bab ii 2

Upload: early-cious

Post on 12-Jul-2015

151 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Geriatri Geriatri adalah orang usia lanjut yang disertai dengan berbagai penyakit kronik. Istilah geriatri adalah cabang ilmu kedokteran yang secara khusus berfokus pada penyediaan pelayanan kesehatan bagi usia lanjut. Tujuan layanan geriatri adalah untuk mencegah penyakit dan kecacatan yang ditimbulkan oleh suatu penyakit pada usia lanjut (10). Pasien geriatri adalah penderita dengan usia 60 tahun keatas, memiliki karakteristik khusus antara lain menderita beberapa penyakit akibat ganguan fungsi jasmani dan rohani, dan sering disertai masalah psikososial.

Semuanya akan menyebabkan kemunduran, keterbatasan dan ketergantungan serta diberikan banyak obat-obatan yang sering berakibat merugikan. Berbeda dengan pasien usia muda, stres fisik seperti infeksi atau stres psikososial, yang relatif ringan, pada usia lanjut dapat memicu timbulnya penyakit serius. Karenanya dibutuhkan perawatan khusus yang bermutu tinggi untuk pengelolaan pasien geriatri (10). Sejak tahun 1995 di Indonesia ditetapkan bahwa kriteria usia lanjut adalah 60 tahun atau lebih (11). Penderita geriatri pada hakikatnya adalah warga usia lanjut juga, namun karena karakteristiknya maka perlu dibedakan dari mereka yang sekedar berusia lanjut namun sehat. Karakteristik penderita geriatri yang pertama adalah multipatologi, yaitu pada satu penderita terdapat lebih dari satu 6

7 penyakit yang umumnya penyakit bersifat kronik degeneratif. Kedua adalah menurunnya daya cadangan faali yang menyebabkan penderita geriatri amat mudah jatuh dalam kondisi gagal pulih (failure to thrive). Karakteristik kedua terjadi akibat penurunan fungsi berbagai organ atau sistem organ yang walaupun normal untuk usianya namun menandakan menipisnya daya cadangan faali tadi. Ketiga, yaitu berubahnya gejala dan tanda penyakit dari yang klasik, misalnya pada pneumonia tidak akan dijumpai gejala khas seperti batuk, demam, dan sesak melainkan jatuh atau terdapat perubahan kesadaran. Keempat adalah

terganggunya status fungsional penderita geriatri. Status fungsional adalah kemampuan seseorang untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari. Keadaan status fungsional menggambarkan kemampuan umum seseorang dalam

memerankan fungsinya sebagai manusia yang mandiri, sekaligus menggambarkan kondisi kesehatannya secara umum. Kelima adalah kerapnya terdapat gangguan nutrisi, berupa gizi kurang atau gizi buruk (1). B. Depresi Depresi adalah suasana hati (afek) yang sedih atau kehilangan minat atau kesenangan dalam semua aktifitas selama sekurang-kurangnya dua minggu yang disertai dengan beberapa gejala yang berhubungan, seperti kehilangan berat badan dan kesulitan berkonsentrasi. Definisi lain menyebutkan depresi adalah suatu penurunan mood yang ditandai dengan kemurungan, kelesuan, kesedihan, perasaan putus asa, perasaan tidak berguna dan ketiadaan gairah hidup (12). Depresi telah lama dikenal, sejak zaman Hippocrates, yang

menyebutkannya melancholi. Gejala-gejala depresi yang dikemukakan sejak

8 zaman Hippocrates sampai sekarang tidak atau sedikit sekali perubahan dari gambaran klinisnya. Sering kali yang menonjol adalah gejala somatiknya, misalnya sakit kepala (13). Depresi merupakan gangguan mental yang sering dijumpai. Setiap tahunnya WHO mencatat 100 juta kasus depresi. Gangguan mental ini menyerang siapa saja tanpa memandang usia, ras atau golongan, maupun jenis kelamin walaupun dalam kenyataannya depresi lebih banyak mengenai perempuan daripada laki-laki dengan rasio 1 : 2 (14). Gangguan ini dapat diturunkan dalam keluarga. Jika salah seorang dari orang tua mempunyai riwayat depresi maka 27% anaknya akan menderita gangguan tersebut. Sedangkan bila kedua orang tua menderita depresi maka kemungkinannya meningkat menjadi 50 75%. Diduga gen dominan yang berperan pada depresi ini terikat kromosom 11 (15, 16). Menurut Karl Abraham manifestasi penyakit depresi dicetuskan karena kehilangan obyek libidinal yang berakhir dalam suatu proses regresi di mana terjadi penurunan fungsi ego yang telah matang ke tingkat oral sadistik dari tingkat perkembangan libidinal akibat trauma infantil yang menyebabkan proses fiksasi pada anak usia dini. Sedangkan menurut Freud, introjeksi ambivalen terhadap kehilangan objek dalam ego membawa ke suatu depresi atipikal (17). Hampir semua pasien pasien depresi (97%) mengeluh berkurangnya energi yang menyebabkan kesulitan menyelesaikan tugas sekolah dan pekerjaan, dan penurunan motivasi untuk melakukan rencana yang baru. Kira kira 80% pasien depresi mengeluh gangguan tidur, terutama bangun terlalu dini, dan sering

9 terbangun malam hari. Kebanyakan pasien depresi nafsu makannya berkurang dan kehilangan berat badan. Pada beberapa pasien, nafsu makan dapat bertambah, peningkatan berat badan, dan tidur yang bertambah. Keadaan depresi yang atipikal ini disebut disforia histeroid (17). Menurut teori psikoanalisis, depresi dapat dialami oleh individu yang mengalami fiksasi pada tahap oral. Individu ini akan mengembangkan dependensi terhadap figur tertentu (awalnya ibu), dan memiliki mekanisme pertahanan berupa introyeksi. Dengan melakukan introyeksi, berarti individu menyerap hampir seluruh nilai, sikap, dan karakteristik dari figur tempatnya bergantung. Ketika orang yang dijadikan tempat bergantung ini tidak ada lagi (pergi atau meninggal dunia), maka individu ini menjadi marah. Kemarahannya sebenarnya ditujukan kepada orang tersebut. Namun dengan dependensi dan introyeksinya, individu tidak dapat mengungkapkan kemarahannya. Rasa marah tersebut malah ditujukan ke dalam diri (intojected hostility), sehingga menghasilkan kebencian terhadap diri yang akhirnya menimbulkan rasa putus asa (18). Teori psikoanalisis menyatakan bahwa seseorang yang mengalami depresi akan menampilkan regresi ego superego. Ketika dihibur, ia akan menyadari bahwa yang dikatakan oleh orang yang menghiburnya itu benar. Sayangnya, ia akan mengalami regresi superego sehingga tidak lama kemudian ia akan kembali mengeluh, merasa bersalah, lelah, tidak berdaya, dan sebagainya (14). Para ahli psikologi perilaku (behavioral) menyatakan bahwa seseorang mengalami depresi karena kurang memperoleh penguat positif dalam hidupnya. Pandangan ini berdasarkan dari fakta bahwa depresi seringkali muncul sebagai

10 reaksi terhadap peristiwa yang menekan seperti putusnya hubungan, kematian orang yang dicintai,kehilangan pekerjaan, atau penyakit medis yang serius (18). Kondisi keuangan dan perkawinan yang buruk juga ditemukan sebagai salah satu sumber penyebab terjadi depresi (15). Tekanan-tekanan dalam hidup ini menunjukkan kurang positif reinforcers dalam kehidupan orang tersebut. Ditambah dengan kurangnya keterampilan sosial, selanjutnya orang-orang tersebut menjadi menarik diri dari lingkungan. Semakin ia menarik diri, maka semakin berkurang penguat positif yang mungkin diperolehnya. Semakin kurang penguat, maka ia pun semakin menarik diri. Demikian selanjutnya, seperti rantai yang semakin memperkuat depresinya (16, 19). Menurut teori kognitif, bukan peristiwa hidup negatif yang dapat membuat seseorang menjadi depresi. Interpretasi individu terhadap peristiwa itulah yang dapat mengarahkan seseorang menjadi depresi (20). Seseorang yang cenderung menyimpulkan peristiwa secara negatif ternyata memiliki dampak negatif yang parah dan akan lebih rentan untuk menderita depresi. Hal ini terbukti dengan tidak semua orang yang mengalami peristiwa hidup menekan akan mengalami depresi. Malah banyak di antaranya yang justru bangkit dan membuat hidupnya menjadi lebih baik (21). Secara lebih khusus, Beck menyebut persepsi negatif tersebut sebagai negative cognitive triad. Menurutnya, orang menjadi depresi karena memiliki pandangan negatif terhadap tiga hal, yakni dirinya sendiri, lingkungan, dan masa yang akan datang (16,19).

11

C. Depresi pada Geriatri Depresi pada pasien geriatri sering berkomorbid dengan penyakit lain, oleh karena itu gejala dan keluhannya sering tersamar dan bertumpang tindih dengan kondisi penyakit lain yang diderita, bahkan dengan proses penuaan normal sendiri. Hal ini akan menyulitkan diagnosis yang berakibat tidak tertanganinya depresi, sehingga dapat memperburuk prognosis, meningkatkan disabilitas dan mortalitas. Depresi pada usia lanjut seringkali lambat terdeteksi karena gambaran klinisnya tidak khas. Diperkirakan pada 60% pasien depresi ada komorbiditas dengan penyakit fisik. Burkrat dkk menyatakan bahwa lima juta dari tiga puluh juta warga Amerika di atas usia 65 tahun menderita depresi dengan komorbid penyakit fisik yang tidak terdiagnosis. Pengenalan dini terhadap adanya gangguan depresi yang berkomorbid dengan penyakit fisik pada pasien geriatri yang dirawat, merupakan salah satu upaya penanganan yang serius, karena jika tidak diobati dapat memperburuk perjalanan penyakit (2). Depresi pada pasien usia lanjut umumnya tidak memberikan gejala dan tanda yang khas dan spesifik. Seringkali depresi dan penyakit-penyakit fisik terjadi bersama-sama pada pasien usia lanjut (10). Beberapa gejala depresi yang dapat digunakan sebagai kriteria diagnosis : a. Mood depresif b. Kehilangan kesenangan dalam hampir semua aktivitas, hampir sepanjang hari c. Turun atau meningkatnya berat badan yang bermakna

12 d. Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari e. Retardasi psikomotor atau agitasi psikomotor hampir setiap hari f. Rasa lelah atau hilang energi hampir setiap hari g. Rasa tidak berguna atau rasa bersalah yang tidak sesuai hampir setiap hari h. Kurangnya kemampuan untuk berkonsentrasi hampir tiap hari i. Pikiran-pikiran hendak bunuh diri berulangD. Faktor yang Berhubungan dengan Depresi

Pada usia lanjut, manifestasi gejala depresi menjadi lebih kompleks, bukan hanya disebabkan oleh kondisi medis saja seperti pasca stroke dan kondisi hormonal seperti hipotiroid dan hipertiroid tetapi juga karena pengaruh dari obatobatan yang diminum, dukungan keluarga dan berbagai faktor yang saling mempengaruhi (7). Faktor biologis, genetik, fisik, psikologis dan sosiologis memegang peranan penting dan dapat mempermudah terjadinya depresi pada orang tua. Proses degeneratif menyebabkan perubahan pada sistem saraf pusat dan mengubah kadar neurotransmitter, terutama katekolaminergik yang sangat berperan pada manifestasi sindroma depresi geriatri. Hasil penelitian menunjukkan kemungkinan adanya peranan yang besar dari sitokin, kortisol, inflamasi, dan berbagai respons imunologi terhadap sistem saraf pusat, seperti dijumpai pada pasien geriatri yang mempunyai gangguan medis (7). Faktor biologi yang berperan adalah faktor neurotransmitter, neuroendokrin, dan neuroanatomi. Serotonin, norepinephrine, dopamine, g -asam aminobutyric (GABA), dan peptide neurotransmitters atau faktor tropik seperti otak- derifat

13 faktor neurotropik, somatostatin, dan thyroid-related hormon, mempunyai kontribusi unuk menyebabkan depresi (19). Biogenic amin, norepinefrin dan serotonin merupakan dua neurotransmitter yang paling berperan dalam patofisiologi gangguan mood. Norepinefrin, hubungan yang dinyatakan oleh penelitian ilmiah dasar antara turunnya regulasi reseptor b-adrenergik dan respon antidepresan secara klinis memungkinkan indikasi peran sistem noradrenergik dalam depresi. Bukti-bukti lainnya yang juga melibatkan presinaptik reseptor adrenergik 2 dalam depresi, sejak reseptor reseptor tersebut diaktifkan mengakibatkan penurunan jumlah norepinefrin yang dilepaskan. Presinaptik reseptor adrenergik 2 juga berlokasi di neuron serotonergik dan mengatur jumlah serotonin yang dilepaskan (13). Dengan diketahui banyaknya efek spesifik serotonin re uptake inhibitor (SSRI), contoh; fluoxetin dalam pengobatan depresi, menjadikan serotonin neurotransmitter biogenik amin yang paling sering dihubungkan dengan depresi. Walaupun norepinefrin dan serotonin adalah biogenik amin. Dopamine juga sering berhubungan dengan patofisiologi depresi. GABA dan neuroaktif peptid (terutama vasopressin dan opiate endogen) telah dilibatkan dalam patofisiologi gangguan mood (13). Pada Neuroendokrin, hypothalamus adalah pusat regulasi neuroendokrin dan menerima rangsangan neuronal yang menggunakan neurotransmitter biogenic amin. Bermacam-macam disregulasi endokrin dijumpai pada pasien gangguan mood (13). Beberapa peneliti menyatakan bahwa gangguan mood melibatkan patologik dan system limbic, ganglia basalis dan hypothalamus (17).

14 Data genetik menyatakan bahwa faktor yang signifikan dalam perkembangan gangguan mood adalah genetik. Pada penelitian terhadap gangguan depresi berat, pada anak kembar monozigot adalah 50%, sedangkan dizigot 10-25% (15, 17). Peristiwa atau kejadian dalam kehidupan yang penuh ketegangan sering mendahului episode gangguan mood. Faktor Kepribadian Premorbid, semua orang dengan ciri kepribadian manapun dapat mengalami depresi, walaupun tipe-tipe kepribadian seperti oral dependen, obsesi kompulsif, histerik mempunyai resiko yang besar mengalami depresi dibandingkan dengan lainnya (17, 18). Freud menyatakan bahwa kemarahan pasien depresi diarahkan kepada diri sendiri karena mengidentifikasikan terhadap objek yang hilang. Ia percaya bahwa introjeksi merupakan cara ego untuk melepaskan diri terhadap objek yang hilang. Pada percobaan dimana binatang secara berulang-ulang diberi kejutan listrik yang tidak dapat dihindarinya, binatang tersebut menyerah dan tidak mencoba sama sekali untuk menghindari kejutan selanjutnya. Pada penderita depresi, ditemukan hal yang sama (17, 18). Pada teori Kognitif, Beck mengidentifikasikan 3 pola kognitif utama pada depresi yang disebut triad kognitif yaitu pandangan negatif terhadap masa depan, pandangan negatif terhadap diri sendiri, individu menganggap dirinya tak

mampu, bodoh, pemalas, tidak berharga, dan pandangan negatif terhadap pengalaman hidup. Meyer berpendapat bahwa depresi adalah reaksi seseorang terhadap pengalaman hidup yang menyedihkan misalnya, kehilangan orang yang dicintai, kemunduran financial, kehilangan pekerjaan, atau penyakit fisik yang serius (18).

15 Faktor psikososial merupakan faktor predisposisi pada pasien lanjut usia untuk menjadi depresi dan hal ini sangat umum pada pasien lansia. Kehilangan kemampuan fisik akan menambah depresi karena faktor ketergantungan pada orang lain yang sangat tinggi. Hilangnya kemampuan indera pendengaran dan penglihatan akan memberikan kontribusi yang besar untuk membuat pasien usia lanjut menjadi depresi (7).E. Hubungan Depresi dengan Penyakit

Depresi adalah reaksi kejiwaan seseorang terhadap stressor yang dialaminya. Stres yang dapat menyebabkan depresi antara lain; penyakit kronis, jantung, kanker, dan lain sebagainya (12). Insidensi dari beberapa penyakit fisik spesifik yang berkaitan dengan gejala depresi, prevalensi penyakit fisik yang bersifat kronik dan frekuensi penggunaan obat-obat yang makin meningkat seiring dengan meningkatnya usia. Semua faktor-faktor tersebut akan memberikan kontribusi untuk terjadinya depresi pada lansia (7). Pada pasien Diabetes Mellitus, sebagian besar terjadinya depresi berhubungan dengan komplikasi yang biasa terjadi serta mahalnya biaya pengobatan yang harus dikeluarkan ditambah dengan pengobatan seumur hidup yang harus dijalani pasien (22). Gangguan kardiovaskuler dan susunan saraf pusaf adalah 2 penyakit yang memberikan kontribusi besar pada angka kematian dan menyebabkan gejala depresi pada orang lanjut usia. Serangan jantung atau infark miokard yang akan membuat usia harapan hidup menjadi lebih pendek dan keterbatasan fisik akan mencetuskan depresi (7). Begitu juga pada pasien keganasan seperti kanker,

16 mereka harus mengontrol tingkat tekanan emosional sambil membuat keputusankeputusan penting untuk pengobatan. Ketakutan akan kematian, ketergantungan terhadap orang lain, perubahan bentuk tubuh, ketidakmampuan melakukan aktivitas seperti biasanya dan rasa ditinggalkan (seperti juga kerusakan hubungan dengan keluarga dan pasangan, peran dalam keluarga, dan masyarakat, dan status keuangan) (12). Beberapa kondisi penyakit medis yang berasosiasi dengan gejala depresi antara lain gangguan metabolisme (dehidrasi, uremia, azotemia, gagal ginjal, gangguan asam basa, hipoksia, hiponatremia dan hipernatremia, hipoglikemi dan hiperglikemi, hipokalsemia dan hiperkalsemia), gangguan endokrin (hipotiroid dan hipertiroid, hiperparatiroid, diabetes mellitus, cushing disease, Addison disease), penyakit infeksi, kardiovaskuler (gagal jantung kongestif, infark miokard), pulmoner (PPOK, keganasan), gastrointestinal (keganasan, sindroma usus iritabel), genitourinal (inkontinensia urin), muskuloskletal (arthritis degenerative, osteoarthritis, fraktur panggul, osteoporosis, polimialgia reumatika), neurologic (dementia, Parkinson, stroke, tumor otak), lain-lain (anemia, defisiensi vitamin, gangguan hematologic, keganasan sistemik) (7).