bab ii kajian pustaka -...
TRANSCRIPT
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Lembaga Kemahasiswaan
2.1.1 Pengertian Lembaga Kemahasiswaan
Mahasiswa adalah peserta didik yang terdaftar dan belajar pada perguruan
tinggi, hal ini tercantum dalam buku Peraturan Penyelenggarakan Kegiatan
Akademik dalam Sistem Kredit Semester Universitas Kristen Satya Wacana
(2009). Mahasiswa merupakan elemen penting dalam setiap perguruan tinggi.
Seperti di Universitas Kristen Satya Wacana yang sering disebut UKSW, maha-
siswanya dicetak menjadi mahasiswa yang berjiwa yang bermoral tinggi, berbudi
luhur yang didasarkan atas kasih dan etika keilmuan serta peduli terhadap masalah
sosial, lingkungan hidup dan kemanusiaan dalam kehidupan masyarakat. Untuk
mencetak mahasiswa ini diperlukan wadah khusus di dalam perguruan tinggi.
Oleh karena itu setiap perguruan tinggi menyediakan wadah Lembaga Kemaha-
siswaan demi perkembangannya yang sering disebut LK.
Universitas Kristen Satya Wacana sebagai lembaga pendidikan tinggi
memiliki otonomi dan menjunjung tinggi kebebasan akademik. Dengan
berlandaskan iman Kristiani, UKSW memanifestasikan norma-normanya dalam
dasar UKSW serta berfungsi sebagai universitas scientiarum, magistrorum et
scholarium untuk pembentukan creative minority, pembinaan calon pemimpin
masyarakat, fungsi radar, sebagai pelayan dan pendidikan pelayan (diakonia)
(Statuta UKSW, 2000).
8
Untuk melaksanakan fungsi-fungsi tersebut maka UKSW harus
melaksanakan Tridarma Perguruan Tinggi, mendorong pemikiran yang kritis-
prinsipil dan kreatif-realistis, menjadi pusat pemikiran dan pengalaman untuk
pembinaan kehidupan yang adil, tertib, bebas dan sejahtera, menjadi Perguruan
Tinggi Kristen Indonesia yang seluruh kegiatannya pada satu pihak merupakan
perwujudan iman Kristen yang oikumenis dan pihak lain menjawab secara tepat
situasi sosio-kultural dan kebutuhan bangsa dan dan negara Indonesia,
mengusahakan hubungan yang bermakna antara iman Kristen dengan berbagai
bidang ilmu pengetahuan dan pelayanan serta mengusahakan terbentuknya
angkatan pemimpin masyarakat yang dilengkapi bekal ilmu pengetahuan dan
kepekaan di bidang tertentu serta memiliki kesadaran pengabdian kepada
masyarakat.
Keseluruhan hal tersebut tidak dapat dijalankan oleh pimpinan fakultas
atau Universitas semata namun oleh semua komponen didalamnya termasuk
mahasiswa melalui Lembaga Kemahasiswaan (Dera, 2004)
2.1.2 Bentuk Organisasi Lembaga Kemahasiswaan di Universitas Kristen
Satya Wacana Salatiga
Ketentuan Umum Keluarga Mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana
(KUKM UKSW, 2011) menyebutkan bentuk organisasi LK di UKSW adalah:
(1) Badan perwakilan Mahasiswa Universitas (BPMU) adalah lembaga perwa-
kilan dan permusyawaratan mahasiswa di aras Universitas.
(2) Senat Mahasiswa Universitas (SMU) adalah lembaga eksekutif mahasiswa di
aras universitas yang mengkoordinasikan aktifitas mahasiswa di aras Univer-
sitas dan Fakultas.
9
(3) Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas (BPMF) adalah lembaga perwakilan
dan permusyawaratan mahasiswa diaras fakultas.
(4) Senat Mahasiswa Fakultas (SMF) adalah lembaga eksekutif di aras fakultas
yang mengkoordinasikan aktivitas mahasiswa di aras fakultas dan atau
program studi.
(5) Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMP) adalah himpunan mahasiswa
yang terdapat pada fakultas tertentu yang mempunyai program studi.
(6) Kelompok Bakat Minat (KBM) yang merupakan himpunan mahasiswa yang
memiliki satu kesamaan minat, bakat,dan perhatian pada bidang tertentu yang
terintegrasi dengan LK di atas fakultas atau universitas, KBM ini termasuk
dalam naungan SMF.
2.1.3 Tujuan Organisasi Lembaga Kemahasiswaan di Universitas Kristen
Satya Wacana Salatiga
Tujuan organisasi di UKSW dalam KUKM UKSW (2011) sebagai
berikut:
(1) Menjadi wahana bagi mahasiswa untuk berperan serta dalam mewujudkan
tujuan perguruan tinggi pada umumnya dan Universitas Kristen Satya Wacana
pada Khususnya.
(2) Menjadi wahana untuk membina persekutuan dan persaudaraan untuk
kesejahteraan mahasiswa.
(3) Menjadi wahana mempersiapkan calon – calon pemimpin yang kritis-prinsipil,
kreatif-realistis dan non- konformis.
10
(4) Menjadi saluran bicara mahasiswa untuk menyalurkan aspirasi konstruktif dan
bertanggung jawab, yang hidup dikalangan mahasiswa.
2.1.4 Fungsi dan Peranan Lembaga Kemahasiswaan Universitas Kristen
Satya Wacana Salatiga
KUKM UKSW (2011) menyebutkan fungsi dan peran LK UKSW adalah:
(1) Menjadi wahana bagi mahasiswa untuk berperan serta dalam mewujudkan
tujuan Perguruan Tinggi pada umumnya dan Universitas Kristen Satya
Wacana pada khususnya.
(2) Menjadi wahana untuk membina persekutuan dan pesaudaraan untuk
kesejahteraan mahasiswa.
(3) Menjadi wahana mempersiapkan calon-calon pemimpin yang kritis-analitis-
obyektif, kreatif-inovatif, adaptif, dinamis, dedikatif dan terampil yang
religius.
(4) Menjadi wahana bagi mahasiswa untuk menyalurkan aspirasi kontruktif dan
bertanggung jawab, yang hidup di kalangan mahasiswa.
2.1.5 Tugas dan Wewenang Organisasi Lembaga Kemahasiswaan yang ada
di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
Tugas dan wewenang organisasi yang ada di UKSW dalam LK FKIP
tercantum dalam KUKM UKSW (2011) yaitu:
1. Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas (BPMF)
BPMF berfungsi dalam:
(1) Mengutus wakil mahasiswa Fakultas untuk duduk di BPMU.
(2) Menarik kembali wakil mahasiswa Fakultas yang duduk di BPMU.
(3) Memilih dan menetapkan Ketua SMF.
11
(4) Membantu Ketua SMF Terpilih untuk membentuk kepengurusan SMF.
(5) Mengajukan nama fungsionaris SMF Terpilih untuk diangkat oleh SMU.
(6) Merumuskan GBHPLK di aras Fakultas.
(7) Memberi saran dan pemikiran kepada SMF, baik diminta maupun tidak
diminta.
(8) Mengawasi dan menilai pelaksanaan program kerja serta anggaran SMF
dan menyerahkan penilaiannya kepada SMU.
(9) Memberi saran dan pemikiran yang kritis-prinsipiil dan kreatif-realistis
kepada Pimpinan Fakultas. Menyalurkan aspirasi mahasiswa Fakultas
kepada pihak-pihak yang terkait.
(10) Melakukan Rapat Dengar Pendapat dengan SMF secara berkala.
(11) Memberhentikan Ketua SMF.
(12) Melakukan advokasi terhadap masalah-masalah mahasiswa berkaitan
dengan pemenuhan hak-hak mahasiswa.
(13) Membentuk Peraturan BPMF.
(14) Membentuk Keputusan BPMF.
(15) Membahas dan mengesahkan rancangan Peraturan BPMF yang diajukan
oleh SMF.
2. Senat Mahasiswa Fakultas (SMF)
Tugas dan tanggung jawab SMF yaitu:
(1) Menyusun dan mengajukan program kerja serta anggaran berdasarkan
GBHPLK di aras Fakultas pada permulaan tahun periode kepada SMU
melalui BPMF untuk dikoordinasikan.
12
(2) Melaksanakan program kerja yang telah ditetapkan pada Rapat LK.
(3) Memberi laporan pertanggungjawaban kepada SMU melalui BPMF pada
akhir periode.
(4) Menggiatkan aktivitas mahasiswa Fakultas sebagai basis kegiatan
akademik mahasiswa.
(5) Mewakili mahasiswa Fakultas dalam kegiatan ke dalam maupun ke luar
Universitas.
(6) Memberi laporan berkala mengenai perkembangan pelaksanaan program
kerja dan anggaran kepada SMU melalui BPMF.
(7) Memberikan saran dan pemikiran yang kritis-prinsipiil dan kreatif-
realistis kepada Pimpinan Fakultas.
(8) Menyalurkan aspirasi mahasiswa di arasFakultas.
(9) Menyusun dan mengusulkan rancangan Peraturan BPMF untuk dibahas
dan disahkan oleh BPMF.
(10) Membentuk Peraturan SMF.
(11) Membentuk Keputusan SMF.
3. Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMP)
Fungsi HMP yaitu:
(1) Membentuk Badan pengurus HMP, yang selanjutnya diangkat dengan
Surat Keputusan SMF.
(2) Menyusun dan mengajukan program kerja yang berorientasi pada
penalaran mahasiswa serta anggarannya berdasarkan Garis-garis Besar
13
Haluan Program embaga Kemahasiswaan aras Fakultas pada permulaan
tahun periode kepada SMF untuk dikoordinasikan.
(3) Melaksanakan program kerja HMP yang telah ditetapkan pada Rapat
Koordinasi Lembaga Kemahasiswaan.
(4) Menggiatkan aktifitas mahasiswa program studi sebagai basis kegiatan
akademik.
(5) Bertanggung jawab kepada SMF.
(6) Dapat mengutus perwakilan mahasiswa ke BPMF.
(7) Menarik kembali perwakilannya di BPMF.
(8) Menghimpun dan menyalurkan aspirasi mahasiswa program studi kepada
BPMF.
(9) Membentuk Keputusan HMP.
4. Kelompok Bakat Minat (KBM)
Fungsi KBM dapat dijabarkan sebagai berikut:
(1) Membentuk Badan Pengurus KBM.
(2) Mengajukan diri sebagai KBM pada setiap awal periode LK kepada
SMU di aras Universitas atau SMF di aras Fakultas.
(3) Menyusun dan mengajukan program kerja serta anggaran berdasarkan
GBHPLK pada permulaan periode LK kepada SMF atau SMU untuk
dikoordinasikan.
(4) Melaksanakan program kerja KBM yang telah ditetapkan pada Rapat
Koordinasi Lembaga Kemahasiswaan.
(5) Menggiatkan aktivitas mahasiswa sesuai dengan bakat dan minat.
14
(6) Bertanggung jawab kepada SMF atau SMU.
(7) Membentuk Keputusan KBM.
2.1.6. Keaktifan dalam Organisasi Kemahasiswaan
Suharso dan Retnoningsih (2005) mengatakan keaktifan berasal
dari kata aktif, yang memiliki arti giat, gigih, dinamis dan bertenaga atau sebagai
lawan statis atau lamban dan mempunyai kecenderungan menyebar atau
berkembang. Keaktifan merupakan suatu perilaku yang bisa dilihat dari
keteraturan dan keterlibatan seorang untuk aktif dalam kegiatan. Keaktifan
mahasiswa dalam organisasi merupakan suatu perilaku atau tindakan nyata yang
bisa dilihat dari keteraturan dan keterlibatan seorang mahasiswa dalam kegiatan
organisasi tersebut.
Sentosa (2008) mengatakan motivasi seseorang ikut serta dalam organisasi
untuk mendapatkan kecakapan yang tidak mungkin didapatkan di bangku perku-
liahan. Kecakapan tersebut meliputi, kecakapan mengatur waktu, kecakapan
birokrasi, kecakapan surat menyurat, dan kecakapan lainnya, nampak jelas bahwa
kecakapan – kecakapan tersebut jarang didapatkan dari bangku kuliah. Melalui
organisasi LK, mahasiswa percaya bahwa potensi tersebut dapat diolah dan
dikembangkan secara kreatif sehingga memberi kelebihan tersendiri bagi
mahasiswa lainnya yang tidak aktif dalam berorganisasi LK.
Selain untuk mengembangkan potensi, alasan lain yang mendasari
mahasiswa untuk berorganisasi LK adalah untuk mencapai sebuah prestasi. Bagi
mahasiswa yang aktif berorganisasi LK, prestasi akademis maupun non-akademis
15
menjadi sebuah kebanggaan tersendiri karena ia memiliki kemampuan yang tidak
hanya diukur dari aspek kognitif saja tetapi mahasiswa juga bisa membuktikan
kemampuan tersebut secara aplikatif dan praktis melalui kemandiriannya. Inilah
capaian yang dimiliki oleh mahasiswa yang tidak hanya berorientasi kuliah tetapi
juga organisasi LK, suatu kelebihan tersendiri yang membedakan dengan
mahasiswa yang berorientasi pada kuliah saja.
2.1.7. Manfaat Mengikuti Organisasi Lembaga Kemahasiswaan
Dengan mengikuti organisasi LK dapat memperoleh manfaat terutama
dalam kemandirian. Mahasiswa yang menjadi anggota LK dituntut memiliki sikap
mandiri. Hal ini ditunjukkan dengan kemampuan mahasiswa dalam menjalankan
tugas dan tanggung jawab berorganisasi LK serta perkuliahan. Sentosa (2008)
meyebutkan manfaat mengikuti organisasi sebagai berikut :
(1) Melatih Leadership, karena dalam berorganisasi ada banyak hal yang harus
diurus seperti acara – acara organisasi yang tentu melibatkan banyak orang,
baik itu sesama mahasiswa anggota organisasi maupun orang – orang di luar
organisasi.
(2) Belajar mengatur waktu, karena kita harus pandai – pandai mengatur waktu
antara tugas kuliah dan tanggung jawab sebagai anggota organisasi. (3)
Memperluas jaringan atau Networking, dalam mengikuti organisasi pasti akan
menambah teman – teman baru.
(4) Mengasah kemampuan sosial, orang yang mengikuti organisasi biasanya akan
lebih aktif di bandingkan dengan orang yang tidak mengikuti organisasi.
16
(5) Problem Solving dan Managemen Konflik, dalam mengikuti organisasi
mahasiswa dituntut untuk belajar memecahkan masalah apabila sewaktu –
waktu terjadi kendala mengenai organisasi.
Firdaus (2008) mengatakan mahasiswa aktivis menemui kendala dalam
membagi waktu antara kuliah dan organisasi. Tetapi mahasiswa anggota
organisasi LK yang memiliki kemandirian akan memperoleh nilai tambah karena
dengan berorganisasi seseorang akan terbiasa bekerjasama dengan orang lain
(work as a team), memiliki jiwa kepemimpinan (work as a leader), terbiasa
bekerja dengan managemen (work with management).
2.1.8. Azas-Azas Organisasi LK
Gulick (1957) mengatakan azas-azas organisasi, yaitu:
(1) Orang yang layak pada struktur organisasi
(2) Pengakuan seorang pimpinan puncak sebagai sumber wewenang
(3) Yang bersangkutan dengan kesatuan perintah
(4) Memakai staf khusus dan umum
(5) Departemenisasi berdasarkan tujuan, proses, orang dan tempat
(6) Pelimpahan dan pemakaian azas pengecualian
(7) Membuat tanggung jawab sepadan dengan wewenang
(8) Mempertimbangkan rentang control yang tepat.
17
2.1.9. Optimalisasi Performa Individu dalam Organisasi LK
Apapun bentuk, sifat, dan ukuran organisasi selalu diarahkan pada keber-
hasilan pencapaian tujuan organisasi (organizational effectiveness) yang telah
ditetapkan. Keberhasilan organisasi ini pada dasarnya merupakan akumulasi dan
agregat usaha-usaha sekaligus keberhasilan individu-individu (individual
effectiveness) dalam organisasi itu sendiri (Gibson, 1985). Dengan demikian dapat
diungkapkan bahwa performa individu atau mahasiswa anggota LK merupakan
determinan terhadap performa organisasi LK.
Dengan melihat mahasiswa anggota LK merupakan determinan terhadap
efektifitas organisasi dan dengan munculnya pendekatan baru yang disebut
pendekatan perilaku organisasi, dimana pendekatan ini peduli terhadap individu
(individu dinilai sebagai people, bukan thinks), maka tulisan ini hendak mengkaji
upaya-upaya secara global (makro) untuk mengoptimalkan performa individu
dalam organisasi LK dalam rangka pencapaian tujuan organisasi LK, dengan
mendasarkan pada pendekatan perilaku organisasi LK.
Untuk mengarahkan dan mengendalikan perilaku mahasiswa dalam
Organisasi LK dengan melihat manusia secara utuh (humanistic oriented) maka
manajemen harus memahami berbagai variabel yang mempengaruhi perilaku
individu tersebut. Dinamika menuju pendekatan perilaku organisasi dalam LK
merupakan satu pendekatan yang menandai perkembangan awal dari studi
perilaku yang merupakan pendekatan perspektif teoritis-makro yakni yang dikenal
sebagai pendekatan tradisional. Pendekatan tradisional ini telah memberikan
kontribusi dalam studi manajemen antara lain:
18
(1) Telah mengenalkan teori-teori rasional yang sebelumnya belum ada..
(2) Memusatkan perhatian pada peningkatan produktivitas dan kualitas output.
(3) Menyediakan mekanisme administratif yang sesuai bagi organisasi.
(4) Penerapan pembagian kerja.
(5) Meletakkan landasan bagi studi berikutnya mengenai efisiensi metode kerja
dan organisasi.
(6) Mengembangkan prinsip-prinsip yang umum dalam manajemen LK.
Namun demikian pendekatan ini kemudian banyak ditinggalkan karena
pendekatan ini hanya menekankan aturan-aturan formal, spesialisasi, pembagian
tanggung jawab yang jelas dengan memberi perhatian relatif kecil terhadap arti
pentingnya personal dan kebutuhan sosial dari individu-individu yang berada
dalam organisasi tersebut (Bennet, 1994). Hal ini menegaskan bahwa pendekatan
klasik ini memperlakukan individu-individu dalam organisasi secara mekanistik-
menilai bahwa secara eksklusif manusia hanya termotivasi oleh keinginan untuk
memperoleh penghargaan berupa keuntungan finansial yang tinggi.
Dalam perkembangan selanjutnya muncullah pendekatan baru yakni
pendekatan hubungan kerja kemanusiaan (human relation approach). Pendekatan
ini muncul dengan diawali dengan eksperimen Hawthorne (Hawthorne experi-
ments) oleh Elton Mayo dan team Industrial Research dari Universitas Harvard.
Pendekatan Human Relations telah memberikan wacana baru dalam studi mana-
jemen dengan memberikan beberapa sumbangan pemikiran dan hipotesis baru
antara lain:
19
(1) Secara eksplisit pertama kali mengenalkan peranan dan pentingnya hubungan
interpersonal dalam perilaku kelompok.
(2) Secara kritis menguji kembali hubungan antara keuntungan finansial dan
motivasi.
(3) Mempertanyakan anggapan bahwa masyarakat merupakan kelompok individu
yang berusaha untuk memaksimalkan pemenuhan kepentingan personalnya
sendiri.
(4) Menunjukkan bahwa bagaimana sistem teknis dan sistem sosial saling
berhubungan.
(5) Menunjukkan hubungan di antara kepuasan kerja dan produktivitasnya.
Dalam bagian yang sama Bennet (1994) menunjukkan beberapa kele-
mahan dari pendekatan ini yakni pendekatan ini mengesampingkan pengaruh
struktur organisasi terhadap perilaku individu, memandang organisasi sebagai
sistem tertutup (closed system) dan mengabaikan kekuatan lingkungan politik,
ekonomi dan lingkungan yang lain, tidak menjelaskan pengaruh kesatuan kerja
terhadap sikap dan perilaku individu, meremehkan motivasi, keinginan untuk
berpartisipasi dalam pembuatan keputusan dan kesadaran sendiri berkaitan dengan
segala sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaan, memusatkan perhatian
kepada pengaruh kelompok kecil namun mengabaikan pengaruh struktur sosial
yang lebih luas.
Kemudian pada tahun 1970-an muncul pendekatan yang berspektif mikro
teoritis yakni yang dikenal dengan istilah pendekatan perilaku organisasi
(organizational behavior approach). Berkaitan dengan ini Thoha (1990) menga-
20
takan bahwa perilaku organisasi adalah secara langsung berhubungan dengan
pengertian, ramalan, dan pengendalian terhadap perilaku orang-orang di dalam
organisasi, dan bagaimana perilaku orang-orang tersebut mempengaruhi usaha-
usaha pencapaian tujuan organisasi. Duncan (dalam Thoha, 1990) juga
menjelaskan bahwa studi perilaku organisasi termsuk di dalamnya bagian-bagian
yang relevan dari semua ilmu perilaku yang berusaha menjelaskan tindakan-
tindakan manusia di dalam organisasi, perilaku organisasi sebagaimana suatu
disiplin mengenal bahwa individu dipengaruhi oleh bagaimana pekerjaan yang
diatur dan siapa yang bertanggung jawab untuk pelaksanaannya. Walaupun
dikenal adanya keunikan pada individu, namun perilaku organisasi masih
memusatkan pada kebutuhan manajer untuk menjamin bahwa keseluruhan tugas
pekerjaan bisa dijalankan. Sehingga kesimpulannya pendekatan ini mengusulkan
beberapa cara supaya usaha-usaha individu itu bisa terkoordinir dalam rangka
mencapai tujuan organisasi.
Lebih terperinci Gibson (1985) memberikan beberapa pokok pikiran yang
perlu dicatat berkaitan dengan pendekatan perilaku organisasi ini yakni bahwa
pendekatan perilaku organisasi merupakan: way of thinking: tingkat analisis pada
level individu, kelompok, dan organisasi, interdiciplinary field: memanfaatkan
berbagai disiplin, model, teori dan metode dari disiplin yang ada, humanistic
orientation: manusia dan segala sikap, perilaku, persepsi, kapasitas, perasaan, dan
tujuannya merupakan nilai utama, performance oriented : selalu mengarahkan
pada performance, external environment: lingkungan eksternal dilihat memiliki
pengaruh terhadap perilaku organisasi, metode ilmiah (scientific method)
21
berperanan penting dalam mempelajari variabel dan hubungan, dan application
orientation: memusatkan perhatian untuk menjawab berbagai permasalahan yang
muncul dalam konteks manajemen organisasi. Dengan demikian dapat digaris
bawahi bahwa pendekatan perilaku organisasi seperti LK merupakan
multidisipliner, integrated, comprehensive, dan people centered approach yaitu
pendekatan yang memandang organisasi sebagai suatu sistem sosial, sehingga
tidak lagi memandang organisasi sebagai wadah atau alat semata, sehingga dalam
rangka memperbaiki produktifitas (productivity improvement) dalam arti luas
guna mencapai efektivitas organisasi (organizational effectivity) tidak cukup
memberi tekanan pada struktur dan desain organisasi (organizational structure
and design) saja tetapi hendaknya juga dan lebih pada manusianya (human).
Tabel 1
Management Skills Necessary at Various Levels of an Organization
Executive
Managerial
Supervisory
Nonsupervisory
Sumber: Etal, 1985
Dari ilustrasi tersebut dapat dilihat bahwa human skill merupakan
kapasitas yang krusial dalam setiap level manajemen. Hersey (dalam Etal, 1985)
juga menegaskan bahwa human skill telah dipandang penting pada masa lalu,
namun menjadi utama pada saat ini. Untuk dapat mencapai kepemimpinan yang
efektif yang secara langsung juga mengarahkan perilaku individu yang
berorientasi tujuan organisasi (goal oriented behavior) maka perlu adanya
Human Conseptual
Technical
22
pemahaman yang jelas terhadap berbagai variabel yang mempengaruhi perilaku
organisasi termasuk LK, yaitu :
(1) Perilaku Individu
Individu atau anggota organisasi dalam memasuki lingkungan
organisasi akan membawa beberapa unsur yang telah membentuk
karakteristiknya antara lain kemampuan, kebutuhan, kepercayaan,
pengalaman, pengharapan. Namun demikian lingkungan organisasi memiliki
karakteristik sendiri yang berupa keteraturan yang diwujudkan dalam
susunan hirarki, pekerjaan-pekerjaan, tugas-tugas, wewenang dan tanggung
jawab, sistem penggajian (reward system), sistem pengendalian dan lain
sebagainya. Kemudian dalam proses pencapaian tujuan organisasi, kedua
karekteristik ini melakuakn interaksi dan akan membentuk suatu perilaku
individu dalam organisasi (Anderson dan Anna Kyprianou : 1994).
Selanjutnya Thoha (1990) menggambarkan model umum perilaku dalam
organisasi sebagai berikut:
23
Tabel 2
Model Umum Perilaku dalam Organisasi
<
Oleh karena itu manajer yang efektif adalah manajer yang mampu
memahami karakteristik individu-individu yang berada dalam organisasi tersebut,
dan hal ini dapat dilakukan dengan memahami prinsip-prinsip dasar yang
mempengaruhi perilaku individu. Thoha (1990) menyebutkan beberapa prinsip
Karakteristik
Individu
Kemampuan
Kebutuhan
Kepercayaan
Pengalaman
Pengharapan
Karakteristik
Organisasi
Hirarki
Tugas-tugas
Wewenang
Tanggungjawab
Sistem Reward
Sistem Kontrol
Perilaku
Individu
Dalam Organisasi
24
dasar tersebut yakni: manusia berbeda perilakunya karena kemampuannya tidak
sama, manusia mempunyai kebutuhan yang berbeda, orang berpikir tentang masa
depan dan membuat pilihan tentang bagaimana bertindak, seseorang memahami
lingkungannya dalam hubungannya dengan pengalaman masa lalu dan
kebutuhannya, seseorang itu mempunyai reaksi-reaksi senang atau tidak senang
(affective) dan banyak faktor yang menentukan sikap dan perilaku seseorang.
Dengan demikian tantangan yang dihadapi manajemen adalah berkaitan dengan
kemampuan untuk mengidentifikasikan setiap perilaku individu yang berada
dalam organisasi dengan berbagai historical background-nya, dan tentunya ini
perlu suatu strategi dan teknik tertentu.
Secara lebih terperinci Gibson (1985) mengidentifikasikan berbagai varia-
bel yang mempengaruhi perilaku dan performa individu dalam organisasi, dan hal
ini digambarkan pada gambar 3.
Tabel 3
Variables That Influence Behavior and Performance
Psychological
Variables
Perception
Attitude
Personality
Learning
Motivasion
Individual behavior (e.g)
What a person does
Performance (e.g)
Desired result
Individual Variabel
Abilities and skills
Mental
Physical
Background
Family
Social Class
Experiences
Democratis
Age
Race
Sex
Organizational Variabel
Resources
Leadership
Rewards
Structure
Job desaign
25
Dari ilustrasi di atas dapat diamati bahwa banyak variabel yang mempe-
ngaruhi dan menentukan perilaku dan performa individu, tidak hanya dari variabel
organisasional, namun juga dari variabel individual dan variabel psikologis, yang
semuanya tentunya perlu mendapat perhatian manajer secara menyeluruh dan
terintegrasi. Perhatian manajer secara menyeluruh dan terintegrasi dapat dikalau-
kan dengan partisipasi individu dalam pembuatan keputusan, kondisi kerja dan
budaya organisasi yang membuat betah (convenient), adanya program
pengembangan diri yang jelas, hubungan antar individu dalam kelompok yang
harmonis, gaya kepemimpinan yang mendukung situasi dan kondisi yang
harmonis dan kondusif untuk mengembangkan daya kreativitas dan inovatif,
tingkat stres yang seminimal mungkin.
2.2 Kemandirian
2.2.1.Pengertian Kemandirian
Kemandirian dalam kamus psikologi berasal dari kata “independence”
yang diartikan sebagai suatu kondisi dimana sesorang tidak tergantung pada orang
lain dalam menentukan keputusan dan adanya sikap percaya diri (Chaplin, 2000).
Irene (2002) mendefinisikan kemandirian sebagai suatu sikap yang dapat
menerima dan menjadi diri sendiri, percaya pada kemampuan diri sendiri serta
tidak tergantung pada orang lain. Masrun (1986) mendefinisikan kemandirian
sebagai salah satu komponen kepribadian yang mendorong individu untuk dapat
mengarahkan dan mengatur perilakunya sendiri, menyelesaikan masalah tanpa
bantuan orang lain. Kemandirian merupakan suatu sikap individu yang diperoleh
26
secara kumulatif selama perkembangan, dimana individu akan terus belajar untuk
bersikap mandiri dalam menghadapi berbagai situasi di lingkungan, sehingga
individu pada akhirnya akan mampu berpikir dan bertindak sendiri (Havighurst,
1972). Secara singkat dapat disimpulkan bahwa kemandirian mengandung
pengertian:
(1) Bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya.
(2) Memiliki kepercayaan diri dalam mengerjakan tugas-tugasnya
(3) Mampu mengambil keputusan dan inisiatif untuk mengatasi masalah yang
dihadapi.
(4) Suatu keadaan di mana seseorang yang memiliki hasrat bersaing untuk
maju demi kemajuan dirinya.
Kemandirian merupakan suatu sikap individu yang diperoleh secara
kumulatif selama perkembangan, di mana individu akan terus belajar untuk
bersikap mandiri dalam menghadapi berbagai situasi di lingkungan sehingga
individu pada akhirnya akan mampu berpikir dan bertindak sendiri. Dengan
kemandiriannya seseorang dapat memilih jalan hidupnya untuk dapat berkembang
dengan lebih mantap.
2.2.2 Ciri-ciri Kemandirian
Masrun (1986) merumuskan bahwa orang yang mandiri mempunyai ciri –
ciri yaitu : memungkinkan seseorang untuk bertindak bebas, melakukan sesuatu
atas dorongan sendiri dan untuk kebutuhan sendiri, mengejar prestasi, penuh
ketekunan, serta berkeinginan untuk mengerjakan segala sesuatu tanpa bantuan
27
orang lain, mampu mengatasi masalah yang dihadapi, mampu mengendalikan
tindakan – tindakannya, mampu mempengaruhi lingkungan, mempunyai rasa
percaya terhadap diri sendiri, menghargai keadaan dirinya sendiri, dan
memperoleh kepuasan dari usahanya.
Havighurst (1972) berpendapat mahasiswa yang memiliki kemandrian
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
(1) Percaya pada diri sendiri.
(2) Tidak mudah terpengaruh.
(3) Memiliki kemampuan untuk bertindak sesuai dengan apa yang diyakini.
(4) Mampu menentukan sikapnya sendiri.
(5) Gigih dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah.
(6) Dapat memilih apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang tidak
seharusnya dilakukan.
2.2.3 Aspek-Aspek Kemandirian
Masrun (1986) mengemukakan bahwa ada lima aspek penting dalam
kemandirian, yaitu :
(1) Bebas bertanggung jawab, ditunjukkan dengan adanya ciri – ciri: tindakan
dilakukan atas kehendak sendiri bukan karena orang lain dan tidak tergantung
pada orang lain.
(2) Progresif dan ulet, ditunjukkan dengan ciri – ciri: usaha mengejar prestasi,
penuh ketekunan, merencanakan serta mewujudkan harapan – harapannya.
(3) Inisiatif, ditunjukkan dengan ciri – ciri: mampu untuk berpikir dan bertindak
secara original, kreatif, dan penuh inisiatif.
28
(4) Pengendalian diri, ditunjukkan dengan ciri – ciri: mempunyai perasaan
mampu mengatasi masalah yang dihadapi, mampu mengendalikan tindakan
serta mampu mempengaruhi lingkungan dan mengenal diri sendiri.
(5) Kemantapan diri, ditunjukkan dengan ciri – ciri: merasa percaya pada
kemampuan sendiri, dapat menerima dan memperoleh kepuasan dari usaha
sendiri.
Havighurst (1972) menyatakan kemandirian terdiri dari beberapa aspek
yaitu:
(1) Emosi, ditunjukkan dengan kemampuan mengontrol emosi dan tidak
tergantungnya kebutuhan emosi dari orang tua.
(2) Ekonomi, ditunjukkan dengan kemampuan mengatur ekonomi dan tidak
tergantungnya kebutuhan ekonomi dari orang tua.
(3) Intelektual, aspek ini ditunjukkan dengan kemampuan untuk menghadapi
masalah yang dihadapi.
(4) Sosial, ditunjukkan dengan kemampuan untuk mengadakan interaksi
dengan orang lain dan tidak tergantung atau menunggu aksi dari orang
lain.
2.2.4 Faktor faktor yang mempengaruhi kemandirian
Dari kematangan fisik dan psikis maka timbul berbagai macam tugas
perkembangan pada remaja yaitu mencapai hubungan baru dan lebih matang
dengan teman sebaya baik pria maupun wanita, mencapai peran sosial pria dan
wanita menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara positif,
29
mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab, mencapai
kemandirian emosional dari orang tua dan orang – orang dewasa lainnya,
mempersiapkan karier ekonomi, mempersiapkan perkawinan dari keluarga,
memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku
mengembangkan ideologi (Hurlock, 1996). Kemandirian terbentuk begitu saja
akan tetapi berkembang karena pengaruh dari beberapa faktor.
Menurut Hurlock (1981) faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan
kemndirian adalah :
(1) Pola asuh orangtua
Orangtua yang memiliki nilai budaya yang terbaik
dalam memperlakukan anaknya adalah dengan cara yang
demokratis, karena pola ini orang tua memiliki peran
sebagai pembimbing yang memperhatikan setiap aktivitas
dan kebutuhan anaknya, terutama sekali yang berhu-
bungan dengan studi dan pergaulan, baik itu dalam ling-
kungan keluarga maupun dalam lingkungan sekolah.
(2) Jenis Kelamin
Jenis kelamin membedakan antara anak laki-laki
dan perempuan, dimana perbedaan ini mengunggulkan
pria karena pria dituntut untuk berkepribadian maskulin,
dominan, agresif dan aktif. Dibandingkan pada anak
perempuan yang memiliki ciri kepribadian yang khs yaitu
pola kepribadian yang feminis, pasif dan kepatuhan serta
ketergantungan.
(3) Urutan kelahiran dalam keluarga
Anak sulung biasanya lebih berorientasi pada
orang dewasa, pandai mengendalikan diri, cemas takut
gagal dan pasif jika dibandingkan dengan saudaranya,
anak tengah lebih ekstrovert dan kurang mempunyai
dorongan, akan tetapi mereka memiliki pendirian, sedang
anak bungsu adalah anak yang sangat di sayang orangtua.
(4) Ukuran Keluarga
Pada setiap keluarga dapat dijumpai ukuran kelu-
arga yang berbeda-beda. Ada keluarga besar dengan
jumlah anak lebih dari enam orang, keluarga ukuran
sedang dengan jumlah anak empat sampai lima orang dan
keluarga kecil dengan jumlah anak satu orang sampai
tiga orang anak. Adanya perbedaan ukuran keluarga ini
30
dapat memberikan dampak yang positif maupun negatif
pada hubungan anak dengan orangtua maupun hubungan
anak dengan saudaranya. Biasanya dampak negatif paling
banyak dirasakan oleh keluarga yang mempunyai ukuran
besar karena dengan keluarga yang besar berarti orangtua
harus membagi perhatiannya pada setiap anak degan adil
yang terkadang anak sering terabaikan.
2.2.5 Standar Kompetensi Kemandirian Peserta Didik
Dalam penataan pendidikan profesional konselor dan layanan Bimbingan
dan Konseling dalam jalur pendidikan formal, Departemen Pendidikan Nasional
(2008) menyebutkan standar kompetensi kemandirian peserta didik Perguruan
Tinggi dalam aspek perkembangan kematangan intelektual mahasiswa diharapkan
mampu mengambil keputusan dan pemecahan masalah atas dasar informasi/data
secara objektif serta bermakna bagi dirinya dan orang lain. Dalam aspek
perkembangan kematangan emosi mahasiswa diharapkan dapat mengekspresikan
perasaan dalam cara-cara yang bebas, terbuka dan tidak menimbulkan konflik dan
mampu berpikir positif terhadap kondisi ketidakpuasan.
Pendidikan yang bermutu, efektif dan ideal yaitu yang mengintegrasikan
tiga bidang kegiatan utama pendidikan secara sinergi, yaitu 1) Bidang Administratif
dan Kepemimpinan. 2) Bidang Instruksional/Kurikuler. 3) Bidang Bimbingan dan
Konseling. Berarti, pendidikan yang melaksanakan bidang administratif dan
instruksional tetapi mengabaikan bidang bimbingan dan konseling menghasilkan
siswa pintar dan terampil dalam aspek akademik, tetapi kurang memiliki
kemampuan/kematangan dalam aspek kepribadian.
Terjadi perubahan paradigma pendekatan bimbingan dan konseling, yaitu
dari pendekatan yang berorientasi tradisional, remedial, klinis dan terpusat pada
31
konselor ke pendekatan yang berorientasi perkembangan dan preventif.
Pendekatan Bimbingan dan Konseling Perkembangan/Developmental Guidance
and Counseling, atau Bimbingan dan Konseling Komprehensif/Comprehensive
Guidance and Counseling. Pelayanan bimbingan dan konseling komprehensif
didasarkan pada upaya pencapaian tugas perkembangan, pengembangan potensi
dan pengentasan masalah konseli.
Tugas-tugas perkembangan dirumuskan sebagai standar kompetensi yang
perlu dicapai konseli hingga pendekatan disebut Bimbingan dan Konseling
Berbasis Standar/Standard Based Guidance and Counseling (Ditjen PMPTK,
Depdiknas. 2007). Standar itu dirumuskan dalam Standar Kompetensi Keman-
dirian yang melingkupi upaya mengembangkan dan mewujudkan potensi diri
siswa secara penuh dalam aspek pribadi, sosial, belajar dan karier serta upaya
memfasilitasi perkembangan potensi konseli, yang meliputi aspek pribadi, sosial,
belajar dan karier serta dipadukan dengan pengembangan pribadi konseli sebagai
makhluk yang berdimensi biopsikososiospiritual (biologis, psikis, sosial dan
spiritual).
2.2.6 Perkembangan Kemandirian
Dalam menghampiri masalah kemandirian, tujuan bimbingan yang bersifat
pengembangan lebih penting dari pada tujuan terapeutik atau klinis. Ini bertolak
dari asumsi kemandirian tumbuh dalam proses individuasi yang terwujud dalam
interaksi yang sehat antara individu dengan budaya atau lingkungannya.
Pandangan ini melihat perkembangan adalah proses perubahan yang berpola dan
32
bergerak ke arah perilaku yang dikehendaki oleh individu maupun masyarakat
dalam sistem nilai tertentu. Fungsi bimbingan dan konseling dalam pemikiran
seperti ini adalah menciptakan kemudahan bagi terjadinya perkembangan
kepribadian individu secara normal. Hasil bimbingan dapat dinyatakan dalam
bentuk penguasaan tugas-tugas perkembangan atau peningkatan perkembangan
dari tingkat satu ke tingkat berikut yang lebih tinggi. Oleh karena itu cukup
beralasan jika kemandirian menjadi wilayah studi dan bahkan sebagai tujuan
bimbingan dan konseling (Kartadinata, 2011).
2.3 Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada perbedaan yang
signifikan antara kemandirian Mahasiswa Bimbingan dan Konseling yang
menjadi anggota LK dengan yang bukan anggota LK FKIP UKSW.