bab ii tinjauan pustaka 2.1 konsep dasar asuhan keperawataneprints.umm.ac.id/52839/3/bab ii.pdf ·...
TRANSCRIPT
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014 tentang
Keperawatan menyatakan asuhan keperawatan adalah rangkaian interaksi dengan
klien dan lingkunganuntuk mencapai tujuan pemenuhan kebutuhan dan kemandirian
dalam merawat dirinya (Pemerintah Republik Indonesia, 2014).
Asuhan keperawatan merupakan suatu proses keperawatan yaitu suatu
metode sistematis dan ilmiah yang digunakan perawat untuk memenuhi kebutuhan
klien dalam mencapai atau mempertahankan keadaan biologis, psikologis, sosial dan
spiritual yang optimal melalui tahapan pengkajian keperawatan, indentifikasi diagnosa
keperawatan, penentuan perencanaan keperawatan, melaksanakan tindakan
keperawatan serta mengevaluasinya (Suarli & Yahya, 2012).
2.2 Konsep Pendokumentasian Keperawatan
2.2.1 Pengertian
Dokumentasi adalah segala sesuatu yang tercetak atau tertulis yang dapat di
andalkan sebagai catatan bukti bagi individu yang berwenang (Potter, 2006).
Dokumentasi keperawatan adalah bukti pencatatan dan pelaporan yang
dimiliki perawat dalam catatan perawatan yang berguna untuk kepentingan klien,
perawat dan tim kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan dengan dasar
data yang akurat dan lengkap secara tertulis sebagai tanggung jawab perawat (Wahid
& Suprapto, 2012).
10
2.2.2 Tujuan Dokumentasi Asuhan Keperawatan
Tujuan pendokumentasian asuhan keperawatan adalah sebagai alat
komunikasi antara klien, keluarga, tim perawat dan tim kesehatan lain sehingga
terbentuk komunikasi yang baik dalam perawatan klien, sebagai tanggung jawab dan
tanggung gugat perlindungan klien dalam pelayanan dan keamanan perawat dalam
memberikan asuhan keperawatan, sebagai informasi statistik acuan perencanaan
kebutuhan sarana prasarana dan sumber daya manusia di masa mendatang, sebagai
sarana pendidikan yang dapat dijadikan media belajar bagi mahasiswa dan bahan
penelitian dalam pengembangan ilmu keperawatan, sebagai sumber data dalam audit
keperawatan untuk alat ukur dalam penilaian kinerja perawatan, sebagai dokumen
yang bisa dijadikan aspek legal dan bukti autentik bagi perawat ketika menghadapi
masalah hukum, sebagai jaminan kualitas pelayanan kesehatan dan pelayanan
keperawatan (Setiadi, 2012).
Pelaksanaan dokumentasi keperawatan sebagai salah satu alat ukur untuk
mengetahui, memantau dan menyimpulkan suatu pelayanan asuhan keperawatan yang
diselenggarakan di rumah sakit (Setiadi, 2012).
Salah satu idikator kinerja perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan
bisa dilihat dari pelaksanaan pendokumentasian asuhan. Tanpa dokumentasi
keperawatan maka semua implementasi keperawatan yang telah dilakukuan oleh
perawat tidak mempunyai makna dalam hal tanggung jawab dan tanggung gugat
(Marrelli, 2007).
Dokumentasi keperawatan merupakan salah satu bentuk upaya membina dan
mempertahankan akuntabilitas perawat dan keperawatan(Webster New World Dictionary
dalam Marrelli, 2007).
11
2.2.3 Manfaat Dokumentasian Asuhan Keperawatan
Dokumentasi keperawatan mempunyai makna yang penting dalam berbagai
aspek, yaitu aspek kualitas pelayanan karena pendokumentasian memberi kemudahan
dalam memberikan pelayanan dan penyelesaian masalah klien sebagai acuan evaluasi
untuk meningkatkan mutu pelayanan, aspek komunikasi dan sebagai sarana
komunikasi antara perawat dengan klien atau keluarga, tenaga kesehatan lain sehingga
dapat membentuk suatu koordinasi yang baik dan tidak terjadi duplikasi yang tidak
efektif dan efisien, aspek hukum sebagai dokumen resmi dan bernilai hukum atau
legalitas dalam sistem pelayanan keperawatan sehingga apabila terjadi suatu masalah
hukum maka dokumentasi dapat dijadikan sebagai barang bukti di pengadilan, aspek
pendidikan dan pelatihan dokumentasi mempunyai nilai pendidikan karena isinya
menyangkut kronologis dari kegiatan asuhan keperawatan yang dapat dijadikan
sebagai referensi pembelajaran bagi peserta didik profesi keperawatan, aspek
keuangan semua asuhan keperawatan yang belum, sedang atau telah diberikan
didokumentasikan yang dapat dijadikan acuan atau pertimbangan biaya bagi klien,
aspek penelitian dapat dijadikan sebagai bahan atau objek riset dan pengembangan
profesi keperawatan,aspek akreditasi pendokumentasian asuhan keperawatan sebagai
indikator dalam penilaian suatu pelayanan keperawatan dalam akreditasi rumah sakit
(Nursalam, 2007).
2.2.4 Prinsip-Prinsip Pendokumentasian Asuhan Keperawatan
Prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam pendokumentasian asuhan
keperawatan antara lain dokumentasi harus dilakukan segera setelah pengkajian
pertama dilakukan atau pada tiap langkah asuhan keperawatan, catat setiap respon
pasien keluarga tentang informasi atau data yang penting, pastikan kebenaran setiap
data-data yang akan dicatat, data harus objektif bukan data penafsiran perawat,
12
dokumentasikan bila terjadi perubahan kondisi atau timbul masalah baru, hindarkan
dokumentasi yang baku karena setiap pasien mempunyai masalah yang berbeda,
hindari penggunaan istilah penulisan yang tidak jelas dalam pencatatan harus
disepakati dan atas kebijakan institusi, data harus ditulis dengan tinta bukan pensil
agar tidak mudah dihapus, bila terjadi kesalahan dalam penulisan dicoret dan ganti
dengan yang benar kemudian ditanda tangani, setiap dokumentasi cantumkan waktu,
tanda tangan, nama jelas penulis, wajib membaca setiap tulisan dari anggota
kesehatan lain sebelum menulis, dokumentasi harus dibuat dengan tepat, jelas dan
lengkap (Carpenito, 2006).
2.2.5 Tahap-Tahap Pendokumentasian Asuhan Keperawatan
1. Dokumentasi Pengkajian Asuhan Keperawatan
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan proses
suatu pengumpulan data yang sistematis dari berbagai sumber untuk mengevaluasi
dan mengidentifikasi status kesehatan klien (Lyer et al, 1996).
Menurut Nursalam (2011), kriteria pengkajian keperawatan meliputi :
a. Pengumpulan data
1) Tipe data
Tipe data pada pengkajian keperawatan terdiri dari data subjektif dan data
objektif. Data subjektif adalah data yang didapatkan dari klien /pasien
sebagai suatu pendapat terhadap suatu situasi dan kejadian, data objektif
adalah data yang diobservasi dan diukur oleh perawat.
2) Fokus pengambilan data
Fokus pengambilan data meliputi riwayat status kesehatan sebelumnya
dan saat ini, pola koping yang pernah digunakan dan yang saat ini
digunakan, fungsi, status sebelumnya dan saat ini, respon terhadap terapi
13
medis dan intervensi keperawatan, resiko untuk masalah potensial hal-hal
yang dapat menjadi dorongan atau kekuatan bagi klien.
b. Karakteristik Data
Data yang dikumpulkan untuk menunjang diagnosa keperawatan harus
mempunyai karakteristik yang lengkap, akurat, nyata dan relevan.
c. Sumber Data
Data-data yang dikumpulkan dapat diperoleh tidak hanya dari klien tetapi
dari orang terdekat (keluarga), catatan klien, riwayat penyakit terdahulu,
konsultasi dengan terapi, hasil pemeriksaan diagnostik, catatan medis, dan
sumber kepustakaan.
2. Dokumentasi Diagnosa Keperawatan
Diagnosa asuhan keperawatan adalah pernyataan yang menjelaskan status
atau masalah kesehatan aktual atau potensial serta penyebabnya. Tahap diagnosa
adalah tahap pengambilan keputusan pada proses keperawatan yang meliputi
identifikasi apakah maslah klien dapt dihilangkan , dikurangi atau diubah melalui
tindakan keperawatan (Nursalam, 2007).
Kriteria proses keperawatan meliputi : proses diagnosa terdiri dari atas
analisis, interprestasi data, identifikasi masalah, klien dan perumusan diagnosis
keperawatan, diagnosa keperawatan terdiri dari atas masalah, penyebab, dan tanda
atau gejala, atau terdiri atas masalah dan penyebab, bekerjasama dengan klien,
petugas kesehatan lain untuk memvalidasi diagnosa keperawatan, melakukan
pengkajian ulang, dan merevisi diagnosa berdasarkan data terbaru (Nursalam,
2007).
Tujuan diagnosa keperawatan dalam asuhan keperawatan untuk
mengidentifikasi masalah adanya respon klien terhadap status kesehatan, faktor
14
yang menunjang atau menyebabkan suatu masalah, kemampuan pasien untuk
mencegah atau menyelesaikan masalah, mengkomunikasikan masalah klien pada
tim kesehatan, mendokumentasikan tanggung jawab dalam identifikasi masalah,
mengidentifikasi masalah utama perkembangan keperawatan (Nursalam, 2007).
3. Dokumentasi Rencana Keperawatan
Tujuan perencanaan intervensi keperawatan dan aktivitas keperawatan
untuk mengurangi, menghilangkan, dan mencegah masalah keperawatan klien.
Kriteria proses perawatan membuat rencana tindakan asuhan keperawatan untuk
mengatasi masalah dan meningkatkan kesehatan meliputi perencanaan terdiri atas
prioritas, tujuan dan rencana tindakan keperawatan, bekerjasama dengan klien
dalam menyusun rencana tindakan keperawatan, perencanaan bersifat individual
sesuai dengan kondisi atau kebutuhan klien, mendokumentasikan rencana
keperawatan (Nursalam, 2007).
Tujuan rencana asuhan keperawatan yaitu tujuan administrasi meliputi
mengidentifikasi fokus keperawatan individu atau keluarga, membedakan
tanggung jawab perawat dengan profesi kesehatan lainnya, menyusun kriteria
guna pengulangan asuhan keperawatan dan evaluasi, keberhasilan asuhan
keperawatan, menyediakan kriteria klasifikasi klien, sedangkan tujuan klinik
meliputi suatu pedoman dalam penulisan, mengkomunikasikan asuhan
keperawatan yang akan diimplememtasikan dengan perawat lain seperti apa yang
akan diajarkan, apa yang harus diobservasi, apa yang akan dilakukan. Menyusun
kriteria hasil (outcome) guna pengulangan asuhan keperawatan dan evaluasi
keberhasilan asuhan keperawatan, rencana intervensi yang spesifik dan langsung
bagi perawat untuk melaksanakan intervensi kepada klien dan keluarganya
(Cafenito, 2006).
15
4. Dokumentasi Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah pelaksanaan dari rencana intervensi untuk mencapai
tujuan yang spesifik yaitu membantu klien dalam mencapai tujuan yang telah
ditetapkan mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pemulihan
kesehatan dan mempasilitasi koping (Lyer et al, 1999).
Kriteria pengimplementasian tindakan yang telah diidentifikasi dalam
rencana asuhan keperawatan meliputi bekerjasama dengan klien dalam
pelaksanaan tindakan keperawatan, kolaborasi dengan tim kesehatan lain,
melekukan tindakan keperawatan untuk mengatasi kesehatan klien, memberikan
pendidikan pada klien dan keluarga mengenai konsep ketrampilan asuhan diri
serta membantu klien memodifikasi lengkunganyang digunakan, mengkaji ulang
dan merevisi pelaksanaan tidakan keperawatan berdasarkan respon klien
(Nursalam, 2007).
5. Dokumentasi Evaluasi Keperawatan
Evaluasi asuhan keperawatan merupakan fase akhir dari proses
keperawatan. Hal-hal yang dievaluasikan adalah keakuratan, kelengkapan, kualitas
data, teratasi atau tidaknya masalah klien, dan pencapaian tujuan serta ketepatan
intervensi keperawatan (Nursalam, 2007)
Kriteria perawat mengevaluasi kemajuan klien terhadap tindakan
keperawatan dalam pencapaian tujuan, dan merevisi data dasar dan perencanaan
meliputi menyusun perencanaan evaluasi hasil dari intervensi secara
komprehensif, tepat waktu dan terus menerus, menggunakan data dasar dan
respon klien dalam mengukur perkembangan kearah pencapaian tujuan,
memvalidasi dan menganalisis data baru dengan teman sejawat, bekerjasama
dengan klien, keluarga untuk memodifikasi rencana asuhan keperawatan,
16
mendokumentasikan hasil evaluasi dan memodifikasikan perencanaan (Nursalam,
2007).
Ada dua macam evaluasi yaitu evaluasi formatif, evaluasi yang merupakan
hasil observasi dan analisa perawat terhadap respon klien segera pada saat dan
setelah intervensi keperawatan dilaksanakan dimana evaluasi ini dapat dilakukan
secara spontan dan memberi kesan apa yan terjadi pada saat itu. Evaluasi somatif,
yaitu evaluasi yang merupakan rekapitulasi dan kesimpulan dari observasi dan
analisis status kesehatan klien sesuai dengan kerangka waktu yang ditetapkan pada
tujuan keperawatan (Nursalam, 2007).
2.3 Motivasi
2.3.1 Pengertian Motivasi
Motivasi adalah proses-proses psikologis meminta mengarahkan, arahan,
dan menetapkan tindakan sukarela yang mengarah pada tujuan (Kreitner dan
Kinicki, 2003:248).
Menurut Mohyi (2005:148) motivasi dapat didefinisikan sebagai suatu
usaha menimbulkan dorongan (motif) pada individu (kelompok) agar bertindak
(melakukan sesuatu). Sedangkan motivasi kerja adalah dorongan untuk
melakukan dan menyelesaikan suatu pekerjaan dengan cepat (cepat disini
dimaksudkan adalah cepat tapi berhati-hati) dan bersemangat. Motivasi kerja
sangat penting bagi karyawan, manajer, atau para pemimpin karena dengan
motivasi yang tinggi, maka pekerjaan(tugas) dilakukan dengan bersemangat dan
bergairah sehingga akan tujuan yang diinginkan dengan efektif dan efisien.
Menurut Stephen P. Robbins (2003:208) menyatakan bahwa motivasi adalah
kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi untuk tujuan organisasi,
17
yang dikondisikan oleh kemampuan upaya itu dalam memenuhi beberapa
kebutuhan individual.
Motivasi merupakan akibat dari interaksi individu dan situasi. Dengan
menganalisis konsep motivasi, hendaknya diingat bahwa tingkat motivasi
beraneka baik antar individu maupun didalam diri individu pada waktu-waktu
yang berlainan. Kami mendefinisikan motivasi sebagai suatu proses yang
menghasilkan suatu intensitas, arah, dan ketekunan individual dalam usaha untuk
mencapai suatu tujuan. Sementara motivasi umum bersangkutan dengan upaya
kearah setiap tujuan, kami menyempitkan fokus pada tujuan organisasi agar
mencerminkan minat tunggal kita dalam perilaku yang berkaitan dengan kerja.
Ketiga unsur kunci dalam definisi kita adalah intensitas, tujuan, dan ketekunan.
Integritas menyangkut seberapa kerasnya seseorang berusaha. Ini adalah unsur
yang paling difokuskan oleh kebanyakan kita bila berbicara tentang motivasi.
2.3.2 Teori Motivasi
Dalam aplikasi teori motivasi dalam organisasi perlu dilihat dari bagaimana
mengatasi masalah motivasi dengan melihat kekuatan yang menghasilkan,
mengarahkan dan mempertahankan usaha. Banyak para ahli yang meyakini bahwa
kekuatan ini berada dalam diri orang tersebut yang dikendalikan oleh kebutuhan dari
orang tersebut, sehingga dari asumsi ini lahirlah teori kebutuhan dari motivasi kerja.
Sopiah (2008: 169) menyatakan bahwa motivasi didefinisikan sebagai keadaan di
mana usaha dan kemauan keras seseorang diarahkan kepada pencapaian hasil-hasil atau
tujuan tertentu. Hasil-hasil yang dimaksud bias berupa produktivitas, kehadiran atau perilaku
kerja kreatif lainnya. Motivasi pada dasarnya mempunyai tiga karakteristik pokok yaitu:
a. Usaha. Karakteristik pertama dari motivasi, yakni usaha, menunjuk kepada
kekuatan perilaku kerja seseorang atau jumlah yang ditunjukkan oleh
18
seseorang dalam pekerjaannya. Tegasnya, hal ini melibatkan berbagai macam
kegiatan atau upaya baik yang nyata maupun yang tidak nyata.
b. Kemauan keras. Karakteristik pokok motivasi yang kedua menunjukkan
kepada kemauan keras yang ditunjukkan oleh seseorang ketika menerapkan
usahanya kepada tugas-tugas pekerjaannya. Dengan kemauan yang keras,
maka segala usaha akan dilakukan. Kegagalan tidak akan membuatnya patah
arang untuk terus berusaha sampai tercapainya tujuan.
Arah atau tujuan. Karakteristik motivasi yang ketiga berkaitan dengan arah
yang dituju oleh usaha dan kemauan keras yang dimiliki oleh seseorang
Selanjutnya ada kelompok para ahli yang meyakini bahwa usaha yang
dilakukan seseorang ditempat kerja seluruhnya ditentukan oleh seberapa pentingnya
usahanya dengan ditunjukkan perilaku dari atasannya yang memberikan hadiah dari
usaha yang telah dilakukannya pada waktu sebelumnya. Pendekatan ini tidak
dikategorikan sebagai teori namun sebagai model penguatan dari motivasi kerja.
Selanjutnya penulis akan menggunakan teori kebutuhan dari motivasi:
1. Hirarki Kebutuhan dari Maslow
Abraham Maslow dalam Luthanset al (2006:161) menyatakan bahwa orang
mempunyai lima kebutuhan yang umum dan dapat diatur menurut hirarki
kebutuhannya. Kebutuhan yang paling dasar harus dipuaskan pertama kali yaitu
kebutuhan fisiologi, kemudian kebutuhan tersebut diikuti oleh kebutuhan
keamanan, sosial, penghargaan dan yang paling puncak adalah kebutuhan
aktualisasi diri.Menurut teori ini setiap kebutuhan harus dipuaskan menurut
giliran. Sekali terpuaskan maka kebutuhan itu akan berhenti memotivasi perilaku
dan kebutuhan berikutnya dalam hirarki tadi menjadi kebutuhan yang kuat.
19
Robbins (2001:166) menyatakan hierarki kebutuhan ini sebagai berikut:
b. Faali (fisiologis)antara lain : rasa lapar, haus, perlindungan (pakaian dan
perumahan), seks, dan kebutuhan fisik lainnya.
c. Keamananantara lain : keselamatan dan perlindungan terhadap kerugian fisik
dan emosional.
d. Sosial: mencakup kasih sayang, rasa dimiliki, diterima baik, dan persahabatan.
e. Penghargaan: mencakup faktor rasa hormat internal seperti harga diri,
otonomi, dan prestasi; dan faktor hormat eksternal seperti misalnya status,
pengakuan, dan perhatian.
f. Aktualisasi diri: dorongan untuk menjadi apa yang ia mampu ; mencakup
pertumbuhan, mencapai pontensialnya, dan pemenuhan diri.
2. Teori Kepuasan (Content theory)
Teori kepuasan memusatkan perhatian pada faktor-faktor dalam diri
manusia atau orang-orang yang menguatkan (energize), mengarahkan (direct),
mendukung (sustain) dan menghentikan (stop) perilaku.
3. Teori Proses (Process theory)
Pendekatan ini menekankan bagaimana dan dengan tujuan apa setiap
individu dimotivasi. Expectancy (pengharapan) adalah merupakan dasar dari teori
proses tentang motivasi. Di mana mereka percaya bahwa apa yang mereka
percayai atau yakini akan mereka peroleh dari tingkah laku mereka.
4. Reinforcement theory.
Teori ini menjelaskan bagaimana konsekuensi perilaku di masa yang lalu
mempengaruhi tindakan di masa yang akan datang dalam suatu siklus proses
belajar. Dalam pandangan teori ini individu bertingkah laku tertentu karena
20
berhubungan dengan hasil yang menyenangkan dan perilaku tertentu akan
menghasilkan akibat yang tidak menyenangkan.
5. TeoriDua-Faktor dari Herzberg.
Teori ini masih berdasarkan hirarki kebutuhan Maslow dengan membagi
menjadi kebutuhan atas dan bawah. Menurut Herzberg kebutuhan atas adalah
kebutuhan akan penghargaan dan aktualisasi diri dan dari ke dua kebutuhan inilah
yang akan dapat meningkatkan motivasi kerja. Dalam implementasinya, sebuah
organisasi pemenuhan kebutuhan tingkat bawah berfungsi untuk
mempertahankan karyawan bukan untuk memotivasi karyawan. Sehingga dalam
teori ini kebutuhan tingkat bawah dikatakan sebagai faktor higiene dan kebutuhan
tingkat atas dikatakan sebagai faktor motivator.
Herzberg dalam Mathis dan Jackson (2006:114) menyatakan faktor
Higiene adalah faktor yang mempengaruhi rasa tidak puas terhadap pekerjaan,
yaitu: kondisi kerja, jenis supervisi, hubungan dengan rekan sekerja, gaji dan
kebijaksanaan perusahaan.
Sedangkan faktor motivator yang dapat memotivasi karyawan adalah:
pencapaian, pengakuan, tanggung jawab, kesempatan maju dan kerja yang
menarik. Pada teori ini yang penting adalah faktor-faktor yang menghantar pada
kepuasan kerja terpisah dan terbedakan dari faktor-faktor yang menghantar pada
ketidakpuasan kerja. Oleh karena itu dengan menghilangkan faktor-faktor yang
menciptakan ketidakpuasan kerja dapat membawa ketenteraman, tetapi belum
tentu memotivasi.
6. Teori ERGdari Alderfer
Alderfer dalam Gibson et al., (2002:185) menyatakan tiga kebutuhan yang
berkisar dari yang paling nyata sampaiyang kurang nyata, kebutuhan-kebutuhan ini
21
:Existence (keberadaan), Relatedness (pertalian) dan Growth (pertumbuhan).
Sebenarnya teori ini adalah hanya pengaturan kembali dari hirarki Maslow
(Luthanset al, 2005:285) namun perbedaannya teori ini tidak menganut urutan
yang kaku pada teori kebutuhan Maslow.
Pengaturan kembali kebutuhan ini sebagai berikut:
a. Kelompok existence (keberadaan) mencakup kebutuhan faali dan keamanan
yang ada pada Maslow.
b. Kelompok relatedness (pertalian) mencakup kebutuhan sosial dan faktor
hormat eksternal pada kebutuhan penghargaan pada Maslow.
c. Kelompok growth (pertumbuhan) mencakup faktor hormat internal pada
kebutuhan penghargaan dan aktualisasi diri pada Maslow.
Teori ERG (dalam Sondang, 2002:166) lebih konsisten dengan
pengetahuan mengenai perbedaan-perbedaan individual di antara orang-orang.
Variabel seperti pendidikan, latar belakang keluarga, dan lingkungan budaya dapat
mengubah pentingnya atau kekuatan dorong yang dipegang sekelompok
kebutuhan untuk seorang individu tertentu.
7. Teori Motivasi Berprestasi dari McClelland.
McClelland dalam Sondang (2002:167) menyatakan kebutuhan berprestasi
(n’Ach) dihipotesakan sebagai kebutuhan yang dipelajari, baik dikembangkan
maupun tidak dikembangkan di masa kanak-kanak.Bila hal-hal lain sama, maka
orang-orang dengan kebutuhan berprestasi akan lebih berusaha dari yang tidak
berprestasi. Ciri yang unik dari teori motivasi kerja n’Ach adalah bahwa orang yang
memiliki tingkat kebutuhan yang rendah dapat dilatih untuk mengembangkannya
(Robbins, 2001:181).
22
Motivasi adalah proses yang dimulai dengan defisiensi fisiologis atau
psikologis yang menggerakkan perilaku atau dorongan yang ditujukan untuk
tujuan atau insentif. Dengan demikian, kunci untuk memahami proses motivasi
bergantung pada pengertian dan hubungan antara kebutuhan, dorongan, dan
insentif. Dalam konteks sistem, motivasi mencakup tiga elemen yang berinteraksi
dan saling tergantung adalah sebagai berikut ( Luthanset al, 2006: 270)
a. Kebutuhan.
Kebutuhan tercipta saat tidak adanya keseimbangan fisiologis atau psikologis.
b. Dorongan.
Dengan beberapa pengecualian, dorongan, atau motif (dua istilah yang sering
digunakan secara bergantian), terbentuk untuk mengurangi
kebutuhan.Dorongan fisiologis dapat didefinisikan sebagai kehilangan
petunjuk Dorongan fisiologis dan psikologis adalah tindakan yang
berorientasi dan menghasilkan daya dorong dalam meraih insentif.
c. Insentif.
Pada akhir siklus motivasi adalah insentif, didefinisikan sebagai semua yang
akan mengurangi sebuah kebutuhan dan dorongan. Dengan demikian,
memperoleh insentif akan cenderung memulihkan keseimbangan fisiologis
atau psikologis dan akan mengurangi dorongan.
2.3.3 Faktor – faktor yang mempengaruhi Motivasi
Herzberg (1966, dalam Sunarto, 2004) mengembangkan gagasan bahwa
ada dua rangkaian kondisi yang mempengaruhi seseorang dalam pekerjaanya yaitu
faktor motivator (intrinsik) dan faktor hygiene motivator (ekstrinsik).
23
a. Kondisi intrinsik.
Faktor motivator atau kondisi intrinsik, kepuasan pekerjaan, yang
apabila terdapat dalam pekerjaan akan menggerakkan tingkat motivasi yang
kuat, yang dapat menghasilkan kerja yang baik. Faktor-faktor kondisi intrinsik
meliputi :
1) Achievement (keberhasilan pelaksanaan)
Keberhasilan pelaksanaan yaitu kepuasan pribadi karena telah mampu
mnyelesaikan suatu tugas, memecahkan masalah atau karena hasil-hasil
yang sukses. Keberhasilan seorang pegawai dapat dilihat dari pencapaian
prestasinya. Agar seorang karyawan dapat berhasil dalam melaksanakan
pekerjaannya, maka seorang pemimpin harus memberikan kesempatan
kepada bawahannya untuk mendapatkan prestasi kerja dan kinerja yang
tinggi
2) Recognation (pengakuan)
Sebagai lanjutan dari pencapaian prestasi yang telah dilakukan karyawan,
maka seorang pemimpin harus memberikan pernyataan pengakuan
terhadap pencapaian prestasi karyawannya tersebut. Pengakuan oleh
atasan dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu:
- Langsung menyatakan keberhasilan di tempat pekerjaannya, lebih
baik dilakukan sewaktu ada orang lain
- Memberikan surat penghargaan
- Memberi hadiah berupa uang tunai
- Memberikan kenaikan gaji atau promosi
24
3) The work it self (pekerjaan itu sendiri)
Pekerjaan yaitu kesempatan untuk menggunakan keterampilan dan
kemampuan mereka dan mewarkan beragam tugas, kebebasan dan
umpan balik mengenai betapa baiknya mereka bekerja. Besar kecilnya
tantangan yang dirasakan oleh karyawan dari pekerjaannya. Besar kecilnya
tantangan sangat memengaruhi kinerja karyawan. Sejauh mana karyawan
memandang pekerjaannya sebagai pekerjaan yang menarik, memberikan
kesempatan belajar dan peluang untuk menerima tanggung jawab
4) Responsibilitas (tanggung jawab)
Tanggung jawab yaitu derajat kontrol terhadap pekerjaan, variasi kerja
dan kesempatan untuk menggunakan prakarsa pribadi. Tanggung jawab
adalah suatu kewajiban atau tugas. tanggung jawab merupakan
penyelesaian suatu pekerjaan, sebagai contoh tanggung jawab perawat
yang sudah umum seperti penyusunan unit tugas merawat klien sehari-
hari. Agar tanggung jawab benar menjadi faktor motivator bagi bawahan,
pimpinan harus menghindari pengawasan yang ketat, dengan membiarkan
bawahan bekerja sendiri sepanjang pekerjaan itu memungkinkan dan
menerapkan prinsip partisipasi. Diterapkannya prinsip partisispasi
membuat bawahan sepenuhnya merencanakan dan melaksanakan
pekerjaannya
5) Advancement (pengembangan atau kemajuan)
Pengembangan merupakan salah satu faktor motivator bagi bawahan.
Pemimpin dapat memulainya dengan melatih bawahannya untuk
pekerjaan yang lebih bertanggung jawab. Bila ini sudah dilakukan
selanjutnya pemimpin memberi rekomendasi tentang bawahan yang siap
25
untuk pengembangan, untuk menaikkan pangkatnya, dikirim mengikuti
pendidikan dan pelatihan lanjutan. Sehingga memungkinkan karyawannya
untuk maju dalam pekerjaannya
b. Kondisi ekstrinsik.
Kondisi ini adalah faktor-faktor yang membuat orang merasa tidak
puas (dissatisfiers) karena faktor-faktor tersebut diperlukan untuk
mempertahankan tingkat yang paling rendah yakni tingkat “ketidak adanya
kepuasan “. faktor-faktor ini terdiri dari :
1) Technical supervision (supervisi)
Supervisi adalah pengarah dan pengendalian kepada tingkat karyawan
yang ada di bawahnya dalam suatu organisasi. Dengan technical supervisor
yang menimbulkan kekecewaan dimaksud adanya kurang mampu dipihak
atasan, bagaimana caranya mensupervisi dari segi teknis pekerjaan yang
merupakan tanggung jawabnya atau atasan mempunyai kecakapan teknis
yang lebih rendah dari yang diperlukan dari kedudukannya. Untuk
mengatasi hal ini para pimpinan harus berusaha memperbaiki dirinya
dengan jalan mengikuti pelatihan dan pendidikan
2) Interpersonal Relation (hubungan antara pribadi)
Inteprsonal relation menunjukkan hubungan perseorangan antara bawahan
dengan atasannya, dimana kemungkinan bawahan merasa tidak dapat
bergaul dengan atasannya
3) Company policy and administration ( kebijaksanaan dan administrasi
perusahaan).
26
Mengakomodasi kebutuhan individu, jadwal kerja, liburan serta cuti sakit
dan pembiayaannya, menghargai staf tentang agama dan latar
belakangnya, adil dan konsisten
4) Wage (gaji atau upah)
Gaji atau upah adalah imbalan yang diterima oleh seseorang dari
organisasi atas jasa yang diberikannya, baik berupa waktu, tenaga, keahlian
atau keterampilan. Pada umumnya masing-masing manajer tidak dapat
menentukan sendiri skala gaji yang berlaku didalam unitnya. Namun
demikian masing-masing manajer mempunyai kewajiban menilai apakah
jabatan-jabatan dibawah pengawasannya mendapat kompensasi sesuai
pekerjaan yang mereka lakukan. Para manajer harus berusaha untuk
mengetahui bagaimana jabatan didalam kantor diklasifikasikan dan
elemen-elemen apa saja yang menentukan pengklasifikasian itu
5) Working condition (kondisi kerja).
Yang dimaksud dengan kondisi kerja, tidak terbatas hanya pada kondisi
kerja ditempat pekerjaan masing-masing seperti nyamannya tempat kerja,
ventilasi yang cukup, penerapan lampu yang memadai, kebersihan tempat
pekerjaan, keamanan dan hal-hal lain yang sejenis, misalnya lokasi tempat
kerja dikaitkan dengan lokasi tempat tinggal seseorang. Kondisi kerja yang
mndukung antara lain, tersedianya sarana dan prasaran kerja yang
memadai dengan sifat tugas yang harus diselesaikan
2.4 Motivasi dalam Pendokumentasian Asuhan Keperawatan
Pelayanan keperawatan sangat tergantung pada kinerja perawat, dimana
kinerja perawat sangat di pengaruhi oleh motivasi perawat. Hal ini sesuai
dengan pendapat Davis (1989, dalam Abdullah, 2012) yang mengatakan
27
bahwa faktor yang dapat mempengaruhi pencapaian kinerja perawat dalam
pendokumentasian asuhan keperawatan adalah faktor kemampuan dan
motivasi.
Pendokumentasian asuhan keperawatan dibutuhkan motivasi perawat
yang muncul dari hati, untuk menimbulkan motivasi yang baik perawat perlu
menyadari kebutuhan dan pentingnya pendokumentasian asuhan
keperawatan (Swanburg, 2000).
Dengan motivasi yang tepat, karyawan akan mendorong untuk
membuat semaksimal mungkin dalam melaksankan tugasnya karena meyakini
bahwa dengan keberhasilan organisasi mencapai tujuan dan berbagai
sasarannya kepentingan pribadi anggota akan terpenuhi juga (Siagian, 2000).
Menurut Ilyas (2001) apabila seseorang memotivasi yang bersangkutan akan
berusaha keras meningkatkan pencapaian kerjanya.
Seorang perawat harus mampu melaksanakan dokumentasi asuhan
keperawatan dengan lengkap, jelas, akurat, dan dapat dipahami oleh orang
lain. Dokumentasi asuhan keperawatan sangat penting karena merupakan alat
pembuktian yang sah apabila ada gugatan dari pihak manapun terhadap
pelaksanaan pelayanan atau asuhan profesional. Pendokumentasian
merupakan suatu kegiatan pencatatan atau merekam suatu kejadian serta
aktifitas yang dilakukan dalam bentuk pemberian pelayanan yang diangap
sangat berharga dan penting
Akibat pengisian dokumentasi asuhan keperawatan diruangan yang
tidak lengkap adalah informasi yang diterima rekam medis menjadi tidak
tepat, tidak akurat, dan tidak sah atau legal. Selain itu, ketidak lengkapan
pengisian dokumen asuhan keperawatan rekam medis dapat mempengaruhi
28
terhadap kegunaan rekam medis seperti administasi, hukum, keuangan,
penelitan, pendidikan dan dokumentasi (Nuryani, 2014). Faktor – faktor
yang mempengaruhi pendokumentasian adalah supervisi kepala ruang,
kebijakan institusi tenaga keperawatan, sarana, pengetahuan, sikap perawat
(Marni,2013.). Faktor lain yang mempengaruhi pendokumentasian adalah 1)
faktor sosial : a) Pengakuan/ penghargaan, b) reward gaji, c) Perilaku. 2)
Faktor psikososial : a) Keterampilan kemampuan dokumentasi, b)
Pengalaman kerja, c) pengetahuan dokumentasi keperawatan dan d) Motivasi
( Hidayat, 2007; Delima, 2012).
Faktor lain tentang Karakteristik perawat, beban kerja dan
pertanggungjawaban perawat telah di teliti oleh Imran (2013) yang
menyatakan Beban kerja mempengaruhi motivasi perawat dalam pelaksanaan
pendokumentasian asuhan keperawatan. Pertanggungjawaban perawat
mempengaruhi motivasi perawat dalam pelaksanaan pendokumentasian
asuhan keperawatan. Faktor yang paling dominan, dalam penelitian ini adalah
status perkawinan, dan beban kerja beban kerja, yang dijadikan prediktor
dalam motivasi perawat
Sosial demografi dan karakteristik individu merupakan faktor yang
mendukung dan menyebabkan terjadinya perubahan perilaku ke arah yang
lebih baik. Karakteristik individu yang terdiri dari umur, jenis kelamin,
pendidikan dan pengalaman merupakan faktor pendukung dan menentukan
yang dapat meningkatkan motivasi kerja seseorang (Ilyas, 2001).
Usia sangat mempengaruhi motivasi kerja, orang muda lebih rentan
terhadap tekanan-tekanan yang ada di dalam lingkungan organisasi sehingga
akan mempengaruhi motivasi kerja seseorang, sedangkan karyawan yang lebih
29
dewasa akan lebih stabil dan matang jiwanya, emosi dan motivasi dalam
menghadapi pekerjaan sehari-hari. (Ilyas, 2001).
Salah satu ciri perbedaan manusia adalah perbedaan jenis kelamin yang
terbagi atas dua, yaitu jenis kelamin laki-laki dan jenis kelamin perempuan
Seorang pria yang bekerja keras untuk memadukan dan menyeimbangkan
tuntutan dan peluang dari karirnya, harus menyesuaikan diri dengan tuntutan
tugas dan tuntutan keluarga. Sehingga ia ketika pulang ke rumah sudah dalam
keadaan letih. perbedaan psikologis antara laki-laki dan perempuan tentunya
sangat mempengaruhi karir dan peluang dalam suatu organisasi (Manulang,
2001).
Menurut Siagian (2002), bahwa tingkat pendidikan yang lebih tinggi
pada umumnya menyebabkan orang lebih mampu dan berusaha menerima
posisi yang bertanggungjawab, latar belakang pendidikan akan mempegaruhi
motivasi kerjanya, dan beberapa ahli mengatakan bahwa motivasi merupakan
determinan kinerja.
Masa kerja mempengaruhi motivasi dan kepuasan kerja, oleh karena
semakin lama masa kerja, oleh karena semakin lama masa kerja akan
membuat seseorang cenderung akan semakin mencintai pekerjaan mereka.
Orang yang telah lama bekerja dan mempunyai tingkat pendidikan yang tinggi
biasanya lebih tinggi motivasi dan kepuasan kerjanya dibandingkan dengan
mereka yang masih baru dan mempunyai pendidikan yang lebih rendah,
sebab mereka memperoleh pekerjaan yang bersifat statis atau kurang jaminan
kelanggengan serta gaji yang rendah (Siagian, 2002).
Tenaga keperawatan yang telah senior, motivasinya lebih baik karena
telah memiliki pengalaman dan wawasan yang lebih luas dibandingkan
30
dengan tenaga perawat yang baru bekerja. Perawat dengan pengalaman dan
wawasan tinggi diharapkan dapat memberikan sumbangsih berupa saran-
saran yang bermanfaat terhadap manejer keperawatan dalam upaya
meningkatkan motivasi dan kepuasan kerja perawat secara keseluruhan. Hal
serupa dikemukakan oleh Notoatmodjo (2002), bahwa melalui pengalaman
seseorang dapat meningkatkan kematangan mental dan intelektual sehingga
dapat membuat keputusan yang lebih bijaksana dalam bertindak.