bab ii tinjauan kepustakaanrepository.poltekkes-tjk.ac.id/511/4/6. bab ii.pdf · membuat diagram...
TRANSCRIPT
7
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
A. Perilaku
Menurut Notoatmodjo, 2010:43-44 perilaku merupakan respons atau
reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Perilaku manusia
terjadi melalui proses: respons, sehingga teori ini disebut dengan teori “S-O-R”
(Stimulus-Organism-Response). Berdasarkan teori “S-O-R”, maka perilaku
manusia dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu :
1. Perilaku tertutup (covert behavior), terjadi bila respons terhadap
stimulus tersebut masih belum dapat diamati orang lain (dari luar) secara
jelas. Respons seseorang masih terbatas dalam bentuk perhatian,
perasaan, persepsi, pengetahuan dan sikap terhadap stimulus yang
bersangkutan. Bentuk “unobservable behavior” atau “covert behavior”
yang dapat diukur dari pengetahuan dan sikap.
2. Perilaku terbuka (overt behavior), terjadi bila respons terhadap stimulus
tersebut sudah berupa tindakan atau praktik ini dapat diamati orang lain
dari luar atau “observable behavior” (Notoatmodjo, 2010:44).
B. Pengetahuan
1. Pengertian pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia atau hasil tahu
seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung,
telinga, dan sebagainya). Dengan sendirinya pada waktu penginderaan
8
sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh
intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek. Sebagian besar
pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera pendengaran (telinga) dan
indera penglihatan (mata) (Notoatmodjo, 2010:50).
2. Tingkat pengetahuan
Menurut Notoatmodjo, 2010:50-52 pengetahuan seseorang
terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda.
Secara garis besarnya dibagi dalam enam tingkat pengetahuan, yaitu :
a. Tahu (Know), diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah
dipelajari sebelumnya setelah mengamati sesuatu. Misalnya : tah
bahwa buah tomat mengandung vitamin C, jamban adalah
membuang air besar, penyakit demam berdarah ditularkan oleh
gigitan nyamuk Aedes Agepty dan sebagainya. Untuk mengetahui
atau mengukur bahwa orang it tahu sesuatu dapat menggnakan
pertanyaan-pertanyaan, misalnya : apa tanda-tanda anak yang
kurang gizi, apa penyebab TBC, bagaimana cara melakkan PSN
(pemberantas sarang nyamuk), dan sebagainya.
b. Memahami (Comprehension), memahami suatu objek bukan
sekedar tahu terhadap objek tersebut, tidak sekedar dapat
menyebutkan, tetapi orang tersebut dapat menginterprestasikan
secara benar tentang objek yang diketahui tersebut. Misalnya :
orang yang memahami cara pembrantas penyakit demam berdarah,
bukan sekedar menyebut 3M (mengubur, menutup, dan menguras),
9
tetapi harus dapat menjelaskan mengapa harus menutup, menguras,
dan sebagainya tempat-tempat penampungan air tersebut.
c. Aplikasi (Aplication), diartikan apabila orang yang telah
memahami objek yang dimaksud dapat menggunakan atau
mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut pada situasi yang
lain. Misalnya : seseorang yang paham proses perencanaan, ia
harus dapat membuat perencanaan program kesehatan ditempat
kerja dia atau dimana saja. Orang yang telah paham metodelogi
penelitian, ia akan mudah membuat proposal penelitian dimana saja
dan seterusnya.
d. Analisis (Analysis), adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan
dan/atau memisahkan, kemudian mencari hubungan antara
komponen-komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau
objek yang diketahui. Indikasi bahwa pengetahuan seseorang itu
sudah sampai pada tingkat anaisis adalah apabila orang tersebut
telah dapat membedakan atau memisahkan, mengelompokan,
membuat diagram (bagan) terhadap pengetahuan atas objek
tersebut. Misalnya : dapat membedakann nyamuk Aedes Agepty
dengan nyamuk biasa, dapat membuat diagram (flow chart) siklus
hidup cacing kremi, dan sebagainya.
e. Sintesis (Synthesis), menunjuk pada suatu kemampuan seseorang
untuk meletakkan atau merangkum dala satu hubungan yang logis
dari komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki. Dengan kata
lain, sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi
10
baru dari formulasi-formulasi yang telah ada. Misalnya : dapat
membuat atau meringkas dengan kata-kata atau kalimat sendiri
tentang hal-hal yang telah dibaca atau didengar, dapat membuat
kesimpulan tentang artikel yang telah dibaca.
f. Evaluasi (Evaluation), berkaitan dengan kemampuan untuk
melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau
objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang
ditentukan sendiri atau norma-norma yang berlaku di masyarakat.
Misalnya : seorang ibu dapat menilai atau menentukan seorang anak
menderita malnutrisi atau tidak, seseorang dapat menilai manfaat
ikut keluarga berencana dan sebagainya.
3. Pengukuran Pengetahuan
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan secara langsung (wawancara) atau melalui
pertanyaan-pertanyaan tertulis atau angket. Indikator pengetahuan adalah
tingginya pengetahuan responden tentang kesehatan, atau besarnya
persentase kelompok responden (Notoatmodjo, 2010:56).
C. Penjaminan Perlindungan Personal Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun
Menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutan Republik
Indonesia Nomor 56 Tahun 2015 Tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun dari Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Lampiran VII Perlindungan pekerja yang perlu dilakukan meliputi :
11
1. Alat pelindung diri (APD)
Jenis pakaian pelindung/APD yang digunakan untuk semua petugas
yang melakukan pengelolaan limbah medis dari fasilitas pelayanan
kesehatan meliputi:
a. Helm, dengan atau tanpa kaca
Alat pelindung kepala adalah alat pelindung yang berfungsi
untuk melindungi kepala dari benturan, terantuk, kejatuhan atau
terpukul benda tajam atau benda keras yang melayang atau meluncur di
udara, terpapar oleh radiasi panas, api, percikan bahan-bahan kimia,
jasad renik (mikro organisme) dan suhu yang ekstrim (Peraturan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor
PER.08/MEN/VII/2010).
b. Masker wajah (tergantung pada jenis kegiatannya)
Alat pelindung pernapasan beserta perlengkapannya adalah
alat pelindung yang berfungsi untuk melindungi organ pernapasan
dengan cara menyalurkan udara bersih dan sehat dan/atau menyaring
cemaran bahan kimia, mikro-organisme,partikel yang berupa debu,
kabut (aerosol), uap, asap, gas/ fume, dan sebagainya. Jenis alat
pelindung pernapasan dan perlengkapannya terdiri dari masker,
respirator, katrit, kanister, Re-breather, Airline respirator, Continues
Air Supply Machine=Air Hose Mask Respirator, tangki selam dan
regulator (Self-Contained Underwater Breathing Apparatus /SCUBA),
Self-Contained Breathing Apparatus (SCBA), dan emergency
12
breathing apparatus (Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.08/MEN/VII/2010).
c. Pelindung mata (tergantung pada jenis kegiatannya)
Alat pelindung mata dan muka adalah alat pelindung yang
berfungsi untuk melindungi mata dan muka dari paparan bahan kimia
berbahaya, paparan partikel-partikel yang melayang di udara dan di
badan air, percikan benda-benda kecil, panas, atau uap panas, radiasi
gelombang elektromagnetik yang mengion maupun yang tidak
mengion, pancaran cahaya, benturan atau pukulan benda keras atau
benda tajam (Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia Nomor PER.08/MEN/VII/2010).
d. Apron/celemek yang sesuai
Pakaian pelindung berfungsi untuk melindungi badan sebagian
atau seluruh bagian badan dari bahaya temperatur panas atau dingin
yang ekstrim, pajanan api dan benda-benda panas, percikan bahan-
bahan kimia, cairan dan logam panas, uap panas, benturan (impact)
dengan mesin, peralatan dan bahan, tergores, radiasi, binatang, mikro-
organisme patogen dari manusia, binatang, tumbuhan dan lingkungan
seperti virus, bakteri dan jamur (Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.08/MEN/VII/2010).
e. Pelindung kaki dan/atau sepatu boot
Alat pelindung kaki berfungsi untuk melindungi kaki dari
tertimpa atau berbenturan dengan benda-benda berat, tertusuk benda
tajam, terkena cairan panas atau dingin, uap panas, terpajan suhu yang
13
ekstrim, terkena bahan kimia berbahaya dan jasad renik, tergelincir
(Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia
Nomor PER.08/MEN/VII/2010).
f. Sarung tangan sekali pakai atau sarung tangan untuk tugas berat
Sarung tangan Terbuat dari bahan lateks atau nitril, dengan tujuan :
1) Mencegah penularan flora/penyakit dari penderita di RS lewat
tangan petugas
2) Mencegah resiko kepada petugas terhadap kemungkinan
transmisi mikroba patogen dari penderita di RS. Agar sarung
tangan dapat dimanfaatkan dengan baik, maka sarung tangan
sebaiknya steril, utuh, atau tidak robek/berlubang, serta
ukurannya sesuai dengan ukuran tangan petugas agar gerakan
tangan atau jari selama melaksanakan pekerjaan dapat bergerak
bebas.
2. Higiene perorangan.
Higiene perorangan penting untuk mengurangi risiko dari
penanganan limbah layanan kesehatan, dan fasilitas mencuci tangan
(dengan air hangat mengalir, sabun, dan alat pengering) atau cairan
antiseptik yang diletakkan di tempat yang mudah dijangkau harus tersedia
bagi petugas.
3. Imunisasi.
Pemberian imunisasi pada petugas yang menangani limbah perlu
diberikan karena kemungkinan tertular bahan infeksius pasien cukup
tinggi. Adapun imunisasi yang diberikan adalah Hepatitis B dan Tetanus.
14
4. Praktik penanganan.
Praktik pengelolaan limbah turut berkontribusi dalam mengurangi
risiko yang dihadapi pekerja yang menangani limbah yang dihasilkan dari
fasilitas pelayanan kesehatan.
5. Keamanan sitotoksik.
Berikut ini adalah tindakan untuk meminimalkan pajanan terhadap
limbah sitotoksik:
a. Terdapat POS (Prosedur Operasional Standar) yang menjelaskan
metode kerja yang aman untuk setiap proses
b. Lembar Material Safety Data Sheet (MSDS) untuk memberi
informasi mengenai bahan berbahaya, efeknya, dan cara
penanggulangannya bila terjadi kedaruratan
c. Prosedur Operasional Standar Pertolongan Pertama pada
Kecelakaan (P3K)
d. Pelatihan bagi petugas yang menangani obat-obatan sitotoksik
e. Memiliki peralatan penanganan tumpahan limbah sitotoksik.
6. Pemeriksaan medis khusus (medical check-up) secara rutin bagi petugas
penanganan limbah minimal dua tahun sekali.
7. Pemberian makanan tambahan bagi petugas pengelola limbah.
D. Pengertian Alat Pelindung Diri
Pelindung tenaga kerja melalui usaha teknis pengaman tempat, pelatan dan
lingkungan kerja adalah sangat penting dan perlu di utamakan, dan APD adalah
15
seperangkat alat keselamatan yang digunakan oleh pekerja untuk melindungi
seluruh atau bagian tubuh dari kemungkinan adanya paparan potensi bahaya
lingkungan kerja terhadap kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja
(Tarwaka,2014:282 dalam Inna Nesyi Barizqi, 2015:35)
1. Tujuan Pelindung Diri
Tujuan utama penggunaan alat pelindung diri adalah menghindari
terjadinya cedera pada tubuh dalam keadaan pekerja terpanjan oleh bahaya
dengan selalu memikirkan memungkinkan untuk menghindari timbulnya
kondisi bahaya tersebut, selain itu penggunaan APD untuk mencegah atau
menurunkan angka kecelakan dan penyakit akibat kerja. Untuk
menggunakan APD secara efektif perlu memperhatikan hal-hal sebagai
berikut :
a. Memilih APD yang sesuai dengan jenis pekerjaan
b. Disiapkan dalam jumlah yang cukup
c. Dianjurkan para pekerja mencapai cara penggunaan yang benar
d. Melakukan pemeliharaannya secara benar
e. Dalam pekerjaan yang membutuhkan peralatan pelindung dan
pekerjaan diwajibkan selalu menggunakan
2. Kriteria Alat Pelindung Diri Yang Efektif
Beberapa kriteria APD agar dapat dipakai dan efektif dalam
penggunaan dan pemiliharaan menurut Tarwaka (2008) dalam Inna Nesyi
Barizqi, 2015 adalah:
a. Alat pelindung diri harus mampu memberikan perlindungan
efektif pada pekerja atas potensi bahaya yang dihadapi.
16
b. Alat pelindung diri mempunyai berat yang seringan mungkin,
nyaman dipakai dan tidak merupakan beban bagi pemakainya.
c. Bentuk cukup menarik, sehingga pekerja tidak malu memakainya
d. Tidak menimbulkan gangguan kepada pemakainya
e. Mudah untuk dipakai dan dilepas kembali
f. Tidak mengganggu penglihatan, pendengaran dan pernapasan serta
gangguan kesehatan lainnya pada waktu dipakai.
g. Tidak mengurangi persepsi sensori dalam menerima tanda-tanda
peringatan.
h. Suku cadang alat pelindung diri yang bersangkutan cukup tersedia
di pasaran.
i. Mudah disimpan dan dipelihara pada saat tidak digunakan.
j. Alat pelindung diri yang dipilih harus sesuai standar yang
ditetapkan.
E. Teori Lawreen Green
Teori Lawreen Green dalam Notoatmodjo, 2010:59 membedakan adanya 2
determinan masalah kesehatan yaitu, behavioral factors (faktor perilaku) dan non-
behavioral factors (non perilaku). Faktor perilaku ditentukan oleh 3 faktor utama
yaitu :
1. Faktor Predisposisi (Predisposing Factors)
Faktor predisposisi adalah faktor yang mempermudah terjadinya
perilaku seseorang. Faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap, tradisi dan
17
kepercayaan, sistem nilai yang dianut, tingkat pendidikan, dan tingkat sosial
ekonomi (Notoatmodjo, 2012:18).
a. Pengetahuan
Faktor pengetahuan merupakan salah satu faktor utama
pembentukan perilaku. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan
lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh
pengetahuan, demikian sebaliknya (Notoatmodjo, 2010:50).
b. Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respons dari seseorang yang
masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek tertentu, melibatkan
faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (Notoatmodjo,
2010:52).
Baron dan Byrne juga Myers dan Gerungan dalam buku A.
Wawan dan Dewi M., 2014:32 menyatakan bahwa ada 3 komponen
yang mebentuk sikap yaitu :
1) Komponen kognitif (komponen perseptual), yaitu komponen
yang berkaitan dengan pengetahuan, pandangan, keyainan
yaitu hal-hal yang berhubungan dengan bagaimana orang
mempersepsi terhadap sikap.
2) Komponen afektif (komponen emosional), yaitu komponen
yang berhubungan dengan rasa senang atau tidak senang
terhadap objek sikap. Rasa senang merupakan hal yang
positif, sedangkan rasa tidak senang merupakan hal yang
18
negatif. Komponen Ini mennunjukan arah sikap, yaitu positif
dan negatif.
3) Komponen konatif (komponen perilaku, atau action
component), yaitu komponen yang berhubungan dengan
kecenderungan bertinddak terhadap objek sikap. Komponen
ini menunjukkan intesitas sikap, yaitu menunjukkan besar
kecilnya kecenderungan bertindak atau berperilaku seseorang
terhadap objek sikap.
Menurut allport (1954) dalam buku Notoatmodjo, 2010:53 sikap
itu terdiri dari 3 komponen pokok, yaitu :
1) Kepercayaan atau keyakinan, ide, dan konsep terhadap objek,
artinya bagaimana keyakinan dan pendapat atau pemikiran
seseorang terhadap objek.
2) Kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap objek
artinya bagaimana penilaian orang tersebut terhadap objek.
3) Kecenderungan untuk bertindak artinya sikap adalah
merupakan komponen yang mendahului tindakan atau perilaku
terbuka.
1) Teori sikap menurut Rosenberg dalam buku A. Wawan dan
Dewi M., 2014:25
Teori Rosenberg dikenal dengan teori affective cognitive
consistency dalam hal sikap dan teori ini juga disebut teori dua
faktor. Rosenberg (Iih. Secord & Backman, 1964) memusatkan
perhatiannya pada hubungan komponen kognitif dan komponen
19
afektif. Menurut Rosenberg (Iih. Secord & Backman, 1964)
pengertian kognitif dalam sikap tidak hanya mencakup tentang
pengetahuan-pengetahuan yang berhubungan dengan objek
sikap, melainkan juga mencakup kepercayaan atau belifes
tentang hubungan antara objek sikap itu dengan sistem nilai
yang ada dalam diri individu. Komponen afektif berhubungan
dengan bagaimana perasaan yang timbul pada seseorang yang
menyertai sikapnya, dapat positif serta dapat juga negatif
terhadap objek sikap. Bila seseorang yang mempunyai sikap
yang positif terhadap objek sikap, maka ini berarti adanya
hubungan pula dengan nila-nilai positif yang lain yang
berhubungan dengan objek sikap tersebut, demikian juga
dengan sikap yang negatif. Ini berarti menurut Rosenberg (iih.
Secord & Backman, 1964) bahwa komponen afektif akan selalu
berhubungan dengan komponen kognitif dan hubungan tersebut
dalam keadaan konsisten. Roseberng menciptakan skala sikap
dan berpendapat bahwa adanya hubungan yang konsisten antara
komponen afeketif dengan komponen kognitif. Ini berarti bila
seseorang mempunyai sikap yang positif terhadap sesuatu
objek, maka indeks kognitifnya juga tinggi, demikian
sebaliknya Suatu hal yang penting penerapan teori Rosenberg
ini adalah dalam kaitannya dengan pengubahan sikap. Karena
hubungan komponen afektif dengan komponen kognitif
konsisten, maka bila komponen afektifnya berubah maka
20
komponen afektifnya juga akan berubah, demikian pula jika
komponen kognitifnya berubah, komponen afektifnya juga
berubah. Pada umumnya dalam rangka pengubahan sikap,
orang akan mengubah komponen kognitifnya hingga akhirnya
komponen afektifnya akan berubah. Dalam rangka pengubahan
sikap Rosenberg mencoba mengubah komponen afektifnya
terlebih dahulu. Dengan berubahnya komponen afektif akan
berubah pula komponen kognitif, yang pada akhirnya akan
berubah pula sikapnya (Iih. Secord and Beckman, 1964)
2) Teori sikap menurut Festinger dalam buku A. Wawan dan
Dewi M., 2014:26
Teori fastinger (Iih. Secord & Backman, 1964) dikenal dengan
teori disonansi kognitif (the cognitive disonance theory) dalam
sikap. Festinger meneropong tentang sikap dikaitkan dengan
perilaku yang nyata, yang merupakan persoalan yang banyak
mengundang perdebatan. Festinger dalam teorinya
mengumakakan bahwa sikap individu itu biasanya konsisten
satu dengan yang lain dan dalam tindakannya juga konsisten
satu dengan yang lain. Menurut Festinger apa yang dimaksud
dengan komponen kognitif ialah mencakup pengetahuan,
pandangan, kepercayaan tentang lingkungan, tentang seseorang
atau tentang tindakan. Pengertian disonansi adalah tidak
cocoknya antara dua atau tiga elemen-elemen kognitif.
21
Hubungan anatara elemen satu dengan elemen lain dapat
relevan tetapi juga dapat tidak relevan.
Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung ataupun
tidak langsung. Pengukuran secara langsung dapat dilakukan dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang stimulus atau objek yang
bersangkutan (Notoatmodjo, 2010:57). Skala Guttman adalah skala
yang digunakan untuk jawaban yang bersifat jelas (tegas) dan
konsisten. Misalnya : yakin-tidak yakin, ya-tidak, benar-salah, positif-
negatif, pernah-belum pernah, setuju-tidak setuju. Dan lain
sebagainya. Pengukuran yang dilakukan dengan skala Guttman
berbentuk pilihan ganda atau ceklist. Jawaban responden dapat berupa
skor tertinggi bernilai (1) dan skor terendah bernilai (0). Misalnya
untuk jawaban benar (1) dan salah (0) (Riduwan, 2008:16-17).
c. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan seseorang berpengaruh dalam memberikan
respon terhadap sesuatu yang datang dari luar. Orang berpendidikan
tinggi akan lebih rasional dan kreatif serta terbuka dalam menerima
adanya bermacam usaha pembaharuan, ia juga akan lebih dapat
menyesuaikan diri terhadap berbagai perubahan (Analia Refsi Yusnita,
2017:19). Upaya agar masyarakat berperilaku atau mengadopsi perilaku
kesehatan dengan cara persuasi, bujukan, imbauan, ajakan, memberikan
informasi, memberikan kesadaran, dan sebagainya, melaluo kegiatan
yang disebut pendidikan atau promosi kesehatan. Memang dampak
yang timbul dari cara ini terhadap perubahan perilaku masyarakat, akan
22
memakan waktu lama dibandingkan dengan cara koersi. Namun
demikian, bila perilaku tersebut berhasil diadopsi masyarakat, makan
akan langgeng, bahkan selama hidup dilakukan (Notoatmodjo,
2012:18).
Dalam rangka pembinaan dan peningkatan perilaku kesehatan
masyarakat, tampaknya pendekatan edukasi (pendidikan kesehatan)
lebih tepat dibandingkan dan pendekatan koersi. Dapat disimpulkan
bahwa pendidikan atau promosi kesehatan adalah suatu betuk intervensi
atau upaya yang ditujukan kepada perilaku, agar perilaku tersebut
kondusif untuk kesehatan. Dengan perkataan lain, promosi kesehatan
mengupayakan agar perilaku individu, kelompok, atau masayarkat
mempunyai pengaruh posotif terhadap pemeliharaan dan peningkatan
kesehatan. Agar intervensi atau upaya tersebut efektif, maka sebelum
dilakukan intervensi perlu dilakukan diagnosis atau analisi terhadap
masalah perilaku tersebut (Notoatmodjo, 2012:18). Menurut Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa
jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, non formal dan
informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Jalur
pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah,
dan pendidikan tinggi. Jenis pendidikan mencakup pendidikan,
kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus.
Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi
jenjang pendidikan menengah. Pendidikan dasar berbentuk Sekolah
Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang
23
sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah
Tsanawiyah (MTs) bentuk lain sederajat. Pendidikan menengah
merupakan lanjutan pendidikan dasar, pendidikan menengah terdiri atas
pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan.
Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA),
Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah kejuruan (SMK), dan
Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) serta bentuk lain yang sederajat.
Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan
menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana,
magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan
tinggi. Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat
yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai
pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam
rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Satuan pendidikan
nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok
belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim serta
satuan pendidikan yang sejenis. Kegiatan pendidikan informal yang
dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar
secara mandiri.
d. Keyakinan
Keyakinan adalah pendirian bahwa suatu fenomena atau objek
benar atau nyata. Kebenaran adalah kata-kata yang sering digunakan
untuk mengungkapkan atau mensyaratkan keyakinan agar terjadi
perubahan perilaku.
24
1) Seseorang harus yakin bahwa kesehatannya terancam
2) Orang tersebut harus merasakan potensi keseriusan kondisi itu
dalam bentuk nyeri atau ketidaknyamanan, kehilangan waktu
untuk bekerja, dan kesulitan ekonomi
3) Dalam mengukur keadaan tersebut, orang yang bersangkutan
harus yakin bahwa menfaat yang berasal dari perilaku sehat
melebihi pengeluaran yang harus dibayarkan dan sangat
mungkin dilaksanan serta berada dalam kapasitas
jangkauannya
4) Harus ada “isyarat kunci yang bertindak” atau sesuatu
kekuatan pencetus yang membuat orang itu merasa perlu
mengambil keputusan tindakan.
e. Nilai
Secara langsung bahwa nilai-nilai perseorangan tidak dapat
dipisahkan dari pilihan perilaku. Konflik dalam hal nilai yang
menyangkut kesehatan merupakan satu dari dilema dan tantangan
penting bagi para penyelenggara pendidikan kesehatan.
f. Sosial Ekonomi
Faktor hubungan sosial mempengaruhi kemampuan individu
sebagai komunikasi untuk menerima pesan menurut model
komunikasi media dengan demikian hubungan sosial dapat
mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang tentang suatu hal.
Usaha memenuhi kebutuhan pokok (primer) maupun kebutuhan
25
sekunder, keluarga dengan status ekonomi baik akan lebih mudah
tercukupi dibandingkan keluarga dengan status ekonomi rendah.
2. Faktor Pemungkin (Enabling Factors)
Faktor pemungkin adalah factor yang memungkinkan atau yang
memfasilitasi perilaku atau tindakan. Faktor ini mencakup ketersediaan
sarana dan prasarana atau fasilitas, yang pada akhirnya mendukung atau
memungkinkan terwujudnya perilaku. Faktor ini disebut juga faktor
pendukung (Notoatmodjo, 2010:60).
a. Ketersediaan Fasilitas
Faktor ketersediaan fasilitas merupakan salah satu faktor
pendorong pembentukan perilaku (Notoatmodjo, 2010:60).
b. Ketersediaan Alat Pelindung Diri
Teori Green dalam Notoatmodjo, 2010:60 menyatakan bahwa
hasil belajar seseorang adalah terjadinya perubahan perilaku.
Perubahan perilaku didasari adanya perubahan atau penambahan
pengetahuan sikap dan keterampilannya. Namun demikian, perubahan
pengetahuan dan sikap ini belum merupakan jaminan terjadinya
perubahan perilaku sebab perilaku tersebut kadang-kadang
memerlukan dukungan material dan penyediaan sarana (enabling
factors). APD harus tersedia cukup jenis dan jumlahnya, untuk
perlindungan seluruh atau sebagian tubuh (Analia Refsi Yusnita,
2017:22).
26
c. Informasi
Informasi bisa menjadi fungsi penting dalam membantu
mengurangi rasa cemas pada seseorang. Semakin banyak memiliki
informasi dapat mempengaruhi atau menambah pengetahuan terhadap
seseorang dan dengan pengetahuan tersebut bisa menimbulkan
kesadaran yang akhirnya seseorang itu akan berperilaku sesuai dengan
pengetahuan yang dimilikinya. Salah satu sumber utama dari
pembentukan sikap adalah informasi kognitif terkait dengan target
sikap. Sikap individu terbentuk berdasar pada informasi mengenai
tindakan yang telah dilakukan sebelumnya terkait dengan target sikap.
Pemberian informasi ini dapat dilakukan secara tertulis melalui
brosur, spanduk, dan surat kabar, maupun secara lisan melalui seminar
atau pelatihan dengan tujuan mengubah sikap tenaga kesehatan
melalui proses kognitif. Melalui pelatihan dapat diberikan informasi
yang dibutuhkan tenaga kesehatan terkait dengan kesehatan dan
keselamatan kerja (Analia Refsi Yusnita, 2017:23)
3. Faktor Penguat (Reinforcing Factor)
Faktor penguat adalah faktor yang mendorong atau memperkuat
terjadinya perilaku. Kadang-kadang meskipun seseorang tahu dan mampu
untuk berperilaku sehat tetapi tidak melakukannya (Notoatmodjo, 2010:60).
a. Pengawasan
Pengawasan termasuk segala usaha penegakan peraturan yang
harus dipatuhi dan salah satu cara guna meningkatkan keselamatan
kerja. Tujuan utama pengawasan untuk mencari umpan balik yang
27
selanjutnya dapat dilakukan perbaikan. Pengawasan dapat dilakukan
melalui kunjungan langsung atau observasi terhadap obyek yang
diamati, melalui analisis terhadap laporan yang masuk, melalui
kumpulan data atau informasi yang khusus ditujukan terhadap obyek
pengawasan (Analia Refsi Yusnita, 2017:24).
b. Motivasi
Motivasi berasal dari kata latin “Moreve” yang berarti
dorongan dalam diri manusia untuk bertindak atau berperilaku yang
tidak terlepas dari kebutuhan, yaitu suatu potensi dalam diri manusia
yang perlu ditanggapi atau direspon (Analia Refsi Yusnita, 2017:22).
c. Kebijakan Rumah Sakit
Kebijakan rumah sakit terkait limbah medis merupakan salah
satu faktor pendukung pembentukan perilaku. Adanya peraturan yang
disosialisasikan akan berpengaruh terhadap petugas sehingga mereka
menjadi lebih mematuhi peraturan yang ada (Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor 432 tahun 2007 tentang Pedoman Kesehatan dan
Keselamatan Kerja (K3) di rumah sakit).
d. Hukum
Hukuman adalah konsekuensi yang diterima individu atau
kelompok sebagai bentuk akibat dari perilaku yang tidak diharapkan.
Hukuman tidak hanya berorientasi untuk menghukum tenaga kesehatan
yang melanggar peraturan melainkan sebagai kontrol terhadap
lingkungan kerja sehingga terlindungi dari kecelakaan kerja.
Penghargaan adalah konsekuensi positif yang diberikan kepada
28
individu atau kelompok dengan tujuan mengembangkan, mendukung
dan memelihara perilaku yang diharapkan. Jika digunakan sebagaimana
mestinya, penghargaan dapat menumbuhkan rasa percaya diri dan
optimisme dalam diri si penerimanya (Analia Refsi Yusnita analisis,
2017:25).
F. Pengertian Limbah Padat Medis
Menurut WHO (2014) limbah infeksius adalah bahan yang diduga
mengandung patogen (bakteri, virus, parasit atau jamur) dengan konsentrasi atau
kuantitas yang cukup untuk menyebabkan penyakit pada host yang rentan.
Limbah padat medis adalah limbah padat yang terdiri dari limbah infeksius,
limbah patologi, limbah benda tajam, limbah farmasi, limbah sitotoksis, limbah
kimiawi, limbah radioaktif, limbah kontainer bertekanan dan limbah dengan
kandungan logam berat yang tinggi (Kementrian Kesehatan RI Nomor 1204,
2004). Klasifikasi limbah medis :
Tabel 2.1
Klasifikasi Limbah Medis
No
Kategori
Limbah
Definisi
Contoh Limbah yang
Dihasilkan
1. Infeksius Limbah yang terkontaminasi
organisme patogen (bakteri, virus,
parasit, atau jamur) yang tidak secara
rutin ada lingkungan dan organisme
tersebut dalam jumlah dan virulensi
yang cukup untuk menularkan penyakit
pada manusia rentan.
Kultur laboratorium,
limbah dari bangsal isolasi,
kapas, materi, atau peralatan
yang tersentuh pasien yang
terinfeksi, ekskreta.
2. Patologis Limbah berasal dari pembiakan dan
stok bahan yang sangat infeksius,
otopsi, organ binatang percobaan dan
bahan lain yang telah diinokulasi,
terinfeksi atau kontak dengan bahan
yang sangat infeksius.
Bagian tubuh manusia dan
hewan (limbah anatomis),
darah dan cairan tubuh yang
lain, janin.
3. Sitotoksis Terinfeksi atau kontak dengan Dari materi yang
29
bahan yang sangat infeksius. Limbah
dari bahan yang terkontaminasi dari
persiapan dan pemberian obat sitotoksis
untuk kemoterapi kanker yang
mempunyai kemampuan untuk
membunuh atau mengahambat
pertumbuhan sel hidup.
terkontaminasi pada saat
persiapan dan pemberian
obat, misalnya spuit, ampul,
kemasan, obat
kadaluarsa, larutan sisa,
urin, tinja, muntahan pasien
yang mengandung sitotoksis.
4. Benda
Tajam
Merupakan materi yang dapat
menyebabkan luka iris atau luka tusuk.
Semua benda tajam ini memiliki potensi
bahaya dan dapat menyebabkan cedera
melalui sobekan atau tusukan. Benda-
benda tajam yang terbuang mungkin
terkontaminasi oleh darah, cairan tubuh,
bahan mikrobiologi, bahan beracun atau
radioaktif.
Jarum suntik, skapel, pisau
gergaji bedah, peralatan infus,
pecahan kaca.
5. Farmasi Limbah farmasi mencakup
produksi farmasi. Kategori ini juga
mencakup barang yang akan di buang
setelah digunakan untuk menangani
produk farmasi, misalnya botol atau
kotak yang berisi residu, sarung
tangan, masker, selang penghubung
darah atau cairan, dan ampul obat.
Obat-obatan, vaksin,
dan serum yang sudah
kedaluarsa, tidak digunakan,
tumpah, dan terkontaminasi,
yang tidak diperlukan lagi.
6. Kimia Mengandung zat kimia yang
berbentuk padat, cair, maupun gas
yang berasal dari aktivitas diagnostik
dan eksperimen serta dari
pemeliharaan kebersihan rumah sakit
dengan menggunakan desinfektan.
Reagent di laboratorium, film
untuk rontgen, desinfektan
yang kadaluarsa atau sudah
tidak diperlukan lagi, solven.
7. Radioaktif Bahan yang terkontaminasi dengan
radioisotope yang berasal dari
penggunaan medis atau riset radio
nukleida. Limbah ini dapat berasal dari:
tindakan kedokteran nuklir, radio
immunoassay dan baakteriologis, dapat
berbentuk padat, cair atau gas.
Cairan yang tidak
terpakai dari radio aktif
atau riset di laboratorium,
peralatan kaca, kertas
absorben yang terkontaminasi,
urin dan ekskreta dari
pasien yang diobati atau
diuji dengan radio nuklida
yang terbuka.
8. Logam
yang
bertekanan
tinggi/berat
Limbah yang mengandung logam
Berat dalam konsetrasi tinggi termasuk
dalam subkategori limbah kimia
berbahaya dan biasanya sangat toksik.
Contohnya adalah limbah merkuri yang
berasal dari bocoran peralatan
kedokteran yang rusak.
Thermometer, alat
pengukur tekanan darah,
residu dari ruang pemeriksaan
gigi, dan sebagainya.
9. Kontainer
Bertekanan
Limbah yang berasal dari berbagai
jenis gas yang digunakan di rumah
sakit.
Tabung gas, kaleng
aerosol yang mengandung
residu, gas cartridge.
Sumber : Kepmenkes RI No.1204 Menkes/SK/X/2004
30
G. Tata Laksana Penanganan Limbah Medis
Tata laksana penanganan limbah medis pada layanan kesehatan sesuai
dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1204/Menkes/
SK/X/2004 yaitu:
1. Pemilahan, pewadahan limbah medis, pemanfaatan kembali dan daur
ulang
Secara umum pemilahan adalah proses pemisahan limbah dari
sumbernya, dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1204 Tahun 2004
tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit menjelaskan
bahwa pemilahan jenis limbah medis padat mulai dari sumber yang
menghasilkan sampah yang terdiri dari limbah infeksius, limbah patologi,
limbah benda tajam, limbah farmasi, limbah sitotoksik, limbah kimiawi,
limbah radioaktif, limbah kontainer bertekanan, dan limbah dengan
kandungan logam berat yang tinggi (Kementrian Kesahatan RI No.1204
tahun 2004). Berdasarkan Kepmenkes RI No.1204 Menkes/SK/X/2004
tentang persyaratan kesehatan lingkungan rumah sakit, pewadahan limbah
medis rumah sakit harus memenuhi persyaratan dengan penggunaan wadah
dan label, sebagai berikut :
31
Tabel 2.2
Jenis Wadah dan Limbah Medis Padat Sesuai Kategorinya
No
Kategori
Warna
Kontainer/
Kantong Plastik
Lambang
Keterangan
1.
Radioaktif
Merah
Kantong boks timbal
dengan simbol
radioaktif
2.
Sangat
Infeksius
Kuning
Kantong palstik kuat,
anti bocor atau
kontainer yang dapat
disterilisasi dengan
otoklaf
3.
Infeksius,
patologi
dan
anatomi
Kuning
Plastik kuat dan anti
bocor atau kontainer
4.
Sitotoksik
Ungu
Kontainer plastik kuat
dan anti bocor
5.
Kimia
dan
farmasi
Coklat
-
Kantong plastik atau
kontainer
Sumber : Kepmenkes RI No.1204 Menkes/SK/X/2004
Tempat pewadahan limbah medis padat yaitu : terbuat dari bahan
ringan cukup ringan, tahan karat kdedap air, dan mempunyai permukaan
yang halus pada bagian di dalamnya, disetiap sumber penghasil limbah
harus tersedia tempat pewadahan yang terpisah dengan limbah padat non
medis, kantong plastik diangkat setiap hari atau kurang sehari apabila 2/3
bagian telah terisi limbah, untuk benda-benda tajam hendaknya ditampung
pada tempat khusus (safety box) seperti botol atau karton yang aman,
tempat pewadahan. Tempat pewadahan limbah medis padat infeksius dan
32
sitotoksik yang tidak langsung kontak dengan limbah harus segera
dibersihkan dengan larutan disinfektan apabila akan dipergunakan
kembali, sedangkan untuk kantong plastik yang telah dipakai dan kontak
langsung dengan limbah tersebut tidak boleh digunakan lagi.
Bahan atau alat yang dapat dimanfaatkan kembali setelah melalui
sterilisasi meliputi pisau bedah (scalpel), jarum hipodermik,
syringes, botol gelas, dan kontainer. Alat-alat lain yang dapat
dimanfaatkan kembali setelah melalui sterilisasi adalah radionukleida
yang telah diatur tahan lama untuk radioterapi seperti pins, needles, atau
seeds. Apabila sterilisasi yang dilakukan adalah sterilisasi dengan
ethylene oxide, maka tanki reactor harus dikeringkan sebelum
dilakukan injeksi ethylene oxide. Oleh karena gas tersebut sangat
berbahaya maka sterilisasi harus dilakukan oleh petugas yang terlatih.
Sedangkan sterilisasi dengan glutaraldehyde lebih aman dalam
pengoperasiannya tetapi kurang efektif secara mikrobiologi. Upaya khusus
harus dilakukan apabila terbukti ada kasus pencemaran spongiform
encephalopathies.
2. Tempat penampungan sementara dan pengangkutan
Menurut Kepmenkes 1204/Menkes/SK/X/2004, kriteria
penampungan sementara sebagai berikut :
a. Bagi rumah sakit yang mempunyai insinerator di
lingkungannya harus membakar limbahnya selambat-lambatnya 24
jam.
33
b. Bagi rumah sakit yang tidak mempunyai insinerator, maka limbah
medis padatnya harus dimusnahkan melalui kerjasama dengan
rumah sakit lain atau pihak lain yang mempunyai insinerator
untuk dilakukan pemusnahan selambat-lambatnya 24 jam
apabila disimpan pada suhu ruang.
Kesehatan RI No. 1204 MenKes/SK/X/2004 tentang Persyaratan
Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit, yaitu:
a. Kantong limbah medis padat sebelum dimasukkan ke kendaraan
pengangkut harus diletakkan dalam kontainer yang kuat dan
tertutup.
b. Kantong limbah medis padat harus aman dari jangkauan manusia
maupun binatang.
c. Petugas yang menangani limbah, harus menggunakan Alat
Pelindung Diri (APD) (Kementrian Kesahatan RI Nomor 1204
Tahun 2004) terdiri dari : Topi/helm, Masker, Pelindung mata,
Pakaian panjang (coverall), Apron untuk industri, Pelindung
kaki/sepatu boot, Sarung tangan khusus.
3. Pengolahan Limbah Medis
a. Limbah infeksius dan benda tajam
1) Agen infeksius dari laboratorium harus disterilisasi dengan
pengolahan panas dan basah seperti dalam autoclave sedini
mungkin. Untuk limbah infeksius yang lain cukup dengan cara
disinfeksi.
34
2) Benda tajam harus diolah dengan insinerator bila
memungkinkan, dan dapat diolah bersama dengan limbah
infeksius lainnya. Kapsulisasi juga cocok untuk benda tajam.
3) Setelah insinerasi atau disinfeksi, residunya dapat dibuang ke
tempat pembuangan 83 atau dibuang ke landfill jika residunya
sudah aman.
b. Limbah Farmasi
1) Limbah farmasi dalam jumlah kecil dapat diolah dengan
insinerator pirolitik (pyrolytic incinerator), rotary kiln, dikubur
secara aman, sanitary landfill, dibuang ke sarana air limbah
atau inersisasi. Tetapi dalam jumlah besar harus menggunakan
fasilitas pengolahan yang khusus seperti rotary kiln, kapsulisasi
dalam drum logam, dan inersisasi.
2) Limbah padat farmasi dalam jumlah besar harus dikembalikan
kepada distributor, sedangkan bila dalam jumlah sedikit dan
tidak memungkinkan dikembalikan supaya dimusnahkan
melalui insinerator pada suhu di atas 1.000 °C.
c. Limbah Sitotoksis
1) Limbah sitotoksis sangat berbahaya dan tidak boleh dibuang
dengan penimbunan (landfill) atau ke saluran limbah umum.
2) Pembuangan yang dianjurkan adalah dikembalikan ke
perusahaan penghasil atau distributornya, insinerasi pada suhu
tinggi, dan degradasi kimia. Bahan yang belum dipakai dan
kemasannya masih utuh karena kadaluarsa harus dikembalikan
35
ke distributor apabila tidak ada insinerator dan
diberi keterangan bahwa obat tersebut sudah kedaluarsa atau
tidak lagi dipakai.
3) lnsinerasi pada suhu tinggi sekitar 1.200°C dibutuhkan
untuk menghancurkan semua bahan sitotoksik. lnsinerasi pada
suhu rendah dapat menghasilkan uap sitotoksik yang berbahaya
ke udara.
4) lnsinerator pirolitik dengan 2 (dua) tungku pembakaran pada
suhu 1.200°C dengan minimum waktu tinggal 2 detik atau
suhu 1.000°C dengan waktu tinggal 5 detik di tungku kedua
sangat cocok untuk bahan ini dan dilengkapi dengan penyaring
debu.
5) lnsinerator juga harus dilengkapi dengan peralatan pembersih
gas. lnsinerasi juga memungkinkan dengan rotary kiln
yang didesain untuk dekomposisi panas limbah
kimiawi yang beroperasi dengan baik pada suhu di atas 850°C.
6) lnsinerator dengan satu tungku atau pembakaran terbuka tidak
tepat untuk pembuangan limbah sitotoksis.
7) Metode degradasi kimia yang mengubah senyawa sitotoksik
menjadi senyawa tidak beracun dapat digunakan tidak hanya
untuk residu obat tapi juga untuk pencucian tempat urin,
tumpahan dan pakaian pelindung.
8) Cara kimia relatif mudah dan aman meliputi oksidasi oleh
kalium permanganat (KMn04) atau asam sulfat
36
(H2S04), penghilangan nitrogen dengan asam bromida, atau
reduksi dengan nikel dan aluminium.
9) lnsinerasi maupun degradasi kimia tidak merupakan solusi
yang sempurna untuk pengolahan limbah, tumpahan atau
cairan biologis yang terkontaminasi agen antineoplastik. Oleh
karena itu, rumah sakit harus berhati-hati dalam menangani
obat sitotoksik.
10) Apabila cara insinerasi maupun degradasi kimia tidak tersedia,
kapsulisasi atau inersisasi dapat dipertimbangkan sebagai cara
yang dapat dipilih.
d. Limbah Bahan Kimiawi
1) Pembuangan Limbah Kimia Biasa yang tidak bisa didaur ulang
seperti gula, asam amino, dan garam tertentu dapat dibuang ke
saluran air kotor. Namun demikian, pembuangan tersebut harus
memenuhi persyaratan konsentrasi bahan pencemar yang ada
seperti bahan melayang, suhu, dan pH.
2) Pembuangan Limbah Kimia Berbahaya Dalam Jumlah Kecil
Limbah bahan berbahaya dalam jumlah kecil seperti
residu yang terdapat dalam kemasan sebaiknya dibuang
dengan insinerasi pirolitik, kapsulisasi, atau ditimbun
(landfill).
3) Pembuangan limbah kimia berbahaya dalam jumlah besar tidak
ada cara pembuangan yang aman dan sekaligus murah untuk
limbah berbahaya. Pembuangannya lebih ditentukan kepada sifat
37
bahaya yang dikandung oleh limbah tersebut. Limbah tertentu
yang bisa dibakar seperti banyak bahan pelarut dapat
diinsinerasi. Namun bahan pelarut dalam jumlah besar seperti
pelarut halogenida yang mengandung klorin atau florin tidak
boleh diinsinerasi kecuali insineratornya dilengkapi dengan
alat pembersih gas.
4) Cara lain adalah dengan mengembalikan bahan kimia
berbahaya tersebut ke distributornya yang akan menanganinya
dengan aman, atau dikirim ke negara lain yang mempunyai
peralatan yang cocok untuk mengolahnya.
e. Limbah dengan Kandungan Logam Berat Tinggi
1) Limbah dengan kandungan mercuri atau kadmium tidak
boleh dibakar atau diinsinerasi karena berisiko
mencemari udara dengan uap beracun dan tidak boleh
dibuang ke landfill karena dapat mencemari air tanah.
2) Cara yang disarankan adalah dikirim ke negara
yang mempunyai fasilitas pengolah limbah dengan
kandungan logam berat tinggi. Bila tidak memungkinkan,
limbah dibuang ke tempat penyimpanan yang aman
sebagai pembuangan akhir untuk limbah industri yang
berbahaya. Cara lain yang paling sederhana adalah
dengan kapsulisasi kemudian dilanjutkan dengan
landfill. Bila hanya dalam jumlah kecil dapat dibuang
dengan limbah biasa.
38
f. Kontainer Bertekanan
1) Cara yang terbaik untuk menangani limbah
kontainer bertekanan adalah dengan daur ulang
atau penggunaan kembali. Apabila masih dalam kondisi
utuh dapat dikembalikan ke distributor untuk pengisian
ulang gas. Agen halogenida dalam bentuk cair dan
dikemas dalam botol harus diperlakukan sebagai limbah
bahan kimia berbahaya untuk pembuangannya.
2) Cara pembuangan yang tidak diperbolehkan
adalah pembakaran atau insinerasi karena dapat meledak.
a) Kontainer yang masih utuh
Kontainer-kontainer yang harus dikembalikan ke
penjualnya adalah: tabung atau silinder nitrogen
oksida yang biasanya disatukan dengan peralatan
anestesi. Tabung atau silinder etilin oksida yang
biasanya disatukan dengan peralatan sterilisasi. Tabung
bertekanan untuk gas lain seperti oksigen, nitrogen,
karbon dioksida, udara bertekanan, siklopropana, hidrogen,
gas elpiji, dan asetilin.
b) Kontainer yang sudah rusak
Kontainer yang rusak tidak dapat diisi ulang harus
dihancurkan setelah dikosongkan kemudian baru
dibuang ke landfill.
39
c) Kaleng aerosol
Kaleng aerosol kecil harus dikumpulkan dan
dibuang bersama dengan limbah biasa dalam kantong
plastik hitam dan tidak untuk dibakar atau diinsinerasi.
Limbah ini tidak boleh dimasukkan ke dalam kantong
kuning karena akan dikirim ke insinerator. Kaleng
aerosol dalam jumlah banyak sebaiknya dikembalikan
ke penjualnya atau ke instalasi daur ulang bila ada.
g. Limbah radioaktif
1) Pengelolaan limbah radioaktif yang aman harus diatur dalam
kebijakan dan strategi nasional yang menyangkut
peraturan, infrastruktur, organisasi pelaksana dan tenaga yang
terlatih.
2) Setiap rumah sakit yang menggunakan sumber radioaktif yang
terbuka untuk keperluan diagnosa, terapi atau penelitian harus
menyiapkan tenaga khusus yang terlatih khusus di bidang
radiasi.
3) Tenaga tersebut bertanggung jawab dalam pemakaian bahan
radioaktif yang aman dan melakukan pencatatan.
4) lnstrumen kalibrasi yang tepat harus tersedia untuk
monitoring dosis dan kontaminasi. Sistem pencatatan yang
baik akan menjamin pelacakan limbah radioaktif
dalam pengiriman maupun pembuangannya dan selalu
diperbarui datanya setiap waktu.
40
5) Limbah radioaktif harus dikategorikan dan dipilah
berdasarkan ketersediaan pilihan cara pengolahan,
pengkondisian, penyimpanan, dan pembuangan. Setelah
pemilahan, setiap kategori harus disimpan terpisah dalam
kontainer, dan kontainer limbah tersebut harus :Secara jelas
diidentifikasi, ada simbol radioaktif ketika sedang digunakan
sesuai dengan kandungan limbah, dapat diisi dan dikosongkan
dengan aman, Kuat dan saniter. lnformasi yang harus dicatat
pada setiap kontainer.
6) Kontainer untuk limbah padat harus dibungkus dengan
kantong plastik transparan yang dapat ditutup dengan isolasi
plastik.
7) Limbah padat radioaktif dibuang sesuai dengan
persyaratan teknis dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku (PP Nomor 27 Tahun 2002) dan kemudian
diserahkan kepada BATAN untuk penanganan lebih
lanjut atau dikembalikan kepada negara distributor. Semua
jenis limbah medis termasuk limbah radioaktif tidak boleh
dibuang ke tempat pembuangan akhir sampah domestik
(landfill) sebelum dilakukan pengolahan terlebih dahulu
sampai memenuhi persyaratan.
41
H. Pengaruh Limbah Rumah Sakit terhadap Lingkungan dan Kesehatan
Menurut Wahyu Widawati, 2017:43 pengaruh limbah medis rumah sakit
terhadap kualitas lingkungan dan kesehatan dapat menimbulkan berbagai masalah
seperti:
1. Gangguan kenyamanan dan estetika
Pengelolaan limbah medis yang kurang baik dapat menyebabkan
estetika lingkungan yang kurang sedap dipandang sehingga mengganggu
kenyamanan pasien, petugas, pengunjung serta masyarakat sekitar. Ini
berupa warna yang berasal dari larutan bahan kimia dan bau phenol.
2. Kerusakan harta benda
Dapat disebabkan oleh bahan-bahan kimia yang terlarut (korosif,
reaktf, yang dapat menimbulkan karat), air yang berlumpur dan sebagainya
yang dapat menurunkan kualitas bangunan di sekitar lingkungan layanan
kesehatan maupun masyarakat luar.
3. Gangguan/kerusakan tanaman dan binatang
Ini dapat disebabkan oleh residu bahan farmasi yang mengandung
antibiotik dan antiseptik, zat kimia seperti fenol, logam berat seperti merkuri
dan lain-lain.
4. Gangguan terhadap kesehatan manusia
Limbah medis yang mengandung berbagai macam bahan kimia
beracun, buangan yang terkena kontaminasi serta benda-benda tajam dapat
menimbulkan gangguan kesehatan berupa kecelakaan akibat kerja atau
penyakit akibat kerja. Penyakit HIV/AIDS dan Hepatitis B dan C terjadi
melalui cidera akibat jarum suntik yang terkontaminasi dengan darah
42
manusia. Bahan-bahan kimia yang berbahaya, gas-gas anastesi dapat
menimbulkan penyakit akibat kerja dan kecelakaan akibat kerja (peledakan,
cidera) yang mengancam jiwa bagi tenaga kesehatan. Limbah medis dapat
menjadi wahana penyebaran mikroorganisme pembawa penyakit melalui
proses infeksi silang, dari petugas ke pasien ataupun dari pasien ke petugas,
yang dikenal dengan nama infeksi nosokomial. Ini dapat disebabkan oleh
berbagai jenis bakteri, virus, senyawa-senyawa kimia, senyawa logam
seperti hydrargyrum (Hg). Cadmium (cd), dan plumbum (Pb) yang berasal
dari bagian kedokteran gigi. Keracunan air raksa atau hydrargyrum (Hg)
menimbulkan gejala susunan syaraf pusat seperti tremor, konvulsi, pikun,
insomnis, gangguan pencernaan dan kulit seperti dermatitis dan ulcer.
Keracunan cadmiium (Cd) akut akan menyebabkan gejala pencernaan,
penyakit ginjal dan fase lanjut menyebabkan pelunakan tulang dan patah
(fraktur) tulang punggung. Keracunan plumbum (Pb) atau timbal
menyebabkan gangguan pencernaan dan susunan saraf pusat. Bahan
radioaktif seperti radium mempunyai sifat kimia seperti kalsium, oleh
karena itu mempunyai kecenderungan untuk terabsorbsi ke dalam tulang
jika masuk ke dalam tubuh sehingga dapat mengganggu kesehatan.
5. Gangguan genetik dan reproduksi
Meskipun mekanisme gangguan belum sepenuhnya diketahui secara
pasti, namun beberapa senyawa dapat menyebabkan gangguan atau
kerusakan genetik dan sistem reproduksi manusia misalnya pestisida dan
bahan radioaktif.
43
I. Kerangka Teori
Gambar 2.1 Kerangka Teori
Sumber : Modifikasi dari Lawrence Green dalam Notoadmodjo, 2010
Faktor Predisposisi
(Predisposing Factors) :
1. Pengetahuan
2. Sikap
3. Tingkat Pendidikan
4. Keyakinan
5. Nilai
6. Sosial Ekonomi
Faktor Pendorong
(Reinforcing Factor):
1. Pengawasan
2. Motivasi
3. Kebijakan rumah sakit
4. Hukum
Faktor Pendukung
(Enabling Factors):
1. Ketersediaan
Fasilitas
2. Informasi tentang
APD
Penggunaan Alat
Pelindung Diri
(APD)
44
J. Kerangka Konsep
Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. H. Abdul Moeloek sudah memiliki
ketersediaan fasilitas, informasi Alat Pelindung Diri (APD), kebijakan rumah
sakit, dan hukum. Oleh karena itu dalam penelitian ini variabel independen yang
akan diteliti yaitu faktor predisposisi (pengetahuan, sikap, dan tingkat
pendidikan). Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini adalah :
Variabel Independen Variabel Dependen
K.
L.
M.
Gambar 2.2 Kerangka Konsep
Faktor Predisposisi :
1. Pengetahuan
2. Sikap
3. Tingkat
pendidikan
Penggunaan Alat
Pelindung Diri (APD)