sifat-sifat pendidik perspektif al-qur’an surat...
TRANSCRIPT
SIFAT-SIFAT PENDIDIK PERSPEKTIF AL-QUR’AN
SURAT FUSHSHILAT AYAT 34-35
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Tugas dan Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu dalam
Ilmu Pendidikan Islam
Oleh:
MUCHAROM SYARIFUDIN ZUHRI
NIM: 083111091
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012
vi
ABSTRAK
Judul : Sifat-Sifat Pendidik Perspektif Al-Qur’an Surat Fushshilat Ayat 34-35
Penulis : Mucharom Syarifudin Zuhri NIM : 083 111 091
Skripsi ini membahas tentang sifat-sifat pendidik perspektif al-Qur’an surat Fushshilat ayat 34-35. Kajiannya dilatar belakangi oleh banyaknya pendidik yang hanya mengandalkan kemampuan intelektualnya dalam mendidik, tanpa menyeimbangkan dengan aspek lain yang mendukung proses pendidikan, pengajaran dan pembelajaran, seperti sifat serta kepribadian yang baik yang harus dimiliki oleh setiap pendidik. Semua perilaku pendidik sangat berpengaruh terhadap peserta didik, karena peserta didik cenderung mencontoh pendidiknya. Pendidik yang diharapkan oleh pendidikan Islam yaitu pendidik yang mampu mengoptimalkan semua kemampuan dalam dirinya guna mendapatkan output yang sesuai dengan tujuan pendidikan islam. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya sifat-sifat pendidik yang terdapat dalam surat Fushshilat ayat 34-35 yang dapat diterapkan oleh setiap pendidik dalam proses pendidikan. Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan atau (library research). Pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan data atau bahan-bahan yang berkaitan dengan tema pembahasan dan permasalahannya yang diambil dari sumber-sumber kepustakaan, dalam hal ini ada tiga sumber, yaitu: sumber primer, sumber sekunder dan sumber tersier. Guna mencari jawaban dari beberapa permasalahan yang ada di atas, maka digunakan metode tahlili.
Kajian ini menunjukkan bahwa di dalam kandungan surat Fushshilat ayat 34-35 terdapat beberapa sifat-sifat sebagai seorang pendidik yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw yang dapat dijadikan teladan bagi para pendidik, yaitu: (1) Memiliki sifat kesabaran, (2) Selalu berbuat baik, (3) Lemah lembut, (4) Kasih sayang terhadap peserta didik, (5) Mampu menahan amarah, dan (6) Memiliki sifat pemaaf, beserta implikasinya dalam system pendidikan Islam.
Berdasarkan hasil penelitian diatas, diharapkan dapat menjadi bahan informasi dan rujukan bagi civitas akademik, para mahasiswa, para tenaga pengajar mata kuliah jurusan dan program studi di Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, terutama bagi para pendidik khususnya dalam pendidikan Islam agar senantiasa mengoptimalkan seluruh kemampuan dalam mendidik baik dari segi intelektual, sifat, serta kepribadiannya sesuai yang dengan ajaran agama Islam yang dalam hal ini menjadikan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai pedoman utamanya.
vii
TRANSLITERASI ARAB LATIN
Penulisan transliterasi huruf-huruf Arab Latin dalam skripsi ini
berpedoman pada SKB Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
R.I. Nomor: 158/1987 dan Nomor: 0543b/1987. Penyimpangan penulisan kata
sandang [al-] disengaja secara konsisten supaya sesuai teks Arabnya.
ẓ ط a ا
ẓ ظ b ب
ع t ت
g غ ṡ ث
f ف j ج
q ق ḥ ح
k ك kh خ
l ل d د
m م ż ذ
n ن r ر
w و z ز
h ه s س
ء sy ش
y ي ṣ ص
ḍ ض
Bacaan Madd: Bacaan Diftong:
ā = a panjang او = au
ū = u panjang اي = ai
ī = i panjang
viii
KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulillah, segala puji bagi Allah swt yang telah memberikan
rahmat, taufiq, hidayah, dan kenikmatan kepada penulis berupa kenikmatan
jasmani maupun rohani, sehingga penulis dapat menyusun skripsi yang berjudul
Sifat-sifat Pendidik Perspektif al-Qur’an Surat Fushshilat ayat 34-35. Sholawat
beriring salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw, karena
berkat perjuangan beliau yang telah membawa kita dari zaman kebodohan menuju
zaman yang terang benderang ini yaitu zaman Islamiyah.
Niat yang tulus, keikhlasan, kesabaran, dan penuh tanggung jawab, menjadi
bekal utama penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, maka penulis sekali lagi
bersyukur kepada Allah swt yang telah memberikan apa yang tidak diberikan oleh
siapapun berupa pertolongan di dalam menyusun skripsi ini sampai selesai. Daya
dan upaya selalu tercurahkan baik materi maupun pikiran, karena penulis sadari
penulisan skripsi ini tidak semudah yang dibayangkan. Banyak hal yang belum
pernah penulis jumpai dalam penelitian tentang sifat-sifat pendidik perspektif al-
Qur’an surat Fushshilat ayat 34-35. Akan tetapi semua itu dapat penulis jalani
dengan baik, penuh kesabaran dan penuh tanggung jawab sehingga skripsi ini
dapat penulis susun sebagaimana mestinya. Dengan pengalaman yang sangat
berharga ini, penulis sangat termotivasi untuk terus berusaha melaksanakan
penelitian di waktu yang akan datang, agar tujuan penelitian dapat terwujud.
Dengan selesainya skripsi ini, penulis menyampaikan terima kasih yang
sebanyak-banyaknya kepada yang terhormat:
1. Dr. Suja’i, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo
Semarang.
2. Drs. Ahmad Sudja’i, M.Ag., selaku Pembimbing I dan Nadhifah,S.Th.I,
M.S.I, selaku Pembimbing II, yang telah berkenan meluangkan waktunya,
tenaga dan pikirannya untuk membimbing, mengarahkan penulis dalam
penyusunan skripsi ini hingga selesai.
3. Para Penguji Skripsi, Dr. Musthofa, M. Ag., Drs. Ahmad Sudja’i, M. Ag.,
Achmad Hasmi Hashona, M.A., dan Yunita Rahmawati, M.A., yang telah
berkenan meluangkan waktunya untuk menguji, skripsi ini.
ix
4. Dosen Pendidikan Agama Islam, dan staf pengajar di IAIN Walisongo
Semarang yang membekali berbagai pengetahuan dan pengalaman.
5. Kepala perpustakaan IAIN Walisongo Semarang beserta seluruh staf dan
karyawan yang telah memberikan pelayanan yang baik.
6. Bapak Marjiwo, S.Ag. dan Ibu Maryati, S.Pd.SD selaku ayahanda dan
ibunda tercinta, hanya terima kasih yang bisa anakmu ucapkan atas do’a
restu ayah dan ibu yang tidak pernah lelah untuk mendoakan penulis,
nasihat, dan dukungan serta segala pengorbanan dan kasih sayang selama ini
dalam mendidik penulis dengan penuh kesabaran serta kepada adik-adik
yang selalu menyadarkan penulis setiap penulis melakukan kesalahan.
7. Teman seperjuangan PAI-C 2008 dan seluruh teman PAI angkatan 2008
yang senantiasa menjadi penyemangat bagi penulis.
Atas jasa-jasa mereka penulis hanya dapat memohon doa semoga amal
mereka diterima Allah SWT, dan mendapat pahala yang lebih baik serta
mendapatkan kesuksesan bak di dunia maupun di akhirat. Dan kepada mereka
semua, penulis ucapkan “jazakumullah khairan katsiran“.
Akhirnya, penulis menyadari bahwa sripsi ini masih banyak kekurangan.
Oleh karena itu saran dan kritik yang konstruktif sangat penulis harapkan, semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi semuanya. Amin.
Semarang, 30 April 2012 Penulis
Mucharom Syarifudin Zuhri NIM. 083111091
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
PERNYATAAN KEASLIAN ...................................................................... ii
PENGESAHAN ........................................................................................... iii
NOTA PEMBIMBING ................................................................................ iv
ABSTRAK ................................................................................................. vi
TRANSLITERASI ....................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ................................................................................. viii
DAFTAR ISI ............................................................................................... x
BAB I : PENDAHULUAN ................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................. 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................... 7
D. Kajian Pustaka .................................................................. 8
E. Metode Penelitian ............................................................. 10
F. Sistematika Pembahasan ................................................... 13
BAB II : KAJIAN TAFSIR AL QUR’AN SURAT FUSHSHILAT AYAT 34-
35 ............................................................................................ 14
A. Deskripsi Al Qur’an Surat Fushshilat ayat 34-35 .............. 14
1. Teks, Mufradat dan Terjemah ........................................ 14
2. Gambaran Umum Surat Fushshilat Ayat 34-35 .............. 15
3. Asbabun Nuzul Ayat dan Munasabah ............................ 15
B. Penafsiran Ayat Menurut Para Mufassir ........................... 21
1. Tafsir Al Mishbah ......................................................... 21
2. Tafsir Al Maraghi .......................................................... 24
3. Tafsir Ibnu Katsir .......................................................... 26
4. Tafsir Qur’anul Majid An Nuur ..................................... 27
5. At-Tafsir Al-Munir ........................................................ 29
6. Al-Mizan fii Tafsir Al-Qur’an ........................................ 30
C. Rangkuman Tafsir Menurut Para Mufassir ........................ 31
xi
D. Esensi Ayat ....................................................................... 32
BAB III : SIFAT-SIFAT PENDIDIK MENURUT AL-QUR’AN SURAT
FUSHSHILAT AYAT 34-35 .................................................... 34
A. Kesabaran ......................................................................... 34
B. Berbuat Baik ..................................................................... 36
C. Lemah Lembut .................................................................. 38
D. Kasih Sayang ..................................................................... 40
E. Menahan Amarah ............................................................. 42
F. Pemaaf .............................................................................. 43
BAB IV : IMPLIKASI SIFAT-SIFAT PENDIDIK DALAM SISTEM
PENDIDIKAN ISLAM ............................................................ 45
A. Kesabaran pendidik ........................................................... 48
B. Pendidik selalu berbuat baik .............................................. 51
C. Pendidik harus lemah lembut ............................................. 52
D. Pendidik harus bersifat penyayang ..................................... 53
E. Pendidik harus mampu menahan amarah dan Pemaaf ........ 54
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................
B. Saran-saran .......................................................................
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masal ah
Pada dasarnya pendidikan laksana eksperimen yang tidak pernah selesai
sampai kapanpun, sepanjang ada kehidupan manusia di dunia ini. Dikatakan
demikian, karena pendidikan merupakan bagian dari kebudayaan dan peradaban
manusia yang terus berkembang. Hal ini sejalan dengan pembawaan manusia
yang mamiliki potensi kreatif dan inovatif dalam segala bidang kehidupan.1
Pendidikan selalu melekat dalam kehidupan manusia yang tidak terbatas oleh
waktu kecuali datangnya kematian yang akan memutuskan seluruh perkara yang
berhubungan dengan manusia di dunia.
Pendidikan merupakan suatu kegiatan yang sentral dan kegiatan yang
disengaja dan terencana untuk membantu mengembangkan seluruh potensi anak
agar dapat bermanfaat bagi kepentingan hidupnya sebagai individu, masyarakat
dan warga negara yang berilmu atau berintelektual tinggi, serta berwawasan yang
luas dan mampu untuk berpikir bebas.
Pendidikan dalam suatu bangsa mempunyai peranan yang sangat penting
guna menunjang serta menjamin kelangsungan suatu bangsa itu sendiri. Sebab
melalui pendidikanlah akan diwariskan nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh bangsa
tersebut. Karena itu pendidikan tidak hanya berfungsi untuk how to know dan how
to do, tetapi yang amat penting adalah how to be, bagaimana supaya how to be
terwujud, maka diperlukan transfer budaya dan kultur.2 Pendidik dalam
pendidikan Islam harus mampu mentransfer ilmu serta mampu mentransfer
budaya dan kultur, agar peserta didik mengetahui serta mampu menghargai
budaya dan kultur yang ada.
1 Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan : Umum dan Agama Islam, (Jakarta: Rajawali
Press, 2009), hlm. ix 2 Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam: Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia,
(Jakarta : Prenada Media, 2004), hlm.10
2
Pendidikan merupakan sebuah usaha manusia untuk membina
kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan.
Istilah pendidikan atau paedagogie dapat diartikan sebagai bimbingan atau
pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa agar ia menjadi
dewasa. Sehingga pendidikan menunjukkan suatu proses bimbingan, tuntunan
atau pimpinan yang didalamnya mengandung unsur-unsur seperti pendidik,
peserta didik, tujuan dan sebagainya. Selain itu, pendidikan juga merupakan
fenomena manusia yang fundamental, yang mempunyai sifat konstruktif dalam
hidup manusia.3 Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan merupakan suatu hal
yang penting bagi manusia untuk merubahnya menjadi lebih dewasa. Baik dewasa
dalam hal jasmani maupun rohani.
Pengertian pendidikan ini tidak jauh berbeda dengan pengertian pendidikan
Islam, namun dalam pendidikan Islam lebih ditekankan lagi pada nilai-nilai Islam.
Menurut Achmadi, pendidikan Islam ialah segala usaha untuk memelihara dan
mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya manusia yang ada padanya
menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai dengan norma
Islam.4 Dalam pandangan Islam, insan kamil diformulasikan secara garis besar
sebagai pribadi muslim yakni manusia yang beriman dan bertaqwa serta memiliki
berbagai kemampuan yang teraktualisasi dalam hubungannya dengan Tuhan,
dengan sesama manusia dan dengan alam sekitarnya secara baik, positif, dan
konstruktif.
Mengingat pendidikan merupakan faktor yang tidak dapat terlepas dari
kehidupan manusia, maka jika pendidikan dipandang sebagai suatu proses, dalam
seluruh aktivitasnya harus terfokus pada tujuan pendidikan yang hendak dicapai.
Bangsa Indoneisa menyebutkan bahwa tujuan pendidikan adalah mencerdaskan
kehidupan bangsa dan membentuk manusia seutuhnya. Sebagaimana yang
tercantum dalam UU No.2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal
4 berbunyi :
3 Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan : Umum dan Agama Islam, hlm. 1 – 8. 4 Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam : Paradigma Humanisme Teosentris, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 28 – 29.
3
Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yakni manusia yang beriman dan bertaqwa tehadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.5
Sehubungan dengan hal tersebut, maka setiap warga negara Indonesia
mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk mendapat pendidikan, baik
pendidikan di dalam sekolah maupun di luar sekolah guna menjadi bekal bagi
mereka dalam menghadapi tantangan kemajuan zaman serta kemajuan teknologi
yang semakin pesat. Tidak hanya itu saja, warga negara juga berhak mendapatkan
pendidikan Islam, tidak hanya pendidikan umum saja.
Pendidikan Islam merupakan salah satu bidang studi Islam yang mendapat
banyak perhatian dari para ilmuwan. Hal ini karena disamping perannya yang
amat strategis dalam rangka meningkatkan sumber daya manusia, juga karena di
dalam pendidikan Islam terdapat berbagai masalah yang kompleks dan
memerlukan penanganan segera. Bagi mereka yang akan terjun ke dalam bidang
pendidikan Islam harus memiliki wawasan yang cukup tentang pendidikan Islam
dan memiliki kemampuan untuk mengembangkannya sesuai dengan tuntunan
zaman.
Dari hal tersebut, dapat dikatakan bahwa tujuan pendidikan Islam secara
umum yaitu membentuk kepribadian seseorang yang membuatnya menjadi insan
kamil dengan pola takwa. Insan kamil artinya manusia utuh rohani dan jasmani,
dapat hidup dan berkembang secara wajar dan normal karena takwanya kepada
Allah swt.6 Jadi, peran pendidikan khususnya pendidikan Islam sangatlah penting
bagi anak agar kehidupannya dapat selaras dengan tujuan pendidikan Islam itu
sendiri.
Pendidikan Islam harus diselaraskan dengan tujuan diciptakannya manusia
serta kepada tugas manusia yang paling utama di dunia ini, yaitu beribadah
5 Undang-Undang Sisdiknas no.20 Tahun 2003, (Jakarta: Sinar Grafika,2010), hlm. 7 6 Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 1997), hlm. 41
4
kepada Allah dan mengesakan-Nya.7 Seperti yang telah di firmankan dalam al-
Qur’an surat Adz-Dzariyat ayat 56 :
Dan Aku tidak akan menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. ( adz Dzariyat/51: 56) 8
Dengan berpedoman pada ayat tersebut diatas, pendidikan Islam merupakan
salah satu aspek saja dari ajaran Islam secara keseluruhan. Karenanya, tujuan
pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam; yaitu
untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertaqwa kepada-
Nya, dan dapat mencapai kehidupan yang berbahagia di dunia dan akherat.9
Dalam konteks sosial masyarakat, bangsa dan negara, maka pribadi yang
bertaqwa ini menjadi rahmatan lil’ ālamīn, baik dalam skala kecil maupun besar.
Tujuan hidup manusia dalam Islam inilah yang dapat disebut juga sebagai tujuan
akhir pendidikan Islam.
Mengingat pentingnya peran pendidikan, maka pendidik dituntut agar
memiliki kamampuan yang memadai dalam melaksanakan tugas dan tanggung
jawabnya sebagai pendidik, baik yang menyangkut kemampuan membimbing
maupun melatih peserta didik. Dengan kemampuan itu pendidik membantu
peserta didik secara lebih baik dalam mengembangkan aspek intelektual,
emosional, sosial maupun moral spiritual.
Perlu disadari juga, seperti yang telah disebutkan diatas bahwasanya semua
hal yang peserta didik lihat, dengar dan rasakan merupakan pendidikan, maka
pendidik harus berusaha memberikan pendidikan yang benar dan maksimal, baik
dari tingkah laku, perkataan dan moral-spiritualnya. Karena tanpa disadari para
peserta didik akan melihat serta mencontoh semua yang dilakukan oleh orang-
7 Abdurrahman An Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat,
(Jakarta : Gema Insani Press, 1995), hlm. 46. 8 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah, (Jakarta: CV. J-ART, 2005), hlm. 523 9 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam : Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru,
(Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 8
5
orang disekelilingnya khususnya pendidik atau guru. Pendidik atau guru dalam
mengajarkan ilmu di dalam kelas misalnya, akan dilihat oleh semua peserta didik
dari semua aspek, baik tingkah laku, sifat, sikap, maupun perkataannya.
Al-Ghozali dalam Mahmud, menurut pandangan pendidikannya, kedudukan
pendidik atau guru sangat penting dalam mengajarkan ilmunya. Tidak akan ada
proses pengajaran tanpa adanya pendidik atau guru. Beliau juga menekankan
betapa pentingnya unsur ikhlas dalam mengajar.10
Dari pernyataan tersebut, dapat dipahami tiga unsur pokok dalam proses
pendidikan, yaitu: pertama, menjaga kelestarian umat harus ada orang yang
berilmu (guru), kedua, tidak ada artinya seorang guru tanpa mengajarkan ilmunya
dan ketiga, mengajar akan berarti bila dilandasi dengan hati yang ikhlas. Ikhlas
menurut Ghozali suatu yang menyangkut nilai yaitu nilai Islam. Jadi, semua ilmu
yang diajarkan guru harus mengandung nilai Islam dan nilai Islam tersebut harus
dibentuk dan ditransfer oleh pendidik atau guru.
Nilai-nilai Islam yang diajarkan pendidik atau guru kepada peserta didik
setidaknya berpedoman kepada al-Qur’an. Pendidik atau guru harus mampu
mengintegrasikan nilai-nilai Islam dengan al-Qur’an yang meliputi agama, sosial
humaniora, serta sains dan teknologi. Dengan itu peserta didik mampu
mengintegrasikan permasalahan kontemporer dengan al-Qur’an, baik masalah
keagamaan, sosial humaniora atau sains dan teknologi.
Dalam pandangan Islam, pendidik mempunyai tugas dan tanggung jawab
yang sangat besar, bukan hanya sekedar pengajaran atau suatu proses transfer
ilmu belaka, bukan transformasi nilai dan pembentukan kepribadian dengan
segala aspek yang dicakupnya, melainkan pengajaran yang berorientasi pada
pembentukan spesialis peserta didik.11 Oleh karena itu pendidik sebagai pembina
generasi muda harus senantiasa menampilkan sosok pribadi yang patut diteladani.
Sebagai figur yang diteladani dengan kepribadiannya, maka seorang pendidik
harus menjaga wibawa dan citranya di masyarakat dengan senantiasa didasari oleh
10 Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2011), hlm.246 11 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam : Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru,
hlm. 3
6
ketaatan dan keteguhan terhadap norma-norma susila, moral, sosial dan agama,
sehingga mampu mengembangkan dan membentuk kepribadian peserta didik
dengan kualitas kepribadian yang tinggi.
Seorang pendidik bukan hanya dituntut memiliki ilmu yang luas. Lebih dari
itu, mereka hendaknya seorang yang beriman, berakhlaq mulia, sungguh-sungguh
dalam melaksanakan tugas profesinya serta menerima tanggung jawab profesinya
sebagai amanat yang diberikan Allah kepadanya dan harus dilaksanakan dengan
baik. Di samping memiliki keluasan ilmu pengetahuan, seorang pendidik dituntut
memiliki sifat kasih sayang, lemah lembut, kebapakan, ikhlas dan tidak pamrih,
jujur dan dapat dipercaya, memiliki keteladanan sikap dan tingkah laku berprinsip
kuat dan disiplin.12
Pendidik yang merupakan salah satu komponen dalam sistem pendidikan
Islam, diharapkan dapat menjadi sosok pribadi yang memiliki sejumlah atribut
kepribadian yang dapat menempatkannya sebagai panutan, teladan serta orang
yang mempengaruhi secara positif terhadap anak didiknya. Sifat dan pribadinya
harus mencerminkan pribadi yang luhur, sebagaimana halnya Rasulullah saw
yang mampu menunjukkan dengan sempurna bahwa al-Qur’an sebagai jiwa dan
akhlak beliau.
Namun pada realitanya, ternyata masih ada sebagian oknum guru yang
mencemarkan citra dan wibawa guru. Sehingga dalam kenyataannya, tuntunan
ideal pendidikan yang diharapkan akan melahirkan peserta didik yang berahklak
dan berbudi pekerti yang baik, juga pendidik yang benar-benar dapat dijadikan
sumber panutan dan teladan bagi peserta didiknya, ternyata masih sebatas harapan
yang belum terealisasikan dengan optimal.
Dari pernyataan di atas terdapat beberapa permasalahan yang menarik untuk
dikaji lebih mendalam. Pertama, secara logika tuntutan pendidikan untuk
melahirkan output berupa peserta didik yang memiliki sejumlah atribut
kepribadian yang baik. Kedua, sebagai ajaran yang luhur dan mulia, tidak hanya
berisi ajaran mengenai peribadatan ritual belaka, melainkan juga dasar-dasar
12 Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran HAMKA
Tentang Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm. 138
7
konsepsional tentang pendidikan, termasuk didalamnya ayat al-Qur’an yang
berhubungan dengan sifat-sifat pendidik. Ketiga, para cendikiawan muslim telah
berhasil menurunkan disiplin ilmu pendidikan Islam yang berasaskan al-Qur’an
dan as-Sunnah.
Dalam hubungan ketiga hal tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji
sebagai salah satu bentuk penelitian ilmiah, yakni menggali konsep sifat-sifat
pendidik dari ayat al-Qur’an surat Fushshilat ayat 34-35 sebagai fokus dari
penelitian ini dengan menggunakan Pendidikan Islam sebagai pisau analisisnya.
Dengan permasalahan di atas, penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut
kandungan dan penafsiran ayat tersebut dalam kaitannya dengan dunia
pendidikan. Selanjutnya permasalahan ini penulis rumuskan dalam sebuah
penelitian yang berjudul : ”Sifat-sifat Pendidik Perspektif al-Qur’an Surat
Fushshilat ayat 34-35.”
B. Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang di atas, maka masalah penelitian dapat
dirumuskan dalam beberapa pertanyaan sebagai fokus dari penelitian sebagai
berikut :
1. Bagaimanakah sifat-sifat pendidik menurut surat Fushshilat ayat 34-35 ?
2. Bagaimanakah implikasi paedagogis surat Fushshilat ayat 34-35 dalam
Sistem Pendidikan Islam ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah diatas, maka penelitian
ini bertujuan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui sifat-sifat pendidik yang terdapat dalam surat
Fushshilat ayat 34-35.
2. Untuk mengetahui implikasi paedagogis sifat-sifat pendidik surat
Fushshilat ayat 34-35 dalam Sistem Pendidikan Islam
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
8
1. Secara Teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
terhadap para pendidik tentang isi kandungan surat Fushshilat ayat 34-35
serta dapat menambah wawasan pemikiran bagi para pendidik terutama
mengenai sifat-sifat pendidik.
2. Secara Praktis, penelitian ini diharapkan memberikan petunjuk tentang isi
kandungan surat Fushshilat ayat 34-35 untuk dijadikan pedoman para
pendidik dalam melaksanakan tugasnya serta untuk dijadikan gambaran
bagi para pendidik tentang sifat-sifat pendidik yang dihubungkan dengan
surat Fushshilat ayat 34-35.
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka merupakan kegiatan yang perlu dilakukan dalam penelitian
untuk mencari dasar pijakan atau informasi untuk memperoleh dan membangun
landasan teori, kerangka berfikir, dan menentukan dugaan sementara atau sering
pula disebut dengan hipotesis penelitian, sehingga dengan adanya hal itu maka
para peneliti dapat mengerti, melokasikan, mengorganisasikan dan kemudian
menggunakan variasi kepustakan dalam bidangnya. Dengan kajian pustaka atau
studi kepustakaan peneliti mempunyai pendalaman yang lebih luas dan mendalam
terhadap masalah-masalah yang hendak diteliti. 13
Survey kepustakaan yang sudah peneliti lakukan, menunjukkan hasil
bahwasanya ada beberapa literatur buku dari pihak lain yang menunjukkan adanya
kesesuaian tema dengan penelitian ini. Diantara karya ilmiah atau buku-buku yang
mendukung kajian ini sebagai berikut:
Pertama, skripsi Suntawi yang berjudul “Konsep Rabbani dalam al-Qur’an
Surat Ali-Imran Ayat 79 dan Pengembangannya Dalam Peningkatan Kepribadian
Guru Pendidikan Agama Islam (PAI)”14 didalamnya berisi kepribadian seorang
guru yang menggambarkan perilaku, watak atau kepribadiannya. Kepribadian
13 Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan : Kompetensi dan Praktiknya, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2007), hlm. 34. 14 Suntawi, “Konsep Rabbani dalam al-Qur’an Surat Ali-Imran Ayat 79 dan
Pengembangannya Dalam Peningkatan Kepribadian Guru Pendidikan Agama Islam (PAI), Skripsi, (Semarang, Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2005), hlm. 78-79
9
juga dapat diartikan sebagai sifat hakiki yang tercermin pada sikap seorang guru
Pendidikan Agama Islam. Di antara kepribadian guru Pendidikan Agama Islam
yang harus dimiliki dalam setiap tingkah lakunya sehari-hari adalah ikhlas dan
tidak tamak, jujur, adil dan taqwa, lemah lembut, pemaaf dan musyawarah, rendah
hati, wibawa, berilmu luas dan bertubuh sehat, menguasai bahan pengajaran,
mencintai pekerjaan, menguasai kapasitas akal peserta didiknya, selalu ingin
menambah ilmu dan mengajak pada kebaikan. Dan di dalam skripsi ini terfokus
pada konsep Rabbani sebagai peningkatan kepribadian guru.
Kedua, skripsi Nur Dwiastuti yang berjudul “Keteladanan Menurut
Abdullah Nashih Ulwan dan Aktualisasinya Dalam Kepribadian Guru (Telaah
Kitab Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam),15di dalamnya berisi Orang tua sebagai
pendidik utama bagi anak, harus menampilkan jiwa keutamaan sebagaimana
contoh yang telah ditampilkan oleh Rasulullah. Menurut Abdullah Nashih Ulwan,
teladan orang tua meliputi: jujur, amanah, iffah, kasih sayang, memberi perhatian
pada anak yang terbesar, menyediakan sekolah yang cocok, dan memilihkan
teman bagi anaknya. Teladan inilah yang akan menjadi pondasi nilai-nilai dalam
jiwa anak sebagai bekal untuk menapaki kehidupannya kelak. Dan setelah anak
memasuki usia sekolah, maka mereka memerlukan sosok teladan dalam diri
gurunya sebagai pengganti peran orang tua mereka. Menurut Abdullah Nashih
Ulwan, diantara kriteria yang harus dimiliki oleh guru adalah takwa, ikhlas,
mempunyai ilmu pengetahuan, santun, dan bertanggungjawab. Sifat-sifat tersebut
akan mengantarkannya menjadi figur yang baik bagi anak didik.
Ketiga, skripsi Moh. Solichun yang berjudul “Pemikiran KH. Ahmad Rifa’i
tentang Guru”16, di dalamnya berisi guru yang yang pantas menjadi panutan,
teladan dan memiliki idealisme yang tinggi sesuai dengan profesi sebagai
pendidik adalah guru yang memiliki sifat “alim adil”. Pengertian “’alim ‘adil”
tersebut menunjukkan bahwa seorang guru memiliki kedudukan yang agung dan
15 Nur Dwiastuti, “Keteladanan Menurut Abdullah Nashih Ulwan dan Aktualisasinya
Dalam Kepribadian Guru (Telaah Kitab Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam), Skripsi, (Semarang, Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2006), hlm. 79
16 Moh. Solichun, “Pemikiran KH. Ahmad Rifa’i Tentang Guru”, Skripsi, (Semarang, Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2006), hlm. 76
10
luhur di hadapan Allah swt. Pendapat KH. Ahmad Rifa’i mengenai guru yang
‘alim ‘adil tersebut dikenal dengan nama syaikhul mursyid yaitu orang-orang yang
memenuhi syarat, yaitu: Islam, ‘aqil, baligh, ‘alim, dan tidak melakukan salah satu
dosa besar dan tidak mengekalkan salah satu dosa kecil.
Dari beberapa penelitian diatas mempunyai kesesuaian tema dengan penelitian
yang akan peneliti kaji, tetapi yang menjadi perbedaan adalah obyek kajian yaitu
dalam penelitian ini yang diteliti adalah Sifat-Sifat Pendidik Dalam Perspektif al-
Qur’an Surat Fushshilat Ayat 34-35. Dan inilah yang membedakan penelitian yang
sedang peneliti kaji dengan penelitian sebelumnya.
E. Metode Penelitian
Sebagaimana karya ilmiah secara umum, setiap pembahasan suatu karya
ilmiah tentunya menggunakan metode untuk menganalisa dan mendeskripsikan
suatu masalah. Metode itu sendiri berfungsi sebagai landasan dalam
mengelaborasi suatu masalah, sehingga suatu masalah dapat diuraikan dan
dijelaskan dengan gamblang dan mudah dipahami. Adapun metode penelitian
yang peneliti gunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi empat komponen,
yaitu sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini ialah penelitian kepustakaan (library
research). Artinya, permasalahan dan pengumpulan data berasal dari
kajian kepustakaan sebagai penyajian ilmiah yang dilakukan dengan
memilih literatur yang berkaitan dengan penelitian.17 Oleh karena itu,
guna mendapatkan data-data yang dibutuhkan, peneliti menelaah buku-
buku kepustakaan yang relevan dengan penelitian ini.
2. Sumber Data
Sumber data merupakan subjek dari mana data dapat diperoleh.
Adapun subjek dari penelitian ini ialah dokumen atau catatan yang
17 Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta: Andi Offset, 2000), jilid. I, hlm. 9
11
menjadi sumber data.18 Sedangkan jenis sumber data yang digunakan
dalam penelitian ini ada tiga macam, yaitu:
a. Sumber Primer
Sumber primer adalah sumber-sumber yang memberikan data
secara langsung dari tangan pertama atau merupakan sumber asli.19
Dalam skripsi ini sumber primer yang dimaksud adalah al-Qur’an
surat Fushshilat ayat 34-35.
b. Sumber Sekunder
Sumber sekunder adalah sumber-sumber yang diambil dari
sumber yang lain yang tidak diperoleh dari sumber primer.20 Dalam
skripsi ini sumber-sumber sekunder yang dimaksud adalah kitab-
kitab tafsir al-Quran seperti, Tafsir Al Misbah karya M. Quraish
Shihab, Tafsir Al Maraghi karya Ahmad Mushthafa Al Maraghi,
Tafsir Ibnu Katsir karya Abdullah bin Muhammad bin
Abdurrahman Alu Syaikh, Tafsir Al Qur’anul Majid An Nuur karya
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Tafsir Al Munir karya
Wahbah al Zuhaily, Al-Miizaan fii Tafsir Al Qur’an karya Al-
‘Allaamah As-Sayyid Muhammad Husain Ath-Thabathabai.
c. Sumber Tersier Sumber tersier adalah sumber-sumber yang diambil dari buku-buku
selain sumber primer dan sumber sekunder sebagai pendukung. Yang
dimaksud sumber tersier dalam skripsi ini adalah buku-buku lain yang
berhubungan dengan permasalahan yang menjadi pokok bahasan skripsi
ini.21 Antara lain : Ruh At-Tarbiyah wa Ta’lim karya Muhammad
‘Athiyah Al-Abrasyi, At-Tarbiyah fii Al-Islam karya Ahmad Fuad
Al-Ahwani, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam karya
18 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 2006), hlm. 139. 19 Nasution, Metode Research Penelitian Ilmiah, Edisi I, (Jakarta : Bumi Aksara, 2001),
Cet. IV, hlm. 150. 20 Saifuddin Anwar, Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Pelajar Offset, 1998), hlm. 91. 21 Saifuddin Anwar, Metodologi Penelitian, hlm. 91
12
Muhammad ‘Athiyah Al-Abrasyi, Ilmu Pendidikan dalam
Perspektif Islam karya Ahmad Tafsir, serta Pemikiran Pendidikan
Islam karya Mahmud, serta buku-buku lain yang berhubungan
dengan penelitian ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode
penelitian kepustakaan (library research),22 yaitu dengan
mengumpulkan data atau bahan-bahan yang berkaitan dengan tema
pembahasan dan permasalahannya, yang diambil dari sumber-sumber
kepustakaan.
4. Teknik Analisis Data
Guna mendapatkan jawaban dari beberapa permasalahan di atas,
untuk menganalisis data dalam penelitian ini penulis menggunakan
metode penafsiran sebagai berikut :
a. Metode Tafsir Analitik (tahlili).
Metode Analitik adalah suatu metode tafsir yang bermaksud
menjelaskan kandungan ayat al-Qur’an dari seluruh aspeknya.
Adapun langkah-langkahnya adalah :
1) Menganalisis kosakata (mufradat) dan lafal dari sudut pandang bahasa arab dalam surat Fushshilat ayat 34-35.
2) Menjelaskan tentang sebab-sebab turunnya (asbab an-nuzul) surat Fushshilat ayat 34-35.
3) Menerangkan hubungan (munasabah) surat Fushshilat ayat 34-35, baik antara satu ayat dengan ayat yang lain, maupun satu surah dengan surah yang lain yaitu surat Ghafir dan surat Asy-Syuura serta munasabah dengan ayat-ayat sebelumnya pada surat Fushshilat.
4) Memaparkan kandungan surat Fushshilat ayat 34-35 secara umum dan maksudnya.
5) Menerangkan pendapat-pendapat yang telah diberikan berkenaan dengan penafsiran surat Fushshilat ayat 34-35 tersebut yang diambil dari keterangan ayat-ayat lain, hadits nabi, pendapat sahabat, tabi’in maupun ijtihad mufasir sendiri.23
22 Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid I, hlm. 9. 23 Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1998), hlm. 31.
13
Dengan metode ini penulis akan mengulas ayat di atas dari
berbagai sudut, terutama dari bagian yang bisa secara langsung
membantu untuk menarik kesimpulan ayat tersebut.
F. Sistematika Pembahasan
Untuk memudahkan pembahasan dan pemahaman pada penelitian ini, maka
peneliti menyusun sistematika pembahasan, yang secara garis besar adalah
sebagai berikut :
Bab pertama merupakan pendahuluan yang memuat latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, metode
penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab kedua membahas tentang kajian tafsir surat Fushshilat ayat 34-35
menurut para mufassir.
Bab ketiga berisi tentang sifat-sifat pendidik menurut al-Qur’an surat
Fushshilat ayat 34-35.
Bab keempat berisi tentang implikasi sifat-sifat pendidik dalam system
pendidikan Islam.
Sedangkan bab kelima merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan,
dan saran-saran.
14
BAB II
KAJIAN TAFSIR
AL QUR’AN SURAT FUSHSHILAT AYAT 34-35
A. Deskripsi Al Qur’an Surat Fushshilat Ayat 34-35
Surat Fushshilat diturunkan di Makkah yang lebih dikenal dengan sebutan
Makiyyah serta tertulis dalam al-Qur’an urutan yang ke-41 setelah surat Ghafir
dan terdiri dari 54 ayat. Pada penelitian ini, penulis meneliti ayat ke 34-35 dari
surat Fushshilat.
1. Teks, Mufrodat, dan Terjemah
a. Teks
b. Mufrodat :
توي ال Tidaklah sama : تس
فع Tolaklah : اد
ة او د Permusuhan : ع
يل و مح يم : Teman yang sangat setia
اما قاه ل Tidak menerima dan tidak menanggung nasehat ini1 : يـ
ظ Bagian yang banyak dari kebaikan2 : ح
c. Terjemah :
1 Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, terj.Hery Noer Aly, (Semarang: Toha
Putra, 1992), jilid 24, hlm. 240 2 Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, jilid. 24, hlm. 241
15
Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar. (Q.S. Fushshilat/41 : 34-35)3
2. Gambaran Umum Surat Fushshilat Ayat 34-35
Dalam Surat Fushshilat ayat 34-35 menerangkan bahwasanya antara
kebaikan dengan kejelekan tidaklah sama. Maksud dari ketidaksamaannya terletak
pada balasan yang diterima manusia di sisi Allah swt. Sesudah itu, Allah swt
menyuruh rasul-Nya agar menolak ketololan dan kebodohan kaum musyrik
dengan cara yang lebih baik, karena dengan demikian maka hati mereka akan
menjadi lunak dan jiwa mereka akan berhenti dari kesesatan dan kembali ke jalan
yang benar (sadar).4
Cara rasul menolak ketololan serta kebodohan kaum musyrik dengan cara
yang sangat bertentangan dengan perbuatan mereka, yaitu dengan cara yang halus,
tegas dan bijaksana akan berimbas kepada kesadaran mereka, akan tetapi Allah
swt menerangkan tentang cara yang dilakukan rasul di atas merupakan suatu
perbuatan yang tidak bisa diterima kecuali oleh orang-orang yang sabar untuk
menanggung hal-hal yang tidak disukai, seperti apa yang telah diperbuat oleh
kaum musyrik serta orang-orang yang mempunyai bagian besar dari pahala di sisi
Allah.
Tidak diterimanya perbuatan rasul kecuali oleh orang yang sabar,
dikarenakan perbuatan rasul tidak terlihat rasa marah atau dendam, akan tetapi
rasul membalasnya dengan cara yang begitu halus atau cara yang baik. Selain itu
pula rasul terkenal akan kesabarannya dalam berdakwah serta sabar menghadapi
kaum musyrik yang berusaha menolak seruannya.
3. Asbabun Nuzul Ayat dan Munasabah
3 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah, hlm. 480 4 Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, jilid. 24, hal. 241
16
Mengenai asbabun nuzul serta munasabah surat maupun ayat dalam
pembahasan ini terdapat beberapa pendapat. Adapun asbabun nuzul ayat serta
munasabah surat dan ayat sebagai berikut:
a. Asbabun Nuzul Ayat
Asbabun nuzul ayat 34, tidak secara langsung dijelaskan asbab
nuzulnya. Dalam kitab asbab nuzul yaitu Lubabun Nuqul fi Asbabun Nuzul
hanya menerangkan beberapa ayat saja dari keseluruhan ayat dalam surat
Fushshilat. Dalam kitab tersebut langsung menerangkan ayat 22 mengenai
asbabun nuzulnya yang membahas tentang pembicaraan dua orang Tsaqif
dan seorang Quraisy yang membicarakan tentang kemampuan Allah swt
dalam mendengarkan perkataan manusia, baik pelan (bisik-bisik) maupun
keras, serta mengetahui segala perbuatan yang dilakukan manusia.5
Kemudian pada ayat-ayat berikutnya secara umum menjelaskan
tentang perilaku kaum musyrikin terhadap al-Qur’an serta dakwah
Rasulullah saw. Dari hal tersebut, pada ayat 34 Allah swt menjelaskan
kepada Rasulullah saw tentang bagaimana cara menghadapi sikap kaum
musyrikin yang menghalangi dakwahnya.
Mengenai asbabun nuzul surat Fushshilat ayat 34, Zuhaili
menerangkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abu Sufyan bin
Harb yang merupakan musuh Nabi Muhammad saw yang sangat
membahayakan serta menyakitinya. Akan tetapi dengan kesabaran
Rasulullah saw serta kemuliaan akhlaqnya, Abu Sufyan menjadi sahabat
karib Nabi Muhammad saw yang setia.6
Dalam riwayat lain berkenaan dengan ayat ini, bahwa ayat ini
diturunkan berkaitan dengan Abu Jahal yang menyakiti Nabi Muhammad
saw, kemudian Allah swt memerintahkan Nabi Muhammad saw untuk
5 Jalaluddin as-Suyuthi, Lubabun Nuqul fii Asbabun Nuzul, terj: M. Abdul Mujieb AS,
(Surabaya: Darul Ihya, 1986), hal.502. 6 Wahbah az-Zuhaili, Tafsir Al Munir, (Beirut: Darul Fikr al-Mu’ashir, 1991), Juz. 24, hlm.
228
17
memaafkannya dan setelah peristiwa itu turunlah lanjutan ayat 34 yang
berbunyi :
ا نك الذي فإذ يـ بـ ه ن يـ بـ ة و او د ع أنه ك يل و يم مح
maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia (Q.S. Fushshilat/41: 34)
Pendapat lain tentang asbabun nuzul ayat ini dari Muqatil yang pada
dasarnya sama dengan pendapat di atas yaitu, ayat ini turun mengenai Abu
Sufyan. Dia adalah seorang seteru nabi yang sangat besar. Akan tetapi
ketenangan dan kesabaran nabi telah membuat Abu Sufyan berhubungan
erat dengan nabi, bahkan akhirnya menjadi mertuanya.7
b. Munasabah
Untuk mengetahui munasabah dalam penelitian ini terbagi menjadi
dua yaitu munasabah surat dan munasabah ayat. Adapun munasabahnya
sebagai berikut:
1) Munasabah surat
Munasabah surat Fushshilat dengan surat sebelumnya yaitu surat
Ghafir, yang keduanya memberikan peringatan kepada orang-orang
musyrik Makkah yang mengingkari Nabi Muhammad saw, serta
kedua surat tersebut dimulai dengan menyebut sifat-sifat al-Qur’an.8
Pendapat lain menyebutkan, munasabah surat Fushshilat dengan
surat sebelumnya yaitu surat Ghofir terdapat dua pandangan, yaitu
pertama pembukaan dari kedua surat tersebut dengan menyebutkan
sifat-sifat kitab yang mulia yaitu al-Qur’anul karim, kedua
keterlibatan kedua surat tersebut dalam ancaman-ancaman serta
7 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir al-Qur’anul Majid An-Nuur,
Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), jilid. 4, hlm.3665 8 Kementerian Agama RI, AlQur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Ikrar Mandiriabadi, 2010),
Jilid VIII, hlm. 586
18
pencelaan yang keras terhadap pembangkangan kaum musyrikin
terhadap tanda-tanda kekuasaan Allah swt di Makkah dan lainnya.9
Pada akhir surat Ghafir, Allah swt mengancam kaum musyrikin
dengan firman-Nya,
Maka apakah mereka tiada mengadakan perjalanan di muka bumi lalu memperhatikan betapa kesudahan orang-orang yang sebelum mereka. Adalah orang-orang yang sebelum mereka itu lebih hebat kekuatannya dan (lebih banyak) bekas-bekas mereka di muka bumi, maka apa yang mereka usahakan itu tidak dapat menolong mereka. (Q.S. Ghafir/40: 82)
Kemudian, pada bagian awal surat Fushshilat, Allah swt
kembali mengancam mereka dengan firman-Nya,
Jika mereka berpaling maka katakanlah: "Aku telah memperingatkan kamu dengan petir, seperti petir yang menimpa kaum `Aad dan kaum Tsamud". (Q.S. Fushshilat/41:13).
Selain terdapat munasabah dengan surat sebelumnya, yaitu surat
Ghafir, juga terdapat munasabah dengan surat sesudahnya yaitu surat
Asy-Syuura. Pada intinya surat Fushshilat mengutarakan hal-hal yang
berhubungan dengan al-Qur’an dan sikap orang-orang musyrik,
mengutarakan kekuasaan Allah swt di langit dan di bumi, ancaman
Allah swt kepada orang-orang musyrik di dunia dan di akhirat nanti.
Kemudian diterangkan keadaan orang-orang yang selalu beribadah
kepada Tuhannya dan beberapa tabiat manusia pada umumnya.
Sedangkan hubungan surat Fushshilat dengan surat Asy-Syuura,
keduanya sama-sama menerangkan tentang kebenaran al-Qur’an
9 Wahbah az-Zuhaili, Tafsir Al Munir, Juz. 24, hlm. 179
19
sebagai wahyu Allah swt yang disampaikan kepada Nabi Muhammad
saw, menolak celaan dan kecaman orang-orang kafir terhadapnya,
menghibur Nabi Muhammad saw agar tidak bersedih hati terhadap
sikap, celaan dan ancaman mereka karena telah sewajarnya musuh-
musuh agama itu berusaha menghancurkan yang wajar saja.
Apabila pada ayat-ayat terakhir surat Fushshilat, Allah swt
menyuruh orang-orang yang mengingkari kenabian Nabi Muhammad
saw dengan menolak al-Qur’an agar mereka merenungkan dan
memikirkan bukti-bukti kebenaran al-Qur’an, maka pada permulaan
surat Asy-Syuura, Allah swt menerangkan bahwa dakwah para rasul
adalah sama.10 Langit, bumi, dan segala isinya adalah di bawah
kekuasaan Allah swt, agar manusia tidak tersesat, maka Allah swt
mengirim para rasul dengan membawa petunjuk kebenaran dan
membimbing manusia untuk memperoleh kebahagiaan di dunia dan
akhirat.
2) Munasabah ayat
Al-Zuhaily dalam tafsirnya menerangkan bahwa setelah Allah
swt menjelaskan tentang suatu perbuatan yang berkaitan dengan
seruan kepada jalan maksiat, serta Allah swt menyatakan keadaan
orang yang melawan seruan terhadap jalan maksiat tersebut yaitu
orang-orang yang mengajak kepada manusia agar bertauhid dan patuh
kepada Tuhannya, kemudian Allah swt menjelaskan tentang sopan
santun dan sifat-sifat mereka ketika membalas kejelekan dengan
kebaikan.11 Selanjutnya menjelaskan agar memohon perlindungan dari
kejelekan tipu daya syaithan yang memalingkan manusia dari
ketentuan syariat Allah.
10 Kementerian Agama RI, AlQur’an dan Tafsirnya, Jilid IX, hlm. 20 11 Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Juz. 24, hlm. 228
20
Menurut Ibnu Abbas ra bahwa ayat ini berkenaan dengan
perintah Allah swt kepada orang-orang yang beriman agar bersabar
ketika marah, lemah lembut ketika menghadapi kebodohan dan
pemaaf ketika menghadapi kesalahan seseorang. Maka apabila
perbuatan tersebut dilakukan, Allah swt akan menjaganya dari godaan
syaithan dan musuh pun akan tunduk seperti sahabat dekat.
Sedangkan menurut pendapat lain bahwa ayat ini berhubungan
dengan ayat sebelumnya yaitu pada ayat ke-5 dari surat Fushshilat.
وا قال ا و ن وبـ ل قـ نة يف مما أك ات ون ع ه د ي ل … إ
Mereka berkata: "Hati kami berada dalam tutupan (yang menutupi) apa yang kamu seru kami kepadanya …(Q.S. Fushshilat/41:5)
Pada ayat tersebut disebutkan bahwa orang-orang kafir berkata :
“hati kami telah tertutup dari seruan yang dilakukan Nabi Muhammad
saw”, Kemudian Allah swt menyuruh agar Nabi Muhammad saw
untuk bersabar atas tindakan mereka dan menghadapinya dengan
lemah lembut dan memaafkan tindakan tersebut.
Pada ayat sebelumnya, yaitu pada ayat 30 dan 31 dari surat
Fushshilat yang berbunyi,
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): "Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu". Kamilah Pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan di akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. (Q.S. Fushshilat/41:30-31)
21
Ayat tersebut diatas, pada intinya menjelaskan bahwa Allah swt
memberikan janji kepada orang-orang beriman dan teguh
pendiriannya bahwa mereka selalu didampingi para malaikat yang
menuntunnya ke jalan yang lurus.12 Adapun munasabah dengan ayat
setelahnya berkenaan dengan bukti-bukti yang terdapat pada kejadian
malam, siang, matahari, bulan dan proses bumi yang tandus kemudian
menjadi subur setelah disirami air hujan. Hal ini menjadi bukti
kekuasaan Allah untuk mematikan dan menghidupkan.
B. Penafsiran Ayat Menurut Para Mufassir
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan buku-buku tafsir untuk
menafsirkan surat Fushshilat ayat 34-35 antara lain:
1. Tafsir Al Mishbah13
Kata la / tidak kedua yang terdapat dalam firman-Nya: wa la tastawi
al-hasanah wa la as-sayyi’ah/tidaklah sama kebaikan dan tidak juga
kejahatan, menjadi pembahasan para ulama. Karena sepintas kata la yang
kedua itu tidak diperlukan. Ulama menilai kata la tersebut hanya berfungsi
sebagai ta’kid (penekanan) makna ketidaksamaan itu, akan tetapi pendapat
yang terbaik adalah dengan memahami penggalan ayat ini mengandung
semacam ihtibak (ikatan) sehingga ia mengisyaratkan adanya satu kata atau
kalimat yang tidak disebut dalam susunannya dan menjadikan penggalan
tersebut bagaikan menyatakan, ”tidak sama kebajikan dengan kejahatan,
tidak sama juga kejahatan dengan kebajikan”.
12 Kementerian Agama RI, AlQur’an dan Tafsirnya, jilid. VIII, hlm. 620 13 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), jilid 12, hlm. 54
22
Ada juga yang berpendapat bahwa penggalan ayat ini bermaksud
mengisyaratkan adanya peringkat-peringkat bagi kebajikan, sebagaimana
ada pula peringkat bagi kejahatan. Yakni, tidak sama peringkat kebajikan
dan pelakunya. Ada kebajikan yang mencapai puncak dan ada juga yang
biasa saja. Ada kebajikan yang sangat baik, seperti memaafkan sekaligus
berbuat baik kepada yang bersalah, ada juga yang hanya baik, seperti
sekedar memaafkan tanpa berbuat baik.
Kata ahsan pada ayat di atas tidak harus dipahami dalam arti yang
terbaik, tetapi yang baikpun dicakupnya. Memang, kata tersebut berbentuk
superlatif14, tetapi bentuk tersebut dipilih untuk lebih mendorong
menghadapi keburukan dengan kebaikan. Begitu juga menggunakan kata
‘adawah/permusuhan bukan ‘aduww/musuh agar mencakup segala macam
permusuhan dan peringkatnya, dari yang rendah sampai dengan yang
tertinggi.15 Alhasil, ayat ini menganjurkan untuk berusaha berbuat baik
kepada lawan selama dia adalah seorang manusia bukan setan karena
permusuhan setan bersifat abadi.
Ayat di atas menjelaskan betapa besar pengaruh perbuatan baik
terhadap manusia walau terhadap lawan. Sementara para cendekiawan
menguraikan mengapa menggunakan kata fa idza/maka tiba-tiba serta
menguraikan mengapa orang yang tadinya merupakan musuh, tiba-tiba
menjadi teman yang sangat akrab, salah satunya diuraikan oleh Hamid
Thaha al-Khasysyab dalam Tafsir Misbah, jiwa manusia sangat ajaib.16
Tidak jarang menyangkut satu objek pun hatinya bersikap kontradiktif
sehingga, setiap perasaan betapa pun agung dan luhurnya, tetap
mengandung benih-benih perasaan yang bertolak belakang dengannya.
Perasaan mempunyai logika yang berbeda dengan logika akal, karena akal
14 Superlatif dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti tingkat perbandingan yang teratas
(bentuk kata yang menyatakan paling, yaitu ter --) 15 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, jilid 12, hlm. 55 16 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, jilid 12, hlm. 55
23
tidak dapat menggabung dua hal bertolak belakang. Karena itu, tidak ada
cinta tanpa benci, tidak ada rahmat tanpa kekejaman.
Apabila seseorang memusuhi orang lain dan memperlakukannya
secara tidak wajar, pada saat itu pula sebenarnya disadari atau tidak, ada
benih kebaikan dalam diri yang memusuhi itu terhadap yang dimusuhinya,
namun benih itu ditekan dan berusaha dipendam oleh yang memusuhi
kebawah sadarnya. Tetapi bila perlakuan tidak wajar tadi dihadapi oleh
siapa yang memusuhinya dengan sikap lemah lembut dan bersahabat,
kemungkinan besar sikapnya yang lemah lembut dan bersahabat itu
mengundang munculnya benih-benih kebaikan yang dipendam oleh yang
memusuhinya tadi sehingga tiba-tiba pula ia tampak kepermukaan dan
terjadilah apa yang digambarkan ayat di atas: maka tiba-tiba orang yang
antaramu dan antara dia ada permusuhan akan berubah sikapnya
terhadapmu sehingga seolah-olah dia telah menjadi teman yang sangat
setia.
Kata yulaqqaha berasal dari kata laqiya yang berarti bertemu. Bentuk
kata ini merupakan bentuk pasif dan mudhari’. Dengan demikian secara
harfiah kata tersebut berarti dipertemukan. Maksudnya menolak kejahatan
dengan kebajikan adalah satu sifat yang sangat terpuji, ia tidak
dipertemukan dengan seseorang kecuali yang telah terbiasa mengasah
jiwanya dengan kesabaran.17 Penggunaan kata ini mengandung isyarat agar
setiap orang berusaha secara terus menerus untuk mengasah jiwanya
sehingga dapat meraih kebajikan itu.
Kata hazhzh sama dengan kata nashib/bagian atau perolehan.
Sementara ulama membatasinya dalam pengertian bagian atau perolehan
kebajikan. Dari sini, ia dipahami dalam arti keberuntungan. Terlepas apakah
bahasa menggunakannya dalam arti bagian secara mutlak, kebajikan atau
17 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, jilid 12, hlm. 56
24
keburukan, namun yang dimaksud oleh ayat ini adalah perolehan kebajikan
yakni keberuntungan.
Anjuran memberi maaf atas kesalahan orang lain serta bersikap
bersahabat kepadanya adalah dalam kaitan kesalahan yang tertuju kepada
pribadi seseorang, bukan kesalahan dan kedurhakaan terhadap Allah swt dan
agama-Nya. Rasul saw dikenal sebagai seorang yang amat pemaaf, tetapi
jika hak Allah swt telah dilecehkan, ketika itu beliau marah dan tampil
meluruskan kedurhakaan itu dengan tegas, serta tetap bijaksana.
2. Tafsir Al Maraghi18
ال توي و تس ة ن س ال احل و ة يئ السKebaikan (hasanah) yaitu hal-hal yang diridhai oleh Allah swt dan
diberi pahala atas melakukannya, tidaklah sama dengan keburukan
(sayyi’ah) yaitu hal-hal yang tidak disukai Allah swt, dan dihukum apabila
melakukannya. Dalam pengertian lain disebutkan tidaklah sama seruan
Rasulullah saw kepada agama yang benar dengan cara yang terbaik dan
bersabar atas kebodohan orang-orang kafir, serta tidak membalas dendam
kepada mereka, dengan kekasaran dan kebengisan yang mereka nyatakan
dalam perkataan mereka,
وا قال ا و ن وبـ ل قـ نة يف ونا مما أك ع ه تد ي ل إ
Hati kami berada dalam tutup (yang menutupi) apa yang kamu seru kepadanya (Q.S. Fushshilat/41: 5)
Dapat disimpulakan bahwa tindakanmu, wahai rasul adalah baik
(hasanah), sedangkan tindakan mereka adalah buruk (sayyi’ah). Maka
apabila kamu melakukan yang hasanah ini, kamu patut mendapatkan
penghormatan di dunia dan pahala di akherat. Kemudian Allah swt
18 Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, jilid. 24, hal. 241
25
menyebutkan suatu hasanah dalam membalas perbuatan orang-orang kafir,
yaitu seperti firman-Nya,
فع باليت اد ي ه ن س أح
Tolaklah ketololan dan kebodohan orang-orang kafir dengan cara
yang terbaik. Maksudnya hadapilah tindakan mereka yang buruk dengan
berbuat baik kepada mereka, hadapilah dosa dengan memberi maaf, marah
dengan bersabar dan mendiamkan kekeliruan-kekeliruan serta menanggung
hal-hal yang tidak disukai. Maka apabila kamu melakukan hal ini terus
menerus terhadap mereka, maka mereka akan malu atas akhlak mereka yang
buruk dan tidak akan melakukan perbuatan yang serupa kembali.
Kemudian Allah swt menerangkan hasil-hasil dari tolakan dengan cara
terbaik dalam firman-Nya,
ا إذ نك الذي ف يـ بـ ه ن يـ بـ ة و او د ع أنه ك يل و يم مح
Sesungguhnya jika kamu melakukan dengan cara seperti ini maka mereka akan berbalik dari musuh menjadi kekasih dan dari benci menjadi cinta.
Ibnu Abbas berkata , Allah ta’ala menyuruh Nabi Muhammad saw
pada ayat ini agar bersabar dalam menghadapi kemarahan, bersikap
penyantun, ketika menghadapi kebodohan, memberi maaf ketika
menghadapi perlakuan yang buruk. Apabila manusia melakukan hal-hal
seperti itu, maka Allah swt akan memeliharanya dari setan dan musuh akan
tunduk padanya.
Setelah Allah swt memberikan cara menghadapi orang-orang kafir,
Allah swt menurunkan ayat berikutnya yaitu,
ا م ا و قاه ل ال يـ إ ين الذ بـ واص ر
Dan tidak ada yang menerima nasehat seperti itu dan
melaksanakannya kecuali orang-orang yang sabar menanggung hal-hal yang
tidak disukai dan merasakan penderitaan-penderitaan, menahan amarah dan
26
tidak membalas dendam. Semua itu benar-benar berat bagi jiwa, dan
biasanya sulit menanggungnya kecuali bagi orang yang mendapat
perlindungan dari Allah swt.
ا م ا و قاه ل ال يـ و إ ظ ذ ح يم ظ ع
Dan tidak ada yang menerima nasehat seperti ini kecuali orang yang
mempunyai bagian yang besar dari kebahagiaan di dunia dan di akherat.
Dalam hal ini Qatadah berkata: Al Hazzul Adzim yang dimaksud ialah surga.
Jadi maksud ayat tersebut yaitu tidak ada yang menerima nasehat seperti itu
kecuali orang yang pasti masuk surga.
3. Tafsir Ibnu Katsir19
ال توي و ة تس ن س ال احل ة و يئ الس
Dalam penggalan ayat tersebut, terdapat perbedaan yang sangat besar
antara kebaikan dan kejahatan. Kemudian pada lanjutan ayat tersebut,
فع باليت اد ي ه ن س أح
Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, yaitu jika ada
orang yang berlaku buruk kepadamu, maka tolaklah dengan cara yang lebih
baik. Sebagaimana Umar berkata, “Tolaklah menghukum orang yang
berbuat maksiat kepada Allah swt dalam dirimu sebagaimana engkau
berbuat taat kepada Allah swt dalam dirinya”
ا نك الذي فإذ يـ بـ ه ن يـ بـ ة و او د ع أنه ك يل و يم مح
Pada ayat tersebut yang berarti, “maka tiba-tiba orang yang antaramu
dan antara dia ada permusuhan seolah-olah menjadi teman yang setia”, yaitu
sebagai teman baik. Jika engkau berbuat baik kepada orang yang berbuat
jahat kepadamu, maka sesungguhnya kebaikan itu akan mengarahkannya
19 Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman Alu Syaikh, Tafsir Ibnu Katsir, terj: M.
Abdul Ghaffar, (Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’I, 2008), jilid.8, hlm. 258
27
untuk bersikap tulus kepadamu, mencintaimu dan merindukanmu, sehingga
seakan-akan dia menjadi teman setia, dalam arti mendekatimu dengan rasa
kasih sayang dan berbuat baik. Kemudian Allah swt berfirman,
ا م ا و قاه ل ال يـ إ ين وا الذ ر بـ ص
Yang berarti, “sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan
kepada orang-orang yang sabar”, tidak ada yang dapat menerima dan
mengamalkan wasiat ini kecuali orang yang sabar atas hal itu, karena ini
sangat berat untuk jiwa. Lanjutan firman Allah swt dari ayat di atas,
ا م ا و قاه ل ال يـ و إ ظ ذ ح يم ظ ع
Yaitu, orang yang mendapatkan bagian terbesar berupa kebahagiaan di
dunia dan di akherat. Ali bin Abi Thalhah berkata dari Ibnu ‘Abbas dalam
menafsirkan ayat ini, “Allah swt memerintahkan orang-orang yang beriman
untuk sabar ketika marah, lapang dada ketika dibodohi, serta memaafkan
ketika disalahkan. Jika mereka melakukan hal itu, niscaya Allah swt
memelihara mereka dari setan serta menundukkan musuh-musuh mereka,
seakan-akan menjadi teman yang setia”.
4. Tafsir Qur’anul Majid An Nuur20
ال توي و تس ة ن س ال احل و ة يئ الس
Sama sekali tidak sama antara dakwah kepada Allah swt dan mencela
(mengancam) orang-orang yang berdakwah. Tidaklah sama antara kebajikan
atas kejahatan. Kebajikan diridhai oleh Allah swt dan diberi pahala,
sedangkan kejahatan dibenci oleh Allah swt dan dibalas dengan siksa.
فع باليت اد ي ه ن س أح
20 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir al-Qur’anul Majid An-Nuur, jilid. 4,
hlm.3664
28
Ini adalah suatu pedoman yang diberikan oleh Allah swt kepada Nabi
Muhammad saw dalam menghadapi orang-orang musyrik. Allah swt
memerintahkan Nabi Muhammad saw untuk melawan keburukan dengan
pekerti yang baik, seperti melawan kemarahan dengan sikap sabar, melawan
tindakan yang kasar dengan memberi maaf.
ا إذ نك الذي ف يـ بـ ه ن يـ بـ ة و او د ع أنه ك يل و يم مح
Hai Muhammad, apabila kamu berlaku seperti itu, tentu dapat
mengubah keadaan. Permusuhan menjadi persahabatan, musuh berubah
menjadi teman yang sangat akrab. Muqatil menyebutkan bahwa ayat ini
turun mengenai Abu Sufyan yang merupakan seteru nabi yang sangat besar,.
Akan tetapi ketenangan dan kesabaran nabi membuat Abu Sufyan
berhubungan erat dengan nabi, bahkan menjadi mertuanya.
ا م ل و ايـ ال قاه إ ين وا الذ ر بـ ص
Nasehat-nasehat untuk berbuat baik seperti yang telah dijelaskan ini
tidaklah akan diterima dan diamalkan, melainkan oleh orang-orang yang
sabar menghadapi kesulitan dan kesukaran, dapat menahan amarah dan
tidak membalas sakit hati (menaruh dendam).
Anas menafsirkan ayat ini bahwa yang dimaksud orang-orang yang
sabar adalah orang yang apabila dimaki kawannya berkata, “kalau engkau
benar telah mencaci-maki aku, maka mudah-mudahan Allah swt
mengampuni dosamu”.
ا م قا و ل ايـ ال ه و إ ظ ذ ح يم ظ عDan hanyalah orang-orang yang mendapatkan kebahagiaan
(keberuntungan) yang sempurna di dunia dan di akherat yang bisa menerima
nasehat-nasehat ini.
29
5. At-Tafsiru Al-Munir21
ال توي و تس ة ن س ال احل و ة يئ , الس فع باليت اد ي ه ن س أح
Tidaklah sama antara perbuatan yang baik yang diridhai Allah swt
serta mandapatkan pahala, dengan perbuatan yang buruk yang dibenci Allah
serta mendapatkan hukuman atas perbuatan tersebut.22 Perbuatan yang
sopan termasuk dalam perbuatan baik dan perbuatan yang kasar termasuk
dalam perbuatan yang buruk.
Dalam hal tersebut terdapat perintah kepada para da’i (orang-orang
yang berdakwah) untuk menolak perbuatan orang-orang yang berbuat buruk
(jahat) kepadamu dengan berbuat baik kepadanya, yaitu dengan perkataan
yang baik dan menghadapi perbuatan buruk dengan perbuatan baik, serta
memberi maaf perbuatan yang salah, menghadapi kemarahan dengan
kesabaran, dan menolak dari perbuatan yang menyimpang serta perbuatan
keji.
ا ن الذي فإذ يـ ك بـ ه ن يـ بـ ة و او د ع أنه ك يل و يم مح
Sesungguhnya apabila kamu melaksanakan hal tersebut, menghadapi
keburukan dengan kebaikan, maka musuh akan menjadi seorang teman
setia. Sangatlah baik perbuatan seseorang yang dapat merubah musuh atau
orang yang hasad menjadi teman setia, seperti halnya teman baik yang
saling tolong menolong ketika mendapatkan cobaan di karenakan belas
kasihan dan kasih sayang.
ا م ا و قاه ل ال يـ إ ين وا الذ ر بـ ا ص م ا و قاه ل ال يـ ظ ذو إ ح يم عظ
Tidak akan ada yang dapat menerima wasiat ini dan mengamalkan
wasiat tersebut, yaitu menolak perbuatan buruk dengan perbuatan baik, serta
21 Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, juz. 24, hlm. 228 22 Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, juz. 24, hlm. 228
30
memberikan seluruh kemampuannya untuk kebiasaan ini, kebiasaan
menolak kejahatan atau keburukan dengan kebaikan kecuali orang-orang
yang bersabar untuk menahan amarah dan perbuatan keji. Apabila kesabaran
melekat pada jiwa, niscaya tidak akan menerima perbuatan keji dan
menahan amarah kecuali orang-orang yang mempunyai nasib kebahagiaan
yang melimpah di dunia dan akherat, begitu juga orang-orang yang
beruntung yang mendapatkan limpahan pahala dan kebaikan.
Ibnu Abbas berkata dalam menafsirkan ayat ini, Allah swt menyuruh
orang-orang yang beriman untuk bersabar ketika marah, berfikir ketika tidak
mengetahui (bodoh), memberi maaf ketika salah, apabila kalian
melaksanakan hal tersebut, Allah swt akan melindungi dari syetan dan
menundukkan kepada mereka musuh-musuh mereka manjadi seperti teman
yang setia.
6. Al-Mizan Fii Tafsir Al-Qur’an23
ال توي و تس ة ن س ال احل و ة يئ الس
Ketika disebutkan perkataan yang baik yaitu berdakwah kepada Allah
swt, dan menjalankan suatu perkara yang hak yang dibebankan kepadanya
yaitu kepada Nabi Muhammad saw, dengan menerangkan cara yang paling
baik untuk berdakwah dan yang paling dekat dengan tujuan yang diharapkan
dari dakwah tersebut, yaitu pengaruh dalam jiwa, kemudian Allah swt
menjelaskan kepada Nabi Muhammad saw dengan firman-Nya,
ال توي و تس ة ن س ال احل و ة يئ اخل... الس
Dari berbagai pengaruh yang baik dalam jiwa yaitu perilaku baik dan
buruk. Kalimat ال di dalam ــيئة ال الس merupakan suatu tambahan untuk
penekanan larangan.
23 Al-‘Allaamah As-Sayyid Muhammad Husain Ath-Thabathabai, Al-Miizaan fii Tafsir Al
Qur’an, (Beirut: Muassatu Al-A’lamiy Lilmathbu’at, 1991), jilid. 17, hlm. 392
31
فع باليت اد ي ه ن س أح
Penggunaan kalimat dafa’a dalam permulaan makna seperti halnya
seseorang yang diajak bicara ( Nabi Muhammad saw ) ketika mendengar
firman-Nya تسـتوى ال berkata “apa yang harus saya lakukan ?”, Allah swt
berfirman, idfa’ billatii hiya ahsan, maksudnya tolaklah perilaku yang buruk
yang kamu hadapi dan lawan dengan perilaku yang lebih baik. Tolaklah
kebatilan mereka terhadapmu dengan sesuatu yang hak (kebaikan), tidak
dengan perbuatan yang serupa atau perbuatan yang batil pula, serta dengan
pengetahuanmu atas kebodohan mereka, dan pemberian maafmu atas
kesalahan mereka.
ا نك الذي فإذ يـ بـ ه ن يـ بـ ة و او د ع أنه ك يل و يم مح
Ayai ini menjelaskan tentang pengaruh penolakan suatu keburukan
dengan kebaikan dan nilai yang terkandung didalamnya. Maksud dari ayat
ini, apabila kamu menolak dengan sesuatu yang lebih baik, kamu akan
dikejutkan dengan berubahnya musuhmu menjadi teman yang akrab atau
menyayangimu. Kemudian Allah swt memuliakan/mengagungkan
penolakan keburukan dengan kebaikan dan memujinya dengan pujian yang
lebih baik dan menyampaikan pujiannya dengan firman-Nya,
ا م ا و قاه ل ال يـ إ ين وا الذ ر بـ ا ص م ا و قاه ل ال يـ ظ ذو إ ح يم عظ
Yaitu suatu keberuntungan yang melimpah dari keutuhan seorang
manusia dan tercapainya suatu kebaikan. Dalam hal ini, terdapat bukti yang
sangat jelas bahwasanya keberuntungan yang sangat besar atau melimpah
hanya khusus untuk orang-orang yang sabar.
C. Rangkuman Tafsir Para Mufassir
Dari penafsiran beberapa mufassir tersebut di atas, masing-masing terdapat
suatu kesamaan dalam menafsirkan serta pendapatnya tentang isi kandungan ayat.
32
Beberapa penafsiran tersebut di atas dapat diambil suatu kesimpulan tentang
penafsiran surat fushshilat ayat 34-35, sebagai barikut:
1. Pada ayat pertama yaitu ayat 34, Allah swt menjelaskan kepada Nabi
Muhammad saw, bahwa antara kebaikan dan kejelekan tidaklah sama.
Kemudian Allah swt memerintahkan kepada nabi untuk melawan kejelekan-
kejelekan dengan perbuatan yang lebih baik, bukan dengan kejelekan yang
serupa, serta dalam menghadapi kebodohan seseorang dengan lemah lembut,
memaafkan kesalahan dan menghadapi kemarahan dengan bersabar.
2. Menghadapi kejahatan dengan suatu kebaikan akan memberikan suatu
gejolak jiwa yang sangat besar yaitu berubahnya sifat permusuhan menjadi
persahabatan
3. Secara tersirat di dalam ayat tersebut, Allah swt menyuruh Nabi Muhammad
saw untuk memiliki sifat-sifat yang terkandung di dalam ayat, diantaranya
sabar, lemah lembut, dan pemaaf.
4. Pada ayat selanjutnya yaitu ayat 35, tidaklah semua orang mampu untuk
menolak kejahatan yang menimpanya dengan suatu kebaikan kecuali orang-
orang yang dianugerahi Allah swt sifat kesabaran dalam jiwa mereka dan
keberuntungan yang sangat besar di dunia maupun di akherat.
D. Esensi Ayat
Dalam sejarah kerasulan, Nabi Muhammad saw dikenal dengan sebutan
Nabiyul Ummiy (tidak pandai membaca dan menulis). Dalam keadaan demikian
Nabi Muhammad saw dituntut melaksanakan bimbingan dan dakwah kepada umat
manusia untuk menempuh jalan yang benar demi keselamatan mereka di dunia
dan di akherat. Dan ternyata keberhasilan yang dicapai Nabi Muhammad saw
melebihi keberhasilan yang ditempuh oleh para nabi dan rasul sebelumnya hingga
terasa sampai sekarang.
Secara logika, tidaklah mungkin seorang yang tidak mampu membaca dan
menulis mampu mengajak kaumnya yang kasar dan keras kepala, menjadi patuh
dan bisa menerima ajarannya tanpa bimbingan Allah swt.
33
Memperhatikan dari prosesnya, bahwa hubungan Nabi Muhammad saw
dengan Allah swt adalah laksana seorang guru dengan murid. Dengan demikian
hubungan Nabi dangan umatnya merupakan hubungan guru atau pembimbing
dengan anak didiknya, karena Nabi adalah seorang yang bertugas membimbing
umat menuju jalan keselamatan.
Ayat di atas meskipun secara khusus ditujukan kepada Nabi Muhammad
saw dan diturunkan mengenai persoalan yang khusus, tetapi karena hubungan nabi
dengan umatnya merupakan hubungan antara guru dan murid, maka ayat ini selain
tuntutan bagi nabi juga merupakan tuntuan bagi umatnya untuk melaksanakan
pendidikan.
Perbuatan Nabi Muhammad saw dalam melaksanakan proses pendidikan
serta perilakunya dalam mendidik, sangatlah patut untuk dicontoh oleh pendidik
atau guru pada masa sekarang ini. Sifat-sifat yang dimiliki Nabi Muhammad saw
setidaknya dimiliki pula oleh seorang pendidik atau guru sebelum terjun ke dunia
pendidikan untuk mendidik serta mencetak anak didiknya sesuai tujuan yang
diharapkan oleh pendidikan Islam.
Esensi yang dapat diambil dari ayat ini adalah berkenaan dengan sifat-sifat
yang harus dimiliki oleh seorang pendidik, dan lebih khusus lagi berkenaan
dengan sifat-sifat yang harus dimiliki oleh guru ketika menghadapi siswa yang
berbuat kesalahan. Sehingga guru tidak menghadapinya dengan kekerasan,
melainkan dengan sifat kesabaran, lemah lembut dan memaafkan.
34
BAB III
SIFAT-SIFAT PENDIDIK MENURUT AL-QUR’AN
SURAT FUSHSHILAT AYAT 34-35
Pendidik dalam pendidikan Islam harus memenuhi kriteria sebagai pendidik,
diantaranya harus memenuhi sifat-sifat yang baik sebagai seorang pendidik dalam
melaksanakan tugasnya, baik dalam lingkup pendidikan formal, non formal,
maupun informal. Mengenai sifat-sifat yang harus dimiliki oleh pendidik
terkandung dalam surat Fushshilat ayat 34-35 yang merupakan wujud pendidikan
Allah kepada nabi Muhammad saw ketika berdakwah atau menyampaikan risalah
yang diembannya, walaupun ayat tersebut secara langsung bukan merupakan ayat
tentang pendidikan. Adapun sifat-sifat tersebut menurut para mufassir adalah:
A. Kesabaran
Kesabaran berasal dari kata dasar sabar yang berarti tenang, dan
kesabaran berarti ketenangan hati dalam menghadapi cobaan atau sifat
tenang.1 Rasulullah saw dalam berdakwah mengajak orang musyrik dan kafir
untuk beriman kepada Allah swt sangat mengedepankan sifat kesabaran.
Berbagai halangan dan rintangan yang dihadapi oleh Rasulullah saw selalu
dihadapi dengan hati yang tenang atau hati yang sabar. Tanpa sifat kesabaran
tersebut, dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah saw akan mengalami
kegagalan dalam mengajak kaum musyrik dan kafir untuk beriman kepada
Allah swt.
Kesabaran menurut Quraish Shihab dalam tafsirnya al-Misbah, bahwa
pada kalimat yang berbunyi wamāyulaqqāhā illallażīna ṣabarū menerangkan
tentang kesabaran. Pada kata ṣabarū yang berarti bersabar, mengindikasikan
bahwa Allah menganjurkan atau menyuruh nabi Muhammad saw untuk
bersabar dalam menghadapi para kaum musyrikin dalam berdakwah.2
1 Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), hlm. 1334 2 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, jilid 12, hlm. 56
35
Penggalan kata tersebut juga mengandung arti untuk selalu berusaha terus
menerus dengan penuh kesabaran hingga apa yang menjadi tujuannya dapat
tercapai dengan baik.
Maraghi mengartikan kata sabar dalam tafsirnya yaitu seseorang yang
selalu tabah dan bersabar dalam menghadapi segala sesuatu perkara yang
tidak disukai atau merasakan penderitaan.3 Kesabaran yang dilakukan rasul
merupakan suatu perbuatan yang tidak mungkin dapat dilakukan oleh
seseorang kecuali orang tersebut telah berhasil dan selalu mengasah jiwanya
untuk selalu menerapkan sifat kesabaran dalam menghadapi segala sesuatu
yang menimpanya dan rasul telah berhasil melukukan hal tersebut karena
didikan dari Allah secara langsung melalui firman-Nya.
Wahbah az-Zuhaili mengartikan kalimat illallażīna ṣabarū (kecuali
orang-orang yang sabar) yaitu suatu sifat yang selalu melekat dalam jiwa
yang selalu menolak untuk berbuat keji dan selalu menahan amarah. Sifat
tersebut hanya dimiliki oleh orang-orang yang beruntung di dunia dan
akherat.4 Dari pernyataan beberapa mufassir diatas, pada dasarnya memiliki
kesamaan dalam pemaknaan kata sabar dalam potongan ayat 35 dari surat
Fushshilat. Yang kesemuanya merupakan wujud dari ketenangan dalam
menghadapi cobaan yang datang dari Allah swt sehingga jiwa seseorang tidak
akan memiliki keinginan untuk berbuat keji atau perbuatan yang tidak baik.
Sifat kesabaran inilah yang mempengaruhi keberhasilan dakwah serta
pendidikan Rasulullah saw terhadap orang-orang yang diajaknya untuk
beriman kepada Allah swt. Tingkat kesabaran dan ketabahan rasul sangat kuat
yang memungkinkan orang lain tidak dapat menyamainya. Semua persoalan
yang dihadapi Rasulullah saw, selalu dihadapinya dengan penuh kesabaran.
Belum pernah ada seorangpun yang mendapatkan berbagai macam
musibah, kesulitan, penderitaan, dan keadaan yang kritis, seperti yang dialami
oleh nabi Muhammad saw, sedang beliau tetap sabar dan tegar
3 Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, jilid. 24, hal. 243 4 Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, juz. 24, hlm. 229
36
menghadapinya.5 Beliau sabar dalam menghadapi kejahatan kaum musyrikin,
sabar dalam menerima ejekan musuh, dan terkadang sabar atas kemenangan
musuh. Ketika beliau diusir, tetap sabar dalam menghadapinya dan tetap
sabar dari semua macam cobaan dan penderitaan yang menimpanya.
Kesabaran merupakan kunci kesuksesan dakwah atau pendidikan yang
dilakukan oleh Rasulullah saw dibawah bimbingan langsung dari Allah swt.
Hanya dengan kesabaran dan tawakkal seorang yang tidak bisa membaca dan
menulis dapat melaksanakan tugas berat dari Allah swt untuk mengajarkan
risalah keislaman dan menyampaikan wahyu yang diterimanya.
B. Berbuat Baik
Pada permulaan surat Fushshilat ayat 34 menyebutkan bahwa tidaklah
sama antar perbuatan baik dengan perbuatan buruk yang kemudian
dilanjutkan dengan perintah untuk menghadapi dengan perbuatan yang lebih
baik. Dapat dilihat dalam ayat yaitu:
ال توي و تس ة ن س ال احل و ة يئ , الس فع باليت اد ي ه ن س أح
Dari ayat tersebut pada kalimat lā tastawī merupakan penekanan untuk
membedakan antara yang baik dengan yang buruk. Dalam menghadapi suatu
perbuatan yang buruk, Zuhaili dalam tafsirnya menafsirkan bahwa perbuatan
buruk ditolak dengan perbuatan yang lebih baik yang berarti berlawanan
dengan perbuatan yang dialami yaitu perbuatan buruk dibalas atau ditolak
dengan perbuatan yang baik.6 Dengan pembalasan yang lebih baik akan
memendam bahkan menghilangkan rasa ingin membalas dendam dengan
perbuatan yang serupa.
Seperti halnya yang diutarakan oleh Hasbi Ash-Shiddieqy, bahwa
pedoman atau pendidikan yang diberikan Allah kepada nabi Muhammad saw
5 `Aidh bin `Abdullah Al-Qarni, Visualisasi Kepribadian Muhammad, (Bandung: Irsyad
Baitus Salam, 2006), hlm. 49. 6 Al-‘Allaamah As-Sayyid Muhammad Husain Ath-Thabathabai, Al-Miizaan fii Tafsir Al
Qur’an, jilid. 17, hlm. 392
37
yaitu berbuat baik.7 Perbuatan baik disini dimaksudkan untuk melawan
perbuatan buruk dengan budi pekerti yang lebih baik walaupun yang dihadapi
adalah musuh atau seseorang yang telah berbuat jahat. Sifat ini dapat
mencakup seluruh sifat baik yang lain, yang meliputi kesabaran, pemaaf, dan
sifat-sifat baik yang lainnya. Jadi tidak diartikan sebagai satu perbuatan baik
saja.
Berhubungan dengan cakupan perbuatan baik yaitu mencakup seluruh
perbuatan-perbuatan yang baik, Quraish Shihab dalam tafirnya menerangkan
bahwa kalimat ahsan untuk mendorong seluruh perbuatan-perbuatan yang
baik.8 Pengaruh yang akan dihasilkan dari pembalasan dengan perbuatan
yang berlawanan yaitu dengan perbuatan yang baik bahkan lebih baik, akan
menjadikan seorang musuh menjadi kerabat dekat.
Perbuatan baik kepada lawan akan berpengaruh terhadap kejiwaan
lawan itu sendiri. Karena setiap hati manusia walaupun bersifat jahat, pasti
terdapat suatu benih kebaikan dalam dirinya yang terpendam oleh bawah
sadarnya. Allah swt telah menjelaskan pengaruh yang timbul apabila
melawan perbuatan jahat dengan perbuatan baik yaitu berubahnya suatu
permusuhan menjadi sahabat atau teman baik.
Rasulullah saw sebagai pendidik, selalu mengajarkan yang terbaik
untuk ummatnya serta berbuat baik kepada mereka. Karena sifat tersebut
Rasulullah saw disegani oleh ummatnya. Sifat yang baik ini hendaknya
diikuti oleh seorang pendidik-pendidik Islam. Sifat ini termasuk sarana
terbaik dalam mengajar dan mendidik. Karena seorang murid akan menilai
serta meniru apa yang dilakukan gurunya baik dari sifat maupun sikap atau
perbuatannya. Ia akan lebih meniru seorang guru daripada orang lain. Jika
seorang pendidik memiliki sifat serta sikap yang terpuji dan selalu berbuat
kebaikan, maka akan berdampak positif bagi muridnya. Dalam jiwanya akan
terpatri hal-hal yang baik yang tidak akan dapat dilakukan meski dengan
7 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir al-Qur’anul Majid An-Nuur, jilid. 4,
hlm. 3665 8 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, jilid 12, hlm. 55
38
berpuluh-puluh nasihat dan pelajaran. Oleh karena itu tidak ada yang pantas
dijadikan contoh oleh seorang pendidik untuk mendidik anak-anaknya kecuali
Rasulullah saw.
Budi pekerti seorang pendidik sangat penting dalam pendidikan watak
peserta didik. Pendidik harus menjadi suri tauladan yang baik, karena anak-
anak atau peserta didik memiliki sifat suka meniru kelakuan pendidiknya. Di
antara tujuan pendidikan Islam membentuk akhlak peserta didik yang baik
dan ini hanya dapat dilakukan oleh pendidik yang selalu berbuat baik serta
berkelakuan baik. Sebaliknya seorang pendidik yang selalu berbuat yang
tidak baik serta tidak memiliki kelakuan yang baik, tidak mungkin
dipercayakan untuk mendidik.9
C. Lemah Lembut
Secara bahasa lemah lembut berarti baik hati. Sifat ini melekat pada diri
Rasulullah saw sekaligus menjadi salah satu cara dalam meraih keberhasilan
dakwah beliau. Di dalam al-Qur’an telah dijelaskan mengenai sifat lemah
lembut rasul. Ibnu Abbas dalam Maraghi menyebutkan sifat lemah lembut
serta penyantun rasul ketika menghadapi suatu kebodohan kaum musyrikin.10
Dengan sifat tersebut Allah akan menundukkan musuh kepada orang rasul
serta orang-orang yang mampu mengedepankan sifat kelemahlembutannya
dan penyantun. Musuh akan menjadi teman karib karena ketulusan hatinya
untuk selalu berbuat lemah lembut terhadap orang yang telah berbuat jahat.
Perilaku lemah lembutnya Rasulullah saw yang menjadi pendukung
keberhasilan dakwahnya dalam menghadapi berbagai macam rintangan yang
muncul dari kaum musyrikin diperjelas dalam surat Ali Imran ayat 159 :
9 Zakiyah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), hlm. 42 10 Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, jilid. 24, hal. 243
39
ا م ب ة ف مح ر ه الل من نت ل م هل و ل و نت ك ا يظ فظ ل لب غ الق النفضوا ن ك م ل و ح فاعف م ه نـ ع ر غف تـ اس و م هل م ه ر او ش و ر يف ا األم ت فإذ م ز ع كل و تـ لى فـ ه ع إن الل
ه ب الل ني حي ل ك و تـ ﴾١٥٩﴿ الم Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma`afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
Esensi dalam ayat tersebut menjelaskan bahwa sifat lemah lembut
untuk menghindari menjauhnya para kaum yang diajaknya untuk berjuang
bersamanya serta beriman pada Allah swt serta untuk menghindari dari
akhlak yang jelek. Sifat lemah lembut yang dimiliki Rasulullah saw juga
diterangkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Malik ibn al-Huwayris
sebagai berikut,
نا ث د دد ح س , م نا ث د ل ح ي اع مس , إ نا دث ب ح أيـو ن ة أىب ع الب عن ق ان أىب م ي ل سك ال ن م ب رث ي و احل ا :قال ن يـ أتـ لى النيب ص ه الله ي ل ع لم س و ن حن و ة ب ب ش تـ م ون ب ار قا ن فأقم ه ند ع ين ر ة عش ل يـ ن ل ا أنا فظ ن ق تـ ا اش ن ل ا أه ن أل س و من ا ع ن ك ر تـ ا يف ن ل أه
ناه ر بـ فأخ ان ك ا و يق ف ا ر يم ح ر ال ق وا فـ ع ج إىل ار م يك ل أه م وه لم ع فـ م وه ر م لوا و ص وا م أ ك ر وين تم لي يـ ا أص ذ إ و ت ر ض ح ذن الصالة ؤ يـ ل فـ م ك ل م دك مث أح م مك ؤ يـ ل
م ك ر بـ )البخارى اإلمام رواه(.أك
Diriwayatkan Malik ibn al-Huwayris berkata: Kami, beberapa orang pemuda sebaya datang kepada Nabi saw., lalu kami menginap bersama beliau selama 20 malam. Beliau menduga bahwa kami telah merindukan keluarga dan menanyakan apa yang kami tinggalkan pada keluarga. Lalu, kami memberitahukannya kepada Nabi. Beliau adalah seorang yang halus perasaannya dan penyayang lalu berkata: “Kembalilah kepada keluargamu! Ajarlah mereka, suruhlah mereka dan salatlah kamu sebagaimana kamu melihat saya mengerjakan salat.
40
Apabila waktu salat telah masuk, hendaklah salah seorang kamu mengumandangkan azan dan yang lebih senior hendaklah menjadi imam. (H.R. Imam al-Bukhari)11
Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Malik ibn al-Huwayris
tersebut, juga menerangkan betapa lemah lembutnya perilaku serta tutur kata
Rasulullah saw. Dari al-Qur’an serta hadits tersebut menunjukkan bahwa
setiap perilaku rasul baik perkataan maupun perbuatan selalu dilakukan
dengan lemah lembut tidak dengan kekerasan dan juga selalu bersikap sopan
santun. Oleh karena itu proses dakwah serta pendidikan yang dilakukan
Rasulullah saw selalu membuahkan hasil yang maksimal.
D. Kasih Sayang
Sifat kasih sayang tidak secara langsung dijelaskan dalam oleh masing-
masing penafsir dalam surat Fushshilat, akan tetapi sifat ini terkandung
didalamnya. Dalam menghadapi suatu kejahatan sifat kasih sayang rasul
selalu terlihat jelas. Rasul tidak menganggap orang yang berbuat jahat adalah
musuh yang sejati, karena musuh manusia yang sejati adalah setan.
Rasulullah saw tetap menyayangi orang-orang yang berbuat jahat dan ingin
menggagalkan dakwahnya dan selalu berbuat baik, sehingga tercipta suatu
persahabatan yang erat.
Sifat kasih sayang tersebut harus tertanam dalam benak pendidik.
Rasulullah saw menegaskan agar para pendidik memiliki sifat kasih sayang
terhadap peserta didiknya. Pendidik dalam lembaga pendidikan sebagai wakil
dari pendidik pertama haruslah menganggap serta menyayangi peserta didik
seperti halnya anak sendiri, agar tercipta keharmonisan dalam proses belajar
mengajar. Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda:
نا ث د ح و ر أبـ ك د ب ن حمم ان ب أب نا ث د د ح ي ز ي ن ن ب و ار ه يك عن ر ش ث عن ي ل عنة م ر عك ن ن ع باس اب ع : قال ل قال و س لى اهللا ر ص ه اهللا ي ل لم ع س : (و س ي نا ل م
11 Imam al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut, Darul Kutub al-‘Ilmiyah), juz. 7, hlm. 101
41
ن م م مل ح ر نا يـ ر يـ غ ص قـر و يـ ا و ن ر يـ ب ك ر أم ي و ف و ر ع بالم ه ن يـ ن و ر ع نك رواه( )الم )الرتميذى
Ibn Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: Bukanlah termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi yang lebih kecil, tidak memuliakan yang lebih besar, tidak menyuruh berbuat makruf, dan tidak mencegah perbuatan munkar. (H.R. Tirmidzi)12
Hadist tersebut merupakan indikasi bahwa setiap orang dewasa
hendaknya menyayangi mereka yang masih kecil atau anak-anak, dan
sebaliknya anak-anak menghormati yang dewasa. Keadaan saling
menyayangi tidak hanya terjadi dalam keluarga atau masyarakat saja, begitu
pula di dalam lembaga pendidikan tentunya saling menyayangi seperti seperti
seorang pendidik menyayangi peserta didiknya. Dalam pergaulan atau dalam
proses pendidikan harus terjadi komunikasi yang baik, sehingga terjadi
interaksi timbal balik dari pendidik atau orang tua dengan anak didiknya atau
dari orang dewasa dengan orang yang belum dewasa.13 Dengan demikian
akan terjalin rasa kasih sayang yang dapat menjadikan tercapainya tujuan
yang diharapkan.
Rasa kasih sayang penting dalam menanamkan sesuatu yang diinginkan
oleh pendidik atau orang tua. Dengan kasih sayang proses pergaulan akan
berlangsung alami, artinya peserta didik tentunya menerima, kemudian
menimbulkan kesadarannya, dan memahami apa yang dikehendaki pendidik.
Dengan kesadaran tersebut, peserta didik akan melaksanakan apa yang
diharapkan oleh pendidik atau orang tua dan pada gilirannya akan menjadi
suatu kebiasaan dalam kehidupan. Kasih sayang akan menjadikan peserta
didik merasa memiliki hati yang senang, dan kesenangan merupakan modal
dalam melakukan suatu pekerjaan sehingga tidak terasa berat. Pergaulan atau
interaksi dalam proses pendidikan yang dilandasi rasa kasih sayang, akan
12 Sunan Tirmidzi, Mushowwat al-Hadits, (abwaabu birri wa shillah, bab maa jaa’a fii rahmati ash shibyan) no 1986, Hadits Digital.
13 Mohammad Surya, dkk, Landasan Pendidikan: Menjadi Guru Yang Baik, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 46
42
terjadi situasi yang menyenangkan, sehingga tujuan yang menjadi target
proses pendidikan akan mudah tercapai.
E. Menahan Amarah
Menahan amarah telah ditunjukkan oleh Rasulullah saw ketika beliau
menolak kejahatan yang menimpanya dengan kebikan. Penggalan ayat yang
berbunyai idfa’ billatī hiya ahsan merupakan perintah untuk berbuat baik,
serta merupakan indikasi penahanan suatu amarah yang dicontohkan
Rasulullah saw. Dalam ayat tersebut juga mengandung pelajaran bahwa
menghadapi amarah bukan dengan amarah, akan tetapi dengan perbuatan
baik.
Kalimat idfa’ billatī hiya ahsan dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan
bahwa kalimat tersebut berarti menolak dengan cara yang lebih baik, jika ada
orang yang berlaku buruk.14 Begitu juga diterangkan dalam tafsir lain dan
pada intinya terdapat kesamaan dari segi penafsiran antara mufassir satu
dengan yang lainnya, yang mengatakan bahwa dalam menghadapi suatu
keburukan hendaknya dengan perbuatan yang jauh lebih baik. Seperti yang
telah diterangkan Quraish Shihab dalam tafsirnya bahwa kata ahsan
mencakup seluruh perbuatan baik.
Menurut Hasbi ash-Shiddiqie penggalan ayat tersebut merupakan
sebuah pedoman yang diberikan Allah swt kepada nabi Muhammad saw
mengenai cara terbaik dalam menghadapi suatu keburukan yang dilakukan
oleh orang-orang musyrik.15 Dengan cara tersebut yaitu menolak keburukan
dengan kebaikan yang dapat dimisalkan melawan keburukan atau kejahatan
yang datang dari kaum musyrikin dengan pekerti yang baik, niscaya proses
dakwah akan menuai suatu keberhasilan.
14 Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman Alu Syaikh, Tafsir Ibnu Katsir, terj: M.
Abdul Ghaffar, jilid.8, hlm. 258 15 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir al-Qur’anul Majid An-Nuur, jilid. 4,
hlm. 3665
43
F. Pemaaf
Sifat pemaaf terkandung dalam kalimat idfa’ billatī hiya ahsan seperti
halnya menahan amarah. Dalam diri Rasulullah saw tidak ada rasa ingin balas
dendam kepada yang menyakitinya, bahkan Rasulullah saw mendoakannya
agar menyadari perbuatannya serta tidak melakukannya kembali. Sifat
pemaaf ini termasuk dalam cakupan perbuatan baik atau ahsan. Para mufassir
dalam penelitian ini sepakat bahwa sifat pemaaf yang ada pada diri
Rasulullah saw merupakan wujud penolakan kejahatan yang ditimpanya,
yaitu dengan memaafkan orang yang berbuat jahat padanya.
Anjuran memberikan maaf terhadap kesalahan orang lain yang
dicontohkan oleh Rasulullah saw perlu diperhatikan dengan seksama. Rasul
terkenal sebagai seorang yang sangat mudah memaafkan kesalan orang lain
selama dalam hubungan antara manusia. Akan tetapi apabila kesalahan
tersebut berhubungan dengan kedurhakaan terhadap Allah swt dan agama-
Nya, Rasul akan tetap bertindak mengingatkan secara tegas namun masih
dalam kategori bijaksana.
Dari keterangan tersebut di atas, bahwasanya sifat pemaaf sangatlah
melekat pada diri rasul. Terlihat dari cara rasul dalam menghadapi musuh
serta menganggap musuh tersebut seperti halnya kerabat, karena musuh
manusia yang utama dan abadi adalah setan. Oleh karena itu setiap orang
yang berbuat jahat kepada rasul akan berubah menjadi orang yang paling
dekat dengannya. Bahkan terdapat sebuah riwayat dari Muqattil, yang
mengatakan bahwa Abu Sufyan yang merupakan orang yang paling benci
terhadap nabi, dikarenakan kemuliaan hati beliau, Abu Sufyan berubah
menjadi sahabat karib bahkan menjadi mertua nabi Muhammad saw.
Sifat-sifat tersebut diatas yang merupakan isi kandungan dari surat
Fushshilat ayat 34-35 sangatlah melekat dalam jiwa serta pribadi Rasulullah saw.
Dalam surat ini diterangkan pula, bahwa sifat yang muncul pada isi kandungan
surat Fushshilat ayat 34-35 merupakan wujud pendidikan Allah swt kepada nabi
Muhammad saw dalam berdakwah menyampaikan wahyu. Melihat dari wujud
44
didikan langsung dari Allah swt kepada nabi, setidaknya para pendidik
menjadikan ini sebagai acuan dari segi sifat-sifat rasul dalam berdakwah.
Para pendidik Islam menjadikan sosok Rasulullah saw sebagai suri tauladan
yang baik dari segala segi. Baik dari sikap, sifat, maupun kepribadian Rasulullah
saw. Allah swt telah menjadikan Rasulullah saw sebagai contoh yang paling baik
dan sempurna, dan diabadikan dalam al-Qur’an yang berbunyi:
د ق ل ان ك م ك ل ول يف س ة الله ر و أس ة ن س ن ح لم ان و ك ج ر يـ الله م و اليـ و ر خ اآل ر ذك و الله ثريا ﴾٢١﴿ ك
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (Q.S. al-Ahzab/33:21) Sifat-sifat pendidik juga telah banyak dipaparkan oleh para ahli pendidikan
Islam sebagai acuan para pendidik-pendidik Islam khususnya ketika mendidik
dalam lingkup pendidikan formal, informal, maupun nonformal. Sifat-sifat
pendidik selain menjadi acuan yang dicontoh dari kepribadian Rasulullah saw,
juga menjadi syarat yang harus dimiliki oleh setiap pendidik sebelum mendidik
peserta didiknya. Tanpa sifat-sifat yang melekat pada diri pendidik, hasil yang
akan didapatkan dari peserta didik tidak akan maksimal, karena peserta didik
melihat sekaligus mencontoh perilaku-perilaku yang dilakukan pendidiknya atau
gurunya.
45
BAB IV
IMPLIKASI SIFAT-SIFAT PENDIDIK DALAM
SISTEM PENDIDIKAN ISLAM
Secara etimologis, guru sering disebut pendidik. Dalam konteks pendidikan
Islam “pendidik” sering disebut dengan murabbi,1 mu’allim,2 mu’addib,3
mudarris,4 dan mursyid.5 Menurut peristilahan yang dipakai dalam pendidikan
dalam konteks Islam, mengenai tugasnya, sama dengan teori pendidikan barat,
yaitu mendidik, baik dalam segi potensi psikomotorik, potensi kognitif maupun
potensi afektif. Ketiga potensi tersebut harus dikembangkan secara seimbang ke
tingkat yang lebih tinggi dengan berlandaskan ajaran agama Islam.6
Dalam penggunaan kelima istilah tersebut dalam dunia pendidikan
khususnya pendidikan Islam mempunyai tempat tersendiri dan mempunyai tugas
masing-masing sesuai maksud yang terkandung dalam istilah-istilah tersebut.
Penggunaan julukan pendidik dalam pendidikan kadang kala disebut melalui
gelarnya seperti ustadz atau guru7dalam istilah pendidikan nasional.
Secara terminologis, guru (pendidik) sering diartikan sebagai orang yang
bertanggungjawab terhadap perkembangan siswa/peserta didik dengan
1 Murabbi adalah: orang yang mendidik dan menyiapkan peserta didik agar mampu berkreasi serta mampu mengatur dan memelihara hasil kreasinya untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat dan alam sekitarnya.
2 Mu’allim adalah: orang yang menguasai ilmu dan mampu mengembangkannya serta menjelaskan fungsinya dalam kehidupan, menjelaskan dimensi teoritis dan praktisnya, sekaligus melakukan transfer ilmu pengetahuan, internalisasi serta implementasi.
3 Mu’addib adalah: orang yang mampu menyiapkan peserta didik untuk bertanggungjawab dalam membangun peradaban yang berkualitas di masa depan.
4 Mudarris adalah: orang yang memiliki kepekaan intelektual dan informasi serta memperbaharui pengetahuan dan keahliannya secara berkelanjutan, dan berusaha mencerdaskan peserta didiknya, memberantas kebodohan mereka, serta melatih keterampilan sesuai dengan bakat , minat dan kemampuannya.
5 Mursyid adalah: orang yang mampu menjadi model atau sentral identifikasi diri atau menjadi pusat anutan, teladan dan konsultan bagi peserta didiknya.
6 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), hlm. 74
7 Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm. 87
46
mengupayakan perkembangan seluruh potensi (fitrah) peserta didik, baik potensi
kognitif, afektif, dan psikomotorik.8 Pendidik juga diartikan sebagai orang dewasa
yang mengemban tanggung jawab untuk memberikan pertolongan kepada mereka
yang masih dalam proses menuju ke tingkat dewasa yaitu peserta didik dalam
perkembangan jasmani dan rohaninya, agar tercapai tingkat kedewasaan serta
mampu berdiri sendiri dan memenuhi tingkat kedewasaannya.
Mengenai pengertian pendidik dalam Islam tidak jauh beda dengan
pengertian pendidik secara umum. Dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa guru atau pendidik
mencakup semua elemen yang ikut serta dalam mencerdaskan anak bangsa.
Diperjelas dalam Bab I pasal 1 ayat 6 :
Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.9
Selanjutnya dalam Bab XI pasal 39, dinyatakan bahwa :
Pendidik (guru) adalah: tenaga professional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.10 Hal ini dipertegas dalam Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru
dan Dosen, Bab 1 pasal 1 ayat 1, bahwa yang dimaksud dengan guru adalah :
Pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.11
8 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2008), hlm. 56 9 Undang-Undang Sisdiknas no.20 Tahun 2003, hlm. 3 10 Undang-Undang Sisdiknas no.20 Tahun 2003, hlm. 27 11 Undang-Undang Guru dan Dosen, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 3
47
Pengertian pendidik yang telah dijelaskan oleh undang-undang diatas, dapat
juga digunakan sebagai pengertian pendidik Islam. Dalam hal ini terdapat sedikit
perbedaan antara pendidik secara umum dengan pendidik Islam. Perbedaan
tersebut dapat terlihat dari tujuan dari pendidikan Islam itu sendiri, yaitu
membentuk insan kamil yang bertakwa dan senantiasa beriman kepada Allah swt,
tidak hanya mengembangkan kemampuan intelegensi peserta didik, akan tetapi
juga menanamkan nilai-nilai keislaman dalam diri peserta didik.
Uraian diatas menunjukkan begitu beratnya tugas seorang pendidik dalam
membentuk sosok peserta didik yang kompeten atau insan kamil. Tugas pendidik
dalam Islam khususnya tidak hanya sekedar mentransfer ilmu akan tetapi dituntut
untuk menanamkan nilai-nilai Islam kepada anak atau peserta didik. Orang tua
yang merupakan pendidik pertama dan utama harus mampu menanamkan nilai-
nilai akhlaq terlebih dahulu kepada anak kemudian mengajarkan berbagai macam
ilmu menurut kemampuan orang tua.
Akan tetapi tidak semua orang tua mampu untuk melakukan hal tersebut
secara maksimal karena keterbatasan waktu yang dimiliki, keterbatasan ilmu
pengetahuan dan teknologi, efisiensi biaya yang dibutuhkan, dan efisiensi
program pendidikan anak.12 Oleh karena itu, para orang tua memasukkan anak-
anaknya ke dalam lembaga pendidikan yang di dalamnya terdapat sosok pendidik
sebagai pengganti orang tua atau yang sering dikenal sebagai pendidik kedua atau
guru.
Pendidik dituntut untuk mampu menggantikan orang tua dalam mendidik
anak-anak mereka. Pendidik dalam lembaga pendidikan harus bisa menghasilkan
output sesuai dengan harapan serta tujuan dari pendidikan khususnya pendidikan
Islam. Di dalam lembaga pendidikan, sebenarnya tugas pendidik / guru tidak
hanya mengajar, akan tetapi pendidik bertugas melaksanakan hal-hal yang
bersangkutan dengan mengajar. Soejono yang dikutip Ahmad Tafsir merinci tugas
pendidik termasuk guru sebagai berikut:
12 Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam (Pengembangan Pendidikan Intefratif di Sekolah,
Keluarga dan Masyarakat, (Yogyakarta: LKiS, 2009), hlm. 41
48
1. Wajib menemukan pembawaan yang ada pada peserta didik dengan berbagai cara seperti, observasi, wawancara, melalui pergaulan, angket, dan sebagainya.
2. Berusaha menolong peserta didik mengembangkan pembawaan yang baik dan menekan perkembangan pembawaan yang buruk agar tidak berkembang.
3. Memperlihatkan kepada peserta didik tugas orang dewasa dengan cara memperkenalkan berbagai bidang keahlian, keterampilan, agar peserta didik memilihnya dengan tepat.
4. Mengadakan evaluasi setiap waktu untuk mengetahui apakah perkembangan peserta didik berjalan dengan baik.
5. Memberikan bimbingan dan penyuluhan tatkala peserta didik menemui kesulitan dalam mengembangkan potensinya.13
Penjelasan tersebut diatas merupakan gambaran tugas, peranan, dan sifat
pendidik dalam pendidikan. Sosok pendidik yang berkompeten bukan hanya
pendidik yang memiliki ilmu tinggi, akan tetapi sifat-sifat yang baik juga harus
melekat dalam diri masing-masing pendidik. Beberapa sifat yang harus dimiliki
oleh pendidik telah diuraikan juga pada bab sebelumnya. Dalam pembahasan pada
bab ini mengenai implikasi sifat-sifat pendidik terhadap sistem pendidikan Islam.
Adapun imlikasi sifat-sifat tersebut sebagai berikut:
A. Kesabaran Pendidik
Kesabaran merupakan suatu hal yang sangat berat dilakukan oleh seseorang
manakala menghadapi suatu permasalahan yang pelik, kecuali orang-orang yang
telah terbiasa mengasah jiwanya untuk bersabar. Dalam kaitannya dengan dunia
pendidikan , kesabaran memiliki keterlibatan yang sangat besar dalam mendidik
peserta didik guna mencapai tujuan yang hendak dicapai.
Menghadapi peserta didik yang memiliki berbagai karakter yang sangat
berbeda satu dengan yang lainnya, dibutuhkan kesabaran yang ekstra dalam
penyampaian materi pembelajaran. Pasalnya tidak semua peserta didik memiliki
kesamaan tingkat intelektual serta pemahaman. Tingkat penerimaan materi peserta
didik juga sangat jauh berbeda. Tanpa kesabaran yang harus dimiliki oleh setiap
pendidik seperti halnya yang dilakukan oleh nabi Muhammad saw dalam
13 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, hlm. 79
49
kandungan tafsir surat Fushshilat ayat 34-35, seorang pendidik tidak akan
mendapatkan hasil yang maksimal atau tidak dapat mencetak output yang
memiliki intelektual tinggi.
Melihat tugas pendidik pada jaman yang semakin modern ini yang
terpengaruh oleh munculnya istilah dikhotomi ilmu pengetahuan, pendidik
memiliki tugas ganda dalam proses pendidikan. Secara tidak langsung, tugas
pendidik dalam pendidikan Islam harus mampu mengikis dikhotomi tersebut
dengan cara yang telah disepakati dalam konferensi Makkah 1977 yaitu
mengintegrasikan antara ilmu pengetahuan dengan ilmu agama. Hal tersebut tidak
lain membutuhkan kesabaran yang sangat tinggi, karena pengaruh IPTEK tehadap
peserta didik sangat kuat dan bagaiman seorang pendidik dapat masuk
kedalamnya dengan cara mengintegrasikan IPTEK tersebut dengan ilmu-ilmu
agama yang dibuktikan dengan dalil-dalil dari al-Qur’an dan assunnah.
Berkenaan dengan tugas pendidik Islam, tugas pendidik saat ini bisa
dikatakan sangat berat, berbagai tantangan yang dihadapi para pendidik beraneka
ragam dan dapat dikatakan tantangan ganda yang akan dialami oleh pendidik-
pendidik pada abad sekarang.14 Pendidikan agama pada masa sekarang ini tidak
lagi menjadi hal yang utama karena terhalang oleh pendidikan non-agama atau
ilmu pengetahuan dan teknologi. Sehingga yang menjadi bahan ajar yang utama
bukanlah ilmu-ilmu agama melainkan ilmu pengetahuan umum dan teknologi dan
ilmu agama mendapatkan porsi kecil atau bahkan tidak sama sekali. Hal tersebut
dipengaruhi oleh kuatnya pengaruh materialisme, empirisme, rasionalisme dan
kuantitatif.
Menanggapi hal tersebut diatas, tindakan yang dapat dilakukan pendidik
agar ajaran agama dapat terus hidup dengan melibatkan system serta ilmu-ilmu
pengetahuan umum dalam proses pengajaran agama.15 Dengan itu pendidik akan
14 Slamet Iman Santoso, Tantangan Ganda dalam Pendidikan Agama pada Abad Ilmu
Pengetahuan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), hlm. 77 15 Slamet Iman Santoso, Tantangan Ganda dalam Pendidikan Agama pada Abad Ilmu
Pengetahuan, hlm. 84
50
dapat terus mengembangkan serta menegakkan pendidikan agama pada masa
zaman ilmu pengetahuan dan teknologi ini.
Tidak hanya terhenti pada tantangan di atas, tantangan lain atau tugas lain
bagi para pendidik yaitu permasalahan dikotomi ilmu pengetahuan, antara ilmu-
ilmu agama dan ilmu-ilmu pengetahuan umum.16 Dikotomi dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia diartikan sebagai pembagian dalam dua kelompok yang saling
bertentangan. Ikrom memaparkan dalam buku Paradigma Pendidikan Islam bahwa
dikotomi juga dikenal sebagai dualitas budaya di negara muslim yaitu dua sistem
pendidikan yang sangat bertentangan,17 pertama disebut sistem pendidikan
tradisional yang cenderung melahirkan golongan muslim tradisional, kedua sistem
pendidikan sekuler yang cenderung melahirkan golongan muslim modern yang
kebarat-baratan.
Dikotomi ilmu pengetahuan inilah yang harus diperhatikan khusus oleh
pendidik serta mengupayakan untuk menghilangkan dikotomi ilmu dan berusaha
untuk mengintegrasikan antara ilmu pengetahuan umum dengan ilmu agama
khusunya Islam. Salah satu upaya yang dapat dilakukan pendidik untuk
menghilangkan dikotomi sistem pendidikan yang telah diajukan dalam konferensi
Makkah tahun 1977 yang merupakan konferensi muslim pertama dengan cara
mengintegrasikan ilmu-ilmu pengetahuan dengan ajaran-ajaran Islam.18 Pendidik
harus mengerahkan kemampuannya serta mampu berpikir futuristic dalam
mengajarkan agama pada era ilmu pengetahuan dan teknologi, menggabungkan
ilmu pengetahuan dengan ilmu agama.
Berangkat dari permasalahan tersebut yang senada dengan ulasan Slamet
Iman Santoso dalam bukunya Tantangan Ganda dalam Pendidikan Agama pada
Abad Ilmu Pengetahuan, di dalam hasil konferensi Makkah mengklasifikasikan
pendidikan menjadi dua jenis yaitu pertama ilmu pengetahuan agama (perennial
16 Haidar Putra Daulay, Dinamika Pendidikan Islam di Asia Tenggara, hlm. 191 17 Ikhrom “Dikhotomi Sistem Pendidikan Islam” dalam Abdurrachman Mas’ud, dkk,
Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 81 18 Ikhrom “Dikhotomi Sistem Pendidikan Islam” dalam Abdurrachman Mas’ud, dkk,
Paradigma Pendidikan Islam, hlm. 90
51
knowledge) yang meliputi aqidah, syari’ah, dan akhlaq serta kedua ilmu-ilmu
sosian dan humaniora serta kealaman (acquired knowladge).19 Inilah yang
menjadi tantangan pendidik seperti yang diutarakan Slamet, bagaimana upaya
pendidik untuk menggabungkan kedua jenis ilmu tersebut dalam mengajarkan
serta mempertahankan pengetahuan agama dan untuk menghapus dikhotomi ilmu.
Mengenai sifat sabar yang harus dimiliki oleh pendidik, Abdurrahman an-
Nahlawi juga menghendaki bahwa setiap pendidik memiliki sifat sabar dan
bersikap tegas dan meletakkan sesuatu sesuai proporsinya sehingga mampu
mengontrol dan menguasai peserta didik.20 Sifat tersebut dimaksudkan untuk
menghadapi kenakalan peserta didik dan upaya untuk menanggulangi kenakalan
peserta didik dan member peringatan dalam batas yang wajar.
B. Pendidik selalu Berbuat Baik
Berbuat baik dalam sifat-sifat pendidik dalam surat Fushshilat ayat 34-35
memiliki keterlibatan yang besar dengan pendidikan Islam, terutama ketika
seorang pendidik berada dalam lingkungan pendidikan, baik mengajar maupun
tidak mengajar. Seorang pendidik yang selalu berbuat baik akan selalu
mendapatkan sorotan oleh peserta didik bahkan dapat menjadi idola peserta didik.
Dalam dunia pendidikan khususnya Pendidikan Islam sifat selalu berbuat
baik sangatlah penting, terutama ketika menghadapi kenakalan peserta didik.
Rasulullah saw telah mencontohkan cara yang baik dalam menghadapi suatu
keburukan baik itu kejahatan maupun celaan dengan selalu membalas dengan
perbuatan yang lebih baik. Dari hal tersebut, seorang pendidik hendaknya mampu
menerapkan perilaku yang serupa dengan rasul, tanpa membalas atau menghukum
kenakalan peserta didik dengan hukuman yang tidak mendidik.
Seringkali terjadi seorang pendidik tidak memberikan hukuman yang baik,
dalam hal ini hukuman yang bersifat mendidik seperti mengerjakan soal atau
19 CD Hasil Konferensi Makkah pada tanggal 31 Maret – 8 April 1977 yang dilaksanakan
di Hotel Intercontinental Makkah al-Mukarromah. 20 Abdurrahman An Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, hlm.
49.
52
hukuman lain, akan tetapi hukuman yang diberikan bersifat fisik yang dapat
menimbulkan kemarahan peserta didik atau menjadikan peserta didik membenci
sang pendidik yang menghukumnya dengan tidak wajar. Oleh karena itu,
implikasi berbuat baik dalam pendidikan Islam sangat jelas, guna meningkatkan
kualitas pendidikan dan menghasilkan suasana pendidikan yang harmonis dalam
lembaga pendidikan.
Seperti yang dipaparkan Abrasyi mengenai sifat yang harus dimiliki oleh
pendidik yaitu pendidik harus bisa menjadi contoh akan keadilan, kesucian
(perbuatan yang baik), kesempurnaan.21 Sifat tersebut hendaknya selalu melekat
pada diri pendidik. Perbuatan yang baik yang dilakukannya akan menjadi contoh
bagi para peserta didik. Pendidik akan lebih senang mencontoh pendidik yang
selalu berbuat baik kepada peserta didik maupaun kepada pendidik-pendidik yang
lain dalam lembaga pendidikan.
C. Pendidik harus Lemah Lembut
Ahmad Musthafa Al-Maraghi telah menjelaskan tentang kandungan ayat
159 dari surat Ali Imran, yang dapat diambil implikasi paedagogis dalam
pendidikan Islam yaitu dalam proses bimbingan dan pengarahan yang merupakan
tugas lain dari seorang pendidik, hendaknya dilakukan dengan penuh
kelemahlembutan kepada peserta didik. Apabial hal tersebut tidak diterapkan,
peserta didik akan lari atau tidak mengindahkan apa yang dikatakan oleh pendidik
tersebut.
Seperti kandungan tafsir surat Ali Imran ayat 159 yang telah dijelaskan
diatas yang intinya, andaikata engkau (Muhammad) bersikap kasar dan galak
dalam muamalah dengan mereka (kaum muslimin), niscaya mereka akan bercerai
(bubar) meninggalkan engkau dan tidak menyenangimu. Sehingga engkau tidak
bisa menyampaikan hidayah dan bimbingan kepada mereka ke jalan yang lurus.22
Berdasarkan tafsir ini, seorang pendidik harus memiliki rasa santun, lemah lembut
dan kasih sayang kepada setiap peserta didiknya dalam proses pendidikan. Bila
21 Muhammad ‘Athiyah Al Abrasyi, Ruh At-Tarbiyah wa At- Ta’lim, hlm. 207 22 Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, terj.Hery Noer Aly, hlm. 193
53
tidak, maka kekasaran itu akan menjadi penghalang baginya untuk mencapai
tujuan pendidikan.
Tidak hanya ketika dalam pergaulan dengan peserta didik, seorang pendidik
menerapkan sifat lemah lembut, akan tetapi dalam hal bimbingan belajar atau
pengarahan harus dilakukan dengan lemah lembut, selain mudah diterima oleh
peserta didik, respon yang baik akan muncul dari diri peserta didik dan peserta
didik merasa nyaman dengan bimbingan dan pengarahan pendidik.
D. Pendidik harus Bersifat Penyayang
Kasih sayang yang dilakukan rasul terhadap orang yang memusuhi dan
mengganggunya ketika berdakwah memiliki implikasi yang besar dalam
pendidikan Islam. Menurut Mahmud Yunus yang dikutip oleh Ahmad Tafsir
dalam bukunya Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, dan senada dengan
Abrasyi dalam bukunya Ruh at-Tarbiyah wa Ta’lim menghendaki salah satu sifat
yang hendaknya dimiliki oleh pendidik yaitu menyayangi muridnya dan
memperlakukan mereka seperti menyayangi dan memperlakukan anak sendiri.23
Sifat tersebut akan membantu pendidik dalam mendidik, membimbing, serta
mengajar peserta didik tanpa membedakan satu dengan yang lainnya.
Pendidik tidak hanya mereka yang mengajar di sekolah/madrasah, akan
tetapi orang tua juga merupakan pendidik yang pertama bagi anak-anak mereka.
Sifat kasih sayang harus melekat pada diri orang tua sebagai pendidik pertama.
Dari sinilah peran orang tua sebagai pendidik utama dan pertama terhadap anak
sangatlah penting. Orang tua bertanggungjawab penuh atas kemajuan
perkembangan anak-anak mereka, karena pada dasarnya kesuksesan anak adalah
sukses orang tua juga.24 Tugas orang tua selaras dengan firman Allah swt dalam
surat at-Tahrim ayat 6:
ا ا ي أيـه ين نوا الذ قوا آم م ك أنفس م يك ل أه و ﴾٦﴿ … نارا
23 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, hlm. 83 24 Chaerul Rochman, Heri Gunawan, Pengembangan Kompetensi Kepribadian Guru
Menjadi Guru yang Dicintai dan Diteladani oleh Siswa, (Bandung: Nuansa Cendekia, 2011), hlm. 24
54
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka … (Q.S. at-Tahrim/66:6)
Dalam ayat tersebut jelaslah, bahwa Allah telah menyuruh orang-orang yang
beriman termasuk didalamnya orang tua, untuk menjaga dan memelihara keluarga
dari api neraka. Mendidik anak dengan penuh rasa tanggung jawab termasuk juga
dalam konteks menjaga dan memelihara, sebagai tugas serta peran utama orang
tua dalam keluarga yaitu pendidik. Apabila orang tua kurang mampu dalam
mendidik, barulah diserahkan kepada pendidik kedua, yang merupakan pendidik
pada lembaga pendidikan.
Seorang pendidik dalam proses mendidik baik pendidik pertama yaitu orang
tua maupun pendidik kedua yaitu pendidik dalam lembaga pendidikan, apabila
ingin melakukan pendekatan emosional dengan peserta didik akan lebih mudah
apabila telah melekat dalam diri pendidik sifat kebapakan atau kasih sayang.
Peserta didik akan lebih merasa diperhatikan oleh pendidik yang dapat
menimbulkan rasa hormat serta segan dan mudah menerima apa yang
disampaikan oleh pendidik ketika member arahan, mengajar atau ketiaka diluar
jam mengajar. Dari hal tersebut, implikasi sifat lemah lembut dalam pendidikan
Islam sangat dalam yaitu dapat membantu dalam pembentukan akhlak peserta
didik terhadap sesama terutama terhadap para pendidik dan orang tua.
Pendidik dalam lembaga pendidikan diharapkan untuk memiliki sifat
kebapakan karena pendidik tersebut merupakan spiritual dan intellectual father,25
bagi peserta didik di lembaga pendidikan. Pendidik dalam lembaga pendidikan
merupakan orang tua kedua setelah orang tua pertama di dalam keluarga. Oleh
karena itu dari segi tugasnya hampir memiliki kesamaan antara pendidik pertama
dengan pendidik kedua.
E. Pendidik harus Mampu Menahan Amarah dan Pemaaf
Allah swt tidak menghendaki nabi Muhammad saw untuk membalas
perbuatan buruk dengan perbuatan serupa. Akan tetapi menghimbau kepada nabi
25 Abdullah Nasih Ulwan, Tarbiyatu al-Aulad fii al-Islam, (Kairo: Daru as-Salaam, 1997), jilid 2, hlm. 578
55
Muhammad saw untuk membalasnya dengan perbuatan yang jauh lebih baik. Hal
tersebut dapat diindikasikan bahwa Allah swt menghendaki sifat dalam diri nabi
Muhammad saw yaitu sifat menahan amarah dan pemaaf.
Seruan untuk menolak suatu keburukan dengan kebaikan selain dalam surat
Fushshilat ayat 34-35, juga telah dijelaskan dalam firman Allah swt dalam surat
an-Nahl ayat 125 dan al-Mu’minun ayat 96 yang didalamnya mengandung
indikasi untuk menahan amarah dan memaafkan kesalahan, yaitu:
ادع ىل إ يل ب بك س ة ر م ك ة باحل ظ ع و الم نة و س م احل هل اد ج باليت و ي ه ن س .… أح Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. (Q.S. an-Nahl/16:125)
فع باليت اد ي ه ن س أح ة يئ …الس Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik. (Q.S. al-Mu’minuun/23:96) Ayat tersebut merupakan anjuran Allah swt atau didikan-Nya kepada nabi
Muhammad saw dalam berdakwah untuk mengajarkan ajaran al-Qur’an dengan
baik dan lemah lembut serta menolak keburukan dengan perbuatan yang lebih
baik. Ayat ini senada dengan anjuran Allah swt kepada nabi Muhammad saw
dalam surat Fushshilat ayat 34-35. Wujud dari persamaan kedua surat tersebut
selain menjelaskan tentang sifat Rasulullah saw dalam berdakwah, juga
menjelasakan bagaimana metode dakwah yang digunakan Rasulullah saw. Metode
yang terkandung dalam kedua surat tersebut yaitu:
1. Hikmah, yaitu kata-kata yang tegas dan benar yang dapat membedakan
antara yang hak dan yang bathil.
2. Nasihat yang baik.
3. Menolak bantahan dari orang-orang yang menentangnya dengan
memberikan argumentasi yang jauh lebih baik, sehingga mereka yang
menentang dakwah beliau tidak dapat berkutik.
56
4. Memperlakukan musuh-musuh beliau seperti memperlakukan sahabat
karib.
Poin-poin diatas merupakan cara yang dianjurkan Allah swt kepada nabi
Muhammad saw. Tidak terlihat perintah untuk membalas dengan perbuatan
serupa, bahkan pada poin keempat, memperlakukan musuh seperti halnya
memperlakukan sahabat sendiri. Hal tersebut jelas mengatakan bahwa tidak ada
sifat amarah dalam diri nabi Muhammad saw dan terdapat sifat pemaaf
didalamnya dari cara perlakuannya kepada musuh.
Kedua sifat ini memiliki keterkaitan yang erat dalam pengaplikasiannya.
Menahan amarah dalam menghadapi kenakalan peserta didik dan memaafkannya
termasuk dalam perbuatan yang baik yang akan mempengaruhi kejiwaan peserta
didik. Kedua sifat ini telah dicontohkan oleh rasul dan menuai hasil yang sangat
positif atau baik. Terbukti dengan penerapan sifat ini, musuh-musuh rasul serta
orang yang membenci rasul berubah menjadi seorang sahabat karib bagi rasul,
bahkan ada yang menjadi mertua rasul.
57
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berawal dari beberapa permasalahan yang diangkat oleh penulis dalam
skripsi yang berjudul “Sifat-sifat Pendidik dalam Perspektif al-Qur’an Surat
Fushshilat Ayat 34-35”, maka penulis dapat menarik kesimpulan mengenai sifat-
sifat pendidik serta implikasi paedagogis al-Qur’an surat Fushshilat ayat 34-35,
yaitu :
1. Sifat-sifat pendidik perspektif al-Qur’an surat Fushshilat ayat 34-35
Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan pendidik
dalam mendidik peserta didik yaitu mengenai sifat-sifat yang terdapat
dalam diri pendidik. Sifat-sifat yang melekat pada setiap pendidik, akan
memberikan pengaruh yang besar terhadap peserta didik serta
keberhasilan proses pendidikan. Dengan sifat-sifat seorang pendidik
yang baik, akan tercipta suasana pendidikan yang efektif serta efisien
dan terdapat keharmonisan antara pendidik dengan peserta didik di
rumah atau di sekolah.
Surat Fushshilat ayat 34-35 dan didukung dengan ayat lain dapat
dijadikan sebuah rujukan bagi para pendidik-pendidik Islam mengenai
sifat-sifat yang terdapat dalam diri Rasulullah saw ketika berdakwah,
dan dapat dijadikan sebagai tauladan yang sangat baik. Rasulullah saw
merupakan pendidik teragung bagi ummat manusia dan Rasullah yang
paling baik dijadikan sebagai suri tauladan yang baik bagi para pendidik
Islam. Adapun sifat-sifat Rasulullah saw dapat disimpulkan sebagai
berikut,
a. Kesabaran
b. Berbuat baik
c. Lemah lembut
d. Kasih sayang
e. Menahan amarah
58
f. Pemaaf
Sifat-sifat inilah yang terdapat dalam kandungan surat Fushshilat
ayat 34-35 yang ada dalam diri Rasulullah saw sang pendidik utama
bagi umat manusia dan dukung dengan ayat-ayat lain yang
berkesinambungan guna memperkuat sifat-sifat Rasulullah saw yang
ada dalam surat Fushshilat ayat 34-35. Sifat-sifat tersebutlah yang
hendaknya dicontoh dan ditanamkan dalam diri pendidik-pendidik
Islam guna terciptanya suasana belajar mengajar yang efektif serta
mendapatkan output yang maksimal.
2. Implikasi paedagogis surat Fushshilat ayat 34-35 dalam sistem
pendidikan Islam
Kandungan surat Fushshilat ayat 34-35 tidak hanya sebatas sifat-
sifat Rasulullah saw yang dapat menjadi tauladan yang baik bagi para
pendidik, juga mengandung implikasi paedagogis dalam sistem
pendidikan Islam, yaitu:
a. Dalam melaksanakan tugas sebagai pendidik Islam, baik formal,
informal dan nonformal hendaknya menjadikan Rasulullah saw yang
merupakan pendidik utama sebagai suri tauladan yang baik.
b. Tertanam di dalam dirinya jiwa seorang pendidik yang bertanggung
jawab akan tugasnya.
c. Pendidik harus memiliki sifat kesabaran dalam menghadapi peserta
didik yang berbeda karakter
d. Pendidik harus selalu berbuat baik agar dapat dicontoh oleh peserta
didik
e. Pendidik harus memiliki sifat lemah lembut agar para peserta didik
merasa nyaman ketika menghadapi pendidik tersebut
f. Kasih sayang seorang pendidik juga harus selalu ditonjolkan dan
menganggap peserta didik seperti anak sendiri apabila dalam
59
lembaga pendidikan. Di luar lembaga pendidikan tentunya harus
tetap memiliki sifat kasih sayang kepada peserta didik.
g. Pendidik hendaknya tidak memiliki sifat pemarah, akan tetapi
mampu menahan amarah dalam menghadapi permasalahan yang
muncul ketika proses pendidikan berlangsung.
h. Pendidik juga harus memiliki sifat pemaah guna mendukung sifat
menahan amarah, memperlakukan orang lain yang bersalah atau
memperlakukan peserta didik yang bersalah seperti memperlakukan
kerabat.
i. Penentuan berhasil atau tidaknya dalam pencapaian tujuan
pendidikan Islam sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat pendidik.
B. Saran-Saran
Sejalan dengan beberapa hal yang menjadi pembahasan dalam skripsi ini,
maka penulis perlu menyampaikan saran-saran yang berkenaan dengan pendidik
Islam sebagai berikut :
1. Hendaknya seorang pendidik dapat menjadi suri tauladan yang baik
bagi para peserta didiknya, yaitu memiliki sifat, sikap, serta kepribadian
yang baik seperti kesabaran, berbuat baik, lemah lembut, kasih sayang,
menahan amarah, dan pemaaf. Sebab sifat, sikap, kepribadian serta
tingkah laku pendidik menjadi perhatian khusus bagi para peserta
didiknya di sekolah maupun di luar sekolah. Ada pepatah mengatakan
apabila guru buang air kecil berdiri maka murid buang air kecil berlari
sebab seorang guru haruslah dapat digugu dan ditiru.
2. Nasib pendidikan anak berada dibawah tanggung jawan para pendidik,
yaitu pendidik pertama (orang tua) atau pendidik kedua (guru), oleh
karena itu dalam proses pendidikan harus dilakukan dengan penuh
tanggung jawab guna mendapatkan anak/peserta didik yang
berintelektual tinggi.
3. Pendidikan Agama yang diberikan kepada peserta didik hendaknya
menggunakan metode mengajar yang bervariasi agar dapat menarik
60
minat belajar peserta didik untuk lebih memperdalam lagi keilmuan
tentang Pendidikan Agama Islam.
4. Hendaknya pendidik tidak hanya menekankan pada aspek kognitifnya
saja, akan tetapi menekankan juga pada aspek psikomotorik dan aspek
afektif. Ini dilakukan agar pengetahuan keagamaan peserta didik dapat
tercermin dan tertuang di dalam keseharian dan kehidupan mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam : Paradigma Humanisme Teosentris,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008 Al-Abrasyi, Muhammad ‘Athiyah, Ruh At-Tarbiyah wa At- Ta’lim, Mesir: Daar
Ihyaai Al-Kutub Al-‘Arabiyah, 1955 Al-Ahwani, Ahmad Fuad, At Tarbiyatu Fii Al-Islam, Mesir: Dar al-Ma’aarif, t.t.
Al-Bukhari, Imam, Shahih Bukhari, Beirut, Darul Kutub al-‘Ilmiyah, t.t. Al-Maraghi, Ahmad Musthafa, Tafsir Al-Maraghi, terj.Hery Noer Aly, Semarang:
Toha Putra, 1992
Al-Qarni, `Aidh bin `Abdullah, Visualisasi Kepribadian Muhammad, Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2006
Alu Syaikh, Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman, Tafsir Ibnu Katsir, terj: Ghaffar, M. Abdul, Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’I, 2008
An-Nahlawi, Abdurrahman, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, Jakarta : Gema Insani Press, 1995
Anwar, Saifuddin, Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Pelajar Offset, 1998
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2006
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Tafsir al-Qur’anul Majid An-Nuur, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000
As-Suyuthi, Jalaluddin, Lubabun Nuqul fii Asbabun Nuzul, terj: M. Abdul Mujieb AS, Surabaya: Darul Ihya, 1986
Ath-Thabathabai, Al-‘Allaamah As-Sayyid Muhammad Husain, Al-Miizaan fii Tafsir Al Qur’an, Beirut: Muassatu Al-A’lamiy Lilmathbu’at, 1991
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam : Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999
Az-Zuhaili, Wahbah, Tafsir Al Munir, Beirut: Darul Fikr al-Mu’ashir, 1991 Baidan, Nashiruddin, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1998 CD Hasil Konferensi Makkah pada tanggal 31 Maret – 8 April 1977 yang
dilaksanakan di Hotel Intercontinental Makkah al-Mukarromah. Darajat, Zakiyah, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2009
Daulay, Haidar Putra, Pendidikan Islam: Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, Jakarta : Prenada Media, 2004
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah, Jakarta: CV. J-ART, 2005
Dwiastuti, Nur, “Keteladanan Menurut Abdullah Nashih Ulwan dan Aktualisasinya Dalam Kepribadian Guru (Telaah Kitab Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam), Skripsi, Semarang, Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2006
Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Yogyakarta: Andi Offset, 2000 Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan : Umum dan Agama Islam, Jakarta:
Rajawali Press, 2009 Ikhrom “Dikhotomi Sistem Pendidikan Islam” dalam Abdurrachman Mas’ud,
dkk, Paradigma Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001 Kementerian Agama RI, AlQur’an dan Tafsirnya, Jakarta: Ikrar Mandiriabadi,
2010 Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung : Pustaka Setia, 2011
Mochtar, Buchori, Spektrum Problematika Pendidikan di Indonesia, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1994
Mujib, Abdul, Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008
Nasution, Metode Research Penelitian Ilmiah, Edisi I, Jakarta : Bumi Aksara, 2001
Nizar, Samsul, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran HAMKA Tentang Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008
Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, 2008
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2008
Rochman, Chaerul, Heri Gunawan, Pengembangan Kompetensi Kepribadian Guru Menjadi Guru yang Dicintai dan Diteladani oleh Siswa, Bandung: Nuansa Cendekia, 2011
Roqib, Moh., Ilmu Pendidikan Islam (Pengembangan Pendidikan Intefratif di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat, Yogyakarta: LKiS, 2009
Santoso, Slamet Iman, Tantangan Ganda dalam Pendidikan Agama pada Abad Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Bulan Bintang, 1985
Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1992
________________, Tafsir Al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2002 Solichun, Moh., “Pemikiran KH. Ahmad Rifa’i Tentang Guru”, Skripsi,
Semarang, Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2006 Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan : Kompetensi dan Praktiknya,
Jakarta: Bumi Aksara, 2007 Suntawi, “Konsep Rabbani dalam al-Qur’an Surat Ali-Imran Ayat 79 dan
Pengembangannya Dalam Peningkatan Kepribadian Guru Pendidikan Agama Islam (PAI), Skripsi, Semarang, Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2005
Surya, Mohammad, dkk, Landasan Pendidikan: Menjadi Guru Yang Baik, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010
Tirmidzi, Sunan, Mushowwat al-Hadits, (abwaabu birri wa shillah, bab maa jaa’a fii rahmati ash shibyan) no 1986, Hadits Digital.
Uhbiyati, Nur, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung : Pustaka Setia, 1997
Ulwan, Abdullah Nasih, Tarbiyatu al-Aulad fii al-Islam, Kairo: Daru as-Salaam, 1997
Undang-Undang Guru dan Dosen, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009
Undang-Undang Sisdiknas no.20 Tahun 2003, Jakarta: Sinar Grafika,2010
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Nama : Mucharom Syarifudin Zuhri
Nomor Induk Mahasiswa : 083111091
Jurusan : Pendidikan Agama Islam
TTL : Kebumen, 01 Oktober 1986
Alamat Asal : Kliwonan RT 02/V Prembun Kebumen
Jawa Tengah 54394
Pendidikan Formal :
1. TK PGRI Prembun tahun 1992
2. SD Negeri 2 Prembun tahun 1998
3. SLTP Negeri 1 Prembun tahun 2001
4. IAIN Walisongo Semarang Fakultas Tarbiyah Jurusan Pendidian Agama
Islam angkatan 2008
Pendidikan Non-Formal :
1. Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo tahun 2006
Yang menyatakan,
Mucharom Syarifudin Zuhri
Lampiran 1:
DAFTAR SURAT DALAM SKRIPSI SIFAT-SIFAT PENDIDIK PERSPEKTIF AL-QUR’AN
SURAT FUSHSHILAT AYAT 34-35
ال توي و تس ة ن س ال احل و ة يئ الس فع باليت اد ه ي ن س ا أح ذ نك الذي فإ يـ بـ ه ن يـ بـ ة و او د ع أنه ك يل و يم ا ﴾٣٤﴿ مح م ا و قاه ل ال يـ إ ين وا الذ ر بـ ا ص م ا و قاه ل ال يـ ظ ذو إ ح يم ظ ع
﴿٣٥﴾
Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar. (Q.S. Fushshilat/41 : 34-35)
م ل وا أفـ ري س ي ض يف ر وا األ نظر ي ف فـ ي ك ان ك ة ب اق ع ين ن الذ م ه ل ب قـ انوا م ك ر ثـ أك م ه نـ د م أش و وة قـ آثارا و ض يف ر ا األ فم ىن م أغ ه نـ ا ع انوا م ك ون ب س ك ي
Maka apakah mereka tiada mengadakan perjalanan di muka bumi lalu memperhatikan betapa kesudahan orang-orang yang sebelum mereka. Adalah orang-orang yang sebelum mereka itu lebih hebat kekuatannya dan (lebih banyak) bekas-bekas mereka di muka bumi, maka apa yang mereka usahakan itu tidak dapat menolong mereka. (Q.S. Ghafir/40: 82)
وا فإن ض ر أع قل فـ م تك ر ص أنذ ة ق اع ثل ة م ق اع ص اد ود ع مث و
Jika mereka berpaling maka katakanlah: "Aku telah memperingatkan kamu dengan petir, seperti petir yang menimpa kaum `Aad dan kaum Tsamud". (Q.S. Fushshilat/41:13)
الوا ق ا و ن نة في قـلوبـ ا أك ع مم اتد ه ون لي إ يف ا و ن ان آذ ر قـ ن و م ا و ن ن ي نك بـ ي بـ اب و ج ح ل ا فاعم نـن إ ون ل ام ﴾٥﴿ ع
Mereka berkata: "Hati kami berada dalam tutupan (yang menutupi) apa yang kamu seru kami kepadanya dan di telinga kami ada sumbatan dan antara kami dan kamu ada dinding, maka bekerjalah kamu; sesungguhnya kami bekerja (pula)".(Q.S. Fushshilat/41:5)
ل ا إن ين ا قالوا ذ بـن ر وا مث الله ام ق تـ اس زل نـ تـ تـ م ه ي ل ع ة ئك ال افوا أال الم ال خت نوا و ز حتوا ر ش أب نة و اليت باجل نتم ك ون د .توع ن حن م اؤك ي ل أو اة يف ي ا احل ي نـ الد يف و ة ر خ اآل م ك ل و
ا يه ا ف تهي م تش م ك أنفس م ك ل ا و يه ا ف م ون تدع
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): "Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu". Kamilah Pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan di akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. (Q.S. Fushshilat/41:30-31)
Lampiran 2:
DAFTAR SURAT DALAM SKRIPSI SIFAT-SIFAT PENDIDIK PERSPEKTIF AL-QUR’AN
SURAT FUSHSHILAT AYAT 34-35
ا م ة فب مح ر ه من الل نت ل م هل و ل و نت ك فظا ل لب يظ غ الق النفضوا ن ك م ل و ح
فاعف م ه نـ ع ر غف تـ اس و م هل م ه ر او ش و ر يف ا األم إذ ف ت م ز ع كل و تـ لى فـ ه ع ن الل إ ه اللب ني حي ل ك و تـ ﴾١٥٩﴿ الم
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma`afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (Q.S. Ali Imran/3:159)
د لق ان ك م لك ول يف س ة أ الله ر و س ة ن س ن ح لم ان و ك ج ر يـ الله م و اليـ و ر خ اآل ر ذك و الله ثريا ﴾٢١﴿ ك
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (Q.S. al-Ahzab/33:21)
نا ث د دد ح س , م نا ث د ل ح ي اع مس , إ نا ث د ب ح أيـو ن ة أىب ع الب عن ق ان أىب م ي ل ك س ال من ب رث ي و احل ا :قال ن يـ أتـ ل النيب ىص ه الله ي ل ع لم س و ن حن و ة ب ب ش ون ب ار ق تـ ا م ن فأقم ه ند ع
ين ر عش ة ل يـ ا أنا فظن ل ن ق تـ ا اش ن ل ا أه ن أل س و من ا ع ن ك تـر ا يف ن ل أه ناه ر بـ فأخ ان ك ا و يق ف را يم ح ر ال ق وا فـ ع ج ىل ار إ ل أه م يك م وه لم ع فـ م وه ر م لوا و ص ا و م ك وين تم أيـ لي ر ا أص ذ إ و
ت ر ض ح الصالة ذن ؤ يـ ل فـ م ك ل م دك مث أح م مك ؤ يـ ل م ك ر بـ )البخارى اإلمام رواه(.أك
Diriwayatkan Malik ibn al-Huwayris berkata: Kami, beberapa orang pemuda sebaya datang kepada Nabi saw., lalu kami menginap bersama beliau selama 20 malam. Beliau menduga bahwa kami telah merindukan keluarga dan menanyakan apa yang kami tinggalkan pada keluarga. Lalu, kami memberitahukannya kepada Nabi. Beliau adalah seorang yang halus perasaannya dan penyayang lalu berkata: “Kembalilah kepada keluargamu! Ajarlah mereka, suruhlah mereka dan salatlah kamu sebagaimana kamu melihat saya mengerjakan salat. Apabila waktu salat telah masuk, hendaklah salah seorang kamu mengumandangkan azan dan yang lebih senior hendaklah menjadi imam. (H.R. Imam al-Bukhari)
نا ث د ح و ر أبـ ك ن حممد ب ان ب أب نا ث د د ح ي ز ي ن ن ب و ار ه ن يك ع ر ش ن ث ع ي ل ن عة م ر عك ن عن باس اب ع : قال ل قال و س لى اهللا ر ص ه اهللا ي ل لم ع س : (و س ي نا ل م ن م ملم ح ر نا يـ ر يـ غ ص قـر و يـ نا و ر يـ ب ك ر أم ي و ف و ر ع بالم نه يـ ن و ر ع نك )الرتميذى رواه( )الم
Ibn Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: Bukanlah termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi yang lebih kecil, tidak memuliakan yang lebih besar, tidak menyuruh berbuat makruf, dan tidak mencegah perbuatan munkar. (H.R. Tirmidzi)
Lampiran 3:
DAFTAR SURAT DALAM SKRIPSI SIFAT-SIFAT PENDIDIK PERSPEKTIF AL-QUR’AN
SURAT FUSHSHILAT AYAT 34-35
ا ا ي أيـه ين نوا الذ قوا آم م ك أنفس م يك ل أه نار و ا ا ه قود و ة الناس ار ج احل ا و ه يـ ل ع ة ك ئ ال م
ظ اد غال د ال ش ون ص ع يـ ا الله م م ه ر أم ون ل ع ف يـ ا و م ون ر م ؤ ﴾٦﴿ يـ
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (Q.S. At Tahrim/66:6)
ال توي و تس ة ن س ال احل و ة يئ الس فع باليت اد ي ه ن س ا أح ذ نك الذي فإ يـ بـ ه ن يـ بـ ة و او د ع أنه ك يل و يم ا ﴾٣٤﴿ مح م ا و قاه ل إال يـ ين وا الذ ر بـ ا ص م ا و قاه ل و إال يـ ظ ذ ح يم ظ ع
﴿٣٥﴾ Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar. (Q.S. Fushshilat/41: 34-35)
د ق ل ان ك م ك ل ول يف س ة الله ر و أس ة ن س ن ح لم ان و ك ج ر يـ الله م و اليـ و ر خ اآل ر ذك و الله
ريا ث ﴾٢١﴿ ك Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (Q.S. al-Ahzab/33:21)
ع ى اد يل إل ب بك س ة ر م ك ظة بالح ع و الم ة و ن س م الح له اد ج تيبال و ي ه ن س إن أحبك ر و ه م ل ن أع ل مب ه عن ض يل ب س و ه و م ل أع ين تد ه ﴾١٢٥﴿ بالم
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (Q.S. An-Nahl/16:125)
فع بالتي اد ي ه ن س أح ة يئ الس ن حن م ل ا أع مب فون ص ﴾٩٦﴿ ي
Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik. Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan.(Q.S. Al Mu’minun/23:96)
ا م ة فب مح ر ه من الل نت ل م هل و ل و نت ك ا يظ فظ ب غل ل النفضوا الق ن ك م ل و فاعف ح م ه نـ ع و ر غف تـ اس م هل م ه ر او ش و ر يف ا األم ذ ت فإ م ز ع كل و تـ ى فـ ل ه ع إن الل ه ب الل حي
ني كل و تـ ﴾١٥٩﴿ الم Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma`afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (Q.S. Ali Imran/3:159)
رب ى فاص ل ا ع م ولون ق يـ بح س و د م بك حب ر ل ب وع قـ ل ط س الشم ل ب قـ وب و الغر
Maka bersabarlah kamu terhadap apa yang mereka katakan dan bertasbihlah sambil memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam (nya). (Q.S. Qaaf/50: 39)