bab i pendahuluan -...

14
1 BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Institusi militer merupakan institusi unik karena peran dan posisinya yang khas dalam struktur kenegaraan. Sebagai tulang punggung pertahanan negara, institusi militer dituntut untuk dapat menjamin disiplin dan kesiapan prajuritnya dalam menghadapi segala bentuk ancaman terhadap keamanan dan keselamatan negara. Walaupun sebagai warga Negara Republik Indonesia Tentara bukan merupakan kelas tersendiri, karena tiap anggota Tentara adalah juga sebagai anggota masyarakat biasa, tapi karena adanya beban kewajiban Angkatan Bersenjata sebagai inti dalam pembelaan dan pertahanan negara, maka diperlukan suatu pemeliharaan ketertiban yang lebih/berdisiplin dalam organisasinya, sehingga seolah-olah merupakan kelompok tersendiri untuk mencapai/melaksanakan tujuan tugasnya yang pokok, untuk itu diperlukan suatu hukum yang khusus dan Peradilan yang tersendiri yang terpisah dari Peradilan umum. Kekhususan itu ialah, bahwa masyarakat Tentara itu adalah pengkhususan daripada masyarakat umum 1 . Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 merumuskan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib 1 Bimo Adi. Artikel “MENUJU PURIFIKASI DAN INDEPENDENSI PERADILAN MILITER”. Selasa 24 Agustus 2010.

Upload: truongdieu

Post on 06-Mar-2019

234 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8322/2/T1_312008057_BAB I.pdf · Bersenjata sebagai inti dalam pembelaan dan pertahanan negara,

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Alasan Pemilihan Judul

Institusi militer merupakan institusi unik karena peran dan posisinya yang

khas dalam struktur kenegaraan. Sebagai tulang punggung pertahanan negara,

institusi militer dituntut untuk dapat menjamin disiplin dan kesiapan prajuritnya

dalam menghadapi segala bentuk ancaman terhadap keamanan dan keselamatan

negara. Walaupun sebagai warga Negara Republik Indonesia Tentara bukan

merupakan kelas tersendiri, karena tiap anggota Tentara adalah juga sebagai

anggota masyarakat biasa, tapi karena adanya beban kewajiban Angkatan

Bersenjata sebagai inti dalam pembelaan dan pertahanan negara, maka diperlukan

suatu pemeliharaan ketertiban yang lebih/berdisiplin dalam organisasinya,

sehingga seolah-olah merupakan kelompok tersendiri untuk

mencapai/melaksanakan tujuan tugasnya yang pokok, untuk itu diperlukan suatu

hukum yang khusus dan Peradilan yang tersendiri yang terpisah dari Peradilan

umum. Kekhususan itu ialah, bahwa masyarakat Tentara itu adalah pengkhususan

daripada masyarakat umum1.

Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 merumuskan bahwa segala warga negara

bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib

1 Bimo Adi. Artikel “MENUJU PURIFIKASI DAN INDEPENDENSI PERADILAN MILITER”. Selasa

24 Agustus 2010.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8322/2/T1_312008057_BAB I.pdf · Bersenjata sebagai inti dalam pembelaan dan pertahanan negara,

2

menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Dengan

demikian sebenarnya baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam

menjalankan pemerintahan tidak boleh ada warga negara yang mempunyai

keistimewaan, termasuk dalam masalah peradilan, semua warga Negara harus

tunduk dan patuh kepada keputusan hukum dan diperlakukan sama apabila salah

seorang warga negara tersangkut perkara hukum. Pengadilan harus bisa

menjalankan dan mengayomi para pihak yang berpekara di pengadilan.2

Kekuasaan kehakiman di Indonesia mengenal lima macam jenis peradilan,

yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha negara, peradilan

militer dan mahkamah konstitusi, masing-masing peradilan mempunyai obyek

dan subyek yang berbeda dan kekhususan tersendiri. Kompetensi peradilan

umum, khususnya dalam perkara pidana akan diproses melalui sistem peradilan

pidana yang dimulai dari proses penyidikan, penuntutan, pengadilan dan lembaga

pemasyarakatan. Dalam perkara pidana terdakwa berasal dari kalangan rakyat

sipil (di dalamnya termasuk terdakwa yang berasal dari Polri) atau bisa dari

kalangan rakyat sipil dan kalangan militer (perkara koneksitas). Sedangkan

perkara pidana yang terdakwanya berasal dari kalangan militer dengan jenis

pelanggaran terhadap hukum pidana umum atau hukum pidana militer diproses

melalui mekanisme sistem peradilan pidana militer dengan sub sistem Ankum,

papera, Polisi Militer, Oditur Militer, Hakim Militer dan Petugas Pemasyarakatan

Militer3.

2 Edi Setiadi, Sebuah Makalah Pengantar, Artikel, Bandung: 23 Desember 2006.

3 Ibid.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8322/2/T1_312008057_BAB I.pdf · Bersenjata sebagai inti dalam pembelaan dan pertahanan negara,

3

Hampir semua institusi militer di seluruh negara memiliki mekanisme

peradilan khusus yang dikenal sebagai peradilan militer. Dasar hukum pengadilan

militer di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang

Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang diperbarui oleh

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 perubahan atas Undang-Undang Nomor

35 Tahun 1999 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 dan

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Menurut

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997, peradilan militer merupakan pelaksana

kekuasaan kehakiman di lingkungan angkatan bersenjata untuk menegakkan

hukum dan keadilan dengan memperhatikan kepentingan penyelenggaraan

pertahanan keamanan negara.

Hukum Pidana Militer adalah bagian dari hukum positif, yang berlaku bagi

justisiabel peradilan militer, yang menentukan dasar-dasar dan peraturan-

peraturan tentang tindakan-tindakan yang merupakan larangan dan keharusan

serta terhadap pelanggaranya diancam dengan pidana, yang menentukan dalam

hal apa dan bilamana pelanggar dapat dipertanggung jawabkan atas tindakannya

dan menentukan juga cara penuntutan, penjatuhan pidana dan pelaksanaan pidana,

demi tercapainya ketertiban hukum. Hukum pidana militer memuat peraturan-

peraturan yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang telah diatur di dalam

Hukum Pidana Umum dan hanya berlaku bagi golongan khusus (militer) atau

orang-orang karena peraturan perundang-undangan ditundukan padanya.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8322/2/T1_312008057_BAB I.pdf · Bersenjata sebagai inti dalam pembelaan dan pertahanan negara,

4

Dengan adanya Hukum Pidana Militer bukan berarti Hukum Pidana Umum

tidak berlaku bagi militer, tetapi bagi militer berlaku baik Hukum Pidana Umum

maupun Hukum Pidana Militer4. Berdasarkan UU No.31 Tahun 1997, apapun

bentuk tindak pidana yang dilakukan maka mereka akan diadili di peradilan

militer. Kalaupun ada unsur tindak pidana umum di dalamnya, atau tindak pidana

tersebut dilakukan bersama-sama dengan warga sipil, maka harus digunakan

hukum acara koneksitas.

Dengan diberlakukan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang

Tentara Nasinal Indonesia, maka akan muncul dualisme peradilan bagi anggota

TNI sebagaimana dalam Pasal 65 yang menyatakan :

(1) Prajurit Siswa tunduk pada ketentuan hukum yang berlaku bagi Prajurit;

(2) Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal

pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan

umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur undang-

undang;

(3) Apabila kekuasaan peradilan umum sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) tidak berfungsi, maka prajurit tunduk di bawah kekuasaan yang

diatur dengan undang-undang.

Terlihat pada ayat (2) mengandung norma yang bersifat dualisme, di satu sisi

“Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran

hukum pidana militer”, namun disisi lain juga “tunduk pada kekuasaan peradilan

umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dalam undang-

undang”. sedangkan pada ayat (3) rumusan normanya juga terkesan bersifat

pengandaian, bahwa apabila kekuasaan peradilan umum tidak berfungsi, maka

4 E.Y. Kanter, S.R. Sianturi, 1981.Hukum Pidana Militer di Indonesia. Jakarta : Alumni. Hal 15.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8322/2/T1_312008057_BAB I.pdf · Bersenjata sebagai inti dalam pembelaan dan pertahanan negara,

5

prajurit tetap tunduk di bawah kekuasaan peradilan yang diatur dengan undang-

undang5.

Penulisan tentang peradilan militer ini pernah dibahas sebelumnya oleh

beberapa mahasiswa Fakultas Hukum tetapi dengan berbagai perbedaan. Berikut

ini perbandingan skripsi penulis dengan skripsi penulis yang lain.

No Perbandingan

skripsi

Penulis Hagen Bayu Prasojo Adi

1 Judul ”Pertimbangan

Hakim Peradilan

Militer dalam

Menjatuhkan

Putusan terhadap

anggota TNI

(studi kasus

perkara No :

PUT/18-K/PMT

III/AD/VII/2008)”

“Pemidanaan

terhadap anggota

Tentara Nasional

Indonesia yang

melakukan desersi

menurut hukum

pidana militer”

“Tindak Pidana

Penganiayaan yang

dilakukan oleh Anggota

Tentara Nasional

Indonesia dan Proses

Penanganannya oleh

pusat Polisi Militer”

2 Lokasi Surabaya Semarang DKI Jakarta

3 Peraturan

perundang-

undangan

Undang-undang

No.31 Tahun 1997,

KUHPM, Undang-

undang No.34

Tahun 2004 dan

putusan peradilan

mititer tinggi.

Undang-undang

No.31 Tahun 1997,

KUHPM

Undang-undang No.31

Tahun 1997, KUHPM

4 Objek Analisis Putusan Analisis putusan Proses penanganan

5 Bestur Lubis, Konsekuensi Yuridis dan Teknis ditetapkannya Peradilan Umum bagi

Anggota TNI, Tesis, Universitas Tanjungpura, Pontianak, 2009. Hal 3.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8322/2/T1_312008057_BAB I.pdf · Bersenjata sebagai inti dalam pembelaan dan pertahanan negara,

6

hakim peradilan

militer.

majelis hakim PUSPOMAD DKI

terhadap kasus

penganiayaan

5 Permasalahan Perdilan umum

bagi anggota TNI,

unsur tentang

penjatuhan putusan

bebas,

Faktor alasan

desersi, faktor unsur

tindak pidana, faktor

lamanya masa

desersi

Penanganan yang

dilakukan PUSPOMAD

DKI, dan faktor penyebab

tindak pidana

penganiayaan

6 Unit amatan Surat putusan

Peradilan Militer

Tinggi.

Hakim militer dan

berkas putusan

perkara desersi

Kasus-kasus tindak

pidana penganiayaan

yang dilakukan anggota

TNI

7 Unit analisis Pertimbangan

hakim peradilan

militer.

Pertimbangan hakim

Pengadilan militer

Penanganan

PUSPOMAD DKI

terhadap kasus-kasus

penganiayaan.

Berdasarkan surat putusan No : PUT/18-K/PMT III/AD/VII/2008,

Majelis Hakim memberikan putusan bebas terhadap Terdakwa yang di dakwa

oleh Oditur Militer melakukan tindak pidana sesuai pasal 372 KUHP, apa yang

menjadi dasar pertimbangan Hakim memberikan putusan tersebut. Selain itu

Penulis juga ingin membahas tentang kompetensi peradilan militer dalam

menangani perkara.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8322/2/T1_312008057_BAB I.pdf · Bersenjata sebagai inti dalam pembelaan dan pertahanan negara,

7

Atas dasar perbandingan tersebut menjadi dasar penulis untuk melakukan

rangkaian penelitian secara sistematis dan konsisten dengan mengangkat

permasalahan melalui judul ”Pertimbangan Hakim Peradilan Militer dalam

Menjatuhkan Putusan terhadap anggota TNI (studi kasus perkara No :

PUT/18-K/PMT III/AD/VII/2008)”pada skripsi ini.

B. Latar Belakang Masalah

Peradilan Militer baru dibentuk setelah dikeluarkannya Undang-undang

Nomor 7 Tahun 1946 tentang Peraturan mengadakan Pengadilan Tentara

disamping pengadilan biasa, pada tanggal 8 Juni 1946, kurang lebih 8 bulan

setelah lahirnya Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Dalam masa

kekosongan hukum ini, diterapkan hukum disiplin militer dan bersamaan dengan

ini pula dikeluarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1946 tentang Hukum Acara

Pidana guna peradilan Tentara6. Pada tahun 1997 diundangkan UU No. 31 tahun

1997 tentang peradilan militer. Undang-undang ini lahir sebagai jawaban atas

perlunya pembaruan aturan peradilan militer. Undang-undang ini kemudian

mengatur susunan peradilan militer yang terdiri dari.

1. Pengadilan Militer.

2. Pengadilan Militer Tinggi.

3. Pengadilan Militer Utama.

4. Pengadilan Militer Pertempuran.

6 Law Comunity, Sejarah peradilan militer di Indonesia, Makalah disampaikan.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8322/2/T1_312008057_BAB I.pdf · Bersenjata sebagai inti dalam pembelaan dan pertahanan negara,

8

Dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang ketentuan pokok

kekuasaaan kehakiman ditetapkan bahwa salah satu penyelenggaraan kekuasaan

kehakiman dilakukan oleh pengadilan lingkungan militer. Keberadaan peradilan

militer tersebut didasari oleh Undang-Undang Nomor 3 tahun 2002 tentang

pertahanan negara Republik Indonesia yang menentukan bahwa angkatan

bersenjata mempunyai peradilan tersendiri dan komandan-komandan memiliki

wewenang penyerahan perkara tersebut.

Pemidanaan bagi seorang militer, pada dasarnya lebih merupakan suatu

tindakan pendidikan atau pembinaan dari pada tindakan penjeraan atau

pembalasan, selama terpidana akan diaktifkan kembali dalam dinas militer setelah

menjalani pidana7. Berdasarkan tujuannya, sanksi pidana dan sanksi tindakan juga

betolak dari ide dasar yang berbeda. Sanksi pidana bertujuan untuk memberi

penderitaan istimewa (bijzonderlead) kepada pelanggar supaya ia merasakan

akibat perbuatannya8.

Berdasarkan surat Putusan nomor PUT/18-K/PMT III/AD/VII/2008

Terdakwa didakwa melakukan penggelapan di Puskopad (Pusat Koprasi Angkatan

Darat), puskopad merupakan koprasi milik angkatan darat Tentara Nasional

Indonesia. Adapun Terdakwa melanggar Pasal 372 KUHP yang merupakan

bagian dari tindak pidana Umum. Dalam permasalahan yang akan penulis bahas

selain dari isi surat putusan tersebut adalah apakah seorang anggota militer dapat

diadili di peradilan militer apabila melanggar tindak pidana umum. Di dalam

7 Bestur Lubis, Op cit. Hal 66.

8 Teguh Prasetyo, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, Bandung : Nusa Media. 2010. Hal 80.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8322/2/T1_312008057_BAB I.pdf · Bersenjata sebagai inti dalam pembelaan dan pertahanan negara,

9

Pasal 65 ayat (2) menjadikan dualisme peradilan bagi anggota militer, disamping

militer harus tunduk pada peradilan militer, militer juga harus tunduk pada

peradilan umum dalam hal tindak pidana umum. Menurut Pasal 198 Undang-

Undang No. 31 Tahun 1997, tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh

mereka yang termasuk lingkup peradilan militer dan lingkup peradilan umum,

diperiksa dan diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali

apabila menurut keputusan Menteri dengan Persetujuan Menteri Kehakiman

perkara ini harus diperiksa dan diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan

peradilan militer.

Selain itu dalam Dakwaan Oditur Militer Tinggi memberikan dua alternatif

dakwaan. Dakwaan Alternatif Pertama didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) UU

Nomor 31 Tahun 1999 Jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi Jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan tindak Pidana Korupsi. Alternatif kedua Pasal 3 UU Nomor 31

Tahun 1999 Jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi Jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi. Unsur apakah yang mendasari Oditur Militer memberikan Dakwaan

tersebut terhadap Terdakwa, sedangkan tidak ada unsur merugikan keuangan

negara yang dilakukan oleh Terdakwa pada kasus atau permasalahan ini.

Dengan demikian seluruh Dakwaan Oditur Militer yang telah mendasarkan

pada hasil penyidikan dari Tim penyidik tentang dakwaan alternatif pertama harus

Page 10: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8322/2/T1_312008057_BAB I.pdf · Bersenjata sebagai inti dalam pembelaan dan pertahanan negara,

10

Ditolak dan dinyatakan Batal Demi Hukum. Di dalam eksepsi yang diajukan oleh

penasihat hukum Terdakwa bahwa perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa

bukan merupakan Hukum pidana tetapi hanya merupakan perbuatan dalam

hubungan hukum keperdataan. Dalam ketentuan Pasal 34 Undang-Undang No. 25

Tahun 1992 tentang koperasi menyatakan “pengurus, baik bersama-sama, maupun

sendiri-sendiri menanggung kerugian yang diderita koperasi, karena tindakan

yang dilakukan dengan kesengajaan atau kelalaian”.

Berdasarkan Pasal 189 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1997 menyatakan

“Apabila Pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan disidang

kesalahan Terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti

secara sah dan meyakinkan, Terdakwa diputus bebas9. Dalam Hukum Pidana juga

dikenal suatu azas “IN DUBIO PRO REO” yang menyatakan bahwa “apabila

terdapat cukup alasan untuk meragukan kesalahan Terdakwa, maka Hakim harus

memberikan keputusan yang menguntungkan terdakwa untuk menghindari

penanganan perkara yang subyektif dimana kebanyakan perkara pidana sarat

dengan berbagai pengaruh, kepentingan dan intervensi. Asas-asas dan ajaran-

ajaran umum yang tidak ditentukan dalam KUHP tetapi berlaku pada Hukum

Pidana Umum, berlaku juga bagi Hukum Pidana Militer10

. Oleh karenanya sesuai

azas hukum yang menyatakan “lebih baik membebaskan seribu orang yang

bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah” dapat diterapkan

secara total obyektif kepada diri Terdakwa di dalam Persidangan ini.

9 Sinar Grafika. 2004. Himpunan Undang-undang Peradilan. Jakarta : Sinar Grafika. Hal 157.

10 Said Sissa Hadi, dan Teguh Prasetyo. HUKUM PIDANA MILITER DI INDONESIA.

Yogyakarta : Mitra Prasaja Offset. 2002 Hal 23.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8322/2/T1_312008057_BAB I.pdf · Bersenjata sebagai inti dalam pembelaan dan pertahanan negara,

11

Majelis Hakim berpendapat bahwa ternyata hasil audit yang dibuat oleh Tim

Audit dengan kalkulasi biaya berdasarkan kuitansi pembayaran yang terlampir

dalam surat dakwaan Oditur Militer Tinggi tidak bersesuaian, dengan demikian

pula hasil penghitungan kalkulasi kerugian yang dibuat oleh Tim Audit tidak

dapat dijadikan dasar penghitungan laba rugi, karena tidak bersesuaian dengan

bukti-bukti pembayaran yang telampir dalam surat Dakwaan Oditur Militer

Tinggi. Selain itu berdasarkan fakta-fakta dalam surat putusan Nomor PUT/18-

K/PMT-III/AD/VII/2008, Majelis Hakim berpendapat uang sebesar Rp.

15.000.000,- (lima belas juta rupiah) dari hasil keuntungan EMKL Puskopaddam

XVII/Cendrawasih yang dipinjam secara pribadi oleh Terdakwa menjadi

tanggungjawab pribadi Terdakwa dengan pihak koperasi Puskopaddam

XVII/Cendarawasih dan bukan merupakan unsur pidana, melainkan lebih ke

unsur perdata. Karena unsur kepemilikan / siapa pemilik persis belum jelas, dan

masih merupakan kewenangan pada Hakim Perdata dalam lingkungan Peradilan

Umum dan bukan kewenangan Hakim Peradilan Militer. Penulis akan

memberikan analisis lebih lanjut berdasarkan permasalahan diatas.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8322/2/T1_312008057_BAB I.pdf · Bersenjata sebagai inti dalam pembelaan dan pertahanan negara,

12

C. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam skripsi ini secara khusus Permasalahan yang ingin

di bahas dalam skripsi adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah kompetensi Peradilan Militer dalam menangani perkara

tindak pidana umum ?

2. Apakah sudah tepat pertimbangan Hakim Peradlan Militer berdasarkan

surat putusan Nomor : PUT/18-K/PMT-III/AD/VII/2008 ?

D. Tujuan Penelitian

1. Menganalisis dan mengetahui kompetensi Peradilan Militer dalam

menangani perkara tindak pidana umum.

2. Menganalisis ketepatan pertimbangan Hakim Peradilan Militer

berdasarkan surat Putusan Nomor : PUT/18-K/PMT-

III/AD/VII/2008.

E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis : Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan

konsep-konsep dan asas-asas hukum tindak pidana militer dan proses

peradilannya, sehingga dapat menambah pengetahuan.

2. Manfaat Praktisi : Dari penelitian ini dapat memahami tentang

pertimbangan Hakim Peradilan Militer, dan apa saja yang menjadi dasar

pertimbangan Hakim dalam memberikan putusan terhadap Anggota

TNI.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8322/2/T1_312008057_BAB I.pdf · Bersenjata sebagai inti dalam pembelaan dan pertahanan negara,

13

F. Metode Penelitian

1. Jenis penelitian :

Jenis penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif. Penelitian

hukum normatif merupakan suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan

kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya11

. Dalam hal

ini berkaitan dengan putusan hakim Peradilan Militer yang memutus bebas

terdakwa anggota TNI yang didakwa melakukan tindak pidana penggelapan.

2. Pendekatan masalah :

Pendekatan menggunakan pendekatan kasus dan juga melalui pendekatan

undang-undang12

.

3. Pengumpulan bahan Hukum :

a. Bahan Hukum primer :

Bahan hukum yang penulis buat merupakan bahan hukum dari undang-

undang yang berkaitan dengan permasalahan ini, diantaranya adalah :

1. UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

2. Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer.

3. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Militer.

4. Undang-undang No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.

5. Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

6. putusan Peradilan Militer Tinggi III Surabaya.

11

Johny ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Malang : Banyu Media, 2011, hal 57.

12 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan

Singkat, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1994, hal 32.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8322/2/T1_312008057_BAB I.pdf · Bersenjata sebagai inti dalam pembelaan dan pertahanan negara,

14

b. Bahan Hukum Sekunder :

bahan hukum sekunder menggunakan kepustakaan berupa buku, majalah,

hasil penelitian, makalah dalam seminar, dan jurnal yang berkaitan dengan

penelitian ini.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier diambil dari kamus hukum dan ensiklopedia.

4. Unit Amatan :

Dengan mengacu pada surat putusan Nomor : PUT/18-K/PMT-

III/AD/VII/2008. Dan undang-undang yang berkaitan dengan permasalahan.

5. Unit Analisis

Tentang pertimbangan Hakim Peradilan Militer dalam memberikan putusan

terhadap anggota TNI yang melakukan tindak pidana dengan melihat fakta-fakta

yang terjadi dalam persidangan.