bab ii kajian pustaka, konsep, landasan teori, dan … · 2017. 4. 1. · produksi dan reproduksi...
TRANSCRIPT
-
14
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL
PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Industri budaya massa telah menjadi kajian yang menarik oleh sejumlah
pakar. Kendatipun fenomena industri budaya massa pada tataran lokal Bali baru
berlangsung sekitar 10 tahun atau 20 tahun terakhir untuk Indonesia sebagai objek
penelitian, namun budaya massa telah menjadi isu studi sekolah Frankfurt sejak
1930-an dan sampai sekarang masih menjadi kajian yang menarik. Penelaahan
hasil kajian tersebut penting dilakukan untuk mengetahui posisi penelitian,
menemukan konsep-konsep maupun teori-teori yang relevan dipakai, untuk
memecahkan masalah yang diajukan dalam penelitian ini.
Dari penelusuran pustaka, ternyata kerajinan patung di Desa Kemenuh telah
dikaji oleh Sudita dan Sukerti. Penelitian Sudita (1987) yang berjudul
“Perkembangan Seni Patung di Desa Kemenuh Gianyar” menyoroti tentang
perkembangan seni patung di Desa Kemenuh ditinjau dari unsur tema/bentuk,
fungsi, jumlah produksi, dan jumlah perajin. Hasil kajiannya dapat memberikan
gambaran bahwa tema patung yang dibuat oleh para perajin Kemenuh
berkembang dari bentuk cerita pewayangan ke motif baru. Kelompok perajin
Kemenuh Selatan membuat jenis-jenis patung seperti penari, patung dewa-dewi,
patung cili, patung pendeta, dan topeng, sedangkan kelompok perajin Kemenuh
Utara condong memroduksi patung motif unggas, tumbuh-tumbuhan, dan jenis
-
15
binatang lainnya. Fungsi patung di Kemenuh pada mulanya adalah untuk media
keagamaan (sakral) , kemudian mengalami perkembangan fungsi sebagai produk
yang dijadikan barang seni atau cinderamata (profan). Jumlah produk dan perajin
patung di Desa Kemenuh dalam kurun waktu 1975—1985 menunjukkan
perkembangan yang meningkat tajam. Kajian ini bersifat monodisiplin yang
melihat kerajinan patung di Desa Kemenuh dari perspektif seni rupa. Kendatipun
demikian, kajian ini dapat dijadikan langkah awal guna memahami industri
kerajinan patung di Desa Kemenuh lebih mendalam dan komprehensif.
Penelitian yang dilakukan Sukerti (2005) berjudul “Industri Kerajinan
Kayu untuk Cinderamata di Desa Kemenuh Gianyar”, senada dengan penelitian
yang dilakukan oleh Citrawati dan Sukmawati. Citrawati (2006) mengkaji tentang
“Kerajinan Cinderamata dalam Pariwisata Budaya di Desa Tegalalang Sebatu
Kecamatan Tegalalang, Gianyar Bali”, sedangkan Sukmawati (2011) meneliti
tentang “Komodifikasi Kerajinan Seni Patung Kayu di Desa Mas, Kecamatan
Ubud, Kabupaten Gianyar”. Meskipun ketiga peneliti menyoroti jenis kerajinan
pada lokasi penelitian berbeda, tetapi penelitiannya menghasilkan simpulan yang
hampir sama bahwa industri kerajinan merupakan suatu proses komodifikasi
budaya, memiliki makna yang signifikan terhadap penuangan nilai seni dan
kreatifitas, sumber pendapatan masyarakat, dan menciptakan peluang kerja
(makna ekonomi), meningkatkan status sosial, dan menunjang pelestarian budaya.
Memang kajian-kajian yang dilakukan ada yang menggunakan teori kritis, namun
orientasi penelitiannya masih kental dengan pendekatan budaya elitis dan belum
ada yang mengaitkan dengan isu budaya massa, maupun menyoroti dimensi
-
16
ideologi dan relasi kuasa. Selain itu, fokus kajiannya lebih bertumpu pada produk
kerajinan (artefak budaya), belum menyentuh unsur pelaku ‘para perajin’ yang
merupakan domain penting dalam proses produksi budaya.
Cukup menarik untuk dicermati kajian Muryana (2006) berkaitan dengan
pelaku (perajin) yang dituangkan dalam bentuk tesis dengan judul “Kompetisi
antara Pekerja Lokal & Pekerja Pendatang: Studi Kasus pada Industri Kerajinan
Perak Puspa Mega di Celuk”. Dalam kajian ini dijelaskan bahwa keberadaan
industri kerajinan memunculkan konflik antara penduduk lokal dengan pekerja
pendatang. Konflik kepentingan ini dipicu oleh keunggulan masing-masing pihak.
Pekerja pendatang biasanya diberikan upah lebih murah dan bekerja lebih keras,
sedangkan pekerja lokal umumnya dibayar lebih tinggi karena mereka lebih
trampil dalam menciptakan detail-detail ukiran dan lebih menjunjung sikap
kejujuran. Meskipun kompetisi tampak terjadi secara laten, tetapi mereka belum
mengarah ke potensi konflik yang bersifat manives. Hasil kajian budaya yang
menggunakan teori konflik ini memberikan inspirasi yang penting bagi penulis
terutama dalam memberikan pemahaman tentang relasi dan kontestasi horisontal
di antara aktor perajin tersebut.
Penelitian Suryana & Sukayasa (2008) yang berjudul “Kajian Kria
Kontemporer Bali: Studi Kasus Kerajinan Patung Pop Art di Desa Tegalalang”
menyoroti perkembangan baru di bidang seni patung yang ada di Bali khususnya
di Tegalalang. Ada dua temuan penting yang diungkapkan dari hasil kajiannya.
Pertama, karya patung pop art yang berkembang di Tegalalang digolongkan
sebagai seni kria modern Bali, yang ditandai dengan kuatnya unsur ungkapan
-
17
ekspresi dari seniman secara bebas. Seniman dalam hal ini meninggalkan tradisi
baik gaya dan motifnya, kebaruan dalam konsep pengembangan desain, teknik
produksi dan perupaan, namun masih tetap berbasis tradisional. Kedua,
keberadaan kerajinan patung pop art ini mampu mengubah mata pencaharian
penduduk dari petani menjadi perajin dan dalam perkembangannya menjadi
pemilik toko seni dan eksportir. Penelitian yang memakai pendekatan seni dan
desain ini memberikan wawasan kritis berkenaan dengan konsep seni pop dan
implikasinya terhadap kesejahteraan perajin/masyarakat sehingga penting artinya
bagi penulis dalam menajamkan arah penelitian yang hendak dilakukan.
Penelitian yang dilakukan oleh Suastika, dkk. (2009) mengenai “Trans-
formasi Nilai Sastra dan Budaya Lokal dalam Pengembangan Industri Kreatif di
Bali” menyoroti tentang nilai-nilai sastra dan budaya lokal yang berkembang
menjadi produk-produk industri kreatif di Bali dan proses transformasi yang
mengiringinya. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa, ketika proses tindakan
membuat produk industri kreatif menjadi benda produksi yang bernilai jual,
terjadi penemuan nilai-nilai di balik proses tindakan dan hasilnya, dan seiring
dengan itu pelaku-pelaku produk industri kreatif juga mengomunikasikan nilai-
nilai tersebut kepada orang lain yang mengamatinya. Nilai sastra dan budaya lokal
sebagai domain kebudayaan Bali merupakan modal budaya (cultural capital)
yang secara nyata dapat ditransformasikan menjadi produk-produk budaya yang
bermanfaat secara ekonomi. Dengan demikian terjadi korelasi yang positif antara
pengembangan budaya tradisional dengan penciptaan produk-produk industri
kreatif yang dapat dimaknai untuk kesejahteraan rakyat dan pelestarian budaya.
-
18
Walaupun fokus yang dikaji berbeda dengan penelitian yang hendak penulis
lakukan, kiranya hasil penelitian ini memberikan wawasan kritis tentang
fenomena industri kreatif yang berpengaruh positif terhadap kebudayaan Bali.
Penelitian Pemayun (2009) dalam bentuk disertasi berjudul “Komodifikasi
Patung Garuda di Banjar Pakudui Desa Kedisan: Sebuah Kajian Budaya”.
Penelitiannya berupaya untuk memahami fenomena produksi patung garuda
sebagai karya seni dengan berbagai jenis varian, material, dan gaya yang meng-
ikuti perkembangan sesuai selera konsumen. Kajian ini memakai pendekatan
multidisiplin dengan penerapan beberapa teori kritis, seperti teori komodifikasi,
dekonstruksi, semiotika, dan estetika posmodern. Hasil temuannya mencakup
proses komodifikasi patung garuda melalui mekanisme perubahan pada unsur
produksi dan pemasaran, yang berdampak pada kehidupan sosial ekonomi dan
budaya masyarakat, serta memiliki makna kreatifitas, ekonomi, kebebasan
interpretasi, pelestarian budaya, dan sekulerisasi budaya lokal. Penelitian ini lebih
berfokus pada penelaahan aspek dinamika produksi patung garuda dalam bingkai
komodifikasi budaya dan berdampak kepada masyarakat, sementara unsur perajin
beserta relasi yang terbangun dalam proses produksi kurang mendapat perhatian.
Selain itu, kajian kritis yang diterapkan masih tertuju pada fenomena budaya yang
‘tampak’ sehingga belum menyentuh (menyingkap) hal-hal yang tersembunyi di
balik produksi patung garuda tersebut. Dengan demikian, kajian ini memiliki
perbedaan dengan penelitian penulis baik ditinjau dari lokus maupun fokusnya.
Lokus penelitian yang penulis lakukan bukan di Banjar Pakudui Desa Kedisan,
melainkan di Desa Kemenuh, Sukawati. Kedua tempat ini memiliki karakteristik
-
19
yang berbeda baik dari aspek historis, lingkungan, maupun produk budaya yang
dihasilkan. Demikian pula fokus kajian yang hendak disoroti adalah persoalan
ideologi, praktik kuasa, dan implikasi industri kerajinan patung dalam bingkai
budaya massa, dengan memakai teori-teori yang berbeda.
Berdasarkan kajian-kajian yang dilakukan oleh peneliti tersebut,
pengkajian industri kerajinan patung secara holistik yang dikaitkan dengan isu
industri budaya massa belum tampak. Hasil penelitian yang sudah ada apabila
dikaitkan dengan kerangka budaya massa setidaknya memberikan umpan balik
bahwa industri budaya massa masih dimengerti dalam tataran budaya yang elitis.
Temuan ini sudah tentu amat kontras bila dibandingkan dengan perdebatan dan
kritik budaya massa yang cenderung dipandang berakibat negatif terhadap budaya
tinggi maupun masyarakat selaku produsen dan konsumen budaya massa.
Di Indonesia isu tentang industri budaya massa telah menarik dan menjadi
perdebatan sejumlah pakar. Hal ini sesuai dengan hasil kajian Budiman (2002)
mengenai fenomena budaya massa yang dituangkan dalam sebuah buku berjudul
Lubang Hitam Kebudayaan. Kajiannya mengambil setting periode orda baru
sebagai satuan kajian dengan argumen: (a) Indonesia saat itu telah memasuki
ekonomi industrial, (b) media massa tumbuh pesat, dan (c) terjadi penambahan
fasilitas komunikasi massa modern secara signifikan, yang bersamaan pula
dengan munculnya kelas menengah di Indonesia. Sumber data utamanya
bertumpu pada data tekstual terutama majalah seni budaya seperti Horison,
Prisma, dan Basis. Dua simpulan penting hasil kajiannya, yaitu: (1) budaya massa
di Indonesia diletakkan dalam kontras antara budaya tinggi dan budaya rakyat
-
20
yang secara hirarki maupun kualitas dipahami sebagai budaya yang berada di
tengah antara budaya tinggi dengan budaya rendah; (2) budaya massa era 1970—
1990-an direspon secara beragam oleh intelektual Indonesia, ada yang
memandang sebagai budaya berkonotasi dangkal, rendah dan komersial, ada pula
yang melihat sebagai bagian yang sah dari kehidupan masyarakat modern
industrial. Hasil kajian ini menjadi sumber inspirasi bagi penulis terutama
dinamika konsep, perdebatan teori, dan pendekatan terhadap budaya massa.
Buku bunga rampai yang berjudul Lifestyle Ecstasy: Kebudayan Pop
dalam Masyarakat Komoditas di Indonesia yang disunting oleh Idi Subandy
Ibrahim (2004) cukup menginspirasi pemahaman penulis tentang dimensi
pertumbuhan kebudayaan pop (massa) dan kaitannya dalam membentuk gaya
hidup (konsumerisme). Kendatipun lebih menyoroti industrialisasi dan peran
media dalam mentransmisikan budaya massa kepada masyarakat luas, termasuk
dampak yang ditimbulkannya, terdapat sejumlah konsep dan proposisi yang
penting untuk memahami teori-teori budaya massa sesuai perspektif keilmuan
yang diacu oleh kontributor buku ini.
Selain itu, pandangan Sedyawati (2008) dalam buku yang berjudul
Keindonesiaan Dalam Budaya. Dialog Budaya: Nasional dan Etnik. Peranan
Industri Budaya dan Media Massa. Warisan Budaya dan Pelestarian
menginspirasi penulis terutama tiga artikel yang mengkaji issu industri budaya
(Sedyawati, 2008:128—132, 147—151, 157—159). Hasil pemikiran Sedyawati
memberikan pemahaman tentang industri budaya (massa) di Indonesia, khususnya
debat kategorisasi budaya massa/populer yang diposisikan setara dengan budaya
-
21
lainnya. Demikian pula buku Piliang (2011:415—433) yang berjudul Dunia Yang
Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas kebudayaan memberikan wawasan
penulis tentang karakteristik budaya massa sebagai logika industrialisasi,
kapitalisasi, massifikasi produk yang diimposisikan dari atas serta korelasinya
terhadap pembentukan masyarakat konsumen.
Di Indonesia kajian budaya massa baru dilakukan era 1980-an, sedangkan
di dunia internasional telah dilakukan jauh sebelumnya. Buku Dominic Strinati
(2009) berjudul Populer Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer
membicarakan gagasan budaya massa dan teori-teori utama budaya populer.
Melalui buku ini penulis memperoleh pemahaman yang memadai tentang latar
historis munculnya budaya massa, kritik, dan teoritikus budaya massa sejak
mazhab Frakfurt hingga posmodernisme dan populisme budaya. Demikian pula
buku Pierre Bourdieu (2010) berjudul Arena Produksi Kultural: Sebuah Kajian
Sosiologi Budaya menginspirasi penulis terutama dalam memahami realitas
produksi dan reproduksi budaya di era kontemporer. Teori, konsep, metode dan
gagasan yang diajukan untuk mengkaji proses produksi, distribusi dan konsumsi
budaya tampaknya relevan dijadikan landasan teori utama dalam kajian budaya
massa yang penulis lakukan.
2.2 Konsep
2.2.1 Dekonstruksi
Dekonstruksi merupakan istilah yang kompleks dan relatif sulit untuk
dideskripsikan. Untuk menjelaskan konsep dekonstruksi perlu ditelusuri landasan
-
22
yang dijadikan acuan pemikirannya. Dekonstruksi berangkat dari kritik radikal
yang dikemukakan oleh Derrida berkaitan dengan pandangan filsafat barat yang
bersandar kepada adanya pusat (logosentrisme), metafisika kehadiran
(obyektifisme) sehingga menghasilkan makna tunggal dan tertutup. Pandangan
demikian ditolaknya, dan diajukan pemikiran baru ‘dekonstruksi’ yang berupaya
untuk merobohkan klaim-klaim maupun sistem-sistem ilmu pengetahuan yang
hanya bertujuan mencapai kebenaran objektif - universal (Lajar, 2005:170—172).
Dekonstruksi dapat diartikan sebagai semacam pembongkaran atau
perombakan, tetapi bukan untuk penghancuran (destruktif) yang berakhir dengan
pandangan tunggal atau kosong. Membongkar bermakna mengurai atau
menyingkapkan struktur-struktur yang dianggap mapan guna ditata kembali
dijadikan suatu bangun yang baru dan berbeda (Santoso, 2007:252—253).
Mendekonstruksi juga berarti melakukan pembongkaran atas hirarki oposisi biner
yang berfungsi menjamin kebenaran dengan cara menafikan pasangan yang lebih
“inferior” pada masing-masing oposisi biner (Barker, 2005:102—103).
Dekonstruksi melibatkan suatu proses simultan antara perombakan dengan
penciptaan. Struktur-struktur maupun teks-teks sosial budaya yang dianggap
mapan dan netral mesti diurai, dirombak, dan disingkapkan secara kritis dengan
beraneka cara interpretasi. Titik akhir dari dekonstruksi bermuara pada tujuan
merayakan ‘permainan bebas’ guna memperoleh keberagaman makna-makna
yang memungkinkan. Konsep dekonstruksi dalam penelitian ini mengacu kepada
upaya untuk membongkar atau menyingkapkan struktur-struktur dominasi,
praktik-praktik ideologi dan kekuasaan, yang melekat atau ‘tersembunyi’ di balik
-
23
aktivitas industri kerajinan patung di Desa Kemenuh. Upaya ini dilakukan dengan
menunda atau menangguhkan pemahaman dominan/umum guna diperoleh
beragam makna yang relevan.
2.2.2 Relasi Kuasa
Relasi kuasa terdiri atas kata relasi dan kuasa. Relasi diartikan sebagai
hubungan, pertalian atau sangkut-paut. Kuasa dipahami sebagai perekat yang
mengikat kehidupan sosial, atau kekuatan paksa yang menyubordinasikan suatu
kelompok di bawah kelompok lain. Kuasa menurut Foucault dipandang sebagai
proses yang menghasilkan segala bentuk aksi, hubungan, dan pengaturan sosial.
Kekuasaan dalam hal ini adalah suatu wilayah strategis bersifat plural, produktif,
dan memberdayakan yang beredar di segala level masyarakat dan segala
hubungan sosial (Storey, 2003: 134; Barker, 2010:12; Piliang, 2011:23).
Konsep relasi kuasa atau hubungan kekuasaan berarti suatu cara pandang
yang melihat bentuk-bentuk aksi atau pengaturan sosial pada berbagai hubungan
yang saling memengaruhi di antara berbagai kelompok sosial dalam masyarakat.
Relasi kuasa mengacu kepada konstelasi kekuasaan yang bersifat jaringan yang
menyebar dan meresap menjelajahi seluruh tubuh sosial. Kekuasaan bukan milik
melainkan fungsi yang dipraktikkan dalam suatu ruang lingkup. Kekuasaan tidak
hanya dimiliki oleh elite, melainkan difungsikan dalam relasi-relasi yang tak
terhitung jumlahnya. Dengan lain kata, di mana saja ada manusia yang mem-
punyai hubungan tertentu satu sama lain dan dengan dunia, di situ kuasa sedang
bekerja (Lubis, 2003:165—167; Piliang, 2011:24).
-
24
Selain konsep relasi kuasa perlu juga dijabarkan terminologi praktik kuasa
yang digunakan dalam penelitian ini. Konsep praktik kuasa yang diacu sesuai
pandangan Foucault yang lebih menitikberatkan kepada mekanisme dan strategi
kuasa. Artinya, yang ditelusuri adalah bagaimana kuasa itu dipraktikkan, diterima
dan dilihat sebagai kebenaran dan bagaimana kuasa yang berfungsi dalam
hubungan antara perajin dengan unsur-unsur yang terlibat dalam industri
kerajinan patung kayu di Desa Kemenuh. Konsep praktik kuasa dengan demikian
lebih menekankan pada penggunaan kuasa termasuk pengaruh/efek-efeknya
dalam hubungan kekuasaan tersebut.
2.2.3 Ideologi
Secara etimologi ideologi berasal dari kata ‘idea’ dan logos. Idea berarti
ide atau gagasan, dan logos berarti ilmu pengetahuan. Jadi ideologi berarti ilmu
pengetahuan tentang ide-ide. Ideologi membicarakan tentang asal-usul ter-
bentuknya ide atau bagaimana ide-ide terbentuk dalam diri manusia yang
dijadikan acuan dalam bertingkah laku.
Berdasarkan terbentuknya atau pengaruh ide-ide dalam diri manusia,
ideologi dapat dikategorikan bermakna positif dan negatif. Ideologi yang diartikan
sebagai kesadaran palsu oleh Marx adalah contoh ideologi dalam artian negatif,
sedangkan ideologi sebagai kesadaran kelompok untuk meningkatkan ke-
sejahteraannya menurut Luckas adalah pengertian ideologi yang bermakna positif.
Sementara itu, Althusser memandang ideologi lahir dari sebuah hubungan
kekuasaan. Pihak berkuasa berupaya mempertahankan kekuasaannya dengan
-
25
ideologi, demikian pula pihak yang dikuasai berusaha melepaskan keter-
tindasannya melalui ideologi (Takwin, 2004:xxiii—xxv).
Dari perspektif kajian kritis, ideologi dilihat sebagai sesuatu yang tertaut
dengan posisi sosial dan relasi kekuasaan (Thompson, 2006:17; Kellner, 2010:
77—85). Ideologi dipahami sebagai ide-ide atau gagasan-gagasan yang digunakan
untuk melegitimasi kekuasaan, memengaruhi masyarakat terdominasi sehingga
menjadi rujukan tingkah lakunya. Ideologi menjadi sesuatu yang alamiah,
tertanam dalam diri kelompok masyarakat, tanpa disadari, dan dijadikan orientasi
praktis bagi prilaku kehidupan sehari-hari. Gagasan yang tertanam dalam diri
perajin menyangkut proses produksi patung massal, pengetahuan tentang selera
konsumen, dan perihal harga patung, sebagai akibat hubungannya dengan pihak
pemodal dapat dipandang sebagai ideologi.
Dengan demikian, konsep ideologi dalam penelitian ini merujuk kepada
pengertian diskursus/wacana menurut terminologi Foucault, dan serupa dengan
konsep ‘doxa’ menurut Bourdieu (Takwin, 2003:109—117). Ideologi mencakup
ide-ide, pengetahuan-pengetahuan, keyakinan, cerita-cerita, dan praktik-praktik
simbolis yang dijadikan acuan para perajin dalam bertingkah laku. Wujud
ideologi dapat berupa pengetahuan lokal perajin sebagai adaptasi dengan kondisi
lingkungan budaya, maupun keyakinan ‘baru’ yang diterima sebagai akibat
hubungannya dengan pihak-pihak lain dalam relasi produksi patung massal.
-
26
2.2.4 Industri Budaya Massa
Industri budaya massa merupakan istilah yang diturunkan dari konsep
industri budaya. Industri budaya pada awalnya muncul dalam bentuk industri
hiburan seperti film, radio, televisi, musik rakyat, majalah, dan surat kabar di
Eropa dan Amerika Serikat pada akhir abad XIX dan awal abad XX. Selanjutnya,
berkembang berbagai produk industri yang memanfaatkan ranah kebudayaan
seperti di bidang seni, gaya hidup, adat-istiadat, termasuk pula produk kerajinan.
Sedyawati memberikan batasan industri budaya sebagai keseluruhan
sistem yang terpusat pada tujuan untuk menghasilkan produk-produk, baik benda
maupun jasa, yang berisikan substansi budaya. Di dalam sistem tersebut terdapat
bermacam pelaku, seperti pemodal, pelaksana produksi, para ‘sumber budaya’,
dan ‘pemesan’ yang ikut serta menentukan arah produksi. Cakupan hasil produksi
industri budaya dapat berupa benda seperti barang-barang cetakan, hasil rekaman,
dan berbagai karya seni kria yang diproduksi secara massal, sedangkan berupa
jasa seperti kegiatan festival maupun jasa pementasan seni (Sedyawati, 2008:
157—158).
Memperhatikan segi massifikasi produksi maupun khalayak yang menjadi
tujuan pemasarannya, maka industri budaya lebih dikenal sebagai industri budaya
massa. Industri budaya massa terkait erat dengan perkembangan industrialisasi
(kapitalisme), yang menyebabkan terjadinya massifikasi, komodifikasi, dan
komersialisasi budaya. Oleh karena itu, Piliang memahami budaya massa sebagai
budaya yang diproduksi dengan mode-mode industrial untuk massa yang luas
(Piliang, 2011:417—418).
-
27
Konsep industri budaya massa yang dimaksud dalam penelitian ini
mengacu kepada praktik-praktik produksi barang-barang budaya yang terstandar
dan massal untuk dipasarkan kepada masyarakat luas. Ciri industri budaya massa
dengan demikian mengandung tiga unsur penting yaitu: (a) standarisasi dan
massifikasi dalam produksi, (b) berada dalam ranah ekonomi industrial, (c) hasil
produk ditujukan kepada khalayak massa.
2.2.5 Perajin Patung Kayu
Perajin diartikan orang-orang yang pekerjaan atau profesinya membuat
barang-barang kerajinan. Kerajinan dalam perspektif industri mengacu kepada
suatu usaha untuk mengolah bahan baku menjadi bahan jadi yang dalam proses
pengolahannya lebih menekankan penggunaan ketrampilan tangan dibandingkan
mesin. Penggunaan mesin hanya sebagai alat bantu, dan bukan sebagai alat
sepenuhnya untuk mengerjakan bahan tersebut. Jenis-jenis bahan kerajinan antara
lain: kayu, bambu, kulit, logam, bebatuan, tekstil, keramik, daun-daunan, kertas,
tulang, tanduk, dan kulit binatang. Ditinjau dari proses pembentukannya terdapat
jenis kerajinan yang dipahat, diukir, diwarnai, dianyam, diikat, dijahit, ditempel,
atau campuran dari unsur-unsur tersebut.
Kerajinan patung kayu dapat pula dipandang sebagai seni kria (Sedyawati,
2008:157) atau seni patung yakni suatu pernyataan pengalaman artistik lewat
bentuk tiga dimensi. Dengan kata lain, seni patung adalah suatu seni perencanaan
dan pengkontruksian bentuk-bentuk trimatra dengan sifat-sifat, antara lain: (a)
menggambarkan objek sebenarnya atau khayal, (b) menyajikan sebuah rancangan
-
28
dalam bentuk trimatra, dan (c) menyugestikan berbagai jenis gagasan, perasaan
serta pengalaman lain (Suwandi, 1999:32).
Konsep perajin patung kayu dalam penelitian ini mengacu kepada orang-
orang yang bekerja dalam bidang pembuatan patung dari bahan kayu yang
menggambarkan bentuk-bentuk trimatra seperti mahluk hidup maupun wujud
lainnya.
2.3 Landasan Teori
Landasan teori atau disebut juga kerangka teori merupakan titik berangkat
dan landasan bagi peneliti dalam menganalisis dan memahami realitas yang
diteliti (Irawan, 2006 :39). Isi landasan teori adalah sintesa teori yaitu rangkaian
teori-teori yang dipandang relevan untuk menganalisis objek penelitian, yang
dalam penelitian kualitatif dianggap sama dengan hipotesis (Tan, 1989:21; Ratna,
2010:218).
Penelitian ini bertumpu pada teori-teori sosial kritis yaitu: teori
komodifikasi, teori relasi kuasa dan pengetahuan, teori arena produksi kultural,
dan teori dekonstruksi. Teori-teori yang dipilih diterapkan secara eklektik, dalam
arti satu teori bukan hanya difokuskan untuk membahas satu masalah, tetapi
digunakan juga untuk membahas masalah yang lain. Teori yang dimaksud adalah
sebagai berikut ini.
-
29
2.3.1 Teori Komodifikasi
Komodifikasi berasal dari kata komoditi, yang secara sederhana berarti
hasil kerja manusia, baik barang atau jasa, yang sengaja diproduksi untuk
dipertukarkan melalui mekanisme pasar. Produksi yang dihasilkan masyarakat
untuk memenuhi kebutuhannya sendiri bukanlah komoditi, tetapi bila produk
kerja tersebut untuk dikonsumsi pihak lain melalui pertukaran pasar barulah
disebut komoditi (Suyanto, 2013:174—175).
Berdasarkan pengertian tersebut, komodifikasi dapat dipahami sebagai
proses menjadikan sesuatu yang sebelumnya bukan komoditi menjadi komoditi.
Marx mengidentifikasi, bahwa komodifikasi dapat ditelusuri melalui fenomena
kapitalisme. Akar-akar komodifikasi setidaknya menyangkut proses perubahan
pada unsur produk dan tenaga kerja.
Komodifikasi pada bidang produk terjadi ketika barang atau jasa yang
dibuat oleh produsen merupakan produksi komoditas atau dibuat untuk dijual di
pasar. Seni patung yang pada mulanya dibuat untuk kepentingan sendiri atau
difungsikan untuk persembahan, kemudian dibuat guna memenuhi selara
pasar/konsumen. Proses ini menandakan seni patung telah mengalami
komodifikasi.
Komodifikasi terhadap tenaga kerja berlangsung ketika kerja untuk
menghasilkan benda atau jasa diukur dengan sistem upah. Tidak seperti
pengerahan kerja tradisional dengan sistem gotong royong, para pekerja dalam
membuat patung mendapat bayaran atau dengan sistem kerja upahan atas karya
-
30
yang dihasilkan. Perubahan sistem kerja dari gotong royong ke kerja upahan
merupakan wujud komodifikasi terhadap tenaga kerja (Mulyanto, 2012:20—26).
Komodifikasi dapat pula dimengerti sebagai suatu proses yang mengarah
kepada semakin banyaknya aktivitas yang bertujuan untuk memiliki nilai uang
dan menjadikan barang atau jasa yang diperjualbelikan di pasaran. Komodifikasi
menjadikan sesuatu yang bukan komoditas, kemudian dijadikan komoditas untuk
dipasarkan demi memperoleh keuntungan. Komodifikasi terjadi pada berbagai
dimensi kehidupan seperti komodifikasi tanah atau ruang yang disakralkan (pura
untuk daya tarik wisata), komodifikasi manusia (misalnya pelacuran),
komodifikasi wacana (misalnya berita selebriti), dan komodifikasi terhadap aspek
seni budaya (Mulyanto, 2012:20—27).
Komodifikasi bukan hanya menyangkut proses produksi komoditas, tetapi
mencakup pengertian yang lebih luas. Komodifikasi berhubungan dengan praktik-
praktik produksi, proses distribusi, dan penerimaannya oleh konsumen.
Komodifikasi umumnya melibatkan proses produksi membuat barang-barang
dalam jumlah massal guna melayani kebutuhan konsumen, dan juga diproduksi
berulang-ulang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang menjadi target
pasarnya (Suyanto, 2013:175).
Produksi komoditi bukan sekadar hubungan antarbenda, namun lebih
merupakan rangkaian hubungan sosial. Hubungan yang terjadi dalam proses
produksi menurut Marx adalah hubungan antara kelompok pemodal yang me-
miliki faktor-faktor produksi dengan kelompok pekerja yang hanya memiliki
tenaga untuk berproduksi. Hubungan antara kelas berjuis dengan kelas proletar
-
31
dalam ranah komodifikasi bersifat dominatif dan eksploitatif. Kelompok berjuis
yang memiliki faktor-faktor produksi tersebut adalah pengendali dan menguasai
kelompok pekerja, sehingga pekerja menjadi teralienansi terhadap produk yang
dihasilkannya (Hasan, 2011:187—190). Bahkan kolaborasi antara pemodal, media
massa, dan kekuatan lainnya dalam era kapitalisme lanjut bukan saja berupaya
menguasai para pekerja, tetapi juga mampu mengarahkan pola-pola konsumsi
masyarakat. Melalui berbagai sarana yang ada mereka memprovokasi masyarakat
dengan menyebarkan standar-standar dan ide-ide untuk senantiasa mengonsumsi
komoditas yang dihasilkannya. Di sinilah kuasa unsur kapital berperan
menyebarkan ideologi baik kepada pekerja maupun masyarakat sebagai
konsumennya (Piliang, 1999:246).
Mengacu kepada penalaran teori komodifikasi tersebut, tampaknya relevan
untuk menjelaskan latar belakang ideologi yang dianut oleh para perajin, relasi
kuasa yang terjadi di antara unsur yang terlibat dalam industri budaya massa, dan
implikasinya terhadap kehidupan perajin patung di Desa Kemenuh.
2.3.1 Teori Relasi Kuasa dan Pengetahuan.
Teori relasi kuasa dan pengetahuan dikemukan oleh Michael Foucault
yang memandang bahwa antara kekuasaan dan pengetahuan mempunyai
hubungan yang amat erat dan timbal balik. Ilmu pengetahuan bukanlah bersifat
netral seperti yang dipahami selama ini, tetapi sarat dengan unsur kekuasaan.
Melalui pengetahuan diwujudkan klaim-klaim, posisi-posisi, maupun diskursus
yang tidak terlepas dengan dimensi kuasa dari agen yang memproduksinya. Oleh
-
32
karena itu, ilmu pengetahuan memproduksi kekuasaan, dan kekuasaan
membentuk pengetahuan (Foucault, 1980:89—99; Ritzer, 2003:78—81).
Kaitan antara ilmu pengetahuan dan kekuasaan dalam terminologi
Foucauldian bersumber dari pandangan Nitzche tentang hakekat manusia yang
memiliki kehendak untuk berkuasa. Kehendak untuk pengetahuan “kebenaran”
diasosiasikan dengan kehendak untuk berkuasa. Pengetahuan yang mengklaim
kebenaran dilahirkan dalam bingkai kekuasaan. Kekuasaan menjelma ke dalam
pengetahuan agar kekuasaan berjalan efektif dan operasional (Foucault, 1980:
89—99).
Relasi pengetahuan dan kekuasaan terwujud melalui wacana atau
diskursus. Diskursus dipahami sebagai cara menghasilkan pengetahuan beserta
praktik-praktik sosial yang menyertainya, termasuk relasi kekuasaan yang ada di
balik pengetahuan, dan saling keterkaitan di antara semua aspek tersebut
(Foucault, 2002:9). Masing-masing pihak mengartikulasikan hubungan kuasa
melalui media bahasa. Pihak yang mendominasi menghasilkan diskursus demi
kekuasaannya, begitu pula sebaliknya, upaya untuk melepaskan diri dari pihak-
pihak yang tertindas diwujudkan pula dalam bentuk wacana (Takwin, 2003:
110—112). Memperhatikan wacana yang berkembang dalam proses produksi dan
distribusi kerajinan patung massal di Desa Kemenuh menjadi titik berangkat bagi
praktik-praktik, efek-efek kuasa, dan termasuk implikasi yang ditimbulkan bagi
kehidupan perajin.
-
33
2.3.3 Teori Arena Produksi Kultural
Teori arena produksi kultural diajukan oleh Pierre Bourdieu (2010) dalam
upaya menyoroti kondisi-kondisi sosial produksi, dan sirkulasi barang-barang
simbolis. Penjelasan tentang “karya seni” semisal kerajinan patung kayu
menurutnya mesti dicari di dalam sejarah dan struktur arena itu sendiri, dengan
komponen yang beragam, dan di dalam relasi antara arena kultural dan arena
kekuasaan. Model arena kultural Bourdieuan mengandung tiga tingkat analisis,
yaitu: (1) analisis sosial historis menyangkut tentang kondisi-kondisi sosial dan
historis mengenai produksi, sirkulasi, dan penerimaan bentuk-bentuk simbolis, (2)
analisis diskursif atau analisis tentang struktur dan pengorganisasian internal
bentuk-bentuk simbolis, dan (3) interpretasi/reinterpretasi, yang melibatkan
konstruksi kreatif makna yang memungkinkan (Johnson (ed), 2010:xxii—xxiii).
Dengan model demikian ia berupaya memadukan tiga tingkatan realitas sosial
yaitu: (a) posisi arena seni di dalam arena kekuasaan, (b) struktur arena karya seni,
dan (c) asal muasal habitus produsen.
Posisi arena kultural dianggap berada pada posisi subordinan dalam arena
kekuasaan yang prinsip legitimasinya didasarkan pada kepemilikan modal
ekonomi dan politik. Arena produksi kultural distrukturkan oleh dua suboposisi
yaitu arena produksi terbatas (seni tinggi) dan arena produksi sekala besar
(budaya massa). Di dalam arena seni terbatas kompetisi posisi di antara agen-agen
sebagian besar bersifat simbolis, melibatkan prestise, konsekrasi, dan selebriti
artistik. Ciri-cirinya antara lain produksi untuk produsen, motif laba ekonomi
-
34
disangkal (tak berkepentingan), dan kekuatan simbolis dipertahankan oleh
aparatus sosial yang lebih luas seperti museum, galeri, dan lembaga pendidikan.
Sedangkan arena produksi sekala besar (budaya massa) lebih banyak
melibatkan laba ekonomi atau keuntungan finansial. Dalam kasus tertentu arena
ini sering kali meminjam semangat dan dinamika arena produksi terbatas sehingga
membentuk prinsip heteronom berlandaskan faktor-faktor eksternal, dan otonom
berdasarkan kepentingan spesifik. Prinsip hirarki heteronom adalah kesuksesan,
misalnya dalam oplah besar penjualan karya seni patung. Prinsip hirarki otonom
berkaitan dengan derajat konsekrasi yang spesifik (prestise) seperti pengakuan
derajat yang diterima atas karyanya (Bourdieu, 2010:26—27).
Terdapat dua konsep kunci yang penting dalam arena produksi kultural
yaitu konsep strategi dan lintasan. Strategi dapat dimengerti sebagai orientasi
spesifik praktis. Kendati sebagai produk habitus, strategi tidak didasarkan pada
kalkulasi sadar, melainkan lebih merupakan hasil dari disposisi tak sadar terhadap
praktik. Ia lebih bergantung kepada posisi agen yang menempati arena dan
problematika legitimasi. Lintasan dipahami sebagai serangkaian posisi yang silih
berganti ditempati oleh agen di tengah-tengah keadaan arena (seni) yang juga silih
berganti. Dengan lain kata, lintasan merupakan posisi-posisi obyektif yang silih
berganti ditempati agen di dalam arena. Melalui cara pandang relasional praktik
kultural industri kerajinan patung sebagai budaya massa akan dapat ditelusuri
hubungan antara agen dengan arena kultural, strategi dan lintasan dalam landasan
sosio historisnya.
-
35
Sebagai bagian dari teori praktik sosial Bourdieu, arena produksi seni
merupakan medan kekuatan yang di dalamnya terdapat upaya dan perjuangan
untuk memperebutkan sumber daya (yaitu modal ekonomi, sosial, budaya, dan
simbolis), dan juga demi memperoleh akses posisi tertentu yang dekat dengan
hirarki kekuasaan. Relasi kekuasan obyektif ini membuka ruang bagi agen yang
memiliki sejumlah modal untuk menggunakan strategi tertentu. Agen yang
memiliki modal yang relatif banyak dalam hal ini pemodal (kapitalis) menerapkan
strategi tertentu guna memantapkan kekuasaan dan dominasinya kepada para
perajin yang lebih minim pemilikan modalnya. Para perajin dengan keterbatasan
sumber daya modal akan memainkan strategi tertentu demi akumulasi modal
sehingga memungkinkan terjadinya lintasan dan trajektori dalam hirarki struktur
sosial arena produksi kultural (Fashri, 2009:94—95; Jenkins, 2010:95—135;
Ritzer & Godman (ed.), 2010:527).
Praktik sosial yang melibatkan jaringan relasi antaraktor dalam ranah
industri kerajinan patung tersebar pengetahuan-pengetahuan, norma-norma
maupun praktik-praktik prilaku yang dijadikan acuan. Dalam proses demikian
terwujud sejenis tatanan sosial dalam diri individu yang stabil dan terikat pada
tradisi serta terdapat kekuasaan yang sepenuhnya ternaturalisasi. Pengetahuan
maupun keyakinan yang sesuai dengan habitus dan arena ini oleh Boudieu disebut
‘doxa’ atau sejenis ideologi. Ketika agen-agen kapital menanamkan secara halus
wacana dan pengetahuan tentang produk melalui iklan dan promosi kepada
konsumen, yang kemudian diterima tanpa dipertanyakan lagi maka proses
ideologi telah bekerja (Takwin, 2003:113—117)
-
36
2.3.4 Teori Dekonstruksi
Teori dekonstruksi dikemukakan oleh Jacques Derrida. Teori ini di-
pandang sebagai cara berpikir atau model analisis dengan ‘pembongkaran’ atau
penguraian berbagai struktur dominan dan hegemonik dalam realitas sosial, tanpa
bermaksud menghancurkan elemen-elemennya. Struktur dominasi yang tampak
stabil agar diurai untuk diberikan interpretasi dan reinterpretasi sehingga
menghasilkan makna-makna baru yang dinamis (Piliang, 2006:31—32).
Dekonstruksi mengajukan teori perbedaan (difference) atas kritik
epistemologis terhadap metafisika kehadiran yang jatuh menjadi logosentrisme
dan phonosentrisme (Ritzer, 2003:203—205). Teori perbedaan menawarkan/
merekomendasikan tiga konsep kunci yaitu perbedaan, ketakmenentuan, dan
plesetan (defenal). Pertama, perbedaan dipahami sebagai konsep/kata mendapat
makna dengan referensi relasional dengan kata/penanda lain yang menjelaskan
makna secara berbeda darinya. Kata tidak dicirikan oleh esensi invarian sosial
atau biologis, namun hanya dalam konteks bukan apa yang bukan mereka, yang
‘lain’ darinya. Misalnya, laki-laki tulen=tidak/nonfeminim. Kedua, ketak-
menentuan mengacu kepada ketiadaan celah tekstual istimewa yang darinya
masalah makna dapat dipecahkan secara permanen. Ketiga, plesetan mengarah
kepada cara mendefinisikan istilah yang tidak pernah pasti dan stabil, namun
selalu luwes, karena sifat “memelesetkan” atau “membedakan” dari bahasa. Kata
hitam sering kali diplesetkan dengan berbagai makna seperti kambing hitam,
bisnis hitam, dan lubang hitam (Agger, 2007:113—125).
-
37
Teori dekonstruksi dapat dipandang sebagai metode kritis yang radikal
untuk memahami elemen-elemen metaphor dan figuratif dari teks-teks sosial
budaya (Lubis, 2003:109). Kajian terhadap metafor atau makna denotatif relevan
digunakan untuk memahami cara kekuasaan diwujudkan, digambarkan, dan
sekaligus dimengerti dalam konstelasi hubungan yang saling memengaruhi di
antara berbagai kelompok sosial. Metafor saling diwujudkan dan dikontestasikan
dalam arena sosial, yang bermakna lebih luas dan mendalam sehingga memiliki
kemampuan memengaruhi emosi untuk bergerak ke arah tertentu. Konotasi yang
dikandung suatu wacana adalah perwujudan unsur kekuasaan yang juga sarat
dengan muatan ideologis (Rudyansjah, 2009:24—25).
Prinsip kerja teori dekonstruksi berhubungan dengan masalah penafsiran
yang menganut prinsip perbedaan yang ‘ditunda’ (difer) atau menangguhkan (to
defer) dan strategi pembalikan/pencairan hirarki oposisi biner. Dalam penafsiran
makna tidak sekadar menemukan asal usul dan otentisitas makna tetapi lebih pada
penafsiran bebas (polisemi). Melalui dekonstruksi dimungkinkan untuk meng-
ungkap dan mengurai dimensi-dimensi ideologi, relasi kuasa yang berada dalam
ranah industri kerajinan patung secara ‘baru’ dan penuh makna (Lubis, 2003:
109).
2.4 Model Penelitian
Model penelitian tentang “Relasi Kuasa Industri Budaya Massa Pada
Perajin Patung Kayu di Desa Kemenuh, Sukawati, Gianyar” dapat dilukiskan
dalam gambar 2.1 berikut ini.
-
38
Gambar 2.1. Bagan Kerangka Model Penelitian
Keterangan:
Hubungan yang memengaruhi
Hubungan yang saling memengaruhi
Relasi Kuasa
Industri Budaya Massa pada
Perajin Patung Kayu di Desa
Kemenuh
Ideologi yang
dijadikan acuan perajin
(kognitif)
Praktik kuasa antar
agensi
(praktis)
Implikasi terhadap
kehidupan perajin
(konteks ekososbud)
Teori Komodifikasi,
Relasi Kuasa dan Pengetahuan,
Arena Produksi Kultural,
Dekonstruksi
Budaya
Lokal
Budaya
Global
Simpulan dan Temuan Penelitian
Industri Budaya Massa
Perajin
-
39
Kerangka model penelitian ini bertumpu pada pola relasional yang
dialektis antara kebudayaan (lokal) Bali yang dicirikan antara lain oleh dimensi
komunalisme, ekspresif – religius dan bersifat elitis dengan budaya global yang
membawa serta unsur-unsur budaya seperti pariwisata, kapitalisme/industrialisasi,
budaya/teknologi media (massa) dan konsumerisme. Dialektika dan interaksi
budaya lokal Bali dengan budaya global memunculkan fenomena baru dalam
produksi kerajinan patung yang mengarah kepada industri budaya massa,
termasuk memengaruhi industri kerajinan patung kayu di Desa Kemenuh. Subjek
kajian penelitian ini adalah perajin patung kayu di Desa Kemenuh yang
memroduksi patung massal, sehingga termasuk dalam kategori industri budaya
massa.
Penelitian ini memokuskan pada dimensi hubungan kuasa yang terjadi
dalam sistem industri budaya massa terhadap perajin. Realitas relasi kuasa yang
ditelaah dijabarkan dalam tiga masalah penelitian yakni: (a) unsur kognitif
menyangkut ideologi yang dijadikan acuan oleh perajin patung kayu di Desa
Kemenuh dalam proses produksi dan distribusi, (b) unsur praktis berkenaan
dengan praktik-praktik kuasa atau dimensi ‘kekuatan’ yang terjadi antara unsur-
unsur industri kerajinan patung massal dengan perajin, dan (c) unsur konteks
ekonomi, sosial, dan seni budaya yang berkaitan dengan implikasi relasi kuasa
terhadap kehidupan perajin.
Penelitian ini memakai pendekatan kualitatif dengan penerapan teori-teori
sosial kritis yaitu teori komodifikasi, teori relasi kuasa dan pengetahuan dari
Foucault, teori arena produksi kultural dari Bourdieu, dan teori dekonstruksi oleh
-
40
Derrida. Empat teori kritis tersebut diterapkan secara eklektik guna dapat
membedah pokok persoalan yang diajukan dalam penelitian ini.
Penelaahan kritis terhadap dimensi-dimensi tersebut dijadikan dasar untuk
mengkonstruksi jenis-jenis ideologi yang diacu, praktik kuasa antara perajin
dengan komponen terkait, dan implikasinya bagi kehidupan perajin yang menjadi
landasan dalam penyimpulan dan menyusun temuan penelitian. Konstruksi
simpulan dan temuan digunakan sebagai dasar dalam pemberdayaan atau
melakukan emansipatoris kepada perajin.