bab ii kajian teori...program pelatihan. terkait dengan definisi pelatihan, para ahli memaknainya...

44
181 BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Program Pelatihan Secara umum, beberapa pakar menyamakan pelatihan dengan istilah diklat. Oleh karena itu, istilah diklat dalam penelitian ini maknanya merujuk pada istilah pelatihan. Sehubungan dengan pelatihan yang merupakan bagian dari program, ada baiknya lebih dahulu mengkaji makna dari program. Perlu diketahui bahwa program menurut Wirawan (2011: 17) adalah suatu kegiatan atau aktivitas yang dirancang untuk melaksanakan kebijakan dan dilaksanakan untuk waktu yang tidak terbatas. Pada definisi ini dikatakan bahwa program dilaksanakan tanpa ada batasan waktu, atau dapat dikatakan fleksibel. Artinya, suatu program dapat dijalankan selamanya atau disesuaikan dengan kebutuhan dari kelompok/organisasi yang menjalankan program. Misalnya saja suatu program dibuat untuk mengatasi suatu masalah yang timbul, apabila masalah tersebut telah mampu terselesaikan, maka suatu program dapat dihentikan tetapi apabila program itu masih memberikan manfaat maka dapat dilanjutkan pelaksanaannya.

Upload: others

Post on 23-Oct-2020

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 181

    BAB II

    KAJIAN TEORI

    2.1. Program Pelatihan

    Secara umum, beberapa pakar menyamakan

    pelatihan dengan istilah diklat. Oleh karena itu, istilah

    diklat dalam penelitian ini maknanya merujuk pada

    istilah pelatihan. Sehubungan dengan pelatihan yang

    merupakan bagian dari program, ada baiknya lebih

    dahulu mengkaji makna dari program.

    Perlu diketahui bahwa program menurut Wirawan

    (2011: 17) adalah suatu kegiatan atau aktivitas yang

    dirancang untuk melaksanakan kebijakan dan

    dilaksanakan untuk waktu yang tidak terbatas. Pada

    definisi ini dikatakan bahwa program dilaksanakan

    tanpa ada batasan waktu, atau dapat dikatakan

    fleksibel. Artinya, suatu program dapat dijalankan

    selamanya atau disesuaikan dengan kebutuhan dari

    kelompok/organisasi yang menjalankan program.

    Misalnya saja suatu program dibuat untuk mengatasi

    suatu masalah yang timbul, apabila masalah tersebut

    telah mampu terselesaikan, maka suatu program dapat

    dihentikan tetapi apabila program itu masih

    memberikan manfaat maka dapat dilanjutkan

    pelaksanaannya.

  • 182

    Pendapat lain dikemukakan oleh Sukardi (2014:

    2-3) bahwa program merupakan hasil keputusan

    pemegang kebijakan untuk diprioritaskan

    pelaksanaannya, atau juga dapat dimaknai sebagai

    suatu kegiatan yang direncanakan dengan saksama.

    Berdasar definisi ini dapat dimaknai bahwa program

    merupakan suatu kegiatan terencana, itu artinya suatu

    program dirancang dengan tujuan-tujuan tertentu. Agar

    tujuan-tujuan tersebut dapat tercapai dengan

    maksimal, maka diperlukan suatu strategi untuk

    melaksanakannya.

    Adapun Fitzpatrick, et al (2012: 8)

    mengemukakan bahwa:

    “A program is an ongoing, planned intervention that seeks to

    achieve some particular outcome(s), in response to some

    perceived educational, sosial, or commercial problem and

    typically includes a complex of people, organization,

    management, and resources to deliver the intervention or

    services”.

    Pendapat Fitzpatrick dapat dimaknai bahwa

    program yang sedang berlangsung merupakan

    intervensi terencana yang dilakukan secara terus-

    menerus untuk mencapai hasil tertentu. Keberadaan

    program itu sendiri merupakan tanggapan atas masalah

    pendidikan, sosial, atau komersial yang secara khusus

    melibatkan sekumpulan orang, organisasi, manajemen,

    dan sumber daya dalam memberi intervensi atau

  • 183

    layanan. Dalam pendapat ini dikatakan bahwa program

    melibatkan manajemen, itu artinya suatu program

    perlu memperhatikan hal-hal mulai dari perencanaan

    hingga evaluasi. Evaluasi diperlukan untuk menilai

    kualitas program berdasarkan ketercapaian tujuan

    program. Program sendiri dikatakan berkualitas jika

    komponen-komponen program yang saling terkait dapat

    bekerja secara maksimal sebagaimana mestinya.

    Komponen yang dimaksud, diantaranya adalah waktu

    pelaksanaan, orang yang terlibat, organisasi, sumber

    daya, dll.

    Pada dasarnya penjabaran dari ketiga definisi

    program yang telah dikemukakan saling terkait satu

    sama lain. Dari ketiga definisi program tersebut,

    tampak bahwa ketiganya sama-sama memaknai

    program sebagai suatu kegiatan yang terencana.

    Kesamaan lain pun terlihat dari pendapat Wirawan dan

    Sukardi bahwa pelaksanaan program berkaitan dengan

    suatu kebijakan. Akan tetapi terdapat beberapa

    perbedaan dari ketiganya. Wirawan menekankan pada

    waktu pelaksanaan program yang tidak terbatas,

    sedangkan Sukardi menyebutkan bahwa pelaksanaan

    program perlu diprioritaskan. Lain halnya Fitzpatrick

    yang lebih menekankan pada: hal yang mendasari

    perlunya suatu program, yaitu sebagai tanggapan suatu

    masalah; dan pihak-pihak yang dilibatkan, yaitu orang,

    organisasi, manajemen, dan sumber daya.

  • 184

    Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa

    program adalah suatu kegiatan terencana yang

    berkaitan dengan kebijakan sebagai tanggapan dari

    suatu masalah sehingga pelaksanaannya mendapat

    prioritas, tanpa ada batasan waktu dan melibatkan

    orang, organisasi, manajemen, serta sumber daya.

    Dalam dunia pendidikan telah banyak program

    yang ada, baik itu baru akan berjalan, masih berjalan,

    atau bahkan sudah tidak dijalankan lagi. Salah satu

    program yang hingga kini masih dijalankan, adalah

    program pelatihan. Terkait dengan definisi pelatihan,

    para ahli memaknainya dengan berbagai sudut

    pandang.

    Pelatihan menurut Kamil (2010: 151) adalah

    proses pemberdayaan dan pembelajaran, artinya

    individu (anggota masyarakat) harus mempelajari

    sesuatu (materi) guna meningkatkan kemampuan,

    keterampilan dan tingkah laku dalam pekerjaan dan

    kehidupan sehari-hari dalam menopang ekonominya

    (pendapatan). Daryanto dan Bintoro (2014: 31)

    mengemukakan bahwa pelatihan adalah suatu proses

    yang sistematis untuk mengembangkan pengetahuan,

    keterampilan dari sikap yang diperlukan dalam

    melaksanakan tugas seseorang serta diharapkan akan

    dapat mempengaruhi penampilan kerja baik orang yang

    bersangkutan maupun organisasi tempat bekerja.

    Sedangkan Basri dan Rusdiana (2015: 28)

  • 185

    mengemukakan bahwa pelatihan merupakan pelajaran

    untuk membiasakan diri atau memperoleh kecakapan

    tertentu.

    Berdasarkan definisi yang telah dikemukakan,

    Kamil mengartikan pelatihan secara luas, yaitu sebagai

    proses pemberdayaan dan pembelajaran. Pelatihan

    sebagai proses pemberdayaan, dapat diartikan bahwa

    pelatihan dilakukan untuk mempersiapkan para

    peserta agar mendapatkan atau meningkatkan

    keterampilan dan kompetensi yang relevan dengan

    tuntutan hidupnya baik dalam pekerjaan ataupun

    kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, pelatihan dapat

    digunakan untuk meningkatkan kinerja bagi para

    pegawai, ataupun untuk melatih pengembangan usaha

    masyarakat pada umumnya. Pelatihan sebagai proses

    pembelajaran, artinya didalam pelatihan terdapat

    tujuan, materi yang perlu disampaikan, maupun cara

    mengevaluasinya. Oleh karena itu pelatihan perlu

    direncanakan dengan baik. Sedangkan Daryanto dan

    Bintoro lebih memfokuskan pelatihan sebagai bagian

    dari suatu organisasi. Pelatihan diharapkan dapat

    meningkatkan penampilan kerja para peserta pelatihan

    sehingga dapat memberikan kontribusinya untuk

    mengembangkan organisasi tempatnya bekerja.

    Berbeda dengan Basri dan Rusdiana yang

    mengemukakan bahwa pelatihan adalah pelajaran

    untuk membiasakan diri. Kata membiasakan diri

  • 186

    tersebut dapat diartikan ke dalam beberapa makna,

    dapat dikatakan bahwa pelatihan tidak hanya

    dilakukan satu kali saja. Atau dapat juga dikatakan

    bahwa setelah dilakukan pelatihan, maka para peserta

    pelatihan perlu dilakukan monitoring oleh penanggung

    jawab pelatihan untuk memastikan bahwa peserta

    mengalami perubahan sesuai dengan tujuan pelatihan.

    Merujuk pada definisi-definisi dari pelatihan yang

    telah dikemukakan, ketiga ahli sama-sama berpendapat

    bahwa pelatihan diartikan sebagai suatu proses

    pembelajaran untuk memperoleh atau meningkatkan

    kecakapan. Kesimpulannya, pelatihan adalah

    serangkaian kegiatan atau proses untuk membiasakan

    diri, memperoleh kecakapan, meningkatkan keahlian,

    pengetahuan, pengalaman atau perubahan sikap yang

    diperlukan dalam melaksanakan tugas agar dapat

    mempengaruhi penampilan kerja orang yang

    bersangkutan maupun organisasi dan dapat digunakan

    sebagai bekal untuk meningkatkan pendapatan.

    Dengan demikian, jika dikaitkan dalam dunia

    pendidikan, maka pelatihan berfungsi untuk

    mengembangkan kompetensi guru yang diharapkan

    dapat meningkatkan kinerjanya agar sesuai dengan

    tuntutan zaman yang semakin hari semakin maju.

    Terlebih dalam menghadapi globalisasi, sangat penting

    bagi seorang guru untuk meningkatkan kompetensinya.

    Hal ini dikarenakan guru memiliki tanggung jawab

  • 187

    besar untuk mencetak generasi-generasi muda yang

    tangguh dalam menghadapi arus globalisasi.

    Pelatihan merupakan suatu program. Oleh

    karena itu, dalam pelatihan perlu memperhatikan

    manajemen pelatihan. Manajemen diperlukan agar

    pelatihan terorganisir dengan baik, mulai dari

    perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi. Selain itu,

    agar pelatihan terlaksana dengan baik, bermaka bagi

    para peserta, atau dapat mencapai tujuan yang telah

    ditetapkan.

    2.1.1. Manajemen Program Pelatihan

    Sebagai suatu program, maka pelatihan perlu

    memperhatikan manajemen atau pengelolaan.

    Manajemen menjadi hal yang penting agar tujuan

    pelatihan dapat dicapai secara maksimal. Sama halnya

    dengan manajemen pada umumnya, manajemen

    program pelatihan menurut Basri dan Rusdiana (2015:

    98) berkaitan dengan aktivitas trisula, yaitu

    perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Suatu

    program perlu direncanakan dengan baik apa yang

    menjadi tujuannya, bagaimana cara mencapainya,

    berapa lama waktu yang diperlukan untuk mencapai

    tujuan dan berapa biaya yang diperlukan. Perencanaan

    merupakan bagian yang sangat penting dalam

    manajemen pelatihan. Dengan perencanaan, suatu

    organisasi dapat menentukan strategi atau langkah-

  • 188

    langkah yang tepat agar pelatihan dapat dilaksanakan

    secara efektif dan efisien dalam mencapai tujuan.

    Setelah direncanakan dengan matang, maka program

    pelatihan siap untuk dilaksanakan. Agar

    pelaksanaannya dapat berjalan dengan lancar, maka

    perlu dipersiapkan dan diperiksa dengan cermat hal-hal

    yang berhubungan dengan masalah teknis seperti

    peralatan, media yang akan digunakan, dll. Masalah-

    masalah teknis tersebut dapat mengganggu jalannya

    program pelatihan dan dapat membuang waktu. Bagian

    lain yang tidak kalah pentingnya dalam manajemen

    adalah evaluasi. Evaluasi perlu dilakukan untuk

    mengetahui keberhasilan pelatihan dalam mencapai

    tujuan dan untuk memperbaiki pelatihan di waktu

    mendatang. Untuk melakukan manajemen diperlukan

    tim khusus atau menurut istilah Kamil (2010: 16)

    organizer atau panitia agar pelatihan dapat diorganisasi

    dengan baik.

    Secara lebih rinci, Daryanto dan Bintoro (2014:

    34) menjabarkan manajemen pelatihan ke dalam lima

    proses yang dikenal dengan istilah lima bakso. Lima

    bakso yang dimaksud antara lain: 1) pengkajian

    kebutuhan pelatihan (Training Needs Analysis); 2)

    perumusan tujuan pelatihan (Training Objectives); 3)

    perancangan program pelatihan (Training Design); 4)

    pelaksanaan program pelatihan (Training

    Implementation); 5) evaluasi program pelatihan (Training

  • 189

    Evaluation). Lima bakso tersebut merupakan langkah-

    langkah dalam manajemen pelatihan yang dilakukan

    secara berurutan mulai dari pengkajian kebutuhan

    hingga evaluasi. Pada dasarnya pengkajian kebutuhan,

    perumusan tujuan, perancangan program dalam lima

    bakso tersebut merupakan bagian dari perencanaan

    program. Hal ini membuktikan bahwa perencanaan

    merupakan bagian yang sangat penting dalam program

    pelatihan. Langkah awal dari perencanaan adalah

    dengan mengkaji kebutuhan pelatihan. Langkah ini

    dimaksudkan untuk mengetahui ada tidaknya

    kesenjangan antara standard dan penampilan kerja,

    serta untuk mengidentifikasi penyebab kesenjangan

    tersebut. Langkah awal inilah yang nantinya mendasari

    langkah-langkah selanjutnya.

    2.1.2. Tujuan Program Pelatihan

    Secara umum, dalam dunia pendidikan, program

    pelatihan bertujuan untuk meningkatkan kinerja guru.

    menyesuaikan kemampuan guru dengan tuntutan

    zaman. Dengan kata lain, zaman yang semakin maju ini

    akan menimbulkan gap (ketimpangan) antara

    kebutuhan dengan kompetensi guru. Oleh karena itu

    pelatihan berperan untuk menutup gap atau

    menyeimbangkan kompetensi guru dengan tuntutan

    zaman. Hal ini sebagaimana dikemukakan Basri dan

    Rusdiana (2015: 31-32) bahwa tujuan umum pelatihan

  • 190

    dalam suatu organisasi adalah untuk menutup “gap”

    antara kecakapan atau kemampuan karyawan dengan

    permintaan jabatan serta meningkatkan efisiensi dan

    aktivitas kerja karyawan dalam mencapai sasaran kerja

    yang ditetapkan. Seseorang yang dipromosikan untuk

    menduduki jabatan yang lebih tinggi, misalnya menjadi

    kepala sekolah, tentu memerlukan pengetahuan yang

    lebih dari jabatan yang ia duduki saat ini. Kenaikan

    jabatan tentu diikuti dengan semakin beratnya

    tanggungjawab yang diemban. Oleh karena itu,

    diperlukan keterampilan yang mumpuni agar dapat

    mengerjakan tugas yang diembannya secara efisien.

    Pelatihan juga memberikan kesempatan kepada setiap

    peserta untuk mempelajari dan mengembangkan bakat

    yang dimiliki. Oleh karena itu pelatihan juga bertujuan

    untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan

    bakat (Kamil, 2010: 10).

    Dalam penelitian ini, selain untuk

    mengembangkan pengetahuan, dan keterampilan,

    pelatihan juga dimaksudkan untuk memperbaiki sikap

    (Daryanto dan Bintoro, 2014: 32). Merupakan suatu

    kewajiban bagi seorang guru untuk mempunyai sikap

    yang baik, yang bisa diteladani para siswanya. Tugas

    seorang guru adalah “mendidik” para siswanya.

    Mendidik itu bukan hanya sekedar mentransferkan

    pengetahuan yang ia miliki, tetapi juga mengajarkan

    sikap-sikap yang baik, bermoral, beradab, dan beriman

  • 191

    kepada Tuhan. Untuk bisa mengajarkan sikap yang

    baik kepada para siswanya, tentu saja seorang guru

    wajib memiliki sikap tersebut karena mengajarkan

    sikap berbeda dengan mengajarkan pengetahuan. Sikap

    hanya bisa diajarkan melalui perilaku guru sehari-hari

    yang dicontoh oleh siswa-siswanya. Hal itu pulalah

    yang memunculkan istilah “guru sebagai teladan bagi

    siswanya”. Tanpa memiliki sikap yang baik, guru tidak

    akan bisa mengajarkan sikap yang baik kepada para

    siswanya.

    Adapun Simamora dalam Kamil (2010: 11) lebih

    rinci mengemukakan bahwa tujuan dari pelatihan

    antara lain: 1) memutakhirkan keahlian para karyawan

    sejalan dengan perubahan teknologi, sehingga melalui

    pelatihan maka karyawan dapat secara efektif

    menggunakan teknologi-teknologi baru; 2) mengurangi

    waktu belajar bagi karyawan untuk menjadi kompeten

    dalam pekerjaan; 3) mempersiapkan karyawan untuk

    promosi, dan; 4) mengorientasikan karyawan terhadap

    organisasi. Zaman yang semakin maju diikuti oleh

    teknologi yang semakin berkembang dan hal ini

    menyebabkan perlunya seseorang untuk

    mengembangkan keterampilan menggunakan teknologi

    itu. Penggunaan teknologi juga penting dalam dunia

    pendidikan. Agar tidak tertinggal dengan Negara-negara

    lain, maka guru perlu mengembangkan keterampilan

    menggunakan teknologi untuk mengajar. Oleh karena

  • 192

    itu penting bagi guru untuk selalu mengembangkan

    keterampilan mengikuti perkembangan teknologi. Guru

    tidak harus mengikuti pendidikan di lembaga-lembaga

    pendidikan untuk mengembangkan kompetensinya.

    Guru dapat mengembangkan kompetensi melalui

    pelatihan. Berbeda dengan pendidikan, pelatihan tidak

    memerlukan waktu yang lama dan biaya yang mahal.

    Oleh karena itu pelatihan merupakan cara yang efisien

    untuk mengembangkan kompetensi sesuai dengan

    tuntutan zaman.

    Berdasarkan uraian mengenai tujuan-tujuan

    pelatihan oleh para ahli, dapat disimpulkan bahwa

    pelatihan pada dasarnya dilakukan untuk

    meningkatkan pengetahuan (kognitif), keterampilan

    (psikomotor) dan sikap (afektif) peserta pelatihan.

    Kognitif mencakup pengembangan kemampuan

    intelektual dan pengetahuan yang dikelompokkan

    menjadi enam tingkatan, yaitu: pengetahuan,

    komprehensif, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi.

    Psikomotor mencakup kemampuan dalam

    mengkoordinasi gerakan fisik dan menggunakan

    motoris yang terbagi dalam lima kategori, yaitu: imitasi,

    manipulasi, persisi, artikulasi, dan naturalisasi.

    Sedangkan afektif mencakup hal-hal yang berkaitan

    dengan emosi seperti perasaan, apresiasi, antusiasme,

    motivasi, sikap yang terbagi dalam lima taksonomi,

    yaitu receive, responding, valuing, organization, dan

  • 193

    characterization (Daryanto dan Bintoro, 2014: 71-75).

    Akan tetapi tidak semua taksonomi tersebut digunakan

    dalam penelitian ini. Sesuai dengan program IHT SD

    Muhammadiyah (Plus) Salatiga pada tahun ajaran

    2013/2014 maka aspek kognitif terdiri dari dua

    taksonomi, yaitu pengetahuan dan aplikasi, aspek

    afektif terdiri dari dua taksonomi, yaitu valuing dan

    characterization, serta aspek psikomotor terdiri dari

    empat taksonomi, yaitu imitasi, persisi, artikulasi, dan

    naturalisasi. Ketiga aspek tersebut perlu ditingkatkan

    agar para peserta memiliki kompetensi yang lebih

    bermutu sehingga dapat mencapai tujuan organisasi

    tempatnya bekerja secara efektif dan efisien.

    Kompetensi perlu ditingkatkan agar relevan dengan

    kemajuan teknologi dan tuntutan zaman.

    2.2. Faktor yang Mempengaruhi Program Pelatihan

    Suatu program dilaksanakan tentunya dengan

    berbagai tujuan tertentu. Akan tetapi pelaksanaan

    suatu program tidak selamanya berhasil. Ada beberapa

    faktor yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan

    suatu program agar berhasil. Faktor-faktor tersebut

    diantaranya adalah: tujuan, instruktur, materi, metode,

    peserta, pembagian waktu, lingkungan, dan media

    (Rivai dan Murni, 2012: 12; Basri dan Rusdiana, 2015:

    38-41).

  • 194

    Rivai dan Murni serta Basri dan Rusdiana

    sependapat bahwa tujuan, instruktur, materi, dan

    metode dapat mempengaruhi keberhasilan suatu

    program pelatihan. Selain keempat faktor tersebut para

    ahli menambahkan beberapa faktor yang dapat

    mempengaruhi program pelatihan. Rivai dan Murni

    menambahkan peserta dan lingkungan sebagai faktor

    yang mempengaruhi pelatihan. Adapun Basri

    berpendapat bahwa media juga menjadi faktor yang

    mempengaruhi keberhasilan program.

    Merujuk pada pendapat yang telah dikemukakan

    para ahli, maka dalam penelitian ini digunakan

    beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pelatihan,

    yaitu: tujuan, instruktur, materi, metode, peserta,

    pembagian waktu, lingkungan, dan media. Selain itu,

    sesuai dengan evaluasi dalam penelitian ini maka perlu

    diperhatikan beberapa faktor lain, yaitu pembagian

    waktu dalam satu materi, fasilitas, biaya, administrator

    atau panitia, spesialis pendidikan, keluarga dan

    komunitas (Hammond, 1968:2-6).

    Suatu program pelatihan perlu memperhatikan

    tujuan karena tujuan merupakan suatu target yang

    ingin dicapai dari pelaksanaan program tersebut.

    Tujuan merupakan salah satu faktor penting dalam

    program pelatihan karena tujuan menjadi acuan dalam

    menyusun perencanaan sehingga program pelatihan

    dapat dilaksanakan secara terarah. Pada penelitian ini

  • 195

    tujuan yang dimaksudkan merupakan tujuan khusus

    program IHT, yaitu meningkatkan kompetensi yang

    meliputi pengetahuan (kognitif), sikap (afektif) dan

    keterampilan (psikomotor). Hal ini sejalan dengan

    pendapat Basri dan Rusdiana (2015: 39) bahwa

    rumusan tujuan harus bersifat komprehensif yang

    artinya harus mengandung aspek pengetahuan

    (kognitif), sikap (afektif), dan keterampilan (psikomotor).

    Selain tujuan, faktor lain yang perlu diperhatikan

    adalah instruktur. Instruktur diibaratkan sebagai guru

    dalam pelatihan, oleh karena itu jika instrukturnya

    kompeten maka besar kemungkinan dapat mengubah

    peserta pelatihan menjadi kompeten, begitu pun

    sebaliknya. Hammond (1968: 6) mengemukakan bahwa

    terdapat beberapa kualifikasi yang perlu diperhatikan

    dari instruktur, diantaranya adalah latar belakang

    pendidikan dan pengalaman dalam pekerjaan. Selain

    itu berhasil atau tidaknya penyampaian materi juga

    dipengaruhi oleh penguasaan materi dari instruktur,

    kejelasan penyampaian materi dan memberikan

    kesempatan kepada peserta untuk menanyakan hal-hal

    yang masih belum dimengerti.

    Selain instruktur, peserta juga menjadi salah satu

    faktor keberhasilan pelatihan itu sendiri. Hal-hal seperti

    motivasi, dan data pribadinya seperti usia, jenis

    kelamin, pendidikan terakhir, lama masa kerja dan

    kelas yang diampu perlu diidentifikasi untuk

  • 196

    mengetahui kontribusinya terhadap keberhasilan

    pelatihan (Hammond, 1968: 6).

    Materi pelatihan pun perlu dicari tahu

    relevansinya dengan tujuan pelatihan. Jika materi yang

    diberikan dalam pelatihan tidak relevan dengan tujuan

    maka sudah pasti tujuan pelatihan tidak dapat tercapai

    dengan baik. Materi merupakan keseluruhan topik yang

    dibahas dalam pelatihan. Basri dan Rusdiana (2015:

    39) mengemukakan bahwa rumusan materi harus

    tersusun sesuai tiga prinsip, yaitu: a) sesuai dengan

    tingkat kemampuan dan latar belakang peserta

    pelatihan; b) dipilih secara cermat dan diorganisasi

    dengan mempertimbangkan aspek kebermanfaatan bagi

    peserta; c) harus bermanfaat bagi peserta pelatihan

    atau dengan kata lain sesuai dengan kebutuhan peserta

    pelatihan.

    Selain materi, metode penyampaian pun perlu

    diperhatikan, karena adakalanya dalam penyampaian

    materi tidak hanya diberi penjelasan secara verbal saja,

    tetapi juga perlu media audiovisual ataupun perlu

    dipraktekkan secara langsung. Oleh karena itu metode

    perlu dipilih dan disesuaikan dengan jenis pelatihan,

    sasaran pelatihan, usia peserta, pendidikan dan

    pengalaman peserta, dan tersedianya instruktur yang

    cakap (Basri dan Rusdiana (2015: 39). Selain itu,

    Hammond juga berpendapat bahwa metode dibagi

    menjadi tiga tingkatan, yaitu: aktivitas mengajar, tipe

  • 197

    interaksi dan penggunaan teori belajar mengajar dalam

    pelatihan. Aktivitas mengajar merupakan jenis metode

    penyampaian materi seperti ceramah, Tanya jawab,

    diskusi, dan lain sebagainya. Adapun tipe interaksi

    digunakan untuk mengidentifikasi interaksi partisipan.

    Sedangkan (Hammond, 1968: 4-5).

    Organisasi oleh Hammond (1968: 2)

    dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu: waktu dan

    ruang. Waktu meliputi durasi waktu yang digunakan

    untuk pelatihan, dan jadwal pengurutan materi dari

    yang mudah ke sulit. Ruang meliputi tingkatan atau

    level peserta, serta kesesuaian materi terhadap level

    peserta.

    Fasilitas menurut Hammond (1968: 5) juga

    memiliki pengaruh yang dapat menentukan

    keberhasilan pelatihan. Fasilitas tersebut meliputi

    ruang pelatihan, media yang digunakan dalam

    penyampaian materi, dan kebutuhan-kebutuhan lain

    yang diperlukan untuk mendukung program pelatihan.

    Media merupakan alat peraga yang digunakan untuk

    membantu penyajian, seperti media cetak, gambar,

    audio, audiovisual, serta proyeksi dan non-proyeksi.

    (Basri dan Rusdiana (2015: 40)

    Biaya juga menjadi salah satu faktor yang

    menentukan keberhasilan program pelatihan. Tanpa

    adanya biaya, maka suatu program tidak akan bisa

    berjalan. Oleh karena itu Hammond (1968: 5)

  • 198

    mengemukakan perlunya mengetahui biaya yang

    dibutuhkan untuk menyelenggarakan program

    pelatihan.

    2.3. In House Training

    Terdapat berbagai macam pelatihan yang biasa

    digunakan dalam organisasi. Macam pelatihan dapat

    dibedakan dari berbagai sudut pandang, yaitu siapa

    yang dilatih, bagaimana ia dilatih, dimana ia dilatih,

    bilamana atau kapan ia dilatih, dan apa yang

    dibelajarkannya kepadanya (Kamil, 2010: 14-15).

    Dilihat dari sudut pandang kapan pelatihan dilakukan,

    berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1974

    pelatihan dibagi ke dalam dua macam, yaitu latihan

    prajabatan dan latihan dalam jabatan. Latihan

    prajabatan (pre service training) adalah pelatihan yang

    diberikan kepada calon pegawai negeri sipil dengan

    tujuan agar ia dapat terampil melaksanakan tugas yang

    akan diberikan kepadanya. Sedangkan latihan dalam

    jabatan (in service training) adalah pelatihan yang

    bertujuan untuk meningkatkan mutu, keahlian,

    kemampuan, dan keterampilan. Latihan dalam jabatan

    memiliki banyak istilah, seperti in house training, in-

    service training, inservice education, ataupun up-grading.

    Dalam penelitian ini akan berfokus pada bahasan

    mengenai istilah In House Training.

  • 199

    Secara umum, Basri dan Rusdiana (2015: 227)

    mengemukakan bahwa In House Training adalah

    program pelatihan yang diselenggarakan di tempat

    peserta pelatihan atau di sekolah dengan

    mengoptimalkan potensi-potensi yang ada di sekolah,

    menggunakan peralatan kerja peserta pelatihan dengan

    materi yang relevan dan permasalahan yang sedang

    dihadapi, sehingga diharapkan peserta dapat lebih

    mudah menyerap dan mengaplikasikan materi untuk

    menyelesaikan dan mengatasi permasalahan yang

    dialami dan mampu secara langsung meningkatkan

    kualitas dan kinerjanya. Hampir senada dengan Basri

    dan Rusdiana, Danim (2012: 94) berpendapat bahwa

    IHT adalah pelatihan yang dilaksanakan secara internal

    di kelompok kerja guru, sekolah, atau tempat lain yang

    ditetapkan untuk menyelenggarakan pelatihan,

    dilakukan berdasarkan pemikiran bahwa sebagian

    kemampuan dalam meningkatkan kompetensi dan

    karier guru tidak harus dilakukan secara eksternal,

    tetapi dapat dilakukan oleh guru yang memiliki

    kompetensi yang belum dimiliki oleh guru lain, dengan

    cara ini diharapkan dapat menghemat waktu dan biaya.

    Dari kedua pengertian In House Training, dapat

    dilihat bahwa In House Training dilakukan untuk

    meningkatkan kinerja guru sesuai dengan bidang

    tugasnya dengan mendayagunakan potensi yang ada di

    suatu organisasi atau lembaga itu. Akan tetapi

  • 200

    pengertian IHT yang dikemukakan Basri dan Rusdiana

    lebih menitikberatkan pada tempat penyelenggaraan

    yang dilakukan di sekolah itu sendiri. Selain itu Basri

    dan Rusdiana juga mengemukakan bahwa dengan

    mengikuti IHT, peserta mampu secara langsung

    meningkatkan kualitas dan kinerjanya. Jika dikaji lebih

    dalam, pernyataan tersebut agaknya kurang tepat

    karena kinerja guru berkaitan dengan kompetensi yang

    dimiliki dan peningkatan kompetensi guru tidak dapat

    dilakukan dengan waktu yang sangat terbatas atau

    singkat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Musfah

    (2011: 82) bahwa pelatihan pada dasarnya bertujuan

    untuk mengembangkan kompetensi guru akan tetapi

    untuk melahirkan guru kompeten memerlukan waktu

    yang tidak sedikit. Sedikit berbeda dengan pendapat

    Basri dan Rusdiana, Danim lebih rinci menjelaskan

    bahwa IHT bisa dilaksanakan dimana pun sesuai

    dengan tempat yang ditetapkan. Danim juga

    menjelaskan bahwa pemateri dalam IHT bisa dari teman

    sejawat yang memiliki kompetensi lebih yang belum

    dimiliki teman-teman lainnya. Dengan pelatihan model

    ini, maka guru dapat meningkatkan kompetensinya

    dengan biaya yang tidak terlalu mahal dan waktu yang

    tidak terlalu lama, misalnya, jika dibandingkan dengan

    melakukan studi lanjut.

    Berdasarkan penjabaran dari pengertian-

    pengertian IHT, maka dapat disimpulkan bahwa In

  • 201

    House Training adalah pelatihan yang dilakukan secara

    internal oleh organisasi tertentu dengan tujuan untuk

    meningkatkan kinerja atau kompetensi sesuai dengan

    bidang tugasnya yang diberikan oleh teman sejawat

    ataupun orang luar di tempat yang telah disepakati dan

    ditetapkan bersama.

    Secara umum, tujuan In House Training adalah

    meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang

    didayagunakan instansi terkait sehingga lebih

    mendukung upaya pencapaian sasaran yang telah

    ditetapkan. Sasaran pelatihan internal menciptakan

    interaksi antara peserta di lingkungan instansi yang

    terkait serta mempererat rasa kekeluargaan atau

    kebersamaan, meningkatkan motivasi, baik bagi peserta

    maupun narasumber untuk membiasakan budaya

    pembelajaran yang berkesinambungan, mengeksplorasi

    permasalahan yang dihadapi di lapangan yang

    berkaitan dengan peningkatan efektivitas kerja sehingga

    dapat diformulasikan solusi pemecahannya secara

    bersama-sama. (Basri dan Rusdiana, 2015: 226-227)

    Dari tujuan In House Training yang dikemukakan

    Basri dan Rusdiana dapat dikaji bahwa peserta IHT

    adalah para pegawai dalam suatu instansi yang

    melaksananakn IHT, dalam hal ini pegawai dalam

    sekolah adalah guru dan karyawan. Dengan adanya

    pelatihan internal maka seluruh peserta yang terdiri

    dari para pegawai itu akan terjalin kebersamaan atau

  • 202

    persaudaraan sehingga nantinya dapat meringankan

    tugas yang menjadi tanggung jawab pekerjaannya.

    Dengan adanya rasa persaudaraan diharapkan para

    pegawai dapat saling membantu satu sama lain dalam

    pekerjaan mereka, khususnya bagi guru dalam

    mengajar. Guru dapat meminta pertolongan guru lain

    untuk memecahkan masalah, yang berhubungan

    dengan pengajaran, yang sedang dihadapinya. Dengan

    cara ini maka kualitas pengajaran guru dapat lebih

    meningkat.

    2.4. Evaluasi Program Pelatihan

    Sesuai dengan pembahasan sebelumnya, suatu

    program perlu dilakukan evaluasi. Banyak pakar yang

    mengatakan bahwa evaluasi program dimaksudkan

    untuk mengetahui kualitas program dengan menilai

    ketercapaian program. Adapun definisi dari evaluasi

    sendiri menurut Arikunto dan Jabar (2009: 2) adalah

    kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang

    bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi

    tersebut digunakan untuk menentukan alternatif yang

    tepat dalam mengambil keputusan. Definisi lain

    dinyatakan Wirawan (2011: 7) bahwa evaluasi adalah

    suatu riset untuk mengumpulkan, menganalisis, dan

    menyajikan informasi yang bermanfaat mengenai objek

    evaluasi, menilainya dengan cara dibandingkan

    indikator evaluasi dan hasilnya dipergunakan untuk

  • 203

    mengambil keputusan mengenai objek evaluasi. oleh

    Lebih lanjut Fitzpatrick, et al (2012: 7) menyatakan

    “evaluation as the identification, clarification, and

    application of defensible criteria to determine an

    evaluation object’s value (worth and merit) in relation to

    those criteria” (evaluasi sebagai identifikasi, klarifikasi,

    dan penerapan kriteria yang telah ditetapkan untuk

    menentukan nilai suatu objek evaluasi (nilai dan

    manfaat) dalam kaitannya dengan kriteria tersebut).

    Pada intinya ketiga definisi yang telah

    dikemukakan sama-sama mengartikan evaluasi untuk

    menilai atau mengumpulkan informasi mengenai

    berjalannya sesuatu yang selanjutnya informasi

    tersebut digunakan untuk mengambil keputusan. Jika

    dikaji lebih lanjut, definisi yang dikemukakan Arikunto

    dan Jabar sifatnya lebih umum. Sedangkan Wirawan

    lebih memberikan penjelasan bahwa informasi dalam

    evaluasi itu dikumpulkan, lalu dianalisis dan

    selanjutnya disajikan sehingga akan tampak manfaat

    dari objek evaluasi yang dapat dinilai. Nilai dari objek

    evaluasi tersebut selanjutnya digunakan untuk

    memberi keputusan. Adapun Fitzpatrick, et al lebih

    memberikan penjelasan bahwa pengumpulan informasi

    evaluasi itu meliputi identifikasi, kalirifikasi dan

    penerapan dari kriteria atau standar dari program yang

    dievaluasi.

  • 204

    Berdasarkan definisi-definisi yang telah

    dikemukakan dapat disimpulkan bahwa hakikat dari

    evaluasi adalah suatu kegiatan mengumpulkan dan

    memproses informasi untuk dibandingkan dengan

    indikator evaluasi atau standar sehingga dapat

    diketahui nilai dan manfaatnya, yang kemudian

    hasilnya digunakan untuk memberi rekomendasi atau

    mengambil keputusan terhadap objek evaluasi.

    Evaluasi program Menurut Tyler dalam Arikunto

    dan Jabar (2009: 5) adalah proses untuk mengetahui

    apakah tujuan pendidikan sudah dapat terealisasikan.

    Cronbach dan Stufflebeam dalam Arikunto dan Jabar

    (2009:5) menegaskan bahwa evaluasi program adalah

    upaya menyediakan informasi untuk disampaikan

    kepada pengambil keputusan. Pendapat lain dari

    Sugiyono (2014: 742) yang mengemukakan bahwa

    evaluasi program adalah cara ilmiah (rasional, empiris

    dan sistematis) untuk mendapatkan data dengan

    tujuan untuk mengetahui efektivitas dan efisiensi dari

    suatu program. Selain itu, Sukardi (2014: 3)

    menyatakan bahwa evaluasi program merupakan

    evaluasi yang berkaitan erat dengan suatu program

    atau kegiatan pendidikan, termasuk diantaranya

    tentang kurikulum, sumber daya manusia,

    penyelenggara program, proyek penelitian dalam suatu

    lembaga.

  • 205

    Pengertian-pengertian mengenai evaluasi program

    yang dikemukakan para ahli memiliki perbedaan satu

    sama lain, akan tetapi dapat saling melengkapi. Tyler

    lebih menekankan pada evaluasi sebagai proses untuk

    mengetahui efektivitas suatu program. Berbeda dengan

    Tyler, Cronbach dan Stufflebeam lebih menekankan

    pada manfaat evaluasi, yaitu untuk memberikan

    informasi kepada para pengambil kebijakan. Informasi

    itu berguna untuk memberikan rekomendasi kepada

    pengambil keputusan apakah program tersebut masih

    layak untuk terus dilanjutkan atau bahkan

    disebarluaskan atau mungkin perlu diperbaiki atau

    harus dihentikan. Pendapat dari Sugiyono hampir sama

    dengan Tyler, tetapi Sugiyono menambahkan selain

    untuk mengetahui efektivitas juga untuk mengetahui

    efisiensi dari program itu sendiri. Lain lagi dengan

    pendapat Sukardi, ia lebih menekankan pada program-

    program evaluasi pendidikan.

    Berdasarkan pendapat-pendapat yang telah

    dikemukakan dapat disimpulkan bahwa hakekat dari

    evaluasi program adalah upaya menyediakan informasi

    mengenai proses, manfaat, dan akibat atau pun

    efektivitas dan efisiensi dari suatu program atau

    kegiatan pendidikan seperti kurikulum, sumber daya

    manusia, dan sebagainya kepada pengambil keputusan

    dengan tujuan memberikan rekomendasi keberlanjutan

    program.

  • 206

    Arikunto dan Jabar (2009: 9-10) mengemukakan

    bahwa dalam penelitian evaluasi seorang peneliti harus

    berpandangan bahwa program yang akan dievaluasi

    merupakan kumpulan dari beberapa komponen atau

    unsur-unsur bekerja bersama untuk mencapai tujuan.

    Komponen-komponen tersebut saling terkait

    membangun sebuah program dan menjadi faktor

    penentu keberhasilan program.

    2.4.1. Tujuan Evaluasi Program

    Arikunto dan Jabar (2009: 18) menyatakan

    bahwa evaluasi program bertujuan untuk mengetahui

    pencapaian tujuan program dengan cara mengetahui

    pelaksanaan kegiatan program. Evaluator mencari tahu

    bagian mana dari komponen dan subkomponen yang

    belum terlaksana dengan baik dan mencari tahu

    penyebabnya. Adapun Raco (2013: 65) mengemukakan

    bahwa tujuan dari evaluasi program adalah untuk

    memperbaiki dan meningkatkan program tertentu atau

    untuk membantu dalam membuat keputusan yang

    baik. Sedangkan Mulyatiningsih (2011: 114-115)

    mengemukakan setidaknya terdapat dua tujuan dari

    evaluasi program, yaitu: a) menunjukkan sumbangan

    program terhadap pencapaian tujuan organisasi atau

    hasil evaluasi dapat digunakan untuk mengembangkan

    program yang sama ditempat lain; b) mengambil

    keputusan tentang keberlanjutan sebuah program,

  • 207

    apakah program perlu diteruskan, diperbaiki atau

    dihentikan.

    Berdasarkan tujuan yang telah dikemukakan,

    terdapat beberapa perbedaan dari ketiga ahli. Arikunto

    dan Jabar lebih melihat evaluasi dari segi pelaksanaan

    program. Lain halnya dengan Raco yang memandang

    evaluasi pada segi hasil yang dapat digunakan untuk

    perbaikan atau pengambilan keputusan. Sedangkan

    Mulyatiningsih lebih lengkap dengan

    mengkombinasikan antara segi proses pelaksanaan dan

    kegunaan hasilnya. Oleh karena itu dapat disimpulkan

    bahwa tujuan dari evaluasi program adalah untuk

    mengetahui pelaksanaan dengan memeriksa komponen-

    komponennya sehingga dapat diketahui bagian dari

    program yang tidak berjalan semestinya dan faktor

    penyebabnya agar dapat dilakukan perbaikan, serta

    hasil evaluasi yang diperoleh dapat digunakan untuk

    mengambil keputusan keberlanjutan program.

    Jika difokuskan pada evaluasi program pelatihan,

    Spaulding dalam Sukardi (2014: 52) mengemukakan

    bahwa tujuan dari evaluasi antara lain: a)

    memfokuskan pada pengembangan profesi dan

    penyediaan training bagi para guru; b) mengamati

    apakah kegiatan pengembangan profesi dan training

    bagi para guru berdampak pada perilaku professional

    dalam proses belajar mengajar; c) mengamati secara

    cermat jika ada inovasi proses belajar-mengajar yang

  • 208

    tampak dari hasil (output) dan/atau dampaknya

    (outcome) pada siswa.

    2.5. Model Evaluasi Three Dimensional Cube

    Pada dasarnya dalam penelitian evaluasi terdapat

    bermacam-macam model yang dapat digunakan. Model-

    model tersebut selanjutnya dikelompokkan ke dalam

    beberapa pendekatan. Fitzpatrick (2012: 123)

    mengklasifikasikan model-model tersebut ke dalam

    empat pendekatan sebagai berikut:

    a. Pendekatan berorientasi pada kualitas program

    atau produk yang didasarkan pada fokus

    evaluator untuk menilai atau memutuskan

    kualitas program yang dievaluasi. Contohnya

    expertise-oriented dan consumer-oriented.

    b. Pendekatan berorientasi pada karakteristik

    program yang berfokus pada karakteristik

    program, yaitu: tujuan, standar yang telah

    didesain, atau teori yang mendasari suatu

    program. Contohnya goal-based, standard-based,

    dan theory-based evaluation.

    c. Pendekatan berorientasi pada keputusan yang

    berfokus pada peran evaluasi dalam menyediakan

    informasi untuk meningkatkan kualitas dari

    keputusan yang dibuat oleh stakeholder

  • 209

    organisasi. Contohnya CIPP dan Utilization-

    fokused Evaluation.

    d. Pendekatan berorientasi pada partisipasi

    stakeholder yang meliputi Responsive-evaluation,

    Practical Participatory Evaluation, Developmental

    Evaluation, Empowerment Evaluation, dan

    democratically oriented approaches.

    Pada penelitian evaluasi program pelatihan In

    House Training (IHT) SD Muhammadiyah (Plus) Salatiga

    ini diperlukan model evaluasi yang sesuai atau cocok.

    Oleh karena itu digunakan evaluasi dengan pendekatan

    Goal Based pengembangan Robert L. Hammond yang

    dikenal dengan model evaluasi Three Dimensional Cube.

    Salah satu hal yang mendasari digunakannya Model

    evaluasi Three Dimensional Cube ini adalah dasar

    pemikiran mengenai pendekatan sistematik untuk

    mengevaluasi efektivitas suatu program dalam

    mencapai tujuan. Pada umumnya program dikatakan

    efektif jika ditemukan bukti antusiasme guru dan

    siswa. Sebaliknya suatu program dikatakan tidak efektif

    jika ditemukan bukti kurangnya antusiasme guru dan

    siswa dalam menjalankan suatu program. Namun cara

    tersebut dinilai tidak cukup kuat untuk menentukan

    efektivitas program. Oleh karena itu Hammond

    mengembangkan suatu model evaluasi yang sistematis

    untuk menilai efektivitas suatu program (Hammond,

    1968:1).

  • 210

    Hammond berpendapat bahwa keberhasilan atau

    kegagalan suatu program ditentukan oleh interaksi

    komponen-komponen dalam pendidikan. Komponen-

    komponen yang mempengaruhi program tersebut

    selanjutnya dikelompokkan dalam struktur tiga dimensi

    seperti pada gambar 1. Interaksi antar variabel dari

    masing-masing dimensi menghasilkan kombinasi

    variabel dan digambarkan sebagai faktor yang perlu

    dipertimbangkan dalam evaluasi program. (Hammond,

    1968: 1-9).

    Gambar 1 Struktur Evaluasi Kubus Tiga Dimensi Hammond

    Berdasarkan gambar 1 tampak bahwa terdapat

    tiga variabel pada kubus tiga dimensi Hammond, yaitu:

    dimensi Instructional, dimensi Institutional, dan dimensi

    behavior. Adapun penjelasan pada masing-masing

    dimensi yang digunakan dalam evaluasi program IHT

    ini antara lain:

  • 211

    1. Dimensi Instructional

    Dimensi ini menggambarkan suatu program

    dari lima variabel. Lima variabel dalam dimensi

    instructional tersebut, yaitu variabel organisasi,

    konten, metodologi, fasilitas, dan biaya (Hammond,

    1968: 2-6). Adapun kategori dari kelima variabel

    yang telah disesuaikan dengan penelitian ini antara

    lain: a) organisasi meliputi kesesuaian materi

    pelatihan terhadap level peserta, pengurutan materi

    dari mudah ke sulit, dan durasi waktu dalam satu

    materi; b) materi atau konten berisi topik-topik yang

    diberikan dalam pelatihan, dan kesesuaian topik

    dengan tujuan pelatihan; c) metodologi meliputi

    aktivitas mengajar (pemilihan dan kesesuaian

    metode penyampaian materi), tipe interaksi, dan

    prinsip-prinsip pembelajaran atau teori belajar yang

    digunakan dalam pelatihan; d) fasilitas meliputi

    pelayanan dan fasilitas yang diperlukan dalam

    pelatihan (ruang pelatihan, media dll); dan e) biaya

    yang meliputi penggunaan biaya untuk pelatihan.

    2. Dimensi Institutional

    Dimensi Institutional terdiri dari variabel siswa,

    guru, administrator, spesialis pendidikan, keluarga

    dan komunitas (Hammond, 1968: 6-8). Program yang

    diselenggarakan dipengaruhi oleh kualitas dari

    individu-individu yang terlibat di dalamnya. Ada

  • 212

    beberapa karakteristik yang perlu diidentifikasi dari

    individu yang terlibat dalam program. Pada kategori

    siswa atau peserta pelatihan perlu diidentifikasi

    usia, jenis kelamin, prestasi, serta minat atau

    motivasi. Kategori guru atau pemateri perlu

    diidentifikasi latar belakang pendidikan, dan

    pengalaman kerja. Kategori panitia perlu diketahui

    pemilihan dan kualifikasinya. Kategori spesialis

    pendidikan perlu diketahui keterlibatannya dalam

    pelatihan. Terakhir, kategori keluarga dan

    komunitas perlu dicari tahu mengenai bentuk

    dukungannya terhadap keberhasilan program

    pelatihan.

    3. Dimensi behavior

    Hammond (1968: 8-9) mengemukakan bahwa

    terdapat tiga variabel dalam dimensi behavior, yaitu

    kognitif, afektif dan psikomotor. Pada penelitian ini

    ketiga vatiabel tersebut disesuaikan dengan materi

    yang disampaikan dalam IHT, sehingga dapat

    dijabarkan sebagai berikut: a) variabel kognitif yang

    dibatasi dalam dua tingkatan, yaitu menambah

    pengetahuan dan wawasan dan mengaplikasikan

    pengetahuan dari materi yang disampaikan dalam

    IHT; b) variabel kedua adalah variabel afektif yang

    meliputi sikap guru dalam mendukung visi sekolah,

    peningkatan minat mengajar, peningkatan ketertiban

  • 213

    dalam melaksanakan ibadah, dan penyesuaian diri

    dalam organisasi; dan c) variabel psikomotor yang

    meliputi kemampuan memberi penilaian hasil belajar

    siswa sesuai K-13, kemampuan melakukan

    diversifikasi model dan metode pembelajaran,

    kemampuan membuat inovasi teknologi dalam

    pembelajaran, penggunaan bahan ajar yang

    bervariasi, merencanakan pengembangan karir

    akademik berbasis prestasi, penggunaan Bahasa

    Arab dan Bahasa Inggris, meningkatkan praktek

    religiusitas, serta peningkatan prestasi guru.

    Untuk mengevaluasi program dengan model

    Hammond diperlukan langkah-langkah tertentu. Ada

    beberapa langkah yang perlu diperhatikan dalam model

    evaluasi Pengembangan Hammond. Hammond (1968: 9-

    12) menetapkan langkah-langkah tersebut adalah

    sebagai berikut:

    1. menentukan satu bidang area atau fokus yang akan

    dievaluasi.

    2. Menjelaskan variabel deskriptif dalam dimensi

    instructional dan Institutional.

    3. Menetapkan tujuan ke dalam dimensi behavior,

    dengan cara: menentukan perubahan perilaku yang

    ingin dicapai dalam tujuan program, menyatakan

    kondisi dari perilaku yang diharapkan, dan

    mendeskripsikan bagaimana cara siswa

    mencapainya.

  • 214

    4. Menilai behavior/perilaku yang telah dideskripsikan

    dalam tujuan.

    5. Menganalisis hasil dari faktor-faktor dan hubungan

    antar faktor untuk mendapatkan kesimpulan yang

    berdasar pada perilaku aktual.

    2.6. Kajian Penelitian yang Relevan

    Telah banyak penelitian mengenai evaluasi

    pelatihan oleh para peneliti dalam negeri maupun luar

    negeri. Oleh karena itu, dalam rangka menghindari

    duplikasi maka melalui penelusuran dipilih lima

    penelitian yang relevan dengan penelitian ini untuk

    dikaji. Berikut merupakan kajian dari penelitian-

    penelitian tersebut.

    Pertama adalah penelitian Ratu Ilma Indra Putri

    pada tahun 2013. Penelitiannya bertujuan untuk

    mengevaluasi program pelatihan Pendekatan

    Matematika Realistik Indonesia (PMRI) bagi guru

    matematika di Sumatera Selatan. Evaluasi ini

    dilakukan menggunakan dua tahap evaluasi model

    Kirkpatrick sehingga mengukur reaksi peserta terhadap

    pelatihan (reaction) dan tingkat kemampuan peserta

    setelah mengikuti program (learning). Aspek-aspek yang

    dievaluasi antara lain: (1) reaction untuk mengetahui

    pendapat peserta terhadap instruktur, topik pelatihan,

    kegiatan program, fasilitas pelatihan termasuk

    akomodasi dan konsumsi, serta tentang panitia

  • 215

    penyelenggara; (2) learning untuk mengetahui sejauh

    mana penyerapan materi peserta pada saat

    dilaksanakan pelatihan. Hasil penelitiannya

    menunjukkan bahwa seluruh peserta mempunyai

    reaksi positif terhadap program pelatihan karena materi

    yang diberikan relevan/sesuai dengan kebutuhan dan

    tugas guru di sekolah, selain itu para peserta mampu

    mengajarkan materi dengan baik saat dilakukan

    simulasi, serta seluruh peserta dapat memahami materi

    pelatihan dengan baik, sehingga dapat dilakukan

    pelatihan lanjutan.

    Kedua adalah penelitian dari Eva Riza tahun

    2014 yang bertujuan untuk mengetahui efektivitas

    Program Pendidikan dan Latihan Berjenjang Tingkat

    Dasar Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PTK) PAUD.

    Evaluasi ini menggunakan model evaluasi Kirkpatrick

    dengan empat tahapan, yaitu reaction, learning,

    behavior, dan result. Aspek reaction meliputi rekrutmen

    peserta, jadwal diklat, narasumber/instruktur, materi

    diklat, dan pelayanan penyelenggara diklat termasuk

    akomodasi dan konsumsi. Aspek learning yang meliputi

    tingkat pengetahuan peserta. Aspek behavior meliputi

    perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran,

    evaluasi pembelajaran, dan komunikasi dalam

    pembelajaran. Adapun aspek result meliputi

    peningkatan kualitas dan jumlah hasil karya peserta.

    Secara umum, berdasarkan hasil analisis dan kriteria

  • 216

    evaluasi dapat disimpulkan bahwa penyelengaraan

    diklat termasuk dalam kategori baik walaupun masih

    perlu dilakukan perbaikan pada beberapa aspek.

    Aspek-aspek yang perlu diperbaiki tersebut antara lain:

    rekrutmen peserta yang tidak sesuai dengan kriteria

    yang ditetapkan, jadwal pelatihan terlalu padat,

    narasumber terlalu teoretis, tidak adanya evaluasi dan

    monitoring pasca evaluasi, ada beberapa materi yang

    kurang relevan dengan tugas guru di sekolah masing-

    masing, pasca pelatihan peserta belum sepenuhnya

    melakukan pembelajaran seperti yang diajarkan pada

    Diklat, serta dampak dari segi kualitas dan jumlah hasil

    karya guru belum sepenuhnya meningkat.

    Ketiga adalah penelitian Reza Pahlevi pada tahun

    2016 yang bertujuan untuk mengevaluasi konteks,

    input, proses, dan produk penyelenggaraan Program

    Diklat Kompetensi Plus di BPDIKJUR. Penelitian yang

    menggunakan model evaluasi CIPP (Context, Input,

    Process, Product) ini menitikberatkan pada aspek-aspek

    berikut: tahap konteks meliputi kondisi lingkungan,

    identifikasi kebutuhan, karakteristik, dan tujuan; tahap

    input meliputi program dan jadwal, mekanisme

    pelaksanaan, SDM, dan pembiayaan; tahap proses

    meliputi persiapan, pelaksanaan kegiatan, dan kendala;

    tahap produk meliputi hasil pelaksanaan kegiatan.

    Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa

    pelaksanaan Program Diklat Kompetensi Plus di

  • 217

    BPDIKJUR dilatarbelakangi dari bertambahnya siswa

    tingkat SMA/SMK, terlebih pembelajaran SMA/SMK

    lebih mengutamakan kompetensi sehingga program

    diklat diharapkan dapat meningkatkan kompetensi

    guru seiring dengan kemajuan teknologi yang ada di

    industri; program diklat mampu menjembatani

    kesenjangan antara hasil pembelajaran SMK dengan

    standar kerja yang dibutuhkan industri; program diklat

    memiliki stakeholder yang selalu mendukung

    pelaksanaan program, kerja TIM sangat membantu

    keberhasilan program; pelaksanaan program diklat

    berjalan dengan baik walupun terdapat beberapa

    kendala; seluruh peserta program diklat dinyatakan

    kompeten yang dibuktikan dengan sertifikat. Oleh

    karena itu, Program Diklat Kompetensi Plus di

    BPDIKJUR dapat terus dilakukan dengan perbaikan

    pada sistem perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.

    Keempat adalah penelitian yang dilakukan Hacer

    H. Uysal tahun 2012. Tujuan penelitiannya adalah

    untuk mengevaluasi keberhasilan program in-service

    education training (INSET) dalam mencapai tujuan

    khusus, serta kegunaan dan dampak program pada

    afektif guru, pengetahuan guru, serta praktek mengajar

    di kelas dengan menggunakan model evaluasi Guskey.

    Adapun aspek-aspek yang diteliti meliputi perencanaan,

    pelaksanaan, dan evaluasi pelatihan oleh trainer;

    pengetahuan trainer dan pengalamannya selama

  • 218

    melaksanakan pelatihan; pandangan dan pemikiran

    guru tentang program dan harapannya pada program di

    waktu mendatang; kepuasan guru dan kegunaan

    program; serta dampak program terhadap afektif,

    pengetahuan, dan perilaku guru. Hasil dari

    penelitiannya menunjukkan bahwa secara umum para

    guru menunjukkan sikap positif terhadap program dan

    pelaksanaan program memiliki banyak segi positif

    seperti penggunaan berbagai informasi teori dan

    praktik, serta teknik baru dan penggunaan pendekatan

    holistic inductive. Akan tetapi pada tahap perencanaan

    dan evaluasi program masih terdapat masalah, antara

    lain: program belum memiliki komponen tindak lanjut

    (follow up) dan program mengalami kemunduran,

    seperti tidak mencukupinya materi dan sumber daya,

    kesenjangan diskusi guru dalam memecahkan

    masalahnya, setting pelatihan yang tidak nyaman, dan

    presentasi berbasis transmisi. Masalah lain yang lebih

    serius adalah isi dari program pelatihan tidak

    berdasarkan kebutuhan kontekstual guru, serta guru

    tidak dilibatkan dalam perencanaan dan pelaksanaan

    program.

    Terakhir adalah penelitian dari Mohd Azmi Mat

    Yussof, dkk pada tahun 2016. Penelitiannya bertujuan

    untuk menilai reaksi guru terhadap in-service teacher

    training program pada School Based Assessment, untuk

    itu model evaluasi yang digunakan adalah dua tahap

  • 219

    awal model evaluasi Kirkpatrick, yaitu reaction dan

    learning. Adapun aspek-aspek yang diteliti meliputi

    fasilitas fisik, materi instruksional, materi

    pembelajaran, presentasi oleh fasilitator, dan konten

    umum berdasarkan reaksi peserta. Hasil penelitiannya

    menunjukkan bahwa SBA in-service teacher training

    program telah mencapai tujuan. Hal tersebut terlihat

    dari tingkat kepuasan peserta sebagai berikut: reaksi

    terhadap fasilitas fisik memuaskan (73.5%), reaksi

    terhadap materi pembelajaran memuaskan (74.8%),

    reaksi terhadap materi pengajaran memuaskan (71.4%),

    reaksi terhadap penyampaian materi oleh fasilitator

    memuaskan (65.3%), dan reaksi terhadap konten

    umum yang disampaikan selama pelatihan memuaskan

    (75.8%). Berdasarkan hasil analisis kuantitatif

    diketahui bahwa aspek konten umum, fasilitas fisik dan

    materi pembelajaran memiliki korelasi signifikan dan

    kontribusi terhadap perubahan pengetahuan dan

    keterampilan guru, dan aspek konten umum, materi

    konstruksional dan materi pembelajaran memiliki

    korelasi signifikan terhadap perubahan sikap guru.

    Oleh karena itu berdasarkan hasil evaluasi diputuskan

    bahwa program dapat terus dilaksanakan dengan

    beberapa peningkatan.

    Berdasarkan lima penelitian yang pernah

    dilakukan terdapat kesamaan dengan penelitian ini.

    Kesamaan tersebut adalah mengevaluasi pelatihan yang

  • 220

    diselenggarakan untuk meningkatkan kompetensi guru.

    Selain itu, penelitian yang akan dilakukan ini dengan

    penelitian yang dilakukan oleh Hacer H. Uysal dan

    Mohd Azmi Mat Yussof, dkk memiliki persamaan pada

    tujuan penelitian, yaitu untuk mengetahui keberhasilan

    program dalam mencapai tujuan. Akan tetapi, tidak

    semua hal dari penelitian-penelitian tersebut sama.

    Beberapa hal yang membedakan antara penelitian

    ini dengan lima penelitian sebelumnya antara lain

    penggunaan model evaluasi yang berbeda. Penelitian ini

    menggunakan model evaluasi pengembangan

    Hammond, yaitu Three Dimensional Cube sehingga

    tahapan penelitian serta aspek yang diteliti terdapat

    perbedaan. Aspek-aspek yang berbeda tersebut

    diantaranya organisasi, spesialis pendidikan, keluarga,

    komunitas, dan tujuan program yang disesuaikan

    dengan visi misi sekolah dan yayasan yang menaungi

    sekolah.

    Aspek-aspek yang berbeda antara penelitian

    sebelumnya dengan penelitian ini antara lain: penelitian

    Ratu Ilma Indra Putri terletak pada aspek organisasi,

    metodologi, biaya, peserta, spesialis pendidikan,

    keluarga, komunitas, dan tujuan (kognitif, afektif, dan

    psikomotor); penelitian Eva Riza pada aspek organisasi,

    metodologi, biaya, spesialis pendidikan, keluarga,

    komunitas, dan tujuan (kognitif, afektif, dan

    psikomotor); penelitian Reza Pahlevi pada aspek

  • 221

    organisasi, konten, metodologi, fasilitas, pemateri,

    panitia, spesialis pendidikan, keluarga, komunitas, dan

    tujuan (kognitif, afektif, dan psikomotor); penelitian

    Hacer H. Uysal pada aspek organisasi, konten,

    metodologi, fasilitas, biaya, spesialis pendidikan,

    keluarga, komunitas, dan tujuan pelatihan walaupun

    tujuan sama-sama dikelompokkan menjadi kognitif,

    afektif, dan psikomotor tetapi hal-hal yang dievaluasi

    sangat berbeda; penelitian Mohd Azmi Mat Yussof, dkk

    pada aspek organisasi, biaya, pemateri, panitia,

    spesialis pendidikan, keluarga, komunitas, dan tujuan

    pelatihan walaupun tujuan sama-sama dikelompokkan

    menjadi kognitif, afektif, dan psikomotor tetapi hal-hal

    yang dievaluasi juga terdapat perbedaan.

    Perbedaan lainnya adalah subyek penelitian. Pada

    penelitian ini subyek penelitiannya adalah seluruh guru

    di satu sekolah, yaitu SD Muhammadiyah (Plus)

    Salatiga karena program pelatihan dilakukan secara

    mandiri oleh sekolah tersebut. Lain halnya dengan

    penelitian sebelumnya yang subyek penelitiannya

    berasal dari beberapa sekolah berbeda karena pelatihan

    diselenggarakan oleh lembaga-lembaga penyedia

    layanan pelatihan atau pun dari pemerintah setempat.

    Hal ini juga menjadi dasar penyesuaian antara

    penggunaan model evaluasi Three Dimensional Cube

    dengan pelatihan di SD Muhammdiyah (Plus) Salatiga.

    Adapun penyesuaian tersebut terletak pada dimensi

  • 222

    behavior yang mengukur kognitif, afektif dan

    psikomotor guru dengan beberapa aspek yang menjadi

    tujuan khusus dari organisasi Muhammadiyah (diluar

    kompetensi guru pada umumnya).

    Pemaparan dari persamaan dan perbedaan antara

    penelitian ini dengan penelitian-penelitian yang telah

    dilakukan sebelumnya menunjukkan bahwa penelitian

    ini bukan merupakan duplikasi dari penelitian-

    penelitian sebelumnya. Oleh karena itu, penelitian yang

    berjudul “Evaluasi Program Pelatihan In House Training

    (IHT) SD Muhammadiyah (Plus) Salatiga” ini dapat

    dilanjutkan.

    2.7. Kerangka Berpikir

    Kerangka berpikir disusun secara rasional

    berdasarkan konsep dan teori yang dikemukakan ahli.

    Adapun kerangka berpikir pada penelitian Evaluasi

    Program Pelatihan In House Training (IHT) SD

    Muhammadiyah (Plus) Salatiga ini dapat dilihat pada

    gambar 2.

  • 223

    Gambar 2 Kerangka Berpikir

    Pada gambar 2, alur berpikir dimulai dari

    permasalahan pada Program Pelatihan IHT SD

    Muhammadiyah (Plus) Salatiga. Program Pelatihan IHT

    SD Muhammadiyah (Plus) Salatiga perlu dilakukan

    evaluasi untuk mengetahui ketercapaian tujuan

    program, terutama tujuan khusus program IHT, yaitu

    untuk meningkatkan kompetensi guru. Hal ini

    dikarenakan Program Pelatihan IHT SD Muhammadiyah

    (Plus) Salatiga dilakukan pada tahun 2013/2014

    dengan target pencapaian tujuan selama tiga tahun,

    sehingga pada tahun 2016/2017 ini program tersebut

    memang sudah saatnya dilakukan evaluasi untuk

    mengetahui ketercapaian tujuan program. Adapun

    PROGRAM PELATIHAN IHT SD

    MUHAMMADIYAH (PLUS) SALATIGA

    Tujuan khusus Pelatihan IHT

    Mengembangkan

    kompetensi guru

    Faktor yang mempengaruhi

    program pelatihan

    Hasil evaluasi

    Rekomendasi

    Evaluasi Program

    Dimensi

    Behavior

    Dimensi

    Instructional

    Dimensi

    Institutional

  • 224

    tujuan program pelatihan IHT tersebut berfokus pada

    tujuan khusus, yaitu peningkatan kompetensi guru SD

    Muhammdiyah (Plus) Salatiga yang dikembangkan

    sesuai dengan visi misi sekolah. Keberhasilan atau pun

    kegagalan program tidak terlepas dari faktor-faktor

    yang mempengaruhinya. Oleh karena itu penelitian ini

    juga mempertimbangkan faktor-faktor yang

    mempengaruhi program IHT SD Muhammadiyah (Plus)

    Salatiga. Adapun evaluasi yang digunakan adalah

    model pengembangan Robert L. Hammond yang dikenal

    dengan Three Dimensional Cube. Model evaluasi

    tersebut membagi faktor-faktor yang mempengaruhi

    tujuan program ke dalam dua dimensi, yaitu dimensi

    instructional dan institutional. Sedangkan tujuan

    dikelompokkan ke dalam dimensi behavior. Setelah

    dilakukan evaluasi maka akan diketahui hasil evaluasi

    yang kemudian dijadikan acuan untuk memberikan

    rekomendasi terhadap keberlanjutan program pelatihan

    IHT SD Muhammadiyah (Plus) Salatiga.