bab ii kajian pustaka, konsep, landasan teori, dan … · 2017. 4. 1. · produksi dan reproduksi...

27
14 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Industri budaya massa telah menjadi kajian yang menarik oleh sejumlah pakar. Kendatipun fenomena industri budaya massa pada tataran lokal Bali baru berlangsung sekitar 10 tahun atau 20 tahun terakhir untuk Indonesia sebagai objek penelitian, namun budaya massa telah menjadi isu studi sekolah Frankfurt sejak 1930-an dan sampai sekarang masih menjadi kajian yang menarik. Penelaahan hasil kajian tersebut penting dilakukan untuk mengetahui posisi penelitian, menemukan konsep-konsep maupun teori-teori yang relevan dipakai, untuk memecahkan masalah yang diajukan dalam penelitian ini. Dari penelusuran pustaka, ternyata kerajinan patung di Desa Kemenuh telah dikaji oleh Sudita dan Sukerti. Penelitian Sudita (1987) yang berjudul “Perkembangan Seni Patung di Desa Kemenuh Gianyar” menyoroti tentang perkembangan seni patung di Desa Kemenuh ditinjau dari unsur tema/bentuk, fungsi, jumlah produksi, dan jumlah perajin. Hasil kajiannya dapat memberikan gambaran bahwa tema patung yang dibuat oleh para perajin Kemenuh berkembang dari bentuk cerita pewayangan ke motif baru. Kelompok perajin Kemenuh Selatan membuat jenis-jenis patung seperti penari, patung dewa-dewi, patung cili, patung pendeta, dan topeng, sedangkan kelompok perajin Kemenuh Utara condong memroduksi patung motif unggas, tumbuh-tumbuhan, dan jenis

Upload: others

Post on 09-Feb-2021

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 14

    BAB II

    KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL

    PENELITIAN

    2.1 Kajian Pustaka

    Industri budaya massa telah menjadi kajian yang menarik oleh sejumlah

    pakar. Kendatipun fenomena industri budaya massa pada tataran lokal Bali baru

    berlangsung sekitar 10 tahun atau 20 tahun terakhir untuk Indonesia sebagai objek

    penelitian, namun budaya massa telah menjadi isu studi sekolah Frankfurt sejak

    1930-an dan sampai sekarang masih menjadi kajian yang menarik. Penelaahan

    hasil kajian tersebut penting dilakukan untuk mengetahui posisi penelitian,

    menemukan konsep-konsep maupun teori-teori yang relevan dipakai, untuk

    memecahkan masalah yang diajukan dalam penelitian ini.

    Dari penelusuran pustaka, ternyata kerajinan patung di Desa Kemenuh telah

    dikaji oleh Sudita dan Sukerti. Penelitian Sudita (1987) yang berjudul

    “Perkembangan Seni Patung di Desa Kemenuh Gianyar” menyoroti tentang

    perkembangan seni patung di Desa Kemenuh ditinjau dari unsur tema/bentuk,

    fungsi, jumlah produksi, dan jumlah perajin. Hasil kajiannya dapat memberikan

    gambaran bahwa tema patung yang dibuat oleh para perajin Kemenuh

    berkembang dari bentuk cerita pewayangan ke motif baru. Kelompok perajin

    Kemenuh Selatan membuat jenis-jenis patung seperti penari, patung dewa-dewi,

    patung cili, patung pendeta, dan topeng, sedangkan kelompok perajin Kemenuh

    Utara condong memroduksi patung motif unggas, tumbuh-tumbuhan, dan jenis

  • 15

    binatang lainnya. Fungsi patung di Kemenuh pada mulanya adalah untuk media

    keagamaan (sakral) , kemudian mengalami perkembangan fungsi sebagai produk

    yang dijadikan barang seni atau cinderamata (profan). Jumlah produk dan perajin

    patung di Desa Kemenuh dalam kurun waktu 1975—1985 menunjukkan

    perkembangan yang meningkat tajam. Kajian ini bersifat monodisiplin yang

    melihat kerajinan patung di Desa Kemenuh dari perspektif seni rupa. Kendatipun

    demikian, kajian ini dapat dijadikan langkah awal guna memahami industri

    kerajinan patung di Desa Kemenuh lebih mendalam dan komprehensif.

    Penelitian yang dilakukan Sukerti (2005) berjudul “Industri Kerajinan

    Kayu untuk Cinderamata di Desa Kemenuh Gianyar”, senada dengan penelitian

    yang dilakukan oleh Citrawati dan Sukmawati. Citrawati (2006) mengkaji tentang

    “Kerajinan Cinderamata dalam Pariwisata Budaya di Desa Tegalalang Sebatu

    Kecamatan Tegalalang, Gianyar Bali”, sedangkan Sukmawati (2011) meneliti

    tentang “Komodifikasi Kerajinan Seni Patung Kayu di Desa Mas, Kecamatan

    Ubud, Kabupaten Gianyar”. Meskipun ketiga peneliti menyoroti jenis kerajinan

    pada lokasi penelitian berbeda, tetapi penelitiannya menghasilkan simpulan yang

    hampir sama bahwa industri kerajinan merupakan suatu proses komodifikasi

    budaya, memiliki makna yang signifikan terhadap penuangan nilai seni dan

    kreatifitas, sumber pendapatan masyarakat, dan menciptakan peluang kerja

    (makna ekonomi), meningkatkan status sosial, dan menunjang pelestarian budaya.

    Memang kajian-kajian yang dilakukan ada yang menggunakan teori kritis, namun

    orientasi penelitiannya masih kental dengan pendekatan budaya elitis dan belum

    ada yang mengaitkan dengan isu budaya massa, maupun menyoroti dimensi

  • 16

    ideologi dan relasi kuasa. Selain itu, fokus kajiannya lebih bertumpu pada produk

    kerajinan (artefak budaya), belum menyentuh unsur pelaku ‘para perajin’ yang

    merupakan domain penting dalam proses produksi budaya.

    Cukup menarik untuk dicermati kajian Muryana (2006) berkaitan dengan

    pelaku (perajin) yang dituangkan dalam bentuk tesis dengan judul “Kompetisi

    antara Pekerja Lokal & Pekerja Pendatang: Studi Kasus pada Industri Kerajinan

    Perak Puspa Mega di Celuk”. Dalam kajian ini dijelaskan bahwa keberadaan

    industri kerajinan memunculkan konflik antara penduduk lokal dengan pekerja

    pendatang. Konflik kepentingan ini dipicu oleh keunggulan masing-masing pihak.

    Pekerja pendatang biasanya diberikan upah lebih murah dan bekerja lebih keras,

    sedangkan pekerja lokal umumnya dibayar lebih tinggi karena mereka lebih

    trampil dalam menciptakan detail-detail ukiran dan lebih menjunjung sikap

    kejujuran. Meskipun kompetisi tampak terjadi secara laten, tetapi mereka belum

    mengarah ke potensi konflik yang bersifat manives. Hasil kajian budaya yang

    menggunakan teori konflik ini memberikan inspirasi yang penting bagi penulis

    terutama dalam memberikan pemahaman tentang relasi dan kontestasi horisontal

    di antara aktor perajin tersebut.

    Penelitian Suryana & Sukayasa (2008) yang berjudul “Kajian Kria

    Kontemporer Bali: Studi Kasus Kerajinan Patung Pop Art di Desa Tegalalang”

    menyoroti perkembangan baru di bidang seni patung yang ada di Bali khususnya

    di Tegalalang. Ada dua temuan penting yang diungkapkan dari hasil kajiannya.

    Pertama, karya patung pop art yang berkembang di Tegalalang digolongkan

    sebagai seni kria modern Bali, yang ditandai dengan kuatnya unsur ungkapan

  • 17

    ekspresi dari seniman secara bebas. Seniman dalam hal ini meninggalkan tradisi

    baik gaya dan motifnya, kebaruan dalam konsep pengembangan desain, teknik

    produksi dan perupaan, namun masih tetap berbasis tradisional. Kedua,

    keberadaan kerajinan patung pop art ini mampu mengubah mata pencaharian

    penduduk dari petani menjadi perajin dan dalam perkembangannya menjadi

    pemilik toko seni dan eksportir. Penelitian yang memakai pendekatan seni dan

    desain ini memberikan wawasan kritis berkenaan dengan konsep seni pop dan

    implikasinya terhadap kesejahteraan perajin/masyarakat sehingga penting artinya

    bagi penulis dalam menajamkan arah penelitian yang hendak dilakukan.

    Penelitian yang dilakukan oleh Suastika, dkk. (2009) mengenai “Trans-

    formasi Nilai Sastra dan Budaya Lokal dalam Pengembangan Industri Kreatif di

    Bali” menyoroti tentang nilai-nilai sastra dan budaya lokal yang berkembang

    menjadi produk-produk industri kreatif di Bali dan proses transformasi yang

    mengiringinya. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa, ketika proses tindakan

    membuat produk industri kreatif menjadi benda produksi yang bernilai jual,

    terjadi penemuan nilai-nilai di balik proses tindakan dan hasilnya, dan seiring

    dengan itu pelaku-pelaku produk industri kreatif juga mengomunikasikan nilai-

    nilai tersebut kepada orang lain yang mengamatinya. Nilai sastra dan budaya lokal

    sebagai domain kebudayaan Bali merupakan modal budaya (cultural capital)

    yang secara nyata dapat ditransformasikan menjadi produk-produk budaya yang

    bermanfaat secara ekonomi. Dengan demikian terjadi korelasi yang positif antara

    pengembangan budaya tradisional dengan penciptaan produk-produk industri

    kreatif yang dapat dimaknai untuk kesejahteraan rakyat dan pelestarian budaya.

  • 18

    Walaupun fokus yang dikaji berbeda dengan penelitian yang hendak penulis

    lakukan, kiranya hasil penelitian ini memberikan wawasan kritis tentang

    fenomena industri kreatif yang berpengaruh positif terhadap kebudayaan Bali.

    Penelitian Pemayun (2009) dalam bentuk disertasi berjudul “Komodifikasi

    Patung Garuda di Banjar Pakudui Desa Kedisan: Sebuah Kajian Budaya”.

    Penelitiannya berupaya untuk memahami fenomena produksi patung garuda

    sebagai karya seni dengan berbagai jenis varian, material, dan gaya yang meng-

    ikuti perkembangan sesuai selera konsumen. Kajian ini memakai pendekatan

    multidisiplin dengan penerapan beberapa teori kritis, seperti teori komodifikasi,

    dekonstruksi, semiotika, dan estetika posmodern. Hasil temuannya mencakup

    proses komodifikasi patung garuda melalui mekanisme perubahan pada unsur

    produksi dan pemasaran, yang berdampak pada kehidupan sosial ekonomi dan

    budaya masyarakat, serta memiliki makna kreatifitas, ekonomi, kebebasan

    interpretasi, pelestarian budaya, dan sekulerisasi budaya lokal. Penelitian ini lebih

    berfokus pada penelaahan aspek dinamika produksi patung garuda dalam bingkai

    komodifikasi budaya dan berdampak kepada masyarakat, sementara unsur perajin

    beserta relasi yang terbangun dalam proses produksi kurang mendapat perhatian.

    Selain itu, kajian kritis yang diterapkan masih tertuju pada fenomena budaya yang

    ‘tampak’ sehingga belum menyentuh (menyingkap) hal-hal yang tersembunyi di

    balik produksi patung garuda tersebut. Dengan demikian, kajian ini memiliki

    perbedaan dengan penelitian penulis baik ditinjau dari lokus maupun fokusnya.

    Lokus penelitian yang penulis lakukan bukan di Banjar Pakudui Desa Kedisan,

    melainkan di Desa Kemenuh, Sukawati. Kedua tempat ini memiliki karakteristik

  • 19

    yang berbeda baik dari aspek historis, lingkungan, maupun produk budaya yang

    dihasilkan. Demikian pula fokus kajian yang hendak disoroti adalah persoalan

    ideologi, praktik kuasa, dan implikasi industri kerajinan patung dalam bingkai

    budaya massa, dengan memakai teori-teori yang berbeda.

    Berdasarkan kajian-kajian yang dilakukan oleh peneliti tersebut,

    pengkajian industri kerajinan patung secara holistik yang dikaitkan dengan isu

    industri budaya massa belum tampak. Hasil penelitian yang sudah ada apabila

    dikaitkan dengan kerangka budaya massa setidaknya memberikan umpan balik

    bahwa industri budaya massa masih dimengerti dalam tataran budaya yang elitis.

    Temuan ini sudah tentu amat kontras bila dibandingkan dengan perdebatan dan

    kritik budaya massa yang cenderung dipandang berakibat negatif terhadap budaya

    tinggi maupun masyarakat selaku produsen dan konsumen budaya massa.

    Di Indonesia isu tentang industri budaya massa telah menarik dan menjadi

    perdebatan sejumlah pakar. Hal ini sesuai dengan hasil kajian Budiman (2002)

    mengenai fenomena budaya massa yang dituangkan dalam sebuah buku berjudul

    Lubang Hitam Kebudayaan. Kajiannya mengambil setting periode orda baru

    sebagai satuan kajian dengan argumen: (a) Indonesia saat itu telah memasuki

    ekonomi industrial, (b) media massa tumbuh pesat, dan (c) terjadi penambahan

    fasilitas komunikasi massa modern secara signifikan, yang bersamaan pula

    dengan munculnya kelas menengah di Indonesia. Sumber data utamanya

    bertumpu pada data tekstual terutama majalah seni budaya seperti Horison,

    Prisma, dan Basis. Dua simpulan penting hasil kajiannya, yaitu: (1) budaya massa

    di Indonesia diletakkan dalam kontras antara budaya tinggi dan budaya rakyat

  • 20

    yang secara hirarki maupun kualitas dipahami sebagai budaya yang berada di

    tengah antara budaya tinggi dengan budaya rendah; (2) budaya massa era 1970—

    1990-an direspon secara beragam oleh intelektual Indonesia, ada yang

    memandang sebagai budaya berkonotasi dangkal, rendah dan komersial, ada pula

    yang melihat sebagai bagian yang sah dari kehidupan masyarakat modern

    industrial. Hasil kajian ini menjadi sumber inspirasi bagi penulis terutama

    dinamika konsep, perdebatan teori, dan pendekatan terhadap budaya massa.

    Buku bunga rampai yang berjudul Lifestyle Ecstasy: Kebudayan Pop

    dalam Masyarakat Komoditas di Indonesia yang disunting oleh Idi Subandy

    Ibrahim (2004) cukup menginspirasi pemahaman penulis tentang dimensi

    pertumbuhan kebudayaan pop (massa) dan kaitannya dalam membentuk gaya

    hidup (konsumerisme). Kendatipun lebih menyoroti industrialisasi dan peran

    media dalam mentransmisikan budaya massa kepada masyarakat luas, termasuk

    dampak yang ditimbulkannya, terdapat sejumlah konsep dan proposisi yang

    penting untuk memahami teori-teori budaya massa sesuai perspektif keilmuan

    yang diacu oleh kontributor buku ini.

    Selain itu, pandangan Sedyawati (2008) dalam buku yang berjudul

    Keindonesiaan Dalam Budaya. Dialog Budaya: Nasional dan Etnik. Peranan

    Industri Budaya dan Media Massa. Warisan Budaya dan Pelestarian

    menginspirasi penulis terutama tiga artikel yang mengkaji issu industri budaya

    (Sedyawati, 2008:128—132, 147—151, 157—159). Hasil pemikiran Sedyawati

    memberikan pemahaman tentang industri budaya (massa) di Indonesia, khususnya

    debat kategorisasi budaya massa/populer yang diposisikan setara dengan budaya

  • 21

    lainnya. Demikian pula buku Piliang (2011:415—433) yang berjudul Dunia Yang

    Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas kebudayaan memberikan wawasan

    penulis tentang karakteristik budaya massa sebagai logika industrialisasi,

    kapitalisasi, massifikasi produk yang diimposisikan dari atas serta korelasinya

    terhadap pembentukan masyarakat konsumen.

    Di Indonesia kajian budaya massa baru dilakukan era 1980-an, sedangkan

    di dunia internasional telah dilakukan jauh sebelumnya. Buku Dominic Strinati

    (2009) berjudul Populer Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer

    membicarakan gagasan budaya massa dan teori-teori utama budaya populer.

    Melalui buku ini penulis memperoleh pemahaman yang memadai tentang latar

    historis munculnya budaya massa, kritik, dan teoritikus budaya massa sejak

    mazhab Frakfurt hingga posmodernisme dan populisme budaya. Demikian pula

    buku Pierre Bourdieu (2010) berjudul Arena Produksi Kultural: Sebuah Kajian

    Sosiologi Budaya menginspirasi penulis terutama dalam memahami realitas

    produksi dan reproduksi budaya di era kontemporer. Teori, konsep, metode dan

    gagasan yang diajukan untuk mengkaji proses produksi, distribusi dan konsumsi

    budaya tampaknya relevan dijadikan landasan teori utama dalam kajian budaya

    massa yang penulis lakukan.

    2.2 Konsep

    2.2.1 Dekonstruksi

    Dekonstruksi merupakan istilah yang kompleks dan relatif sulit untuk

    dideskripsikan. Untuk menjelaskan konsep dekonstruksi perlu ditelusuri landasan

  • 22

    yang dijadikan acuan pemikirannya. Dekonstruksi berangkat dari kritik radikal

    yang dikemukakan oleh Derrida berkaitan dengan pandangan filsafat barat yang

    bersandar kepada adanya pusat (logosentrisme), metafisika kehadiran

    (obyektifisme) sehingga menghasilkan makna tunggal dan tertutup. Pandangan

    demikian ditolaknya, dan diajukan pemikiran baru ‘dekonstruksi’ yang berupaya

    untuk merobohkan klaim-klaim maupun sistem-sistem ilmu pengetahuan yang

    hanya bertujuan mencapai kebenaran objektif - universal (Lajar, 2005:170—172).

    Dekonstruksi dapat diartikan sebagai semacam pembongkaran atau

    perombakan, tetapi bukan untuk penghancuran (destruktif) yang berakhir dengan

    pandangan tunggal atau kosong. Membongkar bermakna mengurai atau

    menyingkapkan struktur-struktur yang dianggap mapan guna ditata kembali

    dijadikan suatu bangun yang baru dan berbeda (Santoso, 2007:252—253).

    Mendekonstruksi juga berarti melakukan pembongkaran atas hirarki oposisi biner

    yang berfungsi menjamin kebenaran dengan cara menafikan pasangan yang lebih

    “inferior” pada masing-masing oposisi biner (Barker, 2005:102—103).

    Dekonstruksi melibatkan suatu proses simultan antara perombakan dengan

    penciptaan. Struktur-struktur maupun teks-teks sosial budaya yang dianggap

    mapan dan netral mesti diurai, dirombak, dan disingkapkan secara kritis dengan

    beraneka cara interpretasi. Titik akhir dari dekonstruksi bermuara pada tujuan

    merayakan ‘permainan bebas’ guna memperoleh keberagaman makna-makna

    yang memungkinkan. Konsep dekonstruksi dalam penelitian ini mengacu kepada

    upaya untuk membongkar atau menyingkapkan struktur-struktur dominasi,

    praktik-praktik ideologi dan kekuasaan, yang melekat atau ‘tersembunyi’ di balik

  • 23

    aktivitas industri kerajinan patung di Desa Kemenuh. Upaya ini dilakukan dengan

    menunda atau menangguhkan pemahaman dominan/umum guna diperoleh

    beragam makna yang relevan.

    2.2.2 Relasi Kuasa

    Relasi kuasa terdiri atas kata relasi dan kuasa. Relasi diartikan sebagai

    hubungan, pertalian atau sangkut-paut. Kuasa dipahami sebagai perekat yang

    mengikat kehidupan sosial, atau kekuatan paksa yang menyubordinasikan suatu

    kelompok di bawah kelompok lain. Kuasa menurut Foucault dipandang sebagai

    proses yang menghasilkan segala bentuk aksi, hubungan, dan pengaturan sosial.

    Kekuasaan dalam hal ini adalah suatu wilayah strategis bersifat plural, produktif,

    dan memberdayakan yang beredar di segala level masyarakat dan segala

    hubungan sosial (Storey, 2003: 134; Barker, 2010:12; Piliang, 2011:23).

    Konsep relasi kuasa atau hubungan kekuasaan berarti suatu cara pandang

    yang melihat bentuk-bentuk aksi atau pengaturan sosial pada berbagai hubungan

    yang saling memengaruhi di antara berbagai kelompok sosial dalam masyarakat.

    Relasi kuasa mengacu kepada konstelasi kekuasaan yang bersifat jaringan yang

    menyebar dan meresap menjelajahi seluruh tubuh sosial. Kekuasaan bukan milik

    melainkan fungsi yang dipraktikkan dalam suatu ruang lingkup. Kekuasaan tidak

    hanya dimiliki oleh elite, melainkan difungsikan dalam relasi-relasi yang tak

    terhitung jumlahnya. Dengan lain kata, di mana saja ada manusia yang mem-

    punyai hubungan tertentu satu sama lain dan dengan dunia, di situ kuasa sedang

    bekerja (Lubis, 2003:165—167; Piliang, 2011:24).

  • 24

    Selain konsep relasi kuasa perlu juga dijabarkan terminologi praktik kuasa

    yang digunakan dalam penelitian ini. Konsep praktik kuasa yang diacu sesuai

    pandangan Foucault yang lebih menitikberatkan kepada mekanisme dan strategi

    kuasa. Artinya, yang ditelusuri adalah bagaimana kuasa itu dipraktikkan, diterima

    dan dilihat sebagai kebenaran dan bagaimana kuasa yang berfungsi dalam

    hubungan antara perajin dengan unsur-unsur yang terlibat dalam industri

    kerajinan patung kayu di Desa Kemenuh. Konsep praktik kuasa dengan demikian

    lebih menekankan pada penggunaan kuasa termasuk pengaruh/efek-efeknya

    dalam hubungan kekuasaan tersebut.

    2.2.3 Ideologi

    Secara etimologi ideologi berasal dari kata ‘idea’ dan logos. Idea berarti

    ide atau gagasan, dan logos berarti ilmu pengetahuan. Jadi ideologi berarti ilmu

    pengetahuan tentang ide-ide. Ideologi membicarakan tentang asal-usul ter-

    bentuknya ide atau bagaimana ide-ide terbentuk dalam diri manusia yang

    dijadikan acuan dalam bertingkah laku.

    Berdasarkan terbentuknya atau pengaruh ide-ide dalam diri manusia,

    ideologi dapat dikategorikan bermakna positif dan negatif. Ideologi yang diartikan

    sebagai kesadaran palsu oleh Marx adalah contoh ideologi dalam artian negatif,

    sedangkan ideologi sebagai kesadaran kelompok untuk meningkatkan ke-

    sejahteraannya menurut Luckas adalah pengertian ideologi yang bermakna positif.

    Sementara itu, Althusser memandang ideologi lahir dari sebuah hubungan

    kekuasaan. Pihak berkuasa berupaya mempertahankan kekuasaannya dengan

  • 25

    ideologi, demikian pula pihak yang dikuasai berusaha melepaskan keter-

    tindasannya melalui ideologi (Takwin, 2004:xxiii—xxv).

    Dari perspektif kajian kritis, ideologi dilihat sebagai sesuatu yang tertaut

    dengan posisi sosial dan relasi kekuasaan (Thompson, 2006:17; Kellner, 2010:

    77—85). Ideologi dipahami sebagai ide-ide atau gagasan-gagasan yang digunakan

    untuk melegitimasi kekuasaan, memengaruhi masyarakat terdominasi sehingga

    menjadi rujukan tingkah lakunya. Ideologi menjadi sesuatu yang alamiah,

    tertanam dalam diri kelompok masyarakat, tanpa disadari, dan dijadikan orientasi

    praktis bagi prilaku kehidupan sehari-hari. Gagasan yang tertanam dalam diri

    perajin menyangkut proses produksi patung massal, pengetahuan tentang selera

    konsumen, dan perihal harga patung, sebagai akibat hubungannya dengan pihak

    pemodal dapat dipandang sebagai ideologi.

    Dengan demikian, konsep ideologi dalam penelitian ini merujuk kepada

    pengertian diskursus/wacana menurut terminologi Foucault, dan serupa dengan

    konsep ‘doxa’ menurut Bourdieu (Takwin, 2003:109—117). Ideologi mencakup

    ide-ide, pengetahuan-pengetahuan, keyakinan, cerita-cerita, dan praktik-praktik

    simbolis yang dijadikan acuan para perajin dalam bertingkah laku. Wujud

    ideologi dapat berupa pengetahuan lokal perajin sebagai adaptasi dengan kondisi

    lingkungan budaya, maupun keyakinan ‘baru’ yang diterima sebagai akibat

    hubungannya dengan pihak-pihak lain dalam relasi produksi patung massal.

  • 26

    2.2.4 Industri Budaya Massa

    Industri budaya massa merupakan istilah yang diturunkan dari konsep

    industri budaya. Industri budaya pada awalnya muncul dalam bentuk industri

    hiburan seperti film, radio, televisi, musik rakyat, majalah, dan surat kabar di

    Eropa dan Amerika Serikat pada akhir abad XIX dan awal abad XX. Selanjutnya,

    berkembang berbagai produk industri yang memanfaatkan ranah kebudayaan

    seperti di bidang seni, gaya hidup, adat-istiadat, termasuk pula produk kerajinan.

    Sedyawati memberikan batasan industri budaya sebagai keseluruhan

    sistem yang terpusat pada tujuan untuk menghasilkan produk-produk, baik benda

    maupun jasa, yang berisikan substansi budaya. Di dalam sistem tersebut terdapat

    bermacam pelaku, seperti pemodal, pelaksana produksi, para ‘sumber budaya’,

    dan ‘pemesan’ yang ikut serta menentukan arah produksi. Cakupan hasil produksi

    industri budaya dapat berupa benda seperti barang-barang cetakan, hasil rekaman,

    dan berbagai karya seni kria yang diproduksi secara massal, sedangkan berupa

    jasa seperti kegiatan festival maupun jasa pementasan seni (Sedyawati, 2008:

    157—158).

    Memperhatikan segi massifikasi produksi maupun khalayak yang menjadi

    tujuan pemasarannya, maka industri budaya lebih dikenal sebagai industri budaya

    massa. Industri budaya massa terkait erat dengan perkembangan industrialisasi

    (kapitalisme), yang menyebabkan terjadinya massifikasi, komodifikasi, dan

    komersialisasi budaya. Oleh karena itu, Piliang memahami budaya massa sebagai

    budaya yang diproduksi dengan mode-mode industrial untuk massa yang luas

    (Piliang, 2011:417—418).

  • 27

    Konsep industri budaya massa yang dimaksud dalam penelitian ini

    mengacu kepada praktik-praktik produksi barang-barang budaya yang terstandar

    dan massal untuk dipasarkan kepada masyarakat luas. Ciri industri budaya massa

    dengan demikian mengandung tiga unsur penting yaitu: (a) standarisasi dan

    massifikasi dalam produksi, (b) berada dalam ranah ekonomi industrial, (c) hasil

    produk ditujukan kepada khalayak massa.

    2.2.5 Perajin Patung Kayu

    Perajin diartikan orang-orang yang pekerjaan atau profesinya membuat

    barang-barang kerajinan. Kerajinan dalam perspektif industri mengacu kepada

    suatu usaha untuk mengolah bahan baku menjadi bahan jadi yang dalam proses

    pengolahannya lebih menekankan penggunaan ketrampilan tangan dibandingkan

    mesin. Penggunaan mesin hanya sebagai alat bantu, dan bukan sebagai alat

    sepenuhnya untuk mengerjakan bahan tersebut. Jenis-jenis bahan kerajinan antara

    lain: kayu, bambu, kulit, logam, bebatuan, tekstil, keramik, daun-daunan, kertas,

    tulang, tanduk, dan kulit binatang. Ditinjau dari proses pembentukannya terdapat

    jenis kerajinan yang dipahat, diukir, diwarnai, dianyam, diikat, dijahit, ditempel,

    atau campuran dari unsur-unsur tersebut.

    Kerajinan patung kayu dapat pula dipandang sebagai seni kria (Sedyawati,

    2008:157) atau seni patung yakni suatu pernyataan pengalaman artistik lewat

    bentuk tiga dimensi. Dengan kata lain, seni patung adalah suatu seni perencanaan

    dan pengkontruksian bentuk-bentuk trimatra dengan sifat-sifat, antara lain: (a)

    menggambarkan objek sebenarnya atau khayal, (b) menyajikan sebuah rancangan

  • 28

    dalam bentuk trimatra, dan (c) menyugestikan berbagai jenis gagasan, perasaan

    serta pengalaman lain (Suwandi, 1999:32).

    Konsep perajin patung kayu dalam penelitian ini mengacu kepada orang-

    orang yang bekerja dalam bidang pembuatan patung dari bahan kayu yang

    menggambarkan bentuk-bentuk trimatra seperti mahluk hidup maupun wujud

    lainnya.

    2.3 Landasan Teori

    Landasan teori atau disebut juga kerangka teori merupakan titik berangkat

    dan landasan bagi peneliti dalam menganalisis dan memahami realitas yang

    diteliti (Irawan, 2006 :39). Isi landasan teori adalah sintesa teori yaitu rangkaian

    teori-teori yang dipandang relevan untuk menganalisis objek penelitian, yang

    dalam penelitian kualitatif dianggap sama dengan hipotesis (Tan, 1989:21; Ratna,

    2010:218).

    Penelitian ini bertumpu pada teori-teori sosial kritis yaitu: teori

    komodifikasi, teori relasi kuasa dan pengetahuan, teori arena produksi kultural,

    dan teori dekonstruksi. Teori-teori yang dipilih diterapkan secara eklektik, dalam

    arti satu teori bukan hanya difokuskan untuk membahas satu masalah, tetapi

    digunakan juga untuk membahas masalah yang lain. Teori yang dimaksud adalah

    sebagai berikut ini.

  • 29

    2.3.1 Teori Komodifikasi

    Komodifikasi berasal dari kata komoditi, yang secara sederhana berarti

    hasil kerja manusia, baik barang atau jasa, yang sengaja diproduksi untuk

    dipertukarkan melalui mekanisme pasar. Produksi yang dihasilkan masyarakat

    untuk memenuhi kebutuhannya sendiri bukanlah komoditi, tetapi bila produk

    kerja tersebut untuk dikonsumsi pihak lain melalui pertukaran pasar barulah

    disebut komoditi (Suyanto, 2013:174—175).

    Berdasarkan pengertian tersebut, komodifikasi dapat dipahami sebagai

    proses menjadikan sesuatu yang sebelumnya bukan komoditi menjadi komoditi.

    Marx mengidentifikasi, bahwa komodifikasi dapat ditelusuri melalui fenomena

    kapitalisme. Akar-akar komodifikasi setidaknya menyangkut proses perubahan

    pada unsur produk dan tenaga kerja.

    Komodifikasi pada bidang produk terjadi ketika barang atau jasa yang

    dibuat oleh produsen merupakan produksi komoditas atau dibuat untuk dijual di

    pasar. Seni patung yang pada mulanya dibuat untuk kepentingan sendiri atau

    difungsikan untuk persembahan, kemudian dibuat guna memenuhi selara

    pasar/konsumen. Proses ini menandakan seni patung telah mengalami

    komodifikasi.

    Komodifikasi terhadap tenaga kerja berlangsung ketika kerja untuk

    menghasilkan benda atau jasa diukur dengan sistem upah. Tidak seperti

    pengerahan kerja tradisional dengan sistem gotong royong, para pekerja dalam

    membuat patung mendapat bayaran atau dengan sistem kerja upahan atas karya

  • 30

    yang dihasilkan. Perubahan sistem kerja dari gotong royong ke kerja upahan

    merupakan wujud komodifikasi terhadap tenaga kerja (Mulyanto, 2012:20—26).

    Komodifikasi dapat pula dimengerti sebagai suatu proses yang mengarah

    kepada semakin banyaknya aktivitas yang bertujuan untuk memiliki nilai uang

    dan menjadikan barang atau jasa yang diperjualbelikan di pasaran. Komodifikasi

    menjadikan sesuatu yang bukan komoditas, kemudian dijadikan komoditas untuk

    dipasarkan demi memperoleh keuntungan. Komodifikasi terjadi pada berbagai

    dimensi kehidupan seperti komodifikasi tanah atau ruang yang disakralkan (pura

    untuk daya tarik wisata), komodifikasi manusia (misalnya pelacuran),

    komodifikasi wacana (misalnya berita selebriti), dan komodifikasi terhadap aspek

    seni budaya (Mulyanto, 2012:20—27).

    Komodifikasi bukan hanya menyangkut proses produksi komoditas, tetapi

    mencakup pengertian yang lebih luas. Komodifikasi berhubungan dengan praktik-

    praktik produksi, proses distribusi, dan penerimaannya oleh konsumen.

    Komodifikasi umumnya melibatkan proses produksi membuat barang-barang

    dalam jumlah massal guna melayani kebutuhan konsumen, dan juga diproduksi

    berulang-ulang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang menjadi target

    pasarnya (Suyanto, 2013:175).

    Produksi komoditi bukan sekadar hubungan antarbenda, namun lebih

    merupakan rangkaian hubungan sosial. Hubungan yang terjadi dalam proses

    produksi menurut Marx adalah hubungan antara kelompok pemodal yang me-

    miliki faktor-faktor produksi dengan kelompok pekerja yang hanya memiliki

    tenaga untuk berproduksi. Hubungan antara kelas berjuis dengan kelas proletar

  • 31

    dalam ranah komodifikasi bersifat dominatif dan eksploitatif. Kelompok berjuis

    yang memiliki faktor-faktor produksi tersebut adalah pengendali dan menguasai

    kelompok pekerja, sehingga pekerja menjadi teralienansi terhadap produk yang

    dihasilkannya (Hasan, 2011:187—190). Bahkan kolaborasi antara pemodal, media

    massa, dan kekuatan lainnya dalam era kapitalisme lanjut bukan saja berupaya

    menguasai para pekerja, tetapi juga mampu mengarahkan pola-pola konsumsi

    masyarakat. Melalui berbagai sarana yang ada mereka memprovokasi masyarakat

    dengan menyebarkan standar-standar dan ide-ide untuk senantiasa mengonsumsi

    komoditas yang dihasilkannya. Di sinilah kuasa unsur kapital berperan

    menyebarkan ideologi baik kepada pekerja maupun masyarakat sebagai

    konsumennya (Piliang, 1999:246).

    Mengacu kepada penalaran teori komodifikasi tersebut, tampaknya relevan

    untuk menjelaskan latar belakang ideologi yang dianut oleh para perajin, relasi

    kuasa yang terjadi di antara unsur yang terlibat dalam industri budaya massa, dan

    implikasinya terhadap kehidupan perajin patung di Desa Kemenuh.

    2.3.1 Teori Relasi Kuasa dan Pengetahuan.

    Teori relasi kuasa dan pengetahuan dikemukan oleh Michael Foucault

    yang memandang bahwa antara kekuasaan dan pengetahuan mempunyai

    hubungan yang amat erat dan timbal balik. Ilmu pengetahuan bukanlah bersifat

    netral seperti yang dipahami selama ini, tetapi sarat dengan unsur kekuasaan.

    Melalui pengetahuan diwujudkan klaim-klaim, posisi-posisi, maupun diskursus

    yang tidak terlepas dengan dimensi kuasa dari agen yang memproduksinya. Oleh

  • 32

    karena itu, ilmu pengetahuan memproduksi kekuasaan, dan kekuasaan

    membentuk pengetahuan (Foucault, 1980:89—99; Ritzer, 2003:78—81).

    Kaitan antara ilmu pengetahuan dan kekuasaan dalam terminologi

    Foucauldian bersumber dari pandangan Nitzche tentang hakekat manusia yang

    memiliki kehendak untuk berkuasa. Kehendak untuk pengetahuan “kebenaran”

    diasosiasikan dengan kehendak untuk berkuasa. Pengetahuan yang mengklaim

    kebenaran dilahirkan dalam bingkai kekuasaan. Kekuasaan menjelma ke dalam

    pengetahuan agar kekuasaan berjalan efektif dan operasional (Foucault, 1980:

    89—99).

    Relasi pengetahuan dan kekuasaan terwujud melalui wacana atau

    diskursus. Diskursus dipahami sebagai cara menghasilkan pengetahuan beserta

    praktik-praktik sosial yang menyertainya, termasuk relasi kekuasaan yang ada di

    balik pengetahuan, dan saling keterkaitan di antara semua aspek tersebut

    (Foucault, 2002:9). Masing-masing pihak mengartikulasikan hubungan kuasa

    melalui media bahasa. Pihak yang mendominasi menghasilkan diskursus demi

    kekuasaannya, begitu pula sebaliknya, upaya untuk melepaskan diri dari pihak-

    pihak yang tertindas diwujudkan pula dalam bentuk wacana (Takwin, 2003:

    110—112). Memperhatikan wacana yang berkembang dalam proses produksi dan

    distribusi kerajinan patung massal di Desa Kemenuh menjadi titik berangkat bagi

    praktik-praktik, efek-efek kuasa, dan termasuk implikasi yang ditimbulkan bagi

    kehidupan perajin.

  • 33

    2.3.3 Teori Arena Produksi Kultural

    Teori arena produksi kultural diajukan oleh Pierre Bourdieu (2010) dalam

    upaya menyoroti kondisi-kondisi sosial produksi, dan sirkulasi barang-barang

    simbolis. Penjelasan tentang “karya seni” semisal kerajinan patung kayu

    menurutnya mesti dicari di dalam sejarah dan struktur arena itu sendiri, dengan

    komponen yang beragam, dan di dalam relasi antara arena kultural dan arena

    kekuasaan. Model arena kultural Bourdieuan mengandung tiga tingkat analisis,

    yaitu: (1) analisis sosial historis menyangkut tentang kondisi-kondisi sosial dan

    historis mengenai produksi, sirkulasi, dan penerimaan bentuk-bentuk simbolis, (2)

    analisis diskursif atau analisis tentang struktur dan pengorganisasian internal

    bentuk-bentuk simbolis, dan (3) interpretasi/reinterpretasi, yang melibatkan

    konstruksi kreatif makna yang memungkinkan (Johnson (ed), 2010:xxii—xxiii).

    Dengan model demikian ia berupaya memadukan tiga tingkatan realitas sosial

    yaitu: (a) posisi arena seni di dalam arena kekuasaan, (b) struktur arena karya seni,

    dan (c) asal muasal habitus produsen.

    Posisi arena kultural dianggap berada pada posisi subordinan dalam arena

    kekuasaan yang prinsip legitimasinya didasarkan pada kepemilikan modal

    ekonomi dan politik. Arena produksi kultural distrukturkan oleh dua suboposisi

    yaitu arena produksi terbatas (seni tinggi) dan arena produksi sekala besar

    (budaya massa). Di dalam arena seni terbatas kompetisi posisi di antara agen-agen

    sebagian besar bersifat simbolis, melibatkan prestise, konsekrasi, dan selebriti

    artistik. Ciri-cirinya antara lain produksi untuk produsen, motif laba ekonomi

  • 34

    disangkal (tak berkepentingan), dan kekuatan simbolis dipertahankan oleh

    aparatus sosial yang lebih luas seperti museum, galeri, dan lembaga pendidikan.

    Sedangkan arena produksi sekala besar (budaya massa) lebih banyak

    melibatkan laba ekonomi atau keuntungan finansial. Dalam kasus tertentu arena

    ini sering kali meminjam semangat dan dinamika arena produksi terbatas sehingga

    membentuk prinsip heteronom berlandaskan faktor-faktor eksternal, dan otonom

    berdasarkan kepentingan spesifik. Prinsip hirarki heteronom adalah kesuksesan,

    misalnya dalam oplah besar penjualan karya seni patung. Prinsip hirarki otonom

    berkaitan dengan derajat konsekrasi yang spesifik (prestise) seperti pengakuan

    derajat yang diterima atas karyanya (Bourdieu, 2010:26—27).

    Terdapat dua konsep kunci yang penting dalam arena produksi kultural

    yaitu konsep strategi dan lintasan. Strategi dapat dimengerti sebagai orientasi

    spesifik praktis. Kendati sebagai produk habitus, strategi tidak didasarkan pada

    kalkulasi sadar, melainkan lebih merupakan hasil dari disposisi tak sadar terhadap

    praktik. Ia lebih bergantung kepada posisi agen yang menempati arena dan

    problematika legitimasi. Lintasan dipahami sebagai serangkaian posisi yang silih

    berganti ditempati oleh agen di tengah-tengah keadaan arena (seni) yang juga silih

    berganti. Dengan lain kata, lintasan merupakan posisi-posisi obyektif yang silih

    berganti ditempati agen di dalam arena. Melalui cara pandang relasional praktik

    kultural industri kerajinan patung sebagai budaya massa akan dapat ditelusuri

    hubungan antara agen dengan arena kultural, strategi dan lintasan dalam landasan

    sosio historisnya.

  • 35

    Sebagai bagian dari teori praktik sosial Bourdieu, arena produksi seni

    merupakan medan kekuatan yang di dalamnya terdapat upaya dan perjuangan

    untuk memperebutkan sumber daya (yaitu modal ekonomi, sosial, budaya, dan

    simbolis), dan juga demi memperoleh akses posisi tertentu yang dekat dengan

    hirarki kekuasaan. Relasi kekuasan obyektif ini membuka ruang bagi agen yang

    memiliki sejumlah modal untuk menggunakan strategi tertentu. Agen yang

    memiliki modal yang relatif banyak dalam hal ini pemodal (kapitalis) menerapkan

    strategi tertentu guna memantapkan kekuasaan dan dominasinya kepada para

    perajin yang lebih minim pemilikan modalnya. Para perajin dengan keterbatasan

    sumber daya modal akan memainkan strategi tertentu demi akumulasi modal

    sehingga memungkinkan terjadinya lintasan dan trajektori dalam hirarki struktur

    sosial arena produksi kultural (Fashri, 2009:94—95; Jenkins, 2010:95—135;

    Ritzer & Godman (ed.), 2010:527).

    Praktik sosial yang melibatkan jaringan relasi antaraktor dalam ranah

    industri kerajinan patung tersebar pengetahuan-pengetahuan, norma-norma

    maupun praktik-praktik prilaku yang dijadikan acuan. Dalam proses demikian

    terwujud sejenis tatanan sosial dalam diri individu yang stabil dan terikat pada

    tradisi serta terdapat kekuasaan yang sepenuhnya ternaturalisasi. Pengetahuan

    maupun keyakinan yang sesuai dengan habitus dan arena ini oleh Boudieu disebut

    ‘doxa’ atau sejenis ideologi. Ketika agen-agen kapital menanamkan secara halus

    wacana dan pengetahuan tentang produk melalui iklan dan promosi kepada

    konsumen, yang kemudian diterima tanpa dipertanyakan lagi maka proses

    ideologi telah bekerja (Takwin, 2003:113—117)

  • 36

    2.3.4 Teori Dekonstruksi

    Teori dekonstruksi dikemukakan oleh Jacques Derrida. Teori ini di-

    pandang sebagai cara berpikir atau model analisis dengan ‘pembongkaran’ atau

    penguraian berbagai struktur dominan dan hegemonik dalam realitas sosial, tanpa

    bermaksud menghancurkan elemen-elemennya. Struktur dominasi yang tampak

    stabil agar diurai untuk diberikan interpretasi dan reinterpretasi sehingga

    menghasilkan makna-makna baru yang dinamis (Piliang, 2006:31—32).

    Dekonstruksi mengajukan teori perbedaan (difference) atas kritik

    epistemologis terhadap metafisika kehadiran yang jatuh menjadi logosentrisme

    dan phonosentrisme (Ritzer, 2003:203—205). Teori perbedaan menawarkan/

    merekomendasikan tiga konsep kunci yaitu perbedaan, ketakmenentuan, dan

    plesetan (defenal). Pertama, perbedaan dipahami sebagai konsep/kata mendapat

    makna dengan referensi relasional dengan kata/penanda lain yang menjelaskan

    makna secara berbeda darinya. Kata tidak dicirikan oleh esensi invarian sosial

    atau biologis, namun hanya dalam konteks bukan apa yang bukan mereka, yang

    ‘lain’ darinya. Misalnya, laki-laki tulen=tidak/nonfeminim. Kedua, ketak-

    menentuan mengacu kepada ketiadaan celah tekstual istimewa yang darinya

    masalah makna dapat dipecahkan secara permanen. Ketiga, plesetan mengarah

    kepada cara mendefinisikan istilah yang tidak pernah pasti dan stabil, namun

    selalu luwes, karena sifat “memelesetkan” atau “membedakan” dari bahasa. Kata

    hitam sering kali diplesetkan dengan berbagai makna seperti kambing hitam,

    bisnis hitam, dan lubang hitam (Agger, 2007:113—125).

  • 37

    Teori dekonstruksi dapat dipandang sebagai metode kritis yang radikal

    untuk memahami elemen-elemen metaphor dan figuratif dari teks-teks sosial

    budaya (Lubis, 2003:109). Kajian terhadap metafor atau makna denotatif relevan

    digunakan untuk memahami cara kekuasaan diwujudkan, digambarkan, dan

    sekaligus dimengerti dalam konstelasi hubungan yang saling memengaruhi di

    antara berbagai kelompok sosial. Metafor saling diwujudkan dan dikontestasikan

    dalam arena sosial, yang bermakna lebih luas dan mendalam sehingga memiliki

    kemampuan memengaruhi emosi untuk bergerak ke arah tertentu. Konotasi yang

    dikandung suatu wacana adalah perwujudan unsur kekuasaan yang juga sarat

    dengan muatan ideologis (Rudyansjah, 2009:24—25).

    Prinsip kerja teori dekonstruksi berhubungan dengan masalah penafsiran

    yang menganut prinsip perbedaan yang ‘ditunda’ (difer) atau menangguhkan (to

    defer) dan strategi pembalikan/pencairan hirarki oposisi biner. Dalam penafsiran

    makna tidak sekadar menemukan asal usul dan otentisitas makna tetapi lebih pada

    penafsiran bebas (polisemi). Melalui dekonstruksi dimungkinkan untuk meng-

    ungkap dan mengurai dimensi-dimensi ideologi, relasi kuasa yang berada dalam

    ranah industri kerajinan patung secara ‘baru’ dan penuh makna (Lubis, 2003:

    109).

    2.4 Model Penelitian

    Model penelitian tentang “Relasi Kuasa Industri Budaya Massa Pada

    Perajin Patung Kayu di Desa Kemenuh, Sukawati, Gianyar” dapat dilukiskan

    dalam gambar 2.1 berikut ini.

  • 38

    Gambar 2.1. Bagan Kerangka Model Penelitian

    Keterangan:

    Hubungan yang memengaruhi

    Hubungan yang saling memengaruhi

    Relasi Kuasa

    Industri Budaya Massa pada

    Perajin Patung Kayu di Desa

    Kemenuh

    Ideologi yang

    dijadikan acuan perajin

    (kognitif)

    Praktik kuasa antar

    agensi

    (praktis)

    Implikasi terhadap

    kehidupan perajin

    (konteks ekososbud)

    Teori Komodifikasi,

    Relasi Kuasa dan Pengetahuan,

    Arena Produksi Kultural,

    Dekonstruksi

    Budaya

    Lokal

    Budaya

    Global

    Simpulan dan Temuan Penelitian

    Industri Budaya Massa

    Perajin

  • 39

    Kerangka model penelitian ini bertumpu pada pola relasional yang

    dialektis antara kebudayaan (lokal) Bali yang dicirikan antara lain oleh dimensi

    komunalisme, ekspresif – religius dan bersifat elitis dengan budaya global yang

    membawa serta unsur-unsur budaya seperti pariwisata, kapitalisme/industrialisasi,

    budaya/teknologi media (massa) dan konsumerisme. Dialektika dan interaksi

    budaya lokal Bali dengan budaya global memunculkan fenomena baru dalam

    produksi kerajinan patung yang mengarah kepada industri budaya massa,

    termasuk memengaruhi industri kerajinan patung kayu di Desa Kemenuh. Subjek

    kajian penelitian ini adalah perajin patung kayu di Desa Kemenuh yang

    memroduksi patung massal, sehingga termasuk dalam kategori industri budaya

    massa.

    Penelitian ini memokuskan pada dimensi hubungan kuasa yang terjadi

    dalam sistem industri budaya massa terhadap perajin. Realitas relasi kuasa yang

    ditelaah dijabarkan dalam tiga masalah penelitian yakni: (a) unsur kognitif

    menyangkut ideologi yang dijadikan acuan oleh perajin patung kayu di Desa

    Kemenuh dalam proses produksi dan distribusi, (b) unsur praktis berkenaan

    dengan praktik-praktik kuasa atau dimensi ‘kekuatan’ yang terjadi antara unsur-

    unsur industri kerajinan patung massal dengan perajin, dan (c) unsur konteks

    ekonomi, sosial, dan seni budaya yang berkaitan dengan implikasi relasi kuasa

    terhadap kehidupan perajin.

    Penelitian ini memakai pendekatan kualitatif dengan penerapan teori-teori

    sosial kritis yaitu teori komodifikasi, teori relasi kuasa dan pengetahuan dari

    Foucault, teori arena produksi kultural dari Bourdieu, dan teori dekonstruksi oleh

  • 40

    Derrida. Empat teori kritis tersebut diterapkan secara eklektik guna dapat

    membedah pokok persoalan yang diajukan dalam penelitian ini.

    Penelaahan kritis terhadap dimensi-dimensi tersebut dijadikan dasar untuk

    mengkonstruksi jenis-jenis ideologi yang diacu, praktik kuasa antara perajin

    dengan komponen terkait, dan implikasinya bagi kehidupan perajin yang menjadi

    landasan dalam penyimpulan dan menyusun temuan penelitian. Konstruksi

    simpulan dan temuan digunakan sebagai dasar dalam pemberdayaan atau

    melakukan emansipatoris kepada perajin.