bab ii metode pembiasaan dalam...
TRANSCRIPT
16
BAB II
METODE PEMBIASAAN DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM DI SEKOLAH
Pendidikan agama pada umumnya dan Pendidikan Agama Islam pada
khususnya, adalah sangat diperlukan dalam membentuk manusia-manusia
pembangunan yang berpancasila dan untuk membentuk manusia Indonesia yang
sehat baik jasmani maupun rohaninya. Pendidikan Agama Islam dicantumkan
dalam urutan nomor satu dari sembilan bidang studi yang harus diselesaikan
dalam perencanaan program pengajaran di sekolah dasar. Program studi
pendidikan agama merupakan program wajib yang mesti diikuti oleh setiap anak
didik pada sepanjang tahun selama bersekolah.
Dalam buku Educational Psychology dijelaskan bahwa:“Education is a
process of an activity which is directed at producing desirable change in the
behavior of human being”.1
Pendidikan adalah suatu aktivitas yang dilaksanakan untuk menghasilkan perubahan yang diinginkan dalam tingkah laku manusia.
Pengertian Pendidikan Agama Islam sendiri adalah usaha berupa
bimbingan dan asuhan terhadap anak didik atau murid agar kelak setelah selesai
pendidikannya dapat memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam
serta menjadikannaya way of life (jalan hidup). Guru agama sebagai pelaksana
utama dalam penyelenggaraan pendidikan agama akan senantiasa berhadapan
dengan anak didik yang memiliki perkembangan bakat, watak dan kemauan yang
bertumbuh secara individual. Ini berarti bahwa setiap anak harus menjadi pusat
perhatian dan semua kegiatan harus diarahkan kepada tercapainya tujuan
pendidikan agama.2
Dalam buku Education and Communication for Development dijelaskan
bahwa:
1 Frederick J. Mc. Donald, Educational Psychology, (San Francisco: Wadsworth
Publishing Company, Inc, 1984), hlm. 4 2 Abdur Rahman Saleh, Didaktik Pendidikan Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976),
hlm. 20.
16
17
Learning is a process which brings about change in one’s way of responding as a result of practices of other experience. Pembelajaran adalah proses yang membawa perubahan dari sebuah cara untuk menjawab sebuah hasil dari praktek-praktek pengalaman yang berbeda.3
A. Metode Pembiasaan
1. Pengertian Pembiasaan
Secara etimologi, pembiasaan asal katanya adalah "biasa". Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, "biasa" adalah 1) Lazim atau umum;
2) Seperti sedia kala; 3) Sudah merupakan hal yang tidak terpisahkan dari
kehidupan sehari-hari. Dengan adanya prefiks "fe" dan sufiks "an"
menunjukkan arti proses. Sehingga pembiasaan dapat diartikan dengan
proses membuat sesuatu / seseorang menjadi terbiasa.
Metode latihan atau yang sering disebut dengan nama-nama seperti
Metode Latihan Siap, Metode Pembiasaan, Metode Coaching, Metode
Drill merupakan suatu metode yang banyak dipergunakan guru baik di
dalam kelas maupun di luar kelas.
Metode latihan adalah suatu kegiatan melakukan hal yang sama,
berulang-ulang secara sungguh-sungguh dengan tujuan untuk memperkuat
suatu asosiasi atau menyempurnakan suatu ketrampilan, agar menjadi
bersifat permanen.
Ciri yang khas daripada metode ini adalah kegiatan yang berupa
pengulangan yang berkali dari suatu hal yang sama. Pengulangan ini
sengaja dilakukan berkali-kali supaya asosiasi antara stumulus dengan
suatu respon menjadi sangat kuat. Atau dengan kata lain, tidak mudah
dilupakan. Dengan demikian, terbentuklah pengetahuan siap atau
ketrampilan siap yang setiap saat siap untuk dipergunakan oleh yang
bersangkutan.
Dalam kaitannya dengan metode pengajaran dalam Pendidikan
Islam, dapat dikatakan bahwa pembiasaan adalah sebuah cara yang dapat
3 Op Dahama dan Op Batnabar, Education and Communication for Development, (New
Delhi: Oxford and IBH Publishing Co, 1980), hlm. 163
18
dilakukan untuk membiasakan anak didik berfikir, bersikap dan bertindak
sesuai dengan tuntutan ajaran Islam.
Oleh karena itu, sebagai awal dalam proses pendidikan,
pembiasaan merupakan cara yang sangat efektif dalam menanamkan nilai-
nilai moral ke dalam jiwa anak. Nilai-nilai yang tertanam dalam dirinya ini
kemudian akan termanifestasikan dalam kehidupannya semenjak ia mulai
melangkah ke usia remaja dan dewasa.4 Pentingnya penanaman
pembiasaan ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw sebagai berikut:
ل اهللا صلى اهللا عليه قال رسو: عن عمروبن شعيب، عن أبيه عن جده قالوسلم مروا أوالدكم بالصالة وهم أبناء سبع سنني واضرب بوهم عليها وهم
)رواه أبو داوود(أبناء عشر سنني، وفرقوا بينهم ىف املضاجع
Dari Umar bin Syuaib, dari bapaknya, dari kakeknya berkata Rasulullah saw bersabda: “Suruhlah anak-anak kalian untuk melaksanakan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun; dan pukullah mereka apabila meninggalkannya ketika mereka berumur sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka”. (HR. Abu Dawud).5
Dalam teori perkembangan anak didik, dikenal ada teori
konvergensi, di mana pribadi dapat dibentuk oleh lingkungannya dengan
mengembangkan potensi dasar yang ada padanya. Potensi dasar ini dapat
menjadi penentu tingkah laku (melalui proses). Oleh karena itu, potensi
dasar harus selalu diarahkan agar tujuan pendidikan dapat tercapai dengan
baik. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengembangkan potensi
dasar tersebut adalah melalui kebiasaan yang baik.
Menurut Burghardt, kebiasaan itu timbul karena proses penyusutan
kecenderungan respon dengan menggunakan stimulasi yang berulang-
ulang. Dalam proses belajar, pembiasaan juga meliputi pengurangan
perilaku yang tidak diperlukan. Karena proses penyusutan / pengurangan
4 Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press,
2002), hlm. 110. 5 Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Sunan Abi Dawud, Juz I (Indonesia: Maktabah
Dahlan, tt), hlm. 133.
19
inilah, muncul suatu pola bertingkah laku baru yang relatif menetap dan
otomatis.6
Oleh karena itu, pendekatan pembiasaan sesungguhnya sangat
efektif dalam menanamkan nilai-nilai positif ke dalam diri anak didik; baik
pada aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Selain itu pendekatan
pembiasaan juga dinilai sangat efisien dalam mengubah kebiasaan negatif
menjadi positif. Namun demikian pendekatan ini akan jauh dari
keberhasilan jika tidak diiringi dengan contoh tauladan yang baik dari si
pendidik.7
2. Dasar dan Tujuan Pembiasaan
1) Dasar Pembiasaan
Pembiasaan merupakan salah satu metode pendidikan yang
sangat penting, terutama bagi anak-anak. Mereka belum menginsafi
apa yang disebut baik dan buruk dalam arti susila. Mereka juga belum
mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus dikerjakan seperti pada
orang dewasa. Sehingga mereka perlu dibiasakan dengan tingkah laku,
keterampilan, kecakapan, dan pola pikir tertentu. Anak perlu
dibiasakan pada sesuatu yang baik. Lalu mereka akan mengubah
seluruh sifat-sifat baik menjadi kebiasaan, sehingga jiwa dapat
menunaikan kebiasaan itu tanpa terlalu payah, tanpa kehilangan
banyak tenaga, dan tanpa menemukan banyak kesulitan.8
Seseorang yang telah mempunyai kebiasaan tertentu akan dapat
melaksanakannya dengan mudah dan senang hati. Bahkan, segala
sesuatu yang telah menjadi kebiasaan dalam usia muda sulit untuk
dirubah dan tetap berlangsung sampai hari tua. Untuk mengubahnya
seringkali diperlukan terapi dan pengendalian diri yang serius.
Atas dasar ini, para ahli pendidikan senantiasa mengingatkan
agar anak-anak segera dibiasakan dengan sesuatu yang diharapkan
6 Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hlm.118. 7Armai Arief, loc.cit.
8 Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 101.
20
menjadi kebiasaan yang baik sebelum terlanjur mempunyai kebiasaan
lain yang berlawanan dengannya.
Tindakan praktis mempunyai kedudukan penting dalam Islam.
Islam dengan segala penjelasan menuntut manusia untuk mengarahkan
tingkah laku, instink, bahkan hidupnya untuk merealisasi hukum-
hukum ilahi secara praktis. Praktik ini akan sulit terlaksana manakala
seseorang tidak terlatih dan terbiasa untuk melaksanakannya.
2) Tujuan Pembiasaan
Belajar kebiasaan adalah proses pembentukan kebiasaan-
kebiasaan baru atau perbaikan kebiasaan-kebiasaan yang telah ada.
Belajar kebiasaan, selain menggunakan perintah, suri tauladan dan
pengalaman khusus juga menggunakan hukuman dan ganjaran.
Tujuannya agar siswa memperoleh sikap-sikap dan kebiasaan-
kebiasaan perbuatan baru yang lebih tepat dan positif dalam arti selaras
dengan kebutuhan ruang dan waktu (kontekstual). Selain itu arti tepat
dan positif di atas ialah selaras dengan norma dan tata nilai moral yang
berlaku baik yang bersifat religius maupun tradisional dan kultural.9
3. Langkah Pembiasaan
Dalam menanamkan pembiasaan yang baik, Islam mempunyai
berbagai cara dan langkah, yaitu :
Islam menggunakan gerak hati yang hidup dan intuitif, yang secara
tiba-tiba membawa perasaan dari suatu situasi ke situasi yang lain dan dari
suatu perasaan ke perasaan yang lain. Lalu Islam tidak membiarkannya
menjadi dingin, tetapi langsung mengubahnya menjadi kebiasaan-
kebiasaan yang berkait-kait dengan waktu, tempat, dan orang-orang lain.10
Langkah-langkah pembiasaan yaitu pendidik hendaknya sesekali
memberikan motivasi dengan kata-kata yang baik dan sesekali dengan
petunjuk-petunjuk. Suatu saat dengan memberi peringatan dan pada saat
yang lain dengan kabar gembira. Kalau memang diperlukan, pendidik
9 Muhibbin Syah, op.cit., hlm. 123. 10 Salman Harun, Sistem Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1984), hlm. 367
21
boleh memberi sanksi jika ia melihat ada kemaslahatan bagi anak guna
meluruskan penyimpangan dan penyelewengannya.
Semua langkah tersebut memberikan arti positif dalam
membiasakan anak dengan keutamaan-keutamaan jiwa, akhlak mulia dan
tata cara sosial. Dari kebiasaan ini ia akan menjadi orang yang mulia,
berpikir masak dan bersifat istikomah.
Pendidik hendaknya membiasakan anak dengan teguh akidah dan
moral sehingga anak-anak pun akan terbiasa tumbuh berkembang dengan
akidah Islam yang mantap, dengan moral Al-Qur’an yang tinggi. Lebih
jauh mereka akan dapat memberikan keteladanan yang baik, perbuatan
yang mulia dan sifat-sifat terpuji kepada orang lain.11
4. Faktor Pembiasaan
Faktor terpenting dalam pembentukan kebiasaan adalah
pengulangan, sebagai contoh seorang anak melihat sesuatu yang terjadi di
hadapannya, maka ia akan meniru dan kemudian mengulang-ulang
kebiasaan tersebut yang pada akhirnya akan menjadi kebiasan. Melihat hal
tersebut faktor pembiasaan memegang peranan penting dalam
mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan anak untuk menanamkan
agama yang lurus.12
Pembiasaan merupakan proses pembelajaran yang dilakukan oleh
orang tua atau pendidik kepada anak. Hal tersebut agar anak mampu untuk
membiasakan diri pada perbuatan-perbuatan yang baik dan dianjurkan
baik oleh norma agama maupun hukum yang berlaku. Kebiasaan adalah
reaksi otomatis dari tingkah laku terhadap situasi yang diperoleh dan
dimanifestasikan secara konsisten sebagai hasil dari pengulangan terhadap
tingkah laku tersebut menjadi mapan dan relatif otomatis.
Supaya pembiasaan itu dapat lekas tercapai dan baik hasilnya,
harus memenuhi beberapa syarat tertentu, antara lain:
11Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak Menurut Islam, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1992), hlm. 64. 12 Armai Arief, op.cit., hlm. 665.
22
1) Mulailah pembiasaan itu sebelum terlambat, jadi sebelum anak itu mempunyai kebiasaan lain yang berlawanan dengan hal-hal yang akan dibiasakan.
2) Pembiasaan itu hendaklah terus menerus (berulang-ulang) dijalankan secara teratur sehingga akhirnya menjadi suatu kebiasaan yang otomatis. Untuk itu dibutuhkan pengawasan.
3) Pembiasaan itu hendaklah konsekuen, bersikap tegas dan tetap teguh terhadap pendirian yang telah diambilnya. Jangan memberi kesempatan kepada anak untuk melanggar kebiasaan yang telah ditetapkan.
4) Pembiasaan yang mula-mulanya mekanistis itu harus makin menjadi pembiasaan yang disertai hati anak itu sendiri.13
Pendidikan agama melalui kebiasaan ini dapat dilakukan dalam
berbagai materi, misalnya:
1) Akhlak, berupa pembiasaan bertingkah laku yang baik, baik di sekolah
maupun di luar sekolah seperti: berbicara sopan santun, berpakaian
bersih.
2) Ibadat, berupa pembiasaan shalat berjamaah di mushala sekolah,
mengucapkan salam sewaktu masuk kelas, membaca "Basmallah" dan
"Hamdallah" tatkala memulai dan menyudahi pelajaran.
3) Keimanan, berupa pembiasaan agar anak beriman dengan sepenuh
jiwa dan hatinya, dengan membawa anak-anak memperhatikan alam
semesta, memikirkan dan merenungkan ciptaan langit dan bumi
dengan berpindah secara bertahap dari alam natural ke alam
supernatural.
4) Sejarah, berupa pembiasaan agar anak membaca dan mendengarkan
sejarah kehidupan Rasulullah SAW, para sahabat dan para pembesar
dan mujahid Islam, agar anak-anak mempunyai semangat jihad, dan
mengikuti perjuangan mereka.14
Pembentukan kebiasaan-kebiasaan tersebut terbentuk melalui
pengulangan dan memperoleh bentuknya yang tetap apabila disertai
dengan kepuasan. Menanamkan kebiasaan itu sulit dan kadang-kadang
13 M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2002), hlm. 178. 14 Ramayulis, op.cit., hlm. 185.
23
memerlukan waktu yang lama. Kesulitan itu disebabkan pada mulanya
seseorang atau anak belum mengenal secara praktis sesuatu yang hendak
dibiasakannya. Apalagi kalau yang dibiasakan itu dirasakan kurang
menyenangkan. Oleh sebab itu dalam menanamkan kebiasaan diperlukan
pengawasan. Pengawasan hendaknya digunakan, meskipun secara
berangsur-angsur peserta didik diberi kebebasan. Dengan perkataan lain,
pengawasan dilakukan dengan mengingat usia peserta didik, serta perlu
ada keseimbangan antara pengawasan dan kebebasan.15
Pembiasaan hendaknya disertai dengan usaha membangkitkan
kesadaran atau pengertian terus menerus akan maksud dari tingkah laku
yang dibiasakan. Sebab, pembiasaan digunakan bukan untuk memaksa
peserta didik agar melakukan sesuatu secara otomatis, melainkan agar ia
dapat melaksanakan segala kebaikan dengan mudah tanpa merasa susah
atau berat hati.
Atas dasar itulah, pembiasaan yang pada awalnya bersifat
mekanistis hendaknya diusahakan agar menjadi kebiasaan yang disertai
kesadaran (kehendak dan kata hati) peserta didik sendiri. Hal ini sangat
mungkin apabila pembiasaan secara berangsur-angsur disertai dengan
penjelasan-penjelasan dan nasihat-nasihat, sehingga makin lama timbul
pengertian dari peserta didik.16
Pembiasaan merupakan metode pendidikan yang jitu dan tidak
hanya mengenai yang batiniah, tetapi juga lahiriah. Kadang-kadang ada
kritik terhadap pendidikan dengan pembiasaan karena cara ini tidak
mendidik siswa untuk menyadari dengan analisis apa yang dilakukannya.
Kelakuannya berlaku secara otomatis tanpa ia mengetahui baik buruknya.
Sekalipun demikian, tetap saja metode pembiasaan sangat baik digunakan
karena kita biasakan biasanya adalah benar. Ini perlu disadari oleh guru
sebab perilaku guru yang berulang-ulang, sekalipun hanya dilakukan
secara main-main akan mempengaruhi anak didik untuk membiasakan
15 Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 189. 16 Ibid., hlm. 191.
24
perilaku itu. Karena pembiasaan berintikan pengulangan, maka metode
pembiasaan juga berguna untuk menguatkan hafalan.17
Beberapa petunjuk dalam menanamkan kebiasaan:
1. Kebiasaan jelek yang sudah terlanjur dimiliki anak, wajib sedikit demi sedikit dilenyapkan dan diganti dengan kebiasaan yang baik.
2. Sambil menanamkan kebiasaan, pendidik terkadang secara sederhana menerangkan motifnya, sesuai dengan tingkatan perkembangan anak didik.
3. Sebelum dapat menerima dan mengerti motif perbuatan, kebiasaan ditanamkan secara latihan terus menerus disertai pemberian penghargaan dan pembetulan.
4. Kebiasaan tetap hidup sehat, tentang adat istiadat yang baik, tentang kehidupan keagamaan yang pokok, wajib sejak kecil sudah mulai ditanamkan.
5. Pemberian motif selama pendidikan suatu kebiasaan, wajib disertai usaha menyentuh perasaan suka anak didik. Rasa suka ini wajib selalu meliputi sikap anak didik dalam melatih diri memiliki kebiasaan.18
5. Kekurangan dan kelebihan metode pembiasaan
a. Kelebihan
1) Pembentukan kebiasaan yang dilakukan dengan mempergunakan
metode ini akan menambah ketepatan dan kecepatan pelaksanaan.
2) Pemanfaatan kebiasaan-kebiasaan tidak memerlukan banyak
konsentrasi dalam pelaksanaannya.
3) Pembentukan kebiasaan membuat gerakan-gerakan yang
kompleks, rumit menjadi otomatis.
b. Kekurangan
1) Metode ini dapat menghambat bakat dan insiatif murid, karena
murid lebih banyak dibawa kepada konformitas dan diarahkan
kepada uniformitas.
2) Kadang-kadang latihan yang dilaksanakan secara berulang-ulang
merupakan hal yang monoton mudah membosankan.
17Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1994), hlm. 144. 18 Soejono, op.cit., hlm.
25
3) Membentuk kebiasaan yang kaku karena murid lebih banyak
ditujukan untuk mendapatkan kecakapan memberikan respon
secara otomatis, tanpa menggunakan intelegensinya.
4) Dapat menimbulkan verbalisme karena murid lebih banyak dilatih
menghafal soal-soal dan menjawabnya secara otomatis.19
5) Latihan yang terlampau berat dapat menimbulkan perasaan benci
dalam diri murid, baik terhadap mata pelajarannya maupun
terhadap dirinya.
6) Karena tujuan latihan adalah untuk mengokohkan asosiasi tertentu
maka murid akan terasa asing terhadap stimulus-stimulus baru.20
c. Cara mengatasi kelemahan
1) Latihan hanya untuk bahan atau tindakan yang bersifat otomatis.
2) Latihan harus memiliki arti yang luas karenanya harus dijelaskan
terlebih dahulu tujuan latihan tersebut agar murid dapat memahami
latihan bagi kehidupan siswa dan agar murid perlu mempunyai
sikap bahwa latihan itu diperlukan untuk melengkapi belajar
3) Masa latihan harus relatif singkat tetapi harus sering dilakukan
pada waktu-waktu tertentu.
4) Latihan harus menarik, gembira dan tidak membosankan, untuk itu
perlu dibandingkan minat intrinsik, tiap-tiap kemajuan yang
dicapai murid harus jelas, hasil latihan terbaik dengan
menggunakan sedikit emosi.
5) Proses latihan dan kebutuhan-kebutuhan harus disesuaikan dengan
proses perbedaan individual.21
6. Nilai Kebiasaan
1. Kebiasaan mengenalkan anak didik pada kaidah luhur dan keingkarannya.
2. Kebiasaan memupuk rasa suka kepada perbuatan yang luhur dan tidak menyukai perbuatan kebalikannya.
19 Syaiful Sagala, Konsep dan Makna Pembelajaran, (Bandung: Alfabeta, 2003), hlm.
217. 20 Jusuf Djayadisastra, op.cit., hlm. 66. 21 Syaiful Sagala, op.cit., hlm. 218.
26
3. Kebiasaan mempercepat pertengkaran motif sebelum terjadi pemilihan dan penentuan pilihan atas motif yang luhur.
4. Kebiasaan memperkuat kemauan anak didik untuk melaksanakan perbuatan yang telah dipilihnya.22
B. Pengertian PAI
Di dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional pasal 1 dijelaskan bahwa:
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalaian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.”23
Pengertian pendidikan bahkan lebih diperluas cakupannya sebagai
aktivitas dan fenomena. Pendidikan sebagai aktivitas, berarti upaya yang
secara sadar dirancang untuk membantu seseorang atau sekelompok orang
dalam mengembangkan pandangan hidup (bagaimana orang akan menjalani
dan memanfaatkan hidup dan kehidupannya), sikap hidup dan ketrampilan
hidup, baik yang bersifat manual (petunjuk praktis) maupun mental dan sosial.
Sedangkan pendidikan sebagai fenomena adalah peristiwa perjumpaan antara
dua orang atau lebih yang dampaknya ialah berkembangnya suatu pandangan
hidup pada salah satu atau beberapa pihak.24
Sedangkan dalam Buku Pedoman PAI di Sekolah Umum dijelaskan
bahwa “Pendidikan Agama Islam (PAI) merupakan usaha sadar dan terencana
untuk menyiapkan siswa dalam meyakini, memahami, menghayati dan
mengamalkan ajaran Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau
latihan”.
PAI yang hakikatnya merupakan sebuah proses itu, dalam
perkembangannya juga dimaksudkan sebagai rumpun mata pelajaran yang
22 Soejono, op.cit., hlm. 159. 23 Tim Redaksi Fokus Media, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Nomor 20
tahun 2003), (Bandung: Fokus Media, 2003), hlm. 3. 24 Muhaimin, et.al, Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001),
hlm. 37.
27
diajarkan di sekolah maupun di perguruan tinggi. Jadi berbicara tentang PAI
maka dapat dimaknai dalam dua pengertian; sebagai sebuah proses penanaman
ajaran agama Islam, maupun sebagai bahan kajian yang menjadi materi proses
itu sendiri. 25
C. Dasar Pendidikan Agama Islam
Dasar adalah landasan untuk berdirinya sesuatu. Fungsi dasar ialah
memberikan arah kapada tujuan yang yang akan dicapai dan sekaligus sebagai
landasan untuk berdirinya sesuatu. Setiap negara mempunyai dasar
pendidikannya sendiri. Ia merupakan pencerminan dari falsafah hidup suatu
bangsa. Berdasarkan pada dasar itulah pendidikan suatu bangsa disusun. Dan
oleh karena itu maka sistem pendidikan setiap bangsa itu berbeda karena
mereka mempunyai falsafah hidup yang berbeda.26
Pengertian dasar pendidikan yaitu pandangan yang mendasari seluruh
aktifitas pendidikan. Dasar Pendidikan Agama Islam berarti sesuatu yang
dijadikan bahan pijakan dan sumber ajaran untuk berdiri tegak Pendidikan
Agama Islam. Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam mempunyai dasar yang
kuat, baik secara yuridis, religius maupun sosial psikologi.
1. Dasar Yuridis
Yaitu dasar-dasar pelaksanaan Pendidikan Agama Islam yang
berasal dari peraturan perundangan di Indonesia yang secara langsung
dapat dapat dijadikan pegangan dalam pelaksanaan pendidikan agama.
Dasar yuridis ini meliputi:
a. Dasar Idiil
Yaitu falsafah negara Pancasila, yang pada sila ke satu
berbunyi: “Ketuhanan Yang Maha Esa” memberi pengertian bahwa
seluruh elemen bangsa Indonesia harus percaya kepada Tuhan Yang
Maha Esa, dengan kata lain harus beragama. 27 Dalam ketetapan MPR
25 Abdul Aziz, Pedoman Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum, (Jakarta:
Departemen Agama, 2004), hlm. 2. 26 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), hlm. 12. 27 Ibid., hlm. 19.
28
No.II/MPR/1978 tentang P4 (Eka Prasetya Pancakarsa) disebut:
“Bahwa dengan sila ketuhanan Yang Maha Esa bangsa Indonesia
menyatakan kepercayaan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut
dasar kemenusiaan yang adil dan beradab.”
Untuk mendidik menjadikan manusia yang bertaqwa kepada
Tuhan yang Maha Esa diperlukan adanya pendidikan agama yang
dilaksanakan dalam lembaga pendidikan formal, non formal dan in
formal. Dalam pendidikan sekolah telah terlihat usaha positif yang
dilakukan pemerintah dengan menjadikan bidang studi “pendidikan
agama” menjadi mata pelajaran wajib disekolah-sekolah mulai tingkat
sekolah dasar sampai ke perguruan tinggi baik negeri maupun
swasta.28
b. Dasar Struktural
Dasar struktural adalah UUD 1945; dalam Bab XI pasal 29 ayat
1 dan 2 berbunyi :
(1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agama masing-masing dan beribadah menurut agama dan
kepercayaannya itu.
Bunyi dari pada Undang-Undang di atas mengandung
pengertian bahwa bangsa Indonesia harus beragama. Dalam arti orang-
orang atheis dilarang hidup di negara Indonesia.
Disamping itu negara melindungi umat beragama untuk
menunaikan ajaran agamanya dan beribadah menurut agamanya
masing-masing, karena itu agar umat beragama tersebut dapat
menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran masing-masing memerlukan
adanya pendidikan agama.
28 Zuhairini, et.al, Metodologi Pendidikan Agama, ( Solo : Ramadhani,1993), hlm.18.
29
c. Dasar Operasional
Dasar operasional adalah dasar yang mengatur secara langsung
pelaksanaan pendidikan agama di sekolah-sekolah. Dikukuhkan dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 tentang
sistem pendidikan nasional seperti berikut: pendidikan nasional
berdasarkan pancasila dan undang-undang dasar 1945. Dalam rumusan
itu lebih ditegaskan antara lain bahwa tujuan pendidikan nasional
adalah untuk meningkatkan kualitas manusia yaitu manusia yang
beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dengan
sendirinya bidang studi pendidikan agama haruslah menyatu dalam
seperangkat kurikulum dalam setiap jenjang pendidikan, apakah itu
perguruan tinggi negeri maupun swasta.29
Kemudian dipertegas lagi dengan memberlakukan undang-
undang baru yang terangkum dalam UUSPN No. 20 Tahun 2003
tentang sisitem pendidikan nasional yang diwujudkan dalam bentuk
kurikulum berbasis kompetensi (KBK).
2. Dasar Religius
Yang dimaksud dasar religius adalah dasar yang bersumber dari
ajaran Islam yang tertera dalam Al-Qur’an dan Al Hadits. Menurut ajaran
agama Islam, bahwa melaksanakan pendidikan agama adalah merupakan
perintah dari Allah SWT dan merupakan perwujudan ibadah kepada
Nya30.
Selain itu agama juga berarti fitrah yang mengandung makna
secara keagamaan adalah agama tauhid atau mengesakan Tuhan. Bahwa
manusia sejak lahirnya telah memiliki agama bawaan secara alamiah, yaitu
agama tauhid dan manusia juga sangat membutuhkan agama sejak mereka
lahir.31
29 Ramayulis, op.cit., hlm. 20. 30 Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi,
konsep dan Implementasi kurikulum 2004,(Bandung : remaja Rosda Karya, 2004) hlm. 133. 31 Baharuddin, Paradigma Psikologi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm.
148.
30
Seperti disebutkan dalam Al-Qur’an surat Ar Ruum ayat 30 :
ى فطر الناس عليها ال تبديل لخلق اهللا لتقم وجهك للدين حنيفا فطرت اهللا اأف .ذلك الذين القيم ولكن أكثر الناس ال يعلمون
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahn pada fitrah Allah. (Itulah ) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”32
Dalam ayat itu secara harfiah dijelaskan bahwa manusia diciptakan
dengan acuan fitrah Allah, yaitu agama yang lurus.33
Dalam hadits disebutkan:
ما من مولود اال يولد . م.ال رسول اهللا صق: نه كان يقول اةير أىب هرعن ) .رواه مسلم(على الفطرة فأبواه يهودانه، ينصرانه، او ميجسانه
Dari Abu Hurairah, sesungguhnya ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda tidaklah anak itu dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah, kedua orang tuanyalah yang mempengaruhi anak itu menjadi Yahudi, Nasrani, dan Majusi (HR. Muslim).34
3. Dasar Sosio Psikologis
Indonesia adalah sebuah negara besar yang memiliki penduduk
ratusan juta jiwa. Indonesia juga adalah Negara yang mayoritas
penduduknya memeluk agama Islam. Menurut sebuah perhitungan
manusia, muslim Indonesia adalah jumlah pemeluk agama Islam terbesar
di dunia. Jika dibandingkan dengan negara-negara muslim lainnya,maka
penduduk muslim Indonesia dari segi jumlah tidak ada yang menandingi.
Jumlah yang besar tersebut sebenarnya merupakan sumber daya manusia
dan kekuatan yang sangat besar, bila mampu dioptimalkan peran dan
kualitasnya dalam peningkatan mutu Pendidikan Agama Islam baik di
32 R.H.A Soenarjo dkk, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/ Pentafsir Al-Qur’an, 1971), hlm. 645. 33 Baharuddin, op.cit., hlm.152. 34 Imam Abu Husein Muslim bin Hijaj Al-Qusyairy An-Naisabury, Shahih Muslim, Juz.
II, (Bandung-Indonesia, t.th), hlm. 458.
31
sekolah maupun di lingkungan luar sekolah, dalam hal ini termasuk
keluarga.35
Alasan di atas menjadi dasar sosial dari Pendidikan Agama Islam
yaitu dasar kejiwaan dan sosial manusia dalam membutuhkan pendidikan
Agama Islam. Manusia dalam hidupnya di dunia senantiasa membutuhkan
ajaran agama untuk pedoman hidup sehingga agama merupakan
standarisasi nilai-nilai sosial di masyarakat dan berfungsi memberikan
inspirasi perkembangan sosial kemasyarakatan. Untuk melestarikan ajaran
agama Islam, maka sangat perlu penyelenggaraan Pendidikan Agama
Islam.
Secara psikologis, agama sangat dibutuhkan secara individual
sehingga Pendidikan Agama Islam sangat urgen diperlukan untuk
memberikan bimbingan, arahan dan pengajaran bagi setiap muslim agar
dapat beribadah dan bermuamalah sesuai dengan ajaran Islam.
D. Tujuan Pendidikan Agama Islam
Mahmud Yunus dalam bukunya yang berjudul Metodik Khusus
Pendidikan Agama mengemukakan bahwa:
Tujuan pendidikan agama ialah mendidik anak-anak, pemuda-pemudi dan orang dewasa supaya menjadi seorang muslim sejati, beriman teguh, beramal sholeh dan berakhlak mulia, sehingga ia menjadi salah seorang anggota masyarakat yang sanggup hidup di atas kaki sendiri, mengabdi kepada Allah dan berbakti kepada bangsa dan tanah airnya, bahkan sesama umat manusia.36
Yang dimaksud tujuan pendidikan yaitu sasaran-sasaran yang akan
dicapai oleh pendidik setelah melalui proses Pendidikan Agama Islam,
sehingga selain berfungsi sebagai pemberi arah dan motivasi, tujuan juga
berfungsi sebagai ukuran untuk menilai berhasil tidaknya suatu proses
pendidikan tersebut.
35 Amin Abdullah dan Rahmat, Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi,
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2004), hlm. 58. 36 Mahmud Yunus, Metodik Khusus Pendidikan Agama, (Jakarta: Hidakarya Agung,
1983), hlm. 13.
32
Menurut Ibnu Sina sebagaimana yang dikutip oleh Abuddin Nata,
bahwa tujuan pendidikan harus diarahkan pada pengembangan seluruh potensi
yang dimiliki seseorang ke arah perkembangan yang sempurna, yaitu
perkembangan fisik, intelektual dan budi pekerti, selain itu tujuan pendidikan
menurut Ibnu Sina harus diarahkan pada upaya mempersiapkan seseorang agar
dapat hidup di masyarakat secara bersama-sama dengan melakukan pekerjaan
atau keahlian yang sesuai dengan bakat, kesiapan, kecenderungan dan potensi
yang dimilikinya.37
Pendidikan Agama Islam pada sekolah umum bertujuan meningkatkan
keimanan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan siswa terhadap ajaran
agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang bertakwa kepada Allah
SWT serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Tujuan Pendidikan Agama Islam ini mendukung
dan menjadi bagian dari tujuan pendidikan nasional sebagaimana diamanatkan
oleh pasal 3 Bab II Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Tujuan umum PAI ini terelaborasi untuk masing-masing
satuan pendidikan dan jenjangnya, dan kemudian dijabarkan menjadi
kompetensi-kompetensi yang harus dikuasai oleh siswa.38
Pendidikan Agama Islam seharusnya bukan sekedar untuk menghafal
beberapa dalil agama atau beberapa syarat rukun setiap ibadah, namun
merupakan upaya, proses, usaha mendidik murid untuk memahami atau
mengetahui sekaligus menghayati dan mengamalkan nilai-nilai Islam dengan
cara membiasakan anak mempraktekkan ajaran Islam dalam kesehariannya.
Ajaran Islam sejatinya untuk diamalkan bukan sekedar dihafal. Bahkan lebih
dari itu mestinya sampai pada kepekaan akan amaliah Islam itu sendiri
sehingga mereka mampu berbuat amar ma’ruf dan nahi munkar. Lebih dari
37 Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo, 2001),
hlm. 67. 38 Abdul Aziz, op.cit., hlm. 4.
33
itu, pendidikan seharusnya mempunyai tujuan akhir untuk mendidik siswa
berperilaku religius.39
Rumusan tujuan berkenaan dengan apa yang hendak dicapai
Muhammad al-Munir sebagaimana dikutip dalam buku Pendidikan Agama
Islam Berbasis Kompetensi yang ditulis oleh Abdul Majid dan Dian Andayani
menjelaskan bahwa tujuan Pendidikan Agama Islam adalah:
1) Tercapainya manusia seutuhnya, karena Islam adalah agama yang sempurna di antara tanda predikat manusia seutuhnya adalah berakhlak mulia. Islam datang untuk mengantarkan manusia kepada predikat manusia seutuhnya.
2) Tercapainya kebahagiaan dunia dan akhirat merupakan tujuan yang seimbang.
3) Menumbuhkan kesadaran manusia mengabdi, dan takut kepada-Nya.40 Sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Adz-Dzaariyat ayat 56:
وماإلقلا خو الجن نتودباال ليع سن.
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku".41
Tujuan PAI di tingkat SLTP adalah:
1. Meningkatkan kemampuan murid membaca Al-Qur’an secara baik dan
benar.
2. Mempererat hubungan murid dengan kitabullah sehingga mereka akan
merasa indah dengan metode yang dipakai oleh Al-Qur’an.
3. Menjelaskan maksud Al-Qur’an tentang tanda-tanda kekuasaan Allah dan
menganjurkan mereka mempelajari tentang sifat-sifatnya.
4. Membekali murid dengan berbagai ibadah, hukum-hukum agama dan
problema-problema masyarakat agar agama dan ibadah mereka benar serta
bermoral tinggi.
5. Menjelaskan bahwa sunnah Rasul berfungsi sebagai penafsir Al-Qur’an.
6. Menganjurkan kepada murid mengikuti jejak para sahabat dan pahlawan
muslim yang shaleh dan merasa bangga atas kepahlawanan mereka. Hal
39 A. Qodri A. Azizy, Pendidikan (Agama) Untuk Membangun Etika Islam, (Semarang: Aneka Ilmu, 2003), hlm. 65.
40 Abdul Majid dan Dian Andayani, op.cit., hlm. 75. 41 R.H.A. Soenarjo, op.cit., hlm. 862.
34
tersebut membuat mereka berpegang kepada persatuan dan persaudaraan
yang didasarkan kepada Islam.
7. Para murid agar menerapkan pelajaran ini dalam kehidupannya dan dalam
berbagai kegiatan, baik kegiatan agama maupun kegiatan sosial.42
Jadi kewajiban yang pertama dan utama bagi sekolah-sekolah
menengah, ialah berusaha memperkuat perasaan keagamaan dalam jiwa
pelajar-pelajar putra-putri serta mendidik mereka dengan pendidikan agama
yang betul, agar supaya tetap ada kepercayaan agama dalam hati mereka dan
kelihatan pengaruhnya pada akhlak dan amal perbuatan mereka. 43
Pendidikan Agama dan spiritual termasuk aspek-aspek pendidikan
yang harus mendapat perhatian penuh untuk pendidik terutama keluarga.
Pendidikan agama dan spiritual ini berarti membangkitkan kekuatan dan
kesediaan spiritual yang bersifat naluri yang ada pada anak melalui bimbingan
agama. Begitu juga membekali anak dengan pengetahuan agama dan
kebudayaan Islam sesuai dengan tingkat perkembangannya. Yang pertama
sekali harus ditanamkan kepada anak adalah keimanan yang kuat kepada
Allah, kemudian iman kepada malaikat, kitab-kitab yang diturunkan Allah,
Rasul-rasul Allah, hari akhir dan kepercayaan bahwa semua perbuatan
manusia selalu di bawah pengawasan Allah.44
Dengan hidup beragama yang sadar akan hakekat keterbatasan dirinya
dan relevansinya dengan Tuhan Yang Maha Kuasa. Maka kepercayaan kepada
Tuhan secara pribadi dapat memberikan kepada manusia rasa aman, kuat,
terlindung, teguh, yakin, diperlakukan adil dan berpengharapan baik di masa
sekarang di dunia maupun akhirat nanti. Dan dasar-dasar pertama dari
bimbingan religius sedemikian rupa sudah harus ditanamkan di tengah
lingkungan keluarga oleh orang lain.
42 Muhammad Abdul Qadir Ahmad, Metodologi Pengajaran Pendidikan Agama Islam,
(Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Perguruan Tinggi Agama/ IAIN di Jakarta, 1984/1985), hlm. 248.
43 Mahmud Yunus, op.cit., hlm. 11. 44 Zakiah Daradjat, Mendambakan Anak Sholeh, (Bandung: Al-bayan, 1998), hlm. 69.
35
Agama juga mengajarkan hakikat relasi manusia dengan sesama hidup,
yaitu supaya saling menghormati, menyayangi, serta hidup rukun
berdampingan dengan damai. Oleh karena itu agama bisa dipakai sebagai alat
pendidikan menuju ke arah kesempurnaan hidup manusia.45
E. Materi Pendidikan Agama Islam
Bahan pengajaran yang hendak dijadikan materi dalam program
pengajaran Bidang Studi Pendidikan Agama dicerminkan di dalam Garis-
Garis Besar Program Pengajaran (GBPP) dari suatu kurikulum.
Dalam hubungan ini penyusunan bahan pengajaran Pendidikan Agama
Islam, yang hendak dijadikan program pengajaran haruslah meliputi
keseluruhan ajaran agama Islam dengan memperhatikan aspek-aspek:
1. Hubungan Manusia Dengan Tuhan
Hubungan vertikal antara insan dengan khaliknya mendapatkan
prioritas pertama dalam penyusunan bahan pengajaran, karena pokok
ajaran inilah yang pertama-tama perlu ditanamkan kepada anak didik.
Tujuan kurikuler yang hendak dicapai dalam hubungan manusia dengan
Allah ini mencakup segi keimanan, rukun Islam dan Ihsan. Termasuk di
dalamnya membaca Al-Qur'an dan menulis huruf Al-Qur'an.
Untuk tingkat SMP aspek ini diperlukan pengertiannya dengan
mengemukakan alasan-alasan dalil naqli maupun aqli, sehingga anak didik
yang telah meningkat remaja itu dapat menyelesaikan pertanyaan-
pertanyaan yang timbul dalam pikirannya mengenai segi-segi yang ghaib.
Selanjutnya dapat memahami alasan-alasan terhadap apa yang telah
diyakininya selama ini.
2. Hubungan Manusia dengan Manusia
Aspek pergaulan hidup manusia dengan sesamanya sebagai pokok
ajaran Islam penting ditempatkan pada prioritas kedua dalam urutan
kurikulum ini. Tujuan kurikulum yang hendak dicapai dengan kurikulum
45 Kartini Kartono, Tujuan Pendidikan Nasional, (Jakarta: Pradya Paramita, 1997), hlm.
61.
36
ini mencakup segi kewajiban dan larangan di dalam bidang pemilikan,
jasa, kebiasaan hidup bersih dan sehat jasmaniah dan rohaniah, dan sifat-
sifat kepribadian yang baik.
Penyajian untuk tingkat SMP dilengkapi dengan dalil dan aqli,
sehingga dengan demikian aspek-aspek yang diajarkan mengenai
pergaulan hidup dapat dilaksanakan dengan kesadaran bukan sekedar ikut-
ikutan.
3. Hubungan Manusia dengan Alam
Aspek hubungan manusia dengan alam mempunyai dua arti untuk
kehidupan anak didik:
a. Mendorong anak didik untuk mengenal alam. Selanjutnya mencintai
manfaat sebanyak-banyaknya. Tentu dengan demikian secara tidak
langsung mendorong mereka untuk ikut ambil bagian dalam
pembangunan, baik untuk dirinya maupun untuk masyarakat dan
negara.
b. Dengan mengenal alam dan mencintainya, anak didik akan mengetahui
keindahan dan kehebatan alam semesta. Hal yang demikian akan
menambah iman mereka kepada Allah SWT sebagai Maha
penciptanya.
Tujuan kurikuler yang hendak dicapai mencakup segi cinta alam dan
turut serta untuk memelihara, mengolah dan memanfaatkan alam sekitar; sikap
syukur terhadap nikmat Allah SWT; mengenal hukum-hukum agama tentang
makanan dan minuman.
Pada tingkat SMP penyajian materi tersebut dilengkapi dengan dalil
naqli dan aqli, sehingga anak didik memahami bahwa apa yang diajarkan guru
agamanya itu bukanlah pendapat mereka sendiri, tetapi bersumber kepada Al-
Qur'an dan hadits Nabi.46
Sebagaimana kita ketahui ajaran pokok Islam adalah meliputi: masalah
aqidah (keimanan), syariah (keislaman) dan akhlak (ihsan). Aqidah bersifat
46 Abdur Rahman Saleh, op.cit, hlm. 45.
37
I'tikad batin, mengajarkan ke-Esaan Allah, Esa sebagai Tuhan yang
menciptakan, mengatur dan meniadakan alam ini.
Syari'ah berhubungan dengan amal lahir dalam rangka mentaati semua
peraturan dan hukum Tuhan, guna mengatur hubungan antara manusia dengan
Tuhan, dan mengatur pergaulan hidup dan kehidupan manusia. Akhlak suatu
amalan yang bersifat pelengkap penyempurna bagi kedua amal di atas dan
yang mengajarkan tentang cara pergaulan hidup manusia.
Tiga inti ajaran pokok ini kemudian dijabarkan dalam bentuk rukun
iman, rukun Islam, dan akhlak. Dari ketiganya lahirlah ilmu Tauhid, ilmu fiqh,
dan ilmu akhlak. Ketiga kelompok ilmu agama ini kemudian dilengkapi
dengan pembahasan dasar hukum Islam yaitu Al-Qur'an dan al-Hadits serta
ditambah lagi dengan sejarah Islam (tarikh) sehingga secara berurutan:
1) Ilmu Tauhid (Keimanan)
2) Ilmu Fiqh
3) Al-Qur'an.
4) Al-Hadis.
5) Tarikh Islam.47
F. Strategi Pembelajaran PAI
Yang dimaksud strategi secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu
garis besar haluan bertindak untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan.
Menurut Newman dan Longman, dalam bukunya yang berjudul Strategy
Policy and Central Management (1971:8), sebagaimana dikutip dalam buku
“Psikologi Pendidikan”, strategi dasar dari setiap usaha akan mencakup
keempat hal sebagai berikut :
a. Mengidentifikasi dan menetapkan spesifikasi dan kualifikasi hasil (out
put) seperti apa yang harus dicapai menjadi sasaran (target) usaha itu,
dengan mempertimbangkan aspirasi dan selera masyarakat yang
memerlukan.
47 Abdul Majid dan Dian Andayani, op.cit., hlm. 77.
38
b. Mempertimbangkan dan memilih jalan pendekatan umum (basic ways)
manakah yang dipandang paling ampuh (effective) guna mencapai sasaran
tersebut.
c. Mempertimbangkan dan menetapkan langkah-langkah (steps) mana yang
akan ditempuh sejak titik awal sampai kepada titik akhir dimana
tercapainya sasaran tersebut.
d. Mempertimbangkan dan menetapkan tolak ukur (criteria) dan patokan
ukuran (standard) yang bagaimana dipergunakan dalam mengukur dan
menilai taraf keberhasilan (achievement) usaha tersebut.
Kalau kita terapkan dalam konteks pendidikan, keempat unsur strategi
dasar tersebut akan sejalan sekali dengan keempat tahapan langkah utama dari
pola dasar PPSI, yang dapat digambarkan sebagai berikut :
a. Menetapkan spesifikasi dan kualifikasi perubahan profil prilaku dan
pribadi siswa (dalam arti yang lebih luas: lulusan) yang seperti apa atau
bagaimana yang harus dicapai dan menjadi sasaran dari kegiatan belajar
mengajar itu berdasarkan aspirasi atau pandangan hidup dan selera
masyarakat yang bersangkutan untuk digunakan dalam mengidentifikasi
entering behavior para siswanya.
b. Memilih sistem pendekatan belajar mengajar utama yang dipandang paling
efektif guna mencapai sasaran tersebut, sehingga dapat dijadikan pegangan
oleh para guru dalam merencanakan dan mengorganisasikan kegiatan
belajar mengajar atau pengalaman belajar (learning experiences) siswa.
c. Memilih dan menetapkan prosedur, metode, dan tehnik belajar mengajar
(teaching methods) yang bagaimana yang dipandang paling efektif dan
efisien serta produktif sehingga dapat dijadikan pegangan oleh para guru
dalam melaksanakan kegiatan mengajar.
d. Menetapkan norma-norma dan batasan minimum ukuran keberhasilan atau
kriteria dan ukuran baku keberhasilan, sehingga dapat dijadikan pegangan
oleh para guru dalam melakukuan pengukuran dan evaluasi hasil kegiatan
belajar mengajar, yang selanjutnya akan dijadikan umpan balik (feedback)
39
bagi upaya penyempurnaan system instruksional yang bersangkutan secara
keseluruhan.48
G. Metode Pendidikan Agama Islam
Dari segi bahasa metode berasal dari dua perkataan, yaitu metha dan
hodos. Metha berarti "melalui" dan hodos berarti "jalan" atau "cara". Dengan
demikian metode dapat berarti cara atau jalan yang harus dilalui untuk
mencapai suatu sarana untuk menemukan, menguji dan menyusun data yang
diperlukan bagi pengembangan disiplin tersebut. 49
Selanjutnya jika kata metode tersebut dikaitkan dengan pendidikan
Islam, dapat membawa arti metode sebagai jalan untuk menanamkan
pengetahuan agama pada diri seseorang sehingga terikat dalam pribadi Islam.
Metode pengajaran yang baik sebenarnya bisa beragam cara. Namun
satu metode itu harus bisa menciptakan iklim yang enjoy untuk proses belajar
ini. Jangan sampai siswa itu merasakan takut, khawatir, was-was dan
sebagainya. Perasaan-perasaan seperti itu jelas mengganggu proses kreatifitas,
sebab jiwa selalu dalam tekanan terus menerus. Maka dari itu seorang guru
harus tahu bagaimana proses belajar yang baik. Setidak-tidaknya seorang guru
itu harus tahu mengenai konsep siswa, guru itu sendiri, mata pelajaran dan
bagaimana mengajar dengan menyenangkan.50
Adapun macam-macam metode dalam Pendidikan Agama Islam
sebagaimana dikutip dalam buku Filsafat Pendidikan Islam karangan Abuddin
Nata, adalah:
1. Metode Teladan
Metode ini dianggap penting karena aspek agama yang terpenting adalah
akhlak yang termasuk dalam kawasan afektif yang terwujud dalam bentuk
48 Abin Syamsuddin Makmun, Psikologi Kependidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2001), hlm. 220. 49 Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat
Press, 2002), hlm. 40. 50 Muarif, Wacana Pendidikan Kritis, (Yogyakarta: IRCISOD, 2005), hlm. 200.
40
tingkah laku (behavioral). Dalil tentang metode teladan terdapat dalam Q.S
Al-Ahzab ayat 21:
فى ر كان لكم م االخر لقدواليا اهللا ووجركان ي نة لمنسة حول اهللا أسوس ).21:االحزاب(وذكراهللا كثيرا
“Sesungguhnya telah ada pula (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.51
2. Metode Kisah-Kisah
Kisah atau cerita sebagai suatu metode pendidikan ternyata mempunyai
daya tarik yang menyentuh perasaan. Islam menyadari sifat alamiah
manusia untuk menyenangi cerita itu, dan menyadari pengaruhnya yang
besar terhadap perasaan. Oleh karena itu Islam mengeksploitasi cerita itu
untuk dijadikan salah satu teknik pendidikan.
3. Metode Nasihat
Menurut Al-Qur'an metode nasihat hanya diberikan kepada mereka yang
melanggar peraturan, dan bisa ini terjadi, tetapi jarang terjadi. Dengan
demikian metode nasihat nampaknya lebih ditujukan kepada murid-murid
atau siswa-siswa yang melanggar peraturan.52 Metode nasihat ini telah
dijelaskan oleh Allah SWT dalam Q.S. Al-A’raaf ayat 79 sebagai berikut:
فتولى عنهم وقال يقوم لقد أبلغتكم رسالة ربى ونصحت لكم ولكن ال نصحين النوحب79:االعراف(ت.(
“Maka Shaleh meninggalkan mereka seraya berkata: “Hai kaumku sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu amanat Tuhanku, dan aku telah memberi nasehat kepadamu, tetapi kamu tidak menyukai orang-orang yang memberi nasehat”.53
4. Metode Tanya Jawab
51 R.H.A. Soenarjo, op.cit., hlm. 670. 52 Abudin Nata, op.cit., hlm. 95. 53 R.H.A. Soenarjo, op.cit., hlm. 234.
41
Ialah suatu tehnik mendidik dan mengajar dengan menggunakan tanya
jawab tentang bahan (materi) yang akan dibahas yang dilakukan baik oleh
guru maupun anak didik.
5. Metode Diskusi
Adalah suatu teknik pendidikan yang digunakan untuk mendalami,
memecahkan dan mengembangkan gagasan melalui Tanya jawab dan
pernyataan-pernyataan pendapat baik yang positif maupun yang negative,
baik secara terbimbing maupun terbuka.
6. Metode Demonstrasi dan Eksperimen
Demonstrasi ialah mengajar dengan jalan memberi contoh atau menugasi
anak didik untuk memberi contoh kepada yang lainnya. Eksperimen
adalah tehnik pengajaran yang melibatkan anak didik dalam pekerjaan
akademis, latihan dan pemecahan masalah atau topik.54
Dalam buku Education Psychology in the Classroom karya Henry Clay
Lindgren ada beberapa metode yang bisa digunakan oleh guru dalam kalas,
antara lain:
1. Group Guidance - Some people think of group guidance as a way of providing a
substitute for counseling and other forms of individual guidance. - It means of helping children to attain educational objectives that
are less academic, objectives that are characterized by attitudes and feelings, that are in the area of say, personal and social problems.
2. The Class Discussion A learning situation which permits student to poor ideas and judgements, sometimes to solve a problem and come to a common decision and sometimes to “ventilate” that is, to “get things of their chest”.
3. The Use of “Buzz Groups” Buzz group are also helpful as “warm up” devices. Buzz session also
help a classroom group to become involved in a new subject. 4. Role Playing or Sociodrama Sociodrama or role playing is the spontaneous enacting or dramatizing
of an incident, a situation, or a personality in action.55
54Zakiah Daradjat., Islam Untuk Disiplin Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), hlm. 164.
55 Henry Clay Lindgren, Psychology in the Classroom, (New York: John Wiley & Sons, Inc, 1959), hlm. 332.
42
2) an tertinggi dan terakhir
Tujuan ini bersifat mutlak, tidak mengalami perubahan karena
sesuai dengan konsep illahi yang mengandung kebenaran mutlak dan
universal. Tujuan tertinggi dan terakhir ini pada dasarnya sesuai dengan
tujuan hidup manusia dan peranannya sebagai ciptaan Allah, yaitu:
a. Menjadi hamba Allah yang bertakwa
Tujuan ini sejalan dengan tujuan hidup dan penciptaan manusia, yaitu
semata-mata untuk beribadah kepada Allah.
b. Mengantarkan subjek didik menjadi khalifatullah fil ardh (wakil Tuhan
di bumi) yang mampu memakmurkannya (membudayakan alam
sekitarnya).
c. Memperoleh kesejahteraan, kebahagiaan hidup di dunia sampai
akhirat.
43
Ketiga tujuan tertinggi tersebut, berdasarkan pengalaman sejarah
hidup manusia dan dalam pengalaman aktivitas pendidikan dari masa ke
masa, belum pernah tercapai sepenuhnya baik secara individu maupun
social. Apalagi yang disebut kebahagiaan dunia akhirat, kedua-duanya
tidak mungkin dapat dikatahui tingkat pencapaiannya secara empiric.
Namun demikian, perlu ditegaskan sekali lagi, tujuan tertinggi
tersebut diyakini sebagai sesuatu yang ideal yang berfungsi sebagai
motivator dan memberi makna teologis bagi usaha pendidikan.56
3) Tujuan Umum
Yang dimaksud dengan tujuan umum adalah maksud atau
perubahan-perubahan yang dikehendaki yang diusahakan oleh pendidikan
untuk mencapainya.
a. Mart Al-Abrasy (1967: 71) sebagaimana dikutip oleh Hasan
Langgulung, menyimpulkan lima tujuan umum bagi pendidikan Islam,
yaitu:
1. Untuk mengadakan pembentukan akhlak yang mulia. Kaum
muslimin dari dahulu kala sampai sekarang setuju bahwa
pendidikan akhlak adalah inti Pendidikan Islam, dan bahwa
mencapai akhlak yang sempurna adalah tujuan pendidikan
yang sebenarnya.
2. Persiapan untuk kehidupan dunia dan kehidupan akhirat.
Pendidikan Islam tidak hanya menitikberatkan pada
keagamaan saja, atau pada keduniaan saja, tetapi pada kedua-
duanya.
3. Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi
manfaat, atau yang lebih terkenal sekarang ini dengan nama
tujuan vokasional dan professional.
56Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanisme Teosentris, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 95.
44
4. Menumbuhkan semangat ilmiah pada pelajar dan memuaskan
keingintahuan (curiousity) dan memungkinkan ia mengkaji
ilmu demi ilmu itu sendiri.
5. Menyiapkan pelajar dari segi profesional, tehnikal dan
pertukangan supaya dapat menguasai profesi tertentu, dan
keterampilan pekerjaan tertentu agar dapat ia mencari rezeki
dalam hidup di samping memelihara segi kerohanian dan
keagamaan.
b. Menurut Nahlawy (1963: 67) sebagaimana dikutip oleh Hasan
Langgulung menunjukkan empat tujuan umum dalam pendidikan
Islam, yaitu:
1. Pendidikan akal dan persiapan fikiran, Allah menyuruh
manusia merenungkan kejadian langit dan bumi agar dapat
beriman kepada Allah.
2. Menumbuhkan potensi-potensi dan bakat-bakat asal pada
kanak-kanak. Islam adalah agama fitrah, sebab ajarannya tidak
asing dari tabiat asal manusia, bahkan ia adalah fitrah yang
manusia diciptakan sesuai dengannya", tidak ada kesukaran
dan perkara luar biasa.
3. Menaruh perhatian pada kekuatan dan potensi generasi muda
dan mendidik mereka sebaik-baiknya, baik lelaki ataupun
perempuan.
4. Berusaha untuk mengmbangkan segala potensi-potensi dan
bakat-bakat manusia.
c. Menurut Al-Jammali (1966: 82) sebagaimana dikutip oleh Hasan
Langgulung menyebutkan tujuan-tujuan pendidikan yang diambilnya
dari Al-Qur'an sebagai berikut:
1. Memperkenalkan kepada manusia akan tempatnya di antara
makhluk-makhluk dan akan tanggung jawab perseorangannya
dalam hidup ini.
45
2. Memperkenalkan kepada manusia akan hubungan-hubungan
sosialnya dan tanggungjawabnya dalam jangka suatu sistem
sosial.
3. Memperkenalkan kepada manusia akan makhluk (alam
semesta), dan mengajaknya memahami hikmah penciptanya
dalam menciptakannya, dan memungkinkan manusia untuk
menggunakan atau mengambil faedah darinya.
4. Memperkenalkan kepada manusia akan pencipta alam
mayapada ini.
d. Menurut Al-Buthi (1961: 102) sebagaimana dikutip oleh Hasan
Langgulung menyebutkan tujuh macam tujuan umum, di antaranya
adalah:
1. Mencapai keridhaan Allah, menjauhi murka dan siksaan-Nya
dan melaksanakan yang tulus ikhlas kepada-Nya. Tujuan ini
dianggap induk dari segala tujuan-tujuan pendidikan Islam.
2. Mengangkat taraf akhlak dalam masyarakat berdasar pada
agama yang diturunkan untuk membimbing masyarakat kea
rah yang diridhai oleh-Nya.
3. Memupuk rasa cinta tanah air pada diri manusia berdasar pada
agama yang diturunkan untuk membimbing masyarakat ke
arah yang diridhai oleh-Nya.
4. Mewujudkan ketenteraman di dalam jiwa dan akidah yang
dalam, penyerahan dan kepatuhan yang ikhlas kepada Allah
SWT.
4) Tujuan Khusus
Yang dimaksud dengan tujuan khusus adalah perubahan-
perubahan yang diingini yang merupakan bagian yang termasuk di bawah
tiap tujuan umum pendidikan. Di antara tujuan-tujuan khusus yang
mungkin dimasukkan di bawah "Penumbuhan semangat agama dan
akhlak" adalah:
46
a. Memperkenalkan kepada generasi muda
akan akidah Islam, dasar-dasarnya, asal
usul ibadat, dan cara-cara
melaksanakannya dengan betul, dengan
membiasakan mereka berhati-hati
mematuhi akidah agama dan
menjalankan dan menghormati syiar-
syiar agama.
b. Menumbuhkan kesadaran yang betul
pada diri pelajar terhadap agama
termasuk prinsip-prinsip dan dasar-dasar
akhlak yang mulia.
c. Menanamkan keimanan kepada Allah
pencipta alam, dan kepada malaikat,
rasul-rasul, kitab-kitab dan hari akhirat
berdasar pada faham kesadaran dan
perasaan.
d. Menumbuhkan minat generasi muda
untuk mengikuti hukum-hukum agama
dengan kecintaan dan kerelaan.
e. Menanamkan rasa cinta dan penghargaan
kepada Al-Qur'an, membacanya dengan
baik, memahaminya, dan mengamalkan
ajaran-ajaran-Nya.
Menumbuhkan rasa bangga terhadap sejarah dan kebudayaan Islam dan
pahlawan-pahlawannya dan mengikuti jejak mereka.57
57 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa dan Pendidikan, (Jakarta:
Al-Husna, 1995), hlm. 59.
47