bab ii tinjauan pustaka 2.1 konsep kecemasan 2.1.1 ...eprints.umm.ac.id/41472/3/bab ii.pdf · anak...
TRANSCRIPT
10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Kecemasan
2.1.1 Definisi kecemasan
Sigmund Freud (dalam Jess Feist dan Gregory J. Feist 2008) tentang
kecemasan, Sigmund Freud berpendapat bahwa kecemasan adalah kondisi yang tidak
menyenangkan, bersifat emosional dan sangat terasa kekuatannya, disertai sebuah
sensasi fisik yang memperingatkan seseorang terhadap bahaya yang sedang mendekat.
2.1.2 Jenis Kecemasan
Menurut Freud (2002) membagi kecemasan menjadi 3 yaitu:
a. Kecemasan Realitas atau Objektif (Reality or Objective Anxiety) yaitu suatu kecemasan
yang bersumber dari adanya ketakutan terhadap bahaya yang mengancam di dunia
nyata. Kecemasan seperti ini misalnya ketakutan terhadap kebakaran, angin tornado,
gempa bumi, atau binatang buas. Kecemasan ini menuntun kita untuk berperilaku
bagaimna amenghadapi bahaya. Tidak jarang ketakutan yang bersumber pada realitas
ini menjadi ekstrem. Seseorang dapat menjadi sangat taku untuk keluar rumah karena
takut terjadi kecelakaan pada dirinya atau takut menyalakan korek api karena takut
terjadi kebakaran.
b. Kecemasan Neurosis (Neurotic Anxiety). Kecemasan ini mempunyai dasar pada
masa kecil, pada konflik antara pemuasan insting dan realitas. Pada masa kecil
terkadang beberapa kali seorang anak mengalami hukuman dari orang tua akibat
pemenuhan kebutuhan id yang implusif terutama sekali yang berhubungan dengan
pemenuhan insting seksual atau agresif.
11
c. Kecemasan Moral (Moral Anxiety). Kecemasan ini merupakan hasil dari konflik
antara id dan superego. Secara dasar merupakan ketakutan akan suara hati individu
sendiri. Ketika individu termotivasi termotivasi untuk mengekspresikan implus
insting yang berlawanan dengan nilai moral yang termasuk dalam superego individu
itu maka ia akan merasa malu dan bersalah. Freud mengatakan, superego dapat
memberikan balasan yang setimpal kerena pelanggaran terhadap aturan moral.
Apapun tipenya, kecemasan merupakan suatu tanda peringatan kepada individu. Hal
ini menyebabkan tekanan pada individu dan menjadi dorongan pada individu
termotivasi untuk memuaskan. Tekanan ini harus dikurangi. Kecemasan memberikan
peringatan kepada individu bahwa ego sedang dalam ancaman dan karena itu apabila
tidak ada tindakan maka ego akan terbuang secara keseluruhan. Ada berbagai cara
ego melindungi dan mempertahankan dirinya. Individu akan mencoba lari dari situasi
yang mengancam serta berusaha untuk membatasi kebutuhan implus yang
merupakan sumber bahaya. Individu juga dapat mengikuti kata hatinya atau jika tidak
ada teknik rasional yang bekerja, individu dapat memakai mekanisme pertahanan
(defence mechanism) yang nonrasional untuk mempertahankan ego.
2.1.3 Gejala Kecemasan
Kecemasan berasal dari perasaan tidak sadar yang berada didalam kepribadian
sendiri, dan tidak berhubungan dengan objek yang nyata atau keadaan yang benar -
benar ada. (Rochman, 2010) mengemukakan beberapa gejala-gejala dari kecemasan
antara lain menimbulkan rasa takut, suka marah, sering dalam keadaan exited (heboh)
yang memuncak, sangat irritable, akan tetapi sering juga dihinggapi depresi, diikuti
oleh bermacam-macam fantasi, delusi, ilusi, dan delusion of persecution (delusi yang
dikejar-kejar), sering merasa mual dan muntah-muntah, badan terasa sangat lelah,
12
banyak berkeringat, gemetar, dan seringkali menderita diare dan muncul ketegangan
dan ketakutan yang kronis yang menyebabkan tekanan jantung menjadi sangat cepat
atau tekanan darah tinggi.
2.1.4 Penyebab Kecemasan
Rochman (2010) mengemukakan beberapa penyebab dari kecemasan yaitu
rasa cemas yang timbul akibat melihat adanya bahaya yang mengancam dirinya,
cemas karena merasa berdosa atau bersalah, karena melakukan hal-hal yang
berlawanan dengan keyakinan atau hati nurani, kecemasan yang berupa penyakit dan
terlihat dalam beberapa bentuk. Kecemasan ini disebabkan oleh hal yang tidak jelas
dan tidak berhubungan dengan apapun yang terkadang disertai dengan perasaan takut
yang mempengaruhi keseluruhan kepribadian penderitanya.
2.1.5 Karateristik Tingkat Kecemasan
Kecemasan Ringan berhubungan dengan ketegangan dala kehidupan sehari-
hari. Kewaspadaan akan meningkat. Persepsi terhadap lingkungan meningkat. Dapat
menjadi motivasi positif untuk belajar dan menghasilkan kreativitas. Respon fisiologis
yang akan terjadi yaitu sesekali nafas pendek, nadi dan tekanan darah meningkat
sedikit, muncul gejala ringan pada lambung, muka berkerut, serta bibir bergetar.
Respon kognitif yang muncul yaitu mampu menerima rangsangan yang kompleks,
konsentrasi pada masalah, menyelesaikan masalah secara efektif, dan terangsang
untuk melakukan tindakan. Respon perilaku dan emosi yaitu tidak dapat duduk
tenang, tremor halus pada tangan, dan suara kadang-kadang meninggi. (Asmadi,
2008).
Kecemasan Sedang ditandai dengan gejala fisik seperti sering nafas pendek,
nadi ekstrasistol, tekanan darah meningkat, mulut kering, anoreksia, diare atau
13
konstipasi, gelisah. Secara kognitif dilihat dari lapang persepsi meningkat, tidak
mampu menerima rangsangan lagi, berfokus pada apa yang menjadi perhatiannya.
Dan perilaku dan emosi dengan gerakan tersentak-sentak, meremas tangan, bicara
lebih banyak dan cepat, susah tidur, perasaan tidak aman (Suliswati, 2014).
Kecemasan Berat dengan ciri – ciri fisik nafas pendek, nadi dan tekanan
darah meningkat, berkeringat dan sakit kepala, penglihatan kabur serta ketegangan.
Secara kognitif seperti lapang persepsi sangat sempit dan tidak mampu menyelesaikan
masalah. Dan ditandai dengan prilaku dan emosi seperti perasaan ancaman
meningkat, verbalisasi cepat (Lutfa & Maliya, 2008).
Panik disertai dengan gejala fisik seperti nafas pendek, rasa tercekik, dan
paltipasi, sakit dada, pucat, hipotensi, koordinasi motorik rendah. Gejala kognitif
seperti lapang persepsi sangat menyempit, tidak dapat berfikir logis. Dan gejala
perilaku dan emosi seperti agitasi, mengamuk, marah ketakutan, berteriak, blocking,
kehilangan control diri, persepsi datar (Iqbal, 2015).
2.1.6 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecemasan
Menurut Iqbal, Lilis dan Joko (2015) tidak semua kecemasan dapat dikatakn
bersifat patologis ada juga kecemasan yang bersifat normal. Faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkat kecemasan yaitu :
a. Faktor Internal
1. Usia. Permintaan bantuan dari sekeliling menurun dengan bertambahnya
usia, pertolongan diminta bila ada kebutuhan akan kenyamanan,
reassurance, dan nasehat-nasehat. Mula – mula yang dicari adalah
keluarga dan teman – teman dan bila dibutuhkan lebih lanjut biasanya
individu akan berpaling kepada organisasi social (social
14
resource/network) dimana organisasi menduduki nomer satu dalam
urutan.
2. Pengalaman. Individu yang mempunyai modal kemampuan pengalaman
menghadapi stress dan punya cara menghadapinya akan cenderung lebih
menganggap stress yang berapapun sebagai masalah yang bias
diselesaikan. Tiap pengalaman merupakan sesuatu yang berharga dan
belajar dari pengalaman dapat meningkatkan keterampilan menghadapi
stress.
3. Aset Fisik. Orang dengan asset fisik yang besar, kuat dan garang akan
menggunakan aset ini untuk menghalau stres yang dating mengganggu.
b. Faktor Eksternal
1. Pengetahuan. Seseorang yang mempunyai ilmu pengetahuan dan
kemampuan intelektual akan dapat meningkatkan kemampuan dan rasa
percaya diri dalam menghadapi stres mengikuti berbagai kegiatan untuk
meningkatkan kemampuan diri akan banyak menolong individu tersebut.
2. Pendidikan. Peningkatan pendidikan dapat pula mengurangi rasa tidak
mampu untuk menghadapi stress. Semakin tinggi pendidikan seseorang
akan mudah dan semakin mampu menghadapi stress yang ada.
3. Finansial/Material. Aset berupa harta yang melimpah tidak akan
menyebabkan individu tersebut mengalami stress berupa kekacauan
finansial, bila hal ini terjadi dibandingkan orang lain yang aset finansialnya
terbatas.
4. Keluarga. Lingkungan kecil dimulai dari lingkungan keluarga peran
pasangan dalam hal ini sangat berarti dalam memberi dukungan. Istri dan
anak yang penuh pengertian serta dapat mengimbangi kesulitan yang
15
dihadapi suami akan dapat memberikan bumper kepada kondisi stress
yang dialami.
5. Obat. Dalam bidang psikiatri dikenal obat-obatan yang tergolong dalam
kelompok antiansietas. Obat-obat ini mempunyai khasiat mengatasi
ansietas sehingga penderitanya cukup tenang.
6. Dukungan Sosial Budaya. Dukungan social dan sumber-sumber
masyarakat serta lingkungan sekitar individu akan sangat membantu
seseorang dalam menghadapi stressor, pemecahan masalah bersama-sama
dan tukar pendapat dengan orang di sekitarnya akan membuat situasi
individu lebih siap menghadapi stress yang akan datang.
2.1.7 Neurofisiologi Kecemasan
Neurofisiologi kecemasan adalah sebagai berikut: respon sistem saraf
otonom terhadap rasa takut dan ansietas menimbulkan aktivitas involunter pada tubuh
yang termasuk dalam mekanisme pertahanan diri. Secara fisiologis situasi cemas akan
mengaktifkan hipotalamus, yang selanjutnya akan mengaktifkan dua jalur utama
cemas, yaitu sitem endokrin (korteks adrenal) dan sistem saraf otonom (simpatis dan
parasimpatis). Mekanisme dari kecemasan ialah melalui jalur sistem saraf otonom.
Setelah stimulus diterima oleh hipotalamus, maka hipotalamus langsung
mengaktifkan sistem saraf simpatis dan parasimpatss (Guyton, 2006).
Aktivitas sistem saraf simpatis. Neuron simpatis dari ssp (sistem saraf pusat)
berinteraksi dengan neuron simpatis perifer melalui serangkaian badan sel-sel saraf
simpatis yang dikenal sebagai ganglia. Melalui sinapsis kimia dalam ganglia, neuron
simpatis bergabung dengan neuron simpatis perifer (istilah ‘presinaptik’ dan ‘postsinaptik’
masing-masing digunakan untuk merujuk pada kabel neuron simpatis tulang belakang
dan neuron simpatis perifer). Neuron simpatis presinaptik melepaskan asetilkolin pada sinapsis
16
dalam ganglia simpatis. Asetilkolin (Ach) adalah pembawa pesan kimia yang mengikat
reseptor nicotinik asetilkolin ke neuron postsinaptik. Neuron postsinaptik melepaskan
norepinefrin (Ne) dalam menanggapi stimulus ini (Guyton, 2006).
Aktivitas berkepanjangan respon stimulus ini dapat memicu pelepasan
adrenalin dari kelenjar adrenal (khususnya medulla adrenal). Sekali dirilis, mengikat
Ne dan adrenalin ke reseptor adrenergik pada berbagai jaringan, sehingga menghasilkan
efek karateristik “melawan atau lari”. Efek berikut dilihat sebagai hasil dari aktivitas
reseptor adrenergik : peningkatan keringat, peningkatan denyut jantung (peningkatan
kecepatan konduksi, penurunan periode refrakter), nafas pendek, sakit dada,
pelebaran pupil, peningkatan tekanan darah (peningkatan kontraktilitas),
meningkatnya ketegangan otot, menyempitnya lapang prsepsi, meningkatkan emosi,
mudah marah, ketakutan. Karna ketegangan otot yang ditimbulkan maka dilakukan
relaksasi otot progresif yang bertujuan untuk merileksasi otot tubuh yang akan
berdampak pada penurunan gejala cemas (Guyton, 2006).
Sistem saraf parasimpatis disebut sebagai sistem “beristirahat dan mencerna”.
Secara umum, sistem saraf parasimpatis bertindak dengan cara yang berlawanan
dengan sistem saraf simpatis, membalikkan efek dari respon darurat. Namun, mungkin
lebih tepat untuk mengatakan bahwa sistem saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis
memiliki hubungan saling melengkapi, bukan salah seorang oposisi dari yang lain.
Sistem saraf parasimpatis menggunakan ach sebagai neurosistem saraf otonommitter
utama. Jika dirangsang, saraf presinaptik melepaskan asetilkolin (Ach) pada ganglion
asetilkolin pada gilirannya bekerja pada reseptor nicotinik neuron postsynaptik (Videbeck,
2008).
17
Saraf postsinaptik kemudian melepaskan asetilkolin untuk merangsang
reseptor muscarinik dari organ target. Efek berikut dilihat sebagai hasil dari aktivasi
sistem saraf parasimpatiss : penurunan keringat, denyut jantung menurun (penurunan
kecepatan konduksi, peningkatan periode refrakter), penurunan tekanan darah,
menurunnya ketegangan otot sehingga menurunnya emosi karna perasaan rileks,
lapang nafas, membesarnya lapang persepsi positif. Setelah terjadinya penurunan
gejala dari cemas kondisi psikis menjadi rileks dan tingkat kecemasan menurun
(Videbeck, 2008).
2.2 Ujian OSCE
2.2.1 Definisi Ujian OSCE
OSCE diperkenalkan oleh Harden pada tahun 1975 sebagai instrument
penilaian keterampilan klinik mahasiswa kedokteran kemudian diadaptasi untuk
diterapkan oleh disiplin ilmu kesehatan lainnya termasuk keperawatan pada tahun
2004 di Inggris. OSCE merupakan ujian dengan penilaian berdasarkan keterampilan
(performa) yang diobservasi saat melakukan berbagai ketrampilan klinik (McWilliam
dan Botwinski, 2009). Secara nasional, OSCE menjadi pelengkap dari uji pengetahuan
pada uji kompetensi dokter (Sailah, 2012).
Objective Structured Clinical Examination (OSCE) adalah pemeriksaan yang sering
digunakan dalam ilmu kesehatan untuk menguji kinerja keterampilan klinis dan
gambaran dari kompetensi rata-rata yang dimiliki tenaga kesehatan dalam
keterampilan seperti komunikasi, pemeriksaan klinis, prosedur medis, menulis resep,
teknik pemeriksaan, dan interpretasi hasil pemeriksaan (Brannick et al., 2011)
18
2.2.2 Mekanisme Ujian OSCE
Dalam ujian skill OSCE di Universitas Muhamadiyah Malang terdapat 4-6
stase penilaian, pada setiap stase ini mahasiswa diharuskan untuk melakukan sejumlah
tindakan yakni berdasarkan situasi klinis dimana pasien simulasi digunakan. Para
peserta ujian dinilai berdasarkan stase yang sama secara individu dan bergantian,
jangka waktu berada didalam satu stase hanya 5-7 menit dan setiap stase dijaga dan
dinilai oleh dosen penguji.
Penguji menilai peserta ujian berdasarkan pengetahuan untuk praktik, seperti
anamnesis, pemeriksaan, komunikasi, keterampilan interpersonal fisik, dan kinerja
prosedur yang tepat (Brannick et al., 2011). OSCE menguji keterampilan mahasiswa
dan mahasiswi dalam menghadapi suatu kasus dengan seorang pasien. Soal OSCE
dirancang bertujuan untuk menilai kemampuan menafsirkan informasi dan berpikir
kritis pada peserta ujian. Pertanyaan pada soal ujian berhubungan dengan
pemeriksaan diagnostik, rencana diagnostik dan manajemen dalam pengobatan
pasien. Penilaian ujian OSCE ini berdasar checklist yang tersedia, checklist tersebut
berisi tentang prosedur tindakan medis dan non medis yang akan dilakukan oleh
mahasiswa dan mahasiswi kedokteran dalam menghadapi suatu kasus yang akan di
ujikan (Bartfay et al., 2004).
Menurut Sharma et al. (2013) membuktikan bahwa OSCE dapat memberikan
manfaat berupa perubahan perilaku dalam komunkasi, kemampuan untuk berempati
dan merefleksikan perasaan, serta keterampilan klinis dan intrapersonal.
19
2.2.3 Faktor-faktor yang Memengaruhi Hasil dari Pelaksanaan OSCE
Street dan Hamilton (2010) dalam penelitiannya menjelaskan ada beberapa
faktor yang bisa membantu peserta OSCE agar mencapai kelulusan. Faktor-faktor
tersebut dapat dijabarkan menjadi 3 poin yaitu:
1) Persiapan dalam mempraktekkan keterampilan klinis
Pada dasarnya OSCE merupakan suatu ujian dari keterampilan klinis agar
semua mahasiswa memiliki keterampilan klinis sesuai standar yang ada. Kunci dasar
agar keterampilan klinis dapat disiapkan dengan baik dan benar adalah belajar dan
latihan berulang-ulang. Simulasi OSCE dengan sesama peserta juga sangat membantu
dalam meningkatkan keterampilan klinis karena akan banyak feedback atau masukan
yang bisa didapat dari proses saling mengamati.
2) Persiapan pengetahuan dasar yang mendukung keterampilan klinis
Dasar teori merupakan kompetensi yang tidak bisa ditinggalkan dalam
mempelajari keterampilan klinis. Mencatat dan mengulan kembali review dapat
membantu dalam pemahaman suatu teori yang mendasari keterampilan klinis yang
akan diujikan. Diskusi kelompok juga dianjurkan karena dengan mendengarkan
pendapat orang lain dan saling bertanya antar anggota dapat miningkatkan
pemahaman teori tersebut.
3) Persiapan mental
Ketenangan dan kepercayaan diri sangat diperlukan dalam menjalani OSCE.
Tanpa kedua hal tersebut semua persiapan yang sudah disiapkan sebelumnya tidak
akan dapat berhasil secara maksimal.
20
2.2.4 Kecemasan dan Ujian OSCE
Penelitian yang dilakukan oleh Furlong (2005) menyatakan bahwa 90%
mahasiswa merasa OSCE adalah peristiwa yang penuh tekanan (stressful), walaupun
mahasiswa sudah mempersiapkan dengan baik. Keadaan penuh tekanan dialami baik
itu oleh mahasiswa yang baru sekali menghadapi OSCE maupun yang sudah berkali-
kali menghadapi OSCE (Fidment, 2009), sehingga berdampak buruk pada performance
mahasiswa (Rushfort, 2007).
Situasi ujian yang memerlukan suatu keterampilan dengan penilaian standar
yang tinggi dan bersifat kompetisi akan meningkatkan kecemasan serta mengganggu
individu untuk fokus terhadap hal-hal yang perlu dilakukan ketika ujian (Zeidner &
Matthews, 2005 cit. Asghari, et.al, 2012). Kecemasan adalah suatu keadaan emosional
yang mempunyai ciri adanya respon fisiologis, perasaan tegang tidak menyenangkan
dan mengeluhkan sesuatu yang buruk akan terjadi (Nevid, Rathus dan Greene, 2005).
Menururt Fidment (2012) yang menyatakan bahwa mahasiswa merasakan kecemasan
saat berlangsungnya OSCE sehingga kecemasan dapat berpengaruh pada performa
pelaksanaan dan kelulusan. Kecemasan ujian sering memunculkan respon multisistem
dalam menghadapi situasi yang mengancam maka hal ini berpengaruh pada tiga level
yaitu : fisik, emosional, dan kognisi. Respon tersebut saling berkaitan dengan sistem
simpatis dan parasimpatis yang berpengaruh pada perubahan denyut jantung.
Beberapa orang menunjukkan, saat denyut jantung meningkat kemudian
dipertahankan maka secara internal dari individu akan mengambarkan kegagalan dan
kecemasan dalam melaksanakan keterampilan (Prato, 2009).
Selain itu kondisi cemas mahasiswa dapat dipengaruhi oleh dosen penguji
OSCE yang tegas yang membuat mahasiswa semakin cemas yang akan berdampak
pada nilai yang dihasilkan tidak maksimal, selain itu mahasiswa selalu merasa takut
21
terjadi kesalahan dalam melakukan tindakan saat OSCE yang juga berdampak pada
materi yang sudah dipelajari hilang dalam ingatan.
2.3 Relaksasi Otot Progresif
2.3.1 Definisi Teknik Relaksasi
Teknik relaksasi adalah menahan terbentuknya respons stress, terutama dalam
system saraf dan hormon. Pada akhirnya, teknik relaksasi dapat membantu mencegah
atau meminimalkan gejala fisik akibat stress ketika tubuh bekerja berlebihan dalam
menyelesaikan masalah sehari-hari. Teknik relaksasi adalah keterampilan, seperti halnya
mengetik pada keyboard atau memukul bola golf, dimana anda perlu
mempraktekannya secara teratur guna mendapatkan keseluruhan manfaatnya. (Jones
dan Bartlett, 2003)
2.3.2 Jenis-jenis Relaksasi
Relaksasi merupakan salah satu teknik di dalam terapi perilaku yang pertama kali
dikenalkan oleh Edmund Jacobson, seorang Psikolog dari Chicago yang
mengembangkan metode fisiologis melawan ketegangan dan kecemasan. Metode
relaksasi terdiri dari beberapa macam, diantaranya Miltenberger (2004)
mengemukakan ada lima macam relaksasi, yaitu: Relaksasi otot progresif (progressive
muscle relaxation) adalah memusatkan perhatian pada suatu aktivitas otot, dengan
mengidentifikasikan otot yang tegang kemudian menurunkan ketegangan dengan
melakukan teknik relaksasi untuk mendapatkan perasaan relaks (Purwanto, 2013).
Respon relaksasi merupakan bagian dari penurunan umum kognitif, fisiologis, dan
stimulasi perilaku. Relaksasi dapat merangsang munculnya zat kimia yang mirip
dengan beta blocker di saraf tepi yang dapat menutup simpul-simpul saraf simpatis
yang berguna untuk mengurangi ketegangan dan menurunkan tekanan darah
(Hartono, 2007).
22
Pernapasan diafragma adalah merupakan salah satu terapi relaksasi yang
mampu membuat tubuh menjadi lebih tenang dan harmonis, serta mampu
memberdayakan tubuhnya untuk mengatasi gangguan yang menyerangnya. Teknik
relaksasi nafas dalam merupakan suatu teknik untuk melakukan nafas dalam, nafas
lambat (menahan inspirasi secara maksimal) dan bagaimana menghembuskan nafas
secara perlahan. Teknik relaksasi nafas dalam juga dapat meningkatkan ventilasi paru
dan meningkatkan oksigen darah (Suwardianto, 2011).
Imagery training merupakan suatu proses pendidikan jangka pendek yang
mempergunakan prosedur sistematis dan terorganisir, guna membantu individu
untuk dapat mengelola kecemasan yang dialami sebelum melakukan sesuatu sehingga
dapat menampilkan performa yang maksimal (Ayuningtyas, Suci & Rin, 2015).
Biofeedback adalah suatu proses dimana individu belajar untuk memahami
serta memberi pengaruh respon fisiologis atas diri mereka terhadap nyeri (DeLaune
& Ladner, 2011). Biofeedback adalah penatalaksanaan yang memberikan informasi
tentang bagaimana proses fisiologis dalam tubuh dapat terpengaruh secara negatif
oleh rasa sakit kronis. Biofeedback kemudian membantu pasien dalam belajar
bagaimana meningkatkan kontrol atas proses ini dan memperkuat kemampuan
untuk mempertahankan control ketika terlibat dalam kegiatan sehari-hari. Ini hanya
satu alat untuk meningkatkan kontrol atas kehidupan dan nyeri (Mayo Clinic, 2006).
Hypnosis adalah menggunakan sugesti diri dan kesan tentang perasaan yang
rileks dan damai. Individu memasuki keadaan rileks dengan menggunakan bagian ide
pikiran dan kemudian kondisi-kondisi yang menghasilkan respon tertentu bagi
mereka (Edelman & Mandel, 2004). Hipnosis diri sama seperti dengan melamun.
Konsentrasi yang intensif mengurangi ketakutan dan stres karena individu
berkonsentrasi hanya pada satu pikiran.
23
2.3.3 Relaksasi Otot Progresif (Progressive Muscular Relaxation[PMR])
Cara relaksasi dapat bersifat respiratoris yaitu dengan mengatur mekanisme
atau aktivitas pernafasan, atau bersifat muskularis/otot, dilakukan dengan tempo atau
irama dan intensitas yang lebih lambat dan alam. Keteraturan dalam bernafas,
khususnya dengan irama yang tepat, akan menyebabkan sikap mental dan badan
akan rileks. Pelatihan otot akan menyebabkan otot makin lentur dan menerima situasi
yang merangsang luapan emosi tanpa membuatnya kaku (Kunkun, 2004).
Relaksasi otot progresif adalah teknik untuk mengurangi kecemasan dengan
cara menegangkan dan merilekskan otot secara bergantian (Miltenberger, 2004).
Otot-otot tubuh berespons terhadap munculnya persepsi ancaman dalam bentuk
ketegangan saraf, yang merupakan suatu keadaan kontraksi. Akibatnya, ketegangan
otot yang dianggap sebagai gejela stress yang paling umum. Walau tidak
menyebabkan seseorang sampai masuk ke rumah sakit seperti gangguan lain yang
berkaitan dengan stress, keseluruhan efeknya dapat menyebabkan kekakuan, nyeri
dan ketidaknyamanan.
Dalam kasus yang parah, hal ini dapat menyebabkan kejanggalan dan
kelaimam postur tubuh, salin kelabilan sendi. Seiring dengan rangsangan saraf yang
berulang, ketegangan otot dapat muncul dalam bentuk sakit kepala akibat tegang,
kaku leher, nyeri punggung bawah, kram perut, dan beberapa bentuk sindrom sendi
temporomandibular (temporomandibular joint syndrome, TMJ). Sering kali ketegangan
otot terjadi akibat pikiran kita saat tidak sadar yang dapat terbentuk ketika tidur. Para
pakar mengatakan bahwa kaku sendi, ataupun kerusakan jaringan ikat di daerah
24
rahang, leher, bahu, dan punggung bawah dapat terjadi akibat ketegangan otot disaat
kita tidur. (Bartlett, 2004)
Dengan menyadari hal ini, kita dapat memahami dengan mudah mengapa
ketegangan otot dianggap sebagai gejala stress yang paling umum. PMR yang
diciptakan oleh Dr. Edmund Jacobson lima puluh tahun lalu di Amerika Serikat,
adalah salah satu teknik yang khusus didesain untuk membantu meredakan
ketegangan otot yang terjadi ketika sadar. PMR digunakan sebagai terapi untuk
membantu meredakan beberapa gejala yang berkaitan dengan stres, insomnia,
hipertensi, sakit kepala, nyeri punggung bawah, dan TMJ. Teknik ini, mungkin lebih
unggul dari teknik lain, memperhatikan pentingnya menahan respons stress dengan
mencoba meredakan ketegangan otot secara sadar ( Jones & Bartlett, 2004).
2.3.4 Indikasi relaksasi otot progresif
Menurut Setyoadi dan Kushariyadi (2011) bahwa indikasi dari terapi relaksasi
otot progresif, yaitu: Klien yang mengalami insomnia, klien sering stress, klien yang
mengalami kecemasan, klien yang mengalami depresi.
2.3.5 Persiapan terapi relaksasi otot progresif
Menurut Setyoadi dan Kushariyadi (2011) persiapan untuk melakukan teknik
ini yaitu:
Persiapan alat dan lingkungan : kursi serta lingkungan yang tenang dan sunyi.
Pahami tujuan, manfaat, prosedur. Posisikan tubuh secara nyaman yaitu berbaring
dengan mata tertutup menggunakan bantal di bawah kepala dan lutut atau duduk di
kursi dengan kepala ditopang, hindari posisi berdiri. Lepaskan asesoris yang
digunakan seperti kacamata, jam, dan sepatu. Longgarkan ikatan dasi, ikat pinggang
atau hal lain sifatnya mengikat.
25
2.3.6 Langkah-langkah melakukan relaksasi otot progresif
Menurut Setyoadi dan Kushariyadi (2011) untuk melakukan teknik ini yaitu:
Gerakan 1 : Ditunjukan untuk melatih otot tangan.
a) Genggam tangan kiri sambil membuat suatu kepalan.
b) Buat kepalan semakin kuat sambil merasakan sensasi ketegangan yang terjadi.
c) Pada saat kepalan dilepaskan, rasakan relaksasi selama 10 detik.
d) Lakukan gerakan yang sama pada tangan kanan.
Gerakan 2 : Ditunjukan untuk melatih otot tangan bagian belakang.
a) Tekuk kedua lengan ke belakang pada peregalangan tangan sehingga otot di
tangan bagian belakang dan lengan bawah menegang.
b) Jari-jari menghadap ke langit-langit.
Gerakan 3 : Ditunjukan untuk melatih otot biseps (otot besar pada bagian
atas pangkal lengan).
a) Genggam kedua tangan sehingga menjadi kepalan.
b) Kemudian membawa kedua kapalan ke pundak sehingga otot biseps akan
menjadi tegang.
Gerakan 4 : Ditunjukan untuk melatih otot bahu supaya mengendur.
a) Angkat kedua bahu setinggi-tingginya seakan-akan hingga menyentuh
kedua telinga.
b) Fokuskan perhatian gerekan pada kontrak ketegangan yang terjadi di bahu
punggung atas, dan leher.
Gerakan 5 dan 6: ditunjukan untuk melemaskan otot-otot wajah (seperti dahi
dan mata).
26
a) Gerakan otot dahi dengan cara mengerutkan dahi dan alis sampai otot terasa
kulitnya keriput.
b) Tutup keras-keras mata sehingga dapat dirasakan ketegangan di sekitar mata dan
otot-otot yang mengendalikan gerakan mata.
Gerakan 7 : Ditujukan untuk mengendurkan ketegangan yang dialami oleh
otot rahang. Katupkan rahang, diikuti dengan menggigit gigi sehingga terjadi
ketegangan di sekitar otot rahang.
Gerakan 8 : Ditujukan untuk mengendurkan otot-otot di sekitar mulut. Bibir
dimoncongkan sekuat-kuatnya sehingga akan dirasakan ketegangan di sekitar mulut.
Gerakan 9 : Ditujukan untuk merilekskan otot leher bagian depan maupun
belakang.
a) Gerakan diawali dengan otot leher bagian belakang baru kemudian otot leher
bagian depan.
b) Letakkan kepala sehingga dapat beristirahat.
c) Tekan kepala pada permukaan bantalan kursi sedemikian rupa sehingga dapat
merasakan ketegangan di bagian belakang leher dan punggung atas.
Gerakan 10 : Ditujukan untuk melatih otot leher bagian depan.
a) Gerakan membawa kepala ke muka.
b) Benamkan dagu ke dada, sehingga dapat merasakan ketegangan di daerah leher
bagian muka
Gerakan 11 : Ditujukan untuk melatih otot punggung
a) Angkat tubuh dari sandaran kursi.
b) Punggung dilengkungkan
c) Busungkan dada, tahan kondisi tegang selama 10 detik, kemudian relaks.
27
d) Saat relaks, letakkan tubuh kembali ke kursi sambil membiarkan otot menjadi
lurus.
Gerakan 12 : Ditujukan untuk melemaskan otot dada.
a) Tarik napas panjang untuk mengisi paru-paru dengan udara sebanyak-banyaknya.
b) Ditahan selama beberapa saat, sambil merasakan ketegangan di bagian dada
sampai turun ke perut, kemudian dilepas.
c) Saat tegangan dilepas, lakukan napas normal dengan lega. Ulangi sekali lagi
sehingga dapat dirasakan perbedaan antara kondisi tegang dan relaks.
Gerakan 13 : Ditujukan untuk melatih otot perut
a) Tarik dengan kuat perut ke dalam.
b) Tahan sampai menjadi kencang dan keras selama 10 detik, lalu dilepaskan bebas.
c) Ulangi kembali seperti gerakan awal untuk perut.
Gerakan 14-15 : Ditujukan untuk melatih otot-otot kaki (seperti paha dan
betis).
a) Luruskan kedua telapak kaki sehingga otot paha terasa tegang.
b) Lanjutkan dengan mengunci lutut sedemikian rupa sehingga ketegangan pindah ke
otot betis.
c) Tahan posisi tegang selama 10 detik, lalu dilepas.
d) Ulangi setiap gerakan masing-masing dua kali.