bab ii kajian pustaka -...
TRANSCRIPT
15
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1.Manajemen Pendidikan Dalam Kaitannya
Dengan Kesenjangan Gender
Usaha pembahasan secara bermakna tentang
dinamika relasi kepemimpinan pendidikan dengan
manajemen pendidikan, selanjutnya dikaitkan dengan
prespektif gender, bukanlah suatu yang mudah. Istilah
kepemimpinan pendidikan dan manajemen pendidikan
memang dalam praktek sehari-hari merupakan dua
konsep yang sering dipertentangkan.
Seringkali pengertian kepemimpinan dan
manajemen disamakan oleh banyak orang, namun ada
pula yang membedakan pengertian keduanya. Jhon
Kotter dalam (Robins, 2006) berpendapat bahwa
kepemimpinan berbeda dari manajemen. Menurutnya
manajemen berkaitan dengan hal-hal untuk mengatasi
kerumitan. Artinya manajemen yang baik dapat
menghasilkan tata tertib dan konsistensi dengan
menyusun rencana-rencana formal, merancang
struktur organisasi yang ketat dan memantau hasil
lewat pembandingan terhadap rencana yang telah
16
ditetapkan sebelumnya. Sedangkan kepemimpinan
sebaliknya, berkaitan dengan hal-hal untuk mengatasi
perubahan. Artinya pemimpin menetapkan arah
dengan mengembangkan suatu visi terhadap masa
depan, kemudian mengkomunikasikannya kepada
setiap orang dan menginspirasi orang-orang tersebut
dalam menghadapi segala rintangan. Sehingga Kotter
menganggap, baik kepemimpinan yang kuat maupun
manajemen yang kuat merupakan faktor penting bagi
optimalisasi efektifitas organisasi.
Lebih lanjut (Bush dan Coleman, 2006)
mengungkapkan bahwa kepemimpinan diidentikan
dengan visi dan nilai, sedangkan manajemen
diidentikan dengan proses yang berkaitan dengan
struktur. Dari definisi tersebut dapat diartikan bahwa
manajemen pendidikan adalah suatu proses
pengembangan kegiatan kerjasama sekelompok orang
untuk mencapai tujuan pendidikan yang akan
ditetapkan.
Proses pelaksanaan kelompok tersebut mencakup
perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing),
penggerakan (actuating) dan pengawasan (controlling),
yang kesemuanya merupakan rangkaian kegiatan
secara utuh (Mulyasa 2007;Lazaruth 1988). Sayangnya,
sebagaimana yang diungkapkan oleh (Owens,1995)
tentang pelaksanaan manajemen di sekolah seringkali
17
masih bersifat birokratis, atau dilaksanakan layaknya
mengelolah sebuah pabrik dalam rutinitas sehari-hari.
Jika dalam pelaksanaan manajemen pendidikan seperti
demikian berarti telah merendahkan manajemen
pendidikan itu sendiri, pada waktu yang sama juga
menghalangi diterapkannya pengembangan ke-
pemimpinan pendidikan yang benar. Oleh karena itu,
sudah seharusnya seorang kepala sekolah tidak hanya
berperan sebagai pemimpin pendidikan yang baik,
namun sekaligus juga seorang manajer dengan kinerja
yang bagus.
Paradigma baru manajemen pendidikan dalam
rangka meningkatkan kualitas secara efektif dan
efisien, sesungguhnya perlu didukung oleh sumber
daya manusia (SDM) yang berkualitas. Pengembangan
kualitas SDM tidak hanya sekedar meningkatkan
kemampuan, namun juga menyangkut pemanfaatan
kemampuan, proses pengembangan SDM tersebut
seharusnya juga dapat menyentuh berbagai aspek
kehidupan sekolah yang tercermin pada kepribadian
pemimpin pendidikan terutama kepala sekolah.
Menurut (Mulyasa, 2007) seorang kepala sekolah
sangat berperan penting dalam lembaga pendidikan
karena Kepala sekolah adalah sebagai motor penggerak
sekaligus penentu arah kebijakan sekolah yang akan
18
menentukan cara pencapaian tujuan-tujuan sekolah
dan pendidikan. Oleh karena itu kepala sekolah harus
mengetahui dengan pasti tugasnya sebagai seorang
kepala sekolah. Dalam perspektif kebijakan pendidikan
nasional (Depdiknas, 2006) tugas kepala sekolah dapat
digolongkan menjadi tujuh bidang yaitu:
1. Sebagai Educator (pendidik)
Kepala sekolah sebagai pendidik harus
memiliki strategi yang tepat untuk meningkatkan
profesionalisme tenaga kependidikan
disekolahnya. Kepala sekolah dapat menciptakan
iklim sekolah yang kondusif, memberi nasehat
kepada warga sekolah, dan memberi dorongan
kepada seluruh tenaga kependidikan. Kepala
sekolah juga harus berusaha menanamkan,
memajukan dan meningkatkan sedikitnya empat
nilai, yaitu pembinaan mental, pembinaan moral,
pembinaan fisik, pembinaan artistik. Sebagai
edukator, kepala sekolah wajib menjalankan
tugasnya yaitu: (1) mengikutsertakan para guru
dalam kegiatan ilmiah, seperti workshop,
pelatihan, seminar, dan penataran. Hal tersebut
harus dilakukan oleh kepala sekolah agar dapat
meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan
guru. (2) Menggerakkan tim evaluasi hasil belajar
19
peserta didik untuk lebih giat bekarja, dan
hasilnya diumumkan secara terbuka. (3)
menggunakan waktu belajar secara efektif di
sekolah.
2. Sebagai Manajer
Tugas kepala sekolah sebagai manajer
yaitu: (1) memberdayakan tenaga kependidikan
melalui kerjasama atau kooperatif untuk
meningkatkan tenaga profesional di lingkungan
sekolah. (2) memberi kesempatan kepada tenaga
kependidikan untuk meningkatkan profesinya. (3)
mendorong keterlibatan seluruh tenaga
kependidikan pada setiap kegiatan.
3. Sebagai Administrator.
Kepala sekolah sebagai administrator
memiliki hubungan yang sangat erat dengan
berbagai aktivitas pengelolaan administrasi yang
bersifat pencatatan, penyusunan dan
pendokumentasian seluruh program sekolah.
Secara spesifik, kepala sekolah harus memiliki
kemampuan untuk mengelola kurikulum,
administrasi peserta didik, administrasi
personalia, administrasi sarana dan prasarana,
administrasi kearsipan, dan administrasi
20
keuangan. Untuk menjalankan tugas sebagai
administrator, kepala sekolah kini harus bisa
mengembangkan layanan berbasis teknologi
modern guna memudahkan pengelolaan
administrasi. Sehingga administrasi sekolah
betul-betul tampak profesional dan berjalan
secara efektif dan efesien.
4. Sebagai Supervisor
Tugas kepala sekolah sebagai supervisor
yaitu memberi masukan kepada tenaga
kependidikan yang masih dirasa perlu dibenahi,
dibina dan ditingkatkan kemampuan dan
ketrampilannya. Tindakan ini perlu dilakukan
untuk mencegah agar para tenaga kependidikan
tidak melakukan penyimpangan dan lebih
berhati-hati melaksanakan pekerjaannya.
5. Sebagai Leader
Kepala sekolah sebagai leader
membutuhkan karakteristik khusus, yaitu (1).
memiliki kepribadian mantap, seperti (jujur,
percaya diri, tanggung-jawab, berani mengambil
resiko dan keputusan, berjiwa besar, emosi yang
stabil dan teladan). (2) Memiliki keahlian dasar,
seperti (memahami kondisi tenaga kependidikan,
21
tahu kondisi dan karakteristik peserta didik,
menyusun program pengambangan tenaga
kependidikan, menerima masukan, saran kritik
dari pihak lain. (3) memiliki pengalaman dan
pengetahuan profesional, serta (4). Memiliki
pengetahuan administrasi dan pengawasan.
6. Sebagai Innovator
Sebagai innovator, kepala sekolah harus
memiliki staregi yang tepat untuk menjalin
hubungan harmonis dengan lingkungan, mencari
gagasan baru, mengintegrasikan setiap kegiatan,
memberikan teladan kepada seluruh tenaga
kependidikan di sekolah, dan mengembangkan
model-model pembelajaran yang innovatif. Kepala
sekolah sebagai innovator akan terlihat dari
bagaimana ia melakukan pekerjaannya secara
konstruktif, kreatif, delegatif, integratif, rasional
dan objektif, pragmatis, keteladanan, adaptable
dan fleksibel. Sebagai innovator juga harus
mampu mencari, menemukan dan melaksanakan
berbagai pembaruan di sekolah.
7. Kepala sekolah sebagai wirausahawan
Dalam menerapkan prinsip-prinsip
kewirausaan dihubungkan dengan peningkatan
kompetensi guru, maka kepala sekolah
22
seyogyanya dapat menciptakan pembaharuan,
keunggulan komparatif, serta memanfaatkan
berbagai peluang. Kepala sekolah dengan sikap
kewirausahaan yang kuat akan berani
melakukan perubahan-perubahan yang inovatif
di sekolahnya, termasuk perubahan dalam hal-
hal yang berhubungan dengan proses
pembelajaran siswa beserta kompetensi gurunya.
Bila dihubungkan dengan perspektif gender,
tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkapkan
manajemen pendidikan dikaitkan dengan data dan
masalah kesenjangan gender dalam kepemimpinan
pendidikan. Arti dari kesenjangan gender dalam
konteks ini, adalah menunjuk kepada fakta yang
timpang, tidak seimbang atau adanya gap antara laki-
laki dan perempuan berkaitan dengan representasi
atau keterwakilan, cara menghadirkan diri maupun
munculnya berbagai dampak negatif kesenjangan
gender.
Menurut (Chliwniak,1997) terjadinya gap antara
laki–laki dan perempuan di bidang manajemen
pendidikan dipengaruhi oleh tiga model yang
menjelaskan rendahnya kepemimpinan perempuan
dalam organisasi pendidikan. Pertama, Individual or
Meritocrasy model/model individual atau model
23
kepantasan. Model ini menekankan kepada keberadaan
perempuan dan model penghargaan yang pantas atau
kepatutan perempuan itu sendiri yang dianggap
menjadi penyebab adanya kesenjangan gender di
bidang kepemimpinan. Model ini mempunyai tekanan
atau berorientasi kepada aspek psikis, misalnya: sifat-
sifat pribadi, ciri–ciri pribadi, kemampuan atau kualitas
diri. Demikian juga sikap pribadi yang tercermin pada
citra diri serta rasa percaya diri, motivasi, aspirasi
kesemuanya termasuk pada model ini. Pendapat yang
melatar-belakangi model ini adalah adanya anggapan
bahwa perempuan tidak cukup tegas, tidak
menginginkan kekuasaan, kurang percaya diri, tidak
memiliki aspirasi untuk posisi kepemimpinan, tidak
menghendaki terlibat dalam permainan maupun kerja
di dalam sistem. Disamping itu mereka tidak melamar
menjadi pemimpin pendidikan.
Keyakinan bahwa tidak menginginkan kekuasaan
mungkin bukan berkaitan dengan tidak ingin
mempunyai kekuasaan, tetapi sebetulnya berhubungan
dengan bagaimana mereka memandang kekuasaan
tersebut. Cara perempuan menggunakan
kekuasaannya ternyata memang cukup berbeda dengan
cara laki–laki menggunakan kekuasaanya. Perempuan
menggunakan kekuasaan bukan untuk menguasai
orang lain, tetapi cenderung untuk memberdayakan
orang lain.
24
Kedua, Organizational or discrimination model/
model perspektif organisasi atau model diskriminasi.
Model ini berfokus kepada sistem pendidikan. Adanya
perbedaan aspirasi karier dan berbagai pencapaian
pekerjaan antara laki – laki dan perempuan, menurut
model ini, merupakan suatu akibat dari kesempatan
yang terbatas yang dihadapi oleh perempuan. Model ini
menjelaskan bagaimana struktur dan praktek
organisasi pendidikan telah mendiskriminasi
perempuan. Kelihatannya laki–laki memang lebih
diuntungkan dan diunggulkan dalam praktik promosi
ke aras yang lebih tinggi karena mereka sering
mendapat perlakuan istimewa, sementara perempuan
sulit mencapai aras lebih tinggi meskipun mereka
sudah berusaha dengan sungguh-sungguh.
Ketiga, woman’s place or social perspective
model/model tempat perempuan atau model perspektif
sosial. Model ini menekankan kepada norma budaya
dan sosial. Norma budaya dan sosial diidentifikasi telah
mendorong terjadinya praktek diskriminasi kepada
perempuan. Norma–norma, cerita rakyat dan aturan
sosial ternyata bersesuaian dengan pola sosialisasi
yang mengarahkan baik laki–laki maupun perempuan
kepada perbedaan bidang kerja maupun perbedaan
status dan upah.
25
2.2.Teori Pembagian Kerja Berbasis Gender
Salah satu faktor signifikan dari fenomena
kesenjangan gender, adalah karena ada fakta
pembagian kerja berbasis gender. Untuk menjelaskan
adanya pembagian kerja berbasis gender, akan dipilih
tiga teori dasar yang dapat digunakan, yaitu nature,
nurture dan fungsional
a. Teori Nature Dan Nurture
Teori ini pada gilirannya juga digunakan untuk
menjelaskan adanya perbedaan posisi atau kedudukan,
peran dan sifat-sifat dari laki-laki dan perempuan.
Pertama, menurut teori nature, realita adanya
perbedaan biologis atau seks merupakan suatu kodrat.
Menurut (Zimbalist,1984) dalam pengamatannya
terhadap berbagai kelompok manusia, mengungkapkan
bahwa pada umumnya perempuan mempunyai
kedudukan sebagai ibu, yang erat kaitannya dengan
mata rantai reproduksi. Berkaitan dengan keadaan
tersebut, maka peran perempuan dibatasi terutama
untuk urusan domestik, yaitu yang berkaitan dengan
rumahtangga, yang berhubungan dengan anak dan
sebagai istri. Sehingga pada akhirnya hampir tidak ada
atau sedikit sekali perempuan memiliki peran dalam
dunia publik. Dengan adanya pemikiran mengenai citra
perempuan tersebut, maka berkembanglah aturan dan
adat istiadat yang berbasis kepada perbedaan biologis
26
alami atau nature tersebut. Sementara untuk laki-laki
dengan kodrat biologis yang dimilikinya
memperlihatkan kekuatan, ketegaran bahkan
kekerasan. Dengan kodrat tersebut, laki-laki dibentuk
dengan peran selalu berada di dunia publik yang keras
dan kompleks. Laki-laki yang selalu membuat kontak-
kontak dengan dunia luas, dengan kedudukan lebih
tinggi dari perempuan, sekaligus untuk melindungi
perempuan sebagai istri dan anak-anak yang lemah.
Sehingga pada saat yang sama kedudukan perempuan
disubordinasikan di bawah laki-laki.
Kedua, teori nurture. Pada hakekatnya teori ini
bertentangan dengan teori nature, atau teori kodrat.
Teori ini mengungkapkan bahwa realita biologis tidak
menyebabkan kedudukan laki-laki lebih tinggi dari
perempuan, pemilihan sektor domestik dan publik,
sekaligus pengunggulan terhadap masing-masing jenis
kelamin dengan lingkungan (Sanderson,1995).
Pembedaan sifat dan sikap yang dianggap kelaki-lakian
dan keperempuanan juga merupakan rekayasa
lingkungan sosial, hasil pemupukan proses sosialiasi
atau melalui usaha pendidikan. Menurut
(Budiman,1985), kedudukan maupun peran di satu sisi
merupakan usaha buatan yang direncanakan, hasil
kombinasi antara tekanan dan paksaan dengan
rangsangan yang tidak wajar. Di sisi lain, upaya
tersebut menyesatkan, khususnya untuk perempuan.
27
b. Teori Fungsionalis: Keserasian Rumah Tangga
Dan Masyarakat.
Teori fungsionalis diungkapkan di sini karena
dianggap mempunyai kaitan dengan kepemimpinan
laki-laki dan perempuan. Teori ini berpendapat bahwa
pembagian kerja berbasis gender merupakan
kebutuhan masyarakat dan diciptakan untuk
masyarakat secara keseluruhan (Budiman,1985). Teori
ini pada hakikatnya merupakan upaya bantahan
terhadap teori Freudian yang secara tidak langsung
menyatakan bahwa pembagian kerja berdasar
perbedaan gender merupakan akibat wajar dari “kodrat
perempuan” itu sendiri, yang membuat perempuan jadi
kurang aktif dibanding dengan laki-laki.
Kaum fungsionalis memerikan perhatian kepada
fungsi perempuan dan laki-laki dalam masyarakat,
khusunya dalam keluarga inti. Menurut Talcot Parson
(dalam Budiman,1985), fungsi perempuan adalah
untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah-
tangga. Dengan cara itu maka ditiadakan kemungkinan
terjadinya persaingan antara suami dan isteri. Adanya
pembagian fungsi yang jelas, laki-laki sebagai suami
harus mengembangkan kariernya di luar rumah. Isteri
boleh bekerja di luar rumah, tapi seharusnya tidak
merupakan kariernya. Menurut Murdock (dalam
Budiman,1985), pembagian kerja berbasis gender akan
28
memberi rasa tenang bagi keduanya dalam keluarga,
dan sekaligus menjadi tonggak penopang bagi
keserasian (harmoni) masyarakat.
2.3 Model–Model Kesenjangan Gender Dan
Dampaknya
Masalah utama yang berkaitan dengan fenomena
gender di Indonesia adalah karena masyarakat kita
menganut hukum hegemoni patriarkhi (Handayani dan
Sudiarti,2002). Sistem patriarkhi menggambarkan
dominasi laki – laki atas perempuan dan anak–anak di
dalam keluarga (Russel, 1996), dominasi tersebut
berlanjut di semua ruang lingkup kehidupan
masyarakat. Patriarkhi adalah konsep bahwa laki–laki
memegang kekuasaan atas semua peran penting dalam
masyarakat, antara lain di bidang pemerintahan,
militer, industri, bisnis, perawatan kesehatan, iklan,
agama, termasuk bidang pendidikan. Hukum hegemoni
patriarkhi ternyata juga telah menyebabkan timbulnya
berbagai masalah ketidakadilan dan ketidaksetaraan
gender. Penjabarkan hal ini akan dijelaskan melalui
model terjadinya kesenjangan/ “gender gap”, dan
dampak ketidakadilan gender yang terutama dialami
oleh perempuan.
(Chliwniak,1997), mengemukakan bahwa ada tiga
model yang menjelaskan rendahnya kepemimpinan
29
perempuan dalam organisasi pendidikan. Pertama,
Individual or Meritocrasy model/ model individual atau
model kepantasan. Model ini menekankan kepada
keberadaan perempuan dan model penghargaan yang
pantas atau kepatutan, dimana perempuan sendiri
yang dianggap menjadi penyebab adanya kesenjangan
gender di bidang kepemimpinan. Model ini berorientasi
kepada aspek psikis, misalnya: sifat-sifat pribadi, cirri-
ciri pribadi, kemampuan atau kualitas diri, rasa
percaya diri, motivasi, dan harapan. Pendapat yang
melatar-belakangi model ini adalah adanya anggapan
bahwa perempuan tidak cukup tegas, tidak
menginginkan kekuasaan, kurang percaya diri, tidak
memiliki harapan untuk posisi kepemimpinan, dan
mereka menolak untuk melamar menjadi pemimpin
pendidikan.
Kedua, Organiztional or Discrimination Model/
model perspektif organisasi atau model diskriminasi.
Model ini berfokus kepada sistim pendidikan. Adanya
perbedaan harapan tentang karier dan berbagai
pencapaian pekerjaan antara laki-laki dan perempuan.
Model ini menjelaskan bagaimana struktur dan praktek
organisasi pendidikan telah mendiskriminasi
perempuan. Kelihatannya laki-laki memang lebih
diutungkan dan diunggulkan dalam praktek promosi ke
aras yang lebih tinggi karena mereka sering mendapat
30
perlakuan istimewa, sementara perempuan sulit
mencapai aras lebih tinggi meskipun mereka sudah
berusaha dengan sungguh-sungguh.
Ketiga, Woman’s place or social perspective
model/ model tempat perempuan atau model perspektif
sosial. Model ini menekankan kepada norma budaya
dan sosial. Norma budaya dan sosial diidentifikasi telah
mendorong terjadinya praktek diskriminasi kepada
perempuan.
2.3.1.Teori Ketidakadilan Gender
Di samping model kesenjangan gender yang
diungkap Chliwniak di atas, penyisihan kepada
perempuan juga dapat diidentifikasi oleh teori
ketidakadilan gender. Sebetulnya sistim dan struktur
yang tidak adil gender tidak hanya merugikan
perempuan namun juga laki–laki. Meskipun demikian
rupanya perempuan lebih mengalami dampak negatif
yang parah. Beberapa teori ketidakadilan gender dapat
diidentifikasi sebagai berikut:
a. Menyisihkan hak – hak perempuan
Ada beberapa mekanisme proses penyisihan hak–
hak perempuan karena perbedaan gender. Misalnya,
karena kekuasaan atau kebijakan pemerintah,
keyakinan pada tradisi, melanjutkan kebiasaan dan
asumsi ilmu pengetahuan. Contohnya, diterapkan
31
revolusi hijau yang memfokuskan pada pengembangan
pertanian yang ditangani oleh laki–laki mengakibatkan
perempuan tersisih dan menjadi miskin. Untuk para
guru taman kanak–kanak dan pekerja pabrik,
perempuan biasanya diberi upah yang rendah. Adanya
anggapan bahwa perempuan sebagai istri harus bekerja
di bidang domestik menyebabkan banyak perempuan
kehilangan kesempatan untuk bekerja dan menerima
upah di sektor publik, misalnya di bidang ekonomi,
politik, maupun pendidikan. Hal ini juga menjadikan
perempuan tergantung secara ekonomi kepada
suaminya (Yaqin,2005).
b. Gender dan Subordinasi
Pelaksanaan peran gender cenderung
menempatkan perempuan dalam posisi subordinasi
karena adanya realita “dominasi”, dan
menempatkannya pada “posisi nomor dua/sub-
ordinasi”. Hal ini terjadi karena faktor –faktor yang
telah terkonstruksi secara sosial. Ada anggapan bahwa
perempuan irasional dan emosional sehingga tidak
mampu tampil sebagai pemimpin. Oleh karena itu
muncul sikap untuk menempatkan perempuan dalam
posisi yang tidak penting. Bentuk sub-ordinasi yang
sangat menonjol misalnya semua pekerjaan yang
dikategorikan sebagai “pekerjaan rumah tangga” yang
dilakukan oleh perempuan dianggap lebih rendah dari
32
“pekerjaan produksi” yang dikuasai atau didominasi
oleh laki–laki (Mutali’in,2001)
c. Gender dan “triple peran”
Pada masyarakat Indonesia, perempuan sebagai
istri harus mengerjakan berbagai pekerjaan dalam
rumah tangga. Meskipun demikian, dalam
perkembangan keadaan terutama untuk mengisi
pembangunan, perempuan juga harus
menyumbangkan tenaganya sekaligus mencari nafkah
bagi keluarga, namun perannya hanya dihargai sebagai
pencari nafkah tambahan. Akibatnya, perempuan
harus berperan sebagai istri sekaligus ibu, pengelola
rumah tangga, dan sebagai tenaga kerja; perempuan
harus berperan rangkap tiga atau juga disebut sebagai
“triple peran”. Curahan waktu dan tenaga yang
dihabiskan oleh perempuan untuk mengerjakan tiga
bidang pekerjaan tersebut jauh lebih berat
dibandingkan dengan laki–laki. Meskipun demikian,
secara ekonomi dan secara sosial statusnya di dalam
masyarakat dianggap kurang berharga dan rendah
(Mutali’in 2001,Handayani dan Sugiaarti,2002).
d. Gender dan pelabelan
Pemberian label tertentu atau peran stereotip
kepada perempuan dan laki–laki, juga sering
merupakan tindakan tidak adil dan diskriminatif
33
terutama yang berkaitan dengan penandaan citra
negatif kepada perempuan. Misalnya terdapat anggapan
budaya bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah
lembut, sabar, tekun, penurut, emosional, irasional,
keibuan, cantik. Oleh karena itu, perempuan identik
dengan pekerjaan–pekerjaan yang berkaitan dengan
rumah tangga. Misalnya Pembantu Rumah Tangga
(PRT), perawat, sekretaris, pengasuh, guru TK,
pengelola salon kecantikan. Dengan demikian peluang
perempuan untuk bekerja di luar bidang–bidang yang
sudah ditentukan atau dilabelkan menjadi terbatas,
dianggap “sebagai bukan pekerjaan perempuan”, atau
setidaknya mereka mengalami prasangka dan
kecurigaan terhadap kompetensi yang dimiliki
(Handayani dan Sugiarti,2002).
Dari paparan mengenai pembagian kerja berbasis
gender dengan memanfaatkan teori yang relevan di
atas, dapatlah disimpulkan bahwa kehidupan
perempuan terutama diharapkan untuk melayani dan
berorientasi ke dunia domestik menyebabkan ia tidak
terlalu cocok untuk fungsi memberikan bimbingan,
mengajar dan memimpin kehidupan publik maupun
untuk fungsi hal–hal yang penting bagi suatu kelompok
orang. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila
dalam kepemimpinan pendidikan, suatu peran dan
kedudukan yang berorientasi kepada arena publik,
sekaligus mengarahkan dan memimpin suatu
34
organisasi; kehadiran dan peran perempuan “kurang
dianggap sah” dan kurang diterima dibandingkan
dengan laki–laki. Keengganan komunitas pendidikan
untuk menerima peran kepemimpinan perempuan dan
sekaligus menduduki tempat yang dianggap signifikan,
mungkin ada dasarnya, tetapi keadaan tersebut
sebetulnya bersumber kepada kesempatan yang kurang
dan lingkungan yang ada, dan bukan pada soal hakiki
yang menyangkut potensi dan bakat perempuan.
Model–model kesenjangan gender yang diungkap
oleh Chliwniak dan dipadu dengan teori dampak bias
gender, serta hegemoni petriarkhi yang banyak disorot
pada konteks Indonesia, tentu saja menjadi acuan yang
berharga bagi analisa kesenjangan gender untuk
penelitian yang dilakukan. Baik secara langsung
ataupun tidak, apa yang diutarakan di atas pasti ada
pengaruhnya pada bidang kepemimpinan pendidikan.
Untuk mengatasi kesenjangan gender di bidang
pendidikan memang merupakan tugas yang sulit.
Meskipun demikian, pemahaman terhadap berbagai
teori dan model–model yang dikemukakan, kiranya
dapat memandu untuk melihat berbagai sisi dari
kehidupan para korban dan kerugian organisasi, yang
seharusnya tidak terjadi di bidang pendidikan.
Melalui penelitian ini, analisa penyebab
permasalahan akan dilakukan dengan “pisau bedah”
teori–teori maupun model atau contoh yang telah
35
dikemukakan. Pada akhirnya diharapkan dapat
menawarkan alternatif ataupun solusi, supaya bidang
pendidikan menjadi arena pelayanan dan karya yang
lebih adil, setara dan menghargai hak–hak asasi
manusia. Penelitian pendidikan ini dilakukan karena
tanggungjawab kepada masyarakat dalam penyediaan
kualitas layanan, pada giliranya juga ingin
merumuskan cara–cara untuk meningkatkan mutu
layanan dengan menghilangkan dampak
ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender.
Pola pikir yang tidak tepat berimplikasi kompleks
sehingga guru-guru perempuan tidak berkembang
untuk menjadi lebih lagi dari pada hanya profesi
seorang guru. Perempuan sendiri yang tidak yakin
dengan kemampuan mereka, pola pikir mereka masih
sangat kental terhadap budaya patriakal, mereka
menganggap bahwa laki-laki lebih pantas untuk
menjadi pemimpin, sedangkan perempuan lebih baik
hanya ada di bawah laki-laki dan perempuan juga
harus tahu tugas dan tanggungjawabnya sebagai
seorang ibu rumah tangga, oleh sebab itu untuk dapat
mengakses kemampuan mereka pada level yang lebih
tinggi, guru perempuan sudah tidak memiliki motivasi
dari dalam diri.
Seperti yang telah di paparkan di atas bahwa
pengaruh budaya masih sangat kental dalam perspektif
dan perilaku sebagian guru-guru perempuan di kota
36
Ambon. Namun dengan berjalannya waktu dan
perubahan zaman pemikiran dan tatanan masyarakat
tentang budaya patriakhal mulai beralih kepada
pemikiran modern dan menjadikan kedudukan
perempuan bukan lagi sebagai golongan “kelas dua”
yang harus hidup di ruang domestik, melainkan telah
menjadikan perempuan sebagai orang-orang yang
dapat mengakses kesempatan mengembangkan
kariernya pada ruang publik.