi Spektral
berhubungan erat dengan jumlah band dan panjang geolombang pada tiap band
tersebut. Citra Landsat 8 memiliki resolusi spektral yang lebih tinggi dari Citra
Landsat 7 ETM+ dengan jumlah band mencapai 11 band sementara landsat 7 ETM+
hanya 8 band.
c. Resolusi radiometrik
Resolusi radiometrik adalah suatu kemampuan sensor dalam mencatat berbagai variasi
pantulan objek kedalam sebuah kode digital number yang dinyatakan dalam satuan bit.
Semakin besar bit coding semakin tinggi resolusi radiometriknya. Perhitunganya
adalah pada rentang digital number pada piksel yaitu 4 bit = 24 yaitu 16. Landsat 8
memiliki resolusi radiometrik 12 bit atau lebih tinggi dari pada Landsat 7 ETM+ yang
hanya 8 bit.
d. Resolusi Temporal
Resolusi temporal merupakan kemempuan sebuah sistem pengindera dalam merekam
ulang objek yang sama di permukaan bumi. Resolusi temporal dinyatakan dalam
satuan waktu yaitu jam atau pun hari. Seperti halnya Satelit Landsat generasi ke-2 dan
seterusnya memiliki resolusi temporal selama 16 hari (Danoedoro, 2012).
e. Resolusi Layar
Resolusi layar merupakan kemampuan layar monitor dalam menampilkan objek pada
citra secara halus (Danoedoro, 2012). Resolusi layar penting untuk diperhatikan karena
layar inilah yang akan berinteraksi langsung dengan mata pengguna. Resolusi layar
biasanya berhubungan dengan bit coding yang dapat ditampilkan oleh Virtual Graphic
Accelerator (VGA) dari hardware komputer yang digunakan.
I.8.4.3. Citra WordView 2. Satelit WorldView 2 adalah satelit generasi
terbaru dari Digital globe yang diluncurkan pada tanggal 8 Oktober 2009. Citra Satelit
ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
39
yang dihasilkan selain memiliki resolusi spasial yang tinggi juga memiliki resolusi
spectral yang lebih lengkap dibandingkan produk citra sebelumnya.
Resolusi spasial yang dimiliki citra satelit WorldView 2, yaitu: 0,46 m – 0,5 m
untuk citra pankromatik dan 1,84 m untuk citra multispektral. Citra multispektral dari
WorldView 2 ini memiliki jumlah band sebanyak 8 band, sehingga sangat memadai
bagi keperluan analisis-analisis spasial sumberdaya alam dan lingkungan hidup.
Gambar I.11. Tampilan WordView 2 daerah UNCEN Kota Jayapura tahun 2012
(Digital Globe)
Tabel I.3. Spesifikasi citra WordView 2 (Digital Globe) Mode Pencitraan Pankromatik Multi
spektr
al Resolusi spasial pada nadir 0.46 m GSD pada nadir 1.84 m GSD pada nadir
Resolusi spasial 20 derajat dari nadir 0.52 meter GSD 2,4 meter GSD
Jangkauan spektral
450–800 nm
Coastal (400-450 nm) Biru (450-510 nm)
Hijau (510-585 nm)
Kuning (585-625 nm)
Merah (625-705 nm)
Red edge (705-745nm) IR dekat 1 (745-860 nm)
IR dekat 2 (860-1040 nm)
Lebar sapuan 16,4km pada nadir Jangkauan dinamik 11 bit per piksel Masa aktif satelit Perkiraan hingga lebih dari 10 tahun
Waktu pengulangan 1,1 hari pada 1 meter GSD atau kurang 3,7 hari pada 20 derajat off nadir atau kurang (0.52 m GSD)
Ketinggian orbit 770 km
Waktu lintasan equatorial 10:30 A.M (descending mode) Orbit 94,.6 derajat sinkron matahari
Waktu Oorbit 94,6 menit Kecepatan pada orbit 7,5 km/detik
Level proses Basic, standard, orthorectified
ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
40
Lanjutan Tabel I.4. Spesifikasi citra WordView 2 (Digital Globe)
Mode Pencitraan
Luas pemesanan Minimum 25 km2 untukd ata arsip
Minimum 100 km2 untuk data pesan (tasking) (dengan
jarak antar vertex minimum 5 km)
Akurasi metrik
Mulai dan berhenti pada citra akurasi < 500 meter
Mendukung akurasi geolokasi mentarget ulang objek
Akurasi geolokasi (CE90)
Spesifikasi 12,2 m CE90, dengan kinerja diprediksi pada
kisaran 4,6-10,7 meter (15-35 kaki) CE90, belum
termasuk efek dari kelerengan dan off-nadir < 2 meter
akurasi dengan memasukkan GCP pada citra
I.8.4.4. Citra Satelit Landsat 8 LDCM. Satelit Landsat merupakan satelit
sumberdaya bumi tidak berawak pertama yang diluncurkan oleh NASA (National
Aeronautic and Space Administration) dengan membawa sensor non fotografik. Satelit
Landsat merupakan satelit sun-synchronous. Satelit Landsat (Land Satellite)
diluncurkan pertama kali pada tanggal 23 Juli 1972 dengan nama ERTS-1 (Earth
Resources Technology Satellite-1), dilanjutkan dengan peluncuran seri kedua pada
tanggal 22 Januari 1974 dan berganti nama menjadi Landsat. Seri ini hingga tahun
1991, telah sampai pada Landsat 5. Pada tanggal 5 Oktober 1993 satelit Landsat 6 TM
(Thematic Mapper) diluncurkan tetapi gagal mengorbit. Landsat 7 ETM+ (Enhanced
Thematic Mapper) merupakan satelit generasi III, yang diluncurkan pada tanggal 15
April 1999. Landsat 8 LDCM (Landsat Data Continuity Mission) yang diluncurkan
pada tanggal 11 Februari 2013 merupakan kelanjutan satelit Landsat 7 ETM+ yang
mengalami kerusakan pada Scan Line Correctornya.
Pada tanggal 11 Februari 2013, NASA melakukan peluncuran satelit Landsat
Data Continuity Mission (LDCM). Satelit ini mulai menyediakan produk citra open
access sejak tanggal 30 Mei 2013, menandai perkembangan baru dunia antariksa.
NASA lalu menyerahkan satelit LDCM kepada USGS sebagai pengguna data
terhitung 30 Mei. Satelit ini kemudian lebih dikenal sebagai Landsat 8. Pengelolaan
arsip data citra masih ditangani oleh Earth Resources Observation and
Science (EROS) Center. Landsat 8 hanya memerlukan waktu 99 menit untuk
mengorbit bumi dan melakukan liputan pada area yang sama setiap 16 hari sekali.
Seperti dipublikasikan oleh USGS, satelit landsat 8 terbang dengan ketinggian 705 km
dari permukaan bumi dan memiliki area scan seluas 170 km x 183 km (mirip dengan
ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
41
landsat versi sebelumnya). NASA sendiri menargetkan satelit landsat versi terbarunya
ini mengemban misi selama 5 tahun beroperasi (sensor OLI dirancang 5 tahun dan
sensor TIRS 3 tahun). Satelit landsat 8 memiliki sensor Onboard Operational Land
Imager (OLI) dan Thermal Infrared Sensor (TIRS) dengan jumlah kanal sebanyak 11
buah. Diantara kanal-kanal tersebut, 9 kanal (band 1-9) berada pada OLI dan 2 lainnya
(band 10 dan 11) pada TIRS.
Tabel I.5. Perbandingan band landsat 7 dan 8 (NASA. “Landsat Data Continuity
Mission Brochure”)
Band Landsat-7 ETM+ (µm) Band Landsat 8 OLI dan TIRS (µm)
30 m Coastal 0,435 –0,451 Band 1
Band
1
30 m Blue
0,441-0,514
30 m Blue
0,452–0,512 Band 2
Band
2
30 m Green
0,519-0,601
30 m Green
0,533–0,590 Band 3
Band
3
30 m Red
0,631-0,692
30 m Red
0,636–0,673 Band 4
Band
4
30 m NIR
0,772-0,898
30 m NIR
0,851-0,879 Band 5
Band
5
30 m SWIRl
1,547-1,749
30 m SWIR-l
1,566–1,651 Band 6
Band
6
60 m TIR
10,31-12,36
100 m TIR-1
10,60–11,19 Band 10
100 m TIR-2 11,50–12,51 Band 11
Band
7
30 m SWIR2
2,064-2,345
30 m SWIR-2
2,107–2,294 Band 7
Band
8
15 m Pan
0,515-0,896
15 m Pan
0,503–0,676 Band 8
30 m Cirrus
1,363–1,384 Band 9
I.8.4.5. Pengolahan Citra. Pengolahan citra yang diperoleh untuk
diaplikasikan pada suatu kegiatan tertentu terlebih dahulu harus diketahuai dengan
baik kualitasnya. Hal ini dikarenakan pada umumnya citra digital yang diperoleh
melalui perekaman sensor tidak terlepas dari kesalahan. Kesalahan tersebut dapat
disebabkan karena beberapa faktor seperti, mekanisme perekaman sensornya gerakan
dan ujud geometrik bumi, serta kondisi atmosfer pada saat perekaman. Keterbatasan
dalam resolusi spasial, spektral, temporal dan radiometrik, sehingga citra digital tidak
dapat langsung dianalisis melainkan harus dilakukan perbaikan kualitas citra sebelum
digunakan. Hal ini disebut dengan restorasi citra (pre processing). Restorasi citra harus
dilaksakan sebelum pengolahan sehingga aspek radiometrik dan geometrik citra
ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
42
tersebut dapat memberi informasi yang akurat dalam aplikasi yang berkaitan dengan
pemetaan sumberdaya (Danoedoro, 1996).
A. Koreksi Radiometrik
Koreksi radiometrik ditujukan untuk memperbaiki nilai piksel supaya sesuai
dengan yang seharusnya, biasanya mempertimbangkan faktor gangguan atmosfer
sebagai kesalahan utama. Pada koreksi ini, diasumsikan bahwa nilai piksel terendah
pada suatu kerangka liputan (scene) seharusnya nol, sesuai dengan bit-coding sensor.
Apabila nilai terendah piksel pada kerangka liputan tersebut bukan nol, maka nilai
penambah (offset) tersebut dipandang sebagai hasil dari hamburan atmosfer
(Danoedoro, 1996). Manfaat dari koreksi radiometrik adalah memperbaiki kualitas
citra akibat dari kesalahan pantulan permukaan atau kelengkungan bumi dan faktor
lain, seperti arah matahari, kondisi cuaca, atmosfer, dan faktor lainnya sehingga
informasi yang dihasilkan menjadi lebih akurat. Menurut Main dkk., (2011) koreksi
radiometrik sangat bermanfaat untuk menganalisis data multitemporal dan multi
sensor yang digunakan untuk interpretasi dan medeteksi perubahan secara kontinu.
Kesalahan radiometrik pada citra dapat menyebabkan kesalahan interpretasi
terutama jika interpretasi dilakukan secara digital yang mendasarkan pada nilai piksel.
Sehingga, koreksi radiometrik ini sangat penting untuk dilakukan agar hasil yang
diperoleh sesuai dengan yang diinginkan.
Koreksi radiometrik sendiri memiliki berbagai macam metode untuk melakukan
koreksi radiometric pada citra satelit. Beberapa metode untuk melakukan koreksi
radiometrik menurut Jensen (1996) adalah:
1. Penyesuaian histogram (histogram adjusment)
2. Penyesuaian regresi (regression adjusment)
3. Kalibrasi banyangan (shadow callibration)
Metode yang paling sederhana adalah dengan menggunakan metode penyesuaian
histogram untuk mengetahui nilai terendah saluran tersebut. Terlebih dahulu
mengetahui histogram dari setiap saluran untuk diketahui nilai minimum yang
merupakan bias dan dianggap sebagai penambahan nilai akibat pengaruh hamburan
atmosfer. Persamaan untuk melakukan koreksi radiometrik dalam rumus persamaan
Jensen (1996) adalah:
ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
43
BVi,j,k terkoreksi = BVi,j,k (asli - bias) (I.7)
Dalam hal ini,
BVi,j,k terkoreksi : nilai kecerahan terkoreksi pada baris i, kolom j dan saluran k
BVi,j,k asli : nilai kecerahan asli pada baris i, kolom j dan saluran k
bias : nilai spektral yang dianggap sebagai gangguan atmosfer
B. Koreksi Geometrik
Koreksi geometrik menurut sifatnya dibedakan dalam dua jenis kesalahan yaitu
kesalahan sistematik dan kesalahan non-sistimatik. Kesalahan sistematik merupakan
kesalahan yang sebelumnya sudah diperhitungkan seperti sudut pandang sensor,
kecepatan wahana, rotasi bumi, distorsi penyiaman, variasi kecepatan cermin dan
kemiringan garis penyiaman. Koreksi geometrik merupakan proses memposisikan
citra sehingga cocok dengan keadaan bumi yang sebenarnya (Supriatna dan Sukartono,
2002).
Persamaan yang dipakai dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan
persamaan polinomial orde tiga, sehingga ada 20 parameter dengan 10 titik kontrol
tanah. Persamaan ini dipakai mengingat kondisi daerah penelitian yang memiliki
topografi sangat bervariasi yaitu, berbukit, bergelombang dan bergunung-gunung.
Persamaan transformasi polinomial orde tiga Pohl (1996) adalah:
x’ = a0 + a1x + a2y + a3xy + a4x2 + a5y
2 + a6x2y + a7xy2 + a8x
3 + a9y3 (I.8)
y’ = b0 + b1x + b2y + b3xy + b4x2 + b5y
2 + b6x2y + b7xy2 + b8x
3 + b9y3 (I.9)
Dalam hal ini,
x’, y’ : posisi objek dalam sitem koordinat citra
x , y : posisi objek dalam sistem koordinat peta
a0,......a9 : parameter transformasi
b0,......b9 : parameter transformasi
Pada proses transformasi ada kesalahan pada koordinat titik kontrol yang
dipilih. Besar kesalahan tersebut dapat diketahui dari nilai RMSError (Root Means
Square Error) dari masing-masing titik kontrol yang dipilih. Nilai RMSError tiap titik
menurut Jensen (1996), ditentukan dengan persamaan berikut :
ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
44
RMSError =
√(𝑥′−𝑥𝑜𝑟𝑖𝑔)2 +(𝑦′−𝑦𝑜𝑟𝑖𝑔)
2
𝑁 (I.10)
Dalam hal ini,
x’ , y ‘ : koordinat titik yang dianggap benar (koordinat peta)
xorig, yorig : koordinat hasil hitungan
N : jumlah GCP
Hasil hitungan nilai RMSError dari seluruh titik kontrol yang dipakai, maka dapat
diketahui besar kesalahan terbesar dari titik kontrol dan mendapatkan nilai total
RMSError dari titik kontrol tersebut.Semakin kecil nilai RMSError yang didapat, maka
semakin teliti hasil rektifikasi. Besar nilai RMSError maksimum yang diijinkan adalah
0,5 piksel.
Setelah proses transformasi dilakukan, maka diperlukan proses untuk
memberikan nilai piksel terhadap citra terkoreksi, ini disebut dengan proses
resampling. Resampling adalah penyadapan derajat kecerahan piksel dari posisinya
dicitra yang belum terkoreksi geometrik ke posisi yang telah terkoreksi geometrik
(Purwadhi, 2001). Metode resampling dapat dilakukan dengan tiga pendekatan yaitu:
1. Metode tetangga terdekat (Nearest neighbour)
2. Metode interpolasi bilinier (Bilinear interpolation)
3. Meode kubik konvolusi (Cubic convolution)
Algoritma interpolasi metode tetangga terdekat yang digunakan dalam penelitian
kali ini karena merupakan metode yang paling sederhana dimana nilai interpolasi yang
diberikan pada suatu titik adalah sama dengan harga titik sampel masukan terdekat
dengan titik yang diinterpolasi.
Gambar I.12. Proses resampling metode tetangga terdekat (John dan Xiuping 2006)
ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
45
C. Pemotongan citra
Proses pemotongan citra (cropping) dilakukan untuk membatasi citra hanya
pada daerah yang diteliti, sehingga hanya daerah penelitian saja yang dilakukan proses
pengolahan citranya. Citra yang digunakan dalam penelitian ini adalah dan citra
landsat 8 LDCM yang dipotong dengan menggunakan batas administrasi Kota
Jayapura.
D. Optimum index factor (OIF)
Nilai OIF menunjukkan nilai variasi spektral yang optimal untuk menyajikan
citra komposit dengan jelas. Rendahnya koreksi antara saluran dan semakin tinggi nilai
OIF yang dihasilkan, maka secara statistik informasi yang disajikan dalam suatu citra
komposit akan semakin baik. Persamaan untuk menghitung OIF Jensen (1996) adalah:
OIF = ∑ 𝑆𝑘3𝑘=1
∑ 𝐴𝑏𝑠(𝑟𝑗)3𝑗=1
(I.11)
Dalam hal ini,
OIF : faktor indeks optimum
𝑆𝑘 : standart deviasi untuk saluran k
𝐴𝑏𝑠(𝑟𝑗) : nilai absolut untuk koefisien korelasi antar dua saluran dari ketiga
saluran tersebut
Kombinasi tiga saluran dari beberapa saluran yang ada yang menghasilkan nilai OIF
terbesar pada umumnya menyajikan paling banyak informasi spektral (Jensen, 1996
dalam Debdip, 2013).
D. Penggabungan citra (fusi)
Penggabungan citra (image fusion) adalah algoritma yang mengkombinasikan
dua atau lebih citra digital yang berbeda resolusi spasial maupun spektralnya untuk
menghasilkan citra baru dengan resolusi yang lebih tinggi (Jensen, 1996). Proses
integrasi menghasilkan informasi yang lebih detail dari citra yang memiliki resolusi
spasial tinggi serta memiliki resolusi spektral yang lebih tinggi. Ada beberapa metode
fusi menurut Pohl (1996) yaitu:
1. Metode PCA (Principle Component Analysis)
ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
46
2. Metode Transformasi IHS (Intensity Hue Saturation)
3. Metode Transformasi Brovey
Metode fusi IHS, adalah mentransformasikan warna RGB menjadi IHS dengan
mengganti I (Intensity) atau saluran kecerahan dengan citra yang memiliki resolusi
spasial paling tinggi. Konsep IHS dapat dilihat pada Gambar I.19.
Gambar I.13. Konsep Fusi IHS
Persamaan transformasi RGB ke IHS Pohl (1996) adalah:
(𝐼𝑣1𝑣2) =
(
1
√31
√61
√2
1
√3 1
√6
−1
√2
1
√3
−2
√6
0 )
(I.12)
H = tan-1(𝑣1
𝑣2) (I.13)
S = √𝑣21 + 𝑣2
2 (I.14)
Transformasi balik dari IHS ke RGB Pohl (1996) adalah:
(𝑅𝐺𝐵) =
(
1
√31
√61
√2
1
√3 1
√6
−1
√2
1
√3
−2
√6
0 )
X (𝐼𝑣1𝑣2) (I.15)
Dalam hal ini,
H : Hue adalah warna
ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
47
S : Saturation adalah tingkat kemurnian warna
I : Intensity adalah tingkat kecerahan warna
v1, v2 : Variabel yang dibutuhkan dalam transformasi
E. Interpretasi visual
Interpretasi citra secara manual merupakan suatu kegiatan untuk menentukan
bentuk dan sifat obyek yang tampak pada citra, berikut deskripsinya. Interpretasi citra
dan fotogrametri berhubungan erat, meskipun keduanya tidak sama. Bedanya,
fotogrametri berkepentingan dengan geometri obyek, sedangkan interpretasi citra
berurusan dengan manfaat, penggunaan, asal-usul, ataupun identitas obyek yang
bersangkutan.
Lillesand dan Kiefer (2004) menyebutkan 8 unsur interpretasi yang di gunakan
secara konvergen untuk dapat mengenali suatu obyek yang ada pada citra, kedelapan
unsur tersebut ialah warna/rona, bentuk, ukuran, bayangan, tekstur, pola, situs dan
asosiasi. Diantara ke delapan unsur tersebut, warna/rona merupakan hal yang paling
dominan dan langsung mempengaruhi pengguna citra dalam memulai interpretasi.
Sebenarnya seluruh unsur interpretasi ini dapat di kelompokkan ke dalam 3 jenjang
dalam piramida unsur-unsur interpretasi. Pada jenjang paling bawah terdapat unsur-
unsur elementer yang dengan mudah dapat dikenali pada citra, yaitu warna/rona,
bentuk, dan bayangan. Pada jenjang berikutnya terletak ukuran, tekstur dan pola, yang
membutuhkan pemahaman lebih mendalam tentang konfigurasi obyek dalam ruang.
Pada jenjang paling atas terdapat situs dan asosiasi, yang merupakan unsur-unsur
pengenal utama dan sering kali menjadi faktor kunci dalam interpretasi, namun
sekaligus paling sulit untuk dideskripsikan.
Menurut Lillesand dan Kiefer (2004) unsur interpretasi citra secara manual
meliputi:
1. Rona dan warna
Rona ialah tingkat kegelapan atau tingkat kecerahan obyek pada citra, sedangkan
warna ialah wujud yang tampak oleh mata dengan menggunakan spektrum sempit,
lebih sempit dari spektrum tampak.
ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
48
2. Bentuk
Bentuk-bentuk atau gambar yang terdapat pada citra/foto udara merupakan
konfigurasi atau kerangka suatu objek. Bentuk merupakan ciri yang jelas,
sehingga banyak objek yang dapat dikenali hanya berdasarkan bentuknya saja.
Contoh: 1) Gedung sekolah pada umumnya berbentuk huruf I, L, U atau empat
persegi panjang. 2) Gunung api, biasanya berbentuk kerucut.
3. Ukuran
Merupakan ciri objek yang antara lain berupa jarak, luas, tinggi lereng dan
volume. Ukuran objek pada citra berupa skala, karena itu dalam memanfaatkan
ukuran sebagai interpretasi citra, harus selalu diingat skalanya. Contoh: Lapangan
olah raga sepakbola dicirikan oleh bentuk (segi empat) dan ukuran yang tetap,
yakni sekitar (80 m–100 m).
4. Tekstur
Tekstur adalah frekuensi perubahan rona pada citra. Ada juga yang mengatakan
bahwa tekstur adalah pengulangan pada rona kelompok objek yang terlalu kecil
untuk dibedakan secara individual. Tekstur dinyatakan dengan: kasar, halus, dan
sedang.
5. Pola
Pola atau susunan keruangan merupakan ciri yang menandai bagi banyak objek
bentukan manusia dan bagi beberapa objek alamiah.
Contoh: Pola aliran sungai menandai struktur geologis. Pola aliran trelis menandai
struktur lipatan. Permukiman transmigrasi dikenali dengan pola yang teratur, yaitu
ukuran rumah dan jaraknya seragam, dan selalu menghadap ke jalan. Kebun karet,
kebun kelapa, kebun kopi mudah dibedakan dari hutan atau vegetasi lainnya
dengan polanya yang teratur, yaitu dari pola serta jarak tanamnya
6. Bayangan
Bayangan bersifat menyembunyikan detail atau objek yang berada di daerah
gelap. Meskipun demikian, bayangan juga dapat merupakan kunci pengenalan
yang penting bagi beberapa objek yang justru dengan adanya bayangan menjadi
lebih jelas.
ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
49
7. Situs
Situs adalah letak suatu objek terhadap objek lain di sekitarnya. Misalnya
permukiman pada umumnya memanjang pada pinggir beting pantai, tanggul alam
atau sepanjang tepi jalan. Juga persawahan, banyak terdapat di daerah dataran
rendah, dan sebagainya.
8. Asosiasi
Asosiasi adalah keterkaitan antara objek yang satu dengan objek yang lainnya.
Contoh: Stasiun kereta api berasosiasi dengan jalan kereta api yang jumlahnya
lebih dari satu (bercabang).
9. Konvergensi bukti
Konvergensi bukti ialah penggunaan beberapa unsur interpretasi citra sehingga
lingkupnya menjadi semakin menyempit ke arah satu kesimpulan tertentu.
F. Klasifikasi Digital
Klasifikasi digital dapat diartikan sebagai suatu cara untuk mengenali,
menentukan letak dan melakukan pengelompokan objek menjadi kelas-kelas tertentu
yang didasarkan pada nilai spektral tiap piksel. Klasifikasi multispektral adalah bahwa
tiap objek dapat dibedakan dari yang lain berdasarkan nilai spektralnya. Semakin
sempit dan banyak saluran yang digunakan, maka semakin teliti hasil klasifikasi
multispektral (Danoedoro, 1996). Klasifikasi digital dapat dibedakan atas dua jenis
yaitu:
1. Klasifikasi terkontrol atau klasifikasi beracuan atau supervised classification.
2. Klasifikasi tidak terkontrol atau klasifikasi tidak beracuan atau unsupervised
classification.
Pada klasifikasi terkontrol ada tiga algoritma klasifikasi yang sering digunakan
yaitu: klasifikasi berdasarkan jarak terdekat terhadap rerata (minimum distance),
kalsifikasi peralellepiped dan klasifikasi maximum likelihood. Klasifikasi tidak
terkontrol ada tiga algoritma yang bisa digunakan yaitu: jarak minimum ke pusat gugus
(minimum distance to cluster center), penggugusan statistik (statistical clustering),
dan algoritma campuran (hybrid algorithm) (Lillesand dan Kiefer, 2004). .
Klasifikasi terkontrol dengan algoritma maximum likelihood, mengevaluasi
secara kuantitatif baik varian maupun kovarian antar saluran untuk klasifikasi piksel
ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
50
yang belum diketahui. Pelaksanaan klasifikasi dimulai dengan asumsi bahwa
persebaran pikselnya mengikuti kurva normal (Gaussian), maka persebaran pola
respon spektralnya dapat dilukiskan berdasarkan vektor rata-rata dan matriks kovarian,
yang selanjutnya dapat dihitung kemungkinan pengelompokan secara statistik, untuk
menentukan kelas tertentu (Lillesand dan Kiefer, 2004).
Persamaan yang dipakai dalam klasifikasi terkontrol dengan algoritma maximum
likelihood, untuk memutuskan vektor ukuran ke dalam kelas c jika, dan hanya jika,
(Jensen, 1996).
𝑃𝑐 ≥ 𝑃𝑖 dimana i = 1, 2, 3,...., m kelas yang mungkin dan
𝑃𝑐 = {− 0.5 𝑙𝑜𝑔𝑐[det (𝑉𝑐)]} − [0.5(X − M𝑐)𝑇V𝑐
−1 (X − Mc)] (I.16)
Dalam hal ini,
det (𝑉𝑐) : determinan matriks kovarian Vc
Mc : vektor rerata sampel kelas c
X : vektor piksel yang terklasifikasi
Melalui persamaan I.16 suatu piksel akan dimasukan sebagai kelas c apabila
nilai Pc untuk kelas c adalah yang terendah. Algoritma ini dapat berfungsi dengan baik
jika bentuk histogram setiap saluran yang dilibatkan dalam proses klasifikasi
terdistribusi secara normal, karena mempertimbangkan paling banyak statistik jika
dibandingkan dengan algoritma lainnya.
G. Penentuan training area
Proses penentuan training area dilakukan dengan cara memilih suatu lokasi,
yang memiliki penutup/penggunaan lahan sesuai dengan klas yang diinginkan.
Penentuan training area bisa dilakukan dengan bantuan peta, foto udara ataupun
menggunakan data lapangan.
Kriteria sampel adalah yang diambil bersifat homogen yang ditunjukkan oleh
homogenitas nilai piksel pada tiap sampel. Artinya nilai simpangan baku kelompok
piksel tiap sampel haruslah rendah untuk tiap saluran. Luasan yang homogen
pengambilan piksel murni dilakukan dengan memilih piksel di bagian tengah
kenampakan objek. Kriteria statistik juga diperlukan untuk menilai sampel. Sampel
yang baik memiliki homogenitas nilai piksel yang tinggi, yang ditunjukan oleh
ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
51
kecilnya simpangan baku, bentuk histogram dan bentuk gugusnya yang mengelompok
pada feature space (Danoedoro, 1996).
Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan mengetahui koordinat dari
masing-masing sampel. Koordinat tersebut diperoleh dengan menggunakan peta RBI
skala 1 : 50.000, dan dilakukan dengan pengecekan lapangan dengan menggunakan
GPS Garmin Navigasi 76.
H. Skema sampling dan jumlah sampel
Skema sampling disusun untuk mendeskripsikan mengenai distribusi
pengambilan piksel sampel yang akan digunakan untuk mendeteksi karakteristik
spektral citra satelit pada masing masing kelas. Distribusi piksel sampel ini sangat
penting dimaksimalkan agar sesuai dengan karakteristik kelas yang diwakilinya.
Pendefinisian skema sampling dapat menggunakan teknik berbasis statistik stratified
maupun dengan random sampling. Skema random sampling merupakan sebuah teknik
pengambilan sampel secara random langsung dari citra satelit yang ada dalam sekali
pengambilan dan tidak boleh dilakukan dua kali (Jensen, 1996). Selain skema
pengambilan sampel, jumlah sampel juga sangat berpengaruh dalam proses
asessement sebuah klasifikasi.
Pendefinisian jumlah sampel sangat dibutuhkan untuk menghitung akurasi
keseluruhan dari hasil klasifikasi yang telah dilakukan. Salah satu pendekatan yang
dapat digunakan untuk menghitung jumlah sampel yang dibutuhkan adalah dengan
teori probabilitas binomial sebagai berikut :
N =𝑍2(𝑝)(𝑞)
𝐸2 (I.17)
Dalam hal ini,
p : prosentase akurasi yang diinginkan
q : 100-p
E : error yang di ijinkan
Z : 2 (standar distribusi normal dengan derajat kepercayaan 95%)
Sebagai contoh adalah jika akurasi yang diinginkan adalah 80% dengan error
yang dijinkan adalah 10% maka perhitunganya adalah sebagai berikut :
N = (22(80)(20))/(102)
= 64 jumlah sampel minimum
ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
52
Dari contoh di atas dapat dicermati bahwa jumlah sampel minimum yang harus
diambil untuk memenuhi kebutuhan akurasi 80% dengan toleransi kesalahan 10%
adalah sebanyak 64 sampel.
I. Uji ketelitian klasifikasi
Hasil kalsifikasi citra secara digital memiliki tingkat ketelitian (akurasi) tertentu,
yang dapat diukur secara kuantitaf. Uji ketelitian yang telah dikembangkan
diantaranya uji ketelitian dengan menggunakan metode Khat and Short.
Penelitian ini menggunakan uji ketelitian kalsifikasi dengan metode Short.
Metode Short menggunakan himpunan data yang independen sehingga secara logis
lebih dapat diterima kebenarannya. Sebagai himpunan data independen, foto udara,
peta yang sudah ada ataupun data lapangan dapat digunakan. Kemudian, peta hasil
klasifikasi multispektral ditumpang susunkan di atas rujukan dan perbandingan
dilakukan piksel demi piksel. Tabel perhitungan matrik konfusi merupakan derivasi
dari penjumlahan omisi, komisi, dan keseluruhan ketelitian pemetaan. Short (1982)
omisi adalah jumlah kesalahan interpretasi dari objek X dibagi jumlah seluruh objek
yang diinterpretasi. Komisi adalah jumlah objek lain yang diinterpretasikan sebagai
objek X dibagi jumlah seluruh objek yang diinterpretasi, sedangkan ketelitian
pemetaan adalah jumlah objek X yang diinterpretasi benar dibagi jumlah objek X yang
diinterpretasi benar ditambah jumlah omisi dan komisi.
Tabel kesalahan dan perhitungan akurasi klasifikasi pada Tabel I.5.
mempertimbangkan dua sisi yaitu sisi penghasil peta (producers accuracy) dan sisi
pengguna peta (users accuracy).
Algoritma hitungan statistik uji ketelitian Short dan Robinson (1998):
MA = Kelas X𝑐𝑜𝑟𝑟𝑒𝑐𝑡
Piksel Kelas X𝑐𝑜𝑟𝑟𝑒𝑐𝑡+Piksel Kelas X𝑜𝑚𝑖𝑠𝑠𝑖𝑜n+ Piksel Kelas X𝑐𝑜𝑚𝑚𝑖𝑠𝑠𝑖𝑜𝑛 (I.18)
Ketelitian klasifikasi = Piksel Kelas Xcorrect+Piksel Kelas Xomission+ Piksel Kelas Xcommission
Total Piksel (I.19)
Dalam hal ini,
MA : mapping accuracy
A, B, C, D, E : merupakan kelas-kelas hasil klasifikasi
ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
53
Tabel I.6. Contoh Kesalahan dan Akurasi Klasifikasi
Data Acuan (data independen) Total
Baris
Producers accuracy Users accuracy
A B C D E Akurasi Omisi Akurasi Komisi
Has
il K
lasi
fik
asi
A 70 5 0 13 0 88 70/73 = 96 % 4 % 70/88 = 80 % 20 %
B 3 55 0 0 0 58 55/60 = 92 % 8 % 55/58 = 95% 5 %
C 0 0 99 9 9 117 99/103 = 96 % 4 % 99/117 = 85 % 15 %
D 0 0 4 37 0 41 37/59 = 63 % 37 % 37/41 = 90 % 10 %
E 0 0 0 0 121 121 121/130 = 93 % 7 % 121/121 = 100 % 0 %
Total Kolom 73 60 103 59 130 425
Berdasarkan Tabel I.5. dapat dihitung besaran akurasi keseluruhan data, yang
merupakan hasil bagi antara piksel-piksel yang terklasifikasi secara tepat (pada posisi
diagonal, A sampai dengan E) dengan total piksel sebanyak 425. Dengan demikian
akurasi keseluruhan = 382/425 = 89,88%. Sedangkan perhitungan akurasi untuk setiap
kelas bisa berbeda tergantung pada sudut pandang penghasil peta (producer accuracy)
atau pengguna peta (user accuracy). Berdasarkan Tabel I.3 didapat akurasi kelas A
dari sudut pandang pengghasil peta sebesar 96% dan pengguna peta 80%.
Pengukuran akurasi dalam bentuk akurasi keseluruhan, akurasi penghasil dan
akurasi pengguna hanya didasari oleh nilai-nilai pada diagonal utama, kolom dan baris
saja. Tso dan Mather (2009) memandang bahwa hal itu belum benar-benar bertumpu
pada isi informasi di dalam matriks kesalahan yang ada secara keseluruhan. Untuk
memperbaiki penilaian ini, pengukuran akurasi dalam bentuk indeks multivariat yang
bertumpu pada penelitian Cohen (1960), dalam Tso dan Mather, 2009) dikembangkan
dan disebut dengan Kappa.
𝐾𝑎𝑝𝑝𝑎 =𝑁∑ 𝑥𝑖𝑖𝑟
𝑖=1 −∑ (𝑥𝑖∆∗𝑥𝑖∇)𝑟𝑖=1
𝑁2∑ (𝑥𝑖∆∗𝑥𝑖∇)𝑟𝑖=1
+⋯ (I.20)
Dalam hal ini,
r : jumlah baris di dalam matrik error
xii : jumlah observasi pada baris i dan kolom i (diagonal utama)
𝑥𝑖∆ : total observasi di baris i
𝑥𝑖∇ : total observasi di kolom i
N : total jumlah observasi di kolom yang diikutkan
ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
54
Dari Tabel I.5. dapat dihitung nilai Kappa sebagai berikut:
N = 425
𝑁∑ 𝑥𝑖𝑖𝑟𝑖=1 = (70 + 55 + 99 + 37 + 121) = 382
∑ (𝑥𝑖∆ ∗ 𝑥𝑖∇)𝑟𝑖=1 = (88 ∗ 73) + (58 ∗ 60) + (117 ∗ 103) + (41 ∗ 59) + (121 ∗ 130)
= 40104
Kappa = (425(382) – 40104) / ((425)2 – 40104) = 0,8699
Kappa = 86,99%
Contoh diatas menunjukan bahwa akurasi akhir dari hasil klasifikasi yang telah
dilakukan adalah sebesar 86,99%. Ada perbedaan pada overal akurasi matrik error
89,88 % dengan Kappa 86,99%. Perbedaan ini dikarenakan adanya penggunaan omisi
dan komisi error pada overal akurasi matrik error sedangkan Kappa melengkapinya
dengan menggunakan analisis mutivariat diagonal utama.
ANALISIS KESESUAIAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA JAYAPURA TAHUN2007-2027 TERHADAP GEOLOGI TATA LINGKUNGANEKO INDRIANTOUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/