bab ii dan model penelitian - sinta.unud.ac.id ii.pdfditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya....
TRANSCRIPT
18
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Kajian mengenai spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo
pada era globalisasi menjadi sebuah fenomena yang sangat menarik dilihat dari
perspektif kajian budaya yang bersifat kritis. Hal tersebut terjadi akibat tradisi
lisan mengenai upacara gendang kematian yang menyangkut beberapa unsur
termasuk ensambel gendang lima sendalanen mulai diabaikan, bahkan
ditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Kenyataan tersebut tidak terlepas
dari pandangan etnik Karo sendiri yang menganggap gendang lima sendalanen
sebagai warisan leluhur yang tidak bernilai dan telah ketinggalan zaman.
Penelitian ini mencoba untuk memahami berkembangnya fenomena
upacara gendang kematian pada etnik Karo dengan fokus kajian lebih diarahkan
pada tiga pokok permasalahan, yaitu (1) wujud spiritulitas upacara gendang
kematian etnik Karo pada era globalisasi, (2) faktor-faktor yang mempengaruhi
spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi, dan (3)
makna dan strategi pewarisan spiritualitas upacara gendang kematian etnik
Karo pada era globalisai. Untuk menunjukkan penelitian ini berbeda dengan
penelitian lain, maka diperlukan penelusuran bahan-bahan pustaka, baik hasil-
hasil penelitian terdahulu maupun yang berkaitan dengan bahan-bahan pustaka
buku-buku teks. Langkah-langkah yang dilakukan adalah dengan penetapan
19
pustaka-pustaka yang penjelasannya ditujukan untuk menyatakan bahwa
masalah-masalah penelitian yang dilakukan belum pernah dikerjakan oleh para
peneliti/ penulis terdahulu.
Studi yang dianggap relevan dengan penelitian ini adalah Prikuten
Tarigan dalam tesisnya berjudul “ Perubahan Alat Musik dalam Kesenian
Tradisi Karo Sumatera Utara” (2004) pada Program Kajian Budaya Program
Pascasarjana Universitas Udayana. Permasalahan yang diangkat mencakup
perubahan alat musik dalam konteks upacara muda-mudi (guro-guro aron),
perkawinan (nereh-empo), dan upacara memasuki rumah baru (mengket jabu).
Dalam penelitian itu, Prikuten menemukan realitas perubahan alat musik dan
pengaruhnya terhadap adat istiadat Karo. Teori yang digunakan adalah teori
akulturasi, sebagai proses kebudayaan yaitu terjadi ”peningkatan keserupaan”
antara dua kebudayaan dari Kroaber, teori perubahan, menunjukkan bagaimana
cara teknologi sebagai pendorong perubahan dari Velben dan Ogburn dan teori
fungsi musik tentang hubungan musik dengan perilaku masyaraktnya dari
Merriam. Penelitian ini sangat relevan sebagai acuan dalam disertasi ini karena
membahas perubahan alat musik dalam kesenian tradisi Karo yang merupakan
salah satu permasalahan yang dibahas dalam disertasi ini. Perbedaannya adalah
Tarigan seolah-olah merayakan pengaruh globalisasi dalam konteks upacara
muda-mudi (guro-guro aron), sedangkan penelitian ini menangguhkan atau
menunda makna untuk menemukan makna baru dalam konteks upacara
gendang kematian.
20
Milala Terang Malem (2008) meneliti utang dalam upacara kematian
yang diberi judul “Utang Adat Kematian dalam Adat Karo”. Penelitian ini
menguraikan nilai-nilai budaya Karo dalam utang adat kematian etnik Karo
yang tersirat dalam nama dan jenis barang yang digunakan. Misalnya, berupa
dagangen (kain kafan) yang berwarna putih untuk yang meninggal dan
keperluan hidup sehari-hari kepada keluarga yang ditinggalkan berupa beras
dan ayam. Panelitian ini memberikan kontribusi kepada peneliti terkait dengan
jenis barang yang digunakan dalam upacara gendang kematian. Di pihak lain
disertasi ini meneliti musik gendang lima sendalanen dan nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Pulumun P. Ginting (2012) meneliti tentang “Gendang Kematian dan
Kematian Gendang pada Masyarakat Karo” disampaikan pada Seminar
Pemberdayaan Masyarakat Adat: Aktualisasi Nilai-nilai Budaya Konunitas
Adat dalam Memperkokoh Identitas Lokal. 2--3 Agustus 2012 di Berastagi.
Makalah ini menunjukkan gendang kematian adalah salah satu ritual kematian
yang terdapat pada etnik Karo yang di dalamnya terdiri dari berbagai unsur
(peristiwa) yang merupakan satu kesatuan, yaitu (1) Gendang lima sendalanen
(musik), (2) landek (tari), (3) ngerana (petuah), (4) ngandung (ratapan), (5)
rende (nyanyian). Salah satu unsur yang paling penting dalam upacara gendang
kematian, gendang lima sendalanen sebagai iringan musik pada upacara
gendang kematian sebagai ”perekat” dari semua unsur upacara. Gendang lima
sendalanen digunakan sepanjang upacara tersebut dilaksanakan. Secara
21
simbolis Gendang lima sendalanen merepresentasikan spiritualitas kehidupan
etnik Karo melalui berbagai unsur-unsurnya, seperti instrumen yang digunakan,
para pemain termasuk juga prosesi ritualnya. Namun penggunaan gendang lima
sendalanen mengalami pergeseran pada instrumen yang digunakan. Jika
dahulu menggunakan instrumen tradisional seperti, sarunei (kayu), gendang
singindungi/singanaki (kulit), maupun gung/penganak (logam), digantikan oleh
teknologi elektronik organ tunggal atau keyboard. Makalah ini adalah sebagai
awal untuk penelitian disertasi ini. Persamaan penelitian dengan disertasi ini
yaitu memaknai upacara gendang kematian etnik Karo secara denotatif
sedangkan disertasi ini melihat fenomena secara konotatif.
Merriam, Alan P. (1964) dalam buku yang berjudul “The Anthropology
of Music”, mengemukakan fungsi dan penggunaan (used and function) musik,
yaitu (1) pengungkapan estetis, (2) pengungkapan emosional, (3) hiburan, (4)
perlambangan atau simbol, (5) komunikasi, (6) reaksi jasmani, (7) norma-
norma sosial, (8) pengesahan lembaga sosial, (9) kesinambungan kebudayaan,
dan (10) pengintegrasian masyarakat. Fungsi (function) dan penggunaan (use)
adalah merupakan masalah yang sangat penting dalam etnomusikologi, karena
hal ini menyangkut makna musik, tidak hanya fakta-fakta mengenai musik
tetapi lebih dari itu, ingin mengetahui implikasi musik terhadap manusia, dan
bagaimana implikasi tersebut dihasilkan. Selanjutnya Merriam mengemukakan
bahwa musik rakyat, menyampaikan pesan yang terkandung di dalam teksnya
dan musik tanpa teks juga mampu memberikan komunikasi. Menurut Merriam
22
musik bukan suatu bahasa universal yang dapat dimengerti oleh siapa saja,
karena setiap jenis musik lahir dan tumbuh pada suatu masyarakat tertentu
dengan kebudayaannya. Dalam beberapa hal, musik merupakan simbol dari
aspek kehidupan dan organisasi sosial masyarakat pendukungnya. Dari fungsi
dan kegunaan musik yang di tawarkan oleh Merriam dalam buku ini, sangat
membantu penulis untuk menelaah makna secara konotatif dan memberikan
peluang tentang strategi pewarisan upacara gendang kematian etnik Karo dari
makna yang telah tergali.
Darwan Prinst (2004) meneliti adat Karo secara umum. Buku ini
dirangkai dari hasil kongres kebudayaan Karo tahun 1995 yang diberi judul
“Adat Karo”. Darwan menguraikan panjang lebar tentang adat istiadat dan
kesenian Karo. Selain itu, berbagai perilaku budaya Karo juga dijelaskan.
Pembahasan tentang kesenian lebih pada deskripsi seni pertunjukan seperti tari
dan musik untuk kebutuhan upacara ritual. Meskipun penelitian ini lebih
difokuskan pada bidang deskripsi adat istiadat, cukup memberikan wawasan
dalam penyusunan disertasi ini. Informasi penting dalam penelitian yang
relevan dengan penyusunan disertasi ini adalah uraian mengenai berbagai jenis
upacara kematian pada masyarakat Karo.
Masri Singarimbun (1975) dalam disertasinya “Kinship, Descent, and
Alliance Among the Karo Batak” meneliti sistem kemasyarakatan dan
kekerabatan pada masyarakat Karo. Penelitian ini merupakan sumber yang
penting yang terkait dengan makna simbol dalam sistem kekerabatan
23
masyarakat Karo. Dalam buku ini Singarimbun menjelaskan keberadaan rumah
adat dalam sistem kekerabatan, aspek-aspek simbolisnya, dan penyelenggaraan
ritual-ritual. Kerangka berpikir Singarimbun dalam penelitian ini dapat
digunakan untuk menganalisis simbol yang terdapat dalam upacara gendang
kematian etnik Karo. Simbol yang terdapat dalam rumah adat yang dimaknai
berhubungan dengan sistem kekerabatan, dalam penelitian ini dijadikan acuan
untuk memaknai unsur-unsur yang terdapat dalam upacara gendang kematian
dengan sistem kekerabatan sangkep nggeluh.
Kumalo (2007) meneliti mangmang nyanyian guru (dukun) untuk
memanggil roh-roh yang sudah meninggal dunia. Tesis ini berjudul
”Mangmang: Analisis dan Perbandingan Seni Kata dan Melodi Nyanyian Ritual
Karo di Sumatra Utara.” Kumalo menjelaskan Mangmang adalah sejenis
nyanyian yang terdapat pada etnik Karo. Orang yang menyajikan mangmang
adalah bomoh. Bomoh menyajikan mangmang pada masa menjalankan upacara
ritual tertentu dengan cara bernyanyi. Terdapat dua jenis upacara ritual sebagai
konteks penyajian mangmang, yaitu erpangir ku lau (upacara ritual penyucian
diri) dan raleng tendi (upacara ritual memanggil roh manusia). Upaya
menjalankan kedua upacara ritual di atas merupakan keyakinan bagi etnik
Karo. Penelitian ini memberikan informasi bahwa etnik Karo sangat kuat terikat
dengan kesenian, khususnya musik. Hasil penelitian ini sangat membantu
dalam penyusunan disertasi ini karena di dalamnya dibahas mengenai
24
etnomusikologi dan jenis-jenis seni di luar konteks gendang kematian. Dengan
demikian, penelitian ini relevan digunakan sebagai acuan dalam disertasi ini.
Pasaribu (2004) menulis buku “Pluralitas Musik Etnik Batak Toba,
Mandailing, Melayu, Pakpak-Dairi, Angkola, Karo, Simalungun”. Buku ini
berisi karangan beberapa penulis dan masing-masing dikenal sebagai peneliti
dan pemerhati kesenian yang ada di Sumatera Utara. Pasaribu menyimpulkan
bahwa semua penelitian penulis yang menemukan musikalitas + etnisitas =
pluralitas. Dari penelitian ini dapat dikatakan bagaimana pentingnya musik
pada suatu tradisi. Penelitian ini memberikan wawasan dan informasi terkait
dengan sinkronisasi musik tradisi yang ada di Sumatera Utara. Persamaannya
dengan penelitian penulis, yaitu sama-sama meneliti musik tradisi,
kegunannya, sampai perubahannya. Perbedaannya, buku ini tidak menjelaskan
musik tradisi dan spiritualitas, sedangkan penelitian penulis meneliti
spiritualitas di balik ansambel musik yang digunakan pada upacara ritual,
khususnya upacara gendang kematian.
Achim Sibeth dalam bukunya The Batak (1991) lebih memusatkan
perhatian pada aspek historis atau sejarah Batak. Dokumentasi foto kebudayaan
masyarakat Batak Karo yang dibuat pada tahun 1910 merupakan data yang
sangat berharga bagi penelitian ini. Foto-foto yang dibuat Achim Sibeth
memberikan gambaran tentang alat musik yang digunakan dalam upacara ritual
tradisi Karo. Ini sangat berbeda dengan keadaan sekarang yang terjadi pada
upacara ritual Karo. Oleh karena itu, buku karya Achim ini sangat membantu
25
untuk melacak jejak makna instrumen musik tradisi yang ada pada masyarakat
Karo.
Brahma Putro (1999) membahas tentang “sejarah Karo dari zaman ke
zaman”. Putro meneliti perjuangan orang Karo sejak zaman kolonial hingga
kemerdekaan. Buku ini juga menggambarkan kehidupan sosial masyarakat
Karo dan Melayu ketika pemerintah kolonial Belanda masuk ke daerah Deli
Serdang, Langkat, Tanah Tinggi Karo, dan sepanjang lembah sungai Renun.
Kehidupan masyarakat Karo di tiga daerah ini memberikan informasi kepada
penulis terkait dengan upacara gendang kematian yang diteliti. Persamaan
penelitian ini dengan penelitian penulis adalah meneliti masyarakat Karo yang
ada di Tanah Tinggi Karo. Perbedaannya Putro membahas sejarah, sedangkan
penelitian penulis tentang spiritualitas upacara gendang kematian.
J.H. Neumann (1972) meneliti tentang sejarah Batak Karo dengan judul
“Sedjarah Batak Karo: Sebuah Sumbangan”. Neumann meneliti dan
menerangkan asal usul dan arah penyebaran dari kelima merga (klan) yang
terdapat pada masyarakat Karo, yaitu merga Karo-karo, merga Ginting, merga
Sembiring, merga Perangin-angin, dan merga Tarigan dengan cara
menganalisis dongeng-dongeng folklor orang Karo sendiri. Berdasarkan
penelitian ini, Neumann berkesimpulan bahwa daerah asli dari orang Karo
adalah di Dataran Tinggi Karo. Disebutkan juga bahwa Dataran Tinggi Karo,
kira-kira tiga abad yang lalu dimasuki oleh orang-orang Batak dari daerah lain,
seperti orang Batak dari daerah Pakpak di sebelah baratnya, yang menjadi
26
nenek moyang dari merga Karo-karo. Kemudian ada juga migrasi ke daerah
dataran tinggi Karo dari sebelah timur dan selatan yang menyebabkan
terjadinya merga-merga lain di Dataran Tinggi Karo. Terlepas benar atau
tidaknya pendapat Neumann di atas, akan tetapi memberikan inspirasi bagi
penelitian penulis dalam hal menggali mitos atau dongeng yang terdapat pada
gendang kematian. Relevansi penelitian ini dengan penelitian penulis adalah
berawal dari mitos. Perbedaannya adalah Neumann menguraikan merga-
merga melaui mitos, sedangkan penelitian penulis meneliti kaitan gendang
lima sedalanen dalam upacara gendang kematian dengan sistem
kemasyarakatannya dan semua unsur yang ada di dalamnya.
Masri Singarimbun (1960) meneliti perumpamaan yang ada pada
masyarakat Karo dengan judul “Seribu Perumpaman Karo”. Buku ini
membahas perumpaman tahap kehidupan bagi masyarakat Karo, yaitu
kelahiran, perkawinan, dan kematian. Dalam upacara gendang kematian
perumpaman tidak terlepas dari pelaksanaannya. Buku ini memberikan
informasi dan wawasan untuk menggali makna yang ada pada perumpaman
yang diungkapkan dalam upacara gendang kematian. Perbedaannya, penelitian
penulis tentang perumpaman dengan cara dinyanyikan dan kecenderungannya
sambil menangis/meratap.
Bob King Ginting (2010) dalam tesisnya ”Analisis Komunikasi
Transendental pada Upacara Ritual Erpangir Ku Lau di Lau Debuk-debuk,
Desa Daulu, Kecamatan Brastagi, Kabupaten Karo” membahas tentang
27
spiritualitas yang terkait dengan gendang pada upacara erpangir ku lau. Sasaran
utama tesis ini untuk mengetahui bagaimana komunikasi yang terjadi pada saat
upacara ritual erpangir ku lau, mengetahui alasan-alasan penganut kepercayaan
tradisi tersebut melaksanakan upacara erpangir ku lau, dan cara masyarakat
pendukung kepercayaan tradisi dalam melakukan hubungan komunikasi
transendental dengan roh gaib (jinujung). Berkaitan dengan penelitian ini Bob
King memberikan informasi bagi penulis terkait dengan spiritualitas upacara
ritual erpangir ku Lau pada masyarakat Karo. Relevansi penelitian ini dengan
penelitian penulis adalah dalam meneliti menggunakan metode kualitatif.
Perbedaannya adalah penelitian ini tidak sampai meneliti nilai-nilai dari materi
gendang pada upacara, sedangkan penelitian penulis menggali sampai sedalam-
dalamnya.
Arlin Dietrich Jansen (2003) dalam bukunya yang berjudul “Gondrang
Simalungun” membahas struktur dan fungsi dalam masyarakat Simalungun.
Dalam buku ini Jansen menguraikan ansambel musik gondrang, konteks
historis, dan struktur musik yang berhubungan dengan musik tersebut. Jansen
juga memperlihatkan peran dan fungsi musik gondrang pada masyarakat
Simalungun. Namun, menurut Jansen, kelangsungan tradisi musik ini pada
masa depan masih belum dapat dipastikan karena kurangnya minat dan
ketertarikan di kalangan masyarakat Simalungun. Penelitian ini memberikan
wawasan dan informasi pada penelitian penulis terkait dengan kekhawatiran
kelangsungan tradisi musik gendang lima sendalanen pada etnik Karo.
28
Persamaan penelitian ini dengan penelitian penulis adalah menguraikan peran
ensambel musik pada masyarakat. Perbedaannya adalah penelitian penulis tidak
hanya menganalisis peran ensambel, tetapi juga mencari makna yang implisit
dari materi yang menghasilkan wujud ensambel tersebut.
Sembiring (2010) mengadakan penelitian berjudul “Ambivalensi
Hubungan Terjajah dan Penjajah dalam Kristenisasi di Tanah Karo, Sumatera
Utara”. Sikap ambivalen orang Karo terhadap Kristenisasi yang beriringan
dengan kolonialisasi, menurut penelitian Sembiring, tidak serta merta terjadi
sejak awal perjumpaan antara kedua belah pihak. Bermula dari rasa terancam,
orang Karo memiliki sikap curiga terhadap segala kebaikan hati yang
ditawarkan pihak zending. Akan tetapi, setelah melalui proses historis yang
tidak mudah, terjadi sejumlah negosiasi kultural sehingga resepsi terhadap
kristenisasi. Esai ini memberikan informasi dan wawasan bagi penelitian
penulis yang terkait dengan gendang Karo, yaitu Raja Pa Mbelgah Purba, salah
seorang raja di desa tertarik dengan agama yang diajarkan misionaris dan
masuk agama Kristen dan dibaptis. Tidak lama setelah dibaptis ia menanyakan
kepada pendeta apakah sebagai orang Kristen ia dapat memakai gendang Karo.
Jawab pendeta itu ”tidak boleh!!”. Persamaan penelitian ini dengan penelitian
penulis adalah sama-sama melihat pengaruh perubahan kebudayaan etnik Karo
dari sisi kekristenan. Perbedaannya, Sembiring meneliti perubahan keyakinan
melalui kristenisasi sedangkan penelitian penulis melihat perubahan musik dan
29
spiritualitas upacara gendang kematian dari sudut kristenisasi, industri budaya
yang ditandai dengan komodifikasi.
Buku “Mengenal Seni Kerajinan Tradisional Karo” yang ditulis A.G.
Sitepu (1998) memberikan gambaran umum tentang ragam hias etnik Karo
yang terdapat dalam berbagai benda pakai, seperti kain, alat masak, dan alat-
alat musik. Informasi ini diperlukan untuk mengetahui organologis alat-alat
musik yang terdapat pada masyarakat Karo. Relevansi buku ini dengan
penelitian penulis hanya tentang alat musik dan organologisnya, sedangkan
perbedaaanya adalah penelitian penulis sampai pada bentuk bunyi dan
spiritualitas materi yang memproduksi bunyi tersebut.
Sumber-sumber pustaka dan tulisan di atas telah memberikan wawasan,
informasi, dan bahan yang sangat berharga bagi penelitian ini. Dari kajian
pustaka di atas diketahui bahwa penelitian tentang spiritualitas upacara
gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi belum pernah dilakukan.
Oleh karena itu, penulis yakin bahwa penelitian ini menambah wawasan yang
positif dalam rangka melestarikan dan mempertahankan tradisi lisan pada etnik
Karo. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kajian budaya dan kajian tradisi lisan yang difokuskan pada wujud, faktor-
faktor, dan makna serta strategi pewarisan yang dimunculkan upacara gendang
kematian etnik Karo pada era globalisasi. Di samping ada persamaan dengan
kajian pustaka di atas juga jelas perbedaan dengan penelitian yang dilakukan
peneliti. Jadi, keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan.
30
2.2 Konsep
Penelitian ini membahas konsep-konsep yang terkait dengan penelitian
sehingga dapat digunakan sebagai pendukung analisis dan memberikan bingkai
sesuai dengan permasalahan penelitian . Terkait dengan itu, dikemukakan
empat satuan konsep yang mendukung penelitian, yaitu konsep spiritualitas,
upacara gendang kematian, etnik Karo, dan era globalisasi
2.2.1 Spiritualitas
Spritualitas berasal dari kata spiritus (roh) mengandung beberapa
pengertian yaitu, (1) imaterial, tidak jasmani, terdiri atas roh; (2) mengacu
kepada kemampuan-kemampuan lebih tinggi (mental, intelektual, estetik,
religius) dan nilai-nilai pikiran; (3) mengacu kepada nilai-nilai manusiawi yang
nonmaterial, seperti keindahan, kebaikan, sinta, kebenaran, belas kasihan,
kejujuran, kesudian, dan (4) mengacu kepada perasaan dan emosi-emosi
religius dan estetik (Bagus, 2002: 1034).
Spiritualitas sebenarnya sangat dekat dengan hidup keseharian manusia.
Spiritualitas bisa bermanifestasi dalam bentuk antusiasme terhadap hal-hal yang
imanen dan profan atau terhadap hal-hal yang transenden dan sakral.
Antusiasme itu sendiri adalah bentukan dari pengalaman dan lingkungan yang
membentuk dunia dan pandangan hidup seseorang selama sekian tahun
31
kehidupannya. Melalui bentukan itulah spiritualitas menemukan jalannya untuk
bermanifestasi dalam kehidupan manusia (Adlin, 2007: xxi).
Arkoun melihat bahwa ada hubungan antara spiritualitas dan hampir
semua hal yang acap ditemukan dalam hidup sehari-hari. Hubungan ini
tampaknya hubungan sebab akibat, yaitu satu hal menyebabkan munculnya hal
yang lain.
”The concept of spirituality is load with complex and different meanings; itis used loosely in context as different as religion, architecture, music,painting, literature, philosophy and alchemy, as well as in spiritualism,astrology, esoteric knowledge, et cetera” (Darmawan dalam Adlin (ed.),2007: 145).
Menurut Capra (1999: 17), kita dapat memiliki spiritualitas tanpa
agama, tetapi kita tidak dapat memiliki agama yang benar jika tanpa
spiritualitas. Kita dapat mempunyai agama tanpa teologi, tetapi kita tak akan
mempunyai teologi yang benar tanpa agama dan spiritualitas. Prioritasnya ialah
spiritualitas sebagai pengalaman, sebuah pengalaman langsung akan Roh
absoluts di sini dan kini, serta sebagai praksis, sebuah pengetahuan yang
mengubah cara saya menjalani hidup di dunia ini.
Saya menjadi bagian dari seluruh hewan dan juga tumbuhan. Dan menjadibagian (belonging) berarti saya betah (at home) bersama mereka, sayabertanggung jawab untuk dan pada mereka, Anda lihat saya menjadi bagiandari (belong to) mereka persis sebagaimana mereka menjadi bagian saya.Kita semua saling memiliki (belong together) di dalam kesatuan kosmisyang besar ini (Capra, 1999: 22).
Bagi banyak orang, istilah spiritualitas memiliki konotasi yang
mengarah ke sesuatu di luar dunia ini atau mengimplikasikan bentuk disiplin
32
religius tertentu. Namun, dalam penelitian ini istilah spiritualitas dipakai untuk
menunjuk pada nilai dan makna dasar yang melandasi hidup kita, baik duniawi
maupun yang tidak duniawi, entah secara sadar atau tidak meningkatkan
komitmen kita terhadap nilai-nilai dan makna tersebut.
Spiritualitas modern berawal sebagai suatu spiritualitas yang bersifat
dualistik dan supernaturalistis dan berakhir dengan suatu pseudospiritualitas
(spiritualitas semu) atau anti spiritualitas; postmodernisme kembali ke
spiritualitas asli yang memuat unsur-unsur spiritualitas pramodern. Walaupun
begitu, spiritualitas postmodern tidak hanya berarti kembali ke spiritualitas
pramodern dan masyarakat modern. Meskipun masyarakat postmodern ini
masih tetap memiliki dan mengembangkan banyak aspek yang ada dalam dunia
modern, masyarakat postmodern akan membalikkan unsur-unsur modernitas,
individualisme, dan nasionalisme, direndahkannya manusia oleh mesin,
direndahkannya keprihatinan manusia akan masalah-masalah sosial, moral,
religius, estetika, dan ekologis demi masalah-masalah ekonomi (Griffin, 2005:
16--17).
Spiritualitas postmodern mengakui bahwa manusia memiliki
kemampuan luar biasa untuk menentukan dirinya, yang bisa dipakainya demi
kebaikan atau kejahatan. Karena di seluruh alam terlihat adanya berbagai
tingkat pengalaman nilai yang berbeda-beda, penolakan bahwa manusia itu
adalah ”tuan segala ciptaan” yang bisa memanfaatkan semua makhluk lainnya
tidak berarti bahwa manusia tidak lebih bernilai secara intrinsik daripada seekor
33
ngengat. Oleh sebab itu, pandangan postmodern menyarankan suatu
spiritualitas yang di dalamnya digabungkan perhatian pada ekologi dengan
perhatian khusus pada kesejahtraan manusia (Griffin, 2005: 33).
Aktivitas melihat kemudian percaya adalah bagaimana seseorang
melihat objek visual. Namun, pengelihatannya ini dapat menembus batas-batas
fisik objek yang dilihat sehingga ia dapat mencerap muatan-muatan
nonfisiknya, seperti pesan, dan makna. Sesuatu yang koheren di sini pada
dasarnya bukan semata-mata sosok objek visual dengan kepercayaan. Namun,
muatan (content) di dalam objek visual yang memungkinkan hubungan antara
melihat, objek visual, dan kepercayaan itu terjalin. Muatan inilah yang menjadi
jiwa atau muatan spiritualitas objek visual. Sinkronisasi antara nilai fisik dan
nonfisik sebuah objek visual inilah yang kemudian dapat menimbulkan satu
wujud kepercayaan (Darmawan dalam Adlin (ed), 2007: 144).
Bagi masyarakat tradisional, perlakuan terhadap objek visual, mulai dari
proses penciptaan sampai penggunaannya sehari-hari perlu diperhatikan,
bahkan diatur. Hal ini penting karena mereka menyadari bahwa objek visual
tersebut memiliki nilai-nilai luhur yang masih perlu dijunjung tinggi
(Darmawan dalam Adlin (ed), 2007: 148).
Piliang mengemukakan bahwa posmodernisme lebih cenderung
mengembangkan agama-agama noninstitusi dan konsep-konsep baru tentang
spirit dan spiritualitas, yang terlepas dari konsep-konsep konvensional yang
bersumber dari agama-agama besar. Posmodernisme lebih cenderung menggali
34
dimensi-dimensi emosional, irasional, mistis, dan magis, yang digali dari spirit-
spirit masa lalu. Reinkarnasi, revitalisasi, dan restorasi menjadi konsep-konsep
yang sangat penting dalam menemukan apa yang disebut spiritualitas
posmodern (Piliang, 2004: 256).
2.2.2 Upacara Gendang Kematian
Upacara berasal dari kata Sanskerta, yaitu terdiri atas kata upa artinya
dekat dan kata acara yang berarti kebiasaan. Jadi, upacara mengandung arti
kebiasaan yang dekat atau kebiasaan yang mendekatkan. Maksudnya adalah
suatu kebiasaan untuk mendekatkan diri terhadap Tuhan Yang Maha Esa atau
kebiasaan yang tersusun dengan urutan-urutan tertentu (Donder, 2007: 280).
Pengertian gendang secara umum adalah sebuah alat musik yang terbuat
dari kulit dan dipukul atau ditabuh sehingga menghasilkan bunyi sebagai
pengiring dalam ensambel musik. Akan tetapi, bagi masyarakat Karo
pengertian gendang tersebut bukan alat musik semata sebagaimana dalam
pengertian secara umum diatas. Kata gendang pada masyarakat Karo memiliki
beberapa pengertian. Selain sebagai sebuah ensambel musik, gendang bisa juga
berarti nama repertoar sebuah lagu ataupun alat musik tertentu. Biasanya
pengertian kata gendang tergantung dari kata yang mengikutinya. Misalnya (1)
gendang lima sendalanen, kata gendang di sini mengandung arti ensambel
musik tertentu, (2) gendang simalungun rayat, kata gendang mengandung arti
nama sebuah lagu, (3) gendang indung, kata gendang menunjukkan salah satu
35
jenis alat musik, (4) gendang guro-goro atau gendang kematian kata gendang
menjadi suatu upacara.
Kematian berasal dari kata ”mati” atau ”maut” yang artinya tidak ada,
gersang, tandus, kosong, berhenti, padam, buruk, kehilangan akal dan hati
nurani, serta lepasnya roh dari jasad. Dalam KBBI terbitan Balai Pustaka, kata
”mati” memiliki arti sudah tidak hidup lagi hilang nyawanya. Di pihak lain
pengertian mati yang sering dijumpai sehari-hari adalah (1) kemusnahan dan
kehilangan total roh dari jasad; (2) terputusnya antara roh dan badan, dan (3)
terhentinya budi daya manusia secara total (Yusuf, 2005: 55--56).
Kematian bagi manusia suatu hal biasa, tetapi bagi etnik Karo yang ada
di Sumatera Utara, kematian merupakan peristiwa penting. Manusia yang masih
hidup memiliki hubungan yang tak terpisahkan dengan roh orang yang sudah
meninggal dunia. Kematian bagi etnik Karo mendapat perhatian yang istimewa
dibandingkan dengan peristiwa lainnya. Etnik Karo sangat percaya pada
kehidupan baru pascakematian seseorang, bahkan roh orang yang meninggal
dunia diyakini masih berada di sekitar kehidupan mereka sampai ke anak cucu.
Hubungan dengan roh (pertendin) orang yang sudah meninggal dunia tersebut
terus dilestarikan dan diimplementasikan dalam berbagai ritual agar tidak
mengganggu kehidupan keluarga yang ditinggalkan. Bahkan, ritual yang
dilaksanakan diharapkan dapat membawa kebaikan bagi keluarga yang masih
hidup.
36
Upacara gendang kematian adalah salah satu kebiasaan yang tersusun
dengan urutan-urutan tertentu sebagai suatu ritual kematian yang terdapat pada
etnik Karo yang terdiri atas berbagai unsur (peristiwa) yang merupakan satu
kesatuan. Gendang kematian dalam hal ini terdiri atas lima unsur (peristiwa)
yang merupakan satu kesatuan, yaitu (1) gendang lima sendalanen (musik), (2)
landek (tari), (3) nuri-nuri (petuah), (4) ngandung (tangisan), dan (5) rende
(nyanyian).
Gendang Lima Sendalanen (sering juga disebut gendang telu sedalanen
lima sada perarih) merupakan ensambel musik yang paling dikenal dalam
khazanah musik tradisional Karo. Istilah gendang pada kasus ini dapat diartikan
dengan ”alat musik”, lima berarti ”lima” dan sendalanen berarti ”sejalan”.
Dengan demikian, gendang lima sendalanen mengandung pengertian ”lima
buah instrumen musik yang dimainkan secara bersama-sama”.
Berdasarkan jumlah alat musiknya, gendang lima sedalanen memang
terdiri atas lima buah alat musik, yaitu (1) sarunei, (2) gendang singindungi, (3)
gendang singanaki, (4) penganak, dan (5) gung. Tiap-tiap alat musik
dimainkan oleh seorang pemain dengan sebutan penarunei untuk pemain
sarunei, penggual untuk sebutan gendang singindungi dan gendang singanaki.
Lebih spesifik lagi, pemain gendang singindungi disebut penggual singindungi
dan pemain gendang singanaki disebut penggual singanaki. Orang yang
memainkan penganak disebut simalu penganak dan orang yang memainkan
gung disebut simalu gung. Ketika mereka bermain musik dalam suatu upacara
37
adat Karo, sebutan mereka menjadi satu, yaitu sierjabaten (yang memiliki
jabatan). Sebutan penggual dan penarune tetap melekat pada diri mereka
sepanjang masih beraktivitas dalam bidang musik, sementara sebutan
sierjabaten biasaya hanya muncul ketika mereka bermain dalam suatu konteks
upacara adat Karo.
Landek adalah menari secara berhadapan antara dua kelompok tertentu.
Konsep landek berhadap-hadapan dalam aktivitas menari Karo terbagi atas dua
bentuk, yaitu landek adat dan landek hiburan. Dalam landek adat, yang
berhadap-hadapan adalah kelompok sukut (kelompok sukut yang meninggal)
dengan salah satu pihak kekerabatan yang turut serta dalam upacara tersebut.
Dalam landek hiburan, yang landek berhadap-hadapan adalah kelompok
sunguda-nguda (wanita) dan kelompok anak perana (pria) yang dilakukan
dengan berpasang-pasangan. Tiap-tiap kelompok berjumlah persis sama,
sedangkan dalam landek adat (upacara kematian), tidak memperhatikan
kesamaan jumlah kedua kelompok.
Nuri-nuri adalah seseorang yang memberikan petuah-petuah, baik dari
kelompok yang mempunyai upacara maupun dari pihak kekerabatan yang turut
serta dalam upacara tersebut. Singerunggui (protokol) mengarahkan acara nuri-
nuri dengan sistem kekerabatan yang ada. Konsep nuri-nuri dalam konteks
gendang kematian umumnya tidak saja berbicara dengan keluarga yang
ditinggal, tetapi justru yang nuri-nuri memosisikan diri pada mayat yang
sedang diupacarai.
38
Ngandung adalah pengungkapan isi hati dengan cara menangis.
Ngandung dalam upacara gendang kematian adalah sebuah kewajiban yang
harus dilakukan pihak kelompok yang mempunyai hajatan. Ketika seseorang
nuri-nuri atau ngandung, kemudian pihak keluarga akan datang mendekat
sambil ngandung. Sukut dalam hal ini meratapi dan mengenang perilaku yang
meninggal ketika masih hidup dan terungkap dari keluarga yang ngandung.
Rende adalah bernyanyi, sedangkan perkolong-kolong adalah orang
yang bernyanyi. Dalam upacara gendang kematian lagu katoneng-katoneng
(teks lagu yang dinyanyikan secara spontan) diiringi gendang lima sedalanen
yang dinyanyikan oleh seorang perkolong-kolong. Dalam hal ini perkolong-
kolong sebagai media untuk menyampaikan pesan yang meninggal kepada
kerabatnya. Sebaliknya, pesan dari kerabat kepada keluarga yang ditinggal.
2.2.3 Etnik Karo
Kata etnik berakar dari kata ethnos (Yunani) mengandung pengertian
bangsa atau kelompok orang atau juga sebagai kelompok sosial yang dibalut
oleh konstruksi ras, adat istiadat, tradisi, bahasa, perangkat nilai, dan norma
budaya lainnya (Mbete, 2009: 16). Etnik atau kelompok etnik merupakan (1)
suatu kelompok sosial yang mempunyai tradisi kebudayaan dan sejarah yang
sama. Adanya kesamaan itu menjadi suatu identitas sebagai suatu subkelompok
dalam suatu masyarakat yang luas (bangsa). Kelompok etnik bisa memiliki
bahasa sendiri, agama, tradisi, dan adat istiadat yang berbeda dengan kelompok
39
yang lain; (2) suatu kelompok individu yang memiliki kebudayaan yang
berbeda, tetapi di antara anggotanya merasa memiliki semacam subkultur yang
sama; (3) suatu kelompok yang memiliki domain tertentu yang disebut ethnic
domain (Liliweri, 2005: 11--12).
Karo merupakan salah satu etnik yang terdapat di Provinsi Sumatera
Utara. Selain etnik Karo, etnik yang tergabung dalam wilayah ini adalah Toba,
Simalungun, Pak-pak Dairi, Mandailing, dan sebagainya. Setiap etnik memiliki
wilayah daerah setingkat kabupaten. Meskipun etnik Karo menempati satu
kabupaten yang disebut Kabupaten Karo, wilayah geografis budaya etnik Karo
memiliki beberapa wilayah komunitas tertentu di luar wilayah Kabupaten Karo.
Etnik Karo seperti halnya bangsa lain, juga mempunyai sistem
kekerabatan keluarga dengan membuat nama keluarga. Nama keluarga tersebut
dipertahankan dengan cara mencamtumkannya di belakang nama. Nama
keluarga ini disebut merga (untuk laki-laki) dan beru (untuk perempuan), yang
diwarisi secara turun-temurun berdasarkan patrilineal (garis keturunan
berdasarkan ayah), tetapi etnik Karo juga tidak mengabaikan garis keturunan
ibu. Hal ini terlihat dalam sistem kekerabatan yang nantinya dibahas dalam bab
selanjutnya. Untuk memahami sistem kekerabatan masyarakat Karo mau tidak
mau harus memahami sangkep nggeluh (kinship) pada merga silima karena
dalam setiap pelaksanaan adat istiadat yang berperan adalah sangkep nggeluh.
Pusat dari Sangkep nggeluh adalah sukut/sembuyak, yaitu pribadi atau
keluarga/merga tertentu yang dikelilingi oleh senina, anak beru, dan kalimbubu
40
nya. Dalam melaksanakan upacara adat tertentu, seperti perkawinan, kematian,
memasuki rumah baru, dan lain-lain sangkap nggeluh akan diketahui apabila
sudah jelas siapa sukut dalam upacara tersebut. Misalnya dalam perkawinan,
sukut adalah orang yang kawin dan orang tuanya, dalam acara adat kematian
sukut adalah janda atau duda dan anak dari yang meninggal (keluarga dari
orang yang meninggal). Dalam upacara memasuki rumah baru (mengket
rumah) sukut adalah pemilik rumah baru tersebut.
2.2.4 Era Globalisasi
Dalam konteks penelitian ini era diberikan arti sebagai suatu kurun
waktu, zaman, atau periode tertentu. Istilah globalisasi dari kata globe atau
global artinya dunia atau mendunia. Istilah globalisasi kemudian menjadi
fenomena oleh sebagian pakar dalam berbagai disiplin ilmu termasuk dalam
kajian budaya. Globalisasi dapat dimaknai dengan banyak pengertian dan
konteks yang berbeda-beda dari berbagai latar belakang konsep, definisi dan
menjadi bahan pembicaraan dalam ilmu-ilmu humaniora.
Sekarang ini globalisasi sudah berubah menjadi kata biasa dengan
berbagai konotasinya. Tampaknya globalisasi merupakan akibat perkembangan
dalam ekonomi dunia. Dalam hal itu, batas-batas negara—secara ekomomi—
makin pudar dan mungkin hilang sama sekali. Globalisasi adalah suatu proses,
bukan suatu pengertian yang statis. Globalisasi juga bukan sesuatu yang
otonomis terjadi. Ia lahir dari perilaku manusia dan gagasan-gagasan yang lahir
41
dari berbagai interaksi antarmanusia, antarmasyarakat, dan antarnegara, yang
pada abad ke dua puluh yang lalu dimulai dari bidang ekonomi (Hoed, 2008:
101).
Globalisasi telah menghadirkan perbedaan-perbedaan yang
meruntuhkan totalitas, kesatuan nilai kepercayaan. Budaya global ditandai oleh
integral budaya lokal ke dalam suatu tatanan global. Nilai-nilai kebudayaan luar
yang beragam menjadi basis dalam pembentukan sub-subkebudayaan yang
berdiri sendiri dengan kebebasan-kebebasan ekspresi. Globalisaasi yang
ditandai oleh perbedaan-perbedaan dalam kehidupan telah mendorong
pembentukan definisi baru tentang berbagai hal dan memunculkan praktik
kehidupan yang beragam. Berbagai dimensi kehidupan mengalamai redefinisi
dan diferensiasi terjadi secara meluas yang menunjuukkan sifat relatif suatu
praktik sosial (Abdullah, 2006: 107).
Sebenarnya globalisasi bukanlah sekadar soal ekonomi. Globalisasi
adalah gejala budaya, yakni terbentuknya dan tersebarnya ”kebudayaan dunia”
di berbagai negara. Itu merupakan suatu sistem budaya dunia yang menguasai
kita semua. Artinya, suatu kebudayaan baru sedang merebak dan melanda dunia
(Barker, 2006: 115—116; Hoed, 2008: 102).
Perkembangan teknologi komunikasi dan mekanisme pasar budaya
kapitalisme menyebabkan produksi, penyebaran, dan pemasaran barang-barang
budaya atau seni pertunjukan menjadi sulit dikontrol dalam batas negara-
bangsa. Globalisasi korporat atau sering juga disebut dengan globalisasi ”atas”
42
merupakan transnasionalisasi ideologi kapitalisme negara-negara maju yang
mengeroposi ketahanan-ketahanan lokal negara-negara dunia ketiga. Tesis
homogenisasi budaya menyatakan bahwa globalisasi kapitalisme konsumen
menghilangkan keragaman budaya. Tesis ini menekankan pada pertumbuhan
’kesamaan’ dan dugaan akan hilangnya otonomi budaya yang dikonsepsikan
sebagai bentuk imperalisme budaya (Barker, 2004: 117).
Gagasan tentang globalisasi mengandaikan adanya kesalingterhubungan
dan kesalingtergantungan semua kawasan global yang terjadi secara kurang
disengaja. Ini muncul sebagai praktik budaya yang tidak diarahkan kepada
integrasi global, tetapi yang menghasilkannya. Lebih penting lagi, efek dari
globalisasi adalah melemahnya koherensi budaya di semua negara individual,
termasuk negara-bangsa yang kuat secara ekonomi, kekuasaan imperialis masa
sebelumnya (Barker, 2004: 123, Piliang, 2011: 3).
Identitas yang stabil jarang dipertanyakan. Ia tampak alamiah dan
diterima begitu saja. Namun, ketika kealamiahan mulai terlihat pudar, kita
cenderung menelaah identitas-identitas ini dengan cara baru. Identitas begitu
banyak diperdebatkan ketika ia sedang mengalami krisis. Globalisasi
menyediakan konteks bagi krisis semacam itu karena dia telah meningkatkan
cakupan sumber dan sumber daya yang ada bagi konstruksi identitas. Pola-pola
gerakan penduduk dan permukiman yang telah ada sejak kolonialisme dan
tahun-tahun sesudahnya dikombinasikan dengan percepatan terkini globalisasi,
43
khususnya komunikasi elektronik memungkinkan semakin meningkatnya
perbenturan, pertemuan, dan percampuran antarbudaya (Barker, 2004: 206).
Globalisasi adalah koneksi global ekonomi, sosial, budaya, dan politik
yang semakin mengarah ke berbagai arah di seluruh penjuru dunia dan merasuk
ke dalam kesadaran kita atas mereka. Produksi global atas produk lokal dan
lokalisasi produk global diasosiasikan dengan institusi modernitas dan
penyempitan ruang dan waktu atau tenggelamnya dunia ini (Barker, 2004: 405).
Bagi etnik Karo, era globalisasi adalah suatu era yang telah mengalami
suatu proses perjalanan, sebagaimana fase-fase sejarah yang disebutkan oleh
Hood dan Barker dalam konsep globalisasi. Sejak masa lampau intensitas
kontak budaya dengan asing, hubungan etnik Karo dengan dunia luar terus
berlanjut. Sentuhan budaya global membawa pengaruh tidak saja pada seni dan
budaya, tetapi juga merambah pada berbagai sendi kehidupan orang Karo. Pola
kehidupam etnik Karo cenderung sekuler dan komersial, dalam bidang seni
bergeser dari sakral menjadi sekular dan manusia hidup cenderung individual,
seperti berlomba mengejar yang ditinggalkan dan meninggalkan yang
seharusnya dikejar. Hal ini memengaruhi jati diri, kepribadian, dan identitas
etnik Karo itu sendiri.
2.3 Landasan Teori
Sesuai dengan latar belakang permasalahan dan perumusan masalah di
atas, maka diperlukan konsep pemikiran yang dibangun untuk memberikan
44
jawaban penelitian. Konsep pemikiran tersebut merupakan landasan teori
untuk menggali berbagai aspek dalam subjek penelitian, yang meliputi wujud,
faktor-faktor, makna dan strategi pewarisan spiritualitas upacara gendang
kematian etnik Karo pada era globalisasi.
Ritzer (2003: 18--20) menunjukkan karakteristik postmodern sebagai
berikut. Pertama, postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang
diasosiasikan dengan modernitas. Kedua, postmodern cenderung menolak apa
yang dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, dan totalitas.
Ketiga, postmodern cenderung menggembar-gemborkan fenomena besar
pramodern, seperti emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman
personal, kebiasaan, kekerasan, metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos,
sentimen keagamaan, dan pengalaman mistik. Keempat, postmodern menolak
kecenderungan modern yang meletakkan batas antara hal-hal tertentu, seperti:
disiplin akademis, budaya dan kehidupan, fiksi dan teori, serta image dan
realitas. Kelima, postmodern menolak gaya dikursus akademis modern yang
elite dan bernalar. Keenam, postmodern tidak memfokuskan pada inti (core)
masyarakat modern, tetapi mengkhususkan perhatian pada bagian tepi
(periphery).
Dalam kaitan ini Danesi berpendapat bahwa seni posmodern
mengemuka untuk menstabilisasi pandangan atas dunia yang rasional dan
logosentris, yang telah menguasai masyarakat Barat sejak Renaisans. Akan
tetapi, dengan membuat budaya barat makin mendekonstruksi sistem
45
kepercayaannya, posmodernisme sekaligus mencetuskan semacam pembaruan
spiritual dalam diri kita (Danesi, 2010: 251). Penggunaan teori kritis dan teori
posmodern dalam kajian budaya, sesuai dengan perjuangan pendirinya di
Inggris, seperti Hoggart dan Williams, yaitu melawan ketidakadilan yang ada
dalam masyarakat kapitalis (Lubis, 2006: 138). Salah satu karakteristik teori
kritis, teori posmodern, dan kajian budaya adalah peningkatan kondisi
kemanusiaan, emansipasi manusia, dan perbaikan sosial budaya yang
berkeadilan dan manusiawi agar lebih mencerahkan dan emansipatoris (Lubis,
2006; Agger, 2006).
Salah satu pola pikir postmodernisme adalah merevisi pemikiran
modernisme yang tidak selaras dengan perkembangan budaya masyarakat tanpa
menolaknya mentah-mentah, tetapi melakukan perbaikan di sana-sini yang
dinilai perlu (Sugiartha, 2012: 34). Berdasarkan pokok permasalahan wujud,
faktor-faktor, dan makna spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo
pada era globalisasi, teori dekonstruksi Jacques Derrida digunakan sebagai teori
utama untuk mengkaji permasalahan secara umum. Tiga tiga teori lainnya,
yaitu etnomusikologi, komodifikasi, dan semiotika, digunakan sebagai teori
pendukung.
2.3.1 Teori Dekonstruksi
Dekonstruksi adalah sebuah teori yang dikemukakan oleh Derrida, yang
merupakan kritik dan penolakan terhadap pemikiran strukturalis filsafat
46
modern. Kritik dan penolakan ini didasarakan pada beberapa fakta bahwa
modernisme gagal mewujudkan perbaikan-perbaikan sebagaimana yang
diinginkan oleh pendukungnya. Dalam hal ini muncul kontradiksi antara teori
dan fakta dalam ilmu pengetahuan modern yang berimplikasi pada terjadinya
kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan otoritas. Di samping itu, ilmu-ilmu
modern kurang memperhatikan dimensi-dimensi mistis dan metafisik eksistensi
manusia karena terlalu menekankan pada atribut fisik individu (Santoso, 2009:
248).
Dekonstruksi dapat diartikan sebagai pengurangan atau penurunan
intensitas bentuk yang sudah tersusun sebagai bentuk yang sudah baku.
Dekonstruksi sering diartikan sebagai teori pembongkaran, perlucutan,
penghancuran, penolakan, dan berbagai istilah dalam kaitannya dengan
penyempurnaan arti semula. Tujuan akhir yang hendak dicapai oleh
dekonstruksi adalah penyusunan kembali ke dalam tatanan dan tataran yang
lebih signifikan, sesuai dengan hakikat objek sehingga aspek-aspek yang
dianalisis dapat dimanfaatkan secara maksimal. Dekonstruksi berusaha untuk
memberikan arti kepada kelompok yang lemah, yang selama ini kurang
diperhatikan, bahkan diabaikan sama sekali (Ratna, 2005: 251).
Dekonsruksi menurut Jacques Derrida, di dalam Of Grammatologi
(1993) adalah satu strategi intelektual dalam menghancurkan, meruntuhkan,
membongkar, menguak, atau meleburkan setiap jenis struktur (bahasa, ideologi,
ekonomi, politik, hukum, dan kebudayaan), yang selama ini (dipaksa untuk)
47
diterima sebagai satu ’kebenaran’ sehingga tidak menyisakan ruang bagi
pertanyaan, gugatan, atau kritikan. Struktur yang telah didekonstruksi tersebut
kemudian direkonstruksi kembali untuk menghasilkan struktur baru yang lebih
segar, lebih demokratis, lebih terbuka. Inilah sebetulnya hakikat dekonstruksi
(Piliang, 2003: 116--117).
Menurut Derrida, deconstruction merupakan prosedur dalam menyusun
suatu teks dengan “membongkar” teks-teks lain serta berupaya melebihi teks-
teks lain itu dengan menyampaikan sesuatu yang tidak dikatakan di dalam teks-
teks lain tersebut. Derrida mengemukakan bahwa “teks” atau tenunan
merupakan jaringan atau rajutan tanda dan arti asli kata “teks” yang berasal dari
kata latin textere, yang artinya menenun. Pada paham Derrida segala sesuatu
yang ada merupakan teks dan tidak ada sesuatu di luar teks. Jadi, menurut
Derrida kata “teks” mempunyai arti yang jauh lebih luas daripada arti yang
biasanya dikenal orang. Suatu teks tidak pernah terisolasi, tetapi selalu
berkaitan dengan teks-teks lain sehingga Derrida menemukan adanya
intertekstualitas. Dikatakan pula oleh Derrida bahwa menerjemahkan adalah
mengganti teks satu dengan teks yang lain dan terjemahan adalah transformasi
(Alfian dalam Waridi (ed), 2005: 86).
Pemahaman atas makna globalisasi adalah pemahaman atas suatu
struktur pikiran, yakni kata ”globalisasi” dengan ”makna” yang seolah-olah
sudah dianggap ”baku”. Padahal, menurut Derrida, dalam kehidupan sehari-hari
tanda merupakan sesuatu yang dinamis, yang berperikehidupan sendiri.
48
Menurut Derrida, makna itu dihasilkan dari suatu proses yang menghasilkan
makna yang berbeda-beda menurut setiap individu. Proses ini terjadi dengan
”penundaan” hubungan antara penanda (ekspresi) dan petanda (isi) yang
memungkinkan adanya pemaknaan baru yang berbeda dari satu individu ke
individu yang lain. Hasil proses seperti itu disebutnya differance. Intinya adalah
bahwa dekonstruksi merupakan suatu proses penafsiran yang sistematis oleh
setiap individu atau kelompok masyarakat tertentu (Hoed, 2008: 103).
Spiritualitas selalu didekonstruksi atau merupakan aktivitas interpretasi
atas interpretasi secara tanpa henti. Spiritualitas bukanlah aktivitas menafsirkan
sumber-sumber masa lalu (logos, Oidos, Tuhan, wahyu) dengan orientasi ke
belakang (retospektive), melainkan sebuah interpretasi ke depan (prospective).
Spiritualitas adalah sebuah proses penjelajahan tanda-tanda secara tanpa henti
melalui proses dekonstruksi oposisi biner antara sakral/profan,
transenden/imanen, tidak dalam rangka mencari ketetapan makna, tetapi
merayakan permainan-permainan dan dunia kemungkinan yang disediakannya
(Piliang, 2007: 173).
Dalam kaitan ini teori dekonstruksi digunakan sebagai teori utama
karena paradigma, konsep, dan cara kerjanya sesuai dengan wujud, faktor-
faktor, dan makna yang tersembunyi dalam spiritualitas upacara gendang
kematian etnik Karo pada era globalisasi dan didukung oleh teori-teori lain
secara eklektif. Agar kedalaman makna tidak tertangguh atau tertunda, maka
pemaknaan harus diulang dan dihasilkan kembali. Pencarian makna dilakukan
49
dengan pembongkaran sebagai proses secara terus-menerus. Melalui
dekonstruksi akan diperoleh segala sesuatu yang selama ini tidak mendapat
perhatian.
2.3.2 Teori Etnomusikologi
Istilah etnomusikologi berasal dari ethnomusicology (bahasa Inggris).
Ethnomusicology dibentuk dan berasal dari tiga kata, yaitu ”ethos”, ”mousike”,
dan ”logos” (bahsa Yunani); ethos berarti hidup bersama, yang kemudian
berkembang menjadi bangsa atau etnis, mosuike artinya musik, sedangkan
logos artinya bahasa atau ilmu. Tiga kata tersebut digabung menjadi
ethnomusicology atau etnomusikologi, artinya ilmu musik bangsa-bangsa
(Nakagawa, 2000: 1--2).
Istilah etnomusikologi pertama sekali dikemukakan oleh ahli musik
berkebangsaan Belanda bernama Jaap Kunst pada tahun 1950. Istilah ini
digunakan sebagai pengganti istilah sebelumnya, yaitu musikologi komparatif
yang memfokuskan kajian-kajian terhadap musik rakyat dari masyarakat
nonEropa dan musik yang diwariskan dengan tradisi lisan. Ilmu ini
dipopulerkan oleh Alan P. Merriam, Bruno Nettle, dan Mantle Hood
(Nakagawa, 2000: 1-2; Sugiartha, 2012: 41). Berbagai pandangan yang
dikemukakan oleh tokoh ini terkait dengan penyelamatan musik-musik timur,
musik rakyat, dan musik-musik dalam tradisi lisan. Upaya penyelamatan itu
dilakukan dengan mengedepankan isu-isu konseptual seperti asal mula musik,
50
perubahan musik, musik sebagai simbol universal, fungsi dan kegunaan musik
dalam masyarakat, perbandingan sistem musikal, dan dasar-dasar biologis
musik.
Etnomusikologi lahir dari semangat penolakan terhadap rasa superior
kebudayaan bangsa Barat yang merasa memiliki budaya musik yang lebih
tinggi. Di samping itu, menganggap musik Timur sebagai musik kuno, primitif,
dan tidak beradab karena tidak mempunyai sejarah, struktur, dan konsep, baik
musikal maupun sosial (Sugiartha, 2012: 41).
Menurut Merriam (1964: 33), etnomusikologi adalah sistem suara yang
selalu mempunyai struktur dan harus dipandang sebagai produk tingkah laku
yang menghasilkannya. Tingkah laku yang dimaksud, termasuk aspek-aspek
fisik, sosial, verbal, dan aspek belajar yang muncul dari konseptualisasi yang
mendasarinya. Karena musik tanpa konsep, tingkah laku tidak akan ada, dan
tanpa tingkah laku, suara musik tidak akan ada. Pernyataan ini mempunyai satu
implikasi pokok bahwa tujuan etnomusikologi adalah studi tentang musik, tidak
hanya mempelajari bunyi musik, tetapi juga bertujuan untuk mempelajari
materi yang menghasilkan bunyi musik.
Etnomusikologi mempunyai tugas pokok mengamati, mencari data,
menyiapkan perangkat analisis, dan membuat analisis tentang musik
sasarannya. Pokoknya melakukan penelitian, pencarian pengetahuan, dan teori
tentang musik tersebut. Mereka harus berada di lapangan dan bekerja dengan
narasumber dan melihat pertunjukan musik. Bila perlu, ikut memainkan musik
51
tersebut, menanyakan isu-isu yang relevan dengan penelitiannya, dan
berpartisipasi dengan kegiatan yang ada dalam masyarakatnya. Untuk itulah
kemampuan musikal diperlukan, yaitu dalam rangka mengikuti kegiatan
bermusik (bukan kegiatan bermasyarakat seperti apa adanya) dan
menggunakannya untuk keperluan mendapat data musikal (Santosa, 2007: 47;
Liembeng, 2009: 30).
Untuk menjelaskan musik harus disadari bahwa musik itu hidup dalam
masyarakat, musik dianggap sebagai cerminan sistem sosial atau sebaliknya.
Ketika kita pertama kali mengenal sebuah musik, biasanya kita mengamati
akustiknya, melodi (lagu), ritme, tempo, warna nada (tone colour), dan lain-
lain. Dalam hal ini kita diamati musik sebagai kejadian akustik saja. Dalam
studi etnomusikologi hal demikian tidak cukup, tetapi harus dihubungkan
dengan masalah kemasyarakatnnya. Kita dapat meneliti fungsi dan makna
musik itu dipelihara dalam masyarakat. Memang mencari struktur musik
menjadi tujuan utama peneliti, tetapi hal itu harus dihubungkan dengan struktur
sosial dan unsur-unsur kebudayaan yang lain yang ada di dalamnya, misalnya
masalah politik dan seni-seni yang lain. Pendek kata, objek penelitian bukan
semata-mata struktur musik itu sendiri, melainkan lebih luas lagi yang terkait
dengan teks dan konteks (Nakagawa, 2000: 6).
Teks berarti kejadian akustik, sedangkan konteks adalah suasana, yaitu
keadaan yang dibentuk oleh masyarakat pendukung musik tersebut. Kata teks
biasanya diterjemahkan dengan syair lagu. Dalam pembahasan ini bukan itu,
52
melainkan elemen-elemen yang lain, seperti bunyi, gerak, rupa, dan
sebagainya. Etnomusikologi menggunakan pengertian teks melalui analisis
konteks atau menghubungkan pengertian teks dengan konteks. Artinya, apabila
meneliti musik Sumatera dengan menganalisis strukturnya saja, itu bukan
kegiatan etnomusikologi. Kegiatan itu baru disebut kegiatan etnomusikologi
ketika kita menghubungkannya dengan unsur kebudayaan lain atau
menghubungkan teks dengan konteksnya (Nakagawa, 2000: 6--7).
Dalam penelitian ini teori etnomusikologi digunakan sebagai landasan
kajian wujud, makna dan strategi pewarisan spiritualitas upacara gendang
kematian etnik Karo pada era globalisasi yang berhubungan dengan wujud dan
makna bunyi, gerak, rupa, dan unsur-unsur lainnya. Analisis dalam penelitian
ini juga dilakukan dengan cara eklektik dengan teori pendukung yang lain.
2.3.3 Teori Komodifikasi
Komodifikasi adalah proses yang diasosiasikan dengan kapitalisme,
yaitu objek, kualitas, dan tanda berubah menjadi komoditas. Tampilan
permukaan barang-barang yang dijual di pasar mengaburkan asal usul
komoditas yang berasal dari hubungan eksploitatif yang disebut Marx dengan
fetisisme komoditas. Lebih jauh lagi, fakta bahwa para pekerja dihadapkan
dengan produk kerja mereka sendiri yang kini terpisah dari mereka
menimbulkan alienasi (Barker, 2004: 14).
53
Komodifikasi adalah suatu proses menjadikan sesuatu yang sebelumnya
bukan komoditas, kemudian menjadi komoditas yang tujuan utamanya dapat
diperjualbelikan. Komodifikasi dipahami sebagai proses produksi komoditas
yang tidak hanya terbatas pada lingkup ekonomi yang sempit, yaitu penjualan
barang-barang kebutuhan hidup, tetapi juga mengacu pada rangkaian kegiatan
produksi, distribusi, dan konsumsi (Fairclough, 1985: 19). Selanjutanya,
menurut Kaunang, komodifikasi adalah menjadikan sesuatu secara langsung
dan sengaja, dengan penuh kesadaran dan penghitungan matang, sebagai
sebuah komoditas belaka. Dengan komodifikasi, setiap hal bisa menjadi produk
yang siap dijual, mulai dari benda-benda konkret sampai keabstrakan-
keabstrakan yang tersembunyi, dari kapal terbang sampai bagian-bagian tubuh
privat (Kaunang, 2010: 26).
Menurut Adorno (Piliang, 2003: 94--95), komodifikasi tidak saja
menunjuk pada barang-barang kebutuhan konsumerisme, tetapi juga telah
merambat ke bidang seni dan kebudayaan pada umumnya. Apa yang dilakukan
oleh masyarakat kapitalisme terhadap kebudayaan adalah menjadikannya patuh
pada hukum komoditas kapitalisme. Masyarakat seperti ini hanya menghasilkan
kebudayaan industri (culture industry) satu bentuk kebudayaan yang ditujukan
untuk massa dan produksinya berdasarkan mekanisme kekuasaan sang produser
dalam penentuan bentuk, gaya, dan maknanya. Perkembangan masyarakat
konsumen memengaruhi cara-cara pengungkapan nilai estetik. Perkembangan
tentang model konsumsi baru dalam konsep nilai estetik sangat penting karena
54
terjadi perubahan mendasar terhadap cara dan bentuk hasil produksi. Produsen
penghasil suatu produk dituntut kreativitasnya untuk merekayasa dan
menyesuaikan dengan selera pasar. Dalam membentuk masyarakat konsumen
yang mengarah pada budaya populer, setidaknya ada tiga kekuasaan yang
memengaruhinya, yaitu kekuasaan kapital, produser, dan media massa (Piliang,
1999:246).
Teori komodifikasi dalam disertasi ini digunakan sebagai pisau bedah
untuk menelaah rumusan masalah kedua, yaitu faktor-faktor yang
mempengaruhi upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi, yang
dikaitkan dengan teknologi, relasinya dengan kebutuhan untuk dikonsumsi
penduduk asli, dan kebudayaan-kebudayaan mereka sebagai suatu trend global
yang sedang berkembang sekarang. Dalam kaitan dengan tema penelitian ini,
upacara gendang kematian dengan berbagai peralatannya telah muncul menjadi
barang dagangan atau diperdagangkan dengan suatu jaringan antara elemen-
elemen yang berkepentingan. Di sini peralatan upacara tidak lagi dikerjakan
secara gotong royong seperti sebelumnya, tetapi muncul dalam bentuk-bentuk
jasa yang diperdagangkan. Terjadinya perubahan-perubahan dalam rumusan ini
tidak terlepas dari komodifikasi sebagai proses yang diasosiasikan dengan
kapitalisme, yaitu objek, kualitas, dan tanda berubah menjadi komoditas.
Analisis dalam penelitian ini menggunakan teori secara eklektik dengan teori
semiotik dan teori lainnya sebagai pisau analisis menuju pada validitas temuan.
55
2.3.4 Teori Semiotika
Semiotika menurut Berger memiliki dua tokoh, yakni Ferdinan de
Saussure (1857--1913) dan Charles Sander Pierce (1839--1914). Kedua tokoh
tersebut mengembangkan ilmu semiotika secara terpisah dan tidak mengenal
satu sama lain. Saussure di Eropa dan Pierce di Amerika Serikat. Latar
belakang keilmuan adalah linguistik, sedangkan Pierce filsafat. Saussure
menyebut ilmu yang dikembangkannya semiologi. Semiologi menurut Saussure
didasarkan pada anggapan bahwa selama perbuatan dan tingkah laku manusia
membawa makna atau selama berfungsi sebagai tanda harus ada di belakangnya
sistem pembedaan dan konvensi yang memungkinkan makna itu. Di mana ada
tanda di sana ada sistem (Sumbo, 2008: 11--12).
Menurut Saussure, tanda sebagai kesatuan dari dua bidang yang tidak
dapat dipisahkan, seperti halnya selembar kertas. Di mana ada tanda di sana ada
sistem. Artinya, sebuah tanda (berwujud kata atau gambar) mempunyai dua
aspek yang ditangkap oleh indra yang disebut dengan signifier, bidang penanda
atau bentuk, sedangkan aspek lainnya yang disebut signified, bidang petanda
atau konsep atau makna. Aspek kedua terkandung dalam aspek pertama. Jadi,
petanda merupakan kinsep atau apa yang dipresentasikan oleh aspek pertama
(Sumbo, 2008: 11--13; Marianto, 2006:135--138).
Menurut Pierce, tanda ialah sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang
lain dalam batas-batas tertentu. Tanda akan selalu mengacu ke sesuatu yang
lain, yang oleh Pierce disebut objek. Mengacu berarti mewakili atau
56
menggantikan. Tanda baru dapat berfungsi bila diinterpretasikan dalam benak
penerima tanda melalui interpretant. Jadi, interpretant ialah pemahaman makna
yang muncul dalam diri penerima tanda. Artinya, tanda baru dapat berfungsi
sebagai tanda apabila dapat ditangkap dan pemahaman terjadi berkat ground,
yaitu pengetahuan tentang sistem tanda dalam suatu masyarakat. Hubungan
ketiga unsur yang dikemukkan Pierce terkenal dengan nama segi tiga semiotik
(Sumbo, 2008: 13--14).
Selanjutnya dikatakan bahwa tanda dalam hubungan dengan acuannya
dibedakan menjadi tanda yang dikenal dengan ikon, indeks, dan simbol. Ikon
adalah tanda antara tanda dan acuannya ada hubungan kemiripan dan biasa
disebut metafora. Contoh ikon adalah potret. Indeks adalah ada hubungan
kedekatan eksistensi. Contoh tanda panah penunjuk bahwa di sekitar tempat itu
ada bangunan tertentu. Simbol adalah tanda yang diakui keberadaannya
berdasarkan hukum konvensi. Contoh simbol adalah bahasa tulisan (Sumbo,
2008: 14).
Barthes mengemukakan teorinya tentang makna konotatif. Ia
berpendapat bahwa konotasi dipakai untuk menjelaskan salah satu dari tiga cara
kerja tanda dalam tatanan pertandaan kedua. Konotasi menggambarkan
interaksi berlangsung tatkala tanda bertemu dengan perasaan atau emosi
penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya. Ini terjadi tatkala makna bergerak
menuju subjektif atau setidaknya intersubjektif. Semua ini berlangsung ketika
57
interpretant dipengaruhi sama banyaknya oleh penafsir dan objek atau tanda
(Hoed, 2008: 76; Sumbo, 2008: 15).
Bagi Barthes, faktor penting dalam konotasi adalah penanda dalam
tatanan pertama. Penanda tatanan pertama merupakan tanda konotasi. Jika teori
ini dikaitkan dengan spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada
era globalisasi, maka setiap pesan yang ada di dalamnya merupakan signifier
(lapisan ungkapan) dan signified (lapisan makna). Lewat unsur verbal dan
visual diperoleh dua tingkatan makna, yakni makna denotatif yang terdapat
pada semiosis tingkat pertama dan makna konotatif yang didapat dari semiosis
tingkat berikutnya. Pendekatan semiotika terletak pada tingkat signified, maka
pesan dapat dipahami secara utuh (Sumbo, 2008: 15). Munculnya berbagai tipe
perubahan pada spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era
globalisasi disebabkan oleh terjadinya perkembangan konsep tanda dalam
musik Karo.
58
2.4 Model Penelitian
Penelitian spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era
globalisasi sebagai kajian budaya (cultural studies) dapat digambarkan seperti
model penelitian berikut ini.
Gambar 2.1 Model Penelitian
Keterangan: : Menunjukkan hubungan saling memengaruhi
: Menujukkan pengaruh searah (dominasi/pembinaan)
: Menunjukkan harapan/tujuan penelitian
- Kristenisasi- Industri Budaya- Media Elektronik
Spiritualitas UpacaraGendang Kematian Etnik Karo
pada Era Globalisasi
Wujud SpiritualitasUpacara
Gendang KematianEtnik Karo
Faktor-faktor yangmemengaruhi
Spiritualitas UpacaraGendang Kematian
Etnik Karo
Makna Spiritualitasdan Strategi Pewarisan
UpacaraGendang Kematian
Etnik Karo
- Masyarakat Pendukung- Kreativitas
Seniman/Budayawan-
PenguatanSpiritualitas Etnik Karo
Budaya Lokal Budaya Global
59
Dalam Gambar 2.1 tampak bahwa budaya global dan budaya lokal
saling memengaruhi. Relasi budaya global dan budaya lokal secara langsung
berpengaruh kepada spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada
era globalisasi. Di satu sisi budaya lokal upacara gendang kematian berusaha
mempertahankan ketradisiannya dan berusaha menghadapi arus pengaruh
globalisasi yang sulit dibendung kekuatannya. Akan tetapi, di sisi yang berbeda
globalisasi dalam wujudnya kristenisasi, industri budaya, dan media elektronik
memainkan peran penting dalam perubahannya. Wujud, faktor-faktor, dan
makna merupakan harapan atau temuan penelitian. Gendang kematian adalah
upacara kematian yang dilaksanakan dalam hubungan dengan tradisi, ritual
dalam berbagai aspek kehidupan etnik Karo yang dalam perkembangannya
dipengaruhi faktor-faktor intern dan ekstern.
Globalisasi menjadi suatu petanda zaman baru, yang tidak bisa
dibendung ataupun ditolak yang mengakibatkan banyak aspek dalam kehidupan
sosial dan budaya masyarakat mengalami perubahan. Pergeseran budaya lokal
ke arus budaya globalisasi menjadikan spiritualitas upacara gendang kematian
etnik Karo pada era globalisasi mengalami bentuk dan makna-makna baru.
Globalisasi dengan berbagai wujud spiritualitas upacara gendang
kematian disebabkan oleh faktor ekstern dan intern. Faktor ekstern dengan arus
utama kebudayaan global terkait dengan faktor kristenisasi, industri budaya,
dan media elektronik merupakan agen budaya populer. Pengaruh faktor intern
dengan kebudayaan lokal, relasinya dengan faktor etnik Karo sebagai
60
pendukung budaya gendang kematian, kreativitas seniman/budayawan dan
konstruksi identitas Karo.
Fenomena di atas dalam paradigma keilmun dianalisis kritis dengan
persperktif kajian budaya dengan berbagai konsep dan landasan teori untuk
menjawab rumusan masalah yang diteliti. Adapun masalah yang dimaksud,
yaitu (1) wujud spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era
globalisasi, (2) faktor-faktor yang memengaruhi spiritualitas upacara gendang
kematian etnik Karo pada era globalisasi, dan (3) makna spiritualitas dan
strategi pewarisan upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi.
Data dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan teori yang mendukung
untuk mengungkapkan realitas yang terjadi di lapangan dan relasinya dengan
spiritualitas upacara gendang kematian. Dengan metode dan metodologi yang
jelas dalam domain kajian budaya diharapkan dapat diperoleh temuan-temuan
baru guna kemandirian tradisi dan adat istiadat etnik Karo pada era globalisasi.