bab ii tinjauan pustaka 1.1 konsep kecemasan 2.1.1...

25
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Konsep Kecemasan 2.1.1 Pengertian Kecemasan Cemas adalah perasaan takut yang tidak jelas dan tidak didukung oleh situasi. Ketika merasa cemas, individu merasa tidak nyaman atau takut atau mungkin memiliki firasat akan ditimpa malapetaka padahal ia tidak mengerti mengapa emosi yang mengancam tersebut terjadi (Murwani, 2008). Sedangkan menurut Struart (2007), ansietas adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar yang berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Tidak ada objek yang dapat diidentifikasi sebagai stimulus cemas. Cemas memiliki dua aspek yakni aspek yang sehat dan aspek membahayakan, yang bergantung dengan tingkat cemas, lama cemas yang dialami, dan seberapa baik individu melakukan koping terhadap cemas. Cemas dapat dilihat dalam rentang ringan, sedang, dan berat. Setiap tingkat menyebabkan perubahan emosional dan fisiologis pada individu (Videbeck, 2008) Kecemasan adalah suatu perasaan takut yang tidak menyenangkan dan tidak dapat dibenarkan yang sering disertai dengan gejala fisiologis (Tomb,2000). Stuart (2001) mengatakan kecemasan adalah keadaan emosi yang tidak memiliki objek yang spesifik dan kondisi ini dialami secara subjektif. Cemas berbeda dengan rasa takut.

Upload: tranlien

Post on 02-Mar-2019

228 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Konsep Kecemasan

2.1.1 Pengertian Kecemasan

Cemas adalah perasaan takut yang tidak jelas dan tidak didukung oleh situasi.

Ketika merasa cemas, individu merasa tidak nyaman atau takut atau mungkin

memiliki firasat akan ditimpa malapetaka padahal ia tidak mengerti mengapa emosi

yang mengancam tersebut terjadi (Murwani, 2008). Sedangkan menurut Struart

(2007), ansietas adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar yang berkaitan

dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Tidak ada objek yang dapat

diidentifikasi sebagai stimulus cemas.

Cemas memiliki dua aspek yakni aspek yang sehat dan aspek membahayakan,

yang bergantung dengan tingkat cemas, lama cemas yang dialami, dan seberapa baik

individu melakukan koping terhadap cemas. Cemas dapat dilihat dalam rentang

ringan, sedang, dan berat. Setiap tingkat menyebabkan perubahan emosional dan

fisiologis pada individu (Videbeck, 2008)

Kecemasan adalah suatu perasaan takut yang tidak menyenangkan dan tidak

dapat dibenarkan yang sering disertai dengan gejala fisiologis (Tomb,2000). Stuart

(2001) mengatakan kecemasan adalah keadaan emosi yang tidak memiliki objek yang

spesifik dan kondisi ini dialami secara subjektif. Cemas berbeda dengan rasa takut.

Takut merupakan penilaian intelektual terhadap sesuatu yang berbahaya. Cemas

adalah respon emosional terhadap penilaian tersebut. Menurut Wignyosoebroto, 1981

dikutip oleh Purba, dkk.(2009), takut mempunyai sumber penyebab yang spesifik

atau objektif yang dapat diidentifikasi secara nyata, sedangkan cemas sumber

penyebabnya tidak dapat ditunjuk secara nyata dan jelas.

Kecemasan adalah kondisi membingungkan yang muncul tanpa alasan dari

kejadian yang akan datang. Kecemasan akan muncul pada keluarga yang salah satu

anggota keluarganya sedang sakit. Bila salah satu anggota keluarga sakit maka hal

tersebut akan menyebabkan terjadinya krisis keluarga. Kecemasan merupakan respon

yang tepat terhadap suatu ancaman, tetapi kecemasan dapat menjadi abnormal bila

tingkatannya tidak sesuai dengan proporsi ancaman (Nevid, et al 2005)

2.1.2 Penyebab Kecemasan

Beberapa teori penyebab kecemasan pada individu antara lain (Stuart dan

Sundeen, 1998 : 177) :

1. Teori Psikoanalitik

Menurut pandangan psikoanalitik kecemasan terjadi karena adanya konflik

yang terjadi antara emosional elemen kepribadian, yaitu id dan super ego. Id

mewakili insting, super ego mewakili hati nurani, sedangkan ego berperan

menengahi konflik yang tejadi antara dua elemen yang bertentangan.

Timbulnya kecemasan merupakan upaya meningkatkan ego ada bahaya.

2. Teori Interpersonal

Menurut pandangan interpersonal, ansietas timbul dari perasaan takut

terhadap adanya penolakan dan tidak adanya penerimaan interpersonal.

Ansietas juga berhubungan dengan perkembangan trauma, seperti perpisahan

dan kehilangan yang menimbulkan kelemahan fisik.

3. Teori Perilaku (Behavior)

Menurut pandangan perilaku, ansietas merupakan produk frustasi yaitu segala

Sesutu yang mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan.

4. Teori Prespektif Keluarga

Kajian keluarga menunjukan pola interaksi yang terjadi dalam keluarga.

Kecemasan menunjukan adanya pola interaksi yang mal adaptif dalam system

keluarga.

5. Teori Perspektif Biologis

Kajian biologis menunjukan bahwa otak mengandung reseptor khususnya

yang mengatur ansietas, antara lain : benzodiazepines, penghambat asam

amino butirik-gamma neroregulator serta endofirin. Kesehatan umum

seseorang sebagai predisposisi terhadap ansietas.

Tabel 2.1 Respon fisiologis terhadap ansietas (Stuart & Sundeen 1995)

System Tubuh Respon

Kardiovaskuler

Palpitasi, tekanan darah meninggi, rasa mau

pingsan, tekanan darah menurun, denyut nadi

menurun, jantung seperti terbakar.

Pernafasan

Nafas cepat, nafas pendek, tekanan pada dada,

nafas dangkal, pembengkakan pada tenggorok,

sensasi tercekik, terengah-engah.

Neuromuskuler

Reflek meningkat, reaksi kejutan, mata

berkedip-kedip, insomnia, tremor, rigiditas,

wajah tegang, kelemahan umum, gerakan yang

janggal.

Gastrointestinal Kehilangan nafsu makan, menolak makan,

abdomen discomfort, mual, diare.

Traktus Urinarius Tidak dapat menahan kencing, sering kencing.

Kulit

Wajah kemerahan, telapak tangan berkeringat,

gatal, rasa panas dan dingin pada kulit, wajah

pucat.

2.1.3 Tanda dan Gejala Kecemasan

Tanda dan gejala kecemasan yang ditunjukkan atau dikemukakan oleh

seseorang bervariasi, tergantung dari beratnya atau tingkatan yang dirasakan oleh

individu tersebut (Hawari, 2004). Keluhan yang sering dikemukakan oleh seseorang

saat mengalami kecemasan secara umum menurut Hawari (2004), antara lain adalah

sebagai berikut :

1. Gejala psikologis : pernyataan cemas/khawatir, firasat buruk, takut akan

pikirannya sendiri, mudah tersinggung, merasa tegang, tidak tenang,

gelisah, mudah terkejut.

2. Gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan.

3. Gangguan konsentrasi daya ingat.

4. Gejala somatik : rasa sakit pada otot dan tulang, berdebar-debar, sesak

nafas, gangguan pencernaan, sakit kepala, gangguan perkemihan, tangan

terasa dingin dan lembab, dan lain sebagainya.

2.1.4 Tingkat Kecemasan

Menurut Stuart (2006), ada empat tingkat kecemasan yang dialami oleh

individu yaitu ringan, sedang, berat dan panik.

1. Kecemasan Ringan

Dihubungkan dengan ketegangan yang dialami sehari-hari, individu masih

waspada serta lapang presepsinya meluas, menajamkan indra. Dapat

memotivasi individu untuk belajar dan mampu memecahkan masalah secara

efektif dan menghasilkan pertumbuhan.

2. Kecemasan Sedang

Memungkinkan individu untuk berfokus pada hal yang penting dan

mengesampingkan yang lain. Ansietas ini mempersempit lapang presepsi

individu. Dengan demikian, individu mengalami tidak perhatian yang selektif

namun dapat berfokus pada lebih banyak area jika diarahkan untuk

melakukannya.

3. Kecemasan Berat

Lapangan presepsi individu sangat sempit. Individu cenderung berfokus pada

sesuatu yang rinci dan spesifik serta tidak berpikir tentang hal lain. Semua

perilaku ditujukan untuk mengurangi ketegangan. Individu tersebut

memerlukan banyak arahan untuk berfokus pada area lain.

4. Panik

Berhubungan dengan ketakutan, dan terror. Hal yang rinci terpecah dari

proporsinya. Karena mengalami kehilangan kendali, individu yang mengalami

panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan arahan. Panic

mencakup disorganisasi kepribadian dan menimbulkan peningkatan aktifitas

motorik, menurunnya kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain,

persepsi yang menyimpang, dan kehilangan pemikiran yang rasional. Tingkat

ansietas ini tidak sejalan dengan kehidupan, jika berlangsung terus dalam

waktu yang lama, dapat terjadi kelelahan dan kematian.

Menurut Hawari (2004), tingkat kecemasan dapat diukur dengan

menggunakan alat ukur (instrument) yang dikenal dengan nama Hamilton Rating

Scale for Axiety (HRS-A), yang terdiri dari 14 kelompok gejala, antara lain adalah

sebagai berikut :

1. Perasaan cemas : cemas, firasat buruk, takut akan pikiran sendiri dan

mudah tersinggung.

2. Ketegangan : merasa tegang, lesu, tidak dapat beristirahat dengan tenang,

mudah terkejut, mudah menangis, gemetar dan gelisah.

3. Ketakutan : pada gelap, pada orang asing, ditinggal sendiri, pada binatang

besar, pada keramaian lalu lintas dan pada kerumunan orang banyak.

4. Gangguan tidur : sukar untuk tidur, terbangun pada malam hari, tidur tidak

nyenyak, bangun dengan lesu, banyak mimpi, mimpi buruk dan mimpi

yang menakutkan.

5. Gangguan kecerdasan : sukar berkonsentrasi, daya ingat menurun dan

daya ingat buruk.

6. Perasaan depresri (murung) : hilangnya minat, berkurangnya kesenangan

pada hobi, sedih, terbangun pada saat dini hari dan perasaan berubah-ubah

sepanjang hari.

7. Gejala somatik/ fisik (otot) : sakit dan nyeri di otot, kaku, kedutan otot,

gigi gemerutuk dan suara tidak stabil.

8. Gejala somatik/ fisik (sensorik) : tinnitus (telinga berdenging), penglihatan

kabur, muka merah atau pucat, merasa lemas dan perasaan ditusuk-tusuk.

9. Gejala kardiovaskuler (jantung dan pembuluh darah) : takikardi (denyut

jantung cepat), berdebar-debar, nyeri di dada, denyut nadi mengeras, rasa

lesu/ lemas seperti mau pingsan dan detak jantung menghilang/ berhenti

sekejap.

10. Gejala respiratori (pernafasan) : rasa tertekan atau sempit di dada, rasa

tercekik, sering menarik nafas pendek/ sesak.

11. Gejala gastrointestinal (pencernaan) : sulit menelan, perut melilit,

gangguan pencernaan, nyeri sebelum dan sesudah makan, perasaan

terbakar di perut, rasa penuh atau kembung, mual, muntah, BAB

konsistensinya lembek, sukar BAB (konstipasi) dan kehilangan berat

badan.

12. Gejala urogenital (perekmihan dan kelamin) : sering buang air kecil, tidak

dapat menahan BAK, tidak datang bulan (tidak dapat haid), darah haid

berlebihan, darah haid sangat sedikit, masa haid berkepanjangan, masa

haid sangat pendek, haid beberapa kali dalam sebulan, menjadi

dingin,ejakulasi dini, ereksi melemah, ereksi hilang dan impotensi.

13. Gejala autoimun : mulut kering, muka merah, mudah berkeringat, kepala

pusing, kepala terasa berat, kepala terasa sakit dan bulu-bulu berdiri.

14. Tingkah laku/ sikap : gelisah, tidak tenang, jari gemetar, kening/ dahi

berkerut, wajah tegang/ mengeras, nafas pendek dan cepat serta wajah

merah.

Masing-masing kelompok gejala diberi penilaian angka (score) antara 0-4,

dengan penilaian sebagai berikut :

Nilai 0 = tidak ada gejala (keluhan)

Nilai 1 = gejala ringan

Nilai 2 = gejala sedang

Nilai 3 = gejala berat

Nilai 4 = gejala berat sekali/ panic.

Masing masing nilai angka (score) dari 14 kelompok gejala tersebut

dijumlahkan dan dari hasil penjumlahan tersebut dapat diketahui derajat kecemasan

seseorang, yaitu : total nilai (score) : kurang dari 14 = tidak ada kecemasan, 14-20

kecemasan ringan, 21-27 = kecemasan sedang, 28-41 = kecemasan berat, 42-56 =

kecemasan berat sekali (Hawari, 2001)

2.1.5 Rentang Respon Kecemasan

Menurut Stuart (2001), rentang respon individu terhadap cemas berfluktuasi

antara respon adaptif dan maladaptive. Rentang respon yang paling adaptif adalah

antisipasi dimana individu siap siaga untuk beradaptasi dengan cemas yang mungkin

muncul. Sedangkan rentang yang paling maladaptive adalah panik dimana individu

sudah tidak mampu lagi berespon terhadap cemas yang dihadapi sehingga mengalami

gangguan fisik, perilaku maupun kognitif.

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Antisipasi Ringan Sedang Berat Berat Sekali

Gambar 1. Skema Rentang Respon Kecemasan

2.1.6 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Kecemasan

a. Faktor Predisposisi

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya kecemasan (Stuart,

2007). Faktor-faktor tersebut antara lain :

1. Teori Psikoanalitik

Menurut teori psikoanalitik Sigmund Freud, kecemasan timbul karena

konflik antara elemen kepribadian yaitu id (insting) dan super ego

(nurani). Id mewakili dorongan insting dan imlus primitive seseorang dan

dikendalikan norma budayanya. Ego berfungsi menengahi tuntutan dari

dua elemen yang bertentangan dan fungsi kecemasan adalah

meningkatkan ego bahwa ada bahaya.

2. Teori Interpersonal

Menurut teori ini kecemasan timbul dari perasaan takut terhadap tidak

adanya penerimaan dan penolakan interpersonal. Kecemasan juga

berhubungan dengan perpisahan dan kehilangan yang menimbulkan

kelemahan spesifik.

3. Teori Behavior

Kecemasan merupakan produk frustasi yaitu segala sesuatu yang

mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang

diinginkan.

4. Teori Perspektif Keluarga

Kecemasan dapat timbul karena pola interaksi yang tidak adaptif dalam

keluarga.

5. Teori Perspektif Biologi

Fungsi biologis menunjukan bahwa otak mengandung reseptor khusus

Benzodiapine. Reseptor ini mungkin membantu mengatur kecemasan.

b. Faktor Prespitasi

Faktor prespitasi adalah faktor-faktor yang dapat menjadi pencetus

kecemasan (Stuart, 2007). Faktor pencetus tersebut adalah :

1. Ancaman terhadap integritas seseorang yang meliputi ketidakmampuan

fisiologis atau menurunnya kemampuan untuk melakukan aktivitas hidup

sehari-hari.

2. Ancaman terhadap sistem diri seseorang dapat membahayakan identitas

harga diri dan fungsi sosial yang terintegrasi dari seseorang.

2.1.7 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kecemasan Keluarga

1. Umur

Menurut Elisabeth, B.H (1995 cit Nursalam 2001), yaitu umur adalah usia

individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat berulang tahun.

Pendapat lain mengemukakan bahwa semakin cukup umur, tingkat

kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan

bekerja dari segi kepercayaan masyarakat. Menurut Long (1996 cit Nursalam

2001), yaitu semakin tua umur seseorang semakin konstruktif dalam

menggunakan koping terhadap masalah maka akan sangat mempengaruhi

konsep dirinya. Umur dipandang sebagai suatu keadaan yang menjadi dasar

kematangan dan perkembangan seseorang.

2. Pendidikan

Pendidikan kesehatan merupakan usaha kegiatan untuk membantu individu,

kelompok dan masyarakat dalam meningkatkan kemampuan baik

pengetahuan, sikap dan keterampilan untuk mencapai hidup secara optimal.

Makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi,

sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki. Jadi dapat

diasumsikan bahwa faktor pendidikan sangat berpengaruh terhadap tingkat

kecemasan seseorang tentang hal baru yang belum pernah dirasakan atau

sangat berpengaruh terhadap perilaku seseorang terhadap kesehatannya.

3. Pekerjaan

Pekerjaan adalah kesibukan yang harus dilakukan terutama untuk menunjang

kehidupannya dan kehidupan keluarga. Pekerjaan bukanlah sumber

kesenangan tetapi merupakan cara mencari nafkah yang banyak tantangan

(Nursalam 2001).

4. Informasi

Informasi adalah pemberitahuan yang dibutuhkan keluarga dari staf ICU

mengenai semua hal yang berhubungan dengan pasien yang dirawat di ruang

ICU. Kebutuhan akan informasi meliputi informasi tentang perkembangan

penyakit pasien, penyebab atau alasan suatu tindakan tertentu dilakukan pada

pasien, kondisi sesungguhnya mengenai perkembangan penyakit pasien,

kondisi pasien setelah dilakukan tindakan/pengobatan, perkembangan kondisi

pasien dapat diperoleh keluarga paling sedikit sehari sekali, rencana pindah

atau keluar dari ruangan, dan informasi mengenai peraturan di ruang ICU.

2.2 Konsep Keluarga

2.2.1 Pengertian Keluarga

Keluarga adalah anggota rumah tangga yang saling berhubungan melalui

pertalian darah, adopsi, atau perkawinan (WHO, 1969 dalam Setiadi. 2008: 2)

Keluarga, adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami-istri

dan anaknya atau ayah dan anaknya atau ibu dan anaknya. (BKKBN, 1992 dalam

Murwani dan Setyowati. 2010 : 28)

Menurut Depkes RI (1998) dalam Setiawati (2008), keluarga adalah unit

terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang

terkumpul serta tinggal disuatu tempat di bawah satu atap dalam keadaan saling

ketergantungan.

Keluarga juga didefinisikan sebagai suatu ikatan atau persekutuan hidup dasar

perkawinan antara orang dewasa yang berlainan jenis yang hidup bersama atau

seorang laki-laki atau seorang perempuan yang sudah sendirian dengan atau tanpa

anak, baik anaknya sendiri atau adopsi, dan tinggal dalam sebuah rumah tangga

(Sayekti, 1994 dalam Suprajitno, 2004).

2.2.2 Fungsi Keluarga

Fungsi keluarga menurut Friedman (1998).

a. Fungsi afektif

Berhubungan deengan fungsi internal keluarga dalam pemenuhan kebutuhan

psiko sosial fungsi efektif ini merupakan sumber energy kebahagiaan

keluarga.

b. Fungsi sosialisasi

Sosialisasi dimulai sejak lahir, keberhasilan perkembangan individu dan

keluarga di capai melalui interaksi atau hubungan antar anggota. Anggota

keluarga belajar disiplin, belajar norma, budaya dan perilaku melalui

hubungan interaksi dalam keluarga.

c. Fungsi reproduksi

Keluarga berfungsi meneruskan keturunan dan menambahkan sumber daya

manusia.

d. Fungsi ekonomi

Keluarga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan seluruh keluarga seperti

kebutuhan makan, minum, pakaian, tempat tinggal, dll

e. Fungsi keperawatan kesehatan

Kesanggupan keluarga untuk melakukan pemeliharaan kesehatan dilihat dari 5

tugas kesehatan keluarga yaitu :

1) Keluarga mengenal masalah kesehatan.

2) Keluarga mampu mengambil keputusan yang tepat untuk mengatasi

masalah keessehatan.

3) Keluarga mampu merawat anggota keluarga yang mengalami masalah

kesehatan.

4) Memodifikasi lingkungan, menciptakan dan mempertahankan suasana

rumah yang sehat.

5) Keluarga mampu memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang tepat.

2.2.3 Struktur Keluarga

Friedman 1988, dalam buku Mubarak, 2006 menggambarkan struktur

keluarga terdiri dari :

1. Struktur komunikasi

Komunikasi dalam keluarga dikatakan berfungsi apabila : jujur, terbuka,

melibatkan emosi, konflik selesai dan ada hirarki kekuatan, komunikasi

keluarga bagi pengirim : yakin, mengemukakan pesan, jelas dan berkualitas,

meminta dan menerima umpan balik. Penerima : mendengarkan pesan,

memberikan umpan balik dan valid.

2. Struktur peran

Yang dimaksud struktur peran adalah serangkaian perilaku yang diharapkan

sesuai posisi sosial yang diberikan. Jadi pada struktur peran bias bersifat

formal atau informal.

3. Struktur kekuatan

Yang dimaksud adalah kemampuan dari individu untuk mengontrol atau

mempengaruhi atau merubah perilaku orang lain.

4. Struktur nilai dan normal

Nilai adalah sistem ide-ide, sikap keyakinan yang mengikat anggota keluarga

dalam budaya tertentu, sedangkan norma adalah pola perilaku yang diterima

pada lingkungan sosial tertentu berarti disini adalah lingkungan keluarga dan

lingkungan masyarakat sekitar keluarga (Suprajitno, 2004).

2.3 Konsep ICU

2.3.1 Definisi ICU

ICU (Intensive Care Unit) adalah ruang rawat di rumah sakit yang

dilengkapi dengan staf dan peralatan khusus untuk merawat dan mengobati pasien

dengan perubahan fisiologi yang cepat memburuk yang mempunyai intensitas defek

fisiologi satu organ ataupun mempengaruhi organ lainnya sehingga merupakan

keadaaan kritis yang dapat menyebabkan kematian. Tiap pasien kritis erat kaitannya

dengan perawatan intensif oleh karena memerlukan pencatatan medis yang

berkesinambungan dan monitoring serta dengan cepaat dapat dipantau perubahan

fisiologis yang terjadi atau akibat dari penurunan fungsi organ-organ tubuh lainnya

(Rab,2007).

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1778/MENKES/SK/XII/2010 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan ICU di

Rumah sakit, ICU adalah suatu bagian dari rumah sakit yang mandiri (instalasi di

bawah direktur pelayanan), dengan staf yang khusus dan perlengkapan yang khusus

yang di tujukan untuk observasi, perawatan dan terapi pasien-pasien yang menderita

penyakit, cedera atau penyuli-penyulit yang mengancam nyawa atau potensial

mengancam nyawa dengan prognosis dubia.

2.3.2 Sejarah ICU

ICU mulai muncul dari ruang pulih sadar paska bedah pada tahun 1950. ICU

modern berkembang dengan mencakup penanganan respirasi dan jantung menunjang

ffal organ dan penanganan jantung koroner mulai 1960. Pada tahun 1970, perhatian

terhadap ICU di Indonesia semakin besar (ICU pertama kali adalah RSCM Jakarta),

terutama dengan adanya penelitian tentang proses patofisiologi, hasil pengobatan

pasien kritis dan program pelatihan ICU. Dalam beberapa tahun terakhir, ICU mulai

menjadi spesialis tersendiri, baik untuk dokter maupun perawatnya.

2.3.3 Pembagian ICU berdasarkan kelengkapan

Berdasarkan kelengkapan penyelenggaraan maka ICU dapat dibagi atas tiga

tingkatan. Yang pertama ICU tingkat I yang terdapat di rumah sakit kecil yang

dilengkapi dengan perawat, ruang observasi, monitor, resusitasi dan ventilator jangka

pendek yang tidak lebih dari 24 jam. ICU ini sangat bergantung kepada ICU yang

lebih besar. Kedua, ICU tingkat II yang terdapat pada rumah sakit umum yang lebih

besar di mana dapat dilakukan ventilator yang lebih lama yang dilengkapi dengan

dokter tetap, alat diagnose yang lebih lengkap, laboratorium patologi dan fisioterapi.

Yang ketiga, ICU tingkat III yang merupakan ICU yang terdapat di rumah sakit

rujukan dimana terdapat alat yang lebih lengkap antaraa lain hemofiltrasi, monitor

invasive termasuk katerisasi dan monitor intracranial. ICU ini dilengkapi oleh dokter

spesialis dan perawat yang lebih terlatih dan konsultan dengan berbagai latar

belakang keahlian (Rab, 2007).

2.3.4 Kriteria Pasien Masuk dan Keluar ICU

a. Ada 3 prioritas pasien masuk ICU yaitu :

1. Prioritas I

Pasien kritis, tidak stabil yang memerlukan bantuan ventilasi, monitoring obat

– obatan vosoaktif secara kontinyu. Misalnya : pasien bedah kardiotoraksik,

pasien shock septic.

2. Prioritas II

Pasien memerlukan pelayanan pemantauan canggih dari ICU, Karen

memerlukan terapi inkusif segera. Misalnya : pada pasien panyakit dasar

jantung, paru / ginjal akut dan berat ataau telah mengalami pebedahan mayor.

3. Prioritas III

Pasien sakit kritis dan tidak stabil dimana kemungkinan kesembuhan atau

mendapat manfaat sakit dari terapi ICU. Misalnya : pasien dengan keganasan

metastase fisik disertai infeksi pericardial tamponade / sumbatan jalan nafas

dll.

b. Ada tiga kriteria pasien keluar ICU

Pasien tidak perlu lagi berada di ICU apabila :

1. Meninggal dunia.

2. Tidak ada kegawatan mengancam jiwa sehingga dirawat di ruang biasa

atau dapat pulang.

3. Atas permintaan keluarga pasien. Untuk kasus seperti ini keluarga atau

pasien harus menandatangani surat keluar ICU atas permintaan sendiri.

2.3.5 Sistem Pelayanan Ruang ICU

Penyelenggaraan pelayanan ICU di rumah sakit harus berpedoman pada

Keputusan Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1778/MENKES/SK/XII/2010

tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan ICU di rumah sakit. Pelayanan ICU di

rumah sakit meliputi beberap hal, yang pertama etika kedokteran diamana etika

pelayanan di ruang ICU harus berdasarkan falsafah dasar “saya akan senantiasa

mengutamakan kesehatan pasien, dan berorientasi untuk dapat secara optimal,

memperbaiki kondisi kesehatan pasien.

Kedua, indikasi yang benar dimana pasien yang dirawat di ICU harus pasien

yang memerlukan intervensi medis segera oleh tim intensive care, pasien yang

memerlukan pengelolaan fungsi system organ tubuh secara terkoordinasi dan

berkelanjutan sehingga dapt dilakukan pengawasan yang konstan dan metode terapi

titrasi, dan pasien sakit kritis yang memerlukan pemantauan kontinyu dan tindakan

segera untuk mencegah timbulnya dekompensasi fisiologis.

Ketiga, kerjasama multidisipliner dalam masalah medis kompleks dimana

dasar pengelolaan pasien ICU adalah pendekatan multidisiplin tenaga kesehatan dari

beberapa ilmu terkait yang memberikan kontribusinya sesuai dengan bidang

keahliannya dan bekerja sama di dalam tim yang dipimpin oleh seorang dokter

intensivis sebagai ketua tim.

Keempat, kebutuhan pelayanan kesehatan pasien dimana kebutuhan pasien

ICU adalah tindakan resusitasi yang meliputi dukungan hidup untuk fungsi-fungsi

vital seperti Airway (fungsi jalan napas), Breathing (fungsi pernapasan), Circulation

(fungsi sirkulasi), Brain (fungsi otak) dan fungsi organ loain, dilanjutkan dengan

diagnosis dan terapi definitif.

Kelima, peran koordinasi dan integrasi dalam kerja sama tim dimana setiap

tim multidisiplin harus bekerja dengan melihat kondisi pasien mislalnya sebelum

masuk ICU, dokter yang merawat pasien melakukan evaluasi pasien sesuai bidangnya

dan member pandangan atau usulan terapi kemudian kepala ICU melakukan evaluasi

menyeluruh, mengambil kesimpulan, memberi instruksi terapi dan tindakan nsecara

tertulis dengan mempertimbangkan usulan anggota tim lainnya serta berkonsultasi

dengan konsultan lain dan dapat mempertimbangkan usulan-usulan anggota tim.

Keenam, asas prioritas yang mengharuskan setiap pasien yang dimasukkan ke

ruang ICU harus dengan indikasi masuk ke ruang ICU yang benar. Karena

keterbatasan jumlah tempat tidur ICU, maka berlaku asas prioritas dan indikasi

masuk.

Ketujuh, sistem manajemen peningkatan mutu terpadu demi tercapainya

koordinasi dan peningkatan mutu pelayanan di rruang ICU yang memerlukan tim

kendali mutu yang anggotanya terdiri dari beberapa disiplin ilmu, dengan tugas

utamnya memberi masukan dan bekerja sama dengan staf structural ICU untuk selalu

meningkatkan mutu pelayanan ICU.

Kedelapan, kemitraan profesi dimana kegiatan pelayanan pasien di ruang ICU

disamping multi disiplin juga antar profesi seperti profesi medic, profesi perawat dan

profesi lain. Agar dicapai hasil optimal maka perlu peningkatan mutu SDM (Sumber

Daya Manusia) secara berkelanjutan, menyeluruh dan mencakup semua profesi.

Kesembilan, efektifitas, keselamatan dan ekonomis dimana unit pelayanan di

ruang ICU mempunyai biaya dan teknologi yang tinggi, multi disiplin dan multi

profesi, jadi harus berdasarkan asas efektifitas, keselamatan dan ekonomis.

Kesepuluh, kontinuitas pelayanan yang ditujukan untuk efektifitas,

kesselaamtan dan ekonomisnya pelayanan ICU. Untuk itu perlu dikembangkan unti

pelayanan tinggkat tinggi (High Care Unit = HCU). Fungsi utama HCU adalah

menjadi unit perawatan dari bangsal rawat dan ruang ICU. Di HCU, tidak diperlukan

peralatan canggih seperti ICU tetapi yang diperlukan adalah kewaspadaan dan

pemantauan lebih tinggi.

2.3.6 Peralatan ICU

Unit perawatan kritis atau perawatan intensif (ICU) merupakan unit rumah

sakit dimana klien menerima perawatan medis intensif dan mendapat monitoring

yang ketat. ICU memiliki teknologi yang canggih seperti monitor jantung

terkomputerisasi dan ventilator mekanis. Walaupun peralatan tersebut juga tersedia

pada unit perawatan biasa, klien pada ICU dimonitor dan dipertahankan dengan

menggunakan peralatan lebih dari satu. Staf keperawatan dan medis pada ICU

memiliki pengetahuan khusus tentang prinsip dan teknik perawatan kritis. ICU

merupakan tempat pelayanan medis yang paling mahal karena setiap peraawat hanya

melayani satu atau dua orang klien dalam satu waktu dan dikarenakan banyaknya

terapi dan prosedur yang dibutuhkan seorang klien dalam ICU (Potter & Perry, 2009).

Pada prinsipnya alat dalam perawatan intensif dapat dibagi atas dua yaitu alat-

alat pemantau dan alat-alat pembantu termasuk alat ventilator, hemodialisa dan

berbagai alat lainnya termasuk defebrilator. Alat-alat monitor meliputi bedside dan

monitor sentral, EKG, monitor tekanan intravaskuler dan intracranial, computer

cardiac output, oksimeter nadi, monitor faal paru, analiser karbondioksida, fungsi

serebral/monitor EEG, monitor tempratur, analisa kimia darah, analisaa gas dan

elektrolit, radiologi (X-ray viewers, portable X-ray machine, image intensifier), alat-

alat respirasi (Ventilator, humidifiers, terapi oksigen), alat intubasi (airway control

equipment), resuscitator otomotik, fiberoptik bronkoskop, dan mesin anastesi (Rab,

2007).

2.3.7 Perawat ICU

Seorang perawat yang bertugas di ICU melaksanakan tiga tugas utama yaitu,

life support, memonitor keadaan pasien dan perubahan keadaan akibat pengobatan

dan mencegah komplikasi yang mungkin terjadi. Oleh karena itu diperlukan satu

perawat untuk setiap pasien dengan pipa endotrakeal baik dengan menggunakan

ventilator maupun yang tidak. Di Australia diklasifikasikan empat kriteria perawat

ICU yaitu, perawat ICU yang telah mendapat pelatihan lebih dari duabelas bulan

ditambah dengan pengalaman, perawat yang telah mendapat latihan duabelas bulan,

perawat yang telah mendapat sertifikat pengobatan kritis (critical care certificate),

dan perawat sebagai pelatih (trainer) (Rab, 2007).

Di Indonesia, ketenagaan perawat di ruang ICU di atur dalam Keputusan

Menteri KesehatanRepublik Indonesia Nomor 1778/MENKES/SK/XII/2010 tentang

Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan ICU di Rumah Sakit yaitu, untuk ICU level I

maka perawatnya adalah perawat terlatih yang bersertifikat bantuan hidup dasar dan

bantuan lanjut, untuk ICU level II diperlukan minimal 50% dari jumlah seluruh

perawat di ICU merupakan perawat terlatih dan bersertifikat ICU, dan untuk ICU

level III diperlukan 75% dari jumlah seluruh perawat di ICU merupakan perawat

terlatih dan bersertifikat ICU.

2.4 Kerangka Berpikir

2.4.1 Kerangka Teori

Gambar 2.2 Kerangka Teori

Faktor predisposisi kecemasan :

1. Konflik id dan super ego

2. Penolakan interpersonal

3. Frustasi

4. Interaksi maladaptive

5. Gangguan kesehatan

Faktor presipitasi kecemasan :

1. Ancaman integritas biologi

yaitu penurunan aktifitas

sehari- hari

2. Ancaman sistem diri dan

fungsi sosial.

Faktor Faktor Yang

Mempengaruhi Tingkat

Kecemasan Keluarga

Pasien

1. Umur

2. Pendidikan

3. Pekerjaan

4. Informasi

Tingkat Kecemasan

1. Ringan

2. Sedang

3. Berat

4. Panik

2.4.2 Kerangka Konsep

Keterangan :

Variabel Independent

Variabel Dependen

Gambar 2.3 Kerangka Konsep

2.5 Hipotesis Penelitian

HA : Ada pengaruh antara umur, prndidikan, pekerjaan dan informasi

dengan tingkat kecemasan.

H0 : Ada pengaruh antara umur, prndidikan, pekerjaan dan informasi

dengan tingkat kecemasan.

KECEMASAN

KELUARGA

UMUR

PENDIDIKAN

PEKERJAAN

INFORMASI