bab ii landasan teori - repository.uksw.edu€¦ · pengembangan program bk, kompetensi guru bk,...
TRANSCRIPT
12
BAB II
LANDASAN TEORI
Bab ini membahas beberapa variabel penelitian antara lain, pelatihan,
pengembangan program BK, kompetensi guru BK, langkah-langkah
pengembangan program, penelitian yang relevan, kerangka berpikir dan
hipotesis penelitian.
2.1 Pelatihan
2.1.1 Pengertian Pelatihan
Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam upaya peningkatan
kemampuan profesional guru adalah dengan pelatihan atau training.
Mangkunegara (2008:50) menyatakan bahwa pelatihan merupakan suatu
proses pendidikan jangka pendek yang menggunakan prosedur sistematis
dan terorganisir di mana pegawai non-managerial mempelajari pengetahuan
dan keterampilan teknis dalam tujuan terbatas. Hal ini juga dapat mengarah
pada bidang pendidikan di mana guru terlibat dalam kegiatan pendidikan
jangka pendek tersebut sehingga tujuan pendidikan yang lebih efektif dapat
tercapai. Sejalan dengan Mangkunegara, Siagian (2004) menyatakan bahwa
“pelatihan adalah proses belajar mengajar dengan menggunakan teknik dan
metode tertentu secara konsepsional”. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa pelatihan merupakan suatu bentuk pembelajaran yang
diselenggarakan dalam jangka waktu tertentu oleh seorang profesional untuk
13
memenuhi tujuan dan target kemampuan yang akan dicapai. Pembelajaran
yang dimaksud dalam kegiatan pelatihan adalah yang mengarah pada
peningkatan pengetahuan, keterampilan serta kemampuan peserta pelatihan.
Selain definisi di atas, pelatihan juga dapat dilihat dari fungsinya di
mana pelatihan dapat membantu meningkatkan kinerja seseorang dalam
mencapai tujuan yang lebih optimal. Bernadin dan Russel (2000)
menyatakan bahwa “pelatihan adalah setiap usaha untuk memperbaiki
performansi tanggungjawabnya, atau satu pekerjaan yang ada kaitannya
dengan pekerjaannya”. Definisi lain mengenai pelatihan adalah suatu upaya
perubahan pada individu, baik dalam pengetahuan, keterampilan,
pengembangan sikap maupun perilaku, yang digunakan sebagai penunjang
kinerjanya dalam bekerja (Dwikurnaningsih, 2014). Dengan demikian,
pelatihan dapat dikatakan sebagai suatu bentuk upaya perubahan
pengetahuan, keterampilan dan sikap pada individu yang dapat mendukung
seseorang dalam mencapai hasil pekerjaan yang lebih maksimal.
Mangkuprawira (2004) juga menyatakan bahwa pelatihan adalah
proses pengajaran pengetahuan, keahlian dan sikap, yang bertujuan agar
individu menjadi semakin terampil dan berkompeten dalam melakukan
tanggung jawabnya sesuai dengan standar. Pelatihan juga dapat dikatakan
sebagai proses yang membuat individu mencapai suatu kemampuan tertentu
yang membantu pencapaian tujuan suatu organisasi (Mathis, 2002). Dengan
14
demikian, dapat disimpulkan bahwa pelatihan merupakan suatu proses yang
membantu individu dalam mengembangkan kemampuannya untuk mencapai
suatu tujuan tertentu.
Dalam peningkatan kemampuan guru, pelatihan memiliki pengaruh
yang sangat signifikan. Hal ini juga akan berdampak pada peningkatan
keefektifan sekolah. Melalui pelatihan, guru-guru dapat menambah
pengetahuan, meningkatkan keterampilannya, dan mungkin juga dapat
merubah sikap atau perilaku menjadi lebih baik yang dapat mempengaruhi
siswanya. Menurut Finks dan Willits (1983:251, dalam Musfah, 2011),
pelatihan dan pengembangan kerja menjadi sebuah program penting di
hampir semua organisasi besar. Hal ini didasari oleh pemahaman bahwa
untuk mencapai tujuan organisasi, orang-orang didalam organisasi tersebut
harus terus diasah kemampuannya sehingga menjadi sumber daya yang
produktif dan dapat memberi kontribusi bagi organisasi di mana ia berada.
Hal ini juga dapat terjadi dalam lingkungan sekolah di mana guru dapat terus
diasah kemampuannya melalui pelatihan untuk meningkatkan
kemampuannya dalam mencapai kegiatan pembelajaran yang lebih efektif.
Untuk mencapai tujuan pelatihan yang efektif, dibutuhkan langkah-
langkah yang dapat mengarah pada peningkatan keterampilan tersebut.
Suatu pelatihan dikatakan profesional jika dalam pelatihan tersebut terdapat
beberapa aktivitas atau proses yang diselenggarakan untuk meningkatkan
15
keterampilan, sikap, pemahaman, baik dalam jangka pendek maupun jangka
panjang (Musfah, 2011:61). Sejalan dengan Fullan, Tall dan Hall (dalam
Sutrisno, 2009) pelatihan yang profesional merupakan perpaduan antara
pemilihan teknik pelatihan yang tepat, mempunyai perencanaan yang
matang, dan komitmen terhadap pelatihan itu sendiri. Dengan demikian,
tercapainya tujuan pelatihan yang efektif didukung oleh suatu kombinasi
dari penggunaan teknik dan aktivitas dalam pelatihan yang tepat,
perencanaan yang tepat serta komitmen dari pelatih maupun yang dilatih.
2.1.2 Tujuan Pelatihan
Dalam melaksanakan suatu kegiatan pelatihan, tentu ada tujuan yang
ingin dicapai, misalnya dengan menetapkan indikator tertentu. Demikian
pula dengan pelatihan yang ditujukan untuk suatu peningkatan kinerja
seseorang dalam suatu organisasi, misalnya peningkatan kompetensi guru di
sekolah. Jika dalam suatu pelatihan, tujuan yang ingin dicapai adalah
peningkatan kompetensi, maka dalam pelatihan tersebut, terdapat langkah-
langkah atau strategi yang akan membantu guru mencapai potensi
maksimalnya sekaligus ada ketercapaian tujuan dari kegiatan tersebut.
Seperti yang dinyatakan Moekijat (1993:2), pelatihan bertujuan
untuk mengembangkan keahlian yang memudahkan penyelesaian pekerjaan,
mengembangkan pengetahuan agar penyelesaian pekerjaan lebih rasional,
16
dan mengembangkan sikap agar tercipta kerja sama antar pekerja. Keahlian
atau kemampuan yang dimaksud dapat dijadikan tolak ukur bagi peserta
pelatihan sehingga dalam melakukan pekerjaannya, sejumlah keterampilan
yang telah diperoleh dari kegiatan pelatihan tersebut dapat
diimplementasikan. Dengan demikian, ketercapaian kinerja yang lebih baik
dapat diraih dan dapat membawa dampak positif bagi organisasi tempat
seseorang bekerja.
Selain itu, tujuan pelatihan menurut Mangkunegara (2001) meliputi:
1) Meningkatkan penghayatan jiwa dan ideologi, 2) Meningkatkan
produktivitas kerja, 3) Meningkatkan kualitas kerja, 4) Meningkatkan
ketetapan perencanaan sumber daya manusia, 5) Meningkatkan sikap
moral dan semangat kerja, 6) Meningkatkan rangsangan agar pegawai
mampu berprestasi secara maksimal, 7) Meningkatkan kesehatan dan
keselamatan kerja, 8) Menghindarkan keusangan, 9) Meningkatkan
perkembangan pegawai.
Dalam pelatihan, langkah-langkah kegiatan yang dilakukan tidak
hanya berfokus pada satu hal yang ingin dicapai, namun juga pada aspek-
aspek tertentu yang mempengaruhinya. Misalnya, pelatihan yang bertujuan
untuk meningkatkan kompetensi profesional guru BK akan menyertakan
langkah-langkah agar guru BK memahami konsep dan praksis dalam
bimbingan dan konseling. Dalam pelatihan juga, guru dilatih untuk
menerapkan keterampilan yang dimiliki agar pekerjaannya lebih produktif,
sehingga sikap dan semangat kerja guru juga dapat menghantarkan mereka
pada suatu prestasi yang maksimal.
17
Sejalan dengan Mangkunegara, Meldona dan Siswanto (2012)
berpendapat bahwa tujuan pelatihan dirumuskan ke dalam enam bidang,
antara lain:
1) Memperbaiki kinerja, difokuskan pada karyawan yang keterampilannya
masih rendah dan juga bertujuan untuk meminimalkan masalah yang muncul,
2) Memutakhirkan keahlian karyawan sesuai dengan kemajuan teknologi,
sehingga karyawan tanggap terhadap perubahan teknologi dan mampu
menggunakan teknologi secara efektif, 3) Mengurangi waktu belajar bagi
karyawan baru agar berkompeten dalam pekerjaannya, 4) Membantu
memecahkan masalah operasional, seperti konflik antar pribadi, standar dan
kebijakan yang belum jelas, penundaan jadwal, kekurangan persediaan,
tingkat ketidakhadiran dan perputaran karyawan yang tinggi, 5) Memenuhi
kebutuhan perkembangan pribadi dan 6) Mempersiapkan karyawan untuk
promosi.
Berdasarkan beberapa tujuan di atas, dalam hal peningkatan
kemampuan guru, tujuan untuk memperbaiki kinerja dapat menjadi fokus
utama dalam kegiatan pelatihan. Hal ini tentu menjadi dasar dari
perencanaan kegiatan tersebut sehingga apa yang dipersiapkan akan
mencerminkan tujuan dari pelatihan itu sendiri, yaitu membantu dan
mengembangkan kompetensi seseorang untuk mencapai kinerja yang lebih
baik dibidangnya.
2.1.3 Jenis-jenis Pelatihan
Pelatihan merupakan kegiatan pembelajaran jangka pendek yang
dilaksanakan untuk mencapai suatu tujuan bersama. Pelatihan itu sendiri
digolongkan dalam beberapa jenis yang disesuaikan dengan kebutuhannya.
Menurut Simamora (2006:278) jenis pelatihan terdiri atas lima jenis, yaitu
pelatihan keahlian, pelatihan ulang, pelatihan lintas fungsional, pelatihan tim
18
dan pelatihan kreatifitas. Setiap jenis pelatihan ini mempunyai ciri khasnya
masing-masing. Misalnya pada jenis pelatihan keahlian, terdapat identifikasi
kebutuhan dalam program dengan penilaian yang jeli sehingga benar-benar
sesuai dan menjawab kebutuhan peserta pelatihan. Sedangkan dalam
pelatihan kreatifitas, peserta akan dilatih untuk berkresi dengan idenya
secara rasional. Oleh karena itu, dalam merencanakan kegiatan pelatihan,
jenis pelatihan yang dipilih disesuaikan dengan kebutuhan peserta.
Selain itu, Robbins dan Coulter (2010) juga membedakan jenis
pelatihan menjadi dua, yaitu jenis pelatihan umum dan khusus. Jenis
pelatihan umum meliputi keterampilan komunikasi, program dan aplikasi
sistem komputer, layanan pelanggan, pengembangan eksekutif,
pengembangan dan keterampilan manajerial, pengembangan diri, penjualan,
keterampilan supervisi, dan pengetahuan dan keterampilan teknologi.
Sedangkan jenis pelatihan khusus meliputi keterampilan pekerjaan/hidup
dasar, kreativitas, pendidikan konsumen, tata kelola, kepemimpinan,
wawasan produk, kemampuan presentasi/berbicara di depan publik,
keamanan, etika, dan sebagainya. Dalam dua jenis pelatihan tersebut,
terdapat dua metode yang digunakan, yaitu on the job training dan off the
job training. On the job training adalah pelatihan pada karyawan dalam
mempelajari bidang pekerjaannya begitu pula sebaliknya dengan off the job
training. Ada beberapa bentuk pelatihan on the job training, yaitu couching
19
dan pelatihan magang. Sedangkan off the job training juga mempunyai
bentuk pelatihan seperti lecture, presentasi dengan video, vestibule training,
bermain peran, self-study, program pembelajaran, laboratorium training dan
action learning. Dari jenis pelatihan, metode yang digunakan dan bentuk
pelatihan yang dipakai harus dapat disesuaikan dengan kebutuhan peserta.
Dalam hal peningkatan kemampuan guru dalam menyusun program, jenis
pelatihan umum dengan metode yang dapat dipakai adalah off the job
training dalam bentuk pelatihan lecture dan action learning.
2.1.4 Langkah-langkah Pelatihan
Dalam melaksanakan kegiatan pelatihan, terdapat langkah-langkah
yang menjadi acuan sebelum pelatihan itu dilakukan. Mangkunegara (2003)
mengemukakan langkah-langkah pelatihan terdiri dari empat langkah, yaitu
penilaian kebutuhan pelatihan, perumusan tujuan pelatihan, prinsip-prinsip
pelatihan dan merancang serta menyeleksi prosedur pelatihan. Penilaian
kebutuhan pelatihan mencakup penilaian kebutuhan perusahaan, tugas dan
karyawan. Input, output, outcome dan impact disertakan dalam perumusan
tujuan pelatihan. Prinsip-prinsip pelatihan meliputi partisipasi, pendalaman,
relevansi, pengalihan, umpan balik, suasana nyaman, dan memiliki kriteria.
Sedangkan dalam merancang dan menyeleksi prosedur pelatihan, meliputi
pelatihan instruksi pekerjaan, perputaran pekerjaan magang dan pelatihan,
kuliah dan presentasi, permainan peran dan pemodelan perilaku, studi kasus,
20
simulasi, studi mandiri dan pembelajaran program, pelatihan laboratorium
dan pembelajaran aksi.
Sedangkan menurut Dessler (2004) langkah dalam proses pelatihan
antara lain analisis kebutuhan, merancang instruksi, validasi, menerapkan
program dan evaluasi. Dalam menganalisis kebutuhan, akan dilihat faktor
apa yang dibutuhkan oleh individu sehingga dalam menyusun program
pelatihan, kebutuhan individu sudah terorganisir dan pelaksanaan pelatihan
dapat memenuhi kebutuhannya. Dalam merancang instruksi, pelatih akan
memutuskan langkah-langkah yang tepat untuk menghasilkan peningkatan
kemampuan individu melalui pelatihan. Selain itu, menurut
Dwikurnaningsih (2014), langkah merancang instruksi termasuk
memutuskan, menyusun dan menghasilkan isi dari program pelatihan, yang
juga dilengkapi dengan buku kerja, latihan, pelatihan kerja langsung dan
pelatihan berbantuan komputer. Dalam melakukan validasi, pihak-pihak
yang berperan membuat sebuah program akan menindaklanjuti program
tersebut pada sebuah kelompok peserta. Setelah program dinyatakan
memenuhi kebutuhan, program akan diterapkan dan dilanjutkan dengan
tindakan pelatihan oleh pelatih. Pelatihan yang telah dilakukan
membutuhkan evaluasi untuk menilai keberhasilan dan kesesuaian pelatihan
dengan kebutuhan peserta.
21
Dengan demikian, dalam merencanakan kegiatan pelatihan, diawali
dengan menganalisis kebutuhan peserta. Setelah mengetahui seperti apa
kebutuhan peserta, dilanjutkan dengan merancang instruksi pelatihan,
termasuk menentukan jenis pelatihan yang tepat sehingga dapat merumuskan
program yang berisi pelaksanaan kegiatan. Dalam tahap validasi, rancangan
program kegiatan tersebut akan disesuaikan dengan tujuan kegiatan dan
dilaksanakan sesuai dengan hasil perbaikan dari tahap validasi. Setiap
pelaksanaan kegiatan diakhiri dengan evaluasi yang akan menentukan
rencana tindak lanjut dari program yang telah dijalankan.
2.1.5 Teori Manajemen Pelatihan
Dalam mengembangkan program pelatihan, dibutuhkan suatu proses
yang terstruktur, sehingga hal yang menjadi tujuan pelatihan dapat tercapai.
Proses terstruktur dalam program pelatihan atau manajemen pelatihan
tersebut dapat mencakup perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan,
hingga evaluasi. Menurut Terry (1977, dalam Dwikurnaningsih, 2014:20),
manajemen berarti suatu proses yang terdiri dari perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan, yang juga akan
menentukan pencapaian sasaran yang telah ditetapkan melalui pemanfaatan
sumber daya manusia. Manajemen juga dapat berarti sebuah kegiatan yang
mencakup perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan evaluasi, yang
dilakukan oleh seseorang bersama kelompok dengan menggunakan seluruh
22
sumber daya organisasi untk mencapai tujuan organisasi yang telah
ditetapkan (Dwikurnaningsih, 2014:21).
Pelatihan merupakan suatu proses pembelajaran yang mengarah
pada peningkatan keterampilan dan pengetahuan sehingga seseorang dapat
mencapai tujuan dengan lebih maksimal. Tentunya dalam pelatihan terdapat
langkah-langkah terstuktur yang ditetapkan agar pelaksanaan pelatihan dapat
mencapai sasaran. Pelatihan tersebut harus direncanakan dengan matang,
dan dilaksanakan sesuai dengan langkah yang telah ditetapkan serta
dijalankan oleh pihak-pihak yang telah diberikan tanggung jawab. Di
samping itu pelaksanaan pelatihan hendaknya dapat terus dipantau hingga
pada tahap akhir yaitu evaluasi.
2.1.6 Model Pengembangan Program
Menurut Marreli, Tondora & Hoge (2005), sebuah model harus
memiliki kriteria berikut: 1) Sederhana, 2) Dapat diaplikasikan, 3) Penting,
4) Dapat dikontrol, 5) Dapat diadaptasikan, dan 6) Dapat dikomunikasikan.
Sejalan dengan itu, Draganidis, Fotis, dan Mentzas (2006, dalam Haryati,
2012) menyimpulkan bahwa dalam menyusun sebuah model, perlu
diperhatikan agar model tersebut dapat diidentifikasi kerangka kuncinya,
terperinci setiap bagian bagian/tahapan dalam kerangkanya,
diseleksi/dimodifikasi bagian yang perlu diperbaiki, proses dalam model
yang terstruktur, dan ada revisi model. Dengan demikian, model dapat
23
dikatakan baik dan valid apabila lewat model tersebut, dapat dituangkan
maksud atau tujuan dari program yang dijalankan dengan memperhatikan
sistematika tiap tahapan pelaksanaan kegiatan dengan jelas, dapat dipahami
dan dilaksanakan dengan mudah.
Selain itu, Kauffman (2009) juga menyatakan bahwa model
dikatakan baik apabila model tersebut disusun secara deskriptif naratif,
menyertakan langkah-langkah pelaksanaannya serta tujuan khusus, dapat
digunakan untuk mengukur keberhasilan, dan model tersebut
merepresentasikan suatu sistem yang dijalankan. Dari ketiga pernyataan di
atas, dapat disimpulkan bahwa menyusun bahkan melaksanakan suatu model
perlu memperhatikan beberapa hal di mana model tersebut dapat memberi
gambaran tujuan dan langkah-langkah yang jelas sehingga apa yang ingin
dicapai melalui suatu sistem dapat terukur dan tersimpulkan.
Ada beberapa model pengembangan program yang digunakan untuk
pelatihan, diantaranya Model 4D Thiagarajan, Model ADDIE Dick & Carry,
Model 10 langkah Sugiyono, dan Model pengembangan Tyler. Model 4D
adalah salah satu model pengembangan yang dikembangkan oleh
Thiagarajan (1974), yang memiliki 4 tahapan, yaitu Define, Design,
Development, dan Dissemination. Model ini memiliki kesamaan dengan
Model ADDIE, yaitu model yang dikembangkan oleh Dick and Carry
(1996), di mana tahapan dalam model tersebut meliputi Analysis, Design,
24
Development, Implementation, dan Evaluation. Model pengembangan Tyler
lebih kepada menyusun kurikulum yang mencakup: a) Menentukan tujuan,
b) Menentukan pengalaman belajar, c) Mengorganisasi pengalaman belajar,
dan d) Evaluasi. Kelebihan model pengembangan Sugiyono dibanding
ketiga model lainnya adalah model ini mempunyai langkah yang lebih
sistematis dan jelas. Model ini juga dapat menghasilkan produk yang tingkat
keabsahannya jelas karena produk yang dihasilkan harus melewati beberapa
tahap ujicoba baik lewat ahli maupun lapangan.
Adapun prosedur pengembangan model program pelatihan menurut
Model Sugiyono (2013) ditunjukkan dengan langkah-langkah berikut:
1) Potensi dan Masalah
Untuk mengetahui potensi dan masalah yang ada pada program
sekolah dapat dilakukan dengan analisis terhadap data yang
terbaru. Dengan analisis tersebut, dapat diketahui hambatan dan
masalah yang ada selama pelaksanaan program di sekolah.
2) Pengumpulan Informasi
Dengan melihat potensi dan masalah dalam pelaksanaan program,
diperlukan informasi untuk mendukung strategi pemecahan
masalah yang ada. Pengumpulan informasi dapat dilakukan melalui
observasi, wawancara, studi dokumentasi.
25
3) Desain Produk
Setelah menganalisis informasi yang diperoleh, dilanjutkan dengan
menyusun model pengembangan program profesi yang bersifat
sementara atau hipotetik.
4) Validasi Desain
Dalam tahap ini, model pengembangan program akan dinilai
kesesuaiannya dengan tujuan untuk meningkatkan mutu
pendidikan. Beberapa ahli atau validator akan melakukan penilaian
dengan memberi masukan mengenai kekuatan dan kelemahan
model tersebut.
5) Perbaikan Desain
Jika ditemukan kelemahan, model pengembangan program tersebut
akan diperbaiki sehingga pada akhirnya akan menghasilkan
pengembangan program profesi yang layak untuk diterapkan di
sekolah sebagai salah satu usaha untuk meningkatkan mutu
sekolah.
6) Uji coba produk
Setelah dilakukan perbaikan, model pengembangan program
tersebut akan diuji coba pada kelompok terbatas yang telah
ditentukan untuk melihat penggunaannya dalam program profesi
guru BK.
26
7) Revisi produk
Pada tahap ini, hasil dari ujicoba produk yang telah dilakukan,
diperbaiki agar kekurangan yang masih ada dapat diminimalisir.
8) Ujicoba pemakaian
Setelah produk diperbaiki, dilakukan ujicoba yang lebih luas
dengan subjek yang lebih banyak, untuk mengetahui keefektifan
dari produk yang disusun.
9) Revisi produk
Langkah perbaikan ini dilakukan jika masih terdapat kekurangan
pada pemakaian produk yang lebih luas.
10) Pembuatan produk massal
Merupakan langkah terakhir dimana produk siap untuk diterapkan
pada instansi yang dituju.
2.2 Pengembangan Program BK
2.2.1 Pengertian Bimbingan dan Konseling
Bimbingan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari pendidikan dan
mempunyai tanggung jawab yang amat besar dalam mewujudkan manusia
Pancasila, baik dalam arti konseptual maupun operasional (Sukardi, 2008).
Pada Pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 29/90/27 menyatakan bahwa
bimbingan adalah bantuan yang diberikan kepada siswa dalam rangka upaya
27
menemukan pribadi, mengenal lingkungan, dan merencanakan masa depan.
Dapat diartikan bahwa bimbingan adalah suatu bantuan atau proses
pemberian bantuan kepada siswa untuk memahami berbagai aspek
kehidupannya. Dalam pasal 27 di atas, bimbingan yang dimaksud untuk
upaya menemukan pribadi berarti siswa dapat mengenal kekuatan dan
kelemahan dirinya serta menerima secara positif dan dinamis sebagai modal
pengembangan diri lebih lanjut. Sedangkan bimbingan yang dimaksud
dalam upaya mengenal lingkungan adalah siswa mengenal secara objektif
lingkungannya, baik lingkungan sosial dan lingkungan fisik dan menerima
kondisi lingkungan tersebut secara positif dan dinamis pula. Pengenalan
lingkungan ini meliputi lingkungan rumah, sekolah, masyarakat, alam
sekitar serta “lingkungan yang lebih luas” yang diharapkan dapat menunjang
proses penyesuaian diri siswa dengan lingkungan yang dimaksud dan dapat
memanfaatkannya untuk pengembangan diri yang berkelanjutan. Sedangkan
bimbingan untuk upaya merencanakan masa depan membantu siswa untu
mampu mempertimbangkan dan mengambil keputusan tentang masa
depannya, baik yang menyangkut bidang pendidikan, karier, budaya atau
keluarga maupun kemasyarakatan. Dengan kata lain, bimbingan adalah suatu
proses pemberian bantuan kepada individu yang dilakukan secara
berkelanjutan di mana pemberian bantuan tersebut dapat membantu individu
memahami dirinya sendiri, sehingga ia mampu mengarahkan dirinya dan
28
bertindak secara wajar, sesuai dengan tuntutan dan keadaan lingkungannya,
baik di lingkungan sekolah, hingga kehidupan pada umumnya. Pengertian
bimbingan lainnya adalah suatu proses pemberian bantuan yang terus-
menerus dan sistematis dari pembimbing kepada yang dibimbing agar
tercapai kemandirian dalam pemahaman diri dan perwujudan diri dalam
mencapai tingkat perkembangan, yang optimal dan penyesuaian diri dengan
lingkungannya (Sukardi, 2008).
Dari definisi bimbingan di atas, dapat disimpulkan bahwa bimbingan
adalah proses pemberian bantuan kepada seseorang atau sekelompok orang
secara terus-menerus dan sistematis oleh guru pembimbing agar individu
atau sekelompok individu menjadi pribadi yang mandiri. Kemandirian yang
menjadi tujuan usaha bimbingan tersebut mencakup lima fungsi pokok yang
harus dijalankan oleh seorang individu, yaitu: mengenal diri sendiri dan
lingkungannya sebagaimana adanya, menerima diri sendiri dan
lingkungannya secara positif dan dinamis, mengambil keputusan,
mengarahkan diri sendiri dan mewujudkan diri mandiri.
Kata konseling merupakan terjemahan dari kata “Counseling” yang
merupakan bagian dari bimbingan, baik sebagai layanan maupun sebagai
teknik. Konseling adalah inti dari alat yang paling penting dalam bimbingan.
Ini berarti bahwa konseling adalah suatu layanan yang koheren atau integral
dalam proses. Konseling juga dapat diartikan sebagai hubungan timbal balik
29
antara dua individu, di mana yang seorang (konselor) berusaha membantu
yang lain (konseli) untuk mencapai pengertian tentang dirinya sendiri
mengenai hal-hal yang berhubungan dengan masalah-masalah yang
dihadapinya di masa depan. Konseling juga dapat diartikan sebagai
pertemuan empat mata antara klien dan konselor yang berisi usaha yang
laras, unik dan humanis, yang dilakukan dalam suasana keahlian yang
didasarkan atas norma-norma yang berlaku (Sukardi, 2008). Dari beberapa
definisi mengenai konseling tersebut, dapat disimpulkan bahwa konseling
adalah suatu bentuk upaya bantuan yang dilakukan dengan empat mata atau
tatap muka antara konselor dan klien yang berisi usaha yang laras, unik,
humanis, yang dilakukan dalam suasana keahlian dan yang didasarkan atas
norma-norma yang berlaku, agar klien memperoleh konsep diri dan
kepercayaan diri sendiri dalam memperbaiki tingkah lakunya saat ini dan
masa depan.
2.2.2 Landasan Bimbingan dan Konseling
Dalam melaksanakan program layanan bimbingan dan konseling,
terdapat beberapa hal yang menjadi landasan dari pelaksanaannya. Winkell
(2009) menyatakan landasan pelaksanaan bimbingan dan konseling adalah
sebagai berikut:
a) Bimbingan selalu memperhatikan perkembangan siswa sebagai
individu yang mandiri dan mempunyai potensi untuk berkembang;
b) Bimbingan berkisar pada dunia subjektif individu; c) Bimbingan
dilaksanakan atas dasar kesepakatan dari dua pihak, pembimbing
dan individu yang dibimbing; d) Bimbingan berlandaskan
30
pengakuan akan martabat dan keluhuran individu yang dibimbing
sebagai manusia yang mempunyai hak asasi; e) Bimbingan adalah
suatu kegiatan yang bersifat ilmiah yang mengintegrasikan bidang-
bidang ilmu yang terkait dengan pemberian bantuan psikologis; f)
Pelayanan ditujukan kepada semua tanpa membatasi pada siswa
yang bermasalah saja; g) Bimbingan merupakan suatu proses, yaitu
berlangsung secara terus-menerus, berkesinambungan, berurutan,
dan mengikuti tahap-tahap perkembangan siswa.
Selain itu, landasan yang menjadi karakteristik dari pelaksanaan
kegiatan bimbingan dan konseling menurut Prayitno (1994:105) adalah:
a) Konseling selalu melibatkan dua pihak (konselor dan konseli) yang
saling berkomunikasi langsung dengan mencermati dan memahami
secara seksama isi pembicaraan dan bahasa tubuh; b) Model interaksi
terbatas pada dimensi verbal, yaitu pembicaraan konselor dan konseli,
di mana konseli menceritakan segala sesuatu yang dialaminya, dan
konselor mendengar dan menanggapi hal yang diutarakan konseli; c)
Interaksi antara kedua pihak berlangsung dalam waktu yang relatif
lama dan terfokus pada pencapaian tujuan; d) Konseling yang
bertujuan pada perubahan perilaku pada konseli yang lebih baik demi
terselesaikannya masalah yang dihadapi konseli; e) Proses yang
dinamis yang menjadi ciri khas konseling yang bertujuan membantu
konseli dalam mengembangkan dirinya, kemampuanya dan
keterampilannya demi selesainya masalah yang dialami; f) Konseling
didasari atas penerimaan konselor secara wajar tentang diri konseli,
yaitu atas dasar penghargaan dan harkat serta martabat konseli.
Dengan mengetahui landasan pelaksanaan program tersebut, sekolah
dapat meningkatkan efektifitas di setiap unsur manajemennya. Dalam
membuat perencanaan program, sekolah dapat mempertimbangkan hal-hal
yang akan dilaksanakan beserta pihak-pihak yang akan menanganinya.
Pengorganisasian program akan membantu dalam menjelaskan peran pihak
tertentu sesuai dengan mekanisme kerjanya. Pihak yang dimaksud adalah
konselor, pendidik, dan tenaga kependidikan yang bekerja sama untuk
melaksanakan program pendidikan dan peluang untuk mengembangkan
31
kompetensi profesionalnya (Gouleta, 2006). Sehingga dalam
pelaksanaannya, program dapat berjalan sesuai dengan aturan dan rencana
yang ditetapkan.
2.2.3 Prinsip Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling
Dalam organisasi BK, diperlukan prinsip-prinsip yang akan
menjamin kelancaran pelaksanaan layanan BK di sekolah. Menurut Gibson
& Mitchell (2010), prinsip-prinsip dalam bimbingan dan konseling yang
dapat membantu keefektifan layanan BK di sekolah sebagai berikut:
a) Program bimbingan dan konseling yang dirancang harus sesuai dengan
kebutuhan dan perkembangan siswa, karena perkembangan siswa yang
berkelanjutan; b) Kegiatan bimbingan dilihat sebagai proses berkelanjutan
dalam pendidikan formal siswa; c) Setiap personil konseling harus
berkompeten, profesional dan memiliki jiwa kepemimpinan; d) Kegiatan
dalam program bimbingan dan konseling harus terus dikembangkan agar
menjadi lebih efektif; e) Program bimbingan dan konseling yang disusun
harus mencerminkan keunikan setiap siswa, sehingga dalam penanganannya,
kebutuhan siswa dapat terpenuhi; f) Program bimbingan dan konseling harus
sejalan dengan program pendidikan di sekolah, karena keduanya sangat
berkaitan bagi perkembangan siswa; g) Konselor sekolah harus memahami
dan mendukung program konseling, mengetahui target dan nilai pencapaian;
h) Program konseling sekolah yang dirancang harus mengakui hak dan
kemampuan siswa, menghargai nilai dan kehormatan siswa, dan mengenali
keunikan siswa.
Melalui aspek-aspek landasan di atas, para konselor sekolah dapat
lebih mempertimbangkan hal-hal yang akan mendukung keefektifan
berjalannya program layanan bimbingan dan konseling tersebut.
Ahmadi (2015) juga menyatakan prinsip bimbingan dan konseling
terbagi atas tiga bagian, yaitu prinsip khusus yang harus diterapkan bagi
konselor, prinsip khusus bagi organisasi dan administrasi bimbingan, dan
32
prinsip yang harus diterapkan pada konseli. Adapun dalam prinsip khusus
konselor antara lain:
a) Konselor sekolah dipilih berdasarkan kualifikasi kepribadian, pendidikan,
pengalaman dan kemampuannya; b) Konselor harus mendapat kesempatan
untuk mengembangkan diri dan keahliannya melalui berbagai latihan
penataran; c) Konselor harus menggunakan berbagai informasi agar dapat
membantu konselinya, d) Konselor harus menghormati dan menjaga
kerahasiaan informasi tentang konseli; e) Konselor hendaknya menggunakan
berbagai jenis metode dan teknik yang tepat dalam menjalankan tugasnya; f)
Konselor harus memperhatikan dan menggunakan hasil penelitian mengenai
konseli untuk pengembangan kurikulum di sekolah.
Selain itu prinsip khusus yang hendaknya dapat diterapkan pada
organisasi dan administrasi sebagai berikut:
a) Bimbingan harus dilaksanakan secara berkesinambungan; b) Pelaksanaan
bimbingan harus disertakan dengan kartu pribadi konseli yang mencatat setiap
perkembangan konseli; c) Program bimbingan harus disusun dengan
kebutuhan sekolah; d) Pembagian waktu antar petugas harus diatur secara
baik; e) Bimbingan harus dilaksanakan dalam situasi individual dan kelompok
sesuai dengan masalah dan metode yang digunakan; f) Sekolah harus bekerja
sama dengan lembaga-lembaga diluar sekolah untuk tindakan referral; g)
Kepala sekolah memegang tanggung jawab tertinggi dalam pelaksanaan
bmbingan.
Prinsip bimbingan dan konseling lainnya yang juga penting
untuk diterapkan bagi konseli yaitu:
a) Semua siswa mempunyai hak untuk mendapatkan layanan bimbingan; b)
Adanya kriteria yang mengatur prioritas layanan terhadap masalah atau
keadaan diri siswa, c) Program bimbingan harus berpusat pada siswa yang
berdasarkan pada kebutuhan siswa, d) Layanan bimbingan harus dapat
memenuhi kebutuhan siswa; e) Tugas konselor hanya mengarahkan, konseli
yang akan mengambil keputusan akhir; f) Arahan yang diberikan pada konseli
diharapkan dapat membawa perubahan bagi keadaannya.
Dengan adanya prinsip-prinsip di atas, diharapkan dapat membantu
setiap elemen terkait dalam melaksanakan tugasnya agar dapat mencapai
keterlaksanaan layanan bimbingan dan konseling yang efektif. Dengan
memahami prinsip tersebut, pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam
33
layanan bimbingan konseling dapat mengetahui batas lingkup tugasnya
sehingga tidak ada kewajiban yang tumpang tindih atau masih terdapat
pihak yang kurang memaknai tugas dan kewajibannya.
2.2.4 Pengertian Program Bimbingan dan Konseling
Arikunto dan Abdul Jabar (2008) mendefinisikan program sebagai
satuan unit kegiatan dari implementasi kebijakan, yang berlangsung dalam
proses yang berkesinambungan dan melibatkan sekelompok orang. Bila
dikaitkan dengan bimbingan dan konseling maka program BK merupakan
proses usaha mengenai bimbingan dan konseling yang telah direncanakan
agar berjalan secara efektif dan efisien, khususnya untuk mengetahui
realisasi dari tujuan pendidikan.
Dalam Panduan Operasional Penyelenggaraan BK (2016), bimbingan
dan konseling adalah upaya yang sistematis, objektif, logis, dilaksanakan
terus-menerus, dan terprogram, yang dilakukan oleh konselor untuk
membantu konseli dalam mencapai kemandiriannya. Adapun upaya tersebut
dituangkan dalam suatu program bimbingan dan konseling sebagai suatu
kegiatan layanan dan kegiatan pendukung yang akan dilaksanakan pada
periode tertentu. Dalam program tersebut terdapat beberapa aspek kegiatan
yang ditujukan bagi konseli untuk memahami diri dan lingkungannya,
menerima dan mengarahkan diri, mengambil keputusan dan merealisasikan
diri dengan bertanggung jawab. Aspek kegiatan tersebut berkaitan dengan
34
aspek perkembangan siswa, yang meliputi perkembangan pribadi, sosial,
belajar dan karir siswa.
Dalam program bimbingan dan konseling, Fatur Rahman (2001) juga
menyatakan strategi pelayanan pada masing-masing komponen program
dijabarkan sebagai berikut:
1) Pelayanan dasar, suatu proses untuk membantu semua konseli,
khususnya siswa melalui kegiatan penyiapan pengalaan terstruktur
secara klasikal atau kelompok yang disajikan dengan sistematis untuk
pengembangan perilaku jangka panjang sesuai dengan tahap dan tugas
perkembangan siswa; 2) Pelayanan responsif, suatu proses membantu
siswa yang menghadapi kebutuhan dan masalah yang memerlukan
pertolongan dengan segera untuk menghindari gangguan dalam proses
mencapai tugas-tugas perkembangan; 3) Perencanaan Individual adalah
suatu proses untuk membantu siswa dalam merencanakan aktivitas atau
hal yang berkaitan dengan masa depannya sesuai dengan pemahaman
akan kekurangan dan kelebihan dirinya, serta peluang dan kesempatan
di lingkunganny.; 4) Dukungan sistem merupakan hal yang berada di
luar proses layanan konseling yang dilakukan secara langsung.
2.2.5 Langkah-langkah Pengembangan Program Bimbingan dan
Konseling
Program konseling sekolah yang komprehensif berisi tentang
konseling, konsultasi, koordinasi dan layanan penilaian yang diberikan
sebagai tanggapan atas identifikasi kebutuhan, tujuan dan sasaran yang
dilakukan di sekolah atau komunitas tertentu. Ketetapan dari konselor
sekolah berfokus pada masalah tertentu dan juga dalam memilih aktifitas
khusus yang dijalankan secara teratur. Program yang disusun dengan
35
serangkaian proses, meliputi langkah-langkah perencanaan,
pengorganisasian, implementasi, dan evaluasi.
Tahap perencanaan berisi tentang langkah kerja atau prosedur serta
ketetapan yang membantu konselor mengevaluasi tujuan umum sekolah,
penilaian siswa, orang tua dan kebutuhan guru, serta memilih tujuan dan
sasaran yang tepat bagi program konselingnya. Proses perencanaan paling
nampak penerapannya saat masa tahun ajaran baru dimana penilaian akurat
tentang jumlah peserta didik baru dilakukan. Pada tahun ajaran baru,
ketetapan mengenai jarak wilayah, penyusunan struktur organisasi atau
formasi yang baru, dan hal lainnya dibuat oleh dinas pendidikan setempat
dan sekolah pada wilayah tersebut membuka peluang untuk pendaftaran
penerimaan siswa baru di tahun ajaran tersebut. Dengan mengetahui faktor-
faktor tersebut, memampukan sekolah untuk menilai kebutuhan sekolah dan
komunitas secara umum dan membuat keputusan yang sesuai mengenai
layanan pencegahan, pengembangan dan perbaikan. Perencanaan yang
biasanya dilakukan pada masa ajaran baru menjadi proses yang
berkelanjutan bagi konselor, guru dan layanan evaluasi administrasi.
Pengorganisasian merupakan bagian dari proses perencanaan dan
termasuk langkah pemilihan tujuan dan sasaran utama dan menentukan
pemberian layanan yang tepat sasaran. Penyusunan program juga
membutuhkan aktifitas dan ketetapan waktu dalam menjalankan aktifitas
36
yang dirancang. Tugas dan jadwal yang dibuat bertujuan untuk membantu
sekolah dalam mengidentifikasi siapa yang bertanggungjawab pada bidang
layanan tertentu dan kapan program tersebut dilaksanakan. Dengan struktur
organisasi yang memadai, tugas kerja konselor, guru, staf administrasi dan
pihak lainnya menjadi lebih jelas, serta dapat mengembangkan jadwal untuk
dilaksanakan sepanjang tahun tersebut. Pengorganisasian program ini juga
meliputi tenaga profesional yang bekerja sama dengan sekolah serta
menyusun tugas kerja atau peran tiap personil dalam program konseling
sekolah.
Implementasi atau penerapan program konseling ini merupakan
tahap dimana program yang dirancang dilaksanakan sesuai dengan waktu
yang ditetapkan. Semua pihak yang terlibat memberikan layanan sesuai
dengan rancangan program, seperti memberikan layanan konseling individu
maupun kelompok kecil, konsultasi orang tua dan guru, kelas dan bimbingan
kelompok kecil, pengujian atau tes, intervensi krisis, dan rujukan. Dalam
program konseling sekolah apabila konselor gagal melakukan perencanaan
dan pengorganisasian yang memadai, tahap implementasi mungkin menjadi
satu-satunya fase yang mudah diamati kekurangannya. Ada program yang
menggambarkan konselor yang sibuk melakukan kegiatan tetapi layanan
mereka tidak diatur atau disesuaikan untuk memenuhi kebutuhan utama
siswa, orang tua, dan guru di sekolah. Dalam kasus ini, konselor sibuk
37
"menyelesaikan pekerjaan", tetapi pekerjaan yang mereka identifikasi
bukanlah yang penting dalam membantu siswa mencapai tujuan pendidikan
mereka. Menerapkan program yang tidak memiliki sasaran dan tujuan yang
jelas ibarat mengemudikan pesawat tanpa rencana penerbangan. Pesawat
dengan semua instrumen bekerja, tetapi pilot tidak tahu ke mana pesawat itu
menuju atau mengapa ia menuju ke arah itu. Konselor sekolah yang berlayar
tanpa arah yang jelas cenderung menerapkan layanan yang secara tidak
teratur dan tidak efektif, mengesampingkan masalah dan kebutuhan nyata
siswa, orang tua, dan guru. Tanpa perencanaan dan pengorganisasian yang
memadai, tugas para konselor ini akan semakin berta. Sebaliknya, pemberian
layanan yang dinilai berhasil lebih mungkin terjadi ketika konselor
melengkapi rencana dan kegiatan mereka dengan evaluasi yang akurat.
Evaluasi terdiri dari prosedur yang memungkinkan konselor untuk
menentukan keberhasilan layanan mereka, mengidentifikasi kelemahan yang
nampak, dan merekomendasikan perubahan program untuk masa depan.
Fase program konseling sekolah yang komprehensif ini penting bagi
identitas dan kredibilitas konselor.
Selain itu, ada beberapa tahap atau langkah dalam pengembangan
program BK, antara lain:
Tahap 1: Diskusi, dimana tujuan fase ini adalah untuk mencapai tujuan dari
program konseling sekolah. Prinsip dasar ketika memulai perubahan adalah
38
bahwa alasan perubahan harus dikomunikasikan kepada semua pihak yang
terlibat. Pihak yang terlibat dalam proses merancang perubahan mencakup
orang-orang dari semua tingkatan, orang tua dan anggota masyarakat yang
diwakili, kelompok sosial, budaya, etnis dan komunitas bisnis. Ketika para
konselor mengidentifikasi nilai-nilai yang merupakan fondasi dari program,
kelompok harus menyusun sebuah misi singkat atau pernyataan visi untuk
program konseling yang konsisten dengan misi sekolah. Oleh karena itu,
pernyataan misi akan mencakup: siapa yang ditargetkan, apa yang harus
diselesaikan, dan apa hasil yang diharapkan serta pentingnya misi ini.
Tahap 2: Kesadaran, dimana tujuan fase ini adalah untuk mencapai
pemahaman bersama tentang apa yang perlu dilakukan. Menciptakan
kesadaran dan mengambil banyak langkah untuk mengembangkan
pemahaman penuh tentang siswa, keluarga mereka, dan kondisi sosial dan
ekonomi. Langkah lainnya termasuk meninjau dokumen dan standar yang
ada terkait dengan program konseling sekolah serta masyarakat, sekolah. dan
para siswa. Pertanyaan-pertanyaan yang menjadi acuan konselor dalam
langkah ini adalah: Siapa siswa kami? Apa kebutuhan mereka? Apa cara
terbaik untuk memenuhi kebutuhan ini? Informasi tentang pendidikan siswa
dan profil siswa, keberhasilan dan kegagalan akademik, serta jumlah dan
jenis rujukan disiplin yang dimiliki akan membantu dalam memahami
kebutuhan siswa.
39
Berdasarkan penelaahan yang cermat dan lengkap atas informasi
yang tersedia, konselor dapat memutuskan apakah akan melaksanakan survei
bagi siswa, orang tua, dan guru, atau mengambil sampel dari masing-masing
atau secara keseluruhan. Item jenis dan konten harus sesuai untuk subyek
yang diminta untuk merespon. Misalnya item untuk siswa kelas XI akan
dinyatakan berbeda dari yang diarahkan ke siswa kelas X.
Tahap 3: Rancangan
Dalam menyusun program untuk hasil analisis data dari siswa, orang
tua serta guru dan komunitas lainnya, terdapat suatu model yang digunakan
sebagai panduan. Gysbers dan Henderson (2002), menggambarkan
pengembangan karir adalah dasar dari model, dan tiga domain lainnya yang
ditekankan, yaitu pengetahuan dan keterampilan interpersonal; peran hidup,
pengaturan dan acara; dan perencanaan karir kehidupan.
- Pengetahuan dan keterampilan interpersonal. Siswa mengembangkan
kesadaran dan penerimaan diri mereka sendiri dan orang lain,
menggabungkan keterampilan pribadi untuk pemeliharaan kesehatan,
bertanggung jawab atas keputusan mereka, mengembangkan dan
mempertahankan hubungan yang efektif dan terlibat dengan orang lain.
- Peran hidup, aturan dan nilai. Siswa mengembangkan dan
menggabungkan praktik-praktik yang mengarah pada pembelajaran yang
40
efektif, kehidupan sehari-hari yang bertanggung jawab, dan tujuan dalam
hidup, pengenalan interaktif dari berbagai peran kehidupan.
- Perencanaan karier. Siswa memahami dan menggunakan proses
pengambilan keputusan dalam menentukan tujuan hidup mereka.
Ada dua model rancangan program, yaitu Model Program Bimbingan
Komprehensif dan Pengembangan Bimbingan dan Konseling oleh Myrick.
Model program bimbingan komprehensif menawarkan tiga elemen dan
empat komponen. Unsur-unsur termasuk isi program, kerangka kerja
organisasi dan sumber daya. Kerangka organisasi memiliki tiga komponen
struktural (definisi, asumsi, dan rasional) dan empat komponen program
(kurikulum bimbingan, perencanaan individu, layanan responsif, dan
dukungan sistem). Program konseling, menurut model ini, memiliki
komponen yang menggabungkan kegiatan dan peran serta tanggung jawab
semua yang terlibat dalam program konseling.
Pengembangan Bimbingan dan Konseling oleh Myrick. Program ini
mencakup prosedur dan rekomendasi khusus, seperti enam intervensi
konselor dasar untuk program konseling: konseling individual (4 hingga 6
kasus), konseling kelompok kecil (4 hingga 6 kelompok, terlihat dua kali
seminggu), bimbingan kelompok besar (2 ke 4 ruang kelas, sekali atau dua
kali seminggu), pelatihan fasilitator sebaya (1 hingga 2 jam seminggu),
41
konsultasi dengan guru dan orang tua (1 jam sehari), dan koordinasi kegiatan
bimbingan.
Tahap 4: Implementasi
Untuk menyelesaikan rencana implementasi, konselor dapat
melanjutkan dengan menetapkan dan memprioritaskan tujuan, menetapkan
tanggung jawab, dan menjadwalkan layanan. Prioritas tersebut dapat terjadi
sesuai dengan tingkat intervensi di mana kebutuhan akan berdasarkan krisis,
remedial, pencegahan, dan / atau pengembangan. Kelompok perencanaan
juga akan mempertimbangkan masalah manajemen waktu, ruang lingkup
dan kebutuhan program instruksional sekolah yang segera.
Tahap 5: Evaluasi
Tujuan dari evaluasi ini adalah untuk menentukan sejauh mana
tujuan program tercapai dan memberikan informasi yang akan mengarah
pada perbaikan program. Tujuan yang tidak diartikulasikan secara jelas
dalam hal yang terukur dan teramati sulit untuk dipantau. Evaluasi dapat
digunakan untuk menilai program konseling, untuk menentukan dampak
program pada siswa, guru, dan orang tua, untuk memantau penggunaan
waktu, dan untuk memberikan bukti penilaian program konseling.
Penyusunan program BK dapat dilakukan seorang konselor sekolah
dengan melibatkan tenaga ahli bimbingan lainnya. Program yang akan
dikembangkan harus sesuai dengan kebutuhan sekolah. Menurut Tohirin
42
(2008), langkah-langkah pengembangan program BK adalah dengan
menentukan karakteristik siswa lalu penyusun sebuah program. Dalam
penyusunan program terdapat identifikasi kebutuhan, penyusunan rencana
kerja, pelaksanaan kegiatan dan penilaian pendidikan. Penyusunan program
juga membutuhkan beberapa pertimbangan sebelum program itu
dilaksanakan (Slameto, 1998). Adapun pertimbangannya meliputi:
a) Penyusunan program yang relevan dengan kebutuhan bimbingan di
sekolah, b) Mempertimbangkan sifat khas sekolah yang mencakup jenis
sekolah, tujuan sekolah, guru maupun muridnya, c) Mengadakan inventarisasi
terhadap fasilitas yang ada, termasuk petugas bimbingan yang terlibat, d)
Menentukan program kerja yang rinci dan sistematis dalam program BK
berdasarkan masalah yang mendesak, e) Penentuan tugas yang merata dengan
mempertimbangkan minat, kesempatan, dan bakat yang dimiliki sekolah, f)
Menentukan organisasi termasuk kerja sama dalam mewujudkan program
bimbingan, g) Mengadakan evaluasi program bimbingan untuk mengetahui
sejauh mana rencana telah berjalan, dan h) Kegiatan diprogramkan.
Penyusunan program yang relevan dengan kebutuhan hendaknya
telah disesuaikan dengan karakteristik siswa. Konselor diharapkan dapat
menelusuri dan mengetahui karakteristik siswa dari berbagai aspek, yaitu
aspek fisik, kognitif, sosial, emosi, moral dan religius (Panduan Operasional
Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling SMA, 2016:12). Program yang
dirancang perlu disesuaikan juga dengan jenis sekolah yang bersangkutan.
Misalnya program yang disusun dalam sekolah kejuruan maka komponen
program yang dapat difokuskan adalah bimbingan karir sehingga siswa
dapat lebih fokus pada pemilihan dan perkembangan karirnya. Selain
menyusun isi program yang berupa kegiatan bimbingan, konselor juga perlu
mengadakan inventarisasi untuk pengadaan fasilitas yang mendukung
43
pelaksanaan kegiatan. Pengorganisasian dalam layanan tersebut hendaknya
jelas dan pihak yang terlibat dapat bertanggung jawab, karena hal ini juga
terkait dengan kerja sama sekolah dengan pihak luar yang juga ikut
membantu dalam kegiatan bimbingan dan konseling. Dengan demikian,
beberapa aspek yang telah dipertimbangkan tersebut dituangkan dalam suatu
rumusan kegiatan dan ditetapkan jadwal atau waktu pelaksanaannya.
Tindakan evaluasi juga hendaknya diterapkan agar konselor dapat terus
memantau dan meninjau kembali hal-hal apa saja yang perlu ditambahkan.
Menurut Gysbers dan Henderson (2006:136), dalam menyusun
program BK, guru BK hendaknya menentukan langkah awal dalam
membuat perencanaan program. Langkah-langkah tersebut meliputi
identifikasi kebutuhan siswa pada setiap tingkatannya termasuk kebutuhan
yang disarankan pada tiap tahap perkembangannya. Identifikasi kebutuhan
ini tidak hanya diperoleh dari siswa, namun juga pada semua pihak, seperti
lingkup keluarga, guru dan komunitas. Selain itu, dalam membuat program,
Gysbers dan Henderson menyatakan bahwa beberapa unsur seperti
kurikulum BK, perencanaan individual siswa, layanan responsif, dan
dukungan sistem harus disertakan. Sejalan dengan itu, Brown dan Trusty
(2005:125) menyatakan bahwa dalam menyusun program, dibutuhkan
klasifikasi kebutuhan individu berdasarkan kerucut kebutuhan Maslow, di
mana individu akan melakukan segala cara untuk memuaskan keinginannya.
44
Demikian juga dengan layanan BK yang menyesuaikan dengan keinginan
siswa untuk mencapai hal yang mereka inginkan. Apabila dalam identifikasi
kebutuhan didapati bahwa pilihan karir siswa lebih dominan dari bidang
layanan lain, maka guru BK dapat mempertimbangkan persentasi bidang
layanan karir dapat ditingkatkan untuk menjawab keinginan siswa yang
dominan.
Dalam menyusun program BK yang komprehensif juga
membutuhkan tahap-tahap yang matang dalam perencanaannya sehingga
menghasilkan program yang memiliki tujuan yang jelas. Dalam buku
Counseling Guidance, program BK harus berisi tindakan bimbingan,
konsultasi, koordinasi, dan layanan penilaian yang akan mengidentifikasi
tujuan dan kebutuhan sekolah maupun komunitas. Tahap perencanaan terdiri
dari langkah-langkah dan keputusan agar konselor dapat menilai kebutuhan
siswa, orang tua bahkan guru dan dapat menuangkannya dalam tujuan
program.
2.3 Kompetensi Guru BK
2.3.1 Pengertian Kompetensi
Kompetensi merupakan salah satu indikator yang penting dalam
menilai suatu kinerja guru. Secara harfiah, kompetensi dapat dikatakan
sebagai kemampuan. Menurut Sagala (2008), kompetensi adalah hasil
45
kombinasi dari pengetahuan, sikap dan keterampilan yang terwujud dalam
suatu perbuatan. Sejalan dengan itu, Kunandar (2007) juga menyatakan
bahwa kompetensi adalah perwujudan dari pengetahuan, keterampilan dan
nilai dasar pada kebiasaan berpikir atau bertindak. Dengan demikian,
definisi kompetensi adalah suatu penggabungan dari pengetahuan,
keterampilan, sikap dan nilai dasar dari suatu individu yang terwujud dalam
pemikiran dan tindakannya.
Dalam konteks pendidikan, kompetensi guru dan dosen juga di atur
dalam pendidikan. Kompetensi mengarah pada seperangkat pengetahuan,
keterampilan dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati dan dikuasai oleh
guru atau dosen menjalankan tugas-tugasnya yang juga berkaitan dengan
perilaku kognitif, afektif dan psikomotoriknya (Aqib, 2009). Dari definisi di
atas, kompetensi merupakan kemampuan yang harus dimiliki suatu individu
dalam menjalankan tugasnya.
2.3.2 Kompetensi Guru BK
Kompetensi setiap individu tentu berbeda satu dengan lainnya.
Demikian juga dengan kompetensi yang dimiliki guru BK. Ada beberapa
kompetensi yang harus dimiliki guru BK, yang juga membedakannya dari
kompetensi guru pada umumnya. Seperti yang tercantum dalam Standar
Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor (SKAKK) dalam
46
Permendiknas Nomor 27 Tahun 2008, kompetensi guru BK mencakup
kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan profesional.
Pada kompetensi pedagogik, guru harus mampu menguasai teori dan
praksis pendidikan, mengaplikasikan perkembangan fisiologis dan
psikologis serta perilaku konseli, dan menguasai esensi pelayanan
bimbingan dan konseling dalam jalur,jenis, dan jenjang satuan
pendidikan.Dalam kompetensi kepribadian, guru harus memiliki iman dan
takwa, menghargai dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, menunjukkan
integritas dan stabilitas kepribadian yang kuat dan menampilkan kinerja
berkualitas tinggi. Sedangkan dalam kompetensi sosial, guru harus mampu
mengimplementasikan kolaborasi intern di temapt kerja, berperan dalam
organisasi dan kegiatan profesi BK, mengimplementasikan kolaborasi
antarprofesi.
Dalam kompetensi profesional, guru harus menguasai konsep dan
praksis asesmen untuk memahami kondisi, kebutuhan dan masalah siswa,
menguasai kerangka teoritik dan praksis BK, merancang program BK,
mengimplementasikan program BK yang komprehensif, menilai proses dan
hasil kegiatan BK, memiliki kesadaran dan komitmen terhadap etika
profesional, dan menguasai konsep dan praksis penelitian dalam BK. Dalam
penelitian ini, yang menjadi fokus adalah kompetensi guru dalam merancang
program BK. Merancang program BK berarti guru harus menganalisis
47
kebutuhan konseli, menyusun program bimbingan dan konseling yang
berkelanjutan berdasar kebutuhan siswa secara komprehensif dengan
pendekatan perkembangan, menyusun rencana pelaksanaan
programbimbingan dan konseling, merencanakan sarana dan biaya
penyelenggaraan program bimbingan dan konseling. Dengan menguasai
kompetensi yang dimaksud, guru dapat mengoptimalkan layanan yang
diberikan kepada siswa. Layanan BK ini berpengaruh pada keadaan diri
siswa secara utuh karena melalui bantuan yang diberikan, siswa dapat
memahami dirinya sendiri dan lingkungannya, siswa dapat membuat
keputusan yang tepat untuk melanjutkan tahap perkembangannya, dan siswa
mampu menyelesaikan masalah yang dihadapinya (Slameto, 1998).
2.3.3 Kompetensi Guru dalam Pengembangan Program BK
Program BK adalah seperangkat kegiatan yang dirancang oleh guru
BK. Dengan adanya program, layanan BK dapat lebih terencana,
terorganisir, terkoordinasi dan terlaksana dengan baik. Melalui program juga
dapat diketahui konteks kontribusi penyelenggaraan pelayanan BK untuk
mencapai tujuan di sekolah. Guru BK harus mampu mengembangkan
program BK sehingga layanan yang diberikan dapat diperbaharui, tidak
hanya dari segi konselor yang akan mengidentifikasi kebutuhan siswa dan
melakukan penanganan masalah siswa yang beragam, namun juga bagi
48
siswa yang mendapat layanan karena kebutuhannya yang beragam dapat
dipenuhi dengan penanganan yang baik pula.
Selain itu, menurut Mugiarso (2009), guru perlu merancang dan
mengembangkan dua jenis program agar layanan BK dapat terlaksana secara
terus-menerus. Guru harus mampu menyusun program tahunan dan program
kegiatan layanan sesuai dengan pembagian tugas. Pada program tahunan
terdapat penjabaran alokasi waktu pada tiap semester, program bulanan, dan
program mingguan dalam bentuk matriks. Sedangkan untuk program
kegiatan layanan, guru mampu melakukan pembagian tugas layanan di
sekolah. Selain itu, guru juga perlu membuat program berupa satuan layanan
dan satuan kegiatan pendukung berdasarkan jadwal yang ditentukan.
Dalam mengembangkan program, guru BK diharapkan mampu untuk
merencanakan, mengorganisasikan, staffing, directing dan mengevaluasi
(Santoadi, 2010:13). Dalam merencanakan program BK, guru harus
mengetahui tujuan dari program tersebut dan menuangkannya dalam bentuk
kebijakan, prosedur, jadwal dan metode. Perencanaan program melibatkan
identifikasi kebutuhan, analisis kebutuhan, merumuskan alternatif, memilih
alternatif strategi pemecahan masalah dan strategi pengembangan. Selain itu,
dalam pengorganisasian, guru harus mampu mengelompokkan macam-
macam pelayanan yang juga akan melibatkan pihak antar jabatan di dalam
maupun di luar sekolah tersebut. Guru juga diharapkan mampu mengadakan
49
SDM yang tidak hanya berfokus pada jumlah, tetapi juga kualifikasi yang
sesuai dengan bidang kerja BK. Hal ini juga dipengaruhi oleh peran kepala
sekolah yang suportif untuk mengembangkan stafnya. Selain itu, dalam
pelaksanaan program, guru BK juga mampu mengkoordinasi dan
mengontrol semua pihak yang terlibat agar tercipta lingkup kerja yang
bersinergi dan kolaboratif.
2.4 Penelitian yang Relevan
Beberapa penelitian mengenai program pelatihan dalam bimbingan
dan konseling sudah pernah dilakukan sebelumnya. Heriyanti (2013), dalam
tulisannya yang berjudul “Program Pelatihan Bimbingan dan Konseling
Untuk Meningkatkan Kompetensi Profesional Konselor di Sekolah”,
menunjukkan bahwa program pelatihan BK dapat meningkatkan kompetensi
profesional guru BK atau konselor di sekolah. Dengan menggunakan
pendekatan kuantitatif dengan metode eksperimen, program pelatihan
tersebut dinilai dapat membantu guru dalam meningkatkan kompetensi
profesionalnya, yaitu 1) Menguasai konsep dan praksis asesmen untuk
memahami kondisi, kebutuhan dan masalah konseli, 2) Merancang program
BK, 3) Menilai proses dan hasil kegiatan BK, dan 4) Menguasai konsep dan
praksis penelitian dalam BK. Keempat kompetensi yang masih menjadi
masalah bagi guru tersebut menjadi dasar perumusan program pelatihan BK.
Perbedaannya dengan penelitian ini dengan yang akan dilakukan adalah
50
program pelatihan yang difokuskan pada salah satu aspek kompetensi
profesional, yaitu dalam merancang program BK. Penelitian yang telah
dilakukan ini menjadi bahan pertimbangan dalam melakukan penelitian
selanjutnya.
Penelitian relevan yang kedua adalah penelitian yang dilakukan oleh
Hastuti (2014) yang berjudul “IbM Guru Bimbingan dan Konseling: Upaya
Peningkatan Kompetensi Profesional” menunjukkan bahwa melalui
pelatihan dan workshop, guru dapat menganalisis masalah dan kebutuhan
siswa, menyusun instrumen nontes yang valid, menggunakan multimedia
sebagai bahan bimbingan dan mendesain kegiatan dalam bimbingan
kelompok. Pelatihan yang dilakukan difokuskan pada analisis masalah dan
kebutuhan siswa, sedangkan dalam workshop, lebih ditekankan pada
penyusunan instrumen nontes, penggunaan TIK dalam bimbingan, serta
pengembangan SPBK. Penelitian ini juga dapat digunakan sebagai referensi
dalam hal peningkatan kompetensi profesional guru dalam menyusun
maupun mengembangkan instrument dengan berbantuan multimedia. Teknik
analisis data dengan SWOT dalam penelitian ini menjadi referensi dalam
penulisan ini.
Penelitian relevan yang ketiga merupakan penelitian yang berjudul
“Training of School Counselors” oleh Kozlowski dan Huss (2013).
Penelitian tersebut didasarkan pada peran konselor sekolah yang berbeda
51
yang ditandai dengan kelebihan mereka dalam menganalisis kebutuhan
psikis siswa. Keunikan konselor tersebut antara lain menyesuaikan diri
dengan sistem pendidikan yang terus berganti, berhadapan dengan rasio
yang besar dalam pemberian layanan, berkontribusi dalam tahap selanjutnya
setelah kelulusan siswa, dan bekerja dengan banyak perbedaan kebutuhan
dari berbagai latar belakang siswa. Faktor-faktor inilah yang membuat
kebutuhan akan pelatihan bagi konselor sekolah diperlukan. Dalam pelatihan
ditunjukkan cara untuk mengintegrasikan program konseling ke dalam
sistem sekolah, sehingga beberapa kebutuhan konselor yang berbeda
tersebut dapat terpenuhi dan mampu mendorong mereka untuk mencapai
karir yang lebih produktif dan memuaskan. Oleh karena itu,pelatihan
tersebut berfokus pada bagaimana menggabungkan konsultasi dan
kolaborasi dalam proses rujukan berdasarkan faktor-faktor tersebut sehingga
program yang jalankan dapat mencapai tujuan yang ditetapkan.
Penelitian berikutnya yang juga menjadi relevan adalah penelitian
yang dilakukan oleh Lai-Yeung yang berjudul “The need for guidance and
counselling training for teachers”. Dalam penelitian tersebut, kebutuhan
akan pelatihan mengarah pada dua aspek penting, yaitu untuk meninjau
kembali pentingnya pelatihan BK bagi guru BK, dan menginvestigasi
kebutuhan akan pelatihan bagi guru BK dari perspektif siswa-siswa yang
ditangani. Hasil penelitian menunjukkan bahwa program pelatihan tersebut
52
mencakup latihan eksperimental, reflektif, dan diskusi di kelas untuk peserta
pelatihan untku memeriksa dan bekerja pada isu-isu kualitas pribadi dan
prasangka yang mereka anggap paling menghambat. Selain itu, hal penting
lainnya yang perlu dipertimbangkan adalah guru BK perlu mengidentifikasi
beberapa kekuatan pribadi dan sumber daya yang dirasa dimiliki mereka.
Hal ini tentu akan berpengaruh pada rancangan program pelatihan yang
nantinya akan memotivasi dan melibatkan peserta dalam pelatihan tersebut.
Beberapa penelitian diatas menunjukkan persamaan dan perbedaan
dengan penelitian ini. Penelitian yang dilakukan oleh Heriyanti (2013) dan
Hastuti (2014) memiliki persamaan dengan penelitian ini dalam hal
pelatihan yang diadakan untuk peningkatan kompetensi profesional guru.
Penelitian Kozlowski dan Huss (2013) juga berfokus pada pelatihan yang
dilaksanakan berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi peran konselor
dalam memberikan layanan pada siswa. Hal ini juga searah dengan
penelitian Heriyanti (2013) dan Hastuti (2014) mengenai kompetensi
profesional guru BK. Namun, dalam penelitian Kozlowski dan Huss (2013)
ini, pengembangan program BK melalui pelatihan ini dilakukan dengan
memodifikasi model pelatihan dalam bentuk konsultasi dan kolaborasi
dengan sistem sekolah yang dijalankan. Hal-hal mengenai peran konselor
yang berbeda dari guru lainnya dan penanganan kasus yang besar
berdasarkan rasio ini dikolaborasikan dengan peran guru yang bukan
53
konselor sehingga ada koordinasi dalam pemberian layanan. Selain itu,
penelitian ini juga menambah beberapa hal penting lainnya dalam
pengembangan program BK melalui pelatihan dengan adanya
pengembangan kemampuan kepemimpinan pada konselor, pengalaman pra-
layanan dan keterlibatan profesional konselor dengan firma atau lembaga
diluar sekolah. Hasil penelitian dan rekomendasi penelitian ini menjadi
bahan pertimbangan dalam penelitian ini. Selain itu, dalam penelitian Lai-
Yeung (2013) juga memiliki persamaan dengan penelitian ini dimana
pelatihan mempunyai andil dalam pengembangan kompetensi konselor
dalam mengembangkan program BK. Di samping itu, yang membedakan
penelitian ini dari penelitian lainnya adalah pengambilan sampel yang juga
melibatkan siswa yang pernah ditangani konselor sehingga data yang
diperoleh untuk mengetahui kompetensi konselor dan langkah rekomendasi
pengembangan program dapat dikatakan lebih valid.
2.5 Kerangka Berpikir
Melalui kerangka berpikir di bawah ini, penelitian diawali dengan
mengetahui kompetensi guru BK dan menyesuaikan dengan program BK
yang dilaksanakan di sekolah pada jangka waktu tertentu (program
tahunan/semesteran). Dari program BK yang dilaksanakan diketahui
implementasi program tersebut belum maksimal dan mencapai tujuan
layanan BK, baik secara prinsip maupun praktis, maka dari itu diperlukan
54
Prosedur penyusunan program oleh guru BK
belum efektif
Program BK belum sesuai
kebutuhan
Model manajemen pelatihan penyusunan
program BK
Pelatihan guru BK dengan off the job
training
Peningkatan kompetensi profesional dalam menyusun
program BK
Layanan BK sesuai dengan
kebutuhan siswa
sebuah langkah pelatihan untuk membantu guru BK dalam meminimalisir
kendala yang dihadapi. Pelatihan tersebut juga disiapkan dengan
mempertimbangkan langkah perencanaan yang berisi tujuan pelatihan,
pengorganisasian yang melibatkan kerja sama berbagai pihak, pelaksanaan
yang disesuaikan dengan tujuannya, hingga evaluasi untuk mengetahui
tingkat keberhasilan guru BK sebagai peserta dalam menyusun program BK
yang lebih efektif. Dari kegiatan pelatihan yang dilakukan, program BK
dapat dipersiapkan oleh guru BK dengan menyertakan empat fungsi
manajemen dan mencakup aspek-aspek dalam program BK itu sendiri.
Gambar 2.1. Kerangka berpikir dalam penelitian