bab ii telaah pustaka 2.1. definisi konsep
TRANSCRIPT
16
BAB II
TELAAH PUSTAKA
2.1. DEFINISI KONSEP
Tujuan apapun yang dipilih dalam suatu penelitian
harus berpijak pada teori dan konsep-konsep yang
sudah ada. Teori yang rasional dan sistematis
mempunyai peranan yang cukup penting sebagai
pedoman atau pegangan karena “teori adalah
serangkaian konsep, definisi dan proposisi yang saling
berkaitan dengan tujuan untuk memberikan
gambaran yang sistematis tentang suatu fenomena.
Sebuah konsep, teori bermanfaat dalam menelaah
masalah penelitian untuk analisis selanjutnya.
Konsep yang diminati akan didefinisikan terlebih
dahulu dengan tujuan memperkaya kosa kata,
menghilangkan kerancuan, mengurangi kekaburan
dan menjelaskan secara teoritis serta mempengaruhi
sikap (Ihalauw, 2000).
Menurut Dubin (Ihalauw, 2000) “Konsep adalah
unsur dasar yang digunakan untuk membentuk teori”.
Konsep dapat berfungsi sebagai landasan pijak bagi
peneliti dalam melakukan penelitiannya sehingga
penentuan konsep, definisi konsep, dan nalar konsep
merupakan hal yang mutlak bagi peneliti.
17
2.1.1. Behavioral-intentions battery
Ajzen (2002) berpendapat bahwa behavioral-
intentions battery mencerminkan betapa sulitnya
seseorang bersedia untuk mencoba, dan bagaimana
memotivasinya untuk berperilaku. Definisi lain
dikemukakan oleh Zeithaml et al. (1996) bahwa
behavioral intentions battery adalah sikap mendukung
atau tidak mendukung perusahaan yang dijabarkan
dalam lima dimensi perilaku, yaitu loyalty, switch, pay
more, internal response dan eksternal response, yang
menjadi pendorong bagi pelanggan untuk bertindak.
Setelah Raharso (2005) melakukan analisis faktor
dengan agen value >1, saat ini telah ditemukan lima
dimensi baru (walau sebagian besar sama), yaitu
word-of-mouth, loyalty, response, switch, dan complain.
Perilaku (behavior) adalah tindakan khusus yang
ditujukan pada beberapa objek target. Sedangkan
keinginan berperilaku (behavioral intention) adalah
suatu proposisi yang menghubungkan diri dengan
tindakan yang akan datang. Memperkirakan perilaku
yang akan datang dari seorang konsumen, khususnya
perilaku pembelian mereka, adalah aspek yang sangat
penting dalam peramalan dan perencanaan
pemasaran. Ketika merencanakan strategi, para
pemasar perlu memprediksi perilaku pembelian dan
18
perilaku penggunaan konsumen beberapa minggu,
bulan, atau kadangkala beberapa tahun sebelumnya.
Niat untuk berperilaku meliputi perilaku yang
diinginkan oleh pengunjung dan mengantisipasi
tindakan yang mereka akan tunjukkan di masa
depan. Menurut Zeithaml et al. (1996), battery
digambarkan seperti : tetap setia ke perusahaan
bahkan ketika harganya naik, niat untuk melakukan
bisnis lebih dengan perusahaan di masa depan, dan
niat memberi keluhan ketika masalah layanan terjadi.
Battery di kembangkan menjadi 13 item yang
kemudian dikelompokkan menjadi 5 dimensi :
loyalitas kepada perusahaan, kecenderungan untuk
beralih, kesediaan untuk membayar lebih, respon
eksternal untuk masalah, dan respon internal untuk
masalah. Loyalitas didefinisikan sebagai perilaku bias
diungkapkan dari waktu ke waktu oleh pengunjung
sehubungan dengan satu atau lebih alternatif dan
merupakan fungsi dari proses psikologis (Jacoby dan
Kyner 1973).
Ikhwan Susila & Faturrahman (2004),
menambahkan pendapat dari Assael bahwa
behavioral-intentions adalah hasil dari evaluasi
terhadap merek atau jasa. Lebih lanjut Assael
menambahkan pada saat konsumen melakukan
evaluasi terhadap merek atau jasa, konsumen
19
cenderung akan menggunakan merek atau jasa yang
memberikan tingkat kepuasan tertinggi.
Mowen dan Minor (2002) menyatakan bahwa
behavioral intentions sebagai minat berperilaku, yaitu
minat konsumen untuk berperilaku menurut cara
tertentu dalam rangka memiliki, membuang, dan
menggunakan produk atau jasa. Model ini
dikembangkan oleh Fishbein untuk meningkatkan
kemampuan model sikap terhadap objek dalam
memprediksi perilaku konsumen.
Selanjutnya Mowen dan Minor (2002)
menambahkan : pertama, perilaku berasal dari
formasi keinginan spesifik untuk berperilaku. Kedua,
ini mencangkup bentuk baru yang disebut norma
subjektif. Norma subjektif menilai apa yang dipercaya
konsumen bahwa orang lain akan berpikir mereka
harus melakukannnya. Dengan kata lain, norma
subjektif memperkenalkan formulasi pengaruh
referensi dari kelompok yang sangat kuat terhadap
perilaku. Teori Reasoned Action menyatakan bahwa
perilaku (behavior) seseorang sangat tergantung pada
minat/maksud, sedangkan minat untuk berperlaku
sangat tergantung pada sikap dan norma subjektif
atas perilaku.
Bigne (2005), Ekinci dan Hosany (2006), Alampay
(2003), dan Rosen (1987) menjelaskan kecenderungan
20
seseorang menunjukkan intention (minat) terhadap
suatu produk atau jasa dapat dilihat berdasarkan ciri-
ciri di bawah ini.
1. Kemauan untuk mencari informasi terhadap suatu
produk atau jasa. Konsumen yang memiliki
intention cenderung mencari informasi yang lebih
detail tentang produk atau jasa tersebut dengan
tujuan untuk mengetahui secara pasti bagaimana
spesifikasi produk atau jasa yang digunakan,
sebelum menggunakan produk atau jasa tersebut.
2. Kesediaan untuk membayar barang atau jasa.
konsumen yang memiliki minat terhadap suatu
produk atau jasa dapat dilihat dari bentuk
pengorbanan yang dilakukan terhadap suatu
barang atau jasa. Konsumen yang cenderung
memiliki minat lebih terhadap suatu barang atau
jasa akan bersedia untuk membayar barang atau
jasa tersebut dengan tujuan konsumen yang
berminat tersebut dapat menggunakan barang
atau jasa tersebut.
3. Menceritakan hal yang positif. Konsumen yang
memiliki minat besar terhadap suatu produk atau
jasa, jika ditanya konsumen lain maka secara
otomatis konsumen tersebut akan mencitrakan hal
yang positif terhadap konsumen lain, karena
konsumen yang memiliki suatu minat
21
secara eksplisit memiliki suatu keinginan dan
kepercayaan terhadap suatu barang atau jasa
yang digunakan.
4. Kecenderungan untuk merekomendasikan.
Konsumen yang memiliki minat yang besar
terhadap suatu barang, selain akan menceritakan
hal yang positif, konsumen tersebut juga akan
merekomendasikan kepada orang lain untuk juga
menggunakan barang atau jasa tersebut.
Penelitian ini mencoba melihat bagaimana
pentingnya behavioral-intentions battery yang
berpengaruh terhadap loyalitas menurut definisi yang
dipaparkan Zeinthamil (1996).
22
2.1.2.Attitude
Menurut pendapat Schiffman dan Kanuk (2007),
“attitude is a learned predisposition to respond in
a consistently favorable or un favorable manner with
respect to a given object”
Sikap adalah respon yang dipelajari secara
konsisten yang diberikan individu terhadap sebuah
objek, dalam bentuk senang atau tidak senang.
Ihalauw (2003) menambahkan definisi sikap
menurut Lefton adalah pola perasaan, keyakinan dan
kecenderungan perilaku terhadap orang, ide, atau
objek yang tetap dalam jangka waktu yang lama.
Di kalangan ahli psikologi, telah lama
diasumsikan bahwa sikap dipandang mampu
memprediksi perilaku. Serangkaian penelitian tentang
hubungan yang problematik antara sikap-perilaku
telah banyak dilakukan oleh para ahli psikologi sosial.
Akhirnya Martin Fishbein dan Icek Ajzen mulai
mengembangkan sebuah kerangka guna mengatasi
permasalahan mengenai hubungan sikap-perilaku.
Kerangka teoritis tersebut terkenal dengan Theory of
Reasoned Action (TRA). Selanjutnya TRA
dikembangkan dan disempurnakan oleh Ajzen (2006)
menjadi Theory of Planned Behavior (TPB). Menurut
Brehm dan Kassin (1990), TRA dan TPB merupakan
23
dua teori yang penting untuk memahami dan
memprediksi perilaku.
Sikap (attitude) seseorang merupakan
predisposisi (keadaan mudah terpengaruh) untuk
memberikan tanggapan terhadap rangsangan
lingkungan yang dapat memulai atau membimbing
tingkah laku orang tersebut (Swastha, 2002).
Definisi lain dikemukakan Gerungan (2004)
attitude dapat kita terjemahkan dengan sikap
terhadap obyek tertentu yang dapat merupakan sikap
pandangan atau sikap perasaan, tetapi sikap tersebut
disertai dengan kecenderungan untuk bertindak
sesuai dengan keputusan individu.
Melalui sikap dapat mewakili apa yang disukai
atau pun tidak disukai oleh seseorang. Sikap seorang
konsumen mendorong konsumen untuk melakukan
pemilihan terhadap beberapa produk. Sehingga sikap
kadang diukur dalam bentuk pilihan konsumen.
Pilihan konsumen itu sendiri dapat dikatakan sebagai
suatu sikap terhadap sebuah obyek dan hubungannya
dengan obyek lain.
Menurut Fishbein dan Ajzen, sikap adalah
perasaan umum yang menyatakan keberkenaan
seseorang terhadap suatu obyek yang mendorong
tanggapannya, baik dalam bentuk tanggapan positif
24
maupun negatif. Dalam sikap positif kecenderungan
mengambil tindakan mendekati dan mengharapkan
obyek tertentu. Sedangkan sikap negatif
kecenderungan mengambil tindakan untuk menjauh
atau menghindari obyek tertentu, Subagyo (2000).
Ada dua dimensi penting dalam pembentukan
sikap dari setiap individu, (Fishbein dan Ajzen (1975) :
1. Behavioral Belief adalah keyakinan-keyakinan yang
dimiliki seseorang terhadap perilaku dan
merupakan keyakinan yang akan mendorong
terbentuknya sikap.
2. Evaluation of behavioral belief merupakan evaluasi
positif atau negatif individu terhadap perilaku
tertentu berdasarkan keyakinan-keyakinan yang
dimilikinya.
Dalam interaksi sosialnya, individu bereaksi
membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai
obyek psikologis yang dihadapinya. Diantara berbagai
faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah
pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang
dianggap penting, media masa, institusi, lembaga
pendidikan dan lembaga agama, serta faktor emosi
dalam diri individu.
Selanjutnya, menurut Azwar (2003), sikap
terdiri dari beberapa aspek, sebagai berikut : 1). Aspek
25
kognitif, berhubungan dengan gejala mengenai pikiran
yang berupa apa yang berwujud pengolahan,
pengalaman, keyakinan, serta harapan individu
tentang objek atau kelompok tertentu. Aspek kognitif
tersebut berisikan persepsi, kepercayaan, stereotip
yang dimiliki individu mengenai sesuatu. 2). Aspek
Afektif, merupakan perasaan individu terhadap obyek
sikap dan perasaan yang mengandung masalah
emosional. Aspek emosional ini biasanya berakar
paling dalam pada aspek sikap dan merupakan aspek
yang paling bertahan terhadap pengaruh-pengaruh
yang mungkin dapat merubah perilaku seseorang.
Aspek ini terwujud proses yang menyangkut perasaan
tertentu seperti ketakutan, kedengkian, antipati, yang
ditujukan pada obyek tertentu. 3). Aspek konatif, atau
perilaku dalam sikap menunjukan bagaimana
kecenderungan seseorang di dalam berperilaku
dikaitkan dengan obyek sikap yang dihadapinya.
Asumsi dasarnya adalah bahwa kepercayaan dan
perasaan mempengaruhi perilaku. Jadi bagaimana
orang berperilaku dalam situasi tertentu akan banyak
ditentukan oleh bagaimana kepercayaan dan
perasaannya terhadap stimulus tertentu.
Azwar (2003) menambahkan bahwa sikap
terbentuk dari ada interaksi sosial yang dialami oleh
individu. Interaksi sosial mengandung arti lebih
26
daripada sekedar adanya kontak sosial dan hubungan
antar individu sebagai anggota kelompok sosial.
Dalam interaksi sosial, terjadi hubungan saling
mempengaruhi diantara individu yang satu dengan
yang lain, terjadi hubungan timbal balik yang turut
mempengaruhi pola perilaku masing-masing individu
sebagai anggota masyarakat. Lebih lanjut, interaksi
sosial itu meliputi hubungan antara individu dengan
lingkungan fisik maupun lingkungan psikologis di
sekitarnya.
Sikap akan mengikuti perilaku pembelian
apabila keterlibatan konsumen baik dengan produk
maupun situasi pembelian rendah. Arus peristiwa ini
cukup berbeda pada keputusan dengan keterlibatan
rendah. Dalam hal ini, konsumen tidak termotivasi
untuk melakukan penyelesaian masalah yang
ekstensif. Meskipun demikian, mereka bergeser
melalui proses keputusan terbatas di mana mereka
hanya mempertimbangkan beberapa alternatif produk
pada situasi superfisial dan hanya membentuk
kepercayaan terbatas terhadap alternatif-alternatif
tersebut. Mereka tidak mengevaluasi alternatif secara
seksama, maka mereka mungkin tidak membentuk
sikap apa pun terhadap alternatif tersebut. Kemudian
pada situasi dengan keterlibatan rendah, sikap
cenderung terjadi hanya setelah barang atau jasa
27
dibeli dan dialami, ketika konsumen mencerminkan
bagaimana perasaan mereka tentang produk atau jasa
tersebut. Jadi, apabila konsumen memiliki
keterlibatan rendah dalam pembelian, mereka
cenderung terlibat dalam penyelesaian masalah
terbatas dan bergeser melalui apa yang disebut
hierarki dengan keterlibatan rendah, formasi
kepercayaan, kemudian perilaku, dan akhirnya
formasi sikap (Mowen dan Minor,2002)
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan
bahwa sikap adalah kesiapan bereaksi terhadap suatu
stimulus atau objek yang dihadapi, berdasarkan
pendapat dan keyakinan individu yang menjadi dasar
untuk berperilaku dimana sikap dapat bersifat positif
atau negatif.
28
2.1.3.Subjective Norm
Norma-norma subyektif (subjective norms)
adalah pengaruh sosial yang mempengaruhi seseorang
untuk berperilaku. Seseorang akan memiliki
keinginan terhadap suatu obyek atau perilaku
seandainya ia terpengaruh oleh orang-orang di
sekitarnya untuk melakukannya atau ia meyakini
bahwa lingkungan atau orang-orang disekitarnya
mendukung terhadap apa yang ia lakukan.
Mowen dan Minor (2002) menyatakan bahwa
norma subjektif sebagai komponen yang berisikan
keputusan yang dibuat oleh individu setelah
mempertimbangkan pandangan orang-orang yang
mempengaruhi perilaku tertentu.
Menurut Baron dan Byrne (2003), norma
subyektif adalah persepsi individu tentang apakah
orang lain akan mendukung atau tidak terwujudnya
tindakan tersebut. Hogg dan Vaughan (2005)
memberikan penjelasan bahwa norma subyektif
adalah produk dari persepsi individu tentang beliefs
yang dimiliki orang lain. Feldman (1995) menjelaskan
bahwa norma subyektif adalah persepsi tentang
tekanan sosial dalam melaksanakan perilaku tertentu.
Norma subyektif yaitu keyakinan individu untuk
mematuhi arahan atau anjuran orang di sekitarnya
untuk turut dalam melakukan suatu aktifitas.
29
Theory of Reason Action (Fishbein, 1967;
Fishbein & Ajzen, 1975) adalah salah satu yang paling
perpengaruh model dalam memprediksi perilaku
manusia dan perilaku disposisi. Teori ini
mengusulkan bahwa perilaku dipengaruhi oleh niat
perilaku yang pada gilirannya, dipengaruhi oleh sikap
terhadap tindakan dan oleh norma subyektif.
Menurut Fisbein dan Ajzen (1975), norma
subjektif secara umum memiliki 2 dimensi sebagai
berikut :
1. Normatives beliefs, yaitu persepsi atau keyakinan
mengenai harapan orang lain terhadap dirinya
yang menjadi acuan untuk menampilkan perilaku
atau tidak. Keyakinan yang berhubungan dengan
pendapat tokoh atau orang lain yang penting dan
berpengaruh bagi individu untuk melakukan atau
tidak suatu perilaku.
2. Motivation to comply, yaitu motivasi untuk
memenuhi harapan tersebut.
Norma subjektif dapat dilihat dalam dinamika
antara dorongan-dorongan yang dipersepsikan
individu dari orang-orang disekitarnya (significant
others) dengan motivasi untuk mengikuti pandangan
mereka (motivation to comply) dalam melakukan atau
tidak melakukan tingkah laku tersebut.
30
Norma subyektif mengacu pada perilaku yang
diharapkan oleh orang lain. Subagyo (2000)
berpendapat bahwa norma subyektif datang dari
pengaruh orang lain yang oleh seorang dianggap
penting. Hal ini sejalan dengan pendapat Dharmmesta
(1998) yang mengatakan bahwa norma subjektif itu
menyangkut persepsi seorang apakah orang lain yang
dianggap penting akan mempengaruhi perilakunya.
2.1.4. Customer Delight
Menurut Berman (2005), banyak kelebihan dari
delight dibanding daripada hanya memuaskan seperti
berikut. (1)Delight dipandang sebagai respons
emosional yang dilakukan pelanggan terhadap suatu
produk karena pengalaman positif yang diberikan
kepada konsumen menjadi persyaratan yang sangat
penting. (2)Customer delight lebih afektif dan lebih
emosional (terkait dengan emosi seperti gairah,
sukacita, dan perasaan senang). (3)Delight adalah
hasil skema kejutan dari rangkaian perbedaan antara
apa yang kita harapkan seputar pembelian dan
penggunaan barang juga atas hasil kinerja yang
dirasakan konsumen. (4)Delight lebih memiliki jejak
memori lebih tinggi, karena pengalaman yang
menyenangkan jauh lebih berkesan dari pengalaman
yang dipandang hanya memuaskan.
31
Berbeda dengan konsep ketidakpuasan dan
kepuasan (konsep ini sudah diteliti dan dipraktekkan
secara luas), delight merupakan konsep yang relatif
baru dan belum banyak dieksplorasi (Kwong & Yau,
2002; Verma, 2003). Raharso (2005) memasukan lima
dimensi delight yang secara esensial merupakan
kebutuhan dasar manusia yaitu justice, esteem,
security, trust, dan variety. Dimensi justice, esteem,
dan security berasal dari Schneider dan Bowen (1999,
dalam Raharso, 2005) dan merupakan pusat dari
delight. Dimensi trust dan variety diusulkan oleh
Kwong dan Yau (2002). Tetapi karena belum ada
purifikasi terhadap domain delight, maka Raharso
melakukan uji validitas dan reabilitas terhadap kelima
domain tersebut dan menghasilkan tiga domain
delight, yaitu justice, esteem, dan finishing touch
(Raharso, 2005).
Definisi yang paling populer adalah definisi yang
didasarkan atas model yang dikembangkan oleh
Richard L. Oliver. Dalam artikelnya yang berjudul “A
Cognitive Model of the Antecedents and Consequences
of Satisfaction Decisions”, Oliver (1980) menyatakan
bahwa konsumen memiliki harapan-tertentu (sering
disebut sebagai ekspektasi) terhadap produk yang dia
beli, misal: XYZ berharap mendapatkan pendidikan
yang bermutu ketika akan memilih kuliah di
32
perguruan tinggi A. Setelah kuliah di perguruan tinggi
tersebut, XYZ bisa menilai mutu pendidikan di
perguruan tinggi A. Pengalaman mengkonsumsi
kuliah tersebut menciptakan persepsi XYZ terhadap
mutu pendidikan di perguruan tinggi tersebut.
Perbandingan antara persepsi (yang bersifat empiris)
dengan ekspektasi (yang bersifat ideal) dinamakan
model diskonfirmasi harapan (Engel, et al., 1995; Rust
& Oliver, 1994).
Dari pemaparan di atas terlihat bahwa ada
pengaruh customer delight terhadap behavioral-
intentions battery. Penelitian sebelumnya yang
dilakukan Raharso sendiri tidak memberikan
kepastian bahwa variabel customer delight dapat
mampu memprediksi behavioral-intentions battery
konsumen pada industri lain, karena perasaan delight
pada masing-masing industri berbeda.
33
2.2. PENGEMBANGAN HIPOTESIS
1. Pengaruh attitudes terhadap behavioral-intentions
battery jemaat.
Sikap (attitude) adalah salah satu konsep
penting yang digunakan pemasar untuk mengerti dan
memahami konsumen, yang sehari-hari
diperhadapkan dengan berbagai macam pilihan untuk
bertindak dalam mengambil keputusan atau sikap.
Dengan mengetahui sikap dari konsumen maka
pemasar akan lebih mudah untuk merumuskan
strategi-strategi dalam mempertahankan loyalitas
konsumen.
Assael (2004) mengutip definisi sikap dari
Gordon Allport sebagai berikut: “sikap adalah
predisposisi yang dipelajari untuk merespon suatu
obyek atau sekelompok obyek dalam suatu cara yang
menyenangkan atau tidak menyenangkan secara
konsisten. Para ahli psikologi sosial menyadari bahwa
sikap terhadap perilaku tertentu tidak dapat diamati
atau diukur secara langsung, melainkan dapat
disimpulkan dari respon evaluatif seseorang terhadap
sikap objek tertentu.
Sikap adalah ungkapan perasaan konsumen
tentang suatu obyek apakah disukai atau tidak, dan
sikap juga bisa menggambarkan kepercayaan
34
konsumen terhadap atribut dan manfaat dari obyek
tersebut. Jika konsumen mempunyai tanggapan yang
positif terhadap obyek, maka ia akan berusaha untuk
mengunjungi suatu obyek tersebut. Jadi Dengan
mengetahui sikap dari jemaat maka gereja akan lebih
mudah untuk merumuskan strategi-strategi dalam
mempertahankan loyalitas warga jemaat. Hasil
penelitian Salim (2003), Albari dan Liriswati (2004)
serta Sigit (2006) menunjukkan bahwa sikap
berpengaruh terhadap minat konsumen. Berdasarkan
uraian tersebut, maka dapat dibuat hipotesis sebagai
berikut :
H1 : Attitude berpengaruh signifikan dan positif
terhadap behavioral-intentions battery jemaat.
2. Pengaruh subjective norm terhadap behavioral-
intentions battery jemaat.
Teori tindakan beralasan dari Fishbein dan
Ajzen (1980) juga menegaskan sikap “normatif”
yang mungkin dimiliki oleh seseorang tentang apa
yang akan dilakukan orang lain (terutama, orang-
orang yang berpengaruh dalam kelompok) pada
situasi yang sama. Teori tindakan beralasan
menggambarkan pengintegrasian komponen-
35
komponen sikap secara menyeluruh kedalam
struktur yang dimaksudkan untuk menghasilkan
penjelasan yang lebih baik maupun peramalan
yang lebih baik mengenai perilaku.
Sumarwan (2003), norma adalah aturan
masyarakat tentang sikap baik dan buruk,
tindakan yang boleh dan tidak boleh. Hampir
semua masyarakat memiliki norma. Norma lebih
spesifik dari nilai. Norma akan mengarahkan
seseorang tentang perilaku yang diterima dan tidak
diterima. Sumarwan menambahkan, norma terbagi
ke dalam dua macam. Pertama adalah norma
(enacted norms) yang disepakati berdasarkan
aturan pemerintah dan ketatanegaraan, biasanya
berbentuk peraturan, undang-undang. Norma ini
harus dipatuhi oleh masyarakat, dan dalam
banyak hal jika norma tersebut dilanggar, akan
dikenakan sanksi. Norma kedua disebut cresive
norm, yaitu norma yang ada dalam budaya dan
bisa dipahami dan dihayati jika orang tersebut
berinteraksi dengan orang-orang dari budaya yang
sama.
Norma subyektif menunjukkan tekanan sosial
yang dirasakan untuk melakukan atau tidak
melakukan suatu tindakan/perilaku, yang dapat
membuat seseorang menjadi terpengaruh oleh
36
pandangan orang lain atau pun tidak terpengaruh
sama sekali. Hasil penelitian Albari dan Liriswati
(2004) serta Sigit (2006) menyatakan bahwa norma
subyektif berpengaruh terhadap minat konsumen.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa norma
subyektif dimungkinkan dapat mempengaruhi
minat untuk datang ke gereja. Berdasarkan uraian
tersebut, maka penulis dapat dibuat hipotesis
sebagai berikut :
H2 : Subjective Norm berpengaruh signifikan
dan positif terhadap behavioral-intentions
batterry jemaat.
3. Pengaruh customer delight terhadap behavioral-
intentions battery jemaat.
Raharso (2005) menyatakan bahwa justice
secara signifikan mampu memprediksi perilaku
WOM, loyalty, dan response. Dalam hal ini
asumsinya adalah konsumen sangat menghargai
transaksi yang jujur, melalui pemberian informasi
yang lengkap dan benar, termasuk pilihan produk.
Dengan memperlakukan konsumen secara adil,
konsumen akan merasa bahwa pengorbanan yang
dikeluarkan tidak sia-sia. Hal ini kemudian
37
menyebabkan konsumen akan menceritakan hal-
hal yang positif (WOM positive) mengenai
perusahaan, meningkatkan loyalitas, dan tetap
menjalin bisnis dengan perusahaan sebagai
bentuk respon atas tindakan perusahaan.
Raharso lebih jauh menjelaskan bahwa selain
justice, dimensi esteem juga secara signifikan
mampu memprediksi perilaku WOM, loyalty, dan
complain. Menurut Raharso, setiap konsumen
adalah sebuah pribadi yang memiliki identitas,
yang ingin diperlakukan secara istimewa. Identitas
tersebut akan selalu melekat dan dibawa dalam
melakukan transaksi.
Dimensi terakhir delight adalah finishing touch
(sentuhan akhir) juga ditemukan secara signifikan
mampu memprediksi perilaku switch. Hal ini
diperuntukan bagi konsumen yang merasa tidak
puas. Walau konsumen telah melakukan
serangkaian evaluasi, kemungkinan produk tidak
bekerja secara optimal tetap ada. Apalagi kualitas
layanan merupakan hal yang sulit distandarisasi
karena merupakan interaksi sosial yang
melibatkan banyak varibel yang rumit sehingga
keluhan konsumen menjadi hal tidak terelakan
(Raharso, 2005). Menurut Barlow & Maul, walau
begitu keluhan pelanggan merupakan hadiah dari
38
pelanggan, bukan ancaman (Raharso, 2005).
Bennet menambahkan, karena keluhan pelanggan
dapat menghasilkan informasi bagi perusahaan,
yang secara khusus dapat digunakan untuk
memantau efektifitas program customer service
(Raharso, 2005).
Selain itu keluhan pelanggan akan memberikan
kesempatan bagi perusahaan untuk melakukan
perbaikan produk, pelayanan dan
mempertahankan pelanggan, dibanding pelanggan
yang tidak mengeluh dan diam-diam
meninggalkan perusahaan.
Apabila hal ini dilihat dalam konteks organisasi
gereja yang menyediakan produk utamanya yaitu
“service” kepada jemaat sebagai konsumennya,
gereja dituntut mengoptimalkan kinerja
karyawannya (pendeta) untuk dapat
mempertahankan konsumen (jemaat). Hal tersebut
disebabkan jemaat yang mengeluh mempunyai
harapan bahwa gereja akan merespon keluhan
tersebut guna mengurangi rasa ketidakpuasannya.
Hasil penelitian membuktikan bahwa perlakuan
yang tepat kepada pelanggan (jemaat) yang
mengeluh akan membuat pelanggan (jemaat)
tersebut jauh lebih puas (bahkan mencapai tahap
39
delight) dan loyal, dibanding pelanggan yang tidak
mengeluh (Verma, 2003). Cara perusahaan
mengatasi keluhan pelanggan inilah yang disebut
sentuhan akhir (finishing touch). Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa customer delight
dimungkinkan mempengaruhi behavioral-
intentions battery jemaat, maka dapat dibuat
hipotesis sebagai berikut :
H3 : Customer Delight berpengaruh dan
signifikan dan positif terhadap behavioral-
intentions battery jemaat.