bab ii kajian teoritis 2.1 tinjauan pustaka 2.1.1 teori agensieprints.umm.ac.id/38294/3/bab ii.pdf9...
TRANSCRIPT
9
BAB II
KAJIAN TEORITIS
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Teori Agensi
Konsep agency theory menurut Anthony dan Govindarajan dalam
Siagian (2011:10) adalah hubungan atau kontak antara principal dan agent.
Principal mempekerjakan agent untuk melakukan tugas untuk kepentingan
principal, termasuk pendelegasian otorisasi pengambilan keputusan dari
principal kepada agent. Pada perusahaan yang modalnya terdiri atas saham,
pemegang saham bertindak sebagai principal, dan CEO (Chief Executive
Officer) sebagai agent mereka. Pemegang saham mempekerjakan CEO
untuk bertindak sesusai dengan kepentingan principal. Agency conflict
sendiri terbagi menjadi dua bentuk, yaitu : (1) agency conflict antara
pemegang saham dan manajer. Penyebab konflik antara manajer dengan
pemegang saham diantaranya adalah pembuatan keputusan yang berkaitan
dengan aktivitas pencarian dana dan pembuatan keputusan yang berkaitan
dengan bagaimana dana yang diperoleh tersebut diinvestasikan. (2) agency
conflict antara pemegang saham dan kreditor (Kirana, 2007).
Agency theory menjelaskan fenomena yang terjadi apabila atasan
mendelegasikan wewenangnya kepada bawahan untuk melakukan suatu
tugas atau otoritas untuk membuat keputusan (Anthony dan Govindarajan
1998). Fenomena dalam kasus ini adalah Perusahaan yang melakukan
penghindaran pajak tentu saja juga melalui kebijakan yang diambil oleh
10
pemimpin perusahaan itu sendiri karena keputusan dan kebijakan
perusahaan diambil oleh pemimpin perusahan tersebut. Atas hal tersebutlah
para eksekutive diperusahaan mendapat dorongan untuk melakukan Tax
avoidance. Jika dihubungkan dengan leverage, perusahaan dengan raiso
leverage yang tinggi akan mengungkapkan lebih banyak informasi.
Tambahan informasi diperlukan untuk menghilangkan keraguan pemegang
saham. Untuk mencapai hal tersebut, kecenderungan yang terjadi biasanya
manajemen berusaha memaksimalkan laba sekarang dengan cara
mengurangi biaya, termasuk biaya pengungkapan TBL(triple bottom line).
Praktek tax avoidance dalam perspektif agency theory dipengaruhi
oleh adanya konflik kepentingan antara agen (manajemen) dengan principal
yang timbul ketika setiap pihak berusaha untuk mencapai atau
mempertahankan tingkat kemakmuran yang dikehendakinya. Konflik
tersebut terjadi terhadap kepentingan laba perusahaan antara pemegang
sahan dengan manajer (manajemen perusahaan). Pemegang sahan berharap
adanya pemasukan sebesar-besarnya dari manajer, sementara dari pihak
manajemen berpandangan bahwa perusahaan harus menghasilkan laba yang
cukup signifikan dengan beban pajak yang rendah. Dua sudut pandang
berbeda inilah menyebabkan konflik antara pemegang saham dengan pihak
manajemen perusahaan.
11
2.1.2 Tax avoidance
Menurut Lyons “Tax avoidance is a term used to describe the legal
arrangements of tax payer’s affairs so as to reduce his tax liability”.
Penghindaran pajak adalah rekayasa ‘tax affairs’ yang masih tetap berada
di dalam bingkai ketentuan perpajakan (lawful). Wajib Pajak melakukan
penghindaran pajak dengan mentaati aturan yang berlaku yang sifatnya
legal dan diperbolehkan oleh peraturan perundang-undangan perpajakan.
Pemerintah tidak bisa melakukan penuntutan secara hukum, meskipun
praktik penghindaran pajak ini akan mempengaruhi penerimaan negara dari
sektor pajak. (Ngadiman dan Puspitasari ,2014).
Menurut Mardiasmo (2003), penghindaran pajak (Tax avoidance)
adalah suatu usaha meringankan beban pajak dengan tidak melanggar
undang-undang yang ada. Menurut Heru (1997) penghindaran pajak adalah
usaha pengurangan pajak, namun tetap mematuhi ketentuan peraturan
perpajakan seperti memanfaatkan pengecualian dan potongan yang
diperkenankan maupun menunda pajak yang belum diatur dalam peraturan
perpajakan yang berlaku. Penghindaran pajak merupakan usaha untuk
mengurangi hutang pajak yang bersifat legal (Lawful), sedangkan
penggelapan pajak (Tax Evasion) adalah usaha untuk mengurangi hutang
pajak yang bersifat tidak legal (Unlawful) (Xynas, 2011)..
Penghindaran pajak ini telah membuat basis pajak atas pajak
pendapatan menjadi sempit dan mengakibatkan begitu besarnya kehilangan
potensi pendapatan pajak yang dapat digunakan untuk mengurangi beban
12
defisit anggaran negara. Dengan demikian dalam kontek perusahaan,
penghindaran pajak ini sengaja dilakukan oleh perusahaan dalam rangka
memperkecil besarnya tingkat pembayaran pajak yang harus dilakukan dan
meningkatkan cash flow perusahaan. Seperti disebutkan oleh Guire at al.,
(2011), bahwa manfaat dari adanya tax avoidance adalah
untukmemperbesar tax saving yang berpotensi mengurangi pembayaran
pajak sehingga akan menaikkan cash flow.
Penghindaran pajak (tax avoidance) diproksikan dengan tarif pajak
efektifr perusahaan (ETR), banyak perusahaan menggunakan tarif pajak
efektif perusahaan sebagai alat ukur dalam tax avoidance. Tarif pajak
efektif perusahaan juga sering digunakan oleh para pembuat kebijakan dan
kelompok kepentingan sebagai alat untuk membuat kesimpulan kesimpulan
tentang sistem pajak perusahaan karena ETR memberikan sebuah ringkasan
statistik yang tepat tentang efek kumulatif dari berbagai perubahan intensif
pajak dan tarif pajak perusahaan. ETR menyediakan ringkasan dasar
statistic kinerja pajak yang digambarkan oleh jumlah pajak yang dibayarkan
oleh perusahaan relative terhadap laba kotor. (Harris & Feeny, 2000)
Dalam menentukan penghindaran perpajakan, komite urusan fiscal
OECD (Organization for Economic Cooperation and Development)
menyebutkan ada tiga karakter tax avoidance, yaitu :
1. Adanya unsur artifisial dimana berbagai pengaturan seolah-olah
terdapat didalamnya padahal tidak, dan ini dilakukan karena
ketiadaaan faktor pajak
13
2. Skema semacam ini sering memanfaatkan celah (loopholes)
undang-undang untuk menerapkan ketentuan-ketentuan yang
legal untuk berbagai tujuan, padahal bukan itu yang sebetulnya
dimaksudkan oleh pembuat undang-undang.
3. Kerahasiaan juga sebagai bentuk skema ini dimana umumnya
para konsultan menunjukkan alat atau cara untuk melakukan tax
avoidance dengan syarat wajib pajak menjaga kerahasiaan
Tax avoidance dapat dilakukan dengan tiga cara :
1. Menahan Diri
Wajib pajak tidak melakukan perbuatan yang mengakibatkan harus
membayar pajak. Misalnya agar tidak dikenai pajak rokok, Wajib pajak
tidak merokok.
2. Pindah Lokasi
Untuk menghindari pembayaran pajak, wajib pajak memindahkan
lokasi usahanya dari tempat yang tarif pajaknya tinggi ketempat yang
tarif pajaknya rendah.
3. Penghindaran Pajak secara yuridis
Wajib pajak mengatur sedemikian rupa sehingga kegiatan yang
dilakukan menjadi tidak dikenai pajak ataupun jika dikenai pjak, wajib
pajak cukup membayar dengan jumlah yang sedikit mungkin. Contoh
mudahnya, saat orang pribadi akan menjalankan usaha, orang pribadi
tersebut dihadapkan pada apakah akan mendirikan PT atau cukup
perusahaan perseorangan (Fa atau CV). Dari segi aspek pajak di
14
Indonesia, mendirikan perusahaan perseorangan (Fa atau CV) dianggap
lebih menguntungkan karena hanya akan dikenai pajak pada level
perusahaan. Ketika laba tersebut dibagikan kepada orang pribadi
pemilik perusahaan bukan menjadi objek pajak. Sedangkan bagi PT,
apabila laba tersebut dibagikan ke pemegang saham, merupakan objek
pemotongan Pasal 4 ayat (2) yang tarifnya diatur dalam Pasal 17 ayat
(2c) UU No 36 tahun 2008.
2.1.3 Karakter Eksekutif
Eksekutif adalah suatu individu yang berada pada kedudukan yang
sangat penting dalam suatu perusahaan karena eksekutif memiliki
wewenang dan kekuasaan tertinggi untuk mengatur operasi perusahaannya.
Eksekutif memiliki pengaruh yang besar bagi perusahaan yang dipimpin
sehingga eksekutif ini berperan sangat penting untuk dapat mengkoordinir
bawahannya. Eksekutif menentukan arah jalannya perusahaan sehingga
eksekutif harus tepat dalam pengambilan keputusan dan kebijakan dalam
perusahaan. Setiap individu tentunya memiliki karakter yang berbeda-beda
begitu juga dengan setiap eksekutif yang memiliki karakter yang berbeda
dalam memimpin perusahaannya.
Menurut Low (2006), dalam menjalankan tugasnya, para pemimpin
eksekutif sebuah perusahaan memiliki dua karakter, yaitu risk taker dan risk
averse. Risk taker merupakan salah satu karakter eksekutif yang berani
dalam mengambil risiko. Risk averse merupakan karakter eksekutif yang
kurang berani dalam mengambil risiko. Karakter eksekutif yang cenderung
15
risk taker akan berani melakukan apapun agar mendapatkan keuntungan
sebesar-besarnya sehingga lebih berani dalam mengambil risiko walaupun
risiko yang diambil tersebut terbilang besar. Berbanding terbalik dengan
eksekutif yang memiliki karakter risk averse.
Menurut Evianisa (2014), risk averse lebih cenderung tidak
menyukai risiko yang besar dan cenderung menghindari risiko serta lebih
memilih risiko yang lebih kecil. “Seorang pemimpin bisa saja memiliki
karakter risk taker atau risk averse yang tercermin dari besar kecilnya risiko
perusahaan. Semakin tinggi risiko suatu perusahaan , maka eksekutif
cenderung bersifat risk taker. Sebaliknya, semakin rendah risiko suatu
perusahaan, maka eksekutif cenderung bersifat risk averse”.
Untuk mengetahui karakter eksekutif maka digunakan risiko
perusahaan (corporate risk) yang dimiliki perusahaan. Tinggi rendahnya
risiko perusahaan ini mengindikasikan karakter eksekutif apakah termasuk
risk taker atau risk averse (Paligovora, 2010). Besar kecilnya risiko
perusahaan mengindikasikan kecenderungan karakter eksekutif. Tingkat
risiko yang besar mengindikasikan bahwa pimpinan perusahaan lebih
bersifat risk taker. Sebaliknya tingkat risiko yang kecil mengindikasikan
bahwa pimpinan perusahaan lebih bersifat risk averse (Ni Nyoman
Kristiana Dewi dan I Ketut Jati, 2014).
Apabila eksekutif semakin bersifat risk taker maka akan semakin
besar tindakan tax avoidance yang dilakukan. Besar kecilnya risiko
perusahaan mengindikasikan kecenderungan karakter eksekutif. Tingkat
16
risiko yang besar mengindikasikan bahwa pimpinan perusahaan lebih
bersifat risk taker yang lebih berani mengambil risiko. Perusahaan yang
memiliki risiko perusahaan yang tinggi cenderung akan menyajikan laporan
keuangan apa adanya untuk melihat seberapa jauh kinerja yang telah
dilakukan oleh perusahaan sehingga peluang untuk melakukan
penghindaran pajak menjadi rendah.
2.1.4 Leverage
Menurut Kurniasih dan Sari (2013: 63) leverage adalah rasio yang
mengukur kemampuan hutang baik jangka panjang maupun jangka pendek
untuk membiayai aktiva perusahaan. Leverage ini menjadi sumber
pendanaan perusahaan dari eksternal dari hutang. Hutang yang dimaksud
adalah hutang jangka panjang. Beban bunga secara jangka panjang akan
mengurangi beban pajak yang ada. Variabel leverage diukur dengan
membagi total kewajiban jangka panjang dengan total asset perusahaan.
Leverage menggambarkan proporsi total utang perusahaan terhadap total
aset yang dimiliki perusahaan dengan tujuan untuk mengetahui keputusan
pendanaan yang dilakukan oleh perusahaan tersebut. Leverage dihitung
dengan total hutang dibagi dengan total equity. Sehingga, semakin tinggi
utang perusahaan akan semakin tinggi beban bunga perusahaan yang dapat
menurunkan ETR (effektif tax rate) perusahaan, nilai ETR rendah
menandakan kemungkinan perusahaan melakukan tax avoidance, sesuai
dengan Hendy (2014) yang menyatakan bahwa komponen beban bunga
17
akan mengurangi laba sebelum kena pajak perusahaan sehingga beban pajak
yang harus dibayar peruasahaan akan menjadi berkurang.
2.2 Penelitian Terdahulu
Dewi (2014) dengan judul “Pengaruh Karakter Eksekutif,
Karakteristik Perusahaan, Dan Dimensi Tata Kelola Perusahaan Yang Baik
Pada Tax avoidance Di Bursa Efek Indonesia”. Teknik analisis yang
digunakan yaitu Uji asumsi klasik yang meliputi uji normalitas, uji
multikolonieritas, uji heterokedasitas, dan uji autokorelasi. Hasil
Penelitiannya adalah Karakter Esekutif berpengaruh terhadap tax
avoidance. Artinya apabila eksekutif semakin bersifat risk taker maka akan
semakin besar tindakan tax avoidance yang dilakukan. Besar kecilnya risiko
perusahaan mengindikasikan kecenderungan karakter eksekutif. Tingkat
risiko yang besar mengindikasikan bahwa pimpinan perusahaan lebih
bersifat risk taker yang lebih berani mengambil risiko. Sebaliknya tingkat
risiko yang kecil mengindikasikan bahwa pimpinan perusahaan lebih
bersifat risk averse yang cenderung untuk menghindari risiko.
Ngadiman dan Christiany (2014) dengan judul “Pengaruh Leverage,
Kepemilikan Institusional, Dan Ukuran Perusahaan Terhadap Penghindaran
Pajak (Tax avoidance) Pada Perusahaan Sektor Manufaktur Yang Terdaftar
Di Bursa Efek Indonesia 2010-2012”. Metode Analisis Data yang dilakukan
dengan cara menggunakan perhitungan matematis, kemudian variabel-
variabel yang telah dihitung tersebut diolah dengan menggunakan program
software Statistical Product and Service Solution (SPSS) untuk
18
menghasilkan perhitungan yang menunjukkan pengaruh variabel
independen terhadap variabel dependen. Adapun metode-metode yang
digunakan dalam mengolah data adalah uji statistik deskriptif, uji asumsi
klasik, dan uji hipotesis .Hasil penelitiannya adalah : Leverage tidak
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tax avoidance. Hal ini
disebabkan karena semakin tinggi nilai dari rasio leverage, berarti semakin
tinggi jumlah pendanaan dari hutang pihak ketiga yang digunakan
perusahaan dan semakin tinggi pula biaya bunga yang timbul dari hutang
tersebut yang akan memberikan pengaruh berkurangnya beban pajak
perusahaan tidak menjadikan perusahaan melakukan pembiayaan dengan
hutang sebesar-besarnya (Kurniasih dan Sari, 2013).
Rangkuti dan Pratomo (2017) dengan judul “Pengaruh Karakter
Eksekutif dan Leverage terhadap tax avoidance”. Hasil Penelitiannya
adalah Karakter Eksekutif berpengaruh negatif pada tax avoidance. Hal ini
disebabkan perusahaan yang memiliki risiko perusahaan yang tinggi
cenderung akan menyajikan laporan keuangan apa adanya untuk melihat
seberapa jauh kinerja yang telah dilakukan oleh perusahaan sehingga
peluang untuk melakukan penghindaran pajak menjadi rendah. Dan hasil
penelitian selanjutnya leverage tidak berpengaruh terhadap tax avoidance.
Hal ini disebabkan karena leverage pada penelitian ini didominasi oleh
perbedaan leverage dengan koreksi fiskal positif dan jumlah kenaikan total
hutang yang tidak terlalu signifikan terhadap nilai ekuitas. Sehingga beban
pajak yang harus dibayarkan semakin tinggi.
19
2.3 Pengembangan Hipotesis
2.3.1 Pengaruh karakter eksekutif terhadap praktik tax avoidance
Penjelasan tentang praktek tax avoidance dapat dimulai dari
pendekatan agency theory. Praktek tax avoidance dalam perspektif agency
theory dipengaruhi oleh adanya konflik kepentingan antara agen
(manajemen) dengan principal yang timbul ketika setiap pihak berusaha
untuk mencapai atau mempertahankan tingkat kemakmuran yang
dikehendakinya.
Agency theory menjelaskan fenomena yang terjadi apabila atasan
mendelegasikan wewenangnya kepada bawahan untuk melakukan suatu
tugas atau otoritas untuk membuat keputusan (Anthony dan Govindarajan
1998). Fenomena dalam kasus ini adalah Perusahaan yang melakukan
penghindaran pajak tentu saja juga melalui kebijakan yang diambil oleh
pemimpin perusahaan itu sendiri karena keputusan dan kebijakan
perusahaan diambil oleh pemimpin perusahan tersebut. Atas hal tersebutlah
para eksekutive diperusahaan mendapat dorongan untuk melakukan Tax
avoidance. Dalam penelitian pajak ini, konflik tersebut terjadi terhadap
kepentingan laba perusahaan antara pemegang sahan dengan manajer
(manajemen perusahaan). Pemegang sahan berharap adanya pemasukan
sebesar-besarnya dari manajer, sementara dari pihak manajemen
berpandangan bahwa perusahaan harus menghasilkan laba yang cukup
signifikan dengan beban pajak yang rendah. Dua sudut pandang berbeda
20
inilah menyebabkan konflik antara pemegang saham dengan pihak
manajemen perusahaan.
Dyreng et al., (2010) melakukan penelitian untuk mengetahui
apakah individu top executive memiliki pengaruh terhadap penghindaran
pajak perusahaan. Sampel yang digunakan sebanyak 908 pimpinan
perusahaan yang tercatat di ExecuComp diperoleh hasil bahwa pimpinan
perusahaan executive secara individu memiliki peran yang signifikan
terhadap tingkat penghindaran pajak perusahaan. Pimpinan perusahaan
(CEO, CFO, dan top executive yang lain) sebagai individu pengambil
kebijakan pasti memiliki karakter yang berbeda-beda.
Perusahaan yang melakukan penghindaran pajak tentu saja juga
melalui kebijakan yang diambil oleh pemimpin perusahaan itu sendiri
karena keputusan dan kebijakan perusahaan diambil oleh pemimpin
perusahan tersebut. Pemimpin perusahaan biasanya memiliki dua karakter
yaitu, risk taker dan risk averse. Pemimpin perusahaan yang memiliki
karakter risk taker dan risk averse tercermin pada besar kecilnya risiko
perusahaan yang ada (Budiman, 2012). Tingkat resiko yang besar
mengindikasikan bahwa pimpinan perusahaan lebih bersifat risk taker.
Semakin pemimpin bersifat risk taker maka akan semakin besar tindakan
tax avoidance yang dilakukan.
Berdasarkan penjelasan diatas maka hipotesis penelitian adalah:
H1: Karakter Eksekutif berpengaruh signifikan terhadap tax avoidance
21
2.3.2 Pengaruh Leverage terhadap praktik tax avoidance
Leverage adalah rasio antara jumlah jaminan dan dana yang
dipinjam yang dialokasikan untuk trading. Leverage melibatkan pinjaman
sejumlah uang yang dibutuhkan untuk berinvestasi dalam sesuatu. Semakin
tinggi tingkat leverage besar kemungkinan akan melanggar perjanjian kredit
sehingga membuat perusahaan akan berusaha melaporkan laba yang lebih
tinggi dengan cara mengurangi biaya-biaya termasuk biaya pengungkapan
sosial suatu perusahaan.
Dalam teori agensi menunjukkan konflik yang terjadi antara manajer
(agent) dengan pemilik perusahaan (principal). Dimana semakin tinggi
beban hutang akan mengurangi laba perusahaan dan akan mengurangi
kompensasi manajer (agent). Selain itu,beban hutang akan menimbulkan
beban bunga, dimana beban bunga akan mengurangi beban pajak, sehingga
menguntungkan bagi pemilik perusahaan dan investor (principal).
Ricardshon dan Lanis (2007) menyatakan biaya bunga yang
semakin tinggi akan memberikan pengaruh berkurang nya beban pajak
perusahaan. Semakin tinggi nilai utang perusahaan maka nilai ETR
(effective tax rate) perusahaan akan semakin rendah. Nilai ETR rendah
menandakan kemungkinan perusahaan melakukan tax avoidance.
Leverage adalah salah satu rasio keuangan yang menggambarkan
hubungan antara hutang perusahaan terhadap modal maupun aset
perusahaan. Rasio leverage menggambarkan sumber dana operasi yang
digunakan oleh perusahaan. Secara logika, semakin tinggi nilai dari rasio
22
leverage, berarti semakin tinggi jumlah pendanaan dari utang pihak ketiga
yang digunakan perusahaan dan semakin tinggi pula biaya bunga yang
timbul dari utang tersebut. Biaya bunga yang semakin tinggi akan
memberikan pengaruh berkurang nya beban pajak perusahaan.
Richardson dan Lanis (2007) yang menyatakan bahwa leverage
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tindakan penghindaran pajak
(tax avoidance) yang dilakukan oleh perusahaan. Hal ini dikarenakan
tingkat leverage yang tinggi akan mengakibatkan beban pajak yang rendah
dimana biaya bunga yang ditimbulkan oleh pembiayaan dengan hutang
merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari pajak (tax deductible). Hal
ini membuat perusahaan lebih memilih untuk melakukan kegiatan modal
dengan hutang supaya dapat memanfaatkan keuntungan dari beban pajak
yang ditimbulkan.
Jika perusahaan melakukan pembiayaan secara utang dalam
membiayai operasionalnya akan menyebabkan perusahaan memiliki rasio
utang yang tinggi dan bunga atas utang yang harus dibayar semakin besar,
sehingga membuat perusahaan tidak akan melakukan pembiayaan dengan
hutang secara besar – besaran (Kurniasih dan Sari, 2013:61), dengan adanya
rasio utang yang tinggi akan membuat perusahaan kehilangan kepercayaan
investor terhadap perusahaan.
Berdasarkan hal tersebut maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai
berikut.
H2: Leverage berpengaruh signifikan terhadap Tax avoidance